FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERGANGGUNYA PROSES

Download Dua fungsi utama ovarium yaitu menghasilkan sel telur dan memproduksi hormon erat hubungannya dan ... maupun korpus luteum, dan kadar LH, ...

0 downloads 463 Views 274KB Size
Faktor-faktor yang menyebabkan terganggunya proses reproduksi adalah faktor lingkungan, hormonal, genetik, dan infeksi penyakit. Faktor-faktor tersebut dapat mengganggu proses reproduksi pada berbagai kondisi. Akibat gangguan proses reproduksi tersebut menyebabkan anestrus, infertilitas akibat kegagalan fertilisasi dan kematian embrio dini, kematian embrio, kematian fetus, kematian perinatal, dan neonatal. Gangguan Fungsi Ovarium Dua fungsi utama ovarium yaitu menghasilkan sel telur dan memproduksi hormon e rat hubungannya dan langsung berpengaruh pada proses reproduksi. 1. Anestrus Anestrus adalah suatu keadaan dimana aktivitas seksual berhenti, ditandai dengan tidak munculnya estrus. Setelah tercapai pubertas pada kondisi tidak bunting dan tidak pada masa purperium, dalam keadaan normal siklus estrus akan berlangsung terus. Anestrus bukan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala atau tanda-tanda dari berbagai kondisi. Ada dua macam anestrus yaitu fisiologis dan patologis. Anestrus yang fisiologis misalnya sebelum pubertas, selama bunting dan laktasi, dan selama tidak pada musim kawin (breeding season) pada hewan-hewan yang mempunyai breeding season. Sedangkan anestrus yang patologis karena ada gangguan pada ovarium atau uterus yang dapat menghambat timbulnya estrus. 1.1 Anestrus yang fisiologis [ilustrasi :1] Seasonal Anestrus. Selama seasonal anestrus tidak ada perubahan di dalam ovarium dan alat reproduksi yang lain. Tingkat atau lama seasonal anestrus bervariasi tergantung species, bangsa, dan lingkungan fisik. Lebih sering terjadi pada domba dan kuda daripada sapi, babi, dan hewan laboratorium. Seasonal anestrus pada domba dan kambung di daerah yang mempunyai 4 musim, sebagian besar dipengaruhi oleh photoperiod (lama adanya sinar) dan menyangkut perubahan kekuatan sekresi LH. Walaupun babi dan sapi termasuk golongan polyestrous tetapi bukti bahwa musim juga mengontrol efisiensi reproduksinya. Anestrus pada kuda terjadi selama musim winter (musim dingin) dan spring (musim semi) dimana lama siang harinya pendek. Ovarium menjadi kecil dan keras, tidak ada folikel maupun korpus luteum, dan kadar LH, progesteron, dan estrogen di dalam serum darah rendah. Seasonal anestrus disebabkan sekresi GnRH berkurang. Dengan meningkatnya lama siang hari sesudah winter, sekresi GnRH distimulir FSH dilepaskan, perkembangan folikel distimulir kembali akibatnya terjadi estrus dan ovulasi. Beberapa metode telah diteliti untuk mengatasi seasonal anestrus setiap hari diberi progesteron, sinar buatan diberikan 16 jam/hari dan GnRH. Karena penggunaan sinar buatan ada kejelekannya, maka penelitian dengan menggunakan GnRH lebih dikembangkan. Sinar matahari -> photoreceptor pada mata -> rangsangan diteruskan ke pineal gland -> terjadi sintesis dan sekresi melatonin (derivat tyrosin atau tryptophan) -> mengaktifkan hipotalamus -> hipofise -> gonad Domba : melatonin - pada periode gelap (kecuali domba Merino, Dorset horn, dan

Rambouillet. Anestrus selama laktasi. Pada beberapa species, ovulasi dan aktivitas reproduksi yang lain ditekan untuk beberapa lama sesudah beranak dan selama laktasi. Kejadian dan lamanya anestrus bervariasi tergantung species dan bangsa, dan juga dipengaruhi oleh musim pada waktu beranak, tingginya produksi susu, jumlah anak yang menyusu, dan lama involusi uterus. Estrus dan ovulasi sama sekali ditekan selama masa laktasi pada babi, walaupun hambatan tersebut mungkin lebih disebabkan karena reflek menyusui dan atau adanya beberapa anak, daripada laktasi itu sendiri. Ovulasi akan terjadi 4-8 hari setelah menyapih. Sedangkan pada sapi perah yang diperah aktivitas ovarium akan kembali dalam waktu 3040 hari setelah beranak (postpartum). Sebaliknya sapi perah dan kerbau yang menyusui anaknya, postpartum estrus akan lebih lama. Selama temperatur udara tinggi dan mendapat pakan yang jelek, induk sapi Brahman yang masih menyusui anaknya tidak akan menunjukkan gejala estrus (anestrus). Lama anestrus pada induk sapi yang menyusui anaknya lebih lama daripada sapi yang diperah dua kali sehari. Ini menunjukkan bahwa aktivitas menyusu atau frekuensi pemerahan mempengaruhi kerja hormon gonadotropin dari hipofise. Pada domba anestrus pada masa laktasi berlangsung 5-7 minggu. Ada induk yang masih menyusui anaknya menunjukkan gejala estrus tetapi kebanyakan baru menunjukkan gejala estrus 2 minggu setelah menyapih anaknya. Disamping itu pakan dan musim mempengaruhi efek menyusu dan laktasi pada mulainya aktivitas ovarium setelah beranak. Sebagai contoh anestrus lebih nyata terlihat pada akhir daripada awal breeding season jika kekurangan pakan. Demikian juga kondisi pada musim summer dapat memperpanjang jarak antara penyapihan dengan estrus pertama setelah beranak pada babi yang baru pertama kali beranak (primipara). Kebanyakan kuda memperlihatkan tanda-tanda estrus 5-15 hari setelah beranak. Interaksi fisiologis antara menyusui dan pemerahan dan terhambatnya aktivitas ovarium belum seluruhnya diketahui. Perubahan yang terjadi pada ovulasi pertama setelah beranak (first postpartum ovulation) pada sapi, babi, dan domba adalah waktu dan frekue nsi naiknya sekresi LH. Pada awal periode postpartum, menyusui menghambat dilepaskannya GnRH; menghentikan kandungan GnRH di dalam hipotalamus normal tetapi kelenjar hipofise kurang sensitif terhadap GnRH untuk menginduksi pelepasan LH. Menyusui akan segera meningkatkan kadar LH di dalam darah sapi dan babi. Pemerahan yang teratur pada sapi perah tidak begitu menghambat pelepasan LH dibandingkan dengan jika dilakukan dua duanya yaitu diperah dan anaknya dibiarkan menyusu. Sedangkan pada sapi potong penghentian menyusui akan memperbesar jumlah LH yang dilepaskan sebagai respon dilepaskannya LH-RH. Kemungkinan yang lain, terhambatnya pelepasan LH disebabkan oleh tingginya level cortisol selama menyusui atau diperah. Pada wanita dan tikus terhambatnya aktivitas ovarium setelah beranak yang disebabkan oleh menyusui menyangkut prolaktin. Level prolaktin yang tinggi menghambat sekresi gonadotropin selama laktasi. Tetapi pada sapi dan babi tidak ada bukti bahwa prolaktin itu anti gonadotropik. Anestrus karena proses penuaan. Ternak kecuali kuda jarang dipelihara sampai tua. Hal ini karena pertimbangan ekonomis; memelihara ternak yang tua tidak menguntungkan karena kesuburannya menurun. Kejadian infertilitas pada sapi yang telah berumur 14-15 tahun, lebih dari 80%-nya mempunyai korpus luteum abnormal atau ovarium tidak ada

