filsafat ilmu - drmasda.com

FILSAFAT ILMU. I. PENDAHULUAN. 1. FILSAFAT. Dimulainya pemikiran filsafat di Yunani jaman kuno, sebagai reaksi ketidak puasan manusia terhadap cara ...

11 downloads 960 Views 4MB Size
1

FILSAFAT ILMU I. PENDAHULUAN

1.

FILSAFAT Dimulainya pemikiran filsafat di Yunani jaman kuno, sebagai

reaksi ketidak puasan manusia terhadap cara yang dilakukan orang sebelumnya,

yang

menyandarkan

setiap

jawaban

terhadap

permasalahan yang dihadapinya pada mitos-mitos yang menjadi keyakinanan kebenaran pada waktu itu. Reaksi ini ditandai dengan dimulainya penggunaan penalaran sebagai ganti keyakinan akan mitos-mitos tadi. Proses ini dikenal dengan proses demitologi, yang dimulai oleh filosof Thales beserta filosof-filosof lainnya yang dikenal dengan filosof pra-Socrates. Filsafat adalah pengetahuan yang mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala yang ada dan mungkin ada. Secara harfiah filsafat terdiri dari dua kata yaitu filo dan sofia, yang berarti cinta dan kebijaksanaan. Kata cinta kebijaksanaan ini lebih pantas bagi filosof sebagai menusia dibandingkan dengan kata orang yang bijaksana. Sebab menurut pandangan orang Yunani pada waktu itu kata bijaksana hanyalah milik Dewa atau Tuhan semata. Apabila label orang bijaksana dikenakan kepada manusia, hal itu sudah melampaui kodrad kemanusiaannya, dan melangkahi batas-batas nasibnya

yang

telah

ditakdirkan

sebagai

manusia.

Istilah

kebijaksanaan yang dikenakan kepada manusia, adalah merupakan refleksi kesombongan, yang selalu ditakuti dan dihindari oleh orangorang Yunani. Cinta dimaksud dalam pembicaraan di awal tadi, adalah cinta dalam arti yang luas yaitu kinginan yang sungguhsungguh dan mendalam. Karena adanya kenginan yang sungguh-

2

sungguh dan mendalam, lalu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meraih apa yang diingini tadi. Kebijaksanaan juga berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara harfiah filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan yang berarti pula cinta akan ilmu pengetahuan secara sungguh-sungguh dan mendalam. Aktivtas kefilsafatan merupakan pemikiran secara ketat atau dengan sungguh-sungguh terhadap suatu permasalahan. Filsafat merupakan suatu upaya untuk mengadakan analisis secara cermat terhadap permasalahan-permalahan yang dihadapi manusia melalui aktivitas-aktivitas

penalaran. Kemudian

hasil analisis tersebut disusun secara sistematis untuk dipahami dan dijadikan sebagai dasar atau acuan bagi manusia untuk berperilaku. Selanjutnya filsafat akan mengantarkan kita pada suatu pemahaman, di mana pemahaman tersebut, akan membimbing kearah suasana yang lebih baik atau lebih layak, yang selanjutnya akan mengantarkan kita pada perilaku yang lebih bijaksana pula. Perilaku bijaksana dimaksud, adalah

bijaksana

interaksinya

dalam

dengan

mengarungi

alam,

ataupun

kehidupan, dengan

baik

sesama

dalam manusia

(Poedjawijatna, 1980, Poedjawijatna 1983, Kattsoff, 1996 , Bertens, 1999, dan Palmquis, 2002).

Contoh kasus: Penulis pernah mennjumpai sebuah kasus, di sebuah lembaga pemasyarakatan, seorang anak remaja usia belasan tahun, dipenjara karena kasus pertengkaran dengan temannya sesama santri, di sebuah pesantren yang menyebabkan salah seorang dari mereka terbunuh. Kejadian ini berawal dari sebuah debat kusir. Salah seorang dari mereka melontarkan pertanyaan “Dapatkah secangkir air digunakan

3

untuk berwudu ?” Kata yang yang satu tidak dapat, dan yang lainnya mengatakan dapat. Kemudian debat kusir terjadi dan semakin lama semakin seru dan akhirnya terjadilah pertengkaran yang berakhir dengan pembunuhan tadi. Sejak awal sejarah kemanusiaan kasus-kasus pertengkaran dan pembunuhan antar manusia sudah sering terjadi. Seperti kasus yang berawal dari debat kusir tadi, debat serupa yang tidak ada aturan main yang disepakati sekalipun tidak sama persis mungkin jamak terjadi. Kasus-kasus demikian agaknya telah menstimulasi para pemikir, para orang-orang bijak atau orang-orang yang cinta akan kebijaksanaan untuk berpikir, merenung dalam upaya untuk menemukan tata cara, aturan, norma di dalam berdebat atau berdiskusi yang harus disepakati bersama sehingga jalannya diskusi tidak sampai mengarah pada debat kusir yang akan berujung pada pertengkaran seperti contoh di atas. Dari hasil pemikiran dan perenungan tersebut muncul sebuah cabang pengetahuan seperti seni dalam berdebat, yang kemudian berkembang dan dikenal sebagai filsafat “Logika,” yang pada awalnya oleh Aristoteles disebut dengan analitika dan dialektika yaitu pengetahuan tentang seni berdebat. Logika sebagai pengetahuan tentang tata cara bernalar memungkinkan manusia mencari pengetahuan yang benar dan dapat disepakati bersama tanpa menimbulkan kesesatan-kesesatan yang mengarah pada pertengkaran sebagaimana dicontohkan tadi (lihat bab Logika). Pancasila misalnya sebagai Dasar Negara Republik Indonesia dan sistem filsafat dijadikan dasar dan pegangan bagi bangsa ini untuk segala aktivitas dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian pengertian filsafat berkembang jauh dari arti harfiahnya yaitu filo dan sofia, namun esensinya tidak terlepas dari

4

upaya memberi pemahaman yang sedalam-dalamnya terhadap suatu masalah atau realitas. Filsafat diartikan sebagai upaya spekulatif dalam arti kajian yang hanya disandarkan kepada kegiatan nalar, untuk menyajikan suatu pandangan sistematis dan menyeluruh terhadap realitas serta hakekat dari realitas tersebut. Filsafat juga berarti

upaya

untuk

menentukan

batas-batas

dan

jangkauan

pengetahuan manusia yang meliputi sumber-sumber pengetahuan, keabsahan atau kebenaran dari pengetahuan, hakekat pengetahuan serta

nilai-nilainya.

Filsafat

juga

mengandung

pengertian,

penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh berbagai pengetahuan. Filsafat juga berfungsi sebagai disiplin pengetahuan yang berupaya untuk membantu manusia dalam melihat apa yang hendak dikatakan dan mengatakan apa yang hendak dilihat. Ini dimaksudkan bahwa segala bidang ada filsafatnya, dan filsafat tadi menjadi acuan bagi semua orang bila akan melakukan berbagai hal, agar supaya yang dilakukan itu memiliki landasan yang benar dan dapat diandalkan,

yang

akhirnya dapat mengantarkannya pada tindakan yang bijaksana. Misalnya, para ahli hukum bergulat dengan persoalan bersalah atau tidak bersalah, keadilan, pengadilan, jujur, kejujuran dan sebagainya. Namun ketika salah seorang di antara mereka berkata ketika bicara tentang keadilan, keadilan macam apakah yang kita maksudkan ? Apakah keadilan yang kita maksud sama dengan yang dimaksud para politisi sebagai keadilan sosial, ataukah kita bicara tentang sesuatu yang lain ?” Di sini si ahli hukum telah bicara tentang filsafat hukum. Juga seorang dokter misalnya sedang kontemplasi mempertanyakan kepada dirinya sendiri, sebetulnya adakah kesehatan yang sempurna?

5

Bila tidak, apa maknanya saya mengobati? Si dokter tadi sudah mulai melangkah ke filsafat kedokteran. Maka dalam hal ini filsafat hukum dan filsafat kedokteranlah yang akan memperlihatkan tentang apa yang hendak dikatakan atau mengatakan apa yang hendak dilihat kepada kedua bidang profesi di atas (Bagus 1996 dan Magee, 2008). Filsafat juga berarti suatu cara berpikir yang radikal, menyeluruh permasalahan.

dan

sedalam-dalamnya

Berpikir

terhadap

sedalam-dalamnya

permasalahan-

tentunya,

untuk

menemukan makna yang sedalam-dalamnya pula dari apa yang dipikirkan. Misalnya dalam memandang manusia, filsafat mengupas manusia secara utuh, tidak membatasi diri pada gejala empirik, bentuk atau jenis gejala apapun dari manusia, sejauh bisa dipikirkan dan mungkin bisa untuk dipikirkan secara rasional, baik yang bersifat metafisis, spiritual, dan sifat universal dari manusia secara utuh, baik yang bisa diobservasi ataupun yang tidak bisa diobservasi adalah menjadi kajian filsafat. Ini berbeda dengan cara kerja ilmu yang bersifat fragmentaris yang mengandalkan metode observasi dan eksperimen, seperti psikologi yang memandang manusia dari segala sesuatu yang berkaitan dengan aspek kognisi, afeksi dan konasi (psikomotorik) nya, antropologi dan sosiologi yang cenderung melihat manusia dari aspeknya yang berkaitan dengan budaya dan pranata sosialnya, tidak akan mungkin dapat melihat manusia secara mendalam, utuh dan menyeluruh dari segala aspeknya, apalagi hakikatnya (Suriasumantri 1997 dan Abidin, 2006). Cabang-cabang filsafat adalah: Metafisika atau ontologi, Epistimologi, Etika, Estetika, Filsafat Politik, Filsafat Agama, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum, Filsafat Sejarah, Filsafat Logika dan

6

Filsafat Matematika. Berpikir dalam dunia kefilsafatan tidak hanya sekedar

berusaha

untuk

menjawab

pertanyaan,

tetapi

juga

mempersoalkan jawaban yang diberikan. Kemajuan seseorang dalam berfilsafat, tidak hanya diukur dari jawaban yang diberikan, tetapi juga diukur dari kualitas pertanyaan yang diajukan (Socrates, lih. Suriasumantri 1997, Hadiwijono, 1983, dan Magee, 2008).

2.

ILMU Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah ilmu pengetahuan ilmiah

yang sering disebut dengan ilmu pengetahuan,atau hanya dengan ilmu saja. Ilmu pengetahuan ilmiah berbeda dengan pengetahuan. Ilmu pengetahuan ilmiah merupakan bagian dari pengetahuan. Pengetahuan Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah ilmu pengetahuan ilmiah sebagai sinonim dari kata science atau dalam bahasa Indonesia di sebut dengan sains adalah segala sesuatu yang diketahui oleh manusia, terlepas dari persoalan apa yang diketahui itu benar atau salah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang telah dibuktikan kebenarannya. Teori-teori ilmiah ditarik dengan cara ketat atas dasar fakta empirik yang telah dibuktikan kebenarannya secara objektif, dengan metode observasi dan eksperimen (Calmers, 1979). Ilmu pengetahuan sebagai bagian dari pengetahuan, yang membatasi diri pada yang benar saja. Tapi dalam masalah kebenaran ini perlu hatihati, karena hal tersebut sangat tergantung pada kriteria apa yang digunakan dalam menentukan kebenaran tersebut. Ada tiga macam kebenaran ilmu pengetahuan, yaitu koheren, koresponden dan pragmatis (periksa uraian lain di bab kebenaran pengetahuan).

7

Ilmu

pengetahuan

ilmiah

sering

disebut

dengan

ilmu

pengetahuan atau disebut dengan ilmu saja. Ilmu adalah sekelompok atau sekumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur dan sistematik mengenai suatu objek tertentu. Kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur dan sistematik tadi, memberikan penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan dengan menunjukkan sebab akibat dari suatu objek. Ilmu merupakan buah pemikiran manusia dalam menjawab apa, bagaimana dan mengapa (untuk apa). Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang dapat diandalkan dalam rangka menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala alam. Menjelaskan atau menerangkan serta meramalkan dalam rangka mengontrol gejala alam merupakan kegiatan pokok kegiatan keilmuan. Menerangkan di sini berarti tidak hanya sekedar mengadakan infentarisasi dan mendiskripsikan gejala-gejala alam saja, tetapi juga menjelaskan tentang hubungan antar gejala tadi (Siswomiharjo, 1989, Peursen, 1980, Ofm, 1983 dan Suriasumantri, 1997). Kegiatan keilmuan adalah suatu proses kegiatan berpikir. Kegiatan berpikir tersebut adalah dalam rangka pembahasan mengenai berbagai macam gejala alam atau berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh manusia yang bergerak dari wilayah rasional ke empirik, dari kutub a-priori ke kutub a-posteriori, dari arah das solen ke das sein serta dari pola berpikir deduksi ke induksi (lihat bab macam-macam pengetahuan). Kegiatan berpikir tersebut bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat umum dalam bentuk teori,

hukum-hukum,

kaidah-kaidah

dan

asas

dari

berbagai

permasalahan. Proses berpikir yang bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan tersebut, dipandu oleh hukum alam, dalam menjelaskan-

8

nya juga mengacu pada hukum alam, dan dapat diuji lagi dalam dunia empirik, kesimpulan-kesimpulannya

bersifat tentatif,

tidak selalu

kata final dan dapat dipertanyakan atau dipersoalkan lagi. Hasil yang didapat melalui proses tersebut adalah ilmu pengetahuan ilmiah, sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian-uraian terdahulu, yang sering disebut dengan ilmu pengetahuan atau hanya dengan sebutan ilmu saja (Suriasumantri 1997 dan Bird 2000). Ilmu dicari manusia dalam rangka menerangkan, meramalkan dan mengontrol gejala alam sebagaimana yang telah dikemukakan dalam pembicraan terdahulu, yang saat ini berkembang begitu pesat dalam berbagai bidang, di mana tidak mungkin seseorang dapat mengetahui secara keseluruhan. Untuk itu dalam perkembangan lebih lanjut, diadakan pemilahan-pemilahan, agar supaya lebih mudah untuk mempelajarinya. Kemudian, ilmu menjadi tersepesialisasi dalam berbagai bidang kajiannya. Tapi secara garis besar dapat dikelompokkan dalam ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam (natural science) sasarannya dalah alam semesta. Ilmu pengetahuan sosial (social science) bidang kajiannya adalah perilaku manusia. Ilmu pengetahuan alam masih dikelompokkan menjadi ilmu fisik (physical sciences) dengan bidang kajiannya benda-benda mati, dan biologi yang bidang sasarannya adalah mahluk hidup. Antara ilmu alam dan ilmu sosial tidak terdapat perbedaan yang prinsipiil; karena keduanya memiliki ciri keilmuan dan metode yang sama; hanya yang mungkin berbeda adalah tekniknya (Suriasumantri, 1997 dan Suriasumantri, 1998).

9

3.

FILSAFAT ILMU Filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah

mengenal titik henti dalam menjelajahi keilmuan untuk mencapai kebenaran atau kenyataan yang tidak pernah habis dipikirkan dan tidak akan pernah selesai diterangkan. Filsafat ilmu merupakan cabang

dari

filsafat

pengetahuan

atau

epistimologi.

Filsafat

pengetahuan (epistimologi) yang disebut pula dengan The Theory of Knowledge lahir pada abad ke 18. Cabang ini membahas sumbersumber pengetahuan, sarana-sarana pendukung dalam mendapatkan pengetahuan, kebenaran pengetahuan serta nilai-nilai

pengetahuan

ilmiah. Sumbe-sumber untuk mendapatkan pengetahuan adalah pancaindra, penalaran, otoritas, intuisi, wahyu dan keyakinan. Kebenaran pengetahuan meliputi kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi dan kebenaran pragmatis. Sarana pendukung di dalam proses keilmuan yaitu: bahasa logika,

matematika, statistika, dan

metodologi penelitian, juga menjadi bahasan dalam filsafat ilmu. Mengenai

sumber

pengetahuan,

sarana

pendukung

dalam

mendapatkan pengetahuan dan kebenaran pengetahuan ini, akan diuraikan dalam bab-bab lebih lanjut (Siswomiharjo, tt; Siswomiharjo, 1989 dan Suriasumantri, 1989). Revolusi ilmu pengetahuan di berbagai bidang seperti astronomi, fisika, kimia, biologi molekuler, teknologi informatika dan robotika, teknologi trasplantasi organ tubuh manusia ke manusia, dan juga teknologi trasplantasi organ robot ke manusia sudah di depan mata, sampai pada teknologi kloning dan lain sebagainya, telah dilakukan dan dinikmati manfaatnya oleh manusia sejak abad ke 20 sampai menjelang milenium ketiga saat ini. Tetapi di sisi lain

10

penemuan-penemuan tersebut tadi dapat merupakan ancaman dengan kemungkinan-kemungkinan akibat fatal bagi kehidupan manusia, baik dilhat dari sisi fisik, psikologis, sosiologis maupun moral. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada dan perkembangannya lebih lanjut, dapat saja digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan dorongan angkara murka manusia, seperti senjata pembunuh masal yang dapat kita saksikan saat ini. Kemajuan luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, jelas memunculkan sikap optimisme sekaligus pesimisme. Kalau melihat lagi ke belakang, perkembangan ilmu menuntut dan mengarah pada perbedaan-perbedaan atau spesialisasi khususnya pada objek formanya. Ini terjadi sejak abad penalaran, yaitu sejak tampilnya Charles Darwin dengan teori evolusinya. Sebelum itu, ilmu adalah satu. Artinya tidak jelas atau tidak ada batasan antara objek yang satu dengan objek yang lain. Bahkan objek,

metode dan

gunanya adalah satu, yang sering disebut dengan ngelmu. Ini jelas akan berpengaruh pada pola kehidupan kemasyarakatan yang tidak membagi pekerjaan atau tugas-tugas atas dasar bidang keahlian masing-masing atau spesialisasinya. Contoh ekstrim misalnya pada masyarakat primitif, seorang kepala suku bisa merangkap berbagai macam jabatan seperti hakim, penghulu, panglima perang, tukang tenung, tabib (untuk segala macam penyakit), bahkan juga berfungsi sebagai mediator antara manusia dengan Tuhan (Suriasumantri, 1998). Perkembangan ilmu yang sudah begitu terspesialisasi, memang sudah terbukti berpengaruh terhadap kepesatan perkembangan ilmu dan teknologi yang ada

saat ini. Akan tetapi spesialisasi dengan

kapling masing-masing disiplin ilmu yang begitu sempit dan

11

perkembangannya yang tidak terkontrol, akan menimbulkan masalah baru. Kenyataan yang ada, peroblema-problema yang dihadapi manusia yang semakin lama bertambah semakin kompleks, tidak dapat dipecahkan secara parsial yang hanya menggantungkan pada satu disiplin yang sempit saja. Misalnya

dalam pengadaan

pemukiman penduduk, tentunya tidak hanya menyangkut masalah penyediaan lahan, bahan bangunan, masalah arsitektur dan lain-lain, tetapi juga menyangkut persoalan-persoalan yang kompleks, baik yang menyangkut aspek fisik, psikologis, sosiologis dan moral. Dalam kondisi yang demikian, kiranya dirasa perlu untuk membuka saluran komunikasi dan interaksi antara berbagai cabang ilmu untuk saling memberikan informasi dan dalam rangka memecahkan persoalanpersoalan kemanusiaan yang sedang dihadapi bersama. Dalam upaya membuka saluran komunikasi tadi, dibutuhkan adanya saling kontak antara berbagai disiplin ilmu, untuk bersama menuju kearah hakekat ilmu secara integral. Di sinilah pentingnya filsafat ilmu dengan cakupan bahasannya mengenai tiang penyangga eksistensi ilmu yaitu ontologi,

epistimologi

dan

aksiologi,

memungkinkan

adanya

keterjalinan hubungan antar cabang-cabang ilmu. Sehingga dengan demikian, persoalan-persoalan yang sedang dan akan dihadapi bersama yang tentunya begitu sulit bahkan tidak mungkin diselesaikan secara parsial, akan dapat dipecahkan bersama antar berbagai disiplin ilmu, bahkan dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain, yang tentunya secara aksiologis kesemuanya bermuara pada tujuan yang sama yaitu kemaslahatan manusia. Urgensi dari filsafat ilmu adalah sehubungan dengan kenyataan yang ada, bahwa terjadi bentuk kegilaan yang sangat berbahaya saat ini dari ilmu adalah

12

kecenderungan yang lebih mempertimbangkan dan mementingkan kebenaran dan kemahiran dalam prosesnya, sedangkan tujuan dari ilmu itu sendiri sebenarnya dicari untuk apa tidaklah menjadi pertimbangan. Untuk itu diperlukan sebuah filsafat, demi upaya untuk menangkalnya ( Siswomiharjo, tt dan Russell, 2007).

I.

TIGA TIANG PENYANGGA EKSISTENSI ILMU Semua pengetahuan berusaha menjawab semua persoalan yang

dihadapi, terhadap pertanyaan yang inheren dalam persoalan tersebut yaitu apa, bagaimana dan mengapa atau untuk apa. Maksudnya, apa yang telah, sedang atau akan dikaji, bagaimana cara mengkajinya, mengapa atau apa manfaatnya kajian tersebut. Pertanyaan tentang apa, bagaimana dan mengapa ini dalam istilah kefilsafatan dikenal dengan istilah Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi. Filsafat menelaah objek kajiaanya atas dasar tiga sudut pandang tersebut, yang biasa dikenal dengan istilah tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu (Siswomihardjo, 1985).

4. ONTOLOGI Istilah ontologi merupakan sebutan lain dari metafisika yaitu segala sesuatu yang ada dibalik fisik. Sebetulnya istilah metafisika sendiri tidak dikenal dalam sejarah pemikiran filsafat Yunani. Istilah tersebut baru diperkenalkan pada awal abad pertengahan oleh Andronikos sebagai sebutan terhadap pemikran-pemikiran Aristoteles yang tertuang dalam tulisannya yang disebut dengan prote philosofia dan disusunnya kembali secara sistematis pemikiran-pemikiran tersebut. Kemudian metafisika yang telah disusun oleh Andronikos

13

tadi dikembangkan lagi oleh Christian Wolf (1679-1754) dan disebutnya dengan istilah ontologi. Objek kajian metafisika adalah segala sesuatu yang ada, baik dalam abstraknya ataupun dalam kongkretnya. Misalnya pengenalan terhadap manusia, meliputi pengenalan terhadap keberadaan abstraknya sekaligus terhadap keberadaan dalam kongkretnya. Ada dalam abstraknya adalah yang ada dalam angan-angan dan pikiran, sebagai hasil dari absatraksi dan refleksi terhadap objek-objek yang dijumpai atau objek-objek yang ada dalam kongkretnya. Dengan demikian, ontologi atau metafisika adalah pengetahuan yang merupakan cabang dari filsafat yang membicarakan tentang ada dan keberadanya (Wibisono dkk, 1989). Masing-masing cabang pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan ilmiah, menjawab apanya, bagaimananya dan mengapanya atau untuk apanya sendiri, dalam arti masing-masing pengetahuan memiliki ontologi, epistimologi dan aksiologinya sendiri. Kalau ontologi dalam kefilsafatan

merupakan

cabang dari

filsafat

yang menjawab

pertanyaan yang meliputi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, misalnya apa alam semesta beserta hakikatnya, apa manusia itu dan sebagainya, sedangkan ontologi ilmu pengetahuan ilmiah menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, tetapi yang dapat dijangkau oleh akal/penalaran, dan dapat diamati atau dialami oleh manusia. Ilmu memulai kajiannya dari pengenalan dan pengalaman manusia, dan berhenti pada batas pengenalan dan pengalaman manusia juga. Misalnya pertanyaan tentang apa manusia (subjek) dibatasi pada aspek kebudanyaanya, psikologisnya, perilaku sosialnya dan berbagai aspeknya (objek materia dan formanya) yang

14

dapat dinalar sekaligus dapat diamati atau dialami (Suriasumantri, 2010).

5. EPISTIMOLOGI Epistimologi berasal dari kata Yunani episteme yang berarti pengetahuan dan kebenaraan dan logos yang berarti pikiran atau teori. Epistimologi berusaha menjawab pertanyaan dasar apakah yang dapat saya ketahui. Istilah yang berusaha menjawab pertanyaan dasar apakah yang dapat saya ketahui ini baru dipakai pada tahun 1854 oleh J.F. Feriere (dalam Wibisono dkk; 1989). Epistimologi dalam lingkup kefilsafatan merupakan cabang dari filsafat yang membicarakan tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Di sini epistimologi dapat dipahami sebagai Teori Pengetahuan atau The Theory of Knowledge yang juga disebut dengan The Phylosophy of Knowledge atau filsafat pengetahuan. Epistimologi membicarakan sumber pengetahuan, proses dalam mendapatkan pengetahuan, sarana pendukung

dalam

mendapatkan

pengetahuan,

macam-macam

pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Salahsatu cabang dari filsafat pengetahuan, adalah filsafat ilmu. Jadi filsafat ilmu atau The Phylosophy of Science sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembicaraan sebelumnya, adalah filsafat pengetahuan khusus yang memfilsafati pngetahuan ilmiah. Epistemologi dalam keilmuan yaitu metode atau cara dalam mendapatkan pengetahuan yang benar secara ilmiah. Misalnya bagaimana atau dengan metode apa yang dapat digunakan untuk mencapai objek dan subjek yang dikaji tadi (periksa uraian tentang filsafat ilmu).

