FAKTOR DOMINAN ANAK MENJADI ANAK JALANAN DI KOTA

Download jumlah anak jalanan yang berada di Kota Medan ... Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2 ... buruk tentang kota (Jurnal Ps...

0 downloads 526 Views 94KB Size
Hutasoit, dkk., Hubungan Subkontrak …

FAKTOR DOMINAN ANAK MENJADI ANAK JALANAN DI KOTA MEDAN

Hairani Siregar, Zulkifli Rani, Agus Suriadi

Abstract: Street children are the phenomena which are arise in urban region associated with various problems of development faced by Indonesia. Medan, as one of the biggest city in Indonesia has a serious problem about street children. Todays, the total number of street children in Medan according to the statistical data in 2003 reached 2.526 kids or 50,20% of the total street children who are wide spread in the entire North Sumatra. Considering the increasing number of street children in Medan and even various factors as the back ground why they can be one of the street children. This study intends to find out the dominant factors of the children to become street children in Medan. The methodological type that was used in this current study included an explanatory method using an quantitative analysis. All the street children in Medan were treated a population and the samples were by accidentally involving 250 street kids. This study choose five locations, thai is Terminal Terpadu Amplas, Terminal Pinang Baris, Simpang Majestik, Simpang Sikambing, dan Simpang Ramayana-Katamso. The result of the research showed that the poverty of the family, social life disorganizes family is the significant factors why they become street children. The variable, that has been measured, reflects that the poverty is the dominant factor in escalating the number of street children in Medan. Keywords: street kids, poverty, family disorganization, social environment PENDAHULUAN Fenomena yang muncul di perkotaan seiring dengan berbagai permasalahan pembangunan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah munculnya anak-anak jalanan. Berdasarkan data anak jalanan menurut provinsi, tahun 2002 jumlah anak jalanan yang terdapat di Indonesia mencapai 94.674 jiwa. Sumatera Utara sendiri mencapai 5.025 jiwa anak jalanan (www.depsos.go.id). Sementara itu jumlah anak jalanan di Propindi Sumatera Utara menurut data tahun 2003 tidak berbeda dengan data pada tahun 2002 tersebut di atas dan keberadaannya tersebar di beberapa kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara. Data yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial Sumatera Utara tahun 2003 terlihat bahwa, jumlah anak jalanan yang berada di Kota Medan menduduki jumlah yang tertinggi yaitu, mencapai 2.526 jiwa (50,25%) dari seluruh anak jalanan yang berada di kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena Kota Medan merupakan ibu kota Provinsi yang memiliki daya terik yang lebih besar jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya.

Alasan lain menunjukkan bahwa Kota Medan memiliki perkembangan kota yang lebih cepat jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Data yang dikeluarkan oleh KKSP salah satu LSM yang berada di kota Medan menjelaskan bahwa jumlah anak jalanan di Sumatera Utara mencapai lebih kurang 5000 jiwa yang tersebar di beberapa kabupaten/kota (Kompas, 24 Juli 2003), sedangkan jumlah anak jalanan untuk kota Medan sekitar setengah dari jumlah anak jalanan yang ditemukan di Sumatera Utara (Suara USU, September 2003). Keadaan yang lebih memprihatinkan adalah bahwa jumlah anak yang rentan turun ke jalan bisa 20 kali lipat dibandingkan dengan jumlah anak jalanan itu sendiri (Kompas, 24 Juli 2003). Dengan usia yang sangat muda, pada umumnya anak-anak jalanan ini bekerja di sektor informal. Pilihan sektor informal adalah suatu jawaban atas rendahnya pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki oleh anak-anak jalanan. Investasi yang diperlukan untuk sektor ini relatif rendah serta tidak memerlukan persyaratan kemampuan atau keterampilan khusus (Hadionoto, 1988).

Hairani Siregar adalah Dosen Fisip USU Zulkifli Rani dan Agus Suriadi adalah Dosen MSP SPs USU

