EKSPLORASI POTENSI DAN FUNGSI SENYAWA BIOAKTIF

Download Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: EKSPLORASI ..... bioaktif untuk farmakologi di mana hewan ini dapat berasosiasi den...

0 downloads 526 Views 2MB Size
EKSPLORASI POTENSI DAN FUNGSI SENYAWA BIOAKTIF ASCIDIAN Didemnum molle SEBAGAI ANTIFOULING

ULFA NI’MAL AULIA

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

EKSPLORASI POTENSI DAN FUNGSI SENYAWA BIOAKTIF ASCIDIAN Didemnum molle SEBAGAI ANTIFOULING adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

ULFA NI’MAL AULIA C54070008

RINGKASAN ULFA NI’MAL AULIA. Eksplorasi Potensi dan Fungsi Senyawa Bioaktif Ascidian Didemnum molle sebagai Antifouling. Dibimbing oleh DIETRIECH GEOFFREY BENGEN dan ADRIANI SUNUDDIN Penggunaan cat antifouling yang mengandung logam berat umum digunakan untuk memperkecil dampak penempelan biota pada struktur bangunan yang selalu terendam air, sehingga menjadi sebagai salah satu sumber pencemaran logam berat yang lambat laun akan terakumulasi di laut, dan akhirnya berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Penggunaan bahan antifouling yang ramah lingkungan dapat meminimalisir pencemaran lingkungan, salah satunya ialah dengan memanfaatkan senyawa bioaktif yang terkandung dalam suatu organisme. Didemnum molle merupakan salah satu spesies ascidian yang umum dijumpai di perairan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi potensi stok alami ascidian dan senyawa bioaktif Didemnum molle sebagai bahan antifouling. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu untuk pengamatan potensi stok ascidian, pengambilan sampel, dan uji aktivitas antifouling. Laboratorium Biokimia dan Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Pusat Studi Biofarmaka-LPPM IPB, dan Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB menjadi lokasi untuk analisis sampel Didemnum molle. Untuk penilaian potensi stok ascidian digunakan metode transek kuadrat. Sampel Didemnum molle selanjutnya mengalami proses ekstraksi, evaporasi, uji fitokimia, dan uji aktivitas antifouling dengan mengaplikasikannya pada 3 jenis substrat, yaitu beton, besi, dan kayu. Uji aktivitas antifouling dilakukan dengan 5 perlakuan (P1 = cat 100%; P2 = cat 75% + hasil ekstrak 25%; P3 = cat 50% + hasil ekstrak 50%; P4 = cat 25% + hasil ekstrak 75%; P5 = hasil ekstrak 100%). Penilaian potensi stok alami ascidian pada penelitian ini dilakukan di 5 stasiun pengamatan. Ditemukan 19 spesies dari 6 famili ascidian, dengan spesies dominan Didemnum molle (790 individu) dari Famili Didemnidae. Kepadatan tertinggi ascidian terdapat di Stasiun 2 (Selatan Pulau Panggang) sebesar 114 individu/m2. Pola sebaran ascidian pada umumnya seragam, kecuali untuk Didemnum molle yang memiliki pola sebaran mengelompok dengan Indeks Nilai Penting berkisar antara 74,26-300%. Hal tersebut menunjukkan peranan Didemnum molle yang penting secara ekologi dalam komunitas ascidian di perairan Pulau Pramuka. Hasil uji fitokimia menggunakan 7 senyawa uji hanya mendeteksi 3 senyawa, yaitu alkaloid, flavonoid, dan steroid. Senyawa alkaloid pada hasil ekstrak menggunakan pelarut metanol terdeteksi cukup kuat dibanding yang lain, sehingga hasilnya digunakan untuk uji aktivitas antifouling. Penambahan biota penempel paling banyak ditemukan pada substrat kayu, dan paling rendah pada substrat beton. Komposisi bahan cat dan hasil ekstrak yang paling efektif digunakan pada substrat beton P3 dan P4; efektif digunakan pada substrat besi P1, P2, dan P5; serta cukup efektif digunakan pada substrat kayu P1. Adapun yang menjadi macrofouling pada penelitian ini ialah biota yang menjadi sumber ekstrak,yaitu Didemnum molle.

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya 2. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah 3. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EKSPLORASI POTENSI DAN FUNGSI SENYAWA BIOAKTIF ASCIDIAN Didemnum molle SEBAGAI ANTIFOULING

ULFA NI’MAL AULIA C54070008

SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

SKRIPSI

Judul Skripsi

: EKSPLORASI POTENSI DAN FUNGSI SENYAWA BIOAKTIF ASCIDIAN Didemnum molle SEBAGAI ANTIFOULING

Nama Mahasiswa : Ulfa Ni’mal Aulia Nomor Pokok

: C54070008

Departemen

: Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui, Dosen Pembimbing Utama

Anggota

Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA, DAA NIP. 19590105 198312 1 001

Adriani Sunuddin, S.Pi NIP. 19790206 200604 2 013

Mengetahui, Ketua Departemen

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003

Tanggal Ujian: 15 November 2011

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “EKSPLORASI POTENSI DAN FUNGSI SENYAWA BIOAKTIF ASCIDIAN Didemnum molle SEBAGAI ANTIFOULING”. Penelitian ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan, yaitu Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada orang tua atas doa, dukungan, motivasi, dan pengertiannya bagi penulis; Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, DAA dan Adriani Sunuddin, S.Pi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan; Dr. Ir. Nurjanah, MS selaku dosen penguji atas saran-saran yang telah diberikan; para Dosen lainnya yang telah bersedia melayani penulis dalam diskusi dan pencarian literatur; Fisheries Diving Club (FDC-IPB) atas pendidikan dan pelatihan yang diberikan; ITK’44 atas dukungan dan kebersamannya; dan pihak lainnya yang telah memberi sumbang saran dan bantuan terhadap penelitian ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini banyak terdapat kekurangan sehingga saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2011

Ulfa Ni’mal Aulia

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR .............................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................

ix

1

PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1.2 Tujuan .......................................................................................

1 1 3

2

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 2.1 Ascidian .................................................................................... 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi ascidian Didemnum molle ............ 2.1.2 Pemanfaatan dan senyawa yang terkandung .......................... 2.2 Biofouling .................................................................................

4 4 6 8 9

3

METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 3.1 Waktu dan Lokasi ...................................................................... 3.2 Alat dan Bahan .......................................................................... 3.3 Penentuan Stasiun Pengamatan dan Pengambilan Sampel........... 3.4 Pengambilan Data Potensi Stok Alami ....................................... 3.5 Pengambilan Sampel dan Pembuatan Substrat ........................... 3.6 Ekstraksi dan Evaporasi Komponen Antifouling ........................ 3.7 Uji Fitokimia ............................................................................. 3.8 Uji Aktivitas Antifouling ........................................................... 3.9 Analisis Data ............................................................................. 3.9.1 Struktur komunitas ascidian ................................................. 3.9.2 Potensi stok alami ascidian ................................................... 3.9.3 Hasil ekstrak komponen bioaktif Didemnum molle ............... 3.9.4 Uji aktivitas antifouling ........................................................

11 11 11 12 14 15 15 17 21 22 22 25 26 27

4

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 4.1 Struktur Komunitas Ascidian ..................................................... 4.1.1 Kepadatan ascidian ............................................................... 4.1.2 Indeks keanekaragaman (H’) dan keseragaman (E) ascidian .. 4.2 Potensi Stok Alami dan Pola Sebaran Ascidian .......................... 4.3 Hasil Ekstrak Komponen Bioaktif Didemnum molle ................... 4.4 Uji Fitokimia ............................................................................. 4.5 Uji Aktivitas Antifouling ...........................................................

29 29 30 31 33 35 37 38

v

vi

5

KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 5.1 Kesimpulan ............................................................................... 5.2 Saran .........................................................................................

45 45 46

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................

47

LAMPIRAN ..........................................................................................

49

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..............................................................

58

DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis dan Beberapa Bentuk Pemanfaatan Ascidian .............................

9

2. Alat dan Bahan Penelitian ..................................................................

11

3. Kepadatan Ascidian di Lokasi Penelitian ............................................

30

4. Indeks Nilai Penting dan Indeks Dispersi Morisita Ascidian ...............

34

5. Nilai Rendemen Ekstrak Didemnum molle .........................................

35

6. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Didemnum molle .....................................

37

vii

DAFTAR GAMBAR Halaman 1.

Siklus Hidup Ascidian ......................................................................

6

2.

[A] Bentuk dan Struktur Tubuh Ascidian Dewasa; [B] Organ Dalam Ascidian Dewasa; [C] Didemnum molle ...........................................

7

3.

Tahapan Pertumbuhan Biofouling pada Substrat ...............................

10

4.

Lokasi Pengambilan Sampel dan Survei Potensi Stok Didemnum molle di Kepulauan Seribu ...............................................................

13

5.

Pengambilan Data Potensi Stok Alami .............................................

14

6.

Diagram Alir Proses Ekstraksi Tunggal .............................................

16

7.

Rancangan Penanaman Substrat Buatan ...........................................

22

8.

Komposisi Famili Ascidian di Lokasi Penelitian ..............................

29

9.

Nilai Rata- rata dan Standard Error (SE) H’ dan E Komunitas Ascidian di Lokasi Penelitian ...........................................................

32

10. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Microfouling pada Kayu ........................................................................................

39

11. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Macrofouling pada Substrat Kayu ..........................................................................

39

12. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Microfouling pada Besi .........................................................................................

40

13. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Macrofouling pada Besi .........................................................................................

40

14. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Microfouling pada Beton .......................................................................................

41

viii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Jumlah Individu dari Masing-Masing Spesies yang Ditemukan pada Penelitian ...................................................................................

49

2. Indeks Nilai Penting (INP) Ascidian di Kepulauan Seribu ..................

51

3. Hasil Uji Aktivitas Antifouling ...........................................................

52

4. Dokumentasi Kegiatan Penelitian .......................................................

53

5. Hasil Analisis Stastistik Menggunakan Software SAS ........................

55

ix

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negeri yang kaya dengan sumberdaya hayati yang menjadi penyusun kehidupan di lingkungan laut. Salah satu penyusun kehidupan di laut ialah biota yang hidupnya menempel pada substrat ataupun pada struktur tegakan yang terpapar air laut. Kehadiran biota penempel adalah peristiwa wajar yang dilakukan oleh kelompok bakteri, tumbuhan, dan hewan. Penempelan biota tersebut dapat juga terjadi pada berbagai infrastruktur, yaitu pada kapal dan bangunan pantai. Penempelan oleh biota penempel merupakan pengotoran biologis yang dikenal dengan istilah biofouling. Adapun jenis biota penempel yang umum dijumpai terdiri dari berbagai jenis, yaitu teritip, hidrozoid, moluska, bryozoa, ascidian, dan alga. Beberapa jenis biota penempel ada yang berpotensi invasif terhadap infrastruktur kelautan, sehingga menyebabkan kerusakan dan memperpendek umur dan daya guna infrastruktur, menambah biaya operasional, perawatan meningkat, selain itu dapat menimbulkan korosivitas pada infrastruktur tersebut. Contohnya teritip, yang menempel pada bangunan pantai dan kapal, yang pada kondisi tertentu dapat mengeluarkan suatu zat yang mampu merusak substrat yang ditumpanginya. Upaya yang dilakukan selama ini untuk mencegah pelekatan biota penempel yang merusak tersebut ialah dengan mengecat bangunan pantai dan kapal menggunakan cat antifouling yang mengandung logam berat. Penggunaan logam berat tersebut diduga sebagai salah satu sumber pencemaran logam berat yang

