DOWNLOAD BUKU

Download Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya. 3. ... namun penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta bel...

0 downloads 990 Views 61MB Size
ii

vi

viii

xii

2. Cara Penularan TB. a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%. c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut. d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. 3. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia. Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Perjalanan alamiah TB a. Paparan Peluang peningkatan paparan terkait dengan:

Jumlah kasus menular di masyarakat Peluang kontak dengan kasus menular Tingkat daya tular dahak sumber penularan Intensitas batuk sumber penularan Kedekatan kontak dengan sumber penularan Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar ultra violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan konsentrasi) Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan terinfeksi saja, menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB. b. Infeksi Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 – 14 minggu setelah infeksi  Reaksi immunologi (lokal) Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian berlangsung reaksi antigen – antibody.  Reaksi immunologi (umum) Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)       

 Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.  Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi

BAB I PENDAHULUAN

3 3

c. Sakit TB Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari :

Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup Lamanya waktu sejak terinfeksi Usia seseorang yang terinfeksi Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula. Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun bila seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses reaktifasi. TB umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra Paru). Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ tubuh terkena (TB milier). d. Meninggal dunia Faktor risiko  Akibat dari keterlambatan diagnosis kematian karena  Pengobatan tidak adekuat TB:  Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV positif.    

C. Upaya Pengendalian TB Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. 2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. 4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-effective). Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.

4

BAB I PENDAHULUAN

4

Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu: 1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS 2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya 3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan 4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. 5. Memberdayakan pasien dan masyarakat 6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru, mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu meletakkan landasan ke arah eliminasi TB. Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1 kasus TB per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB (pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per 100.000 penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000 penduduk dan penurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih komprehensif bagi pengendalian TB secara global. Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035 yang ditandai dengan: 1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015. 2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk) Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-komponenya yaitu: 1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko tinggi. b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred support) c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain. d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan beresiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB. 2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas. a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan pencegahan TB. b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan kerangka kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi. d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi dampak determinan sosial terhadap TB. 3. Intensifikasi riset dan inovasi a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan strategi baru pengendalian TB. b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang inovasiinovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian TB.

BAB I

PENDAHULUAN

5 5

sistem informasi TB elektronik, AKMS (Advokasi, Komnikasi dan Mobilisasi Sosial), manajemen logistik.

3. OAT

Pemenuhan kebutuhan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Kendala yang masih harus dihadapi adalah masih belum optimalnya sistem manajemen mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi sampai kepada dispensing obat kepada pasien dan pencatatan pelaporan. Kemampuan SDM dan sistem manajemen OAT ditingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota harus ditingkatkan secara terus menerus agar tidak terjadi kekurangan cadangan obat.

4. Pembiayaan

Dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat dan daerah. Alokasi APBD untuk pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan masih tingginya ketergantungan terhadap pendanaan dari donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Rendahnya komitmen politis untuk pengendalian TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB. Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah baik untuk pembiayaan program maupun biaya operasional lainnya sesuai kebutuhan daerah. Saat ini struktur pembiayaan yang tersedia lebih banyak terpusat kepada aspek kuratif sedangkan pembiayaan untuk aspek promotif, preventif dan rehabilitatif masih sangat kecil. Tantangan baru seberti TB resisten obat, epidemi ganda TB-HIV dan TB-DM juga memerlukan dukungan pendanaan yang lebih besar.

5. Kepatuhan Penyedia Pelayanan Kesehatan Pemerintah dan Swasta Terhadap

Pedoman Nasional Pengendalian TB. Banyak kemajuan telah dicapai dalam perluasan program pengendalian TB nasional, namun penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan program. Pengalaman yang diambil dari upaya menerapkan standar pelayanan berdasar International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) masih menemui banyak kendala antara lain karena tidak adanya kerangka aturan yang menjadi payung hukumnya. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk mentransformasikan setandar pelayanan seperti ISTC kedalam bentuk aturan yang memiliki payung hukum yang kuat yaitu menjadi suatu Pedoman Nasional Praktek Kedokteran Tatalaksana TB (PNPK-TB). PNPK TB akan menjadi acuan penyusunan panduan praktek klinis (PPK), standar pelayanan dan clinical pathway di faskes baik FKTP maupun FKRTL.Upaya lain untuk meningkatkan kepatuhan penyedia layanan terhadap pedoman nasional adalah dengan mengembangkan sistem akreditasi dan sertifikasi yang memasukkan layanan TB yang berkualitas. Dengan dua upaya tersebut diharapkan mampu menjamin kepatuhan penyedia layanan sehingga pasien tidak akan dirugikan oleh layanan yang tidak sesuai standar.

Selain tantangan yang bersifat internal maka program pengendalian TB juga menghadapi kendala di luar program yang apabila tidak ditanggulangi secara bersamaan akan mengakibatkan pencapaian program akan terhambat. Tantangan tersebut antara lain:

8

9

BAB II PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

1. Sistem Jaminan Kesehatan Belum meratanya akses terhadap layanan yang bermutu karena kendala finansial. Sehingga tanpa tersedianya suatu jaminan kesehatan yang bisa mencakup seluruh warga negara akan mengakibatkan capaian semua program kesehatan termasuk TB menjadi tidak optimal. 2. Pertumbuhan ekonomi tanpa disparitas. Disparitas pembangunan dan hasil-hasilnya akan mengakibatkan tingginya beban permasalahan determinan sosial seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, pekerjaan. Hal tersebut akan meningkatkan kerentanan bagi populasi yang tidak memperoleh manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh mudahnya penularan TB. Beban TB yang tinggi akan mengakibatkan beban sosial yang besar yang akan mengancam tercapainya target pemerataan pembangunan. 3. Meningkatnya kerentanan terhadap TB akibat masalah kesehatan lain. Beberapa masalah kesehatan akan memberi dampak negatif terhadap capaian program TB di Indonesia seperti: meningkatnya laju epidemi HIV, besarnya populasi merokok, angka prevalensi diabetes yang tinggi, permasalahan gizi buruk/ malnutrisi. Selain itu beban TB yang tinggi juga menjadi penghambat tercapainya target kesehatan seperti penurunan angka kematian ibu/ wanita hamil dan anak. C. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia. 1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana). 2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai kerangka dasar dan memperhatikan strategi global untuk mengendalikan TB (Global Stop TB Strategy). 3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program pengendalian TB. 4. Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB resistan obat. 5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), Klinik Pengobatan serta Dokter Praktek Mandiri (DPM). 6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan TB dengan tingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP akan dilakukan di FKRTL dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit telah dapat ditangani. 7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB). 8. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan. 9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi menjamin ketersediaannya. 10

BAB II PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

9

10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program. 11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya terhadap TB. 12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. 13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global pengendalian TB. D. Visi dan Misi Visi ” Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan” Misi 1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani dalam pengendalian TB. 2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan. 3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB. 4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik. E. Tujuan dan target Tujuan Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Target Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun. Pada RPJMN 2010-2014 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100,000 penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang disembuhkan dari 85% menjadi 88%..Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN 2010-2014 akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya. Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan dengan target pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target Global TB Strategy pasca 2015 dan target SDGs (Sustainable Development Goals). Target utama pengendalian TB pada tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2% per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5% pertahun. Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015. F. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 – 2014 ( ¹¹ ) Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi: 1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu. 2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya. 3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public-

10

11

BAB II PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

4. 5. 6. 7.

Private Mix) dan menjamin kepatuhan terhadap Standar Internasional Penatalaksanaan TB (International Standards for TB Care). Memberdayakan masyarakat dan pasien TB. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program pengendalian TB. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.

Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun 2015-2019 merupakan pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan beberapa pengembangan strategi baru untuk menghadapi target dan tantangan yang lebih besar. G. Kegiatan 1. Tatalaksana TB Paripurna a. Promosi Tuberkulosis b. Pencegahan Tuberkulosis c. Penemuan pasien Tuberkulosis d. Pengobatan pasien Tuberkulosis e. Rehabilitasi pasien Tuberkulosis 2. Manajemen Program TB a. Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis b. Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis c. Pengelolaan logistik program pengendalian Tuberkulosis d. Pengembangan ketenagaan program pengendalian Tuberkulosis e. Promosi program pengendalian Tuberkulosis. 3. Pengendalian TB Komprehensif a. Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis; b. Public-Private Mix Tuberkulosis; c. Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi buruk; d. Kolaborasi TB-HIV; e. TB Anak; f. Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB; g. Pendekatan praktis kesehatan paru (Practicle Aproach to Lung Health = PAL); h. Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO) i. Penelitian tuberkulosis. H. Organisasi Pelaksana 1. Aspek Manajemen Program TB a. Tingkat Pusat Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB.

12

BAB II PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

11

Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis. b. Tingkat Propinsi Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan Propinsi. c. Tingkat Kabupaten/Kota Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh DinasKesehatan Kabupaten/Kota.\ 2. Aspek Tatalaksana pasien TB Dilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL). a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) FKTP dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang mampu memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKTP adalah Puskesmas, DPM, Klinik Pratama, RS Tipe D dan BKPM. Dalam layanan tatalaksana TB, fasilitas kesehatan yang mampu melakukan pemeriksaan mikroskopis disebut FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM). FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM) menerima rujukan pemeriksaan mikroskopis dari FKTP yang tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan mikroskopis yang disebut sebagai FKTP Satelit (FKTP-S). b. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif untuk kasus-kasus TB dengan penyulit dan kasus TB yang tidak bisa ditegakkan diagnosisnya di FKTP. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS Tipe C, B dan A, RS Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) dan klinik utama. Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB secara berkualitas dan terjangkau, semua fasilitas kesehatan tersebut diatas perlu bekerja sama dalam kerangka jejaring pelayanan kesehatan baik secara internal didalam gedung maupun eksternal bersama lembaga terkait disemua wilayah.

12

13

BAB II PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.  Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. 2. Pemeriksaan dahak a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS): • S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua. • P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes. • S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. b. Pemeriksaan Biakan Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal: • Pasien TB ekstra paru. • Pasien TB anak. • Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif. Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut. 3. Pemeriksaan uji kepekaan obat Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan obat. Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi.

14

16

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

1. Definisi Pasien TB: Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis: Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert). Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah: a. Pasien TB paru BTA positif b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena. e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis. Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis: Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah: a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB. b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis. c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring. Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis. 2. Klasifikasi pasien TB: Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga diklasifikasikan menurut : a. Lokasi anatomi dari penyakit b. Riwayat pengobatan sebelumnya c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat d. Status HIV

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

Tuberkulosis paru: Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru. 20

18

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Tuberkulosis ekstra paru: Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: 1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan

OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: • Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi). • Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. • Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default). • Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa : • Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja • Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan • Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan • Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin) • Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes 21 cepat) atau metode fenotip (konvensional).

d. Klasifikasi BAB III pasien TB berdasarkan status HIV 1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksiPASIEN TB/HIV): adalah pasien19TB TATALAKSANA TUBERKULOSIS dengan: • Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau • Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya. Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu: a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya. a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: • Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis. • Pasien TB paru terdiagnosis klinis • Pasien TB ekstra paru

Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 Berat Badan 30 – 37 kg 38 – 54 kg 55 – 70 kg ≥ 71 kg

24

Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275) 2 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 2 tablet 2KDT 3 tablet 2KDT 4 tablet 2KDT 5 tablet 2KDT 26

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Tahap Pengobatan

Dosis per hari / kali

Lama Pengobatan

Tablet Isoniasid @ 300 mgr

Kaplet Rifampisin @ 450 mgr

Tablet Pirazinamid @ 500 mgr

Tablet Etambutol @ 250 mgr

2 Bulan 4 Bulan

1 2

1 1

3 -

3 -

Intensif Lanjutan

Jumlah hari/ kali menelan obat

56 48

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang): • Pasien kambuh • Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya • Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) Tabel 7. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 Berat Badan 30-37 kg 38-54 kg 55-70 kg ≥71 kg

Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S Selama 56 hari Selama 28 hari 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin inj. 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj. 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj. 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT + 1000mg Streptomisin inj. ( > do maks )

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E(400) selama 20 minggu 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol 3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol 4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol 5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol

Tabel 8. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3 Tahap Pengobatan

Tahap Awal (dosis harian) Tahap Lanjutan (dosis 3x semggu)

Lama Pengobatan

Tablet Isoniasid @ 300 mgr

Kaplet Rifampisin @ 450 mgr

Tablet Pirazinamid @ 500 mgr

Etambutol Tablet @ 250 mgr

Tablet @ 400 mgr

Jumlah Streptomi hari/kali sin injeksi menelan obat

2 bulan 1 bulan

1 1

1 1

3 3

3 3

-

0,75 gr -

56 28

5 bulan

2

1

-

1

2

-

60

27

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

25

Catatan: • Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus. • Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg). • Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² ) • Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua. • OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.

7. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB ( ²⁶ )

a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan. Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan hasil pengobatan: 1) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif : • Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis pengobatan tahap lanjutan • Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5 dan Akhir Pengobatan) 2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif : Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1) : • Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.

26

28

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

• Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan). Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat. • Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ). Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 2): • Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur. • Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR • Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR • Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ). 3) Pada bulan ke 5 atau lebih : • Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis pengobatan selesai diberikan • Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR . • Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR • Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1), pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal. • Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pussat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap upaya PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi). Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. ( ⁹ )

29

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

27

28

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

29

** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien dapat diberikan pengobatan paduan OAT kategori 2. *** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien tidak diberikan pengobatan paduan OAT. c. Hasil Pengobatan Pasien TB ( ¹ ) Hasil pengobatan Sembuh

Pengobatan lengkap

Gagal Meninggal Putus berobat (loss to follow-up)

Tidak dievaluasi

Definisi Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya. Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan. Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau sedang dalam pengobatan. Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.

Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.

d. Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed Treatment) ( ¹¹ ) Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Untuk tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat dengan kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan. 33 1) Persyaratan PMO a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela. d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

30

2) Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas BABkesehatan III yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, TUBERKULOSIS anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat TATALAKSANA lainnya atau PASIEN anggota keluarga. 3) Tugas seorang PMO a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan. 1) Persyaratan PMO a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela. d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien 2) Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. 3) Tugas seorang PMO a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan. d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan. 4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke fasyankes. e. Pengobatan TB pada keadaan khusus 1) Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya 34

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

31

sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50 mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( ¹² ) 2) Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. 3) Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal. 4) Pasien TB dengan kelainan hati ( ²⁶ ) a) Pasien TB dengan Hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.

b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang

biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis : • Pembawa virus hepatitis • Riwayat penyakit hepatitis akut • Saat ini masih sebagai pecandu alkohol Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.

c) Hepatitis Kronis

Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan: • 2 obat yang hepatotoksik  2 HRSE / 6 HR  9 HRE • 1 obat yang hepatotoksik  2 HES / 10 HE • Tanpa obat yang hepatotoksik  18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).

32

35

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB, harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.  Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,  Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,  Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan diperlukan evaluasi gangguan penglihatan. 5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR. H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. ( ²⁶ ) Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi ginjal sangat diperlukan. Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 11: Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis. Tingkat 1 2 3 4 5

Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK) KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan saluran kencing, misalnya: ginjal polikistik, kelainan struktur KK (60 – 90 ml/menit) KK (30 – 60 ml/menit) KK (15 – 30 ml/menit) KK (< 15 ml/menit) dengan atau tanpa dialisis

Tabel 12: Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan penyakit ginjal kronis. OAT Isoniasid Rifampisin Pirasinamid Etambutol

Stadium 1-3 300 mg/hari <50 kg: 450 mg/hari ≥50 kg: 600 mg/hari <50 kg: 1,5 g/hari ≥50 kg: 2 g/hari 15 mg/kgBB/hari

Stadium 4-5 Diberikan 3x/minggu Dosis 300 mg/setiap pemberian <50 kg: 450 mg/hari ≥50 kg: 600 mg/hari 25-30 mg/kgBB/hari, Diberikan 3x/minggu 15-25 mg/kgBB/hari, Diberikan 3x/minggu

36

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

33

6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM) ( ¹² ) TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes mellitus. Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus: a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan c) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan 7) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti: a) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis b) TB milier dengan atau tanpa meningitis c) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial d) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing (untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah. e) Hipersensitivitas berat terhadap OAT. f) IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome ) Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya keluhan serta respon klinis. Predinisolon (per oral): • Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari • Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus diturunkan secara bertahap (tappering off). 8) Indikasi operasi Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru), adalah: a) Untuk TB paru: • Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif. • Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif. • Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir. b) Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik. 37

34

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

8. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya ( ²⁶ )

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek samping yang merugikan atau berat. Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat segera diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak diperlukan. Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil obat. Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat pada kartu pengobatannya. Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan tambahan untuk menghilangkan keluhannya. Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit.

Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan keluhan dan gejala. Tabel 13. Efek samping ringan OAT Efek Samping

Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut

Penyebab

H, R, Z

Penatalaksanaan OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan sedikit makanan Apabila keluhan semakin hebat disertai muntah, waspada efek samping berat dan segera rujuk ke dokter. Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti radang non steroid

Nyeri Sendi

Z

Kesemutan s/d rasa terbakar di telapak kaki atau tangan

H

Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 – 75 mg per hari

Warna kemerahan pada air seni (urine)

R

Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi obat penawar tapi perlu penjelasan kepada pasien.

R dosis intermiten

Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi setiap hari

Flu sindrom (demam, menggigil, lemas, sakit kepala, nyeri tulang)

38

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

35

Tabel 14. Efek samping berat OAT Efek Samping Bercak kemerahan kulit (rash) dengan atau tanpa rasa gatal Gangguan pendengaran (tanpa diketemukan serumen) Gangguan keseimbangan Ikterus tanpa penyebab lain Bingung, mual muntah (dicurigai terjadi gangguan fungsi hati apabia disertai ikterus) Gangguan penglihatan Purpura, renjatan (syok), gagal ginjal akut Penurunan produksi urine

Penyebab H, R, Z, S

Penatalaksanaan Ikuti petunjuk penatalaksanaan dibawah*

S

S dihentikan

S

E

S dihentikan Semua OAT dihentikan sampai ikterus menghilang. Semua OAT dihentikan, segera lakukan pemeriksaan fungsi hati. E dihentikan.