15

6. AKSIOLOGI Aksiologi secara harfiah, berasal dari kata Yunani, yaitu axios dan logos. Axios berarti sesuai atau wajar, sedangkan logos berarti ilmu. Aksiologi adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang hakekat nilai dari pengetahuan. Mengenai pengetahuan, banyak terdapat cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan nilai yang khusus, seperti ekonomi, etika, estetika, filsafat, agama, sosial,

budaya,

politik, dan psikologi. Nilai dimaksud adalah nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai kesusilaan dan nilai keindahan. Berbicara tentang nilai, secara singkat mempunyai makna seperti tampak dalam contoh berikut: pertama suatu benda/materi atau suatu hal dikatakan mengandung nilai, itu artinya berguna secara ekonomis, secara politis, secara psikologis atau secara kultural. Kedua, suatu benda/materi atau suatu hal merupakan nilai, itu artinya baik secara etika, indah secara estetika, atau mengandung kebenaran dipandang dari sudut moral dan agama, atau memiliki kebenaran dari sudut keilmuan. Ketiga, suatu benda/materi atau suatu hal mempunyai nilai, itu berarti hal tersebut memiliki sifat dan kualitas tertentu yang menyebabkan orang memiliki keinginan untuk menyetujui dan menerima. Keempat, memberi nilai pada benda/materi atau masalah tertentu, berarti menanggapi hal dimaksud sebagai sesuatu yang diinginkan sesuai dengan kriteria nilai tertentu Suatu benda, suatu hal atau suatu perbuatan dapat memiliki nilai dan berkaitan dengan itu dapat dinilai, karena menggambarkan nilai kebenaran dan bernilai pula untuk dipubikasikan. Suatu lukisan yang memiliki nilai keindahan, di mana sesuatu yang berhubungan

16

dengan keindahan itu bernilai bagi orang yang mengapresiasi karyakarya seni. Uraian tadi menunjukkan cara-cara penggunaan nilai dalam konteksnya (Kasttsoff, 1996) Aksiologi keilmuan berusaha menerangkan ukuran-ukuran nilai dari

ilmu dan menunjukkan kearah mana

seharusnya ilmu

pengetahuan itu dikembangkan. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri saat ini, adalah peradaban manusia yang berkembang begitu pesat akibat dari kepesatan perkembangan ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi, hampir segala kebutuhan manusia di segala aspek kehidupannya seperti: makan-minum, kesehatan,

transportasi,

media

komunikasi,

pemukiman

dan

pendidikan dapat terpenuhi secara lebih mudah dan cepat, ini pada sisi positifnya. Di sisi negatifnya sejak tahap pertumbuhannya ilmu dan teknologi dikaitkan dengan kebutuhan perang. Ilmu bukanlah sekedar untuk menguasai alam untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi bergeser pada tujuan untuk memerangi sesama manusia, demi untuk menguasai manusia yang lain (Siswomiharjo, 1985 dan Suriasumantri 2010). Selanjutnya pada sisi lain, perkembangan ilmu dan teknologi sering mengabaikan faktor manusia, sehingga bukan lagi berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, tapi justru sebaliknya manusialah yang harus menyesuaikan diri dengan ilmu dan teknologi. Dewasa ini ilmu sudah mulai merambah pada proses reproduksi yang mengarah pada penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu bukan lagi menjadi sesuatu yang bertujuan membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dan tujuan hidupnya lagi, akan tetapi telah menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Hal ini akan mengusik

17

eksistensi manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, yang harus dibayar mahal oleh manusia yang akan kehilangan arti kemanusiaannya. Ilmu dan teknologi yang seharusnya menjadi “rahmatan lil ‘aalamiin, justru menjadi “la’natan lil ‘aalamiin”. Menghadapi kenyataan tersebut, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari fenomena alam sebagaimana adanya, mulai mempertanyakan lagi hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa dicari dan untuk apa dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahannya keilmuan itu ? Ke arah mana perkembangan keilmuan itu harus diarahkan. Apa tanggung jawab moral dan sosial dari ilmu? (Siswomihardjo, 1985; dan Suriasumantri, 2010).

II.

SUMBER-SUMBER PENGETAHUAN

Dorongan yang ada dalam diri manusia sebagai subjek yang mempunyai motivasi untuk mengenal objek-objek, baik yang ada di luar maupun yang ada di dalam dirinya sudah inheren dalam kodrad kemanusiaannya. Ini berarti dorongan ingin tahu pada manusia sifatnya heriditer. Kebijaksanaan yang ada dalam diri manusia terbentuk dengan adanya kesadaran akan pengetahuan,

di mana

kesadaran itu sendiri terjadi karena adanya interaksi antar aspek-aspek psikologis dari individu yaitu aspek kognitif (pikir), afektif (perasaan) dan aspek konatif (psikomotorik). Harmonisasi antara ketiga aspek tadi akan menimbulkan kesadaran yang ideal untuk mendapatkan pengetahuan di mana hal tersebut seperti yang telah disinggung dalam pembicaraan terdahulu, pengetahuan identik dengan kebijaksanaan. Dalam mendapatkan pengetahuan, ada beberapa alat, sarana atau sumber yang melekat dalam diri manusia yaitu: panca indera

18

penalaran, intuisi dan keyakinan. Sumber lain yang memungkinkan manusia mendapatkan pengetahuan yang ada di luar dirinya adalah otoritas dan wahyu.

7. PANCA INDERA Panca indera dianggap sumber pengetahuan yang paling utama yang dimiliki manusia untuk mengenal objek-objek, baik yang ada di luar maupun di dalam dirinya. Panca indera dianggap alat yang paling utama untuk memperoleh pengetahuan. Ini bisa dilihat ketika seorang bayi baru keluar dari rahim ibunya lalu ia menangis. Kanapa ia menangis ? Mungkin ia merasa kegerahan dengan suhu udara yang mengena pada tubuhnya, atau sebaliknya dia merasa kedinginan, di mana hal tersebut belum pernah ia rasakan semasa berada dalam rahim ibunya. Di sini jelas si bayi tahu kalau ada suhu panas atau dingin dari indera perabanya, bukan hasil pemikiran atau perenungan dari si bayi. Si bayi juga mengkedipkan matanya karena merasa tidak enak mana kala ada sinar tajam masuk mengenai matanya. Pertanyaannya dari mana si bayi tadi tahu hal demikian ? Tentunya ia tahu dari indera pelihat (mata) nya, bukan hasil pemikirannya. Bagi aliran realisme panca indera merupakan satu-satunya alat untuk menyerap segala sesuatu yang ada di luar dirinya di mana semua relitas adalah segala sesuatu yang dapat di indera. Pengetahuan yang bersumber dari pengenalan atau pengalaman inderawi ini, disebut dengan pengetahuan empirik. Panca indera berkaitan dengan persepsi. Persepsi adalah pengolahan informasi-informasi yang berupa stimulus yang ditangkap oleh indera manusia seperti mata telinga, hidung dan indera yang lain

19

Objek yang ditangkap oleh indera disimpan dalam penyimpanan sensorik sebagai ingatan sensorik. Indera sebagai alat sensorik menangkap stimulus sebagai informasi pada mulanya masih dalam bentuk kasar, karena pencatatan sensorik (sensory register) masih dalam waktu yang sangat pendek. Pencatatan sensorik ini dirancang untuk menyimpan rekaman informasi yang sudah diterima oleh sel-sel reseptor masih dalam bentuk yang masih kasar (veridical form) dan masih belum memiliki makna. Sel-sel receptor tersebut merupakan sistem yang terdapat pada alat indera seperti mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit yang berfungsi untuk merespon enersi fisik dari lingkungan (Matlin, 1989; Solso, 1988; Ellis dan Hunt, 1993; lihat suharnan 2005). Informasi sebagai pengetahuan yang hanya didapat dari panca indera ini sebagaimana telah disebut tadi masih begitu kasar (verdial form) dan tidak memiliki makna sebagai pengetahuan yang terstruktur. Ibaratkan sebuah bangunan rumah yang tentunya terdiri dari bahan-bahannya seperti, pasir, semen, batu bata, kayu, besi dan lainnya, tidak dikatakan bangunan, dan tidak dapat difungsikan sebagaimana fungsi rumah,

apabila bahan-bahan tadi masih

berserakan atau masih bertumpuk di gudang, periksa ilustrasi kisah berikut: “Tersebutlah sebuah kisah di sebuah Kerajaan Antah Berantah, ada sebuah desa yang letaknya

di tepian gurun pasir yang luas, dan

semua penghuni desa tersebut semuanya buta. Pada suatu hari tersiarlah kabar di kalangan masyarakat buta tersebut bahwa di padang pasir di dekat mereka tinggal, raja mereka bersama berkemah untuk sejenak melepaskan lelah panjangnya

rombongannya

dalam perjalanan

sehabis berburu di hutan. Kabar tersebut begitu menarik

20

perhatian seluruh masyarakat di kampung buta tersebut. Yang menarik perhatian mereka bukanlah si raja beserta rombongannya, akan tetapi seekor gajah yang ikut dalam rombongan tersebut. Mereka begitu tertarik pada binatang yang bernama gajah tadi, mereka lalu berdiskusi tentang mahluk tadi. Karena begitu antusianya, samapai-sampai suasananya begitu memanas yang diwarnai dengan debat kusir. Bisa dimaklumi debat kusir di antara mereka bakal terjadi, karena mereka semua masih belum pernah mengenal sebelumnya, seperti apa gajah. Di tengah memanasnya perdebatan tentang gajah, di mana tidak seorangpun dari mereka yang pernah tahu bijak yang dituakan di antara

tentang gajah, seorang

mereka berusaha menengahi agar

perdebatan tidak sampai menjadi kontra produktif, yang akan berujung pada pertengkaran. Mengingat mereka semua tidak pernah tahu tentang apa benda yang sedang diperdebatkan; dan kemudian disepakati untuk mengirim utusan empat orang di antara mereka, untuk mendatangi

raja dan meminta ijin untuk diperkenankan

mengadakan observasi terhadap mahluk yang diperdebatkan tadi. Harapannya, setelah utusan itu memiliki pengetahuan dimaksud, dapat ditularkan kepada yang lain. Singkat cerita keempat utusan tadi minta ijin, dan diijinkan oleh raja untuk mengobservasi gajah yang dimaksud, dengan salah satu indera

mereka yang bisa digunakan yaitu indera perabanya.

Mulailah mereka mengadakan observasi

dengan menggerayangi

tubuh si gajah tadi. Setelah mereka puas, dan merasa mendapatkan pengetahuan baru, yaitu pengetahuan tentang gajah, mereka cepat pulang

untuk

segera

menginformasikan

dan

menularkan

pengetahuannya pada saudara-saudara mereka di kampung yang

21

tentunya sedang menunggu. Sesampainya mereka di kampung, orang yang sedang menunggu tadi

dengan tidak sabar langsung

menanyakan seperti apa gajah itu ? -

Orang pertama menjawab gajah itu lebar bulunya kasar seperti sebuah permadani. Kebetulan orang pertama tadi mengobservasi gajah tepat di telinganya.

-

Orang kedua menimpali, itu salah, gajah itu tidak lebar bulunya kasar seperti permadani, tetapi tegak, bulat, besarnya seperti sebuah tiang. Orang kedua tadi waktu mengobservasi gajah pas kena bagian pahanya.

-

Orang ketiga menimpali lagi gajah itu tidak lebar seperti sebuah permadani, atau bulat tegak seperti sebuah tiang. Gajah itu bulat panjang, tapi tidak sebesar tiang, hanyalah seperti sebuah pipa. Orang ketiga ini waktu mengobservasi gajah tepat pada bagian belalainya.

-

Kemudian orang keempat langsung menyergah, itu salah semua. Yang betul gajah itu kecil panjang seperti seutas tali. Orang keempat ini kebetulan mengoservasi gajah tepat pada bagian ekornya.

Ilustrasi di atas menggambarkan betapa absurdnya manusia untuk mendapatkan informasi yang berupa pengetahuan yang baik, terstruktur seperti sebuah bangunan, pengetahuan kalau hanya mengandalkan indera manusia saja. Yang ada hanyalah potonganpotongan pengetahuan seperti bahan bangunan untuk rumah yang terserak yang bukan merupakan bangunan dan tidak dapat difungsikan sebagai rumah. Tapi sekalipun demikian, panca indera dengan

22

keterbatasannya sebagaimana telah dikemukakan tadi, juga merupakan sumber pengetahuan yang begitu penting untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, bersama-sama dengan sumber-sumber yang lain. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya, bahwa menurut aliran realisme indera manusia adalah alat yang paling utama dan satu-satunya di dalam mendapatkan pengetahuan di luar diri manusia. Aliran relisme ini telah memberikan dasar pada paham empirisme sebuah aliran filsafat dalam abad moderen. Pengetahuan yang

didapat

melalui

pengalaman

inderawi

dikenal

dengan

pengetahuan “empirik” dengan kebenarannya yang dikenal dengan kebenaran “koherensi” (Wibisono, dkk, 1989).

8.

NALAR (RASIO) Nalar yang sering digunakan secara bergantian dengan

penalaran adalah kemampuan manusia yang tidak dimiliki oleh mahluk lain di dunia ini. Nalar atau rasio, adalah kemampuan manusia yang digunakan untuk berpikir dalam memecahkan masalah di samping intuisi sebagai sumber pengetahuan. Batu-batuan, tumbuhtumbuhan, serta hewan tidak memiliki kemampuan ini. Kemampuan ini membantu dan mangantarkan manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat dicapainya melalui panca indera. Misalnya beberapa waktu yang lalu diberitakan di surat kabar, bahwa ditemukan sebuah fosil di pantai utara Buleleng. Para arkeolog menyatakan bahwa fosil tersebut merupakan fosil tertua yang pernah ditemukan di Indonesia. Lebih tua daripada fosil yang telah tersimpan sebelumnya di musium Trinil, seusia dengan fosil yang pernah ditemukan sebelumnya pula di pantai utara Semarang dan di pantai

23

barat Padang. Pertanyaannya dari mana si arkeolog itu mendapatkan pengetahuan dan sampai pada kesimpulan yang demikian ? Padahal fosil-fosil tersebut sudah berupa tulang belulang yang sudah menjadi batu dan tentunya berbeda dengan tulang belulang aslinya. Kalau sebuah hasil penelitian di sebuah komunitas tertentu yang memiliki inteligensi yang tinggi di bandingkan sekelompok orang yang lain menyatakan bahwa tingginya inteligensi komunitas tersebut berkaitan erat atau dipengaruhi oleh kebiasaan mereka mengkonsumsi ikan-ikan mentah. Pertanyaannya lagi dari mana peneliti tersebut sampai pada kesimpulan yang demikian ? Padahal pengamatan

indera si peneliti

tentang ikan yang dikonsumsi hanya terhenti di piring si subjek, dan tidak dapat mengamati lagi kalau ikan yang dikonsumsi sudah melewati mulut. Jawabannya adalah: kesimpulan tadi baik dari arkeolog ataupun peneliti biologi dengan kemampuan nalarnya, dapat mengkaji dan menganalisis rekaman informasi sensorik yang sudah diterima oleh sel-sel reseptor yang masih dalam bentuk mentah/ kasar (veridical form) dan masih belum memiliki makna sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian tentang indera sebelumnya. Melalui nalar manusia manusia akan terlepas dari pemahaman tentang dunia ini secara sepotong-sepotong seperti ilustrasi tentang masyrakat buta tadi. Melalui nalarnya manusia dapat memahami gajah itu secara utuh. Melalui nalar manusia dapat memberikan makna dan mengelaborasi pengetahuan yang masih bersifat verdical form tadi dalam contoh berikut (periksa gambar no. 1):

24

Gambar no. 1. Dua wajah dan sebuah piala Sumber Wayne Weiten, Psuchology, themes & variation, Eighth Edition, International Student Edition (modifikasi warna dan ukuran)

Gambar di atas adalah sebuah gambar yang begitu familiar dalam pembahasan tentang persepsi di bidang psikologi dan manajemen. Setiap ditanyakan pada mahasiswa gambar apa yang anda tangkap. Sebagian menjawab “dua wajah yang berhadap-hadapan”, dan sebagian lagi menjawab sebuah gambar piala. Jawaban-jawaban tersebut tidak ada yang salah, artinya ya memang begitu adanya, informasi kasar yang hanya didasarkan pada penginderaan. Berbeda halnya kalau sudah ada sentuhan nalar di dalam memahaminya. Di sini timbul pertanyaan kenapa muncul persepsi berbeda terhadap objek yang sama? Gambar tersebut kelihatan seperti “dua wajah yang berhadap-hadapan” bila warna putih dalam gambar tersebut dijadikan sebagai latar belakang, sebaliknya kelihatan seperti gambar “piala” bila warna birunya dijadikan sebagai latar belakang. Lebih jauh lagi, informasi sederhana tadi dengan bantuan nalar dapat dielaborasi pada pemahaman yang lebih luas cakupan maknanya dalam kehidupan kita.

25

Contoh kasus : ”Pada tahun 2006 yang lalu bangsa Indonesia hampir mengalami konlik lagi dengan bangsa Malaysia dalam kasus pulau Ambalat. Kasus tersebut dianggap masalah yang sangat serius bagi bangsa Indonesi dengan reaksi yang keras. Sampai-sampai Presiden Susilo Bambang Yudoyono bermalam di Kapal Perang R.I. yang mengitari pulau Ambalat. Dalam waktu yang sama Angkatan Perang Diraja Malaysia juga sedang beroperasi mengitari dan mengawasi pulau yang Indonesia

diklaim sebagai miliknya tersebut. Media massa di memberitakan

secara

besar-besaran

kasus

tersebut.

Kalangan akar rumput juga mereaksi luar biasa. Ini dapat dilihat dari adanya fenomena aksi cap jempol darah masyarakat dari Aceh sampai Papua. Termasuk para TKI (tenaga kerja Indonesia) yang ada di Malaysia tidak kalah seru dan emosionalnya.

Mereka siap untuk

menjadi martir apabila terjadi konfrontasi dengan Malaysia. Dari pihak Malaysia sendiri, ternyata mereka menanggapinya berbeda 180 derajad dibandingkan dengan reaksi dari pihak Indonesia. Pemerintah Malaysia yang waktu itu diwakili oleh Menteri Luar Negerinya yaitu Sayid Hamid Albar dengan santainya menjawab pertanyaan dari wartawan. Bagi Malaysia masalah Ambalat bukanlah masalah besar. Banyak masalah-masalah yang lebih penting yang perlu sesegera mungkin diatasi oleh Malaysia dan Indonesia. Media massa Malaysia juga tidak begitu tertarik untuk mengekspos masalah Ambalat seperti media massa di Indonesia. Dari pihak akar rumput, konon beritanya orang Malaysia di pulau Sebatik yang hanya berbatasan jalan dengan Indonesia dan begitu dekat dengan pulau Ambalat mengatakan tidak

26

pernah tahu tentang Ambalat dan rupanya mereka tidak peduli dengan kasus itu. Kenapa perbedaan persepsi dan sikap kedua bangsa dalam kasus Ambalat begitu kontras? Jawabannya adalah karena antara Indonesia dan Malaysia mengalami latar belakang yang berbeda. Indonesia baru kehilangan pulau Ligitan dan Sipadan yang dicaplok oleh Malaysia. Jadi jelas pihak Indonesia tidak ingin kehilangan wilayahnya untuk kedua kali; sedangkan dari pihak Malaysia dengan gaya santai, mencoba mencaplok lagi untuk yang kedua kali. Mungkin dalam benaknya, dapat ya syukur, kalau tidak dapat ya tidak apa-apa, karena dia tidak kehilangan apapun. Atas dasar uraian contoh di atas, jelas memberikan gambaran bahwa informasi mentah dan sederhana yang didapat melalui sumber penginderaan akan memberikan informasi yang lebih

banyak dan lebih kompleks

dan lebih berharga bila

dibantu dengan fungsi penalaran. Kemampuan nalar, memungkinkan manusia dapat mengkaji dan mamahami masalah yang dihadapi, untuk mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan berpikir sesuatu yang benar. Mari kita lihat peristiwa sejarah yang biasa diperingati sebagai hari besar oleh umat Islam yaitu peringatan hari Isra’ dan mi’raj nabi Muhammad S.A.W. Dalam kisahnya, ketika pagi-pagi Muhammad muda ditanya oleh orang-orang Qurais. Kenapa kamu kok kelihatan capek hai Muhammad ? Si Muhammad muda lalu menjawab, aku capek sekali karena semalam baru mengadakan perjalanan jauh. Jauhnya sampai mana? Dia menjawab dari masjidil haram (Mekah) ke Masjid al Aqsha di Palestina dan dilanjutkan ke Sidratil Muntaha di langit lapis ke tujuh. Spontan orang-orang Qurais mengatakan Muhammad anak

27

kecil si pembohong. Mereka bersikap begitu karena mereka beranggapan tidak mungkin mengadakan perjalanan sejauh itu dalam waktu semalam, yang biasanya orang-orang Qurais konon dapat menempuhnya dengan lama perjalanan 40 hari 40 malam. Bagaimana pula perjalanan dari Masjid al Aqsha atau Baitil Maqdis ke Sidraratil Muntaha di langit lapis ke tujuh ? Pastinya belum ada di antara mereka yang mengalami, maka mereka beranggapan mana mungkin Muhammad muda dapat menempuhnya dengan waktu semalam ? Nalar mereka memang masih belum mampu menjangkau. Lain halnya apabila mereka hidup di jaman sekarang ini. Katakanlah mereka dapat kesempatan hidup kembali untuk menyaksikan apa yag terjadi saat ini. Sebagai ilustrasi periksa gambar gambar no. 2 berikut.

Gambar no. 2. Prototipe pesawat HYSHOT III Sumber http://www.abc.net.au/science/slab/hyshot/img/hyshot.jpg Tanggal 25 Mei 2015

28

Gambar no. 2 di atas, adalah foto dari prototipe pesawat HYSHOT III yang memiliki kecepatan enam kali kecepatan suara, setara dengan kecepatan 7962 km/jam sehingga perjalanan dari Sydney ke London dapat ditempuh hanya selama dua jam perjalanan. Prototipe pesawat ini hasil patungan antara negara Jepang dan Australia. Yang lebih mencengangkan lagi produksi dari Amerika Serikat yang diberi nama X-45A dengan kecepatan 10 kali kecepatan suara. Kedua prototipe pesawat tersebut akan dijadikan pesawat penumpang komersial seperti Luftansa atau Booing di masa yang akan datang.