22

Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dengan Departemen Sosial terhadap anak-anak jalanan ini memilih bekerja sebagai penjual makanan ringan, minuman ringan, penjual koran, penyemir sepatu, pengamen, pemulung, penyapu angkot dan pengemis. Pada umumnya mereka menempatkan diri di pusat perbelanjaan (pasar/mal), terminal bus, stasiun kereta api, taman kota, perempatan jalan, tempat pembuangan sampah, dan dermaga pelabuhan. Jika diperhatikan sebenarnya, tempattempat anak jalanan ini sangat berbahaya. Selain mengganggu ketertiban dan keamanan orang lain, juga dapat membahayakan diri sendiri, dan memberi peluang tindak kekerasan. Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Amarina mengungkapkan bahwa kehadiran anak-anak jalanan ini dianggap merusak pemandangan, mengotori lingkungan, mengganggu keamanan, menimbulkan kekerasan, dan membangun citra buruk tentang kota (Jurnal Psikologi, 1989).Tidak adanya perlindungan orang dewasa ataupun perlindungan hukum terhadap anak-anak ini, menjadikan anak-anak tersebut rentan terhadap kekerasan. Kekerasan bisa berasal dari sesama anak-anak itu sendiri, atau dari orangorang yang lebih dewasa yang menyalahgunakan mereka, bahkan dari aparat pemerintah. Bentuk kekerasan bermacam-macam mulai dari dikompas (dimintai uang), dipukuli, diperkosa, ataupun dirazia dan dijebloskan ke penjara. Anak-anak jalanan itu sendiri juga berpotensi menjadi pelaku kekerasan atau tindak kriminal seperti mengompas teman-temannya yang lebih lemah, pencurian kecil-kecilan, dan pemakaian/perdagangan obat-obat terlarang. Banyaknya bahaya dan tindakan yang telah dilakukan maupun perlakuan yang tidak pantas yang didapatkan anak-anak jalanan ternyata tidak mengurangi keinginan anak-anak untuk tetap bekerja dan hidup di jalanan. (Suara Pembaharuan, 11 Februari 2004) memaparkan tentang banyaknya jumlah anak jalanan yang tidak bersekolah. Hal ini menunjukkan bahwa sampai saat ini belum ada sistim pendidikan khusus bagi anak jalanan. Begitu banyak hal-hal yang didapatkan anak dijalanan yang apabila diperhatikan dari usia mereka, mereka tidak pantas untuk mendapatkan dan melakukan itu semua. Apalagi jika kita menghadapkan kondisi itu dengan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak

(UU No.4/1979) yang ditetapkan jauh sebelum konvensi hak-hak anak diratifikasi (konvensi tentang Hak-Hak Anak, disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November1989). Dalam UU tersebut dirumuskan perihal hak-hak anak yang perlu dikedepankan, yang menegaskan bahwa anak berhak atas kesejahteraan perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang dalam keluarga maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembangnya secara wajar. Anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang berguna. Selanjutnya anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar (Siregar, 2003). Dari berbagai hak yang dirumuskan di atas barangkali anak jalanan merupakan sebuah kasus anak yang paling sering dan berpotensi untuk terabaikan dalam memperoleh hak-hak. Di samping dari keluarga tidak diperoleh pelayanan kesejahteraan dan kasih sayang, lingkungannya ternyata turut andil memproduksi munculnya anak jalanan. Sedangkan alasan untuk melakukan kegiatan dijalanan, sangat bervariasi mulai dari orangtuanya tidak mampu, putus sekolah, karena kurang biaya untuk sekolah, dan disebabkan terpisah dari orang tua dan penolakan orang tua (Indonesia-P, 15 Maret 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hening Budiyanto, dkk., (2000) juga menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak pergi ke jalanan berdasarkan alasan dan penuturan mereka adalah karena kekerasan dalam keluarga, dorongan ekonomi keluarga, ingin bebas, dan ingin memiliki uang sendiri karena pengaruh teman Kemudian kondisi ini diperparah dengan hadirnya kekerasan fisik maupun emosional terhadap anak. Faktor lain yang semakin menjadi alasan anak untuk turun ke jalan adalah faktor ekonomi rumah tangga. Melihat keberadaan anak-anak jalanan dan alasan-alasan yang dikemukakan mereka sehingga mereka hidup dan bekerja di jalanan, maka penelitian ini akan melihat faktor dominan apakah yang menjadikan anak menjadi anak jalanan, khususnya untuk anak-anak jalanan di kota Medan.