R

R dihentikan.

S

S dihentikan.

H, R, Z Semua jenis OAT

* Penatalaksanaan pasien dengan efek samping pada kulit ( ²⁶ ) Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan untuk memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab kulit. Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila kemudian terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes rujukan dapat dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya reaksi dikulit dengan cara ”Drug Challengin ”: • Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap satu persatu dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H atau R ) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid. • Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila tidak timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT lagi. • Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT yang diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut. • Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan dapat dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut. ** Penatalaksanaan pasien dengan ”drugs induced hepatitis” ( ²⁶ ) Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang mengalami keluhan gangguan fungsi hati karena pemberian obat (drugs induced hepatitis). Penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit penyerta pada hati, diuraikan dalam uraian Pengobatan pasien dalam keadaan khusus. OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z. Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti gangguan fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab lain sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan OAT. 39

36

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB tergantung dari: • Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan • Berat ringannya gangguan fungsi hati • Berat ringannya TB • Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat Langkah langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai kondisi: 1. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena OAT, pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan yang diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik. Bila fungsi hati normal atau mendekati normal, berikan Rifampisin dengan dosis bertahap, selanjutnya Isoniasid secara bertahap. 2. TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien, dapat diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu OAT dari golongan fluorokuinolon. 3. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati kembali normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai pengobatan kembali. 4. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati sudah tidak teraba sebelum memulai kembali pengobatan. 5. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat, paduan pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan salah satu golongan kuinolon dapat diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan. 6. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan OAT semula dapat dimulai kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala gangguan fungsi hati kembali muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak normal, OAT yang ditambahkan terakhir harus dihentikan. Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang pernah mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H dan R, sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid. 7. Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan fungsi hati. Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2HES/10HE. Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE. Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap awal, total lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9 bulan. Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT non hepatotoksik terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon harus dilanjutkan sampai 18-24 bulan. 8. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap awal dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan pemberian H dan R selama 6 bulan tahap lanjutan. 9. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap lanjutan (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan. 40

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

37

nak

an, iko

akit an oto

ng

ng an

sus 2% ari gat 0-4 ng nya 14 TB

ng TB TB am

sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB. 2. Gejala TB pada anak Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut: a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik. b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain. c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan. d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive). e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain. f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare. Gejala klinis spesifik terkait organ Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit, adalah sebagai berikut: a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens. b. Tuberkulosis otak dan selaput otak: • Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena. • Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang. c. Tuberkulosis sistem skeletal: • Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus). • Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah panggul. • Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas. • Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis). d. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge). e. Tuberkulosis mata: • Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis). • Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi). f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

ng au

41

42

BAB IV TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

39

C. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan dahak, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan contoh uji. Contoh uji dapat diambil berupa dahak, induksi dahak atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB. 1. Perkembangan terkini Diagnosis TB Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan diagnosis TB Anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test, misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini tersedia di beberapa laboratorium di seluruh provinsi di Indonesia. WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan GenXpert MTB/RIF. Rekomendasi WHO tahun 2014 menyatakan pemeriksaan GenXpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR dan HIV suspek TB pada anak. Hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB. Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB pada anak penegakan diagnosis TB pada anak dapat dilakukan dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB pada anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya

40

43

BAB IV TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

ng ain sis psi

ari tuk TB, dak ral an gik mbil ut, ah ng an .

an pat eic pa

asi un sis alu

dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks. Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. 2. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB pada anak terutama di fasilitas kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB. Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut: • Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai tertinggi yaitu 3. • Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

an an TB ber TB ksi dak au rita tuk ara un aka gis. nya

43

44

BAB IV TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

41

45

Gambar 2: Algoritma Tatalaksana TB Anak

Anak 0 – 14 th Terdapat 1 atau lebih gejala TB anak (*) Suspek TB Anak

Sistem Skoring

Skor< 6

Skor = 6

Skor> 6

Didapat dari parameter uji tuberkulin (+) atau kontak dengan gejala klinis lain

Infeksi laten TB Didapat dari parameter uji tuberkulin (+) dan kontak; tanpa gejala klinis lain

Bukan TB

Pertimbangan dokter (**)

TB ANAK Evaluasi 2 bulan terapi

Perbaikan

Umur ≥ 5 th

Tidak ada perbaikan

PP INH HIV pos

Lanjutkan terapi

Umur< 5 th

Evaluasi, rujuk bila perlu

HIV neg

PP INH

Observasi

Keterangan : (*) Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring (**) Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin

BAB IV TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

46

43

Tabel 16: OAT Anak yang biasa dipakai dan dosisnya Dosis harian Dosis (mg/kgBB/hari) maksimal Efek samping Nama Obat (mg /hari) Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitis Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan Pirazinamid (Z) 35 (30-40) Toksisitas hepar, artralgia, gastrointestinal Etambutol (E) 20 (15–25) Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta warna merah hijau, hipersensitivitas, gastrointestinal Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik j. Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan tabel berikut ini: Tabel 17: OAT Kategori Anak dan Peruntukannya Jenis TB TB Ringan Efusi Pleura TB TB BTA positif TB paru dengan tandatanda kerusakan luas:  TB milier  TB+destroyed lung Meningitis TB Peritonitis TB Perikardistis TB Skeletal TB

46

OAT Tahap Awal

OAT Tahap Lanjutan

2HRZ

4HR

2HRZE

4HR 7-10HR

2HRZ+E atau S 10HR

Prednison 2 mgg dosis penuh, kemudian tappering off. 4 mgg dosis penuh, kemudian tappering off. 4 mgg dosis penuh, kemudian tappering off. 2 mgg dosis penuh, kemudian tappering off. 2 mgg dosis penuh, kemudian tappering off. -

Lama Pengobatan 6 bulan

9-12 bulan

12 bulan

49

BAB IV TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose 2. Combination) OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, Combination) OAT disediakan dalam Kombinasi bentuk paket KDT/ FDC.(KDT) Satu keteraturan paket(FDC=Fixed dibuatminum untukDose satu 2. paduan OAT Kategori Anak kemasan dosis tetap OAT Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan obat, pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, Combination) paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu yaitu (R) masa 75mg, INH (H)OAT 50 mg, dan pirazinamid (Z) berisi 150 mg, serta obat fase Untuk mempermudah pemberian sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, pasienrifampisin untuk satu pengobatan. Paket KDT untuk anak obat fase intensif, lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat paduan OAT disediakan bentuk paket FDC. Satu paket dibuat satu yaitu rifampisin (R) 75mg,dalam INH (H) 50 mg, danKDT/ pirazinamid (Z) 150 mg, sertauntuk obat fase dilihat pada tabel pasien untuk satu pengobatan. fase intensif, lanjutan, yaitu R berikut. 75masa mg dan H 50 mg Paket dalamKDT satu untuk paket.anak Dosisberisi yangobat dianjurkan dapat yaitu 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase dilihatrifampisin pada tabel(R) berikut. Tabel 18:yaitu Dosis pada anak lanjutan, R kombinasi 75 mg danOAT H 50TBmg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat Berat badan 2 bulan 4 bulan dilihat pada tabel berikut. Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anak (kg) RHZ (75/50/150) (RH (75/50) Berat badan 2 bulan 4 bulan 5-7 1 tablet 1 tablet Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anak (kg) RHZ (75/50/150) (RH (75/50) 8-11 2 2 Berat badan bulan 4 bulan 5-7 1 tablet tablet 1 tablet tablet 12-16 3 tablet 3 tablet (kg) RHZ (75/50/150) (RH (75/50) 8-11 2 tablet 2 tablet 17-22 4 tablet 4 tablet 5-7 1 1 12-16 3 tablet 3 tablet 23-30 5 5 8-11 2 2 17-22 4 tablet tablet 4 tablet tablet Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa. 12-16 3 tablet 3 23-30 5 tablet 5 tablet tablet 17-22 4 tablet 4 tablet Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa. Keterangan: R = Rifampisin; H = Isoniasid; Z = Pirazinamid 23-30 5 tablet 5 tablet •Keterangan: Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi kg diberikan tablet atau KDT dewasa. Keterangan:BB R =>30 Rifampisin; H = 6Isoniasid; Z =menggunakan Pirazinamid dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan • Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi • Apabila ada BBH maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan Keterangan: Rdan =kenaikan Rifampisin; = Isoniasid; = Pirazinamid dosis tetap, sebaiknya dirujuk ke RS Z rujukan berat badan saat itu •• Bayi di bawah 5 kg pemberian secara terpisah, tidak diberikan, dalam bentuk kombinasi Apabila ada kenaikan BB makaOAT dosis/jumlah tablet yang menyesuaikan • Untuk anak dan obesitas, dosis KDT ke menggunakan dosis tetap, sebaiknya dirujuk RS rujukan Berat Badan ideal (sesuai umur). berat badan saat itu berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran •• Tabel Apabila adaBadan kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan Untuk Berat anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur). • OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus) berat badan saat itu Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran •• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan atau Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal(chewable), (sesuai umur). OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak utuh, boleh dikunyah/dikulum dibelah, dan tidak boleh digerus) dimasukkan air dalam sendok (dispersable). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran • Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau • Obat diberikan saat perut kosong, atau boleh palingdibelah, cepat 1 dan jam tidak setelah makan OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh digerus) dimasukkan air pada dalam sendok (dispersable). •• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer dimasukkan air dalam sendok (dispersable). • Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh • Obat diberikan pada perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan digerus bersama dansaat dicampur dalam satu puyer • Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh 3. Pengobatan ulang TB anakdalam satu puyer digerus bersama danpada dicampur Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan 3. Pengobatan ulang TB pada anak gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan 3. gejala Pengobatan ulang TB padaapakah anak anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi TB, perlu dievaluasi sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil Kambuh. Pada pasien TBcara anak yang pernah mendapat pengobatan TB,Evaluasi tidak dianjurkan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dahak atau sistem skoring. dengan pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus untuk dilakukan uji tuberkulin ulang. sistem skoring harus TB lebih cermat dan dilakukan di pengobatan fasilitas rujukan. Apabila hasil Kambuh. Pada pasien anak yang pernah mendapat TB, tidak dianjurkan pemeriksaan dahak menunjukkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

50

BAB IV TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

50

47

50

Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA dahak positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB. Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut: Tabel 19: Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak Umur

HIV

Balita Balita > 5 th > 5 th > 5 th > 5 th

(+)/(-) (+)/(-) (+) (+) (-) (-)

Hasil pemeriksaan Infeksi laten TB Sehat, Kontak (+), Uji tuberkulin (-) Infeksi laten TB Sehat Infeksi laten TB Sehat

Tata laksana INH profilaksis INH profilaksis INH profilaksis INH profilaksis Observasi Observasi

Pa tah me

Keterangan • Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan. • Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal • Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka pemberian INH dapat dihentikan. • Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah PP- INH selesai diberikan.

Ind ber pen Be 13/ Pe A.

52

B.

50

BAB IV TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

na ng

egi TB

utu pu

ng ara ap

asi utu nya

tuk

dai

an

tor

ari nal, TB

ab TB

54

BAB V MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

53

D. Diagnosis TB Resistan Obat a.

b. Alur Diagnosis TB Resistan Obat

Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis: a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 (satu) spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan 2 spesimen dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk pemeriksaan sediaan apus sputum BTA, pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. b. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan investigasi terhadap kemungkinan lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB, lanjutkan pengobatan TB sampai selesai. Pada pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi secara klinis terdapat kecurigaan kuat terhadap TB MDR (misalnya pasien gagal pengobatan kategori-2), ulangi pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesi mendahak yang memenuhi kualitas pemeriksaan. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya. c. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau lanjutkan tatalaksana pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2, sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya. d. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin, mulai pengobatan standar TB MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman Mtb. e. Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif Mycobacterium tuberculosis (Mtb tumbuh), lanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua sekaligus. Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2, maka lakukan uji kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus (bersamaan). Jika laboratorium rujukan hanya mempunyai kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk mengetahui pola resistensi kuman TB lainnya. f. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil pemeriksaan uji kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert menjadi dasar penegakan diagnosis. g. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji kepekaan menunjukkan adanya tambahan resistan terhadap INH), catat sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan pengobatan TB MDR-nya. h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji kepekaan menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan Kanamisin/Amikasin), sesuaikan paduan pengobatan pasien (ganti paduan pengobatan TB MDR standar menjadi paduan pengobatan TB XDR), dan catat sebagai pasien TB XDR. Catatan: Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria terduga TB Resistanobat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil Rifampisin Resistan, ulangi pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi mendahak yang baru. Jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuan untuk tindak lanjut berikutnya.

56

BAB V MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

c. d. e. f. g. h.

• Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida) • Asam Urat • Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan) Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH) Tes kehamilan untuk perempuan usia subur Foto toraks. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri) Pemeriksaan EKG Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)

59 2. Paduan OAT MDR di Indonesia Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR. a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah: Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E) Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut: 1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah sebagai berikut: Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E) 2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar adalah sebagai berikut: Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) 3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut: Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR secara laboratoris. c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan. d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan. Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan. Informasi lengkap mengenai pengobatan pasien TB MDR dibahas pada di Juknis MTPTRO (Permenkes 13/2013). 3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak, demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan. Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut.

58

BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

60

F.

HIV an TB. bal

on, kes an but tas au sis ksi akit ua

an

B. Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara dini B.1. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitas B.2. Inisiasi Pengobatan Pencegahan dengan INH dan inisiasi dini ART B.3. Penguatan PPI TB di faskes yang memberikan layanan HIV, termasuk Tempat Orang Berkumpul (Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk Pengguna NAPZA) C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB C.1 Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB C.2

Meningkatkan Pencegahan HIV untuk pasien TB

C.3

Menyediakan Pemberian PPK pada Pasien TB-HIV

C.4

Memastikan perawatan, dukungan dan pengobatan serta pencegahan HIV pada pasien ko-infeksi TB-HIV

C.5

Menyediakan ART bagi pasien ko-infeksi TB-HIV

Kebijakan: 1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana pengendalian TB dan HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara fasilitas pelayanan kesehatan. 2.

Kelompok kerja atau forum komunikasi dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV dengan melibatkan lintas sektoral.

3.

Diperlukan keterlibatan lebih banyak komunitas dan LSM dalam program TB dan HIV/AIDS guna meningkatkan jangkauan dan cakupan penemuan kasus TB-HIV secara signifikan.

4.

Perencanaan bersama antara program TB dan HIV dibutuhkan untuk melaksanaan kolaborasi TB-HIV yang optimal dalam menetapkan peran dan tanggung jawab masingmasing program meliputi pelaksanaan, perluasan layanan, serta monitoring dan evaluasi aktivitas kolaborasi TB-HIV di setiap tingkatan Surveilans TB-HIV di Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan data rutin yang dikumpulkan dari layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik dari layanan TB dan HIV dengan menggunakan SITT untuk program TB dan SIHA untuk program HIV. Survei periodik dan survei sentinel dapat dilakukan bila diperlukan.

5.

6.

Semua pasien TB ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan diagnosis HIV tanpa melihat faktor resiko.

7.

Semua pasien koinfeksi TB-HIV sesegera mungkin dilakukan inisiasi ART tanpa menilai jumlah CD4, setelah pengobatan TB dapat ditoleransi.

8.

Semua pasien koinfeksi TB-HIV diberikan kotrimoksasol (PPK) tanpa menilai jumlah CD4.

pengobatan

pencegahan

BAB VI KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

dengan

63

tes

ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.

kaji

Diagnosis TB pada ODHA Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang dengan HIV negatif. Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil dahak BTA negatif. Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana diagnosisnya sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi yang didapat dari tempat lesi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:

ini

ng

an

em an ma em

tar kat asi bih min pa

atu HIV atu

del an

• Pemeriksaan mikroskopis langsung Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya positif maka ditetapkan sebagai pasien TB. • Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif Pemeriksaan mikroskopis dahak pada ODHA sering memberikan hasil negatif, sehingga penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif perlu dilakukan. Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya resistensi terhadap rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada ODHA tersebut bisa lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam waktu yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis. • Pemeriksaan biakan dahak Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu untuk konfirmasi diagnosis TB. • Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi. Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap obat tersebut. • Pemeriksaan foto toraks Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis TB pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut.

an ala

BAB VI KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

65

E.

F.

G.

H.

I.

BAB VII VII BAB PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk, berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu yang cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak permukaan. Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli. Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk mencegah tersebarnya kuman TB ini. A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi. Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan adalah yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut belum sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat. Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu : 1. Pengendalian Manajerial 2. Pengendalian administratif 3. Pengendalian lingkungan 4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus dilakukan ada saat WBP baru, dan kontak sekamar. 1. Pengendalian Manajerial. Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait. Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi: a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif

72

74

BAB VII PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut: a. Temukan pasien secepatnya. Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan dirujuk ke laboratorium.

b. Pisahkan secara aman.

Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan masker. Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan dalam antrian (prioritas).

c. Obati secara tepat.

Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera diobati sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius

3. Pengendalian Lingkungan. Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida. Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu: a. Ventilasi Alamiah b. Ventilasi Mekanik c. Ventilasi campuran Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik. 4. Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri. Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan. Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah. Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.

74

76

BAB VII PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet. Gambar 6: Jenis respirator untuk petugas kesehatan

Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari). Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.