1

2

akan terakumulasi di laut, dan akhirnya berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Dalam rangka memperkecil dampak dari biofouling pada struktur bangunan yang selalu terendam air, maka diperlukan antifouling yang ramah lingkungan dan mengandung unsur alami untuk menghindari pencemaran lingkungan. Penerapan bioteknologi dalam rangka menghasilkan produk bahan alami yang berasal dari organisme laut umumnya tidak menimbulkan efek samping dan bersifat mudah terurai secara alami (biodegradable). Salah satu alternatif yang saat ini mulai dilirik untuk mencegah keberadaan biota penempel adalah dengan memanfaatkan kandungan bahan aktif yang berasal dari alam, khususnya laut. Usaha penanggulangan biota penempel menggunakan bahan aktif atau yang dikenal juga sebagai senyawa bioaktif ini merupakan alternatif yang lebih efisien dan ramah terhadap lingkungan (Linawati, 1998). Ascidian adalah salah satu biota laut yang belum banyak dikaji secara intensif, namun mempunyai potensi yang cukup besar di perairan Indonesia, yang habitatnya umum dijumpai di perairan terumbu karang. Biota yang termasuk dalam Filum Chordata ini mendiami hampir seluruh perairan di dunia daerah tropis, temperate, kutub, dan bahkan ada beberapa spesies yang ditemukan di laut dalam (Abrar, 2004). McClintock dan Baker (2001) mengemukakan bahwa ascidian ini merupakan biota bentik yang memiliki kemampuan untuk mengeluarkan metabolit sekunder pada proses metabolismenya sebagai pertahanan diri. Senyawa bioaktif yang dikeluarkan oleh ascidian ini dapat berfungsi sebagai antifouling, antikanker, antitumor, dan antivirus. Dalam kaitannya dengan eksplorasi potensi sumberdaya hayati laut yang

3

dimiliki oleh ascidian, kajian dalam penelitian ini diarahkan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan di bidang ilmu kelautan terkait senyawa bioaktif yang dimiliki ascidian Didemnum molle sebagai bahan potensial antifouling. Didemnum molle ini merupakan salah satu biota dari Famili Didemnidae, yang hidup berkoloni dan umum ditemukan di perairan Indonesia.

1.2. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengeksplorasi potensi stok alami ascidian dari jenis Didemnum molle di perairan Kepulauan Seribu, khususnya di sekitar Pulau Pramuka 2. Mengeksplorasi fungsi senyawa bioaktif yang diekstrak dari Didemnum molle sebagai bahan antifouling

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ascidian Ascidian merupakan nama bagi kelompok hewan yang termasuk ke dalam Kelas Ascidiacea, yang menyusun hampir sebagian besar jenis-jenis dalam Subfilum Urochordata dari Filum Chordata. Anatomi dari urochordata berbeda dengan hewan chordata lainnya, terutama vertebrata. Pada fase larva, urochordata memiliki tali syaraf (neural tube) dan notochord, namun akan hilang pada fase dewasa sehingga menyebabkan urochordata termasuk ke dalam invertebrata. Subfilum Urochordata ini terdiri dari empat kelas, yaitu Ascidiacea (ascidian), Sorbreacea (sorberacean), Thaliacea, dan Appendicularia (larvacean). Dari keempat kelas tersebut, Kelas Ascidiacea adalah kelas terbesar yang paling beragam (McClintock dan Baker, 2001). Ascidian ditemukan tersebar hampir di semua perairan laut, mulai dari zona dangkal litoral sampai zona abysal yang dalam, mendiami perairan tropis dan subtropis bahkan perairan dingin Antartika serta hidup dalam perairan bersih sampai tercemar berat. Kelompok tersebut ditemukan lebih melimpah dan beragam pada habitat dengan perairan yang relatif terlindung dan tercemar oleh bahan-bahan organik (Abrar, 2004). Kehadiran ascidian juga dibatasi oleh salinitas perairan yang berubah-ubah (fluktuasi) atau berkurang dari kadar normal air laut (30-32 ‰), namun beberapa jenis dapat bertahan dan ditemukan dalam jumlah melimpah (Abrar dan Manuputty, 2008). Ascidian ini merupakan invertebrata di ekosistem terumbu karang yang banyak menghasilkan senyawa bioaktif untuk farmakologi di mana hewan ini dapat berasosiasi dengan mikroba

4

5

fotosintetik dan mempunyai potensi molekular yang besar, karena kandungan metabolit sekundernya yang merupakan substansi bioaktif ini sangat berguna sebagai pertahanan diri organisme yang memproduksinya juga bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai antitumor/antikanker dan antibakteri/ antimikroba (Khoeri, 2009). Di alam, ascidian dimanfaatkan untuk menyaring bahan pencemar dari perairan, seperti logam berat dan bakteri. Kemampuan berbagai jenis ascidian untuk menyerap vanadium dan logam berat lainnya dari air laut merupakan salah satu keanehan fisiologi yang membedakan biota tersebut dari sebagian besar hewan lainnya (Michibata et al., 1986). Racun vanadium yang ada dalam tubuh ascidian digunakan untuk menghindari penempelan epibiota di tubuh biota tersebut (Stoecker, 1978). Selain itu, manusia juga dapat memanfaatkannya dalam bidang embriologi (ilmu mempelajari perkembangan embrio) serta mempelajari kekerabatan mereka yang dekat dengan hewan bertulang belakang (Estradivari et al., 2009). Ascidian merupakan biota hermafrodit yang dapat menghasilkan sel telur dan sperma dalam satu individu yang sama. Semua jenis ascidian melepaskan spermanya langsung di dalam perairan. Beberapa sel telur dilepaskan dan mengalami pembuahan secara eksternal. Setelah sel telur dibuahi akhirnya berkembang di perairan terbuka menjadi tadpole yang merupakan bentuk larva dari ascidian. Larva tersebut mengalami tahap free swimming dengan adanya notochord dan neural tube. Selain itu, ada juga sel telur yang dibuahi secara internal dan dierami sampai mereka menjadi larva tadpole, kemudian dilepaskan. Dalam hitungan jam, larva yang dilepaskan akan berubah bentuk menjadi ascidian

6

yang mendiami dasar perairan (substrat) dan dengan cepat akan kehilangan notochord dan neural tube (Colin dan Arneson, 1995). Siklus hidup dari ascidian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus Hidup Ascidian (Hickman et al., 1993 in Abrar, 2004)

2.1.1.Klasifikasi dan Morfologi Ascidian Didemnum molle Secara umum, ascidian dijumpai pada terumbu karang, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, sedangkan pada substrat pasir, lumpur, dan patahan karang keragamannya berkurang dan hanya ditempati oleh jenis-jenis ascidian tertentu (Monniot et al., 1991; Colin dan Arneson, 1995). Salah satu jenis ascidian yang mendominasi perairan Kepulauan Seribu adalah Didemnum molle (Setyawan et al., 2011). Berikut ini adalah sistem klasifikasi Didemnum molle (Monniot et al., 1991):

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Urochordata Kelas : Ascidiacea Ordo : Aplousobranchiata

7

Famili : Didemnidae Genus : Didemnum Spesies : Didemnum molle

Didemnum molle merupakan salah satu ascidian lunak yang paling sering muncul dan berada di dalam ekosistem terumbu karang, berbentuk membulat tampak seperti individu soliter pada pandangan sekilas, tetapi biota tersebut berkoloni yang tersusun oleh zooid yang sangat kecil tertanam dalam substrat. Warna dari biota ini umumnya hijau yang disebabkan oleh alga simbion yang ada pada tubuhnya (Allen, 1996). Visualisasi dari Didemnum molle disajikan pada Gambar 2C, sedangkan struktur morfologi ascidian secara umum ada pada Gambar 2A dan 2B.

C Gambar 2. (A) Bentuk dan Struktur Tubuh Ascidian Dewasa; (B) Organ Dalam Ascidian Dewasa; (C) Didemnum molle [Foto: Ulfa]

Menurut Colin dan Arneson (1995), Didemnum molle biasanya berada di area terumbu karang dan bebatuan di Samudera Pasifik dan Hindia. Biota ini

8

merupakan salah satu ascidian yang dapat hidup secara berkoloni dengan tubuhnya yang sangat lunak berwarna hijau dan keputihan. Warna hijau dari biota tersebut berasal dari alga Prochloron yang ada di dalam jaringan tubuhnya. 2.1.2.Pemanfaatan dan Senyawa yang Terkandung Kelas Ascidiacea merupakan satu-satunya kelas dari urochordata yang mewakili dalam literatur produk alami yang menunjukkan adanya metabolisme asam amino yang dominan (McClintock dan Baker, 2001). Ascidian telah banyak menarik perhatian sebagai salah satu sumber zat antikanker, antivirus, dan antitumor. Sebagai contohnya di Thailand telah ditemukan alkaloid (ectinascidin) yang berasal dari Ecteinascidia thurstoni yang bersifat sitotoksik untuk sel kanker payudara, paru-paru, dan jaringan nasofaring (Suwanborirux et al., 2001; Rinehart, 2000). Di Karibia, anggota Famili Didemnidae, yaitu Trididemnum solidum diketahui memiliki senyawa didemnim-B yang bersifat antivirus dan antitumor (Rinehart, 2000). Selain itu, ascidian juga mempunyai senyawa kimia untuk perlindungan dari radiasi UV. Sejumlah metabolit pun berasal dari ascidian seperti seri didemnidae berupa isolasi alkaloid dari Didemnum conchyliatum, ekstrak dari ascidian Ecteinascidia turbinate yang berisi alkaloid biologis aktif ecteinascidin, alkaloid tambjamine dari jenis Sigillina signifera, didemnim depsipeptide dari jenis Trididemnum solidum, dan alkaloid polyandrocarpidine dari jenis Polyandrocarpa sp. Adapula metabolit ascidian yang berpotensi sebagai antifouling yaitu alkaloid eudistomin dari jenis Eudistoma olivaceum, dan pelindung UV serta antioksidan berupa asam amino seperti mycosporine (McClintock dan Baker, 2001). Tabel 1

9

menunjukkan jenis-jenis ascidian yang umum ditemukan di perairan Indonesia dan memiliki potensi untuk dimanfaatkan (Abrar, 2004).

Tabel 1. Jenis dan Beberapa Bentuk Pemanfaatan Ascidian Jenis Pemanfaatan Lissoclinum patella Hasil ekstrak terdiri dari Ulit-hyacyclamide, Patellamides, Ascidicyclamides, dan Lissoclamides untuk pengobatan kanker dan leukemia Lissoclinum bistratum Ekstrak berupa polyether dengan dua fungsi Carboxamide, dalam bentuk bubuk Lyophilized merupakan toksik untuk investigasi paralisis mulut juga racun pada udang tingkat rendah Artemia salina Hampir semua jenis Bioindikator kondisi perairan, sehingga sering digunakan sebagai biota uji Bioassay Jenis dari Famili Styelidae Sebagai hidangan makanan laut (sea food) di beberapa negara (Jepang, Prancis, Yunani, Itali, dan Chili)

2.2. Biofouling Penempelan jasad renik akuatik atau umum dikenal dengan istilah biofouling pada sarana transportasi (kapal, perahu) dan bangunan yang ada di laut, dapat mengganggu kegiatan operasi alat serta mengurangi daya guna sarana tersebut. Biota penempel ini merupakan fenomena yang kehadirannya dapat menimbulkan kerugian dan kerusakan pada berbagai infrastruktur, seperti penghambatan laju kapal, gangguan presisi, kerusakan peralatan bawah air, dan mempercepat pelapukan kontruksi bangunan bawah air. Biofouling secara umum dibagi menjadi dua, yaitu microfouling (bakteri) dan macrofouling (teritip). Pencemaran (fouling) juga dapat menyebabkan permasalahan korosif logam, rusaknya struktur bangunan dan bahan pada bangunan pantai seperti dermaga, anjungan minyak, pelabuhan, dan tambak. Dalam rangka memperkecil dampak dari biofouling pada struktur bangunan yang selalu terendam air, dilakukan perlindungan dengan menggunakan antifouling. Beberapa antifouling yang digunakan memiliki sifat toksik/beracun pada

organisme laut. Sebagai contoh, konsentrasi tributyltin (TBT) dapat membunuh biota laut dalam seketika. Tahapan pertumbuhan biofouling disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Tahapan Pertumbuhan Biofouling pada Substrat

2. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian mengenai “Eksplorasi Potensi dan Fungsi Senyawa Bioaktif Ascidian Didemnum molle sebagai Antifouling” dilaksanakan selama 4 bulan, dimulai pada bulan Maret 2011 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Pengambilan sampel Didemnum molle dilakukan di Kepulauan Seribu, khususnya di sekitar Pulau Pramuka. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK-IPB; Pusat Studi Biofarmaka-LPPM IPB; Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA-IPB.