korpus luteum. Ovarium yang tidak berfungsi ini ada hubungannya dengan salah satu atau semua faktor-faktor berikut ini, yaitu : 1. Kegagalan sel-sel folikel merespon rangsangan hormon yang dapat mempengaruhi, 2. Perubahan kuantitas dan/atau kualitas sekresi hormon, 3. Berkurangnya stimulus. Anestrus karena proses penuaan mungkin merubah fungsi hubungan poros hipotalamus – hipofise – ovarium, akibatnya sekresi gonadotropin menurun atau respon ovarium terhadap rangsangan hormon berubah. Anestrus karena defisiensi nutrisi. Level energi yang dikonsumsi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap aktivitas ovarium. Kekurangan nutrisi pada ternak betina yang sedang tumbuh menekan estrus lebih kuat dari pada ternak yang telah dewasa. Level energi yang rendah menyebabkan ovarium tidak aktif dan menyebabkan anestrus pada sapi potong yang sedang menyusui dan pada babi setelah menyapih. Sapi potong yang beranak pertama, periode anestrus ini dapat diperpendek dengan meningkatkan konsumsi energi selama akhir kebuntingan, mengurangi frekuensi menyusu menjadi hanya satu kali per hari, dari 30 hari setelah beranak sampai timbulnya estrus pertama, menyapih lebih awal atau memisahkan pedetnya dalam waktu 72 jam dengan atau tanpa pemberian progesteron dari luar. Defisiensi mineral atau vitamin dapat menyebabkan anestrus. Defisiensi fosfor pada sapi dan domba menyebabkan fungsi ovarium terganggu akibatnya tercapainya pubertas tertunda, tanda-tanda estrus tidak jelas dan bahkan tidak pernah menunjukkan estrus. Tetapi pada sapi dara Holstein dan Jersey yang diberi pakan defisiensi fosfor, baik tanda tanda estrus maupun kadar progesterone, estradiol atau LH yang diukur sekitar saat estrus tidak berubah (normal), kecuali kadar fosfor inorgenik di dalam plasma darah turun. Babi dara dan sapi yang diberi pakan defisiensi mangan (Mn) menyebabkan ada gangguan pada ovariumnya dengan variasi dari tanda-tanda estrus yang tidak jelas sampai anestrus. Defisiensi vitamin A dan vitamin E dapat menyebabkan tidak teraturnya siklus estrus atau anestrus. Anestrus karena stress. Berbagai stress lingkungan seperti iklim, tingginya kepadatan ternak di dalam kandang atau penanganan yang berlebihan saat akan mengawinkan dapat menekan estrus, ovulasi, dan fungsi korpus luteum pada domba, babi, dan sapi. Stress akan menaikkan aktivitas poros otak – pituitari – adrenal akibatnya akan menghambat poros otak – pituitari – gonad. Heat stress pada domba dapat memperpendek lama estrus dan memperpanjang lama siklus estrus. Tetapi pada percobaan domba yang mendapat perlakuan stress panas selama 6 hari menjelang perkiraan estrus, ternyata angka ovulasi dan kesuburannya tidak terpengaruh. 1.2 Anestrus yang patologis [ilustrasi :2] Hipoplasia ovarium (ovarium tidak berkembang) [ilustrasi :3] . Tidak berkembangnya ovarium ada dua macam penyebab, yaitu karena faktor genetik dan kekurangan pakan. Ovarium yang infantile (tidak berkembang) biasanya terdapat pada sapi dara yang kekurangan pakan, ditandai dengan ovarium kecil, tidak akt if, tidak menunjukkan estrus, perkembangan uterus dan vagina terhambat. Ovarium yang tidak berkembang

akibat kekurangan pakan ini bukan penyebab kegagalan proses reproduksi yang permanen. Keadaan ini dapat diperbaiki yaitu dengan meningkatkan asupan energi dan protein. Pemberian PMSG juga efektif, tetapi lebih baik memperbaiki pakannya. Ternak yang ovariumnya mengalami hipoplasia karena faktor genetik, alat reproduksinya kecil dan tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda estrus. Morfologi ovariumnya berbeda dengan ovarium pada seasonal anestrus. Pada seasonal anestrus diameter folikelnya bervariasi sampai ukuran sebesar saat akan ovulasi (praeovulatory follicle). Sedang pada hipoplasia ovarium tidak ada perkembangan folikel. Hipoplasia ovarium sering dihubungkan dengan white coat color, sifat yang diwariskan dari orang tuanya yang bersifat resesif. Banyak terjadi pada sapi-sapi di pegunungan Swedia. Beberapa kuda yang mempunyai ovarium kecil dan tidak aktif mempunyai kromosom seks yang tidak normal, misalnya XO, kadar estrogen di dalam darahnya rendah dan kadar LH tinggi. Sapi betina yang dilahirkan freemartin mempunyai ovarium yang tidak berkembang dan tidak pernah menunjukkan gejala estrus. Kiste ovarium [ilustrasi :4]. Ada dua macam kiste pada ovarium yang menyebabkan anestrus, yaitu kiste luteal dan kiste korpus luteum. Kiste luteal terjadi karena LH di dalam darah rendah, sedangkan LTH tinggi. Tingginya LTH ini menyebabkan sel-sel folikel mengalami luteinasi, sehingga terbentuk sel-sel lutein dan warnanya berubah menjadi kuning berisi cairan disebut kiste luteal. Kiste luteal kadang-kadang dijumpai bersama-sama dengan korpus luteum yang normal baik pada ovarium yang sama maupun pada ovarium yang lain. Kiste luteal dapat memproduksi hormon progesteron yang tinggi sehingga menyebabkan anestrus. Kiste luteal ini sering terjadi pada sapi perah yang produksinya tinggi sehabis beranak. Kiste korpus luteum berasal dari folikel de Graaf yang telah mengalami ovulasi, dan terbentuk korpus luteum yang normal, kemudian dalam perkembangannya terbentuk rongga di bagian tengah yang berisi cairan. Karena telah mengalami ovulasi kiste korpus luteum tidak berisi oosit. Berbeda dengan kiste luteal karena terbentuk dan folikel muda maka di dalamnya berisi oosit. Kiste korpus luteum dapat memproduksi hormon progesteron sehingga dapat menyebabkan anestrus. Korpus luteum persisten. Korpus luteum persisten dapat berasal dari korpus luteum periodikum maupun dari korpus luteum graviditum/verum. Secara normal kedua korpus luteum tersebut akan mengalami lisis karena efek dari PGF2alpha yang dihasilkan oleh uterus. Korpus luteum persisten terjadi karena PGF2alpha tidak diproduksi atau produksinya rendah. Akibatnya korpus luteum periodikum tidak mengalami lisis pada akhir siklus estrus. Demikian juga korpus luteum luteum graviditum tidak mengalami lisis setelah beranak. Korpus luteum persisten tersebut memproduksi hormon progesteron akibatnya ternak yang mempunyai korpus luteum persisten tidak akan menunjukkan gejala-gejala estrus (anestrus).

