EVALUASI DAYA CERNA PAKAN LIMBAH AZOLA PADA IKAN

Download Kata Kunci: Daya cerna, Tepung Azola, Ikan Bawal Air Tawar. EVALUATION OF ..... I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (...

3 downloads 822 Views 6MB Size
EVALUASI DAYA CERNA PAKAN LIMBAH AZOLA PADA IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum, CUVIER 1818) *) Oleh Kiki Haetami **) ABSTRAK Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui nilai daya cerna limbah azola dalam pakan buatan telah dilakukan selama dua bulan, mulai Mei sampai dengan Juli 2002. Penelitian dilakukan secara eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan pakan buatan yang terdiri dari campuran ransum basal dan berbagai tingkat azolla (R0 = ransum basal = ransum tanpa tepung azola; R1 = 85% ransum basal + 15% tepung azola; R2 = 70% ransum basal + 30% tepung azola ; R3 = 55% ransum basal + 45% tepung azola dan R4 = 40% ransum basal + 60% tepung azola)), setiap perlakuan diulang empat kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung azola pada tingkat 30%, 45%, dan 60% dalam ransum (R2, R3 dan R4) nyata (P<0,05) menurunkan nilai daya cerna ransum dibandingkan dengan perlakuan R0 dan R1. Antara rataan perlakuan R0 (tanpa azola) dan R1 (azola 15%) tidak menujukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap daya cerna ransum yang diamati. Kesimpulan yang diperoleh bahwa tepung azola dapat diberikan 15% dalam pakan buatan ikan bawal air tawar, yang ditunjang oleh data sebagai berikut: (1) Nilai daya cerna bahan kering ransum = 67,90%, (2) Nilai daya cerna pakan azola = 67,81%. Kata Kunci: Daya cerna, Tepung Azola, Ikan Bawal Air Tawar. EVALUATION OF WASTE OF AZOLLA DIGESTIBILITY ON RED BELLY FISH (Colossoma macropomum, CUVIER 1818) *) Oleh Kiki Haetami**) ABSTRACT A research to know dry matter digestibility value of waste of azolla on artificial feed, was conducted for two months, from May to July 2002. This research used the experimental method with Completelly Randomized Design with five treatments of artificial feed containing basal ration which added of various levels of azolla (R0 = basal ration without azolla; R1 = 85% basal ration + 15% azolla; R2 = 70% basal ration + 30% azolla, R3 = 55% basal ration + 45% azolla and R4 = 40% basal ration + 60% azolla), each of treatments has four replicated. The result indicated that feeding ration containing 30% , 45% dan 60% azolla (R2, R3 and R4) significant (P<0,05) decreasing digestibility value of ration than R0 (basal ration) and R1 (!5% azolla). There were no different effect between R0 and R1 on parameter observed. It can be concluded that the waste of azolla can be utilized at the level of 15% on feed of red belly fish, with the following data : (1) Digestibility value of dry matter ration = 67,90%, (2) Digestibility value of dry matter azolla = 67,81%.

Key words: Digestibility, Waste of Azolla, Red Belly Fish.

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penyediaan pangan merupakan masalah yang terus-menerus diupayakan pemecahannya untuk kesejahteraaan manusia, salah satunya melalui pembangunan perikanan, yaitu melalui berbagai terobosan untuk mempertinggi hasil perikanan. Salah satu jenis ikan konsumsi yang berpeluang untuk dibudidayakan adalah ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum, CUVIER 1818).

Pada fase benih ikan

bawal air tawar diperjualbelikan sebagai ikan hias, namun karena pertumbuhannya cepat, selanjutnya ikan ini beralih fungsi menjadi ikan konsumsi. Ikan bawal air tawar termasuk ikan omnivora dan rakus, sangat responsif terhadap pellet buatan, bahkan terhadap hijauan sekalipun. Sumber protein utama yang sering digunakan pada pembuatan pellet adalah tepung ikan dan kedele, yang bersaing dengan pangan dan pakan ternak. Hijauan merupakan alternatif yang tepat sebagai bahan baku pencampur dalam pembuatan pellet karena mudah disediakan, murah dan banyak jenisnya, terutama yang berasal dari limbah pertanian. Salah satu limbah perairan yang berpotensi digunakan sebagai pakan adalah tumbuhan sejenis paku air (kayambang) yang disebut azola (Azolla pinnata). Menurut Singh (1979), azola cukup potensial digunakan sebagai pakan karena banyak terdapat di perairan tenang seperti danau, kolam, sungai, dan pesawahan. Selain itu pertumbuhannya cepat karena dalam waktu 3-4 hari dapat memperbanyak diri menjadi dua kali lipat dari berat segar. Kandungan protein azola tergolong tinggi yaitu 30%. Namun komposisi protein yang tinggi tersebut belum dapat menggambarkan secara pasti nilai gizi yang sebenarnya. Nilai gizi pakan tergantung kepada jumlah ketersediaan zat-zat makanan yang digunakan oleh ikan, yang ditunjukkan dari bagian yang hilang setelah pencernaan, penyerapan, dan metabolisme. Cara mengukur ketersediaan zat-zat makanan bagi tubuh tersebut adalah melaui penentuan daya cerna (Cho, dkk, 1985). Oleh sebab itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai Evaluasi Daya Cerna Pakan Limbah Azola pada Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma Macropomum, Cuvier 1818).

Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui pengaruh tingkat pemberian azola (Azolla pinnata) terhadap daya cerna ransum ikan bawal air tawar. 2. Mengetahui nilai daya cerna pakan azola (Azolla pinnata) pada ikan bawal air tawar. Tinjauan Pustaka Azola adalah sejenis tumbuhan paku air biasa ditemukan di perairan tenang seperti danau, kolam, sungai, dan pesawahan. Para petani biasanya menganggap azola sebagai gulma atau limbah pertanian. Azola termasuk ordo Salviniales, famili Azollaceae, dan terdiri atas enam spesies, yaitu : A. filiculoides, A. caroliana, A. mexicua, a. microphylla, A. pinnata, dan A. nilotica.

Spesies yang banyak di

Indonesia terutama di pulau Jawa adalah A. pinnata, dan biasa tumbuh bersama-sama padi (Lumpkin dan Plucknett, 1982). Menurut Cho, dkk. (1982), azola dapat digunakan sebagai salah satu sumber protein nabati penyusun ransum ikan, karena mengandung protein yang cukup tinggi. Azola mengandung protein kasar 24-30%, kalsium 0,4-1%, fosfor 2-4,5%, lemak 3-3,3%, serat kasar 9,1-12,7%, pati 6,5%, dan tidak mengandung senyawa beracun. Bawal air tawar dapat memanfaatkan pakan nabati 75-100% dan menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pakan nabati 50% (Bittner,1989). Hal ini juga biasa dilakukan oleh para petani dalam memberi pakan pada ikan bawal yang terdiri dari campuran

pellet dan hijauan segar

dengan

frekuaensi 3-5 kali sehari. Bittner (1989) menyatakan bahwa kebutuhan protein pada ikan bawal air tawar berkisar 25-37%. Sedangkan menurut Pras (1993), pada ikan bawal hasil pendederan kedua (ukuran 50 g), dapat diberikan pellet dengan kandungan protein 27%. Ditinjau dari karakteristik saluran pencernaannya, ikan bawal air tawar mempunyai potensi tumbuh yang cukup tinggi, karena bagian organ pencernaannya cukup lengkap.

Ikan ini mempunyai gigi yang berfungsi memotong dan

menghancurkan pakan, seperti halnya ikan grass carp dan piranha sehingga ikan ini

mampu beradaptasi terhadap segala jenis makanan, termasuk hijauan kasar seperti daun-daunan.

Lambung ikan ini berbentuk U dengan kapasitas cukup besar.

Ususnya panjang, dan pada bagian anteriornya dilengkapi dengan piloric saeca yang didalamnya terjadi proses pencernaan enzimatis seperti halnya pada usus dan lambung. Bagian akhir dari usus terjadi diferensiasi usus yang lebih lebar yang disebut rectum.

Pada bagian ini tidak lagi terjadi pencernaan, fungsinya selain

sebagai alat ekskresi, juga membantu osmoregulasi (Hoar, 1979). Zat gizi pakan dan pertumbuhan ikan merupakan faktor pembatas dalam suatu model pertumbuhan. Daya cerna adalah bagian pakan yang dikonsumsi dan tidak dikeluarkan menjadi feses (Maynard, 1979). Kapasitas lambung dan laju pakan dalam saluran cerna merupakan variabel dari daya cerna. Ikan yang berbobot lebih kecil akan mengosongkan sejumlah pakan (% bobot tubuh per jam) dari dalam lambungnya lebih cepat dibanding ikan yang berbobot lebih besar, sehingga jumlah konsumsi pakan relatif (% bobot tubuh/hari semakin kecil) (Wooton, dkk., 1980). Akan tetapi semakin besar ukuran ikan, daya cerna komponen serat semakin baik. Selain faktor ukuran ikan, daya cerna dipengaruhi oleh komposisi pakan, jumlah konsumsi pakan, status fisiologi, dan tata laksana pemberian pakan. Menurut Rankin, dkk, (1993), frekuensi pemberian dua atau tiga kali sehari cukup untuk menghasilkan konsumsi maksimum, sehingga dapat digunakan dalam penelitian daya cerna. Berbagai pendekatan telah digunakan para peneliti untuk meneliti daya cerna pada ikan. Ada dua metode untuk meneliti daya cerna, yaitu metode koleksi feses dan metode indikator (Maynard, dkk., 1979). Sangat sulit memisahkan feses dari air dan sisa-sisa ransum. Oleh sebab itu pendekatan yang paling tepat untuk mengatasi sulitnya pengukuran jumlah konsumsi dan pengumpulan feses adalah dengan metode indikator (Maynard, dkk., 1979, Cho, dkk. 1985). Prosedur pengambilan feses dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan feses dari usus besar setelah ikan dibunuh dan dibedah (Windell, 1978, Soares dan Kifer, 1971). Metode pengumpulan feses dari usus besar ini dilakukan dengan asumsi bahwa pencernaan dan penyerapan zat gizi terjadi pada usus halus dan bukan pada usus besar. Protein

mulai dicerna di lambung dan kemudian di duodenum, disedangkan penyerapannya dimulai di duodenum dan berakhir di jejenum (Sklan dan Hurwitz, 1980). Koefsien cerna tidak dapat dihitung dari total koleksi feses ikan seperti halnya pada hewan yang digembalakan. Kriteria dari indikator yang ideal adalah : 1) harus tidak dapat diabsorbsi. 2) harus tidak disamarkan oleh proses pencernaan. 3) harus secara fisik sama atau bergabung dengan materi yang akan ditandai dan 4) metode estimasi dalam sampel digesta harus spesifik dan sensitif (Maynard et al 1979). Rumus perhitungan koefisien cerna dengan menggunakan metode dari Schneider dan Flatt (1973) dan Ranjhan (1980) adalah sebagai berikut: % indikator dlm ransum Koefisien cerna : 100 -

100

% indikator dlm feses

% nutrien dlm feses X

% nutrien dlm ransum

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (5x4), yaitu berbagai tingkat penggunaan azola dalam pakan buatan (0%, 15%, 30%, 45% dan 60%.) dengan 5 macam perlakuan ransum dan masing-masing diulang sebanyak 4 kali. Peubah yang diamati adalah daya cerna limbah azola dalam pakan buatan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Sidik ragam, dan setiap perbedaan antar perlakuan diuji dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan. Penelitian dilaksanakan di kolam percobaan indoor Ciparanje milik Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNPAD, mulai Bulan Mei sampai Juli 2002. Analisis zat-zat makanan dan lignin dilakukan di Laboratorium nutrisi ternak Ruminansia dan Industri Makanan ternak, Fakultas Peternakan UNPAD. Alat dan Bahan Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Wadah penelitian berupa bak fiber bervolume 1m3 sebanyak 15 buah untuk kolam percobaan, yang masing-masing diisi air tawar ¾ bagiannya, dan kemudian diisi ikan bawal air tawar dengan kepadatan 3 ekor per 200 L. 2. Satu buah blower dan 15 buah aerator untuk memasok udara dan Thermometer air raksa untuk mengukur suhu air.

3. Timbangan analitik satu buah untuk mengukur berat badan ikan dan pakan uji dan Timbangan O-haus untuk mengukur berat bahan baku penyusun pellet. 4. PH meter dan spektrofotometer “Milton Roy Spektronik”, Alat pencatat waktu sarung tangan, lap, pinset, benang, dan pisau bedah untuk alat memotong ikan dan memisahkan feses dari usus besar. 5. Oven dan alumunium foil untuk mengeringkan feses. 6. Instalasi penguji lignin dan penguji Protein cara Kjehdahl 7. Mesin pencetak pellet. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah : 1. Azola yang dikeringkan. 2. Dedak padi, tepung ikan, CMC, minyak ikan dan tepung kedele. 3. Bahan-bahan kimia untuk menguji kandungan lignin dan protein. Ikan uji yang digunakan adalah ikan bawal air tawar sebanyak 40 ekor dengan bobot tubuh 200 + 10 g. Bahan pakan penyusun ransum yang digunakan terdiri dari ransum basal (Ro), yang terdiri dari tepung ikan (17%), tepung kedele (50%), dedak padi (26%), minyak ikan (1%), CMC (5%), dan top mix (1%), serta tepung azola dengan berbagai tingkat penambahan 15% (R0) 30 % (R1) 45% (R3), dan 60% (R4), dengan kandungan protein ransum berkisar 25-27?%. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu : a. Tahap adaptasi selama dua minggu yang bertujuan untuk : -

membiasakan ikan terhadap pakan uji dan faktor lingkungan lain.

-

Mengamati lama pakan di dalam saluran pencernaan yang ditandai dengan awal keluarnya feses, dan menentukan frekuensi pemberian pakan.

b. Tahap pengumpulan feses selama dua minggu, yang meliputi : -

Pakan diberikan secara ad libitum dengan frekuensi tiga kali sehari (sesuai tahap adaptasi).

-

Pada hari terakhir penelitian ikan dibedah dan diambil fesesnya.

c. Tahap analisis feses, yang meliputi : berat segar, berat kering jemur, dan kering oven, analisis protein dan kandungan lignin pakan.

Cara Pengamatan a. Pengambilan sampel feses. Pengambilan sampel feses dilakukan satu kali pada jam ke-7. Sampel feses diambil dari usus besar dan anus dengan cara pembedahan. Waktu pengambilan ikan uji untuk diambil sampel fesesnya, disesuaikan dengan laju pelaluan pakan sejak dikonsumsi sampai keluar menjadi feses. Laju pelaluan tersebut diamati setiap hari, sebelum pengambilan sampel feses dilakukan. b. Perhitungan daya cerna. Data yang dikumpukan ; Lignin ransum (%), Bahan kering feses (%), Bahan kerin ransum (%), Lignin feses (%) Daya cerna : 100 -

100

% lignin pakan

% lignin feses Schneider dan Flatt (1973) dan Ranjhan (1980)

X

% nutrien dlm feses % nutrien dlm pakan

Selanjutnya, untuk menentukan daya cerna pakan azola, mempergunakan persamaan dari Crampton dan Harris (1969) sebagai berikut: Kbp = 100 (T – B) + B S

Keterangan: Kbp = Daya cerna bahan pakan T = Daya cerna ransum perlakuan B = Daya cerna ransum basal S = Persentase bahan pakan dalam ransum

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Daya Cerna Bahan Kering Ransum Berdasarkan hasil pengamatan terhadap feses dan perhitungan daya cerna bahan kering ransum, maka rataan daya cerna bahan kering ransum perlakuan dapat ditelaah pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Rataan daya cerna bahan kering ransum perlakuan pada ikan bawal air tawar Ulangan Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 ……………………………….(%)……………………………. 1 67,70 67,56 64,84 63,31 58,97 2 66,84 67,60 64,30 64,41 58,80 3 69,26 67,52 64,70 63,68 58,63 4 67,80 67,63 64,42 62,71 58,41

Jumlah Rataan

271,60 67,90

270,31 67,58

258,31 64,58

254,11 63,53

234,81 58,70

Tabel 1 terlihat bahwa rataan daya cerna bahan kering tertinggi adalah pada perlakuan R0, yaitu sebesar 67,90% dan terendah pada perlakuan R4, yaitu sebesar 58,70%. Untuk mengetahui sampai seberapa besar daya cerna bahan kering ransum dipengaruhi oleh perlakuan, maka dilakukan analisis sidik ragam yang hasilnya ditampilkan pada Lampiran 6. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan tepung azola dalam ransum memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap daya cerna bahan kering ransum. Perbedaan antara rataan perlakuan terhadap daya cerna bahan kering ransum, diketahui dengan menggunakan uji jarak berganda Duncan yang hasilnya seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Uji jarak berganda duncan pengaruh perlakuan terhadap daya cerna bahan kering ransum perlakuan pada ikan bawal air tawar Perlakuan

Rataan daya cerna bahan kering Signifikansi Ransum 0,05 0,01 ……………..……..(%)………………… R0 67,90 A A R1 67,58 A A R2 64,58 B B R3 63,53 C B R4 58,70 D C Keterangan ; Huruf yang sama ke arah kolom menunjukkan tidak berbeda nyata. Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa rataan daya cerna bahan kering ransum ikan bawal air tawar yang diberi perlakuan R1 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan R0 yang berarti bahwa penggunaan azola sampai 15% tidak menurunkan daya cerna bahan kering ransum. Rataan daya cerna bahan kering ransum ikan bawal air tawar yang diberi perlakuan R2 , R3 dan R4 nyata (P<0,05) lebih rendah dibanding dengan perlakuan R0 maupun R1. Rendahnya daya cerna bahan kering ransum yang mendapat perlakuan R2 , R3 dan R4 disebabkan oleh meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum (Tabel 2)_yang menyebabkan daya cerna zat-zat makanan lainnya menurun. Sejalan dengan pendapat Ranjhan (1980) yang menjelaskan bahwa tipe dan kuantitas karbohidrat

dalam bahan atau penambahannya dalam ransum merefleksikan daya cerna zat-zat makanan lainnya, terutama dengan meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum, maka daya cerna zat-zat makanan lainnya akan menurun. Dinyatakan pula bahwa tinggi rendahnya daya cerna zat-zat makanan dalam ransum dapat dipengaruhi oleh laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan serta kandungan zat-zat makanan yang terdapat di dalam ransum tersebut. Bahan kering merupakan cerminan dari besarnya karbohidrat yang terdapat di dalam bahan pakan penyusun ransum, karena sekitar 50 - 80 % bahan kering tanaman tersusun dari karbohidrat. Di dalam analisis proksimat, beberapa komponen dinding sel, seperti hemiselulosa, selulosa, dan lignin, termasuk di dalam kelompok karbohidrat (serat kasar dan BETN), sehingga ransum yang mengandung serat kasar yang relatif berbeda maka daya cerna bahan keringnya relatif berbeda pula. Faktor-faktor lain yang diduga ikut mempengaruhi nilai daya cerna bahan kering ransum adalah (1) tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum; (2) komposisi kimia; (3) tingkat protein ransum; (4) persentase lemak; dan (5) mineral. Hal ini ditunjukkan dengan data bahwa semakin tinggi kandungan lignin yang didapat pada feses (Lampiran 5), ternyata nilai bahan kering ransum dapat dicerna semakin rendah. Disamping itu, perbedaan nilai bahan kering dapat dicerna, mungkin disebabkan karena adanya perbedaan pada sifat-sifat makanan yang diproses, termasuk kesesuaiannya untuk dihidrolisis oleh enzim dan aktivitas substansi-substansi yang terdapat di dalam pakan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan tepung azola sampai tingkat 15% dalam ransum, memberikan pengaruh yang sama baiknya dengan ransum basal (R0) terhadap nilai daya cerna bahan kering ransum. Akan tetapi, penambahan pada tingkat 30%, 45%, dan 60% nyata menurunkan nilai daya cerna bahan kering ransum.

Daya Cerna Azola Nilai daya cerna bahan keringazola hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3. Rataan daya cerna azola Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 Rataan

Daya cerna Bahan Kering …… (%)…… 67,88 67,88 67,88 67,88 67,80 67,78 67,79 67,78

Ulangan 9 10 11 12 13 14 15 16

Daya cerna Bahan Kering …… (%)…… 67,80 67,82 67,81 67,79 67,75 67,75 67,75 67,74 67,81

Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan nilai daya cerna bahan kering azola yang diuji secara biologis pada ikan bawal air tawar adalah 67,81%. Nilai tersebut menunjukkan koefisien cerna zat-zat makanan azola. Ikan yang diberi ransum (pakan) akan menghasilkan feses yang mengandung residu dari ransum (pakan) yang tidak dicerna dan diabsorpsi, sisa mikroflora, dan atau hasil ikutan dari metabolisme intermedier. Dalam hal, ini untuk menghitung koefisien cerna dapat dianggap bahwa bagian yang dimakan dan tidak terdapat lagi dalam feses, itulah yang dicerna. Perbedaan antara komponen yang dimakan dan jumlah yang tidak ditemukan kembali di dalam feses dibagi dengan jumlah yang dimakan, itulah koefisien cerna dari komponen dalam ransum (pakan) tersebut (Wahju, 1997). Data yang diperoleh menujukkan bahwa lignin tidak bermanfaat sebagai zat makanan, bahkan mempunyai efek yang merugikan terhadap zat-zat makanan lain, terutama mengenai ketersediaan zat-zat makanan tersebut untuk diabsorpsi. Dalam kaitan ini, telah diketahui bahwa diantara spesies hewan dan termasuk juga ikan berbeda kemampuannya dalam mencerna lignin, sehingga daya cerna menjadi tidak tetap pada spesies hewan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh populasi mikroflora yang beragam pada spesies hewan baik dalam jumlah maupun komposisinya. Secara nutrisi, lignin selalu dihubungkan dengan selulosa dan hemiselulosa. tetapi lignin

tidak termasuk ke dalam kelompok karbohidrat melainkan merupakan lapisan protektif pada struktur selulosa dan hemiselulosa serta jaringan tanaman selama pertumbuhan. Walaupun tanaman azola yang diketahui mengandung lignin yang cukup tinggi, namun dapat dimanfaatkan sebagai pakan ikan. Hal ini berdasarkan nilai daya cerna azola (67,81%) yang tidak berbeda jauh dengan daya cerna ransum basal sebesar 67,90%. Namun dari hasil penelitian ini penggunaannya untuk pakan ikan bawal air tawar perlu dibatasi sampai 15%, karena penggunaan 30% atau lebih menurunkan daya cerna ransum. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan tepung azola pada tingkat 15% dalam ransum (R1) tidak memberikan pengaruh negatif terhadap daya cerna bahan kering ransum. Hasil tersebut didukung oleh data : nilai daya cerna bahan kering ransum = 67,90%; daya cerna pakan azola = 67,81%. Penggunaan azola 30% atau lebih menurunkan daya cerna. Saran Penggunaan tepung azola dalam ransum ikan bawal air tawar tidak lebih dari 15% ditinjau dari daya cernanya. UCAPAN TERIMAKASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada DIK Suplemen UNPAD atas bantuan keuangan sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Ucapan terimakasih juga kepada Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan Perikanan, dan semua pihak atas segala bantuannya. DAFTAR PUSTAKA Bittner, A. 1989. Budidaya Air. Yayasan Bogor Indonesia. Jakarta. 265 hal. Cho, C.Y., C.B. Cowey, and R. Watanabe. 1985. Finfish Nutrition in Asia : Methodological approaches research Centre. Ottawa. 154 pp. Crampton, E.W. and L.E. Harris. 1969. Applied Animal Nutritions. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.

Hoar, W.S., D.J. Randall, and J.R. Brett. 1979. Fish Physiology. Vol. VIII. Ed. Bioenergetic and growth. Academic Press. Inc. 786 pp. Maynard et al. 1979. Animal Nutrition. Seventh Edition McGraw-Hill Book Company, Philippine. Pras, H. 1993. Colossoma macropomum si bawal Air Tawar. Dalam Techner No. 05.tahun 1. Ranjhan, S.K. 1980. Animal Nutrition in the Tropics. Vikas Publishing Hause P&T Ltd., New Delhi. Schneider, B.H. and W.P. Flatt. 1975. The Evaluation of Feeds Through Digestibility Experiment. The University of Georgia Press, New York. Singh, P.K. 1979. Use of Azolla in rice production in India. In Nitrogen and Rice. Int. Rice Rest. Inst. Los Banos. Philippines. p. 407-418. Sklan, D. and S. Hurwitz. 1980. Protein Digestion and Absorption in Young Chich and Turkey. Journal Nutrition. 110 : 139-144 Soares, J.H., and R.R. Kifer. 1971. Evaluation of protein based on residual amino acid of the illecal contents of chick. Poultry Sci. Brazil. 117 pp. Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Ternak. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Wooton, R.J., J.R.M. Allen, and S.J. Cole. 1980. Effect the body weight and temperature on the maximum daily food consumption of Gasterosteus aculeatus L. and Phoxinus phoxinus (L). Selecting and appropriate model. Journal of fish biology, 17:695-705.