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, andaikan

orang-orang Qurais mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan ini, kemungkinan besar dia akan merubah tuduhannya yang menganggap muhammad itu berbohong. Peristiwa lain ketika Joyoboyo meramal bahwa di kemudian hari “bumi ini nanti akan tinggal sejengkal” kirakira siapa yang percaya pada waktu itu kalau hanya menggunakan pikiran dangkal mereka yang taraf evolusi nalarnya masih belum setinggi manusia saat ini . Orang-orang pada waktu itu mungkin bilang bicara apa sih Joyoboyo ini? Mungkin juga mereka bertanyatanya waraskah dia? Jangan-jangan Joyoboyo sendiri tidak betul-betul yakin akan kebenaran ramalannya tadi. Andaikan Joyoboyo beserta kolega-koleganya yang dulu tidak percaya dapat kesempatan hidup lagi, pastilah mereka akan menyaksikan Hari Peringatan Konfrensi Asia Afrika yang akan dilaksanakan pada bulan April tahun 2015 di Bandung, dalam waktu sekejab sudah terdengar beritanya ke seantero dunia. Atau ketika pasukan milisi ISIS menyerang dan merebut kota

29

suatu daerah dari pasukan rezim Suriah, beberapa menit kemudian kita sudah dapat menyaksikan tayangan peristiwanya dari TV Al-Jazirah. Ketika Charles Darwin hadir sebagai ilmuwan hadir dengan teori evolusinya pada abad ke-19, banyak kalangan terutama kalangan tokoh-tokoh agama merasa galau karena teori evolusi tadi dianggap melecehkan agama, melecehkan kitab suci dalam hal ini Kitab Suci Penciptaan. Tapi seiring dengan semakin tingginya tingkat evolusi kemampuan nalar manusia yang terjadi saat ini, diketahuilah bahwa ternyata teori evolusi tadi tidak bertentangan dengan kitab suci, seperti anggapan semula. Ini dapat disaksikan bahwa pada tahun 1996 yang lalu, para agamawan yang berkolaborasi dengan para politisi sayap kanan di lima negara bagian di Amerika Serikat, bersama-sama mengajukan usulan ke parlemen masing-masing negara tersebut. Usulannya apa ? Mereka mengusulkan agar Kitab Kejadian yang mereka sebut sebagai Creation Science, diajarkan di sekolah-sekolah, tidak dalam konteks pelajaran agama, tapi dalam konteks pelajaran sains menjadi undang-undang. Karena cretaion science tadi tidak bertentangan dengan sainsnya Darwin. Ini dalam pemahaman bahwa teori evolusi Darwin tidak bertentangan dengan kitab suci (Bird, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan nalar manusia dapat menemukan kebenaran dari suatu masalah yang awalnya dianggap salah. Atau pula sebaliknya menemukan kesalahan dari sesuatu yang sebelumnya dianggap benar, seperti konsep tentang geosentrisme, yang ternyata kemudian ditemukan bahwa heliosentrime lah yang benar. Nalar manusia dalam kaitannya dengan Tuhan, bisa disimak pendapat Balaise Pascal “di jagad raya yang luas ini manusia bukanlah apa-apa, akan tetapi di tengah-tengah jagad raya tersebut hanya

30

manusialah satu-satunya mahluk yang berpikir. Karena itu hanya manusialah satu-satunya mahluk yang dapat berkomunikasi dengan Tuhan (Hadiwijono, 1983) . Nalar juga dapat mengantarkan manusia untuk menjelajah dunia baru atau wilayah-wilah baru, yang belum pernah bahkan masih belum mungkin disentuh manusia secara fisik saat ini, dan sebagai ilustrasi periksa gambar no. 3 berikut:

Gambar no. 3. Bumi dan planet-planetnya Sumber : http://newsimg.bbc.co.uk/media/images/41285000/gif/_41285380_planet_sizes3_ inf416.gif Tanggal 25 Mei 2015

Dari gambar no. 3 di atas, kita tahu bahwa diameter Bumi 12.756 km, Bulan sepanjang 3.476 km; Mars 6,788 km; Pluto sepanjang 2.360 km dan sebagainya. Saat ini murid-murid sekolah dasar saja sudah tahu berapa kilo meter diameter matahari. Dari mana kita semua tahu? Tentunya terlalu naif misalnya ada orang

31

beranggapan bahwa ada sekelompok ilmuan terbang ke matahari membawa meteran lalu mengukurnya. Pengetahuan itu semua diperoleh karena kemampuan penalaran manusia dalam mendapatkan pengetahuan, dengan menjelajah wilayah-wilayah yang belum pernah dijangkau secara fisik. Penalaran merupakan salah satu sumber di mana

manusia

mendapatkan pengetahuan di samping panca indera dan sumbersumber pengetahuan yang lainnya. Penalaran ini berkaitan erat dengan kegiatan berpikir, di kala manusia memecahkan masalah. Manusia pada dasarnya adalah mahluk berpikir (kognitif), di samping yang merasa (afektif) dan berkehendak (konatif). Dunia ini penuh dengan mahluk hidup, selain manusia. Tapi mereka berbeda sekali dengan manusia. Mereka sulit berubah dalam arti peningkatan diri dan hidupnya. Kalau toh mereka berubah memakan waktu yang lama dan tidak begitu signifikan. Paku-pakuan tumbuh dan ikan berenang, tetapi dengan cara yang sama, seperti yang sudah ia lakukan sebelum manusia menginjakkan kakinya di permukaan bumi ini. Semut-semut yang rajin malakukan aktivitas dalam kehidupan mereka, sampai sekarang tetap dengan cara yang tidak berbeda ketika dinosaurus menguasai dunia (Gilbert Higher, lihat Sumantri, 1997). Burungburung manyar dikenal karena kemampuan mereka dalam membuat sarang yang indah. Tapi kemampuan tersebut tidak pernah berubah sejak mereka diciptakan Tuhan, yaitu membuat sarang dari bahan daun kering dengan bentuk yang tetap pula. Coba andaikan burung manyar memiliki nalar sedikit saja, tidak perlu sebaik manusia, pasti ia akan membuat sarang dari bahan yang bagus dan mudah dicari, misalnya tali-tali rafia sisa-sisa yang telah digunakan manusia yang

32

berserakan di tempat-tempat sampah. Menggunakan rafia yang berwarna warni, akan menghasilkan sarang yang lebih indah dan bisa kedap air, dibandingkan dengan sarang yang dibuat dari daun-daun kering. Tapi karena mereka tidak bernalar dibiarkanlah bahan tadi dengan sia-sia. Berbeda dengan mahluk lain, dalam waktu tidak terlalu lama, manusia telah mengubah dirinya dan dunia secara terarah, karena kemampuan nalarnya. Manusia adalah mahluk Homo Sapiens, atau mahluk berpikir/bernalar. Karena nalar yang dimiliki manusia terus berkembang sampai pada puncak kemajuannya sebagaimana yang dapat kita saksikan saat ini. Karena nalar pulalah manusia dapat menjadi manusia dan memnusiakan dirinya. Di sini muncul pertanyaan adakah manusia yang tidak manusia atau belum manusia ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut periksa ungkapan-ungkapan berikut:

-

Tidak sulit menjadi malaikat, karena tugas malaikat hanya satu yaitu mengabdi kepada Tuhan.

-

Tidak sulit menjadi setan karena tugas setan hanya satu yaitu menyesatkan dan mencelakakan manusia.

-

Tidak sulit menjadi binatang, karena tugas binatang hanya ada dua, yaitu makan dan berkembang biak.

-

Yang paling sulit adalah menjadi manusia, karena semua sifat yang ada pada malaikat, yang ada pada setan, dan yang ada pada binatang ada pada manusia di samping sifat kemanusiaannya.

Semua sifat tersebut sudah inheren dalam kehidupan kemanusiaan itu sendiri yang tidak dapat dihilangkan salah satu, akan tetapi harus

33

disinergikan; dan yang mampu mensinergikan adalah manusia itu sendiri, yaitu dengan bantuan kemampuan nalar yang dimiliki. Kalau yang ada hanyalah sifat malaikat, maka manusia bukanlah manusia yang dapat melakukan tugas kemanusiaannya. Kalau yang ada hanyalah sifat binatang, maka manusia juga tidak menjadi manusia, mereka adalah binatang dalam bentuk yang lain. Kalau yang ada hanyalah sifat setan apa jadinya dunia ini, dihuni oleh mahluk pemarah, pengrusak, suka akan permusuhan, saling menggoda dan menghancurkan antara satu dengan yang lain. Akhirnya aktualisasi dari

sinergi

terebut

muncullah

perilaku

manusia

seperti

berbakti/mengabdi kepada Tuhan, melanjutkan keturunan, mencari nafakah untuk kebutuhan hidupnya, sekali waktu marah dan berperang untuk kebaikan dan ibadah, misalnya membela kehormatan diri dan keluarga, berjuang untuk membela negara, memperjuangkan keadilan dan sebagainya. Sekalipun di dalam diri manusia ada sifat-sifat yang berbeda bahkan saling bertentangan antara satu dengan yang lain, akan tetapi dapat bersinergi dalam bentuk tindakan/perilaku manusiawi dengan adanya sifat khusus yang dimiliki manusia yaitu kemampuan nalarnya. Dari uraian di atas, jelas penalaran manusia selain menjadi sumber pengetahuan baik yang bisa dijangkau atau masih belum bisa dijangkau oleh indera atau pengalaman manusia, juga sebagai alat bantu bagi seseorang untuk dapat melaksanakan tugas kemanusiaannya.

9.

OTORITAS Sumber yang lain di mana manusia mendapatkan pengetahuan

adalah orang yang memiliki otoritas di bidang pengetahuan, keilmuan,

34

keterampilan, keahlian atau praktisi dalam bidang tertentu. Misalnya Ulama, Pastor, Pendeta, Rabi, Biksu dan Bedanda adalah orang yang dianggap memiliki otoritas dalam bidang pengetahuan agama. Bagi orang yang memiliki persoalan dalam masalah keagamaan; sedangkan yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan di bidang itu, atau orang sudah memiliki pengetahuan, tapi ingin menigkatkan dan mengembangkan pengetahuannya tadi ke mana harus mengacu ? Ya tentunya kepada mereka yang dianggap memiki otoritas di bidang agama tersebut yaitu para tokoh agama tadi. Para pakar atau para ilmuwan di bidang hukum, psikologi, kedokteran, sosiologi, ekomi, ilmu politik, biologi, fisika dan bidang-bidang keilmuan yang lain, merupakan orang yang memiliki

otoritas di bidang keilmuannya

masing-masing. Karya-karya mereka, seperti hasil pemikiran, atau kontemplasinya, hasil penelitiannya, teori-teorinya, buku-buku karya tulisnya akan dijadikan acuan atau rujukan bagi mereka yang sedang mencari

tahu

atau

akan

menambah

dan

mengembangkan

pengetahuannya dalam bidang-bidang tersebut. Para praktisi di bidang hukum seperti notaris, advokat, hakim dan jaksa adalah individuindividu tempat orang mencari rujukan bagi mereka yang meiliki masalah yang berkaitan dengan hukum. Para dokter adalah orang yang dianggap memiliki otoritas dalam bidang tersebut, sebagai tempat orang mencari rujukan untuk mengobati penyakitnya. Para psikolog adalah orang yang dianggap memiliki otoritas untuk membantu mereka

yang

memiliki

problem

psikologis

untuk

mengatasi

problemnya tersebut. Orang yang dianggap memiliki otoritas, juga orang yang memiliki wibawa di dalam kelompoknya atau dalam komunitasnya.

35

Dicontahkan oleh Jujun Ssuriasumantri (2010), seorang ketua suku dikalangan masyarakat

primitif, menjadi sumber acuan bagi

masyarakatnya untuk mendapatkan pengetahuan dalam semua hal, misalnya masalah kesehatan, pertanian, ekonomi, masalah hukum dan semua masalah yang muncul dalam kehidupan. Para dukun tenung, peramal nasib, ahli paranormal dan semacamnya, juga dianggap sebagai orang yang memiliki otoritas di kalangan masyarakat tertentu. Bagi orang yang memiliki otoritas biasanya tidak dibutuhkan kredibilitas atau bobot keilmuannya, dalam arti orang tidak mempermasalahkan dan meragukan tentang kebenarannya lagi. Misalnya seorang murid mendapatkan informasi pengetahuan baru dari gurunya, mereka menerima saja karena menganggap gurunya orang yang memiliki otoritas sehubungan dengan informasi baru yang disampaikan. Para mahasiswa sering mengutip teori dari para profesornya tanpa terlalu banyak mempermasalahkan akurasinya, sekalipun tidak senaif sikap suku primitif terhadap ketua sukunya atau murid-murid sekolah dasar terhadap para gurunya. Para santri atau ummat dari agama tertentu, cenderung menerima saja apa yang disampaikan oleh tokoh agamanya yang mereka anggap sebagai individu yang memiliki otoritas di bidangnya tersebut seperti otoritasotoritas

lain

sebagaimana

yang

telah

dikemukakan

dalam

pembicaraan-pembicaraan sebalumnya.

10. INTUISI Intuisi adalah salah satu sumber pengetahuan manusia yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan tanpa melalui nalar. Jadi dengan intuisi manusia dapat menemukan pengetahuan,

36

atau dapat memecahkan problem-problem yang dihadapi tanpa proses nalar. Orang yang berintuisi adalah orang yang sedang berpikir, hanya hasil pemikirannya tidak melalui penalaran. Sebuah contoh kasus, misalnya satu tim penyidik dari kepolisian, mendatangi sebuah rumah tempat kejadian perkara, sesuai dengan laporan orang yang punya rumah. Dilaporkan bahwa tadi malamnya sebagian dari isi rumah tersebut dijarah maling. Para anggota tim tersebut mulai berpikir dan mulai megadakan penyelidikan dengan mengobservasi seluruh keadaan tempat tersebut. Kemudian ditemukan ada salah satu jendela yang

rusak

dan

terbuka.

Mereka

berdiskusi

dan

akhirnya

berkesimpulan bahwa pencurinya masuk dan keluar dari jendela tadi, karena tidak ditemukan jendela atau pintu lain yang memungkinkan orang keluar masuk. Tapi ada salah seorang dari mereka masih terus berpikir dan merenung. Kemudian dalam pikirannya muncul kesimpulan yang berbeda dari para anggota tim yang lain, lalu dia berujar saya berkesimpulan berbeda. Pencuri tidak masuk dari jendela itu dan tidak pula keluar melalui jendela tersebut. Menurut feeling saya atau perasaan saya si pencuri tidak masuk dari mana-mana dan tidak keluar melalui mana-mana. Dari mana kesimpulan berbeda tadi ? Itu dari hasil pemikiran seperti anggota-anggota tim yang lain hanya kalau

yang

lain

kesimpulannya

didasarkan

pada

pemikiran

rasionalnya, yang berangkat dari fakta jendela yang rusak dan terbuka; sedangkan kesimpulan dia didapat melalui intuisinya, yang dia katakan menurut feeling saya.. Intuisi sering dirancukan dengan feeling atau perasaan, yang sebetulnya tidak demikian. Feeling (perasaan) ini kalau didasarkan pada teori Carl Gustav Jung merupakan fungsi psikologisyang berbeda

37

dari intuisi (periksa uraian tentang teori Jung). Intuisi ini kadang kala disebut dengan bisikan gaib, wangsit, orang Jawa juga menyebutnya dengan wahyu (tentunya tidak seperti wahyu Allah yang diturunkan kepada para Nabi). Intuisi dapat datang dengan sendirinya seperti datang dalam mimpi yang tiba-tiba, selain orang dengan sengaja mencari pengetahuan dari intuisi ini dengan cara-cara bersemedi, menyepi di gua-gua, di kuburan keramat, di tempat-tempat angker atau di tempat-tempat suci seperti di tempat ibadah. Bagi orang Islam, cara yang biasa dilakukan dalam berintuisi adalah ber-istiharah, yaitu dengan melakukan shalat di tengah malam. Tetapi walau intuisi tidak sama dengan perasaan, dalam aktualisasinya masih bersinggungan dengan perasaan, misalnya aktualisasi intuisi dalam sebuah karya seni. Karya seni sebagai aktualisasi intuisi tidak sekedar menghasilkan citra dari karya tersebut, akan tetapi merupakan suatu kesatuan totalitas yang juga dihayati oleh perasaan. Perasaanlah yang menyebabkan hasil kegiatan intuisi menjadi suatu kesatuan yang runtut (Croce, lih. Kattsoff, 1996). Intuisi memberikan pengetahuan pada manusia tanpa ada kaitannya dengan pengetahuan sebelumnya dan tanpa pengalaman inderawi. Seperti seorang yang berpendapat berbeda dari anggota tim lainnya waktu sedang berintuisi, tidak ada kaitannya dengan apa yang dia ketahui sebelumnya, dan jelas berbeda dengan pengalaman inderawinya. Sebagaimana contoh di atas yaitu fakta satu-satunya jendela rusak dan terbuka yang memungkinkan orang dapat keluar masuk hanya dari sana. Dalam hal ini pengetahuan dan pengalaman sebelumnya tidak berpengaruh langsung ketika yang bersangkutan berintuisi. Pengalaman-pengalaman dan pengetahuan sebelumnya,

38

hanya akan berpengaruh pada kemampuan dan ketajaman seseorang dalam berintuisi, tapi dikala sedang berintuisi tidak terlalu penting dan signifikan. Carl Gustav Jung memiliki pandangan tentang intusisi ini. Dalam terorinya, “intuisi” (intuiting) merupakan salah satu fungsi jiwa, di samping fungsi-fungsi yang lain yaitu pikir (thinking), Perasaan (feeling) dan penginderaan (sensing). Atas dasar fungsi jiwa ini Jung membagi tipe manusia menjadi empat tipe yaitu: tipe pemikir, tipe perasa, tipe pengindra, dan tipe intuitif. Tipologi atas dasar fungsi jiwa ini masih dikombinasikan lagi dengan konsepnya tentang sikap jiwa yaitu sikap ekstraversi dan sikap intraversi. Tipologi kombinasi tersebut menjadi: pemikir ekstraversi dan pemikir intraversi, perasa ekstraversi dan perasa intraversi, pengindera ekstraversi dan pengindra intraversi serta tipe intuitif ekstraversi dan intuitif intraversi. Khusus mengenai tipe intutif intraversi, kemungkinan orang yang memiliki tipe demikian mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang lain secara efektif dan tidak praktis serta memahami fakta secara subjektif. Akan tetapi pengetahuan yang dihasilkan oleh pemikiran intuitifnya sering sangat kuat, dan mempu memotivasi orang lain untuk mengambil keputusan yang luar biasa. Tindakan individu bersifat mistis, pemimpi, unik, di mana hal tersebut nampak pada perilaku paranormal, dukun peramal nasib dan penganut agama yang fanatik dan sebagian dari para seniman. Tipe intuitif ekstraversi orientasi pemikirannya sering

sekali

pada hal-hal yang sifatnya faktual, tetapi

bertentangan

dengan

fakta

yang

sebenarnya.

Sebagaimana dikemukakan dalam pembicaraan terdahulu, salah seorang penyidik berbeda pendapat dengan yang lain, melihat fakta

39

jendela yang rusak dan terbuka. Fakta empirik atau data sensorik sering dijadikan sarana untuk menemukan sesuatu yang baru berdasarkan kekuatan intuitifnya. Mereka pintar dalam menemukan cara-cara baru secara kreatif, dan menemukan bidang-bidang baru. Fenomena ini tampak pada perilaku pengusaha-pengusaha dan penanam modal sukses atau seniman-seniman terkenal. Jung dalam teorinya mengatakan orang yang kuat intuisinya baik kalau berprofesi sebagai pebisnis dan dukun peramal nasib (Hall & Lindzey, 1985 dan Hergennhahn, 2011). Contoh minuman mineral terkenal merk tertentu yang diperkenalkan pertama kali di Indonesia tahun 1974, ketika itu ada acara pelaksanaan PON (pekan olah raga nasional) di Jakarta dan konon, air tersebut menjadi minuman resmi. Sebagian orang terheranheran bahkan ada yang mencemooh sebagai usaha bisnis yang akan sia-sia. Air putih dikemas untuk dijual, siapa yang mau beli ? Ini dapat dimaklumi karena pada waktu itu air putih untuk diminum tidak perlu membeli. Bahkan di desa-desa, orang yang memiliki rumah di pinggir jalan banyak yang menyediakan gentong yang berisi air dan gayung untuk diambil oleh siapapun yang membutuhkan secara cuma-cuma. Apa yang terjadi selanjutnya? Air mineral tersebut pernah mencapai dua kali lipat lebih dari harga bahan bakar minyak jenis premium. Waktu itu premium harganya Rp.145,- per liter, sedangkan satu liter air mineral kemasan tadi harganya Rp. 300,-. Orang mengatakan pengusaha tersebut memiliki “insting” bisnis yang tinggi. Sebetulnya yang disebut dengan insting tadi adalah “intuisi” karena insting dan intusi ini sangat berbeda. Insting lebih dekat dengan proses-proses fisiologis, sedangkan intusi merupakan proses psikologis. Sangat banyak

contoh-contoh kasus dalam kehidupan kita, keberhasilan

40

dalam hidup karena ketajaman intuisinya terutama di dunia bisnis, dunia ramal meramal dan dalam berkesenian.

11. WAHYU Wahyu merupakan sumber pengetahuan manusia yang berasal dari Tuhan. Wahyu diturunkan Tuhan melalui nabi-nabi. Wahyu tadi berupa ayat-ayat suci, dan kumpulan dari ayat-ayat suci yang dirurunkan kepada nabi-nabi tadi berupa kitab suci. Kitab suci ini dijadikan pedoman oleh manusia untuk mendapatkan pengetahuan sekitar pesoalan-persoalan keagamaan. Contoh kitab suci yang ada misalnya kitab Taurad yang diturunkan kepada nabi Musa, kitab Zabur diturunkan kepada nabi Daud, Kitab Injil diturunkan kepada nabi Esa Almasih dan kitab Al-Qur-an yang diturunkan kepada nabi Muhammad sallalaalhu ‘alaihi wasallam, di samping kitab-kitab suci yang lain selain yang tersebut di atas. Yang termaktub dalam wahyu adalah pengetahuan-pengetahuan dari semua hal yang dapat dijangkau tidak dapat dijangkau oleh nalar, atau yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh indera atau pengalaman manusia. Bagi penganut suatu agama biasanya tidak akan mempermasalahkan wahyu-wahyu yang ada dalam kitab sucinya bila nalarnya masih belum dapat menjangkau untuk memahaminya, atau kemampuan inderawinya masih belum mampu untuk mengalaminaya. Wahyu ini erat sekali kaitannya dengan keyakinan, sehingga masuk akal atau tidak, empirik atau tidak, tetap dipegangnya sebagai dogma yang tidak perlu diragukan kebenarannya, terutama bagi orang yang meyakininya.

41

12. KEYAKINAN Keyakinan adalah salah satu sumber pengetahuan di samping sumber-sumber lain seperti yang telah dijabarkan dalam pembicaraan sebelumnya. Keyakinan dianggap sebagai suatu kondisi psikologis seseorang yang didapat melalui kepercayaan. Dalam hal ini dapat pula dikatakan bahwa keyakinan merupakan pematangan dari kepercayaan. Kepercayaan masih bersifat dinamik dan dapat berubah sewaktuwaktu sesuai dengan situasi-situasi baru atau informasi-informasi baru (Wibisono, dkk; 1989). Misalnya, seorang suami yang tidak percaya kalau orok yang baru dilahirkan oleh istrinya adalah anaknya. Karena tidak mungkin kelahiran itu terjadi bila dikaitkan dengan hitungan bulan sejak pernikahannya. Tetapi setelah diadakan tes DNA, ternyata orok itu tadi berasal dari darah mereka berdua. Kemudian berubahlah kepercayaannya, yang semula tidak percaya kalau orok tadi anak dari hasil kerja bersama dengan isterinya, sekarang menjadi percaya. Keyakinan yang merupakan pematangan dari kepercayaan ini erat kaitannya wahyu. Kadang-kadang dirancukan antara keyakinan dengan wahyu. Wahyu sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian-uraian terdahulu merupakan sumber pengetahuan yang akan menjadi dogma bagi yang meyakininya dan datangnya dari Tuhan. Keyakinan dapat terjadi melalui kepercayaan yang mantap dan matang terhadap wahyu tadi. Keyakinan bagi seseorang cenderung bersifat statis. Seperti keyakinan terhadap kebenaran agama yang dianut. Namun sekalipun demikian ada kalanya keyakian itu berubah dalam kasus-kasus tertentu dengan alasan tertentu pula. Misalnya ada sebuah kasus, seorang pemuda dari kalangan keluarga muslim kuat, secara tiba-tiba merubah kayakinannya dan memeluk agama katolik.

