EKOSISTEM HUTAN MANGROVE - LITBANG PERTANIAN

Download kerusakan ekosistem dan degradasi ekosistem mangrove. Kerusakan tersebut ..... Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. III, No.3 ...

0 downloads 569 Views 134KB Size
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE M. Bismark, Endro Subiandono, dan N.M. Heriyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Hutan mangrove di Indonesia sekitar 8,6 juta hektar, terdiri atas 3,8 juta hektar di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta hektar di luar kawasan hutan. Kerusakan hutan mangrove di dalam kawasan hutan sekitar 1,7 juta hektar atau 44,73 persen dan kerusakan di luar kawasan hutan 4,2 juta hektar atau 87,50 persen, antara tahun 1982-1993 telah terjadi pengurangan hutan mangrove seluas 513.670 ha atau 46.697 ha per tahunnya (Gunawan dan Anwar, 2005). Menurut Asian Wetland Bureau luas hutan mangrove Indonesia hanya tersisa 2,5 juta ha, dan untuk pemulihan fungsi hutan mangrove diperlukan rehabilitasi atau restorasi. Rehabilitasi hutan mangrove dengan cara menanam selama ini sangat tidak sebanding dengan laju perusakannya yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan untuk merehabilitasinya. Kerusakan mangrove juga disebabkan oleh peningkatan penggunaan lahan pantai serta pengelolaan ekosistem mangrove yang belum memperhatikan aspek kelestariannya, dalam hal ini sekitar 22 persen penduduk Indonesia dengan tingkat pertumbuhan 3,6 persen bermukim di kawasan pantai dan sekitar 50 persen ekonomi mereka tergantung pada kemampuan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di wilayah pantai, termasuk hutan mangrove. Peningkatan jumlah penduduk juga menstimulir perubahan hutan mangrove menjadi tambak, terlebih pada saat harga ikan dan udang tinggi. Di Delta Mahakam, pertumbuhan luas tambak meningkat 50 kali lipat dalam waktu 10 tahun. Kecenderungan penurunan luas hutan dan kesulitan rehabilitasi mengindikasikan kerusakan ekosistem dan degradasi ekosistem mangrove. Kerusakan tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi hutan menjadi lahan tambak, eksploitasi hutan dan penebangan liar. Untuk melestarikan fungsi ekosistem mangrove tersebut upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis mangrove sudah dimulai sejak tahun 1970-an, namun pencapaiannya sangat rendah. Sejak tahun 1999 hingga 2003 rehabilitasi baru terealisasi seluas 7.890 ha atau lebih kurang 1.578 ha/tahun (Departemen Kehutanan, 2004).

Biofisik Hutan Mangrove Penelitian keragaman dan ekologi mangrove di berbagai tempat di pesisir Indonesia telah dilakukan termasuk di pulau kecil seperti di Siberut, hutan mangrove setebal 2 km di Pulau Siberut sepanjang satu km dari sungai tercatat 10 jenis pohon mangrove yaitu : Rhizophora apiculata Blume, R. mucronata Blume, Bruguiera cylindrica W.et.A.,

EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

B. gymnorrhiza (L). Savigny, Xylocarpus granatum Koen, Barringtonia racemosa Blume, Ceriops tagal C.B Rob., Aegyceras corniculatum Blanco, Luminitzera littorea Voigl. dan Avicennia alba L., dengan kondisi ekosistem sangat baik (Bismark, dkk, 2009). Jenis mangrove yang dominan adalah R. apiculata, R. mucronata dan B. gymnorrhiza, terutama di hutan mangrove bagian dalam dengan tanah berlumpur dan sedikit bergambut. Hutan mangrove di Sumatera memiliki delapan jenis suku Rhizophoraceae, empat jenis dari suku Sonneratiaceae, tiga jenis dari suku Verbenaceae dan dua jenis dari suku Meliaceae (Anwar et al., 1984). Potensi fisik mangrove di pantai dan di sungai dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Potensi fisik Habitat Mangrove di Pulau Siberut, 2009 Tipe mangrove Mangrove pantai Mangrove sungai

Tebal hutan Minimum (m) Maksimum (m) 210 940 180 400

Panjang ke darat (m) 250-1.000 2.000-2.700

Sumber: Bismark, dkk. (2009)