23

Hairani, dkk., Faktor Dominan Anak Menjadi Anak Jalanan …

METODE Tipe penelitian yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian eksplanatif dengan analisis kuantitatif (Singarimbun, 1991). Populasi penelitian ini adalah sebanyak 2.526 jiwa anak jalanan yang ada di kota Medan. Cara menentukan sampel dalam penelitian ini merujuk kepada pendapat Arikunto dengan menggunakan lebih kurang 10% dari populasi akan dijadikan sebagai sampel (Widodo, 2000). Maka dalam penelitian ini akan menjadikan 250 anak jalanan Kota Medan sebagai sampel. Teknik penarikan sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik accidental sampling, yaitu dengan tidak menetapkan sampel terlebih dahulu. Sampel yang akan diambil nantinya tergantung kepada keadaan di lapangan (Nawawi, 1985). Teknik ini dipergunakan dengan pertimbangan bahwa anak jalanan ini mempunyai mobilitas yang sangat tinggi dengan jam kerja yang ridak menentu, maka sampel akan dipilih berdasarkan pertemuan secara kebetulan saja. Penelitian ini berlokasi di seluruh wilayah Kota Medan, khususnya di tempattempat di mana anak jalanan sering ditemukan. Dalam penelitian ini ditetapkan bahwa tempat penelitiannya adalah Sekitar Terminal Amplas, Terminal Pinang Baris, Simpang Sei Kambing (Perempatan lampu merah Sei Kambing), Simpang Bundaran Mayestik, dan sekitar Simpang Ramayana Katamso. Data penelitian ini didapatkan dari hasil jawaban kuesioner yang akan dibagikan kepada sampel penelitian, sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan masalah yang ada dalam penelitian ini. Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan bantuan kuesioner. PEMBAHASAN Unicef mendefinisikan anak-anak jalanan sebagai anak-anak yang pergi meninggalkan rumah, sekolah, dan lingkungan tempat tinggalnya, sebelum mencapai usia 16 tahun. Mereka menggelandang di jalan-jalan atau di tempat umum. Badan ini menilai bahwa para anak jalanan ini mempunyai etimologi dan gaya hidup yang serupa. Mereka kebanyakan berasal

24

dari keluarga miskin dengan orang tua yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, kehidupan perkawinan yang tidak stabil, peminum alkohol dan lain-lain. Sementara itu kekerasan merupakan metode yang biasa diterapkan dalam persoalan-persoalan antarpribadi. Mereka pada umumnya tergolong pada anak yang liar dan tidak tersosialisasikan dengan baik (Cockburn, 1988). Unicef membedakan anak jalanan atas dua bagian yaitu: 1) Anak-anak yang timbul dari jalanan (children of the street), yang pada intinya bahwa motivasi mereka untuk hidup di jalan adalah karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga orang tuanya. 2) Anak-anak yang ada di jalanan (children on the street) yang menunjukkan bahwa motivasi mereka hidup di jalan bukan sekedar karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga melainkan juga karena terjadinya kekerasan dan keretakan kehidupan rumah tangga orang tuanya (Bagong, 1999). Data penelitian menunjukkan responden banyak yang menjawab bahwa orang tua responden jarang bertengkar dengan anggota keluarga lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi keluarga responden dalam keadaan baik jika diperhatikan dari frekuensi orang tua bertengkar dengan anggota keluarga lainnya. Kemudian, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999) telah membedakan anak jalanan menjadi empat kelompok, yaitu: 1) Anak-anak yang tidak lagi berhubungan dengan orang tua (children of the street) mereka ini telah mempergunakan fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan, dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan anak jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka. 2) Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Mereka sering kali diidentifikasikan sebagai pekerja migrant kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampong. Pada umumnya mereka bekerja

Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2

dari pagi sampai sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek paying, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka dilingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasib. 3) Anak-anak yang berhubungan langsung dengan orang tua. Mereka tinggal dengan orang tuanya, beberapa jam di jalanan karena ajakan dari teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh oleh orang tua. Aktivitas mereka yang paling menyolok adalah berjualan koran. 4) Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang lulus SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang tua maupun saudara) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis, dan pemulung. Istilah marjinal, rentan dan eksploitasi adalah istilah-istilah yang dapat menggambar kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marjinal karena mereka melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang karirnya, kurang dihargai karena umumnya tidak menjanjikan prospek apapun dimasa yang akan datang.Rentan karena risiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang dan tidak teratur dan tempattempat bekerja yang terbuka mengakibatkan dari segi kesehatan maupun sosial sangat rawan. Sedangkan eksploitasi karena mereka biasa memiliki posisi tawar-menawar (bargaining position) yang sangat lemah, tersubordinasi cenderung menjadi objek perlakuan yang sangat semena-mena dari ulah preman dan oknum aparat yang tidak bertanggung jawab. Selanjutnya menurut Surjana menyebutkan bahwa factor yang mendorong anak turun ke jalan terbagi dalam tiga tingkatan, sebagai berikut: 1) Tingkat mikro (immediate causes), yaitu factor yang berhubungan dengan anak dan keluarga. Sebab-sebab yang bisa diidentifikasikan dari anak adalah lari dari rumah (sebagai contoh anak yang selalu hidup dengan orang tua yang terbiasa dengan menggunakan kekerasan, seperti sering menampar, memukul, menganiaya karena kesalahan kecil, jika sudah melampaui batas toleransi anak, maka anak cenderung

