DINAMIKA STRUKTUR PASAR DAN PERILAKU BANK SERTA

Download indeksasi Rate of Return Sektor Riil sebagai bagian dari kelengkapan infrastruktur untuk referensi bank syariah dalam menentukan tingkat ba...

0 downloads 538 Views 1MB Size
DINAMIKA STRUKTUR PASAR DAN PERILAKU BANK SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

DISERTASI

IDQAN FAHMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul; DINAMIKA STRUKTUR PASAR DAN PERILAKU BANK SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH INDONESIA merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2012 Idqan Fahmi H.361064164

i

ii

ABSTRACT IDQAN FAHMI. 2012. The Dynamic of Market Structure and Bank Behaviour and Their Impacts on Performance of Islamic Banking Industry in Indonesia (ARIEF DARYANTO as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of Advisory Committee) Competition is traditionally viewed as a pre-requisite for an industry to grow and welfare to maximize. In banking industry, however, the theory has been refuted and only accepted conditionally. Islamic banking industry in Indonesia is an interesting laboratory to test the theory because it has been highly concentrated but growing very rapidly. This research were aimed at clarifying the market boundary between islamic and conventional banking industry, analyzing the relationship between market structure and profitability of islamic banks in Indonesia, identifying the level of competition of Islamic banking industry in Indonesia, and analyzing the determinants of Islamic banking industrial growth in Indonesia. Four econometric models utilizing available yearly balanced panel data between 2005-2010 were used for analysis. The result shows that Islamic banking is more of a complementary to, instead of a substitute industry for conventional banking industry. This justifies the strategy of conventional banking opening Islamic banking unit without worrying for cannibalism of their own consumers. The positive relationship between market structure with profitability is found to be more supporting of the Efficient Structure Hypothesis rather than collutive Traditional Hypothesis. This conclusion is finally confirmed by the result of Panzar and Rosse model which indicate an almost perfect competition among banks in the industry with the H-statistical value of 0.91. Number of branches, ratio of interest rate and rate of return, and management quality, economic growth rate, exchange rate and Act No.21/2008 were found to be industrial growth enhancing, while market concentration was the opposit. All results satisfied the necessary condition for competition based on islamic values. More information based on primary data from banks and consumer’s perception are needed, however, to clarify for the sufficient condition that iB’s good behaviour in competition is driven more by islamic values than by the pressure of contestability in the market. Keywords: Islamic Banking, Structure-Conduct-Performance, Efficient Structure Hypothesis, Panzar and Rosse Model, Panel Data

iii

iv

RINGKASAN IDQAN FAHMI. 2012. Dinamika Struktur Pasar dan Perilaku Bank serta Dampaknya terhadap Kinerja Industri Perbankan Syariah Indonesia. (ARIEF DARYANTO sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan HARIANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Perkembangan perbankan syariah sejak awal dikembangkan sangat pesat. Nilai aset yang hanya kurang dari Rp. 2 T pada tahun 2000 berkembang menjadi hampir Rp. 100 T dalam satu dekade. Tingkat pertumbuhan per tahun yang terjadi jauh di atas rata-rata pertumbuhan perbankan konvensional. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di tingkat dunia (Vayanos, et al. 2008). IMF bahkan meramalkan aset perbankan syariah dunia akan mencapai US$ 1 Trilyun pada tahun 2016 dengan pertumbuhan rata-rata 10-15 persen per tahun. Pertumbuhan yang relatif tinggi tersebut diduga karena semakin meningkatnya permintaan dari umat Islam sendiri, investor non-muslim yang mencari alternatif sistem perbankan yang lebih adil dan besarnya pendapatan minyak dari Timur Tengah (Rohilina dan Wibisono, 2011). Terlepas dari tingginya laju pertumbuhan perbankan syariah, tingkat penguasaan pasar dalam industri perbankan meningkat sangat lambat, padahal di berbagai negara Timur Tengah dan negara tetangga Malaysia, pangsa pasar perbankan syariah sudah mendekati 20 %, walaupun memang mereka telah mulai merintis satu dekade lebih cepat. Data statistik perbankan memperlihatkan bahwa pada akhir 2010, pangsa pasar perbankan syariah baru mencapai sedikit di atas 3 %, padahal target awal BI adalah 5 % pada akhir tahun 2008. Masih kecilnya pangsa pasar perbankan syariah ini merupakan salah satu masalah utama yang menghambat percepatan pertumbuhan dan kontribusinya terhadap perekonomian, selain masalah langkanya ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dan lambatnya inovasi produk untuk memberi alternatif kepada produk perbankan konvensional dan untuk memenuhi tuntutan masyarakat (Ismail, 2011). Pertanyaan besarnya adalah kenapa Indonesia belum mampu mengkonversi potensi pasar yang diperkirakan demikian besar menjadi pangsa pasar yang riil sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Selain faktor eksternal yang berada di luar kendali industri, dinamika faktor internal industri dan perbankan sendiri diduga merupakan sumber utama dari ketidakmampuan industri perbankan syariah mencapai tingkat pertumbuhan yang diharapkan. Paradigma Structure-ConductPerformance (SCP) merupakan salah satu pendekatan dalam Ekonomi Industri yang banyak digunakan untuk menganalisa dinamika suatu industri. Namun untuk dapat menggunakan pendekatan ini secara valid, terlebih dahulu harus jelas batasan pasar dari industri yang akan dianalisa. Hal ini penting untuk diklarifikasi dalam kasus industri perbankan syariah karena pangsanya yang masih kecil dan pesaing utamanya, perbankan konvensional, sudah mempunyai sejarah panjang melayani masyarakat dan mempunyai pangsa pasar yang sangat dominan. Setelah batasan pasar jelas, barulah analisis persaingan yang terjadi dalam industri dapat dianalisa. Tingkat persaingan dan berbagai faktor lain yang relevan kemudian akan menjadi masukan yang penting untuk mengidentifikasi determinan pertumbuhan industri sebelum berbagai implikasi dan strategi untuk mengakselerasi pertumbuhan industri perbankan syariah dapat dirumuskan secara baik.

v

Berdasarkan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah: Menganalisa batas pasar (market boundary) industri perbankan syariah Indonesia. 2. Menganalisa hubungan struktur pasar dengan tingkat keuntungan bank syariah 3. Menganalisa tingkat persaingan dalam industri perbankan syariah Indonesia. 4. Menganalisa faktor-faktor yang menjadi determinan tingkat pertumbuhan industri perbankan syariah Indonesia. 5. Merumuskan pilihan implikasi kebijakan bagi industri perbankan syariah dan pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan industri perbankan syariah Indonesia. Balanced Panel Data masing-masing 6, 11, 10 dan 6 unit BUS dan UUS dari tahun 2005-2010 digunakan untuk mengestimasi empat model ekonometrika dengan variabel dependen secara berturut-turut DPK, ROA, Total Revenue dan Total Assets. Walaupun secara konsep perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional, penelitian ini belum menemukan bahwa perbankan konvensional menjadi ancaman atau substitusi dari perbankan syariah. Perbankan syariah bahkan menunjukkan indikasi sebagai industri yang bersifat komplementer dalam arti berkembangnya perbankan konvensional juga akan menyebabkan industri perbankan syariah berkembang bahkan dengan kecepatan yang lebih tinggi. Penggunaan pendekatan struktural memperlihatkan bahwa industri perbankan syariah yang mempunyai konsentrasi pasar yang tinggi berhubungan positif dengan tingkat keuntungan. Namun demikian, hasil estimasi juga menunjukkan secara tegas bahwa hubungan tersebut bukan karena perilaku kolutif seperti yang dihipotesiskan secara tradisional, melainkan lebih mendukung hipotesis Efficient Structure yang menyatakan bahwa tingkat keuntungan lebih besar yang dicapai bank dominan disebabkan oleh tingkat efisiensi lebih tinggi. Secara umum, pendekatan non-struktural model P-R semakin mendukung sinyalemen tidak terjadinya perilaku kolutif pada industri perbankan syariah Indonesia terlepas dari struktur pasar yang terkonsentrasi. Estimasi H-stat yang mendekati satu menunjukkan hal tersebut, walaupun analisis lebih dalam memperlihatkan bahwa bank dominan menghadapi tingkat persaingan yang lebih rendah daripada pesaingnya sesama bank syariah. Keseluruhan hasil memenuhi necessary condition untuk tuntutan perilaku bersaing menurut prinsip syariah, tetapi belum secara tegas menjawab sufficient condition, yaitu perilaku bersaing secara sadar mengikuti tuntunan normatif syariah, bukan karena tekanan contestability. Untuk menjawab yang terkahir ini diperlukan kajian lebih lanjut yang memerlukan data primer baik dari pihak bank maupun persepsi konsumen. Walaupun secara umum industri perbankan syariah sangat bersaing dan bersaingnya berdasarkan tingkat efisiensi, variabel dummy jenis maupun ukuran bank menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bank yang berstatus BUS dan atau yang berukuran besar mempunyai potensi untuk berperilaku berbeda dari pesaingnya sesama bank syariah. Tanpa kepatuhan akan landasan normatif untuk bersaing secara syariah, potensi ini dapat menggoda kelompok bank tersebut untuk bersaing secara tidak sehat. Konsentrasi pasar walaupun tidak bermasalah bagi tingkat persaingan ternyata menjadi faktor penghambat pertumbuhan industri sehingga penguasaan pasar yang semakin merata akan mendorong pertumbuhan industri semakin cepat. 1.

vi

Jumlah kantor, peningkatan rasio IR/RR, membaiknya kualitas manajemen yang tercermin dari menurunnya rasio BOPO, tingkat pertumbuhan ekonomi, nilai tukar dan penerapan UU No.21/2008 tentang Perbankan Syariah merupakan faktor lain yang mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah. Beberapa implikasi dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah: 1. Kecenderungan bank konvensional membuka UUS dan akhirnya di-spin-off menjadi BUS mendapatkan justifikasi tanpa kekhawatiran terjadinya kanibalisasi nasabah karena kedua industri masih bersifat komplementer. 2. Bank Indonesia perlu segera menuntaskan dan memapankan studi tentang indeksasi Rate of Return Sektor Riil sebagai bagian dari kelengkapan infrastruktur untuk referensi bank syariah dalam menentukan tingkat bagi hasil sehingga kecenderungan co-movement antara RR dan IR semakin berkurang. 3. Walaupun struktur pasar terkonsentrasi, perilaku bank syariah tidak kolutif tetapi sangat bersaing dengan dasar efisiensi. Oleh karena itu untuk menilai tingkat persaingan, pendekatan struktural yang umum dilakukan (termasuk oleh KPPU) tidak cukup. Diperlukan pendalaman kajian persaingan secara non-struktural dan kajian perilaku. 4. Kesimpulan Efficient Structure Hypothesis pada industri perbankan syariah menunjukkan bahwa kekhawatiran KPPU terhadap Arsitektur Perbankan Indonesia yang mendorong proses merger dan akuisisi sehingga industri perbankan semakin terkonsentrasi tidak berdasar, paling tidak untuk industri perbankan syariah. 5. Konsentrasi pasar walaupun tidak bermasalah dalam persaingan ternyata menghambat pertumbuhan industri secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang mendorong pertumbuhan industri yang semakin mengurangi tingkat konsentrasi dengan mendorong bank-bank syariah kecil tumbuh lebih cepat dari bank besar. 6. Industri perbankan syariah sudah memenuhi necessary condition untuk persaingan secara syariah (terjadi persaingan yang tinggi berdasarkan efisiensi), tetapi belum cukup informasi untuk secara tegas menyimpulkan bahwa industri perbankan syariah bersaing karena kepatuhan terhadap landasan normatif atau karena tekanan contestability yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan kajian lanjutan berdasarkan data primer dari bank maupun persepsi konsumen dan diperlukan peran aktif Dewan Pengawas Syariah masing-masing bank serta Dewan Syariah Nasional untuk pro-aktif mengawasi perilaku bersaing ini (tidak hanya fokus pada kesyariahan produk dan proses internal).

Kata kunci: Bank Syariah, Struktur-Perilaku-Kinerja, Hipotesis Struktur Efisien, Model Panzar dan Rosse, Data Panel

vii

viii

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor

ix

x

DINAMIKA STRUKTUR PASAR DAN PERILAKU BANK SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

IDQAN FAHMI

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 xi

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. I r. Yusman Syaukat, M Ec Staf Pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Irfan Syauqi Beik, SP, MSc Staf Pengajar Program Studi Ekonomi Syariah, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Ir. Muhamad Nadratuzzaman Hosen, MS, MEc, PhD Bendahara Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Syariah Nasional MUI Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas YARSI

xii

Judul Disertasi

:

Dinamika Struktur Pas ar dan Perilak u Bank serta Dampaknya terhadap Kine rja I ndustri Perbankan Sya riah Indonesia

Nama Mahasiswa

:

Idqan Fahmi

Nomor Pokok

:

H.361064164

Program Studi

:

Ilmu Ekonomi Pertanian

Menye t uj ui, 1. Ko mis i Pe mbi mbi ng

Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc Ketua

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc Anggota

Dr. Ir. Harianto, MS Anggota

Menge ta hui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

Ta ngga l Uj ia n: 31 Ja nuar i 2012

Ta ngga l Pe nge sa ha n: xiii

xiv

KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas karunia ilmu, kekuatan dan kemauan untuk menjalankan proses penelitian dalam rangka penyelesaian Program S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB. Tanpa izin dan karuniaNya tidak mungkin rasanya pekerjaan berat ini dapat diselesaikan pada waktunya. Penelitian ini berjudul “Dinamika Struktur Pasar dan Perilaku Bank serta Dampaknya terhadap Kinerja Industri Perbankan Syariah Indonesia”.

Topik ini

dipilih karena perbankan syariah Indonesia merupakan laboratorium yang menarik bagi disiplin ilmu Ekonomi Industri mengingat umurnya yang masih muda dan dinamikanya masih sangat tinggi. Seperti halnya industri yang baru berkembang, tingkat pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia masih sangat tinggi. Namun demikian, pertumbuhan yang tinggi tersebut diperkirakan belum mencapai potensi terbaiknya mengingat Indonesia menjanjikan pasar yang sangat besar dengan status sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu menarik untuk dikaji faktor penyebab tidak maksimalnya pertumbuhan yang terjadi sehingga dapat diketahui strategi yang dapat dilakukan untuk mengakselerasinya. Disertasi ini merupakan dokumen hasil penelitian yang berkembang sejak kristalisasi ide sampai akhirnya menjadi sebuah Disertasi yang utuh. Dalam proses perkembangan tersebut banyak masukan terkait substansi yang diterima dari berbagai pihak. Untuk itu, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Ketua

Komisi Pembimbing Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec dan anggota Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec, dan Dr. Ir. Harianto, MS atas segala pengertian dan kontribusi masukannya untuk penyempurnaan Disertasi ini.

xv

Apresiasi juga dihaturkan kepada para penguji dan berbagai pihak yang telah memberikan diskusi yang bermanfaat bagi perbaikan kandungan Disertasi ini mulai dari saat ujian Prelim, Kolokium, Seminar, Ujian Tertutup sampai Ujian Terbuka. Apresiasi yang tsama disampaikan kepada Mutiara Probokawuryan, SE yang telah bersedia membantu mengumpulkan data dan mengolahnya pada tahap awal sehingga memudahkan bagi penulis untuk melanjutkan proses simulasi pengolahan sampai kepada bentuk model yang terbaik. Kepada Prof. Dr. Bonar M. Sinaga, MA sebagai Ketua Program Studi EPN, terima kasih atas kesediaan melakukan proses editing terakhir, terutama terkait dengan format sehingga Disertasi ini menjadi lebih enak untuk dibaca. Selain masalah substansi, penulis sangat terbantu oleh staf di Sekretariat PS EPN untuk urusan yang bersifat administratif. Demikian juga kolega di MB-IPB dan Departemen IE FEM yang telah bersedia mengambil alih sementara tugas dan beban kerja penulis selama puncak proses penulisan Disertasi ini. Secara khusus, terima kasih kepada isteri dan ananda tercinta yang telah dengan sabar mendukung proses penyelesaian penulisan Disertasi ini dengan doá, hiburan dan dukungan semangatnya. Semoga Allah SWT melimpahkan ganjaran berlipat kepada Bapak dan Ibu yang telah berkontribusi dalam proses penelitian ini. Terlepas dari masukan dari berbagai pihak di atas, segala kekurangan tetap menjadi tanggung jawab peneliti sendiri. Mudah-mudahan disertasi ini berguna bagi dunia akademik, industri perbankan syariah dan para pemangku kepentingannya secara luas. Bogor, Februari 2012 Idqan Fahmi

xvi

RIWAYAT HIDUP Penulis, Idqan Fahmi, adalah anak ke tiga dari tujuh bersaudara yang dilahirkan di Perbaungan, Sumatera Utara pada tanggal 11 Nopember 1963 dari ayahanda Drs. H. Mohd. Kasim Inas (Alm.) dan ibunda Hj. Ramlah Yatimie. Penulis menikah dengan Ir. Hj. Agusnizar Saleh, Dipl.SLT dan dikaruniai seorang putri Nisrina Nur Zhalila. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri 2 Pasar Bengkel, Perbaungan, SMP 1 UNIVA Medan, dan SMA Negeri 6 Medan. Pendidikan S1 ditempuh di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian mulai tahun 1982. Pada tahun 1989, penulis mendapatkan beasiswa IDP untuk melanjutkan studi Postgraduate Diploma in Agricultural Economics dan Master in Agricultural Economics and Business Management pada University of New England, Armidale – Australia sampai tahun 1991. Tahun 1997 sempat mendapatkan beasiswa NZODA untuk melanjutkan studi S3 dalam bidang Applied and Internatinal Economics di Massey University, Palmerston North New Zealand tetapi tidak selesai. Akhirnya penulis meneruskan studi S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Institut Pertanian Bogor mulai tahun 2007. Penulis pada saat ini bekerja sebagai staf pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi - Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor sejak tahun 1988-sekarang. Selain itu, penulis juga sedang ditugaskan sebagai Sekretaris Direktorat Akademik dan Kemahasiswaan, Program Pascasarjana Majajemen dan Bisnis – Institut Pertanian Bogor (MB-IPB).

xvii

xviii

DAFTAR ISI DAFT AR TABEL .......................................................................................... xxiii DAFT AR GAMBAR ...................................................................................... xxiv DAFT AR LAMPIRAN ..................................................................................... xxv I.

PENDAHULUAN ...........................................................................................

1

1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah Penelitian ............................................................ 5 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 10 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................... 11 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 12 II.

PERSAINGAN PASAR DAN PERTUMBUHAN INDUSTRI: SEBUAH KAJIAN TEORI .............................................................................. 15 2.1. Teori SCP dan Perkembangannya ..................................................... 15 2.1.1. Pengertian Komponen SCP ..................................................... 16 2.1.2. Interaksi antar Komponen SCP .............................................. 19 2.2. Penerapan SCP pada Industri Perbankan ......................................... 21 2.3. Konsep Perbankan Syariah ................................................................ 23

III.

TINGKAT PERSAINGAN DAN PERTUMBUHAN PERBANKAN SYARIAH: KAJIAN PENELITIAN TERDAHULU DAN KERANGKA PEMIKIRAN ........... 31 3.1. SCP pada Industri Perbankan ............................................................. 31 3.2. SCP pada Industri Perbankan Syariah ............................................... 36 3.3. SCP pada Industri Perbankan Syariah Indonesia ............................. 39 3.4. Kerangka Pemikiran Penelitian .......................................................... 45

IV.

METODE PENELITIAN .................................................................................... 50 4.1. Hipotesis Penelitian .............................................................................. 50 4.2. Model Analisis ....................................................................................... 51 4.2.1. Model Umum ............................................................................. 51 4.2.2. Model Empiris ........................................................................... 52

xix

4.3. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 60

V.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data .............................................

62

GAMBARAN UMUM STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH INDONESIA .......................................

65

5.1. Sejarah Perkembangan Industri Perbankan Syariah di Indonesia ... 66 5.2. Perkembangan Regulasi Industri Perbankan Syariah ...................... 68 5.3. Dinamika Struktur Pasar Perbankan Syariah Indonesia .................. 70 5.4. Dinamika Perilaku Bank Syariah Indonesia ....................................... 72 5.5. Kinerja Industri Perbankan Syariah Indonesia ................................. 77 VI.

DINAMIKA STRUKTUR PASAR DAN TINGKAT PERSAINGAN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH INDONESIA .......................................................... 81 6.1 Batasan Pasar Perbankan Syariah ....................................................... 81 6.2 Hubungan Struktur Pasar dan Tingkat Keuntungan .......................... 86 6.3 Tingkat Persaingan Industri Perbankan Syariah Indonesia ..............

VII.

89

DETERMINAN PERTUMBUHAN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA ....................................................... 95 7.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Industri ................. 95 7.2 Beberapa Implikasi .................................................................................. 99 7.2.1 Implikasi terhadap Bank Syariah ................................................. 99 7.2.2 Implikasi terhadap Industri ........................................................ 101 7.2.3 Implikasi terhadap Regulator dan Pengawas ......................... 102 7.3 Prosedur Pengujian Tingkat Kepatuhan terhadap Prinsip Persaingan Islami: Sebuah Proposal ................................................. 105

VIII.

7.3.1 Uji Syarat Keharusan ...............................................................

105

7.3.2 Uji Syarat Kecukupan ...............................................................

108

KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 111 8.1 Kesimpulan ........................................................................................... 111 8.2 Saran ...................................................................................................... 113

xx

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

115

LAMPIRAN ...................................................................................................

121

xxi

xxii

DAFTAR TABEL Nomor 1.

Halaman

Perbandingan Nilai dan Pertumbuhan Aset Perbankan Syariah dengan Perbankan Konvensional di Indonesia Tahun 2000-2010 ..............................

4

2.

Perbedaan Perbankan Syariah dan Perbankan Konvensional ....................... 27

3.

Ringkasan Beberapa Penelitian Empiris Tentang SCP Perbankan Syariah yang Relevan dengan Penelitian .................................................................... 41

3.

Lanjutan

4.

Jumlah dan Nama Bank serta Jumlah Observasi yang Digunakan dalam Model .................................................................................................. 61

5.

Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2000-2010 .......................................................................................... 71

6.

Perkembangan Nilai Deposit, Pembiayaan dan Rasio Finance to Deposit (FDR) Perbankan Syariah Periode 2000-2010 ............................................... 78

7.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah ......................................................................................... 82

8.

Perbedaan Konstanta Masing-masing Bank yang Termasuk dalam Model .... 85

9.

Ringkasan Hasil Estimasi Hubungan Struktur Pasar dengan Tingkat Keuntungan Perbankan Syariah ........................................................ 87

10.

Hasil Estimasi Persamaan ROA dengan Seluruh Variabel Independen yang Digunakan pada Persamaan P-R .................................................................. 90

11.

Hasil Estimasi Model P-R Industri Perbankan Syariah Indonesia ................. 92

12.

Hasil Estimasi Variabel yang Mempengaruhi Pertumbuhan Industri Perbankan Syariah di Indonesia dengan Variabel Terikat LnAset Bank ........ 96

....................................................................................................... 42

xxiii

DAFTAR GAMBAR Nomor

Halaman

1.

Kerangka Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja dalam Organisasi Industri ... 19

2.

Model Lima Kekuatan Porter ......................................................................... 22

3.

Kerangka Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja dalam Organisasi Industri untuk Industri Perbankan ................................................................................ 24

4.

Kerangka Pemikiran Penelitian ....................................................................... 46

5.

Kecenderungan Perubahan CR2 dan Pangsa Pasar Dua Bank Terbesar, BSM dan BMI Periode 2005-2010 ................................................................... 72

6.

Perbandingan Pergerakan Rate of Return Perbankan Syariah dengan Pergerakan Tingkat Bunga Perbankan Konvensional Periode Tahun 2005-2010 ........................................................................................... 74

7.

Kecenderungan Persentase Pembiayaan Berdasarkan Skema, Tahun 2005-2010 .................................................................................. 76

8.

Rasio BOPO Dua Bank Syariah Terbesar dan Rata-rata Industri Periode 2005-2010 ........................................................................................................ 79

9.

Proposal Tahapan dan Prosedur Uji Kepatuhan Industri terhadap Persyaratan Syariah dalam Persaingan ........................................................ 106

xxiv

DAFTAR LAMPIRAN Nomor

Halaman

1.

Database Panel Industri Perbankan Syariah yang Digunakan ..............

123

2.

Hasil Olahan Eviews untuk Persamaan DPK ........................................

128

3.

Hasil Olahan Eviews untuk Empat Persamaan ROA ...........................

129

4.

Hasil Olahan Eviews untuk Persamaan Total Revenue untuk Perhitungan H-Statistic .........................................................................

134

Hasil Olahan Eviews untuk Persamaan Pertumbuhan Industri (Total Aset) ...........................................................................................

137

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ..................................................................................................

138

5. 6.

xxv

DINAMIKA STRUKTUR PASAR DAN PERILAKU BANK SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

DISERTASI

IDQAN FAHMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

1 I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Industri perbankan memainkan peranan yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara. Dengan fungsi intermediasi yang dijalankannya, perbankan mengumpulkan dana dari masyarakat

untuk disalurkan ke dalam

perekonomian dalam bentuk investasi dan pemanfaatan lain yang lebih produktif. Selain itu, bank menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang efisien bagi masyarakat dalam aktivitas mereka sehari-hari. Dengan demikian, kinerja perekonomian suatu negara tidak dapat dilepaskan dari kinerja industri perbankan dalam suatu negara tersebut (Mishkin, 2004). Bank yang sudah dikenal sejak akhir abad ketujuhbelas di Inggeris, diperkenalkan di Indonesia pertama kali pada tahun 1828 oleh Hindia Belanda untuk memperlancar perdagangan hasil bumi di dalam negeri maupun ekspor ke luar negeri. Sejak itu, industri perbankan berkembang menjadi bentuknya yang ada sekarang setelah melalui berbagai tahapan penting sejalan dengan perkembangan politik dan ekonomi Indonesia. Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 misalnya menyebabkan terjadinya nasionalisasi berbagai bank milik Belanda. Bank swasta dan bank pemerintah juga sejak itu terus berkembang sehingga mencapai aset lebih dari 3000 Triliun pada akhir tahun 2010 (BI-SPI, 2011). Terlepas dari berbagai tahapan perkembangan yang dilalui oleh industri perbankan Indonesia sejak awal berdirinya pada zaman Hindia Belanda, sistem perbankan yang digunakan pada dasarnya tetap sama yaitu sistem yang dikenal sebagai sistem konvensional. Sistem bunga memegang peranan sentral dalam

2 rancangan berbagai produk dan aktivitas perbankan dalam sistem ini. Walaupun sistem perbankan konvensional telah terbukti mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara dan dunia, sejarah juga mencatat berbagai krisis ekonomi yang berakar pada sistem perbankan yang digunakan. Regulasi ketat yang diterapkan untuk mengantisipasi terjadinya berbagai dampak negatif yang melekat pada sistem yang digunakan ternyata tidak cukup kuat untuk mencegah terjadinya berbagai krisis tersebut. Sejak tahun 1992, perkembangan industri perbankan di Indonesia mencatat sejarah baru perkembangan perbankan di Indonesia. Pada tahun tersebut berdiri Bank Muámalat sebagai bank dengan dasar syariah Islam yang pertama. Sistem perbankan islam yang di Indonesia dikenal dengan perbankan syariah ini diinisiasi sebagai antitesa terhadap berbagai kelemahan yang dimiliki oleh

sistem

perbankan

konvensional,

sekaligus

untuk

mengakomodasi

permintaan dari segmen umat Islam yang selama ini tidak nyaman bertransaksi dengan sistem perbankan konnensional. Perbankan syariah di Indonesia dapat dikatakan berkembang agak terlambat dibandingkan dengan perkembangan di negara lain seperti Malaysia dan negara-negara Timur Tengah.

Perbankan syariah di beberapa negara

tersebut sudah berkembang satu dekade lebih awal dan ternyata menunjukkan perkembangan yang sangat cepat sehingga pada saat ini sudah menguasai pangsa pasar cukup signifikan dalam perekonomian. Berkaca dari pengalaman negara lain yang telah terlebih dahulu mengembangkan perbankan syariah, tidak berlebihan jika Indonesia merasa optimistis bahwa perbankan syariah di Indonesia juga akan tumbuh dengan pesat, bahkan lebih baik dari negara lain yang sudah lebih dahulu. Hal ini tergambar dari berbagai target tinggi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan

3 para pemangku kepentingan perbankan syariah untuk dicapai pada berbagai tahapan periode. Untuk jumlah aset, misalnya, BI menargetkan perbankan syariah sudah dapat mencapai pangsa pasar lima persen pada akhir tahun 2008. Target optimistis perbankan syariah di Indonesia bukan tanpa justifikasi mengingat Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi sangat besar untuk berkembangnya industri perbankan syariah. Sampai sensus penduduk tahun 2010, Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Dengan persentase 85.1 persen dan jumlah total penduduk sekitar 240 juta, maka jumlah umat Islam di Indonesia mencapai lebih dari 202 juta orang. Jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Selain jumlah penduduk muslim, sektor rill yang bernuansa Islam atau mempraktekkan prinsip syariah Islam juga sudah sejak lama berkembang pesat. Rumah Sakit, Sekolah dan banyak perdagangan serta kegiatan sektor riil yang berlabel Islam

logikanya menuntut sistem

pendanaan dan transaksi yang sejalan, yaitu yang didasari prinsip syariah. Namun demikian, berbagai lembaga dan kegiatan ekonomi yang bernuansa syariah ini sebelum didirikannya perbankan syariah terpaksa bertransaksi dengan perbankan konvensional yang pada dasarnya tidak sepenuhnya sesuai. Masyarakat dan kegiatan seperti ini sejatinya akan otomatis berpindah ke perbankan syariah sebaik layanan tersedia. Data pada Tabel 1 memperlihatkan ternyata memang perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dan umumnya lebih tinggi dari ratarata pertumbuhan perbankan konvensional. Laju pertumbuhan aset perbankan syariah selalu mencatat angka double digit, bahkan jarang sekali lebih rendah dari 30 persen sehingga aset yang hanya berjumlah Rp. 1.8 Trilyun pada tahun 2000 berkembang menjadi Rp. 97.5 Trilyun sepuluh tahun kemudian. Nilai aset

4 ini hampir mengejar tingkat aset perbankan syariah di Malaysia yang telah berdiri satu dekade lebih awal. Sementara itu, perbankan konvensional tidak pernah mencapai laju pertumbuhan 20 persen bahkan tidak jarang hanya single digit. Namun karena jumlah aset yang sudah sangat besar, pertumbuhan perbankan konvensional yang relatif lebih kecil tersebut tetap menghasilkan angka nominal yang sangat besar dibandingkan angka nominal peetumbuhan aset perbankan syariah. Kecenderungan nasional di atas sejalan dengan pertumbuhan di tingkat internasional. Industri perbankan syariah menjadi industri yang mengalami pertumbuhan tercepat (Vayanos et al., 2008).

IMF bahkan meramalkan aset

perbankan syariah dunia akan mencapai US$ 1 Trilyun pada tahun 2016 dengan pertumbuhan rata-rata 10-15 persen per tahun. Pertumbuhan yang relatif tinggi tersebut diduga karena semakin meningkatnya permintaan dari umat Islam sendiri, investor non-muslim yang mencari alternatif sistem perbankan yang lebih adil dan besarnya pendapatan minyak dari Timur Tengah (Rohilina dan Wibisono, 2011). Tabel 1. Perbandingan Nilai dan Pertumbuhan Aset Perbankan Syariah dengan Perbankan Konvensional di Indonesia Tahun 2000-2010 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Konvensio nal (M Rp) 1 039 855 1 099 699 1 112 204 1 213 518 1 272 081 1 469 827 1 693 850 1 986 501 2 310 557 2 534 106 3 008 853

Growth (%) 5.76 1.14 9.11 4.83 15.55 15.24 17.28 16.31 9.68 18.73

Syariah (M Rp) 1 794 2 728 4 087 7 944 15 210 20 880 26 722 33 016 49 555 66 090 97 519

Growth (%) 52.06 49.82 94.37 91.47 37.28 27.98 23.55 50.09 33.37 47.55

Sumber: Diolah dari Statistik Perbankan Indonesia BI, Berbagai tahun.