3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang digunakan saat eksplorasi potensi stok alami dan eksplorasi senyawa bioaktif. Daftar alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian

Tahapan

1. Pengambilan data

2. Pengambilan sampel

Alat eksplorasi potensi stok alami Alat scuba diving (AmScud) Rol meter 50 meter Transek kuadrat 1m × 1m Hand GPS Garmin eksplorasi senyawa bioaktif Alat scuba diving Timbangan digital Cool box

11

Bahan

Kamera underwater Sabak dan pensil

Es batu Kamera underwater Kertas label

12

Tahapan

3. Ekstraksi dan evaporasi

4. Uji fitokimia

5. Uji aktivitas antifouling

Alat Ember Keranjang Jaring Erlenmeyer Gelas ukur Orbital shaker Corong kaca Botol kaca Sudip Rotary vacuum evaporator Spot test Gelas ukur Kompor listrik Tabung reaksi Pipet Sudip Gegep Penangas air Cawan Vortek

Kuas Alat Dasar Selam Suntikan Tali tambang

Bahan Plastik Karet gelang

n-heksan Etil asetat Metanol Kertas saring Whatman Hasil ekstrak metanol Hasil ekstrak etil asetat Hasil ekstrak n-heksan NH3 Kloroform H2SO4 2M Pereaksi dragendroff Pereaksi meyer Pereaksi wagner Dietil eter H2SO4 pekat CH3COOH anhidrat Akuades Kamera underwater Bahan substrat kayu Bahan substrat besi Bahan substrat beton Hasil ekstrak metanol Cat biasa Sabak dan pensil

3.3. Penentuan Stasiun Pengamatan dan Pengambilan Sampel Penentuan stasiun pengamatan dan pengamblan sampel Didemnum molle dilakukan berdasarkan sampel acak yang mewakili beberapa bagian wilayah di sekitar Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Lokasi pengamatan dan pengambilan sampel ascidian Didemnum molle tersebut disajikan pada Gambar 4.

1

5

4

2

3

Gambar 4. Lokasi Pengambilan Sampel dan Survei Potensi Stok Didemnum molle di Kepulauan Seribu

14

3.4. Pengambilan Data Potensi Stok Alami Pengamatan potensi stok alami ini meliputi distribusi dan persentase tutupan ascidian. Pada masing-masing stasiun pengamatan, dibentangkan rol meter yang arahnya tegak lurus dengan garis pantai sebagai transek garis. Selanjutnya pada transek tersebut ditentukan empat titik pengambilan data yang dibedakan berdasarkan kedalaman, yakni pada kedalaman 3, 6, 9, dan 12 meter. Pengambilan data ascidian dilakukan dengan metode kuadrat (Suharsono, 1995), yaitu menggunakan besi berdiameter 8 mm, ukuran 1m × 1m yang diletakkan secara acak pada setiap titik sampling dan dilakukan sebanyak tiga ulangan. Jenis ascidian yang ditemukan pada setiap kuadrat dicatat dan dihitung serta diidentifikasi berdasarkan morfologi tubuh dan warna yang disesuaikan dengan buku identifikasi yang berjudul Tropical Pacific Invertebrate (Colin dan Arneson, 1995). Pengambilan data tersebut disajikan pada Gambar 5.

Transek kuadrat 1m x 1m

9m Rol meter

3m 6m

Tegak lurus dengan garis pantai Gambar 5. Pengambilan Data Potensi Stok Alami

12 m

15

3.5. Pengambilan Sampel dan Pembuatan Substrat Sampel Didemnum molle diambil di perairan Kepulauan Seribu, khususnya di sekitar Pulau Pramuka. Sampel tersebut kemudian disimpan di dalam coolbox selama perjalanan untuk menjaga kesegarannya, dan disimpan dalam freezer sampai akhirnya sampel tersebut akan diekstrak. Selama menunggu hasil laboratorium untuk memperoleh senyawa bioaktif dari Didemnum molle, dapat dilakukan pembuatan substrat untuk uji aktivitas antifouling. Substrat yang dibuat sebanyak tiga jenis substrat dengan jumlah masing-masing 18 kotak yang berukuran 10cm × 10cm. Adapun tiga jenis substrat ini terdiri dari bahan beton yang merupakan tiruan dari jenis bangunan pantai seperti dermaga dan pelabuhan; bahan besi yang merupakan tiruan dari bahan kapal laut atau pipa bawah laut; bahan kayu sebagai tiruan dari kapal nelayan atau bangunan pantai.

3.6. Ekstraksi dan Evaporasi Komponen Antifouling Senyawa bioaktif dapat diperoleh dengan beberapa cara, salah satunya ialah dengan metode ekstraksi. Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponen tersebut. Komponen yang dipisahkan dengan ekstraksi dapat berupa padatan atau cairan. Ada beberapa metode umum ekstraksi yang dapat dilakukan, namun metode yang banyak digunakan adalah distilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut. Ekstraksi komponen antifouling dilakukan dengan menghasilkan ekstrak kasar terlebih dahulu. Komponen antifouling ini diperoleh melalui ekstraksi

16

tunggal dengan menggunakan tiga jenis pelarut. Pelarut yang digunakan terdiri dari pelarut polar (metanol) untuk mengekstrak senyawa polar, semi polar (etil asetat) untuk mengekstrak senyawa semi polar, dan nonpolar (n-heksan) untuk memisahkan lemak (lipid) atau melarutkan senyawa nonpolar. Pelarutan menggunakan pelarut nonpolar hasil akhirnya lebih sedikit dibandingkan dengan pelarut polar dikarenakan zat-zat bermuatan (polar) umumnya yang terlibat dalam reaksi-reaksi untuk pemeriksaan kimia (Rivai, 1995). Sampel segar Didemnum molle yang disimpan dalam freezer di-thawing terlebih dahulu kemudian dipotong-potong dan dimaserasi menggunakan ketiga pelarut tersebut dengan banyak sampel yang telah dipotong-potong 50 gram pada masing-masing pelarut. Adapun banyaknya masing-masing pelarut yang digunakan untuk maserasi ialah 200 ml. Sampel yang dimaserasi tersebut dikocok menggunakan orbital shaker selama 24 jam. Hasil maserasi yang berupa larutan disaring menggunakan kertas saring Whatman sehingga dihasilkan residu dan filtrat. Diagram alir proses ekstraksi disajikan pada Gambar 6. Sampel basah 50 gram Pencacahan Maserasi dengan pelarut selama 24 jam Penyaringan

Pelarut PA (Pro Analisis)

Filtrat

Evaporasi

Residu Gambar 6. Diagram Alir Proses Ekstraksi Tunggal (Sumber: Quinn, 1988 in Safitri, 2010)

Hasil ekstrak

17

Hasil ekstrak (filtrat) yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel. Filtrat yang dihasilkan kemudian dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan ekstraknya. Proses evaporasi ini menggunakan rotary vacuum evaporator sehingga dihasilkan ekstrak kasar. Ekstrak kasar ini kemudian dimasukkan ke dalam botol dan ditutup rapat. Botol tersebut kemudian dilapisi alumunium foil agar tidak terjadi oksidasi dikarenakan botol yang digunakan berupa botol bening. Hasil ekstrak ini pun siap untuk diuji fitokimia dan uji aktivitas antifouling.

3.7. Uji Fitokimia Uji fitokimia merupakan analisis kualitatif yang mencakup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup (Harborne, 1987). Pada penelitian ini dilakukan uji fitokimia untuk menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar Didemnum molle masingmasing pelarut. Identifikasi kandungan kimia tersebut terdiri dari uji alkaloid, steroid/triterpenoid, fenolik, dan uji kuinon. a.

Uji Alkaloid Alkaloid adalah golongan terbesar dari senyawa hasil metabolisme sekunder

yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait, 2007). Senyawa alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau dua lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid yang mengandung heterosiklik biasanya disebut alkaloid sejati, sedangkan yang tidak

18 mengandung heterosiklik biasanya disebut protoalkaloid. Keduanya merupakan turunan dari asam amino (Harborne, 1987). Beberapa senyawa yang tergolong ke dalam alkaloid berperan sebagai pengatur pertumbuhan dan pemikat serangga (Suradikusumah, 1989). Pengujian keberadaan alkaloid dilakukan dengan cara mengambil sampel sebanyak 1 ml, kemudian diberi larutan NH3 1-3 tetes, dan dipanaskan beberapa saat. Setelah itu, ditambahkan larutan kloroform 5 ml, kemudian ditambahkan H2SO4 2M. Sampel dengan penambahan berbagai larutan kemudian dihomogenisasi. Lapisan asam yang terbentuk kemudian diambil dan dibagi menjadi tiga ke dalam spot test untuk diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu pereaksi dragendroff, meyer, dan wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi dragendroff terbentuk endapan merah hingga jingga, endapan putih dengan pereaksi meyer, dan endapan coklat dengan pereaksi wagner. b.

Uji Steroid/Triterpenoid Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari

enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik lebur yang tinggi, dan umumnya sulit dikarakterisasi karena secara kimia tidak reaktif (Harborne, 1987). Steroid merupakan triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Pada awalnya, steroid diduga merupakan senyawa yang hanya terdapat pada hewan (sebagai hormon seks dan asam empedu). Saat ini, senyawa tersebut telah ditemukan pada jaringan tumbuhan yang dikenal dengan fitosterol (Sirait, 2007).

19 Pengujian keberadaan triterpenoid/steroid dilakukan dengan cara mengambil sampel sebanyak 1 ml, kemudian diberi larutan dietil eter 1 ml, lalu dituangkan ke dalam cawan dan ditambahkan larutan H2SO4 pekat dan larutan CH3COOH anhidrat 1 tetes. Hasil uji dinyatakan positif dengan ditemukan kerak berwarna merah atau ungu untuk triterpenoid dan kerak warna hijau untuk steroid. c.

Uji Fenolik Uji fenolik pada penelitian ini terdiri dari tiga uji, yaitu uji flavonoid, uji

tanin, dan uji saponin. Flavonoid merupakan senyawa fenol terbanyak yang ditemukan di alam, dapat larut dalam air, dan dapat terekstraksi dengan etanol 70% (Suradikusumah, 1989). Flavonoid memiliki banyak kegunaan baik bagi tumbuhan maupun manusia. Flavonoid digunakan tumbuhan sebagai penarik serangga dan binatang lain untuk membantu proses penyerbukan dan penyebaran biji. Sedangkan bagi manusia, dalam dosis kecil flavon bekerja sebagai stimulan pada jantung, dan flavon yang terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait, 2007). Tanin merupakan substansi yang tersebar luas dalam tanaman, seperti daun, buah yang belum matang, batang dan kulit kayu. Pada buah yang belum matang, tanin digunakan sebagai energi dalam proses metabolisme dalam bentuk oksidasi tanin. Tanin juga sebagai sumber asam pada buah. Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan, bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne, 1987). Saponin bersifat toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Hal inilah

20

yang menyebabkan saponin dapat dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saponin yang beracun disebut sapotoksin (Sirait, 2007). Adapun cara untuk menguji keberadaan flavonoid, tanin, dan saponin dengan cara menyediakan sampel sebanyak 2 ml yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambah akuades hingga 2 kali tinggi sampel. Setelah itu, sampel tersebut dipanaskan beberapa saat dan dibagi menjadi tiga untuk menguji keberadaan flavonoid, tanin, dan saponin. Cara untuk menguji keberadaan flavonoid dengan cara menambahkan sedikit serbuk magnesium, HCl pekat, dan amil alkohol ke dalam sampel. Kemudian dihomgenisasi dan akan terlihat lapisan amil alkohol pada bagian atas. Hasil uji positif sampel mengandung flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna jingga atau kuning pada lapisan amil alkohol. Cara untuk menguji keberadaan tanin dengan cara menambahkan 3 tetes FeCl3 10% ke dalam sampel, kemudian dihomogenisasi. Hasil uji positif sampel mengandung tanin ditunjukkan dengan terbentuknya warna hitam kehijauan. Cara untuk menguji keberadaan saponin dengan cara mengocok kuat sampel yang telah disiapkan sebelumnya. Hasil uji positif sampel mengandung saponin ditunjukkan dengan terbentuknya busa atau buih yang stabil sekitar 15 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N. d.