77

BAB VII PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

75

BAB VIII BAB VIII PUBLIC PRIVATE MIX DOTS PENGENDALIAN DALAM PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS TUBERKULOSIS Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan semua fasilitas layanan kesehatan. Public Private Mix (bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif. PPM (Public Private Mix) meliputi: • Hubungan kerjasama pemerintah-swasta, seperti: kerjasama program pengendalian TB dengan faskes milik swasta, kerjasama dengan sektor industri/perusahaan/tempat kerja, kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM). • Hubungan kerjasama pemerintah-pemerintah, seperti: kerjasama program pengendalian TB dengan institusi pemerintah Lintas Program/Lintas Sektor, kerjasama dengan faskes milik pemerintah termasuk faskes yang ada di BUMN, TNI, POLRI dan lapas/rutan. • Hubungan kerjasama swasta-swasta, seperti: kerjasama antara organisasi profesi dengan LSM, kerjasama RS swasta dengan DPM, kerjasama DPM dengan laboratorium swasta dan apotik swasta. Sehubungan dengan berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) yang dimulai Januari tahun 2014, maka pemberian layanan TB tanpa penyulit dilakukan di FKTP, sedangkan untuk TB dengan penyulit atau yang memerlukan pemeriksaan diagnosis lanjutan dilakukan di FKRTL. A. Tujuan Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan. B. Prinsip dan Strategi PPM. 1. Prinsip PPM Dalam melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai berikut: a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan saling menguntungkan. b. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kebaikan pasien dengan menerapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK). c. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang dikoordinir oleh program pengendalian TB di setiap tingkat.

76

78

BAB VIII PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

2. Strategi PPM Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga diharapkan peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix (PPM), yaitu : a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas, b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta, c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis, d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas, e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional, f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas. C. Penerapan PPM Penerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu: 1. Tingkat Nasional 2. Tingkat Provinsi 3. Tingkat Kabupaten/Kota 1. Tingkat Nasional Di tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan kebijakan, peraturan, pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menjadi pegangan bagi penerapan PPM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat nasional terdiri dari jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait lainnya, pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership Indonesia (FSTPI), organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan, LSM serta mitra internasional. 2. Tingkat Provinsi Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan, perhimpunan profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan, tempat kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar dapat melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di tingkat kabupaten/kota. 3. Tingkat kabupaten/kota Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring kemitraan antar pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar fasyankes.Tahapan pelaksanaan dimulai dengan pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan kabupaten/kota untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring rujukan. Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM. a. Pilar 1: Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas . Subdit Tuberkulosis, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular langsung, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menetapkan NSPK berkaitan dengan Pilar ini antara lain: 79

BAB VIII PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

77

1) Penguatan sistem surveilans dan Management Information for Action (MIFA), misalnya Pengembangan Sistim Informasi TB Terpadu (SITT) berbasis web yang bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin). 2) Peningkatan Kualitas layanan DOTS paripurna. 3) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung Health/PAL) yaitu pendekatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer terhadap pasien yang mengalami gangguan saluran pernafasan dengan keluhan utama batuk kronis dan sesak. 4) Meningkatkan cakupan TBHIV yaitu melalui: • Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV • Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV 5) Penyusunan Regulasi dari Kementerian Pertahanan dalam upaya pengendalian TB di wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) melalui faskes TNI dan pengembangan jejaring melalui Mobilisasi Sosial TNI. 6) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS dasar dengan pilar-pilar yang lain, contohnya: • Memperluas Pelayanan untuk pasien TB Resistan Obat. • Pelibatan Rutan/Lapas dalam pelayanan untuk warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang terdampak dan rentan terhadap TB. • Pelibatan tempat kerja, swasta dan dunia usaha untuk membangun kepedulian perusahan terhadap pengendalian TB melalui CSR (Corporate Social Responsibility). • Integrasi layanan TB di FKTP kedalam skema JKN yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. • Bekerjasama dengan organisasi profesi dalam hal peningkatan rujukan kasus TB ke faskes DOTS dasar. 7) Peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif. b. Pilar 2: Pelayanan DOTS di RS publik/swasta Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan akan menetapkan NSPK sesuai pendekatan-pendekatan sebagai berikut: 1) Integrasi penerapan layanan TB dengan Strategi DOTS ke dalam Akreditasi Rumah Sakit 2012. 2) Penerapan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana TB. 3) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS di RS dengan pilar yang lain, contohnya: • Memperkuat jejaring rujukan dengan pelayanan DOTS dasar. • Memperluas layanan rujukan TB resistan obat di RS-RS yang ditunjuk. • Mendorong terbentuknya Center of Excellent (COE) untuk layanan TB. • Meningkatkan kualitas layanan TB-HIV yaitu melalui:  Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,  Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,  Pengobatan pencegahan dengan INH (PP-INH). c. Pilar 3: Pelayanan DOTS oleh Dokter Praktek Mandiri dan Spesialis Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkoordinir penerapan pilar ke 3 melalui pendekatanpendekatan sebagai berikut:

78

80

BAB VIII PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

1) Penerapan International Standards for TB Care (ISTC) yang telah diwujudkan dalam bentuk PNPK yang merupakan standar pelayanan TB bagi dokter di seluruh Indonesia. 2) Sertifikasi DPM untuk mengobati pasien TB melalui terbitnya Surat Keputusan PB IDI No.680.1/PB/A/09/2013 tentang penatalaksanaan pasien tuberkulosis. Dokter yang tersertifikasi TB memiliki kewenangan mengobati pasien TB, sedangkan dokter yang belum tersertifikasi hanya diperkenankan menjaring terduga TB dan merujuk kepada fasilitas layanan TB dengan strategi DOTS. Dokter yang mengobati pasien TB akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk SKP dari PB IDI. 3) Penetapan Panduan Praktik Klinis Dokter di Layanan Primer melalui Surat Keputusan PB IDI no.561/PB/A.4/08/2013 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no.5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Selain IDI, pilar 3 ini juga meliputi pendekatan lain yang dikoordinir oleh Kemenkes berupa kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran dan telah disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia. d. Pilar 4: Diagnosis TB yang berkualitas. Pilar ini dikoordinir oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik (BPPM) dan Sarana Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Rujukan, melalui pendekatan: 1) Penguatan Jejaring dan Quality Assurance (QA) laboratory dengan mengembangkan sistim Pemantauan Mutu Eksternal pemeriksaan diagnostik TB (Mikroskopis, kultur, DST dan molekuler). 2) Menjamin kualitas laboratorium di fasyankes melalui pengembangan Jejaring Lab TB dengan mengatur dan mendorong adanya Laboratorium Rujukan TB Provinsi dan Laboratorium rujukan intermediate. 3) Menentukan laboratorium yang bersertifikat untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan 2. 4) Pemanfaatan teknologi tes diagnostik TB dengan tes cepat (GeneXpert dan LPA). 5) Meningkatkan keterlibatan lab swasta dalam jejaring DOTS serta meningkatkan mutunya. e. Pilar 5: Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara Rasional. Pilar ini dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dirjen Bina Kefarmasian Alat Kesehatan dengan melibatkan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Pendekatan pilar ini lebih pada penetapan regulasi dan penegakan hukum, yaitu: 1) Mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan “One Gate Policy”. 2) Pelaksanaan post market surveillance untuk OAT lini-1. 3) Penyusunan SOP pengelolaan logistik TB OAT dalamnya termasuk SOP uji kualitas OAT. 4) Memfaslitasi proses prakualifikasi WHO untuk OAT. 5) Mendorong regulasi penggunaan OAT secara rasional. f. Pilar 6: Penguatan Sistem Komunitas. Pilar ini melibatkan secara aktif lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat dan organisasi terdampak TB, melalui pendekatan: 81

BAB VIII PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

79

BAB IX BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas (gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan memerlukan fasilitas sumber daya laboratorium yang memenuhi standar . Pemeriksaan 3 contoh uji (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan hanya dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja penanggulangan TB, diperlukan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium tersebut. Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium TB, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi. A. Organisasi Pelayanan Laboratorium TB. Laboratorium TB tersebar luas dan berada di setiap wilayah, mulai dari tingkat Kecamatan, Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai laboratorium pelayanan kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium pendidikan/penelitian. Setiap laboratorium yang memberikan pelayanan pemeriksaan TB mulai dari yang paling sederhana, yaitu pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling mutakhir seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar. Untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar, maka diperlukan jejaring laboratorium TB. Masing-masing laboratorium di dalam jejaring TB memiliki fungsi, peran, tugas dan tanggung jawab yang saling berkaitan. Masing-masing tingkat laboratorium memiliki fungsi sesuai dengan pelayanan laboratorium mikroskopis, biakan, uji kepekaan dan molekuler. 1. Jejaring Pelayanan Laboratorium Mikroskopis TB. a. Laboratorium mikroskopis TB di faskes Dalam layanan pemeriksaan mikroskopis, fasilitas kesehatan dibagi berdasarkan kemampuannya melakukan pemeriksaan mikroskopis TB menjadi: • Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis TB (FKTP-RM), adalah FKPT dengan laboratorium yang mampu membuat sediaan contoh uji , pewarnaan dan pemeriksaan mikroskopis dahak, menerima rujukan dan melakukan pembinaan teknis kepada laboratorium FKTP Satelit (FKPT-PS). FKTP-RM harus mengikuti pemantapan mutu eksternal melalui uji silang berkala oleh laboratorium RUS-1 di wilayahnya atau lintas kabupaten/kota. • Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit (FKTP-S), adalah FKTP dengan laboratorium yang melayani pengumpulan dahak, pembuatan contoh uji, fiksasi dan kemudian merujuk ke FKTP-RM. Dalam jejaring laboratorium mikroskopis TB semua fasiltas laboratorium kesehatan termasuk laboratorium Rumah Sakit dan laboratorium swasta yang melakukan pemeriksaan laboratorium mikroskopis TB dapat mengambil peran sebagai FKTP-RM dan FKTP-S sesuai dengan kemampuan pemeriksaan yang dilaksanakannya.

82

BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

b. Laboratorium Rujukan Uji Silang Pertama /Lab Intermediate/ RUS 1 Laboratorium RUS 1 ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan dan berada di tingkat Kabupaten/Kota dengan wilayah kerja yang ditetapkan oleh Dinas Kabupaten/Kota terkait atau lintas kabupaten/kota atas kesepakatan antara Dinas Kabupaten /Kota. Pada Lab RUS 1 dengan wilayah kerja lebih dari 1 kabupaten/kota, penetapan laboratorium oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Laboratorium RUS 1 memiliki tugas dan fungsi: 1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan mikroskopis BTA. 2) Melaksanakan uji silang sediaan dahak dari laboratorium fasyankes di wilayah kerjanya. 3) Melakukan pembinaan teknis laboratorium mikroskopis di wilayah kerjanya. 4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan). 5) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan jejaring laboratorium TB di wilayahnya. c. Laboratorium Rujukan Uji Silang Kedua/ RUS 2 Laboratorium RUS 2 terdapat di provinsi yang memiliki laboratorium RUS 1. Apabila provinsi yang tidak memiliki laboratorium RUS 1, maka laboratorium rujukan provinsi berperan sebagai lab RUS. Laboratorium RUS 2 ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan dengan peran dan fungsi: 1) Melakukan uji silang ke-2 jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan (diskordance) mikroskopis laboratorium fasyankes dan laboratorium RUS 1 2) Melakukan pembinaan teknis laboratorium RUS 1 di wilayahnya 3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk pengelolaan jejaring laboratorium TB di wilayahnya 4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan). 5) Mengikuti PME tingkat nasional (uji silang sediaan dahak dengan metode LQAS, supervisi, tes panel) dari Laboratorium Rujukan Nasional. d. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011 tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BLK Provinsi Jawa Barat sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut: 1) Peran: a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan mikroskopis TB b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan mikroskopis TB 2) TanggungJawab: Memastikan semua kegiatan laboratorium mikroskopis dalam jejaring laboratorium mikroskopisTB berjalan sesuai peran dan tugas pokoknya.

BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

83

c. Laboratorium biakan Laboratorium biakan adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan biakan M. tuberculosis sesuai standar dan memenuhi indikator kinerja laboratorium biakan TB. Pencatatan pelaporan wajib dilaksanakan oleh laboratorium biakan TB dan indikator kinerja laboratorium ini dilaporkan kepada Laboratorium Rujukan Regional dan LRN. Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: 1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan identifikasi parsial NTM 2) Mengirimkan isolat biakan ke Laboratorium Rujukan Regional 3) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN 4) Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait dengan tugasnya sebagai Laboratorium rujukan biakan provinsi d. Laboratorium biakan dan uji kepekaan Melakukan pemeriksaan pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji kepekaan OAT sesuai standard dan tersertifikasi melalui mekanisme pemantapan mutu oleh LRN. Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: 1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan/ atau 2 2) Melakukan pembinaan dan menerima rujukan dari laboratorium yang melakukan pemeriksaan biakan TB di wilayah kerjanya. Fungsi ini merupakan fungsi sebagai laboratorium rujukan regional. Laboratorium dengan fungsi regional adalah laboratorium rujukan provinsi yang ditetapkan oleh LRN berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan 3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan jejaring laboratorium TB di wilayah kerjanya. 4) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN. e. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011 tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BBLK Surabaya sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut: 1) Peran a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB. b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan isolasi, identifikasi, dan uji kepekaan TB. 2) Tugas Pokok a) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium biakan dan uji kepekaan TB b) Memfungsikan jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TB c) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai untuk laboratorium biakan dan uji kepekaan TB d) Mengembangkan pedoman teknis, prosedur tetap, pemantapan mutu eksternal (PME) dan pedoman pelatihan biakan dan uji kepekaan TB e) Menyelenggarakan PME dalam jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TB f) Melaksanakan pelayanan rujukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB

BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

85

Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut: 1) Peran a) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk penelitian operasional TB, b) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT. 2) Tugas Pokok a) Melaksanakan penelitian operasional TB b) Melaksanakan pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT. c) Melaksanakan evaluasi/validasi teknologi baru. d) Melaksanakan pelatihan dan evaluasi pasca pelatihan teknologi baru e) Melaksanakan PME untuk teknologi baru f) Bekerjasama dalam jejaring laboratorium TB internasional. 3) Tanggungjawab Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai penelitian operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT berjalan sesuai peran dan tugas pokok. B. Manajemen Laboratorium TB. 1. Manajemen Logistik Laboratorium TB. Perencanaan, pengadaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan dan penggunaan logistik laboratorium TB diatur melalui mekanisme logistik Program Pengendalian TB 2. Manajemen Pemantapan Mutu Laboratorium TB. Pemantapan mutu laboratorium TB dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jejaring laboratorium mikroskopis, biakan/uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler. Komponen pemantapan mutu terdiri dari 3 hal utama yaitu: a. Pemantapan Mutu Internal (PMI) b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME) c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement) a. Pemantapan Mutu Internal (PMI) PMI adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan laboratorium TB untuk mencegah kesalahan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi proses pemeriksaan laboratorium agar hasil pemeriksaan tepat dan benar. Tujuan PMI: 1) Memastikan bahwa semua proses sejak persiapan pasien, pengambilan, penyimpanan, pengiriman, pengolahan contoh uji, pemeriksaan contoh uji, pencatatan dan pelaporan hasil dilakukan dengan benar. 2) Mendeteksi kesalahan, mengetahui sumber/penyebab dan mengoreksi dengan cepat dan tepat. 3) Membantu peningkatan pelayanan pasien. Kegiatan PMI harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap praanalisis, analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.

BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

87

Beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan PMI yaitu: 1) Tersedianya Prosedur Tetap (Protap) untuk seluruh proses kegiatan pemeriksaan laboratorium, misalnya : a) Protap pengambilan dahak b) Protap pembuatan contoh uji dahak c) Protap pewarnaan Ziehl Neelsen d) Protap pemeriksaan Mikroskopis e) Protap pembuatan media f) Protap inokulasi g) Protap identifikasi h) Protap pengelolaan limbah, dan sebagainya. 2) Tersedianya Formulir /buku untuk pencatatan dan pelaporan kegiatan pemeriksaan laboratorium TB 3) Tersedianya jadwal pemeliharaan/kalibrasi alat, audit internal, pelatihan petugas 4) Tersedianya contoh uji kontrol (positip dan negatip) dan kuman kontrol. b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME) PME laboratorium TB dilakukan secara berjenjang, karena itu penting sekali membentuk jejaring dan tim laboratorium TB di laboratorium rujukan. Pelaksanaan PME dalam jejaring ini harus berlangsung teratur/berkala dan berkesinambungan. Koordinasi PME harus dilakukan oleh laboratorium penyelenggara yaitu laboratorium rujukan bersama dengan Dinas Kesehatan setempat agar dapat melakukan evaluasi secara baik, berkala dan berkesinambungan. 1) Perencanaan PME a) Melakukan koordinasi diantara komponen pelaksana Program TB berdasarkan wilayah kerja jejaring laboratorium TB b) Menentukan kriteria laboratorium penyelenggara c) Menentukan jenis kegiatan PME d) Penjadwalan pelaksanaan PME dengan mempertimbangkan beban kerja laboratorium penyelenggara. e) Menentukan kriteria petugas yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan PME f) Penilaian dan umpan balik. 2) Kegiatan PME Kegiatan PME laboratorium TB dilakukan melalui: a) PME Mikroskopis • Uji silang sediaan dahak mikroskopis Dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan dengan melakukan pemeriksaan ulang sediaan dahak dari unit laboratorium mikroskopis TB di fasyankes. Pengambilan sediaan dahak untuk uji silang dilakukan dengan metode Lot Quality Assurance Sampling (LQAS). Metoda ini diterapkan diseluruh Indonesia namun dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan sumber daya laboratorium metoda LQAS dapat dimodifikasi sehingga alur dan peran komponen PME dapat berubah.