Pangsa Syariah (%) 0.17 0.25 0.37 0.65 1.20 1.40 1.55 1.63 2.10 2.54 3.14

5 1.2. Perumusan Masalah Penelitian Terlepas dari tingginya pertumbuhan industri perbankan syariah di Indonesia, ada beberapa indikasi yang mendasari dugaan bahwa laju pertumbuhan

tersebut masih berada di bawah potensi terbaiknya.

Dugaan

potensi pasar yang besar dan masih belum tergali sangat berdasar karena Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Praktek ekonomi yang bernuansa atau didasarkan pada syariah Islam juga telah berkembang lama di tengah-tengah masyarakat, bahkan lebih lama dari mulai dikembangkannya industri perbankan syariah itu sendiri. Oleh karena itu, wajar jika diperkirakan perkembangan perbankan syariah akan disambut dengan antusias oleh masyarakat Indonesia. Pada sisi lain, perbankan konvensional sudah berkali-kali menunjukkan kerentanannya dalam menghadapi situasi krisis. Hal ini menyebabkan masyarakat, muslim maupun non-muslim, mencari alternatif perbankan dengan sistem yang lebih aman dan menenteramkan (adil). Perbankan syariah tampil menawarkan konsep alternatif yang dibutuhkan. Dengan logika tersebut, ditambah dengan pengalaman berbagai negara yang terlebih dahulu mengembangkan perbankan syariah serta kecenderungan laju pertumbuhan di tingkat dunia, maka tidak berlebihan jika Bank Indonesia sempat menargetkan pangsa pasar perbankan syariah akan mencapai 5 persen pada akhir tahun 2008. Pada kenyataannya, seperti yang terlihat pada Tabel 1, perbankan syariah baru bisa menembus pangsa pasar sedikit di atas 3 persen pada akhir tahun 2010. Walaupun secara nominal pertumbuhan aset industri perbankan syariah sangat tinggi, tetapi laju pertumbuhan pangsa pasarnya sangat lambat. Pertumbuhan pangsa perbankan syariah bahkan sempat menurun cukup tajam

6 dari tahun 2005 sampai tahun 2007 sebelum kembali meningkat. Hal ini menyebabkan

cita-cita

awal

Indonesia

untuk

mengembangkan

industri

perbankan dengan dual-system, masih jauh dari harapan. Tingkat pangsa pasar yang masih sangat kecil tersebut belum cukup signifikan bagi industri perbankan syariah untuk mengklaim sebagai alternatif bagi sistem perbankan yang sudah ada. Tantangan ke depan untuk mempercepat peningkatan penguasaan pasar diperkirakan tidak semakin mudah (Fahmi, 2010). Pada saat awal perbankan syariah didirikan sebagian besar nasabah masih merupakan syariah loyalist yang tidak menjadikan perbankan konvensional sebagai alternatif sehingga tingkat persaingan yang dihadapi masih relatif rendah. Dengan semakin berkembangnya perbankan syariah dan semakin meluasnya segmen masyarakat yang menjadi nasabah, maka persaingan yang dihadapi oleh masing-masing bank syariah menjadi semakin tinggi.

Selain harus bersaing ketat dengan sesama bank

syariah, perbankan syariah juga berhadapan dengan nasabah yang mempunyai permintaan yang semakin elastis karena masih menjadi nasabah perbankan konvensional. Dengan kata lain, market boundary industri perbankan syariah menjadi meluas dengan juga harus menghadapi perbankan konvensional yang mempunyai sejarah dan pengalaman jauh lebih tua. Dalam hal ini, diduga banyak perbankan syariah akan tertinggal dalam hal kemampuan memberikan pelayanan atau fleksibilitas dalam memenuhi berbagai kebutuhan nasabah yang ‘mengambang’ tersebut. Pertanyaan besar dari fakta yang terlihat anomali di atas adalah kenapa industri perbankan syariah belum mampu mengkonversi potensi pasar yang diduga demikian besar menjadi pasar yang riil secara cepat?

Belajar dari

pengalaman negara yang telah mampu mencapai pangsa yang cukup signifikan

7 seperti Malaysia dan negara-negara Timur Tengah, lingkungan eksternal yang kondusif sangat membantu percepatan (Vayanos et al., 2008). Malaysia dapat mencapai tingkat pangsa seperti sekarang karena tingkat keberpihakan yang sangat tinggi dari pemerintahnya kepada perbankan syariah. Keberpihakan tersebut dapat berbentuk penyiapan lingkungan regulasi yang kondusif maupun pendanaan

langsung.

Negara-negara

Timur

Tengah

diuntungkan

oleh

tersedianya dana dari minyak yang berlimpah sebagai sumber pertumbuhan pendanaan perbankan syariah. Kedua alasan yang dirasakan oleh Malaysia dan Timur Tengah sayangnya tidak dimiliki oleh Indonesia. Perbankan Syariah Indonesia pada awalnya berkembang dengan usaha sendiri. Keberpihakan pemerintah baru mengikuti belakangan dengan terus memfasilitasi dalam bentuk berbagai peraturan dan perundangan. Indonesia terkesan tidak proaktif dalam menyediakan berbagai fasilitas dan perundangan yang dibutuhkan oleh industri. Mengingat privelege yang dialami oleh pelaku perbankan syariah berbagai negara lain dari lingkungan maupun pemerintahnya, maka tidak berlebihan kalau industri perbankan syariah Indonesia juga mengharapkan dukungan yang sama dari pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan yang diharapkan.

Dalam hal ini industri perbankan syariah mencatat berbagai

keberhasilan dalam melakukan lobi kepada pemerintah seperti dikeluarkannya UU perbankan syariah No.21 Tahun 2008, yang merupakan penyempurnaan dasar yang sebelumnya tidak secara spesifik diatur dan hanya merupakan bagian dari UU Perbankan No. 7/1992 dan UU No. 10/1998. Pengenaan pajak berganda pada transaksi murabahah yang sebelum tahun 2010 membuat Bank Syariah terbebani juga sudah ditiadakan oleh pemerintah.

Secara struktural

Bank Indonesia sudah mengelevasi pengurusan perbankan syariah ke tingkat Direktorat

sehingga produk-produk Bank Indonesia semakin banyak yang

8 mengakomodasi keperluan perbankan syariah. Pada level masyarakat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara eksplisit mengeluarkan fatwa haramnya bunga bank pada tahun 1995. Industri dan masyarakat juga mendirikan berbagai lembaga seperti Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) untuk turut melakukan edukasi masyarakat dalam rangka mendorong laju pertumbuhan ekonomi syariah secara umum dan perbankan syariah secara khusus. Berbagai dukungan eksternal industri yang telah dilakukan ternyata belum cukup untuk mengangkat pertumbuhan industri ke tingkat yang dikehendaki. Pertanyaan yang muncul dari fakta ini adalah seberapa penting sebenarnya peran dukungan faktor eksternal terhadap pertumbuhan industri perbankan syariah. Selain lingkungan makro dan kebijakan pemerintah, peran perilaku konsumen juga diperkirakan merupakan faktor eksternal yang belum sepenuhnya dipahami dan diantisipasi oleh industri perbankan syariah. Jumlah penduduk muslim yang besar ternyata tidak otomatis dapat dikonversi secara langsung menjadi nasabah perbankan syariah.

Ratusan tahun interaksi masyarakat

dengan perbankan konvensional menyebabkan diperlukan upaya sistematis yang didasarkan pada riset yang kuat untuk mengkonversi potensi yang besar tersebut menjadi nasabah yang riil. Berbagai upaya telah dilakukan untuk itu, tetapi informasi yang didasari oleh riset yang kokoh masih belum banyak tersedia. Bagaimanapun kondusifnya lingkungan eksternal untuk pertumbuhan industri perbankan syariah, tetap saja karakter faktor eksternal adalah tidak sepenuhnya di bawah kendali industri. Faktor yang lebih berada di bawah kendali tentu saja adalah faktor internal industri yang dapat dimodifikasi untuk merespon berbagai perkembangan eksternal dalam rangka untuk mencapai tujuan.

9 Disinilah dinamika struktur pasar perbankan syariah dan perilaku masing-masing bank maupun perbankan secara industri menjadi sangat menentukan kinerja industri secara keseluruhan. Paradigma Structure-Conduct-Performance (SCP) merupakan salah satu pendekatan dalam Ekonomi Industri yang banyak digunakan untuk menganalisa dinamika suatu industri. Namun untuk dapat menggunakan pendekatan ini secara valid, terlebih dahulu harus jelas batasan pasar dari industri yang akan dianalisa. Hal ini penting untuk diklarifikasi dalam kasus industri perbankan syariah karena pangsanya yang masih kecil dan pesaing utamanya, perbankan konvensional, sudah mempunyai sejarah panjang melayani masyarakat dan mempunyai pangsa pasar yang sangat dominan. Setelah batasan pasar jelas, barulah analisis persaingan yang terjadi dalam industri dapat dianalisa. Tingkat persaingan dan berbagai faktor lain yang relevan kemudian perlu dikaji pengaruhnya terhadap pertumbuhan industri sebelum berbagai implikasi dan strategi untuk mengakselerasi pertumbuhan industri perbankan syariah dapat dirumuskan secara baik. Secara akademis, dinamika industri perbankan syariah di Indonesia merupakan laboratorium yang menarik untuk dikaji karena masih dalam periode awal pertumbuhan. Pada saat-saat awal pertumbuhan, perbankan syariah mungkin menikmati masa-masa menjadi perusahaan dominan baik karena masih sedikitnya kompetitor maupun oleh karakter nasabah yang masih termasuk idiologis. Semakin berkembangnya industri diperkirakan akan mengurangi kekuatan pasar yang dimiliki oleh perbankan sedikit demi sedikit dengan semakin banyaknya

perbankan

pesaing

dan

pada

saat

yang

sama

semakin

mengambangnya nasabah perbankan syariah. Nasabah yang diperebutkan tidak lagi mereka yang secara idiologis akan loyal kepada perbankan syariah saja,

10 tetapi juga mereka yang pragmatis masih tetap bertransaksi dengan bank konvensional. Dengan kata lain market boundary dari perbankan syariah tidak hanya terbatas pada industri perbankan syariah saja, melainkan sudah meluas kepada industri perbankan secara keseluruhan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka masalah yang akan dikaji pada penelitian ini adalah: 1.

Apakah industri perbankan syariah merupakan industri yang terpisah dengan industri perbankan konvensional?

2.

Bagaimana hubungan struktur pasar dengan tingkat keuntungan bank syariah?

3.

Bagaimana tingkat persaingan industri perbankan syariah?

4.

Apa faktor-faktor yang menjadi determinan tingkat pertumbuhan industri perbankan syariah?

5.

Apa implikasi kebijakan bagi pelaku industri maupun pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan industri perbankan syariah di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan pilihan kebijakan yang dapat digunakan oleh industri perbankan syariah maupun pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan industri perbankan syariah. Tujuan umum tersebut akan dicapai dengan secara bertahap mencapai beberapa tujuan antara sebagai berikut: 1.

Menganalisa batas pasar (market boundary) industri perbankan syariah.

2.

Menganalisa hubungan struktur pasar dengan kinerja industry perbankan syariah Indonesia.

3.

Menganalisa tingkat persaingan dalam industri perbankan syariah Indonesia.

11 4.

Menganalisa faktor-faktor yang menjadi determinan tingkat pertumbuhan industri perbankan perkembangan syariah Indonesia.

5.

Merumuskan pilihan implikasi kebijakan bagi industri perbankan syariah dan pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan industri perbankan syariah Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi industri perbankan syariah untuk merumuskan berbagai strategi untuk meningkatkan laju pertumbuhan industri secara keseluruhan.

Strategi yang dapat dirumuskan dapat berupa

strategi individual di tingkat masing-masing perusahaan ataupun strategi yang dapat dikerjasamakan di tingkat industri. Dalam hal strategi yang dirumuskan berada di luar kendali perusahaan atau industri, maka pilihan strategi dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang dapat mengakselerasi pertumbuhan industri syariah ke depan. Implikasi kebijakan ini dapat berupa affirmative action yang diperlukan ataupun intervensi kebijakan yang tidak diperlukan agar tidak mengganggu laju pertumbuhan yang terjadi. Mengingat belum banyaknya studi Struktur-Perilaku-Kinerja di industri perbankan syariah, kajian ini diharapkan memperkaya khasanah koleksi kajian ekonomi industri dalam sektor yang relatif baru ini. Masih relatif mudanya umur industri perbankan syariah ini menyebabkan berbagai keterbatasan terhadap upaya kajian yang ingin dilakukan. Keterbatasan data yang tersedia memberikan tantangan

tersendiri

dalam

merumuskan

model

yang

digunakan

dan

menginterpretasi hasil yang diperoleh. Terlepas dari berbagai keterbatasan yang

12 ada, kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dinamika sebuah industri pada tahapan dua dekade awal pertumbuhannya. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Karena terbatasnya data time series yang tersedia, maka dalam penelitian ini akan digunakan metode ekonometrika yang diterapkan terhadap panel data. Sebagai akibatnya, tidak seluruh data dapat digunakan. Beberapa tahapan awal terpaksa dihilangkan, demikian juga beberapa perbankan yang baru berdiri untuk mendapakan panel yang seragam.

Hal ini menyebabkan

beberapa informasi penting akan luput dari tangkapan model yang dirumuskan. Katerbatasan ini akan dicoba untuk diatasi semaksimal mungkin dengan analisis kualitatif. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder sehingga tidak seluruhnya variabel yang diukur dapat diukur sesuai dengan konsep yang ideal. Berbagai upaya manipulasi variabel akan digunakan untuk menghasilkan variabel yang dapat menjadi proksi variabel yang diinginkan. Variabel-variabel perilaku pasar khususnya akan memberi tantangan sendiri untuk dapat dirumuskan dengan data sekunder yang tersedia. Bagaimanapun hasilnya, penelitian lanjutan dengan menggunakan data primer diperkirakan akan menjadi pelengkap yang sangat berharga baik untuk menegaskan, memperkaya atau menjawab berbagai aspek yang tidak dapat dijangkau oleh model dan data yang digunakan dalam penelitian ini. Keterbatasan data juga yang menyebabkan ruang lingkup perbankan yang dianalisa pada penelitian ini hanya mencakup kategori Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) tidak dimasukkan dengan justifikasi paling tidak hal. Pertama, BPRS mempunyai

13 karakteristik operasional yang berbeda dengan BUS dan UUS. BPRS tidak dapat memberikan pelayanan jasa dalam lalu lintas pembayaran atau transaksi dalam lalu lintas giral seperti halnya BUS dan UUS. Kedua, pangsa pasar BPRS dalam industri perbankan syariah masih sangat kecil, yaitu hanya 2.7 persen dari total industri perbankan syariah, sehingga diperkirakan tidak akan terlalu mengganggu gambaran keseluruhan industri jika diabaikan. Ketiga, data yang tersedia untuk BPRS tidak selengkap yang tersedia untuk BUS dan UUS sehingga tidak akan terlalu banyak membantu meningkatkan kualitas dan kuantitas data panel yang diperlukan dalam penelitian. Terkahir, walaupun segmen pasar yang digarap oleh BPRS dan BUS serta UUS sebagian besar adalah sama-sama UMKM, namun diperkirakan nasabah UMKM yang digarap oleh BUS dan UUS tidak sepenuhnya berimpit dengan nasabah yang digarap oleh BPRS. Keterbatasan terakhir dari penelitian ini adalah dalam hal implikasi kebijakan yang dirumuskan.

Pilihan yang dirumuskan sifatnya hanya berupa

masukan yang perlu dikaji lebih dalam untuk menjadi kebijakan akhir. Strategi untuk tingkat perusahaan, misalnya, tentu saja harus mempertimbangkan kondisi internal dan keragaman yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Demikian juga untuk pemerintah, kebijakan yang dirumuskan perlu mempertimbangkan dampak lebih makro dari kebijakan yang ditujukan untuk industri perbankan syariah.

14

15 II. PERSAINGAN PASAR DAN PERTUMBUHAN INDUSTRI: SEBUAH KAJIAN TEORI

Prinsip mikroekonomi yang menjadi dasar organisasi industri menyatakan bahwa

persaingan

merupakan

keharusan

untuk

mencapai

tingkat

kesejahteraan yang maksimal bagi masyarakat, kecuali untuk beberapa kasus khusus seperti monopoli alami. Persaingan sempurna dalam jangka panjang memastikan produk yang dihasilkan akan berada pada titik efisiensi alokatif dan efisiensi produktif tertinggi.

Oleh karena itu, pasar harus diupayakan agar

mempunyai atau menerapkan tingkat persaingan yang sesempurna mungkin untuk menghasilkan kinerja industri yang terbaik. Paradigma Struktur-Perilaku dan Kinerja (SCP) merupakan pendekatan umum yang telah banyak digunakan untuk mengkaji hubungan dinamika persaingan suatu industri dengan kinerjanya. Awalnya paradigma ini digunakan untuk industri manufaktur, namun dalam perkembangannya paradigma yang sama juga digunakan untuk industri jasa seperti perbankan. Pada Bab ini akan disajikan pengertian paradigma SCP dan

perkembangannya sejalan dengan

perkembangan kajian empiris terhadap konsep awalnya. Setelah perkembangan secara umum, penerapan SCP pada industri jasa, khususnya industri perbankan, akan diulas lebih dalam pada bagian tersendiri. Bab ini akan diakhiri dengan uraian tentang konsep perbankan syariah dan perbedaannya dengan perbankan konvensional serta implikasinya terhadap konsep persaingan yang Islami. 2.1. Teori SCP dan Perkembangannya Paradigma SCP pada awalnya merupakan salah satu pendekatan dalam mengkaji pembentukan organisasi industri. Namun dalam perkembangannya kerangka SCP telah menjadi kerangka umum pendekatan kajian organisasi

16 industri (Carlton dan Perloff, 2000). Model-model mikroekonomi digunakan untuk menjelaskan berbagai interaksi yang kompleks antar komponen dalam kerangka SCP. Model mikroekonomi yang berlaku dapat berbeda antara satu industri dengan industri lainnya sehingga model mana yang berlaku lebih merupakan masalah empiris. 2.1.1. Pengertian Komponen SCP Pendekatan SCP pertama kali diperkenalkan oleh Edward S. Mason dan dikembangkan oleh muridnya Joe S. Bain dari Harvard University pada tahun 1940an dan 1950an. Pendekatan yang dikenal dengan pendekatan strukturalis ini mempunyai postulat bahwa Kinerja (P) secara linier ditentukan oleh Perilaku (C) perusahaan yang berada dalam suatu industri dan perilaku ditentukan oleh Struktur Pasar (S) dimana perusahaan itu berada. Struktur pasar adalah bentuk pasar yang mempengaruhi tingkat persaingan yang terjadi dalam suatu industri. Untuk pasar produk, struktur pasar dikenal mulai dari kondisi yang paling bersaing karena terdiri dari banyak penjual dan pembeli (pasar bersaing sempurna) sampai ke bentuk yang paling tidak bersaing karena hanya ada satu penjual (monopoli). Namun demikian tidak banyak pasar yang dapat digolongkan ke dalam dua bentuk struktur pasar yang ekstrim tersebut. Kebanyakan industri masuk ke dalam bentuk pasar oligopoli dan persaingan monopolistik. Pada kedua bentuk pasar terakhir ini, dinamika persaingan sangat tinggi sehingga masing-masing perusahaan harus kreatif merancang strategi agar dapat bertahan di pasar. Indikator utama yang digunakan untuk menentukan struktur pasar adalah jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk bagi perusahaan baru dan hambatan keluar bagi perusahaan incumbent, diferensiasi dan diversifikasi

17 produk. Jumlah penjual dan pembeli biasanya diukur dengan konsentrasi penjual baik dengan menggunakan rasio konsentrasi beberapa perusahaan terbesar maupun indeks Herfindhal-Hirschman. Hambatan masuk merupakan berbagai kekuatan yang menciptakan disadvantage bagi calon pesaing yang ingin masuk ke dalam industri. Hambatan masuk dapat bersifat legal seperti hak paten maupun aturan pemerintah atau dapat juga berbentuk berbentuk skala usaha yang besar untuk mendapatkan keuntungan. Jika perusahaan incumbent mempunyai keunggulan biaya, strategi penetapan harga dapat digunakan untuk menghambat calon pesaing masuk ke dalam industri dengan cara menetapkan harga yang memaksa perusahaan baru harus beroperasi pada tingkat harga rugi. Strategi ini disebut dengan limit pricing.

Besarnya skala usaha selain dapat

berfungsi sebagai hambatan masuk juga dapat sekaligus berfungsi hambatan keluar bagi perusahaan incumbent. Diferensiasi produk merupakan salah satu unsur penting dalam struktur pasar, khususnya pasar persaingan monopolistik. Diferensiasi ini juga yang menentukan market boundary dengan produk pesaingnya. Semakin terdifrensiasi produk suatu industri atau perusahaan, semakin besar kekuatan yang dimiliki oleh industri atau perusahaan tersebut terhadap konsumen.

Diversifikasi menggambarkan keragaman produk yang

ditawarkan oleh industri yang dapat berfungsi sebagai pengurang resiko yang dihadapi oleh perusahaan. Pembentukan struktur pasar dipengaruhi oleh interaksi antara kondisi permintaan dan penawaran produk yang diusahakan dalam industri. Kondisi permintaan dan penawaran seperti elastisitas harga, keberadaan barang substitusi, pertumbuhan pasar, jenis barang, teknologi, bahan baku, skala ekonomi dan lain-lain akan mewarnai struktur pasar yang akan terbentuk.

18 Perilaku pasar menggambarkan apa yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan untuk bersaing satu sama lain. Komponen ini mencakup berbagai strategi harga maupun produk yang dilakukan oleh perusahaan ataupun industri. Termasuk dalam perilaku pasar adalah iklan, riset dan pengembangan, kerjasama antar perusahaan untuk mengeksploitasi pasar dalam bentuk kolusi atau bahkan merger. Bentuk dan intensitas perilaku yang dapat dilakukan oleh masing-masing perusahaan sangat tergantung kepada struktur pasar dimana mereka beroperasi. Kinerja pada akhirnya akan menggambarkan hasil dari perilaku perusahaan yang dimungkinkan oleh struktur pasar yang terbentuk. Secara teoretis, struktur pasar yang relatif terkonsentrasi akan menimbulkan kekuatan pasar bagi perusahaan dominan untuk menetapkan harga dan menghambat masuk calon pesaing. Jika kekuatan pasar ini dimanfaatkan, keuntungan yang lebih besar dibandingkan pesaingnya akan dapat diperoleh. Kinerja juga dapat tergambar dari pertumbuhan aset yang jika diakumulasikan untuk seluruh industri akan membentuk pertumbuhan industri secara keseluruhan. Seluruh komponen SCP dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah baik berupa intervensi langsung terhadap berbagai komponen dalam SCP tersebut maupun mewarnai

lingkungan bisnis dimana industri beroperasi. Bentuk

kebijakan pemerintah dapat berupa regulasi pada berbagai tingkatan mulai dari UU dan Peraturan Bank Indonesia sampai Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri. Aspek yang diatur dapat berkenaan langsung dengan industri yang bersangkutan seperti penetapan tingkat pajak dan subsidi, anti persaingan usaha tidak sehat dan insentif investasi serta pajak. Keterkaitan antar komponen dalam pendekatan SCP digambarkan secara ringkas pada Gambar 1.

19

Kondi si Da sar Perm intaan: Elastisitas Per mintaan Substitusi Faktor Musim Laju Pertumbuhan Lokasi Karakter Pesanan Metode Pembelian

Produksi: Teknologi Bahan Baku Serikat Pekerja Daya tahan Produk Lokasi Skala Ekonomi Cakupan Ekonomi

Struktur Jumlah Pembeli dan Penjual Hambatan Masuk Diferensiasi Produk Integrasi Vertikal Diversifikasi

Perilaku Iklan Penetapan Harga Taktik Legal Pilihan Produk

R&D Investasi Kolusi Merger

Kebijakan Pemerintah Regulasi Anti Monopoli Hambatan Masuk Pajak dan Subsidi Insentif Investasi Insentif Ketenagakerjaan Kebijakan Makroekonomi

Kinerja Tingkat Harga Efisiensi Produksi Efisiensi Alokatif Kualitas Produk Nilai Aset Kemajuan Teknologi Tingkat Keuntungan

Sumber: Carlton dan Perloff (2000)

Gambar 1. Kerangka Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja dalam Organisasi Industri

2.1.2. Interaksi Antar Komponen SCP Jika dilhat pada Gambar 1, interaksi berbagai komponen pada pendekatan SCP tidak hanya searah dari Struktur mempengaruhi Perilaku dan akhirnya tergambar dalam Kinerja seperti pada saat awal paradigma SCP diperkenalkan. George J. Stigler (dari Chicago School of Economics) dengan

20 menggunakan Teori Harga berargumen bahwa alur pengaruh yang sebaliknya dapat terjadi. Kinerja dalam bentuk keuntungan yang besar diperoleh oleh beberapa

perusahaan

tertentu

dapat

memberikan

kemampuan

untuk

menerapkan strategi (perilaku) yang dapat semakin memantapkan keberadaan mereka di pasar. Dominasi pasar beberapa perusahaan ini bahkan dapat digunakan untuk menggusur pesaingnya dalam industri ke luar sehingga akhirnya terbentuk struktur pasar yang semakin terkonsentrasi. Pada Gambar juga terlihat bahwa kebijakan pemerintah tidak hanya bersifat mempengaruhi kompnen SCP, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh komponen SCP khususnya komponen Perilaku. Hubungan antara konsentrasi pasar dengan tingkat keuntungan yang positif juga tidak selalu membenarkan teori SCP. Hubungan yang sama dapat diperoleh seandainya konsentrasi industri yang tinggi menyebabkan perusahaan dominan dapat mencapai skala usaha yang ekonomis sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih besar (Efficient Structure Hypothesis). Untuk itu perlu diuji apakah keuntungan yang diperoleh disebabkan oleh perusahaan memanfaatkan dominasinya untuk mengeksploitasi pasar secara tidak sehat atau disebabkan oleh efisiensi yang diperoleh dari skala usaha. Untuk membedakannya perlu dilihat apakah dominasi pasar menyebabkan kenaikan harga dan keuntungan atau justru menyebabkan penurunan harga karena skala usaha yang semakin ekonomis namun tetap mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Teori Contestable Markets merupakan salah satu pendekatan yang mencoba melihat hubungan struktur dan kinerja secara berbeda. Struktur pasar yang terkonsentrasi tidak selalu berakibat perusahaan dominan menaikkan harga untuk meningkatkan keuntungan. Dalam kondisi pasar yang contestable, perusahaan incumbent akan tetap menjaga harganya pada tingkat harga

21 kompetitif karena ancaman calon pesaing. Dengan demikian, pada pasar seperti ini struktur pasar dapat saja terkonsentrasi (tidak kompetitif) tetapi berperilaku sangat kompetitif. Walaupun sebagai kerangka umum, SCP telah banyak digunakan karena terbukti sangat membantu dalam menganalisa suatu industri, kajian terhadap komponen perilaku (conduct) cenderung tidak sekuat analisis terhadap struktur pasar.

Padahal sudah lama disadari bahwa perilaku dapat membentuk

lingkungan persaingan tanpa merubah struktur pasar. Kalaupun analisis perilaku dilakukan biasanya hanya berbentuk kualitatif tanpa didasarkan pada kerangka analisis yang kuat dan terintegrasi dengan kerangka SCP secara keseluruhan (Smith et al., 2007). Smith et al. (2007) merekomendasikan pengintegrasian pendekatan Analisis Industri yang dirumuskan oleh Porter ke dalam pendekatan SCP untuk memperkuat lingkungan persaingan industri, khususnya untuk menangkap dinamika perilaku strategik.

Pendekatan analisis industri yang

dikenal dengan Porter’s Five Forces ini menyatakan bahwa ada lima kekuatan yang menentukan tingkat persaingan dalam suatu industri seperti terlihat pada Gambar 2. Kelima kekuatan tersebut adalah kekuatan rebut-tawar (bargaining) pembeli, kekuatan rebut-tawar pemasok, ancaman masuk pesaing baru, ancaman produk substitusi dan kekuatan persaingan antar perusahaan dalam internal industri itu sendiri. 2.2. Penerapan SCP pada Industri Perbankan Pada awalnya paradigma SCP diterapkan untuk industri manufaktur. Namun dengan mempertimbangkan karakteristik khasnya, paradigma yang sama juga dapat diterapkan pada industri jasa, termasuk industri perbankan. Pada industri perbankan yang terkonsentrasi, ceteris paribus, akan terlihat jumlah

22 pinjaman dan tabungan yang lebih kecil dengan tingkat bunga yang lebih tinggi di sisi pinjaman dan lebih rendah di sisi tabungan. Kombinasi jumlah dan tingkat bunga tersebut akan menyebabkan tingkat keuntungan bank yang lebih besar.

Calon Pesaing Kekuatan Bargaining Pemasok

Pemasok

Ancaman Pendatang Baru

Industri

Pembeli

Kekuatan Bargaining Pembeli

Ancaman Produk Substitusi

Barang Substitusi

Sumber: Smith et al. (2007)

Gambar 2. Model Lima Kekuatan Porter

Industri jasa mempunyai kekhasan yang membuatnya berbeda dengan produk manufaktur. Karakteristik produk jasa adalah intangible, perishable, inseparable, simultaneous dan variable (Zeithaml et al., 1990). Produk jasa adalah intangible karena tidak dapat dipegang atau disentuh serta tidak dapat ditransfer atau dimiliki untuk dijual kembali. Perishable karena produk jasa sekali dikonsumsi tidak mungkin lagi tersedia bagi konsumen lain. Produk jasa juga inseparable karena antara pemberi jasa dengan konsumen tidak dapat dipisahkan. Produk jasa harus disediakan dan dikonsumsi pada saat yang sama secara simultan. Terakhir, setiap produk jasa bersifat unik dalam arti setiap jasa yang diberikan akan tidak bisa diulang dan diberikan dengan kualitas yang persis sama pada waktu dan keadaan yang lain (variable).

23 Kalau produk jasa secara umum berbeda dengan produk manufaktur, maka produk perbankan mempunyai kekhasan lebih jauh untuk input maupun produknya sehingga penerapan paradigma SCP pada industri perbankan harus disesuaikan. Kekhasan industri perbankan dan dampaknya terhadap paradigma SCP telah direview secara komprehensif oleh Neuberger (1998).

Dalam

reviewnya, Neuberger menekankan bahwa bank muncul karena adanya incomplete dan asymmetric information pada industri keuangan. Oleh karena itu penggunaan SCP untuk industri perbankan harus menyesuaikan dengan karakteristik ini dalam kerangkanya.

Dengan mempertimbangkan keunikan

industri perbankan, kerangka SCP dimodifikasi menjadi bentuk seperti terlihat pada Gambar 3. Pada Gambar 3 terlihat bahwa dalam industri perbankan seluruh variabel adalah endogenus karena terjadi saling keterkaitan antara variabel-variabel struktur, perilaku dan kinerja dan pengaruh feedback terhadap kondisi dasar dan kebijakan

publik.