memilih keluar dari rumah dan hidup di jalanan [Suyanto, 1999]), disuruh bekerja dengan kondisi masih sekolah atau disuruh putus sekolah, dalam rangka bertualang, bermain-main atau diajak teman. Sebabsebab yang berasal dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, kondisi psikologis seperti ditolak orang tua, salah perawatan dari orang tua sehingga mengalami kekerasan di rumah (childabuse) kesulitan berhubungan dengan keluarga karena terpisah dari orang tua. Permasalahan atau sebab-sebab yang timbul baik dari anak maupun keluarga ini saling terkait satu sama lain. 2) Tingkat meso (underlying cause), yaitu factor agar berhubungan dengan struktur masyarakat (struktur di sini dianggap sebagai kelas masyarakat, di mana masyarakat itu ada yang miskin dan kaya. Bagi kelompok keluarga miskin anak akan diikutsertakan dalam menambah penghasilan keluarga). Sebab-sebab yang dapat diidentifikasikan ialah pada komunitas masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu meningkatkan ekonomi keluarga, oleh karena itu anak-anak diajarkan untuk bekerja pada masyarakat lain pergi ke kota untuk bekerja adalah sudah menjadi kebiasaan masyarakat dewasa dan anak-anak (berurbanisasi). 3) Tingkat makro (basic cause), yaitu factor yang berhubungan dengan struktur masyarakat (struktur ini dianggap memiliki status sebab akibat yang sangat menentukan, (Kuper, 2000), dalam hal ini sebab banyak waktu dijalanan, akibatnya akan banyak uang). Sebab yang dapat diidentifikasikan secara ekonomi adalah membutuhkan modal dan keahlian besar. Untuk memperoleh uang yang lebih banyak mereka harus lama bekerja di jalanan dan meninggalkan bangku sekolah. Hipotesa dalam penelitian ini adalah bahwa kemiskinan, disorganisasi keluarga, lingkungan social, merupakan factor yang menjadikan anak menjadi anak jalanan. Dan kemiskinan yang menjadi factor dominannya. Dari hasil penelitian, didapati kebanyakan responden berusia pendidikan dasar (SD) yaitu 12 tahun kebawah. Sedangkan selebihnya berusia lebih dari 12 tahun adalah usia pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Bagi

25

Hairani, dkk., Faktor Dominan Anak Menjadi Anak Jalanan …

responden yang tidak bersekolah, kondisi ini merupakan ancaman yang sangat berat bagi dirinya dimasa yang akan datang. Sementara itu bagi responden yang bersekolah harus lebih disiplin dalam mengatur waktu antara di jalanan dan di sekolah. Upaya pemerintah dalam melakukan eliminasi terhadap anak-anak yang bekerja di bawah umur sebenarnya sudah ada. Hal ini ditunjukkan dengan diratifikasinya pada Bulan Mei 1999 Konvensi ILO 138 tentang usia minimum anak untuk bekerja. Ratifikasi ini dituangkan dalam UU No.20/1999 yang mengharuskan pemerintah Indonesia membuat kebijakan nasional yang dirancang untuk memastikan penghapusan anak-anak yang bekerja dapat dilaksanakan secara efektif dan bertahap usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, sesuai dengan kekuatan fisik dan mental anak. Tegasnya, UU ini menerangkan bahwa minimal usia 15 tahun, anak diperbolehkan untuk bekerja. Dengan catatan tidak membahayakan kesehatan, keselamatan, dan tidak mengganggu kehadiran mereka di sekolah/pelatihan/kejuruan maka anak-anak yang berusia 15 tahun diperbolehkan untuk bekerja. Sementara itu seluruh pekerjaan apapun yang membahayakan mental atau kesehatan moral tidak boleh mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Dalam keadaan apapun kebutuhan sandang keluarga adalah tanggung jawab orang tua. Dalam hal ini kita akan melihat sejauh mana orang tua responden mampu memenuhi kebutuhan sandang dari anggota keluarga. Dari hasil jawaban responden terungkap bahwa, sandang yang disediakan oleh orang tua responden tidak mencukupi kebutuhan responden. Tidak mencukupi kebutuhan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa responden tidak merasa aman dengan sandang yang disediakan oleh orang tua. Kategori tidak cukup yang dimaksudkan di sini adalah bahwa sandang yang mereka miliki sangat terbatas, sehingga mereka sering bertukar sandang sesama anggota keluarga lainnya. Berfungsi atau tidaknya suatu keluarga dapat dilihat dari bagaimana kondisi keluarga pada beberapa ciri berikut. Ciri yang pertama adalah boundary atau garis pembatas keluarga, yang mempunyai fungsi sebagai pemersatu unitunit yang ada dalam keluarga, mengelola energi, dan melindungi unit-unit dari stres dari luar (Goldenberg, dkk., 1985). Apabila keluarga tidak