88

BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

3. Manajemen Sistim Informasi Laboratorium TB Untuk menjamin data kegiatan laboratorium dapat termonitor dengan baik, maka seluruh kegiatan laboratorium TB akan terintegrasi dengan Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis (SITT) untuk pelayanan pemeriksaan mikrokopis (Laporan TB.12) dan eTB Manager untuk pelayanan pemeriksaan biakan, uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler. C. Keamanan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium TB Manajemen laboratorium harus menjamin adanya sistem dan perangkat keamanan dan keselamatan kerja serta pelaksanaannya oleh setiap petugas di laboratorium dengan pemantauan dan evaluasi secara berkala, yang diikuti dengan tindakan koreksi yang memadai. Komponen yang berperan pada keselamatan dan keamanan laboratorium TB yaitu: infrastruktur laboratorium, peralatan, bahan yang dipakai, proses dan keterampilan kerja dan pengelolaan limbah laboratorium TB. Komponen-komponen tersebut harus diselaraskan baik dari aspek pengelolaan (manajemen) dan teknis laboratorium agar terjamin keselamatan dan keamanan petugas dan lingkungan. Keselamatan dan Keamanan Laboratorium TB bertujuan untuk mencegah dan menangani infeksi dan kecelakaan kerja di laboratorium TB.

90

BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

BAB X X BAB PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS TUBERKULOSIS Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan, baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes). Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik sehingga ketersediaan dan kualitasnya terjamin. A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis. 1. Pengertian Logistik P2TB. Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari proses penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya. Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat. Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang digunakan untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat. 2. Jenis-jenis Logistik P2TB. Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan Non OAT. a. Jenis-jenis Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan Program Pengendalian TB (P2TB di Indonesia adalah seluruh jenis OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli (KOMLI) dengan memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO. Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB adalah: • Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomisin (S). • Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx), Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino Salicylic (PAS). 1) Obat Anti TB (OAT) Non Resistan Dalam pelayanan pengobatan pasien TB, Program Nasional Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paket individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis 94

BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

91

kemasan, yaitu: kemasan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/Fix Dose Combination (FDC) dan kemasan Kombipak. Paket OAT KDT/FDC adalah paket OAT yang dalam setiap tablet OAT-nya telah ada seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB. Dimana P2TB pada paket OAT KDT-nya menggunakan 4KDT/4FDC dan 2KDT/2FDC. Paket Kombipak adalah paket OAT dimana tablet OAT-nya masih lepasan dari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB. Baik paket OAT KDT/FDC maupun paket OAT Kombipak, tablet OAT-nya dikemas dalam bentuk blister. Paduan paket OAT yang saat ini disediakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah: • Paket KDT OAT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 • Paket KDT OAT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 • Paket KDT OAT Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) • Paket Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 • Paket Kombipak Kategori Anak : 2HRZ/4HR 2) Obat Anti TB (OAT) RR/MDR Dalam pelayanan pengobatan pasien TB resistan obat, Program Nasional Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paduan individual yang terdiri dari beberapa OAT lini kedua ditambah OAT lini pertama yang masih sensitif. Paduan pengobatan pasien TB RR/MDR yang digunakan Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah: Km – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E) Sediaan dari OAT lini kedua dan lini pertama yang digunakan untuk paduan OAT RR/MDR yang disediakan adalah: Nama OAT Kanamycin (Km) Capreomycin (Cm) Levofloxacin (Lfx) Moxifloxacin (Mfx) Ethionamide (Eto) Cycloserin (Cs) Para Amino Salicylic (PAS) Pirasinamid (Z) Etambutol (E)

92

Dosis

Bentuk

1000 mg 1000 mg 250 mg 400 mg 400 mg 250 mg 2g 500 mg 400 mg

vial vial tablet tablet tablet kapsul sachet tablet tablet

95

BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

b. Logistik Non OAT Logistik Non OAT yang digunakan dalam P2TB adalah seluruh jenis logistik Non OAT yang digunakan P2TB baik dalam pelayanan pasien TB maupun pasien TB resistan obat. 1) Logistik Non OAT Non Resistan Logistik Non OAT yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai. a) Logistik Non OAT habis pakai antara lain adalah:  Bahan-bahan laboratorium TB, seperti: Reagensia, Pot Dahak, Kaca sediaan, Oli Emersi, Ether Alkohol, Tisu, Sarung tangan, Lysol, Lidi, Kertas saring, Kertas lensa, dll.  Formulir pencatatan dan pelaporan TB, seperti: TB.01 s/d TB.13 b) Logistik Non OAT tidak habis pakai antara lain adalah:  Alat-alat laboratorium TB, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak penyimpanan OAT, dll  Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lainlain. 2) Logistik Non OAT Resistan Obat Logistik Non OAT resistan obat yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai. a) Logistik Non OAT resistan obat habis pakai antara lain adalah:  Cartridge GeneXpert  Masker bedah  Respirator N95  Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB & MDR b) Logistik Non OAT resistan obat tidak habis pakai antara lain adalah:  Alat-alat laboratorium TB resistan obat, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak penyimpanan OAT, dll  Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lainlain. 3. Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB. Pengelolaan logistik P2TB dilakukan pada setiap tingkat pelaksana program pengendalian TB, yaitu mulai dari tingkat Pusat, Dinkes Provinsi, Dinkes Kab/Kota sampai dengan di Fasyankes, baik rumah sakit, puskesmas maupun fasyankes lainnya yang melaksanakan pelayanan pasien TB dengan strategi DOTS. 96

BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

93

Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT adalah seperti gambar dibawah ini: Gambar 10: Jejaring Pengelolaan Logistik TB. Instalasi Farmasi Provinsi (IFP)

Dinkes Provinsi distribusi

permintaan

Dinkes Kab/kota

permintaan

Instalasi Farmasi Kab/Kota(IFK)

distribusi

Fasyankes

Dokter Praktik Mandiri (DPM)

Keterangan:

Klinik Swasta

Alur distribusi OAT Alur permintaan dan pelaporan OAT

Keterangan: Untuk Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan klinik akan memperoleh logistik melalui Puskesmas yang membina wilayah dimana DPS/Klinik tersebut berada. Jejaring pengelolaan logistik TB Resisten Obat di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT Resistan Obat adalah seperti gambar dibawah ini:

94

97

BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Gambar 11: Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB Resistan Obat Pusat

Instalasi Farmasi Nasional

Dinkes Provinsi

Instalasi Farmasi Provinsi (IFP)

Faskes Rujukan

Instalasi Farmasi Faskes Rujukan

Faskes Sub Rujukan

Faskes Satelit

Keterangan: Alur Distribusi OAT Alur Permintaan dan Pelaporan OAT

Keterangan: Fasyankes Rujukan TB MDR memperoleh logistik TB Resistan Obat, baik obat maupun non obat dari Dinas Kesehatan Provinsi. Sedangkan untuk fasyankes satelit memperoleh logistik dari fasyankes rujukannya. B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis. Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menjamin agar logistik P2TB tersedia di setiap layanan pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan pengelolaan logistik P2TB dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, sampai dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen pendukung. Hal ini dapat dilihat pada siklus pengelolaan logistik dibawah ini.

98

BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

95

f. Pelaksanaan perencanaan kebutuhan logistik disesuaikan dengan jadwal penyusunan anggaran disetiap tingkat pemerintahan di Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. a. Perencanaan OAT Perencanaan kebutuhan OAT menggunakan dua pendekatan yaitu metode konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi adalah proses penyusunan kebutuhan berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya, sedangkan metode morbiditas adalah proses penyusunan kebutuhan berdasarkan perkiraan jumlah pasien yang akan diobati (insidensi) sesuai dengan target yang direncanakan. Perencanaan OAT P2TB yang digunakan merupakan gabungan dari kedua pendekatan metode konsumsi dan morbiditas. Perencanaan kebutuhan setiap jenis/kategori OAT didasarkan target penemuan kasus, dengan memperhitungkan proporsi tipe penemuan pasien tahun lalu, jumlah stok yang ada dan masa tunggu (lead time). 1) Perencanaan OAT Tidak Resistan Perencanaan OAT Non Resistan dilakukan secara “bottom up planning” mulai dari Kabupaten/Kota kemudian diusulkan ke Provinsi dan rekapnya diusulkan ke Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya. 2) Perencanaan OAT Resistan Obat Mengingat data kondisi epidemilogis resistan obat disetiap wilayah belum tersedia, maka perencanaan OAT resistan obat saat ini dilakukan secara terpusat di Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya sesuai dengan target penemuan kasus. b. Perencanaan Non OAT Perencanaan logistik Non OAT dilaksanakan disetiap tingkatan dengan memperhatikan: 1) Jenis logistik 2) Spesifikasi 3) Jumlah kebutuhannya. 4) Stok yang tersedia dan masih dapat dipergunakan 5) Unit pengguna Perencanaan logistik Non OAT dilakukan oleh Program Nasional Pengendalian TB bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan memperhatikan target penemuan kasus dan pengembangan cakupan program.

100

BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

97

2. Pengadaan Logistik P2TB. Pengadaan logistik merupakan proses untuk penyediaan logistik yang dibutuhkan pada institusi maupun layanan kesehatan. Pengadaan yang baik harus dapat memastikan logistik yang diadakan sesuai dengan jenis, jumlah, tepat waktu sesuai dengan kontrak kerja dan harga yang kompetitif. Proses pengadaan harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan Pengadaan logistic P2TB adalah: a. Tersedianya logistik P2TB dalam jumlah, jenis, spesifikasi dan waktu yang tepat. b. Didapatkannya logistik P2TB dengan kualitas yang baik dengan harga yang wajar. Kebijakan Pengadaan Logistik P2TB adalah: a. Pengadaan logistik bisa berasal dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota dan Bantuan Luar Negeri. b. Pelaksanaan pengadaan logistik berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku dengan mengacu ke Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. c. Pengadaan yang sumber dana dari Bantuan Luar Negeri selain mengikuti Perpres juga mengikuti persyaratan dari donor. d. Pengadaan logistik yang berasal dari APBN dilaksanakan oleh Kemenkes RI, Ditjen Binfar & Alkes, Ditjen PP&PL maupun Ditjen lainnya. e. Pengadaan yang berasal dari APBD Provinsi dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dengan usulan dari Dinas Kesehatan Provinsi yang bersangkutan. f. Pengadaan yang berasal dari APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. a. Pengadaan OAT OAT merupakan obat dengan kategori “Sangat Sangat Esensial” (SSE) sehingga Pemerintah wajib menyediakannya, baik pemerintah Pusat maupun Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Saat ini kebutuhan OAT masih dipenuhi dari pengadaan Pusat dengan dana APBN. Sedangkan untuk OAT resistan obat masih menggunakan dana bantuan (donor). Pengadaan OAT dengan dana APBN setiap tahunnya dilakukan oleh Ditjen. Binfar dan Alkse Kemenkes R.I. Sedangkan OAT resistan obat dengan dana bantuan dilakukan oleh Subdit. TB. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik OAT adalah: 1) Paduan OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional Pengendalian TB. 2) Batas kadaluarsa OAT pada saat diterima oleh panitia penerima barang minimal 24 (dua puluh empat) bulan.

98

101

BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

3) Persyaratan mutu OAT harus sesuai dengan persyaratan mutu yang tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir. 4) Industri Farmasi yang memproduksi OAT bertanggung jawab terhadap mutu OAT melalui pemastian dan pemeriksaan mutu (Quality Control) oleh industri farmasi dengan mengimplementasikan CPOB secara konsisten. 5) OAT memiliki sertifikat analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor bets masing-masing produk. 6) OAT diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB. b. Pengadaan Non OAT Logistik Non OAT P2TB juga merupakan komponen yang penting dalam mendukung terlaksananya kegiatan P2TB. Untuk itu pengadaan logistik Non OAT P2TB juga menjadi tanggung jawab Pemerintah khususnya Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kebijakan Desentralisasi, baik logistic Non OAT untuk TB regular maupun TB resistan obat. Saat ini, pengadaan logistik Non OAT P2TB masih mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat, baik dari dana APBN maupun dana bantuan donor. Namun alokasi dana yang ada tidak dapat memenuhi/mengadakan 100% kebutuhan Nasional. Sehingga kontribusi pengadaan dari Kabupaten/Kota maupun Provinsi sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan yang ada. Hal-Hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik Non OAT adalah: 1) Logistik Non OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional Pengendalian TB. 2) Mutu logistik yang diadakan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan untuk setiap jenis logistik.

3. Penyimpanan Logistik P2TB. Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan logistik termasuk memelihara yang mencakup aspek tempat penyimpanan (Instalatasi Farmasi atau gudang), barang dan administrasinya. Dengan dilaksanakannya penyimpanan yang baik dan benar, maka logistik P2TB akan terjaga mutu/kualitasnya, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab (irasional) dan menjamin ketersediaannya serta memudahkan pencarian dan pengawasan. Dalam penyimpanan logistic P2TB baik OAT maupun Non OAT, Program Nasional Pengendalian TB mengikuti kebijakan Ditjen. Binfar dan Alkes Kemenkes R.I., yaitu: “One Gate Policy”, dimana seluruh OAT maupun Non OAT disimpan di dalam Instalasi Farmasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten Kota dan Fasyankes.

102

BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

99

Ketentuan-ketentuan dalam penyimpanan logistic P2TB agar terkelola dengan baik dapat merujuk pada “Buku Panduan Pengelolaan Logistik P2TB”. 4. Distribusi Logistik P2TB. Distribusi logistic P2TB adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengeluaran dan pengiriman logistik P2TB dari tempat penyimpanan (Istalasi Farmasi/IF) ke tempat lain (IFP/IFK/IFF) dengan memenuhi persyaratan baik administratif maupun teknis untuk memenuhi ketersediaan jenis dan jumlah logistik dan terjaga kualitasnya sampai di tempat tujuan. Proses distribusi ini harus memperhatikan aspek keamanan, mutu dan manfaat. Tujuan distribusi logistik P2TB adalah: a. Terlaksananya pengiriman logistik P2TB seseuai kebutuhan dan terencana (jadwal) sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang cukup. b. Terjaminnya ketersediaan logistik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan c. Terjaminnya mutu logistik pada saat pendistribusian Distribusi dilaksanakan berdasarkan permintaan secara berjenjang untuk memenuhi kebutuhan logistik di setiap jenjang penyelenggara program penanggulangan TB. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses distribusi adalah: a. Distribusi dari Pusat dilaksanakan atas permintaan dari Dinas Kesehatan Provinsi. Distribusi dari Provinsi kepada Kabupaten/ Kota atas permintaan Kabupaten/ Kota. Distribusi dari Kabupaten/Kota berdasarkan permintaan Fasyankes. b. Setelah ada kepastian jumlah logistik yang akan didistribusikan, maka tingkat yang lebih tinggi mengirimkan surat pemberitahuan kepada tingkat yang dibawahnya mengenai jumlah, jenis dan waktu pengiriman logistik. c. Membuat Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan Berita Acara Serah Terima (BAST). d. Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan logistik maka Institusi yang bersangkutan menginformasikan ke Institusi diatasnya untuk dilakukan relokasi atau pengiriman logistik tersebut. e. Proses distribusi ke tempat tujuan harus memperhatikan sarana/transportasi pengiriman yang memenuhi syarat sesuai ketentuan obat atau logistik lainnya yang dikirim. f. Penerimaan logistik dilaksanakan pada jam kerja. g. Penetapan frekuensi pengiriman logistik haruslah memperhatikan antara lain anggaran yang tersedia, jarak dan kondisi geografis, fasilitas gudang dan sarana yang ada.

100

103

BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

b. Pembiayaan Logistik P2TB Pembiayaan dalam pengelolaan logistik program TB sangat diperlukan. Pembiayaan ini dapat bersumber dari dana APBN, APBD maupun sumber lainnya yang sah sesuai kebutuhan. Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu. Pembiayaan dapat diidentifikasi dari berbagai sumber mulai dari anggaran pemerintah dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber dana dapat dimobilisasi. c. Sistim Informasi Logistik P2TB Saat ini Program Nasional Pengendalian TB telah menggunakan 2 sistem informasi untuk pencatatan dan pelaporan Program TB dan TB resistan obat, dimana didalamnya sudah termasuk sistim informasi tentang pengelolaan logistik P2TB yaitu: 1) Untuk pelaporan TB.13 OAT menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu (SITT), yang mulai dipergunakan sebagai sistem informasi TB sejak tahun 2011. 2) Untuk pelaporan TB.13 OAT resistan obat menggunakan e-TB Manajer, yang mulai dipergunakan untuk sistem informasi TB MDR sejak tahun 2009. d. Sumber Daya Manusia Logistik P2TB Dalam Pengelolaan Logistik Program TB, dukungan manajemen dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting untuk terciptanya pengelolaan logistik yang baik. SDM TB untuk mengelola logistik di setiap tingkat pelaksana sangat dibutuhkan, baik jumlah maupun kompetensinya, sehingga perlu adanya suatu standar ketenagaan, pelatihan dan supervisi sesuai tupoksi dan beban kerjanya. Tujuan pengembangan SDM dalam program TB adalah tersedianya tenaga pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata lain “kompeten”) yang diperlukan dalam pengelolaan logistik program TB, dengan jumlah yang cukup sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Pengembangan SDM tidak hanya berkaitan dengan pelatihan tetapi meliputi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam penanggulangan TB. e. Pengawasan Mutu Logistik P2TB Pengawasan atau jaga mutu logaitik P2TB adalah kegiatan yang dilakukan untuk memastikan bahwa logistic P2TB yang ada terjamin/terjaga kualitasnya baik mulai dari produksi, distribusi, penyimpanan sampai dengan saat digunakan.