Dalam

kondisi

dasar

juga

harus

dipertimbangkan

ketidaksempurnaan pasar dalam industri perbankan seperti ketidakpastian (uncertainty), asymmetric information dan biaya transaksi. 2.3. Konsep Perbankan Syariah Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah Islam. Menurut jenisnya, bank syariah dapat dikelompokkan menjadi Bank Umum Syariah (BUS) yang berdiri sendiri atau bukan merupakan bagian dari bank konvensional, Unit Usaha Syariah (UUS) yang merupakan unit usaha dari suatu bank konvensional tetapi dalam prosesnya menggunakan prinsip

24 syariah, dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kondi si Da sar Ketidakpastian Asymmetric Information Biaya Transaksi Perm intaan: Produksi: Elastisitas harga Input/Teknologi Sw itching Cost Jasa Loyalitas Hubungan Barang Substitusi Principal-Agent Sikap thdp Resiko Eksternalitas Eksternalitas Jaringan Produksi

Struktur Segmentasi Pasar Hambatan Masuk dan Keluar Diferensiasi Produk Diversifikasi Struktur Biaya Luasan Pasar

Kebijakan Publik Regulasi Protektif Regulasi Prudensial Kebijakan Persaingan

Perilaku Iklan Penetapan Harga Jaringan dan Mutu Pengumpulan Info

R&D Inovasi Kolusi Merger

Kinerja Efisiensi Produksi Efisiensi Alokatif Pertumbuhan Aset Full Employ ment

Sumber: Neuberger (1998)

Gambar 3. Kerangka Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja dalam Organisasi Industri untuk Industri Perbankan

Secara umum perbankan syariah mempunyai fungsi yang sama dengan perbankan konvensional. Namun demikian, karena perbankan syariah harus sesuai dengan syariah Islam yang menekankan tidak dibenarkannya ada unsur judi, tipuan dan riba (tingkat bunga) dalam transaksinya maka secara normatif

25 sistem yang diterapkan dan produk yang ditawarkan perbankan syariah menjadi sangat berbeda dengan sistem yang diterapkan dan produk yang ditawarkan perbankan konvensional. Sebagaimana diuraikan dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia (Bank Indonesia, 2002), perbankan syariah didirikan dengan tujuan akhir untuk mencapai falah, yang dapat diartikan sebagai kemaslahatan bagi masyarakat secara luas. Tujuan akhir ini dapat dicapai dengan memperhatikan prinsip keadilan, menghindari kegiatan yang dilarang dan prinsip kemanfaatan. Dalam prinsip keadilan termasuk transparansi dan kejujuran, transaksi yang adil, persaingan yang sehat, dan perjanjian yang saling menguntungkan. Kegiatan yang dilarang sehingga harus dihindari adalah produk jasa dan proses yang merugikan serta berbahaya, dan menggunakan sumberdaya yang ilegal dan diperoleh secara tidak adil. Prinsip kemanfaatan ditunjukkan oleh penciptaan produk yang produktif dan tidak spekulatif, menghindari penggunaan sumberdaya yang tidak efisien, dan membuka akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memperoleh sumberdaya. Landasan filosofis di atas menyebabkan aktivitas yang dilakukan oleh perbankan syariah menjadi dibatasi oleh konsep halal dan haram menurut syariah, tidak hanya sekedar menguntungkan atau tidak. Lebih jauh lagi, pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah harus berorientasi falah, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga kegiatan yang dilakukan oleh perbankan harus memastikan tidak hanya menguntungkan pihak perbankan saja, tetapi juga pihak mitranya. Oleh karena itu, return yang dibayarkan atau diterima oleh bank syariah hanya boleh berasal dari pendapatan dari bagi hasil atau pendapatan lainnya yang dibolehkan oleh syariah sehingga terhindar dari berbagai ketidakadilan seperti yang terjadi pada sistem bunga atau riba.

26 Konsekuensi lain dari penerapan syariah adalah dilarangnya berbagai produk derivatif seperti yang banyak diciptakan oleh sistem perbankan konvensional karena unsur spekulatif dan judi yang terkandung di dalamnya, walaupun menjanjikan keuntungan yang besar. Untuk memastikan bahwa perbankan benar-benar menerapkan syariah dalam praktek bisnisnya, maka setiap perbankan syariah diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah sebagai kelengkapan di luar dewan pengawas yang berlaku untuk perbankan konvensional seperti BI, Bapepam, dan Dewan Komisaris. Perbedaan besar yang terakhir, jika ada sengketa antara bank dan nasabah

serta

musyawarah

tidak

menghasilkan

kesepakatan,

maka

penyelesaian akan dibawa ke peradilan agama bukan pengadilan negeri seperti yang terjadi pada perbankan konvensional. Jika dilihat secara rinci masih banyak lagi perbedaan yang dapat ditemukan pada sistem dan produk perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional. Namun demikian, perbedaan antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional seperti yang diringkas oleh Ismail (2011) pada Tabel 2 sudah cukup memadai untuk memperlihatkan perbedaan mendasar kedua sistem perbankan tersebut. Salah satu aspek mendasar yang secara normatif berbeda antara sistem syariah dengan konvensional namun jarang dibahas secara rinci pada berbagai literatur Ekonomi Islam adalah aspek persaingan industri. Literatur yang ada (diantaranya Khan dan Mirakhor, 2002; Karim, 2003; Mannan, 1997; Iqbal dan Molyneux, 2005; Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam–UII, 2008) pada umumnya berhenti pada tataran normatif dengan mengatakan bahwa persaingan bisnis menurut syariah dibolehkan bahkan dianjurkan, tetapi tidak boleh merugikan apalagi dengan maksud mematikan pesaingnya. Prinsip ini jika

27 dijalankan mempunyai implikasi bahwa syariah Islam tidak mengatur struktur tetapi mengatur perilaku pasar. Struktur pasar monopoli atau persaingan tidak sempurna lainnya menjadi tidak relevan karena prinsip syariah melarang untuk menggunakan market power yang dimiliki untuk mengeksploitasi pasar sehingga perilaku persaingan berbagai bentuk struktur pasar tersebut seharusnya sama dengan pasar yang bersaing sempurna. Tabel 2. Perbedaan Perbankan Syariah dan Perbankan Konvensional Bank Syariah

Bank Konvensional

Investasi tidak hanya Investasi hanya untuk proyek dan mempertimbangkan halal atau haram produk yang halal dan menguntungkan asalkan proyek yang dibiayai menguntungkan Return yang dibayar dan atau diterima Return baik yang dibayar kepada berasal dari bagi hasil atau pendapatan nasabah penyimpan dana dan return lainnya berdasarkan prinsip syariah. yang diterima dari nasabah pengguna dana berupa bunga. Perjanjian dibuat dalam bentuk akad Perjanjian menggunakan hukum positif. sesuai dengan syariah Islam Orientasi pembiayaan tidak hanya Orientasi pembiayaan untuk untuk keuntungan akan tetapi juga memperoleh keuntungan atas dana berorientasi falah, yaitu kesejahteraan yang dipinjamkan. masyarakat Hubungan antara bank dan nasabah Hubungan antara bank dan nasabah adalah mitra adalah kreditor dan debitor Dewan pengawas terdiri dari BI, Dewan pengawas terdiri dari BI, Bapepam, Komisaris dan Dewan Bapepam, dan Komisaris. Pengawas Syariah (DPS). Penyelesaian sengketa diupayakan Penyelesaian sengketa melalui diselesaikan secara musyawarah pengadilan negeri setempat. antara bank dan nasabah, melalui peradilan agama. Sumber: Ismail (2011)

Permasalahannya adalah bagaimana memastikan bahwa pelaku pasar akan patuh terhadap landasan normatif persaingan sementara mereka mempunyai potensi untuk menyalahgunakan kekuatan yang mereka miliki pada saat struktur

pasar sangat terkonsentrasi. Sukmana dan Beik (2006)

28 menyimpulkan bahwa para ulama klasik Islam seperti Abu Yusuf (731 - 798 M), Al-Ghazali (1055 - 1111 M), Ibnu Taimiyah (1263 – 1328 M), Ibnul Qayyim alJawziyyah (1292 – 1350 M) dan Ibnu Khaldun (1332 – 1406 M) jauh sebelum Adam Smith telah sepakat bahwa pasar harus dibiarkan beroperasi mengikuti mekanisme pasar. Harga akan naik dan turun berdasarkan interaksi penawaran dan permintaan atau bahkan dikatakan oleh Abu Yusuf sebagai ditentukan oleh kekuasaan Allah SWT sehingga tidak boleh diintervensi oleh pemerintah atau lembaga lainnya.

Abu Yusuf bahkan sama sekali tidak menyebutkan

perkecualian terhadap tidak bolehnya intervensi terhadap proses pembentukan harga tersebut. Namun ulama klasik selain Abu Yusuf menekankan pentingnya intervensi pemerintah melalui lembaga hisbah (pengawas) atau mekanisme perpajakan apabila terjadi pelanggaran terhadap persyaratan yang memastikan persaingan sempurna. Persyaratan pasar yang bersaing sempurna secara syariah adalah: tingkat informasi tentang harga dan komoditi yang dapat diakses secara seimbang oleh seluruh pelaku pasar, perusahaan bebas untuk keluar dan masuk dari pasar, tidak terjadinya penumpukan atau tindakan lain yang dilarang syariah, tidak terjadi kolusi antara penguasa dan pengusaha, dan adanya kejujuran, aturan main yang adil dan kebebasan memilih bagi pelaku pasar. Konsep pasar yang dirumuskan jauh sebelum Adam Smith di atas, dengan demikian, lebih sempurna dibandingkan dengan konsep ekonomi klasik Adam Smith yang sama sekali tidak merekomendasikan adanya intervensi pemerintah dan telah merekomendasikan perlunya intervensi pada saat pasar tidak berjalan normal seperti rekomendasi Keynes yang merupakan antitesa ekonomi klasik (Sukmana dan Beik, 2006). Jika diterjemahkan dengan konsep ekonomi konvensional yang telah berkembang maju saat ini, maka jika terjadi persaingan yang sempurna di pasar, prinsip maksimisasi keuntungan (dengan

29 catatan

tidak

melanggar

koridor

syariah)

akan

menghasilkan

tingkat

kesejahteraan tertinggi bagi masyarakat sehingga tujuan falah dalam ekonomi Islam akan juga otomatis tercapai. Akan tetapi, maksimisasi keuntungan yang dilakukan oleh pasar yang oligopolistik dan monopolistik akan menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tidak maksimal. Oleh karena itu, struktur pasar yang tidak bersaing sempurna seperti ini harus diawasi untuk memastikan mereka tetapi berperilaku seperti pasar yang bersaing sempurna. Berkembangnya New Empirical Industrial Organization (NEIO) membuka peluang untuk menguji dan menetapkan standar untuk prinsip persaingan dalam industri berbasis syariah, termasuk perbankan syariah. NEIO tidak lagi secara normatif menerima postulat paradigma SCP yang bersifat struktural dengan asumsi bahwa

pasar yang terkonsentrasi akan cenderung kolutif dan

menggunakan kekuatan yang mereka miliki untuk mendapatkan keuntungan super normal.

Teori dan bukti empiris pasar yang contestable, misalnya,

menunjukkan bahwa pasar yang terkonsentrasi tidak selalu berperilaku tidak bersaing.

30

31 III. TINGKAT PERSAINGAN DAN PERTUMBUHAN PERBANKAN SYARIAH: KAJIAN PENELITIAN TERDAHULU DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Walaupun paradigma SCP telah mulai dikembangkan sejak tahun 1940an, kajian empiris tentang SCP pada industri perbankan baru dimulai awal tahun 1960an (Neuberger 1998). Sejak itu kajian organisasi industri perbankan dengan kerangka SCP berkembang pesat dengan hasil baik mengkonfirmasi paradigma SCP ataupun membantahnya.

Kajian untuk industri perbankan

syariah tentu saja lebih akhir lagi dimulainya karena industrinya sendiri baru muncul awal tahun 1960-an di Mesir dan berkembang ke berbagai belahan dunia tahun 1970an.

Pada Bab ini akan diulas kajian empiris tentang perbankan

syariah dengan kerangka SCP dan perkembangannya. Namun sebelumnya akan dibahas secara ringkas perkembangan kajian empiris pada industri perbankan secara umum. Setelah itu kajian empiris pada perbankan syariah dalam berbagai aspek SCP akan disajikan.

Kajian empiris untuk industri perbankan syariah

Indonesia akan disampaikan tersendiri sebelum dirumuskan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini pada akhir Bab. 3.1. SCP pada Industri Perbankan Secara tradisional ada trade-off yang sering dijadikan objek uji dalam kajian empiris organisasi industri perbankan. Teori organisasi industri perbankan mengatakan bahwa industri perbankan

yang kompetitif diperlukan untuk

menghasilkan tingkat efisiensi yang tinggi sehingga tingkat persaingan menjadi sangat penting untuk menjamin tingkat pertumbuhan industri maupun ekonomi. Pada sisi lain, market power diperlukan untuk menciptakan stabilitas pada sistem perbankan dan stabilitas diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi.

Dengan

demikian, terjadi dilemma antara tingkat persaingan yang harus diciptakan

32 dengan tingkat kekuatan pasar yang harus ditoleransi untuk mencapai tingkat pertumbuhan industri dan ekonomi tertentu. Hasil kajian empiris sebagaimana telah direview oleh Hoose (2010), Northcott (2004), Neuberger (1998), dan Hannan (1991) memperlihatkan tradeoff di atas tidak didukung secara konklusif oleh data. Secara umum berbagai studi mengarahkan pada kesimpulan bahwa market power, dalam bentuk kemampuan menetapkan harga di atas biaya marjinal, dapat mempunyai dampak positif terhadap efisiensi. Sementara itu, dampak negatif persaingan terhadap stabilitas ternyata dapat dikelola dengan regulasi yang ketat (Northcott, 2004). Secara teoretis dan empiris, bank yang mempunyai kekuatan pasar lebih berani memberikan kredit kepada perusahaan yang lebih beresiko, seperti perusahaan-perusahaan baru, tanpa mengenakan premium terhadap biaya kredit seperti yang akan terjadi pada industri perbankan yang kompetitif. Akibatnya, dalam industri yang kompetitif dengan tingkat bunga yang lebih tinggi untuk perusahaan yang mempunyai resiko lebih tinggi akan menarik peminjam yang beresiko tinggi (adverse selection). Pada gilirannya, peminjam mempunyai insentif untuk memilih proyek atau bisnis yang beresiko tinggi (moral hazard). Sementara bank yang mempunyai kekuatan pasar berani menetapkan bunga yang tidak terlalu tinggi untuk resiko yang lebih tinggi dengan harapan akan mendapat kompensasi dari hubungan jangka panjang dengan peminjam pada saat bisnis mereka sudah berkembang. Dalam industri yang kompetitif tidak ada jaminan bahwa bank yang berani memberikan tingkat bunga lebih rendah pada saat awal bisnis masih belum berkembang (resiko tinggi), akan juga ‘’memanen’’ hasilnya pada saat bisnis si peminjam telah berhasil. Bank lain dapat merebut nasabah yang telah berhasil dan mempunyai rekam jejak yang baik tersebut

33 tanpa mengeluarkan resiko membiayai pada saat nasabah tersebut masih beresiko tinggi. Dukungan terhadap teori ini ditunjukkan oleh hasil kajian empiris di Amerika maupun kajian dengan data cross-country bahwa perusahaan yang masih baru berdiri cenderung mendapatkan kredit yang lebih banyak pada industri yang lebih terkonsentrasi. Selain itu, perusahaan yang baru berdiri serta bergantung pada pendanaan eksternal (bank) cenderung berkembang lebih cepat di negara yang mempunyai industri perbankan yang lebih terkonsentrasi (Petersen dan Rajan, 1995 dan Cetorelli dan Gambera, 2001 sebagaimana dikutip oleh Northcott, 2004). Pada saat yang sama, berbagai studi yang mendukung hubungan positif antara tingkat konsentrasi dengan tingkat keuntungan bank juga banyak ditemukan, tetapi hasilnya tidak meyakinkan karena tidak konsisten untuk waktu, produk atau cara pengukuran keuntungan yang berbeda. Martin (2002), Bikker et al. (2007) dan Hoose (2010) menyimpulkan bahwa pendekatan struktural dalam mengkaji hubungan tingkat konsentrasi dengan kinerja bank mempunyai kelemahan paling tidak pada tiga aspek. Pertama, tidak mudah untuk mendapatkan ukuran yang tepat untuk variabel struktural yang digunakan baik itu untuk tingkat konsentrasi (struktur pasar) maupun tingkat keuntungan (untuk kinerja). Tingkat konsentrasi yang diukur dengan rasio konsentrasi sebenarnya sangat tergantung kepada batasan pasar yang jelas baik dari sisi produk maupun geografis. Akan tetapi sangat jarang uji batasan pasar ini dilakukan terlebih dahulu sebelum digunakan dalam persamaan. Hal ini akan berdampak serius terutama untuk negara yang masyarakatnya sangat maju dalam berinteraksi dengan pasar keuangan sehingga reksadana, pasar modal dan instrumen keuangan non-bank lainnya mungkin menjadi alternatif yang signifkan untuk bank atau dapat dikatakan bank dan alternatif produk keuangan lainnya berada

34 dalam satu pasar. Kedua, hubungan positif antara tingkat konsentrasi dengan tingkat keuntungan tidak unik hanya disebabkan perilaku kolutif. Hubungan yang sama dapat disebabkan oleh tingkat efisiensi yang dicapai oleh bank yang berskala lebih besar sebagaimana paradigma Efficient Structure Hypothesis yang diperkenalkan oleh Demsetz (1973). Ketiga, variabel konsentrasi pasar yang sering diproksi dengan rasio konsentrasi selalu diperlakukan sebagai variabel eksogenus, padahal secara teoretis ratio konsentrasi merupakan variabel endogenus sehingga arah pengaruh tidak selalu dari konsentrasi kepada keuntungan, tetapi juga dapat sebaliknya. Untuk mengatasi kelemahan yang dialami pendekatan struktural di atas, Panzar dan Rosse

(P-R)

serta

Bresnahan

dan

Lau

memformulasikan

pendekatan non-struktural (Hoose, 2010 dan Bikker et al., 2007). Disebut sebagai pendekatan non-struktural karena model yang digunakan sama sekali tidak menggunakan variabel struktur pasar untuk menentukan tingkat persaingan dalam suatu industri.

Model P-R

menggunakan hubungan antara tingkat

penerimaan dengan tingkat biaya untuk menghitung H-statistic dalam rangka menyimpulkan tingkat persaingan yang terjadi dalam industri. Jika H-stat, yang pada dasarnya mengukur elastisitas penerimaan total bank terhadap perubahan berbagai biaya yang dikeluarkan oleh bank, bernilai lebih kecil atau sama dengan nol, maka industri perbankan tersebut mempunyai tingkat persaingan monopoli atau oligopoli yang melakukan kartel. Nilai H yang berada antara 0 dan 1 menunjukkan industri yang oligopoli atau persaingan monopolistik. Industri yang bersaing sempurna ditandai oleh nilai H sama dengan 1. Pendekatan non-struktural model P-R ternyata lebih menarik bagi banyak peneliti untuk mengukur tingkat persaingan karena hasilnya dianggap lebih menggambarkan

kondisi

sebenarnya

dibandingkan

dengan

pendekatan

35 struktural. Namun demikian, Bikker et al. (2007) mengingatkan bahwa dalam prakteknya model P-R banyak dimodifikasi sehingga mengganggu validitas Hstat yang dihasilkan. Perkembangan yang sangat mengganggu adalah dimasukkannya variabel asset ke dalam persamaan baik sebagai variabel yang berdiri sendiri, maupun sebagai pembagi semua variabel yang digunakan sehingga persamaan model P-R tidak lagi fungsi revenue melainkan fungsi harga (rasio revenue dengan total assets).

Maksud dikontrolnya fungsi revenue

dengan variabel asset adalah untuk mengeliminasi pengaruh skala usaha dalam elastisitas revenue terhadap biaya. membuktikan

bahwa

masuknya

Akan tetapi, Bikker et al. (2007)

variabel

asset

ke

dalam

persamaan

menyebabkan nilai H-stat tidak lagi unik. Nilai H antara 0 dan 1 juga relevan untuk tingkat persaingan monopoli dan kartel. Terlepas dari berbagai keragaman pendekatan yang digunakan dan hasil yang diperoleh, Rasiah (2010) mendaftar variabel apa saja yang banyak digunakan dalam berbagai kajian empiris SCP industri perbankan. Secara umum Rasiah (2010) mengelompokkan variabel yang mempengaruhi ke dalam dua kelompok, yaitu variabel internal dan variabel eksternal. Variabel internal adalah faktor-faktor yang berada di bawah kendali manajemen dan variabel eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar kendali manajemen. Determinan internal adalah variabel-variabel yang tercantum dalam laporan keuangan yang mencakup berbagai variabel yang berada dalam laporan rugi laba, semua komponen yang berada pada laporan neraca, variasi tujuan manajemen, manajemen pengeluaran, komposisi pinjaman dan ukuran biaya, biaya bank dan komposisi tabungan dan kredit bank, rasio tabungan dan deposito dengan aset total, tingkat bunga pasar dan tingkat keuntungan, pendapatan bank dan efisiensi operasional, rasio tabungan dan deposito berjangka

dengan total deposito,

36 perubahan resiko kapital dan asset, likuiditas dan profitabilitas, serta kombinasi aset dan portofolio utang dengan keuntungan.

Variabel-variabel yang di luar

laporan keuangan mencakup jumlah kantor cabang, ukuran bank, ukuran bank dan skala usaha, serta lokasi bank dan keuntungan. Untuk variabel eksternal yang sering digunakan sebagai penjelas tingkat keuntungan adalah regulasi keuangan, kondisi persaingan, tingkat konsentrasi, pangsa pasar, pertumbuhan pasar, dan kepemeilikan bank. 3.2. SCP pada Industri Perbankan Syariah Kajian empiris pada industri perbankan syariah diuntungkan oleh perkembangan yang sudah jauh lebih maju baik dari segi teori maupun empiris pada industri perbankan konvensional.

Industri perbankan syariah tinggal

menjadikan model-model penelitian yang telah diterapkan pada industri perbankan konvensional sebagai template atau benchmark untuk kasus industri perbankan syariah dengan mempertimbangkan berbagai kekhasan yang dimiliki oleh industri perbankan syariah. Laju kecepatan penelitian pada industri perbankan syariah seharusnya hanya terhambat oleh ketersediaan data pada industri yang masih relatif muda ini. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab sebelumnya bahwa perbankan syariah mempunyai dasar normatif yang sama sekali berbeda dengan perbankan konvensional sehingga diperkirakan perbankan syariah akan mempunyai perilaku yang juga berbeda dengan perbankan konvensional.. Hasil studi Haron dan Azmi (2008) di Malaysia ternyata menemukan bahwa tingkat keuntungan bank Islam, tingkat bunga deposito bank konvensional, tingkat pinjaman dasar, Indeks Komposit KL, CPI, jumlah uang beredar dan GDP mempunyai pengaruh berbeda terhadap nilai deposito pada bank Islam dan bank konvensional. Pada

37 umumnya konsumen bank konvensional berperilaku seperti prediksi teori perilaku menabung dimana masyarakat Malaysia tidak tunduk pada motif jaga-jaga dalam menabung karena yakin Pemerintah akan selalu menyesuaikan kebijakan fiskal dan moneternya untuk menjaga kinerja makro perekonomian. Indikasi yang mendukung permanent-income hypothesis juga ditemukan untuk kelompok nasabah ini. Teori yang sama ternyata tidak berlaku untuk nasabah bank Islam karena mereka tetap menabung terlepas dari kondisi ekonomi yang ditunjukkan oleh hubungan positif antara peningkatan pertumbuhan ekonomi, penawaran uang, index komposit KL, dan CPI dengan tingkat deposito. Sayangnya data tidak menguji apakah nasabah akan tetap menabung jika terjadi krisis ekonomi. Terlepas dari perbedaan yang diperoleh, studi ini juga menunjukkan kesamaan dalam hal sensitivitas terhadap bagi hasil/tingkat bunga yang diperoleh dari tabungan mereka. Salah satu aspek yang juga menarik perhatian peneliti untuk dikaji pada industri perbankan syariah adalah tingkat efisiensi perbankan syariah, baik dibandingkan dengan perbankan konvensioanal atau

berdiri sendiri. Kajian

Sufian (2007) untuk kasus Malaysia dan Afiatun dan Wiryono (2010) untuk kasus Indonesia merupakan contoh. Secara umum jika dibandingkan dengan bank konvensional, perbankan Islam cenderung mempunyai tingkat efisiensi yang lebih rendah. Hal ini dapat dipahami karena learning curve perbankan syariah masih belum selama industri perbankan konvensional. Selain itu, perbankan syariah juga masih dalam periode ekspansif dan pada saat yang sama dihadapkan pada kebijakan pemerintah pada negara tertentu, seperti Indonesia, yang belum sepenuhnya bersahabat dengan karakter perbankan syariah sehingga dalam beberapa aspek, seperti tingkat pajak, perbankan syariah tidak

38 berada tingkat lapangan permainan yang sama dengan industri perbankan konvensional. . Kondisi yang relatif sama antara hasil kajian industri perbankan Islam dengan perbankan konvensional malah ditemukan pada topik hubungan antara tingkat persaingan dengan tingkat kinerja atau keuntungan bank. Beberapa studi baik yang bersifat cross-country seperti Weill (2009) maupun kasus negara tertentu seperti Majid dan Sufian (2007) di Malaysia menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Kedua studi menyimpulkan bahwa H-Stat model PanzarRosse mengindikasikan industri perbankan syariah berada pada struktur pasar persaingan monopolistik. Studi Weill (2009) menunjukkan tingkat persaingan ini tidak berbeda nyata dengan tingkat persaingan pada industri perbankan konvensional berdasarkan data cross-country 17 negara yang menganut dual banking system. Padahal pada hipotesis awal diharapkan industri perbankan syariah akan mempunyai tingkat market power yang lebih besar dibandingkan dengan perbankan konvensional karena diduga nasabah perbankan syariah relatif lebih loyal. Hipotesis awal Weill (2009) yang mengharapkan bahwa perbankan Islam akan mempunyai market power yang lebih tinggi dibandingkan dengan perbankan konvensional sebenarnya tidak sesuai dengan landasan normatif seperti yang dijelaskan pada Bab III. Secara normatif, seharusnya perbankan syariah tidak akan menunjukkan adanya indikasi kekuatan pasar terlepas dari tingkat konsentrasi pada struktur pasarnya. Dengan demikian, hasil studi Weill (2009) sebenarnya justru mengarah kepada pembuktian bahwa perbankan syariah yang cenderung lebih terkonsentrasi tidak menggunakan potensi kekuatan yang mereka miliki untuk mengeksploitasi pasar sesuai dengan tuntutan normatif syariah. Namun demikian, hasil ini baru merupakan indikasi

39 awal yang perlu didalami lebih lanjut apakah tidak digunakannya kekuatan yang dimiliki oleh bank yang dominan karena dimotivasi oleh landasan normatif syariah Islam atau karena tingkat contestability yang tinggi menyebabkan bank syariah tidak mungkin menggunakan kekuatan pasar yang dimilikinya. Untuk itu, tingkat konsentrasi yang dihitung hanya dalam cakupan industri perbankan syariah saja perlu diuji terlebih dahulu validitasnya. Jika market boundary perbankan syariah juga mencakup perbankan konvensional, maka bahkan bank syariah yang paling besarpun mungkin tidak masuk ke dalam urutan sepuluh besar bank yang ada dalam suatu negara. Untuk kasus Indonesia, pada akhir tahun 2010 aset bank syariah terbesar masih jauh dari nilai aset sepuluh bank konvensional terbesar, bahkan jika seluruh aset perbankan syariah digabungkan hanya berada pada urutan ke-delapan dibandingkan dengan aset perbankan konvensional secara individual. 3.3. SCP pada Industri Perbankan Syariah Indonesia Sejalan dengan umur industri yang masih relatif muda dan perkembangan yang lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan di negara lain, kajian organisasi industri

perbankan syariah di Indonesia relatif masih terbatas

dibandingkan dengan dengan kajian perbankan Islam di negara lain. Perbankan syariah

pertama

yang

berdiri

di

Indonesia

adalah

tahun

1992

dan

pertumbuhannya relatif lambat sampai akhir dekade 1990-an karena Bank Mu’amalat pada dasarnya harus berjuang tanpa dukungan mitra yang cukup berarti. Perkembangan industri perbankan syariah baru signifikan setelah berdirinya Bank Syariah mandiri pada tahun 1999. Oleh karena itu industri perbankan syariah di Indonesia masih merupakan laboratorium yang menarik untuk dikaji berbagai aspeknya, termasuk masalah tingkat persaingan dan

40 hubungannya dengan tingkat pertumbuhan industri yang dirasakan oleh berbagai pemangku kepentingan masih berada di bawah potensi terbaiknya. Beberapa studi yang paling relevan dapat disebutkan diantaranya adalah Izhar dan Asutay (2007) untuk kasus satu bank, yaitu bank Mu’amalat Indonesia, Kasri (2011) dan Kasri dan Kassim (2009) untuk lingkup BUS dan UUS di Indonesia, Hutapea dan Kasri (2010) serta Amalia dan Nasution (2007) untuk kasus perbandingan industri perbankan syariah dan perbankan konvensional di Indonesia, serta Mukhlisin (2010) dan Weill (2009) yang menggunakan data cross-country, termasuk Indonesia di dalamnya.

Secara ringkas gambaran

beberapa penelitian terpilih tersebut disajikan pada Tabel 3. Kajian pada tingkat bank dengan mengambil Bank Mu’amalat Indonesia (BMI) sebagai bank syariah tertua dan salah satu yang terbesar di Indonesia (Izhar dan Asutay, 2007) ternyata menunjukkan bahwa tingkat kinerja yang diproksi dengan ROA dipengaruhi secara signifikan oleh faktor makroekonomi seperti tingkat inflasi dan CPI serta faktor struktur keuangan internal bank seperti income from financing activities, pembiayaan total, total liabilities, dan total earning assets yang seluruhnya dalam bentuk rasio dengan total assets. Sementara dana pihak ketiga, pendapatan dari aktivitas jasa, modal inti dan overhead cost tidak berpengaruh secara signifikan kepada ROA BMI. Hasil studi ini juga mengkonfirmasi pengetahuan umum bahwa BMI, seperti halnya kebanyakan bank syariah lainnya, masih berkonsentrasi pada pembiayaan jangka pendek dalam bentuk pembiayaan murabahah. Walaupun hal ini tidak bertentangan dengan landasan normatif, akan tetapi komposisi portofolio tersebut belum ideal. Masih ada insentif yang besar untuk mendongkrak kinerja dengan memperbesar portofolio dengan resiko lebih tinggi tetapi juga

41 menjanjikan

keuntungan

yang

lebih

besar,

yaitu

skema

pembiayaan

mudharabah. Tabel 3.

Ringkasan Beberapa Penelitian Empiris Tentang SCP Perbankan Syariah yang Relevan dengan Penelitian Data dan Metode

Studi

Industri

Izhar dan Asutay (2007)

Bank Muámalat Indonesia (BMI)



Kasri (2011) dan Kasri dan Kassim (2009)

Perbankan syariah Indonesia (BUS dan UUS)



Hutapea dan Kasri (2010)

Sampel Bank Syariah (2) dan Bank Konvensio nal (3)









Variabel yg Digunakan

Bulan an 19962001 Regre si

• •

Dependen: ROA Independen:Third party funds (TPF), Income from financing activities (IFIN), Income from service activities (ISA), Total financing (L), Total liabilities (LB), Interest free earning assets (EA), Total equity (core capital) (EQ), Overhead costs (OC), and CPI.

Maret 2000 – Agust us 2007 VAR



Dependen: Log Deposito Mudharabah Independen: Real Rate of Return, Lag1 Deposito mudharabah, Real interest rate of conv.bank, log jumlah cabang, log Industrial production index.

Januar i 1996Febru ari 2006 ARDL







Dependen: Bank Margin (BM) Independen: Default risk of financing (DEF), Market interest rate volatility (MKT), Liquidity risk (LIQ), Capital base or solvency ratio (SOLV), Implicit return to the Depositors (IMPL), Opportunity cost of bank reserves (OCBR), dan Management quality (QM).