30

Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id

Evaluasi nilai nutrisi tepung daun lamtoro gung (Leucaena leucophala) terhidrolisis dengan ekstrak enzim cairan rumen domba (Ovis aries) terhadap kinerja pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus) Evaluation of the nutritional value of Leucaena leucophala leaf meal hydrolyzed by sheep rumen liquor enzyme extract on the growth performance of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) I. Fitriliyani Jurusan Budidaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat Jln. A. Yani KM. 36 Simpang Empat Banjarbaru, Kalimantan Selatan Email: [email protected]

ABSTRACT This experiment was conducted to evaluatee the nutritional value of Leucaena leucocephala leaf meal (LLM) with supplementation of sheep rumen liquor crude enzyme on the growth of Nile tilapia. Fish were fed isonitrogenous (± 32% crude protein and C/P ± 9.25 ccal/kg) diets for 50 days. Six diets were formulated to contain hydrolyzed LLM at level 10%, 15%, 20%, 25% and 30% (Diet A, B, C, D and E respectively) and one diet acting as a control (Diet K, 0% LLM). All diets were isonitrogenous and isoenergy. A seven week feeding trial was carried out on triplicate groups of eight fish (9.38 ± 0.41) in 18 aquarium with a recirculating system. Fish were fed twice daily at satiation. Results of the present study indicated that the fish fed diet contained 0%, 10% and 15% of lamtoro leaf meal had significantly higher in specific growth rate (SGR) than other groups (p<0.05). The amount of feed consumed was no significant different in all groups and have tendency decreasing the amount of feed consumed with the increasing of Leucaena leaf meal hydrolyzed content in the feed. Feed efficiency in treatment 10% LLM has significantly difference with treatment 0, 20, 25, 30% LLM. (p<0.05) and there was no significantly difference with treatment 15% LLM in feed. Protein and fat retentions were not significantly (p<0.05) effected by different LLM content in feed. Key words: Nile tilapia, Leucaena leaf meal, growth, feed effiency

ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi nilai nutrisi tepung daun lamtoro gung Leucaena leucephala terhidrolisi dengan ekstrak enzim cairan rumen domba terhadap kinerja pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus). Ikan diberi pakan isonitrogenus (kadar protein ± 32% , C/P ± 9,25 kkal/kg) selama 50 hari. Enam jenis formulasi pakan dengan tepung daun lamtoro gung tanpa perlakuan dan dengan perlakuan enzim (inkubasi dengan ekstrak enzim dari cairan rumen) dengan kadar 10%, 15%, 20%, 25%, 30% dan 0% sebagai kontrol. Pakan uji kemudian diberikan satiasi kepada ikan nila yang dipelihara dalam akuarium dengan kepadatan 8 ekor/akuarium (3 ulangan per perlakuan) dengan bobot awal rata-rata 9,38 ± 0,41g. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa ikan yang diberi pakan dengan kadar tepung daun lamtoro gung sebanyak 0%, 10%, dan 15% secara siginifikan memiliki laju pertumbuhan spesifik lebih tinggi daripada perlakuan lain (p<0,05). Jumlah pakan yang dikonsumsi tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan dengan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan kadar daun lamtoro gung dalam pakan. Efisiensi pakan perlakuan 10 % TDL berbeda nyata dengan perlakuan penggunaan 0, 20, 25 dan 30% TDL (p<0,05) dan tidak ada perbedaan yang nyata dengan perlakuan 15% TDL dalam pakan. Retensi protein dan lemak nyata (p<0,05) dipengaruhi oleh perbedaan kandungan TDL dalam pakan. Kata kunci: Ikan nila, tepung daun lamtoro, pertumbuhan, efisiensi pakan

PENDAHULUAN Sumber protein utama dalam bahan baku pakan buatan untuk ikan adalah tepung ikan.

Penelitian penggantian tepung ikan dengan berbagai bahan alternatif berprotein tinggi dilakukan untuk menekan harga produksi pakan. Bahan yang umum untuk mengganti

I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)

tepung ikan adalah tepung bungkil kedelai (SBM/soy bean meal) (Suprayudi et al.,1999; Pebriyadi, 2004; Elangovan dan Shim, 2000). Ketersediaan SBM masih tergantung impor dan volume impor SBM pada periode Januari -September 2008 mencapai 28.405.448 milyar ton dan harga mencapai Rp7.5008.000,00 per kg. Sumber protein nabati dari tumbuhan menjadi alternatif pilihan karena Indonesia adalah negara tropis dengan kekayaan keragaman sumber daya hayati. Tepung daun lamtoro gung (TDL) merupakan sumberdaya hayati lokal yang dengan kandungan proteinnya yang tinggi yaitu 25-30% (NAS, 1994) dan total karbohidrat (18,6%), gula tereduksi (4,2%), sukrosa oligosakarida (1,2%), rafinosa (0,6%), stacyosa (1,0%), oligosakarida total (2,8%) dan (1%) (Kale, 1987). Keterbatasan dalam komposisi asam amino esensial dapat diatasi dengan menambahkan asam amino esensial yang menjadi pembatas (Santiago dan Lovell, 1988), dan untuk mengatasi mimosin telah dilaporkan beberapa metode yang berhasil mereduksi mimosin seperti perendaman dan pemanasan (Wee dan Wang, 1987). Penelitian pengunaan TDL dalam pakan ikan sebagai sumber protein pakan memberikan kesimpulan yang berbeda-beda. Kemampuan ikan nila memanfaatkan berbagai bahan legume termasuk TDL dilaporkan oleh El Sayed (1999). Pakan ikan nila yang menggunakan TDL dilaporkan dapat meningkatkan pertumbuhan (Pantastico dan Baldia, 1980). Dilaporkan pula penurunan pertumbuhan dengan pakan mengandung TDL pada Java tilapia (Jackson et al., 1982) dan Nile tilapia (Santiago et al., 1988). Penggunaan TDL sebagai bahan baku pakan dibatasi dengan kandungan yang tinggi dari komponen neutral detergent fiber (NDF) 39,5% dan acid detergent fiber (ADF) 35,10% (Gracia et al., 1996), bahkan pada level tertentu dapat menghambat pertumbuhan ikan (Penaflorida et al., 1992). Keterbatasan ikan nila dalam memanfaatkan serat berkaitan dengan ketersediaan enzim pencernaan khususnya enzim selulitik Dilaporkan oleh Saha dan Ray (1998), bahwa ikan tidak memiliki enzim selulose dan kemungkinan adanya populasi mikroba

31

selulotik di saluran percernaan ikan juga masih menjadi kontroversi di kalangan peneliti. Pada penelitian ini digunakan pendekatan penggunaan suplementasi enzim untuk membantu kecernaan ikan nila dengan pakan yang dicampurkan TDL. Cairan rumen domba merupakan salah satu sumber bahan alternatif yang murah dan dapat dimanfaatkan dengan mudah sebagai sumber enzim hidrolase (Moharrey dan Tirta, 2002). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan enzim hidrolisis dari cairan rumen domba pada pakan ikan nila dengan campuran tepung daun lamtoro gung (TDL). BAHAN DAN METODE Isolasi dan produksi enzim Enzim yang diambil dari rumen domba secara manual dipisahkan dari padatan yang ada dalam rumen. Cairan yang didapat selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 20 menit pada suhu -4 C, kemudian cairan (supernatan) yang terbentuk dapat diambil sebagai sumber enzim. Untuk mempertahankan aktivitas enzim, seluruh proses produksi enzim diusahakan selalu dalam kondisi dingin. Pakan uji yang digunakan Tepung daun lamtoro gung (TDL) yang akan diujicobakan sebelumnya direndam dalam air selama 24 jam kemudian dihaluskan dan dikeringkan dalam oven suhu 60oC selama 6 jam. TDL selanjutnya siap diinkubasi dengan dengan enzim dari cairan rumen domba sebanyak 1 ml/g selama 24 jam. Pakan uji yang digunakan selama penelitian ini berbentuk pellet dengan kandungan protein dan energi yang sama tetapi komposisi komponen penyusun pakan yang berbeda. Perlakuan yang diberikan adalah kandungan persentase TDL terhidrolisis yang berbeda dalam pakan formulasi, yaitu K (0% TDLt); A (10% TDLt); B (15% TDLt); C (20% TDLt); D (25% TDLt) dan E (30% TDLt). Tabel 1. Komposisi bahan baku dan kimia pakan perlakuan.

I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)

32

Jenis bahan baku (%) Tepung Ikan

Perlakuan

(% TDLt)

K (0) 15,00

A (10) 15,00

B (15) 15,00

C (20) 15,00

D (25) 15,00

E (30) 15,00

T.lamtoro gung T. Bungkil Kedelai DDGS1 Tepung Pollard Tepung Sagu Minya k Jagung

0,00 23,00 24,00 28,03 2,00 1,00

10,00 22,60 20,00 22,43 2,00 1,00

15,00 20,60 19,00 20,43 2,00 1,00

20,00 19,60 17,00 18,43 2,00 1,00

25,00 16,60 15,00 18,43 2,00 1,00

30,00 13,60 15,00 16,43 2,00 1,00

Minyak Ikan Vit .Mix (tanpa vit c) Mineral Mix 4 Kromium-ragi V it C Choline chloride

2,00 0,20 0,20 3,00 1,00 0,50

2,00 0,20 0,20 3,00 1,00 0,50

2,00 0,20 0,20 3,00 1,00 0,50

2,00 0,20 0,20 3,00 1,00 0,50

2,00 0,20 0,20 3,00 1,00 0,50

2,00 0,20 0,20 3,00 1,00 0,50

0,07

0,07

0,07

0,07

0,07 0,07 L ysin+metionin (1:1) GE (kkal/g )2 3897,34 3869,97 C/P (kkal/g )3

13,68

13,39

3853,78 3837,54 13,44

13,40

3814,92 3759,33 13,64

13,47

1

Dried Distillers Grains with Solubles. GE (Gross energy) adalah energi yang terkandung dalam bahan pakan berdasarkan nilai ekuivalen untuk Karbohidrat 4.1 kcal/g (17.2 kJ/g), lemak 9.5 kcal/g (39.8 kJ/g), dan protein 5.6 kcal/g (23.4 kJ/g). 3 C/P adalah kkal GE per gram protein. 4 Komposisi vit dan mineral mix (dalam 1 kg premix) Vit.A 4.000.000 IU; Vit D3 800.000 IU; Vit.E 4.500 Mg; Vit. K3 450 Mg; Vit. B1 450 Mg; Vit. B 1.350 Mg; Vit. B6 480 Mg; Vit B12 6 Mg; Ca-d panthothenate 2.400 Mg; Folic Acid 270 Mg; Nicotinic acid 7.200 Mg; Choline chloride 28.000 Mg; Ferros 8.500 Mg; Copper 700 Mg; Manganese 18.500 Mg; Zinc 14.000 Mg; Cobalt 50 Mg; Iodine 70 Mg; Selenium 35 Mg. 2

Eksperimen Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Benih ikan nila sebanyak 400 ekor bobot tubuh 710 g dipelihara dalam tanki ukuran 200 liter untuk aklimatisasi. Selama masa aklimatisasi ikan diberikan pakan komersil. Setelah 1 minggu, sebanyak 144 ekor ikan yang relatif seragam dibagi dalam 18 akuarium berukuran 50x35x40 cm yang terhubung dengan sistem resirkulasi, dengan padat tebar 8 ekor/akuarium dan bobot awal rata-rata 9,38 ± 0,41 gram. Aerasi diberikan pada setiap akuarium serta tandon, sedangkan heater hanya dipasang pada tandon. Sebelum perlakuan, ikan dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam dengan tujuan menghilangkan sisa pakan dalam saluran pencernaan selama masa aklimatisasi. Ikan dipelihara selama 50 hari dan diberi pakan secara satiasi dengan frekuensi 3 kali sehari. Untuk menjaga kualitas air, dilakukan penyifonan dan penggantian air. Faktor

kualitas air yang diperhatikan adalah suhu yang diamati setiap pagi hari sebelum pemberian pakan serta pengukuran pH, alkalinitas, kesadahan, TAN dan DO di awal dan 2 kali selama periode pemeliharaan. Analisis kimia pakan perlakuan Analisis proksimat dilakukan terhadap bahan dan pakan perlakuan yang meliputi kadar protein kasar dilakukan dengan metode Kjeldahl, kadar lemak kering dengan metode Soxhlet, kadar lemak basah dengan metode Folch, kadar abu dengan pemanasan sampel dalam tanur bersuhu 600°C, serat kasar menggunakan metode pelarutan sampel dengan asam dan basa kuat serta pemanasan dan kadar air dengan metode pemanasan dalam oven bersuhu 105-110°C (Takeuchi 1988). Hasil analisa proksimat pakan perlakuan disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Komposisi proksimat pakan perlakuan. Pakan perlakuan(% TDLt)

Komposisi proksimat (%)

K (0)

A (10)

B (15)

C (20)

D (25)

E (30)

Protein

31,12

29,43

32,90

34,03

32,29

29,60

Lemak

8,79

8,21

9,38

9,26

9,35

9,55

Abu

9,73

9,82

9,71

9,05

10,13

8,91

Serat Kasar

6,03

5,97

5,56

4,78

5,81

5,83

36,08

39,38

33,39

34, 35

33,09

37,12

GE (kkal/ g ) 2

4061,53

4042,61

4102,49

4193,73

C/P (kkal/g ) 3

13,02

13,74

12,47

12,32

BETN 1

4053,18 4086,77 12,55

13,81

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1. Laju Pertumbuhan Harian:

WO = Berat rata-rata ikan pada awal penelitian (g) Wt = Berat rata-rata ikan pada waktu t (g) t = Lama waktu pemeliharaan (hari). 2. Efisiensi pakan EP = (Wt + WQ)-W0 x 100 F EP W0 Wt Wa F

= = = = =

Efisiensi pakan Berat ikan pada awal penelitian (g) Berat ikan pada waktu t (g) Berat ikan mati selama penelitian (g) Bobot pakan yang dikonsumsi

I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)

3. Kecernaan pakan (%) = (1 - a'/a x b'/b) x 100 a' = Nutrien dalam feses (%) a = Nutrien dalam pakan (%) b1= Indikator dalam feses (%) b = Indikator dalam pakan (%); 4. Retensi protein dan lemak Pu atau Lu RP / RL = x 100 Pe atau Le RP/RL = Retensi protein/retensi lemak Pu/Lu = Bobot protein/lemak yang disimpan dalam tubuh (g) Pe/Le = Bobot protein/lemak yang dikonsumsi oleh ikan (g) Pu/Lu = Po–Pt atau Lo–Lt Po/Lo = Bobot protein/lemak tubuh ikan pada waktu 0 Pt/Lt = Bobot protein/lemak dalam tubuh ikan pada waktu t Analisis statistik Seluruh perlakuan pada penelitian ini dilakukan pada keadaan yang homogen yakni pada satu set sistem resirkulasi sehingga rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam faktor peubah dan tiga ulangan. Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis menggunakan program Exel MS. Office 2007 dan SPSS 15.0 dengan menggunakan uji lanjut Duncan. Untuk mengetahui keeratan hubungan antara parameter dilakukan pula uji regresi. HASIL Data rata-rata parameter uji hasil penelitian, yaitu daya kelangsungan hidup/ survival rate (SR), laju pertumbuhan harian (LPH), efisiensi pemberian pakan (EP), jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL) disajikan pada Tabel 2. Data SR menunjukkan tidak ada pengaruh perbedaan persentase TDL terhidrolisis yang dicampurkan ke dalam pakan terhadap nilai SR. Nilai laju pertumbuhan harian perlakuan TDL terhidrolisis nyata (p<0,05) dipengaruhi oleh perbedaan persentase penggunaan

33

TDL terhidrolisis di dalam pakan. Nilai ratarata laju pertumbuhan harian (LPH) tertinggi yaitu 2,77% dicapai oleh perlakuan tanpa pemakaian TDL terhidrolisis yang tidak berbeda nyata dengan nilai LPH pada pemakaian TDL terhidrolisis 10 dan 15% dalam pakan. Sedangkan nilai LPH perlakuan dengan pemakaian TDL terhidrolisis 20, 25 dan 30% dalam pakan nyata lebih rendah dari perlakuan kontrol dan perlakuan dengan penggunaan 10 dan 15% TDL terhidrolisis dalam pakan. Nilai terendah yaitu 1,47% dicapai oleh perlakuan dengan penggunaan TDL terhidrolisis terbanyak yaitu sebesar 30%. Persentase penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan nyata (p>0,05) tidak berpengaruh pada jumlah pakan yang dikonsumsi ikan uji. Perlakuan TDL terhidrolisis menunjukkan nilai efisiensi pakan tertinggi yaitu 70,52% dicapai oleh perlakuan 10% TDL terhidrolisis. Nilai efisiensi pakan tertinggi ini tidak berbeda nyata dengan yang dicapai perlakuan 15% TDL terhidrolisis yaitu 60,10%. Nilai efisiensi pakan terendah yaitu 30,71 dicapai oleh perlakuan 25% TDL terhidrolisis, dimana nilai ini tidak berbeda nyata dengan nilai efisiensi pakan perlakuan kontrol, 20% dan 30% TDL terhidrolisis dengan nilai efisiensi pakan berturut-turut sebesar 47, 65, 31, 05 dan 43,90%. Persentase penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan nyata (p<0,05) berpengaruh pada nilai retensi protein. Nilai retensi protein tertinggi sebesar 40,70% pada perlakuan 15% TDL terhidrolisis dalam pakan berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya. Perlakuan 25% TDL terhidrolisis menghasilkan nilai retensi protein terendah sebesar 16,7% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, 10, 20 dan 30% TDL dalam pakan. Persentase penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan nyata (p<0,05) berpengaruh pada retensi lemak. Perlakuan kontrol (tanpa penggunaan TDL terhidrolisis) menghasilkan nilai retensi lemak yang tertinggi yaitu 33,73% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan dengan penggunaan 10% TDL terhidrolisis dalam pakan dengan nilai retensi lemak sebesar 33,15%. Sedangkan nilai retensi lemak terendah terdapat pada perlakuan 30% TDL

I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)

34

terhidrolisis yaitu sebesar 14,40% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan 20% TDL terhidrolisis dalam pakan dengan nilai retensi lemak sebesar 14,95%. Nilai retensi lemak pada perlakuan yang menggunakan TDL terhidrolisis menghasilkan nilai yang cenderung menurun dengan meningkatnya kandungan TDL di dalam pakan. PEMBAHASAN Pertumbuhan dan daya kelangsungan hidup ikan uji yang digambarkan dengan nilai LPH dan SR (Tabel 2) menunjukkan hasil yang terus menurun dengan meningkatnya penggunaan kandungan TDL terhidrolisis dalam pakan. Kerja enzim-enzim hidrolisis yang terkandung dalam cairan rumen yang digunakan untuk menghidrolisis TDL berpengaruh terhadap komposisi nutrient yang terkandung dalam TDL. Lee et al. (2002) memetakan enzim-enzim dalam cairan rumen domba. Enzim-enzim yang terdapat dalam cairan rumen domba antara lain adalah enzim-enzim selulolitik terdiri atas beta-Dendoglukanase, beta-D-exoglukanase, beta -Dglukosidase, dan beta-D-fucosida fuco-hydrolase, enzim-enzim xylanolitik terdiri atas beta-Dxylanase, beta-D-xylosidase, acetyl esterase, dan alfa-L-arabinofuranosidase, enzim-enzim pektinolitik terdiri atas polygalacturonase, pectate lyase dan pectin lyase, dan enzim-enzim lain yang terdiri atas beta-amilase, endo-arabilase, betaD-gluanase (laminarinase), beta-D-glucanase (Lichenase), beta-D-glucanase (Pechimanase) dan protease. Cairan rumen yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari domba yang dipelihara dengan pakan hijauan. Fitriliyani (tidak dipublikasi) mengemukakan bahwa

aktivitas enzim selulase dari cairan rumen domba yang dipelihara dengan pakan hijauan adalah sebesar 80,852 µmol glukosa/ menit/ml. TDL dengan kandungan komponen neutral detergent fiber (NDF) 39,5% dan acid detergent fiber (ADF) 35,10% (Gracia et al., 1996) merupakan media yang sangat sesuai untuk kerja enzim selulase. Fitriliyani (2010, tidak dipublikasikan) mengemukakan bahwa terjadi peningkatan glukosa terlarut dan penurunan total gula TDL seiring dengan peningkatan volumen cairan rumen yang digunakan untuk menghidrolisis TDL. Sehingga peningkatan penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan akan meningkatkan pula kandungan monosakarida yaitu glukosa akibat kerja enzim selulosa yang terkandung dalam rumen. Lin dan Shiau (1995) serta Hsieh dan Siau (2000) mengemukakan bahwa ikan nila yang mendapat sumber karbohidrat yang berasal dari glukosa menghasilkan pertambahan bobot tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan disakarida dan starch. Hal ini sesuai pula dengan pendapat yang menyatakan bahwa ikan omnivora mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dengan pakan yang mengandung polisakarida (Furuichi dan Yone, 1982; Shiau dan Peng, 1993; Erfanullah dan Jafri, 1995; Lin dan Shiau, 1995; Hutchins et al., 1998; Lee et al., 2003; Lee and Lee, 2004; Tan et al., 2006). Wilson dan Poe (1987) melaporkan bahwa pertumbuhan dan pemanfaatan pakan ikan nila lebih tinggi dengan kandungan 33% polisakarida (dextrin dan corn starch) dalam pakan dibandingkan dengan pakan yang mengandung monodisakarida.

Tabel 3. Data hasil parameter kinerja pertumbuhan ikan nila yang diberi pakan perlakuan enam jenis komposisi pakan: K (TDL 0%); A (TDL 10%); B (TDL 15%); C (20%); D (25%) dan E (30%). Parameter SR LPH JKP EP K 70,83 ± 7,22a 2,77 ± 0,40b 223,20 ± 55,21a 54,17 ± 2,51ab A 75,00 ± 0,00a 2,68 ± 0,05b 197,43 ± 13,33a 70,52 ± 15,96c a b a B 79,17 ± 7,21 2,38 ± 0,32 173,35± 20,15 60,10 ± 16,11bc a a a C 70,83 ± 14,43 1,79 ± 0,20 191,80 ± 33,69 34,28 ± 1,00a a a a D 79,17 ± 19,09 1,80 ± 0,46 180,93 ± 15,00 36,06 ± 8,13a a a a E 87,50 ± 0,00 1,47 ± 0,18 169,64 ± 50,75 37,46 ± 6,62ab Keterangan: huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Perlakuan

I. Fitriliyani et al./ Jurnal Akuakultur Indonesia, 9 (1): 30–37 (2010)

35

Gambar 1. Nilai retensi lemak (kiri) dan protein (kanan) pada ikan nila yang diberi pakan perlakuan enam jenis komposisi pakan: K (TDL 0%); A (TDL 10%); B (TDL 15%); C (20%); D (25%) dan E (30%).