Uji Kuinon Kuinon merupakan senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar.

Kuinon dapat diidentifikasikan berdasarkan tujuannya menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama umumnya terhidroksilasi dan sering terdapat dalam sel sebagai

21 glikosida atau dalam bentuk kuinon tanpa warna, dan juga bentuk dimer. Isoprenoid kuinon terlihat dalam respirasi sel (ubikuinon) dan fotosintesis (plastokuinon) yang secara umum terdapat dalam tumbuhan (Suradikusumah, 1989). Adapun cara untuk menguji keberadaan kuinon dengan cara mengambil sampel sebanyak 1 ml, kemudian ditambahkan metanol 2 ml, dan dipanaskan selama beberapa saat. Setelah itu, ditambahkan NaOH 10% 1 ml. Hasil uji positif sampel mengandung kuinon ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah.

3.8. Uji Aktivitas Antifouling Uji aktivitas antifouling dilakukan beberapa tahap. Tahap pertama ialah percampuran cat dengan hasil ekstrak Didemnum molle yang terbaik dari hasil uji fitokimia. Setelah dilakukan pencampuran, cat tersebut dioleskan pada substrat yang telah disiapkan sebelumnya menggunakan kuas. Kemudian substrat tersebut ditanam di perairan yang banyak dijumpai biota penempel (khususnya teritip), salah satunya di area dermaga yang menjadi tempat singgahnya kapal. Lokasi penanaman substrat pada penelitian ini ialah di tiang-tiang dermaga Pulau Karya, dengan cara mengikatkan substrat buatan pada tiang-tiang tersebut. Pengamatan aktivitas antifouling dilakukan selama 1 bulan dengan melihat berapa banyak biota penempel dan apa saja yang menempel pada substrat setiap minggunya. Semua jenis substrat yang telah dibuat mengalami 5 perlakuan yang dibedakan dari komposisi bahan cat dan hasil ekstrak, yaitu 100% diolesi bahan cat (P1); 75% bahan cat ditambah 25% hasil ekstrak (P 2); 50% bahan cat ditambah

22

50% hasil ekstrak (P3); 25% bahan cat ditambah 75% hasil ekstrak (P 4); 100% diolesi hasil ekstrak (P5). Adapun yang menjadi kontrol dalam uji aktivitas antifouling ini ialah substrat yang tidak mengalami perlakuan apapun. Rancangan penanaman substrat buatan disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Rancangan Penanaman Substrat Buatan

3.9. Analisis Data 3.9.1.Struktur Komunitas Ascidian Pengambilan data jenis dan jumlah dari masing-masing spesies pada semua stasiun ditujukan untuk mengetahui struktur komunitas ascidian pada stasiun pengamatan. Data tersebut diolah sehingga dapat diketahui nilai Kepadatan, Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dispersi Morisita. Kepadatan menyatakan perbandingan jumlah individu per satuan luas, dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Brower et al., 1989):

23

Di =

................................................................................................................. (1)

Keterangan: Di

= Jumlah individu ke-i per satuan luas

Ni

= Jumlah individu ke-i

A

= Luas pengambilan data (m2)

Indeks Keanekaragaman (H’) digunakan untuk mendapatkan gambaran komunitas organisme secara matematis agar mempermudah analisis informasi jumlah individu masing-masing spesies dalam suatu komunitas (Odum, 1971). Keanekaragaman jenis ini dihitung dengan indeks Shannon-Wiener dengan rumus sebagai berikut: H’ =

......................................................................................... (2)

Keterangan: H’

= Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener

pi

= Perbandingan antara jumlah individu spesies ke-i (ni) dengan jumlah individu (N)

i

= 1, 2, ... n Kategori penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah sebagai berikut:

H’ < 1

= Keanekaragaman rendah

1 < H’ < 3

= Keanekaragaman sedang

H’ > 3

= Keanekaragaman tinggi

Indeks keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas. Semakin merata penyebaran individu antar spesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Indeks keseragaman menggunakan rumus sebagai berikut:

24

E=

............................................................................................................ (3)

Keterangan: E

= Indeks Keseragaman

H’

= Indeks Keanekaragaman

H’ max = Indeks Keanekaragaman maksimum (log2 S) S

= Jumlah total spesies Kategori nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1 dengan kategori

sebagai berikut: 0 < E < 0,4

= Keseragaman kecil, komunitas tertekan

0,4 < E < 0,6 = Keseragaman sedang, komunitas labil 0,6 < E < 1

= Keseragaman tinggi, komunitas stabil

Untuk mengetahui pola sebaran spesies Ascidian ditentukan dengan menghitung indeks dispersi Morisita (Brower et al., 1989) dengan persamaan:

………………………………………………………….…..… (4)

Id = Keterangan: Id

= Indeks Dispersi Morisita

n

= Jumlah plot pengambilan contoh

N

= Jumlah indvidu dalam n plot

X

= Jumlah individu pada setiap plot

Pola dispersi ascidian ditentukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut (Brower et al., 1989): Id < 1 : Pola dispersi seragam Id = 1 : Pola dispersi acak Id > 1 : Pola dispersi mengelompok

25 3.9.2. Potensi Stok Alami Ascidian Data potensi stok alami ascidian dianalisis berdasarkan kepadatan, frekuensi kemunculan jenis yang ditemukan, dan dominansi yang selanjutnya menentukan Indeks Nilai Penting (INP) jenis tersebut. INP digunakan untuk menghitung dan menduga dari peranan satu spesies atau jenis di dalam suatu komunitas (Brower et al., 1989). Semakin tinggi nilai INP suatu spesies relatif terhadap spesies lainnya, maka semakin tinggi peranan spesies tersebut dalam komunitasnya (Fachrul, 2007). INP dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kepadatan Relatif (RDi), Frekuensi Relatif (RFi), dan Dominansi Relatif (RCi) (Soerianegara dan Indrawan, 2005).

RDi =

....................................................................................... (5)

Keterangan: RDi

= Kepadatan relatif

Ni

= Jumlah individu = Jumlah total individu seluruh spesies

Fi =

............................................................................................................ (6)

Keterangan: Fi

= Frekuensi jenis ke-i

Pi

= Jumlah Kuadran pengamatan ditemukannya suatu jenis = Jumlah seluruh kuadran pengamatan

RFi =

........................................................................................ (7)

Keterangan: RFi

= Frekuensi relatif

Fi

= Frekuensi jenis ke-i = Jumlah frekuensi seluruh jenis

Ci =

.................................................................................................................. (8)

Keterangan: Ci

= Luas area yang tertutupi spesies ke-i

ai

= Luas total penutupan spesies ke-i

A

= Luas total pengambilan contoh

RCi =

....................................................................................... (9)

Keterangan: RCi

= Penutupan relatif

Ci

= Luas area yang tertutupi spesies ke-i = Penutupan seluruh spesies

INP = RDi + RFi + RCi …................................................................................. (10) Keterangan: INP

= Indeks Nilai Penting

RDi

= Kepadatan relatif

RFi

= Frekuensi relatif

RCi

= Penutupan relatif

3.9.3. Hasil Ekstrak Komponen Bioaktif Didemnum molle Untuk mengetahui persentase dari sampel yang terekstraksi atau yang dikenal dengan istilah rendemen ekstrak kasar pada suatu sampel digunakan rumus sebagai berikut:

27

NRE =

…........................................................................................ (11)

Keterangan: NRE = Nilai rendemen ekstrak (%) b1

= Bobot sampel awal

b2

= Bobot akhir (hasil ekstrak)

3.7.4. Uji Aktivitas Antifouling Data yang diperoleh dari hasil uji aktivitas antifouling ialah berupa data pertambahan macrofouling. Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial in time. Faktor pertama adalah jenis substrat yang terdiri dari 3 taraf, yaitu kayu, besi, dan beton. Faktor kedua adalah perlakuan dengan komposisi bahan cat dan hasil ekstrak yang terdiri dari 6 taraf, yaitu Kontrol tanpa perlakuan apapun (K); 100% diolesi bahan cat (P1); 75% bahan cat ditambah 25% hasil ekstrak (P 2); 50% bahan cat ditambah 50% hasil ekstrak (P3); 25% bahan cat ditambah 75% hasil ekstrak ( P4); 100% diolesi hasil ekstrak (P5). Masing-masing kombinasi perlakuan mendapat 3 ulangan. Model matematika rancangan tersebut menurut Steel dan Torrie (1991): Yijk = µ + Yj + Pyij + εij ...................................................................................... (12)

28

Keterangan: Yijk

= Variabel respon akibat pengaruh substrat ke-i dan perlakuan ke-j pada ulangan ke-k

µ

= Nilai tengah umum

Pi

= Pengaruh substrat level ke-i

Yj

= Pengaruh perlakuan level ke-j

Pyij

= Pengaruh interaksi antara substrat ke-i dengan perlakuan ke-j

εij

= Pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan ke-ij

Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan Analisis Ragam (ANOVA) yang dioperasikan dengan bantuan software SAS. Jika hasil analisis ragam berbeda nyata atau berpengaruh nyata, data tersebut akan diuji lanjut dengan uji Duncan. Adapun peubah yang diamati adalah jumlah macrofouling yang menempel pada substrat.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Struktur Komunitas Ascidian Pengambilan data jenis dan jumlah dari masing-masing spesies di semua stasiun pengamatan dilakukan untuk mengetahui struktur komunitas ascidian di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Diagram mengenai komposisi famili dari seluruh stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 8.

Polyclinidae, 1 Polycitoridae, 93

Styelidae, 8

Ascidiidae, 1 Diazonidae, 165

Didemnidae, 945

Gambar 8. Komposisi Famili Ascidian di Lokasi Penelitian

Di perairan Kepulauan Seribu, khususnya di perairan sekitar Pulau Pramuka ditemukan 19 spesies dari 6 famili ascidian, dengan spesies dominan Didemnum molle (n = 790 individu) dari Famili Didemnidae. Hal tersebut menunjukkan bahwa spesies Didemnum molle sangat adaptif sesuai dengan pengamatan jangka panjang yang dilakukan oleh Yayasan TERANGI pada tahun 2005-2009 (Setyawan et al., 2011) menyatakan bahwa spesies Didemnum molle termasuk ke

30

dalam 10 jenis makrobentos dengan kepadatan tertinggi (urutan kelima) di wilayah Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS). Data yang diperoleh kemudian diolah untuk mengetahui korelasi struktur komunitas ascidian berdasarkan nilai Kepadatan, Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E). 4.1.1. Kepadatan Ascidian Hasil pengamatan yang dilakukan di lima stasiun penelitian ini memiliki kepadatan yang berbeda-beda, sebagaimana disajikan dalam pada Tabel 3.

Tabel 3. Kepadatan Ascidian di Kepulauan Seribu [Keterangan: - tidak ditemukan adanya jenis ascidian tertentu]

Stasiun

1

2

3

Spesies Didemnum molle Polycarpa argentata Didemnum sp. Clavelina robusta Clavelina flava Leptoclinides reticulatus Clavelina moluccensis Clavelina obesa Rhopalaea sp. Pseudodistoma fragilis Aplidium breviventer Lissoclinum patella Jumlah Didemnum molle Rhopalaea sp. Didemnum sp. Clavelina cyclus Jumlah Didemnum molle Clavelina flava Diplosoma virens Polycarpa argentata Didemnum mosleyi Polycarpa captiosa Didemnum rubeum Phallusia sp. Rhopalaea sp.