Hasil •

ROA berhubungan signi- fikan dan positif dengan IFIN, CPI, EA dan negatif dengan L dan LB. • TPF, ISA, EQ dan OC tdk berpengaruh signifikan . • BMI terlalu tergantung pada short-term financing (murabahah) dan mempu-nyai insentif untuk beralih kepada portofolio yang lebih beresiko dan jangka panjang (mudharabah). • Deposito dipengaruhi positif oleh rate of return dan negatif oleh interest rate yang menunjukkan nasabah adalah rasional (bukan idiologis). • Variabel lain tdk berpengaruh signifikan. • Ada co-movement antara real rate of return dengan tingkat bunga. BM dipengaruhi positif oleh DEF, SOLV, OCBR, dan IMPL. BM dipengaruhi negatif oleh MKT, LIQ dan QM Sesuai dengan harapan, variabel MKT mempengaruhi bank syariah dan bank konvensional dengan arah yang berlawanan.

42 Tabel 3. Lanjutan Studi

Industri

Amalia dan Nasution (2007)

Bank Syariah (3 BUS) dan bank Konvensional (6 bank)

Weill (2009)

Industri perbankan (Syariah dan Konvensional)

Data dan Metode •









Januari 2002Nopembe r 2005 Data Panel dengan Fixed Effects.

Tahunan 20002007 untuk 17 negara yang menerapk an dual banking system Model Lerner dan Panzar and Ross e Panel data dengan random effects

Variabel yg Digunakan • •

• •

Hasil

Dependen: ROA Independen: Rasio konsentrasi (CR3), Pangsa pasar (MS), Finance to Deposit ratio (FDR), ASSET, Total expenditure (TOTALEXP), Pertumbuhan DPK, (GROWTHDPK ). dan variabel interaksi CR dan MS



Dependen: Total Costs Independen: Total assets, Price of labour, Price of physical capital, Price of borrowed funds, Dummy variable (Islam vs Conv. Banks), Ratio of loans to investment assets, Ratio of equity to total assets, Size (log total assets), Dummy country and Years.







Bank syariah mengikuti hipotesis Efficient Structure karena MS berpengaruh positif dan signiifikan terhadap ROA, sedangkan CR3 dan variabel interaksi MSCR tidak signifikan. Bank konvensional mengikuti hipotesis Product Differentitation karena MS dan variabel inetraksi MSCR berpengaruh signifikan dan positif, sednagkan CR3 tidak signifikan. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara Bank Islam dan Bank Konvensional karena market power dan tingkat persaingan yang dapat disimpulkan sama (persaingan monopolistik). Size dan rasio equity berpengaruh positif terhadap biaya total, sedangkan rasio loan to investment assets tidak signifikan.

Hasil kajian Hutapea dan Kasri (2010) yang menekankan pada pengaruh variabel internal struktur keuangan perbankan menunjukkan bahwa marjin bank yang diukur dengan variabel rasio net financing income/average earning assets (variabel yang setara dengan NIM pada bank konvensional) berhubungan positif dengan default risk, solvency ratio, implicit cost dan opportunity cost cadangan

43 bank. Sementara volatilitas tingkat bunga, resiko likuiditas dan kualitas manajemen berpengaruh negatif. Khususnya untuk respon terhadap volatilitas tingkat bunga hasil tersebut berbeda dengan bank konvensional yang merespon secara positif. Studi ini juga menemukan bahwa perilaku marjin bank berubah pada saat operasi bank berubah dari konvensional menjadi bank syariah. Pada tingkat industri perbankan syariah Indonesia diperoleh hasil yang tidak konsisten mendukung antara satu sama lain sehingga diperlukan kehatihatian dalam mengambil kesimpulan atau studi lanjutan yang lebih banyak untuk dapat mengambil kesimpulan secara lebih kuat. Kajian Amalia dan Nasution (2007) yang menggunakan pendekatan strukturalis menunjukkan bahwa pola SCP pada industri perbankan syariah berbeda dengan pola SCP pada industri perbankan konvensional.

Pola SCP pada perbankan syariah lebih mengikuti

pola Efficient Structure Hypothesis dimana tingkat keuntungan lebih bersumber dari tingkat efisiensi daripada tingkat konsentrasi pasar dan penguasaan pasar. Sebaliknya pola SCP pada perbankan konvensional cenderung lebih mengikuti pola Product Differentiation Hypothesis dimana kemampuan bank yang besar untuk mendiferensiasi produknya menimbulkan kekuatan untuk meningkatkan keuntungannya. Hasil ini mendukung hipotesis awal bahwa perbankan syariah walaupun mempunyai tingkat konsentrasi yang tinggi, tetap tidak menggunakan kekuatannya untuk mengeksploitasi pasar.

Hanya saja kajian ini tidak

membuktikan lebih jauh apakah tidak berhubungannya antara tingkat konsentrasi pasar terhadap keuntungan karena didorong oleh landasan normatif syariah atau karena tingkat contestability dalam industri tersebut. Hasil studi Amalia dan Nasution perlu dicerna secara hati-hati jika disandingkan dengan studi Kasri (2011) dan Kasri dan Kassim (2007). Studi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi nilai deposito mudharabah ini ternyata

44 memberikan informasi penting yang mempunyai implikasi signifikan dalam kajian SCP industri perbankan syariah. Salah satu hasil kajian ini memperlihatkan bahwa tingkat deposito mudharabah selain dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat real rate of return atau tingkat bagi hasil yang diterima oleh nasabah, juga dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat bunga riil perbankan konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa, paling tidak sebagian, nasabah perbankan syariah adalah nasabah yang rasional dan tidak murni idiologis atau emosional. Jika hasil ini valid, maka implikasinya adalah tidak relevannya menggunakan pendekatan strukturalis dalam mengkaji hubungan persaingan dengan kinerja jika tingkat konsentrasi hanya dihitung dengan penguasaan pangsa pasar dalam lingkup industri perbankan syariah saja. Konsumen ternyata mempersepsikan bahwa bank syariah dan konvensional berada pada pasar yang sama. Sayangnya studi ini tidak sampai mengestimasi seberapa besar elastisitas tingkat deposito mudharabah terhadap perubahan tingkat bunga bank konvensional sehingga dapat diperkirakan seberapa besar nasabah bank konvensional yang bersifat rasional dan tidak loyal.

Hasil beberapa kajian

tentang perilaku nasabah perbankan syariah seperti yang dirangkum oleh Fahmi (2010) juga mendukung indikasi tidak dominannya kelompok konsumen yang syariah loyalist sehingga batas pasar antara perbankan syariah dan perbankan konvensional perlu dikaji lebih dalam.

Kelemahan studi kualitatif preferensi

konsumen seperti yang dilakukan oleh BI (2005) adalah kesulitan untuk menggunakan hasilnya untuk menentukan berapa besar persentase konsumen yang mempersepsikan bank syariah dan bank konvensional berada pada pasar yang sama atau berbeda. Hasil studi Kasri (2011) dan Kasri dan Kassim (2007) juga hanya sampai indikasi adanya respon tingkat deposito perbankan syariah terhadap perubahan tingkat bunga bank konvensional, tetapi tidak sampai

45 menghitung lebih jauh seberapa sensitif respon tersebut sehingga dapat digunakan untuk menyimpulkan ada tidaknya market boundary yang jelas antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Temuan lain studi Kasri dan Kassim (2007) juga sebenarnya tidak begitu mengejutkan tetapi sangat penting untuk mengkonfirmasi pandangan umum, yaitu terjadi co-movement antara tingkat bunga dan tingkat bagi hasil riil. Hal ini menunjukkan perbankan syariah, diakui atau tidak, terbukti masih melakukan referensi terhadap tingkat bunga dalam menentukan tingkat bagi hasil. Akibatnya tidak terlalu mengherankan banyak kalangan masyarakat yang masih melihat bank syariah tidak lain dari bank yang beroperasi berdasarkan tingkat bunga namun dengan baju syariah. Hal ini juga ditemukan oleh Chong and Liu (2009) di Malaysia. 3.4. Kerangka Pemikiran Penelitian Penelitian ini dimotivasi oleh relatif rendahnya pertumbuhan pangsa pasar industri perbankan syariah di Indonesia dibandingkan dengan ekspektasi awal berdasarkan potensi pasar yang tersedia di Indonesia. Pertanyaan besarnya adalah kenapa potensi pasar yang demikian besar tidak dapat secara cepat dikonversi menjadi pangsa pasar yang riil? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu

diketahui

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

pertumbuhan

industri

perbankan syariah di Indonesia. Pertumbuhan industri merupakan salah satu ukuran kinerja industri sehingga paradigma SCP yang melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja suatu industri dapat digunakan sebagai kerangka analisis. Untuk melengkapi kerangka analisis yang seringkali diabaikan dalam pendekatan SCP, maka model analisis industri dari Porter akan diintegrasikan untuk

46 merancang model untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut. Secara ringkas, kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 4. Langkah pertama yang akan dilakukan adalah mengkaji dinamika struktur pasar industri perbankan syariah dan faktor-faktor yang membentuknya. Pada bagian ini akan dikaji perkembangan tingkat konsentrasi pelaku perbankan syariah di Indonesia sejak awal berdirinya sampai tahun 2010. Indikator seperti Rasio Konsentrasi akan digunakan untuk melihat tingkat konsentrasi tersebut. Sebagai asumsi awal, industri perbankan syariah dianggap terpisah dengan pasar perbankan konvensional. Namun secara empiris, asumsi ini akan diuji dengan melihat apakah ada hubungan tingkat dana pihak ketiga pada perbankan syariah dengan tingkat bunga riil pada perbankan konvensional. Hasil uji ini akan digunakan untuk menyimpulkan apakah berdasar memisahkan industri perbankan syariah dari industri perbankan secara keseluruhan. Rate of Return Bank Syariah

Variabel Makroekonomi

Nilai Dana Pihak Ketiga Market Boundary Tingkat Bunga Bank Konvensional

Pangsa Pasar

Keterangan:

Biaya-biaya Input

Total Revenue

Konsentrasi Pasar

Tingkat Persaingan Industri

Tingkat Keuntungan

merupakan variabel dependen yang digunakan.

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian

Pertumbuhan Industri (Total Aset)

Faktor Spesifik Bank

47

Jika hipotesis bahwa pasar perbankan syariah merupakan pasar yang terpisah dari industri perbankan secara keseluruhan dapat diterima, maka informasi tentang konsentrasi pasar dan pangsa pasar akan dapat digunakan sebagai faktor penjelas kinerja industri secara keseluruhan. Sebaliknya jika tidak cukup bukti untuk memperlakukan perbankan syariah sebagai industri yang terpisah, maka informasi tentang konsentrasi pasar dan pangsa pasar tidak akan bermakna banyak. Kajian lebih mendalam dengan memasukkan variabel dummy ukuran bank syariah yang memisahkan antara kelompok bank syariah yang dominan dengan bank syariah yang kecil akan dilakukan untuk melihat apakah kecenderungan umum tidak terpisahnya pasar terjadi pada seluruh bank atau hanya pada bank yang tidak mempunyai pangsa pasar yang dominan. Variabel dummy kelompok bank berdasarkan jenis bank seperti antara BUS dan UUS, Bank Nasional atau BPD, serta pengelompokan lain juga akan diuji. Pada saat yang sama dinamika perilaku bank dalam industri perbankan syariah juga akan dikaji secara deskriptif maupun melalui berbagai pendekatan kuantitatif. Pendekatan non-struktural dengan model Panzar dan Rosse akan digunakan untuk melihat tingkat persaingan industri industri perbankan syariah. Karena bersifat non-struktural, maka model ini tidak tergantung kepada hasil uji pada kajian struktur pasar sebelumnya. Hasil model ini akan menjadi substitusi jika kajian pendekatan struktural tidak dapat dilakukan dengan hasil yang meyakinkan karena tidak jelasnya market boundary. Seandainya kajian struktural dapat digunakan, maka hasil kajian model P-R ini akan memperkaya informasi tentang tingkat persaingan yang terjadi dalam industri yang hanya secara implisit dapat dilihat pada hubungan struktur pasar dan kinerja. Dalam model P-R ini pada dasarnya akan dilihat tingkat elastisitas tingkat penerimaan bank syariah

48 terhadap perubahan tingkat biaya input yang dikeluarkan oleh bank. Dari angka elastisitas akan dihitung H-statistic yang menjadi dasar pengkategorian tingkat persaingan industri. Pada bagian akhir, tingkat pertumbuhan aset industri perbankan syariah sebagai salah satu indikator kinerja yang menjadi fokus kajian ini akan dikaji dengan melihat berbagai determinan yang mempengaruhinya. Secara kelompok besar ada tiga tingkatan faktor yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan tersebut.

Kelompok pertama adalah faktor-faktor spesifik internal di tingkat

perbankan. Berbagai variabel yang terdapat dalam laporan keuangan perbankan akan diuji signifikansi dan arah pengaruhnya terhadap tingkat pertumbuhan aset. Kelompok kedua adalah variabel di tingkat industri yang mencakup tingkat persaingan antar

bank maupun dengan perbankan konvensional yang

dihipotesakan sebagai produk subsititusi. Variabel apa yang dapat dimasukkan sangat tergantung pada hasil kajian dinamika struktur pasar pada bagian pertama. Kelompok variabel yang ketiga adalah kelompok variabel kebijakan pemerintah dan makroekonomi seperti tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang secara teoretis dan empiris memang diduga berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan industri . Berdasarkan hasil-hasil beberapa model yang dirumuskan di atas akan dirumuskan berbagai implikasi dalam bentuk alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan baik oleh masing-masing perbankan syariah,

industri

perbankan syariah secara bersama-sama maupun oleh pemerintah untuk dapat mengakselerasi pertumbuhan industri.

Kebijakan yang dirumuskan hanya

sampai pilihan kebijakan, belum sampai rekomendasi prioritas dan analisis dampak.

49 IV. METODE PENELITIAN Berdasarkan tujuan penelitian, tinjauan teori dan kajian empiris terdahulu, maka Bab ini akan diawali dengan beberapa rumusan hipotesis yang akan diuji. Hipotesis ini akan memandu perumusan model analisis yang akan digunakan dan disajikan pada sub-bab berikutnya. Jenis dan sumber data serta metode pengolahannya akan menjadi menutup Bab. 4.1. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang akan duji dalam penelitian ini adalah: 1.

Tingkat bunga bank konvensional tidak mempengaruhi tingkat dana pihak ketiga di perbankan syariah. Hipotesis ini untuk menguji apakah industri perbankan syariah merupakan

industri yang terpisah dari industri perbankan konvensional. Jika tingkat bunga bank konvensional berpengaruh signifikan terhadap tingkat dana pihak ketiga pada bank syariah, maka industri bank syariah berarti berada dalam satu pasar dengan perbankan konvensional. Namun demikian, penerimaan hipotesis 1 ini perlu didalami lebih lanjut dengan melihat kemungkinan perbedaan antara bank syariah besar dengan bank syariah yang kecil mengingat industri perbankan syariah mempunyai tingkat konsentrasi yang tinggi karena didominasi oleh hanya dua bank besar. Bisa jadi secara keseluruhan dana pihak ketiga industri perbankan syariah dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat bunga bank konvensional, tetapi hal itu tidak terjadi pada bank-bank syariah yang besar atau terjadi dengan sensitivitas yang lebih rendah.

Untuk itu beberapa variabel

dummy kelompok bank berdasarkan jenis dan nilai asset akan dimasukkan ke dalam persamaan.

50 Sebaliknya, industri perbankan syariah dapat diduga merupakan pasar yang terpisah dengan industri perbankan konvensional jika nilai dana pihak ketiga pada perbankan syariah tidak secara signifikan dipengaruhi oleh tingkat bunga bank konvensional. 2.

Struktur pasar tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat keuntungan perbankan syariah. Hipotesis ini akan diuji jika hipotesis pertama diterima dalam arti industri

perbankan syariah merupakan pasar yang terpisah dengan industri perbankan konvensional. Pemastian batas pasar ini diperlukan agar perhitungan konsentrasi pasar sebagai proksi struktur pasar mempunyai justifikasi. Struktur pasar diduga tidak akan berpengaruh terhadap tingkat keuntungan bank karena secara normatif bank syariah tidak dibenarkan menggunakan kekuatan pasar yang dimilikinya

untuk

mengeksploitasi

pasar

dalam

rangka

meningkatkan

keuntungan. 3.

Industri perbankan syariah beroperasi dalam pasar yang bersaing secara sempurna. Dengan menggunakan model non-struktural Panzar dan Rosse dengan H-

Statistic yang dihasilkan dari hubungan antara perubahan penerimaan dengan perubahan biaya input, maka akan dapat diduga tingkat persaingan industri perbankan syariah tanpa harus menggunakan variabel struktur pasar. Dengan demikian, tingkat persaingan dalam industri perbankan syariah tetap dapat dijawab, walaupun hipotesis 1 ditolak sehingga hipotesis 2 tidak begitu berguna untuk diuji. Jika hipotesis ini terbukti, maka kesimpulannya akan sama atau memperkuat hasil pada hipotesis 2.

Bank syariah seharusnya bersaing

sempurna terlepas dari struktur pasar atau tingkat konsentrasi pasar yang terjadi.

51 4.

Tingkat pertumbuhan asset perbankan syariah dipengaruhi oleh variabel makroekonomi, variabel mikro tingkat industri dan variabel spesifik masingmasing bank. Hipotesis ini merupakan hipotesis umum yang berisi banyak hipotesis untuk

masing-masing variabel. Hipotesis ini secara umum untuk menjawab pertanyaan faktor-faktor apa

yang menjadi determinan tingkat pertumbuhan perbankan

syariah. Pada model analisis akan dijelaskan ekspektasi tanda koefisien untuk berbagai variabel yang digunakan dalam masing-masing persamaan. 4.2. Model Analisis 4.2.1. Model Umum Model

yang

digunakan

adalah

model

ekonometrika

dengan

menggunakan data panel perbankan syariah. Dengan penggunaan data panel, maka selain masalah keterbatasan data dapat teratasi, juga efek individu perbankan dan efek waktu sekaligus dapat dilihat. Model umum data panel yang akan digunakan adalah: 1.

Pendekatan Fixed Effects (FE) Y it = ∑α i D i + βX it + εit

..............................................................

(1) dimana: Yit = Variabel dependen Xit = Variabel independen α i = Intersep model yang berubah-ubah antar unit cross-section β = Slope D = Variabel dummy i = individu bank ke-i; dan t = periode waktu ke-t

52 ε = error 2.

Pendekatan Random Effects (RE) Y it = α 0 + βX it + ε it

dan

ε it = u it + v it + x it

.....................................

(2) dimana: u it = Error component cross-section v it = Error component time-series x it = Error component combinations Pemilihan pendekatan antara Fixed Effects dengan Random Effects akan menggunakan Uji Hausman untuk melihat pendekatan mana yang paling sesuai dengan data. Fixed Effects akan dipilih jika nilai statistik Hausman (H) yang diperoleh lebih besar dari nilai tabel Chi-square atau nilai P-value lebih kecil dari 0.01 (untuk tingkat kepercayaan 90%). Jika sebaliknya, maka model Random Effects yang akan dipilih (Firdaus, 2011; Baltagi, 2005; dan Verbeek, 2004). 4.2.2. Model Empiris Dalam penelitian ini akan dibangun empat model dengan variabel Y yang berbeda sesuai dengan hipotesis yang akan diuji. Keempat variabel Y adalah: 1.

Nilai Dana Pihak Ketiga (DPK) untuk mengklarifikasi keterkaitan antara pasar perbankan syariah dengan pasar perbankan konvensional,

2.

Tingkat Keuntungan Perbankan (ROA) untuk melihat tingkat persaingan dalam industri perbankan syariah Indonesia dengan pendekatan struktural,

3.

Penerimaan Total Bank (TR) untuk melihat tingkat persaingan dalam industri perbankan syariah dengan pendekatan non-struktural,

53 4.

Nilai Total

Asset Bank (ASET)

untuk mengidentifikasi determinan

pertumbuhan industri perbankan syariah. Seluruh variabel dalam Ln kecuali untuk variabel yang sudah dalam satuan persen. Dua variabel dummy akan digunakan pada keempat model baik secara sendiri (intersep) maupun sebagai dummy slope dengan diinteraksikan dengan berbagai variabel independen lainnya. Variabel D1 adalah dummy jenis bank dengan Bank Umum Syariah (BUS) =1 dan Unit Usaha Syariah (UUS) =0, sedangkan variabel D2 adalah variabel dummy ukuran bank dengan Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai dua bank syariah terbesar bernilai 1 dan bank syariah lainnya bernilai 0. 4.2.2.1. Persamaan DPK Variabel independen untuk menjelaskan tingkat DPK yang dikumpulkan oleh masing-masing bank adalah: tingkat rata-rata bagi hasil yang diberikan bank syariah (rate of return bank syariah - RR), jumlah total kantor cabang yang dimiliki bank (OFFICE), rata-rata tingkat bunga perbankan konvensional (IR), dan tingkat pertumbuhan ekonomi (RGDP).

Persamaan empiris yang diestimasi

untuk model dapat dirumuskan menjadi: LnDPKit = a 0 + a 1 D1RRit + a 2 D2IR it + a 3 lnOFFICE it + a 4RGDP t + a 5 lnIR/RR it + eit

...............................................................

(3) dimana DPK merupakan total dana pihak ketiga dalam bentuk giro, tabungan dan deposito dalam satuan Rupiah, OFFICE dalam satuan unit serta RR, IR dan RGDP dalam satuan persen. a 1 , a 3 dan a 4 diharapkan bernilai > 0, sedangkan a 2 dan a 5 bernilai <0.

54 Agar dapat diperbandingkan, kedua variabel RR dan IR diukur dengan bagi hasil dan tingkat bunga untuk deposito 6 bulan. Variabel RR diinteraksikan dengan D1 untuk melihat apakah ada perbedaan pengaruh tingkat bagi hasil terhadap kelompok BUS dan UUS, sedangkan variabel IR diinteraksikan dengan D2 untuk menguji dugaan bahwa bank syariah besar (BMI dan BSM) akan mempunyai daya tahan lebih besar terhadap pengaruh tingkat bunga bank konvensional dibandingkan dengan bank syariah kecil. Dalam persamaan ini dampak tingkat bunga bank konvensional terhadap DPK dilihat dengan memasukkan variabel rasio antara IR dengan RR yang menunjukkan harga relatif produk bank konvensional atau sebaliknya. Ada dua alasan kenapa variabel rasio IR/RR ini dirasa perlu untuk dimasukkan. Pertama, untuk mengantisipasi hasil studi Kasri (2007) dan Chong dan Liu (2009) yang menemukan adanya co-movement antara RR dan IR. Dengan dirasiokannya kedua variabel ini diharapkan akan tetap terlihat volatilitas variabel ini walaupun ada kecenderungan terjadinya arah pergerakan IR dan RR yang sama. Alasan kedua adalah untuk mengatasi masalah cross-section invariance pada variabel IR. Seluruh bank syariah dianggap menghadapi rata-rata tingkat bunga yang sama yang ditawarkan oleh bank konvensional sebagai pesaing mereka. Variabel yang juga berbentuk cross-section invariance adalah RGDP, tetapi dianggap tidak perlu dirasiokan dengan variabel spesifik bank syariah karena tidak ada masalah seperti yang dihadapi oleh variabel IR, walaupun ada resiko akan menghasilkan koefisien yang tidak signifikan.

4.2.2.2. Persamaan Tingkat Keuntungan Untuk model tingkat keuntungan yang diukur dengan ROA menggunakan model Smirlock (1985) dengan variabel independen yang digunakan adalah:

55 rasio konsentrasi (CR2), pangsa pasar (MS), interaksi MS dan CR2 (MSCR2), rasio BOPO, jumlah dana pihak ketiga (DPK), dan nilai asset bank (ASET). Model lengkap persamaan ini adalah: ROAit = b 0 + b1 D2CR2 it + b 2 D2MSit + b 3MSCR2it + b4 BOPOit + b 5 lnDPKit + b 6 lnASET it + e it

..............................................

(4) dimana ROA, CR2, MS dan BOPO dalam satuan persen, sedangkan DPK dan ASET dalam satuan Rupiah. ROA merupakan rasio antara total pendapatan dengan total aset bank. BOPO adalah persentase biaya operasional terhadap total pendapatan operasional yang banyak digunakan sebagai proksi kualitas manajemen. ASET adalah total nilai aktiva yang dimiliki oleh masing-masing bank. Konsentrasi pasar diukur dengan CR2, yaitu jumlah aset dua bank syariah terbesar dibagi dengan total nilai aset industri perbankan syariah.

CR2

digunakan karena secara konsisten dalam periode pengamatan, hanya ada dua bank besar yaitu BSM dan BMI yang mendominasi pasar. Bank syariah lainnya mempunyai pangsa pasar yang tingkatnya sangat jauh di bawah kedua bank tersebut. Pangsa pasar (MS) diukur dengan persentase nilai aset masing-masing bank syariah dibandingkan dengan total nilai aset industri perbankan syariah. Kedua variabel CR2 dan MS tidak diukur secara continuous, tetapi juga tidak sepenuhnya discrete. Martin (2002) menyatakan bahwa untuk variabel yang tidak signifikan jika menggunakan variabel

continuous dapat diatasi dengan

menggunakan variabel discrete dalam bentuk dummy 1 untuk satu kelompok observasi dan 0

untuk kelompok lainnya. Untuk kasus perbankan syariah

Indonesia penggunaan variabel discrete untuk variabel CR2 dan MS diperkirakan lebih tepat karena penguasaan pasar dapat secara jelas dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok besar (BSM dan BMI) dan kelompok kecil untuk bank

56 lainnya. Hal ini stabil ditemukan selama periode pengamatan. Dalam persamaan ini digunakan variabel semi-discrete dengan menginteraksikan kedua variabel CR2 dan MS dengan D2. Dasar dilakukannya interaksi ini adalah dugaan selama penguasaan pasar masih kecil, maka perbedaan antar bank tidak akan berpengaruh signifikan (dikalikan dengan D2=0), namun jika sudah masuk dalam kelompok besar perbedaan penguasaan pasar akan berpengaruh signifikan terhadap variabel independen (D2=1). Dalam persamaan ini diharapkan b 1 , b 2 , b 5 dan b 6 akan bertanda positif, sedangkan b 4 akan bertanda negatif. Tanda b 3 dapat bertanda negatif atau positif dan tanda tersebut akan menentukan apakah terdapat indikasi perilaku kolutif (b 3 >0) atau sebaliknya, b 3 <0 yang mendukung hipotesis persaingan yang didasarkan pada efisiensi (Efficient Structure Hypothesis). Untuk sampai pada kesimpulan hipotesis mana dalam hubungan antara keuntungan dan struktur pasar yang didukung, maka sebelum persamaan lengkap di atas akan diestimasi model restriktif dengan tiga persamaan berikut: ROAit = c 0 + c 1D2CR2it + c 2BOPOit + c 3 lnDPKit + c 4 lnASETit + eit .. .. (5) ROAit = d 0 + d1 D2MSit + d 2BOPOit + d 3 lnDPKit + d 4 lnASET it + e it

...

(6) ROAit = f 0 + f 1 D2CR2 it + f 2 D2MSit + f3 BOPOit + f4 lnDPK it + f 5 lnASETit + e it

........................................................................

(7) Jika c 1 >0, maka ada indikasi dukungan terhadap Traditional Hypothesis (TH) yaitu terjadi kolusi antar bank besar untuk mendapatkan tingkat keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan bank-bank kecil. Sebaliknya jika d 1 >0, maka ada indikasi dukungan terhadap Efficient Structure Hypothesis (ESH) yaitu

57 bank besar mampu mendapatkan keuntungan lebih besar daripada bank-bank kecil karena lebih efisien. Jika c 1 pada persamaan (5) dan d 1 pada persamaan (6) dua-duanya bertanda positif, maka perlu diestimasi persamaan (7) untuk memastikan hipotesis mana yang didukung. f 1 >0 dan f 2 =0 akan menjustifikasi TH, dan sebaliknya akan menjustifikasi ESH. Namun demikian, Smirlock (1985), bahkan kedua kemungkinan hasil pada persamaan (7) tidak konklusif. Untuk memastikannya diperlukan persamaan (4) dengan memasukkan variabel interaksi MSCR2 dengan penarikan kesimpulan seperti yang telah dikemukakan.

4.2.2.3. Persamaan Penerimaan Total Penentuan

jenis

dan

tingkat

persaingan

akan

didekati

dengan

pendekatan non-struktural Panzar dan Rosse yang menggunakan variabel Penerimaan Total (TR) sebagai variabel Y dengan variabel independen: biaya bagi hasil (BBH), biaya tenaga kerja (BTK), dan biaya-biaya lainnya yang menggambarkan biaya atas kapital dan overhead (BKAP). Selain itu juga akan dimasukkan variabel spesifik bank yang diwakili oleh rasio BOPO yang menggambarkan kualitas manajemen. Variabel D1 akan diikutkan dalam persamaan untuk mengakomodasi kemungkinan perbedaan intersep dua kelompok jenis bank, BUS dan UUS. Persamaan yang diestimasi adalah: LnTR it = g 0 + g 1 lnBBHit + g 2 lnBTKit + g 3 lnBKAP it + g 4BOPOit + g 5 D2lnBBHit + g 6D2lnBTKit + g 7D2BKAPit + g 8D1 it + e it ...... (8) dimana

TR, BBH, BTK, BKAP dalam satuan rupiah dan BOPO dalam satuan

persen. TR merupakan total penerimaan yang diperoleh masing-masing bank syariah dari berbagai pembiayaan yang dilakukan baik berupa pembiayaan

58 murabahah, mudharabah, maupun musyarakah. BBH adalah beban bagi hasil yang harus dikeluarkan oleh bank untuk dana pihak ketiga yang diterima. BTK adalah total beban biaya personalia yang dikeluarkan oleh bank. Sisa beban biaya yang dikeluarkan bank seperti biaya administrasi dan umum serta biaya overhead digabungkan menjadi BKAP. Semua koefisien g diharapkan bernilai positif kecuali untuk g 4 yang diharapkan bernilai negatif.

H-statistic akan dihitung sebagai penjumlahan

g 1 +g 2 +g 3 yang berarti sama dengan elastisitas penerimaan total terhadap perubahan biaya-biaya. H-stat bernilai negatif menunjukkan struktur pasar monopoli

atau

oligopli

yang

melakukan

kartel.

Kenaikan

biaya-biaya

menyebabkan naiknya biaya marjinal yang diikuti oleh naiknya tingkat harga. Pada struktur pasar monopoli, kenaikan harga akan menyebabkan turunnya penerimaan total karena pasar monopoli beroperasi pada wilayah elastisitas harga lebih besar dari satu (elastis). Sebaliknya pada pasar bersaing sempurna, kenaikan biaya-biaya akan menyebabkan naiknya biaya marjinal sebagian perusahaan merugi. Bank yang merugi pada akhirnya akan keluar dari pasar sampai akhirnya harga akan naik dan keuntungan kembali normal dalam keseimbangan jangka panjang. Dengan demikian H-stat pada pasar bersaing sempurna akan bernilai 1 yang berarti kenaikan biaya-biaya akan dikompensasi dalam jangka panjang oleh kenaikan penerimaan total dengan persentase yang sama sehingga tidak merubah tingkat keuntungan normal yang terjadi. Nilai Hstat antara 0 dan 1 menggambar pasar yang bersifat oligopolistik dan persaingan monopsonistik dengan kriteria semakin mendekati 1 H-stat yang diperoleh, semakin bersaing pasar tersebut. Penjelasan di atas menyiratkan bahwa sebelum angka H-stat digunakan, seharusnya terlebih dahulu dilakukan uji apakah industri berada dalam posisi

59 keseimbangan jangka panjang atau tidak. Untuk itu digunakan persamaan dengan variabel independen yang sama dengan persamaan model P-R (persamaan 8) tetapi dengan variabel independen tingkat keuntungan (dalam hal ini ROA). ROAit = h 0 + h1 lnBBH it + h 2 lnBTK it + h 3 lnBKAP it + h 4BOPOit + h 5 D2lnBBH it + h 6D2lnBTKit + h7 D2BKAPit + h 8D1 it + e it ....... (9) Industri disebut berada dalam keseimbangan jangka panjang jika penjumlahan h 1 +h 2 +h 3 pada persamaan (9) sama dengan nol. Jika hipotesis tersebut ditolak, maka artinya industri tidak berada dalam posisi keseimbangan jangka panjang. Posisi disequilibrium tidak berarti bahwa H-stat sama sekali tidak dapat digunakan, akan tetapi pembacaan hasil H-stat harus dilakukan secara hati-hati.