Konsumsi pakan tertinggi adalah pakan perlakuan K dengan TDL 0% (Tabel 3). Perlakuan ini juga menghasilkan pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan lima perlakuan lainnya. Jumlah konsumsi pakan cenderung menurun dengan me-ningkatnya persentase kandungan TDL terhidrolisis dalam pakan. Hal ini dimungkinkan karena peningkatan persentase penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan meningkatkan pula kandungan serat pakan perlakuan. Serat kasar merupakan komponen karbohidrat yang kaya akan lignin dan selulosa yang bersifat sukar dicerna. Selulosa merupakan kerangka sel tanaman yang terdiri dari rantai -D-Glukosa dengan derajat polimerasi sebesar lebih kurang 14.000 (Kennedy, 1988). Serat makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu relatif singkat sehingga absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu makanan yang mengandung serat yang relatif tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat komplek yang menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan. Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi juga dilaporkan dapat mengurangi bobot badan ikan (Hemre et al., 2002). Pernyataan tersebut bersesuaian dengan hasil penelitian ini, dimana semakin banyak TDL yang digunakan pada perlakuan A, B, C, D, E dan F, maka nilai JKP akan menurun. Penurunan nilai JKP akan mengakibatkan menurunnya pula asupan protein yang dikonsumsi sehingga terlihat

nila laju pertumbuhan harian juga mengalami penurunan. Nilai retensi protein dan retensi lemak yang didapat pada penelitian ini dengan TDL terhidrolisis lebih baik dari nilai retensi protein yang dilaporkan oleh Abdel Hakim et al. (2008) pada ikan nila dengan bobot tubuh 30 ± 0.46 g. Dengan pengantian 30% bungkil kedelai dalam pakan dengan isi rumen yang dikeringkan; sunflower meal; dan sesame seed cake didapatkan nilai retensi protein sebesar 19,02; 19,63; 20,45%. dan nilai retensi lemak 9,02; 10,15; dan 11,51. Sedangkan Gonzales (2007) menggunakan tumbuhan sebagai dasar penyusun pakan larva ikan nila hanya mendapatkan nilai retensi protein 31,9%. Ali et al. (2003) pada pakan ikan nila menggunakan alfafa leaf meal pada taraf 5, 10, 15 dan 20% didapatkan nilai retensi protein berturut-turut 35,30; 31,80; 29,81 dan 27,74%. Perbedaan nilai komposisi asam amino esensial serta jumlah karbohidrat sederhana yang berlebih diduga menjadi penyebab perbedaan nilai retensi protein ini. Terhambatnya absorbsi asam amino dalam saluran pencernaan oleh glukosa yang berlebih pada saluran pencernaan ikan dengan pakan mengandung 30% TDL terhidrolisis selain mempengaruhi nilai retensi protein juga akan berpengaruh pada nilai retensi lemak. Dimana pada perlakuan 30% TDL terhidrolisis di dalam pakan, didapatkan nilai retensi protein sebesar 20,92% dan nilai retensi lemak sebesar 14,40%. Ketersediaan energi yang terbatas

36

I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)

dalam bentuk protein pada perlakuan ini, mengakibatkan ikan berusaha memanfaatkan sumber energi yang lain yaitu lemak sehingga retensi lemaknya menjadi turun drastis dibandingkan perlakuan lain dengan TDL terhidrolisis. KESIMPULAN Hasil penelitian mengindikasikan bahwa ikan yang diberi pakan dengan kadar tepung daun lamtoro gung sebanyak 0%, 10%, dan 15% secara siginifikan memiliki laju pertumbuhan spesifik, efisiensi pakan yang lebih tinggi daripada perlakuan lain dengan jumlah pakan yang dikonsumsi tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan dengan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan kadar daun lamtoro gung dalam pakan. DAFTAR PUSTAKA Abdel Hakim, N.F., Lashin, N.F.M., AlAzab, A., Nazmi, H.M., 2008. Effect of replacing soybean meal with other plant protein source on protein and energy utilization and carcass composition of Nile tilapia (Oreochromis niloticus), p. 979-996. In 8th International Symposium on Tilapia in Aquaculture. Department of Animal Production, Faculty of Agriculture, Al-Azhar University. Ali, A., Al Asgah, N.A., Al-Ogail, S.M., Ali, S. 2003. Effect of feeding different levels of alfalfa meal on the growth performance and body composition of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) fingerlings. Asian Fisheries Science, 16, 59-67. Elangovan, A., Shim, K.F. 2000. The influence of replacing fish meal partially in the diet with soybean meal on growth and body compositition of juvenile tin foil barb (barbodews altus). Aquaculture 189, 133-134. El Sayed, A. F. 1999. Alternative dietary protein sources for farmed tilapia, Oreochromis spp. Aquaculture 179, 149168. Erfanullah, Jafri, A.K. 1995. Protein-sparing effect of dietary carbohydrate in diets for

fingerling Labeo rohita. Aquaculture 136, 331–339. Furuichi, M., Yone, Y. 1982. Availability of carbohydrate in nutrition of carp and red sea bream. Bull Jpn Soc Sci Fish 48, 945– 948 Gonzales, J.M., Alison, H., Megan, E.R., Todd, F.P., Paul, B. 2007. Evaluation of fish meal-free diets for first feeding Nile tilapia (Oreochromis niloticus). Journal of Applied Aquaculture. 19 (3), 69-98. Gracia, G.W., Ferguson, T.U., Neckles, F.A., Archibald, K.A.E. 1996. The nutritive value and forage productivity of Leucaena leucocephala. Anim. Feed. Sci. Technol. 60, 29-41. Hemre, G.I., Mommsen, T.P., Krogdahl, A., 2002. Carbohydrates in fish nutrition: effects on growth, glucose metabolism and hepatic enzymes. Aquacult. Nutr. 8, 175–194. Hsieh, S.L., Shiau, S.Y., 2000. Effects of diets containing different carbohydrates on starved condition in juvenile tilapia Oreochromis niloticus >< O. aureus. Fisheries Science 66, 32–37. Hutchins, C.G., Rawles, S.D., Gatlin, D.M. 1998. Effects of dietary carbohydrate kind and level on growth, body composition and glycemic response of juvenile sunshine bass (Morone chrysops· M. saxatilisx). Aquaculture 161, 187–199. Jackson, A.J., Capper, B.S., Matty, A.J., 1982. Evaluation of some plant protein in complete diets for the tilapia, Sarotherodon mossambicus. Aquaculture 27, 97-109. Kale, A.U., 1987. Nutritive value of Leucaena leucocephala (subabul). [Thesis] University of Bombay. Kennedy, J.F., 1988. Carbohydrate Chemistry. Oxford University Press. Lee, S.M., Kim, K.D., Lall, S.P., 2003. Utilization of glucose, maltose, dextrin and cellulose by juvenile flounder (Paralichthys olivaceus). Aquaculture 221, 427–438 Lee, S.M., Lee, J.H., 2004. Effect of dietary glucose, dextrin and starch on growth and body composition of juvenile starry flounder Platichthys stellatus. Fisheries Science 70, 53–58

I. Fitriliyani et al./ Jurnal Akuakultur Indonesia, 9 (1): 30–37 (2010)

Lee, S.S., Kim, C.H., Ha, J.K., Moon, Y.H., Choi, N.J., Cheng, K.J., 2002. Distribution and activities of hydrolytic enzymes in the rumen compartments of hereford bulls fed alfalfa based diet. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15 (12), 1725-1731. Lin, J.H., Shiau, S.Y., 1995 Hepatic enzyme adaptation to different dietary carbohydrates in juvenile tilapia (Oreochromis niloticus x O. aureus). Fish Physiol. Biochem. 14, 165–170. Moharrery, A., Tirta, K.D., 2002. Correlation between microbial enzyme activities in the rumen fluid of sheep under different treatments. Reprod. Nutr. Dev. 41, 513529. NAS, 1994. Leucaena: Promising forage and tree crop for the Tropics. Second Edition. National Academy of Sciences. Washington. Pantastico, J.B., Baldia, J.P., 1980. Lip-lip leaf meal as supplement feed for Tilapia nilotica in cages. Fish. Res. J. Philipp. 5 (2), 63-68. Penaflorida, V.D., Pascual, F.P., Tabbu, N.S., 1992. A practical methods for extracting mimosine from ipil-ipil (Leucaena leucocephala) leaves and its effect on survival and growth of Penaus monodon juveniles. Israeli Journal of Aquaculture 44 (1), 24-31. Pebriyadi, B., 2004. Penambahan metionina dan triptofan dalam pakan benih ikan nila Mystus nemurus CV yang mengandung tepung bungkil kedelai. [Thesis] Bogor: IPB 74 hal. Saha, A., Ray, A.K., 1998. Cellulase activity in rohu fingerlings. Aquaculture International 6 (4), 281-291.

37

Santiago, C.B., Lovell, R.T., 1988. Amino acid requirement for growth of Nile tilapia. Journal of Nutrition 118, 1540-1546. Santiago, C.B., Aldaba, M.B., Reyes, O.S., Laron, M.A., 1988. Reproductive performance and growth of nile tilapia (Oreochromis niloticus) broodstock fed diets containing Leucaena leucocephala leaf meal. Aquaculture 70, 53-61. Shiau, S.Y., Peng, C.Y., 1993. Proteinsparing effect by carbohydrates in diets for tilapia, Oreochromis niloticus and O.aureus. Aquaculture 117, 327–334 Suprayudi, M.A., Bintang, M., Takeuchi, T., Mokoginta, I., Toha, S., 1999. Defatted soybean meal as an alternative source to substitute fish meal in the feed of giant gouramy Osphronemus gouramy Lac. Suisanzozhoku 47 (4), 551-557. Tan, Q., Xie, S., Zhu, X., Lei, W., Yang, Y., 2006. Effect of dietary carbohydrate sources on growth performance and utilization for gibel carp (Carassius auratus gibelio) and Chinese longsnout catfish (Leiocassis longirostris Gunther). Aquac. Nutr. 12, 61–70. Wee, K.L., Wang, S.S., 1987. Nutritive value of leucaena leaf meal in pelleted feed for nile tilapia. Aquaculture 62 (2), 97 - 108. Wilson, R.P., Poe, W.E., 1987. Apparent inability of channel catfish to utilize dietary monosaccharides and disaccharides as energy-sources. J. Nutr. 117, 280–285.

OPTIMALISASI SUBSTITUSI TEPUNG AZOLLA TERFERMENTASI PADA PAKAN IKAN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS IKAN NILA GIFT HANY HANDAJANI Jurusan Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Raya Tlogomas 246 Malang 65144 HP: 08123317258 Email : [email protected]

ABSTRACT The research has been conducted to evaluate the fermented azolla flour substitutions that optimize the growth rate and digestibility in Tilapia. The research was based on Completely Randomized Design (CRD) with three replications. Four levels of substitution of soy meal with fermented azolla flour were: P0 (100%:0%), P1 (85%:15%), P2 (70%:30%), and P3 (55%:45%). The main parameters were absolute growth rate, feed conversion, and digestibility of Tilapia (Oreochiomis sp.). The result showed that the substitution of soy meal with fermented azolla flour has significant effect into growth rate and digestibility parameters. The P1 treatment gave the best result with growth absolute rate 0,81 gram, feed conversion 3,14 and 67,68% digestibility. Key words : Fish feed, Fermented azolla flour, Tilapia

PENDAHULUAN Usaha budidaya ikan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pakan yang cukup dalam jumlah dan kualitasnya untuk mendukung kualitas yang maksimal. Faktor pakan menentukan biaya produksi mencapai 60% - 70% dalam usaha budidaya ikan. Sehingga perlu pengelolaan yang efektif dan efisien. Beberapa syarat bahan pakan yang baik untuk diberikan adalah memenuhi kandungan gizi (protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral) yang tinggi, tidak beracun, mudah diperoleh, mudah diolah dan bukan sebagai makanan pokok manusia. Sampai saat ini sumber protein nabati yang digunakan dalam pakan ikan adalah tepung kedelai. Harga kedelai terus meningkat, saat ini harga kedelai mencapai Rp. 4500/kg. Ada beberapa alternatif bahan pakan yang dapat dimanfaatkan dalam penyusunan pakan salah satunya adalah tepung Azolla. Tanaman azolla merupakan gulma air yang tidak termanfaatkan, tetapi tanaman Azolla memiliki kandungan protein yang cukup tinggi 28,12% berat kering (Handajani, 2000), sedangkan Lumpkin dan Plucknet (1982) menyatakan kandungan protein pada Azolla sp sebesar 23,42% berat kering dengan komposisi asam amino esensial yang lengkap. Sehingga tanaman azolla sangat berpotensi sebagai bahan penyusun pakan ikan sebagai sumber protein nabati pengganti tepung kedelai. Hasil penelitian Handajani (2006) kandungan

serat kasar tepung azolla sebesar 23,06%. Tepung Azolla dimanfaatkan sebagai salah satu penyusun pakan ikan Nila Gift dengan hasil daya cerna protein ikan berkisar 55,51% - 67,68%. Disamping itu dari hasil penelitian Haetami dan Sastrawibawa (2005) nilai daya cerna ikan Gurami terhadap pakan yang menggunakan tepung azolla berkisar 58,70% - 67,90%. Nilai daya cerna ini belum maksimal karena pakan yang diberikan tidak tercerna dengan baik, hal ini disebabkan kandungan serat kasar yang cukup tinggi pada tepung azolla. Selanjutnya Handajani (2007a) mencoba meningkatkan nilai gizi tepung azolla melalui proses fermentasi dan didapatkan hasil fermentasi tepung azolla dengan Rhizophus sp memberikan hasil yang terbaik dari beberapa fermentor, terbukti dapat menurunkan kandungan serat kasar tepung azolla dari 23,06% menjadi 14,62%. Dari beberapa hasil penelitian tersebut perlu dilakukan pengujian untuk memanfaatkan tepung azolla terfermentasi dalam pakan ikan Nila Gift. Hasil penelitian diharapkan tepung Azolla terfermentasi dapat mensubstitusi tepung kedelai dalam penyusunan pakan ikan. Sehingga dapat meningkatkan produksi ikan Nila serta menekan biaya produksi, karena tepung Azolla terfermentasi yang digunakan sebagai substitusi tepung kedelai mempunyai nilai ekonomis yang rendah sebesar Rp.1000/kg

178

METODE Materi Materi yang digunakan adalah ikan uji berupa benih ikan Nila yang berukuran 5 – 7 cm dengan berat rata-rata 1,3 gram. Media percobaan yang digunakan berupa air tawar yang berasal dari air sumur. Air ditempatkan pada aquarium percobaan yang berjumlah 16 buah dengan volume masing-masing 20 liter. Kualitas air diusahakan optimal bagi pertumbuhan ikan uji. Pada penelitian ini akan digunakan empat macam pakan percobaan dengan kandungan protein 25% dengan energi 360 kkal/g pakan.

Protein terdiri dari tepung ikan sebagai protein hewani dan tepung Azolla sebagai bahan substitusi protein tepung kedelai untuk protein nabati. Alatalat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquarium, aerator, selang, serok, batu aerasi, blender, timbangan, tissue, pipet ukur, thermometer, peralatan analisis proksimat, dan peralatan kualitas air. Bahan-bahan pakan yang akan digunakan sebagai penyusun pakan dianalisis proksimat, komposisi nutrisi bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi nutrisi bahan pakan ikan Nila Gift (Oreochromis, sp) Protein (%)

Lemak (%)

Serat Kasar (%)

Abu (%)

BETN

DE (kkal/g)

Tepung ikan

50,07

4,9

8,68

26,93

9,42

282,06

Tepung kedelai

37,58

18,28

9,56

4,43

30,15

435,44

Tepung Azolla

19,54

8,8

23,06

12,48

36,12

307,28

Tepung Azolla Fermentasi

20.05

6,42

14,62

12,83

37,05

368.27

Bekatul

10,79

10,56

12,86

Tepung tapioka

3,34

0,55

0,53

Bahan

411.24 0,58

95,00

398,31

(Hasil analisis laboratorium Nutrisi Fapetrik 2008 - UMM ) Tabel 2. Formulasi Pakan ikan Nila Gift Bahan

Perbandingan Tepung Kedelai dengan Tepung Azolla Fermentasi P0 = 100 : 0

P1 = 85 : 15

P2 = 70 : 30

P3= 55 : 45

Tepung ikan

22,5

22,5

22,5

22,5

Tepung kedelai Bekatul

29,5 22,75

25,07 22,75

20,65 18,5

16,22 18,5

Tepung Tapioka

19,25

19,25

13,5

13,5

Tepung Azolla Fermentasi

0

4,43

8,85

13,27

Minyak kelapa

0

0

0,58

0,61

Mineral Mix

2

2

2

2

Vitamin Mix

2

2

2

2

0,5

0,5

0,5

0,5

Jumlah

100

100

100

100

Protein (%)

27,83

24,96

23,62

22,93

Energi (kkal/g)

417,59

376,57

381,41

379,28

Cr2O3

179

Jurnal Teknik Industri Vol. 12, No. 2 Agustus 2011: 178-184

Tabel 3. Hasil Proksimat Pakan Uji Kandungan

P0

P1

P2

P3

Berat kering (%)

88,57

89,15

88,04

87,47

Protein (%)

24,52

24,75

24,94

24,66

Lemak (%)

9,38

7,5

6,65

7,80

Serat kasar (%)

4,53

6,24

9,045

13,58

Abu (%)

13,24

14,23

12,76

16,72

BETN

36.9

36,43

34,65

24,71

METODE Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan ditentukan/didapatkan dari hasil penyusunan formulasi pakan, masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Variabel uji yang diamati adalah pertumbuhan mutlak (Effendi, 1997), Daya cerna protein (D) Metode Chromix Oxide (Zonneveld, 1991), dan Rasio konversi pakan (Zonneveld, 1991). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan

sidik ragam (anova). Apabila hasil analisis menunjukkan perbedaan akan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Pola pertumbuhan ikan nila gift (Oreochiomis sp.) adalah eksponensial. Dengan menggunakan pola ini, maka diperoleh data pertumbuhan mutlak untuk tiap-tiap perlakuan seperti tertera pada Gambar 1.

Pertumbuhan Mutlak ( gr )

Grafik Hubungan Perlakuan dengan Pertumbuhan Mutlak 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 P0

P1

P2

P3

Perlakuan

Gambar 1. Grafik rata-rata pertumbuhan mutlak ikan nila gift tiap-tiap perlakuan selama penelitian. Keterangan: P0 = tepung azolla terfermentasi 0% tepung kedelai 100% P1 = tepung azolla terfermentasi 15% tepung kedelai 85% P2 = tepung azolla terfermentasi 30% tepung kedelai 70% P3 = tepung azolla terfermentasi 45% tepung kedelai 55% Hasil perhitungan sidik ragam menunjukkan bahwa, perlakuan pemanfaatan tepung azolla terfermentasi sebagai substitusi protein tepung kedelai dalam ransum memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan mutlak pada ikan nila gift (Oreochiomis sp.).

Hasil penelitian di atas menunjukkan adanya perbedaan pada substitusi tepung azolla terfermentasi terhadap tepung kedelai, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tepung azolla terfermentasi dapat digunakan sebagai substitusi tepung kedelai sebesar 15%. Hasil subtitusi tepung

Hany Handajani : Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan

180

Azolla terfermentasi sebesar 15% dengan tepung kedelai 85%, menghasilkan pertumbuhan mutlak lebih tinggi (0,81) dibandingkan dengan pakan yang mengandung tepung kedelai 100% (0,57). Hal ini disebabkan oleh kandungan asam-asam amino dari subtitusi tepung azolla terfermentasi (15%) dan tepung kedelai (85%) lebih tinggi dibandingkan pada pakan yang 100% tepung kedelai. Sehingga apabila pakan yang diberikan mempunyai nilai nutrisi yang baik, maka dapat mempercepat laju pertumbuhan, karena zat tersebut akan dipergunakan untuk menghasilkan energi mengganti sel-sel tubuh yang rusak. Zat-zat nutrisi yang dibutuhkan adalah protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral (Handajani dan Widodo, 2010). Pada penelitian ini jumlah pakan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan ikan yaitu 5 persen dari berat tubuh ikan perhari, disamping itu komposisi pakan yang diberikan terutama pada kandungan protein sudah berada pada kisaran optimum yaitu sebesar ±25 persen. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ahmad dan Tawwab (2010), bahwa umumnya ikan membutuhkan pakan yang kandungan proteinnya 20 – 60 persen sedangkan optimumnya adalah berkisar antara 30 – 60 persen. Dari data tersebut diketahui bahwa perlakuan

yang memberikan laju pertumbuhan mutlak tertinggi dicapai pada pakan dengan tingkat substitusi 15% memiliki rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 0,81, kemudian pakan dengan tingkat substitusi 0% memiliki rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 0,57, selanjutnya pakan dengan tingkat substitusi 30% memiliki rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 0,55, kemudian pakan dengan tingkat substitusi 45% memiliki rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 0,44. Sehingga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembuatan pakan ikan antara lain: kandungan nutrisi suatu bahan pakan harus cukup sesuai dengan kebutuhan ikan, disukai oleh ikan, mudah dicerna dan jika dilihat dari nilai ekonominya pakan yang dihasilkan dari pemanfaatan tepung azolla mempunyai harga yang relatif lebih murah jika dibanding dengan penggunaan tepung kedelai, sehingga dengan pemanfaatan tepung azolla dapat menekan biaya produksi pakan. Rasio Konversi Pakan (Feed Convertion Ratio). Rasio konversi pakan merupakan salah satu parameter efisiensi pemberian pakan. Data perhitungan rasio konversi pakan pada ikan nila gift (Oreochiomis sp.) untuk tiap-tiap perlakuan selama penelitian pada Gambar 2

FCR

Grafik Hubungan antara Perlakuan dengan FCR 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 P0

P1

P2

P3

Perlakuan Gambar 2. Grafik Rata-rata Rasio Konversi Pakan (FCR) Ikan Nila Gift (Oreochiomis sp.) Tiap-tiap Perlakuan Selama Penelitian. Hasil perhitungan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemanfaatan tepung azolla terfermentasi sebagai substitusi protein tepung kedelai dalam ransum memberikan pengaruh yang berbeda terhadap rasio konversi pakan pada ikan nila gift (Oreochiomis sp.).

181

Tingkat efisiensi penggunaan pakan pada ikan nila gift (Oreochiomis sp.) ditentukan oleh pertumbuhan dan jumlah pakan yang diberikan. Keefisienan penggunaan pakan menunjukkan nilai pakan yang dapat merubah menjadi pertambahan pada berat badan ikan (Uktolseja, 2008).