Korpus luteum persisten terjadi karena adanya gangguan pada uterus yaitu adanya radang uterus yang kronis (endometritis), pyometra (uterus berisi nanah), atau karena adanya kematian embrio/fetus yang diikuti terjadi maserasi fetus (fetus hancur), mumif ikasi fetus (fetus mengeras), empisema fetus (fetus membengkak berisi gas). Adanya gangguan pada uterus tersebut menyebabkan endometrium tidak memproduksi PGF2a, sehingga korpus luteum tidak mengalami lisis. Korpus luteum persisten akibat adanya kematian embrio ini berasal dari korpus luteum graviditum. Korpus luteum persisten dapat pula terjadi setelah melahirkan. Ini sering terjadi pada sapi yang produksinya tinggi karena hormon prolaktin yang dihasilkan hipofise anterior pada sapi yang produksinya tinggi setelah melahirkan menghambat lisis dari korpus luteum. Diagnosa adanya korpus luteum persisten dengan eksplorasi rectal. Sedangkan pengobatannya tergantung penyebabnya. Jika penyebabnya karena adanya infeksi pada uterus diobati dulu dengan antibiotik; setelah sembuh baru disuntik dengan PGF2a. Jika penyebabnya karena adanya kematian fetus (mumif ikasi atau empisema fetus), fetus yang mati tersebut harus dikeluarkan dulu yaitu dengan oksitosin atau estradiol benzoate supaya uterus berkontraksi mendorong fetus keluar, kemudian diikuti pemberian PGF2a. Jika penyebabnya karena produksi susu yang tinggi atau karena kematian embrio dini cukup dengan PGF2alpha. Ovaritis. Radang ovarium atau ovaritis disebabkan oleh infeksi penyakit baik dari luar maupun adanya penularan dari radang pada ovulasi atau radang pada dinding luar uterus (perimetritis). Ovarium yang menderita radang tidak ada perkembangan folikel sehingga terjadi anestrus. 2. Siklus estrus yang tidak normal Siklus estrus pendek, siklus estrus panjang, split estrus, nymphomania, dan silent estrus (birahi tenang), atau quite ovulation adalah tidak normal. Siklus estrus mungkin pendek tanpa adanya tanda-tanda yang jelas. Pada ternak yang masih muda tidak teramati/terdeteksi oleh pemiliknya kecuali dengan pejantan, atau estrus pada malam hari, terutama pada sapi. Siklus estrus yang panjang dapat berlangsung selama 40 hari tanpa disertai ovulasi, sering terjadi pada peralihan dari seasonal anestrus ke mulainya aktivitas siklus pada kuda selama breeding season. Split estrus adalah estrus yang diselingi satu atau dua hari tidak estrus (tidak mau dinaiki pejantan). Kejadian tersebut juga sering terjadi pada kuda terutama pada saat mulainya breeding season. Nimfomania pada sapi dengan tanda-tanda estrus terlihat terus menerus atau sering estrus dengan interval yang tidak teratur, produksi susu turun, dari vulva sering keluar banyak mucus yang jernih, vulva membengkak, ligamentum sacrospinosum kendor, dan pang kal ekornya sering diangkat. Nimfomania yang sering terjadi pada sapi merupakan salah satu tanda adanya kiste ovarium (kiste folikel). Sapi perah lebih sering mengalami nymphomania dari pada sapi potong dan kuda. Kuda yang menderita nimfomania menjadi galak, mudah terangsang, keras kepala. Mereka tidak mau didekati kuda lain dan tidak mau dinaiki. Adanya kiste folikel pada sapi dapat menyebabkan nymphomani, tidak demikian pada kuda

karena ovariektomi pada kuda tidak mempunyai efek pada kondisi abnormal ini. “Silent” estrus (quite ovulation) adalah adanya ovulasi yang tidak disertai tanda-tanda estrus, terutama sering terjadi pada ternak yang masih muda. Hal ini dapat diketahui jika jarak antara dua estrus dua atau tiga kali dari normal. Pada domba “silent” estrus sering terjadi selama siklus estrus pertama pada breeding season, tidak terjadi korpus luteum pada siklus estrus sebelumnya, dan pada akhirbreeding season karena defisiensi estrogen. Beberapa silent estrusterjadi pada sapi potong dan domba yang menyusui anaknya dan pada sapi perah yang diperah 3 kali per hari. silent estrus sering kali ditemui pada kuda dara dan induk yang masih menyusui anaknya. Tabel 1. Abnormalitas estrus Species Sapi

Abnormalitas Anestrus

Penyebab Pyometra

Mekanisme C L tidak regresi

Laktasi

Rangsangan menyusu menghambat pelepasan gonadotropin Defisiensi LH dan/ atau GnRH

Sub estrus, silent estrus (quiteovulation

Domba

Nimfomania Anestrus

Babi Kuda

Anestrus Anestrus Estrus diperpanjang Split estrus

Kiste ovarium

Ovarium tidak dapat memproduksi estrogen

Hipoplasia ovarium dan freemartin

Pituitary anterior tidak memproduksi gonadotropin

Nutrisi dan defisiensi vitamin

Ketidakseimbangan hormon

Produksi susu tinggi

Defisiensi LH/GnRH

Kiste ovarium Musim Laktasi Laktasi Nutrisi Hipoplasia ovarium Musim

Efek photoperiod pada sekresi gonadotropin (seperti sapi) (seperti pada sapi) (seperti pada sapi) (seperti pada sapi)

Awal breeding season

Folikel yang lebih dari 2 cm tidak dapat berkembang karena kekurangan hormon

Silent estrus Pseudopregnancy

(seperti pada domba)