H-stat < 0 tidak lagi secara unik menunjukkan industri bersifat

monopolistik. Namun demikian, H-stat > 0 tetap sahih untuk digunakan menolak bahwa industri berada dalam struktur pasar monopoli atau kartel (Majid dan Sufian 2007). Goddard dan Wilson (2009) telah melakukan simulasi dan menyimpulkan bahwa walaupun ada bias terhadap nilai H-stat yang diperoleh jika industri tidak dalam keadaan equilibrium, bias tersebut tidak begitu serius untuk kelompok negara berkembang dan negara dengan ekonomi dalam masa transisi. Sebaliknya bias akan cukup serius untuk negara-negara yang perekonomiannya telah maju. Oleh karena itu, terlepas dari berhasil atau tidaknya membuktikan kondisi equilibrium pada penelitian ini, nilai H-stat masih tetap dapat digunakan secara konfiden untuk melihat indikasi tingkat persaingan pada industri perbankan syariah di Indonesia yang belum dapat dimasukkan ke dalam kelompok negara maju. 4.2.2.4. Persamaan Total Nilai Aset Bank

60 Variabel independen untuk model pertumbuhan industri yang diproksi dengan total

nilai aset adalah: variabel spesifik perbankan (jumlah kantor

cabang – OFFICE, pangsa pasar yang dikuasai – MS, dan kualitas manajemen yang diproksi dengan rasio BOPO), variabel industri (konsentrasi pasar yang diproksi oleh rasio konsentrasi dua bank syariah terbesar CR2, tingkat bunga bank konvensional yang dirasiokan dengan rate of return bank syariah), dan variabel makroekonomi yang diwakili oleh tingkat pertumbuhan ekonomi (RGDP) dan nilai tukar nominal (ER) dalam satuan Rupiah per USD. Pada dasarnya pada persamaan ini digunakan berbagai variabel independen yang telah digunakan pada berbagai persamaan sebelumnya kecuali persamaan TR yang variabelnya tidak berhubungan secara langsung. Karena ada kebijakan yang substansial terjadi tahun 2008 (Juli) dengan disahkannya UU Perbankan Syariah, maka ditambahkan variabel kebijakan pemerintah sebagai tambahan variabel eksternal bank

(D4). Variabel dummy ini bernilai 0 pada tahun 2008 dan

sebelumnya, sedangkan setelah tahun 2008 diberi nilai 1. Persamaan yang digunakan adalah: LnASETit = i + i 1 BOPO it + i 2 lnOFFICE it + i 3 D1RRit + i 4 D2IR it + i 5 D2MS it + i 6D2CR2 it + i 7 lnIR/RRit + i 8 RGDP t + i 9 D4t + i 10 ER t + e it

...........................................................

(10) dimana spesifikasi masing-masing variabel sama dengan spesifikasi variabel yang digunakan pada persamaan-persamaan sebelumnya. Untuk variabel baru D4 dan ER koefisien yang diharapkan adalah i 9 > 0 dan i 10 > 0 yang berarti

61 penerapan UU No 21/2008 dan depresiasi rupiah secara signifikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan industri. 4.3. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini sebagian besar adalah data sekunder bank syariah baik yang merupakan Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha Syariah baik pada tingkat industri maupun tingkat individual berdasarkan laporan bank kepada Bank Indonesia. Sebagian kecil sisanya adalah berbagai data pendukung dan data makroekonomi yang diambil dari BPS, World Bank dan IMF. Data yang digunakan adalah data tahunan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Walaupun industri perbankan syariah sudah dimulai pada tahun 1992, tetapi data yang reliabel dan tersedia di Bank Indonesia baru mulai sejak tahun 1995. Namun demikian, data-data sejak tahun 1995 tidak selalu konsisten tersedia untuk semua variabel yang diperlukan pada semua bank. Akhirnya karena keterbatasan katersediaan beberapa data tertentu yang diperlukan didapatkan panel data balanced yang paling optimal diperoleh seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4.

No

Jumlah dan Nama Bank serta Jumlah Observasi yang Digunakan dalam Model

Model

1

Persamaan DPK

2

Persamaan Keuntungan

Jml. Bank

Jml. Nama Bank Obs

6

36

11

66

BMI, BSM, Mega Syariah, BRI Syariah, Syariah Bukopin, DKI Syariah BMI, BSM, Mega Syariah, BRI Syariah, Syariah Bukopin, Permata Syariah, CIMB Niaga, BTN Syariah, DKI Syariah, Sumut Syariah,

62

3

Persamaan Penerimaan Total

10

60

4

Persamaan Total Aset

6

36

Kalbar Syariah BMI, BSM, Mega Syariah, BRI Syariah, Syariah Bukopin, Permata Syariah, CIMB Niaga, BTN Syariah, DKI Syariah, Sumut Syariah BMI, BSM, Mega Syariah, BRI Syariah, Syariah Bukopin, DKI Syariah

Dari Tabel 4 terlihat bahwa terdapat ukuran panel data yang berbeda untuk mengestimasi model yang berbeda kecuali untuk persamaan DPK dan persamaan Total Aset. Perbedaan panel data ini terpaksa ditempuh karena ada beberapa variabel yang ketersediaannya tidak konsisten pada beberapa bank tertentu. Untuk persamaan 1 dan 4 hanya dapat menggunakan data 6 bank karena tidak tersedianya data real rate of return (RR) secara konsisten untuk tahun 2005-2010 pada bank syariah selain dari keenam bank tersebut. Rincian keseluruhan database yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel Lampiran 1. Walaupun tidak seluruh BUS dan UUS dimasukkan ke dalam observasi, hasil yang diperoleh diperkirakan cukup mewakili berbagai keragaman yang ada pada industri perbankan syariah. Untuk panel data yang paling kecil (persamaan 1 dan 4), sampel mencakup BUS (BMI, BSM dan BSMI) dan UUS (Bank DKI Syariah, Bank BRI Syariah dan Bank Syariah Bukopin), BPD dan Bank dengan cakupan nasional, Bank yang mempunyai induk bank konvensional dan yang tidak (BMI) dan Bank besar serta bank kecil. Terlepas dari berbagai keragaman yang dapat dicakup, panel ini juga diperkirakan akan cukup mewakili industri karena dua bank yang dominan masuk dalam observasi. 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

63 Data

sekunder

yang

tersedia

pertama-tama

akan

diolah

untuk

mendapatkan variabel-variabel kondisi dasar, struktur pasar, perilaku dan kinerja industri perbankan syariah. Rumus-rumus rasio keuangan yang diperlukan dan rasio konsentrasi akan digunakan.

Rasio berbagai variabel pada industri

perbankan syariah dengan variabel perbankan konvensional

dan variabel

makroekonomi juga akan dieksplorasi untuk mendapatkan variabel yang dapat menjadi proksi perilaku perbankan syariah.

Keseluruhan data akan diolah

dengan bantuan software Excel dan model ekonometrika akan diolah dengan menggunakan software EViews versi 6. Pada penelitian ini seluruh persamaan diestimasi dengan menggunakan model Fixed Effects.

Pada persamaan yang memungkinkan, model

Fixed

Effects akan dibandingkan dengan model Random Effects dan diuji untuk mendapatkan model yang terbaik. Uji Hausman akan digunakan dalam hal ini. Masing-masing persamaan sudah melalui berbagai simulasi untuk akhirnya mendapatkan model yang terbaik. Untuk melihat goodness of fit keseluruhan model akan digunakan dua indikator yaitu Koefisien Determinasi (R2) dan P-value untuk F-stat.

Model

terbaik yang dipilih adalah model yang mempunyai Adjusted R2 yang paling besar dan P-value (F-stat) lebih kecil dari 0.1 yang berarti tingkat kepercayaan yang digunakan dalam penelitian ini minimal 90 persen. Untuk menguji tingkat signifikansi masing-masing paramater dugaan (konstanta dan koefisien) akan digunakan t-test dengan melihat P-value untuk masing-masing parameter. Tingkat kepercayaan yang digunakan minimal 90 persen sehingga jika P-value bernilai lebih kecil dari 0.1, maka H0 yang menyatakan bahwa parameter tersebut sama dengan 0 secara statistika tertolak. Sebaliknya, jika P-value bernilai lebih besar dari 0.1, maka parameter tersebut

64 secara statistika tidak berbeda nyata dengan 0 karena tidak cukup informasi untuk menolak H0 . Selain tingkat signifikansi, parameter yang diduga juga akan dilihat tanda dan besarannya. Tanda koefisien yang diperoleh harus sesuai dengan harapan yang telah dirumuskan di dalam model sesuai dengan tuntutan teori, kecuali ada hal-hal khusus yang dapat menjelaskan munculnya tanda yang berbeda dengan ekspektasi. Setelah lulus dari uji signifikansi dan uji tanda, barulah besaran koefisien akan diinterpretasi dan dibandingkan satu sama lain. Dalam hal persamaan (8) dan (9), konsentrasi analisis adalah pada penjumlahan koefisien BBH, BTK dan BKAP untuk mendapatkan nilai H-stat dan kondisi keseimbangan jangka panjang. Koefisien yang tidak signifikan akan disamakan dengan nilai 0, berapapun estimasi angka koefisien yang tertulis pada hasil olahan.

65 V. GAMBARAN UMUM STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

Walaupun konsep Ekonomi Islam secara umum telah dirumuskan dan dipraktekkan sejak awal agama Islam dikembangkan, perwujudannya dalam bentuk kelembagaan Bank yang didasarkan pada syariat Islam baru dirintis di Mesir tahun 1960an.

Bermula dari sana, perbankan Islam berkembang ke

berbagai belahan dunia sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakat, khususnya muslim, akan alternatif dari sistem perbankan konvensional. Banyak kelompok umat Islam yang telah lama meyakini bahwa sistem perbankan konvensional dengan sistem bunganya dianggap dan telah difatwakan tidak sesuai dengan syariah. Pada sisi lain, sistem perbankan konvensional juga dari waktu ke waktu memicu berbagai krisis yang bersumber dari kelemahan sistem yang melekat dengan sistem yang digunakan sehingga

industri perbankan

menjadi salah satu industri yang paling diatur (highly regulated) di dunia untuk meminimumkan dampak negatifnya. Dengan demikian, diperkenalkannya perbankan Islam tidak hanya ditunggu oleh mereka yang secara idiologis memang telah meyakini ketidaksesuaian sistem pebankan konvensional dengan syariah, tetapi juga menjadi harapan bagi mereka yang merasa tidak puas dengan sistem perbankan konvensional selama ini. Pada Bab ini akan diuraikan terlebih dahulu secara deskriptif sejarah perkembangan perbankan Islam yang dikenal dengan istilah perbankan syariah di Indonesia. Sejarah perkembangan peraturan dan perundang-undangan yang mempengaruhi pertumbuhan industri perbankan syariah juga akan disajikan dalam satu sub-bab tersendiri. Setelah itu barulah diulas secara berturut-turut dinamika struktur pasar, perilaku persaingan dan terakhir kinerja industri perbankan syariah di Indonesia. Keseluruhan informasi pada Bab ini akan

66 menjadi latar belakang informasi untuk memahami berbagai hasil kajian empiris yang akan dilakukan pada Bab-bab selanjutnya. 5.1. Sejarah Perkembangan Industri Perbankan Syariah di Indonesia Mulainya perbankan syariah di Indonesia dapat dikatakan relatif terlambat dibandingkan dengan perkembangan pada berbagai negara berpenduduk muslim lainnya. Negara-negara seperti Mesir, Pakistan, Kuwait, Bahrain, UEA, Malaysia, Iran dan Turki, misalnya, telah memulai industri perbankan syariah sejak akhir tahun 70-an dan awal tahun 80-an yang berarti satu dekade lebih awal dari Indonesia. Perkembangan pada berbagai negara berpenduduk muslim tersebut terakselerasi sejak didirikannya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI). Salah satu tugas IDB, selain memenuhi berbagai kebutuhan negara Islam untuk pembangunan, juga membantu mendirikan bank-bank Islam di berbagai negara anggotanya dengan menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan dan pengawasan bank syariah. Untuk pengembangan sistem Ekonomi Syariah secara umum baik dalam bidang perbankan maupun sektor keuangan secara umum, IDB membangun Islamic Research and Training Institute (IRTI) yang juga berkedudukan di Jeddah (Antonio, 2001). Sejarah perbankan syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1992 dengan didirikannya Bank Muámalat Indonesia (BMI). Berdirinya BMI ini merupakan buah dari rangkaian diskusi yang dilakukan oleh beberapa cendekiawan muslim yang diikuti oleh prakarsa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia pada tahun 1990. Dari kelompok kerja inilah akhirnya lahir bank Muámalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia.

67 Sampai tahun 1999 perkembangan perbankan syariah cenderung stagnan

karena

pada

dasarnya

BMI belum

mempunyai

mitra

untuk

mengembangkan diri selain beberapa BPRS yang sudah mulai banyak berdiri pada periode tersebut. Baru setelah berdirinya Bank Syariah Mandiri pada tahun 1999 dengan suntikan modal yang besar dari Bank Mandiri sebagai bank konvensional terbesar di Indonesia, perkembangan industri perbankan syariah terlihat lebih hidup. Bank Umum Syariah (BUS) memang masih relatif lambat perkembangannya pada saat itu, tetapi Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) berkembang lebih cepat. Jumlah BUS tidak bergerak dari jumlah 2 bank sampai tahun 2003 dan hanya bertambah satu lagi menjadi 3 (Bank Mega Syariah Indonesia) pada tahun 2004 yang bertahan sampai tahun 2007. Setelah tahun 2007 baru berkembang relatif pesat sampai mencapai 11 bank pada akhir tahun 2010 (lihat Tabel 5). Sementara itu, bank BUMN dan swasta nasional maupun asing satu per satu membuka bank syariah tetapi kebanyakan dimulai dengan bentuk UUS pada awal berdirinya. Perkembangan UUS pada masa-masa awal berdirinya sangat terbantu dengan menempel kepada citra, jaringan dan fasilitas induknya seperti office channeling dan jaringan ATM. Namun UUS bukanlah bentuk ideal bank syariah yang diharapkan karena ia hanya menjadi agen perluasan bisnis bank konvensional. Bank syariah ideal yang diharapkan adalah BUS yang mandiri terlepas dari bank konvensional. Pada akhirnya karena perkembangan atau tuntutan peraturan, UUS seharusnya dikonversi menjadi BUS sehingga pada tahun tertentu dapat saja ditemukan jumlah UUS berkurang dibandingkan tahun sebelumnya. Bank BRI Syariah (2009), BNI Syariah (2000), Syariah Bukopin (2008) dan BCA Syariah (2010) merupakan contoh-contoh bank yang berawal dari UUS yang pada akhirnya berubah menjadi BUS beberapa tahun

68 kemudian. Jumlah UUS sempat mencapai jumlah tertinggi sebanyak 27 bank pada akhir tahun 2008. 5.2.

Perkembangan Regulasi Industri Perbankan Syariah Perkembangan perbankan syariah di Indonesia lebih dipelopori oleh pihak

masyarakat dan dunia usaha dibandingkan inisiatif pemerintah. Oleh karena itu, regulasi dan intervensi pemerintah biasanya datang belakangan setelah mendapat masukan dan tekanan dari pihak pelaku usaha. Secara umum, bank syariah di Indonesia berdiri berdasarkan landasan legal yang sangat sederhana pada tahun 1992.

Industri perbankan syariah baru mendapatkan landasan

sebuah Undang-undang yang utuh 16 tahun kemudian.

Akibatnya dapat

dipahami kenapa pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia sampai tahun 2008 bergerak lambat. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, peranan keberpihakan pemerintah dalam pertumbuhan industri perbankan syariah sngat besar, terutama pada saat awal-awal pertumbuhan. Oleh karena itu, perkembangan jumlah dan aset bank syariah di Indonesia juga diduga sejalan

dengan

perkembangan

peraturan

perundang-undangan

yang

mendukung. Pada awal BMI berdiri, keberadaan bank syariah hanya didukung oleh dibolehkannya bank beroperasi dengan sistem bagi hasil pada UU No. 7 Tahun 1992. Dalam UU ini, istilah bank syariah atau bank Islam sama sekali belum disebutkan secara eksplisit di dalam batang tubuh. Kesimpulan bahwa bank yang beroperasi berdasarkan sistem bagi hasil baru mendapatkan penjelasan yang mengarahkan kepada Bank Syariah pada PP No.2 Tahun 1992 dengan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan syariat dalam melakukan kegiatan usaha bank. Dengan

69 demikian, pada tahapan ini, penjelasan tentang perbankan dengan sistem bagi hasil terkesan hanya berupa sisipan dan hanya diuraikan secara sepintas (Antonio, 2001). Penyebutan secara spesifik sebagai bank dengan prinsip bagi hasil tanpa menyebut bank syariah menyebabkan kemampuan operasi bank syariah pada saat itu menjadi sangat terbatas karena prinsip bagi hasil hanya merupakan salah satu sistem yang dapat digunakan sebuah bank syariah. Eksistensi

kebaradaan

perbankan

syariah

baru

secara

eksplisit

dikukuhkan pada UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan Perbankan yang merupakan

perubahan

UU

tentang

perbankan

yang

sebelumnya

(UU

No.7/1992). Di dalam UU ini entitas perbankan Islam secara tegas disebutkan sebagai Bank Syariah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syariah. Walaupun masih menjadi satu dengan UU Perbankan secara umum, landasan hukum serta jenisjenis usaha yang dapat dijalankan oleh bank syariah dijelaskan dengan rinci. Namun demikian, sebagai bagian dari UU perbankan secara keseluruhan, tentu saja keluasaan untuk menjelaskan berbagai aspek perbankan syariah secara menyeluruh dan terintegrasi menjadi terbatas. Tahun 2008 menjadi tahun yang bersejarah bagi industri perbankan syariah karena akhirnya UU yang khusus mengatur Perbankan Syariah, yaitu UU No. 21 Tahun 2008 disahkan pada bulan Juli. Secara rinci, batang tubuh UU ini dapat dibaca pada Lampiran 6, namun untuk menghemat tempat pada Lampiran tersebut tidak disertakan penjelasan pasal per pasal yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU. Untuk melihat sejauhmana pengaruh kebijakan yang telah lama ditunggu oleh industri perbankan syariah ini terhadap kinerja industri secara keseluruhan, maka pada penelitian ini akan diuji pengaruh kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan industri di dalam model pertumbuhan industri.

70 Keluarnya UU No.42 /2009 tentang Amandemen UU PPN yang efektif berlaku mulai 1 April 2010 semakin melengkapi kondusifnya peraturan yang mendukung pertumbuhan industri perbankan syariah (Rohilina dan Wibisono, 2011). Sebelumnya bank syariah selalu terbebani dengan pajak berganda yang dikenakan dalam transaksi murabahah, sehingga mempunyai dayasaing yang lebih rendah dibandingkan dengan bank konvensional untuk transaksi yang mereka lakukan. Mulai 1 April 2010, level of playing field antara perbankan syariah dan perbankan konvensional menjadi setara.

Hanya saja industri

perbankan syariah dengan pangsa yang sangat kecil tentu saja bukan tandingan bagi bank konvensional yang sudah demikian besar dan mempunyai sejarah jauh lebih panjang. Perlakuan pemerintah kepada industri perbankan syariah sebagai infant industry masih banyak terdengar diharapkan oleh beberapa pelaku bank syariah. 5.3. Dinamika Struktur Pasar Perbankan Syariah Indonesia Karena umur industri yang masih relatif muda, maka struktur pasar pada industri perbankan syariah masih sangat dinamis. Sejak dimulai tahun 1992, industri perbankan syariah pada dasarnya dikuasai oleh hanya satu bank, yaitu BMI sampai berdirinya BSM pada tahun 1999. Keberadaan BPRS pada periode tersebut dapat diabaikan karena kecilnya pangsa pasar yang mereka kuasai dan BPRS memang mempunyai karakteristik yang berbeda. Tabel 5 memperlihatkan perkembangan jumlah bank syariah dari tahun 2000 sampai tahun 2010. Dari segi jumlah, terlihat dari bahwa BUS secara stabil dikuasai oleh hanya dua bank sampai tahun 2003 dan tiga bank sampai tahun 2007. Ketiga bank tersebut adalah BMI, BSM dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI). Namun dibandingkan dengan BMI dan BSM, pangsa BSMI sangat tertinggal jauh dengan

71 pangsa pasar hanya sekitar 5 persen, dibandingkan BSM dan BMI dengan pangsa masing-masing di atas 30 dan 20 persen.

Karena umumnya BUS

berukuran jauh lebih besar daripada UUS dan BPRS, maka dapat dinyatakan bahwa struktur pasar industri perbankan syariah sangat terkonsentrasi, paling tidak sampai tahun 2007. Trend pada Gambar 5 memperlihatkan bahwa memang rasio konsentrasi dua bank terbesar (CR2) cenderung menurun dalam lima tahun terakhir, akan tetapi kedua bank BSM dan BMI masih tetap mendominasi pangsa pasar pada industri perbankan syariah Indonesia. Tabel 5.

Indikator

Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2000-2010 2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

BUS (unit)

2

2

2

2

3

3

3

3

5

6

11

UUS (unit)

3

3

6

8

15

19

20

25

27

25

23

88

92

105

114

131

138

150

443

550

567

683

951

1223

1763

BPRS 79 81 83 84 (unit) Kantor 146 182 229 337 (unit) Sumber: Statistik Perbankan Syariah, BI.

Penurunan

CR2

merupakan

konsekuensi

logis

dari

semakin

bertambahnya bank syariah baik BUS maupun UUS, terutama pada tiga tahun terakhir. Penurunan tingkat konsentrasi akibat semakin banyaknya jumlah bank syariah mengindikasikan potensi terjadinya peningkatan persaingan dalam industri perbankan syariah Indonesia. Trend ini semakin diperkuat jika dilihat dari sisi konsumen. Pada saat awal periode bank syariah didirikan, kemungkinan besar mayoritas nasabah adalah termasuk kategori nasabah syariah loyalist yang berarti hanya mau berinteraksi dengan bank syariah. Pada periode awal ini, bank syariah berarti diuntungkan oleh dua hal, yaitu masih sedikitnya pesaing

72 sesama bank syariah dan tidak perlu khawatir nasabah akan berpindah ke bank konvensional. Namun dengan berjalannya waktu, segmen nasabah kategori ini yang diperkirakan tidak lebih dari 25 persen dari seluruh jumlah nasabah (Fahmi 2010) akan semakin habis digarap oleh bank syariah yang ada. Bank syariah harus memperluas target pasarnya kepada kelompok nasabah yang tidak lagi loyal

hanya

kepada

bank

syariah.

Berubahnya

karakter

nasabah

ini

menyebabkan batas persaingan bank syariah tidak hanya dengan sesama bank syariah yang jumlahnya semakin banyak, tetapi juga dengan bank konvensional yang secara relatif mempunyai berbagai keuntungan dari segi jangkauan layanan, ukuran, dan pengalaman.

Sumber: Statistik Perbankan Syariah, berbagai tahun, diolah.

Gambar 5. Kecenderungan Perubahan CR2 dan Pangsa Pasar Dua Bank Terbesar BSM dan BMI Periode 2005-2010

5.4. Dinamika Perilaku Bank Syariah Indonesia Dinamika pada struktur pasar secara konseptual juga akan menyebabkan dinamika pada perilaku bank. Namun untuk perilaku bank ini agak sulit diamati

73 dengan hanya melihat data sekunder. Diperlukan pendalaman dengan mengolahnya lebih jauh dan dukungan data primer untuk mendapatkan indikasi perilaku bank yang berlangsung. Secara prinsip bank syariah seharusnya tetap bersaing secara sempurna terlepas dari struktur pasar yang terjadi.

Namun

sampai sekarang belum tersedia prosedur dan belum muncul urgency dari pihak pengawas untuk secara efektif memperhatikan tingkat kepatuhan terhadap prinsip bersaing secara islami tersebut. Akibatnya dapat terjadi baik disadari atau tidak bank syariah menerapkan perilaku bersaing yang tidak islami, terutama oleh bank dominan yang secara riil mempunyai kekuatan pasar. Oleh karena itu beberapa indikasi awal dapat merujuk kepada beberapa studi terdahulu, walaupun belum tentu masih menggambarkan kondisi terkini yang mungkin sudah berubah. Sebagaimana diungkapkan pada Bab III, kajian Amalia dan Nasution (2007) mengindikasikan bahwa bank syariah bersaing dengan mengandalkan efisiensi bukan perilaku kolutif, terutama dari bank-bank dominan, walaupun hasil estimasinya tidak sepenuhnya meyakinkan. Hasil studi Weill (2009) berdasarkan data cross-country, walaupun tidak spesifik untuk kasus Indonesia, sejalan dengan hasil yang diperoleh oleh Amalia dan Nasution (2007) dengan menyimpulkan bahwa dalam industri perbankan syariah ditemukan struktur pasar persaingan monopolistik seperti halnya pada industri perbankan konvensional. Padahal pada awalnya

Weill (2009) menduga

perbankan syariah akan mengindikasikan kekuatan pasar yang relatif lebih tinggi dibandingkan

dengan

perbankan

konvensional

karena

tingkat

loyalitas

nasabahnya. Temuan ini sebenarnya malah memberikan bukti awal akan prinsip persaingan yang islami, yaitu terlepas dari struktur pasar yang terbentuk, bank syariah harus menunjukkan tingkat persaingan tinggi.

74 Salah satu indikator perilaku yang diduga menunjukkan tekanan persaingan baik sesama bank syariah maupun dengan bank konvensional adalah perilaku bank syariah dalam menetapkan tingkat bagi hasil. Hasil studi Kasri (2007) menunjukkan terjadinya co-movement antara tingkat bagi hasil (rate of return) dengan tingkat bunga bank konvensional. Hal ini ternyata juga ditemukan oleh Chong dan Liu (2009) dan Zainol dan Kassim (2010) di Malaysia. Kecenderungan ini berarti bank syariah selalu memperhatikan tingkat bunga dalam menetapkan tingkat bagi hasil. Gambar 6 mengkonfirmasi kecenderungan tersebut walaupun terlihat volatilitas tingkat bagi hasil relatif lebih kecil dibandingkan dengan volatilitas tingkat bunga di perbankan konvensional.

Gambar 6.

Perbandingan Pergerakan Rate of Return Perbankan Syariah dengan Pergerakan Tingkat Bunga Perbankan Konvensional Periode Tahun 2005-2010

Hal lain yang dapat dibaca dari Gambar 6 adalah strategi bank syariah yang cenderung segera ikut menaikkan RR pada saat IR naik, namun tidak mengikuti dengan kecepatan dan ketajaman yang sama pada saat IR menurun.

75 Strategi ini diperkirakan harus dilakukan oleh bank syariah untuk menjaga agar nasabahnya yang bukan syariah loyalist tidak memindahkan dana mereka ke bank konvensional.

Tentu saja strategi bank syariah untuk selalu mengikuti

pergerakan IR ini walaupun efektif juga beresiko merusak pencitraan perbankan syariah yang terkesan menjadi tidak berbeda dengan bank konvensional. Jika strategi ini hendak terus dilakukan diperlukan proses edukasi secara terus menerus kepada masyarakat untuk menjelaskan bahwa itu hanya sekedar strategi bersaing tanpa mengganggu kesyariahan akad yang telah disepakati. Kecenderungan co-movement antara tingkat bagi hasil dengan tingkat bunga bank konvensional diduga terkait dengan struktur pembiayaan industri perbankan syariah yang masih didominasi skema murabahah yang merupakan skema jual beli dengan marjin yang tetap. Untuk skema jenis ini, memang bank syariah harus selalu memperhatikan tingkat bunga yang berlaku pada perbankan konvensional untuk tetap kompetitif.

Data pada Gambar 7 memperlihatkan

bahwa skema pembiayaan murabahah masih mendominasi dengan porsi di atas 55 persen sampai akhir tahun 2010, walaupun cenderung menurun dari tahun ke tahun.

Sayangnya kecenderungan penurunan murabahah tidak diikuti oleh

kenaikan porsi mudharabah/musyarakah yang hanya fluktuatif di sekitar angka 30-an persen. Persistennya proporsi yang rendah pada skema pembiayaan yang berdasarkan bagi hasil bukan hanya terjadi di Indonesia. Hal ini merupakan gejala umum pada bank Islam di berbagai negara lain. Jika dibandingkan dengan proporsi pembiayaan berbasis bagi hasil di negara lain seperti Malaysia, Pakistan dan negara-negara Timur Tengah, sebenarnya proporsi yang dicapai Indonesia sudah lebih baik (Ascarya, 2011). Dalam kajiannya menggunakan metode ANP

76 dengan responden 20 praktisi dan 15 ahli perbankan syariah, Ascarya menemukan bahwa masalah utama yang menyebabkan persistensi rendahnya skema pembiayaan berbasis bagi hasil adalah: 1. kurangnya pengetahuan nasabah tentang skema pembiayaan berbasis bagi hasil, 2. kurangnya komitmen dari pihak otoritas untuk menerapkan skema pembiayaan berbasis bagi hasil, 3. sistem nilai yang kurang mendukung penerapan skema pembiayaan berbasis bagi hasil, 4. orientasi bisnis atau keuntungan dari manajemen puncak perbankan syariah, dan 5. kurangnya dukungan dari pihak pemerintah.

Sumber: Bank Indonesia, Berbagai Tahun, Diolah

Gambar 7.

Kecenderungan Persentase Pembiayaan Berdasarkan Skema Tahun 2005-2010

77 Untuk mengatasi masalah utama di atas, beberapa solusi dirumuskan oleh Ascarya (2011), yaitu edukasi tentang skema pembiayaan berbasis bagi hasil kepada nasabah, meningkatkan komitmen manajemen puncak perbankan, merumuskan protokal dan grand strategy, mengeluarkan regulasi yang mendukung dan meningkatkan komitmen, kemauan serta serta keberanian politik pemerintah.

Agar

solusi tersebut

dapat

terwujud diperlukan strategi

pengembangan produk, peningkatan pelayanan, dan pemetaan pasar serta kebijakan perlakuan yang adil dan profesionalisme pelaku perbankan syariah. 5.5. Kinerja Industri Perbankan Syariah Indonesia Pada Bab I telah disajikan beberapa indikator kinerja industri perbankan syariah (lihat Tabel 1). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa industri perbankan syariah sudah tumbuh secara konsisten dengan laju pertumbuhan yang jauh lebih tinggi daripada laju pertumbuhan perbankan konvensional. Tabel 5 juga menyajikan kinerja dalam bentuk jumlah bank baik BUS, UUS, BPRS maupun jumlah kantor. Kesemua indikator kembali menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan seperti halnya pertumbuhan nilai aset, khususnya dalam hal jumlah kantor yang meningkat lebih dari sepuluh kali lipat dalam satu dekade. Tabel 6 menyajikan data lain yang merupakan salah satu keunggulan perbankan syariah yang belum pernah mampu ditandingi oleh perbankan konvensional, yaitu tingginya rasio pembiayaan dibandingkan dengan jumlah dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Angka yang pada beberapa tahun tertentu bahkan melebihi 100 persen menunjukkan bahwa perbankan syariah berpotensi besar sebagi agen pertumbuhan ekonomi dengan tingginya persentase dana yang dikembalikan kepada masyarakat. Satu masalah yang masih menjadi kritik terhadap tingginya jumlah pembiayaan ini adalah pada

78 aspek komposisi pembiayaan yang masih didominasi jenis murabahah (lebih dari 50% pembiayaan), bukan mudharabah dan musyarakah yang akan berhubungan langsung dengan pertumbuhan sektor riil. Tabel 6.