Jurnal Teknik Industri Vol. 12, No. 2 Agustus 2011: 178-184

Efisiensi pakan dapat dilihat dari beberapa faktor dimana salah satunya adalah rasio konversi pakan. Nilai rasio konversi pakan pada penelitian ini berdasarkan perhitungan statistik menunjukkan bahwa pemanfaatan tepung azolla sebagai bahan substitusi protein tepung kedelai dalam ransum berpengaruh nyata terhadap rasio konversi pakan. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan dan nilai kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan, selanjutnya juga dipengaruhi oleh adanya tingkat konversi pakan dengan bertambahnya berat badan ikan sehingga semakin tinggi berat badan ikan maka semakin tinggi pula konversi pakan yang dimanfaatkan. Menurut Hariati (1989) bahwa tingkat efisiensi penggunaan pakan yang terbaik akan dicapai pada nilai perhitungan konversi pakan terendah, dimana pada perlakuan tersebut kondisi kualitas pakan lebih baik dari perlakuan yang lain. Kondisi kualitas pakan yang baik mengakibatkan energi yang diperoleh pada ikan nila gift (Oreochiomis sp.) lebih banyak untuk

pertumbuhan, sehingga ikan nila gift (Oreochiomis sp.) dengan pemberian pakan yang sedikit diharapkan laju pertumbuhan meningkat. Daya Cerna Ikan Nila GIFT (Oreochiomis sp.) Daya cerna adalah kemampuan untuk mencerna suatu bahan, sedangkan bahan yang tercerna adalah bagian dari pakan yang tidak diekresikan dalam feses. Nilai nutrisi dari suatu makanan bagi ikan bergantung pada sejauh mana ikan tersebut mampu mencerna makanan tersebut, untuk mengetahui besarnya daya cerna ikan terhadap makanan dapat dilakukan dengan menggunakan Chromix Oxide (Cr 2O3) sebagai indikator, selanjutnya feses yang mengandung Cr2O3 dikumpulkan dan dianalisis kandungan zat tersebut. Perbandingan Cr2O3 dalam pakan dan feses dapat memberikan perkiraan daya cerna pakan (Tilman, et. al., 1996). Dari hasil penelitian didapatkan data daya cerna protein yang disajikan pada Gambar 3

Gambar 3. Grafik Daya Cerna Pada Ikan Nila GIFT (Oreochiomis sp.) Tiap-Tiap Perlakuan Selama Penelitian. Daya cerna protein yang tinggi menunjukkan bahwa pakan tersebut baik dan nutrien pakan dapat dimanfaatkan secara efisien oleh ikan nila GIFT (Oreochiomis sp.) untuk menyusun produksi tubuhnya. Dari Gambar 3 diatas dapat diketahui bahwa nilai daya cerna portein merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui efesiensi pakan yang diberikan pada ikan. Pada Gambar 6.3 dapat dilihat perlakuan P0 (0% tepung

azolla terfermentasi) daya cernanya 77,50%, kemudian diikuti perlakuan P1 (15% tepung azolla terfermentasi) daya cernanya 67,68%, P2 (30% tepung azolla terfermentasi) daya cernanya 62,19% dan P3 (45% tepung azolla terfermentasi) daya cernanya 55,51%. Hal ini disebabkan oleh protein dalam pakan telah dipecah menjadi asamasam amino yang lebih mudah diserap oleh ikan dan kebutuhan nutriennya sudah terpenuhi. Indek asam amino esensial maisng-masing pakan telah

Hany Handajani : Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan

182

memenuhi jumlah optimal asam amino esensial yang dibutuhkan ikan nila, sehingga penambahan tepung azolla pada pakan layak digunakan. Penurunan daya cerna protein ini disebabkan kemampuan ikan mencerna protein pakan hanya sampai pada batas tertentu, salah satu diantaranya adalah kandungan serat kasar pada bahan pakan tersebut. Pada perlakuan P0 memberikan nilai daya cerna protein sebesar 77,50% dengan serat kasar 4,53%, perlakuan P1 memberikan nilai daya cerna protein sebesar 67,68% dengan serat kasar 7,5%, perlakuan P2 memberikan nilai daya cerna protein sebesar 62,19% dengan serat kasar 6,65%, dan perlakuan P3 memberikan nilai daya cerna protein sebesar 55,51% dengan serat kasar 13,58%. Dari keempat perlakuan didapatkan pada perlakuan P3 yang mengandung serat kasar tertinggi sebesar 13,58% dengan tingginya kandungan serat kasar ini pakan akan sulit dicerna oleh ikan sehingga pertumbuhan ikan juga akan lambat. Menurut Handajani (2007b), bahwa penggunaan kadar serat kasar lebih dari 10 persen tidak diperlukan pada pakan ikan-ikan Tilapia dan juga penggunaan serat kasar yang tinggi dalam pakan dapat menurunkan pertumbuhan sebagai akibat dari berkurangnya waktu pengosongan usus dan daya cerna pakan. Daya cerna protein erat kaitannya dengan komposisi pakan terutama kandungan protein yang ada dalam pakan yang diberikan pada ikan, sebab protein merupakan unsur utama yang dibutuhkan oleh ikan untuk pertumbuhan. Dalam penelitian ini digunakan pakan buatan yang kandungan proteinnya sudah berada dalam kisaran yang dibutuhkan oleh ikan nila GIFT yaitu ± 25%. Seperti yang telah dikemukakan oleh Handajani dan Widodo (2010), bahwa pada umumnya ikan membutuhkan pakan yang kandungan proteinnya 20-25%. Kebutuhan protein berbeda pada setiap spesies ikan, dimana pada ikan kornivora kebutuhan protein lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan herbivora. Dari hasil analisis sidik ragam diperoleh sidik ragam seperti terlihat pada Tabel 4, sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap daya cerna protein pad aikan nila GIFT (Oreochiomis sp.). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap daya cerna protein ikan nila GIFT (Oreochiomis sp.). Dilihat dari kandungan serat

183

kasar pada 3 perlakuan (P0, P1, P2) menunjukkan kurang dari 10 persen, karena lebih dari 10 persen akan menyebabkan pertumbuhan menurun terhadap ikan-ikan Tilapia. Pada perlakuan P0 dengan kandungan serat kasar terendah (4,53%) memberikan daya cerna yang tertinggi (77,50%) sedangkan perlakuan P3 dengan kandungan serat kasar tertinggi (13,58%) memberikan daya cerna yang terendah (55,51%). SIMPULAN Substitusi tepung azolla terfermentasi sebesar 15% pada pakan ikan dapat meningkatkan produktivitas ikan Nila dengan hasil pertumbuhan mutlak sebesar 0,81 gram, rasio konversi pakan 3,14 dan daya cerna protein sebesar 67,68%. Penggunaan substitusi tepung azolla terfermentasi 15% dalam pakan ikan dapat menekan biaya produksi sebesar 15% jika dibandingkan penggunaan tepung kedelai tanpa substitusi. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, M.A and Tawwab, M. 2010. The use of caraway seed meal as a feed additive in fish diets: Growth performance, feed utilization, and whole-body composition of Nile tilapia, Oreochromis niloticus (L.) fingerlings. J.Aquaculture, Vol 314, Issue 1-4, $ april 2010, Pages 110-114 Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Penerbit Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal. Haetami dan Sastrawibawa, 2005. Evaluasi Kecernaan Tepung Azolla dalam Ransum Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum). Jurnal Bionatura, Vol 7, No 3, November 2005 : 225 – 233. Handajani, 2000. Peningkatan kadar protein tanaman Azolla microphylla dengan mikrosimbion Anabaena azollae dalam berbagai konsentrasi N dan P yang berbeda pada media tumbuh. Tesis. Progran Pasca Sarjana IPB. Bogor Handajani, 2006. Pemanfaatan Tepung Azolla Sebagai Penyusun Pakan Ikan Terhadap Pertumbuhan dan Daya Cerna Ikan Nila Gift (Oreochiomis sp). Jurnal Penelitian Gamma Vol 1 no 2, 2006 Handajani, 2007a. Peningkatan Nilai Nutrisi Tepung Azolla Melalui Fermentasi. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian UMM. Malang Handajani, 2007b. Pengaruh pemberian Bekatul

Jurnal Teknik Industri Vol. 12, No. 2 Agustus 2011: 178-184

Terfermentasi dengan Rhizophus sp sebagai Penyusun Pakan Ikan Terhadap Daya Cerna dan Pertumbuhan Ikan Nila Gift. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan UGM (ISBN: 978-979-99781-2-7) Handajani dan Widodo, 2010. Nutrisi Ikan. UMM Press. Malang Hariati, A.M. 1989. Makanan Ikan. LUW/UNIBRAW/ Fish Fisheries Project Malang. 99 hal. Lumpkin, T.A and D.L. Plucknet, 1982. Azolla a green manure: Use abd Management in Crop Production. Westview Tropical Agriculture

Series Tillman, D. Hariartadi, R. Soedomo, P. Soeharto dan D. Soekamto, 1984. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gajah Mada. 422 hal. Uktolseja, J.L.A. 2008. Deposisi Nutrisi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus, Burchell) Sebagai akibat Penambahan L-Karnitin Pada Dua taraf Lisin dan Lemak. Jurnal Penelitian Perikanan, Vol 11, No.2 Desember 2008. Hal:150-155. Zonneveld, N. E.A. Huinsman dan J.H. Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budaya Ikan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 318 hal.

Hany Handajani : Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan

184

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

AKUAKULTUR BERBASIS TROPHIC LEVEL: PEMANFAATAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN LELE Clarias sp. OLEH IKAN NILA Oreochromis niloticus MELALUI PENAMBAHAN MOLASE

BIDANG KEGIATAN : PKM-AI

Diusulkan oleh :

Rezi Hidayat

C14052808

2005

M. Fuadi

C14051516

2005

Darmawan Setia Budi C14063519

2006

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan

: Akuakultur Berbasis Trophic Level: Pemanfaatan Limbah Budidaya Ikan Lele Clarias sp. oleh Ikan Nila Oreochromis niloticus Melalui Penambahan Molase

2. Bidang Kegiatan 3. Ketua Pelaksana Program a. Nama Lengkap b. NIM c. Jurusan d. Universitas/Institut/Politeknik e. Alamat Rumah dan No Tel/HP f. Alamat Email 4. Anggota Pelaksana Kegiatan/Penulis 5. Dosen Pendamping a. Nama Lengkap dan Gelar b. NIP c. Alamat Rumah dan No Tel/HP d. No. Telp/HP

: (√) PKM-AI : Rezi Hidayat : C14052808 : Budidaya Perairan : Institut Pertanian Bogor : Wisma Aria Jl. Babakan Raya 3 No. 67B Dramaga Bogor 16680 no.HP 08567830318 : [email protected] : 2 Orang : Ir. Harton Arfah, M. Si : 131953484 : Jl. Belimbing 5 blok B-17 no 65, Taman Pagelaran, Ciomas, Bogor : (0251) 8628755 / 08128061555 Bogor, 22 Maret 2009

Menyetujui, Kepala Departemen Budidaya Perairan

Dr. Odang Carman NIP. 131 578 847 Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof. Dr. Ir. H. Yonny Koesmaryono NIP. 131 473 999

Ketua Pelaksana Kegiatan,

Rezi Hidayat NRP. C14052808 Dosen Pembimbing,

Ir. Harton Arfah, M.Si NIP. 131 953 484

AKUAKULTUR BERBASIS TROPHIC LEVEL: PEMANFAATAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN LELE Clarias sp. OLEH IKAN NILA Oreochromis niloticus MELALUI PENAMBAHAN MOLASE Rezi Hidayat, M. Fuadi, Darmawan Setia Budi Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRAK Akumulasi limbah perairan budidaya ikan merupakan faktor yang dapat menyebabkan turunnya tingkat produksi terkait dengan kualitas air yang memburuk. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu proses yang dapat menjadi solusi dari permasalahan tersebut. Makalah ini mengangkat tentang pamanfaatan limbah yang dihasilkan pada budidaya ikan lele (Clarias sp.) oleh ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui penambahan molase menggunakan konsep C/N ratio. Beberapa parameter yang diamati yaitu tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik, laju pertumbuhan harian, dan efisiensi pakan. Kegiatan dilakukan dengan penyiapan wadah budidaya, penebaran ikan, pemberian pakan dan molase, pengukuran kualitas air, sampling pertumbuhan, dan pemanenan. Dari percobaan, dihasilkan tingkat kelangsungan hidup ikan lele dan ikan nila yang dipelihara selama 46 hari masing-masing sebesar 94,625 % dan 98 %. Laju pertumbuhan spesifik ikan lele dan ikan nila tertinggi masing-masing sebesar 7,16 % dan 3,79% terjadi pada minggu ke-4. Sedangkan laju pertumbuhan harian ikan lele dan ikan nila tertinggi masing-masing sebesar 1,77 g/hari pada minggu ke-6 dan 0.39 g/hari pada minggu ke-4. Efisiensi pakan ikan lele adalah sebesar 85,8 %. Kata Kunci : ikan lele, ikan nila, molase, C/N ratio PENDAHULUAN Budidaya lele saat ini banyak dilakukan di kolam, baik kolam tanah, kolam tembok atau kolam yang dindingnya tembok dan dasarnya tanah dengan sistem intensif. Intensifikasi dicirikan dengan adanya peningkatan kepadatan ikan dan pakan tambahan. Masalah yang kemudian selalu muncul dalam budidaya secara intensif yaitu terjadinya penurunan kualitas air pada media budidaya yang disebabkan meningkatnya produk metabolit. Pada budidaya dengan sistem air yang tergenang, peningkatan kepadatan ikan dan pakan tambahan merupakan masalah yang membatasi produksi budidaya. Hal ini dapat menyebabkan menurunya pertumbuhan ikan (Helper dan Pruginin, 1990) Meningkatnya hasil buangan metabolisme ikan akhirnya dapat meningkatkan amoniak dalam air. Amoniak merupakan salah satu bentuk Nanorganik yang berbahaya bagi ikan. Menurut Boyd (1990), keberadaan amoniak mempengaruhi pertumbuhan karena mereduksi masukan oksigen akibat rusaknya insang, menambah energi untuk detoksifikasi, menggangu osmeregulasi dan mengakibatkan kerusakan fisik pada jaringan. Oleh sebab itu, pada budidaya yang

tidak dilakukan pergantian air, perlu dilakukan upaya untuk menangani limbah nitrogen ini, sehingga limbah tidak menjadi toksik bahkan bermanfaat dan menghasilkan sistem dan teknolgi budidaya yang lebih efisien, terutama dalam menciptakan sistem yang bersifat zero waste. Rasio C/N merupakan salah satu cara untuk perbaikan sistem budidaya intensif dan penerapan teknologi yang murah serta aplikatif dalam pengelolaan limbah budidaya. Penerapan teknologi pada rasio C/N berupa bioteknologi karena mengaktifkan kerja mikroba heteretrof. Hubungan rasio C/N dengan mekanisme kerja bakteri yaitu bakteri memperoleh makanan melalui substrat karbon dan nitrogen dengan perbandingan tertentu. Dengan demikian, bakteri dapat bekerja dengan optimal untuk mengubah N-anorganik yang toksik menjadi N-anorganik yang tidak toksik sehingga kualitas air dapat dipertahankan dan biomas bakteri berguna sebagai sumber protein bagi ikan. Mekanisme inilah yang berperan pada peningkatan efisiensi pakan. Secara umum, rasio C/N yang dikehendaki dari suatu sistem perairan adalah rasio C/N lebih dari 15 (Avnimelech et al., 1994). Penerapan sistem ini dilakukan dengan memelihara organisme yang memiliki trophic level lebih rendah dari ikan yang dibudidayakan. Dalam hal ini, ikan nila yang diyakini termasuk organisme pemakan bakteri dan plankton yang berasal dari limbah budidaya. Sumber nutrien utama bagi ikan bertropik level rendah dalam sistem ini adalah green alga dan mikroba atau bakteri. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung keberadaan bakteri sebagai nutrien alternatif dalam sistem ini yaitu penambahan karbon dalam media budidaya. Molase adalah salah satu sumber karbon yang dapat digunakan untuk mempercepat penurunan konsentarasi N-anorganik di dalam air. Molase mengandung senyawa nitrogen, trace element dan kandungan gula yang cukup tinggi terutama sukrosa sekitar 34% dan kandungan total karbon sekitar 37%. Molase berbentuk cair bewarna coklat seperti kecap dengan aroma yang khas. (Suastuti,1998 dalam Najjamuddin, 2008). Oleh karena itu, penambahan molase ke dalam media budidaya diharapkan mampu menurunkan amoniak dan peningkatan pertumbuhan ikan sehingga dapat meningkatkan produksi. METODOLOGI Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober 2008 hingga 25 Nopember 2008, bertempat di Laboratorium Lapangan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan adalah waring, patok bambu, tali, ember, penggaris, timbangan, seser, pH meter, DO meter, tabung erlenmeyer. Bahan yang digunakan adalah benih ikan lele dengan bobot rata-rata 5 gram (rata-rata panjang 3 inch per ekor) sebanyak 1600 ekor, benih ikan nila dengan bobot rata-rata 6 gram per ekor sebanyak 600 ekor, molase, kotoran puyuh, TSP, kapur dan pakan ikan.

Metode Kerja Pemasangan Jaring Waring yang digunakan adalah waring yang berukuran 5 m x 5 m x 2 m. Waring dipasang di bagian tengah kolam dengan cara diikatkan pada patok yang dipasang pada empat sisi kolam. Ikatan tali pada patok harus dipastikan kuat agar tali tidak mudah terlepas. Penebaran Ikan Sebelum ikan di tebar, kolam diberi kapur dengan dosis 100 g/m2 yang bertujuan untuk meningkatkan pH di tanah dan dilakukan pemberian pupuk urea 15 g/m2, TSP 10 g/m2, pupuk kandang berupa kotoran puyuh 500 g/m2. Pemberian pupuk bertujuan untuk menumbuhkan pakan alami. Setelah itu benih di tebar. Benih ikan yang di tebar pertama kali adalah ikan lele di dalam waring setelah itu ikan nila di luar waring. Sebelum ditebar ikan harus diaklimatisasi agar ikan tidak mengalami stres karena perbedaan kondisi lingkungan diperairan. Pemberian Pakan dan Molase Pemberian pakan diberikan sebanyak tiga kali sehari yaitu pada pagi hari, siang hari dan sore hari. Pemberian pakan didasarkan pada nilai FR (feeding rate) dari biomassa ikan lele tiap minggunya. Nilai FR yang digunakan selama pemeliharaan berturut-turut pada adalah sebesar 12%, 10%, 7%, 6%, 6%, dan 5%. Sedangkan pemberian molase diberikan sekali sehari dengan cara disebar secara merata pada media pemeliharaan ikan nila. Molase yang diberikan sebanyak 0,44 dari jumlah pakan harian, berdasarkan perhitungan C/N ratio (lampiran). Pengukuran Kualitas Air dan Penghitungan Plankton Kualitas air yang dihitung adalah suhu, DO, pH, alkalinitas, kesadahan dan kadar amoniak. Penghitungan suhu, DO dan PH menggunakan DO meter. Penghitungan plankton bertujuan untuk mengetahui kepadatan plankton dalam perairan. Plankton diambil menggunakan plankton net. Kemudian, plankton ditempatkan pada wadah dan diambil untuk dihitung jumlahnya di atas haemocytometer. Sampling Pertumbuhan Pengukuran pertumbuhan ikan meliputi pengukuran panjang dan bobot. Pengukuran panjang dan bobot ikan dilakukan seminggu sekali dengan sampel sebanyak 30 ekor ikan. Hasil pengukuran bobot ikan digunakan dalam estimasi banyaknya pakan yang akan diberikan (FR).

Pemanenan Pemanenan dilakukan dengan cara memindahkan wadah pemeliharaan lele ke pinggir kolam. Ikan diambil dengan menggunakan jaring kemudian dipindahkan ke dalam tandon kemudian sortir untuk dijual. Analisis Data Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan berbagai parameter yaitu: - Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate/SR) Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR) digunakan Persamaan: SR =

Nt × 100 % No

Keterangan: SR : Kelangsungan hidup/Survival Rate (%) Nt : Jumlah benih ikan akhir/panen (ekor) No : Jumlah benih ikan awaL/penebaran (ekor). (Sumber: Effendi, 2004) - Laju Pertumbuhan Spesifik (Spesific Growth Rate) Untuk mengetahui laju pertumbuhan spesifik digunakan persamaan : ⎡ Wt ⎤ − 1⎥ x100% SGR = ⎢t ⎣ Wo ⎦

Keterangan : SGR : Laju pertumbuhan spesifik (Spesific Growth Rate) (%/hari) Wt : Bobot rata-rata ikan pada saat akhir (gram) W0 : Bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram) t : Masa pemeliharaan (hari) (Sumber: Effendi, 2004) - Laju Pertumbuhan Harian Untuk mengetahui laju pertumbuhan harian digunakan persamaan : Wt − Wo GR = t Ket : GR : Laju pertumbuhan harian (Growth Rate) Wt : Bobot ikan saat pengukuran t waktu Wo : Bobot ikan saat pengukuran di awal t : Waktu pengukuran saat sampling (Sumber: Effendi, 2004) - Efisiensi Pakan Rumus dari Efisiensi Pakan (EP) adalah sebagai berikut: Pertambahan Bobot Tubuh (g/Kg) EP = Banyak Pakan yang Dimakan (g/Kg) (Sumber: Lovell, 1989)

HASIL DAN PEMBAHASAN

101 100 99

SR ikan lele

SR (%)

98 97 96

SR ikan nila

95 94 93 92 91 0

1

2

3

4

5

6

Waktu Sampling (minggu)

(a) 8 7

SGR ikan lele

SGR(%)

5 4

SGR ikan nila

3 2 1 0

GR(gr/ hari)

6

2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0

GR ikan lele

GR ikan nila

1 1

2

3

4

5

6

2

3

4

5

6

waktu sampling (minggu/ per 7 hari)

waktu sampling (minggu)

(b) (c) Gambar 1. (a) Grafik Tingkat Kelangsungan (SR), (b) Grafik Laju Pertumbuhan Spesifik, dan (c) Grafik Laju Pertumbuhan Harian Ikan Lele dan ikan Nila Budidaya ikan berbasis pellet atau yang lebih dikenal dengan budidaya ikan intensif merupakan kegiatan usaha yang efisien secara mikro tetapi inefisien secara makro, terutama apabila ditinjau dari segi dampaknya terhadap lingkungan. Sistem budidaya seperti ini akan menghasilkan total beban limbah pakan yang lebih banyak daripada yang teretensi menjadi daging ikan. Limbah budidaya yang dimaksud merupakan akumulasi dari residu organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan, ekskresi amoniak, feces dan partikel-partikel pakan (Avnimelech et al., 1994). Hal tersebut akan berdampak pada rendahnya efisiensi pakan yang dihasilkan. Oleh karena itu, kelimpahan bakteri sebagai single cell protein perlu ditingkatkan agar dapat mengurangi limbah N dengan cara memanipulasi lingkungan melalui C/N rasio. Selanjutnya, ikan filter feeder seperti ikan nila diharapkan mampu memanfaatkan single cell protein sebagai sumber pakan alternatif sehingga efisinsi pakan untuk usaha budidaya bisa dioptimalkan. Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa kelangsungan hidup ikan lele dan ikan nila yang dipelihara selama 46 hari masing-masing sebesar 94,625 % dan 98 %. Dari setiap sampling terjadi penurunan jumlah ikan. Penurunan drastis terjadi pada minggu pertama untuk ikan nila sedangkan pada ikan lele terjadi penurunan di minggu kedua. Hal ini disebabkan terjadinya stres pada ikan yang selanjutnya

ikan menjadi rentan terhadap penyakit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sulistyowati (2002) dalam Fitriah (2004), bahwa stres dianggap sebagai faktor utama penyebab penyakit karena stres akan mengganggu mekanisme sistem imun yaitu mekanisme fisiologis ikan untuk bertahan dalam kondisi lingkungan yang menguntungkan, sehingga dapat mengurangi resistensi ikan. Di samping itu, penurunan SR pada ikan lele disebabkan terjadinya kanibalisme. Laju pertumbuhan spesifik (SGR) pada ikan lele dan ikan nila berfluktuatif pada setiap minggunya. SGR ikan lele pada awal pemeliharaan (minggu ke-1) sebesar 2 % dengan nilai tertinggi pada minggu ke-4 sebesar 7,16 % dan nilai terendah pada minggu ke-5 sebesar 6,76 %. SGR ikan nila pada awal pemeliharaan (minggu ke-1) sebesar 2,27 % dengan nilai tertinggi pada minggu ke-4 sebesar 3,79% dan nilai terendah pada minggu ke-3 sebesar 1,18%. Ikan lele pada minggu ke-4 telah mencapai titik Critical Standing Crop (CSC) dimana ketika pemeliharaan dilanjutkan pertumbuhan akan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan pakan yang diberikan telah digunakan untuk pertahanan hidupnya (maintenance) bukan lagi untuk pertumbuhan. Sedangkan ikan nila mengalami fluktuatif nilai SGR karena diduga jumlah molase yang diberikan tidak tersebar secara merata sehingga nitrogen yang berasal dari amoniak limbah ikan lele tidak semuanya terikat oleh karbon dari molase. Ketidaksempurnaan karbon dalam mengikat nitrogen tersebut akan mempengaruhi kerja bakteri heterotrof di media pemeliharaan, dimana sebagian besar bakteri heterotrof memanfaatkan karbon yang berasal dari substrat molase. Laju pertumbuhan harian (GR) pada ikan lele terus meningkat dan pada ikan nila berfluktuatif pada setiap minggunya. GR ikan lele pada awal pemeliharaan (minggu ke-1) sebesar 0,09g/hari dengan nilai tertinggi pada minggu ke-6 sebesar 1,77 g/hari. GR ikan nila pada awal pemeliharaan (minggu ke-1) sebesar 0,14 g/hari dengan nilai tertinggi pada minggu ke-4 sebesar 0.39g/hari dan nilai terendah pada minggu ke-3 sebesar 0,08 g/hari. Laju pertumbuhan harian (GR) ikan lele meningkat karena pakan yang diberikan memenuhi pertumbuhan yang optimal, sehingga GR selalu meningkat setiap minggunya. Sedangkan pada ikan nila tidak dilakukan pemberian pakan namun tetap terjadi pertumbuhan. Faktor utama penyebab pertumbuhan adalah ketersediaan bakteri dan tingkat konsumsi ikan nila. Ketersediaan bakteri ini tidak terlepas dari penambahan molase. Nilai efisiensi pemberian pakan menunjukkan jumlah pakan yang menghasilkan energi dan dapat dimanfaatkan oleh ikan untuk kebutuhan kelangsungan hidup atau maintenance dan sisanya untuk pertumbuhan (Watanabe, 2002). Tingkat efisiensi pakan ikan lele sebesar 85,8% sedangkan tingkat efisiensi pakan untuk ikan nila tidak ada karena menggunakan pakan alami dan tidak diberi pakan tambahan dari luar. Hal ini diduga adanya peranan tambahan dari mikroba yang tumbuh akibat penambahan molase ke dalam media pemeliharaan seperti yang dinyatakan oleh Avnimelech (1994), bahwa bakteri dan mikroorganisme lainnya memanfaatkan karbohidrat sebagai pakan untuk menghasilkan energi dan sumber karbon dan bersama dengan N di air memproduksi protein sel baru. Sehingga adanya penambahan molase ke dalam media pemeliharaan menyebabkan tumbuhnya pakan alami bagi ikan nila dan ikan lele. Tingkat efisiensi pakan berhubungan dengan feed convertion ratio (FCR) dimana saat tingkat efisiensi pakan tinggi, FCR yang dihasilkan rendah.