42

Awalnya si pemuda tadi mengalami sakit keras. Pada suatu malam di tengah dia sedang tidur, bermimpi didatangi oleh Yesus, dan memberinya secawan air untuk diminumnya. Lalu dia minun air tersebut, dan ajaibnya keesokan harinya dia sembuh dari sakitnya tadi. Sebagaimana telah disebut tadi si pemuda tersebut berikrar untuk merubah keyakinannya dan berganti agama menjadi penganut agama katolik. Berita terakhir yang penulis ketahui konon dia sampai menjadi seorang pastor. Kasus lain dalam kaitannya dengan perubahan keyakinan, adalah kasus menjadi muslimnya seorang penganut agama Kristen Katolik bernama Antonius Widuri. Antonius mengajak dialog yang dirancang sedemikian rupa bersama dengan Kyai Bahaudin Mudhary (alm). Materi dialog adalah mencari dan menemukan kebenaran tentang ke-Tuhanan berdasar kitab suci masing-masing, yaitu dari Al-Qur-an dan Beybel. Dalam dialog tersebut, rupanya berjalan dengan dasar rasio, akal sehat dan logika; sedangkan statemenent dogmatik tidak mendapatkan ruang. Di akhir dialog yang dilakukan sebanyak sembilan kali pertemuan tersebut, Antonius Widuri begitu kagum kepada kyai Bahaudin Mudhary, yang begitu mengasai kitab suci Al-Qur-an dan Injil dengan objektif dan logis yang akal sehatnya tidak mungkin untuk ditolak secara rasional. Hal tersebut mengantarkan pada keyakinan akan kebenaran agama Islam dengan kitab suci al-Qur-an. Selanjutnya ia berikrar sebagai mualaf, dan menjadi muslim dengan membaca dua kalimat syahadat dan mengganti namanya dengan Antonius Muslim (Mudhary, 1981). Kasus yang lainnya lagi adalah seorang tokoh, seorang ustad dan ilmuan yang cukup terkenal saat ini, sering menjadi nara sumber sebagai ustad. Konon beliau awalnya pemeluk agama Kong Hu Chu,

43

kemudan menjadi Budha, kemudian memeluk agama Kristen dan terakhir sebagai pemeluk agama Islam. Tapi contoh di atas adalah sangat kasuistik. Perubahan keyakinan terutama yang berkaitan dengan agama sangat jarang, bahkan hampir tidak mungkin bagi orang yang keyakinan yang merupakan pematangan dari kepercayaanya. Keyakianan ini selain bersumber dari wahyu juga bersumber dari sumber-sumber yang lain seperti penaran, pengalaman empirik dan intuisi termasuk dari keyakinan itu sendiri sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Contoh kasus. Sebuah berita sehubungan kasus meletusnya gunung merapi beberapa tahun yang lalu yang dimuat di berbagai media “Ponimin juru kunci Kaliadem (anak buah Mbah Marijan), tidak mengungsi, tapi rumah, dia sendiri bersama istri, dua anak dan tiga saudaranya selamat. Pada hal rumah-rumah di sekitarnya hangus terbakar, termasuk ternaknya. Ketika ditanya kenapa ponimin tidak mau mengungsi, dia katakan bahwa dia mendapatkan bisikan gaib untuk tidak meninggalkan rumahnya. Saya yakin gusti Allah akan menyelamatkan saya lanjutnya.” Dari mana sumber keyakinan Ponimin ini ? Ya dari intuisi yang dia sebut sebagai bisikan gaib tadi. Kasus lain masih dalam kaitannya dengan gunung meletus yaitu kasus gunung Kelut yang masih dalam status awas. Dalam kaitannya dengan kasus gunung Kelut tadi, ada dua tokoh yang dituakan yaitu Subagyo yang dikenal dengan Mbah Wo dan Parjito Ranggawaluyo (Mbah Ronggo). Mbah Wo tetap tinggal di rumahnya, tidak mau mengungsi. Dia yakin kalau gunung Kelut tidak akan meletus pada saat itu. Sebab kalau gunung Kelut akan meletus, biasanya diawali dengan terbakarnya pohon di sekitar kawah, kijang dan harimau turun

44

meninggalkan habitatnya. Keyakinan Mbah Wo ini bersumber dari pengalaman inderawi atau fakta empirik. Mbah Ronggo juga menolak mengungsi dengan keyakinan bahwa gunung

Kelut tidak akan

meletus pada saat itu. Karena menurutnya kalau gunung kelut akan meletus, rekan-rekannya, arwah para leluhur, dan para demit akan pamit dulu kepadanya. Keyakinan Mbah Ronggo ini sama dengan yang dialami oleh ponimin yaitu intuisi dengan mendapatkan bisikan gaib dari yang disebutnya sebagai arwah para leluhur dan para demit. Antonius Widuri yang semula memiliki keyakian pada agamanya berdasarkan dogma pada wahyu, kemudian berubah keyakinan agamanya setelah berdialog. Keyakinan baru yang didapat oleh Antonios ini jelas berdasarkan pada penalaran atau rasio. Perubahan keyakinan seorang pemuda muslim ke agama Katolik setelah bermimpi didatangi oleh Yesus tadi, jelas bersumber dari intuisi. Keyakinan selain bersumber dari sumber-sumber lain dari semua sumber pengetahuan yang ada sebagaimana yang telah terurai di atas, keyakinan dapat bersumber dari keyakinan itu sendiri. Suatu kasus yang pernah terjadi dahulu pada jaman Orde Lama, di mana pada waktu itu sebuah partai yang beraliran ideologi Marxisme dengan lebih leluasa menjalankan doktrin komunis termasuk doktrin anti Tuhannya. Dokrin anti Tuhan ini sudah mulai merambah ke desadesa. Di sini ada contoh sebuah kasus. Dalam kasus tersebut ada dua orang pemuda bersaudara kakak beradik, yang bertengkar, keduanya sama-sama memegang senjata tajam dan siap untuk saling membacok sambil berteriak-teriak dengan kata-kata kasar yang tentunya mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya. Semua orang yang menyaksikan berusaha untuk melerai. Salah seorang dari mereka ada

45

seorang guru dan kepala Sekolah Dasar, berusaha menengahi untuk mendamaikan lalu dia bertanya, priksa dialognya sebagai berikut: “Ada apa kalian bertengkar seperti ini, seharunya kalian bersudara yang sudah tidak memiliki orang tua rukun-rukun saja, dan saling menyayangi. Ada apa, apa yang dipertengkarkan? Ini pak guru, bagaimana saya tidak marah orang saya dikatakan kafir terus kata si adik.Ya bagaimana aku tidak mengatakan kamu kafir, kalau kamu tidak percaya akan adanya Tuhan, kata si kakak.Ya bagaimana saya percaya pada Tuhan orang saya sendiri tidak pernah melihat seperti apa rupanya Tuhan. Saya kan sudah sering bilang tunjukkan dulu pada saya seperti apa rupanya Tuhan itu baru aku akan percaya. Bagimana aku percaya pada sesuatu yang belum pernah aku lihat. Kakak tidak pernah mampu menunjukkan, malah jawabannya selalu kamu kafir. Bagaimana saya tidak marah pak guru. Si kakak menimpali lagi dengan geram, nah itulah dasar orang kafir yang akan masuk neraka nanti. Jawaban si kakak tadi, membuat suasana semakin memanas.. Melihat sebetulnya apa yang sedang terjadi dan apa masalahnya, dengan bijak pak guru menenangkan, lalu berkata kalau itu masalahnya mari kita bicarakan dengan tenang, dengan kepala dingin. Lalu mereka diajak melanjutkan pembicaraan di rumah pak guru. Pak guru bertanya kepada si adik yang tidak percaya akan adanyan Tuhan karena tidak pernah melihatNya. Apakah kamu tidak percaya akan adanya Tuhan karena tidak pernah melihatNya ? Ya pak. Pak guru menyakan tentang orang tua dia yang sudah meninggal, sekalipun dia sudah tahu betul tentang itu. Bapak kamu siapa ? dan ibu kamu siapa ? Bapak saya adalah bapak almarhum bapak X, dan ibu saya ibu saya adalah almarhum ibu Y yang kesemuanya sudah almarhum. Masih

46

ingatkah kamu seperti apa rupa bapak dan ibu kamu? Tidak tahu sama sekali, karena menurut cerita saya ditinggal ayah saya waktu masih dalam kandungan; sedangkan ibu saya meninggal ketika saya masih usia dua tahun. Jadi kamu masih belum pernah melihat wajah bapak kamu? Kalau dengan wajah ibu kamu bagaimana apa masih ingat seperti apa? Saya tidak tahu dua-duanya pak guru. Kalau misalkan ada orang mengatakan bapak X dan ibu Y bukan ayah dan ibu kamu dan bahkan tidak pernah ada di dunia ini bagaimana? Wah saya tidak mau dan saya akan marah, karena itu tidak betul. Bisa saja betul adanya, bagaimana kamu akan menyanggah, karena kenyataanya kamu tidak pernah melihat mereka. Ya tidak pak guru, saya tetap anak bapak X dan ibu Y. Saya tahu itu benar. Saya tahu itu karena saya yakin kalau bapak X dan Ibu Y adalah orang tua saya. Nah kalau begitu sama dengan tahunya orang akan adanya Tuhan. Orang tahu kalauTuhan ada karena mereka yakin kalau Tuhan itu ada. Yakin dulu baru nanti kamu akan tahu kalau Tuhan itu ada. Nah misalnya kakak saya seperti itu menjelaskan kepada saya kan saya tidak akan marah. Belum-belum saya dikatakan kafir, bagaimana saya tidak tersinggung. Sekarang saya tahu dan percaya kalau Tuhan itu ada pak guru. Dari dialog di atas, jelas memberi gambaran pada kita kalau keyakinan adalah kepercayaan berdasarkan sumber dari keyakinan itu sendiri. Dari uraian di atas, di sini bisa dipahami bahwa keyakinan sebagai

sumber

pengetahuan,

bersumber

dari

sumber-sumber

pengetahuan yang lain, seperti pengalaman, penalaran. Intuisi dan wahyu di samping bersumber dari keyakinan itu sendiri. Keyakinan juga bersumber dari para otoritas. Misalnya seorang yang sejak kecil memiliki keyakinan akan agamanya dari sumber otoritas seperti dari

47

orang tua atau dari guru atau tokoh agama yang mengajarinya dan menanamkan keyakinan tadi.

III. MACAM-MACAM PENGETAHUAN Berdasarkan sumber-sumber pengetahuan yaitu Indera, Nalar, Otoritas, Intuisi, Wahyu dan Keyakianan sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembicaraan sebelumnnya, muncul bermacammacam pengetahuan seperti pengetahuan pra ilmiah, pengetahuan ilmiah, pengetahuan kefilsafatan, pengetahuan seni dan pengetahuan keagamaan.

13. PENGETAHUAN PRA ILMIAH Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uaria-uraian sebelumnya, bahwa pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang didapat melalui proses pemikiran yang bergerak dari kutub rasional ke kutub empirik. Pemikiran rasional dengan menggunakan logika deduktif menghasilkan pengetahuan rasional, yang juga disebut dengan pengetahuan a-priori; sedangkan pemikiran pemikiran di kutub empirik dengan alat bantu logika induktif menghasilkan pengetahuan empirik atau pengetahuan a-posteriori. Pengetahuan yang hanya a-priori saja masih belum memenuhi sayarat sebagai pengetahuan ilmiah, oleh karena itu masih masuk dalam katagori pengetahuan pra-ilmiah. Demikian pula pengetahuan a-posteriori sama juga masih masuk dalam ketagori pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan pra-ilmiah ini juga disebut dengan pengetahuan biasa, disebut dengan prescientific knowledge, ordinary knowledge,

48

commonsence knowledge, atau the knowledge of the man on the street, adalah pengetahuan yang muncul dari akal sehat manusia dalam mengenali fenomena dalam kehidupan sehari-hari, baik disengaja atau tidak disengaja. Ini biasa disebut sebagai pengetahuan saja (Wibisono, dkk, 1989). Misalnya kita tahu kalau matahari terbit dari ufuk timur di kala pagi, dan terbenam di ufuk barat di kala sore, selanjutnya akan terbit lagi di ufuk timur lagi besok paginya, dan seterusnya. Pengetahuan lain yang masih belum dikatagorikan sebagai pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang disebut dengan “pseodo”

ilmiah.

Macam

pengetahuan

ini

kelihatan

seperti

pengetahuan ilmiah, tapi sebetulnya tidak ilmiah. Misalnya tipe kepribadian yang didasarkan pada teori temperamen dalam bidang ilmu psikologi termasuk dalam katagori ini.

Teori temperamen

menyatakan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat empat macam cairan yaitu: darah merah, lendir putih, empedu kuning dan empedu hitam. Dominasi dari salah satu cairan tersebut, menentukan tipologi kepribadian manusia. Apabila yang dominan darah merah maka tipe kepribadiannya tipe Sanguinis, bila yang dominan lendir putih, maka tipe kepribadiannya Flegmatis, bila yang dominan empedu kuning, maka tipe kepribadiannya Koleris dan bila yang dominan adalah empedu hitam, maka yang bersangkutan dikelompokkan pada tipe kepribadian Melankolis. Perilaku yang mencirikan dari masingmasing tipe tadi kelihatan ada dalam fakta empiris. Tapi kenyataanya tokoh teori temperamen belum pernah membutikan secara empirik tentang cairan-cairan tadi. Pembahasan tentang teori ini memang kelihatan seprti ilmiah, akan tetapi teori tersebut masih berupa “pseodo” ilmiah. Kelihatan seperti ilmiah tetapi sesungguhnya tidak

49

ilmiah. Dari uraian di atas, pengetahuan yang hanya bersumber dari penalaran saja masih masuk dalam katagori pengetahuan pra ilmiah, dan pengetahuan yang hanya bersumber dari pancaindera/pengalaman saja juga masih masuk dalam katagori pengetahuan pra ilmiah.

14. PENGETAHUAN ILMIAH Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang didapat dari metode science dalam arti suatu proses pemikiran yang bergerak dari kutub rasional ke emprik, dari dari pola deduksi ke induksi, dari kutub a-priori ke a-posteriori dalam sejarah perkembangan sejarah filsafat barat, lahir setelah kehadiran filsafat Kritisisme dari Emmanuel Kant dan dari filsafat Positivisme dari Auguste Comte. Dalam kaitannya dengan hal terebut Darwin menyatakan bahwa setiap hal yang saya pikirkan atau teori yang saya baca, saya usahakan untuk dibuktikan secara langsung , atau saya usahakan untuk menemukan keterkaitan dengan apa yang nantinya dapat saya amati di dunia empirik. Keyakianan saya, kebiasaan berpikir seperti hal tersebutlah yang memungkinkan saya dapat melakukan aktivitas apapun di dunia sains (lihat uraian tentang munculnya istilah science). Ilmu pengetahuan ilmiah menurut William R. Overton, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, ia dipandu atau dibimbing oleh humum-hukum alam, kedua, penjelasannya adalah mengacu pada hukum alam, ketiga, harus diuji atau dibuktikan di dunia empirik, keempat, kongklusinya bersifat tentatif, dalam hal ini kesimpulan ilmiah bukanlah kata final, dan kelima, kesimpulannya masih dapat diuji lagi. Mengacu pada hukum alam dimaksud, adalah didasarkan pada fakta empirik, seperti data yang didapat melalui munculnya

50

istilah teknik eksperimen dalam ilmu kimia, data observasi yang didapat melalui penggalian tanah dan batu atau dengan memanjat gunung dari ahli giologi, serta data hasil observasi tentang cuaca dari stasiun meteorologi (Bird, 2000). Dalam pembicaraan-pembicraan sebelumnya, sudah dikemukakan bahwa pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang didapat melalui proses berpikir yang bergerak dari kutub rasional ke empirik, dari kutub a-priori ke a-posteriori, dari kutub das sollen ke das sein dengan alat bantu logika deduksi ke induksi. Oleh karena itu, jelas bahwa pengetahuan ilmiah bersumber dari dua sumber pengetahuan yaitu penalaran dan panca indera (lihat bab pendahuluan tentang ilmu pengetahuan ilmiah bab metodologi penelitian dan bab munculnya science). 15. PENGETAHUAN KEFILSAFATAN Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam bab pendahuluan, bahwa filsafat berasal dari bahasa Yunani, dari kata “filo” dan “sofia” yang secara harfiah berarti cinta akan kebijaksanaan. Filsafat juga berarti suatu upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistimatis dan menyeluruh dengan dan sedalam-dalamnya dengan cara berpikir yang radikal, terhadap realitas dan hakekat dari tersebut. Berpikir sedalam-dalamnya tentunya, untuk menemukan makna yang sedalam-dalamnya secara menyeluruh dan integral dari segala aspek apa yang dipikirkan. Misalnya dalam memandang manusia, filsafat mengupas manusia secara utuh, tidak membatasi diri pada gejala empirik, bentuk atau jenis gejala apapun dari manusia, sejauh bisa dipikirkan dan mungkin bisa untuk dipikirkan secara rasional, baik

51

yang bersifat metafisis, spiritual, dan sifat universal dari manusia secara utuh, baik yang bisa diobservasi atau tidak bisa diobservasi adalah menjadi kajian filsafat, yang berbeda dengan cara kerja ilmu pengetahuan ilmiah yang bersifat fragmentaris yang mengandalkan pengamatan dan pengalaman inderawi dengan metode observasi dan eksperimen. Kajian filsafat menyangkut objek atau masalah-masalah yang sangat umum, tidak bersangkutan dengan masalah-masalah khusus yang fragmentaris seperti objek dalam ilmu pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak mengkaji berapa persen penduduk Indonesia yang masih berada dalam garis kemiskinan, dan berapa jumalah penduduk yang belum mendapatkan jaminan kesehatan; tetapi mempersoalkan tentang apakah yang dinamakan keadilan sosial itu. Filsafat tidak menanyakan tentang inteligensi, prestasi belajar dan kompetensi seseorang yang jamaknya menjadi kajian dari ilmuawan psikologi dan ahli pendidikan, akan tetapi mempertanyakan apakah yang dimaksud dengan “nilai” serta hakekat dari itu semua. Filsafat berusaha mencari sebab sedalam-dalamnya untuk segala sesuatu yang ada dan mungkin ada (Poedjawijatna, 1980; Poedjawijatna, 1983, dan Wibisono, 1989). Filsafat tidak membicarakan tentang fakta, sekalipun fakta itu sendiri sering menstimulasi manusia untuk berpikir kefilsafatan, seperti kekaguman manusia terhadap fakta keteraturan dari gerak alam ini. Gejala alam yang awalnya masuk dalam pengamatan dan pengalaman manusia dipertanyakan dan dikaji secara spekulatif dengan penalaran manusia. Misalkan seorang ilmuwan berpikir tentang hujan, sebab terjadinya hujan, berapa volume air hujan saat ini dan kemungkinan turunnya hujan yang akan datang dan sebagainya,

52

akan tetapi tidak mengadakan kajian maksud dan tujuan turunnya hujan tadi. Filsafat mempertanyakan dan mencari jawaban tentang adakah kekuatan-kekuatan atau tenaga-tenaga adikodrati yang menciptakan hujan, dan kenapa serta apa tujuannya dan hakekat hujan diciptakan. Upaya mempertanyakan dan mencari jawaban tadi dilakukan secara spekulatif dengan menggunakan nalar, melampaui pengetahuan ilmiah. Filsafat sangat bersangkutan dengan nilai-nilai (values) seperti: nilai moral, estetika, keagamaan dan sosial. Yang dipertanyakan tentang nilai tadi, yaitu nilai yang sedalam-dalamnya atau ultimate values yaitu inti atau hakekat dari nilai tadi. Nilai-nilai dimaksud tadi bersifat abstrak, yang dapat menimbulkan rasa senang, puas dan bahagia bagi orang yang mengalaminya, tidak dapat ditangkap oleh indera, melainkan hanya dapat ditangkap dan dihayati oleh akal budi manusia (Wibisono, 1989). Filsafat

bersifat

kritis

dan

implikatif.

Berbeda

dengan

pengetahuan lain yang biasanya menerima saja suatu konsep, asumsiasumsi dan pengetahuan dengan begitu saja tanpa adanya anaisis kritis sebelumnya.

Misalnya

pengetahuan

agama

yang

asumsinya

didasarkan kepada wahyu sebagai sumber doktrinnya. Menurut Francis Bacon filsafat bergantung kepada nalar manusia, yang berbeda dengan agama yang bersumber dari wahyu. Pengetahuan agama akan diterima saja secara dogmatis oleh pemeluknya tanpa syarat. Filsafat berangkat dari keraguan, bukan dari keyakinan seperti pengetahuan agama, dengan menggunakan nalar berusaha mengadakan analisis secara kritis terhadap asumsi-asumsi tadi untuk mengungkapkan arti dan keabsahannya, serta menentukan batas-batas penerapannya. Kajian mendalam dari dunia filsafat, akan memberikan implikasi-

53

implikasi atau akibat-akibat selanjutnya. Artinya, kalau suatu masalah sudah terjawab atau diketemukan pemecahannya, maka akan muncul pertanyaan-pertanyaan, atau problema-problema baru yang saling berkaitan dengan problema-problema sebelumnya. Filsafat yang tidak membahas tentang fakta tadi, berusaha untuk mengadakan kajian spekulatif terhadap alam semesta secara mendalam dan menyeluruh sampai pada hakekatnya sebagaimana yang telah diuraikan di atas tadi, jelas bersumber dari penalaran sekalipun mungkin distimulasi oleh fakta empiris. Dalam hal ini Rosenberg menegaskan bahwa filsafat adalah praktek dari kegiatan berpikir. Periksa juga urian tentang filsafat dalam bab pendahuluan ( Rosenberg, 1984, Wibisono, 1989, Russell, 2007 dan Magee, 2008)..

16.

PENGETAHUAN AGAMA Pengetahuan agama bidang kajiannya mencakup juga masalah-

masalah yang berada di luar jangkauan indera manusia. Agama bukan berasal dari manusia, tetapi berasal dari Tuhan melalui wahyuNya. Berbeda dengan filsafat yang dimulai dengan kekaguman dan keraguan serta keingin tahuan, agama dimulai dari iman atau keyakinan terhadap wahyu tadi. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Francis Bacon berpendapat bahwa agama harus dipisahkan dari filsafat, bukannya dicampur adukkan seperti pemikiran kaum Skolastik. Kenapa harus dipisahkan? Karena filsafat tergantung dari akal manusia, sedangkan agama yang bersumber dari wahyu hanya bisa dipahami dari wahyu itu sendiri. Pengetahuan agama juga bersumber dari kayakinan terhadap kebenaran wahyu, atau dari keyakinan itu sendiri. Hal tersebut berbeda dengan pengetahuan

54

ilmiah atau pengetahuan lainnya yang bukan berangkat dari keyakinan, tetapi berangkat dari ketidak tahuan dan keraguan seperti filsafat. Hanya satu hal yang tidak dapat diragukan kata Rene Descartes. Mengenai satu hal ini tidak ada seorangpun yang dapat menipu, yaitu bahwa aku ragu-ragu. Aku meragukan segala sesuatu. Keraguan ini bukan ilusi, akan tetapi adalah realita. Karena aku meragukan, maka aku berpikir. Karena aku berpikir, maka aku ada “cogito ergo sum.” Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pengetahuan agama bersumber dari wahyu dan keyakinan yang harus diterima secara dogmatis. Kalau ada peranan dari penalaran, panca indera dan sumber-sumber pengetahuan yang lain, tidak lebih dari sekedar alat bantu untuk memahami isi dari wahyu yang sudah diyakini tadi, untuk lebih memperkuat keyakinan yang ada. Kenapa dikatakan hanya sebagai alat bantu bukan sebagai sumber, karena kalau penalaran atau indera manusia tadi masih belum sampai menjangkau akan kebenaran wahyu tersebut, keyakinan akan kebenaran wahyu tadi sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk tergoyahkan. Artinya masuk akal atau tidak masuk akal, empirik atau tidak empirik wahyu yang menjadi sumber pengetahuan agama tadi, tetap akan diyakini kebenarannya secara dogmatis oleh pemeluk agama dimaksud (Hadiwijono, 1980 dan Russell, 2007).

17.

PENGETAHUAN SENI Menurut Plato, karya seni menciptakan daya tarik yang kuat

terhadap indera manusia, karena karya seni itu sendiri merupakan refleksi dan representasi dari alam yang ditangkap oleh indera. Daya tarik tadi muncul karena keindahan suatu karya seni. Semakin indah

55

sebuah karya seni, semakin kuat pula daya tariknya secara inderawi. Plato yang beranggapan bahwa apa yang ditangkap oleh indera adalah bayang-bayang semu dari alam ide. Karya seni adalah tiruan dari bayang-bayang semu tadi. Seniman sebagai pencipta karya seni hanyalah meniru keindahan yang ada di dunia ini, yang merupakan penjelmaan dari keindahan absolut yang ada di dunia ide. Jadi dengan demikian karya seni adalah imitasi dari imitasi.

Oleh sebab itu

baginya, karya seni akan menipu manusia secara rangkap, karena marupakan tiruan dari sesuatu yang kurang jelas. Seni hanya meramaikan hal-hal yang fana di dunia ini, dan hanya memperkuat kohesivitas antara emosi manusia dengan kefanaan. Berbeda dengan Plato, Socrates memandang karya seni bukanlah imitasi dari alam ide, tetapi imitasi dari alam seperti apa adanya. Walaupun karya seni hanyalah imitasi atau tiruan dari alam apa adanya, tetapi hal tersebut merupakan kreasi manusia yang akan membawa kepada kebaikan bagi kehidupan manusia itu sendiri ( Wibisono, 1989 dan Magee, 2008). Terlepas dari bagaimana perbedaan pandangan antara Plato dan Aristoteles terhadap dunia seni tadi, di sini ada gambaran jelas bahwa salah satu sumber dari pengetahuan dari mana orang dapat berkarya seni adalah “indera.” Menurut Tolstoy (Wibisono, 1989), seni adalah kegiatan mengekspresikan pengalaman-pengalamannya kepada orang lain, sehingga orang lain juga merasa mendapatkan pengalaman yang sama. Sebagai contoh bahwa seni bersumber dari pengalaman inderawi manusia, mari kita simak karya seni musik dari Iwan Fals. Berikut ini adalah petikan sebagian dari lirik-lirik Lagu Ethiopia sebagai berikut:

56

Dengar rintihan berjuta kepala Waktu lapar menggila Hamparan manusia tunggu mati Nyawa tak ada arti La la la la - - - - - - - Ethiopia Ethiopia Ethiopia Ethiopia Ethiopia Ethiopia Ethiopia Ethiopia Lalat lalat berdansa cha cha cha Berebut makan dengan mereka Tangis bayi ditetek ibunya Keringkan air mata dunia Obrolan kita di meja makan Tentang mereka yang kelaparan Lihat sekarat di layar TV Antar kita pergi ke alam mimpi

Dari lirik lagu di atas, jelas penggubahnya atau pencipta lagu tersebut termasuk pula karya-karya seni musik yang lain tentunya, digubah oleh penciptanya berdasarkan pengalaman inderawi. Contoh lain adalah sebuah lukisan yang sangat fenomenal, sangat terkenal yaitu lukisan Mona Lisa karya dari pelukis Leonardo Da Vinci. Sehubungan dengan figur Mona Lisa dalam lukisan tadi, ada yang beranggapan bahwa sosok Mona Lisa yang menjadi objek lukisan tadi adalah ibu dari Leonardo, sehingga ada dugaan sementara dari sudut pandang psikologis si pelukisnya mengalami kompleks ibu, atau fiksasi ibu. Konon ada temuan baru di sebuah Universitas di Jerman, kalau sosok Mona Lisa adalah seseorang yang merupakan istri

57

walikota yang rumahnya ada di seberang jalan di depan rumah Leonardo. Kalau ada di antara sinyalemen-sinyalemen di atas tadi benar adanya, maka dengan demikian karya seni yang berupa lukisan sosok Mona Lisa tersebut, bersumber dari pengamatan atau pengalaman inderawi pelukisnya. Sisi lain dari suatu karya seni adalah sisi yang non inderawi. Seni adalah aktivitas manusia yang muncul dari kehidupan keindahan afeksinya sehingga dapat menggerakkan emosi dan jiwa manusia yang menikmatinya (lihat Wibisono, 1989). contoh dua karya seni musik yang berbeda aliran, yaitu musik yang beraliran dangdut dari Rhoma Irama dan aliran pop dari Iwan Fals. Lagu gubahan Rhoma Irama dengan lirik-lirik yang begitu puitis, religius bahkan kadang-kadang filosofis, dengan aransmen dan intrumen yang cukup rumit, memang tampak sekali berbeda dari musik Iwan Fals yang syairnya gamblang bersahaja, dengan aransmen dan instrumen yang bertumpu pada gitar akustik, akan tetapi kedua-duanya sama-sama dapat membius, dan membuat histeria para penonton penggemarnya masing-masing. Kenapa ini terjadi? Ini terjadi karena konon Rhoma Irama kalau mencipta lagu sampai berbulan-bulan dan Iwan Fals sampai berminggu-minggu dengan memilih tempat tenang di puncak. Untuk apa? Kalau memang itu benar mereka mencari tempat tenang untuk berintuisi yang memungkinkan untuk mendapatkan inspirasi dalam kaitan dengan penciptaan karyanya tadi. Pengamat musik almarhum Hary Rusli dalam sebuah

dialog interaktif di sebuah stasiun TV

menyatakan bila sebuah karya seni memiliki sentuhan intuisi yang kuat, maka karya seni itu seperti hidup, punya nyawa sehingga dapat menghipnotis atau membius para penikmatnya seperti yang terjadi

58

pada fans-fans Rhoma Irama dan Iwan Fals tadi. Mengenai lukisan Mona Lisa, sering kali orang memperbincangkannya. Apanya yang menarik dari lukisan tersebut sehingga memiliki nilai jual dengan nominal yang sangat tinggi? Tentang harga yang fantastis tadi, banyak orang berujar “hampir tidak masuk akal” (priksa gambar no. 4).