Perkembangan Nilai Deposit, Pembiayaan dan Rasio Finance to Deposit (FDR) Perbankan Syariah Periode 2000-2010

Indikator

00

01

02

03

04

05

06

07

08

09

10

Pembiaya an (Rp. T)

1.3

2.1

3.3

5.5

11.5

15.2

19.5

27.9

38.2

46.9

68.2

Deposit (Rp. T)

1.0

1.8

2.9

5.7

11.9

15.6

20.7

25.7

36.9

52.3

76.0

FDR (%)

123

113

112

97

97

98

95

109

104

90

90

Sumber: Statistik Perbankan Syariah Indonesia, BI

Terlepas dari berbagai indikator kinerja perbankan syariah yang sangat mengesankan, laju

pertumbuhannya ternyata tidak cukup tinggi

meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah secara signifikan.

untuk

Akibatnya

target pencapaian pangsa pasar yang telah ditetapkan tidak pernah tercapai. Tidak heran kalau muncul pertanyaan apakah pertumbuhan industri perbankan syariah yang tinggi hanya karena fenomena umum dari sebuah industri yang masih muda dan mempunyai pangsa yang masih kecil. Dalam kasus Indonesia, hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengingat besarnya potensi yang dimiliki oleh pasar Indonesia untuk pertumbuhan perankan syariah. Beberapa indikator kinerja perbankan syariah yang harus mendapatkan perhatian serius adalah tingkat Non Performing Financing (NPF) yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata Non Performing Loan (NPL) perbankan konvensional, walaupun persentasenya masih di bawah ambang batas yang ditetapkan Bank Indonesia dan memperlihatkan kecenderungan yang semakin membaik. Lebih tingginya NPF dibandingkan dengan NPL mengindikasikan

79 bahwa tingkat eksposur perbankan syariah terhadap resiko relatif tinggi dan atau kemampuan bank syariah mengelola resiko relatif lebih rendah dibandingkan dengan perbankan konvensional (Rohilina dan Wibisono, 2011). Jika hal ini tidak diperhatikan, maka dikhawatirkan akan dapat mengganggu dayasaing perbankan syariah terhadap perbankan konvensional sehingga semakin memperberat upaya meningkatkan pangsa pasar secara signifikan. Selain masalah NPF, rasio BOPO yang sering dugunakan untuk menggambarkan kualitas manajemen perbankan syariah juga relatif masih stabil berada pada tingkat antara 75 sampai 85 persen seperti terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8.

Rasio BOPO Dua Bank Syariah Terbesar dan Rata-rata Industri Periode 2005-2010

Aspek kualitas manajemen ini berpotensi untuk lebih ditekan lagi dalam rangka meningkatkan dayasaing dan akhirnya pangsa pasar perbankan syariah. Gambar 8 memperlihatkan bahwa bahkan untuk bank syariah yang besar dan paling berpengalaman (BMI dan BSM), tingkat BOPOnya masih di atas rata-rata BOPO industri perbankan syariah.

Namun demikian, di tengah terbatasnya

ketersediaan SDM perbankan syariah, upaya ini memang tidak mudah. Tekanan kepentingan bisnis dan keuntungan serta pertumbuhan dalam waktu cepat,

80 menyebabkan banyak bank syariah yang lebih senang membajak SDM yang sudah jadi dari bank syariah lain daripada mengembangkannya sendiri. Jalan pintas dengan merekrut tenaga profesional dari perbankan konvensional juga tidak terhindarkan, walaupun tenaga profesional tersebut tidak sepenuhnya yakin akan keunggulan perbankan syariah.

81 VI. DINAMIKA STRUKTUR PASAR DAN TINGKAT PERSAINGAN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH INDONESIA Dalam paradigma SCP, kinerja bank dipengaruhi oleh struktur pasar dan perilaku bersaing bank.

Sejauhmana paradigma tersebut berlaku untuk

industri perbankan syariah Indonesia akan didalami pada Bab ini.

Bagian

pertama akan mengklarifikasi keterkaitan antara industri perbankan syariah dengan industri perbankan konvensional yang secara konseptual saling bersaing satu sama lain. Pada bagian kedua akan digunakan pendekatan struktural untuk menilai tingkat persaingan dalam industri perbankan syariah Indonesia. Bagian terakhir ditujukan untuk melihat hal yang sama namun dengan menggunakan pendekatan non-struktural. 6.1. Batasan Pasar Perbankan Syariah Pada model ini digunakan model FE karena model RE tidak valid pada saat diuji dengan Uji Hausman. Hasil estimasi yang diringkas dari Lampiran 2, disajikan pada Tabel 7. Secara kesuluruhan model menunjukkan goodness of fit yang baik dengan P-value untuk F-stat lebih kecil dari 0.1. R2 mencapai tingkat 0.93 yang berarti 93 persen keragaman variabel DPK dapat dijelaskan oleh keragaman variabel independen yang digunakan. DW stat 1.84 walaupun tidak ideal tetapi tidak mengindikasikan terjadinya masalah autokorelasi yang serius. Seluruh koefisien signifikan berbeda dengan nol dengan tingkat kepercayaan 99 persen kecuali untuk koefisien pertumbuhan ekonomi (RGDP). Banyak studi yang telah mengindikasikan bahwa sebagian besar nasabah perbankan syariah bukan merupakan nasabah yang loyal (Fahmi 2010) sehingga kuat dugaan pasar perbankan syariah tidak terpisah secara tegas dengan perbankan

secara

umum.

Tabel

7 memperlihatkan

bahwa

perbankan

82 konvensional bahkan masih bersifat komplementer dengan perbankan syariah. Hal ini diperlihatkan oleh tanda positif dan signifikan koefisen variabel rasio tingkat bunga bank konvensional dengan tingkat bagi hasil bank syariah (IR/RR) yang berarti semakin meningkatnya tingkat bunga secara relatif juga akan ikut meningkatkan dana pihak ketiga pada perbankan syariah. Temuan ini bukan merupakan hal yang mengejutkan karena Chong dan Liu (2009) serta Zainol dan Kassim (2010) menemukan indikasi yang sama pada industri perbankan syariah Malaysia dan Kasri dan Kassim (2007) membuktikan terjadinya comovement antara tingkat rate of return bank syariah dengan tingkat bunga pada perbankan konvensional di Indonesia. Agenda berkelanjutan penelitian BI tentang Model Indeksasi Return Sektor Riil sebagai Benchmark Pricing dan Informasi Kinerja Sektor Ekonomi bagi Perbankan Syariah (Bank Indonesia 2011) memperkuat dugaan bahwa infrastruktur untuk penentuan tingkat bagi hasil bagi perbankan syariah belum terbangun dengan mapan sehingga tingkat bunga bank konvensional masih dijadikan referensi oleh bank syariah untuk menentukan tingkat marjin dan bagi hasil. Tabel 7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah Variabel OFFICE D1RR D2IR IR/RR RGDP C

Koefisien 0.509900 0.146715 -0.360544 1.475678 -0.045923 12.48806 R-squared 0.933798 Adjusted R-squared 0.907317 F-statistic 35.26327 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 1.849029

P-value 0.0012 0.0028 0.0003 0.0017 0.7308 0.0000

83 Co-movement yang terjadi antara rate of return dengan tingkat bunga diduga kuat sejalan dengan fakta pada Gambar 7 tentang kecenderungan porsi pembiayaan berdasarkan jenis skema. Masih dominannya porsi pembiayaan yang menggunakan instrumen fixed rate seperti murabahah menyebabkan perbankan syariah harus selalu merujuk tingkat bunga bank konvensional dalam menetapkan marjin agar tetap kompetitif terhadap perbankan konvensional. Sampai akhir tahun 2010, porsi pembiayaan murabahah perbankan syariah, walaupun cenderung menurun dari tahun ke tahun, masih berada pada tingkat lebih dari 55 persen (Bank Indonesia 2011a). Oleh karena itu, untuk menghilangkan

kecenderungan

ini

perbankan

syariah

harus

semakin

meningkatkan porsi pembiayaan yang berdasarkan skema bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah.

Dengan skema bagi hasil yang semakin

mendominasi, maka rate of return otomatis akan semakin independen dari pergerakan suku bunga bank konvensional karena terbebas dari keuntungan ataupun kerugian yang terjadi pada sektor keuangan. Sayangnya data pada Gambar

7

memperlihatkan

bahwa

porsi

skema

pembiayaan

mudharabah/musyarakah hanya fluktuatif pada tingkat 30-an persen dan belum terlihat mampu mengambil alih kecenderungan pembiayaan murabahah yang semakin menurun. Koefisien IR/RR sebesar 1.47 menunjukkan bahwa kenaikan harga relatif rasio tingkat bunga dengan tingkat bagi hasil sebesar 1 persen akan meningkatkan nilai DPK sebesar 1.47 persen. Angka koefisien ini merupakan koefisien yang terbesar yang diperoleh dibandingkan dengan koefisien dari variabel-variabel penjelas perubahan DPK lainnya. Sayangnya belum diperoleh informasi berapa elastisitas nilai DPK bank konvensional terhadap perubahan rasio IR/RR ini sehingga dapat dibandingkan nilai DPK bank syariah atau

84 konvensional yang lebih responsif terhadap perubahan IR/RR.

Dugaan awal

dengan melihat laju pertumbuhan bank syariah yang selalu lebih tinggi, bank syariah mendapatkan manfaat lebih besar dari volatilitas rasio IR/RR. Dugaan ini diperkuat dengan strategi bank syariah seperti diindikasikan dan dijelaskan pada saat mengulas Gambar 6. Faktor berikutnya yang secara signifikan berpengaruh positif terhadap nilai DPK adalah jangkauan pelayanan dalam bentuk jumlah kantor cabang (OFFICE). Koefisien sebesar 0.51 menunjukkan bahwa kenaikan jumlah kantor cabang sebesar 1 persen akan menaikkan nilai DPK sebesar 0.51 persen, ceteris paribus. Memang pengaruh jumlah cabang tersebut tidak elastis, tetapi OFFICE merupakan variabel dengan pengaruh terbesar kedua setelah rasio IR/RR. Jika dilihat lebih dalam pada internal industri perbankan syariah, variabel interaksi D1 dengan RR menunjukkan bahwa BUS mendapatkan tambahan tingkat DPK yang lebih besar dibandingkan dengan UUS untuk setiap kenaikan tingkat bagi hasil yang sama, yaitu 0.15 persen lebih tinggi. Selain itu, variabel interaksi D2 dengan IR yang bertanda negatif memperlihatkan bahwa dua bank terbesar dalam industri perbankan syariah (BMI dan BSM) mendapat pengaruh 0.36 persen lebih kecil dari perubahan tingkat bunga bank konvensional dibandingkan dengan dengan bank syariah yang kecil. Hasil ini mengindikasikan kemampuan BSM dan BMI sebagai bank besar mengikat nasabahnya lebih baik dibandingkan bank syariah lainnya yang relatif kecil. Selain berbeda kemiringan antar kelompok bank dalam hal pengaruh IR dan RR, perbedaan konstanta masing-masing bank juga terjadi pada model ini, sesuai dengan model yang digunakan yaitu model FE. Tabel 8 memperlihatkan perbedaan konstanta masing-masing bank yang dimasukkan dalam model

85 dibandingkan dengan konstanta keseluruhan yang terlihat pada Tabel 7. Sejalan dengan ukuran bank, BSM dan BMI mempunyai konstanta yang tertinggi, lalu diikuti secara berturut-turut oleh Bank Syariah Bukopin, Syariah Mega Indonesia, DKI Syariah dan terakhir BRI Syariah. Secara keseluruhan terlihat bahwa BSM dan BMI berada dalam satu kelompok tersendiri dan empat bank lainnya juga berada dalam satu kelompok tersendiri. Hal inilah yang menjustifikasi penggunaan variabel dummy D2 dimana relevan pada berbagai model dalam penelitian ini. Sebagaimana diungkapkan pada Bab IV, bahwa D2 dengan nilai 1 untuk BSM dan BMI dan bernilai 0 untuk bank lainnya. Tabel 8. Perbedaan Konstanta Masing-masing Bank yang Termasuk dalam Model Bank Syariah Mega Indonesia BRI Syariah Syariah Bukopin Muamalat Indonesia Syariah Mandiri DKI Syariah

Perbedaan Konstanta

Konstanta Sesungguhnya

-1.20829 -1.91541 - 0.71029 2.57317 2.98043 -1.71963

11.27977 10.57266 11.77778 15.06123 15.46849 10.76843

Satu-satunya variabel makroekonomi yang dimasukkan, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi (RGDP) ternyata menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 90 persen. meragukan karena seharusnya positif.

Tanda yang diperoleh juga

Dengan demikian, tidak signikannya

koefisien RGDP menjadi blessing in disguised secara statistika, jika melihat tandanya yang tidak sesuai harapan tersebut.

Tidak signifikannya pengaruh

RGDP yang diperoleh pada model ini belum tentu disebabkan memang tidak berpengaruhnya variabel ini, tetapi juga dapat disebabkan kurangnya variasi untuk variabel ini. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab IV, bahwa variabel makroekonomi hanya bervariasi dengan waktu tetapi secara cross-section tidak

86 bervariasi. Dalam simulasi, invariance ini sudah dicoba untuk diatasi dengan merasiokan RGDP dengan RR, misalnya, yang menggambarkan strategi bank syariah dalam merespon pertumbuhan ekonomi, akan tetapi hasilnya membuat model secara keseluruhan menjadi lebih buruk. Upaya memasukkan variabel dummy kebijakan D4 juga dilakukan dan berhasil menyebabkan variabel RGDP signifikan dan positif, tetapi menyebabkan variabel-variabel lain yang menjadi fokus utama pada persamaan ini (IR/RR) tidak signifikan dan model secara keseluruhan lebih buruk, yang ditunjukkan oleh Adjusted-R2 yang lebih rendah. Alasan lain kenapa tidak signifikannya peran RGDP ini akhirnya tidak begitu dipermasalahkan karena memang penekanan model ini adalah pada pengaruh variabel IR/RR untuk melihat keterkaitan industri perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Pada model pertumbuhan industri, variabel ini akan didalami lebih lanjut karena pengaruhnya tidak dapat diabaikan begitu saja. 6.2. Hubungan Struktur Pasar dan Tingkat Keuntungan Pada model ini ada empat persamaan yang diestimasi dengan mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Smirlock (1985). Keempat persamaan diestimasi dengan menggunakan model FE dan ringkasan hasilnya disajikan pada Tabel 9. Hasil uji Hausman memperlihatkan model FE lebih sesuai untuk model ini dibandingkan dengan model Random dengan Chi-sqr Stat 26.24 dan P-value 0.0002.

Rincian hasil estimasi dapat dilihat pada Lampiran 3.

Seluruh

persamaan yang diestimasi mempunyai goodness of fit yang baik dengan F-test yang signifikan pada tingkat kepercayaan 99% dan R2 di atas 86%. Industri perbankan syariah Indonesia ditandai oleh struktur pasar yang sangat terkonsentrasi, walaupun dengan penguasaan yang semakin menurun dari tingkat nilai CR2 lebih dari 75 % pada tahun 2005 menjadi hanya sekitar 55

87 % pada tahun 2010. Penurunan nilai CR2 ini sejalan dengan semakin banyaknya jumlah bank syariah. Terlepas dari kecenderungan CR2 yang semakin menurun, sejak tahun 1999 pangsa pasar perbankan syariah terus dikuasai secara dominan oleh hanya dua bank besar yaitu BSM dan BMI. Bank terbesar setelah kedua bank tersebut hanya menguasai masing-masing kurang dari 7 % pangsa pasar. Tabel 9.

Ringkasan Hasil Estimasi Hubungan Struktur Pasar dengan Tingkat Keuntungan Perbankan Syariah

Variabe Intersep

CR2

MS

MSCR2

-9.8991 (0.0000) -10.1866 (0.0007) -9.1808 (0.0014) -14.4392 (0.0001)

0.0057 (0.0059)

-

-

BOPO

ASET

DPK

-0.0459 (0.0000) -0.0459 (0.0000) -0.0454 (0.0000) -0.0493 (0.0000)

2.5419 (0.0001) 2.4757 (0.0000) 2.3319 (0.0004) 2.5924 (0.0001)

-1.5601 (0.0022) -1.5233 (0.0008) -1.4310 (0.0049) -1.4296 (0.0023)

Terikat ROA ROA ROA ROA

Keterangan:-

-0.0133 (0.6675) 0.2699 (0.0276)

0.1259 (0.0001) 0.1529 (0.0328) 0.4536 (0.0015)

-0.0064 (0.0157)

Pvalue (F-stat)

R2

0.0000

0.86

0.0000 0.0000 0.0000

0.88 0.87 0.91

Angka dalam kurung adalah P-value untuk koefisien di atasnya Semua variabel dalam bentuk Ln kecuali BOPO, CR2 dan MS yang sudah dalam satuan persen. Variabel CR2 dan MS diinteraksikan dengan Dummy BMI dan BSM=1 dan selainnya= 0

Teori Mikroekonomi mengatakan bahwa tingkat konsentrasi yang tinggi berpotensi untuk menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap pasar sehingga mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat, sementara secara normatif perbankan syariah tidak diperbolehkan untuk menggunakan potensi kekuatan pasarnya untuk mengeksploitasi pasar. Namun sampai sekarang baik BI maupun Dewan Pengawas Syariah belum mempunyai mekanisme dan prosedur untuk memastikan tidak dilanggarnya landasan normatif tersebut, terutama oleh Bank Syariah yang dominan. Tabel 9 memperlihatkan bahwa dari persamaan pertama, konsentrasi pasar berpengaruh positif dan signifikan terhadap keuntungan bank syariah yang mendukung hipotesis tradisional bahwa bank yang dominan mempergunakan

88 kekuatan pasar mereka untuk mendapatkan ekstra keuntungan. Namun persamaan kedua juga memperlihatkan bahwa pangsa pasar berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat keuntungan yang menunjukkan bahwa bank yang mempunyai pangsa pasar yang lebih besar mempunyai tingkat efisiensi yang lebih tinggi dari pesaingnya sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Persamaan ini mendukung hipotesis Efficient Structure. Untuk menguji hipotesis mana yang berlaku, kedua variabel MS dan CR2 secara bersamaan dimasukkan ke dalam model. Ternyata setelah dikontrol dengan MS, CR2 menjadi tidak signifikan, sedangkan MS tetap positif dan signifikan. Menurut Smirlock (1985), hasil ini secara mutlak menunjukkan dukungan terhadap hipotesis Efficient Structure. Pembuktian lebih lanjut adalah diperolehnya koefisien yang negatif dan signifikan pada variabel interaksi MS dan CR2 (MSCR2) sesuai dengan ekspektasi. Jika konsentrasi yang tinggi menyebabkan perilaku kolutif yang dicirikan oleh pembagian keuntungan yang tidak proporsional antara bank besar dan kecil, maka koefisien MSCR2 akan positif dan signifikan. Hasil ini memperbaiki ketidakjelasan kesimpulan yang diperoleh oleh Amalia dan Nasution (2007) tentang hubungan struktur pasar dan keuntungan pada perbankan syariah dengan menggunakan data bulanan (Januari 2002-Nopember 2005) dan hanya menggunakan tiga bank syariah sebagai sampel. Selain variabel-variabel utama yang telah menghasilkan kesimpulan sesuai dengan yang diduga seperti di atas, model ini juga menggunakan variabel lain yang tergolong ke dalam variabel spesifik bank yaitu BOPO, ASET dan DPK. Keseluruhan variabel ini pada seluruh persamaan berpengaruh signifikan dengan tanda sesuai dengan yang diharapkan, kecuali untuk variabel DPK. BOPO yang biasanya digunakan sebagai proksi kualitas manajemen menunjukkan pengaruh

89 yang negatif dalam arti semakin tinggi rasio BOPO (yang menunjukkan kualitas manajemen yang semakin kurang baik) akan menyebabkan turunnya tingkat keuntungan yang diukur dengan ROA.

Namun demikian jika dilihat besaran

pengaruh, terlihat bahwa pengaruh perubahan rasio BOPO terhadap ROA tidak terlalu besar, yaitu hanya sekitar 0.05 persen untuk setiap 1 persen kenaikan rasio BOPO. Pengaruh ASET terhadap ROA jauh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh BOPO. Untuk seluruh persamaan, setiap kenaikan perubahan ASET sebesar 1 persen akan menyebabkan kenaikan ROA sebesar 2.5 persen. Dengan demikian, strategi untuk meningkatkan jumlah ASET bukan hanya strategis untuk meningkatkan pangsa pasar industri perbankan syariah secara keseluruhan, tetapi juga sangat strategis untuk meningkatkan tingkat profitabilitas masing-masing bank. Variabel DPK mempunyai tanda pengaruh yang agak mengejutkan karena bertanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar Dana Pihak Ketiga yang dikumpulkan cenderung menyebabkan tingkat profitabilitas yang semakin rendah. Besarnya investasi yang diperlukan untuk meningkatkan DPK dengan memperluas jangkauan seperti pembangunan kantor cabang diduga menjadi salah satu penyebab tanda yang negatif ini. 6.3. Tingkat Persaingan Industri Perbankan Syariah Indonesia Model non-struktural P-R untuk industri perbankan syariah Indonesia juga diestimasi dengan menggunakan model FE dan hasilnya disajikan pada Tabel 11. Model Random untuk persamaan ini tidak valid untuk diestimasi karena banyaknya variabel yang bernilai 0 dan 1.

Jika variabel dummy dan yang

diinteraksikan dengan variabel dummy dihilangkan, maka model RE dapat diuji

90 (Lihat Lampiran 4a). Hasilnya ternyata juga memperlihatkan model FE lebih baik dengan Chi-sqr = 14.49 dan P-value=0.0059. Oleh karena itu model FE akan digunakan dan untuk mendapatkan kedalaman informasi variabel dummy dan yang diinteraksikan dengan dummy kembali dimasukkan. Hasil secara rinci disajikan pada Tabel Lampiran 4. Hasil estimasi memperlihatkan goodness of fit yang baik dengan F-test yang signifikan pada tingkat kepercayaan 99%, R2 hampir 100% dan seluruh koefisien kecuali untuk variabel BTK signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Namun sebelum itu, terlebih dahulu disajikan hasil uji kondisi equilibrium jangka panjang pada industri perbankan syariah Indonesia. Hasil estimasi persamaan untuk uji keseimbangan tersebut disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil Estimasi Persamaan ROA dengan Seluruh Variabel Independen yang Digunakan pada Persamaan P-R Variabel BBH BTK BKAP D1 D2BBH D2BTK D2BKAP BOPO C

Koefisien

P-value

-0.303857 0.197996 0.198743 0.702562 0.342122 -0.175003 -0.254413 -0.017150 2.137001 R-squared 0.922854 Adjusted R-squared 0.891628 F-statistic 29.55432 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 2.048146

0.0000 0.0337 0.0104 0.0004 0.0003 0.0847 0.0020 0.0000 0.0000

Dari data pada Tabel 10 dapat dikalkulasi bahwa total nilai koefisien BBH, BTK dan BKAP pada persamaan ROA menghasilkan angka sebesar 0.09 yang berarti tidak persis sama dengan 0 yang menunjukkan posisi keseimbangan jangka panjang, walaupun cukup mendekati.

Namun pada Bab IV sudah

91 diuraikan bahwa apapun hasil uji tingkat keseimbangan ini tidak akan mengganggu terlalu serius nilai H-stat industri perbankan syariah Indonesia yang diperoleh, kecuali jika diperoleh H-stat yang negatif dan kasus negara maju. Dengan demikian, perhitungan H-stat dapat dilanjutkan. Kalkulasi H-stat dari hasil estimasi pada Tabel 11 menghasilkan angka 0.92 yang merupakan penjumlahan dari koefisien BBH dan BKAP. Koefisien BTK tidak dimasukkan karena nilainya tidak signifikan atau sama dengan nol yang terlihat dari nilai Prob. yang jauh di atas 0.05. Walaupun angka H-stat tidak sampai persis sama dengan 1 yang menunjukkan pasar yang bersaing sempurna, tetapi nilai yang mendekati satu tersebut mengindikasikan bahwa industri perbankan syariah berada pada struktur pasar persaingan monopolistik dengan tingkat persaingan yang sangat tinggi. Hasil ini semakin memperkuat hasil estimasi dengan pendekatan struktural yang menunjukkan bahwa walaupun struktur pasar terkonsentrasi sangat tinggi, industri perbankan syariah tidak menggunakannya untuk menghambat persaingan. Dengan demikian, necessary condition untuk pembuktian bahwa prinsip persaingan yang sehat pada perbankan syariah tetap berlangsung terlepas dari struktur pasar yang terjadi sudah terpenuhi. Hanya saja, tingkat persaingan yang tinggi tersebut dapat disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, industri perbankan syariah secara sadar mengikuti tuntunan landasan normatif syariah yang tidak membolehkan persaingan yang tidak sehat walaupun mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Kemungkinan kedua penyebab tingginya tingkat persaingan adalah besarnya tekanan persaingan yang semakin tinggi (contestability) baik dari perbankan konvensional yang pasarnya tidak terpisah secara tegas maupun jumlah bank syariah yang tumbuh secara progresif serta keberadaan potential entrants yang besar karena relatif

92 kecilnya hambatan persyaratan untuk mendirikan bank syariah.

Untuk

membuktikan kemungkinan mana yang terjadi, diperlukan pendalaman lebih lanjut

terhadap indikasi awal tersebut dan ini merupakan sufficient condition

tingkat kepatuhan perbankan syariah terhadap landasan syariah dalam perilaku bersaingnya. Sayangnya, tahapan pembuktian sufficient condition di atas, di luar ruang lingkup penelitian ini karena diperlukan dukungan informasi data primer tentang perilaku bersaing masing-masing bank dan persepsi konsumen terhadap berbagai strategi yang dijalankan oleh perbankan syariah. Tabel 11. Hasil Estimasi Model P-R Industri Perbankan Syariah Indonesia Variabel BBH BTK BKAP D2*BBH D2*BTK D2*BKAP BOPO D1 C

Koefisien

0.141015 -0.036018 0.768720 0.352603 0.188113 -0.405440 -0.011822 0.842287 2.588527 R-squared 0.999509 Adjusted R-squared 0.999310 F-statistic 5026.928 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 2.104536

P-value 0.0009 0.6775 0.0000 0.0000 0.0338 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

Keterangan:- Seluruh variabel dalam bentuk Ln kecuali BOPO yang sudah dalam bentuk persen. - D2 adalah variabel Dummy bank dominan (BMI dan BSM = 1; selainnya = 0). - D1 adalah variabel Dummy jenis bank (BUS = 1; UUS = 1).

Analisis lebih lanjut dengan menginteraksikan variabel-variabel biaya dengan D2 hanya memberikan indikasi awal bahwa bank syariah yang dominan, yaitu BMI dan BSM, mempunyai tingkat persaingan yang tidak sama dengan tingkat persaingan yang berjalan pada industri perbankan syariah secara umum seperti terlihat pada signifikannya semua koefisien variabel-variabel biaya yang

93 diinteraksikan dengan D2. Hal ini diduga karena mereka dapat mengkapitalisasi keunggulan yang dimiliki baik dari segi nilai aset, jangkauan, pelayanan maupun sejarah yang sudah lebih panjang dibandingkan dengan bank syariah pesaingnya untuk membuat nasabahnya lebih loyal. Bank syariah besar yang diwakili oleh BSM dan BMI mempunyai tingkat elastisitas penerimaan total yang lebih besar dibandingkan dengan bank-bank kecil terhadap perubahan beban bagi hasil dan beban tenaga kerja. Bank besar secara berturut-turut mempunyai elastisitas 0.35 dan 0.19 lebih tinggi untuk setiap perubahan beban bagi hasil dan beban tenaga kerja. Untuk elastisitas terhadap perubahan beban kepital sebaliknya, bank besar mempunyai elastisitas 0.41 poin lebih rendah dibandingkan dengan elastisitas bank kecil. Selain dummy kemiringan, model ini juga memasukkan variabel dummy intersep untuk melihat perbedaan kelompok BUS dan UUS.

Hasilnya

memperlihatkan bahwa BUS mempunyai penerimaan total yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan bank yang berstatus UUS. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien D1 yang bernilai positif 0.84 dan P-value 0.00. Walaupun informasi utama yang ingin didapatkan dari persamaan ini adalah angka H-Stat, tetapi persamaan juga memberikan informasi lain yang berharga untuk diungkapkan.

Penerimaan total bank ternyata mempunyai

elastisitas paling tinggi terhadap perubahan beban kapital, yaitu 0.77. Elastisitas ini memperlihatkan bahwa setiap kenaikan biaya kapital sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan total bank syariah sebesar 0.77 persen, atau tidak elastis. Respon penerimaan total lebih tidak elastis lagi terhadap perubahan beban bagi hasil, yaitu hanya 0.14, bahkan tidak terpengaruh oleh perubahan biaya tenaga kerja.

94 Variabel terakhir adalah BOPO yang juga signifikan berpengaruh negatif terhadap penerimaan total, walaupun besaran pengaruhnya tidak terlalu berarti. Memburuknya kualitas manajemen yang digambarkan oleh kenaikan rasio BOPO sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan penerimaan total sebesar 0.01 persen.

95 VII. DETERMINAN PERTUMBUHAN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Hasil analisis pada Bab VI baru berbicara tentang dinamika struktur pasar dan perilaku persaingan industri perbankan syariah di Indonesia. Bagaimana dinamika tersebut berhubungan dengan pertumbuhan industri yang menjadi dasar permasalahan pada awal penelitian ini belum terjawab. Pada Bab ini akan dianalisa faktor-faktor yang menjadi determinan pertumbuhan industri tersebut dan apa implikasi yang dapat dirumuskan untuk mengakselerasi pertumbuhan industri di masa yang akan datang. Berdasarkan hasil tersebut dan beberapa hasil analisis pada Bab sebelumnya yang terkait, beberapa implikasi akan dirumuskan pada akhir Bab. 7.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Industri Hasil estimasi pada model-model terdahulu digunakan sebagai masukan untuk merumuskan model pertumbuhan industri perbankan syariah. Variabel yang mewakili kelompok faktor spesifik bank, kelompok variabel di tingkat industri dan variabel eksternal industri baik dari pesaing maupun variabel makroekonomi diambil dari persamaan-persamaan sebelumnya, kecuali variabel pada model non-struktural tidak ada yang digunakan karena tidak berhubungan secara langsung. Selain itu, ada dua variabel baru yang sebelumnya belum digunakan dimasukkan ke dalam persamaan ini. Kedua variabel tersebut adalah variabel eksternal nilai tukar (ER) untuk memproksi determinan masuknya modal asing dan keluarnya kapital pada saat terjadi perubahan harga rupiah, serta variabel kebijakan pemerintah dalam bentuk variabel dummy disahkan dan diterapkannya UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

96 Model yang digunakan kembali model FE karena model RE tidak dapat diestimasi sehubungan dengan jumlah variabel independen yang lebih banyak dari jumlah sampel bank yang digunakan (jumlah cross-section). Hasil estimasi secara rinci disajikan pada Lampiran 5 dan ringkasannya disajikan pada Tabel 12. Dari Tabel terlihat bahwa secara keseluruhan goodness of fit model baik dengan F test yang signifikan dan R2 di atas 96%. Dari dua belas parameter yang diduga, ada tiga variabel yang tidak signifikan yaitu variabel MS, D2IR dan C. Variabel lainnya signifikan dengan tingkat kepercayaan paling kecil 93%. Tabel 12. Hasil Estimasi Variabel yang Mempengaruhi Pertumbuhan Industri Perbankan Syariah di Indonesia dengan Variabel Terikat LnAset Bank Variabel BOPO D2MS D2CR2 D2IR D1RR OFFICE RGDP IR/RR D4 ER C

Koefisien -0.007382 0.015500 -0.034586 0.031734 0.111601 0.295969 0.214303 0.229088 1.008684 2.267376 -8.754401 R-squared 0.986956 Adjusted R-squared 0.977174 F-statistic 100.8886 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 1.576590

P-value 0.0004 0.6300 0.0524 0.5725 0.0002 0.0028 0.0142 0.0602 0.0000 0.0019 0.1488

Variabel spesifik bank yang diwakili oleh rasio BOPO dan jumlah kantor (OFFICE) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan industri. Pertumbuhan jumlah kantor mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh perbikan kualitas manajemen yang diproksi dengan rasio BOPO.