Kepadatan (ind/m2) 3m 6m 9m 12m 11,00 5,67 2,67 1,33 0,33 0,33 1,00 0,33 1,00 0,67 1,00 2,67 2,33 2,33 2,00 6,67 21,67 0,33 0,33 0,33 11,66 12,67 13,33 26,33 41,33 18,67 6,33 13,00 7,00 4,67 8,00 1,67 13,67 48,33 18,67 26,34 21,00 11,33 2,67 0,33 7,67 8,00 1,00 0,33 0,33 3,33 1,00 0,33 0,67 2,33 0,67 0,33 5,00 -

Total 20,67 0,33 0,33 1,33 1,00 4,34 2,33 2,33 30,34 0,33 0,33 0,33 63,99 79,33 19,67 1,67 13,67 114,34 14,00 0,33 15,67 1,33 4,66 1,00 3,00 0,33 5,00

31

Stasiun 4

5

Spesies Jumlah Didemnum molle Jumlah Didemnum molle Didemnum mosleyi Clavelina sp. Didemnum sp. Jumlah

Kepadatan (ind/m2) 3m 6m 9m 12m 11,66 9,33 22,00 2,33 35,67 23,33 15,67 13,67 35,67 23,33 15,67 13,67 14,33 7,33 14,00 25,33 0,33 16,67 9,67 3,67 1,00 24,33 27,67 15,00 25,33

Total 45,32 88,34 88,34 60,99 17,00 9,67 4,67 92,33

Tabel 3 menunjukkan bahwa kepadatan ascidian di setiap stasiun pada masing-masing kedalaman berbeda-beda. Kepadatan tertinggi terdapat di Stasiun 2 pada kedalaman 3 meter, sedangkan yang terendah terdapat di Stasiun 3 pada kedalaman 12 meter. Stasiun 2 terletak di Selatan Pulau Panggang yang memiliki kondisi perairan tampak jernih dengan penutupan karang lunak dan karang keras yang cukup tinggi. Perairan di Timur Gosong Sekati merupakan stasiun pengamatan ketiga (Stasiun 3) dengan kondisi tutupan karang terumbu yang tergolong buruk, serta didominasi substrat pasir dan patahan karang. Menurut Colin dan Arneson (1995), ascidian umumnya dijumpai di habitat karang terumbu, baik yang didominasi karang hidup maupun yang sudah mati, sedangkan pada substrat pasir, lumpur, dan patahan karang keragaman ascidian berkurang dan hanya ditempati oleh jenis-jenis tertentu. Adanya perbedaan kedalaman bukan menjadi faktor utama yang menyebabkan tinggi atau rendahnya kepadatan ascidian. Hal tersebut terlihat dari variabilitas nilai kepadatan yang tinggi untuk komunitas ascidian dari masing-masing kedalaman. 4.1.2.Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E) Ascidian Berdasarkan jumlah spesies dan jumlah individu pada setiap stasiun pengamatan, maka dihasilkan nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks

32

keseragaman berupa rataannya. Diagram mengenai nilai rata-rata H’ dan E disajikan pada Gambar 9.

2.00

Nilai H' dan E

1.50

1.00

0.50

0.00 1 -0.50

2

3

4

5

Stasiun Pengamatan H'

E

Gambar 9. Nilai Rata-rata dan Standard Error (SE) H’ dan E Komunitas Ascidian di Lokasi Penelitian

Stasiun 1 (Selatan Karang Lebar), memiliki nilai keanekaragaman 1,36 dan keseragaman 0,56, yang mengindikasikan bahwa sekitar 56% populasi tersebar merata pada seluruh spesies yang ada di lokasi tersebut. Di stasiun ini ditemukan 12 spesies dengan populasi tertinggi untuk Rhopalaea sp., khususnya pada kedalaman 12 meter. Stasiun 2 (Selatan Pulau Panggang), memiliki nilai keanekaragaman 1,08 dan keseragaman 0,80, yang mengindikasikan bahwa sekitar 80% populasi tersebar merata pada seluruh spesies yang ada di lokasi tersebut. Di stasiun ini ditemukan 4 spesies dengan populasi tertinggi untuk Didemnum molle, khususnya pada kedalaman 3 meter.

33

Stasiun 3 (Timur Gosong Sekati), memiliki nilai keanekaragaman 1,31 dan keseragaman 0,61, yang mengindikasikan bahwa sekitar 61% populasi tersebar merata pada seluruh spesies yang ada di lokasi tersebut. Di stasiun ini ditemukan 9 spesies dengan populasi tertinggi untuk Diplosoma virens, khususnya pada kedalaman 9 meter. Stasiun 4 (Timur Pulau Pramuka) memiliki nilai keanekaragaman dan keseragaman 0 (nol). Hal ini terjadi dikarenakan di Stasiun 4 hanya terdapat satu spesies (Didemnum molle) dalam transek pengambilan data. Stasiun 5 (Utara Pulau Pramuka), memiliki nilai keanekaragaman 0,92 dan keseragaman 0,62, yang mengindikasikan bahwa sekitar 62% populasi tersebar merata pada seluruh spesies yang ada di lokasi tersebut. Di stasiun ini ditemukan 4 spesies dengan populasi tertinggi untuk Didemnum molle, khususnya pada kedalaman 12 meter.

4.2. Potensi Stok Alami dan Pola Sebaran Ascidian Potensi stok alami dilihat berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP) yang menggambarkan peranan suatu spesies relatif terhadap spesies lainnya dalam suatu komunitas. Semakin besar INP berarti semakin tinggi peranan spesies tertentu dalam komunitas. Kisaran INP menunjukkan apakah spesies tertentu mempunyai peranan yang besar, sedang, atau rendah. Pada penelitian ini, INP dianalisis per stasiun pengamatan karena jarak antar stasiun cukup jauh sehingga memiliki karakteristik yang berbeda. Adapun untuk mengetahui pola sebaran ascidian ditentukan dengan Indeks Dispersi Morisita (Id). INP dan Id pada masing-masing stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 4.

34

INP pada masing-masing stasiun pengamatan dari spesies yang ditemukan di Kepulauan Seribu sangat bervariasi, mulai dari 6,05-300% dengan pola sebaran secara umum seragam.

Tabel 4. Indeks Nilai Penting dan Indeks Dispersi Morisita Ascidian [Keterangan: St stasiun; - tidak ditemukan adanya jenis ascidian tertentu; Id < 1 seragam; Id = 1 acak; Id > 1 mengelompok]

Jenis Aplidium breviventer Clavelina cyclus Clavelina flava Clavelina moluccensis Clavelina obesa Clavelina robusta Clavelina sp. Didemnum molle Didemnum mosleyi Didemnum rubeum Didemnum sp. Diplosoma virens Leptoclinides reticulatus Lissoclinum patella Phallusia sp. Polycarpa argentata Polycarpa captiosa Pseudodistoma fragilis Rhopalaea sp.

St 1 6,05 8,15 12,35 12,35 14,20 85,09 6,05 28,65 6,05 6,05 6,05 108,96

Indeks Nilai Penting (%) St 2 St 3 St 4 35,01 7,73 183,22 74,26 300,00 39,33 25,74 14,03 81,62 7,73 18,38 16,92 67,73 28,31 -

St 5 32,05 176,58 59,04 32,33 -

Id

Sebaran

-0,0115 0,0456 -0,0181 -0,0156 -0,0156 -0,0408 0,0295 2,0150 0,1362 -0,0469 -0,0118 0,1725 -0,0544 -0,0208 -0,0559 -0,0136 -0,0569 -0,0208 0,4069

Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Mengelompok Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam

Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa Didemnum molle paling dominan dibandingkan dengan spesies lain yang kehadirannya berada di semua stasiun dengan INP yang cukup tinggi (74,26-300%). Stasiun 4 (Timur Pulau Pramuka) memperoleh nilai tertinggi sebesar 300% dikarenakan pengambilan data menggunakan kuadrat secara acak, di mana di stasiun tersebut hanya ditemukan satu spesies (Didemnum molle), sehingga INP yang diperoleh merupakan nilai maksimum. Stasiun 1 dan 3, INP Didemnum molle memiliki nilai tertinggi kedua di mana nilainya tidak berbeda jauh, sedangkan di stasiun 2 dan 5 memiliki nilai

35

tertinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa Didemnum molle memiliki peranan besar pada komunitas ascidian. Pola penyebaran Ascidian dengan Indeks Dispersi Morisita secara umum seragam. Pada Tabel 4 terlihat bahwa Ascidian jenis Didemnum molle memiliki pola sebaran yang berbeda dengan spesies lain, yaitu sebaran mengelompok. Hal tersebut dikarenakan spesies ini cukup berlimpah dibanding spesies lainnya dan ditemukan pada semua stasiun pengamatan dan hampir ditemukan di semua kedalaman. Pada spesies lainnya, nilai Id < 1 yang menandakan spesies tersebut memiliki pola sebaran seragam dengan frekuensi kemunculan yang lebih sedikit dibandingkan dengan spesies Didemnum molle. 4.3. Hasil Ekstrak Komponen Bioaktif Didemnum molle Ekstraksi merupakan peristiwa pemindahan zat terlarut antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Rendemen Ekstrak Didemnum molle Jenis Pelarut Bobot Awal (g) Bobot Akhir (g) n-Heksan 50,15 2,14 Etil Asetat 50,02 5,96 Metanol 50,32 34,23

Rendemen (%) 4,27 11,91 68,03

Ekstraksi dengan pelarut n-heksan bertujuan untuk memisahkan lemak (lipid), pelarut etil asetat untuk mengekstrak senyawa semi polar, dan pelarut metanol untuk mengekstrak senyawa polar. Proses evaporasi dari filtrat Didemnum molle dengan ketiga jenis pelarut menghasilkan ekstrak kasar dengan karakteristik yang berbeda-beda. Ekstrak nheksan berwarna kuning tua, ekstrak etil asetat berwarna hijau kehitaman, dan

36

ekstrak metanol memiliki warna hijau tua. Hasil ekstrak menggunakan ketiga jenis pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda sehingga menghasilkan rendemen ekstrak yang berbeda-beda. Tabel 5 menunjukkan bahwa rendemen dengan pelarut polar (metanol) memiliki nilai yang cukup tinggi dibanding pelarut lainnya. Menurut Rivai (1995), pelarutan zat-zat yang tak bermuatan (nonpolar) itu tidak penting karena zat-zat bermuatan (polar) inilah umumnya yang terlibat dalam reaksi-reaksi untuk pemeriksaan kimia. Penggunaan pelarut metanol yang merupakan salah satu pelarut polar akan lebih banyak terjadi reaksi-reaksi yang menyebabkan terbentuknya senyawa kompleks yang terikat secara kimia sehingga rendemennya lebih banyak dibandingkan dengan pelarut lainnya. Pelarut etil asetat yang merupakan pelarut semi polar memiliki rendemen lebih besar dibanding pelarut nheksan (nonpolar), hal tersebut menunjukkan bahwa semakin polar suatu pelarut maka semakin banyak senyawa kompleks yang terbentuk sehingga menghasilkan rendemen ekstrak yang lebih tinggi. Apabila dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, hasil ekstrak metanol pada penelitian ini sangat tinggi (mencapai 68%) yang diakibatkan karena hasil evaporasi berupa cairan pekat, diduga kadar air dalam hasil ekstrak tersebut masih tinggi. Menurut Rivai (1995) menyatakan bahwa semakin polar suatu pelarut maka kecenderungan dalam membentuk air akan semakin tinggi. sehingga hasil ekstrak metanol akan memiliki kadar air yang jauh lebih tinggi dibanding pelarut lainnya.