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data FCR ikan lele sebesar 1,17. Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang diberikan dimanfaatkan oleh ikan lele secara optimal untuk mendukung pertumbuhan terutama dalam produksi daging. Selain itu, faktor kualitas air yang mendukung (khususnya amonia dan nitrit) juga sangat berpengaruh terhadap FCR yang diperoleh. Kualitas air yang mendukung ini disebabkan adanya penambahan molase sehingga amonia yang dihasilkan ikan lele akan diikat oleh karbon dari molase dengan bantuan bakteri heterotrof. Secara umum kondisi kualitas air yang meliputi parameter suhu, kandungan oksigen terlarut, pH, amonia, alkalinitas dan kesadahan masih berada pada kisaran normal selama masa pemeliharaan dan masih mendukung terjadinya pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena kerja dari bakteri heterotrof yang berperan penting untuk menjaga keseimbangan kualitas air (Sugita et al, 1985 dalam Najamuddin, 2008).

KESIMPULAN Ikan nila dalam sistem budidaya berbasis trophic level dapat memanfaatkan limbah budidaya ikan lele melalui penambahan molase pada media pemeliharaan. Hasil yang diperoleh yaitu tingkat kelangsungan hidup, efisiensi pakan, dan FCR pada ikan lele masing-masing sebesar 94,625 %, 85,8 %, dan 1,17. Sedangkan pada ikan nila tingkat kelangsungan hidup sebesar 98 %.

DAFTAR PUSTAKA Avnimiech, Y., M. Kochva and Shaker. 1994. Development of Controlled Intensif Aquaculture Systems with A Limited Water Exchange and Adjusted Carbon to Nitrogen Ratio. Bamidgeh. 46 (3): 1999-131. Boyd, C. E. 1990. Water Quality Management in Aquaculture and Fisheries Science. Elsevier Scientific Publishing Company Amsterdam. 3125p. Effendi, Irzal. 2004. Dasar-Dasar Akuakultur. Jakarta: Penebar Swadaya. Fitriah, Husnul. 2004. Pengaruh Penambahan Dosis Karbon Berbeda pada Media Pemeliharaan terhadap Produksi Benih Lele Dumbo (Clarias sp.) Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hepher, B. And Prugnin. Y. 1990. Nutrition of Pond Fishes. Cambrige. University Press. 388 pp. Lovell, T. 1989. Nutrition and Feeding of Fish. An A VI Book. Published by Van Nonstrand Reinhold. New York. 260pp.

Najamuddin, Musyawarah. 2008. Pengaruh Penambahan Dosis Karbon yang Berbeda terhadap Produksi Benih Ikan Patin (Pangasius sp.) pada Sistem Pendederan Intensif. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Watanabe, T. 2002. Effect of dietary protein levels and feeding period before spawning on chemical components of eggs produced by red sea bream broodstock. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish. 51 (9) : 1501-1509.

Lampiran-Lampiran

(a) (b) Gambar 2. (a). Proses Pemanenan dan (b) Ikan Lele Hasil Panen Tabel 1. Nilai SR, GR, SGR, Efisiensi Pakan dan FCR dari ikan lele dan ikan nila Sampli ng ke-

SR lele (%)

SR nila (%)

0 1 2 3 4 5 6

100 98.8125 95.5 95.3125 95.125 94.75 94.625

100 98.125 98.125 98.125 98.125 98.125 98

GR lele (g/hari ) 0.09 0.54 0.75 1.06 1.27 1.77

Tabel 2. Kelimpahan Fitoplankton Sampling 5 6

Jumlah 1,03 x 1016 individu 1,06 x 1016 individu

GR nila (g/hari ) 0.14 0.21 0.08 0.39 0.28 0.30

SGR lele (%)

SGR nila (%)

Efisiensi Pakan ikan lele

FCR ikan lele

2.00 6.80 7.00 7.16 6.76 6.80

2.27 2.94 1.18 3.79 2.78 2.70

85,8%

1,17

Tabel 3. Data Kualitas Air pH 6.39 6.39 6.39 7.7 6.98 6.27 6.12

Suhu 27.1 27.1 27.5 30.4 29.6 27.65 29

DO (mg/l) 5.09 5.09 1.4 4.25 5.34 3.35 4.85

Perhitungan C/N ratio: - Estimasi FCR pakan = 1,4 - Pakan pellet = 28% protein -

Nitrit 0.053 0.053 0.047 0.816 0.061 0.054 0.054

Amonia 0.08 0.08 0.12 0.066 0.617 0.029 0.029

Alkalinitas 202.582 202.582 55.72 169.15 212.532 133.33 99.5

EP = 1/1,4 = 0,71 = 71% N dalam protein = 6,25 N dalam pellet = 0,28/6,25 = 0,0448

Mollase mengandung 37% C C/N bakteri = 5/1 Daya konversi C oleh bakteri = 40%

M = Pt x B x Np x C/N bakteri x 1/dc x 1/% C mollase Keterangan: M = jumlah mollase yang dibutuhkan (gr) Pt = protein pakan pellet yang terbuang (%) B = jumlah pakan harian (gr) Np = Nitrogen dalam pellet (%) dc = daya konversi karbon oleh bakteri (%) M = Pt x B x Np x C/N bakteri x 1/dc x 1/% C mollase = (1-0,71) x B x 0,045 x 5 x 1/0,4 x 1/0,37 = 0,44 B Jadi, mollase diberikan sebanyak 0,44 kali dari jumlah pakan harian.

PEMBERIAN TEPUNG LIMBAH UDANG YANG DIFERMENTASI DALAM RANSUM PAKAN BUATAN TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN, RASIO KONVERSI PAKAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Muhammad Hadi, Agustono dan Yudi Cahyoko, 2009. 14 hal. Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung limbah udang yang difermentasi terhadap pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloicus). Perlakuan pada penelitian ini adalah pemberian tepung limbah udang yang difermentasi dalam pakan buatan yaitu 0%, 2,5%, 5%, 7,5%, 10%. Tiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Komposisi pakan di susun secara isoprotein. Bobot ikan rata-rata 6,1 - 6,8 g. Ikan dipelihara dengan kepadatan 3 ekor per 20 liter air dan ikan dipelihara selama 40 hari. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Peubah yang diamati adalah pertambahan bobot tubuh, rasio konversi pakan dan kelangsungan hidup. Analisis data menggunakan analisis ragam Analysis of Variance (ANOVA) untuk mempengaruhi pengaruh perlakuan dan apabila terdapat perbedaan, maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan tertinggi dicapai pada pakan yang mengandung tepung limbah udang yang difermentasi sebesar 10%. Rasio konversi pakan terbaik dicapai pada perlakuan yang mengandung tepung limbah udang yang difermentasi sebesar 10%. Kata kunci : Ikan Nila, Tepung limbah udang yang difermentasi, laju pertumbuhan The Given Fermentation the Prawn Waste Flour in Artificial feed on Growth, feed Convertion Ratio and Survival Rate of Black Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). Muhammad Hadi, Agustono dan Yudi Cahyoko, 2009. 14 P. Abstract The aim of this research was to find out optimum percentage of given fermentation the prawn waste flour in artificial feed on growth of black nile tilapia. The treatment of this research was giving fermentation the prawn waste flour in artificial feed i.e. 0%, 2,5%, 5%, 7,5%, 10%. Each treatment was repeated 4 times. Feed compositon was made of isoprotein. Fishes weight were about 6.1 – 6.8 g. Fishes were cultured with stocking rate 3 fish per 20 liter water and the fishes were reared for 40 days. Feed amount that consumed by fishes was measured every day to calculate feed conversion ratio. The calculation of fishes amount was done in beginning and end of research to count survival rate of fishes. Water quality was measured on

beginning, middle and end of research. The design of this research was Completely Randomized Design. Data analysis used Analysis of Variance (ANOVA) to know the effect of the treatment and that difference among the treatment used Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). The result of the research showed that the highest growrth rate were attained on feed containing 10% of fermented prawn waste flour. The best Feed Convertio Ratio were attained on feed containing 10% of fermented prawn waste flour. Key word : Nile Tilapia, Fermentation the Prawn Waste Flour, Growth Pendahuluan Latar Belakang Budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai prospek yang bagus untuk dikembangkan di Indonesia, karena budidayanya dapat dilakukan di tambak dan Karamba Jaring Apung (KJA) di perairan umum. Ikan nila (Oreochromis nilolicus) mudah berkembang biak, pertumbuhannya cepat, ukuran badan relatif besar, tahan terhadap penyakit, mudah beradaptasi dengan lingkungan, harganya relatif murah dan mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi sebagai sumber protein hewani. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan omnivore, artinya dapat memakan tumbuhan maupun hewan (Wardoyo, 2005). Kendala yang dihadapi pembudidaya ikan saat ini adalah tingginya harga pakan komersil yang mengakibatkan keuntungan yang diperoleh pembudidaya ikan rendah. Penyusunan ransum ikan sebaiknya digunakan protein yang berasal dari sumber nabati dan hewani secara bersama-sama untuk mencapai keseimbangan nutrisi dengan harga relatif murah (Mudjiman, 2002). Pakan yang diberikan pada ikan hendaknya bermutu baik sesuai dengan kebutuhan ikan, tersedia setiap saat, dapat menjamin kesehatan dan harganya murah (Amri, 2006). Salah satu bahan pakan alternatif sebagai sumber protein hewani adalah limbah udang yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ikan. Widjaja (1993) dalam Poultry Indonesia (2007) menyatakan salah satu pilihan sumber protein adalah tepung limbah udang. Tepung limbah udang merupakan limbah industri pengolahan udang yang terdiri dari kepala dan kulit udang. Hasil analisis berdasarkan bahan kering bahwa tepung limbah udang mengandung 45,29% protein kasar, 17,59% serat kasar, 6,62% lemak, 18,65%

abu, 13,16 BETN (Poultry Indonesia, 2007). Tepung limbah udang yang digunakan dalam ransum pakan buatan hanya sebesar 10% dan bila dipakai sebagai pengganti tepung ikan, maka tepung limbah udang mempunyai kelemahan, yaitu serat kasar tinggi dan mempunyai khitin. Berdasarkan hasil analisis ini terlihat bahwa kandungan protein kasar dari tepung limbah udang cukup baik dijadikan sebagai bahan pakan ikan. Tingginya kandungan

serat

kasar

tepung limbah udang

menjadi kendala

dalam

penggunaannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan tepung limbah udang dengan cara fermentasi. Al-Arif dan Setyono (2005) menyatakan fermentasi bisa digunakan untuk mengolah bahan pakan yang sulit dicerna menjadi lebih mudah dicerna. Perumusan Masalah Apakah pemberian tepung limbah udang yang difermentasi dalam ransum pakan buatan akan memberikan pertumbuhan yang berbeda pada ikan nila (Oreochromis niloicus)? Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung limbah udang yang difermentasi terhadap pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloicus). Kegunaan Kegunaan penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah bagi ilmuwan, mahasiswa dan para pembudidaya tentang kegunaan tepung limbah udang yang difermentasi terhadap pertumbuhan ikan nila.

Metodologi Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 18 Pebruari 2009– 29 Maret 2009 di Laboratorium Pendidikan Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan dan pembuatan pakan dilakukan di Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Alat dan Bahan Penelitian Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian adalah bak plastik dengan tinggi 20 cm dan berdiameter 40 cm sebanyak 20 buah, selang aerasi dan batu aerasi, selang sifon, timbangan, ayakan, penggiling tepung, seser, panci pengukus, seser, timbangan dan penggaris, kertas lakmus, termometer, beker glass, ammonia testkit, botol winkler, pipet, labu erlenmeyer (volume 250-300 ml) serta oven.

Bahan Penelitian Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan berat rata – rata 6 gram sebanyak seratus ekor yang diperoleh dari petani ikan Desa Jambangan, Surabaya, tepung limbah udang yang difermentasi, tepung ikan, tepung jagung, tepung kedelai, mineral mix, vitamin mix, tepung terigu, tetes tebu dan tepung bekicot. Metode Penelitian Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metoda eksperimen, menggunakan Rancangan acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan tersebut adalah perlakuan A adalah ransum mengandung 0% tepung limbah udang difermentasi. Perlakuan B adalah ransum mengandung 2,5% tepung limbah udang

difermentasi. Pelakuan C adalah ransum mengandung 5% tepung limbah udang difermentasi. Perlakuan D adalah ransum mengandung 7,5% tepung limbah udang difermentasi. Perlakuan E adalah ransum mengandung 10% tepung limbah udang difermentasi. Prosedur Kerja Pembuatan Pakan Bahan pakan yang akan digunakan, dianalisis proksimat untuk mengetahui kandungan nutrisinya, Kemudian, ditentukan komposisi pakan antar perlakuan yang dihitung dengan metode uji coba. Pakan buatan kering sebelum digunakan dianalisis proksimat untuk mengetahui nilai nutrisinya. Pakan berupa pellet ukurannya disesuaikan dengan bukaan mulut ikan dengan cara ditumbuk terlebih dahulu. Persiapan Ikan Uji. Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila (Oreochromis niloticus) yang berbobot rata-rata 6 gram dengan panjang ± 6-7 cm. Ikan nila yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan yang sehat, tidak terserang penyakit dan homogen. Setiap bak diisi 3 benih ikan nila yang diadaptasikan terlebih dahulu.

Persiapan Bak dan Air Media Pemeliharaan. Bak plastik yang digunakan berukuran tinggi 20 cm dan berdiameter 40 cm. Bak yang digunakan sebelumnya dibersihkan dan disterilisasi terlebih dahulu agar terhindar dari penyakit. Sebelum digunakan, bak penelitian dicuci menggunakan sabun detergen dan dibilas sampai bersih selanjutnya bak dikeringkan. Media pemeliharaan adalah air tawar yang sebelumnya diaerasi selama satu hari. Air tersebut ditempatkan di dalam bak plastik berbentuk silinder yang berjumlah 20 buah dan dilengkapi dengan aerator. Masing-masing bak diisi satu ekor / 6,5 liter (Arie. 2007). Suhu air media pemeliharaan dipertahankan berkisar antara 25-27oC dan pH 6-8.

Pemeliharaan Benih Ikan Nila Selama pemeliharaan air diganti setiap hari sebanyak 50 % agar kualitas air tetap baik. Penyifonan kotoran sisa pakan dan feses dilakukan setiap hari. Setiap sepuluh hari sekali air diganti total bersamaan dengan waktu penimbangan ikan. Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian meliputi oksigen, suhu, pH dan ammonia yang diukur pada awal, pertengahan dan akhir penelitian. Cara Penimbangan Ikan Sebelum ditimbang ikan dipuasakan dahulu selama satu hari, setelah itu ikan ditimbang dengan cara mengambil wadah kecil yang berbentuk tabung yang mempunyai tinggi 9 cm dan diameter 10 cm yang telah diberi air tawar dan ditimbang terlebih dahulu, setelah itu baru ikan dimasukan ke dalam wadah dan ditimbang lagi. Hasil berat ikan yang didapat yaitu berat timbangan akhir dikurangi dengan berat timbangan awal. Parameter Penelitian Parameter uji utama pada penelitian ini adalah pertumbuhan ikan nila, rasio konversi pakan dan kelangsungan hidup ikan nila. Pertumbuhan yang diukur adalah berat ikan. Penghitungan laju pertumbuhan harian dirumuskan oleh Huismann (1976) sebagai berikut : Wt = Wo (1 + 0,01 α)t Keterangan :

Wt Wo α t

= Bobot rata-rata individu ikan pada waktu t (g) = Bobot rata-rata individu ikan pada waktu t = 0 (g) = Laju pertumbuhan harian individu (%) = Waktu (hari)

Rasio konversi pakan dihitung berdasarkan pendapat Djarijah (1995) sebagai berikut : FCR = Keterangan :

F______ (Wt + D) – W0 FCR F Wt Wo D

= Rasio konversi pakan = Jumlah pakan yang dikonsumsi (g) = Berat akhir penelitian (g) = Berat awal penelitian (g) = Bobot ikan yang mati selama penelitian (g)

Kelangsungan hidup dapat dirumuskan (Mudjiman, 2002) sebagai berikut: SR = Nt x 100% No Keterangan: SR = Kelangsungan hidup (%) Nt = Jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian (ekor) No = Jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian (ekor)

Parameter uji penunjang pada penelitian ini adalah kualitas air yaitu: suhu, derajat keasaman (pH), oksigen terlarut dan ammonia (NH3). Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan dengan derajat kepercayaan 95% (Rochiman, 1989). Hasil dan Pembahasan Hasil Laju Pertumbuhan Harian Data biomassa dan bobot rata – rata ikan nila terdapat pada Lampiran 1. Laju pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Laju Pertumbuhan harian rata – rata (%) ikan nila pada setiap perlakuan selama penelitian 40 hari. Perlakuan

Laju Pertumbuhan Harian ± SD

Transformasi √Y ± SD

A

0,56 ± 0,02

0,75d ± 0,01

B

0,66 ± 0,01

0,82c± 0,01

C

0,71 ± 0,04

0,84 bc ± 0,03

D

0,75 ± 0,03

0,87b ± 0,02

E

1,05 ± 0,04

1,03a ± 0,02

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan Perbedaan (P<0.05%)

Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa bobot ikan tertinggi dicapai pada pakan yang mengandung tepung limbah udang yang difermentasi sebesar 10%

dan berturut-turut diikuti oleh pakan yang mengandung tepung limbah udang yang difermentasi 7,5%, 5%, 2,5% dan 0%. Rata-rata pertumbuhan semakin meningkat dengan bertambahnya waktu pemeliharaan. Laju pertumbuhan tertinggi didapat pada perlakuan E (1,05%) dan laju pertumbuhan terendah didapat pada perlakuan A (0,56%). Rasio Konversi Pakan Rata-rata rasio konversi pakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rasio Konversi Pakan rata – rata ikan nila pada setiap perlakuan selama penelitian 40 hari . Perlakuan Rasio konversi pakan ± SD A

8,46 a ± 0,29

B

7,63b± 0,52

C

6,84 c ± 0,46

D

6,56 c ± 0,54

E

4,53d ± 0,11

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan Perbedaan (P<0.05%)

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan persentase tepung limbah udang yang difermentasi dan diberikan dalam pakan sebesar 0%, 2,5%, 5%, 7,5% dan 10% menghasilkan rasio konversi pakan yang berbeda (P<0,05). Rasio konversi pakan tertinggi didapat pada perlakuan A (8,46) dan rasio konversi pakan terendah pada perlakuan E (4,53). Semakin tinggi rasio konversi pakan menunjukkan bahwa pakan yang dikonsumsi memiliki kualitas kurang bagus dan efisiensi pakan jelek. Kelangsungan Hidup Data kelangsungan hidup dapat dilihat pada Tabel 3. Data kelangsungan hidup selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil uji statistik (Lampiran 8) menunjukkan bahwa persentase tepung limbah udang yang difermentasi dalam

pakan sebesar 0%, 2,5%, 5%, 7,5% dan 10% menghasilkan kelangsungan hidup yang sama (P>0.05). Tabel 3. Kelangsungan hidup rata – rata (%) ikan nila pada setiap perlakuan selama penelitian 40 hari Perlakuan

Kelangsungan Hidup ± SD

Transformasi arcsin√Y ± SD

A

67 ± 0

54.74 ± 0

B

75 ± 16,5

63.1 ± 16,72

C

67 ± 0

54.74 ± 0

D

67 ± 0

54.74a ± 0

E

67 ± 0

54.74 ± 0

a

a

a

a

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan Perbedaan (P>0.05%)

Kualitas Air Data nilai kisaran kualitas air selama penelitian selama 40 hari dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai kisaran kualitas air selama penelitian. Parameter Kualitas Air Suhu

Nilai Kisaran 27°– 28° C

pH

7 – 7,5

Oksigen Terlarut Ammonia

5 – 6 mg/L 0,006 – 0,02 mg/L

Pembahasan Pertambahan bobot atau panjang tubuh pada waktu tertentu disebut pertumbuhan mutlak (Effendi, 1997). Rata-rata pertumbuhan ikan pada penelitian ini mengalami peningktan seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan. Laju pertumbuhan berkaitan erat dengan pertambahan bobot yang berasal dari penggunaan protein, lemak, karbohidrat dari pakan yang dikonsumsi ikan (Bardach et al., 1972). Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan

tertinggi didapat pada perlakuan pakan yang mengandung tepung limbah udang yang difermentasi sebanyak 10%. Kualitas tepung ikan secara umum lebih baik dari tepung limbah udang, namun tepung ikan menghasilkan laju pertumbuhan yang rendah. Tepung ikan yang dipakai diduga mempunyai kualitas protein dan komposisi asam amino rendah yang disebabkan oleh cara penyimpanan, cara pembuatan maupun adanya subalan. Peningkatan laju pertumbuhan ini diduga karena tepung limbah udang yang difermentasi mengambil peranan asam amino yang dikandung oleh tepung ikan. Protein dalam pakan yang diberikan dapat dicerna dengan baik oleh ikan serta kandungan asam amino dalam pakan tersebut dapat menunjang dalam pertumbuhan ikan nila. Asam amino esesnsial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan adalah arginin, lisin dan histidin. Arginin merupakan asam amino yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan optimal ikan muda. Di samping berperan dalam sintesia protein, arginin juga berperan dalam biosintesis urea. Histidin merupakan asam amino esensial bagi pertumbuhan larva dan anak-anak ikan. Histidin diperlukan untuk menjaga keseimbangan nitrogen dalam tubuh. Tacon (1986) dalam Haetami dkk. (2006) menjelaskan bahwa serat kasar bukan merupakan zat gizi bagi benih ikan karena tidak dapat dicerna oleh benih ikan. Toleransi serat kasar benih ikan nila hanya empat persen Sedangkan menurut Mudjiman (1994), batasan serat yang terkandung dalam pakan ikan adalah delapan persen. Serat kasar yang terkandung dalam limbah udang diduga terdegradasi karena proses fermentasi. Fermentasi yang dilakukan oleh bakteri, mengakibatkan perubahan kimia dari suatu senyawa yang bersifat kompleks menjadi senyawa yang sederhana, sehingga dapat memberikan efek positif (Haetami, 2006). Serat kasar yang terkandung dalam pakan perlakuan E masih bisa ditolerir. Rasio konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan yang dihasilkan. Rasio konversi pakan dalam penelitian ini secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata. Rasio konversi pakan pada perlakuan E (10%) adalah 4,53, sedangkan pada perlakuan A (0%) adalah 8,46. Semakin tinggi rasio konversi

pakan menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan semakin tidak efektif dan efisien. Nilai konversi terbaik dicapai pada perlakuan E (10%) karena pakan dapat menghasilkan pertumbuhan tertinggi. Pakan yang mengandung 10% tepung limbah udang yang difermentasi dapat menghasilkan pertumbuhan tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa tepung limbah udang yang difermentasi dapat dimanfaatkan oleh ikan nila. Pertumbuhan tertinggi akan menghasilkan rasio konversi pakan yang lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain. Kandungan khitin yang terkandung dalm tepung limbah udang yang difermentasi diduga dapat dipecah menjadi bentuk yang sederhana sehingga dapat dicerna. Shiau dan Yu (1999) dalam Jatomea et al. (2002) menjelaskan bahwa khitin mempunyai dampak yang kurang baik terhadap pertumbuhan dan rasio konversi pakan pada ikan nila. Fox et al. (1999) dalam Jatomea et al. (2002) menjelaskan bahwa dampak dari khitin dapat dihindari dengan proses fermentasi yang dapat memecah khitin Poesponegoro (1975) dalam Amri (2007) menyatakan hasil fermentasi diantaranya akan mempunyai nilai gizi yang tinggi, yaitu mengubah bahan makanan yang mengandung protein, lemak dan karbohidrat yang sulit dicerna menjadi mudah dicerna dan menghasilkan aroma dan flavor yang khas. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan persentase pemberian tepung limbah udang yang difermentasi dalam pakan menghasilkan kelangsungan hidup yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada perlakuan E (10%) sebesar 67% dan perlakuan A (0%) sebesar 67%. Kematian ikan yang terjadi selama penelitian diduga adanya beberapa faktor diantaranya penangganan ikan yang kurang hatihati. Pengambilan dan penimbangan ikan, pemindahan ke bak-bak percobaan pada awal penelitian yang kurang hati-hati dapat menyebabakan ikan berontak dan terluka menyebabkan bakteri masuk sehingga dapat menimbulkan kematian. Subagyo dkk (1998) menyatakan bahwa kemungkinan penyebab rendahnya kelangsungan hidup ikan karena ikan dalam keadaan lemah sebagai akibat seringnya dilakukan pengambilan contoh (sampling). Selama penelitian, suhu air berkisar antara 27 o-28 oC. Pada kisaran suhu tersebut, benih ikan nila dapat hidup dengan baik nafsu makannya tinggi. Santoso (1996)

menyatakan

bahwa

suhu

optimum

untuk

pertumbuhan

dan

perkembangbiakan ikan nila sebesar 25-30 o C. Selama penelitian berlangsung pH air berkisar antara 7-7,5. Lovell (1989) menyatakan bahwa ikan nila mampu mentolelir pH air antara 5-11. Oksigen

terlarut

dalam

media

penelitian

mempengaruhi

tingkat

kelangsungan hidup benih. Konsentrasi oksigen terlarut dalam penelitian ini berkisar antara 5-6 mg/L. Boyd (1990) memberikan kisaran oksigen yang baik bagi kehidupan ikan nila yaitu lebih dari 5 mg/L. Konsentrasi ammonia selama penelitian berkisar antara 0,006-0,02 mg/L. Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a) Dosis tepung limbah udang yang difermentasi sebanyak 10 % yang diberikan dalam ransum pakan buatan dapat meningkatkan laju pertumbuhan pada pemeliharaan benih ikan nila. b) Pemberian tepung limbah udang yang difermentasi pada ransum pakan buatan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap rasio konversi pakan. c) Pemberian tepung limbah udang yang difermentasi pada ransum pakan buatan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap tingkat kelangsungan hidup. Saran Perlu adanya penelitian lanjutan untuk menentukan batas pemakaian tepung limbah udang yang difermentasi dalam pakan untuk mengetahui pertumbuhan ikan nila. Daftar Pustaka Al-Arif, M. A dan H. Setyono. 2005. Pengolahan Bahan Pakan Ternak. Universitas Airlangga. hal. 31. Amri, M. 2006. Pengaruh Penggunaan Bungkil Inti Sawit Dalam Pakan Terhadap Performa Ikan Mas (Cyprinus Carpio L). Universitas Bung Hatta. hal. 1-5.