Setiap

kenaikan jumlah kantor sebesar 1 persen akan meningkatkan total nilai aset

97 perbankan syariah sebesar 0.30 persen, sedangkan penurunan rasio BOPO sebesar 1 persen hanya akan menaikkan total nilai aset sebesar 0.01 persen. Untuk kelompok variabel industri diperoleh hasil yang menarik dengan tidak signifikannya variabel pangsa pasar (D2MS) dan signifikan serta negatifnya variabel konsentrasi pasar (D2CR2). Nilai koefisien D2CR2 sebesar -0.03 menunjukkan bahwa setiap kenaikan konsentrasi pasar sebesar 1 persen akan menurunkan pertumbuhan industri sebesar 0.03 persen, sedangkan perubahan penguasaan pangsa pasar sama sekali tidak berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan industri. Dengan demikian, pengaruh variabel pangsa pasar dan konsentrasi pasar terhadap keuntungan bank (Tabel 9) berlawanan dengan pengaruh kedua variabel tersebut terhadap pertumbuhan industri. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa tingkat keuntungan bank lebih dipengaruhi oleh pangsa pasar daripada oleh struktur pasar, sedangkan untuk tingkat pertumbuhan industri sebaliknya. Hal ini berarti, walaupun konsentrasi pasar tidak perlu dikhawatirkan dalam konteks akan menyebabkan persaingan yang tidak sehat dalam industri perbankan syariah, tetapi dapat menjadi faktor penghambat pertumbuhan industri secara keseluruhan. Pertumbuhan industri akan lebih terdorong dengan semakin meratanya penguasaan pangsa pasar antar bank yang berada dalam industri atau berkurangnya tingkat konsentrasi dalam industri, terutama untuk bank yang sekarang dominan. Kesimpulan ini tidak berarti bahwa bank yang sudah besar harus dihambat pertumbuhannya, melainkan seluruh bank harus bekerjasama untuk meningkatkan pangsa pasar industri secara keseluruhan dengan dorongan kepada yang masih kecil untuk secara progresif tumbuh dengan lebih cepat dibandingkan dengan bank besar. Kasus pertumbuhan Bank BRI Syariah yang tumbuh sangat cepat setelah menjadi BUS sehingga

98 mengambil alih posisi Bank Syariah Mega Indonesia dalam waktu relatif cepat merupakan salah satu pengalaman yang dapat dipatokduga. Selain faktor spesifik bank dan internal industri, variabel eksternal dari industri perbankan konvensional yang diwakili oleh variabel rasio IR/RR juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dengan pengaruh yang masih konsisten dengan hasil sebelumnya.

Positif dan signifikannya koefisien rasio IR/RR

menunjukkan masih komplementernya hubungan antara bank syariah dengan bank konvensional dalam aspek pertumbuhan, namun dengan tingkat elastisitas yang lebih kecil dibandingkan dengan pada saat hubungan dengan nilai DPK. Perubahan rasio IR/RR sebesar 1 persen akan menyebabkan perubahan pertumbuhan industri perbankan syariah sebesar 0.23 persen. Variabel eksternal makro yang diwakili oleh laju pertumbuhan ekonomi (RGDP)

dan tingkat nilai tukar

(ER)

berpengaruh signifikan terhadap

pertumbuhan industri perbankan syariah, bahkan dengan kecenderungan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok variabel internal industri maupun faktor spesifik bank. Kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan industri perbankan syariah sebesar 0.21 persen, bahkan perubahan nilai tukar dengan persentase yang sama akan menyebabkan perubahan pertumbuhan industri dengan persentase lebih dari dua kali lipat. Kebijakan pemerintah dalam bentuk disahkannya UU No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah ternyata menjadi faktor yang mempunyai besaran pengaruh terbesar kedua setelah nilai tukar. Hal ini dapat dilihat dengan positif dan signifikannya koefisien variabel dummy D4. Disahkan dan diberlakukannya UU tersebut menyebabkan naiknya intersep pertumbuhan industri perbankan syariah sebesar 1 persen.

99 Analisis perbandingan antar kelompok bank memperlihatkan bahwa pengaruh tingkat bunga bank konvensional terhadap nilai aset bank tidak berbeda antara bank syariah besar dan kecil seperti terlihat pada koefisien D2IR yang tidak signifikan. Sebaliknya, tingkat bagi hasil mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap nilai aset bank syariah antara BUS dan UUS dimana BUS akan menerima dampak lebih besar dibandingkan dengan UUS. Hal ini terlihat dari koefisien yang positif dan signifikan pada variabel D1RR. 7.2. Beberapa Implikasi Hasil analisis dan pembahasan pada Bab VI dan Bab VII ini memunculkan beberapa implikasi penting bagi kebijakan untuk mengakselerasi pertumbuhan industri perbankan syariah.

Implikasi berlaku bagi berbagai

pemangku kepentingan industri perbankan syariah seperti bank syariah itu sendiri, industri, regulator atau pengawas dan masyarakat secara luas. 7.2.1.

Implikasi terhadap Bank Syariah Kecenderungan bank konvensional membuka UUS dan akhirnya di-spin-

off menjadi BUS mendapatkan justifikasi dari studi ini tanpa kekhawatiran terjadinya

kanibalisasi

nasabah

karena

kedua

industri

masih

bersifat

komplementer baik bagi kepentingan bank (persamaan DPK) maupun untuk kepentingan industri perbankan secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak ada dilema antara kepentingan individual bank dengan kepentingan industri dalam hal ini. Hanya saja hubungan yang bersifat komplementer antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional tidak seharusnya terus dipertahankan karena secara konseptual seharusnya kedua industri bersifat substitusi. Karena penyebab utama hubungan komplementer ini diduga adalah terjadinya co-

100 movement antara tingkat bunga dan tingkat bagi hasil, maka bank syariah perlu terus menerus berupaya kembali ke jati dirinya dengan meningkatkan proporsi pembiayaan yang berdasarkan bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah. Godaan selama ini untuk mendapatkan hasil yang cepat dan resiko lebih rendah dengan sistem pembiayaan yang bermarjin tetap seperti murabahah dapat dipahami untuk kepentingan investor dan bisnis. Namun demikian, jika hal ini terus menerus dibiarkan dominan akan sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa bank syariah merupakan bank yang berbeda dengan bank konvensional. Untuk mendorong hal ini diperlukan kerjasama berbagai pihak yang terkait seperti pengawas dan regulator (lihat Ascarya, 2011). Untuk meningkatkan pertumbuhan bank ada dua variabel utama yang dapat diupayakan oleh masing-masing secara internal. Yang pertama adalah meningkatkan jumlah kantor secara progresif. Walaupun hal ini pada awalnya mungkin akan mengurangi tingkat keuntungan, akan tetapi akan berpengaruh positif terhadap peningkatan DPK dan aset secara total. Kedua, adalah terus menerus meningkatkan kualitas manajemen dengan menekan rasio BOPO. Dalam hal ini, kendala terbatasnya SDM perbankan syariah akan menghambat upaya ini. Penggunaan SDM perbankan konvensional yang telah berpengalaman merupakan solusi jangka pendek dengan resiko pragmatisme bisnis yang digunakan oleh SDM tersebut tidak jarang dapat membahayakan penerapan konsep syariah itu sendiri. Dalam hal ini peranan Dewan Pengawas Syariah untuk mengawal penerapan prinsip-prinsip syariah menjadi sangat penting. Selain faktor kualitas manajemen dan perluasan jangkauan, status bank juga terlihat berpengaruh dalam studi ini terhadap perkembangan bank. Oleh karena itu, akselerasi konversi status bank dari UUS menjadi BUS dan upaya progresif untuk meningkatkan aset bank akan menjadi faktor yang kondusif bagi

101 bank untuk meningkatkan efisiensi dan mendukung pertumbuhan industri yang semakin cepat. 7.2.2.

Implikasi terhadap Industri Salah satu penghambat pertumbuhan industri perbankan syariah adalah

masih dominannya masyarakat yang tidak bersifat syariah loyalist. Kelompok masyarakat yang seperti ini umumnya sudah digarap habis oleh bank syariah yang ada sehingga persaingan telah bergeser kepada kelompok masyarakat yang lebih rasional dalam arti mereka akan memilih bank yang dapat memberikan pelayanan (termasuk return) yang lebih baik. Untuk kelompok yang mengambang seperti ini, mau tidak mau bank syariah harus bersaing tidak hanya sesama bank syariah tetapi juga dengan bank konvensional yang telah mempunyai pengalaman panjang dan jangkauan jaringan yang lebih luas. Karena bersaing dengan bank konvensional bukan merupakan hal yang mudah, maka sangat strategis bagi industri untuk meningkatkan upaya untuk melakukan edukasi masyarakat akan keunggulan bank syariah. Upaya edukasi yang merupakan barang publik ini, karena hasilnya akan dinikmati oleh semua bank syariah, akan tidak optimal jika diserahkan kepada masing-masing bank. Perlu kerjasama yang erat di tingkat industri agar proses edukasi dapat berjalan secara lebih maksimal. Keberadaan organisasi seperti MES, PKES dan IAEI dapat dijadikan media untuk kerjasama tersebut. Bentuk edukasi tidak hanya dalam bentuk promosi, tetapi juga dalam bentuk kerjasama Business to Business dalam melahirkan berbagai produk inovatif dan memperluas jangkauan kepada masyarakat. Pada saat yang sama berbagai praktek yang mengganggu proses diferensiasi bank syariah dengan bank konvensional seperti terus menurunkan gejala co-movement antara tingkat bunga dan bagi hasil juga perlu diupayakan di tingkat industri agar proses edukasi menjadi lebih efektif. Hal lain yang dapat

102 didukung pada tingkat industri adalah upaya untuk memperbesar pool SDM perbankan syariah dengan cara melakukan pengembangan SDM sendiri atau mengalokasikan dana yang cukup untuk mengembangkan SDM syariah, dibandingkan mengamankan kepentingan jangka pendek dengan melakukan saling bajak SDM yang telah jadi. 7.2.3. Implikasi terhadap Regulator dan Pengawas Bank Indonesia perlu segera menuntaskan dan memapankan studi tentang indeksasi Rate of Return Sektor Riil sebagai bagian dari kelengkapan infrastruktur untuk referensi industri perbankan syariah dalam menentukan tingkat bagi hasil sehingga kecenderungan co-movement antara RR dan IR semakin berkurang. Pada akhirnya hal ini diperkirakan akan semakin mendiferensiasi perbankan syariah

di

mata konsumen terhadap

bank

konvensional sehingga semakin mempertegas pencitraan berbedanya bank syariah dengan bank konvensional. Dampak ini pada gilirannya diperkirakan akan berpengaruh positif kepada laju pertumbuhan industri perbankan syariah secara keseluruhan. Lahirnya UU perbankan syariah terbukti berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan industri.

Hal ini mempertegas bahwa intervensi

pemerintah yang memihak kepada industri perbankan syariah dan menggarap sisi supply ternyata sangat efektif untuk meningkatkan pertumbuhan, bahkan lebih efektif daripada upaya-upaya internal bank dan industri. Efektivitas sisi supply ini juga diperkuat oleh signifikannya pengaruh variabel luas jangkauan dalam bentuk kantor cabang dalam meningkatkan DPK dan pertumbuhan industri. Oleh karena itu, berbagai upaya terobosan dari pihak regulator yang bersifat antisipatif sangat ditunggu oleh pihak industri karena seringkali terbukti tidak hanya efektif tetapi juga cepat dirasakan dampaknya. Sementara berbagai

103 strategi yang lebih berorientasi kepada sisi demand (konsumen), seringkali efektifitasnya rendah dan memakan waktu lama. Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank pada tahun 2004, misalnya, ternyata tidak berdampak signifikan terhadap kinerja keuangan bank syariah baik dari sisi likuiditas, profitabilitas maupun efisiensi (Widagdo dan Ika 2008). Hal ini mengindikasikan tidak mudahnya merubah sikap masyarakat. Salah satu bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perbankan syariah yang telah dilakukan di berbagai negara lain seperti Malaysia dan negara Timur Tengah adalah dukungan regulasi dan political will untuk menempatkan sebagian dana pemerintah pada bank syariah.

Upaya terobosan seperti ini diperlukan

terutama untuk mendongkrak pangsa pasar industri perbankan syariah ke tingkat yang mencapai tingkat kritis untuk berjalan sendiri. Kesimpulan Efficient Structure Hypothesis pada industri perbankan syariah menunjukkan bahwa kekhawatiran KPPU terhadap Arsitektur Perbankan Indonesia yang mendorong proses merger dan akuisisi sehingga industri perbankan semakin terkonsentrasi tidak berdasar, paling tidak untuk industri perbankan syariah.

Temuan bahwa walaupun struktur pasar terkonsentrasi,

perilaku bank syariah terbukti tidak kolutif tetapi sangat bersaing dengan dasar efisiensi juga berimplikasi bahwa untuk menilai tingkat persaingan, pendekatan struktural yang umum dilakukan (termasuk oleh KPPU) tidak cukup. Diperlukan pendalaman kajian persaingan secara non-struktural dan kajian perilaku. Tidak dilakukannya pendalaman kajian persaingan ini dapat memberikan masukan yang menyesatkan bagi pengawas persaingan sehingga dilahirkan kebijakan yang tidak tepat. Namun demikian, penelitian ini memperlihatkan hasil yang menarik setelah analisis determinan pertumbuhan industri dilakukan.

Struktur pasar

104 dalam bentuk tingkat konsentrasi industri mungkin tidak perlu dikhawatirkan dalam kasus perbankan syariah karena adanya tuntutan syariah untuk tetap bersaing dan atau tekanan contestability. Akan tetapi tingkat konsentrasi terbukti dapat menghambat pertumbuhan industri sehingga akan ideal jika pemerintah dan industri mendorong agar pertumbuhan industri bersifat semakin mengurangi tingkat konsentrasi. Mengingat potensi pasar bagi perbankan syariah masih sangat besar, hal ini tidak harus berarti menghambat pertumbuhan bank syariah yang sudah besar, tetapi memfasilitasi bank syariah yang kecil untuk tumbuh lebih cepat. Penelitian ini menyiratkan, misalnya, bahwa status BUS akan lebih mendukung terhadap pertumbuhan dibandingkan dengan status UUS.

Oleh

karena itu kebijakan BI untuk mempercepat proses spin-off UUS dari bank induknya perlu terus dilakukan bahkan ditingkatkan. Hasil kajian empiris penelitian ini juga memperlihatkan bahwa industri perbankan syariah sudah memenuhi necessary condition untuk persaingan secara syariah (terjadi persaingan yang tinggi berdasarkan efisiensi), tetapi belum cukup informasi untuk secara tegas menyimpulkan bahwa industri bersaing karena kepatuhan terhadap landasan normatif atau karena tekanan contestability yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan kajian lanjutan berdasarkan data primer dari bank maupun persepsi konsumen dan diperlukan peran aktif Dewan Pengawas Syariah masing-masing bank serta Dewan Syariah Nasional untuk pro-aktif mengawasi perilaku bersaing ini (tidak hanya fokus pada kesyariahan produk dan proses internal). Untuk implikasi yang terakhir ini, pada sub-bab terakhir Bab ini akan disajikan proposal prosedur pengujian tingkat kepatuhan terhadap prinsip bersaing secara syariah untuk pedoman awal bagi pemangku kepentingan,

105 khususnya pengawas di BI dan Dewan Syariah Nasional atau Dewan Pengawas Syariah masing-masing bank dalam mengawasi persaingan. 7.3. Prosedur Pengujian Tingkat Kepatuhan terhadap Prinsip Persaingan Islami: Sebuah Proposal Perkembangan kajian empiris dan teori pada ilmu Organisasi Industri memungkinkan disusunnya secara sistematis pengujian seberapa jauh tingkat kepatuhan industri perbankan syariah terhadap landasan normatif persaingan yang telah ditetapkan. Ada dua syarat (condition) yang harus dipenuhi agar suatu persaingan industri disebut islami. Syarat pertama yang merupakan syarat keharusan (necessary condition) adalah industri harus bersaing secara sempurna, terlepas dari apapun bentuk struktur pasarnya. Syarat kedua yang merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) adalah persaingan yang terjadi dalam industri dimotivasi oleh kepatuhan akan tuntutan syariah bukan karena tekanan persaingan atau contestability pasar. Secara sistematis tahapan pengujian untuk masing-masing syarat dapat dilihat pada Gambar 9. 7.3.1. Uji Syarat Keharusan Untuk mengetahui tingkat persaingan suatu industri dapat digunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama disebut sebagai pendekatan struktural. Pendekatan ini menguji hubungan berbagai variabel struktur pasar dengan tingkat keuntungan yang diperoleh oleh bank. Jika terjadi hubungan yang positif antara struktur pasar dengan tingkat keuntungan, maka ada dasar untuk menduga bahwa konsentrasi pasar digunakan untuk mendapatkan keuntungan ekstra di atas kewajaran. Akan tetapi secara empiris, kesimpulan ini dipertanyakan karena tidak selalu positifnya hubungan struktur pasar dengan tingkat

keuntungan

disebabkan

oleh

perilaku

kolutif

bank-bank

yang

mendominasi pasar. Untuk itu pendekatan Smirlock (1985) sebaiknya digunakan

106 Uji Syarat Keharusan

Pendekatan Struktural

Pangsa Pasar

Knsentrasi Pasar

Keuntungan

Positif

Pendekatan Non-struktural

Faktor Spesifik Bank

Penerimaan Total

H <0

Positif

Tidak M emenuhi Syarat Keharusan

0
Biaya -biaya

H=1

M emenuhi Syarat Keharusan

Uji Syarat Kecukupan

M otivasi Persaingan: Tuntutan Syariah

Persaingan Islami

M otivasi Persaingan: Cont estability

Persaingan Belum Islami

Gambar 9. Proposal Tahapan dan Prosedur Uji Kepatuhan Industri terhadap Persyaratan Syariah dalam Persaingan

107

untuk memastikan penyebab positifnya hubungan struktur pasar dengan keuntungan. Pendekatan kedua adalah pendekatan non-strktural, dimana tingkat persaingan diduga tanpa melibatkan variabel struktur pasar sama sekali. Model Panzar and Rosse (P-R) merupakan model yang paling banyak digunakan untuk pendekatan ini. Pendekatan Smirlock pada dasarnya mengestimasi sebuah persamaan dengan tingkat keuntungan sebagai variabel dependen dan variabel konsentrasi pasar (yang diproksi dengan rasio konsentrasi - CR), pangsa pasar masingmasing bank (MS), variabel interaksi antara MS dan CR (MSCR), serta variabel spesifik bank lainnya yang diduga berpengaruh terhadap tingkat keuntungan. Titik perhatian adalah pada koefisien variabel-variabel CR (c 1 ), MS (d 1 ) dan MSCR (f 3 ). Jika c 1 >0 dan d 1 =0, maka terjadi perilaku kolutif pada industri tersebut (Traditional hypothesis). Jika c 1 =0 dan d 1 >0, maka hubungan positif yang terjadi antara keuntungan dan struktur pasar disebabkan oleh diferensiasi produk (Product Differentiation hypothesis). Jika kedua variabel CR dan MS dimasukkan ke dalam persamaan secara bersamaan dan diperoleh f 1 tidak signifikan dan f 2 >0, maka industri mengikuti Efficient Structure hypothesis (ESH) yang berarti bank yang besar mendapatkan keuntungan lebih besar bukan karena perilaku kolutif, tetapi karena tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Jika sebaliknya yang terjadi (f 1 >0 dan f 2 tidak signifikan), maka perilaku kolutif terjadi. Untuk memastikan bahwa ESH memang benar terjadi, maka ditambahkan variabel MSCR ke dalam persamaan dan harus diperoleh koefisien MSCR yang signifikan dan negatif.

108 Jika pendekatan struktural tidak menghasilkan kesimpulan yang kuat, pendekatan non-struktural dengan model P-R dapat digunakan. Model ini menduga tingkat persaingan dengan H-statistik yang diperoleh dari tingkat elastisitas penerimaan total terhadap perubahan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank. Jika elastisitas penerimaan total bernilai lebih kecil atau sama dengan nol, maka industri bersaing secara monopoli atau terjadi kartel antar bank yang berada dalam industri. Sebaliknya, jika elastisitas bernilai satu, maka industri bersaing sempurna. Tingkat elastisitas antara 0 dan satu berarti industri bersifat oligopolistik atau persaingan monopolistik. Dengan demikian, syarat keharusan persaingan yang islami adalah tidak terbuktinya perilaku kolutif atau tertolaknya Traditional hypothesis sempurnanya tingkat persaingan yang terjadi (H-statistika = 1).

dan

Namun

terpenuhinya syarat ini belum cukup untuk mengatakan bahwa industri telah bersaing secara islami. Untuk memastikannya diperlukan uji syarat kecukupan. 7.3.2. Uji Syarat Kecukupan Tingkat persaingan yang sempurna suatu industri secara tradisional disebabkan oleh banyaknya perusahaan dan nasabah yang ada pada pasar tersebut sehingga tidak satupun perusahaan yang dapat mendominasi (pricetakers), tidak adanya hambatan masuk bagi perusahaan yang ingin masuk maupun

keluar pasar,

serta relatif homogennya produk yang ditawarkan.

Namun demikian, kajian empiris Organisasi Industri banyak yang menemukan bahwa persaingan sempurna dapat terjadi, walaupun pasar dalam struktur yang terkonsentrasi. Penyebabnya adalah tingginya tingkat contestability yang dihadapi oleh industri. Perusahaan dominan tidak akan berani mengambil keuntungan terlalu besar kalau ancaman pendatang baru sangat tinggi pada industri tersebut.

109 Untuk industri perbankan syariah, penyebab lain yang mungkin menyebabkan ditemukannya tingkat persaingan sempurna walaupun struktur pasar terkonsentrasi adalah kepatuhan akan landasan normatif persaingan dalam Islam. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut untuk membedakan faktor yang memotivasi persaingan sempurna yang ditemukan pada Uji Syarat Keharusan. Sayangnya untuk dapat membedakan motivasi ini, belum ditemukan studi empiris yang dapat melakukannya dengan menggunakan data sekunder. Diperlukan kajian dengan data primer untuk melihat langsung perilaku bersaing masing-masing bank seperti strategi dalam menetapkan harga dan marjin, melakukan promosi, meningkatkan jangkauan pelayanan, dan strategi kerjasama sesama bank dalam industri. Selain itu konfirmasi dari persepsi nasabah terhadap berbagai strategi yang dijalankan bank juga diperlukan untuk melihat dampak strategi yang dijalankan oleh bank terhadap kepuasan dan loyalitas nasabah. Tingkat kepuasan dan loyalitas ini akan ikut menggambarkan kekuatan pasar yang dimiliki suatu bank dalam menghadapi persaingan.

110

111 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. Kesimpulan Walaupun secara konsep perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional, penelitian ini belum menemukan bahwa perbankan konvensional menjadi ancaman atau substitusi dari perbankan syariah. Perbankan syariah bahkan menunjukkan indikasi sebagai industri yang bersifat komplementer dalam arti berkembangnya perbankan konvensional juga akan menyebabkan industri perbankan syariah berkembang bahkan dengan kecepatan yang lebih tinggi. Penggunaan pendekatan struktural memperlihatkan bahwa industri perbankan syariah yang mempunyai konsentrasi pasar yang tinggi berhubungan positif dengan tingkat keuntungan. Namun demikian, hasil estimasi juga menunjukkan secara tegas bahwa hubungan tersebut bukan karena perilaku kolutif seperti yang dihipotesiskan secara tradisional, melainkan lebih mendukung hipotesis Efficient Structure yang menyatakan bahwa tingkat keuntungan lebih besar yang dicapai bank dominan disebabkan oleh tingkat efisiensi lebih tinggi. Secara

umum,

pendekatan

non-struktural

model

P-R

semakin

mendukung sinyalemen tidak terjadinya perilaku kolutif pada industri perbankan syariah Indonesia terlepas dari struktur pasar yang terkonsentrasi. Estimasi Hstat yang mendekati satu menunjukkan hal tersebut, walaupun analisis lebih dalam memperlihatkan bahwa bank dominan menghadapi tingkat persaingan yang lebih rendah daripada pesaingnya sesama bank syariah. Keseluruhan hasil memenuhi necessary condition untuk tuntutan perilaku bersaing menurut prinsip syariah, tetapi belum secara tegas menjawab sufficient condition, yaitu perilaku bersaing secara sadar mengikuti tuntunan normatif syariah, bukan karena tekanan contestability. Untuk menjawab yang terakhir ini diperlukan kajian lebih

112 lanjut yang memerlukan data primer baik dari pihak bank maupun persepsi konsumen. Walaupun secara umum industri perbankan syariah sangat bersaing dan bersaingnya berdasarkan tingkat efisiensi, variabel dummy jenis maupun ukuran bank menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bank yang berstatus BUS dan atau yang berukuran besar mempunyai potensi untuk berperilaku berbeda dari pesaingnya sesama bank syariah. Tanpa kepatuhan akan landasan normatif untuk bersaing secara syariah, potensi ini dapat menggoda kelompok bank tersebut untuk bersaing secara tidak sehat. Konsentrasi pasar walaupun tidak bermasalah bagi tingkat persaingan ternyata menjadi faktor penghambat pertumbuhan industri sehingga penguasaan pasar yang semakin merata akan mendorong pertumbuhan industri semakin cepat. Jumlah kantor, membaiknya kualitas manajemen, peningkatan rasio IR/RR, penerapan UU Perbankan Syariah, Nilai Tukar dan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor lain yang juga mendorong pertumbuhan. Secara keseluruhan beberapa implikasi yang dapat dirumuskan adalah: adanya justifikasi terhadap kebijakan bank konvensional membuka UUS, dorongan agar BI segera menuntaskan infrastruktur perbankan syariah dalam standar referensi return sektor riil, tidak cukupnya analisis persaingan dengan pendekatan struktural, tidak perlunya kekhawatiran akan semakin membesarnya ukuran bank akibat API, dan perlunya mendorong growth with equity pada perbankan syariah dalam rangka mengakselerasi pertumbuhan industri. Implikasi terakhir adalah pentingnya pengawas memperhatikan kesyariahan perilaku bersaing selain kesyariahan produk dan proses bisnis.

113 8.2. Saran Pada penelitian ini telah diajukan proposal untuk prosedur pengujian kepatuhan industri terhadap prinsip persaingan secara islami.

Diharapkan

proposal ini dapat menjadi bahan diskusi awal untuk semakin disempurnakan dan semakin implementatif. Prosedur uji syarat kecukupan juga perlu diuji coba sehingga langkah-langkahnya dapat dirinci lebih lanjut terkait dengan data primer yang harus dikumpulkan dan prosedur analisisnya. Analisis pada penelitian ini walaupun sudah melibatkan jumlah bank syariah

yang

lebih

banyak

dibandingkan

dengan

penelitian-penelitian

sebelumnya, tetap masih banyak bank syariah yang belum dapat dimasukkan karena keterbatasan ketersediaan data, terutama untuk data-data tertentu seperti data rate of return.

Dimasukkannya lebih banyak bank dalam analisis akan

menguji seberapa robust hasil penelitian ini terhadap perubahan jumlah observasi baik pada sisi series waktu ataupun cross-section. Penambahan observasi juga akan membuka peluang untuk menguji penggunaan analisis panel data yang lebih sophisticated dibandingkan yang digunakan pada penelitian ini.

114

115

DAFT AR PUSTAKA Afiatun, P. dan S.K. Wiryono. 2010. Efficiency and Productivity of Indonesian Islamic Banking. Jurnal Manajemen Teknologi, 9 (3): 264-278. Ajlouni, M.M. 2010. The Main Features of the Structure-Conduct-Performance (SCP) Literature in Banking during the Period 1960s-1980s. International Journal of Economic Perspectives, 4 (3): 509-523. Amalia, F. dan M.E. Nasution. 2007. Perbandingan Profitabilitas Industri Perbankan Syariah dan Industri Perbankan Konvensional Menggunakan Metode Struktur Kinerja dan Perilaku. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 7 (02): 31-51. Antonio, M.S. 2001. Bank Syariah; Dari Teori ke Praktik. Gema Insani Press, Jakarta. Ariss, R.T. 2010. Competitive Conditions in Islamic and Conventional Banking: A Global Perspective. Review of Financial Economics, 19 (3): 101-108. Ascarya. 2011. The Persistence of Low Profit-and-Loss Sharing Financing in Islamic Banking: The Case of Indonesia. Working Paper, Center for Central Banking Education and Studies, Bank Indonesia, Jakarta. Baltagi, B.H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data, Third Edition. John Wiley & Sons, West Sussex. Bank Indonesia. Berbagai Tahun. Statistik Perbankan Indonesia. Perizinan dan Informasi Perbankan, BI, Jakarta

Direktorat

_____________. Berbagai Tahun. Statistik Perbankan Syariah. Perbankan Syariah, BI, Jakarta.

Direktorat

_____________. 2002. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. _____________. 2005. Pemetaan Hasil Penelitian Potensi, Preferensi,dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah Indonesia. Kajian Perbankan Syariah No. 7/7/2005. Bank Indonesia, Jakarta. _____________. 2008. Grand Strategy of Islamic Banking Market Development. Directorate of Islamic Banking, Bank Indonesia, Jakarta. _____________. 2011a. Outlook Perbankan Syariah 2011. Bank Indonesia, Jakarta. _____________. 2011b. Indonesian Banking Booklet 2011. Vol. 8, March. Bank Indonesia, Jakarta. Besanko, D., D. Dranove, M. Shanley dan S. Schaefer. 2004. Economics of Strategy. Third Edition. John Wiley & Sons, New Jersey.

116

Bikker, J.A., L. Spierdijk and P. Finnie. 2007. Misspecification of Panzar-Rosse Model: Assessing Competition in the Banking Industry. Working Paper No.116. DNB, Amsterdam. Bikker, J., S. Shaffer and L. Spierdijk. 2009. Assessing Competition with the Panzar-Rosse Model: The Role of Scale, Costs and Equilibrium. Working Paper No.225. DNB, Amsterdam. Britton, L.C., T.A.R. Clark and D.F. Ball. 1992. Modify or Extend? The Application of Structure Conduct Performance Approach to Service Industries. The Service Industries Journal, 12 (1): 34-43. Brown, K. 2003. Islamic Banking Comparative Analysis. The Arab Bank Review, 5 (2): 43-50. Bunchuan, D. 2006. Islamic Banking and Finace: Is It Complementing or Competing the Conventional banks? MBA Dissertation. The University of Nottingham, Nottingham. Carlton, D.W. and J.M. Perloff. 2000. Modern Industrial Organization. Third Edition. Addison-Wesley, Massachusetts. Chong, B.S. and M-H. Liu. 2009. Islamic Banking: Interest Free or Interest Based? Pacific-Basin Finance Journal, 17 (1): 125-144. Demsetz, H. 1973. Industry, Structure, Market Rivalry and Public Policy. Journal of Law and Economics, 16 (2): 1-9. Dick, A.A. 2008. Demand Estimation and Consumer Welfare in the Banking Industry. Journal of Banking and Finance, 32 (2008): 1661-1676. Fahmi, I. 2010. Memahami Perilaku Konsumen; Kunci Pengembangan Bank Syariah. Jurnal Ekonomi Islam Republika IQTSHODIA, 25 Nopember 2010. Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. IPB Press, Bogor. Goddard, J. And J.O.S. Wilson. 2009. Measuring Competition in Banking: A Disequilibrium Approach. Journal of Banking and Finance, 33 (12): 22822292. Grigorova, N., J. Miller and K. Huschelrath. 2008. The Plausibility of SCP Paradigm for Strategic Industry Analysis – Evidence from the Bulgarian Mobile Telecommunication Industry. Proceeding of International Telecommunications Society 17th Biennial Conference 24-27 June, Montreal. Hamza, R.A. 2011. Validation Panzar-Rosse Model in Determining the Structural Characteristics of Tunisian Banking Industry. Journal of Economics and International Finance, 3 (5): 259-268.