26

dapat berfungsi dengan baik, hal ini disebabkan oleh garis pembatas yang kabur, terkoyak atau bahkan tertutup sangat rapat, yang mengakibatkan dapat diibarakan seperti yang punya rumah tidak dapat menjadi tuan rumah dirumahnya sendiri. Ciri kedua adalah aturan, setiap organisasi berfungsi dengan aturan yang akan mendukung fungsi sehingga tujuan dari organisasi dapat tercapai. Demikian juga dengan keluarga mempunyai aturan-aturan yang mengatur peran masing-masing anggotanya, dan bagaimana masing-masing anggota keluarga berinteraksi satu dengan lainnya. Aturan yang berlaku biasanya adalah aturan yang tidak tertulis tetapi yang dimunculkan secara berulang-ulang oleh orang tua (Jackson dalam Goldenberg, 1985). Aturan dapat dikatakan sehat jika aturan menyantuni semua pihak, dan tidak berorientasi kepada keuntungan satu pihak saja. Pelanggaran terhadap aturan dapat saja terjadi. Seberapa jauh keluarga akan mentoleransi pelanggaran tergantung pada toleransi keluarga terhadap pelanggaran tersebut. Aturan-aturan dalam keluarga sangat diperlukan jika kita menginginkan sebuah keluarga yang teratur dan tercipta suatu hubungan yang baik antar anggota keluarga. Aturan-aturan tersebut dapat berupa kontrol orang tua responden terhadap pergaulan anak, pendidikan anak dan tingkah laku anak sehari-hari. Ciri ketiga adalah mekanisme homeostasis. Apabila dalam keluarga terjadi ketidakseimbangan akibat terjadinya pelanggaran terhadap peraturan, maka bagian yang terkena dampak pelanggaran akan melakukan reaksi dengan tujuan mengembalikan pada kondisi seimbang. Peraturan dibuat untuk dipatuhi seluruh anggota keluarga. Adanya aturan-aturan dalam keluarga menunjukkan bahwa keluarga tersebut menginginkan seluruh anggota keluarganya hidup teratur dan terarah. Sehingga tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang nantinya dapat merugikan nama baik keluarga. Ciri keempat adalah hubungan antara sub-sistem atau antara anggota keluarga. Idealnya setiap anggota keluarga mempunyai hubungan akrab dengan anggota keluarga lainnya secara seimbang. Pilih kasih (koalesi) atau penolakan (isolasi) akan menyebabkan hubungan antar subsistem dalam keluarga secara keseluruhan menjadi tidak seimbang. Setiap dyad (hubungan antar dua orang) atau triad (hubungan antar tiga orang) akan mempunyai garis pembatas sehingga

Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2

tidak semua anggota keluarga dapat memasuki hubungan-hubunan antar sub-sistem ini.Hubungan yang harmonis dalam keluarga adalah suatu hal yang sangat didambakan oleh setiap keluarga. Anggota keluarga akan merasa senang apabila satu sama lainnya saling bercengkrama terutama antara orang tua dengan anggota keluarga lainnya. Dari penelitian didapatkan ternyata hubungan responden dalam keluarganya cukup kaku, karena orang tua jarang dan bahkan ada yang tidak pernah bercengkrama dengan anggota keluarga lainnya. Bercengkrama yang dimaksudkan di sini seperti orang tua berbuat atau bercerita tentang hal-hal yang lucu sehingga membuat suasana menjadi menyenangkan semua anggota keluarga. Ciri kelima adalah komunikasi dan umpan balik. Komunikasi sebagai alat bersosialisasi dan bertukar informasi akan sangat diperlukan. Komunikasi yang baik adalah yang mempunyai pesan dengan tepat sehingga pesan dapat diterima dan dipahami secara tepat pula. Dalam keadaan apapun sebenarnya semua orang pasti mempunyai masalah baik masalah yang menyangkut pribadi maupun masalah di tempat bekerja. Sebenarnya seberat apapun masalah itu akan bisa diatasi apabila masalah itu bisa didudukkan sesuai dengan porsinya. Dalam hal ini seseorang yang dapat masalah harus mampu memilah-milah masalah tersebut sehingga tahaptahap penyelesaiannya dapat ditemukan. Aktivitas sebagai anak jalanan, yang hidup dan bekerja dijalan setiap saat selalu berhubungan dengan orang lain. Keadaan inilah yang membuat anak jalanan pasti banyak permasalahan. Data penelitian menunjukkan bahwa responden jarang membicarakan persoalan-persoalannya kepada saudarasaudaranya baik kakak maupun adik responden. Bahkan lebih banyak lagi responden yang menyatakan bahwa persoalannya tidak pernah dibicarakannya dengan adik atau kakaknya, disebabkan karena kurang dekatnya hubungan persaudaraan yang ada. Sehingga tidak ada keinginan untuk membicarakan persoalan responden kepada adek atau kakaknya. Masalah yang dihadapi anak-anak menurut teori sistem, muncul akibat fungsional keluarga tidak optimal oleh karena itu dengan didasari oleh ciri-ciri keluarga fungsional di atas. Sementara itu, di pihak lain mengungkapkan bahwa secara umum keluarga mempunyai tiga fungsi utama, yaitu dalam perawatan fisik anak,