102

105

BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

1) Pengawasan Mutu OAT Pengawasan/jaga mutu OAT adalah kegiatan/proses standardisasi produk OAT dan sarana yang digunakan mulai dari pre sampai dengan post market, yaitu: a) Pre-market: pemberian nomor ijin edar, sertifikasi CPOB. b) Post-market: pemeriksaan setempat, sampling dan pengujian, monitoring efek samping. Logistik terutama OAT yang diterima atau disimpan di gudang perbekalan kesehatan secara rutin harus dilakukan uji mutu. Uji mutu ini dapat dilakukan secara organoleptik dan laboratorium. 2) Pengawasan Mutu Logistik Non OAT Pengawasan/jaga mutu logistik Non OAT pada prinsipnya sama dengan jaga mutu OAT, hanya disesuaikan dengan jenis dan karakteristiknya. Pengawasan/jaga mutu logistic Non OAT dilakukan pada saat produksi dan distribusi sehingga kualitas logistic Non OAT dapat terjamin mutunya. Contoh: Reagensia, selain dilakukan uji secara organoleptik juga dilakukan uji secara laboratorium.

106

BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

103

BAB XI BAB XI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS PENGENDALIAN TUBERKULOSIS Pencapaian target global TB menjadi lebih menantang sehubungan dengan isu-isu seperti HIV/AIDS, TB-MDR, TB-Infection Control (TB-IC) dan lain-lain. Demikian juga isu desentralisasi di bidang kesehatan telah meningkatkan kompleksitas tantangan untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM). Turnover staf yang tinggi dan distribusi staf yang tidak merata di provinsi/kabupaten/kota mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan tenaga yang terampil. Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata lain ”kompeten”) yang diperlukan dalam pelaksanaan program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Untuk menjamin ketersediaan tenaga yang kompeten ini, kontribusi terhadap sistem pengelolaan SDM TB yang terintegrasi sangat diperlukan misalnya perencanaan SDM TB yang memadai, pola rekrutmen yang baik, distribusi yang merata dan retensi SDM TB yang terlatih. Di dalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam Pengendalian TB. Bab ini akan membahas 3 hal kegiatan pokok yang sangat penting dalam pengembangan SDM untuk mendukung tercapainya tujuan program yaitu perencanaan ketenagaan Program TB, peran SDM TB dalam Pengendalian TB, pelatihan dan evaluasi paska pelatihan TB. A. Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TB. Perencanaan ketenagaan dalam Program Pengendalian TB ditujukan untuk memastikan kebutuhan tenaga demi terselenggaranya kegiatan Program TB di suatu unit pelaksana. Dalam perencanaan ketenagaan ini berpedoman pada standar kebutuhan minimal baik dalam jumlah dan jenis tenaga yang diperlukan. 1. Standar Ketenagaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan a. Puskesmas 1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium.

104

105

BAB XI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

2) Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB b. Rumah Sakit Umum Pemerintah 1) RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2 dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR) , 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga laboratorium 2) RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2 dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR), 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga laboratorium 3) RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter (2 dokter umum, SpP/SpD, SpA), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium 4) RS kelas D, RSP dan BBKPM/BKPM: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 2 dokter (dokter umum dan atau SpP), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium 5) RS swasta: menyesuaikan. c. Dokter Praktik Mandiri, minimal telah dilatih. 2. Standar Ketenagaan di Tingkat Kabupaten/Kota Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20 fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah yang aksesnya mudah dan 10 fasyankes untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 fasyankes dapat memiliki lebih dari seorang supervisor. Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah: a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB, b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (Labkesda), c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait. 3. Standar Ketenagaan di Tingkat Provinsi. Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20 kabupaten/kota di daerah yang aksesnya mudah dan 10 kabupaten/kota untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 kabupaten/kota dapat memiliki lebih dari seorang supervisor. Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB, b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (BLK), c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait, d. Provincial Training Team (PTT)/Tim Pelatihan TB Provinsi (TPP) yang terdiri dari 1 orang Provincial Training Coordinator (PTC)/Koordinator Pelatihan Provinsi (KPP) 106

BAB XI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

105

Masyarakat

Anggota keluarga, kader, tenaga kesehatan, LSM

Laboratorium

• Identifikasi dan rujuk terduga TB ke fasyankes. • Pengawas Menelan Obat (PMO) • Kunjungan rumah • Melacak yang mangkir • Catatan sederhana

Staf

Peran/ tugas utama

Lab TB nasional

Ahli Biomolekuler, Spesialis Patologi klinik, spesialis Patologi Anatomi, Spesialis mikrobiologi klinik, Ahli Mikrobiologi, Analis.

Pemeriksaan dan penelitian biomolekuler, pemeriksaan non konvensional lainnya, uji silang ke dua untuk pemeriksaan biakan

Lab TB rujukan regional

Spesialis Patologi klinik, Ahli Mikrobiologi, Analis dan analis media.

Kultur, identifikasi dan uji kepekaan M.TB dan MOTT dari dahak dan bahan lain

Lab TB rujukan provinsi

Spesialis Patologi Klinik, Analis.

Pemeriksaan mikroskopis BTA, uji silang mikroskopis final

Laboratorium rujukan Uji silang (Intermediate TB Laboratory)

Petugas laboratorium dan analis

Uji silang pertama (Laboratory Quality Assurance)

Pusat Mikroskopis TB: PRM PPM Laboratorium RS Laboratorium swasta

Analis

Pembuatan contoh uji apusan dahak, fiksasi, pewarnaan Z-N, pembacaan skala IUATLD dan interpretasi

Pusat Fiksasi contoh uji TB (Puskesmas satelit)

Petugas lab

Pembuatan contoh uji apusan dahak dan fiksasi

C. Pelatihan Program Pengendalian TB Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kinerja petugas. Kegiatan pelatihan ini dapat dilakukan secara konvensional dengan klasikal dan pelatihan jarak jauh (LJJ)/distance learning. Pelatihan Program TB di Indonesia dilaksanakan secara berjenjang yaitu dimulai sejak pembentukan Master Trainer/Pelatih Utama TB, kegiatan Training of Trainers (TOT) sampai pelatihan untuk petugas kesehatan dan manajer yang terlibat dalam Pengendalian TB. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa peningkatan pelaksanaan pelatihan diikuti juga dengan meningkatnya perhatian terhadap peningkatan kualitas pelatihan.

108

109

BAB XI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

3. Manfaat EPP pada Program Pengendalian TB, adalah: a. Rangkaian siklus yang dinamis dan berkesinambungan dalam memberikan umpan balik pada proses perbaikan dan penyempurnaan program pelatihan b. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan yang telah dilaksanakan. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu: 1) Kognitif/Pengetahuan 2) Afektif/Sikap 3) Psikomotor/Perilaku c. Mengetahui kesesuaian kurikulum pelatihan dengan tuntutan kerja individu d. Bahan masukan untuk perumusan kebijakan pengembangan aparatur kesehatan di wiilayahnya 4. Metode EPP Program Pengendalian TB Evaluasi paska pelatihan dapat diperoleh dengan pengumpulan data. Metode pengumpulan data yang digunakan sangat tergantung pada ranah kompetensi mantan peserta latih di tempat kerjanya. Tabel 25: Metode Pengumpulan Data dalam EPP NO 1

RANAH YANG AKAN DICAPAI KOGNITIF

2

AFEKTIF

3

PSIKOMOTOR

METODE YANG DIGUNAKAN Test tertulis Studi kasus Wawancara Focus Group Discussion/ Kelompok Diskusi Terarah Studi kasus Wawancara dengan pihak ketiga Kuestioner Observasi Cek dokumen

114

BAB XI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

113

BAB XII BAB XII KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan permasalahan kesehatan di masyarakat, bukan hanya karena TB adalah penyakit menular, namun ada hubungan TB dengan penyakit tidak menular lainnya seperti pada Diabetes Mellitus, penyakit akibat rokok, alkhohol, pengguna narkoba dan malnutrisi. TB sebagian besar menyerang pada usia produktif dan masyarakat dengan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. TB menjadi penyebab tersering untuk kesakitan dan kematian pada Orang dengan HIV AIDS. TB sering dihubungkan dengan kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku hidup bersih dan sehat. Wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB. Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar kasus TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap lanjut bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. Keterlambatan pengobatan ini bermakna karena menunjukkan lebih banyak lagi penduduk yang sudah terpapar TB. Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan secara dini sangatlah penting, oleh sebab itu diperlukan peran serta masyarakat.dan strategi kunci untuk dapat menemukan sepertiga kasus TB yang ‘hilang’ dan tidak terlaporkan serta untuk menjangkau kasus TB pada kelompok rentan adalah dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam program pengendalian TB. A. Bentuk-bentuk Organisasi Kemasyarakatan. Organisasi kemasyarakatan dapat berupa: • Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): lokal, nasional, internasional • Organisasi berbasis komunitas • Organisasi berbasis agama • Organisasi pasien dan mantan pasien • Organisasi profesi • dan lain-lain. B. Tantangan Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah: 1. Pelayanan TB berada di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes) yang mengharuskan pasien datang ke fasyankes tersebut yang menyebabkan kerugian pasien karena dibutuhkan biaya transport, kemungkinan kehilangan pekerjaan dan pendapatan, meskipun pasien tidak perlu membayar obat anti tuberkulosis (OAT). 2. Kurangnya jumlah organisasi kemasyarakatan yang terlibat secara aktif dalam program pengendalian TB 114

114

BAB XII KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

3. Program Pengendalian TB belum merupakan prioritas dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan. 4. Belum sepenuhnya melibatkan pasien dan mantan pasien TB dalam kegiatan Program Pengendalian TB. 5. Saat ini sebagian besar organisasi kemasyarakatan masih tergantung kepada dana hibah untuk melaksanakan kegiatan Program Pengendalian TB. C. Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB Keuntungan-keuntungan melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam Program pengendalian TB, antara lain: 1. Organisasi kemasyarakatan mempunyai jejaring dengan organisasi kemasyarakatan lainnya sehingga dapat menggerakkan organisasi lain yang belum terlibat untuk dapat membantu dalam program pengendalian TB. 2. Organisasi kemasyarakatan bekerja di tengah-tengah masyarakat dan lebih memahami situasi setempat sehingga lebih mengerti kebutuhan masyarakat. 3. Organisasi kemasyarakatan mempunyai akses untuk menjangkau masyarakat dengan populasi khusus, misalnya pengungsi, pekerja sex komersial, pencandu narkoba, penduduk musiman dan masyarakat miskin yang kurang mempunyai akses ke fasilitas layanan kesehatan. 4. Banyak Organisasi kemasyarakatan mempunyai fasilitas dan sarana layanan kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat secara langsung 5. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam penyebarluasan informasi tentang TB kepada masyarakat 6. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu pasien TB untuk mengaskses pelayanan TB dan membantu dalam sosial ekonomi 7. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam advokasi kepada pemerintah daerah setempat. 8. Dan lain-lain. D. Prinsip-Prinsip Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB Prinsip-prinsip pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah: 1. Kesetaraan dan saling menghormati, memahami kesamaan dan perbedaan serta karakteristik masing-masing, 2. Saling menguntungkan, 3. Keterbukaan, 4. Dalam perencanaan kegiatan harus menyesuaikan dengan potensi dan situasi dari organisasi kemasyarakatan itu sendiri, 5. Dalam monitoring dan evaluasi kegiatan harus terintegrasi dengan sistem yang ada di Program Pengendalian TB.

BAB XII KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

115

115

E. Indikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakat Dalam Pengendalian TB Indikator keberhasilan pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakat adalah: 1. Peningkatan jumlah pasien TB baru yang dirujuk oleh masyarakat atau organisasi kemasyarakatan yang tercatat. 2. Peningkatan keberhasilan pengobatan pasien TB yang diawasi oleh masyarakat atau organisasi kemasyarakatan yang tercatat. 3. Penurunan angka putus berobat pasien TB yang diawasi oleh masyarakat atau organisasi kemasyarakatan yang tercatat.

F. Peran dan Kegiatan Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam pengendalian TB Beberapa contoh peran dan kegiatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam pengendalian TB berbasis komunitas antara lain: Peran Pencegahan TB. Deteksi dini terduga TB. Melakukan rujukan.

Kegiatan Penyuluhan TB, pengembangan KIE, pelatihan kader. Pelacakan kontak erat pasien dengan gejala TB, pengumpulan dahak terduga TB, pelatihan kader. Dukungan motivasi kepada terduga TB untuk ke Fasyankes, dukungan transport. keteraturan Pengawas Menelan Obat (PMO).

Dukungan/motivasi berobat pasien TB. Dukungan sosial ekonomi.

Advokasi. Mengurangi stigma.

Dukungan transport pasien TB, nutrisi dan sumplemen pasien TB, peningkatan ketrampilan pasien TB guna meningkatkan penghasilan, menyediakan pekerja sosial, memotivasi mantan pasien untuk dapat mendampingi pasien TB. Membantu penyusunan bahan advokasi, membantu memberikan masukan kepada pemerintah. Diseminasi informasi tentang TB, membentuk kelompok pendidik sebaya, testimoni pasien TB.

G. Strategi Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan dalam Program pengendalian TB. Ada 4 strategi kunci untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam TB berbasis komunitas yaitu: 1. Melibatkan lebih banyak organisasi kemasyarakat (Engage). Identifikasi organisasi kemasyarakatan potensial yang dapat dilibatkan untuk terlibat dalam Program Pengendalian TB berbasis komunitas. Mengajak organisasi lainnya yang

116

116

BAB XII KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

selama ini terlibat dalam Program kesehatan bukan TB, misalnya organisasi kemasyarakatan dalam kesehatan Anak, HIV/AIDS, dll. 2. Memperluas (Expand). a. Melibatkan dan Mengembangkan cakupan program organisasi kemasyarakatan yang sudah terlibat dalam program pengendalian TB untuk menjangkau populasi khusus misalnya, pekerja pabrik, sekolah, asrama, Lapas/Rutan, dan pekerja seksual. b. Meningkatkan dan memperkuat pelibatan pasien dan mantan pasien TB dalam program pengendalian TB berbasis komunitas untuk membantu penemuan terduga TB dan TB resistan obat serta pendampingan dalam pengobatannya. 3. Mempertegas (Emphasize). Mempertegas fungsi dari Organisasi kemasyarakatan untuk penemuan terduga TB dan TB resistan obat dan pendampingan dalam pengobatannya. Pemetaan peran, potensi dan fungsi dari masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah penting agar kegiatan yang dilakukan tidak tumpang tindih dan kontribusi dari masing-masing organisasi kemasyarakatan dapat diidentifikasi. 4. Menghitung (Enumerate). Menghitung kontribusi organisasi kemasyarakatan dalam program pengendalian TB berbasis komunitas dengan melakukan monitoring dan evaluasi melalui sistem pencatatan dan pelaporan standar berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan. Ada 6 tahapan untuk melibatkan organisasi pengendalian TB berbasis komunitas, yaitu: No 1 2 3 4 5 6

Kegiatan Analisis situasi Menciptakan lingkungan yang kondusif Pedoman dan Juknis Identifikasi tugas Monitoring and evaluation Peningkatan kapasitas

kemasyarakatan

Pusat V V V V V V

terhadap

Provinsi V V V V V

program

Kab/Kota V V V V V

BAB XII KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

117

117

Sistem surveilans TB akan menyediakan informasi mengenai prevalensi TB dan pola perubahan risiko. Monitoring dan evaluasi menyediakan informasi tentang proses, luaran dan dampak intervensi. Penelitian operasional dapat mengisi kesenjangan informasi dan menilai kebijakan dan strategi intervensi. Penempatan ketiga elemen tesebut secara terpadu dan menyeluruh dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program menjadi sangat penting agar program berjalan secara efektif dan efisien.

A. Surveilans Tuberkulosis

Surveilans TB adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data penyakit secara sistematik, lalu dilakukan analisis, dan interpretasi data. Hasil analisis didiseminasikan untuk kepentingan tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB serta untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Ada 2 macam metode surveilans TB, yaitu: Surveilans Rutin (berdasarkan data pelaporan), dan Surveilans Non Rutin (berupa survei: periodik dan sentinel).

1. Surveilans Rutin.

Surveilans rutin dilaksanakan dengan menggunakan data layanan rutin yang dilakukan pada pasien TB. Sistem surveilans ini merupakan sistem terbaik (mudah dan murah) untuk memperoleh informasi tentang prevalensi TB, meskipun kemungkinan terjadinya bias cukup besar. Misalnya dalam layanan kolaborasi TB-HIV, jika jumlah pasien yang menolak untuk di tes HIV cukup besar maka surveilans berdasar data rutin ini interpretasinya kurang akurat. Surveilans berdasarkan data rutin ini tidak memerlukan biaya khusus tapi mutlak memerlukan suatu pencatatan dan pelaporan yang berjalan baik. Hasil surveilans berdasarkan data rutin ini perlu dikalibrasi dengan hasil dari surveilans periodik atau surveilans sentinel.

2. Surveilans Non Rutin.

a. Surveilans non rutin khusus Dilakukan melalui kegiatan survei baik secara periodik maupun sentinel yang bertujuan untuk mendapatkan data yang tidak diperoleh dari kegiatan pengumpulan data rutin. Kegiatan ini dilakukan secara cross-sectional pada kelompok pasien TB yang dianggap dapat mewakili suatu wilayah tertentu. Kegiatan ini memerlukan biaya yang mahal dan memerlukan keahlian khusus. Hasil dari kegiatan ini dapat digunakan untuk mengkalibrasi hasil surveilans berdasar data rutin. Contoh: survei prevalensi TB Nasional, sero survei prevalensi HIV diantara pasien TB, survei sentinel TB diantara ODHA, survei resistensi OAT, survei Knowledge Attitude Practice (KAP) untuk pasien TB dan dokter praktek mandiri (DPM), dan survei lainlain. 119

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

119

Pemilihan metode surveilans yang akan dilaksanakan disuatu daerah/wilayah tergantung pada tingkat epidemi TB di daerah/wilayah tersebut, kinerja program TB secara keseluruhan, dan sumber daya (dana dan keahlian) yang tersedia. b. Surveilans non rutin luar biasa Meliputi surveilans untuk kasus-kasus TB lintas negara terutama bagi warga negara Indonesia yang akan berangkat maupun yang akan kembali ke Indonesia (haji dan TKI). Hal ini dilakukan karena mobilisasi penduduk yang sangat cepat dalam jumlah besar setiap tahunnya tidak menguntungkan ditinjau dari pengendalian penyakit tuberkulosis. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit dari satu wilayah ke wilayah lain dan/atau dari satu negara ke negara lain dalam waktu yang cepat. Upaya pengawasan pasien TB yang akan menunaikan ibadah haji atau TKI yang akan berangkat keluar negeri maupun kembali ke Indonesia memerlukan sistem surveilans yang tepat. (secara lengkap dapat dilihat di buku “Prosedur Pelacakan Kasus TB Pada Tenaga Kerja Indonesia dan jemaah Haji”, Kemenkes 2013).