Pada umumnya hutan mangrove pantai lebih tebal dibandingkan dengan hutan mangrove sungai, akan tetapi mangrove sungai lebih panjang masuk ke daratan mengikuti aliran sungai sampai batas salinitas yang tidak berpengaruh pada tumbuhan jenis mangrove. Fungsi mangrove terhadap suplai energi keperairan pantai dapat dilihat dari perannya dalam proses penguraian melepaskan unsur-unsur mineral seperti nitrogen, fosfor, dan unsur esensial zat hara lainnya. Unsur mineral ini merupakan kunci kesuburan dalam transfer energi dan rantai makanan. Detritus tumbuh-tumbuhan atau detritus organik tersebut merupakan sumber bahan makanan bagi organisme di atasnya, seperti berbagai jenis zooplankton, udang, ikan, kepiting, moluska, nematoda, dan amphipoda (Bismark dan Sawitri, 2010). Hutan bakau mampu menahan sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi atau aberasi pantai. Erosi di pantai Marunda yang tidak ada mangrove selama dua bulan mencapai 2 m, sementara yang ada mangrove hanya 1 m (Sediadi, 1991). Dalam kaitannya dengan kecepatan pengendapan tanah di hutan mangrove, Anwar (1998) dengan mengambil lokasi penelitian di Suwung (Bali) dan Gili Sulat (Lombok), menginformasikan laju akumulasi tanah adalah 20, 6 kg/m2/th atau setara dengan 14,7 mm/th (dominasi S. alba); 9,0 kg/m2/th atau 6,4 mm/th (dominasi R. apiculata); 6.0 kg/m2/th atau 4,3 mm/ th (bekas tambak); dan 8,5 kg/m2/th atau 6,0 mm/th (mangrove campuran). Dengan demikian, rata-rata akumulasi tanah pada mangrove Suwung 12,6 kg/m2/th atau 9 mm/ th, sedang mangrove Gili Sulat 8,5 kg/m2/th atau 6,0 mm/th. Data lain menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya pengendapan tanah setebal antara 6 sampai 15 mm/ha/ th atas kehadiran mangrove. Informasi semacam ini sangat diperlukan guna mengantisipasi permasalahan sosial pada lahan tersebut yang timbul pada masa mendatang. 89

EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

Ekonomi dan Jasa Lingkungan Mangrove Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien, baik nutrien organik maupun anorganik. Rata-rata produksi primer mangrove yang tinggi dapat menjaga keberlangsungan populasi fauna perairan; ikan, kerang dan satwa liar. Mangrove menyediakan tempat perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan khususnya udang, sehingga biasa disebut tidak ada mangrove tidak ada udang (Macnae,1968). Diantara jasa lingkungan ekosistem hutan yang menjadi isu penting adalah fungsinya dalam menyerap karbon. Karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca dan karena berfungsi sebagai perangkap panas di atmosfer, menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Fungsi dan nilai ekonomi serapan karbon tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan mangrove rehabilitasi berikut (Tabel 2). Tabel 2. Potensi Serapan Karbon Dioksida Hutan Rehabilitasi Mangrove, Sulawesi Selatan Kelas umur

Total karbon (ton/ha)

Perkiraan serapan (ton CO2 /ha/thn)

Harga CO2/ha (US$)

Nilai CO2 (US$/ha/thn)

I (5 tahun) II (10 tahun) III (15 tahun) IV (20 tahun)

702,04 926,02 1220,45 1674,49

18,65 19,97 25,57 29,66

7,00 7,00 7,00 7,00

130,57 139,81 179,00 207,63

Jumlah

4523,00

93,86

-

657,01

Sumber: (Halidah dan Saprudin, 2010)