Amri, M. 2007. Pengaruh Bungkil Inti Sawit Dalam Pakan Terhadap Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, ( 9 ) : 71-76. Arie, U. 2007. Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. Penebar Swadaya. Jakarta. hal. 7-10. Bardach, J. E., J. H. Ryther and W. C. McLarney. 1972. Aquaculture. Willey Inter-Science. New York. p 98-105. Boyd, C. E. 1990. Water Quality in Pond for Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station Auburn University. Birmingham Publishing Co. Alabama. p 75-88. Djarijah, A. S. 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta. 86 hal. Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. hal. 92-105 Haetami, K., I. Susangka dan I. Maulina. 2006. Suplementasi Asam Amino Pada Pelet yang Mengandung Silase Ampas Tahu Dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus). Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran. Bandung. 33 hal. Huismann, E.A. 1976. Food Conversion Efficiencies at Maintenance and Production Level for Carp, Ciprinus carpio L. and Rainbow Trout, Salmo gairdneri Richardson. Aquaculture, 9 : 259 – 273. Jatomea, M. P., M. A. O. Novoa., J. L. A. Figueroa., G. M. Hall and K. Shirai. 2002. Feasibility of Fishmeal Replecment by Shrimp Head Silage Protein Hydrolysate in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Diets. Journal of The Science of Food and Agriculture, 82 : 753 – 759. Lovell, T. 1989. Nutrition & Feeding of Fish. Published by Van National Reinhold. NewYork. p 77-79. Mudjiman, A. 1994. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. hal. 98-120.

Mudjiman, A. 2002. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. hal. 100 - 151. Poultry Indonesia. 2007. Limbah Udang Pengganti Tepung Ikan. http://www.poutryindonesia.com/ 5 / 09 /2008. 1 hal. Rochiman, K. 1989. Dasar Perancangan Percobaan dan Rancangan Acak Lengkap. Universitas Airlangga. Surabaya. hal. 53-104 Santoso. 1996. Budidaya Nila. Kanisius. Yogyakarta. hal. 21.

Subagyo, S. Asih, Idris, dan Z, Jangkari. 1992. Pengujian Hormon Dalam Tablet Pengalihan Kelamin Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Buletin Penilitian Perikanan Darat. Volume 11 No.2, Juni 1992. Badan dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Balai Penelitian Perikanan Air Tawar. Bogor. hal. 65-73. Suyanto, 2002. Nila. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 1- 6.

r

Jurnal lktiologi Indonesia, Volunte 3, Nomor l, Juni 2003

PENGARUH PEMBERIAN SELULOSA DALAM PAKAN TERHADAP KONDISI BIOLOGIS BENIH IKAN GURAMI (Osphronemus gouramiLac) [Effect of sellulose in dietary on the biological condition of giant gouramy fry (Osphronemus goarami Lac)l Zulfa Yandest, Ridwan Affandi2 dan Ing Mokogintaz t

Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Hazairin, Bengkulu 2 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor

ABSTRAK Percobaan dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari pemberian selulosa dalam pakan terhadap kondisi biologis yaitu aktivitas endoenzim (protease) di usus dan lambung (APU dan APL), intestine somatik indek (lSI), hepato somatik indek (HSI), rasio panjang usus/panjang tubuh (PU/PT), rasio berat larnbung/berat tubuh (BL/BT), laju pertumbuhan harian (DGR) dan kornposisi kimia tubuh benih ikan gurami. Dua macam pakan yang digunakan yaitu yang mengandung protein dan energi yang relatif sama yaitu berturut-turut 4l .8842.25Yo dan 3084.9-3l28.9kkal/kgpakan,dengankandunganselulosayangdigunakandalampakanmasing-masingadalah2,6%odan19,3Vo. lktli, di pelihara dalam akuarium dengan menggunakan sistem resirkulasi. Masing-masing akuarium diisi ikan sebanyak 50 ekor dengan bobot awal 0.6-0.8gram. Selamapemeliharaanikandiberipakansampai kenyang. Ikandiberipakan tigakalisehari yaitupukul 8pagi, l2siangdan4 sore. Setelah 60 hari pemeliharaan (pada akhir percobaan) dilakukan evaluasi pengaruh selulosa terhadap kondisi biologis benih ikan gurami yaitu APU dan APL, ISI, HSI, PU/PT, BL/BT, DGR dan komposisi kimia tubuh. Hasil percobaan menunjukan bahwa penambahan selulosa sebesar 19,37o dalam pakan memberi pengaruh terhadap APU, APL, ISl, HSI, PU/PT, dan BL/BT (P<0.05), namun tidak meningkatkan laju perhrmbuhan benih ikan gurami (P>0.05).

Kata kunci: Selulosa, benih ikan Gurami Osphronemus gouramiLac.

ABSTRACT An experiment was conducted to evaluate the effect of different dietary level of cellulose on the biological condition such as protease activity in intestine (APU) and stomach (APL), intestine somatic index (ISI), intestine-body length ratio (PU/PT), the chemical composition of giant gourilny fry stomach-body weigh ratio (BL/BT), and growth rate (DGR), and of giant gouramy fry. Two isonitrogenous (41.942.2Yo crude protein) and isocaloric (3084.9-3128.9 kcal digestible energy/kg of feed) practical diets contained either 2.6Vo and 19.3Vo cellulose/kg of feed respectively, were fed to giant gouramy to giant gouramy fry. Types were fed on the experimental diet at satiation, three times daily for 60 days- Fish fry were placed in each aquarium (60 x 40 x 30 cm in size). The result showed that feed containing 19.3% ofcellulose affected in proease activity in intestine (APU) and stomach (APL), intestine somatic index (ISI), intestine-body length ratio (PU/PT), stomach-body rveigh ratio (BL/BT) (p<0.05) but it did not affect the specific growth rate (DGR) (p>0 05). Key words: Sellulose, giant gouramy fry Osphronemus gouramiLac.

PENDAHULUAN

informasi yang diperoleh dapat dijadikan landasan

Ikan Gurami dianggap sebagai ikan yang pertumbuhannya lambat, namun karena banyak

untuk memacu pertumbuhan ikan ini sehingga masa

yang menyukainya, maka ikan ini

konsumsi relatif sama dengan ikan-ikan konsumsi

banyak

dibudidayakan.

ikan dari benih hingga

ukuran

lainnya.

Upaya untuk memacu laju pertumbuhan ikan

ini telah banyak dilakukan melalui

pemeliharaan

Pada kondisi lingkungan yang

optimal

berbagai

pertumbuhan ikan ditentukan oleh jumlah dan mutu

pendekatan antara lain melalui pelacakan potensi

pelacakan kebutuhan nutrisi (Mokoginta dkk, 1994).

pakan yang dikonsumsi. Pakan yang dikonsumsi untuk dapat digunakan dalam proses biosintesis yang menghasilkan peftumbuhan harus melalui proses pencemaan dan penyerapan pada saluran

Walaupun demikian, penelitian-penelitian yang lebih mendalam masih perlu dilakukan agar

pencernaan terlebih dahulu. Dengan demikian kondisi saluran pencernaan memegang peranan

fumbuh (Rachmawati, 1999), optimalisasi suhu media budidaya (Hermanto, 2000) dan melalui

27

Yandes, et al - Pengaruh Pemberian Selulosa dalam Pakan Terhadap Kondisi Biologis Benih Ikan Gurami

air

selama penelitian adalah

29 -

penting dalam mengubah pakan (senyawa komplek)

Suhu

menjadi nutrien (senyawa sederhana) sebagai bahan

(optimal untuk perfumbuhan).

baku dalam proses biosintesis tersebut.

Dua macam pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan buatan iso protein dan iso energi (kering) dengan kadar protein 40%o dan

Adanya fakta bahwa proses pencernaan dan penyerapan berkaitan dengan panjang usus dan

30oC

panjang usus pada ikan berkaitan dengan kondisi pakan (khususnya kandungan komponen yang sulit

rasio energi protein 7.5 k:kal DE/gram protein.

dicema) maka telah dilakukan penelitian dengan

pertambahan rasio panjang usus/panjang tubuh dan

lkan dipelihara selama 60 hari, Setiap 15 hari sekali dilakukan pengukuran bobot dan panjang ikan, Selama pemeliharaan ikan diberi pakan tiga kali sehari yaitu pukul 8 pagi, 12 siang dan 4 sore,

aktivitas enzim proteasenya. Dengan bertambah panjangnya usus dan meningkatnya aktivitas

ikan diberi makan sampai kenyang, Setelah 60 hari pemeliharaan (pada akhir penelitian) dilakukan

protease ikan gurami dibandingkan dengan kondisi

pengukuran panjang dan bobot tubuh, panjang usus,

normal, diharapkan jumlah pakan yang

dicerna dan diserap menjadi lebih banyak, sehingga

bobot usus, bobot lambung, bobot hati, aktivitas endoenzim (protease) pada lambung, usus dan

dapat meningkatkan efisiensi pakan dan laju

komposisi kimiawi tubuh.

tujuan untuk mengetahui pengaruh selulosa terhadap

kondisi biologis benih ikan gurami, khususnya

dapat

pertumbuhan.

taraf perlakuan yaitu penambahan 15

0%o

selulosa dan

selulosa dalam pakan dengan 9 ulangan.

Pemeliharaan Ikan dan Pengumpulan Data Ikan uji yang digunakan adalah benih ikan gurami berumur 42 hari dengan ukuran bobot 0.6 0.8 gram, diperoleh dari hasil penetasan telur yang

Bahan pakan

(%o)

Selulosa dalam pakan (7o) 2,6

19,3

25,s0

25,50

Tepung ikan

30,42

30,42

Dekstrin Minyak jagung

25,85

4,06

3,37

6,09

5,06

9.13

Tepung udang

Minyak ikan Vitamin mix Mineral mix Kolin klorida

1,50

1,50

5,80

5,80

0,50

0,50

Carboxy methyl cellulose

2,0

2,0

Selulosa

0,0

15,0

Komposisi Proksimat (% bobot kering) Protein

41,88

42,25

berasal dari satu ekor induk yang dipelihara selama

Lemak

10,05

18,26

42 hari. Selama pemeliharaan diberi pakan alami

Abu

13,23

tJ,J/

(artemia dan cacing sutra). Padat penebaran yang

Serat kasar

2,64

19,28

digunakan adalah 50 ekor/akuarium.

BETN

Wadah penelitian berupa akuarium ( 60 x 40 x

30 cm

3)

yang diisi air sebanyak 60 liter. Setiap hari

dilakukan pergantian

air

sebanyak

+

70oh dafi

volume air dan setiap tiga hari dilakukan pergantian

air

secara total. Penyiponan dilakukan tiga kali setiap hari. Air diaerasi selama penelitian. Tandon air pada sistim resirkulasi dilengkapi dengan heater.

28

l.

Tabel 1. Komposisi pakan percobaan

METODOLOGI Penelitian dilaksanakan dari bulan April hingga bulan Juli 2002, beftempat di Laboratorium Fisiologi Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berupa eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari dua 0/o

Komposisi pakan percobaan disajikan pada Tabel

32,20

6.84

DE (klial/kg pakan)

3084,9

3128,9

C/P (kkal/gprotein)

7,37

7,41

Keterangan:

BETN :

bahan ekstrak tanpa nitrogen DE : digestible energy yang diperhitungkan dari: I g protein: 3,5 kcal; I g lemak: 8,1 kcal; 1 g karbohidrat = 2,5 kcal G\fRC, 1983)

tJurnal lktiologi Indonesia, l/olume 3, Nomor

Analisis Kimia

],

Juni 2003

lambung per bobot tubuh, aktivitas enzim protease dan laju pertumbuhan harian.

Analisis aktivitas endoenzim (protease) dilakukan pada segmen lambung dan usus ikan uji, Prosedur analisis dilakukan menurut Fengxie (1988)

dalam Wijayanti (1993). Sedangkan

HASIL DAN PEMBAHASAN Data mengenai kondisi biologis benih ikan gurami setelah 60 hari pemeliharaan dapat dilihat

analisis

proksimat dilakukan terhadap bahan pakan, pakan percobaan, dan sampel tubuh ikan pada akhir

pada Tabel 2. Berdasarkan tabel

penelitian. Analisis dilakukan menurut Takeuchi (1e88).

pemberian

selulosa dalam pakan dilakukan uji F dengan parameter yang diuji adalah rasio panjang usus terhadap panjang tubuh ikan, Intestino Somatik Indeks (bobot usus per bobot tubuh), Hepato

(p>0,05), Sedangkan kelangsungan hidup (SR) ikan selama percobaan adalah sama (100%), Tabel 3

kimiawi

memperlihatkan komposisi

(proksimat)

tubuh ikan pada akhir percobaan.

Somatik Indeks (bobot hati per bobot tubuh), bobot

Tabel2. Rasio panjang usus terhadap panjang tubuh (PU/PT), bobot

:

dapat diketahui

HSI, BL/BT, APL dan APU lebih tinggi dari perlakuan 2,6 o/o selulosa (p<0,05) namun DGR lebih rendah dari perlakuan 2,6 % selulosa

Analisis Statistik

Untuk mengevaluasi pengaruh

2

bahwa pemberian 19,3 % selulosa dalam pakan benih ikan gurami menghasilkan nilai PU/PT, ISI,

usus per bobot tubuh (Intestino Somatik

: HSI), bobot lambung per bobot tubuh (BL/BT), Aktivitas protease pada lambung (APL) dan pada usus (APU), laju pertumbuhan harian (Daily Growth Rate : DGR) dan survival rate (SR) dari setiap percobaan masing-masing Indeks

ISI), bobot hati per bobot tubuh (Hepato Somatik Indeks

perlakuan. Selulosa Dalam Pakan (7o)

Parameter PU/PT ISI HSI

2,6

I 0,01b

1,47 + 0,01^

,86 + 0, l2b

2,50 + 0,20^

1,24 1

19,3

1,56

r

0,08b

I

,84

r

0, 15"

BLlBT

2,00 + 0,06b

2,38 + 0,07"

APL

1,24 + 0,25b

2,27 + 0,24^

APU

2,31 + 0,3 1"

DGR

I ,05 + 0,1 8b 5,71 + 0,14^

sR (%)

100

100

5,50 + 0,08b

Keterangan: Huruf yang berbeda menyatakan ada perbedaan antar perlakuan (p < 0,05)

Tabel 3, Komposisi kimiawi (proksimat) tubuh rata-rata ikan uji pada akhir percobaan. Proksimat tubuh (%)

2,6%

Perlakuan 19,3%

Protein

55,48

56,79

Lemak

27,65

29,03

Abu

12,61

12,49

Serat Kasar

0,12

0,l9

BETN

4,14

I,55

29

I

Yandes, et al - Pengaruh Pemberian Selulosa dalam Pakan Terhadap Kondisi Biologis Benih lkan Gurami

Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa kadar

usus dengan panjang tubuh dari tiga golongan ikan

protein dan lemak tubuh ikan pada akhir percobaan

(herbivor, omnivor dan karnivor) mencerminkan

pada perlakuan 19,3oh selulosa sedikit lebih tinggi

penyesuaian dari usus terhadap tingkat kompleksitas

o/o

selulosa. Sedangkan

pakan yang dimakan. Effendie (1997) menyatakan

untuk kadar abu relatif sama. Sebaran bobot individu ikan dari perlakuan 2,6%o dan 19,3o selulosa dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar

bahwa keadaan usus yang panjang pada ikan herbivor berfungsi sebagai penahan pakan dalam

dibandingkan perlakuan 2,6

jumlah yang besar dalam waktu yang

lama.

tersebut memperlihatkan bahwa frekuensi sebaran

Selanjutnya dikatakan bahwa panjang usus sebagai

bobot individu ikan tertinggi pada akhir percobaan

gambaran dari spesialisasi penyesuaian

untuk perlakuan 2,60/o dicapai pada kisaran bobot yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan 19,3%

ekologi kebiasaan pakan. Affandi, (1993)juga telah

selulosa.

PU/PT, ISI, HSI, BL/BT, APL dan APU

di

dalam

meneliti rasio panjang usus dengan panjang tubuh ikan gurami dari berbagai ukuran. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa saluran pencernaan

perlakuan 19,3o2 selulosa lebih tinggi dibandingkan

ikan gurami masih mengalami

perlakuan 2,60 selulosa (Tabel 2), Adanya kandungan l9,3Vo selulosa dalam pakan yang merupakan bahan yang yang sulit dicerna telah menyebabkan terjadinya respon berupa adaptasi

walaupun strukturnya telah sempurna (memiliki segmen-segmen yang lengkap). Dengan demikian selama pertumbuhannya, ikan gurami mengalami

biologis atau penyesuaian alat pencernaan (usus dan

terhadap panjang tubuh, dari karakter ikan karnivor

lambung) terhadap pakan yang mengandung serat tinggi (selulosa) tersebut dengan cara memper-

ke karakter ikan omnivor atau herbivor. Selanjutnya

panjang usus dan peningkatan bobot lambung.

perubahan dalam

perkembangan

hal perbandingan panjang

usus

dikatakan bahwa adanya perubahan nilai PU/PT pada ikan gurami yang berhubungan dengan

Peningkatan panjang usus tersebut menyebabkan

perubahan ukuran dan perubahan komposisi pakan

bobot usus juga meningkat (ISI meningkat). Opuszyushi dan Shireman (1995) menyatakan

juga sesuai dengan hasil penelitian Kapoor et al, (1e75).

bahwa adanya perbedaan perbandingan panjang

35 30 25

ito Ia

115

L

10 5 0

sf

".?t

'.t| "o?t ""f

...P

^-t ^ordft Bobot (g)

"nd

oo/u

individu ikan uji (g) pada masingmasing perlakuan Q.6o/o dan 19.3% selulosa) pada akhir percobaan.

Gambar 1. Histogram sebaran bobot

30

Jurnal lktiologi Indonesia, Volume 3, Nomor I, Juni 2003

Selanjutnya bertarnbah panjangnya usus tersebut diduga telah meningkatkan jumlah sel enterosite, meningkatkan lama kontak pakan dengan

enzim dan meningkatkan jumlah sel sekretori. Peningkatan jumlah sel enterosite akan menyebab-

sehingga produksi enzim meningkat seperti yang telah dikemukakan di atas.

Laju

pertumbuhan harian pada perlakuan 19,3% selulosa lebih rendah dibandingkan perlakuan 2,6oh selulosa (Tabel 2). Begitu juga dengan

kan jumlah nutrien yang diserap meningkat sehingga HSI meningkat. Peningkatan HSI ini

kisaran bobot individu ikan pada akhir penelitian

menunjukkan bahwa dengan meningkatnya jumlah

an 19,3Yo selulosa lebih rendah dibanding perlakuan

nutrien yang diserap menyebabkan jumlah nutrien yang terakumulasi pada hati meningkat. Pening-

2,6Yo selulosa (Gambar

katan lama kontak pakan dengan enzim akan menyebabkan peningkatan proses pencernaan

yang mengandung 19,3%o selulosa dengan jalan memperpanjang usus yang membutuhkan energi

sehingga ketersediaan zat tercema akan meningkat.

ekstra. Hal ini menyebabkan kebutuhan energi untuk

peningkatan jumlah sel sekretori

memperlihatkan bahwa pertumbuhan

ikan perlaku-

l). Hal tersebut

terjadi

karena adanya respon adaptasi usus terhadap pakan

akan

perlakuan 19,3o selulosa lebih banyak dari

menyebabkan jumlah produksi enzim meningkat

perlakuan 2,6%o selulosa. Sedangkan pakan yang

sehingga APL dan APU meningkat. Hepher (1988) menyatakan kecemaan pakan dipengaruhi oleh;

diberikan untuk kedua perlakuan kandungan protein

Sedangkan

keberadaan enzim dalam saluran pencemaan, tingkat aktivitas enzim-enzim pencernaan dan lamanya pakan yang dimakan bereaksi dengan enzim pencernaan.

Wijayanti (1993) telah melakukan penelitian tentang aktivitas protease pada benih ikan gurami.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa aktivitas protease (AP) meningkat dengan bertambahnya umur benih ikan gurami (perbedaan umur mempengaruhi AP). Dikatakan juga bahwa hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Lauff, M. dan R.

Hofer (1984). Suryanti (2002) juga melakukan

dan energinya relatif sama. Dengan demikian meskipun dengan bertambah panjangnya usus akan meningkatkan jumlah nutrien yang diserap tetapi karena kebutuhan energi untuk metabolisme standar

(sda) meningkat maka jumlah nutrien yang dikatabolisme juga akan meningkat sehingga pertumbuhan akan terhambat yang terlihat dari rendahnya pertumbuhan pada ikan yang diberi pakan mengandung 19,3% selulosa.

Pertumbuhan terjadi apabila ada kelebihan energi setelah energi yang tersedia digunakan untuk metabolisme standar, energi untuk pencernaan dan

penelitian tentang aktivitas enzim pencernaan pada

energi untuk aktivitas. Page dan Andrews (1973) menyatakan, apabila terjadi kekurangan energi,

larva ikan baung. Hasil

penelitiannya juga

protein tubuh akan dibakar untuk menghasilkan

menunjukkan bahwa aktivitas protease dan lipase meningkat sesuai perkembangan umur ikan. Arlia (1994) dalam Suryanti (2002) menyatakan bahwa

energi bebas. Sebaliknya apabila kandungan energi

peningkatan aktivitas enzim ada kaitannya dengan

relatif tinggi maka tingkat konsumsi pakan akan menurun, sehingga intake nutrien lainnya seperti protein akan turun. Hal ini akan mengakibatkan

perkembangan alat pencernaan. Dengan demikian

pertumbuhan terhambat. Effendie (1997) menyata-

dapat dikatakan bahwa peningkatan aktivitas enzim

kan bahwa perhrmbuhan terjadi apabila ada

ini

disebabkan oleh semakin sempurnanya alat Hal ini erat kaitannya dengan jumlah sel sekretori (sel penghasil enzim). Dari hasil

kelebihan input energi dan asam amino (protein)

pencernaan ikan.

berasal dari pakan. Untuk dapat tumbuh ikan memerlukan energi. Sebelum digunakan untuk

penelitian tersebut mungkin dapat juga dipakai

perh.rn-rbuhan,

sebagai dasar bahwa dengan bertambah panjangnya

untuk memenuhi seluruh altivitas dan pemeliharaan

usus akan meningkatkan jumlah sel sekretori

tubuh melalui proses metabolisme (NRC, 1993).

energi terlebih dahulu digunakan

3l

Yantles'etal.PengaruhPemberianSelulosadalamPakanTerhadapKondisiBiologisBenihlkanGurami

19,30lo

Hennanto, 2000. Optimalisasi suhu media pada

selulosa masih dapat ditolerir oleh benih ikan Gurami, hal ini terlihat dari tidak adanya ikan yang o/o) dan pada kadar mati selama penelitian (SR 100

pemeliharan benih ikan gurami (Osphronemus gouramy Lac.). Tesis. Program Pascasarjana' IPB. Bogor. 63 Hal. Hepher, B. 1988. Nutrition of pond fishes'

Pemberian pakan yang mengandung

tersebut (pertumbuhan tidak begitu berbeda dengan perlakuan 2,60 ). Hal ini berarti bahwa pemberian

pakan yang mengandung selulosa tinggi asalkan kandungan protein dan energinyatetap tinggi maka selulosa tersebut tidak akan terlalu berpengaruh terhadap penurunan pertumbuhan. Dengan demikian melalui perancangan pakan yang tepat, memacu pemanjangan usus dapat dilakukan tanpa mengganggu pertumbuhan. Dengan bertambah panjangnya

usus dan meningkatnya aktivitas enzim protease ikan gurami dibandingkan kondisi nonnal, diharapkan pada pembesaran ikan gurami selanjutnya yakni

dengan pemberian pakan yang optimal (sesuai kebutuhan), diharapkan jumlah pakan yang dapat dicerna dan diserap menjadi lebih banyak sehingga

dapat meningkatkan efisiensi pakan dan laju pertumbuhan.