mendidik anak agar dapat menyesuaikan diri terhadap kebudayaan dan masyarakat, bertanggung jawab terhadap kesejahteraan, psikologis, dan perkembangan anak (Johnson dan Mendinus, 1974). Berdasarkan teori fungsional dapat dijelaskan bahwa mengapa anak bisa menjadi anak jalanan. Hal ini disebabkan karena kurang berfungsinya keluarga ataupun adanya disorganisasi yang merupakan perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena anggotaanggotanya gagal memenuhi kewajibankewajibannya yang sesuai dengan peran sosialnya. Dengan adanya disorganisasi keluarga maka keluarga tidak berfungsi lagi yang menyebabkan adanya perubahan dari keluarga luas (extended family) ke keluarga batih (nuclear family). Di mana keluarga batih merupakan suatu unit kekerabatan yang terdiri dari pasangan suami istri yang menikah dan keturunan langsung mereka, yang memelihara suatu rumah tangga bersama dan bertindak bersama-sama sebagai suatu satuan sosial. Di dalam keluarga batih pada umumnya kurang signifikan, tidak ada lagi saling membantu sesama keluarga. Sedangkan keluarga luas, kelompok kekerabatan yang terdiri dari sejumlah keluarga batih yang bertalian menjadi satu dan bertindak sebagai satu kesatuan.Dalam kondisi tertentu keluarga luas sangat begitu berarti bagi keluarga inti, baik dalam keadaan suka maupun duka. Salah satu bentuk keharmonisan keluarga luas adalah saling berkunjung satu sama lainnya. Ternyata banyak responden yang menjawab bahwa mereka jarang mengunjungi keluarga ayah atau ibunya, bahkan ada yang tidak pernah. Kondisi ini memang memungkinkan, apalagi yang memiliki keluarga luas yang berjauhan. Di samping harus menyediakan waktu, tentu secara materi juga harus tersedia minimal untuk ongkos berkunjung.Anak merupakan pribadi sosial yang memerlukan relasi dan komunikasi dengan orang lain untuk memanusiakan dirinya. Anak ingin dicintai, diakui dan dihargai juga berkeinginan untuk dihitung dan mendapat tempat dalam kelompoknya. Pendapat demikian di samping memperhatikan individualitas anak juga harus memperhatikan masyarakat tempat anak diasuh dan dibesarkan. Lingkungan sosial inilah yang

27

Hairani, dkk., Faktor Dominan Anak Menjadi Anak Jalanan …

memberikan fasilitas dan arena bermain pada anak untuk pelaksanaan realisasi diri. Hasil penelitian menunjukkan ada responden yang merasa tidak pernah dihargai oleh anggota keluarga, misalnya pendapatpendapatnya selalu tidak didengarkan oleh anggota keluarga lain dan hal ini tentu saja menyebabkan ada perasaan tidak diterima didalam keluarga. Seorang anak yang berdiri sendiri, dan terpisah secara total dari masyarakat serta pengaruh kultural orang dewasa, tidak mungkin dia menjadi anak normal. Tanpa bantuan, manusia lain dan lingkungan sosialnya anak tidak mungkin mencapai taraf kemanusiaan yang normal (Kartono, 1995). Dengan demikian hubungan antar manusia, hubungan antar kelompok serta hubungan antar manusia dengan kelompok di dalam proses kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Di dalam pola-pola hubungan tersebut yang lazimnya disebut dengan interaksi sosial merupakan salah satu pihak di samping adanya pihak-pihak lain (misalnya, orang tua, kerabat, teman dan sebagainya). Pihak-pihak tersebut saling pengaruh mempengaruhi, sehingga terbentuklah kepribadian-kepribadian tertentu sebagai akibatnya proses saling pengaruh mempengaruhi melibatkan unsur-unsur yang lain yang baik dan benar, serta unsur-unsur lainnya yang dianggap salah dan tidak benar. Unsur-unsur manakah yang lebih berpengaruh, biasanya tergantung pada mentalitas yang menerima maupun untuk menjaring unsur-unsur dari luar yang diterimanya melalui proses pengaruh mempengaruhi, sehingga terjalin interaksi sosial. Sebagai seorang anak perhatian dari orang tua baik dari segi moril, spirituil maupun materi sangatlah diperlukan bagi pertumbuhan, perkembangan dan pergaulan anak. Karena jika seorang anak mendapat perhatian yang cukup dari orang tua mereka di rumah, mereka tidak akan mencari tempat lain di luar rumah untuk mendapatkan perhatian. Dari data penelitian, terlihat bahwa masih ada beberapa responden yang merasa belum pernah mendapatkan perhatian dari orang tua mereka baik dari segi materi, moril maupun spirituil. Sementara yang lebih dominan di sini adalah banyak dari responden yang merasa masih kurangnya perhatian yang diberikan oleh orang tua mereka terhadap mereka, hal ini dapat terjadi mungkin karena orang tua mereka sibuk mencari nafkah di luar rumah, sehingga ketika sampai di rumah