Potensi serapan CO2 pada hutan mangrove strata I (umur 5 tahun) sebesar 18,65 CO2/ ha/tahun cukup besar jika dibandingkan dengan yang terjadi pada hutan pinus. Heriansyah (2005) melaporkan bahwa tanaman pinus umur 5, 11, dan 24 tahun mengabsorsi masingmasing sebesar 10,53 ton CO2/ha/tahun; 21,09 ton CO2/ha/tahun; dan 14,76 ton CO2/ ha/tahun. Hal ini dapat menunjukkan bahwa hutan mangrove ini pada kelas umur yang sama yakni 5 tahun dengan tanaman yang di darat mampu menyerap CO2 dalam jumlah yang lebih besar yakni 10,53 ton/ha/tahun untuk hutan pinus dan 18,65 ton/ha/ tahun untuk hutan mangrove. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa nilai kompensasi yang dapat diperoleh dari hutan mangrove akan lebih besar jika dibandingkan dengan nilai kompensasi karbon tanaman di darat (Holidah dan Saprudin, 2010). Hal ini juga diungkapkan oleh Hilman (2007), bahwa nilai kompensasi rata-rata karbon tidak sama pada setiap daerah tetapi tergantung kepada jenis tanaman, luas lahan, dan lokasi lahan. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove, melaporkan bahwa nilai manfaat hutan bakau dalam menyerap karbon dioksida adalah sebesar Rp 6.489.000.000/tahun (LPPM, 2006). 90

EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

Habitat Fauna Perairan Luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya memiliki hubungan signifikan. Semakin meningkat luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat dengan membentuk persamaan: Y = 0,06 + 0,15 X Dalam persamaan di atas, Y merupakan produksi tangkapan dalam ton/th, dan X merupakan luasan mangrove dalam ha (Ditjen Bina Pesisir. 2004). Masyarakat nelayan yang bermukim di sekitar kawasan hutan mangrove dengan jumlah hari efektif penangkapan per tahun 240 hari (8 bulan) dapat menjaring ikan dengan produksi 24.000 ekor/ha/tahun dalam luas efektif habitat ikan sekitar 60 persen dari luas kawasan hutan mangrove sehingga peran hutan mangrove terhadap hasil ikan ini sangat nyata dapat dinikmati oleh masyarakat setempat. Selain ikan, masyarakat juga mendapat hasil hutan mangrove dari tangkapan kepiting. Kepiting yang ditangkap oleh masyarakat dalam wilayah tangkapan sekitar ± 0,2 ha dengan jumlah hari efektif kegiatan penangkapan per tahun adalah 240 hari (8 bulan) memanen sebanyak 3.000 kg/ha/tahun dengan harga kepiting Rp 15.000/kg, dimana luas efektif habitat kepiting sekitar 50 persen dari luas kawasan hutan mangrove. Potensi dan nilai ekonomi fauna perairan dalam ekosistem mangrove disajikan pada Tabel 3. Besar-kecilnya hasil jasa tidak langsung dan nilai manfaat hutan mangrove tersebut disebabkan oleh perbedaan luas daerah tangkapan, waktu yang digunakan untuk menangkap, dan nilai jual di pasar yang berbeda-beda. Tabel 3. Potensi Hutan Mangrove sebagai Tempat Mencari Makan dan Daerah Asuhan Berbagai Jenis Biota di Sulawesi Selatan Sebagai feeding dan nursery ground 1. Ikan 2. Kepiting 3. Kerang 4. Benur 5. Nener Jumlah

Potensi produksi (ha/th) Harga satuan (Rp) 24.000 ekor 3.000 kg 12.000 ltr 450.000 ekor 300.000 ekor

500,15.000,750,50,50,-

Nilai ekonomi (Rp/ha/ thn) x 1.000,12.000 45.000 9.000 22.500 15.000 103.500

Sumber: Holidah dan Saprudin (2010)

Habitat Satwa Liar Hutan mangrove berfungsi juga sebagai habitat kelelawar. Satwa ini adalah jenis satwa yang langsung dapat dimanfaatkan masyarakat seperti di Sulawesi. Manfaat tersebut memiliki nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari hutan mangrove dengan hasil panen 2.500 ekor kelelawar/tahun. 91

EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

Beberapa hasil penelitian di Taman Nasional Rawa Aopa menunjukkan bahwa di hutan mangrove ditemukan 77 jenis satwa liar yang terdiri atas 3 jenis mamalia, 6 jenis reptil dan 68 jenis burung. Di Sulawesi terdapat 11 jenis satwa endemik dan 21 jenis satwa langka yang dilindungi Undang-Undang. Di Kalimantan terdapat primata endemik di hutan mangrove dan habitat ini juga sebagai tempat persinggahan burung migran. Keragaman jenis burung di hutan mangrove termasuk tinggi yaitu 3,928 (indeks keragaman). Hal ini menunjukkan bahwa hutan mangrove merupakan habitat beberapa jenis burung, khususnya burung-burung air. Nilai indeks eveness 0,93 menunjukkan ketiadaan jenis yang mendominasi, atau dengan perkataan lain semua jenis memiliki proporsi kelimpahan yang relatif seragam. Hal ini merupakan indikator kemantapan suatu komunitas dalam ekosistem (Gunawan dan Anwar, 2004).