Cambridge University Press. New York' 388 pp.

Kapoor, B. G., Smith, T dan I. A. Verighina.l9T5' The alimentary canal and digestion in teleosts, Adv. Mar. Biol., 13 : 110-211.

Lauff, M and Hofer. 1984 Mokoginta, I; M. A. Suprayudi dan

M. Setiawati' 1994. Kebutuhan nutrisi ikan gurami (Osphronemus gzuramY Lac.) untuk pertumbuhan

dan reproduksi.

Laporan

penelitian hibah bersaing lI/2 perguruan tinggi tahun anggaran 199411995- Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyasarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

National Research Council. 1993. Nutrient requirements of hsh. National Academic of Science, Washington, D.C. 115

PP.

K dan J. V.

KESIMPULANDAN SARAN Pemberian pakan dengan kandungan selulosa

l9,3Yo dapat meningkatkan rasio panjang usus/ panjang tubuh (PU/PT), intestin somatik indek (ISI)' hepato somatik indek (HSI), berat lambun! betat tubuh (BL/BT) dan aktivitas protease di lambung

(APL) dan di usus (APU) benih ikan Gurami' Namun pemberian pakan dengan kandungan selulosa l9,3Yo menyebabkan laju pertumbuhan lebih rendah.

Untuk mengetahui dampak lanjut

dari

pemanjangan melalui pemberian pakan berselulosa tinggi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut'

DAFTARPUSTAKA Affandi, R. 1993. Studi kebiasaan makanan ikan gurami Osphronemus gouramy' J' Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 1 (2) : 5657.

M. I. 1997. Biologi perikanan' Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama' Yogyakarta' 163

Effendie, hal.

32

Shireman. 1995' Opuszynski, use for weed and Herbivorous fihes. Culture management. Departmen of Fisheries and Aquatic Sciences Institut of Food Agricultural Sciences, Universityof Florida' CRC Press' 223 pp. Page, J. W. and J. W. Andrews. 1973. Interactions of dietary level of protein and energy on channel catfish. Jour' Nutr. 103: 1339-1346"

Rachmawaty, lgg9. Karateristik fenotipik dan potensi tumbuh ikan gurame Osphronemus goramy Lacepede. Tesis. Program Pascasarjan lnstitut Pertanian Bogor. Suryanti, 2002. Perkembangan aktivitas enzim

pencernaan

dan hubungannya dengan

kemampuan pemanfaatan pakan buatan pada ikan baung (Mystus nemurus C.V.)' Tesis' Program Pascasarjan Institut Pertanian Bogor' 46 Hal. Takeuchi, T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrient. p- 179-232'In:T' Watanabe. ed. Fish nutrition and mariculture'

Kanagawa Fisheries Training Centre; Japan International Cooperation Agency, Tokyo'

Jurnal Iktiologi Indonesia, Volume 3, Nomor l, Juni 2003

Wijayanti, 1993. Studi aktivitas protease pada benih ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac) dengan perbedaan awal pemberian pakan

buatan. Skripsi. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 47 Hal.

33

PENGARUH TINGKAT SUBSTITUSI TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG MAGGOT TERHADAP RETENSI DAN EFISIENSI PEMANFAATAN NUTRISI PADA TUBUH IKAN BANDENG (Chanos chanos Forsskål) Haryati, Edison Saade, Agus Pranata ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot sebagai sumber protein yang dapat menghasilkan efisiensi dan retensi nutrisi yang baik untuk ikan bandeng. Dengan dapat dimanfaatkannya tepung maggot sebagai pengganti tepung ikan, diharapkan harga pakan dapat lebih murah sehingga akan mengurangi biaya produksi dalam kegiatan budidaya. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang akan dicobakan yaitu tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot sebanyak 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%, sehingga diperoleh lima belas unit percobaan. Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah retensi protein, retensi lemak, retensi energi dan efisiensi pemanfaatan pakan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pada ikan Bandeng C. chanos Forsskal yang diberi pakan berbagai tingkat substitust tepung ikan dengan tepung maggot memberikan pengaruh yang sama terhadap retensi protein, retensi lemak, retensi energi dan efisiensi pemanfaatan pakan, sehingga dapat disimulkan bahwa tepung maggot dapat menggantikan peranan tepung ikan hingga 100 % dalam pembuatan pakan untuk budidaya ikan Bandeng C. chanos Forsskal. Kata kunci : Maggot, Efisiensi Pemanfaatan Pakan, Retensi Nutrisi ABSTRACT: Effect of substitution level of fish meal with maggot meal on the Efficiency and Retention of Nutrients in the Body of Fish Milkfish (Chanos chanos Forsskål). This study aims to determine the extent of substitution of fish meal with maggot meal as a protein source that can produce efficiencies and retention of good nutrition for fish. Maggots can be exploited with flour as a substitute for fish meal, feed prices are expected to be cheaper so that it will reduce production costs in farming activities. This study used a complete randomized design (CRD) with five treatments and three replications. Treatment to be tested is the substitution of fish meal with maggot meal as much as 0%, 25%, 50%, 75%, and 100%, thus acquired fifteen experimental units. Parameters measured in this study is the retention of protein, fat retention, energy retention and efficiency of feed utilization. The data obtained and analyzed using various analysis. The results of these studies show that in fish Milkfish C. chanos Forsskal fed varying levels of fish meal with flour substitute Maggot gives the same effect on protein retention, fat retention, energy retention and efficiency of feed utilization, so it can be concluded that Maggot meal can replace the role of fish meal up to 100% in the manufacture of feed for aquaculture Fish Milkfish C. Chanos Forsskal. Key words: Maggot, Efficiency of Feed Utilization, Retention Nutrition

PENDAHULUAN Ikan bandeng (Chanos chanos Forsskal) merupakan salah satu komoditas unggulan Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini didukung oleh rasa daging yang enak dan nilai gizi yang tinggi sehingga memiliki tingkat konsumsi yang tinggi. Selain sebagai ikan konsumsi ikan bandeng juga dipakai sebagai ikan umpan hidup pada usaha penangkapan ikan tuna (Syamsuddin, 2010). Pada tahun 2013, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan mentargetkan peningkatan produksi ikan bandeng sekitar 71.147 ton dari produksi saat ini ratarata 55.000 ton per tahun (Anonim, 2010). Setiap tahun

permintaan ikan bandeng selalu

mengalami peningkatan, baik untuk konsumsi lokal, ikan umpan bagi industri perikanan tuna, maupun untuk pasar ekspor. Kebutuhan bandeng untuk ekspor yang cenderung meningkat merupakan peluang usaha yang positif. Namun, peluang tersebut belum dapat terpenuhi karena terbatasnya produksi dan diikuti tingginya konsumsi lokal. Ikan bandeng sebagai komoditas ekspor harus mempunyai standar tertentu, yaitu ukuran sekitar 400 g/ekor, sisik bersih dan mengkilat (penampilan fisik), tidak berbau lumpur (rasa), dan dengan kandungan asam lemak omega-3 relatif tinggi. Kriteria-kriteria yang dipersyaratkan tersebut terutama penampilan fisik, tidak berbau lumpur, dan kandungan asam lemak omega-3 yang tinggi dapat dipenuhi dari hasil budidaya bandeng secara intensif dalam keramba jaring apung di laut (Anonim, 2010). Budidaya ikan bandeng dalam keramba jaring apung (KJA) telah banyak dilakukan oleh masyarakat. Namun, harga pakan yang relatif masih mahal membuat budidaya ikan bandeng di KJA kurang berkembang. Pengkajian lanjutan yang lebih intensif, khususnya bagaimana memanfaatkan bahan baku lokal yang tersedia dalam jumlah yang memadai sebagai bahan pakan harus dilakukan, guna menekan biaya pakan yang diperkirakan dapat mencapai 60-80% dari total biaya produksi (Priyadi, 2008). Harga bahan baku pakan akan berpengaruh terhadap harga pakan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap biaya produksi. Khususnya di Indonesia, sebagian besar bahan baku pakan berasal dari impor, yaitu sebesar 70-80% (Hadadi, dkk., 2007). Bahan baku utama dalam penyusunan ransum pakan ikan adalah tepung ikan, karena tepung ikan merupakan bahan baku utama sumber protein dalam pakan ikan. Namun, saat ini produksi tepung ikan lokal baru dapat memenuhi 60-70% dari kebutuhan dengan kualitas dan kuantitas yang berfluktuatif. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang mendalam terhadap berbagai bahan baku alternatif pengganti tepung ikan. Suatu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan baku pakan harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu mempunyai nilai gizi

yang tinggi, tersedia dalam jumlah melimpah dan kontinyu dan secara ekonomi tidak menjadikan harga pakan tinggi (Mudjiman, 2004). Tepung maggot atau tepung larva lalat hijau (Calliphora sp.) merupakan salah satu bahan baku alternatif yang bisa menggantikan tepung ikan sebagai sumber utama protein dalam pakan ikan, karena telah memenuhi persyaratan tersebut, antara lain memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, tersedia dalam jumlah yang banyak sehingga bisa diproduksi secara massal, dan harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan tepung ikan, yaitu hanya Rp.1.500/kg dibandingkan dengan tepung ikan impor yang harganya mencapai Rp.15.000/kg dan tepung ikan lokal Rp. 12.000/kg serta mempunyai kandungan protein sekitar 45,01% (Hadadi, dkk., 2007). Khususnya pada ikan-ikan air tawar, penelitian tentang pemanfaatan tepung maggot sebagai pengganti tepung ikan telah dilakukan pada beberapa jenis ikan, yaitu benih ikan nila (Oreochromis niloticus) (Retnosari, 2007), ikan lele (Hadadi, dkk., 2007) dan ikan hias balashark (Balanthiocheilus melanopterus Bleeker) (Priyadi, 2008), dimana tingkat pemanfaatan tepung maggot sebagai pengganti tepung ikan berbeda-beda dengan hasil yang cukup memuaskan. Sedangkan informasi tentang kemungkinan dapat dimanfaatkannya tepung maggot sebagai pengganti sumber protein asal tepung ikan pada budidaya ikan bandeng sampai saat ini belum ada dilakukan penelitian. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya dilakukan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot sebagai sumber protein yang dapat menghasilkan efisiensi dan retensi nutrisi yang baik untuk ikan bandeng. Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang tingkat subtitusi tepung maggot terhadap tepung ikan yang dapat memberikan respon terbaik khususnya pada efisiensi dan retensi nutirsi dalam pemeliharaan ikan bandeng. Dengan dapat dimanfaatkannya tepung maggot sebagai pengganti tepung ikan, diharapkan harga pakan dapat lebih murah sehingga akan mengurangi biaya produksi dalam kegiatan budidaya.

MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2010 sampai Desember 2010 di Unit Hatchery Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Makassar. Sedangkan analisis proksimat pakan dan hewan uji dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Materi Penelitian 1. Hewan Uji Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelondongan bandeng yaitu berukuran antara 0.84 – 0.87 g/ekor. Padat penebaran yang digunakan yaitu 15 ekor/ 45 L air media (Rahmansyah, 2004). 2. Wadah Percobaan Wadah percobaan yang digunakan adalah akuarium sistem resirkulasi dengan ukuran 40 x 50 x 35 cm sebanyak 15 buah, tiap wadah diisi air media sebanyak 45 liter. Air media yang digunakan salinitasnya adalah 30 ppt, mewakili kondisi salinitas air laut, sehingga hasil penelitian ini dapat diterapkan untuk kegiatan budidaya di laut dengan menggunakan keramba jaring apung maupun untuk kegiatan budidaya di tambak secara intensif. 3. Pakan Uji Pakan yang digunakan berbentuk pellet dengan komposisi bahan baku seperti terlihat pada Tabel 4, dari komposisi bahan baku tersebut kandungan protein pakan yang akan digunakan sekitar 30%. Tabel 4. Komposisi Bahan Baku Penyusun Pakan pada Setiap Perlakuan Perlakuan Bahan Baku (%) A

B

C

D

E

Tepung Ikan

28

21

14

7

0

Tepung Maggot

0

7

14

21

28

Tepung Kedelai

30

30

30

30

30

Tepung Dedak

20

20

20

20

20

Tepung Terigu

18

18

18

18

18

Minyak Ikan

1

1

1

1

1

(1)

2

2

2

2

2

(2)

1

1

1

1

1

Vitamin mix Mineral mix

Keterangan : (1) Vit A, D3, E, K3, B1, B2, B6, B12, C, Folyc Acid, Nicotid Acid, dan Biotin (2) Ca, P, Sc, Mn, I2, Cu, Zn, Vit12 dan Vit B3

Ikan diberi pakan sebanyak 10% dari biomassa ikan per hari, pemberian pakan dilakukan tiga kali per hari yaitu pada pukul 07.00, 12.00, dan 17.00.

4. Rancangan Percobaan Rancangan percoban yang digunakan adalah acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang dicobakan yaitu tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot sebanyak 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%, sehingga diperoleh lima belas unit percobaan. Penempatan setiap satuan percobaan dilakukan secara acak

(Gasperz, 1991),

sehingga tata letak satuan percobaan setelah pengacakan disajikan pada Gambar 3. 5. Parameter a. Retensi nutrisi Retensi protein, lemak, dan energi dihitung berdasarkan formula Jouncey dan Ross (1988) sebagai berikut:

Jumlah nutrisi yang disimpan dalam tubuh Retensi Nutrisi (%) (1) =

x 100 Jumlah nutrisi yang dikonsumsi ikan

Keterangan: (1) Protein (g), Lemak (g), dan Energi (kkal) b. Efisiensi pemanfaatan nutrisi Rasio efisiensi pakan dihitung dengan menggunakan formula Jouncey dan Ross (1988) sebagai berikut: Bt – B0 Efisiensi pemanfaatan nutrisi = F

Dimana: Bt = Biomassa ikan pada akhir penelitian (g) B0 = Biomassa ikan pada awal penelitian (g) F = Jumlah pakan yang diberikan selama penelitian (g) c. Kualitas air Kelayakan kualitas air media dievaluasi berdasarkan sifat fisik dan kimia air media. Sifat fisik air media yang diukur yaitu suhu dan salinitas. Suhu air diukur setiap hari dua kali per hari yaitu jan 07.00 dan 14.00 WITA. Salinitas juga diukur setiap hari. Sifat kimia air media

dievaluasi berdasarkan kandungan oksigen terlarut, pH, dan ammonia, pengukuran dilakukan pada awal penelitian, selanjutnya setiap sepuluh hari sekali sebelum penggantian air. 6. Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Dari hasil data yang diperoleh tidak memenuhi tiga asumsi pokok (uji normalitas, homogenitas dan aditivitas) sehingga dilakukan transformasi data dengan menggunakan trasformasi Arcsin. Hasil analisis tersebut terbukti bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter yang diuji, sehingga tidak dilanjutkan dengan uji W Tukey untuk menentukan tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot yang menghasilkan respon terbaik. Kualitas air media dianalisis secara diskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Retensi Protein Retensi protein merupakan gambaran dari banyaknya protein yang diberikan, yang dapat diserap dan dimanfaatkan untuk membangun ataupun memperbaiki sel-sel tubuh yang sudah rusak, serta dimanfaatkan tubuh ikan bagi metabolism sehari-hari (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot dalam pakan terhadap retensi protein ikan bandeng C. chanos disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata Retensi Protein (%) pada Ikan Bandeng C. Chanos yang Diberi Pakan Berbagai Tingkat SubtitusiTepung Ikan dengan Tepung Maggot Selama Penelitian. Perlakuan

Tingkat Subtitusi

% Rata-rata Retensi Protein ± SD

A

(Tepung Ikan 100 %; Tepung Maggot 0%)

23.30 ± 9.47 a

B

(Tepung Ikan 75%; Tepung Maggot 25%)

17.87 ± 3.50 a

C

(Tepung Ikan 50%; Tepung Maggot 50%)

18.16 ± 4.48a

D

(Tepung Ikan 25%; Tepung Maggot 75%)

16.41 ± 5.97a

E

(Tepung Maggot 100%; Tepung Ikan 0%)

28.99 ± 9.58a

Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. n = 3 Huruf yang sama menunjukan tidak berpengaruh nyata

Pada tabel di atas terlihat bahwa nilai rata-rata retensi protein pada perlakuan A, B, C, D, dan E adalah masing-masing 23.30%; 17.87%; 18.16%; 16.41%; dan 28.99%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap retensi protein pada taraf 5 %. Hal ini dikarenakan setiap perlakuan memiliki tingkat retensi protein yang relatif sama, sehingga memberikan respon yang sama pula terhadap hewan uji. Hal ini diduga karena kadar protein yang dihasilkan masih dalam rentang layak untuk kebutuhan benih ikan bandeng. Hal ini sesuai dengan pendapat Lovell (1988) bahwa penggunaan dua atau lebih sumber protein dalam ransum akan lebih baik dari pada satu sumber. Walaupun konsumsi pakan D paling tinggi, namun jumlah protein yang teretensi lebih tinggi pakan E. Hal ini diduga karena protein tepung maggot lebih mudah dicerna dibandingkan tepung ikan. Tingkat retensi protein yang sama pada semua perlakuan didukung pula oleh kandungan protein pakan uji yang relatif sama pada masing-masing perlakuan. Menurut Lan dan Pan (1993) apabila protein dalam pakan berlebih, ikan akan mengalami ’excessive protein syndrome’, sehingga protein tersebut tidak digunakan untuk pertumbuhan tetapi akan dibuang dalam bentuk amonia. Sedangkan menurut Buwono (2000), apabila kandungan protein dalam pakan terlalu tinggi, hanya sebagian yang akan diserap (diretensi) dan digunakan untuk membentuk ataupun memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak, sementara sisanya akan diubah menjadi energi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tepung maggot ini dapat mengganti tepung ikan sebagai sumber protein pakan sampai 100%, karena tepung maggot memiliki kandungan protein yang cukup tinggi dan masih sesuai untuk kebutuhan ikan bandeng. Selain kandungan protein yang cukup tinggi, tepung maggot juga memiliki berbagai kandungan asam-asam amino esensial yang relatif lengkap dan masih sesuai dengan kebutuhan ikan bandeng, baik untuk pertumbuhan maupun memperbaiki sel-sel tubuh yang sudah rusak.

Retensi Lemak Retensi

lemak

menggambarkan

kemampuan

ikan

dalam

menyimpan

dan

memanfaatkan lemak pakan. Pengaruh tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot dalam pakan terhadap retensi lemak ikan bandeng C. chanos disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rata-rata Retensi Lemak (%) pada Ikan Bandeng C. Chanos yang Diberi Pakan Berbagai Tingkat SubtitusiTepung Ikan dengan Tepung Maggot Selama Penelitian. Perlakuan

Tingkat Subtitusi

% Rata-rata Retensi Lemak ± SD

A

(Tepung Ikan 100 %; Tepung Maggot 0%)

22.67 ± 13.02 a

B

(Tepung Ikan 75%; Tepung Maggot 25%)

16.91 ± 4.15 a

C

(Tepung Ikan 50%; Tepung Maggot 50%)

18.35 ± 8.33 a

D

(Tepung Ikan 25%; Tepung Maggot 75%)

18.38 ± 4.57 a

E

(Tepung Maggot 100%; Tepung Ikan 0%)

22.56 ± 2.53 a

Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. n = 3 Huruf yang sama menunjukan tidak berpengaruh nyata Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa pakan A memiliki retensi lemak sebesar 22.67%, pakan B memiliki retensi lemak sebesar 16.91%, pakan C memiliki retensi lemak sebesar 18.35%, pakan D memiliki retensi lemak sebesar 18.38%, dan pakan E memiliki retensi lemak sebesar 22.56%. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap retensi lemak pada taraf 5 %. Hal ini menunjukkan bahwa lemak yang teretensi pada semua perlakuan relatif sama. Komposisi lemak tubuh sangat dipengaruhi oleh pakan ikan yang mengandung lemak (Gusrina, 2008). Tingginya lemak yang dikonsumsi ikan dan yang tidak digunakan sebagai sumber energi kemudian disimpan sebagai lemak tubuh. Tingkat retensi lemak yang relatif sama diduga karena kandungan lemak yang ada di dalam pakan masih dalam kisaran yang sesuai dan cukup untuk memenuhi kebutuhan lemak hewan uji. Walaupun nilai retensi lemak tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun nilai retensi lemak cenderung meningkat dengan bertambahnya kadar tepung maggot. Hal ini dikarenakan tingginya kadar lemak tepung maggot sehingga kadar lemak dalam pakan dan lemak tubuh juga cenderung meningkat. Tingginya kadar lemak lemak ini bisa disimpan atau dimanfaatkan sebagai sumber energi. Hal ini sesuai dengan pendapat Aslamyah (2008) yang mengatakan bahwa salah satu fungsi dari lemak atau lipid adalah sebagai penghasil energi, tiap gram lipid menghasilkan sekitar 9 – 9,3 kalori, energi yang berlebihan dalam tubuh disimpan dalam jaringan adiposa sebagai energi potensial.

Retensi Energi Retensi energi adalah besarnya energi pakan yang dikonsumsi ikan yang dapat disimpan di dalam tubuh. Hasil perhitungan retensi energi (Lampiran 10) hewan uji yang diberi pakan dengan berbagai tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot selama penelitian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rata-rata Retensi Energi (%) pada Ikan Bandeng C. Chanos yang Diberi Pakan Berbagai Tingkat SubtitusiTepung Ikan dengan Tepung Maggot Selama Penelitian. Perlakuan

Tingkat Subtitusi

% Rata-rata Retensi Energi ± SD

A

(Tepung Ikan 100 %; Tepung Maggot 0%)

17.98 ± 7.17 a

B

(Tepung Ikan 75%; Tepung Maggot 25%)

13.57 ± 3.07 a

C

(Tepung Ikan 50%; Tepung Maggot 50%)

12.02 ± 3.36 a

D

(Tepung Ikan 25%; Tepung Maggot 75%)

10.63 ± 3.20 a

E

(Tepung Maggot 100%; Tepung Ikan 0%)

20.14 ± 4.23 a

Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. n = 3 Huruf yang sama menunjukan tidak berpengaruh nyata Retensi energi pada perlakuan A, B, C, D, dan E masing-masing adalah 17.98%, 13.57%, 12.02%, 10.63% dan 20.14%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap retensi energi pada taraf 5 %. Hal ini disebabkan karena kandungan energi yang teretensi relatif sama pada semua perlakuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tepung maggot dapat menggantikan tepung ikan 100% sebagai salah satu sumber utama protein dalam pembuatan pakan ikan bandeng. Menurut Kumar dan Tembre (1997), retensi energi berhubungan dengan kadar protein pakan, karena pakan selain mengandung karbohidrat dan lemak, juga mengandung protein yang berguna sebagai sumber energi dan pertumbuhan. Hasil uji proksimat maggot menunjukkan bahwa kandungan protein dalam tepung maggot cukup tinggi bila dibandingkan dengan lemak, sehingga ikan dapat mengoptimalkan pertumbuhan dengan menggunakan protein sebagai sumber energi utama. Hal ini juga didukung oleh pendapat Aslamyah (2008) yang mengatakan bahwa protein merupakan sumber energi yang mahal baik ditinjau dari harga maupun jumlah energi yang dibutuhkan untuk metabolisme energi. Semakin meningkatnya

penggunaan lemak dan karbohidrat sebagai sumber energi, maka protein pakan dapat lebih diefisienkan dalam penggunaanya dan akan teretensi di dalam tubuh ikan untuk proses metabolisme, penggantian sel atau jaringan yang rusak, aktifitas reproduksi, biosintesis dan hilang dalam bentuk panas. Hal ini juga didukung oleh Yuwono dan Purnama (2001) yang mengatakan bahwa sebagian besar energi yang dikonversi dari pakan yang dikonsumsi hilang dalam bentuk panas dan hanya sekitar seperlima total energi dari pakan yang diperoleh dalam bentuk pertumbuhan. Efisiensi Pemanfaatan Nutrisi Nilai efisiensi pemanfaatan nutrisi menentukan kualitas suatu pakan, semakin besar nilai efisiensi pemanfaatan nutrisi, semakin tinggi kualitas pakannya. Sebaliknya, semakin kecil nilai efisiensi pemanfaatan nutrisi, berarti semakin rendah kualitas pakannya. Nilai rata-rata efisiensi pemanfaatan nutrisi pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 8. Tabel 5. Rata-rata Efisiensi Pemanfaatan Pakan (%) pada Ikan Bandeng C. Chanos yang Diberi Pakan Berbagai Tingkat SubtitusiTepung Ikan dengan Tepung Maggot Selama Penelitian. Perlakuan

Tingkat Subtitusi

% Rata-rata Efisinsi Pemanfaata Pakan ± SD

A

(Tepung Ikan 100 %; Tepung Maggot 0%)

27.10 ± 5.79 a

B

(Tepung Ikan 75%; Tepung Maggot 25%)

24.92 ± 4.68 a

C

(Tepung Ikan 50%; Tepung Maggot 50%)

23.48 ± 9.67 a

D

(Tepung Ikan 25%; Tepung Maggot 75%)

25.07 ± 6.39 a

E

(Tepung Maggot 100%; Tepung Ikan 0%)

31.67 ± 2.92 a

Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. n = 3 Huruf yang sama menunjukan tidak berpengaruh nyata Dari tabel diatas terlihat bahwa rata-rata efisiensi pemanfaatan pakan pada pakan A, B, C, D, E berturut-turut adalah 27.10%; 24.92%; 23.48%; 25.07%; dan 31.67%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi pemanfaatan pakan pada taraf 5 %. Hal ini menunjukkan bahwa efektifitas pakan untuk semua perlakuan relatif sama.

Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa walaupun nilai efisiensi pemanfaatan pakan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun nilai efisiensi pemanfaatan pakan cenderung meningkat dengan bertambahnya kadar tepung maggot di dalam pakan. Hal ini diduga karena tepung maggot memiliki nilai nutrisi yang tinggi dan hampir sama dengan tepung ikan sehingga sesuai dengan kebutuhan ikan bandeng. Hadadi dkk (2007) mengatakan bahwa tepung maggot mengandung protein, lemak, serat kasar, dan BETN berturut-turut adalah 45.01%, 16.78%, 21.97% dan 0.15% dalam bobot kering. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pakan dengan tepung maggot 100% memiliki efisiensi pakan yang baik dan mampu menggantikan tepung ikan secara keseluruhan untuk pemeliharaan ikan bandeng.

Kualitas Air Kisaran nilai parameter kualitas air yang diperoleh selama penelitian disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Kisaran Nilai Pengukuran Parameter Kualitas Air Selama Penelitian Parameter

Perlakuan A

B

C

D

E

25 - 27

25 - 27

25 - 27

25 - 27

25 - 27

6.62 - 8.42

6.69 - 8.42

6.73 - 8.42

6.76 - 8.42

6.80 - 8.42

DO (ppm)

4.2 - 5

4.8 - 5

3.5 - 5

4.5 - 5

3.8 - 5

NH3 (ppm)

0.002 - 0.02

0.003 - 0.02

0.004 - 0.02

0.014 - 0.02

0.007- 0.02

Suhu (0C) pH

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa suhu selama penelitian berkisar antara 25-27 °C. Suhu ini masih dalam kisaran yang sesuai untuk pemeliharaan dan pertumbuhan ikan bandeng. Menurut Zakaria (2010) mengatakan bahwa suhu yang baik untuk kehidupan dan pertumbuhan ikan bandeng berkiasar antara 24-31 0C. Hal ini juga didukung oleh pendapat Kordi dan Tancung (2005) bahwa suhu optimal untuk pemeliharaan ikan bandeng berkisar antara 23-32°C. Tingkat keasaman (pH) yang diperoleh yaitu berkisar antara 6.62-8.42, Kisaran ini tergolong sangat layak untuk kehidupan dan pertumbuhan ikan bandeng. Hal ini sesuai dengan pendapat Kordi (2009) yang mengatakan bahwa ikan bandeng masih dapat tumbuh optimal pada 6.5-9. Kandungan oksigen terlarut yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 3.5-5 ppm. Kisaran ini masih sesuai untuk pemeliharaan ikan bandeng. Menrut Zakaria (2010), kandungan oksigen yang sesuai untuk pemeliharaan ikan bandeng tidak kurang dari 3 ppt.

Kandungan amoniak yang diperoleh selama penelitian berkisar 0.002-0.02 ppm. Kiasaran ini tergolong masih layak untuk pemeliharaan ikan bandeng. Hal ini sesuai dengan pendapat Kordi dan Tancung (2005) mengatakan bahwa dalam pemeliharaan ikan bandeng, kandungan amoniak tidak boleh lebih dan 0.1 ppm.

PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada ikan Bandeng

C.

chanos Forsskal yang diberi pakan berbagai tingkat subtitust tepung ikan dengan tepung maggot memberikan pengaruh yang sama terhadap retensi protein, retensi lemak, retensi energi dan efisiensi pemanfaatan pakan, sehingga tepung maggot dapat menggantikan peranan tepung ikan hingga 100 % dalam pembuatan pakan untuk budidaya ikan Bandeng C. chanos Forsskal. Sebaiknya dilalukan penelitian lebih lanjut, pada parameter-parameter yang lain untuk menentukan tingkat subtitust tepung ikan dengan tepung maggot yang tepat, dalam membuat formulasi pakan ikan Bandeng C. chanos Forsskal.

DAFTAR PUSTAKA Afrianto, E dan Liviawaty, E. 2005. Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta Anonim. 2010. Produksi Udang Sulswesi Selatan ditargetkan 21.498. Diakses dari (http://www.kabarbisnis.com/aneka-bisnis/agribisnis/282203Produksi_udang_Sulsel_ditarget_21_498_ton.html) Anonim. 2010. Ikan Bandeng Potensial Dibudidayakan Dalam KJA di Laut. Diakses dari (http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/31/ikan-bandeng-potensial-dibudidayakandalam-kja-di-laut/). Anonim.

2010.

Maggot

Pakan

Alternatif.

Diakses

dari

(http://www.perikanan-

budidaya.dkp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=113:maggot-pakanalternatif&catid=117:berita&Itemid=126.) Aslamyah, S. 2008. Pembelajaran Berbasis SCL pada Mata Kuliah Biokimia Nutrisi. UNHAS. Makassar. Buwono I. D. 2000. Kebutuhan Asam Amino Esensial Dalam Ransum Ikan. Kanisius. Yogyakarta. Gusrina. 2008. Budidaya Ikan. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta

Hadadi, A., Herry, Setyorini, Surahman, A., Ridwan, E. 2007. Pemanfaatan Limbah Sawit untuk Pakan Ikan. Jouncey, K and Ross, B. 1988. A Guide to Tilapia Feeds and Feeding. Institute of Aquaculture of Stirling Scotland. Kumar, S dan M. Tembhre. 1997. Anathomy and Physiology of Fishes. Vikas Publishing House PVT Ltd. New Delhi. Lan, C.C. dan B.S. Pan. 1993. Invitro Ability Stimulating The Proteolysis of Feed Protein in The Midgut Gland of Grass Shrimp (Pennaeus monodon). Lovell, T., 1988, Fish Nutrition. Academic Press. London and New York. Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. Priyadi, A., Azwar, Z. I., Subamia, I.W., dan Hem, S. 2008. Pemanfaatan Maggot Sebagai Pengganti Tepung

Ikan

Dalam Pakan

Buatan

Untuk Benih

Ikan Balashark

(Balanthiocheilus Melanopterus Bleeker). Rachmansyah. 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan Bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung. IPB. Bogor Retnosari, D. 2007. Pengaruh Pengaruh Substitusi Tepung Ikan Oleh Tepung Belatung Terhadap Pertmbuhan Benih Nila (Oreochromis niloticus) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Panjadjaran, Jatinangor, Bandung. Syamsuddin, R. 2010. Sektor Perikanan Kawasan Indonesia Timur: Potensi, Permasalahan, dan Prospek. PT Perca, Jakarta Yuwono, E dan Purnama, S. 2001. Fisiologi Hewan I. Fakultas Biologi Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto. Zakaria.

2010.

Petunjuk

Tehnik

Budidaya

Ikan

Bandeng.

http://cvrahmat.blogspot.com/2011/04/budidaya-ikan-bandeng.html

Diakses

dari

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

POTENSI MAGGOT SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PROTEIN PAKAN IKAN MELTA RINI FAHMI', SAURIN HEM 2

dan

I WAYAN SUBAMIAI

Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar, Depok' Jalan Perikanan No . 13 Kampung Baru, Depok 16436 2 Institut de Recherche pour le Developpement (IRD), Perancis

ABSTRAK Penggunaan maggot sebagai sumber protein alternatif dalam pakan ikan telah dikaji di Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar (LRBIHAT) Depok . Maggot merupakan larva serangga Black soldier (Hermetia illusence) yang dapat mengkonversi material organik menjadi biomasanya . Sebagai pakan ikan maggot memiliki dua fungsi yaitu sebagai salah satu sumber protein yang dapat mensubtitusi tepung ikan dan sebagai pellet altematif yaitu maggot dapat langsung diubah menjadi pellet. Produksi maggot dapat dilakukan secara tertutup dan terbuka . Cara tertutup untuk daerah yang padat penduduk sedangkan cara terbuka dilakukan di daerah yang jarang penduduknya . Media yang digunakan untuk produksi maggot adalah Palm kernel meal (PKM) atau bungkil kelapa sawit . Perbandingan jumlah maggot yang diproduksi dengan jumlah PKM adalah 1 : 3 (1 kg maggot didapatkan dari 3 kg PKM) . Kata kunci : Ikan, sumber protein, maggot PENDAHULUAN Akuakultur terus mengalami perkembangan yang pesat, produksinya meningkat dari 13 hingga 36 juta ton selama 15 tahun terakhir (dari tahun 1984 hingga tahun 2000) (FAO) . Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, akuakultur juga memacu potensinya untuk eksis dan terus maju dalam upaya memenuhi kebutuhan protein masyarakat . Hal ini terlihat dari grafik pertumbuhan akuakultur yang di keluarkan oleh FAO (Gambar 1) . Selanjutnya dengan adanya tuntutan untuk peningkatan produksi secara otomatis akan meningkatkan kebutuhan akan pakan ikan . Tepung ikan sebagai salah satu sumber protein penting dalam formulasi pakan ikan, mulai mengalami fase stagnan yaitu kurang lebih 6,1 juta ton pertahun semenjak tahun 90-an (Gambar 1) . Kondisi ini tentu menjadi kendala yang cukup besar bagi pertumbuhan budidaya perikanan . Indonesia sebagai salah satu negara pengimport tepung dan minyak ikan juga terkena dampak dari kondisi global akuakultur ini, yaitu keterbatasan jumlah tepung ikan sehingga harganya terus melonjak . Hingga saat ini Indonesia menganggarkan kurang lebih US$ 200 juta pertahun untuk impor tepung dan minyak ikan . Hal ini menjadi perhatian yang cukup serius sehingga perlu dilakukan upayaupaya untuk mengatasi permasalahan tersebut,

salah satunya adalah upaya mencari pengganti tepung ikan (fishmeal replacement) sebagai salah satu sumber protein penting dalam formulasi pakan ikan (IRD, 2004) . Penelitian tentang pengganti tepung ikan (fish meal replacement) pun mulai banyak dilakukan, seperti penggunaan tepung keong, bulu ayam, kedele, bungkil kelapa sawit (Palm kernel meal/PKM) dan lain-lain, namun masih menghadapi kendala yaitu ketersediaannya yang terbatas . PKM merupakan salah satu basil sampingan dalam industri minyak sawit . PKM diketahui mengandung 16-17,9% protein, 13-15% serat kasar dan anti nutrisi berupa non starch polysaccharides (NSPs) (AGUNDIADE et al., 1999 ; WING-KEONG NG, 2003) . Kandungan serat yang tinggi menyebakan nilai kecernaan PKM menjadi lebih rendah pada hewan monogastrik (SWICK, 1999) . Untuk ikan pemberian PKM, ZAHARI dan ALIMON (2005) merekomendasikan 10-20%, AFIFAH (2006) merekomendasikan 11 % . Salah satu cara untuk meningkatkan nilai PKM dalam akuakultur adalah melalui proses biokonversi . Konsep ini telah mulai di kembangan oleh peneliti IRD (Institut de Recherche pour le Developpment), Perancis dan LRBIHAT (Loka Riset Budidaya Man Hias Air Tawar) Depok . Agen biokonversi yang dilibatkan adalah larva Diptera, (famili : Stratiomydae) .

125

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkm Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

so,*

0 produksi o kebutuhan pakan - ketersediaan tepung ikan untuk kebutuhan global

C3 ketersediaan tepung ikan untuk akuakultur p perkiraan kebutuhan tep . ikan (fishmeal replacement)

Gambar 1 . Perkembangan akuakultur secara global

BIOKONVERSI Biokonversi didefinisikan sebagai perombakan sampah organik menjadi sumber energi metan melalui proses fermentasi yang melibatkan organisme hidup . Proses ini biasanya dikenal sebagai penguraian secara anaerob . Umumnya organisme yang berperan dalam proses biokonversi ini adalah bakteri, jamur dan larva serangga (family : Chaliforidae, Mucidae, Stratiomydae) . Dalam kehidupan sehari-hari, proses ini sering ditemukan, seperti pada proses pembuatan tempe yang memanfaatkan jamur (ragi) sebagai organisme perombak, proses pembusukan sampah organik (pembuatan pupuk kompos) yang melibatkan bakteri sebagai organisme perombak . Sedangkan pada limbah hewani agen perombak yang sering di temukan adalah larva serangga Diptera. Larva serangga dari famili : Stratiomydae, Genus : Hermetia, spesies : Hermetia illucens, banyak di temukan pada limbah kelapa sawit . Larva Hermetia

1 26

illucens atau Black soldier (BS) Fly ini, lebih dikenal dengan istilah maggot . BIOLOGI MAGGOT Istilah "maggot" mulai dikenal pada pertengahan tahun 2005, yang diperkenalkan oleh tim Biokonversi IRD-Perancis dan Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar (LRBIHAT), Depok . Maggot merupakan larva serangga (Diptera : Stratiomydae, Genus Hermetia) yang hidup di bungkil kelapa sawit (Palm kernel meal/PKM) . PKM sebagai media tempat hidupnya akan dimakan dan dicerna oleh maggot dan disimpan dalam organ penyimpanan yang disebut trophocytes . Sekitar 33% dari berat tubuh serangga adalah trophocyters (NAYAR et al., 1981) . Siklus hidup Black soldier (BS) sama dengan serangga Diptera lainnya yaitu mulai dari telur menetas menjadi larva yang mengalami proses metamorposa menjadi pupa dan serangga dewasa (Gambar 2) .

Seminar Nasional Hari Pangan SeduniaXXG71 Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakal

Pupa Maggot

Telur

Dewasa Gambar 2 . Siklus hidup Black soldier (Hermetia illucens) Telur BS berwarna kekuningan berbentuk elips dengan panjang sekitar 1 mm . Warnanya akan berubah menjadi kecoklatan/gelap menjelang menetas dan setelah 24 jam pada suhu 30°C telur BS akan menetas . Larva BS (maggot) berbentuk elips warna kekuningan dan hitam di bagian kepala. Setelah 20 hari panjangnya mencapai 2 cm, pada fase ini maggot telah dapat di berikan pada ikan sebagai pakan . Ukuran maksimum maggot mencapai 2,5 cm dan setelah mencapai ukuran tersebut maggot akan menyimpan makanan dalam tubuhnya sebagai cadangan untuk persiapan proses metamorfosa menjadi pupa. Mendekati fase pupa, maggot akan bergerak menuju tempat yang agak kering . Pupa ini mulai terbentuk pada maggot umur 1 bulan, dan kurang lebih I minggu kemudian pupa

akan menetas menjadi lalat . Lalat dewasa ini hanya memakan madu atau sari bunga sehingga lebih dikenal dengan serangga bunga . Setelah kawin lalat BS akan menyimpan telurnya di serpihan-serpihan dekat sumber makanan larva muda (Gambar 3) . Hasil penelitian terhadap pertumbuhan maggot dapat dilihat pada grafik Gambar 4 . Serangga Hermetia illusence (Black soldier fly) dapat ditemukan dimana saja, penyebarannya hampir diseluruh wilayah . Namun tidak ditemukan pada habitat dan makanan manusia, sehingga maggot lebih higienis jika dibandingkan dengan lalat rumah (Musca sp) atau lalat hijau (Challipora sp) . Hingga saat ini maggot tidak terdeteksi sebagai penyebab penyakit (NEWTON et al., 2005) .

Gambar 3 . Black soldier (BS) Fly (a) BS fly sedang kawin (b) tempat hidup BS fly umumnya di atas daun/bunga

127



Seminar Nasional Hari Pangan SeduniaXXL7I Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

Btongbtc r .Iadonslbp belween length and 41p of eorty Hermlra dA 4+ens Irvao (In mm) couesponrngto tho age of larvae (rn days) at the tsmprattna of 30 c

Gambar 4. Grafik pertumbuhan maggot pada suhu 30°C

Larva black soldier (BS) memiliki beberapa karakter diantaranya : (1) bersifat dewatering (menyerap air), dan berpotensi dalam pengelolaan sampah organik, (2) dapat membuat Hang untuk aerasi sampah, (3) toleran terhadap pH dan temperatur, (4) melakukan migrasi mendekati fase

pupa, (5) higienis, sebagai kontrol lalat rumah, (6) kandungan protein tinggi mencapai 45% . Semua karakter tersebut menunjukkan potensi maggot sebagai agen biokonversi dan sumber protein alternatif pakan ikan .

Tabel 1 . Kandungan nutrisi maggot Proksimat (%) Kadar air Protein Lemak

12 8

2,38 44,26 29,65

Asam amino (%) Serin 6,35 Glisin 3,80 Histidin 3,37 Arginin 12,95

Asam lemak (%) Linoleat Linolenat Saturated Monomer

0,70 2,24 20,00 mg/g 8,71

Mineral (%) Mn Zn Fe Cu

0,05 mg/g 0,09 0,68 0,01

Treonin Alanin Prolin

3,16 25,68 16,94

P Ca Mg

0,13 55,65 3,50

Tirosin Valin Sistin Iso leusin

4,15 3,87 2,05 5,42

Na K

13,71 10,00

Leusin Lisin Taurin

4,76 10,65 17,53

Sistein NH3 Orn

2,05 4,33 0,51

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XVVII Dukungan Tekuologi UlntukMeningkatkan Prnduk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

Kandungan nutrisi maggot SHEPPARD et al. (2005) mengatakan bahwa kandungan nutrisi maggot sangat potensial dij adikan sebagai sumber protein alternatif pakan ikan . Nilai nutrisi maggot dapat dilihat pada Tabel 1 .

Maggot sebagai pakan ikan Maggot sebagai pakan ikan memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai pengganti tepung ikan (fishmeal replacement) dan sebagai pakan alternatif. Fungsi maggot ini pada akhirnya akan mempengaruhi bentuk pengolahannya. Sebagai pengganti tepung ikan, maggot diolah dalam

l

bentuk tepung . Tepung maggot ini selanjutnya dimasukkan dalam formulasi pakan sebagai salah satu sumber protein menggantikan tepung ikan . Sebagai pakan alternatif, maggot dapat diberikan dalam bentuk fresh (segar) pada ikan, dapat juga diberikan dalam bentuk pelet . Untuk pengolahan menjadi pelet maggot terlebih dahulu dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 25%, setelah itu langsung dimasukkan ke dalam mesin pelet untuk dicetak . Dari penelitian yang dilakukan, ikan-ikan carnivora, seperti ikan Arwana, Betutu, Lele dan Gabus sangat menyukai maggot fresh sebagai pakannya . Sedangkan ikan-ikan yang berukuran kecil lebih menyukai pelet magot .

(b)

Gambar 5 . (a) Maggot segar (fresh) siap diberikan sebagai pakan ikan, (b) pelet maggot

(a)

(b)

Gambar 6 . (a) Produksi maggot secara tertutup menggunakan kandang (b) Produksi maggot secara terbuka menggunakan tong

1 29



Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Heivani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

Tekhnologi produksi maggot Black soldier ditemukan hampir di seluruh wilayah, namun jumlah terbanyak ditemukan di daerah-daerah yang jumlah penduduknya sedikit . Di wilayah yang berpenduduk padat kehadiran maggot akan berkompetisi dengan lalat rumah (Mucidae) atau lalat hijau (Caliphoridae) . Kedua kondisi wilayah ini akhimya mempengaruhi teknik produksi maggot . Untuk wilayah yang berpenduduk padat produksi maggot dilakukan dengan sistem tertutup dengan menggunakan kandang . Sedangkan pada sistem terbuka wadah yang digunakan adalah tong-tong besi yang di tutup penutup tong diselangi dengan kawat, fiber dan bambu . Langkah/tahapan dalam produksi maggot adalah sebagai berikut :

dalam bak pembesaran . Setelah 2 mingggu di bak pembesaran maggot siap dipanen . Untuk mendapatkan 1 kg maggot segar dibutuhkan 3 kg PKM .

KESIMPULAN Maggot dapat diproduksi secara massal dan dapat mensubstitusi penggunaan tepung ikan dalam formulasi pakan . DAFTAR PUSTAKA

R . 2006. Pemanfaatan bungkil kelapa sawit dalam pakan juvenile ikan patin jambal (Pangsius jambal) . Him 19.

AFIFAH,

J . WISEMAN and D .J .A . COLE . 1999 . Energi and nutrient use of palm kenels, palm kernel meal and palm kernel oil in diets for growing pigs . Animal feeds Science and Technologi 80 : 165-

AGUNBIADE, J .A .,

Persiapan wadah, alat dan bahan 1 . Wadah : tong besi (diameter 56 cm dan tinggi 50 cm) dan bak beton berukuran 5 x 10 x 0,5 m. 2 . Alat : tiang untuk tong berbentuk segitiga dengan tinggi 60cm, kawat, fiber, bambu dan tutup tong . 3 . Bahan : bungkil kelapa sawit, air dan daun pisang 4 . Tong-tong yang akan digunakan ditempatkan di semak-semak atau tempat-tempat yang banyak potion

181 .

Prospective work result and plans for feature program of bioconversion processing by product from agro industries in Indonesia & their vabrication via aquaculture : Application with palm kernel meal . Annual report . Him 11 (Unpublished

IRD . SAURIN HEM . 2004 .

report) .

and DAVID, B .V. General and Applied enthomology . McGraw Pub. Co . Ltd . New Delhi : vii + 573 him .

NAYAR, K .K . ANANTHAKRISNAN, I .N ., 1981 .

L ., and R .

NEWTON,

Kultur r , !,

{)t

Kultur maggot dilakukan d cara se' ai berikut : 3 kg bungkil kelapa telah is 5 dicampurkan dengan 6 1i' ,udian e ;k secara merata, selanjui ~ . a campuran tei kit dimasukkan ke dalam t dan ditempatkan in pisang diatasnya . Tong telah berisi bungkil ditutup dengah penutup yang diselingi dengan kawat, bambu dan fiber elah 2 minggu akan didapatkan maggot yang iiiasih muda di dalam tong . Tahap pembesaran Tahap ini dimulai dari pemanenan semua maggot dari tong selanjutnya dipindahkan ke

130

C . SHEPPARD, D .W. WATSON, G. BURTLE DOVE . 2005 . Using the Black Soldier fly,

Hermetia illucens, as a value- added tool for the

management of swine manure . Report for The Animal and Poultry waste Management Center. 17 III : R .A. 1999 . Consid, lion in using protein meals for poultry and swine . ASA Technical Bulletin 21 : 1-11 .

SWICK,

The pontential use of palm kernel meal in aquaculture feeds . Aquaculture Asia 8(1) :

WING KEONG NG. 2003 . 38-39 .

M .W. and A.R . ALIMON . 2005 . Use of palm kernel cake and oil palm by products in compund feed . Palmas journal 26 (1) : 5-9 .

ZAHARI,