B. Monitoring dan Evaluasi (Monev) Program TB

Monev program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program TB. Monitoring dilakukan secara berkala sebagai deteksi awal masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan tindakan perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan, indikator, dan target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana program, mulai dari Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran. Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis indikator dan hasil dari supervisi. 1. Pencatatan dan Pelaporan Program TB Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan survailans, diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar, dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan program. Data yang dikumpulkan harus memenuhi standar yang meliputi:

120

120

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

a. Lengkap, tepat waktu dan akurat. b. Data sesuai dengan indikator program c. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan sistim informasi kesehatan yang generik. PENTING !! TB adalah penyakit menular yang wajib dilaporkan. Setiap fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan TB wajib mencatat dan melaporkan kasus TB yang ditemukan dan atau diobati sesuai dengan format pencatatan dan pelaporan yang ditentukan. Data untuk program pengendalian TB diperoleh dari sistem pencatatan-pelaporan TB. Pencatatan menggunakan formulir standar secara manual didukung dengan sistem informasi secara elektronik, sedangkan pelaporan TB menggunakan sistem informasi elektronik. Penerapan sistem informasi TB secara elektronik disemua faskes dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya di wilayah tersebut. Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu (SITT) yang berbasis web dan terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan secara Nasional. Pencatatan dan pelaporan TB diatur berdasarkan fungsi dari masing-masing tingkatan pelaksana, sebagai berikut: a. Pencatatan di Fasilitas Kesehatan FKTP dan FKRTL dalam melaksanakan pencatatan menggunakan format: 1) Daftar terduga TB yang diperiksa dahak (TB.06). 2) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05). 3) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01). 4) Kartu identitas pasien TB (TB.02). 5) Register TB fasilitas kesehatan (TB.03 faskes) 6) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09). 7) Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10). 8) Register Laboratorium TB (TB.04). 9) Formulir mandatory notification untuk TB. (*) b. Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten/Kota Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan: 1) Register TB Kabupaten/Kota (TB.03) 2) Laporan Triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB (TB.07) 3) Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (TB.08) 4) Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (TB.11) 121

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

121

5) Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji silang Kabupaten (TB.12) 6) Laporan OAT (TB.13) 7) Data Situasi Ketenagaan Program TB 8) Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB. 9) Formulir pelacakan kasus TB yang datang dari luar negeri. (**) c. Pelaporan di Provinsi Dinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai berikut: 1) Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota. 2) Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota. 3) Rekapitulasi Hasil Pengobatan gabungan TB dan TB Resistan Obat di tingkat Provinsi. 4) Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota. 5) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang propinsi per kabupaten/kota. 6) Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota. 7) Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB. 8) Rekapitulasi Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB. 2. Indikator Program TB Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program pengendalian TB digunakan beberapa indikator. Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu:  Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan  Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR). Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut di atas, yaitu: a. Indikator Penemuan TB 1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB 2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB paru diobati. 3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara pasien TB terkonfirmasi bakteriologis. 4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB 5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR) 6) Proposi pasien TB yang dites HIV 7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif 8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/ MDR yang ada.

122

122

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

9) Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua. 10) Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR ditemukan. b. Indikator Pengobatan TB 1) Angka konversi (Conversion Rate) 2) Angka kesembuhan (Cure Rate) 3) Angka putus berobat 4) Angka keberhasilan pengobatan TB anak 5) Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak yang mendapatkan PP INH 6) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK 7) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART 8) Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success Rate 9) c. Indikator Penunjang TB 1) Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang untuk pemeriksaan mikroskopis 2) Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta PME uji silang 3) Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME empat kali setahun. 4) Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT lini Tiap tingkat pelaksana program memiliki indikator pada tabel berikut:

123

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

123

2) 2) 2)

3) 3) 3)

4) 4) 4)

126

Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan: disebabkan: •Angka Penjaringan terduga TB terlalu longgar.iniBanyak tidak memenuhi ini sekitar 5-15%. Bila angka terlalu orang kecil yang (<5%) kemungkinan • kriteria Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi terduga TB, atau disebabkan: kriteria terduga TB, atau •• Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu). Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi • kriteria Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu). terduga TB, atau Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan : • Ada masalah dalam pemeriksaan laboratoriumdisebabkan (negatif palsu). angka ini terlalu •BilaPenjaringan terlalubesar ketat(>15%) atau kemungkinan disebabkan : • Ada Penjaringan terlalu ketat atau kemungkinan masalah dalam pemeriksaan laboratoriumdisebabkan (positif palsu) Bila angka ini terlalu besar (>15%) : Ada masalahterlalu dalamketat pemeriksaan laboratorium (positif palsu) •• Penjaringan atau Proporsi Pasiendalam TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien • Ada masalah pemeriksaan laboratorium (positif palsu) Proporsi Pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat/diobati TB Paruprosentase Tercatat/diobati Adalah Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis Proporsi Pasien TBpasien Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semuadiantara Pasien Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini TB Paru Tercatat/diobati semua pasien Tuberkulosis paru tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis diantara menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh semua pasien pasien Tuberkulosis Tuberkulosisyang parudiobati. tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati. menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara Rumus: seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati. Rumus: Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis x 100% Jumlah pasien TBseluruh Paru Terkonfirmasi Bakteriologis Jumlah pasien TB Paru Rumus: x 100% Jumlah pasien Baru TB paru Terkonfirmasi Jumlah pasien TB Paru Jumlah pasien TB seluruh Paru Terkonfirmasi Bakteriologis Bakteriologis x 100% x 100% Angka ini minimalJumlah 70%. Bila angka ini jauh lebih Jumlah seluruh pasien TBTB Paru seluruh pasien Parurendah, berarti diagnosis kurang Angka ini minimal 70%. Bilamenemukan angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang memberikan prioritas untuk pasien yang menular. memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular. Angka ini minimal 70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang Proporsi pasien TB Anak seluruh pasien memberikan prioritas untuk diantara menemukan pasien yang TB menular. Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB diobati diantara seluruh Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang Adalah TB prosentase TB anakseluruh (0-14 tahun) pasien yang diobati. Proporsi pasien TBpasien Anak diantara pasien yang TB diobati diantara seluruh pasien TB yang diobati. Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh Rumus: pasien TB yang diobati. Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 th) Rumus: yangAnak diobati Jumlah pasien TB (0 - 14 thn) yg diobati x 100% x 100% Jumlah seluruh pasien TB yang diobati Jumlah pasien TB Anak (0 14 thn) yg diobati Jumlah seluruh pasien TB yg diobati Rumus: x 100% Jumlah seluruh pasien yg diobati Jumlah pasien TB Anak (0 - TB 14 thn) yg diobati x 100% Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai Jumlah seluruh pasien TB yg diobati aspek. Angka indikator ini Angka ini dianalisis memperhatikan ini diharapkan berkisar dengan 8 – 12% pada wilayahberbagai dimana aspek. seluruhAngka kasusindikator TB Anak diharapkan berkisar 8 – 12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB Anak ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik, Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini ternotifikasi. Pada kondisi pencatatan pelaporan berjalan dengan baik, angka ini menggambarkan overpada atau wilayah under dan diagnosis, serta rendahnya diharapkan berkisar 8 – dimana 12% dimana seluruh kasus TB angka Anak angka ini menggambarkan over atau under diagnosis, serta rendahnya angka penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik, penularan padaperlu anak.diperiksa Bilaover angka indikator inidiagnosis, kurang melebihi kisaranangka yang diharapkan, maka prosedur diagnosis TBatau Anak di rendahnya fasyankes. angka ini TB menggambarkan atau under serta diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB Anak di fasyankes. penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR) diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB Anak di fasyankes. Angka Penemuan Detection Rate = CDR) Adalah prosentaseKasus jumlah(Case pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan Adalah Penemuan prosentase jumlah pasien baruBTA TB Paru BTA diperkirakan positif yang ada ditemukan dibanding jumlah pasien baru TBDetection Paru positif yang dalam Angka Kasus (Case Rate = CDR) dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam 126 Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan 126 dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam 126

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

7) 7) 7)

8) 8) 8)

Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara usaha yang lebih detail dalam upaya Proporsi tinggi dari pasien TB pencegahan. yangHal mengetahui status HIVnya menyajikan pasien TByang untuk kepentingan surveilans. ini juga menjadi dasar untuk bentuk estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan. Proporsi yang dites HIV dan hasil tesnya Positif dasar untuk bentuk pasien TBpasien untuk TB kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini usaha yang lebih detail dalam upaya Proporsi pasien TB yang dites HIV pencegahan. dan hasil tesnya Positif menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB. Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini Proporsi pasien besarnya TB yang dites HIV dan hasil menggambarkan permasalahan HIV ditesnya antaraPositif pasien TB. Rumus: Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini Jumlah pasien TB yang terdaftar yang hasil tes menggambarkan besarnya permasalahan HIV mempunyai di antara pasien TB. Rumus: HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB) x 100% Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV Rumus: HIV Jumlah positifpasien (sebelum selama pengobatan TB) TB yang dan terdaftar yang mempunyai (sebelum dan selama pengobatan TB) x 100% Jumlah pasien terdaftar yang mempunyai tes hasil tes HIVTB positif (sebelum dan selama pengobatan TB) xhasil Jumlah pasien TByang yang terdaftar yang melakukan tes HIV 100% Jumlah pasien TB yangdan terdaftar yang melakukan HIV positif (sebelum selama pengobatan TB) (sebelum dandan selama pengobatan x 100% tes HIV (sebelum selama pengobatan TB) TB) dapat saja menunjukkan Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya tinggi ada di daerah (sebelum dan proporsi selama pengobatan TB)lebih Proposi yang relatif tinggi dari rata-rata nasional dapat saja menunjukkan tertentu. prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah Proposi tertentu. yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan Angka Konversi (Conversion prevalensi HIV diantara pasienRate) TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi tertentu. Angka Konversi (Conversion Rate) Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi masa pengobatan tahap awal. Rate) Angka Konversi Bakteriologis yang(Conversion mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani Program pengendalian TB di Indonesia masih indikator ini karena Angka konversi tahap adalah prosentase pasienmenggunakan baru TB Paru Terkonfirmasi masa pengobatan awal. berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui Bakteriologis yang mengalami perubahanmasih menjadi BTA negatifindikator setelah ini menjalani Program pengendalian TB di Indonesia menggunakan karena apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar. masa pengobatan tahap awal. berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar. Rumus: berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui Jumlah pasien langsung baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg apakah menelan obat dilakukan dengan benar. Rumus:pengawasan Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Baketeriologis hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif x 100% yang hasilbaru pemeriksaan BTATerkonfirmasi akhir tahap awal negatif Jumlah pasien TB Paru Bakteriologis yg x 100% yg Jumlah pasien baru TB ParuTerkonfirmasi Terkonfirmasi Bakteriologis Rumus: hasil Jumlah pasien baru TB Paru Baketeriologis pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif yangdiobati diobati x 100% Jumlah Jumlah pasien pasien baru baru TB TB Paru Paru Terkonfirmasi Terkonfirmasi Bakteriologis Bakteriologis yg yg hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif diobati x 100% Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg dengan cara mereview seluruh kartu pasien diobati baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang yang hasil pemeriksaan negatif, pengobatan tahapyaitu awal (2 bulan/ 3 Di fasyankes, inidahak dapatsebelumnya, dihitungsetelah dari kemudian kartu pasien TB.01, cara mulai berobat indikator dalam 3-6 bulan dihitung berapadengan diantaranya bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat mereview kartu dahak pasiennegatif, baru TB Parupengobatan Terkonfirmasi Bakteriologis yang yang hasil seluruh pemeriksaan setelah tahap awal (2 bulan/ 3 dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harusdihitung dicapai adalah 80%. mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian berapa diantaranya bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal80%. (2 bulan/ 3 dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%. 128 128

128

128

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

an ara tuk

ini

%

kan ah

asi ani

ena hui

%

ara ng nya /3 pat

9) Angka Kesembuhan (Cure Rate) 9) Angka Kesembuhanadalah (Cure angka Rate) yang menunjukkan prosentase pasien baru TB Angka kesembuhan Angka kesembuhanBakteriologis adalah angkayang yangsembuh menunjukkan pasien baru TB Paru Terkonfirmasi setelahprosentase selesai masa pengobatan, Paru Terkonfirmasi yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baruBakteriologis TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. diantara pasien barukhusus TB Paru(survailans), Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. Untuk kepentingan angka kesembuhan dihitung juga untuk Untuk khusus Bakteriologis (survailans), pengobatan angka kesembuhan dihitungdan jugadengan untuk pasien kepentingan Paru Terkonfirmasi ulang (kambuh pasien Paru Terkonfirmasi Bakteriologis pengobatan ulang (kambuh dan dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan: riwayat TB seberapa sebelumnya) dengan tujuan:  Untukpengobatan mengetahui besar kemungkinan kekebalan terhadap obat  Untuk seberapa kemungkinan kekebalankekebalan terhadapobat. obat terjadi dimengetahui komunitas, hal ini harusbesar dipastikan dengan surveilans komunitas,keputusan hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat.  terjadi Untuk di mengambil program pada pengobatan menggunakan obat  Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat baris kedua (second-line drugs). kedua (second-line drugs).  baris Menunjukkan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi  Menunjukkan prevalens pada pasien dengan HIV.HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi dengan HIV.  pada Untukpasien perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti  Untuk digunakan rumus yangjumlah samapasien dengan cara pengobatan mengganti sebutanperhitungan, numerator dan denominator dengan TB paru sebutan ulang. numerator dan denominator dengan jumlah pasien TB paru pengobatan ulang. Rumus: Rumus: TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis JumlahJumlah pasienpasien barubaru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang sembuh Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang sembuh x 100% x 100% Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi yang sembuh Jumlah pasienBakteriologis baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang diobati x 100% Jumlah pasien baru TByang parudiobati Terkonfirmasi Bakteriologis yang diobati Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara Di fasyankes, indikator dapat dihitung kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartuinipasien baru TBdari Paru Terkonfirmasi Biologis yang mulai mereview seluruh baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang mulai berobat dalam 9-12kartu bulanpasien sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang berobat bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh dalam setelah9-12 selesai pengobatan. sembuh setelah selesai pengobatan. Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dari laporan TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. dihitung Angka kesembuhan TB.08. Angka yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untukminimal mengetahui hasil pengobatan. digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan. Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, perlu diperhatikan, yaitu berapa dengan pengobatan lengkap, meninggal, gagal, putus berobat (lostpasien to follow-up), danhasil tidak dievaluasi. meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up), dan tidak dievaluasi. • Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%, karena • Angka pasien putus berobat to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%, akan menghasilkan proporsi(lost kasus retreatment yang tinggi dimasa yangkarena akan akan proporsi kasus retreatment yang tinggidari dimasa yang akan datangmenghasilkan yang disebabkan karena ketidak-efektifan pengendalian datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian Tuberkulosis. Tuberkulosis.

