EDITORIAL VOL 10 NO 1

Download Jurnal Ilmu Kehutanan. Volume 10 ... Ekosistem hutan sebagai salah ekosistem penyangga ... Luas hutan alam yang ada di Indonesia saat ini s...

0 downloads 685 Views 66KB Size
Jurnal Ilmu Kehutanan Volume 10 No. 1 - Januari-Maret 2016

PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT HUTAN DI INDONESIA, TANTANGAN, DAN ANTISIPASI KE DEPAN SRI RAHAYU Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Jl. Agro No 1, Bulaksumur, Sleman 55281 E-mail : [email protected]

Perubahan iklim global yang terjadi dalam 10 tahun terakhir ini semakin menunjukkan dampak yang nyata pada berbagai sektor dan kehidupan di bumi (Garret et al., 2006). Ekosistem hutan sebagai salah ekosistem penyangga yang berfungsi sebagai salah satu regulator dan stabilisator penting pada ekosistem global di bumi, saat ini kondisinya semakin memburuk. Luas hutan alam yang ada di Indonesia saat ini sudah semakin menyempit, sedangkan hutan tanaman dan hutan rakyat yang dibangun saat ini produktifitasnya belum optimal dan masih belum mencukupi kebutuhan baik untuk konsumsi dalam maupun luar negeri. Fenomena dampak perubahan iklim di Indonesia dalam 5 tahun terakhir ini bahkan memacu terjadinya banyak bencana berupa banjir akibat tingginya intensitas dan periode hujan, naiknya permukaan air laut yang berpotensi menyebabkan terjadinya gelombang tsunami, atau bahkan kekeringan yang ekstrim di daerahdaerah tertentu akibat pergeseran musim yang tidak jelas, serta bencana akibat angin kencang dan puting beliung akibat perubahan kecepatan dan arah angin. Perubahan tersebut dapat secara pelan-pelan atau secara drastis berpengaruh pada kondisi iklim mikro maupun makro yang terbentuk pada semua ekosistem yang ada dan dapat berdampak negatip pada seluruh komponen ekosistem termasuk tanaman, mikroorganisma maupun organisma lain pada ekosistem tersebut (Mortsch, 2006). Jasad renik seperti mikroorganisma patogenik penyebab penyakit dan juga serangga hama penyebab kerusakan pada tanaman pertanian, perkebunan maupun hutan, mempunyai kepekaan yang cukup tinggi pada perubahan iklim global. Patogen maupun serangga hama memiliki mekanisme yang sangat kuat untuk melakukan proses adaptasi yang cepat pada perubahan lingkungan. Beberapa serangga hama yang termasuk dalam ordo lepidoptera akan mampu meningkatkan keperidiannya sehingga populasinya dapat meningkat sangat drastis. Demikian pula patogen penyebab penyakit yang termasuk dalam kelompok jamur karat akan mampu melakukan adaptasi sitoplasmik maupun genetik sehingga patogenesitasnya meningkat, penyebarannya menjadi lebih luas, dan waktu sporulasinya lebih cepat (Menéndez, 2007). Berdasarkan hasil pengamatan, survei maupun analisis penulis, fakta di lapangan tentang kasus terjadinya kerusakan tanaman hutan oleh serangga hama maupun patogen penyebab penyakit di Indonesia yang mengindikasikan akan terus meningkat antara lain adalah : (1) Penyakit karat tumor pada tanaman sengon yang disebabkan oleh jamur karat Uromycladium tepperianum, yang telah muncul secara sporadis di Indonesia sejak tahun 1996 di Pulau Seram, Maluku dan mulai tahun 2005 statusnya meningkat menjadi out break terutama di Pulau Jawa. Penyakit diprediksi akan tetap meningkat dan sampai saat ini pengelolaannya belum dapat dilakukan secara tuntas; (2) penyakit layu bakteri oleh bakteri Pseudomonas sp. pada tanaman jati muda yang dulu telah muncul secara sporadis pada tahun 2001 yang sejak tahun 2010 sampai sekarang kasusnya semakin 1