Awal pregnansi gagal dengan C L persisten C L persisten

Diestrus diperpanjang setelah beranak

Kegagalan ovulasi Kegagalan ovulasi mungkin disebabkan oleh kegagalan folikel untuk ovulasi selama siklus estrus yang normal atau terjadi kiste ovarium. Estrus tanpa ovulasi (anovulatory estrus) lebih sering terjadi pada babi dan kuda daripada sapi dan domba. Ternak memperlihatkan siklus normal dan folikel ovarium mencapai ukuran sebelum ovulasi (preovulatory) tetapi tidak pecah. Sebagian sel-selnya mengalami luteinasi dan kemudian regresi selama siklus estrus, seperti pada sebuah korpus luteum normal. Kiste ovarium biasa terjadi pada sapi perah dan babi, tetapi jarang ditemui pada sapi potong dan species yang lain. Penyakit ini biasa terjadi karena ketidaknormalan hormonal pada sapi perah, terutama pada sapi yang produksinya tinggi. Kebanyakan kiste ovarium berkembang sebelum ovulasi pertama setelah beranak (first ovulation post partum) karena lebih banyak kiste ovarium ditemui pada sapi yang diperiksa pada hari ke -30 setelah beranak daripada setelah dikawinkan atau sesudah abnormal estrus. Walaupun beberapa sapi yang mempunyai kiste ovarium menunjukkan gejala estrus yang hebat (menaiki temannya) gejala nymphomani tetapi sebagian besar tidak menunjukkan gejala estrus (anestrus). Satu atau kedua ovarium mengandung banyak kiste-kiste kecil atau satu atau lebih kiste lebih besar. Kiste-kiste ini dapat kiste folikel atau kiste luteal. Kiste folikel mengalami perubahan siklus, misalnya mereka folikel bergantian tumbuh dan regresi tetapi gagal ovulasi. Kiste luteal berisi jaringan luteal yang tipis di pinggirnya gagal ovulasi, tetapi bertahan sampai waktu yang lama. Konsentrasi plasma progesteron lebih rendah pada kiste folikel daripada kiste luteal, tetapi konsentrasi estradiol tidak ada hubungannya dengan macam kiste ini. Kalau hormon testosterone pada sapi yang mempunyai kiste sama dengan yang terdapat pada keadaan siklus normal. Beberapa sapi yang mempunyai kiste ovarium menunjukkan sifat -sifat kejantanan (masculine). Cairan di dalam kiste mengandung progesteron yang tinggi dan estrogennya rendah, tetapi konsentrasi hormon-hormon ini tidak berhubungan dengan macam kelakuan (nymphomani atau anestrus). Kiste ovarium pada babi merupakan penyebab yang penting kegagalan reproduksi dan merupakan alasan yang paling banyak untuk di-culling. Terutama pada induk-induk yang telah tua. Lebih banyak folikel besar yang mengalami luteinasi daripada kiste -kiste yang kecil dan mereka mengandung progesterone. Siklus estrus yang tidak teratur dengan jarak yang lebih panjang diantara estrus sering disalahartikan atau dikira bunting. Tanda-tanda estrus jelas tapi tidak terjadi nymphomani. Hal ini tidak jelas kiste ovarium pada sapi dan pada babi apakah akibat dari kegagalan mekanisme ovulasi, kurang berfungsinya cortex adrenal, atau dari gangguan pada poros hipotalamus-hipofise. Pada sapi ada bukti bahwa hal tersebut disebabkan oleh melkanisme kegagalan mekanisme pelepasan LH. Kegagalan ini bukan karena defisiensi atau pelepasan GnRH, tetapi lebih disebabkan kurang pekanya poros hipotalamus-hipofise meningkatkan kadar estrogen. Berkembangnya kiste ovarium pada sapi erat hubungannya dengan produksi susu yang

tinggi, perubahan musim, keturunan, dan tidak berfungsinya hipofise. Penyebab dan hubungan pengaruh produksi susu dengan terjadinya kiste ovarium tidak jelas, tetapi produksi susu yang tinggi mungkin sebagai respon adanya perubahan hormonal pada sapi yang mempunyai kiste ovarium daripada penyebab penyakit. Pada sapi perah, perkembangan kiste ovarium ada hubungannya dengan infeksi uterus setelah beranak. Endotoxin yang diproduksi oleh mikro organisme di dalam uterus menyebabkan PGF2α dilepaskan, akibatnya menstimulir sekresi cortisol. Kenaikan cortisol akan menekan pelepasan LH sebelum ovulasi dan mengakibatkan berkembangny a/terbentuknya kiste. Gangguan Fertilisasi Angka fertilisasi pada ternak biasanya sangat tinggi. Pada kondisi yang normal 90% sel telur yang diovulasikan berhasil dibuahi [ilustrasi :5A]. Tetapi sebagian besar sel telur yang telah dibuahi tersebut gagal berkembang sampai menjadi keturunan yang komplit. [ilustrasi :5B] Gangguan fertilisasi meliputi kegagalan fertilisasi dan fertilisasi yang tidak menentu. Kegagalan fertilisasi. Kegagalan fertilisasi dapat akibat dari kematian sel telur sebelum dimasuki spe rmatozoon, abnormalitas sel telur, abnormalitas spermatozoa, adanya hambatan pada alat reproduksi betina sehingga mencegah transport gamet ke tempat fertilisasi. Sel telur abnormal. Beberapa macam morfologi dan fungsi yang abnormal pada sel telur yang menyebabkan gagal dibuahi antara lain : Sel telur berbentuk oval Sel telur berbentuk pipih Sel telur sangat besar (giant egg cell), ukurannya > 220 µ Sel telur sangat kecil (mini egg cell), ukurannya < 120 µ Zona pellucidanya rusak atau robek Di dalam sitoplasmanya terdapat banyak vacuola (gelembung) Sel telur yang muda Sel telur yang tua - Sel telur yang mengalami degenerasi, bentuknya tidak beraturan dan dindingnya mengkerut. Bila sel telur ini dapat dibuahi berkembangnya tidak normal, terjadi kematian embrio dini. Ketidaknormalan bentuk sel telur ini dapat disebabkan oleh faktor keturunan atau oleh faktor lain misalnya ketidakseimbangan hormon, lingkungan yang terlalu panas, kekurangan pakan. Kegagalan fertilisasi juga dapat disebabkan oleh temperatur udara yang terlalu panas pada saat atau menjelang perkawinan. Pada domba yang mempunyai breeding season kegagalan fertilisasi sering terjadi pada permulaan breeding season akibat sel telur yang tidak normal. Spermatozoa abnormal [ilustrasi :8]. Abnormal morfologi spermatozoa dapat dibagi menjadi 5