128

129 129

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

129

Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan Menurunnya angka pasien putusmenurunkan berobat (lostproporsi to follow-up) peningkatan kualitas pengendalian TB akan kasuskarena pengobatan ulang Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan kualitas10-20 pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara % dalam beberapa tahun. kualitas pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun. antara 10-20 % dalam beberapa tahun. Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih Sedangkan angka gagal untuk pasien TB paru BTA positif boleh boleh lebih dari 4% untuk daerah yang belum adabaru masalah resistensi obat, tidak dan tidak Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih dari 4% untuk yang belumyang adasudah masalah obat, danobat. tidak boleh lebih besar dari daerah 10% untuk daerah adaresistensi masalah resistensi dari untuk yang belumyang adasudah masalah obat, danobat. tidak boleh lebih4% besar dari daerah 10% untuk daerah adaresistensi masalah resistensi besarKeberhasilan dari 10% untuk daerah yangTB sudah ada masalah resistensi 10)lebih Angka Pengobatan (Treatment Success Rate =obat. TSR) 10) Angka Angka Keberhasilan KeberhasilanPengobatan Pengobatanadalah TB (Treatment Success Rate = TSR) angka yang menunjukkan prosentase 10) pasien Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR) Angka Keberhasilan Pengobatan adalah angka yang menunjukkan prosentase baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan Angka Keberhasilan Pengobatan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien pasien baru(baik TB yang Parusembuh Terkonfirmasi Bakteriologis yang demikian menyelesaikan pengobatan maupun yang pengobatan diantara pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis tercatat.lengkap) Dengan angka pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru Terkonfirmasi tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahanBakteriologis dari angka yang kesembuhan dan angka pengobatan baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. lengkap. Rumus: Rumus:Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis Rumus: Jumlah Jumlah pasienbaru TB + Paru Terkonfirmasi Biologis Biologis pasien TB Paru Terkonfirmasi (sembuh pengobatan lengkap) (sembuh + pengobatan x 100% Jumlah pasien baru TB Paru lengkap) Terkonfirmasi Biologis (sembuh + pengobatan lengkap) x 100%yang JumlahJumlah pasien baruTBTB Paru Terkonfirmasi Biologis x 100% pasien Paru Terkonfirmasi Biologis (sembuh + pengobatan lengkap) Jumlah pasien baru yang TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang diobati diobati x 100% Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang diobati diobati 11) Angka Keberhasilan Pengobatan TB Anak 11) Adalah Angka Keberhasilan TB Anak sembuh dan Pengobatan Lengkap persentase TBPengobatan Anak yang dinyatakan 11) (PL) Angka Keberhasilan Pengobatan TByang Anak Adalah persentase TB Anak yang dinyatakan sembuh dan Pengobatan Lengkap diantara seluruh pasien TB Anak diobati. Adalah persentase TBpasien Anak yang dinyatakan sembuh dan Pengobatan Lengkap (PL) diantara seluruh TB Anak yang diobati. (PL) diantara seluruh pasien TB Anak yang diobati. Rumus: Rumus:Jumlah pasien TB TB Anak sembuh Jumlah pasien Anakyg yang sembuhdan dan Pengobatan Rumus:Jumlah pasienPengobatan Lengkap TB Anak yg sembuh dan Pengobatan x 100% Lengkap x 100% Jumlah Jumlah pasienpasien TB Anak yg sembuh dan Pengobatan TBLengkap Anak yang diobati x 100% Jumlah pasien TB Anak yg diobati Lengkap x 100% Jumlah pasien TB Anak yg diobati Jumlah pasien TB Anak yg diobati Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program Angka ini menggambarkan tatalaksana dalam program Nasional. Angka indikator ini kualitas diharapkan sebesar TB 85%.Anak Apabila kurang dari Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program Nasional. Angka indikator ini diharapkan sebesar 85%. Apabila kurang dari angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan Nasional. Angka indikator ini diharapkan sebesar 85%. Apabila kurang dari angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan kasus TB Anak di suatu wilayah. angka TB yang diharapkan perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan kasus Anak di suatu maka wilayah. kasus TB Anak suatuMenyelesaikan wilayah. 12) Proporsi Anakdiyang PP INH Diantara Seluruh Anak yang 12) Mendapatkan Proporsi AnakPPyang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang INH 12) Mendapatkan Proporsi AnakPP yang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang INH Adalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara Mendapatkan PP INH Adalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara seluruh anak yang mendapatkan PP INH. Adalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara seluruh anak yang mendapatkan PP INH. seluruh anak yang mendapatkan PP INH. • • •

130

130 130 130

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Rumus: Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan Rumus: Rumus: x 100% Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH6 bulan Jumlah yg menyelesaikan PP INH selama Rumus: Jumlah Anak Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan Jumlah anak yang menyelesaikan x x 100% 100% Anak yang PP PP INH selama 6 bulanPP INH selama JumlahJumlah Anak yg menyelesaikan 6 bulan x 100% Jumlah Anak yang mendapatkan mendapatkan PP INH INH x 100% Angka ini menggambarkan proporsi anakPPyang terlindungi dari kejadian sakit TB Jumlah anak yang mendapatkan INH PP Jumlah Anak yang mendapatkan INH dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif. Angka Angka ini ini menggambarkan menggambarkan proporsi proporsi anak anak yang yang terlindungi terlindungi dari dari kejadian kejadian sakit sakit TB TB Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif. Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif. diharapkan makainiperlu dilakukan evaluasi kepatuhan PPkurang INH. dari angka yang Angka indikator sebesar 100%. Apabila dari anak yang terpapar dan terinfeksi termasuk dengan HIV Positif. Angka indikator ini diharapkan diharapkan sebesar TB 100%. Apabilaanak kurang dari angka yang diharapkan maka dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH. Angka indikator diharapkan sebesar 100%. Apabila diharapkan makainiperlu perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PPkurang INH. dari angka yang 13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH. Adalah persentase pasien TBHIV dengan status HIV positif yang menerima PPK. 13) 13) Proporsi Proporsi pasien pasien TB TB dengan dengan HIV positif positif yang yang menerima menerima PPK PPK Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program TB dengan positif 13) Adalah Proporsi pasien TBpasien dengan positifstatus yangHIV menerima PPK menerima Adalah persentase persentase pasien TBHIV dengan status HIV positif yang yang menerima PPK. PPK. TB-HIV dalam pemberian PPKkomitmen kepada pasien TB yang terinfeksi HIV. program Indikator ini dan Adalah pasien TBkomitmen dengan status HIV positif pelaksanaan yang menerima PPK. Indikatorpersentase ini menggambarkan menggambarkan dan kemampuan kemampuan pelaksanaan program TB-HIV pemberian kepada TB HIV. Indikator ini menggambarkan dan kemampuan pelaksanaan TB-HIV dalam dalam pemberian PPK PPKkomitmen kepada pasien pasien TB yang yang terinfeksi terinfeksi HIV. program Rumus: TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV. Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK Rumus: Rumus: selama pengobatan TB menerima PPK x 100% Jumlah TB dengan HIV yang Rumus: Jumlah pasien pasien TB dengan HIV positif positif yang menerima PPK Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang Jumlah pasien TB dengan HIV positif pengobatan TB x Jumlah pasien TBselama dengan HIVpengobatan positif yang selama pengobatan TBTB menerima x 100% 100% menerima PPK selama x 100%PPK Jumlah pasien TB dengan HIV positif TB positif x 100% Jumlah selama pasien TBpengobatan dengan HIV positif Jumlah pasien TB dengan HIV 14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART Jumlah pasien TB dengan HIV positif Adalah persentase pasien TBHIV dengan status HIV positif yang menerima ART. 14) Proporsi pasien 14) Proporsi pasien TB TB dengan dengan HIV positif positif yang yang mendapat mendapat ART ART Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk TB dengan positif 14) Adalah Proporsi pasien TBpasien dengan positifstatus yangHIV mendapat ART menerima Adalah persentase persentase pasien TBHIV dengan status HIV positif yang yang menerima ART. ART. memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV. Indikator ini komitmen dan kemampuan layanan TB Adalah pasien TB dengan status positif yang menerima ART. Indikatorpersentase ini menggambarkan menggambarkan komitmen dan HIV kemampuan layanan TB untuk untuk memastikan TB HIV mengakses Indikator ini pasien menggambarkan dan kemampuan layanan TBARV. untuk memastikan pasien TB dengan dengan komitmen HIV positif positif dapat dapat mengakses pengobatan pengobatan ARV. Rumus: memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV. Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima Rumus: Rumus: Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang pengobatan (baru memulai atauyang melanjutkan menerimaARV pengobatan ARV (baru memulai TB HIV menerima Rumus:Jumlah Jumlah pasien pasien TB dengan dengan HIV positif positif x 100% atau melanjutkan pengobatan ARV)yang menerima x 100% pengobatan ARV) pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan Jumlah pasien TB dengan HIV HIV positif menerima pengobatan (baru memulai atauyang melanjutkan JumlahARV pasien TB dengan positif x x 100% 100% Jumlah pasien TB dengan HIV positif ARV) pengobatan ARVpengobatan (baru memulai atau melanjutkan pengobatan ARV) x 100% Jumlah TB pengobatan ARV)HIV Jumlah pasien pasien TB dengan dengan HIV positif positif 15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal) Jumlah pasien TB dengan HIV positif Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis (Pemantapan Mutu Eksternal) 15) 15) Proporsi Proporsi Laboratorium Laboratorium yang yang Mengikuti Mengikuti PME PME (Pemantapan Mutu Eksternal) Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh untuk Mikroskopis 15) Uji Proporsi yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal) Uji Silang SilangLaboratorium untuk Pemeriksaan Pemeriksaan Mikroskopis laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruhPME wilayah.Silang diantara seluruh Adalah persentase laboratorium yang Uji Silang untuk Pemeriksaan Adalah persentase laboratorium Mikroskopis yang mengikuti mengikuti PME Uji Uji Silang diantara seluruh Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/ laboratorium mikroskopis TB ada di wilayah. Adalah persentase laboratorium yang Uji Silang diantara seluruh laboratorium mikroskopis TB yang yang adamengikuti di seluruh seluruhPME wilayah. BBKPM, BLK,mikroskopis BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta. Laboratorium TB terdiri dari PPM, Rumah laboratorium ada di PRM, seluruh wilayah. Laboratoriummikroskopis mikroskopisTB TByang terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, Sakit, BP4/ BP4/ BKPM/ BKPM/ BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta. Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/ BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta. Rumus: Jumlah labdan mikroskopis yang mengikuti BBKPM, BLK, BBLK, Laboratorium Klinik Swasta. PME Ujiyang Silang Jumlah lab mikroskopis mengikuti PME Uji Silang x 100% Rumus: Rumus: x 100% Jumlah seluruh lablab mikroskopis TB Jumlah seluruh mikroskopis TB Jumlah Rumus: Jumlah lab lab mikroskopis mikroskopis yang yang mengikuti mengikuti PME PME Uji Uji Silang Silang x x 100% 100% Jumlah seluruh lab TB Jumlah lab mikroskopis mengikuti PME Jumlah seluruhyang lab mikroskopis mikroskopis TB Uji Silang x 100% Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%. Jumlah seluruh lab mikroskopis TB 131 Angka minimal Angka minimal yang yang harus harus dicapai dicapai adalah adalah 90%. 90%. 131 Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%. 131 131

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

131

Selain dari kinerja pembacaan mikroskopis, kualitas laboratorium juga dilihat dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran, Selain darikerataan, kinerja pewarnaan, pembacaan dan mikroskopis, ketebalan, kebersihan.kualitas laboratorium juga dilihat dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran, ketebalan, kerataan, dan kebersihan.hasil uji silang dinyatakan terdapat Interpretasi dari suatupewarnaan, laboratorium berdasarkan

kesalahan bila: Interpretasi berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat  Terdapatdari PPTsuatu atau laboratorium NPT kesalahan bila:  Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding  periode Terdapat sebelumnya PPT atau NPT atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua  fasyankes Laboratorium menunjukkan tren peningkatan di tersebut kabupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kesalahan kecil kecildibanding terjadi periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua beberapa kali dalam jumlah yang signifikan. fasyankes tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi  Bila terdapatdi3 kabupaten/kota NPR. beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.  Bila terdapat NPR. Kinerja setiap 3laboratorium harus selalu dimonitor secara rutin. Walaupun

laboratorium sudah memiliki kinerja pembacaan mikroskopis yang baik, perhatian Kinerja perlu setiap laboratorium harus selalu dimonitor secara rutin. Walaupun khusus diberikan apabila ditemukan kondisi seperti berikut: laboratorium sudah memiliki kinerja pembacaan mikroskopis yang baik, perhatian  Terdapat tren peningkatan kesalahan kecil dibanding periode sebelumnya, khusus perlu diberikan apabila ditemukan kondisi seperti berikut:  Memiliki kesalahan lebih tinggi dari rata-rata semua fasyankes di  kabupaten/kota Terdapat tren peningkatan tersebut, kesalahan kecil dibanding periode sebelumnya,  Memiliki Memiliki kesalahan kesalahan tinggi dari rata-rata semua fasyankes di  kecillebih beberapa kali dalam jumlah yang signifikan kabupaten/kota tersebut, Setiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren  Memiliki kesalahan kecil beberapa jumlah yangkualitas signifikanpemeriksaan hasil interpretasi setiap triwulan kali dandalam meningkatkan Setiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren laboratorium. hasil interpretasi setiap triwulan dan meningkatkan kualitas pemeriksaan 17)laboratorium. Jumlah Laboratorium dengan Frekuensi Partisipasi 4 kali per Tahun Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun Jumlah Laboratorium dengan Frekuensiyang Partisipasi 4 kali per dibandingkan dengan jumlah laboratorium mengikuti PME UjiTahun Silang. Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun dibandingkan dengan jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang. Rumus:

17)

Jumlah lab mikroskopis TB yang mengikuti PME Uji Silang Rumus: Jumlah lab mikroskopis mengikuti 4 kali TB peryang tahun PME Uji SilangTB 4 kali per tahun Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang xTB 100% Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis yang Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB 4 kali per tahun PME Silang yang mengikuti mengikuti PME Uji Uji SIlang Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB yang mengikuti PMEadalah Uji Silang Angka minimal yang harus dicapai 90%.

18) 18)

x 100% x 100%

Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%. laboratorium dalam mengikuti uji silang. Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan laboratorium dalam silang. Proporsi pasien TBmengikuti RR/MDRuji yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus

TB RR/ MDR yang ada Proporsi pasien TBpasien RR/MDR terkonfirmasi dibanding dibanding perkiraan jumlah kasus Adalah persentase TByang RR/MDR yang terkonfirmasi TB RR/ MDR yang ada perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada di wilayah tersebut. Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding jumlah 133 perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada di wilayah tersebut. 133

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

133

Rumus: Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dalam 1 tahun Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasix dalam 100% 1 Jumlah perkiraan kasustahun TB RR/MDR di wilayah tersebut dalam 1 tahun Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut dalam 1 tahun

x 100%

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR. Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB Pengobatan ulang. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya. Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB RR/MDR. 19)

Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua Adalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.

Rumus: Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan Jumlah pasien TB RR/MDR yang uji pemeriksa uji kepekaan OATdilakukan lini kedua pemeriksaan x 100% kepekaan OAT liniditemukan kedua Jumlah kasus TB RR/MDR yang Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

x 100%

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR. Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya. Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB XDR/Pra XDR. 20)

Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR ditemukan atau enrollment rate Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.

Rumus:

134

Jumlahpasien pasien TB yang diobati Jumlah TBRR/MDR RR/MDR yang diobatix 100% Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

x 100% 134

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

DR. an TB

TB

asi

kan an sus

aan an

lur TB

DR

134 34

Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada Jumlah pasien RR/MDR TB.06 MDR danTB TB.01 MDR.yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada TB.06 MDR dan TB.01 MDR. Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%. Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%. alat ukur keberhasilan upaya Indikator ini dihitung setiap triwulan sebagai Indikator ini semua dihitung setiap alat ukurdiobati keberhasilan memastikan pasien TBtriwulan RR/MDRsebagai yang ditemukan sehingga upaya rantai memastikan semua pasien TB RR/MDR yang ditemukan diobati sehingga rantai penularan bisa diputus. Pencapaian target ini sangat tergantung pada efektifitas penularan bisa diputus. Pencapaian targetmaupun ini sangat tergantung pada efektifitas kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes masyarakat. kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat. 21) Angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR atau Treatment Success Rate 21) Angka pengobatanTB TBRR/MDR RR/MDRadalah atau Treatment Rate Adalah keberhasilan Keberhasilan Pengobatan angka yangSuccess menunjukkan Adalah Keberhasilan Pengobatan RR/MDR adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB RR/MDR TB yang menyelesaikan pengobatan (baik yang persentase pasien pengobatan TB RR/MDRlengkap) yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun diantara pasien TB RR/MDR sembuh maupun demikian pengobatan lengkap) diantara pasien TB RR/MDR yang diobati. Dengan angka ini merupakan penjumlahan dari angka diobati. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. Rumus: Rumus: Jumlah pasien TB RR/MDR pengobatan Jumlah pasien TB RR/MDRyang yang menyelesaikan menyelesaikan Jumlah pasien TB (sembuh+pengobatan RR/MDR yang menyelesaikan pengobatan (sembuh + pengobatan lengkap)x 100% x 100% pengobatan lengkap) (sembuh + pengobatan lengkap) x 100% Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%. Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%. 3. Supervisi Program Pengendalian Tuberkulosis 3. Supervisi Pengendalian Tuberkulosis Supervisi Program TB bertujuan meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses yang Supervisi bertujuan meningkatkan kinerja petugas, suatu proses yang sistematis TB untuk meningkatkan pengetahuan petugas, melalui meningkatkan ketrampilan sistematis untuk meningkatkan pengetahuan petugas, meningkatkan ketrampilan petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas. petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas. Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah: Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah:  Observasi  Observasi Diskusi  Diskusi Bantuan teknis  Bantuan teknis mendiskusikan permasalahan yang ditemukan Bersama-sama  Bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, dan  Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, dan Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran  Memberikan perbaikan. laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran perbaikan. Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan untuk Supervisi merupakan kegiatanstandar monitoring langsung dantraining. kegiatan pembinaan untuk mempertahankan kompetensi melalui on the job Supervisi juga dapat mempertahankan kompetensi standar melalui on theuntuk job training. dapat dimanfaatkan sebagai evaluasi pasca pelatihan bahan Supervisi masukan juga perbaikan dimanfaatkan evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan pelatihan yang sebagai akan datang. pelatihan yang akan datang. 135 135

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

135

Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan disemua unit pelaksana, karena dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang kinerja harus selalu diberikan untuk memberikan dorongan semangat kerja. Pelaksanaan supervisi harus direncanakan secara seksama. Sebelum supervisi dilakukan, supervisor haruslah mengkaji laporan atau temuan-temuan supervisi sebelumnya, misalnya tentang: temuan yang belum selesai ditindak lanjuti, catatan tentang tindakan perbaikan yang telah maupun yang perlu ditindaklanjuti. Tahapan kegiatan supervisi meliputi: perencanaan, Persiapan, Pelaksanaan, Pemecahan Masalah, dan penyusunan Laporan serta memberikan umpan balik secara tertulis. a. Perencanaan Supervisi Sebelum melaksanakan supervisi efektif perlu dilakukan perencanaan dengan baik, sehingga supervisi dapat mencapai tujuannya. Hal-hal yang penting diperhatikan didalam perencanaan supervisi adalah: 1) Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat. • Supervisi ke faskes (misalnya: Puskesmas, RS, BBKPM/BKPM, termasuk laboratorium) harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali. • Supervisi ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali, dan • Supervisi ke provinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali. 2) Pada keadaan tertentu frekuensi supervisi perlu ditingkatkan, yaitu: • Pelatihan baru selesai dilaksanakan. • Pada tahap awal pelaksanaan program. • Bila kinerja dari suatu faskes kurang baik. b. Persiapan supervisi Persiapan perlu dilakukan agar pelaksanaan supervisi mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Persiapan supervisi meliputi: 1) Penyusunan jadual kegiatan. 2) Pengumpulan informasi pendukung. 3) Pemberitahuan atau perjanjian ke faskes/dinkes/instansi yang akan dikunjungi. 4) Penyiapan atau pengembangan daftar tilik supervisi. 5) Menyusun kerangka laporan. c. Pelaksanaan supervisi. Dalam pelaksanaan supervisi hal-hal yang perlu diperhatikan, terutama: 1) Kepribadian supervisor: • Mempunyai kepribadian yang menyenangkan dan bersahabat.