Gambar no. 4. Lukisan Mona Lisa Sumber https://ykyscreamo.files.wordpress.com/2012/02/monalisa.jpg?w=690 Tanggal 25 Mei 2015

Kelihatan dari lukisan di atas, Mona Lisa ya tidak cantik dan hampir tidak ada sisi-sisi menariknya secara fisik. Akan tetapi lukisan itu memiliki harga nominal yang hampir tidak bisa diterima akal sehat orang-orang kebanyakan. Tetapi bagi orang yang memang memiliki jiwa seni dan memiliki apresiasi pada karya seni yang tinggi, megatakan bahwa bila memandang lukisan Mona Lisa, seolah-olah ia hidup, memiliki jiwa dan mengajak berkomunikasi dan berinteraksi dengan penikmatnya. Kenapa ini terjadi? Ini terjadi rupanya disebabkan

lukisan tadi memiliki sentuhan intuisi yang dalam.

59

Leonardo tidak sekedar mencorat-coret kanvas sehingga terbentuklan gambar si Mona Lisa.

Ini dapat dilihat kalau Leonardo memulai

melukis Mona Lisa tadi sejak tahun1503 M rencananya sampai dengan tahun1506 M. Kelihatannya tahun itu, masih belum rampung, dan dia betul-betul menyelesaikannya pada tahun 1507. Kenapa begitu lama? Ini bisa dimaklumi seperti telah disinggung diatas tadi, Leonardo tidak hanya sekedar mencorat-coret, tapi goresan-goresan tadi sangat mungkin dibimbing oleh intuisinya sampai selesai selama empat tahun. Wajarlah kalau Mona Lisa seolah-olah dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan penikmatnya, serta mungkin dirasa memiliki sisi-sisi magis yang non empirik lainnya. Dari uraian di atas, kiranya dapat dipahami bahwa karya seni bersumber dari pengalaman inderawi, seperti Iwan Fals, Rhoma Irama dan pemusik-pemusik yang lain serta seniman-seniman yang lain tentunya, mencipta lagu dengan mengamati kasus yang terjadi di sekitarnya baik secara langsung atau melalui media-media yang ada seperti buku yang ditulis oleh pengarangnya berdasarkan pengalaman empiriknya. Seniman Ingris yang termasyhur “Shakespeare” misalnya menyusun salah-satu naskah dramanya, seperti yang dikutip Magee (2008), karena terinspirasi oleh buku yang ditulis Machiavelli yang disusun berdasarkan pengamatan dan pengalaman empiriknya di lingkungan dia berada. Leonardo Da Vinci melukis Mona Lisa entah mana yang benar, apa itu ibunya atau istri walikota yang rumahnya di depan tempat ia tinggal, berdasarkan pengamatan dan pengalaman empiriknya juga. Akan tetapi tingginya nilai dari karya-karya seni tadi, rupanya hampir sema-mata karena sentuhan “intuisi” yang telah

60

memberikan jiwa terhadap karya seni tersebut, sehingga memiliki nilai yang sangat tinggi.

IV. SARANA PENDUKUNG DALAM PROSES KEILMUAN 18. LOGIKA. Logika adalah cabang dari filsafat yang membahas tentang metode-metode, azas-azas, aturan-aturan yang harus dijadikan acuan dalam berpikir tepat, lurus dan benar, pertama kali disusun secara sistematik oleh Arestoteles. Sekalipun demikian dalam sejarahnya, logika masih belum dikenal pada masa Arestoteles, karena Arestoteles sendiri menggunakan istilah “analitika.” Istilah ini digunanakan apabila ia mengadakan kajian-kajian atau pembahasan-pembahasan mengenai argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari keputusankeputusan yang benar. Apabila kajian atau pembahasan-pembahasan ditujukan pada argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis yang masih belum pasti kebenarannya, ia menggunakan istilah “dialektika.” Istilah logika pertama kali digunakan pada abad ke-1 SM, oleh Cicero, dalam artian sebagai “seni dalam berdebat.” Logika dalam pengertian berpikir benar, lurus, seperti yang dipahami sekarang ini baru muncul sekitar permulaan abad ke-3 M yang dikemukakan oleh Alexander Aphrodisias. Sekalipun Aristoteles mengarang banyak buku tentang logika, tetapi ia sendiri tidak memasukkan logika sebagai rumpun pengetahuan, akan tetapi sebagai alat untuk mendapatkan dan memperaktekkan ilmu pengetahuan yang mendahului ilmu pengetahuan itu sendiri. Ini merupakan jasa besar dari Aristoteles yang telah menemukan dan menyusun secara sistematis “logika” yang dengan demikian, tidak dapat dibantah

61

apabila dikatakan bahwa dengan logika yang disusunnya ia memiliki jasa besar dalam sejarah perkembangan intelektual manusia. Logika di sini, dimaksudkan sebagai pengetahuan dan kecakapan berpikir lurus, tepat atau berpikir benar. Berpikir di sini penulis maksudkan sebagai padanan dari kata bernalar (lihat bab penalaran). Objek materia dari logika adalah berpikir; sedangkan objek formalnya adalah berpikir atau bernalar yang benar.

Dikatakan lurus, tepat atau benar, bila

prosesnya sesuai dengan aturan-aturan atau hukum-hukum yang ditetapkan dalam logika. Pemikiran-pemikiran yang menggunakan logika ini akan menghasilkan kebenaran pengetahuan dengan cara yang lebih aman dan lebih mudah, sehingga segala macam kesalahan dan kesesatan dalam berpikir dapat dihindarkan (Ofm, 1983, Bertens, 1999, Magee, 2008 dan Sidarta, 2012). Sebelum melanjutkan pembicaraan tentang logika, di sini mungkin ada baiknya apabila sedikit mengulas tentang apa itu berpikir. Proses berpikir atau bernalar tentang suatu objek, dalam istilah psikologi dikenal dengan sebutan proses kognitif. Dalam teori dari Harry Stack Sullivan ada tiga macam proses atau tahapan kognitif yaitu proses prototaksis, parataksis dan sintaksis.

Tahapan

prototaksis ini adalah kondisi kognitif anak pada bulan-bulan awal kehidupan, yaitu bayangan-bayangan dan perasaan-perasaan yang mereka alami. Akan tetapi, hal tersebut dianggap tidak penting bagi mereka yang mengalami. Tahapan berpikir parataksis, adalah kemampuan berpikir kausalitas individu terhadap dua atau lebih peristiwa yang muncul pada waktu yang sama. Akan tetapi peristiwaperistiwa tersebut tidak ada hubungannya sama sekali (hall & Lindzey, 1985),.

62

Masih segar dalam ingatan kita peristiwa pertandingan final perebutan juara antara kesebelasan Belanda dan Kesebelasan Spanyol dalam kejuaraan piala dunia di Barcelona pada tahun 2010 yang lalu. Dalam pertandingan final tersebut yang menang adalah kesebelasan Spanyol.

Yang

sangat

menggemparkan

waktu

itu

bukan

kemenangannya, akan tetapi peranan “Gurita Paul” dalam menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dalam persepsi sebagian orang pada waktu itu gurita Paullah yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kesebelasan Belanda kalah dari kesebelasan Spanyol karena belalai gurita Paul memeluk bendera Spanyol (lihat gambar no. 5).

Gambar no. 5. Gambar gurita Paul Sumber: https://suhardi62.files.wordpress.com/2010/07/in-reuterscom.jpeg?w=300&h=200. Tanggal 25 mei 2015

Konon karena peristiwa tersebut, banyak orang Belanda terutama para pencinta olah raga sepak bola begitu marah pada si gurita. Bahkan beritanya, ada seorang kaya, yang begitu emosionalnya

63

mau membeli dengan harga mahal si gurita Paul, demi untuk melampiaskan amarahnya dengan cara mencincangnya. Inilah sebuah contoh berpikir parataksis yang menganggap bahwa penyebab kekalahan kesebelasan Belanda tadi, karena ulah si Paul. Padahal keduanya, yaitu kekalahan dan kemenangan di antara kedua kesebelasan tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan gurita Paul. Tahapan berpikir selanjutnya adalah tahapan sintaksis. Sintaksis adalah tahapan berpikir atau bernalar paling tinggi tingkatannya, yaitu sudah menggunakan lambang-lambang, baik bilangan atau bahasa yang telah memiliki arti baku dalam suatu komunitas tertentu. Dalam tahap ini manusia sudah menggunakan alasan-alasan logis dalam berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain. Dari berpikir atau bernalar sintaksis ini pula manusia dapat memanfaatkan pengalaman masa lalu untuk kepentingan masa sekarang, dan pengalaman masa lalu, serta apa yang terjadi pada saat ini, dapat dijadikan sebagai dasar untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi dan apa yang dapat dilakukan di masa-masa yang akan datang. Pada tahapan bernalar sintaksis ini orang mulai membutuhkan suatu cara atau metode dalam bernalar agar supaya mendapatkan hasil yang benar dan akurat, yaitu logika (hall & Lindzey, 1985). Ofm membedakan logika menjadi dua macam yaitu logika “kodrati” dan logika “ilmiah.” Tentang logika kodrati ini, di sini penulis lebih cenderung menggunakan istilah penalaran dibandingkan dengan logika. Sebab logika sudah memiliki arti khusus dalam berpikir atau bernalar, yaitu metode bernalar atau berpikir lurus dan berpikir yang benar. Jadi kedua jenis penalaran tersebut di sini

64

digunakan istilah bernalar kodrati dan bernalar ilmiah atau bernalar filsafati. Bernalar kodrati adalah cara bernalar yang sifatnya spontan, yang

dipengaruhi

keinginan-keinginan

dan

kecenderungan-

kecenderungan yang sifatnya sujektif, dan disebabkan karena keterbatasan-keterbatasan pengetahuan dan wawasan individu yang bernalar. Bernalar kodrati ini, adalah tahapan dalam proses berpikir atau proses kognitif menurut teori Harry Stack Sullivan sebagaimana yang telah dikemukakan

di atas, yaitu bernalar atau berpikir

parataksis. Dalam bernalar parataksis ini individu sudah berusaha untuk mencari hubungan kausal antara dua objek atau lebih atau dua peristiwa yang sebetulnya tidak ada hubungannya sama sekali. Bernalar parataksis ini dilakukan individu karena motivasi-motivasi subjektif atau karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan yang besangkutan, sehingga kesesatan dalam berpikir tidak dapat terhindarkan, yang akibatnya kita akan menjumpai kesulitan dalam mendapatkan kebenaran pengetahuan. Bernalar filsafati adalah bernalar dengan menggunakan logika, atau menurut teori Sullivan di atas yaitu bernalar pada tahapan sintaksis di mana logika dibutuhkan sebagai alat bantunya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Godfried Wilhem Leibniz memandang logika sebagai metode analitis yaitu logika deduksi, serta klaim-klaim pengetahuan dunia empirik dinyatakan sebagai metode sintetik atau logika induksi. Artinya di dalam logika filsafati ada dua metode yaitu metode induksi dan deduksi (Ofm, 1983; Russell, 2007 dan Magee, 2008). Induksi. Logika induksi atau penalaran induktif adalah metode dalam menarik kesimpulan umum dari fakta-fakta empiris secara objektif. Kesimpulan umum tersebut merupakan pengungkapan

65

terhadap fenomena (sifat dan perilaku) dari alam semesta. Penarikan kesimpulan umum secara objektif dari fakta-fakta empiris tadi bertujuan untuk menemukan hukum-hukum atau teori-teori yang akan membentuk landasan ilmu pengetahuan yang benar dan terpercaya. Metode induksi ini digunakan untuk menemukan definisi umum dari suatu masalah dengan cara mengadakan sintesa terhadap kasus-kasus atau fakta-fakta khusus. Bagi Socrates definisi-definisi umum atau pengetahuan umum ini bukanlah sekedar dibutuhkan dalam ilmu pengetahuan, akan tetapi yang paling utama juga dibutuhkan dalam etika seperti: tentang kebenaran, keadilan, persahabatan, keberanian, kesalehan dan lain-lain. Francis Bacon melalui metode induksi, berusaha menemukan sifat umum dari kasus-kasus khusus, dengan tingkat generalisasi yang masih rendah pada awalnya. Kemudian disusul lagi dengan generalisasi kedua, ketiga dan seterusnya, dan selanjutnya diujikan lagi dalam lingkungan baru,

sehingga pada

akhirnya ditemukan hukum umum yang dianggap benar yang ia sebut denga hukum “prerogatif “ (Chalmer, 1983 dan Magee, 2008). Sebagai contoh: pertama, kalau ditemukan fakta-fakta khusus bahwa kucing bermata dua, kambing bermata dua, kerbau bermata dua, sapi bermata dua, harimau bermata dua gajah bermata dua dan sebagainya, kita lalu menarik kesimpulan umum dari fakta-fakta khusus tadi bahwa semua binatang bermata dua. Kedua, dalam proses induksi berikutnya ditemukan fakta-fakta bahwa kucing berkali empat, kambing berkaki empat, kerbau berkaki empat, sapi berkaki empat, harimau berkaki empat, dan gajah berkaki empat, sampailah kita pada kesimpulan umum lagi bahwa semua binatang berkaki empat. Dari dua kesimpulan umum tadi ditemukan kesimpulan umum yang lebih

66

luas, yaitu semua binatang bermata dua dan berkaki empat. Ketiga, misalnya dalam proses induksi ini ditemukan fakta-fakta bahwa kucing adalah binatang karnifora, kambing binatang herbifora, kerbau binatang herbifora, sapi binatang herbifora, harimau binatang carnifora, dan gajah binatang herbifora, selanjutnya sampailah kita pada kesimpulan bahwa tidak semua binatang sama ada yang karnifora dan ada yang herbifora. Dari ketiga kesimpulan tadi sampailah kita pada kesimpulan yang lebih umum lagi, yang disebut dengan generalisasi, yaitu semua binatang sama memiliki dua mata dan empat kaki, akan tetapi tidak sama makanan yang dimakannya, ada yang makan daging dan ada yang makan daun-daunan. Hasil yang didapat dari proses penalaran induktif, dapat berguna untuk proses penalaran lebih lanjut, yaitu proses penalaran induktif itu sendiri sebagaimana yang telah dicontohkan di atas, serta proses penalaran deduktif dalam proses-proses keilmuan. Uraian di atas tadi, hanyalah sebagai contoh saja, karena kenyataanya ada binatang yang berkaki dua, yaitu berbagai binatang sejenis unggas. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang dibangun atas dasar fakta-fakta yaitu apa yang kita lihat, apa yang kita raba, apa yang kita dengar atau segala apa yang kita tangkap dengan indera kita, melalui observasi dan eksperimen (Chalmer, 1983 dan Magee, 2008 dan Sidarta, 2012). Deduksi. Di muka sudah dikemukakan bahwa logika induksi adalah cara penarikan kesimpulan umum dari kasus-kasus khusus. Sebaliknya, logika deduksi adalah cara penarikan kesimpulan khusus dari kaidah-kaidah umum. Di sini akan dikemukakan dua buah contoh deduksi

yaitu “sillogisme kategoris dan sillogisme hipotetik

kondisional.”

67

Sillogisme katagoris terdiri dari sillogisme katagoris tunggal dan sillogisme katagoris tersusun. Sillogisme katagoris tunggal adalah salah satu bentuk dari logika deduksi di mana penyimpulannya didasarkan kepada dua keputusan atau dua premis yang mendahului kesimpulan tadi. Sillogisme katagoris tunggal terdiri dari tiga premis, yaitu premis mayor, premis minor dan premis kesimpulan. Sillogisme ini juga terdiri dari tiga term, yaitu term subjek (S), term predikat (P), dan term antara (M). Periksa contoh berikut:

1. Setiap binatang yang bukan unggas, berkaki empat

M-P

2. Kambing adalah binatang yang bukan unggas

S-M

3. Jadi, kambing adalah binatang yang berkaki empat

S–P

Contoh di atas, menggambarkan sillogisme dengan tiga premis, yaitu premis mayor no.1, premis minor no.2 dan premis kesimpulan no.3. Ketiga premis tersebut terdiri dari tiga term yaitu term subjek, term medium dan term predikat. Sujek pada premis mayor menjadi medium (M) dan predikat pada premis minor juga menjadi medium (M). Kesimpulan dari sillogisme tersebut yaitu subjek pada premis minor (S) menjadi subjek pada premis kesimpulan, dan predikat pada premis mayor menjadi predikat pada premis kesimpulan (P) dengan menghilangkan kedua term medium (M). Term medium memang harus dihilangkan, dan dalam hukum logika term medium tidak boleh masuk dalam kesimpulan. Sillogisme katagoris tersusun adalah sillogisme yang terdiri

dari deretan premis-premis di mana

kesimpulan dari suatu premis menjadi premis untuk kesimpulan berikutnya. Sebagai contoh:

68

Awal dari kecenderungan tindakan korupsi adalah ketidak jujuran. Tanda orang yang tidak jujur adalah suka berbicara bohong. Orang yang suka berbicara bohong juga tidak jujur dalam dunia akademik. Orang yang tidak jujur dalam dunia akademik adalah orang yang suka menyontek. Si Amin suka berbicara bohong dan suka menyontek. Jadi kesimpulannya, si Amin memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan korupsi Sillogisme hipotetik kondisional terdiri dari

dua unsur, yaitu

antiseden dan konsekuen. Inti dari keputusan kondisional yang tergambar dalam premis mayornya ialah hubungan antara antiseden dan konsekuen. Misalnya, jika A (antiseden) maka B (konsekuen). Artinya jika peristiwa A terjadi, maka peristiwa B akan muncul sebagai akibat dari peristiwa A tadi. Kalau dijabarkan dalam kalimat “Karena sifatnya tidak jujur, maka ada kecenderungan untuk korupsi.” Sifat tidak jujur tadi merupakan antiseden dari adanya kecenderungan berperilaku korupsi. Dalam rangka proses keilmuan atau proses penelitian ilmiah, peneliti biasanya bekerja dengan hipotesis. Dalam suatu rangkaian penelitian ilmiah, hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang akan dipecahkan dalam kegiatan tersebut. Jawaban sementara ini akan membimbing peneliti dalam uji hipotesis di dunia empiris. Jawaban sementara yang bernama hipotesis tadi disusun atau dirumuskan atas dasar kajian teoritik atau kajian pustaka yang sudah diakui kebenarannya secara keilmuan. Dalam sebuah eksperimen misalnya, seorang peneliti di dunia pendidikan ingin mengungkapkan tentang adanya pengaruh frekuensi minum susu terhadap prestasi belajar. Hipotesisnya berbunyi “semakin banyak

69

frekuensi minum susu, prestasi belajar anak akan meningkat.” Tentunya hipotesis tadi tidak muncul secara tiba-tiba tanpa proses sebelumnya. Proses mengenai hubungan

sebelumnya dimaksud,

adalah penjelasan

rasional atau dikenal pula dengan istilah

dinamika psikologis antara frekuensi minum susu dengan prestasi belajar, periksa cotoh berikut: Jika banyak frekuensi minum susu, maka kebutuhan gizi anak akan tercukupi (jika A maka B). Jika kebutuhan gizi anak tercukupi, maka pertumbuhan fisiologisnya akan baik (jika B maka C). Jika

pertumbuhan

fisiologis

anak

baik,

maka

sistem

persyarafan dan sel-sel otaknya akan baik (jika C maka D). Jika sistem persyarafan anak dan sel-sel otaknya baik, maka inteligensinya akan tinggi (jika D maka E). Jika inteligensi anak tinggi, maka kemampuan menyerap pelajaran juga akan baik (jika E maka F). Jika kemampuan menyerap pelajaran baik, maka prestasi belajar anak akan tinggi (jika F maka G). Kesimpulannya, jika anak banyak mengkomsusi susu, maka prestasi belajarnya akan tinggi (jadi jika A maka G). Sehubungan dengan dinamika psikologis tadi, peneliti harus mengacu pada teori-teori dalam kajian pustaka yang sudah diakui kebenarannya di dunia keilmuan. Pustaka dimaksud adalah buku-buku teks, jurnaljurnal atau makalah-makalah ilmiah sebagaimana yang dicontohkan di atas, tentunya pustaka yang menjelaskan tentang gizi, tentang anatomi, tentang sistem persyarafan, tentang teori inteligensi, dan tentang teori belajar. Dalam proses kajian tadi, logika deduksi

70

hipotetik kondisional ini dapat digunakan (Ofm, 1993, Sidarta, 2008 dan Molan 2012). Dalam kegiatan ilmiah dua jenis logika yang biasa digunakan, yaitu logika deduksi dan logika induksi. Logika deduksi sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya, digunakan sebagai alat bantu untuk memformulasikan hipotesis, sehingga hipotesis yang diajukan memiliki kebenaran secara rasional atau dikenal dengan kebenaran koheren (periksa bab kebenaran pengetahuan). Logika induksi digunakan sebagai alat bantu untuk menganalisis data empirik, dalam rangka menguji untuk menentukan diterima atau tidak, hipotesis yang diajukan tadi. Mengenai logika sebagai alat bantu di dalam proses keilmuan, Godfried Wilhem Leibniz menyatakan bahwa kedua jenis logika induksi dan deduksi tadi pada abad ke 20 ini, dianggap sebagai metode yang fundamental dalam dunia keilmuan, terutama bagi jenis pengetahuan yang berkembang dari aliran filsafat “positivisme logis.” (Russell, 2007 dan Magee, 2008).

19. BAHASA Perbedaan dan kelebihan manusia dari mahluk Tuhan yang lain, bukan hanya terletak pada kemampuan menalarnya, akan tetapi juga kamampuannya dalam berbahasa. Bahasa adalah serangkaian lambang bunyi, di mana rangkaian-rangkaian lambang bunyi tersebut membentuk suku kata dan rangkaian suku kata menjadi kata sebagai simbol dari objek tertentu

di mana simbol tersebut memiliki arti

tertentu pula. Misalnya kata Tuhan, alam, manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, kata agama,

agamawan, filsafat, filosof, ilmu,

ilmuan, sains serta kata-kata lainnya adalah lambang atau simbol

71

yang terbentuk dari rangkaian lambang bunyi sebagaimana dimaksud, dengan arti dan maksudnya sendiri-sendiri yang melekat pada simbol atau lambang tadi. Kumpulan dari kata, atau rangkaian dari sejumlah kata adalah kalimat. Serangkaian kalimat adalah paragrap. Paragrap ini adalah satuan dari sejumlah kalimat yang merupakan bagian dari pokok bahasan dari sebuah karangan. Misalnya sebuah karya tulis yang berisi lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub bab atau sebuah pokok bahasan, dan sub bab tadi terdiri dari pragrap-paragrap atau alinea-alinea. Jadi, di sini sebuah karya tulis seperti skripsi misalnya, terdiri dari susunan kata yang berupa kalimat, dan paragrap yang terdiri dari sejumlah kalimat, dan sub bab yang terdiri dari paragrap-paragrap dan bab yang terdiri dari sejumlah sub bab, dan karya tulis tadi yang berupa skripsi, tesis atau disertasi dan semacamnya, terdiri dari sejumlah bab. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, kelebihan manusia dari mahluk lain adalah karena manusia memiliki suatu kemampuan yaitu bahasa. Karena kemampuan bahasanya, manusia dapat berpikir teratur dan sistimatis, serta memungkinkan mereka mengembangkan kebudayaannya. Karena bahasa, menusia dapat mengakumulasikan dan mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya, yang mengiringi dan mengantarkannya untuk terus berkembang menuju puncaknya yang optimal seperti saat ini dan selanjutnya. Ini berbeda dengan binatang yang tidak punya bahasa, sehingga mereka tidak bisa beranjak dari kondisinya semula, sejak awal mereka hadir di dunia ini. Sebagai contoh misalnya, burung manyar yang dikenal dengan kemampuannya

membuat

sarang

yang

begitu

indah.