28

perhatian terhadap anak tidak dapat diberikan. Sedangkan responden yang merasa cukup mendapat perhatian dari orang tua mereka masih tergolong sedikit yaitu dibawah dari setengah responden. Perhatian seluruh anggota keluarga terhadap responden tentunya sangat mempengaruhi bagaimana seorang responden bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Keluarga di sini maksudnya adalah ayah, ibu, abang, kakak, adik dan keluarga terhadap responden dapat berupa mengingatkan, menegur, memperhatikan, kebutuhan responden, dan sebagainya.Dari data penelitian jelas terlihat responden yang kurang mendapatkan perhatian dari keluarga mereka lebih dominan daripada dua kategori lainnya. Hal ini juga bisa menggambarkan bahwa kurangnya perhatian dari keluarga menyebabkan mereka lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan daripada di rumah. Sebagai sebuah keluarga besar komunikasi antar keluarga satu dengan keluarga lainnya sangat berarti karena jika kita mendapatkan suatu masalah atau kemalangan selain tetangga yang akan menolong tentu saja keluarga lain akan menolong jika kita memiliki hubungan baik dengan mereka. Perbedaan suku dan agama juga terdapat dalam hubungan pertemanan para responden, tapi hal ini tidak menjadi masalah karena pada intinya pada diri anak jalanan tersebut saling menghormati, apalagi pada saat menunaikan ibadah masing-masing. Sebelum responden menjadi anak jalanan, kita perlu melihat apakah responden sering memilih teman bermain kelompok orang-orang yang memiliki status ekonomi yang lebih tinggi dari responden. Status ekonomi yang lebih tinggi yang dimaksudkan di sini adalah keadaan ekonomi yang bisa diamati oleh responden itu sendiri.Keadaan ini muncul bisa disebabkan ketidakpercayaan diri dari responden untuk memilih teman yang mempunyai status ekonomi yang lebih tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh seorang responden memilih teman yang mempunyai status ekonomi yang lebih tinggi bisa merepotkan responden sendiri. KESIMPULAN Kesimpulan yang terdapat dalam penelitian ini adalah kesimpulan yang didapatkan berdasarkan analisa data dalam penelitian tentang faktor dominan anak menjadi anak jalanan, di

Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2

mana yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 250 orang anak jalanan yang ada di kota Medan.Anak jalanan tersebut tersebar di beberapa lokasi yang sering dijadikan sebagai lokasi anak jalanan beraktivitas. Berdasarkan beberapa pertimbangan maka yang dijadikan sebagai lokasi penelitian adalah Terminal Pinang Baris dan sekitarnya, Terminal Amplas dan sekitarnya, Simpang Majestik, Simpang Seikambing, dan Simpang Ramayana Katamso. Banyak faktor yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan. Di antara faktor-faktor yang ada ternyata faktor ekonomi (kemiskinan) keluarga merupakan faktor yang paling dominan menjadikan anak menjadi anak jalanan di kota Medan. Keadaan ini telah dibuktikan bahwa semakin tinggi status ekonomi keluarga maka semakin rendah kecenderungan untuk menjadikan anak menjadi anak jalanan dan sebaliknya semakin rendah status ekonomi keluarga maka semakin tinggi peluang anak menjadi anak jalanan. Di samping faktor ekonomi keluarga yang dijadikan sebagai faktor dominan ternyata faktor status sosial keluarga juga merupakan faktor yang signifikan untuk menjadikan anak menjadi anak jalanan di kota Medan. Kondisi ini telah dibuktikan bahwa semakin tinggi status sosial keluarga maka semakin rendah peluang anak menjadi anak jalanan sebaliknya semakin rendah status sosial keluarga maka semakin tinggi peluang anak menjadi anak jalanan. Disorganisasi keluarga juga merupakan faktor yang signifikan untuk menjadikan anak menjadi anak jalanan di kota Medan. Proposisi ini telah dibuktikan bahwa semakin tinggi disorganisasi keluarga maka semakin tinggi peluang anak menjadi anak jalanan sebaliknya semakin rendah disorganisasi keluarga maka semakin rendah peluang anak menjadi anak jalanan. Kondisi yang lain menunjukkan bahwa lingkungan sosial anak sebelum anak menjadi anak jalanan ternyata tidak signifikan terhadap lahirnya anak jalanan di kota Medan. Keadaan ini telah dibuktikan bahwa anak yang lingkungan sosialnya dibatasi dengan anak yang lingkungan sosialnya tidak dibatasi sama-sama memberikan kecenderungan untuk menjadi anak jalanan di kota Medan. Intensitas anak jalanan di kota Medan ternyata telah menunjukkan bahwa anak jalanan di kota Medan cenderung untuk jarang tidur di rumah. Hal ini juga diperkuat oleh temuan bahwa