kategori, yaitu : 1. Tidak mempunyai ekor, 2. Abnormal pada kepala (besar, kecil, tidak berbentuk, kepala ganda, dsb), 3. Abnormal pada ekor, 4. Ekor dengan gumpalan sitoplasma pada bagian proksimal, 5. Ekor dengan gumpalan sitoplasma pada bagian distal. Anestrus fisiologis spermatozoa yang dapat menyebabkan kegagalan fertilisasi ada hubungannya dengan cacat pada struktur protein-complex DNA. Spermatozoa yang tua dan

rusak menyebabkan : 1. Kerusakan pada tudung akrosin, 2. Bocornya konstituen intraseluler yang penting misalnya C-AMP atau terbentuknya lipid peroxides dari plasmalogen jika sperma disimpan pada kondisi anaerobik, 3. Semakin lama di dalam alat reproduksi betina, kemampuan membuahi spermatozoa semakin menurun. Struktur yang merintangi terjadi fertilisasi. Cacat bawaan atau diperoleh mengganggu/menghalangi transport spermatozoa dan atau sel telur ke tempat fertilisasi. 1. Cacat bawaan. Kadang-kadang ternak betina terjadi akibat terbentuknya perkembangan segmen-segmen ductus Müllerian (oviduct, uterus, dan cervix). Cacat ini tidak bisa diperpaiki dan sulit dideteksi tanpa hewan tersebut disembelih. Ternak ini siklus estrusnya normal karena ovariumnya berfungsi dengan baik, tetapi mandul karena cacat atau kelainan ini mencegah bertemunya sperma dengan sel telur. Beberapa kelainan ini diturunkan dan lebih sering terjadi akibat perkawinan inbreeding. Suatu kelainan bawaan dihubungkan dengan gene untuk warna kulit putih (white coat color) adalah penyakit “white heifer disease”, dimana perkembangan prenatal dari ductus Müllerian berhenti dan saluran vagina tersumbat oleh adanya perkembangan hymen yang tidak normal. Ini dapat dibedakan dari freemartin oleh adanya ovarium, vulva, dan labia yang normal. 2. Abnormal anatomi yang biasa terjadi adalah adhesi atau melekatnya infundibulum pada ovarium atau cornu uteri. Ini akan mengganggu penangkapan sel telur atau menyebabkan sumbatan pada salah satu bagian dari saluran reproduksi. Hilangnya segmen-segmen alat reproduksi bilateral atau unilateral juga dapat menyebabkan steril. Kadang-kadang ternak betina yang tidak mempunyai oviduct yang tidak lengkap, uterus tidak lengkap, cervix buntu, vagina buntu. Cacat ini tidak bisa diperbaiki dan sulit dideteksi tanpa hewan tersebut disembelih. Ternak ini siklus estrusnya normal karena ovariumnya berfungsi dengan baik, tetapi mandul karena cacat atau kelainan ini mencegah bertemunya sperma dengan sel telur, beberapa kelainan ini diturunkan dan lebih sering terjadi akibat perkawinan inbreeding. Phytoestrogen. Kegagalan reproduksi lebih sering terjadi pada domba daripada sapi yang digembalakan pada tanaman yang mengandung zat yang mempunyai aktivitas estrogenic misalnya Trifolium sub-terranean dan Trifolium pratense (red clover). Aktivitas estrogenic ini disebabkan adanya isoflavon tanaman dan substansi dengan hydroxyl group. Sapi dan domba yang makan hijauan yang mempunyai aktivitas estrogenic tersebut fungsi ovariumnya terganggu, sering kali diikuti turunnya conception rate dan meningkatnya kematian embrio. Gejala klinis menyerupai akibat kiste ovarium. Infertilitas bersifat sementara, normal kembali dalam waktu satu bulan sejak tidak makan hijauan yang mengandung aktivitas estrogenic tersebut. Sedang pada domba kembali normal dalam waktu 3 minggu setelah tidak makan jenis tanaman tersebut. Ketidaksuburan yang bersifat sementara tersebut akibat kerja estrogen pada poros hipofise -ovarium dan pada transport spermatozoa akibat adanya perubahan pada cervix. Fertilisasi yang tidak menentu. Fertilisasi merupakan suatu proses yang kompleks sehingga dapat terjadi beberapa penyimpangan, misalnya polyspermi, fertilisasi monospermi sebuah sel telur yang mempunyai pronuklei betina, kegagalan pembentukan pronukleus, dan gynogenesis atau androgenesis. Fertilisasi yang tidak menentu ini mungkin terjadi secara langsung sebagai akibat gamet yang menua atau kenaikan temperatur lingkungan. Kejadian ini dapat juga dibuat dengan cara disinari sinar X atau diberi zat beracun.

Proses penuaan ovum terjadi secara tahap demi tahap (sedikit demi sedikit) kehilangan berbagai fungsi. Fertilisasi yang terjadi pada awal proses penuaan sel telur mengakibatkan kematian embrio dan diserap sebelum dilahirkan. Akibat proses lebih lanjut adalah pembuahan yang tidak normal, terutama menyangkut pronuclei. Proses biofisik dan biokimiaw i yang berhubungan dengan masuknya spermatozoa ke dalam sel telur reaksinya lambat, akibatnya terjadi polyspermi (di dalam sitoplasma terdapat lebih dari satu spermatozoa). Polyspermi dapat terjadi pada beberapa species hewan laboratorium dan ternak. Pada babi, tertundanya kopulasi atau injeksi progesteron 24-36 jam sebelum ovulasi akan menyebabkan sel telur mempunyai lebih dari 2 pronuclei. Belum jelas potensi terjadinya embrio triploid disebabkan kegagalan keluarnya benda kutub II (second polar body) atau polyspermi, yang mungkin disebabkan gagalnya sistem pertahanan terhadap polyspermi selama proses penuaan sel telur. Kejadian polyspermi meningkat jika perkawinan atau inseminasi diundur, menghasilkan embrio triploid yang tidak hidup. Ini artinya bahwa kuda dan babi yang lama estrusnya relatif panjang, saat perkawinan berhubungan dengan ovulasi sangat kritis untuk terjadi fertilisasi yang normal dan embrio yang hidup. Tabel 2. Struktur dan fungsi yang menyebabkan kegagalan fertilisasi Penyebab

Abnormal

Tersumbat

Kiste mesonepros

a. b.