Tetapi

kemampuan tersebut sampai sekarang, tetap begitu saja tidak berubah

72

sejak awal burung manyar diciptakan oleh Tuhan dan seterusnya mungkin akan tetap seperti itu. Membuat sarang hanya dari bahan daun-daun kering, padahal di sekitarnya banyak bahan yang lebih baik dengan warna yang beraneka macam, seperti sobekan kertas, plastik, tali rafia dan sebagainya, yang berserakan. Bahasa bagi manusia sebagai alat atau sarana untuk mengadakan abstraksi terhadap pemikiran-pemikiran, pengalaman-pengalaman empirik atau pengalaman-pengalaman

spiritualnya kemudian

mengekspresikan serta mengkomunikasikannya baik melalui lisan atau tulisan ke dunia eksternal. Saat ini bahasa merupakan pusat perhatian para ahli dalam bidang filsafat, ahli linguistik, serta ahli dalam bidang-bidang keilmuan yang lain. Kiranya makin disadari bahwa bahasa adalah merupakan suatu alat komunikasi dalam rangka proses transmisi pesan-pesan dalam kehidupan kita sehari-hari dari orang satu ke orang lain, serta dalam rangka transmisi atau publikasi produk keilmuan. Penggunaan bahasa yang benar, seperti penulisan, pemilihan kata serta strukturnya,

adalah penting agar supaya

informasi atau pesan dapat ditangkap makna dan tujuannya oleh penerima pesan secara akurat. Penggunaan bahasa tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia baik yang menyangkut fenomena abstrak ataupun gejala-gejala yang kongkrit dalam kehidupan seharihari (Wibisono, 1989 dan Suriasumantri, 1998). Sebagaimana yang telah disinggung dalam pembicaraan di atas, dengan bahasa manusia dapat mengembangkan budayanya. Melalui bahasa manusia dapat menciptakan dan mengekspresikan pemikiranpemikiran konseptualnya, baik dalam bidang keilmuan atau bidangbidang lainnya, sehingga dengan demikian pemikiran tersebut dapat

73

diketahui, dipelajari, serta dikoreksi untuk diadakan pengujian di dunia empirik dan diadakan refleksi ulang oleh yang bersangkutan atau oleh orang lain. Refleksi ulang, dimaksudkan untuk memperbaiki bila pemikiran tersebut perlu diperbaiki, serta menambah apabila pemikiran konseptual tadi dianggap masih kurang, sehingga akhirnya didapatkan pemikiran-pemikiran konseptual yang benar. Pemikiranpemikiran konseptual yang benar tersebut akhirnya akan membuahkan produk yang berupa karya keilmuan dan teknologi atau produk hukum, norma dan etika yang yang benar pula yang dapat dijadikan sebagai dasar perilaku manusia dalam menempuh kehidupannya. Bahasa

digunakan

manusia

dalam

berbagai

macam

bidang

kehidupannya, misalnya dalam komunikasi sehari-hari, bahasa dalam dunia politik, seni, hukum, dan bahasa yang digunakan dalam bidang keilmuan, yang dinamakan ragam bahasa. Khusus ragam bahasa yang digunakan dalam bidang ilmiah, adalah bahasa yang akan diuji kebenarannya. Memang, dalam hal ini yang diuji kebenarannya adalah substansi dari keilmuan tersebut, bukanlah bahasanya. Akan tetapi walaupun demikian, untuk menghindari bias dari substansi yang disampaikan atau yang dikomunikasikan, penggunaan bahasa yang benar dan baku, sangatlah menjadi tuntutan. Di Indonesia pengunaan bahasa yang menyangkut kosakata, ejaan, dan gramatika yang baku sebagaimana yang tertuang dalam Pedoman Ejaan Bahasa Yang Disempurnakan (EYD) sebagai salah satu acuan yang menjadi tuntutan dalam penulisan karya tulis ilmiah.

74

20. MATEMATIKA Matematika merupakan salahsatu indikator dari tercapainya puncak kegemilangan intelektual manusia. Suatu paradoks yang terjadi, bahwa matematika yang merupakan bentuk pemikiran abstrak mampu memberikan kemampuan untuk menguasai dunia fisik, dan memberikan pengaruh terhadap hampir semua aspek kebudayaan manusia. Matematika memberikan nuansa dalam disain teknik, arsitektur, seni lukis, seni musik serta dalam bidang ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu sosial. Matematika merupakan kekuatan utama pembentuk konsepsi tentang alam dan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Matematika adalah bahasa numerik, yang memungkinkan manusia melakukan pengukuran-pengukuran secara kuantitatif terhadap fakta kualitatif. Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan-pernyataan yang ingin kita sampaikan. Ini dimaksudkan untuk melengkapi kekurangankekurangan dari bahasa verbal yang kita gunakan. Matematika adalah bahasa yang menggunakan lambang-lambang untuk menghindarkan sifat kabur, multi makna dan sifat emosional dari bahasa verbal. (Morris Kline, lihat Suriasumantri, 1987 dan Suriasumantri, 1998). Tentang matematika, Rene Descartes terpukau dengan kepastian matematika yang transparan dan dapat diandalkan.

Menurut dia

pembuktian matematis dimulai dari sejumlah kecil premis-premis yang sangat sederhana, mendasar dan begitu jelas, sehingga begitu mustahil untuk meragukan kebenarannya. Pembuktian matematis dilakukan melalui langkah-langkah logis dengan pola penarikan kesimpulan secara deduktif. Kongklusi yang dihasilkan atas dasar langkah-langkah tersebut tidak dapat disangkal atau diragukan akan

75

kepastiannya. Demikianlah selanjutnya, kita akan menemukan bahwa melalui langkah-langkah logis, yang setiap langkahnya sederhana dan amat jelas, melalui premis-premis yang amat sederhana dan amat jelas pula, akan sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang sama sekali tidak sederhana dan tentunya juga terlalu jelas. Matematika adalah suatu metode untuk mendapatkan pengetahuan yang pasti tentang dunia, di mana menurut Gottlob Prege, tidak ada yang lebih objektif dan pasti kebenarannya dibandingkan dengan hukum Matematika. Bagi Plato, matematika di samping fisika adalah ilmu yang dianggap sebagai kunci untuk memahami alam semesta. Bahkan di pintu rumahnya yang dijadikan sebagai kampus akademinya terpampang tulisan “Yang Tidak Tahu Matematika Dilarang Masuk” (Russell, 2007 dan Magee, 2008). Matematika secara tradisional berkonotasi dengan bilangan dan ruang. Seratus tahun yang lalu ahli matematika mendifinisikan matematika sebagai pelajaran tentang bilangan dan ruang, sehingga hal tersebut hanyalah cocok untuk pengembangan dunia fisika. Banyak ahli matematika yang mempunyai kesan bahwa matematika dalam ilmu-ilmu sosial seluruhnya sepertinya suatu hal yang remeh atau tidaklah penting untuk terlalu dipikirkan. Padahal sebenarnya ilmu-ilmu sosial dengan perkembangannya yang begitu cepat saat ini semakin bertambah sulit kalau hanya dibantu dengan metematika yang hanya sederhana. Bahkan ke depan seorang ahli ilmu-ilmu sosial harus mengetahui matematika lebih banyak dari apa yang harus diketahui oleh ahli-ahli fisika. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam pembicaraan terdahulu, matematika adalah bentuk pemikiran abstrak yang mampu memberikan kemampuan untuk menguasai dunia fisik,

76

dan memberikan pengaruh terhadap hampir semua aspek kebudayaan manusia. Matematika merupakan kekuatan utama pembentuk konsepsi tentang alam dan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia, seperti bidang ilmu ekonomi, ilmu-ilmu sosial yang lain di samping disain teknik, arsitektur, seni lukis, seni musik (Morris Kline dan Joh G, Kemeney, lihat Suriasumantri, 1998). Berikut ini penulis mencoba mengemukakan kira-kira seperti apa peranan matematika sebagai alat bantu dalam ilmu-ilmu sosial dalam kasus teori Hegel. Hegel yang filsafatnya disebut sebagai filsafat idealisme mutlak. Idealisme mutlak adalah sintesa dari “filsafat subjektif” dari Fihte pada suatu ekstrim, dan “filsafat objektif dari Schelling” pada ekstrim yang lain. Hegel mensucikan Negara Kristen Jerman Prusia, tapi pada bagian lain dia menyatakan dialektika sejarah membutuhkan rasionalisasi yang tiggi. Oleh pengikutnya ditafsirkan pemerintah Kristen Jerman Prusia sebagai pemerintah yang otoriter, negatif dan menyerang dialektika. Individualisme dan leberalisme politik oleh Hegel dipandang rendah, dia menyatakan bahwa negara memiliki otoritas moral absolut di atas individu. Kebebasan jiwa masing-masing orang tidak terbatas. Hal ini dipahami oleh pengikutnya, kalau semua orang bebas malakukan apa saja, termasuk melawan pemerintah Jerman Prusia (Hadiwijono, 1980 dan Livine, 1984). Dari uraian di atas, sebetulnya Hegel secara tersirat mau menyampaikan pesan yang identik dengan ajaran Aristoteles tentang “keutamaan moral” yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan dalam banyak hal dalam

kehidupan.

Pandangan

Hegel

sebetulnya

berusaha

77

menjembatani terjadinya pandangan yang cenderung ekstrim ke kanan, yang cenderung menimbulkan pandangan sebaliknya, yaitu ekstrim ke kiri. Hegel berusaha membuat sintesa untuk menjembatani agar tercipta suasana selaras dan harmoni antara tesa dan antitesa yaitu ke dua ekstrim yang terjadi. Dalam hal ini kedua ekstrim tersebut yaitu pemerintah dan rakyat Jerman Prusia. Pemerintah memiliki kekuasaan dan tanggung jawab penuh untuk mengatur negara. Rakyat, sebagai orang yang diperintah memiliki kewajiban untuk mematuhi negara dengan pemerintah dan segala aturan-aturannya yang berlaku. Akan tetapi pemerintah juga harus menyadari bahwa rakyat juga memiliki hak dan tanggung jawab akan baik tidaknya negara mereka, baik apa yang ada sekarang dan apa yang mungkin dan seharusnya terjadi di masa yang akan datang. Oleh karena itu negara harus memberikan

kebebasan

sepenuhnya

kepada

rakyatnya,

untuk

memikirkan apa yang terbaik yang harus dilakukan demi kepentingan dan kemajuan mereka dan negaranya. Mungkin keselarasan dan harmoni sebagi konsekuensi dari sintesa kedua ekstrim

ini yang

dinamakan yang saat ini dikenal dengan demokrasi. Antara rakyat dan pemerintah memiliki tanggung jawab yang sama untuk kebaikan dan kemajuan suatu bangsa dan negara sekalipun dalam posisi yang berbeda. Tetapi karena pernyataan tadi kelihatan memiliki arti yang ambigu, sehingga hal ini menimbukan penafsiran yang berbeda secara ekstrim antara satu dengan yang lain yaitu apa yang dikenal ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Seperti pernyataan Karl Marx dan kawankawan, negara otoriter, menghamabat kebebasan jiwa dan kebebasan berpikir yang akan menghambat kemajuan negara, harus dilawan. Sikap sebaliknya mungkin akan timbul dari sikap pemerintah yang

78

merasa sepertinya mendapatkan dukungan dari pemikiran Hegel. Hal ini mungkin akan terhidari andaikata Hegel menggunakan alat bantu matematika, dalam hal ini misalnya teori himpunan. Di sini juga digunakan diagram sistem yang dikembangkan oleh ahli matematika George Boole dan ahli matematika yang lain John Venn sehubungan dengan teori himpunan tadi. Kita umpamakan kata demokratis sebagai kompromi dari pola otoriter dan pola permisif, yang berbeda secara ekstrim sebagai suatu himpunan yang terpisah secara ekstrim yaitu himpunan A dan himpunan C (periksa gambar no. 6). Katakanlah himpunan A tersebut sebagai analogi dari sebuah pemerintahan yang otoriter; sedangkan himpunan C sebagai analogi dari rakyat yang bebas sebebasnya atau pola permisif, sebagai lawan dari pemerintah dengan pola otoriter (Kerlinger, 1990, Hadiwijono, 1980, Bakry, 1996, Soekadijo, 1997, Bertens, 1999 dan Siang, 2014).

Gambar no. 6. Ilustrasi teori himpunan A (otoriter) dan himpunan C (permisif)

Kemudian, ada kemungkinan perpaduan atau kompromi dari pola otoriter dan pola permisif dalam teori himpunan, yang dikenal dengan irisan (periksa gambar no. 7). Dalam gambar no. 7, ada

79

himpunan baru yaitu himpunan B yang merupakan irisan dari himpunan A dan himpunan C. Kalau himpunan A sebagai analogi dari pola otoriter, dan himpunan C sebagai analogi dari pola permisif, maka himpunan B adalah analogi dari pola demokratis (periksa juga gambar no. 7). Jadi di sini pola demokratis adalah irisan/perpaduan dari dua himpunan yaitu himpunan A dan himpunan C atau kompromi dari pola otoriter dan permisif (periksa gambar no. 7).

Gambar no. 7. Ilustrasi teori himpunan A (otoriter) dan himpunan C (permisif), serta irisannya himpunan B (demokratis)

Kemudian untuk lebih jelasnya, ketiga himpunan A, himpunan B (sebagai irisan dari himpunan A dan himpunan C), dan himpunan C (periksa gambar no. 8).

Gambar no. 8. Ilustrasi teori himpunan A (otoriter), B (demokratis) dan C (permisif)

80

Dalam pola demokratis antara pemerintah dan rakyat memiliki hak yang sama, sekalipun tentunya dalam posisi yang berbeda. Pemerintah memiliki kewajiban dan hak penuh untuk memerintah dan mengatur negara; akan tetapi tetap memberikan kebebasan dan haknya secara penuh kepada rakyatnya. Rakyat medapatkan kebebasan dan haknya secara penuh akan tetapi tetap menghargai dan menghormati pemerintah serta mematuhi aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku. Misalnya dalam sistem demokrasi di negara kita, rakyat memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana roda pemerintahan diatur, tergantung kepada rakyat untuk membicarakan, memusyawarahkan dan menentukan. Karena tidak mungkin dari 240 juta rakyat berkumpul untuk membicarakan dan menentukan hal tersebut di atas, maka dibentuklah perwakilan dari mereka yang dipilih secara demokratis di antara mereka. Mereka berkumpul atas nama wakil rakyat yang bernama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR membuat peraturan perundang-undangan seprti Undang-Undang Lalu Lintas, Undang-Undang Otonomi Daerah, Undang-Undang Anti Korupsi dan lain-lain. Kalau sudah menjadi undang-undang, diserahkanlah undang-undang tersebut kepada pemerintah untuk dilaksanakan. Di sini pemerintah memiliki kekuasaan dan kewajiban penuh

untuk

melaksanakannya.

Sedangkan

rakyat

termasuk

perwakilannya memiliki kewajiban untuk menghormati pemerintah dan mematuhi peraturan yang telah dibuatnya tadi tanpa kecuali. Misalnya dalam pelaksanaan Undang-Undang Anti Korupsi semua harus mematuhi. Siapapun akan diberi hukuman pidana apabila ternyata melakukan korupsi. Bahkan beberapa anggota DPR yang

81

telah terlibat dalam pembuatan undang-undang tadi juga dipenjara karena melakukan tindak pidana korupsi (Livine, 1984). Tentang Tuhan, Hegel menyatakan bahwaTuhan merupakan totalitas absolut kebenaran rasional. Akan tetapi, Tuhan tidak eksis kecuali di lingkungan manusia. Pernyataan ini dipahami oleh pengikutnya bahwa Tuhan yang hanya eksis dalam rasio manusia itu, sebetulnya tidak ada. Kalau kita melihat salah satu doktrin marxisme yang sangat terkenal yaitu doktrin anti Tuhannya. Banyak orang mungkin beranggapan bahwa Hegel adalah tokoh yang juga anti Tuhan. Karena sekalipun tidak secara langsung, ia adalah guru dari Karl Marx dan kawan-kawannya, akan tetapi pemikiran teoritisnya didasarkan pada teori filsafat dari Hegel. Bila kita cermati rupanya tidak demikian. Di sini Hegel akan mengatakan bawa Tuhan sekalipun memiliki otoritas absolut dalam berbagai hal, akan tetapi Tuhan tidak otoriter. Dalam doktrin agama, Tuhan menentukan takdirnya terhadap manusia. Akan tetapi takdir apa yang hendak diterima manusia tergantung pada manusia apa maunya, dan bagaimana ikhtiarnya. Kalau kita ingin memiliki takdir sebagai seorang doktor, tentunya kita sendiri harus berikhtiar untuk mencapainya. Tentunya ijazah atau predikat doktor tidak akan jatuh dari langit, tanpa adanya usaha dari kita sendiri. Tuhan menyediakan surga dan neraka. Manusia ingin ditakdirkan masuk surga atau masuk neraka, tinggal manusia yang menentukan pilihannya, dengan melalui garis atau jalan yang telah yang telah ditentukanNya. Kalau Tuhan otoriter tentunya dimasukkan saja semua manusia ke surga atau ke neraka sesuai dengan kehendak Tuhan (Livine, 1984). Kira-kira inilah pesan yang tersirat dalam teori Hegel yang ambigu sebagaimana yang telah dikemukakan dalam

82

uraian di atas tadi. Akan tetapi nyatanya yang terjadi adalah timbul dua kelompok ekstrim yang ada pada posisi yang berseberangan antara kelompok yang satu dengan yang lain, yaitu Karl Marx dengan kawan-kawannya di satu kutub ektrim dan pemerintah Jerman Prusia pada kutub ekstrim yang lain. Dalam hal ini kalau boleh berandaiandai, munculnya dua kelompok ekstrim tadi, mungkin akan terhidari andaikata Hegel menggunakan alat bantu konsep matematika sebagaimana yang telah diuraikan diatas, dalam menjabarkan terorinya. Dari uraian di atas, kiranya cukup untuk memberi gambaran bagi kita, bahwa matematika dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam pengembangan keilmuan, tidak hanya dalam ilmu fisika saja, akan tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa matematika menurut Plato adalah kunci untuk memahami alam semesta di samping ilmu fisika.

21. STATISTIKA Statistika adalah teori dan matode analisis kuantitatif, yang membantu peneliti untuk menyusun kesimpulan yang andal terhadap data empirik (kerlinger, 1990). Profesor Strisno Hadi yang juga sering disebut sebagai bapak statistika Indonesia dalam suatu kesempatan pernah menyatakan bahwa statistika berasal dari kata statis, yang maksudnya adalah , suatu keadaan atau fakta yang tidak menentu dan tidak pasti, distatiskan supaya menjadi pasti,

untuk dibuat suatu

keputusan yang tidak meragukan. Misalnya ada fenomena tentang kecerdasan, yang menandakan bahwa si A cerdas, si B lebih cerdas dari si C, si C jauh lebih cerdas dari si D, tetapi tidak lebih cerdas dari si B. Si A rupanya lebih cerdas dari semuanya, akan tetapi masih

83

kalah cerdas dari si F. Uraian di atas, sebagai contoh dari fenomena atau fakta yang kelihatan terus bergerak dan tidak menentu sebagaimana disebut tadi. Agar supaya dapat memudahkan membuat keputusan atau kesimpulan dari sesuatu yang terus bergerak, dibuatlah metode agar yang terus bergerak tadi menjadi statis, yaitu statistika. Statistika sebagai metode menganalisis dan menarik kesimpulan dari dari sebuah data, dengan mendiskripsikannya dalam bentuk angkaangka. Dalam hal tersebut misalnya, anak yang cerdas rata-rata bergerak dari skor 95-104 poin. Anak yang cerdas rata-rata atas, bergerak dari skor 105-114, sedangkan anak yang cerdasnya di bawah rata-rata bergerak dari skor 85-94, dan seterusnya. Statistika adalah deskripsi kuantitatif dari berbagai macam masalah dalam bentuk angka-angka,

atau jumlah dan ukuran beda-benda, dan kecepatan

serta jarak tempuh kendaraan tertentu, dengan cara mengadakan pengukuran dan kuantifikasi. Statistika merupakan metode dalam membuat suatu kesimpulan yang tepat dari keadaan yang tidak menentu dan tidak pasti (Allen Wallis dan Harry V. Roberts, lihat Suriasumantri, 1997). Awalnya statistika hanya digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan tertentu, dalam suatu instansi/lembaga formal, baik lembaga pemerintah atau lembaga swasta, misalnya pencatatan jumlah penduduk, daftar para wajib pajak, catatan tindak kriminal yang ditangani oleh Kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan, catatan kasuskasus penyakit yang ditangani oleh sebuah rumah sakit dan lainlainnya. Dalam dunia keilmuan saat ini hampir tidak ada bidangbidang kegiatan yang tidak menggunakan statistik seperti bidang psikologi, pendidikan, ekonomi, kimia, biologi, pertanian, kedokteran,

84

hukum, politik, sosiologi, teknik dan sebagainya. Mungkin hanya dalam bidang ilmu yang pendekatannya spekulatif yang tidak menggunakan statistika, seperti bidang filsafat, agama, sastra dan lainlainya yang kelihatan jumlahnya tidak sebanyak bidang-bidang yang menggunakan statistika. Secara sederhana ilmu dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah adalah bersifat faktual yang didapat di dunia empiris melalui pancaindera beserta alat bantunya, dan konsekuensikonsekuensinya juga dapat diuji juga secara empiris. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah, di mana pengujian ini dimaksudkan untuk menarik kesimpulan secara induktif, yaitu penarikan kesimpulan umum dari kasus-kasus khusus atau kasus-kasus individual. Penarikan kesimpulan secara induktif ini berbeda dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Dalam metode deduktif penarikan kesimpulannya,

didasarkan pada kaidah-kaidah atau

hukum-hukum matematika, di mana menurut Rene Descartes dan Gottlob Prege, tidak ada yang lebih objektif dan pasti kebenarannya dibandingkan dengan hukum Matematika. Kongklusi yang didapat melalui langkah-langkah tersebut tidak dapat disangkal atau diragukan kepastiannya. Kesimpulan dari pola logika deduktif deduktif memiliki kebenaran koheren yaitu kebenaran yang pasti tidak terbantahkan secara rasional, apabila peremis-premisnya benar, dan prosedurnya benar (periksa juga bab matematika, logika dan bab kebenaran pengetahuan). Misalnya, kalau ada pernyataan bahwa semua mahasiswa harus membayar uang kuliah, sedangkan Ali adalah mahasiswa. Jadi kesimpulannya Ali harus membayar uang kuliah.

85

Kesimpulan bahwa Ali harus membayar uang kuliah, secara rasional adalah kesimpulan yang tidak terbantahkan. Dalam penarikan kesimpulan induktif, sekalipun premis-premis dan prosedurnya benar, kesimpulannya tidak dalam posisi pasti benar, yang ada adalah “peluang untuk benar.” Peranan statistika dalam proses keilmuan, yaitu memungkinkan ilmuan dapat menghitung tingkat peluang untuk benar tadi dengan cara yang eksak. Kalau dalam penarikan kesimpulan deduktif tadi dinyatakan bahwa semua mahasiswa harus membayar uang kuliah, konsekuensinya semua mahasiswa harus membayar uang kuliah; akan tetapi tidak demikian dalam penerikan kesimpulan induktif yang didasarkan pada fakta-fakta di dunia empirik. Kenyataan di dunia empirik, boleh jadi ada beberapa mahasiswa yang dibebaskan untuk membayar uang kuliah karena berbagai alasan tertentu. Oleh karena itu, dalam penarikan kesimpulan induktif atas fakta empirik, kebenaran (validitas) nya di samping kesesatan (error) nya bersifat probabilitas atau peluang. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam perhitungan statistika, probabilitas kesesatan atau “error probality”nya masih ditoleransi. Dalam kaidah statistika yang baku, toleransi kesesatan ini dikenal dengan istilah error probability, yaitu error probability tarap satu persen (p < 0,01) dan error probality tarap lima persen (p < 0,05). Kalau peluang kesesatannya satu persen, berarti peluang kebenaran atau validitas dari kesimpulannya adalah 99%, dan kalau peluang kesesatannya lima persen maka peluang validitas dari kesimpulannya adalah 95% (Kerlinger, 1990, Suriasumantri, 1998, Russell, 2007, Magee, 2008 dan Hadi, 2015a).