Strategi Pemulihan Ekosistem Mangrove Rehabilitasi Keberhasilan tanaman mangrove rehabilitasi selain dipengaruhi kondisi kimia fisik tanah, sangat dipengaruhi pula oleh hama dan gangguan ternak. Hama utama penyebab gagalnya tanaman adalah wideng dan ulat matahari (disebut juga ulat api). Sampai saat ini belum ditemukan cara yang efektif untuk mengatasi hama tersebut. Gangguan lain adalah kambing, sapi dan kerbau yang digembalakan tanpa pengawasan. Ternak menyukai daun mangrove karena memiliki kandungan nutrisi dan mineral yang tinggi. Penyebab lain kegagalan tanaman mangrove adalah gangguan fisik berupa ombak dan gangguan manusia. Di beberapa tempat, ombak yang sangat kuat, seperti di Jepara mampu mencabut dan menghanyutkan propagule atau bibit yang ditanam. Untuk mengatasi gangguan ombak ini diperlukan alat penahan ombak, namun biayanya mahal. Gangguan oleh manusia antara lain disebabkan tumbangnya propagule atau bibit oleh aktivitas para pencari ikan. Persentase keberhasilan tanaman mangrove dan kaitannya dengan jenis hama, di Pantura Jawa Tengah disebabkan oleh hama ulat (45,9 persen) dan wideng (36,0 persen), sementara yang disebabkan oleh ternak hanya 18,2 persen. Permasalahan tesebut menyebabkan keberhasilan tanaman mangrove rata-rata adalah 62 persen. Secara biologi, keberhasilan tanaman juga ditentukan oleh kesiapan bibit untuk ditanam. Spesifikasi bibit yang baik untuk ditanam dicantumkan pada Tabel 4. Meskipun upaya rehabilitasi Pantura Jawa Tengah telah dilakukan sejak 14 tahun yang lalu tetapi hasilnya belum memuaskan, baik dari segi luas maupun keberhasilan hidup tanamannya. Jika persentase bibit yang hidup 62 persen dan tidak ada penyulaman, maka keberhasilan ini masih tergolong sangat rendah (Gunawan dan Anwar, 2005).

92

EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

Tabel 4. Spesifikasi Bibit Tujuh Jenis Mangrove Siap Tanam SPESIES

Tinggi Bibit (cm)

Jumlah Daun (Helai) Usia Bibit (Bulan)

Rhizophora mucronata

55

4

4-5

Rhizophora apiculata

30

3

4-5

Bruguiera gymnorrhiza

35

6

3-4

Ceriops tagal

20

4

6-7

Soneratia alba

15

6

5-6

Avicennia marina

30

6

3-4

Xylocarpus granatum

40

6

3-4

Keterlibatan masyarakat dalam rehabilitasi kawasan hutan mangrove lebih disinonimkan dengan kegiatan “wanamina” atau “silvofishery”. Tidak kurang dari 3.242 KK terlibat dalam pengagarapan wanamina pada areal seluas 11.998 ha di KPH Purwakarta (Perhutani Purwakarta, 2005). Namun demikian, terdapat pula beberapa kelompok tani secara mandiri dilaporkan telah berhasil dalam merehabilitasi hutan mangrove seperti dijumpai di Sinjai (Sulawesi Selatan), Grati (Pasuran, Jawa Timur), dan Lampung. Kegiatan silvofishery berupa “empang parit” pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978. Pada awalnya empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 m yang disisihkan dari tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove, sehingga luasnya hanya 10-15 persen dari total area garapan. Jarak tanam 3X2 m2, dengan harapan 4-5 tahun pada akhir kontrak, tajuk tanaman sudah saling menutup. Sejak tahun 1990 dibuat sistem pola terpisah (komplangan) dengan 20 persen areal untuk budidaya ikan dan 80 persen areal untuk hutan dengan pasang surut bebas. Dari sistem silvofishery semacam ini dengan pemeliharaan bandeng dan udang liar dapat dihasilkan keuntungan pada masyarakat. Pokok kajian sosial ekonomi diantaranya mencakup empang parit di areal yang semula merupakan 20 persen luasan wilayah yang dikerjakan dan 80 persen selebihnya merupakan mangrove, cenderung berubah menjadi sebaliknya dan bahkan dijumpai areal pertambakannya melebihi 90 persen areal. Sebagian masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tersebut cukup mempunyai penghasilan yang memadai bila dibandingkan dengan petani penggarap di wilayah daratan. Hasil harian berupa penangkapan udang yang terperangkap saat air pasang ternyata cukup menambah penghasilan penggarap. Hasil analisis ekonomi usaha tambak menunjukkan bahwa tambak komplangan (Rp 32.529.643/ha/tahun) lebih menguntungkan dibandingkan tambak empang parit (Rp 14.387.500/ha/tahun). Penambahan luas garapan empang parit berbanding lurus dengan pendapatan bersihnya, namun ternyata tidak merupakan kelipatannya. Pendapat petani penggarap 1 ha = Rp 14.195.833/ha/tahun, 2 ha = Rp16.846.923/ha/tahun, 5 ha = Rp 21.445.000/ha/tahun.