37

4.4. Uji Fitokimia Hasil ekstrak Didemnum molle menggunakan tiga pelarut yang berbeda, yaitu n-heksan (nonpolar), etil asetat (semi polar), dan metanol (polar) diuji komponen bioaktifnya menggunakan uji fitokimia. Hasil uji fitokimia ekstrak Didemnum molle disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Didemnum molle [Keterangan : +++ sangat kuat, ++ kuat, + lemah, - tidak terdeteksi]

Jenis Uji

Jenis Pelarut n-Heksan Etil Asetat 1 2 1 2

Metanol 1 2

Alkaloid a. Dragendroff b. Meyer c. Wagner Triterpenoid Steroid Flavonoid

-

+ -

++

+ -

++ + + -

+ ++ + -

Tanin Saponin Kuinon

-

-

-

-

-

-

Standar (Warna)

Endapan merah atau jingga Endapan putih Endapan coklat Kerak merah atau ungu Kerak hijau atau biru Lapisan amil alkohol warna jingga atau kuning Warna hitam kehijauan Terbentuk busa Warna merah

Tabel 6 tersebut menunjukkan bahwa Didemnum molle memiliki beberapa kandungan senyawa yang terdeteksi dalam uji fitokimia. Dari tujuh senyawa yang diuji, terdeteksi ada tiga senyawa yang terkandung pada sampel Didemnum molle, yaitu senyawa alkaloid, flavonoid, dan steroid. Banyaknya senyawa yang tidak terdeteksi diduga sebagai akibat dari sampel basah Didemnum molle yang diekstraksi kemudian dievaporasi hingga dalam bentuk cairan pekat ini masih memiliki kadar air yang masih tinggi. Pada penelitian ini, dari tiga senyawa yang terdeteksi dalam analisis fitokimia, dipilih hasil ekstrak metanol sebagai hasil ekstrak terbaik dikarenakan senyawa alkaloid yang terdeteksi lebih kuat dibanding yang lain. Menurut Sirait

38

(2007), alkaloid adalah golongan terbesar dari senyawa hasil metabolisme sekunder yang terbentuk. Berdasarkan lokasi atom nitrogen di dalam stuktur alkaloid, alkaloid terbagi menjadi beberapa golongan dengan fungsi yang berbeda. Selain itu, yang menjadi pertimbangan digunakannya senyawa alkaloid tersebut ialah pernyataan McClintock dan Baker (2001) yang mengemukakan bahwa salah satu ascidian yang berpotensi sebagai antifouling adalah Eudistoma olivaceum yang memiliki senyawa alkaloid eudistomin.

4.5. Uji Aktivitas Antifouling Uji aktivitas antifouling dilakukan dengan mencampurkan cat dengan hasil ekstrak terbaik yang diperoleh dari hasil uji fitokimia sebelumnya. Adapun hasil uji fitokimia yang terbaik ialah hasil ekstrak dengan pelarut metanol. Setelah ditentukan hasil ekstrak terbaik tersebut, kemudian pencampuran dengan cat dilakukan dengan komposisi-komposisi tertentu yang kemudian dioleskan pada substrat buatan. Adapun penentuan lokasi penempelan substrat buatan ini meliputi area dermaga yang banyak ditemukan macrofouling (teritip) ialah di Pulau Karya. Hasil uji aplikasi lapang penempelan microfouling dan macrofouling pada substrat yang telah dilakukan selama 1 bulan disajikan pada Gambar 10 sampai Gambar 14.

Kisaran Nilai Luas Tutupan Substrat

39

5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Kontrol

P1

P2

P3

P4

P5

Pengamatan Minggu ke-1

Minggu ke-2

Minggu ke-3

Minggu ke-4

Gambar 10. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Microfouling pada [Keterangan : P1 (100% diolesi bahan cat); P2Kayu (75% bahan cat ditambah 25% hasil ekstrak ); P3 (50% bahan cat ditambah 50% hasil ekstrak); P4 (25% bahan cat ditambah 75% hasil ekstrak); P5 (100% diolesi hasil ekstrak) Nilai 0 menandakan tidak ada; 0-0,9 menandakan sekitar 1/6 dari luasan substrat; 1-1,9 menandakan sekitar 2/6 dari luasan substrat; 2-2,9 menandakan sekitar 3/6 dari luasan substrat; 3-3,9 menandakan sekitar 4/6 dari luasan substrat; 4-4,9 menandakan sekitar 5/6 dari luasan substrat; 5 menandakan seluruh luasan substrat telah ditumbuhi microfouling]

Jumlah Macrofouling (Individu)

16 14 12 10 8

6 4 2 0 -2

Kontrol

P1

P2

P3

P4

P5

Pengamatan Minggu ke-1

Minggu ke-2

Minggu ke-3

Minggu ke-4

Gambar 11. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Macrofouling pada [Keterangan : P1 (100% diolesi bahan cat); P2Kayu (75% bahan cat ditambah 25% hasil ekstrak ); P3 (50% bahan cat ditambah 50% hasil ekstrak); P4 (25% bahan cat ditambah 75% hasil ekstrak); P5 (100% diolesi hasil ekstrak)]

Kisaran Nilai Luas Tutupan Substrat

40

5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Kontrol

P1

P2

P3

P4

P5

Pengamatan Minggu ke-1

Minggu ke-2

Minggu ke-3

Minggu ke-4

Gambar 12. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Microfouling pada [Keterangan : P1 (100% diolesi bahan cat); P2Besi (75% bahan cat ditambah 25% hasil ekstrak ); P3 (50% bahan cat ditambah 50% hasil ekstrak); P4 (25% bahan cat ditambah 75% hasil ekstrak); P5 (100% diolesi hasil ekstrak) Nilai 0 menandakan tidak ada; 0-0,9 menandakan sekitar 1/6 dari luasan substrat; 1-1,9 menandakan sekitar 2/6 dari luasan substrat; 2-2,9 menandakan sekitar 3/6 dari luasan substrat; 3-3,9 menandakan sekitar 4/6 dari luasan substrat; 4-4,9 menandakan sekitar 5/6 dari luasan substrat; 5 menandakan seluruh luasan substrat telah ditumbuhi microfouling]

Jumlah Macrofouling (Individu)

1.7

1.2

0.7

0.2 Kontrol

P1

P2

-0.3

P3

P4

P5

Pengamatan Minggu ke-1

Minggu ke-2

Minggu ke-3

Minggu ke-4

Gambar 13. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Macrofouling pada [Keterangan : P1 (100% diolesi bahan cat); P2Besi (75% bahan cat ditambah 25% hasil ekstrak ); P3 (50% bahan cat ditambah 50% hasil ekstrak); P4 (25% bahan cat ditambah 75% hasil ekstrak); P5 (100% diolesi hasil ekstrak)]

41

5.5 Kisaran Nilai Luas Tutupan Substrat

5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5

Kontrol

P1

P2

P3

P4

P5

Pengamatan Minggu ke-1

Minggu ke-2

Minggu ke-3

Minggu ke-4

Gambar 14. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Microfouling pada [Keterangan : P1 (100% diolesi bahan cat); PBeton 2 (75% bahan cat ditambah 25% hasil ekstrak ); P 3 (50% bahan cat ditambah 50% hasil ekstrak); P4 (25% bahan cat ditambah 75% hasil ekstrak); P5 (100% diolesi hasil ekstrak) Nilai 0 menandakan tidak ada; 0-0,9 menandakan sekitar 1/6 dari luasan substrat; 1-1,9 menandakan sekitar 2/6 dari luasan substrat; 2-2,9 menandakan sekitar 3/6 dari luasan substrat; 3-3,9 menandakan sekitar 4/6 dari luasan substrat; 4-4,9 menandakan sekitar 5/6 dari luasan substrat; 5 menandakan seluruh luasan substrat telah ditumbuhi microfouling]

Gambar 10 menunjukkan penambahan jumlah microfouling pada substrat kayu semakin banyak pada setiap minggunya. Gambar 11 menunjukkan bahwa penambahan jumlah macrofouling pada substrat kayu paling banyak ditemukan pada substrat yang menjadi kontrol. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh penambahan komposisi bahan cat dan hasil ekstrak yang dioleskan pada substrat kayu. Substrat P1 mengalami penambahan yang lebih rendah menunjukkan adanya pengaruh komposisi hasil ekstrak dalam mengundang biota macrofouling berupa ascidian, terlihat dengan lebih besarnya penambahan biota macrofouling pada P5. Hal tersebut serupa dengan dominasi Balanus amphitrite yang disebabkan oleh senyawa arthropodine yang diproduksinya sehingga spesies teritip yang sama akan berkumpul dan tumbuh hingga terjadi penumpukkan

42

(Boesono, 2008). Pada substrat kayu, P1 merupakan perlakuan yang cukup efektif. Gambar 12 menunjukkan penambahan jumlah microfouling pada substrat besi semakin banyak pada setiap minggunya. Dari Gambar 13 diketahui bahwa penambahan macrofouling tertinggi teramati pada P4. Berbeda dengan substrat kayu, pada substrat besi ini diduga bahwa hasil olesan bahan ekstrak pada P5 tidak menempel pada besi tersebut, sehingga P5 tampak sama dengan kontrol yang tidak mengalami perlakuan apapun. Hal tersebut terjadi karena bahan besi yang licin dan diolesi oleh hasil ekstrak 100% tanpa ada bahan cat yang dapat merekatkan olesan tersebut. Pada substrat besi, P1, P2, dan P5 merupakan perlakuan yang efektif dikarenakan tidak ditemukannya macrofouling pada perlakuan tersebut. Gambar 14 menunjukkan penambahan jumlah microfouling pada substrat beton semakin banyak pada setiap minggunya, akan tetapi pada P3 dan P4 memiliki penampakan microfouling lebih sedikit dibanding dengan yang lainnya. Pada substrat beton tidak ada penambahan macrofouling selama periode 1 bulan pengamatan. Hal tersebut terjadi dikarenakan pada penempatan substrat beton tersebut ditemukan predator seperti bulu babi (Diadema setosum) yang merupakan biota filter feeder dan grazing. Diduga dengan keberadaan predator tersebut telah memakan microfouling dan larva biota yang akan menempel, sehingga memutus siklus terbentuknya macrofouling. Pada substrat beton P3, dan P4 merupakan perlakuan yang paling efektif dikarenakan penambahan microfouling di minggu keempat bernilai lebih rendah dibanding perlakuan yang lain.terbentuknya macrofouling. Pada substrat beton, P3, dan P4 merupakan Berdasarkan hasil-hasil tersebut, menunjukkan bahwa faktor substrat dan

43

perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap penambahan jumlah biota setiap minggunya. Terlihat adanya tingkat kesukaan dari biota penempel untuk tumbuh pada subsrat, terutama pada jenis kayu tampak jelas lebih disukai dibanding substrat yang lainnya. Macrofouling yang menempel pada substrat buatan merupakan biota yang menjadi asal bahan ekstrak yang ditujukan sebagai antifouling pada penelitian ini, yaitu Didemnum molle. Hal tersebut menandakan bahwa senyawa alkaloid polar pada Didemnum molle kurang sesuai digunakan sebagai antifouling yang ditunjukkan dengan adanya kecenderungan semakin banyak komposisi hasil ekstrak yang digunakan, akan semakin banyak biota penempelnya. Diduga adanya unsur-unsur tertentu dari Didemnum molle yang masih melekat pada hasil ekstrak sehingga menyebabkan banyaknya Didemnum molle yang menempel pada substrat buatan. Hal tersebut terjadi karena Didemnum molle merupakan hewan yang dapat berkoloni sehingga dapat mengundang jenisnya sendiri untuk tumbuh di sekitarnya. Menurut Setyawan et al. (2009), ascidian merupakan hewan yang mengandung vanadium pada jaringan tubuhnya di mana vanadium tersebut akan bersifat racun pada hewan lainnya sehingga menyebabkan suatu substrat yang telah ditumbuhi oleh suatu koloni dari jenis ascidian akan kecil kemungkinan untuk ditumbuhi oleh jenis biota lain. Penggunaan hasil ekstrak yang berasal dari Didemnum molle, diduga masih terdapat vanadium yang mengakibatkan hanya jenis Didemnum molle yang tumbuh pada substrat buatan tersebut dalam jangka waktu pengamatan 1 bulan ini.jenis Didemnum molle yang tumbuh pada substrat buatan tersebut dalam jangka waktu pengamatan 1 bulan ini.