86

Upaya kegiatan atau kajian keilmuan dalam hal ini penelitian ilmiah, sebagaimana yang telah tersirat dalam uraian sebelumnya, dimaksudkan untuk menemukan kaidah-kaidah ilmu yang bersifat umum, akan tetapi sering informasi atau fakta yang lengkap sulit untuk diperoleh. Oleh karena itu dalam ilmu-ilmu sosial, statistikalah digunakan sebagai alat bantu untuk menghadapi hal tersebut. Statistika memberikan serangkaian prinsip dan teknik yang rasional, yang dapat digunakan untuk membuat keputusan atau kesimpulan yang bijaksana, serta membuat estimasi terhadap informasi atau fakta yang tidak lengkap tadi. Salah satu tugas statistika adalah membuat estimasi, dalam hal ini salah satu contoh adalah statistika inferensial. Statistika inferensial, adalah cara mengambil kesimpulan tentang masalah yang dikaji, atas dasar data yang diperoleh dari subjek yang terbatas

yang biasanya disebut dengan sampel, akan tetapi

kesimpulanya digeneralisasikan kepada subjek yang lebih luas atau lebih besar jumalahnya yang biasa disebut dengan populasi. Kiranya dalam penelitian-penelitian sosial tidak perlu ditekankan untuk mengambil sampel sebanyak-banyaknya, karena akan memakan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih besar. Menggunakan sampel sebanyak-banyaknya dalam suatu penelitian, hampir tidak dapat dilaksanakan dan tidak ada gunanya. Statistik inferensial membantu kita membuat keputusan dan estimasi dari sampel yang ada terhadap

populasi

yang

lebih

banyak,

dengan

menghindari

penggunaan waktu dan tenaga yang banyak dan biaya yang lebih besar. Dari uraian di atas, jelas bahwa statistika adalah alat bantu dalam proses kajian atau penelitian ilmiah, untuk memecahkan masalah yang timbul dalam kaitannya dengan fakta empiris dalam

87

berbagai bidang. Statistika adalah metode untuk pembuatan keputusan dalam ketidakpastian yang memungkinkan ilmuan melakukan estimasi secara sitematis dan objektif dari data yang ada, secara efisien. Perlu disadari dalam aplikasi praktisnya, teknik statistika kelihatannya tidak sama antara yang satu dengan yang lain, misalnya dalam bidang ekonomi, akuntansi, psikologi, kedokteran, teknik dan lain-lain, mungkin memiliki nuansa yang berbeda, akan tetapi konsep dasarnya adalah sama (Kerlinger, 1990, Allen Wallis dan Harry V. Roberts, lihat Suriasumantri, 1997 dan Hadi, 2015a).

22. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ilmiah pada hakekatnya merupakan operasionalisasi dari metode ilmiah dalam kegiatan keilmuan. Hal tersebut juga merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode yang digunakan dalam penelitian ilmiah ini dikenal dengan metodologi penelitian atau metodologi riset. Metodologi sebagai alat bantu dalam proses keilmuan yang ada saat ini memberikan ramburambu yang sangat cermat dan syarat-syarat yang begitu ketat agar pengetahuan yang didapat memiliki bobot keilmuan yang setinggitingginya.

Perkembangan

metodologi

penelitian

sampai

pada

perkembangan yang adasaat ini sudah melalui proses yang sangat panjang dengan waktu yang begitu lama. Rummel dalam bukunya “An Introduction to Research Procedures in Education” menggolongkan tahapan perkembangan metodologi penelitian ke dalam empat periode yaitu: periode trial and error, periode otoritas dan tradisi, periode spekulasi dan argumentasi, dan yang terakhir adalah periode hipotesis

88

dan eksperimen. Dalam periode hipotesis dan eksperimen ini, dimulai dari suatu asumsi bahwa peristiwa dalam alam semesta ini tidak terjadi secara sporadis, akan tetapi mengikuti pola-pola atau aturanaturan tertentu. Di sini orang mulai berusaha keras untuk menemukan hubungan atau rangkaian-rangkaian peristiwa tertentu, mulai suatu asumsi terhadap suatu masalah tersebut, menyusun hipotesis, dan mengumpulkan fakta-fakta untuk menguji hipotesis tersebut. Faktafakta tadi dianalisis secara cermat untuk ditarik kesimpulan umum, yang pada akhirnyanakan mendapakan pengetahuan yang universal dan akan memperkaya khasanah keilmuan (Suriasumantri, 1998 dan Hadi, 2015b). Berbicara mengenai metode penelitian sebagai alat bantu di dalam proses keilmuan, tentunya tidak dapat dipisahkan dengan alat bantu yang lain utamanya statistika dan teknik penulisan laporan, selain logika dan matematika.

Dalam pembicaraan-pembicraan

terdahulu, sudah dikemukakan bahwa pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang didapat melalui proses berpikir yang bergerak dari kutub rasional ke empirik, dari kutub a-priori ke a-posteriori, dengan alat bantu logika deduksi dan logika induksi. Sebagai ilustrasi tentang proses kegiatan keilmuan tersebut misalnya dalam penyusunan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, lihat gambar no. 9 berikut.

89

LOGIKA BAHASA MATEMATIKA DEDUKSI

FAKTA FAKTA

MASALAH MASALAH

KHASANAH ILMU KORESPONDEN OBJEKTIF PROBABILITAS

HASIL & KESIMPULAN

TELAAH PUSTAKA LANDASAN TEORI

HIPOTESIS KOHEREN

DUNIA RASIONAL DUNIA EMPIRIS

FAKTA / DATA

UJI HIPOTESIS

METODE PENELITIAN

INDUKSI STATISTIK

Gambar no. 9. Alur Proses Kegiatan Keilmuan

. Gambar no. 9 di atas, merupakan sebuah contoh alur penelitian, sekaligus alur yang mengarah pada sistematika penulisan karya ilmiah, yaitu dimulai dari suatu Permasalahan, Kajian Pustaka, Pengajuan Hipotesis, Pengjian Hipotesis, Penyajian Hasil Penelitian dan dan Kesimpulan. Sebelum melanjutkan uraian mengenain alur kegiatan keilmuan di atas, perlu juga dikemukakan tentang penulisan hasil penelitian dimaksud. Penulisan ilmiah dalam hal ini penulisan hasil penelitian, pada dasarnya merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang dikomunikasikan melalui bahasa tulisan. Banyak sekali bentuk dan cara penulisan karya ilmiah dalam berbagai macam bentuk pedoman atau petunjuk penulisan yang ada. Bentuk atau sistematika bisa berbeda-beda akan tetapi pada substansi dan logikanya tetap sama. Di sini perlu disadari bersama bahwa yang paling penting bukan pada sistematika penulisannya, akan tetapi pada landasan pemikiran yang mendasarinya. Sistematika di sini bukanlah tidak penting, yang

90

tidak penting adalah mempermasalahkan perbedaan tadi. Hal tersebut hanyalah persoalan selera semata (Suriasumantri, 1998). Permasalahan. Permasalahan diformulasikan dari fakta-fakta empirik,

yaitu

pengalaman

dan

pengamatan

dari

peneliti.

Permasalahan juga didapat dari khasanah keilmuan, yaitu dari laporan-laporan hasil penelitian baik yang dipublikasikan melalui jurnal-jurnal ilmiah atau penelitian yang masih belum atau tidak dipublikasikan. Selain dari hasil penelitian, permasalahan juga bisa didapat melalui diskusi-diskusi atau seminar-seminar, atau dari bukubuku teks ilmiah. Permasalahan berisi uraian tentang latar belakang masalah yang hendak diteliti dan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan. Perumusan masalah ini meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Latar belakang masalah. Latar belakang masalah memuat penjelasan mengenai alasanalasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam usulan penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu diteliti. Kecuali itu juga diuraikan kedudukan masalah yang akan diteliti itu dalam lingkup permasalahan yang lebih luas. Lingkup permasalahan dimaksud bisa permasalahan psikologis secara luas atau permasalahan kemanusiaan secara makro, masalah pendidikan, ekonomi, politik, hukum, budaya, biologi, teknologi dan sebagainya. Dalam uraian latar belakang masalah ini ditentukan inti dari masalah yang diteliti. Biasanya dalam hal ini inti permasalahan merupakan atau diposisikan sebagai variabel tergantung atau dependent variable.

91

Perumusan Masalah. Perumusan masalah menguraikan tentang hubungan variabel tergantung atau dependent variable tadi, dengan variabel prediktor atau independent variable nya. Dalam hal ini variabel prediktor yang dikemukakan, tidak hanya variabel prediktor yang akan diteliti saja, akan tetapi tetapi semua variabel-variabel yang mungkin menjadi prediktor

terhadap

variabel

tergantung

yang

manjadi

inti

permasalahan tadi. Suatu contoh, kalau seorang peneliti di bidang pendidikan akan meneliti pengaruh suatu metode tertentu terhadap prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran tertentu, di sini dikemukakan berbagai macam variabel yeng mungkin juga berpengaruh terhadap prestasi belajar tersebut, misalnya variabel guru, variabel inteligensi, variabel bakat, variabel minat, variabel sosial ekonomi dan sebagainya.. Jadi dalam perumusan masalah ini, perlu dikemukakan variabel prediktor sebanyak mungkin yang diperkirakan berhubungan dengan variabel tergantung. Kemudian kemukakan kenapa lebih tertarik atau lebih penting untuk memilih variabelvariabel prediktor tertentu dibandingkan dengan yang lain, yang samasama memiliki kemungkinan pengaruh terhadap variabel tergantung yang akan

diteliti. Perumusan masalah dengan mengemukakan

sebanyak mungkin variabel yang mempengaruhi variabel tergantung, sekalipun tidak diteliti, akan lebih memudahkan dalam pembahasan hasil penelitian apabila hasilnya tidak optimal atau malah tidak signifikan.

92

Keaslian Penelitian Keaslian penelitian dikemukakan dengan menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu, atau dinyatakan dengan tegas beda penelitian ini dengan yang sudah pernah diteliti. Di sini peneliti menunjukkan kesamaan antara penelitian- penelitian yang telah diteliti dimaksud dengan tiaptiap variabel-variabel yang diteliti apabila memang ada kesamaannya dan

selanjutnya

dikemukakan

pula

secara

jelas

perbedaan-

perbedaanya. Perbedaan tersebut misalnya konsep yang dijadikan dasar, responden, alat yang digunakan atau hal-hal lain yang dapat memberikan gambaran secara jelas perbedaan yang akan diteliti yang akan diteliti atau sedang dilakukan, dengan penelitian sebelumnya, supaya tidak terjadi plagiasi. Di sini juga perlu dikemukakan, sekalipun masalah yang akan atau sedang diteliti sekalipun pernah diteliti, tetapi masih belum terpecahkan secara memuaskan. Tujuan Penelitian Dalam bagian ini disebutkan secara spesifik langkah-langkah dan tujuan yang ingin dicapai. Ini berkaitan dengan inti masalah yang akan dikaji atau akan dipecahkan. Di sini dikemukakan secara singkat variabel-variabel yang akan diteliti (secara operasional), responden yang akan dikenai penelitian, alat yang digunakan serta rencana teknik analisisnya. Uraian dalam tujuan penelitan ini menyangkut gambaran singkat dari dasar teori dan metode penelitian. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diharapkan ialah faedah bagi ilmu pengetahuan dan bagi pemecahan permasalahan kemanusiaan dalam rangka menunjang usaha pembangunan Negara dan Bangsa. Faedah ini

93

berkaitan dengan lingkup permasalahan yang menjadi titik tolak penelitian sebagaimana telah dikemukakan dalam perumusan masalah. Akhirnya manfaat ini, memberikan solusi tarhadap problematika kehidupan. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka memuat uraian sistematis tentang variabelvariabel yang akan / sedang diteliti bedasarkan kajian pustaka. Dalam hal ini bisa teori-teori dan hasil-hasil penelitian yang didapat oleh peneliti terdahulu (penelitian orang lain atau penelitian sendiri) Uraian dimaksud meliputi pengertian dan substansi masing-masing variabel serta kaitan antara varibel yang satu dengan yang lain, terutama variabel dependen dengan variabel independennya. Teori atau hasil peneltian tersebut sedapat mungkin diambil dari sumber aslinya. Semua sumber yang dipakai harus disebutkan dengan mencantumkan nama penulis dan tahun penerbitan. Penulisan tentang masing-masing variabel serta kaitannya dengan variabel dalam tinjauan pustaka ini disusun secara tersendiri dalam sub bab yang berbeda. Sistematika penyusunanan tinjauan pustaka, dimulai dengan penjelasan variable tergantung terlebih dahulu baru kemudian masing-masing variabel bebas atau variabel prediktor. Landasan Pemikiran Landasan pemikiran juga sering disebut dengan landasan teori dijabarkan dari tinjauan pustaka dan disusun sendiri oleh penulis sebagai tuntunan uintuk memecahkan masalah penelitian dan untuk merumuskan hipotesis. Landasan pemikiran merupakan ringkasan (pemadatan) dari tinjauan pustaka. Tetapi apabila diperlukan juga dapat berupa elaborasi dari tinjauan pustaka dimaksud. Landasan

94

pemikiran ini disusun secermat mungkin, karena hal tersebut akan dijadikan landasan untuk merumuskan hipotesis, sehingga hipotesis yang diajukan memiliki kebenaran koherensi. Dalam uraian tentang landasan teori ini tentunya menyangkut pula masing-masing variabel serta kaitannya antara masing-masing variabel tersebut. tetapi karena biasanya ini merupakan rangkuman dari tinjauan pustaka yang terdiri dari sub-sub bab, maka penulisannya cukup disusun berdasarkan alinea (tidak dalam sub bab seperti dalam tinjauan pustaka). Hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain disajikan dalam bentuk uraian kualitatif dan bila perlu dapat dilengkapi dengan model-model matematis. Hipotesis Hipotesis memuat pernyataan singkat yang disimpulkan dari landasan teori atau tinjauan pustaka dan merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang dihadapi, dan masih harus dibuktikan kebenarannya secara empiris. Hipotesis dikemukakan secara mantap tanpa ragu-ragu dalam arti hipotesis dimaksud sekalipun merupakan .jawaban sementara, tetapi secara kaidah keilmuan memiliki kebenaran koherensi. Oleh karena itu hipotesis yang dikemukakan betul-betul mengacu pada dasar teori yang telah dikemukakan sebelumnya, dan landasan teori tadi tentunya didasarkan pada kajian pustaka yang juga memiliki kebenaran secara keilmuan. Metode Penelitian Metode penelitian berisi uraian tentang: subjek penelitian (populasi / sampel), variabel yang diteliti, alat yang digunakan dalam pengumpulan data, jalan penelitian (untuk penelitian eksperimen), dan analisis data (termasuk uji asumsi bila diperlukan).

95

Subjek Penelitian Subjek penelitian terdiri dari populasi dan sampel. Populasi Adalah keseluruhan responden dan kepada siapa hasil penelitian akan digeneralisasikan. Di sini dikemukakan pula area / lokasi di mana penelitian dilakukan. Mengenai populasi ini disertakan pula penyajian dalam bentuk tabel. Jumlah populasi dapat dikemukakan bila memungkinkan. Sampel adalah sebagian dari responden yang mewakili populasi dalam suatu penelitian. Dalam hal ini perlu dikemukakan pula penjelasan mengenai cara atau teknik pengambilan sampel, (teknik samplingnya). Dalam penjelasan mengenai sampel penelitian dimaksud sama dengan populasinya sebaiknya juga disertai dengan tabel. Jumlah sample penelitian sebaiknya dituliskan dengan mengacu pada teknik sampling yang dipakai. Variabel Penelitian dan Pengukurannya. Sebelum menguraikan tentang variabel-variabel penelitian dan pengukurannya, di sini perlu dikemukakan kedudukan masing-masing variabel yang diteliti sebagai pengantar. Variabel tergantung maupun variabel prediktor ditulis lengkap nama variabelnya. Di sini berisi uraian tentang variabel tersebut dengan diteliti. Misalnya peneliti hendak meneliti tentang pengaruh metode belajar siswa aktif terhadap prestasi belajar matematika. Variabel metode belajar siswa aktif dan prestasi belajar ditulis secara lengkap dan jelas. Kemudian diuraikan secara lengkap dan jelas pula definisi operasionalnya, aspek-aspeknya, indikator-indikatornya serta blue print dari masing-masing variabel tadi. Dari blue print,

dari masing-masing variabel dikembangkan

aitem-aitemnya yang nantinya akan dijadikan sebagai alat ukur. Selanjutnya perlu juga diberikan penjelasan mengenai skala yang

96

digunakan sekaligus cara pemberian skornya. Penjabaran aitem-aitem sebagai alat ukur tadi nantinya disajikan dalam bentuk lampiran. Teknik Analisis Data. Pertama teknik ini digunakan untuk menguji validitas dan reliabilitas dari alat ukur. Di sini diuraikan tentang teknik uji diskriminasi item dan uji reliabilitas dari alat ukur. Aitem-aitem yang telah diuji disajikan dalam bentuk tabel, dan dijelaskan mana aitem yang valid dan mana yang gugur. Print out dari analisis yang berkaitan dengan uji diskriminasi item dan uji reliabilitas dimaksud, disajikan dalam bentuk lampiran. Kedua teknik analisis data ini digunakan untuk menganalisis data yang didapat. Uraian tentang teknik ini mencakup penjelasan mengenai model analisis serta teknik yang digunakan dalam rangka uji prasyarat atau uji asumsi. Hasil dari uji asumsi atau prasyarat dimaksud, disajikan sebelum uraian tentang teknik analisis data. Dalam penyajian tentang hasil uji asumsi sebaiknya disertai dengan tabel. Terakhir dikemukakan tentang teknik atau model statistik seperti apa dan disainnya dikemukakan juga secara jelas. Laporan Hasil Penelitian dan Pembahasan Data yang didapat dan sudah dianalisis dilaporkan dalam bab laporan penelitian. Laporan hasil penelitian tersebut sedapat-dapatnya disajikan dalam bentuk daftar (tabel), grafik, foto atau bentuk lain dan ditempatkan sedekat-dekatnya dengan pembahasan, agar pembaca lebih mudah rnengikuti uraian tetang hasil penelitian serta laporannya tersebut. Pembahasan berupa penjelasan, pembahasan, atau diskusi terhadap hasil penelitian yang diperoleh dalam hubungannya dengan teori yang dijadikan sebagai landasan dalam penelitian serta

97

pandangan-pandangan rasional dari peneliti. Maksudnya, dalam pembahasan ini peneliti memberikan penjelasan rasional yang kadanh disebut dengan dinamika psikologis tentang temuan penelitian yang didapat, Dalam pembahasan ini kiranya perlu ditambahkan uraian mengenai kendala dilapangan dan keterbatasan yang dialami peneliti dalam melakukan penelitian. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dan saran harus dinyatakan secara terpisah. Kesimpulan merupakan rangkuman dari isi tesis. Di dalamnya berisi uraian singkat yang dijabarkan dari perumusan masalah, hipotesis, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan. Secara singkat dalam kesimpulan yang dikemukakan adalah kesimpulan masingmasing mulai dari latar belakang masalah, dasar pemikiran, hipotesis, responden, laporan hasil dan pembahasan. Saran dibuat berdasarkan hasil penelitian dalam kaitannya dengan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian. Dalam saran ini dapat ditambahkan atas dasar pengalaman dan pertimbangan penulis yang ditujukan kepada para peneliti dalam bidang sejenis, yang ingin melanjutkan atau mrmper luas atau mengembangkan penelitian yang sudah dilakukan. Sebagaimana

yang

telah

dikemukakan

dalam

uraian

sebelumnya, metodologi sebagai alat bantu dalam proses keilmuan yang ada saat ini, memberikan rambu-rambu yang sangat cermat dan syarat-syarat yang begitu ketat agar pengetahuan yang didapat memiliki bobot yang setinggi-tingginya secara keilmuan. Penulisan karya ilmiah, dalam hal ini penulisan hasil penelitian dalam rangkaian proses keilmuan,

sebagai argumentasi penalaran keilmuan yang

dikomunikasikan melalui bahasa tulisan, banyak sekali ragam bentuk

98

dan cara atau sistematikanya. Biasanya masing-masing institusi yang berkaitan dengan kegiatan keilmuan, memiliki pedoman atau petunjuk sendiri yang menjadi acuan dalam kegiatan penelitian dan penulisan tersebut.

VI. KEBENARAN PENGETAHUAN Kebenaran pengetahuan ini, merupakan permasalahan yang inheren dengan permasalahan keilmuan itu sendiri. Semua orang dalam hal ini para ilmuan, tentunya ingin menemukan pengetahuan yang benar, serta membuktikan apakah pengetahuan yang sedang digeluti, yang dicari dan yang diperoleh itu memiliki nilai kebenaran. Menurut para ahli epistimologi dan para ahli filsafat pada umumnya, untuk membuktikan adanya kandungan kebenaran dari pengetahuan, kita harus mengalisis secara cermat terlebih dahulu sikap dan sarana yang digunakan dalam membangun pengetahuan dimaksud. Dalam dunia kefilsafatan dikenal tiga macam teori kebenaran pengetahuan yaitu: Kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi dan kebenaran pragmatis (Wibisono, 1989).

23. KEBENARAN KORESPONDENSI Kebenaran korespondensi adalah kebenaran yang didasarkan pada pengalaman atau fakta empiris. Pengetahuan dikatakan benar secara korespondensi, apabila pengetahuan tersebut memang sesuai atau berkorespondensi dengan pengalaman atau kenyataan empirik yang diamati melalui indera, memang menjadi objek persoalan dari pengetahuan tersebut. Sebagai contoh seperti yang telah dikemukakan dalam uraian tentang induksi:

misalnya ada pernyataan “semua

99

binatang sama memiliki dua mata dan empat kaki, akan tetapi tidak sama makanan yang dimakannya, ada yang makan daging (karnivora) dan ada yang makan daun-daunan (herbifora). Pernyataan di atas benar secara koresponden apabila hal tersebut didasarkan pada fakta empiris bahwa kucing bermata dua, kambing bermata dua, kerbau bermata dua, sapi bermata dua, harimau bermata dua gajah bermata dua dan sebagainya. Fakta berikutnya menemukan bahwa kucing berkali empat, kambing berkaki empat, kerbau berkaki empat, sapi berkaki empat, harimau berkaki empat, dan gajah berkaki empat. Fakta selanjutnya menemukan bahwa kucing adalah binatang karnifora, kambing binatang herbifora, kerbau binatang herbifora, sapi binatang herbifora, harimau binatang carnifora, dan gajah binatang herbifora. Atas uraian tentang fakta-fakta empiris tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pernyataan tentang “semua binatang sama memiliki dua mata dan empat kaki, akan tetapi tidak sama makanan yang dimakannya, ada yang makan daging (karnivora) dan ada yang makan daun-daunan (herbifora) benar secara korespondensi. Dalam proses kegiatan keilmuan data yang dibangun atas dasar fakta-fakta empiris hasilnya akan membuahkan pengetahuan yang benar secara koresponden. Kebenaran korespondensi ini dikatakan sebagai kebenaran objektif, karena memang secara objektif data itu apa adanya, seperti kenyataan empirik yang sebenarnya. Kebenaran ini juga disebut dengan kebenaran probalitas, karena dalam kebenaran ini,

peluang

adanya

kesesatan

dalam

kesimpulannya

(error

probability) masih bisa ditoleransi. Ini berbeda dengan kebenaran koherensi yang kebenarannya bulat, mutlak tidak terbantahkan, seperti jumlah seratus sebagai hasil dari penjumlahan 25+40+35 (lihat

100

kebenaran koherensi). Dalam kebenaran probabilitas, sebuah eksperimen

andaikan

menguji pengaruh metode tertentu terhadap

peningkatan prestasi belajar anak dalam mata pelajaran matematika, yang harapannya tentu peningkatan prestasi belajar semua anak yang menjadi responden.. Tetapi hasilnya tidak semua anak meningkat prestasi belajarnya, artinya pengaruh metode tersebut tidak 100% misalnya dari keseluruhan responden

hanya 95% yang menigkat

prestasi belajar matematikanya. Jadi ada 5% dari responden yang tidak meningkat yang dalam istilah statistika disebut dengan peluang ralat, peluang kesesatan, atau error probality. Kalau error probality nya 5% berarti signifikansinya 90%, Dalam hal ini masih bisa ditoleransi. Dalam statistika, dikenal error probality 5% dan 1% atau signifikansi 95% dan 99%. Peluang-peluang kesesatan atau error probality baik yang 5% atau yang 1%, dalam kebenaran koherensi ini masih ditoleransi. Karena alasan inilah maka kebenaran koherensi ini disebut pula dengan kebanaran probabilitas (lihat uraian tentang statistika).