anak jalanan kota Medan cenderung bekerja di jalanan melebihi sembilan jam per hari. Oleh karena itu berdasarkan kategori yang diberikan oleh Dinas Sosial maka anak jalanan kota Medan cenderung menjadi anak jalanan murni, yaitu anak jalanan yang menghabiskan waktu di jalanan baik untuk bermain maupun untuk bekerja di atas sembilan jam per hari.Keberadaan anak jalanan kota Medan dari kelompok umur didominasi oleh anak-anak yang berusia sekolah dan yang berjenis kelamin laki-laki. Jenis pekerjaan yang ditekuni oleh anak jalanan kota Medan bermacam-macam. Mulai dari mengamen, jual makanan dan minuman ringan, penyemir sepatu, penjual rokok, penjual koran dan penyapu angkot. Dari berbagai macam jenis pekerjaan anak jalanan tersebut ternyata hanya jenis pekerjaan sebagai penyapu angkot yang tidak dikerjakan oleh anak jalanan perempuan. Di samping itu ada kecendrungan bagi anak jalanan kota Medan untuk melakukan pekerjaan lebih dari satu. Pada umumnya anak jalanan kota Medan datang dari keluarga yang orang tuanya mempunyai pendidikan formal yang rendah dan memiliki tanggungan keluarga yang banyak.

SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dalam kesempatan ini peneliti menyampaikan beberapa saran. Mengingat anak jalanan kota Medan adalah usia sekolah untuk itu diharapkan pada Pemerintah kota dalam hal ini Dinas Pendidikan dapat memberikan ruang dan kesempatan yang baik bagi anak-anak jalanan untuk belajar. Mempertimbangkan bahwa anak jalanan kota Medan lahir dari keluarga yang memiliki status ekonomi rendah, maka dengan ini diharapkan Dinas Pendidikan memberikan sistem pembelajaran khusus bagi anak jalanan kota Medan. Mempertimbangkan bahwa Dinas Sosial Sumatera Utara adalah yang berkompeten dalam mengurus permasalahan anak jalanan di kota Medan, oleh karena itu disarankan kepada Dinas Sosial agar memberikan pelayanan yang tepat bagi anak-anak jalanan kota Medan. Model pelayanan yang diberikan selama ini seperti pelayanan model panti, model pembuatan usaha mandiri maupun model kerjasama mitra perusahaan semestinya diawasi dengan baik

29

Hairani, dkk., Faktor Dominan Anak Menjadi Anak Jalanan …

sehingga tujuan dari pemberian pelayanan ini menjadi lebih baik. Mengingat bahwa faktor kemiskinan keluarga merupakan faktor dominan anak menjadi anak jalanan di kota Medan. Oleh karena itu dalam hal menangani anak jalanan khususnya bagi Dinas Sosial atau Lembaga-Lembaga

30

Swadaya Masyarakat yang membina anak jalanan harus juga melibatkan keluarga anak tersebut. Khususnya kepada anak jalanan sebaiknya mempergunakan hasil pendapatan dari bekerja di jalanan ke hal-hal yang positif, tidak dipergunakan untuk narkoba atau lain-lain yang dapat merugikan diri sendiri.

Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2

DAFTAR PUSTAKA

Goldenberg I & Goldenberg H, Family Therapy An Overview, New York, Sage, 1985. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang sosial, Gajah Mada University Press, 1995. Sumodiningrat, Gunawan, Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Menanggulangi Kemiskinan, 2003 Suyanto, Bagong, Tindakan Kekerasan Mengintai Anak-Anak, Lutfansah, Mediatama, Surabaya, 2000. Widodo, Erna, Menuju Penelitian Deskriptif, 2000. Jurnal Psikologi (UGM Yogyakarta) Tahun XXVII No. 1 Juni 2000. Harian Kompas, 24 Juli 2003 Harian Suara Pembaharuan, 11 Februari 2004 Suara USU, September 2003 www. depsos.go.id

31