44

Analisis ragam terhadap substrat, perlakuan, dan minggu memperlihatkan hasil yang berpengaruh nyata terhadap jumlah macrofouling dengan taraf nyata (α) 0,05 (Lampiran 4). Hal ini mengindikasikan bahwa jenis substrat dan perlakuan yang diamati setiap minggu menunjukkan peningkatan macrofouling yang menempel pada substrat buatan.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Didemnum molle merupakan salah satu spesies ascidian adaptif dengan Indeks Nilai Penting (INP) 74,26-300%, sehingga berperan penting secara ekologi pada komunitas ascidian. Dari 5 lokasi di perairan Pulau Pramuka yang disurvei, dijumpai 19 spesies ascidian, termasuk Didemnum molle. Kepadatan ascidian tertinggi terdapat di Stasiun 2 (Selatan Pulau Panggang). Pola sebaran ascidian umumnya seragam, kecuali untuk Didemnum molle yang memiliki pola sebaran mengelompok. Bioaktif Didemnum molle yang digunakan untuk uji aktivitas antifouling ialah senyawa alkaloid dari hasil ekstrak metanol. Komposisi bahan cat dan hasil ekstrak yang digunakan untuk uji aktivitas antifouling paling efektif diterapkan pada substrat beton P3 (cat 50% + hasil ekstrak 50%) dan P4 (cat 25% + hasil ekstrak 75%) berdasarkan lebih sedikitnya microfouling pada substrat tersebut. Hasil uji pada substrat besi bersifat efektif untuk P1 (cat 100%), P2 (cat 75% + hasil ekstrak 25%), dan P5 (hasil ekstrak 100%) berdasarkan ketiadaan macrofouling pada substrat tersebut, sedangkan pada substrat kayu hanya cukup efektif untuk P1. Senyawa alkaloid polar dari Didemnum molle kurang optimal sebagai antifouling, karena biota penempel (macrofouling) pada penelitian ini adalah Didemnum molle.

45

46

5.2. Saran Penanganan sampel harus dilakukan secara hati-hati dan cermat untuk proses ekstraksi bioaktif dimana sampel yang akan diekstrak sebaiknya dilakukan pengeringan terlebih dahulu untuk mengurangi kadar air dalam sampel. Perlu penempatan atau pemasangan substrat buatan pada lokasi yang minim organisme predator.

DAFTAR PUSTAKA

Abrar, M. 2004. Biota Ascidian, Cara Penyimpanan, Koleksi dan Pengawetan. P2O-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Abrar, M dan A.E.W. Manuputty. 2008. Inventarisasi dan Sebaran Biota Ascidian di Terumbu Karang Perairan Berau, Kalimantan Timur. P2OLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Allen, G. 1996. Marine Life of Southeast Asia and Pacific. Mary Chia. Singapore. Boesono, H. 2008. Pengaruh Lama Perendaman terhadap Organisme Penempel dan Modulus Elastisitas pada Kayu. Manajemen Sumberdaya Pantai, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Brower, J.E dan J.H. Zar. 1989. Field and Laboratory Methods for General Ecology. W.M. Brown Company Publ. Dubuque Lowa. Colin, P.L dan C. Arneson. 1995. Tropical Pacific Invertebrate. Coral Reef Press. Beferly Hills, California. Estradivari, E. Setyawan dan S. Yusri (eds). 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (20032007). Yayasan TERANGI. Jakarta. Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Edisi kedua. Padwaminata K, Soedit penerjemah. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Khoeri, M.M. 2009. Bioprospeksi Bakteri Simbion pada Tunikata Didemnum molle dari Perairan Pulau Sambangan Karimunjawa Jepara. Universitas Diponegoro. Semarang. Linawati, H. 1998. Pemanfaatan Biodiversitas Perairan untuk Pengembangan Industri Bioteknologi. Prosiding Konperensi Nasional I Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. PKSPL-Institut Pertania Bogor. Bogor. Hal: 104-110. Monniot, C,F. Monniot, dan P. Laboute. 1991. Coral Reef Ascidians of New Caledonia. Institute Francais de Recherche Scientifique Pour le Developpement en Cooperation. Paris. McClintock, J.B dan B.J. Baker. 2001. Marine and Chemical Ecology. CRC Press. Boca Raton.

47

48

Michibata, H, T. Terada, N. Anada, K. Yamakawa, dan T. Numakunai. 1986. The Accumulation and Distribution of Vanadium, Iron, and Manganese in Some Solitary Ascidians. Biol. Bull. 181: 672-681. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. 3d ed : A classic consideration of key issues in ecology and biogeography. Saunders. Philadelphia. Rinehart, K.L. 2000. Anti Tumor Compounds from Tunicate. Med. Res. Rev. 20: 1-27. Rivai, H. 1995. Asas-Asas Pemeriksaan Kimia. UI-Press. Jakarta. Safitri, D.R. 2010. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Lili Laut (Comaster sp.). Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Setyawan, E, Estradivari, dan S. Yusri. 2009. Mengenal Alam Pesisir Kepulauan Seribu. PT Penerbit IPB Press. Jakarta. Setyawan, E, S. Yusri, dan S. Timotius (eds). 2011. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (20052009). Yayasan TERANGI. Jakarta. Sirait, M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Penerbit ITB. Bandung. Soerianegara, I dan A. Indrawan. 2005. Ekosistem Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Steel, R and Torrie, J. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistikan Suatu Pendekatan Biometrik. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Stoecker, D. 1978. Resistance of tunicate to fouling. Bio. Bull. 155: 615-626. Suharsono. 1995. Metode Penelitian Terumbu Karang. Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. P2O-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoesia. Jakarta. Suharyanto. 2008. Distribusi dan Persentase Tutupan Sponge (Porifera) pada Kondisi Terumbu Karang dan Kedalaman yang Berbeda di Perairan Pulau Barranglompo, Sulawesi Selatan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Maros 90512. Suradikusumah, E. 1989. Kimia Tumbuhan. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suwanborirux K, K. Charupant, S. Amnuoypol, S. Pumangura, A. Kubo, dan N. Saito. 2002. Ecteinascidins 770 and 786 from the Thai Tunicate Ecteinascidia thurstoni. Journal of Natural Products. 65: 935-937.

Lampiran 1. Jumlah Individu dari Masing-Masing Spesies yang Ditemukan pada Penelitian Spesies

Stasiun 1 (Selatan Karang Lebar) 3 m 6 m 9 m 12 m

Stasiun 2 (Selatan P.Panggang) 3 m 6 m 9 m 12 m

Stasiun 3 (Utara G.Sekati) 3 m 6 m 9 m 12 m

Stasiun 4 (Timur P.Pramuka) 3 m 6 m 9 m 12 m

Stasiun 5 (Utara P.Pramuka) 3 m 6 m 9 m 12 m

-

-

-

1

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

41

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

3

-

-

-

-

-

-

1

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

7

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

7

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

3

1

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

29

-

-

-

33

17

8

4

124

56

19

39

34

-

8

-

107

70

47

41

43

22

42

76

-

-

-

-

-

-

-

-

-

1

10

3

-

-

-

-

1

50

-

-

Aplidium breviventer

Clavelina cyclus

Clavelina flava

Clavelina Moluccensis

Clavelina obesa

Clavelina robusta

Clavelina sp. Didemnum molle

Didemnum mosleyi

Lampiran 1. (Lanjutan) Spesies

Didemnum rubeum

Stasiun 1 (Selatan Karang Lebar) 3 m 6 m 9 m 12 m

Stasiun 2 (Selatan P.Panggang) 3 m 6 m 9 m 12 m

Stasiun 3 (Utara G.Sekati) 3 m 6 m 9 m 12 m

Stasiun 4 (Timur P.Pramuka) 3 m 6 m 9 m 12 m

Stasiun 5 (Utara P.Pramuka) 3 m 6 m 9 m 12 m

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

7

2

-

-

-

-

-

-

-

-

1

-

-

-

-

-

5

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

11

3

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

23

24

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

2

3

8

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

1

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

3

-

1

-

-

-

-

-

-

-

-

1

-

-

-

-

-

-

-

-

3

-

1

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

1

2

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

1

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

6

20

65

21

-

14

24

-

-

15

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Didemnum sp.

Diplosoma virens

Leptoclinides reticulatus

Lissoclinum patella

Phallusia sp.

Polycarpa argentata Polycarpa captiosa

Pseudodistoma fragilis

Rhopalaea sp.

51

Lampiran 2. Indeks Nilai Penting (INP) Ascidian di Kepulauan Seribu Stasiun

1

2

3

4

5

Spesies Didemnum molle Polycarpa argentata Didemnum sp. Clavelina robusta Clavelina flava Leptoclinides reticulatus Clavelina moluccensis Clavelina obesa Rhopalaea sp. Pseudodistoma fragilis Aplidium breviventer Lissoclinum patella Total Didemnum molle Rhopalaea sp. Didemnum sp. Clavelina cyclus Total Didemnum molle Clavelina flava Diplosoma virens Polycarpa argentata Didemnum mosleyi Polycarpa captiosa Didemnum rubeum Phallusia sp. Rhopalaea sp. Total Didemnum molle Total Didemnum molle Didemnum mosleyi Clavelina sp. Didemnum sp. Total

K 20,6664 0,3333 0,3333 1,3333 1,0000 4,3334 2,3333 2,3333 29,3334 0,3333 0,3333 0,3333 62,9996 79,3333 19,6667 1,6667 13,6667 114,3334 14,0000 0,3333 15,6667 1,3333 4,6666 1,0000 3,0000 0,3333 5,0000 45,3332 88,3334 88,3334 60,9999 17,0000 9,6667 4,6667 92,3333

KR(%) 32,8040 0,5290 0,5290 2,1164 1,5873 6,8785 3,7037 3,7037 46,5614 0,5290 0,5290 0,5290 100,000 69,3877 17,2012 1,4577 11,9534 100,0000 30,8824 0,7352 34,5590 2,9411 10,2940 2,2059 6,6177 0,7352 11,0294 100,0000 100,0000 100,0000 66,0649 18,4116 10,4694 5,0542 100,0000

F 1,0000 0,2500 0,2500 0,5000 0,2500 0,7500 0,2500 0,2500 0,7500 0,2500 0,2500 0,2500 5,0000 1,0000 0,7500 0,2500 0,2500 2,25 0,5000 0,2500 0,5000 0,5000 0,7500 0,5000 0,5000 0,2500 0,2500 4,0000 1,0000 1,0000 1,0000 0,5000 0,2500 0,5000 2,25

FR(%) 20,0000 5,0000 5,0000 10,0000 5,0000 15,0000 5,0000 5,0000 15,0000 5,0000 5,0000 5,0000 100,0000 44,4444 33,3333 11,1111 11,1111 100,0000 12,5000 6,2500 12,5000 12,5000 18,7500 12,5000 12,5000 6,2500 6,2500 100,0000 100,0000 100,0000 44,4444 22,2222 11,1111 22,2222 100,0000

D 0,3229 0,0052 0,0052 0,0208 0,0156 0,0677 0,0365 0,0365 0,4740 0,0052 0,0052 0,0052 1,0000 0,6939 0,1720 0,0146 0,1195 1,0000 0,3088 0,0074 0,3456 0,0294 0,1029 0,0221 0,0662 0,0074 0,1103 1,0000 1,0000 1,0000 0,6607 0,1841 0,1047 0,0505 1,0000

DR(%) 32,2900 0,5200 0,5200 2,0800 1,5600 6,7700 3,6500 3,6500 47,4000 0,5200 0,5200 0,5200 100,0000 69,3900 17,2000 1,4600 11,9500 100,0000 30,8800 0,7400 34,5600 2,9400 10,2900 2,2100 6,6200 0,7400 11,0300 100,0000 100,0000 100,0000 66,0700 18,4100 10,4700 5,0500 100,0000