117

Hannan, T. H. 1991. Foundations of Structure-Conduct-Performance Paradigm in Banking. Journal of Money, Credit and Banking, 23 (1): 68-84. Haron, S. 2004. Determinants of Islamic Bank Profitability. Global Journal of Finance and Economics, 1 (1): 1-20. Haron, S and W.N.W. Azmi. 2008. Determinants of Islamic and Conventional Deposits in the Malaysian Banking System. Managerial Finance, 34 (9): 618-643. Hoose, D.V. 2010. The Industrial Organization of Banking; Bank Behavior, Market Structure, and Regulation. Springer, Heidelberg. Hutapea, E.G. and R.A. Kasri. 2010. Bank Margin Determination: A Comparison Between Islamic and Conventionl Banks in Indonesia. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, 3 (1): 66-82. Iqbal, M. and P. Molyneux. 2005. Thirty Years of Islamic Banking: History, Performance, and Prospects. Palgrave Macmillan, New York. Ismail. 2011. Perbankan Syariah. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ismail, R. 2011. Islamic Banking in Indonesia: Lessons Learned. Paper presented at Multi-Year Expert Meeting on Services, Development and Trade: The Regulatory and Institutional Dimension, Geneva, 6-8 April, Conducted by UNCTAD. Izhar, H. And M. Asutay. 2007. Estimating the Profitability of Islamic Banking: Evidence from Bank Muamalat Indonesia. Review of Islamic Economics, 11 (2): 17-29. Jaya, W. K. 2001. Ekonomi Industri, Edisi Kedua. BPFE, Yogyakarta. Kardiman. 2011. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Kelapa Sawit Di Malaysia dan Implikasinya Bagi Pengembangan Industri Kelapa Sawit Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Karim, A. A. 2003. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Kedua. Institute of Islamic Thought Indonesia, Jakarta.

The International

Karim, A.A. and A.Z. Affif. Tanpa Tahun. Islamic Banking Consumer Behaviour in Indonesia: A Qualitative Approach. www.kau.edu.sa (Diakses pada tanggal 25 Juli 2011). Kasri, R.A. 2011. The Determinants of Islamic Banking Growth in Indonesia. Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, 6 (2): 41-64. Kasri, R.A. and S.H. Kassim. 2009. Empirical Determinants of Saving in The Islamic Banks: Evidence from Indonesia. Journal of Islamic Economics, 22 (2): 3-23.

118

Khan, M.S. and A. Mirakhor. 1992. Islam and the Economic System. Review of Islamic Economics, 2 (1): 1-29. Kumar, S. And R. Gulati. 2010. Measuring Efficiency, Effectiveness and Performance of Indian Public Sector Banks. International Journal of Productivity and Performance Management, 59 (1): 51-74. Kurtz, R.D and S.A. Rhoades. 1992. A Note on Market Share – Profitability Relationship. Review of Industrial Organization, 7 (1):39-50. Majid, M. Z. A and F. Sufian. 2007. Market Structure and Competition in Emerging Market: Evidence from Malaysian Islamic Banking Industry. Journal of Economic Cooperation, 28 (2): 99-121. Mannan, M. A. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Dana Bhakti Prima Yasa. Yogyakarta. Martin, S. 2002. Advanced Industrial Economics, Second Edition. Blackwell Publishing, Massachusetts. Mishkin, F. S. 2004. The Economics of Money, Banking and Financial Markets. Seventh Edition. Addison-Wesley, Boston. Mokhtar, H.S.A., N. Abdullah and S.M. Al-Habshi. 2006. Efficiency of Islamic Banking in Malaysia: A Stochastic Frontier Approach. Journal of Economic Cooperation, 27 (2): 37-70. Mukhlisin, M. 2010. Factors Influencing the Growth of Islamic Banks’ Assets in Indonesia. Mulyaningsih, T. and A. Daly. 2011. Competition Conditions in Banking Industry: An Empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesian Banking Industry Between 2001-2009. Paper presented at the 40th Australian Conference of Economists (ACE 2011), 11-14 July, Canberra. Nakane, M.I., L.S. Alencar and F. Kanczuk. 2006. Demand for Bank Services and Market Power in Brazilian Banking. Banco Central Do Brazil Working Paper Series 107, June (2006). Rio De Jeneiro. Neuberger, D. 1998. Industrial Organization of Banking: A Review. International Journal of the Economics of Business, 5 (1): 97-118. Northcott, C.A. 2004. Competition in Banking: A Review of the Literature. Bank of Canada Working Paper 2004-24, Ottawa. Parapat, A.H. 2010. Analisis Investasi dan Kinerja Keuangan Perbankan Syariah Dibandingkan dengan Perbankan Konvensional. Tesis Program Magister Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor. Bogor.

119

Pepinsky, T.B. 2010. The Demand for Islamic Banking: Piety, Class, and Global Identity. Paper presented at International Political Economy Society November 12-13, Cambridge, Massachusetts. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam - UII. 2008. Islam. Rajagrafindo Persada, Yogyakarta.

Ekonomi

Ramadan, I.Z. 2011. Bank-Specific Determinants of Islamic Banks Profitability: An Empirical Study of The Jordanian Market. International Journal of Academic Research, 3 (6): 73-80. Rasiah, D. 2010. Review of Literature and Theories on Determinants of Commercial Bank Profitability. Journal of Performance Management, 23 (1): 23. Rivai, V. dan A. Arifin. 2010. Islamic Banking; Sebuah Teori, Konsep dan Aplikasi. Bumi Aksara, Jakarta. Rohalina, W. dan Y. Wibisono. 2011. Perbankan Syariah; Mengokohkan Fondasi Menuju Pertumbuhan Tinggi yang Berkelanjutan dalam Indonesia Shariaáh Economic Outlook (ISEO) 2011. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Saleem, S. 2008. Role of Islamic Banks In Economic Development. Paper No. 6449. MPRA, Munich. Smirlock, M. 1985. Evidence on the (Non) Relationship between Concentration and Profitability in Banking. Journal of Money, Credit and Banking, 17 (1): 69-83. Smith, R.L., D.K. Round and R. Trindade. 2007. Integrating Strategic Behavior into Competitive Analysis. The Antitrust Bulletin, 52 (3&4): 633-660. Sukmana, R. dan I.S. Beik. 2006. Market Concepts: Contribution of the Classical Islamic Scholars. Majalah Ekonomi, 16 (2):188-201. Talattov, A.P.G. dan F.X. Sugiyanto. Tanpa Tahun. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Perbankan Di Indonesia Tahun 2003-2008 (SCP Approach vs. Relative Efficiency Approach). www.scribd.com (Diakses tanggal 15 Agustus 2011). Vayanos, P., P. Wackerbeck, P.T. Golder and G. Haimari. 2008. Competing Successfully in Islamic Banking. Booz and Co Consulting Perspective, Chicago. Venardos, A.M. 2006. Islamic Banking and Finance in South-east Asia; Its Development and Future, 2nd Edition. World Scientific Publishing, Singapore. Verbeek, M. 2004. A Guide to Modern Econometrics, 2nd Edition. John Wiley & Sons, West Sussex.

120

Viscusi, W.K., J.M. Vernon and J.E. Harrington Jr. 2000. Economics of Regulation and Antitrust. Third Edition. The MIT Press, Massachusetts. Weill, L. 2009. Do Islamic Banks Have Greater Market Power? LaRGE Working Paper 2009-2. Institut de Finance de Strasbourg, Universite de Strasbourg, Strasbourg. Widagdo, A.K. and S.R. Ika. 2008. The Interest Prohibition and Financial Performance of Islamic Banks: Indonesian Evidence. International Business Research, 1 (3): 98-109. Yaumidin, U.K. 2007. Efficiency in Islamic Banking: A Non-Paramatric Approach. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 9 (4): 23-54. Zainol, Z. and S.H. Kassim. 2010. An Analysis of Islamic Bank’s Exposure to Rate of Return Risk. Journal of Economic Cooperation and Development, 31 (1): 59-84. Zeithaml, V., A. Parasuraman, and L. Berry. 1990. Delivering Service Quality. The Free Press, London.

121

LAMPIRAN

122

Lampiran 1. Database Panel Industri Perbankan Syariah yang Digunakan

123

124

125

126

127

128

Lampiran 2. Hasil Olahan Eviews untuk Persamaan DPK Dependent Variable: LN_DPK Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 01/16/12 Time: 06:13 Sample: 2005 2010 Periods included: 6 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 36 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

OFFICE D1RR D2IR IR/RR RGDP C

0.509900 0.146715 -0.360544 1.475678 -0.045923 12.48806

0.139829 0.044263 0.086415 0.419704 0.131981 1.034049

3.646587 3.314584 -4.172257 3.515999 -0.347950 12.07685

0.0012 0.0028 0.0003 0.0017 0.7308 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) CROSSID 1 2 3 4 5 6

Effect -1.208288 -1.915405 -0.710285 2.573171 2.980433 -1.719626

Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)

0.933798 Mean dependent var 0.907317 S.D. dependent var 0.865820 Sum squared resid 35.26327 Durbin-Watson stat 0.000000

25.92561 16.68841 18.74110 1.849029

Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid

0.831109 Mean dependent var 22.64996 Durbin-Watson stat

13.95223 1.558014

Keterangan: 1= Bank Syariah Mega Indonesia; 2= Bank BRI Syariah; 3= Bank Syariah Bukopin 4= Bank Muamalat Indonesia; 5= Bank Syariah Mandiri; 6= Bank DKI Syariah

129

Lampiran 3. Hasil Olahan Eviews untuk Empat Persamaan ROA a. Model untuk Melihat Pengaruh Pangsa Pasar Dependent Variable: ROA Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 01/12/12 Time: 12:22 Sample: 2005 2010 Periods included: 6 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 66 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

BOPO LnASSET LnDPK D2MS C

-0.045835 2.201658 -1.364644 0.125150 -7.975886

0.004176 0.458428 0.407276 0.027637 1.682438

-10.97710 4.802629 -3.350663 4.528274 -4.740671

0.0000 0.0000 0.0015 0.0000 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)

0.886124 0.854864 1.102362 28.34683 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat

3.202654 5.288714 61.97525 2.548340

Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid

0.832295 65.32888

Mean dependent var Durbin-Watson stat

1.810092 2.586958

130

b. Model untuk Melihat Perbandingan Pengaruh Pangsa Pasar dan Struktur Pasar Dependent Variable: ROA Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 01/12/12 Time: 12:22 Sample: 2005 2010 Periods included: 6 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 66 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

BOPO LnASSET LnDPK D2CR2 C

-0.046359 2.393904 -1.483800 0.053048 -8.895383

0.004326 0.565781 0.459192 0.017029 2.397322

-10.71608 4.231147 -3.231326 3.115138 -3.710550

0.0000 0.0001 0.0022 0.0030 0.0005

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)

0.871271 Mean dependent var 0.835933 S.D. dependent var 1.090025 Sum squared resid 24.65576 Durbin-Watson stat 0.000000

2.386453 3.255889 60.59583 2.367380

Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid

0.831486 Mean dependent var 65.64428 Durbin-Watson stat

1.810092 2.620186

131

c. Model untuk Memastikan Apakah Industri Mengikuti Hipotesi Tradisional atau Efficient Structure.

Dependent Variable: ROA Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 01/12/12 Time: 12:23 Sample: 2005 2010 Periods included: 6 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 66 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

BOPO LnASSET LnDPK D2MS D2CR2 C

-0.045778 2.188019 -1.355524 0.128121 -0.001390 -7.913988

0.004373 0.551636 0.456120 0.069501 0.030452 2.213953

-10.46923 3.966421 -2.971860 1.843457 -0.045655 -3.574596

0.0000 0.0002 0.0045 0.0712 0.9638 0.0008

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)

0.886043 0.851856 1.112965 25.91747 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat

3.196104 5.269627 61.93460 2.547141

Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid

0.832190 65.36980

Mean dependent var Durbin-Watson stat

1.810092 2.582599

132

d. Model untuk Memastikan Apakah Industri perbankan Syariah Mengikuti Hipotesis TH atau ESH

Dependent Variable: ROA Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 01/16/12 Time: 06:20 Sample: 2005 2010 Periods included: 6 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 66 Swamy and Arora estimator of component variances Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

BOPO LnASSET LnDPK D2MS D2CR2 MSCR2 C

-0.052994 2.263696 -1.635892 0.031322 -0.018492 0.000200 -4.147234

0.004757 0.606416 0.510631 0.153212 0.070420 0.001155 2.135581

-11.14121 3.732909 -3.203671 0.204438 -0.262597 0.173508 -1.941970

0.0000 0.0004 0.0022 0.8387 0.7938 0.8628 0.0569

Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random

0.758010 1.105843

Rho 0.3197 0.6803

Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)

0.667436 0.633616 1.281592 19.73493 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat

0.926230 2.117296 96.90615 1.706215

Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid

0.553691 173.8583

Mean dependent var Durbin-Watson stat

1.810092 0.951020

133

e. Uji Hausman untuk Melihat Apakah untuk Model ini Lebih Baik Menggunakan Model Fixed Effect atau Random. Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: REMODEL5_4 Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic

Chi-Sq. d.f.

Prob.

26.243607

6

0.0002

Test Summary Cross-section random

Cross-section random effects test comparisons: Variable BOPO LnASSET LnDPK D2MS D2CR2 MSCR2

Fixed -0.054342 2.571561 -1.573949 0.443021 0.285422 -0.006573

Random

Var(Diff.)

Prob.

-0.052994 2.263696 -1.635892 0.031322 -0.018492 0.000200

0.000009 0.030804 0.031698 0.060563 0.036068 0.000011

0.6459 0.0794 0.7279 0.0943 0.1095 0.0428

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: ROA Method: Panel Least Squares Date: 02/20/12 Time: 14:34 Sample: 2005 2010 Periods included: 6 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 66 Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C BOPO LnASSET LnDPK D2MS D2CR2 MSCR2

-11.62802 -0.054342 2.571561 -1.573949 0.443021 0.285422 -0.006573

2.996253 0.005589 0.631304 0.540779 0.289891 0.202552 0.003537

-3.880854 -9.723292 4.073414 -2.910522 1.528235 1.409129 -1.858237

0.0003 0.0000 0.0002 0.0054 0.1329 0.1651 0.0691

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.846176 0.795948 1.105843 59.92157 -90.46154 16.84665 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

1.810092 2.448067 3.256410 3.820412 3.479274 2.581927

134

Lampiran 4. Hasil Olahan Eviews untuk Persamaan Total Revenue untuk Perhitungan H-Statistic a.

Uji Hausman untuk Persamaan Total Revenue (Dengan Menghilangkan Variabel Dummy dan Yang Diinteraksikan dengan Dummy)

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: FEMOD_NOD Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic

Chi-Sq. d.f.

Prob.

14.494854

4

0.0059

Test Summary Cross-section random

Cross-section random effects test comparisons: Variable LN_BAGIHASIL LN_PERSONALIA LN_CAP_COST BOPO

Fixed 0.345330 -0.078436 0.623847 -0.007829

Random

Var(Diff.)

Prob.

0.337360 0.149822 0.491530 -0.006851

0.000741 0.003918 0.003108 0.000000

0.7696 0.0003 0.0176 0.0176

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LN_REVENUE Method: Panel Least Squares Date: 02/20/12 Time: 18:12 Sample: 2005 2010 Periods included: 6 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 60 Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C BBH BTK BKAP BOPO

2.802820 0.345330 -0.078436 0.623847 -0.007829

0.503573 0.070958 0.103102 0.106852 0.001170

5.565863 4.866699 -0.760761 5.838420 -6.693024

0.0000 0.0000 0.4507 0.0000 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.981318 0.976038 0.267905 3.301554 1.862230 185.8625 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

11.93599 1.730681 0.404592 0.893273 0.595742 2.334374

135

b. Persamaan dengan Variabel Independen ROA untuk Uji Keseimbangan Jangka Panjang Dependent Variable: LNROA Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 02/20/12 Time: 11:45 Sample: 2005 2010 Periods included: 6 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 60 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

BBH BTK BKAP D_1 D2BBH D2BTK D2BKAP BOPO C

-0.303857 0.197996 0.198743 0.702562 0.342122 -0.175003 -0.254413 -0.017150 2.137001

0.059635 0.090196 0.074104 0.180677 0.085972 0.099113 0.077285 0.001005 0.310167

-5.095314 2.195182 2.681945 3.888501 3.979454 -1.765692 -3.291867 -17.06114 6.889839

0.0000 0.0337 0.0104 0.0004 0.0003 0.0847 0.0020 0.0000 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)

0.922854 Mean dependent var 0.891628 S.D. dependent var 0.220121 Sum squared resid 29.55432 Durbin-Watson stat 0.000000

7.520076 10.90073 2.035032 2.048146

Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid

0.853231 Mean dependent var 2.989692 Durbin-Watson stat

1.925920 2.572560

136

c.

Persamaan Total Revenue untuk Perhitungan H-Statistik

Dependent Variable: LN_REVENUE Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 01/21/12 Time: 15:22 Sample: 2005 2010 Periods included: 6 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 60 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

BBH BTK BKAP D_1 D2BBH D2BTK D2BKAP BOPO C

0.141015 -0.036018 0.768720 0.842287 0.352603 0.188113 -0.405440 -0.011822 2.588527

0.039423 0.085991 0.074937 0.097772 0.046265 0.085735 0.075038 0.000459 0.325060

3.576991 -0.418855 10.25819 8.614796 7.621458 2.194114 -5.403115 -25.74640 7.963233

0.0009 0.6775 0.0000 0.0000 0.0000 0.0338 0.0000 0.0000 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)

0.999509 Mean dependent var 0.999310 S.D. dependent var 0.214478 Sum squared resid 5026.928 Durbin-Watson stat 0.000000

115.4050 205.1985 1.932029 2.104536

Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid

0.987374 Mean dependent var 2.231223 Durbin-Watson stat

11.93599 2.413373

137

Lampiran 5. Hasil Olahan Eviews untuk Persamaan Pertumbuhan Industri (Total Aset) Dependent Variable: LNA_SPE_SYAR_RIIL Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 02/14/12 Time: 09:17 Sample: 2005 2010 Periods included: 6 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 36 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

BOPO D2MS D2CR2 D2IR D1RR OFFICE RGDP IR/RR D4 ER C

-0.007382 0.015500 -0.034586 0.031734 0.111601 0.295969 0.214303 0.229088 1.008684 2.267376 -8.754401

0.001756 0.031683 0.016770 0.055307 0.024000 0.086690 0.079782 0.115015 0.168140 0.633166 5.829419

-4.203042 0.489224 -2.062343 0.573775 4.650130 3.414115 2.686122 1.991809 5.999055 3.581014 -1.501762

0.0004 0.6300 0.0524 0.5725 0.0002 0.0028 0.0142 0.0602 0.0000 0.0019 0.1488

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

1 2 3 4 5 6

CROSSID 1 2 3 4 5 6

Effect -0.842245 -0.591407 -0.959376 1.972659 1.936387 -1.516018 Weighted Statistics

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)

0.986956 Mean dependent var 0.977174 S.D. dependent var 0.374428 Sum squared resid 100.8886 Durbin-Watson stat 0.000000

25.60680 15.50651 2.803922 1.576590

Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid

0.948411 Mean dependent var 4.627750 Durbin-Watson stat

14.40796 0.877605

Keterangan: 1= Bank Syariah Mega Indonesia; 2= Bank BRI Syariah; 3= Bank Syariah Bukopin 4= Bank Muamalat Indonesia; 5= Bank Syariah Mandiri; 6= Bank DKI Syariah

138

Lampiran 6. Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah;

b.

bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat;

c.

bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional;

d.

bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri;

e.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perbankan Syariah;

Mengingat: 1.

2.

Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);

139

3.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);

4.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420);

5.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERBANKAN SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.

Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

2.

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.

3.

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

140

4.

Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat.

5.

Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

6.

Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank Konvensional yang kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

7.

Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

8.

Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

9.

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

dalam

10. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. 11. Kantor Cabang adalah kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi kantor cabang tersebut melakukan usahanya. 12. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 13. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. 14. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpananannya serta Nasabah Investor dan Investasinya. 15. Pihak Terafiliasi adalah:

141

a.

komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS;

b.

pihak yang memberikan jasanya kepada Bank Syariah atau UUS, antara lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai, dan konsultan hukum; dan/atau

c.

pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta memengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung maupun tidak langsung, antara lain pengendali bank, pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, dan keluarga direksi.

16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS. 17. Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan. 18. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan. 19. Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah. 20. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 21. Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. 22. Deposito adalah Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS. 23. Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat dilakukan

142

setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan. 24. Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 25. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a.

transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b.

transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c.

transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;

d.

transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e.

transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

26. Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas. 27. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah atau UUS dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah atau UUS yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut. 28. Wali Amanat adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga tersebut. 29. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank yang menerima penggabungan dan

143

selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. 30. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum. 31. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut. 32. Pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank menjadi dua badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB II ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI Pasal 2 Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Pasal 3 Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Pasal 4 (1) (2)

(3) (4)

Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif). Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

144

BAB III PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR, DAN KEPEMILIKAN Bagian Kesatu Perizinan Pasal 5 (1) (2)

(3) (4) (5)

(6) (7) (8) (9)

(1) (2)

(3)

Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia. Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang: a. susunan organisasi dan kepengurusan; b. permodalan; c. kepemilikan; d. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan e. kelayakan usaha. Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia. Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata “syariah” pada penulisan nama banknya. Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan. Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Bank Indonesia. Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum Konvensional. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat. Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia. Pasal 6 Pembukaan Kantor Cabang Bank Syariah dan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.

145

(4)

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri.

Bagian Kedua Bentuk Badan Hukum Pasal 7 Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas. Bagian Ketiga Anggaran Dasar Pasal 8 Di dalam anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan memuat pula ketentuan: a. b.

pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia; Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Bagian Keempat Pendirian dan Kepemilikan Bank Syariah Pasal 9

(1)

(2)

(3)

Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau c. pemerintah daerah. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia; b. pemerintah daerah; atau c. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.

146

Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Pasal 11 Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Pasal 12 Saham Bank Syariah hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama. Pasal 13 Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Pasal 14 (1) (2)

Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia, atau badan hukum asing dapat memiliki atau membeli saham Bank Umum Syariah secara langsung atau melalui bursa efek. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 15

Perubahan kepemilikan Bank Syariah wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14. Pasal 16 (1) (2)

UUS dapat menjadi Bank Umum Syariah tersendiri setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Pasal 17

(1) (2)

Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Bank Indonesia. Dalam hal terjadi Penggabungan atau Peleburan Bank Syariah dengan Bank lainnya, Bank hasil Penggabungan atau Peleburan tersebut wajib menjadi Bank Syariah.

147

(3)

Ketentuan mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

BAB IV JENIS DAN KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA, DAN LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS Bagian Kesatu Jenis dan Kegiatan Usaha Pasal 18 Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Pasal 19 (1)

Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi: a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah; j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

148

(2)

k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah; l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah; m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah; n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah; o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah; p. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Kegiatan usaha UUS meliputi: a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah; j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

149

k. l. m. n. o.

menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah; menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah; memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah; memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 20

(1)

(2)

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat pula: a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah; b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya; d. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah; e. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; f. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik; g. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; h. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan i. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah. Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), UUS dapat pula: a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah; b. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;

150

d.

(3)

menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik; e. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; dan f. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 21

Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi: a.

b.

c. d.

e.

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk: 1. Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan 2. Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk: 1. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah; 2. Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna’; 3. Pembiayaan berdasarkan Akad qardh; 4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan 5. pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah; menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS; dan menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 22

Setiap pihak dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia, kecuali diatur dalam undang-undang lain.

151

Bagian Kedua Kelayakan Penyaluran Dana Pasal 23 (1)

(2)

Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas. Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas. Bagian Ketiga Larangan Bagi Bank Syariah dan UUS

(1)

(2)

Pasal 24 Bank Umum Syariah dilarang: a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal; c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah. UUS dilarang: a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal; c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c; dan d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah. Pasal 25

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang: a. b. c. d. e.

melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah; menerima Simpanan berupa Giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin Bank Indonesia; melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah; melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; dan

152

f.

melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Pasal 26

(1)

Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah. Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan, dan tugas komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

(2) (3) (4) (5)

BAB V PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS, DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI, DAN TENAGA KERJA ASING Bagian Kesatu Pemegang Saham Pengendali Pasal 27 (1) (2) (3)

Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Pemegang saham pengendali yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan wajib menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi paling banyak 10% (sepuluh persen). Dalam hal pemegang saham pengendali tidak menurunkan kepemilikan sahamnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka: a. hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham; b. hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan sebagai penghitungan kuorum atau tidaknya Rapat Umum Pemegang Saham; c. deviden yang dapat dibayarkan kepada pemegang saham pengendali paling banyak 10% (sepuluh persen) dan sisanya dibayarkan setelah pemegang saham pengendali tersebut mengalihkan kepemilikannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan d. nama pemegang saham pengendali yang bersangkutan diumumkan kepada publik melalui 2 (dua) media massa yang mempunyai peredaran luas.

153

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Bagian Kedua Dewan Komisaris dan Direksi Pasal 28

Ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah diatur dalam anggaran dasar Bank Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 29 (1)

(2)

Dalam jajaran direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 wajib terdapat 1 (satu) orang direktur yang bertugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Pasal 30

(1) (2) (3) (4)

Calon dewan komisaris dan calon direksi wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Uji kemampuan dan kepatutan terhadap komisaris dan direksi yang melanggar integritas dan tidak memenuhi kompetensi dilakukan oleh Bank Indonesia. Komisaris dan direksi yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan wajib melepaskan jabatannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Pasal 31

(1) (2)

Dalam menjalankan kegiatan Bank Syariah, direksi dapat mengangkat pejabat eksekutif. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan pejabat eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Bagian Ketiga Dewan Pengawas Syariah Pasal 32

154

(1) (2) (3) (4)

Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Bagian Keempat Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pasal 33

(1) (2)

Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Syariah dapat menggunakan tenaga kerja asing. Tata cara penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(3) BAB VI TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN, DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH Bagian Kesatu Tata Kelola Perbankan Syariah Pasal 34 (1) (2) (3)

Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yang baik yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya. Bank Syariah dan UUS wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Bagian Kedua Prinsip Kehati-hatian Pasal 35

(1) (2)

Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi

155

(3) (4) (5)

tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik. Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Pasal 36

Dalam menyalurkan Pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya. Pasal 37 (1)

(2) (3)

(4) (5)

Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga yang berbasis syariah, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS kepada Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok Nasabah Penerima Fasilitas yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan. Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah kepada: a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor Bank Syariah; b. anggota dewan komisaris; c. anggota direksi; d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; e. pejabat bank lainnya; dan f. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e. Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh melebihi 20% (dua puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

156

Bagian Ketiga Kewajiban Pengelolaan Risiko Pasal 38 (1) (2)

Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Pasal 39

Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS. Pasal 40 (1)

(2) (3)

(4)

Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajibannya, Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Bank Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan. Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait dengan proses pembelian Agunan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. BAB VII RAHASIA BANK Bagian Kesatu Cakupan Rahasia Bank Pasal 41

Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.

157

Bagian Kedua Pengecualian Rahasia Bank Pasal 42 (1)

(2)

Untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabat pajak. Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan nama pejabat pajak, nama nasabah wajib pajak, dan kasus yang dikehendaki keterangannya. Pasal 43

(1)

(2)

(3)

Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan undang-undang untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan atau Investasi tersangka atau terdakwa pada Bank. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, atau pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan penyidik, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan, dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan. Pasal 44

Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43. Pasal 45 Dalam perkara perdata antara Bank dan Nasabahnya, direksi Bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.

(1)

Pasal 46 Dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank, direksi Bank dapat memberitahukan keadaan keuangan Nasabahnya kepada Bank lain.

158

(2)

Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Pasal 47

Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis, Bank wajib memberikan keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor pada Bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tersebut. Pasal 48 Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tersebut. Pasal 49 Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 46, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan. BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 50 Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dan UUS dilakukan oleh Bank Indonesia. Pasal 51 (1) Bank Syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami, serta aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah dan UUS. (2) Kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

159

Pasal 52 (1) (2)

(3)

(4)

Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Bank Syariah dan UUS, atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkasberkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan penjelasan yang dilaporkan oleh Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan. Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang: a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank; b. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank; dan c. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan. Keterangan dan laporan pemeriksaan tentang Bank Syariah dan UUS yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak diumumkan dan bersifat rahasia. Pasal 53

(1) (2)

Bank Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk dan atas nama Bank Indonesia, melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2). Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Pasal 54

(1)

Dalam hal Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan dalam rangka tindak lanjut pengawasan antara lain: a. membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham, komisaris, direksi, dan pemegang saham; b. meminta pemegang saham menambah modal; c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah; d. meminta Bank Syariah menghapusbukukan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya; e. meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain; f. meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya;

160

(2)

(3)

(4) (5)

g. meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain; dan/atau h. meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain. Apabila tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dialami Bank Syariah, Bank Indonesia menyatakan Bank Syariah tidak dapat disehatkan dan menyerahkan penanganannya ke Lembaga Penjamin Simpanan untuk diselamatkan atau tidak diselamatkan. Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diselamatkan, Bank Indonesia atas permintaan Lembaga Penjamin Simpanan mencabut izin usaha Bank Syariah dan penanganan lebih lanjut dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Atas permintaan Bank Syariah, Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha Bank Syariah setelah Bank Syariah dimaksud menyelesaikan seluruh kewajibannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. BAB IX PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 55

(1) (2) (3)

Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. BAB X SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 56

Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

161

Pasal 57 (1)

(2)

Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang melanggar Pasal 41 dan Pasal 44. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran kerahasiaan bank. Pasal 58

(1)

(2)

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah: a. denda uang; b. teguran tertulis; c. penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS; d. pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring; e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan; f. pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; g. pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dalam daftar orang tercela di bidang perbankan; dan/atau h. pencabutan izin usaha. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 59

(1)

(2)

Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah, UUS, atau kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum, penuntutan terhadap badan hukum dimaksud dilakukan

162

terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan perbuatan itu dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu. Pasal 60 (1)

(2)

Setiap orang yang dengan sengaja tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 memaksa Bank Syariah, UUS, atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Anggota direksi, komisaris, pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Pasal 61

Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 62 (1)

(2)

Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja: a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau b. tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang lalai: a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau b. tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) tahun dan

163

paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 63 (1)

(2)

Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja: a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS; b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS; dan/atau c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja: a.

meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, atau barang berharga untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka: 1. mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS; 2. melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang, atau bukti kewajiban lainnya; 3. memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas penyaluran dananya pada Bank Syariah atau UUS; dan/atau

b.

tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling

164

singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 64 Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 65 Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Pasal 66 (1) Anggota direksi atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja: a. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi Bank Syariah atau UUS atau menyebabkan keadaan keuangan Bank Syariah atau UUS tidak sehat; b. menghalangi pemeriksaan atau tidak membantu pemeriksaan yang dilakukan oleh dewan komisaris atau kantor akuntan publik yang ditugasi oleh dewan komisaris; c. memberikan penyaluran dana atau fasilitas penjaminan dengan melanggar ketentuan yang berlaku yang diwajibkan pada Bank Syariah atau UUS, yang mengakibatkan kerugian sehingga membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah atau UUS; dan/atau d. tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Penyaluran Dana sebagaimana ditentukan dalam UndangUndang ini dan/atau ketentuan yang berlaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan

165

pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja melakukan penyalahgunaan dana Nasabah, Bank Syariah atau UUS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 67 (3) Bank Syariah atau UUS yang telah memiliki izin usaha pada saat UndangUndang ini mulai berlaku dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini. (4) Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lama 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini. Pasal 68 (1) Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan dan sanksi bagi Bank Umum Konvensional yang tidak melakukan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 69 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, segala ketentuan mengenai Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

166

Pasal 70 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Juli 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Juli 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 94