93

EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

Berkaitan dengan rehabilitasi mangrove, sebagian besar masyarakat petambak lebih menginginkan penanaman hanya pada pematang, sehingga penanaman rehabilitasi di tengah tambak banyak yang mengalami kegagalan. Masalah yang timbul dalam pengelolaan kawasan mangrove rehabilitasi yang lain adalah hampir seluruh kawasan mangrove di pantura telah digarap menjadi tambak oleh masyarakat tidak terkecuali areal green belt dengan kondisi mangrove dengan tegakan 0-400 pohon per ha. Penguasaan lahan dipindah-tangankan dengan harga mencapai Rp 20 juta/ha untuk areal bebas pohon mangrove dan Rp 10 juta - Rp 15 juta untuk areal yang ada pohon mangrove.

Prinsip Konservasi Keterbatasan luas dan sebaran ekosistem hutan mangrove, fungsi dan nilai ekosistem mangrove yang tinggi bagi ekosistem lain, terutama ekosistem diperairan laut, pantai dan pesisir serta ekosistem daratan, telah melibatkan berbagai sektor untuk mengelolanya. Ekosistem mangrove dengan peran tersebut dikelola untuk dapat menunjang berbagai aspek pembangunan terutama di sektor ekonomi. Sektor yang mengelola konservasi dan pemanfaatan ekosistem mangrove diantaranya sektor kehutanan, pertanian, perikanan dan kelautan, pertambangan, perhubungan dan pertahanan keamanan. Dilain pihak telah terjadi degradasi ekosistem dan fungsi mangrove sehingga dalam pengelolaan pemanfaatan diperlukan upaya konservasi dan rehabilitasi guna mempertahankan fungsi tersebut. Karena tingkat kerusakan mangrove yang berdampak pada pengurangan luas hutan mangrove, fungsi dan nilai manfaatnya sangat tinggi, perlu dirancang suatu penataan wilayah pengelolaan mangrove. Hal ini merupakan salah satu strategi pemulihan ekosistem untuk tujuan peningkatan pemanfaatannya oleh sektor-sektor yang membidangi berbagai aspek kelestarian dan pemanfaatan, seperti fungsi ekosistem mangrove yang mendukung produktivitas perikanan dapat dikelola oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan, sebagai sumber pangan oleh Kementerian Pertanian, dan fungsi lindung serta konservasi oleh Kementerian Kehutanan. Dengan demikian upaya pelestarian ekosistem, pemulihan fungsi dan manfaat mangrove terbagi ke dalam tanggungjawab masing-masing sektor yang mengelola wilayah pengelolaan mangrove tersebut. Pengembangan fungsi pemanfaatan dan konservasi yang ditata dalam wilayah pengelolaan perlu didukung dengan aspek hukum yang mengatur fungsi dan tanggungjawab serta kolaborasi pengelolaan antar sektor yang terlibat dalam pengelolaan manfaat maupun konservasi mangrove. Keterbatasan luas, tingginya nilai manfaat dan tingkat kerusakan serta banyaknya sektor yang terlibat mengharuskan adanya peraturan pemerintah khusus dalam pengelolaan mangrove. Peraturan dan penegakan hukum yang kuat diharapkan mampu membawa masing-masing sektor terkait untuk mengelola kawasan mangrove dengan prinsip konservasi agar nilai manfaat meningkat dan berkesinambungan.