136

136

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

• Mampu membina hubungan baik dengan petugas di faskes/dinkes/instansi yang dikunjungi. • Menjadi pendengar yang baik, penuh perhatian, empati, tanggap terhadap masalah yang disampaikan, dan bersama-sama petugas mencari pemecahan. • Melakukan pendekatan fasilitatif, partisipatif dan tidak instruktif. 2) Kegiatan penting selama supervisi di faskes • Melakukan review catatan dan buku register • Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas • Melakukan pengamatan saat petugas bekerja • Melakukan wawancara dengan pasien TB dan PMO, bila memungkinkan • Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik. • Mengecek penerapan metode LQAS • Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif. • Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas diinstitusi tersebut. • Memberikan umpan balik saran yang jelas, realistis, sederhana dan dapat dilaksanakan 3) Kegiatan penting selama supervisi di Kabupaten/Kota. • Melakukan review dokumen, data program dan catatan-catatan • Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik. • Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas • Melakukan pengamatan saat petugas bekerja • Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif, • Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut. • Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas, realistis, sederhana dan dapat dilaksanakan 4) Kegiatan penting selama supervisi di Propinsi. • Melakukan review dokumen, data dan catatan-catatan • Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik. • Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas • Melakukan pengamatan saat petugas bekerja • Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif, • Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut. • Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas, realistis, sederhana dan dapat dilaksanakan d. Pemecahan Masalah (Problem-solving) dalam supervisi Beberapa langkah praktis dalam melakukan pemecahan masalah kinerja adalah: 137

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

137

3. Mengumpulkan data untuk mendukung perumusan kebijakan untuk intervensi tertentu. Agenda Prioritas Riset Operasional Penanggulangan TB di Indonesia. Dalam menetapkan prioritas riset operasional, perlu menekankan pada pemahaman bahwa riset operasional diharapkan membuahkan suatu solusi yang memperbaiki program penanggulangan TB. Ada beberapa pertimbangan lain yang perlu dipikirkan adalah dalam menetapkan prioritas riset operasional yaitu : 1. Daya ungkit: Hasil penelitian diharapkan dapat mengubah kebijakan dan implementasi kegiatan berdampak dalam pencapaian tujuan program Pengendalian TB; 2. Relevan: Intervensi yang sedang diuji coba dan hasil yang diharapkan perlu relevan dengan objektif program Pengendalian TB; 3. Terandalkan: Hasil riset operasional menghasilkan kesimpulan yang kuat untuk menginformasikan pada pengambil keputusan; 4. Mengurangi kesenjangan: Hasil penelitian akan mengisi kesenjangan informasi atau menambahkan fakta baru; 5. Efisiensi: Diharapkan dapat memberikan dampak yang besar dengan biaya yang tidak terlalu besar; 6. Prioritas nasional: Topik atau tema riset sudah diidentifikasi sebagai prioritas nasional baik oleh pemerintah atau kelompok ahli yang berwenang. Riset operasional TB perlu disesuaikan dan diprioritaskan sesuai kondisi epidemi TB dan Strategi Program Pengendalian TB di Indonesia, maka dibutuhkan riset operasional untuk: 1. Memperbaiki kualitas program: a. Peningkatan aksesibilitas pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TB dan TB-HIV b. Terbentuk kerjasama pihak pelayanan pemerintah dan swasta dalam penanggulangan TB. c. Terbentuk kerjasama antara penanggungjawab program TB, dengan program kesehatan lain yang terkait, seperti Penangulangan HIV, Penanggulangan Penyakit Tidak Menular-Diabetes Melitus. d. Mengoptimalkan akses dan kepatuhan pengobatan pengobatan TB, e. Peningkatan akses pengobatan bagi orang dengan TB resistan obat. 2. Peningkatan peran-serta masyarakat umum & khusus (LSM, Kaum Bisnis, dll). a. Mengembangkan metode yang menggerakan peran-serta masyarakat termasuk komponen pendanaan yang mampu meningkatkan efektivitas program. b. Mengembangkan perilaku yang mampu menekan penularan TB. 3. Mengubah perilaku masyarakat dan penyedia layanan a. Mengembangkan metode perubahan perilaku masyarakat. b. Mengembangkan metode yang mengubah perilaku penyedia layanan. 4. Upaya intensifikasi penemuan kasus TB yang dilihat dari sisi penyedia layanan maupun masyarakat rentan. a. Meningkatkan akses layanan pengobatan pada populasi rentan dan termarjinalkan. b. Memperkuatkan integrasi layanan TB dan HIV. 139

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

139

c. Upaya mencegah penularan TB di fasilitas kesehatan, keluarga, dan masyarakat. Agenda riset operasional TB di Indonesia harus diselaraskan dengan agenda riset operasional global, terutama kesesuaiannya dengan kondisi dan kebutuhan setempat. Agenda riset operasional perlu diselaraskan juga dengan dinamika perkembangan program TB serta ketersediaan sumber daya (pendanaan).

140

140

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

BAB XIV BAB XIV PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS PENGENDALIAN TUBERKULOSIS A. Konsep Perencanaan dan Penganggaran. Perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistematis untuk menyusun rencana berdasarkan kajian rinci tentang keadaan masa kini dan perkiraan keadaan yang akan muncul dimasa mendatang berdasarkan pada fakta dan bukti. Pada dasarnya rencana adalah alat manajemen yang berfungsi membantu organisasi atau program agar dapat berkinerja lebih baik dan mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan dari perencanaan adalah tersusunnya rencana program, tetapi proses ini tidak berhenti disini saja karena setiap pelaksanaan program tersebut harus dipantau agar dapat dilakukan koreksi dan dilakukan perencanaan ulang untuk perbaikan program. Perencanaan yang baik adalah: 1. Berbasis data, informasi atau fakta yang akurat tentang situasi epidemiologis dan program 2. Berjangka menengah atau panjang, biasanya 5 tahun. 3. Mempunyai jangkauan ke depan yang memberikan tantangan dalam pelaksanaannya 4. Bersifat umum, menyeluruh dan biasanya dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kerja atau rencana operasional yang lebih rinci. 5. Luwes, dinamis, dan tidak statis, serta tanggap terhadap berbagai perubahan penting yang terjadi di llingkungan tempat dan waktu berlakunya rencana. Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan, merupakan suatu rencana jangka pendek yang disusun berdasarkan dari rencana kegiatan jangka panjang yang telah ditetapkan dalam proses penyusunan program untuk mencapai tujuan atau kondisi tertentu yang diinginkan dengan berbagai sumber daya. Prinsip perencanaan dan penganggaran pengendalian TB harus memperhatikan hal-hal berikut: 1. Kegiatan yang direncanakan sesuai dengan tugas pokok, dan fungsi, serta kewenangan. 2. Perencanaan yang dilakukan harus efektif, efisien, dan fokus pada pencapaian target indikator kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan, Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN)/ Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD), strategi nasional pengendalian TB, dan rencana aksi di daerah 3. Perencanaan dilakukan berdasarkan skala prioritas serta perencanaan terpadu/sinergi untuk menghindari duplikasi anggaran

BAB XIV PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

137

141

1. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Alokasi pembiayaan dari APBN digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan program TB nasional, namun dalam upaya meningkatkan kualitas program di daerah, Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB melimpahkan kewenangan untuk mengelola dana APBN dengan melibatkan pemerintah daerah dengan mekanisme sebagai berikut: a. Dana dekosentrasi (dekon) yaitu dana dari pemerintah pusat (APBN) yang diberikan kepada pemerintah daerah sebagai instansi vertikal yang digunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Dana dekonsentrasi untuk program pengendalian TB digunakan untuk memperkuat jejaring kemitraan di daerah melalui lintas program dan lintas sektor, meningkatkan monitoring dan evaluasi program pengendalian TB di kabupaten/kota melalui pembinaan teknis, meningkatkan kompetensi petugas TB melalui pelatihan tatalaksana program TB. b. Dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan adalah dana perimbangan yang ditujukan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Kesehatan di Daerah. Dana ini diserahkan kepada daerah melalui pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan seperti alat dan bahan penunjang di laboratorium dalam rangka diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di kabupaten/kota termasuk gudang obat, c. Bantuan operasional kesehatan (BOK) diserahkan kepada fasilitas pelayanan kesehatan untuk membiayai operasional petugas, dan dapat digunakan sebagai transport petugas fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelacakan kasus yang mangkir TB, pencarian kontak TB 2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Alokasi pembiayaan dari APBD digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan program TB di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, berdasarkan tugas, pokok dan fungsi dari pemerintah daerah. 3. Dana Hibah Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB merupakan salah satu program yang mendapat kepercayaan menerima dana hibah dari luar negeri. Saat ini berbagai keberhasilan telah banyak dicapai oleh program TB, namun sebagian besar pembiayaan masih tergantung kepada donor (PHLN). Hibah dari Global Fund merupakan bagian terpenting dari keseluruhan dana untuk program TB, permasalahan yang terkait dengan pendanaan donor (restriksi/suspend) akan berdampak secara langsung terhadap kinerja program. Kondisi saat ini hampir 61% dana operasional pengendalian TB terutama di provinsi dan kabupaten/kota dibiayai oleh Global Fund, walaupun sudah ada kebijakan proporsi pemerintah (APBN) dari 23% pada

BAB XIV PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

139

143

d. Menyediakan dan meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan pengendalian TB di fasilitas pelayanan kesehatan e. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan pengendalian TB f. Pendanaan kegiatan operasional pengendalian TB yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi g. Pemantapan surveilans epidemiologi TB di tingkat kabupaten/kota

Pembagian peran dan wewenang dalam program pengendalian TB tidak hanya yang bersifat vertikal namun juga horisontal dimana keterlibatan dari lintas program, lintas sektor dan unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal PP&PL seperti Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dan B/BTKL sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi masing-masing.

BAB XIV PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

143

147

TAMBAHAN TB HIV PADA ANAK Anak terinfeksi HIV mempunyai risiko lebih besar untuk terpapar, terinfeksi, dan sakit TB. Risiko ini dipengaruhi oleh derajat imunosupresinya. Setiap anak yang terinfeksi HIV di wilayah endemis TB harus diinvestigasi status TB nya secara regular pada saat melakukan kunjungan ke Fasyankes dengan cara melakukan penilaian klinis terlebih dahulu. Pada daerah endemis TB dan HIV, TB banyak ditemukan pada anak terinfeksi HIV, sebaliknya infeksi HIV banyak ditemukan pada anak sakit TB. Tes HIV dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua anak yang didiagnosis sakit TB dengan metode TIPK Diagnosis TB pada Anak Terinfeksi HIV Gejala klinis umum TB pada anak terinfeksi HIV antara lain batuk persisten lebih dari 3 minggu yang tidak membaik setelah pemberian antibiotik spektrum luas, malnutrisi berat atau gagal tumbuh, demam lebih dari 2 minggu, keringat malam yang menyebabkan anak sampai harus ganti pakaian, gejala umum non-spesifik lainnya dapat berupa fatigue (kurang aktif, tidak bergairah). Pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering mengalami TB diseminata. Pendekatan diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV pada prinsipnya sama dengan anak HIV negatif, meskipun sering terkendala. Oleh karena itu diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV tidak memakai sistem skoring. Saat ini dimungkinkan untuk melakukan pemeriksaan tes cepat yaitu Xpert MTB/RIF untuk mendiagnosis TB pada pasien HIV termasuk pada anak. Konfirmasi bakteriologi dapat dilakukan dengan pengambilan spesimen dari beberapa tempat yang memungkinkan sesuai dengan manifestasi klinis penyakit TB-nya, antara lain sputum, aspirasi cairan lambung,cairan pleura, induksi sputum, biopsi jarum halus pada kelenjar getah bening (KGB) yang membesar dan biopsi jaringan lainnya. Tanpa konfirmasi bakteriologi, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 4 hal yaitu: 1. Kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif; 2. UMLWXEHUNXOLQSRVLWLI •PPSDGDDQDNWHULQIHNVL+,9  3. Gambaran sugestif TB secara klinis 4. Gambaran sugestif TB pada foto toraks. Pada anak terinfeksi HIV, uji WXEHUNXOLQGLNDWDNDQSRVLWLIELODGLDPHWHU•PP%LODKDVLOQ\D <5 mm, TB belum dapat langsung disingkirkan karena ada beberapa keadaan yang menyebabkan “negatif palsu” : malnutrisi berat, infeksi bakteri berat, infeksi virus, obat imunosupresif dan prosedur penyuntikan yang salah. Kecurigaan Infeksi HIV pada pasien TB anak Tes HIV harus dianjurkan pada semua anak yang didiagnosis sakit TB dan pada semua anak terduga TB di daerah epidemi HIV meluas seperti di wilayah Tanah Papua dengan metode TIPK. Infeksi HIV pada anak dapat bermanifestasi dalam gejala klinis yang bervariasi namun seringkali tidak spesifik. Gejala penurunan berat badan, demam dan batuk, sering dijumpai pada TB anak dengan HIV. Kondisi orangtua memberikan petunjuk penting tentang kemungkinan infeksi HIV pada anak mereka. Tanyakan kepada orangtua tentang status kesehatan mereka. Kadang orangtua menyembunyikan status HIV mereka. Pemberian informasi dalam penawaran tes HIV pada anak perlu dilakukan bersama dengan orangtua atau wali/pengampunya. Untuk melakukan tes HIV pada anak diperlukan ijin dari orangtua/wali yang memiliki hak hukum atas anak tersebut (contoh nenek/kakek/orangtua asuh, bila orangtua kandung meninggal atau tidak ada).

Bila anak sakit berat, maka pengobatan TB dapat diberikan. Dalam keadan meragukan dan tidak emergensi, melakukan uji coba pengobatan (treatment trial) tidak dibenarkan. Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV (selain TB milier, meningitis TB dan TB tulang) harus diberikan 4 macam obat (RHZE) selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH selama 4-7 bulan. Bila menunjukkan perbaikan klinis dilanjutkan dengan INH saja selama 6 bulan untuk mencegah kekambuhan Pada meningitis TB, TB milier, dan TB tulang diberikan RHZE selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH sampai 12 bulan. PETUNJUK PRAKTIS Dosis OAT yaitu INH 10 mg/KgBB/hari (maksimal 300 mg), Rifampisin 15 mg/KgBB/hari (maksimal 600 mg), PZA 35 mg/KgBB/hari (maksimal 2000 mg), Etambutol 20 mg/KgBB/hari (maksimal 1250 mg)

Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernapasan, efusi pleura dan efusi perikardial diberikan tambahan kortikosteroid berupa prednison 1 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 6 minggu, selanjutnya di-tapering-off selama 6 minggu. Pemberian ART pada anak dengan ko-infeksi TB-HIV Pada anak yang baru terinfeksi HIV, pemberian ARV dimulai setelah pasien mendapat pengobatan TB selama 2-8 minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk mengurangi terjadinya SPI (Sindrom Pulih Imun) dan efek samping obat yang saling tumpang tindih. Hal yang paling penting diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi obat terutama golongan NNRTI dengan Rifampisin. Sindrom pulih imun adalah kumpulan tanda dan gejala akibat menurunnya kemampuan respon imun tubuh anak terhadap antigen atau organisme yang dikaitkan dengen pemberian ARV. SPI biasa timbul dalam 2 -12 minggu inisiasi ARV, dengan gejala dan tanda seperti infeksi subklinis yang tidak tampak seperti TB, TB yang aktif kembali, dan juga munculnya abses pada tempat vaksinasi BCG atau limfadenitis BCG Pilihan ART pada anak dengan ko-infeksi TB HIV mengacu pada pedoman tatalaksana HIV pada anak. PENCEGAHAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV Pencegahan TB pada anak terinfeksi HIV dilakukan dengan pelacakan kontak, pengendalian infeksi, dan pemberian profilaksis INH. Bayi dan anak usia berapapun yang baru terdiagnosis HIV tetapi tidak sakit TB, meskipun tidak ada kontak harus mendapat profilaksis INH 10 mg/kgBB/hari maksimun 300 mg selama 6 bulan. Petunjuk pelaksanaan BCG: x Anak HIV negatif di wilayah dengan prevalensi TB-HIV tinggi diberikan BCG. x Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan status HIV tidak diketahui diberikan BCG. x Bayi terinfeksi HIV dengan atau tanpa gejala TIDAK diberikan BCG. x Bayi dilahirkan dari ibu HIV positif boleh diberikan BCG bila: o Mendapatkan perlakukan pencegahan (PPIA) dan/atau o Sehat, tidak menunjukkan gejala HIV o Sebaiknya setelah diperiksa PCR

Nomor Identitas Kependudukan (NIK)

Nomor Identitas Kependudukan (NIK)

Nomor Identitas Kependudukan (NIK)

Nomor Identitas Kependudukan (NIK)