Bawaan Diperoleh

Uterus unicornis Double servuks Adhesi pada tuba fallopi

Hydrosalpink

Species yang sering menderita Lebih sering pada babi, domba dan sapi daripada pada kuda

Mekanisme yang terganggu Transport spermatozoa

-

Semua species terutama babi dan domba

-

-

Penangkapan sel telur Fertilisasi

-

-

C ornu uteri buntu

Fungsional a. Hormonal b. Manajemen

Kiste ovarium Sekresi cervix dan uterus yang tidak normal Inseminasi terlambat

Sapi dan babi Sapi dan domba yang memakan tanaman yang mengandung estrogen

Transport sel telur Ovulasi Transport gamet

Semua species terutama babi&kuda Kematian sel telur

Inseminasi yang terlalu awal Kesalahan deteksi estrus

Sapi

Sapi

Kematian spermatozoa Kematian spermatozoa

Kegagalan fertilisasi

Tabel 3. Gamet menua dan fertilisasi tidak normal Gamet Spermatozoa Sel telur

DNA

Mekanisme Berkurangnya atau hilangnya

Maturasi yang tidak lengkap yaitu kegagalan terlepasnya benda kutub kedua Adanya hambatan yang mencegah polispermi

Abnormalitas Daya hidup embrio turun Embrio triploid Embrio triploid atau heteroploid

Kematian Prenatal Angka fertilisasi (conception rate) pada ternak biasanya sangat tinggi. Pada kondisi normal 90% sel telur diovulasikan berhasil dibuahi. Tetapi sebagian besar sel telur yang telah dibuahi tersebut gagal berkembang [ilustrasi :6] sampai menjadi keturunan yang komplit dan dilahirkan normal. Sebagai contoh sebanyak 65% hilang/mati selama perkembangan embrio dan fetus. Hilangnya embrio atau fetus ini secara ekonomi sangat merugikan karena gagal mendapat keturunan. Kematian embrio adalah kemat ian yang terjadi sejak fertilisasi sampai terjadi deferensiasi embrio, pada sapi kurang lebih sampai hari ke-45. kematian embrio yang terjadi sebelum maternal recognition of pregnancy sehingga korpus luteum tidak diprpanjang disebut early embryonic death (EED) atau kematian dini. Kematian embrio setelah korpus luteum diperpanjang disebut late embryonic death (LED). Pada kuda kebanyakan kematian antara hari ke-10-14 setelah dikawinkan. Pada sapi potong sebelum hari ke-15, dan pada sapi perah dara setelah ± hari ke-19 setelah dikawinkan (post-service). Pada domba kebanyakan kematian embrio terjadi antara hari ke 15 dan ke-18. Pada babi ada dua saat yang kritis terjadinya kematian embrio, yaitu pada saat blastosis mulai membesar pada hari ke-9 dan sekitar waktu implantasi yaitu hari ke13 setelah dikawinkan [ilustrasi :7]. Deteksi hilangnya embrio. Pada species poliestrus hilangnya embrio dapat dicurigai jika ada perpanjangan siklus estrus yang tidak teratur, tetapi estimasi tersebut menjadi kurang tepat karena kematian dini sebelum maternal recognition of pregnancy tidak menyebabkan perpanjangan umur korpus luteum. Selain itu pada species golongan politokus seperti babi, kematian beberapa embrio tidak menyebabkan berakhirnya kebuntingan. Untuk lebih teliti dalam mengestimasi kematian embrio dapat dilakukan penelitian dengan memotong ternak bunting pada beberapa umur kebuntingan, yaitu dengan menghubungkan banyaknya embrio dengan banyaknya korpus luteum. Tetapi cara ini mungkin karena akan mengakhiri kebuntingan. Dengan cara eksplorasi rectal hanya dapat dilakukan pada ternak besar; disamping itu kematian embrio dini tidak dapat terdeteksi. Sekarang ada teknik ultra sonic scanning yang dapat mendeteksi kebuntingan dini dan kematian embrio dini tanpa memotong ternaknya. Penyebab kematian embrio [ilustrasi :6]. Perkembangan prenatal merupakan proses yang terus

menerus menyangkut diferensiasi jaringan, organogenesis, dan pemasakan atau penyempurnaannya.Prosesnya kompleks, dan periode kritis selama perkembangan berbeda diantara species. Penyebab kematian embrio dapat berasal dari induk, embrio, atau interaksi induk-embrio. Kalau penyebabnya dari induk seluruh embrio/fetus dipengaruhi, akibatnya kebuntingan berakhir. Sebaliknya jika penyebabnya embrio, tidak semua embrio mati masih ada beberapa embrio yang tidak terpengaruh. Ada juga faktor lingkungan di

dalam induk yang menyebabkan hanya beberapa embrio yang kuat yang tetap hidup. Penyebab kematian embrio dapat disebabkan oleh faktor genetik, faktor lingkungan, atau gabungan kedua faktor tersebut. Faktor lingkungan meliputi iklim, stress, angka ovulasi, kegagalan maternal recognition of pregnancy, kondisi uterus, hormonal, penyakit infeksi, dan teratogen. Beberapa agen teratogenik pada ruminansia antara lain virus (blue tongue, bovine viral diarrhea), tanaman (veratrum calivornicum, lupins), agen lain : hipotermi, defisiensi iodium. Babi Ovulation rate tinggi biasanya meningkatkan produktivitas, tetapi pada babi jika ovulation rate meningkat, embryo survival rate turun (embryo mortality) meningkat. Bahkan jika tidak terjadi kematian embrio dini, problem akan muncul pada masa kebuntingan lebih lanjut karena akan terjadi kompetisi dalam ruang uterus dan dalam mendapatkan makanan. Kematian fetus akan meningkat jika di dalam setiap cornu uteri terdapat lebih dari lima fetus, dan embrio yang di tengah cornu uteri lebih baik. Selain faktor dalam tersebut di atas, faktor luar seperti nutrisi dan stress memegang peranan penting pada kematian embrio. Sebagai contoh babi yang diberi pakan dengan kandungan energi yang tinggi setelah dikawinkan akan menurunkan embryo survival rate. Stress karena temperatur yang ekstrim tinggi, atau sistem managemen misalnya kandang dapat meningkatkan kematian embrio, lama menyusui yang kurang dari tiga minggu juga meningkatkan kematian embrio pada kebuntingan karena kondisi di dalam uterus belum baik. Beberapa penyakit infeksi dapat menyebabkan kematian embrio dan abortus. Sapi Kematian embrio pada sapi kebanyakan terjadi antara hari ke -8 dan 16 setelah inseminasi. Periode kritis kematian embrio pada hari ke-7 setelah fertilisasi sewaktu morula berkembang menjadi blastosis. Angka fertilisasi pada heifer rata-rata 88%, pada cow 90%. Angka bunting 2-5 hari setelah inseminasi 85%, 11-13 hari setelah inseminasi 73%, 25-42 hari setelah inseminasi 67%. Ketepatan waktu inseminasi sangat penting. Inseminasi terlalu lambat pada masa estrus menyebabkan kematian embrio karena sel telurnya sudah tua mengakibatkan abnormalitas kromosom. IB yang dilakukan pada saat bunting dapat menyebabkan kematian embrio baik karena trauma mekanik atau selaput embrio atau karena menyebabkan terjadi infeksi. Induk sapi yang terlalu cepat dikawinkan dan terjadi fertilisasi menghasilkan kematian embrio yang lebih tinggi karena keadaan lingkungan di dalam uterus tidak baik bagi embrio. Penyebab pakan, defisiensi ß-karoten, selenium, fosfor, dan Cu (tembaga) dapat menyebabkan kematian embrio. Mengkonsumsi terlalu tinggi protein kasar terutama rumen-degradable protein (RDP) menurunkan fertilisasi. Ini karena efek toksik dari urea atau ammonia di dalam darah embrio. Stress, misalnya heat stress dapat menyebabkan kematian embrio. Kenaikan produksi susu yang tinggi dan juga produksi susu yang tinggi pada awal laktasi mempunyai korelasi negatif dengan fertilitas. Kuda Penyebab kematian embrio paling sering pada kuda adalah konsepsi ganda. Kompetisi untuk ruang placenta biasanya menghasilkan perkembangan satu fetus perkembangannya lebih lambat daripada yang lain, dan fetus yang lebih kecil dengan placenta lebih kecil aka n mati. Kematian satu fetus akan menyebabkan kematian fetus yang lain.