94

EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

Kesimpulan dan Saran Upaya pemulihan hutan mangrove sangat diperlukan mengingat peran dan nilai kawasan mangrove dari aspek ekologi, ekonomi dan jasa lingkungan. Pengelolaan dan pelestarian mangrove yang terdegradasi dapat dengan cara merehabilitasi. Potensi ekologi yang mendukung nilai ekonomi hutan mangrove diantaranya adalah fauna laut yang menjadi sumber ekonomi masyarakat pantai. Jasa lingkungan yang diperoleh adalah nilai stok karbon pada tegakan, penghasil nutrisi bagi perairan pantai dan, habitat untuk pelestarian satwa liar. Peran dan keterlibatan masyarakat dalam restorasi ekosistem mangrove sangat penting. Daya tumbuh mangrove yang rendah, selain akibat gangguan hama dan manusia juga dari gangguan fisik perairan pantai. Guna mengatasi hal tersebut diperlukan keikutsertaan masyarakat dalam rehabilitasi yang dirancang dalam model silvofishery. Upaya peningkatan pengelolaan, pemanfaatan dan konservasi ekosistem perlu mempertimbangkan kemungkinan pembentukan pewilayahan pengelolaan mangrove yang dapat dikelola oleh sektor-sektor dengan tujuan utama peningkatan nilai ekonomi sesuai bidang tugas dan tanggungjawabnya. Strategi pemulihan ekosistem mangrove selain upaya rehabilitasi dan restorasi ekosistem hutan mangrove perlu didukung peraturan pemerintah khusus tentang pengelolaan hutan mangrove yang memberikan tanggungjawab pengelolaan dan konservasi mangrove di wilayah pengelolaan masing-masing sektor.

Daftar Pustaka Anwar, C. 2006. Prediksi Musim Puncak Buah Empat Jenis Mangrove Berdasar Hasil Fenologinya. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. III, No.3 : 237-247. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam dan A.J. Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bismark, M., E. Subiandono dan N.M. Heriyanto. 2009. Keragaman dan Potensi Jenis serta Kandungan Karbon Hutan Mangrove di Sungai Subelen Siberut. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. V, No. 3 : 297-306. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Bismark, M dan R. Sawitri. 2010. Kelimpahan dan Keragaman Spesies Plankton di Hutan Mangrove, Pulau Siberut. Info Hutan Vol. VII, No.1 : 77-87. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Christina. 1994. Musnahnya Hutan Bakau di Indonesia. Republika 169 (2), Hal. 9, 30 Juni 1994.

95

EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

Direktorat Jenderal Bina Pesisir. 2004. Pedoman Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Gunawan, H dan C. Anwar. 2004. Keanekaragaman Jenis Burung Mangrove di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. I, No.3 : 294-308. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Gunawan, H dan C. Anwar. 2005. Analisis Keberhasilan Rehabilitasi Mangrove di Pantai Utara Jawa Tengah. Info Hutan Vol. II, No.4 : 239-248. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Halidah dan Saprudin. 2010. Potensi dan Nilai Jasa tidak langsung hutan mangrove di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Info Hutan Vol. VII, No.1 : 21-30. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Hilman, M. 2007. Indonesia Berharap Dapat Dana Kompensasi Emisi Karbon. Antara News, 19 Januari 2007. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia. 2006. Valuasi Ekonomi Mangrove di Batu Ampar, Pontianak. http://www.imRed.Org .htm. Macnae, W. 1968. A Genaral Account of the Fauna and Flora of Mangrove Swamps and Forest in the Indo – West Pasific Region. Adv.Mar.Biol. Perum Perhutani KPH Purwakarta. 2005. Renstra Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove KPH Purwakarta. Perum Perhutani KPH Purwakarta. Tidak diterbitkan. Sediadi, A. 1991. Pengaruh hutan bakau terhadap sedimentasi di pantai teluk Jakarta. Prosidings seminar IV, Ekosistem mangrove, Bandar Lampung, 7-9 Agustus 1990: 101-110. Program MAB Indonesia-LIPI. Jakarta.

96