INP(%) 85,0940 6,0490 6,0490 14,1964 8,1473 28,6485 12,3537 12,3537 108,9614 6,0490 6,0490 6,0490 300,0000 183,2221 67,7345 14,0288 35,0145 300,0000 74,2624 7,7252 81,6190 18,3811 39,3340 16,9159 25,7377 7,7252 28,3094 300,0000 300,0000 300,0000 176,5793 59,0438 32,0505 32,3264 300,0000

Lampiran 3. Hasil Uji Aktivitas Antifouling Jumlah Biota Macrofouling Mi

1 2 3 4

Ulangan 1 K B B 5 B 16 Sb 21

P1 Sd B 1 B 1 Sb 1

P2 S Sd 4 Sb 8

P3 S S 2 Sd 2 Sb 2

P4 Ss Sd -

B 2 Sb 2

P5 Sd Sd 1 B 1 Sb 1

K B B 1 B 1 Sb 2

P1 Sd B Sb Sb 1

Ulangan 2 Substrat Kayu P2 P3 Ss S S Sd Sb 3 Sb Sb 4 -

Jenis Biota

Ulangan 3 P4 S Sd Sb Sb -

P5 S Sd B Sb -

K B B 4 B 8 Sb 18

P1 S Sd B B -

P2 S Sd Sb Sb -

P3 S Sd Sb 1 Sb 4

P4 S Sd 5 B 7 Sb 9

P5 S Sd 11 B 15 Sb 18

Biofilm Microfouling Didemnum molle Microfouling Didemnum molle Microfouling Didemnum molle

Jumlah Biota Macrofouling Mi

1 2 3 4

Ulangan 1 K S Sd B Sb -

P1 Ss Ss Sd Sb -

P2 S Sd B Sb -

P3 Sd B Sb 1

P4 Sb Sb Sb 1

P5 B Sb Sb -

K Sb Sb -

P1 S S Sd Sb -

Ulangan 2 Substrat Besi P2 P3 S Sd Sb B Sb Sb Sb 1

Jenis Biota

Ulangan 3 P4 Sb Sb Sb 3

P5 B Sb Sb -

K S B Sb Sb -

P1 S S S Sb -

P2 S B Sb Sb -

P3 Sd Sb Sb 1

P4 Sb Sb Sb -

P5 B Sb Sb -

Biofilm Biofilm & Microfouling Biofilm & Microfouling Microfouling Didemnum molle

Jumlah Biota Macrofouling Mi

1 2 3 4

Ulangan 1 K S Sb Sb

P1 S S Sd Sb

P2 S Sb Sb

P3 Ss S Sd B

P4 S S Sb Sb

P5 S Sb Sb

K S Sb Sb

P1 S Sd Sd Sb

Ulangan 2 Substrat Beton P2 P3 Ss Sd S Sb B Sb B

Jenis Biota

Ulangan 3 P4 S S B B

P5 S Sb Sb

K S Sb Sb

P1 S Sd Sd Sb

P2 Sd Sb Sb

P3 Ss S B B

P4 S S B B

P5 Sb Sb

Biofilm Biofilm & Microfouling Microfouling Microfouling

Keterangan : Mi minggu ke-, K kontrol, P1 perlakuan dengan cat 100%, P 2 perlakuan dengan komposisi cat 75% : ekstrak 25%, P3 perlakuan dengan komposisi cat 50% : ekstrak 50%, P4 perlakuan dengan komposisi cat 25% : ekstrak 75%, P5 perlakuan dengan ekstrak 100%, - tidak ada, Ss sangat sedikit, S sedikit, S d sedang, B banyak, Sb sangat banyak

53

Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan Penelitian 1. Potensi Stok Alami

Pengambilan data

Sampel Didemnum molle yang diambil

2. Ekstraksi dan Evaporasi Komponen Bioaktif Didemnum molle

Sampel Didemnum molle dalam plastik

Pencacahan sampel Didemnum molle

Persiapan maserasi

Pemasukan pelarut

Maserasi sampel yang siap di-shaker

Proses ekstraksi menggunakan shaker

Penyaringan hasil ekstraksi

Filtrat yang siap dievaporasi

Proses evaporasi menggunakan rotary vacuum evaporator

3. Uji Fitokimia

Terbentuknya lapisan amil alkohol

Hasil uji alkaloid

Pemanasan hasil ekstrak

Hasil uji tanin

54

Lampiran 4. (Lanjutan)

Hasil uji saponin

Hasil uji flavonoid

Hasil uji fenol hidrokuinon

Hasil uji steroid/triterpenoid

4. Uji Aktivitas Antifouling

Substrat beton siap dipasang

Substrat kayu dan besi siap dipasang

Pemasangan substrat beton

Pemasangan substrat besi

Pemasangan substrat kayu dan besi

Penempelan microfouling pada substrat buatan

Penempelan ascidian pada substrat buatan

55

Lampiran 5. Hasil Analisis Statistik Menggunakan Software SAS Faktorial RAL in time The GLM Procedure Class Level Information Class

Levels

Values

Substrat

3

Besi Beton Kayu

Minggu

4

1234

perlakuan

6

K P1 P2 P3 P4 P5

Ulangan

3

123

Number of Observations Read

216

Number of Observations Used

216

Output tersebut menunjukan Observasi yang dilakukan software SAS, dimana terdapat 2 Perlakuan yaitu substrat dan perlakuan dengan taraf masing-masing 3(besi,beton,kayu) dan 6(K,P1,P2,P3,P4,P5). Respon diukur 4 kali yaitu mingdu 1,2,3,4 dengan masing-masing 3 kali ulangan. Dependent Variable: respon Source

DF

Sum of Squares

Mean Square

F Value

Pr > F

Model

113

15.68733225

0.13882595

5.99

<.0001

Error

102

2.36536562

0.02318986

Corrected Total

215

18.05269787

R-Square

Coeff Var

Root MSE

respon Mean

0.868974

8.908414

0.152282

1.709420

Nilai R-Sq sebesar 0.868974 menunjukkan bahwa 86.8974% keragaman respon dijelaskan oleh faktor dalam model, sedangkan sisanya ditunjukkan faktor di luar model. Source

DF

Type I SS

Mean Square

F Value

Pr > F

substrat

2

3.63892858

1.81946429

78.46

<.0001

perlakuan

5

0.76434494

0.15286899

6.59

<.0001

substrat*perlakuan

10

1.70707037

0.17070704

7.36

<.0001

ulang(substr*perlak)

36

5.20675057

0.14463196

6.24

<.0001

Source

DF

Type I SS

Mean Square

F Value

Pr > F

minggu

3

1.10423564

0.36807855

15.87

<.0001

56

Lampiran 5. (Lanjutan) Source

DF

Type I SS

Mean Square

F Value

Pr > F

ulangan(minggu)

6

0.18700147

0.03116691

1.34

0.2447

substrat*minggu

6

1.65353090

0.27558848

11.88

<.0001

minggu*perlakuan

15

0.41116605

0.02741107

1.18

0.2977

substr*minggu*perlak

30

1.01430373

0.03381012

1.46

0.0848

DF

Type III SS

Mean Square

F Value

Pr > F

substrat

2

3.63892858

1.81946429

78.46

<.0001

perlakuan

5

0.76434494

0.15286899

6.59

<.0001

substrat*perlakuan

10

1.70707037

0.17070704

7.36

<.0001

ulang(substr*perlak)

34

4.72531436

0.13897983

5.99

<.0001

minggu

3

1.10423564

0.36807855

15.87

<.0001

ulangan(minggu)

6

0.18700147

0.03116691

1.34

0.2447

substrat*minggu

6

1.65353090

0.27558848

11.88

<.0001

minggu*perlakuan

15

0.41116605

0.02741107

1.18

0.2977

substr*minggu*perlak

30

1.01430373

0.03381012

1.46

0.0848

Source

Nilai P-value pada Substrat (<0.0001) kurang dari alpha (5%), maka dapat disimpulkan substrat (pemberian media beton,besi,kayu ) berpengaruh nyata terhadap jumlah biota. Nilai P-value pada Perlakuan (<0.0001) kurang dari alpha (5%), maka dapat disimpulkan perlakuan (pemberian K,P1 s.d P5 ) berpengaruh nyata terhadap jumlah biota. Nilai P-value pada minggu (<0.0001) kurang dari alpha (5%) maka dapat disimpulkan bahwa minggu (1,2,3,4) berpengaruh nyata terhadap kematian rayap. Nilai P-value pada interaksi substrat dan perlakuan (substat*perlakuan<0.0001) kurang dari alpha (5%), maka dapat disimpulkan bahwa interaksi nyata sehingga perlu dilakukan uji lanjut. Nilai P-value pada interaksi substrat dan minggu (substat*minggu <0.0001) kurang dari alpha (5%), maka dapat disimpulkan bahwa interaksi nyata sehingga perlu dilakukan uji lanjut. Tests of Hypotheses Using the Type III MS for ulang(substr*perlak) as an Error Term Source

DF

Type III SS

Mean Square

F Value

Pr > F

substrat

2

3.63892858

1.81946429

13.09

<.0001

perlakuan

5

0.76434494

0.15286899

1.10

0.3785

10

1.70707037

0.17070704

1.23

0.3088

substrat*perlakuan

57

Lampiran 5. (Lanjutan) Tests of Hypotheses Using the Type III MS for ulangan(minggu) as an Error Term Source

DF

Type III SS

Mean Square

F Value

Pr > F

minggu

3

1.10423564

0.36807855

11.81

0.0063

Dari table diatas r(minggu) sebagai error term, bahwa P-value minggu < alpha=0.05, yaitu sebesar 0.0063, jadi dapat disimpulkan bahwa minggu berpengaruh nyata terhadap jumlah biota.

Uji Lanjut Duncan 0.05

Alpha

34

Error Degrees of Freedom

0.13898

Error Mean Square

Number of Means Critical Range

2

3

.1263

.1327

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping

Mean

N

substrat

A

1.89273

72

Kayu

B

1.62609

72

Besi

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping

Mean

N

substrat

1.60944

72

Beton

B B

Huruf yang berbeda menunjukkan bahwa taraf dari faktor tersebut memberikan pengaruh yang berbeda terhadap respon. Huruf yang berbeda menunjukkan bahwa Substrat Kayu dengan Besi dan Beton memberikan pengaruh yang berbeda, dimana Substrat kayu menunjukkan tingkat jumlah biota (mean) yang lebih tinggi daripada besi dan beton. Huruf yang sama menunjukkan bahwa Substrat Besi dan Beton tidak berbeda secara signifikan.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Januari 1989 dari pasangan Bapak Riadi Sofwandy dan Ibu Tati Herawati. Penulis adalah anak terakhir dari tujuh bersaudara. Tahun 2004-2007, penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 2 Sukabumi. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Program Studi Ilmu Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di organisasi Fisheries Diving Club (FDC-IPB) mulai dari tahun 2009 dan menjabat sebagai Bendahara FDC pada tahun 2011. Selain itu, penulis pernah mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa yang diselenggarakan oleh DIKTI dan menjadi peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS ke-XXIV) di Makasar pada tahun 2011. Penulis juga turut aktif dalam kegiatan monitoring potensi ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka dan sekitarnya bersama FDC-IPB Diklat 27 pada tahun 2010 sebagai koordinator tim makrobentos. Selain itu, penulis berpartisipasi dalam kegiatan penelitian bersama FDC-IPB dalam Ekspedisi Zooxanthellae XI di Kepulauan Kayoa, Halmahera Selatan, Maluku Utara pada tahun 2011 sebagai anggota tim makrobentos dan sekretaris dalam kegiatan tersebut. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Eksplorasi Potensi dan Fungsi Senyawa Bioaktif Ascidian Didemnum molle sebagai Antifouling”.

58