Faktor dalam lain yang sering menyebabkan kematian embrio adalah sekresi oviduk, mobilitas/migrasi embrio, dan lingkungan di dalam uterus. Karena embrio kuda sewaktu masih di dalam uterus sudah dalam fase perkembangan lebih lanjut maka lingkungan di dalam uterus lebih penting daripada ternak yang lain. Disamping itu embrio kuda tetap masih bebas di dalam lumen uterus lebih lama daripada species lain, dan tingkat mobilitas embrio penting pada maternal recognition of pregnancy. Makin tinggi mobilitas embrio ini memperbesar tekanan pada luteolisis sehingga mempertinggi level progesteron. Dalam hubungan dengan lingkungan di dalam uterus, endometritis kambuh dan terjadi infeksi post-service, menyebabkan kematian embrio/fetus antara kebuntingan hari ke -40 sampai 90. Faktor lain laktasi dan inseminasi pada estrus kuda yang bunting meningkatkan kematian embrio, laktasi menyebabkan stress yang kemudian menyebabkan kematian embrio. Penyebab lain yang dapat menyebabkan stress dan kematian embrio adalah transportasi. Tetapi ini masih rancu karena transport dapat meningkatkan asam askorbat di dalam plasma, yang menyebabkan stress diperpanjang. Pakan karena terbatasnya energi intake > embrio death meningkat Domba Nutrisi terutama level energi mempengaruhi daya hidup embrio. Kondisi tubuh yang jelek pada saat dikawinkan mempengaruhi daya hidup embrio, tidak ada hubungannya dengan nutrisi setelah dikawinkan. Meskipun demikian domba yang banyak kehilanga n berat badan setelah dikawinkan menyebabkan kematian embrio naik. Kekurangan pakan dalam waktu yang cukup lama lebih mempengaruhi anak domba daripada yang telah dewasa. Enegri nutrisi -> level progesteron di dalam peredaran darah perifer karena ada hubungan yang negatif antara food intake dengan level progesteron. Nutrisi lain yang penting terhadap daya hidup embrio adalah vitamin E dan selenium. Temperatur udara yang tinggi terutama pada minggu pertama setelah dikawinkan meningkatkan kematian embrio. Tet api ini terutama pada yang terjadi pada daerah yang sering terjadi gelombang panas. Stress fisiologis seperti overcrowding atau penanganan domba dapat menyebabkan kematian embrio. Ini karena kelebihan sekresi progesteron akibat kenaikan adrenal dan/atau level corticosteroid.Kejadian ini lebih sering terjadi pada yang belum dewasa daripada yang sudah dewasa. Penyakit infeksi dapat menyebabkan kematian embrio/fetus. Akan dibicarakan pada bab tersendiri. Abortus Abortus didefinisikan sebagai berakhirnya kebuntingan dengan dikeluarkannya fetus baik dalam keadaan hidup tetapi belum sanggup hidup terus mati, untuk sapi sampai kebuntingan 260 hari (152-270) mati atau hidup kurang dari 24 jam, kuda 290-300 hari (stillbirth), dan babi 110 hari. Abortus dapat spontan atau dibuat, dapat karena infeksi atau bukan infeksi. Abortus spontan lebih sering terjadi pada sapi terutama sapi perah daripada domba dan kuda. Abortus spontan yang disebabkan bukan karena infeksi misalnya faktor genetik, kromosom, hormonal, atau nutrisi. Abortus spontan dapat juga terjadi pada hewan betina yang

dikawinkan segera setelah pubertas atau segera setelah beranak. Pada kuda abortus karena gangguan hormonal sering terjadi pada kebuntingan 5-10 bulan. Faktor hormonal yang menyebabkan abortus adalah estrogen, glucocorticoid, PGF2α tinggi, defisiensi progesteron. Faktor nutrisi misalnya kelaparan, malnutrisi, defisiensi energi, defisiensi vitamin Anak, zat besi, calcium (terutama babi), copper, iodium, selenium (domba dan kambing). Faktor genetik atau kromosom : kematian embrio, kelainan fetus, congiental (genetic lethal). Faktor fisik : inseminasi/kawin pada uterus yang telah bunting, stress (transport, demam/heat, operasi), palpasi, berkelahi, luka. Faktor lain : kembar, alergi, anaphylaxis. Pada kuda 2/3 kembar menyebabkan abortus (placenta insufticient). Ini terjadi kompetisi antara placenta berakibat matinya satu fetus, bahkan kedua fetus diabortuskan. Abortus dapat dirangsang dengan estrogen, glucocorticoid, PGF2alpha dengan dosis tinggi terutama pada betina yang dikawinkan terlalu muda. Dahulu sering terjadi abu pada kebuntingan bulan 3-4,5 pada kambing Angora yang disebabkan cacat bawaan pada kelenjar pituitari anterior. Kejadian abortus ini berhubungan dengan stress karena nutrisi. Hipoglikemia yang terjadi pada induk dan fetus mengaktifkan poros hipotalamus-pituitari dan merubah fungsi endokrin placenta. PGF2α dilepaskan placenta menyebabkan CL pregnansi regresi dan satu atau lebih yang baru saja mati dikeluarkan. Meningkatkan status nutrisi induk yang sedang bunting dapat menurunkan kasus ini. Sindrom yang lain adalah dihasilkan dari hiperaktif korteks adrenal induk. Akibatnya terjadi penggumpalan cairan fetus yang berlebihan dalam waktu yang sama. Abortus akibat infeksi penyakit -penyakit virus, bacterial, dan protozoa. Kejadian yang mengikuti kematian embrio atau fetus. Pada kasus kematian embrio dini, jaringan embrio biasanya diresorbsi, dan akan kembali estrus jika di dalam embrio tidak ada embrio lain. Jika kematian terjadi sebelum maternal recognition of pregnancysiklus estrus tidak diperpanjang. Jika kematian terjadi setelahmaternal recognition of pregnancy siklus estrus akan diperpanjang. Jika kematian embrio disebabkan oleh infeksi meskipun jaringan embrio diabsorbsi, biasanya diikuti dengan pyometra. Pada sapi kondisi ini karakteristik dengan adanya korpus luteum persisten, cervix tertutup dan terjadi penggumpalan pus di lumen uterus (korpus dan kornu uteri). Kejadian ini terutama karakteristik terjadinya infeksi Trichomonas fetus. Jika fetus mati setelah terjadinya osifikasi tulang, reasorbsi semua jaringan fetus tidak terjadi, akibatnya terjadi mumifikasi. Bentuk mumifikasi yang sering terjadi adalah papyraceous mummification, dimana cairan fetus diresorbsi dan selaput fetus menjadi mengkerut dan kering mirip kulit perkamen. Akibat uterus berkontraksi fetus tertekan menjadi gulungan dan berubah bentuk. Pada species golongan politokus, jika mumifikasi terjadi hanya beberapa fetus, tidak akan mungkin kebuntingan dan kebuntingan berlangsung terus dengan fetus yang hidup. mumifikasi fetus ini akan keluar pada saat beranak. Mumifikasi pada babi sangat sering terjadi terutama akibat infeksi virus SMEDI ( stillbirth, mummification, embryonic death infertility). Mumifikasi juga dapat terjadi pada yang mengandung litter size yang besar akibat terjadi overcrowded (berdesak-desakan kurang tempat) di dalam uterus dan placenta tidak cukup memenuhi kebutuhan fetus. Pada domba mumifikasi pada fetus dapat terjadi pada kebuntingan kembar 2 atau 3 dimana salah satu fetus mati. Pada kuda jarang terjadi mumifikasi, kalau terjadi mumifikasi karena