Jurnal Ilmu Kehutanan Volume 10 No. 1 - Januari-Maret 2016

meningkat, dan belum mendapatkan perhatian yang serius; (3) penyakit akar pada berbagai jenis tanaman hutan, terutama pada jenis jenis akasia, secara nyata telah banyak menimbulkan kerugian dan kerusakan, terutama setelah rotasi ke dua. Alternatif penggantian dengan jenis Eucalyptus yang diperkirakan lebih tahan terhadap jamur akar terutama di luar Pulau Jawa, belum terbukti keberhasilannya; (4) penyakit kanker batang dan mati pucuk oleh jamur Ceratocystis sp. pada berbagai jenis tanaman hutan dan perkebunan, dengan kejadian yang semakin meningkat, menimbulkan kerusakan yang semakin parah dengan didukung adanya luka tanaman oleh serangga, kera, tupai maupun mamalia lainnya; (5) jamur upas (pink disease) yang disebabkan oleh jamur Corticium salmonicolor yang bersifat opportunistic dengan kejadian yang semakin meningkat dan inang jenis tanaman yang semakin beragam dan belum mendapat perhatian yang semestinya; (6) ledakan populasi hama ulat bulu yang muncul pada tahun 2011 dan menyerang hampir sebagian besar areal pertanian maupun perkebunan di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta merusakkan tanaman mangga yang menjadi andalan masyarakat Jawa Timur yang sampai saat ini belum diketahui faktor pemicunya sehingga antisipasi di masa mendatang belum jelas teknisnya; (7) hama kepik renda pada tanaman Gmelina arborea (melina) baik di Pulau Jawa maupun Kalimantan yang populasinya meningkat secara drastis sejak tahun 2010, dapat merusakkan tanaman melina muda dengan kecepatan merusak 3 ha/minggu yang sampai saat ini juga belum diprioritaskan solusi penanganannya secara terpadu; (8) kejadian outbreak hama ulat kantong pada berbagai jenis tanaman hutan terutama mulai awal musim kemarau dimana kasusnya semakin meningkat dan meluas tetapi belum mendapatkan perhatian yang serius; (9) berbagai jenis kumbang yang berperan sebagai hama penggerek batang yang saat ini populasi dan kerusakan yang ditimbulkan semakin meningkat dan beragam; (10) populasi uret (bentuk larva dari kumbang) yang semakin meningkat sehingga menimbulkan kerusakan yang hebat pada ekosistem hutan binaan sebagai salah satu akibat meningkatnya penggunaan input berupa kompos yang kurang masak pada ekosistem hutan dengan pola agroforestri. Meskipun kejadiannya telah sangat meluas, namun belum mendapatkan perhatian yang baik untuk penanganannya; serta potensi-potensi jasad pengganggu lain yang semakin kompleks keberadaannya. Dengan mempertimbangkan bahwa perubahan iklim global akan terus terjadi dan secara pasti akan berdampak pada perubahan iklim dan variasi musim di Indonesia, maka resiko akan terjadinya outbreak serangga hama dan penyakit hutan di Indonesia akan semakin meningkat potensinya. Untuk itu perlu diusulkan untuk

dibentuk ”Tim Mitigasi Kesehatan Hutan di Indonesia” yang terdiri dari berbagai komponen

masyarakat, meliputi masyarakat umum, akademisi, peneliti, LSM, serta berbagai instansi pemerintah yang terkait. Tim ini secara spesifik dan serius harus dapat melakukan prediksi, peramalan, dan memberi informasi yang akurat tentang adanya patogen dan serangga hama yang merusak tanaman hutan pada saat ini maupun potensinya di masa yang akan datang. Tim tersebut juga harus dapat memberikan rekomendasi pengelolaan kesehatan hutan baik dalam lingkup lokal dan atau nasional. Hal ini juga telah ditulis oleh Moore dan Allard (2008) yang mengusulkan adanya lembaga dan badan kehutanan yang bertanggung jawab akan kesehatan hutan yang memiliki peran pengawasan yang efektif dan memiliki protokol pendeteksian serta alat yang memadai untuk memudahkan dilakukannya tindakan cepat dan tepat dalam menghadapi perubahan atau peningkatan dampak gangguan hutan.

2

Jurnal Ilmu Kehutanan Volume 10 No. 1 - Januari-Maret 2016

Program kesehatan hutan dengan mendasarkan pada penaksiran resiko dan sistem penilaian terkait kerusakan hutan perlu diterapkan untuk memastikan apakah program tersebut mampu menanggapi masalah secara cepat (Sturrock et al., 2011). Kendati saat ini telah diterapkan peraturan tentang kesehatan tumbuhan global dan standar untuk lalu lintas tanaman dan hasil hutan, namun banyak tenaga profesional yang merasakan kelemahan dan celah dalam menegakkan peraturan tersebut sehingga masih tetap menimbulkan masalah biosekuriti yang besar (Brasier, 2008). Oleh karena itu, dalam rangka pengelolaan kesehatan hutan secara terintegrasi, perlu disusun suatu sistem kerangka kerja yang bersifat fleksibel dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang tepat serta alat-alat prediksi terbaik yang dapat mempertimbangkan resiko kesehatan hutan dan ketidakpastian iklim, dalam rangka mengevaluasi dan meminimalisir gangguan hutan atau kerusakan oleh hama dan penyakit yang tidak diinginkan (Leech et al., 2011). DAFTAR PUSTAKA Brasier CM. 2008. The biosecurity threat to the UK and global environment from international trade in plants. Plant Pathology 57, 792-808. Garret KA, Dendy SP, Fraih EE, Rouse MN, &Travers SE. 2006. Climate change effect to plant disease: genome to ecosystem. Annual Review of Phytopathology 44, 489-509 Leech SM, Almuedo PL, & O’Neill G. 2011. Assisted migration: adapting forest management to a changing climate. Journal of Ecosystem and Management 12, 18-34. Menéndez R. 2007. How are insects responding to global warming? Tijdschrift voor Entomologie 150, 355-365 Moore BA & Allard GB. 2008. Climate change impacts on forest health. Forest Health and Biosecurity Working Paper FBS/34E. Forest Assessment, Management and Conservation Department, FAO, Rome, Italy. 38. Mortsch LD. 2006. Impact of climate change on agriculture, forestry and wetlands. Dalam : Climate change and managed ecosystems. Bhatti J, Lal R, Apps M & Price M. (Eds.) Taylor and Francis, CRC Press, Boca Raton, FL, US. 45-67. Sturrock RN, Frankel SJ, Brown AV, Hennon PE, Kliejunas JT, Lewis KJ, Worrall JJ, & Woods AJ. 2011. Climate change and forest diseases. Plant Pathology 60, 133-149.

3

Jurnal Ilmu Kehutanan Volume 10 No. 1 - Januari-Maret 2016

4