kematian salah satu embrio dari kebuntingan kembar. Pada sapi kejadian mumifikasi fetus 0,13-1,8%, dan biasanyahaematic mummification. Pada kondisi ini cairan fetus diresorbsi tetapi fetus dan selaput fetus dikelilingi oleh materi kental kecoklat-coklatan. Warna kecoklatan tersebut disebabkan oleh pigmen dari darah berasal dari karunkula yang mengalami pendarahan akibat kematian fetus. Terjadinya pendarahan tersebut akibat kematian fetus, jadi bukan penyebab kematiannya. Haematic mummification dapat terjadi mengikuti kematian fetus pada kebuntingan bulan ke-3 sampai ke-8. Karena tidak ada tanda dari fetus untuk inisiasi partus, korpus luteum dipertahankan dan “kebuntingan” tetap berlangsung sampai waktu yang tidak dapat diperkirakan. Kondisi ini perlu dicurigai dan baru diketahui setelah dilahirkan diagnosa pregnansi. Cara pengobatan/penanganannya dengan dengan menginduksi abortus fetus yaitu dengan menyuntikkan prostaglandin. Fetus biasanya dikeluarkan dalam waktu 2-4 hari. Hal ini yang sering mengikuti kematian fetus adalah abortus dan stillbirth. Kematian Perinatal Kematian perinatal adalah kematian fetus yang terjadi dekat sebelum, selama dilahirkan dan dalam waktu 48-72 jam pertama pada kehidupan normal, termasuk stillbirth (lahir mati). Kematian paling banyak terjadi selama 72 jam setelah dilahirkan. Faktor penyebab kematian paling banyak adalah asphyxia, starvation(kelaparan), kedinginan, dan cacat bawaan. Faktor penyebab utama ini berbeda tergantung species. Sebagai contoh trauma selama proses beranak dibantu lebih sering terjadi pada sapi daripada babi, sedangkan asphyxia lebih sering terjadi pada babi akibat putusnya tali pusat (funiculus umbilical). Penggunaan obat untuk induksi partus dapat juga mempunyai efek yang tidak baik bagi daya hidup anak yang dilahirkan. Sebagai contoh induksi partus pada babi dengan PGF2α sebelum hari ke-111 dan pada sapi dengan corticosteroid sebelum hari ke-265 kebuntingan mempunyai efek yang tidak baik yaitu meningkatkan kejadian kematian prenatal. Piglet (anak babi) yang lahir mati (stillbirth) menyerupai saudara sekelahiran yang hidup, tetapi paru-parunya tidak terapung jika dimasukkan dalam air kurang lebih 1/3 dari semua litter mati pada saat lahir dengan meningkatnya paritas terutama pada jumlah anak sekelahiran (litter size) yang ekstrim (sangat banyak) dan pada litter pada kebuntingan kurang dari 110 hari. Pada babi ada 2 tipe stillbirthyaitu yang disebabkan oleh infeksi penyakit, fetus mati sebelum dilahirkan. Tipe yang kedua disebabkan non infeksi fetus mati selama proses kelahiran. Adanya meconium pada kulit, mulut, dan di dalam trachea/tenggorokan membedakan dengan yang karena infeksi. Kelelahan uterus akibat proses beranak yang terlalu lama juga banyak menyebabkan stillbirth atau jarak kelahiran anak yang satu dengan berikutnya terlalu lama. Ini sering terjadi pada litter size yang kurang dari empat atau lebih dari 9, dan terutama pada 1/3 akhir yang litter. Kematian selama proses kelahiran ini disebabkan rendahnya toleransi piglet terhadap anoxia (kurang O2 ) yang biasanya terjadi akibat putusnya tali pusat sebelum dilahirkan. Pada domba kematian selama perinatal sebagai akibat starvation(kelaparan) anak yang baru saja dilahirkan, distokia.

Kematian Neonatal Kematian neonatal adalah kematian yang terjadi selama beberapa minggu pertama setelah lahir. Ini disebabkan oleh faktor herediter, lingkungan, nutrisi, dan infeksi. Respiratory distress syndrome (RDS) karakteristik dengan suatu kegagalan paru-paru fetus memproduksi phospholipid yang paling untuk memelihara stabilitas batas ruang udara paruparu setelah dilahirkan. RSD pada anak sapi akibat defisiensi phospholipid. Diagnosanya berdasar level dua macam phospholipid-lechitin dan sphingomyelin. Kematian neonatal juga dapat disebabkan oleh terlalu lama labor (mengejan), nutrisi buruk dari induk, induk dan fetus yang lemah, infeksi bakteri lewat tali pusat. Temperatur lingkungan yang dingin menyebabkan hipotermi, hipoglikemia dan mati. Temperatur tinggi dapat menyebabkan kematian neonatal.