24. KEBENARAN KOHERENSI Kebenaran koherensi ini merupakan kebenaran pengetahuan yang mengacu pada kebenaran yang sudah ada sebelumnya. Artinya suatu pengetahuan dikatakan benar apabila proposisi-proposisi dari pengetahuan tersebut sesuai atau koheren dengan proposisi-proposisi dari pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Misalnya saya mengatakan jumlah objek tertentu sebanyak 100. Proposisi seratus tadi benar adanya apabila hal tersebut memang koheren dengan proposisi yang ada sebelumnya, yaitu 100 tadi merupakan penjumlahan benda sebanyak 25+40+35. Atau jumlah 100 tadi

101

merupakan perkalian antara 10x5x2. Jadi jumlah 100 tadi benar secara koheren karena adanya memang koheran dengan prosisi 25+40+ atau proposisi 10x5x2, di mana proposisi-proposisi tersebut memang sudah ada sebelumnya, atau proposisi-proposisi tersebut memang menjadi dasar munculnya proposisi jumlah 100. Contoh lain mengenai kebenaran koherensi ini dapat dilihat dari contoh-contoh premispremis dalam logika. Misalnya ada proposisi yag menyatakan bahwa “semua manusia akhirnya akan mati.” Semua manusia akhirnya akan mati ini benar secara koherensi apabila koheren dengan proposisi yang ada sebelumnya yaitu “manusia adalah mahluk hidup” dan proposisi sebelumnya lagi adalah “semua mahluk hidup akhirnya akan mati.” Jadi pernyataan atau proposisi manusia akhirnya akan mati, benar secara koheren, karena koheren dengan proposisi manusia adalah mahluk hidup, di mana dalam proposisi sebelumnya dinyatakan semua mahluk hidup akhirnya akan mati. Dalam ilmu sosial ada pernyataan dari seorang sosiolog dari Amerika Serikat ahli tentang sosilogi Indonesia yang pernyataanya di muat dalam sebuah media massa, kira-kira pada tahun 1995. Dia menyatakan

bahwa

“kalau

bangsa

Indonesia

mau

belajar

berdemokrasi, pilihlah Presiden yang bukan orang Jawa. Karena orang Jawa masih belum siap untuk berdemokrasi.” Lalu orang bertanya tentang kebenaran sinyalemem si sosiolog tadi. Beliau menyatakan kalau sinyalemen yang dia kemukakan benar secara koheren, dengan menguraikan tentang sejarah perjalanan kerajaan-kerajaan Jawa mulai dari jaman kerajaan Mataram Hindu sampai Mataram Islam yang akhirnya pecah menjadi empat kerajaan. Dalam perjalanannya kerajaan-kerajaan Jawa tidak pernah mulus, suksesinya selalu disertai

102

dengan pertumpahan darah. Bahkan setelah merdekapun dua Presiden Indonesia yang keduanya adalah orang Jawa adalah pemimpin yang “megalomania” atau pemimpin yang gila kekuasaan. Presiden Sukarno mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, dan Presiden Suharto memang dipilih setiap lima tahun, tapi maunya terus menerus dipilih. Jadi dengan demikian, pernyataan yang menyatakan bahwa “kalau orang Indonesia ingin belajar demokrasi, jangan pilih orang Jawa, karena orang Jawa masih belum siap berdemokrasi” benar secara koheren. Di sini penulis tidak bermaksud masuk pada masalah politik, hanyalah ingin memberikan contoh bagaimana kebenaran koheren dalam ilmu sosial didapat. Dalam kegiatan proses keilmuan di mana ada salah satu tahapan yang disebut dengan pengajuan hipotesis (lihat gambar no. 4. tentang proses kegiatan keilmuan). Hipotesis yang diajukan dalam suatu proses keilmuan harus benar secara koheren. Agar memiliki kebenaran secara koheren hipotesis harus dibangun atas dasar teori, dan terori dijabarkan atas dasar kajian pustaka. Kajian putaka adalah uraian

tentang teori-teori yang berkaitan dengan variabel-variabel

yang akan dikaji atau hendak diteliti. Di sini pustaka yang dikaji tentunya putaka dari khasanah keilmuan yang memang sudah dianggap memiliki kebenaran secara keilmuan. Jadi dengan demikian, hipotesis yang benar secara koheren adalah hipotesis yang didasarkan pada dasar teori yang benar, dasar teori yang benar adalah dasar teori yang dibangun berdasarkan kajian keilmuan yang sudah benar pula. Kebenaran koherensi ini adalah kebenaran yang utuh, mutlak dan tidak terbantahkan. Misalnya jumlah 100 sebagai hasil dari perkalian 10x5x2, itu utuh, mutlak tak terbantahkan. Bukan 99,9; 9,88, atau 95,

103

dan sebagainya selain dari jumlah 100.

Hipotesis yang diajukan

dalam proses keilmuan atau penelitian ilmiah, juga harus utuh tak tergoyahkan dan tak terbantahkan secara teori atau secara rasional, karena hipotesis tadi dibangun atas dasar teori keilmuan yang sudah diakui kebenarannya. Oleh karena itu dalam membangun hipotesis harus dilakukan secara hati-hati dan cermat dalam memilih dasar teori dalam kajian pustaka, agar hipotesis yang diajukan betul-betul memiliki kebenaran secara koherensi.

25. KEBENARAN PRAGMATIS Kebenaran pragmatis adalah kebenaran pengetahuan yang di dalamnya terkandung pernyataan bahwa benar tidaknya suatu pengetahuan,

tergantung

kepada

konsekwensi

praktis

dari

pengetahuan tersebut. Dalam teori kebenaran pragmatisme ini tiada kebenaran yang mutlak, tidak ada kebenaran yang berlaku umum, tidak ada kebenaran yang tetap, tidak ada kebenaran yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal. Ini sebagai konsekuensi dari kebenaran yang selalu terkait dengan segala sesuatu yang sifatnya praktis. Pengalaman manusia terus berkembang dan terus berubah seiring dengan perjalanan waktu. Apa yang dianggap benar saat ini mungkin tidak benar pada waktu yang lain karena sudah tidak ada efek praktisnya sekalipun secara teoritis masih benar. Atau sebaliknya apa yang dianggap tidak benar saat ini karena tidak ada manfaat praktisnya, bisa saja benar pada waktu yang lain. Kebenaran pragmatis dari pengetahuan ini dalam prakteknya dapat dikoreksi oleh pengalaman-pengalaman berikutnya. Misalnya penggunaan metode belajar membaca permulaan, dulu digunakan metode “eja” yaitu: a b c

104

d e f g dan seterusnya. Adanya kelemahan metode eja ini dicarilah metode baru yang lebih baik. Kemudian metode ini diaganti dengan metode global, misalnya kala mengajarkan membaca anak tentang mobil, tidak menggunakan lagi m dibaca em, o dibaca ooo, b dibaca eb, i dibaca iii dan l dibaca eel lagi, sebagaimana yang dilakukan dalam metode eja, tetapi langsung dikenalkan dengan kata “mobil.” Kemudian metode ini diganti lagi dengan metode struktur, analisis dan sintesis (SAS) dan seterusnya. Contoh lain misalnya produk obatobatan sebagai realisasi dari manfaat keilmuan, yang sebelumnya diakui memiliki kegunaan praktis, bisa saja ditarik dari peredaran karena manfaat praktisnya sudah dianggap tidak memadai atau kadang-kadang dianggap membahayakan kesehatan.

VII.

ILMU DALAM PERSPEKTIF PERKEMBANGAN FILSAFAT BARAT

Berfilsafat bukanlah monopoli para filosof, karena berfilsafat memang merupakan aktivitas manusia dari sejak awal keberadaannya. Disadari atau tidak, setiap individu akan berfilsafat pada saat dihadapkan

pada

masalah

hidup

yang

fundamental,

yang

membutuhkan jawaban yang jelas. Ini diawali sejak manusia mulai mengagumi sesuatu, mempertanyakan makna serta asal mulanya. Sejak saat itu pula dengan berbagai upaya dan cara, manusia berusaha mendapatkan jawaban, sekalipun jawaban yang didapat akhirnya masih berada dalam wilayah yang bersifat spekulatif dan non empirik (Siswomihardjo, 1985).

105

Filsafat sebagai pengetahuan dan bahkan dikatakan sebagai induk dari semua pengetahuan yang akan diuraikan di sini, adalah filsafat dalam arti tradisi pemikiraan barat yang biasa dikenal dengan filsafat barat. Filsafat barat tersebut tidak bisa terlepas dari tradisi pemikiran Yunani kuno yang memang menjadi sumber atau akarnya, di dalam sejarah perkembangannya. Sekalipun filsafat saat ini cenderung dikenal sebagai filsafat barat, atau tradisi pemikiran barat, tetapi perkembangan filsafat dan dipisahkan dari

ilmu pengetahuan, tidak dapat

perkembangan filsafat Yunani sebagaimana yang

telah disebutkan di atas, yang sumbernya memang dari filsafat Yunani kuno. Dalam sejarahnya, bagi orang Yunani hal tersebut bukanlah sekedar pengetahuan yang berada sejajar dengan pengetahuanpengatahuan yang lain, akan tetapi marupakan pengetahuan yang mencakup segala pengetahuan yang lain tadi. Yunani adalah tempat awal dimulainya persemaian ilmu pengetahuan dan pemikiranpemikiran keilmuan. Di sini jelas apabila kita akan mempelajari filsafat dan segala sesuatau yang berkaitan dengan masalah keilmuan akan

kesulitan

memahami

tanpa

mengetahui

sejarah

perkembangannya dan sedikit kultur Yunani (Bertens, 1999). Filsafat Yunani, dimulai sejak munculnya filosof pra-Socrates dan kaum sofis yang mengadakan gerakan demitologi yang disusul kemudian oleh Socrates, Plato, Aristoteles serta filosof sesudahnya. Sebelum munculnya filosof pra-Socrates dan kaum sofis tadi, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam hidupnya, orang Yunani mencari jawabannya pada mitos-mitos. Atas dasar mitologi, manusia pada waktu itu, berusaha menjelaskan berbagai macam gejala alam dengan segala macam aturannya; sedangkan para

106

dewa dengan segala keperkasaan dan kekuasaannya ditempatkan sebagai sumber dari segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam semesta ini. Misalnya tentang manusia yang terdiri dari dua aspek yaitu “jiwa dan raga,” sudah menjadi persoalan yang dicoba dicari jawabannya sejak jaman mitologi ini. Kalau manusia terdiri dari jiwa dan raga, pertanyaannya apa itu jiwa, kalau jiwa itu ada dalam tubuh manusia di mana tempatnya? Lalu pada waktu itu jawabannya didasarkan pada mitos, atau sengaja dibuatkan mitosnya. Tersebutlah dalam cerita rakyat Yunani kuno ada sesosok arwah wanita (immortal woman) yang cantiknya luar biasa yang menjadi pujaan dan perhatian bagi semua laki-laki, yang bernama “Psyche.” Saat kehadiran Psyche di jagad raya ini, segala perhatian orang tertuju pada si arwah wanita cantik tadi,

dan setiap pembicaraan yang berhubungan dengan

kecantikan, selalu yang menjadi acuannya adalah sosok psyche. Hal ini membuat rasa cemburu sesosok dewi yang bernama “Venus,” di mana sang dewi memang dikenal akan kecantikannya, dan menjadi pusat perhatian semua laki-laki serta menjadi rujukan bagi semua orang sebelumnya, apabila sedang membicarakan masalah kecantikan. Untuk melampiaskan rasa cemburunya, sang dewi berencana untuk membunuh si Psyche, yang diposisikan sebagai pesaingnya, yang dianggapnya wanita jalang dan penggoda. Dia mengutus anaknya yang benama Cupitos, akan tetapi dia gagal menjalankan misi yang diperitahkan ibunya, karena ketika dia melihat Psyche, dia begitu terpesona dengan kecantikan psyche yang luar biasa menariknya. Dia tidak jadi membunuh saingan ibunya itu, bahkan dia jatuh cinta dan merencanakan

melakukan

hubungan

asmara

dan

melakukan

pertemuan secara rahasia di suatu tempat setiap malam. Dalam

107

pertemuan rahasia tadi ada suatu kesepakatan bahwa Psyche tidak boleh mencoba memandang wajah Cupitos. Untuk sementara Psyche begitu senang, akan tetapi saudara perempuannya merasa curiga kalau kekasihnya itu adalah bukan sebangsa dewa yang tampan, akan tetapi dewa yang buruk rupa sehingga cenderung menyembunyikan wajah jeleknya di kegelapan. Kecurigaan ini muncul karena Psyche tidak diperkenankan untuk menemaninya di siang hari. Karena tidak tahan menahan rasa ingin tahunya dengan penerangan lilin dia mencoba melihat Cupitos dikala sedang tidur. Dia begitu senang ketika melihat wajah kekasihnya yang begitu tampan, tidak seperti kecurigaan saudaranya. Akan tetapi karena dia ceroboh, tidak hati-hati, maka malam dari lilin yang dia pegang tumpah mengenai Cupitos, sehingga membuatnya terbagun. Karena melihat Psyche tidak mematuhi perintah, untuk tidak melihat wajahnya, maka Cupitos dengan marah meninggalkannya. Dengan rasa hampir putus asa dan harap-harap cemas Psyche berusaha mencari dewa kekasihnya tadi, dan akhirnya sampai pada keputusan untuk menghadap dewi Venus dengan tujuan untuk dipertemukan kembali denga Cupitos. Selanjutnya Venus mengatur siasat untuk mencegah bersatunya kembali Psyche dengan Cupitos, dengan cara memberikan tugas yang tidak mengkin dapat dilakukan dan berhasil oleh Psyche sebagai sosok immortal. Tugas tersebut adalah menjelajahi dunia tempat tinggal para arwah orang yang sudah meninggal untuk mencari dan mengambil seperangkat alat kecantikan milik ratu Hades dan kemudian diserahkan kepada dewi Venus sebagai persyaratan kalau ingin bersatu kembali dengan Cupitos. Dalam kaitannya dengan tugas berat bagi keksihnya tadi, Cupitos membantunya dengan cara membawanya menghadap kepada

108

dewa Yupiter, di mana menurut cerita rakyat Yunani Kuno, sang dewa tersebut merupakan dewa dari semua dewa. Kemudian dewa Yupiter memberikan status dewi bagi Psyche, yang sederajad dengan dewadewa. dan dew-dewi yang lain, yang berarti sama statusnya dengan Cupitos yang memungkinkannya untuk dapat melakukan tugas yang diberikan oleh calon mertuanya dengan baik; sehingga dia dapat menyerahkan seperangkat

alat kecantikan milik ratu Hades

sebagaimana yang dipersyaratkan oleh dewi Venus. Kemudian dengan status tersebut pula “Cupit and Psyche were reunited forever, and the ancent story comes to a happy ending,” Cupitos dan Psyche atau raga dan jiwa dipersatukan untuk selama-lamanya. Begitulah cara orang Yunani kono dalam menjawab persoalan yang muncul dalam kehidupannya seperti contoh tadi yaitu tentang hubungan antara jiwa dan raga manusia. Cupitos dimaksudkan sebagai raga dan Psyche dimaksudkan sebagai jiwa. Cara-cara orang jaman Yunani kuno menjawab persoalan apapun, selalu didasarkan pada mitos atau memang sengaja dibuatkan mitosnya, dan hal ini berlangsung hingga sampai pada munculnya masa demitologi (Epstein dan Shontz, 1971).

26. MASA PRA-SOCRATES (Demitologi Kaum Sofis) Demitologi muncul karena orang sudah tidak percaya lagi pada mitos-mitos, dan sudah mulai menggunakan nalarnya dalam memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupannya. Demitologi ini dimulai pada abad ke-6 S.M; setelah munculnya filosof seperti Thales, Anaximander, Pytagoras, Demokritos dan lain-lain, sampai pada puncak perkembangan dan kejayaannya setelah munculnya trio filosof besar yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles yang

109

berakhir pada abad ke-6 M; sebagaimana yang akan dikemukakan dalam uraian-uraian lebih lanjut (Siswomihardjo, 1985).

Thales (625-545 S.M.). Ia seorang Yunani yang tinggal di pesisir Miletos, yang sekarang disebut dengan Turki. Munculnya pemikiran fisafat, yaitu ketika orang sudah mulai meragukan dan bahkan tidak percaya lagi akan dongeng-dongeng atau mitos-mitos yang kebenarannya hanya dapat diterima oleh kepercayaan, bukan oleh akal. Orang sudah mulai menggunakan nalarnya di dalam mencari jawaban terhadap asal mula alam semesta yang sangat menakjubkan ini yang dimulai pada abad ke 6 S.M. Masa ini adalah penanda dimulainya masa yang dikenal sebagai masa “demitologi” dalam sejarah perkembangan filsafat. Para filosof periode ini membuat dua terobosan sekaligus. Pertama, mereka berusaha memahami dunia dengan menggunakan rasio semata-mata, tanpa merujuk kepada mitos-mitos, agama, otoritas dan tradisi. Ini adalah sesuatu yang baru sama sekali

dan salah satu tonggak sejarah

terpenting dalam perkembangan peradaban manusia. Kedua, mereka sekaligus mengajari orang lain untuk berpikir dengan menggunakan nalar atau rasionya sendiri. Mereka tidak mengharuskan orang lain bahkan murid-muridnya sendiri, untuk selalu sepakat dengan mereka. Merekalah guru pertama yang tidak berusaha untuk menyampaikan suatu paket pengetahuan yang murni tanpa cacat. Sebaliknya, mereka justru mendorong murid-muridnya agar menyampaikan pendapat atau gagasan mereka sendiri secara kritis. Kedua, langkah revolusioner ini muncul secara bersamaan dalam panggung sajarah kefisafatan, dan saling terkait antara keduanya. Keduanya menjadi fondasi pemikiran

110

rasional, di mana atas dasar fondasi tersebut, pengetahuan manusia berkembang dengan begitu pesatnya (Magee, 2008). Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, para filosof fase demitologi ini hadir di dunia Yunani kuno, yaitu pada abad ke 6 S.M; dan filosof yang dianggap paling awal ialah Thales dan para pengikutnya yang hidup kira-kira tahun 580-an S.M. Ia seorang ahli teknik sipil, yang berhasil membelokkan aliran sungai Hylas. Sehingga raja Croceus dapat menyeberang.

Thales juga terkenal

karena waktu itu ia pernah meramal terjadinya gerhana matahari dengan tepat, yang terjadi apada tahun 585 S.M, serta aktif di bidang politik dan menjadi penasehat raja. Salah satu pertanyaan yang paling memikat Thales adalah “terbuat dari apakah dunia ini”? Berdasarkan hasil pemikirannya Thales sampai pada suatu keyakinan, bahwa segala yang ada di dunia ini terbentuk dari satu unsur yaitu air. Asas pertama yang menjadi asal mula sesuatu adalah air, hanya wujudnya bermacam-macam. Air menjadi padat pada temperatur rendah dan menjadi uap pada temperatur tinggi. Setelah turun hujan tumbuhan muncul dari dalam tanah, sehingga menimbulkan kesan bahwa tumbuhan itu adalah air dalam wujud lain. Semua mahluk hidup membutuhkan pasokan air yang banyak setiap saat supaya bertahan hidup. Sekitar 60% dari bagian tubuh manusia adalah air. Setiap daratan

pasti

berujung

di

tepi

perairan.

Akhirnya

Thales

berkesimpulan bahwa buni ini muncul dari air, terapung-apung di atas air (laut), dan dengan demikian bumi berasal dari air dan terdiri dari air pula (Hadiwijono, 1983; dan Magee, 2001)

111

Anaximandros (610-540 S.M). Ia lahir di Miletos. Ia adalah murid dari Thales. Anaximandros berpikir bila benar apa yang dikatakan Thales bahwa bumi terapung di atas air (laut), maka laut pastilah ditopang oleh sesuatu yang lain, dan seterusnya tanpa batas akhir (ad vinitum). Ini yang disebut dengan regresi tanpa akhir, di mana hal ini merupakan suatu dilema. Dilema ini dijawab oleh Anaximandros dengan ide yang sangat cemerlang, yaitu bumi tidak ditopang oleh apapun. Bumi adalah sebuah benda padat yang menggantung di ruang angkasa, dan bumi tetap ada di posisinya karena

jaraknya

yang

sama

dengan

segala

benda

lainnya.

Anaximandros masih sampai pada angapan bahwa bumi ini seperti bola dunia, karena ia masih percaya bahwa kita berada di atas permukaan yang datar seperti selinder yang berbentuk seperti tong yang terletak di pusat jagat raya, bukan terapung di atas air. Kita berjalan pada salah satu permukaanya yang datar, sementara orangorang lain berada di sisi sebaliknya. Thales tidak mencari azas pertama. Tentang azas pertama menurut Anaximandros, adalah to apeiron (yang tak terbatas). Asas pertama disebut demikian, karena tidak memiliki sifat-sifat benda yang dikenal manusia (Magee, 2008). Anaximandros berpandangan bahwa dunia ini terjadi dari hal yang tak terbatas disebabkan karena perceraian dari anasir-anasir dari to aperion yang tak terbatas tadi. Anasir yang saling berlawanan: panas dan dingin, serta kering dan basah. Selain itu di dunia ini ada hukum keseimbangan. Apabila ada dari anasir-anasir yang berlawanan tadi ada yang dominan, maka hukum keseimbangan yang ada mengusahakan keseimbangan. Perceraian tadi mengakibatkan adanya gerak puiting beliung yang memisahkan dingin dari panas, sedangkan

112

yang panas kemudian membalut yang dingin. Gerak puting beliung yang demikian itu mengakibatkan terjadinya bola raksasa, dengan yang dingin berada di tengah-tengah yang panas. Karena panas itu, maka air lepas dari tanah dan menjadi kabut. Udara menekan bola itu sedemikian rupa, sehingga meletus menjadi sejumlah lingkaran yang berpusat satu. Tiap lingkaran terdiri dari api yang dibalut udara, sedangkan tiap lingkaran memiliki satu lubang, yang menjadikan api yang ada di dalamnya tampak seperi bintang-bintang, bulan dan matahari. Sebagaimana yang telah disebut sebelumnya, bumi yang berbentuk selinder itu letaknya persis di pusat jagad raya, bukan di atas air. Sekalipun bumi tidak ditopang oleh suatu apapun, namun selalu ada pada tempatnya, karena berada dalam jarak yang sama dari semua benda-benda lainnya (Hadiwijono, 1983 dan magee, 2008).

Anaximenes (538-480). Anaximenes adalah murid Anaximandros. Dia berpandangan sangat berbeda dengan sang guru. Baginya tidak ada keraguan sedikitpun bahwa bumi ini berbentuk datar, dan di samping itu pasti ada penopangnya. Bahkan ia berpendapat bahwa bumi ini mengapung di angkasa seperti tutup panci yang terapung karena dorongan uap. Dia tidak menerima pandangan Anaximandros tentang hal yang tak terbatas (to aperon), dapat menjadi asas pertama seluruh alam semesta dengan segala isinya. Baginya azas pertama dan asal dari segala sesuatu adalah udara. Keberadaan udara meliputi seluruh jagad raya, dan udaralah yang menjadikan manusia hidup. Kalau tidak ada udara manusia tidak akan dapat bernafas, dan bila tidak bernafas manusia akan mati. Udara mempersatukan segala sesuatu yang ada di jagad raya ini, seperti

113

halnya jiwa mempersatukan segala sesuatu dalam diri manusia. Karena udara memadat, maka timbullah secara berturut-turut angin, air, tanah dan batu. Sebaliknya bila udara menjadi encer, maka timbullah api. Demikianlah dari udara terjadi anasir-anasir yang membentuk jagad raya dengan segala isinya. Anaximenes selama puluhan tahun lebih berpengaruh dan lebih terkenal daripada Aneximandros, ini berarti Anaximenes banyak pengikutnya, sekalipun sudah ada pemikir-pemikir sebelumnya yang mencetuskan pemikiran yang lebih baik. Memang, perjalanan sejarah filsafat tidak selalu bergerak mengikuti garis linier atau lurus, namun kadang maju, dan kadangkala mundur (Hadiwijono, 1983 dan Magee, 2001).

Heraklitos (540-475, S.M). Ia lahir dari Efesus, sebuah kota kecil di pesisir yang sama dengan Miletos. Ia adalah kawan dari Pytagoras dan Xenophanes, hanya ia lebih muda, akan tetapi lebih tua dari Parmenides. Ia dijuluki si gelap, karena jalan pikirannya sulit dipahami. Ada dua ide yang membuatnya dia menjadi masyhur, dan kedua ide tersebut sangat berpengaruh. Yang pertama adalah kesatuan dari hal-hal yang bertentangan. Katanya, jalan naik keatas bukit dan turun dari atas bukit bukanlah dua jalan yang berbeda arah, melainkan jalan yang sama dengan arah yang sama. Heraklitos tua dan Heraklitos muda bukanlah dua individu yang berbeda melainkan kedua-duanya adalah heraklitos. Konsekuensi dari ide ini, adalah munculnya kontradiksi yang tidak dapat dihindari. Akan tetapi justru karena adanya kontradiksi tadi, kita dapat menyaksikan dunia ini menjadi berputar. Oleh karena itu menghindari kontradiksi sama dengan menginkari kenyataan. Ide kedua dari Heraklitos, adalah segalanya

114

serba mengalir. Tidak ada sesuatupun di dunia ini terus ada seperti keadannya sekarang. Segalanya terus berubah sepanjang waktu. Segala sesuatu bergerak terus menerus, bergerak secara abadi, seluruh kenyataan bagaikan arus sungai. Tidak ada sesuatupun yang betulbetul ada, sebab semuanya bukan berada, tetapi menjadi. Seperti air sungai tadi, datang dan terus berlalu, bergantian. Demikian pula tentang segala sesuatu, tiada yang tetap, karena hakekat sesuatu adalah menjadi (Hadiwijono, 1983, Bertens, 1999, Russel 2007 dan Magee, 2008).).

Pythagoras (580-500 SM). Ia lahir di Samos, sebuah pulau di lepas pantai Miletos. Pytagoras adalah seorang tokoh yang paling menarik dan membingungkan dalam sejarah, yang merupakan adonan yang sempurna antara kebenaran dan kekeliruan. Ia mendirikan sebuah agama dengan ajaran utamanya adalah perpindahan jiwa dan mengharamkan orang makan buncis. Ajarannya diwujudkan dalam bentuk

ordo

keagamaan

yang

meneguhkan

kekuasaan

dan

kepemimpinan para pendeta atas sebuah Negara. Ia genius dalam berbagai

bidang,

antara

lain

matematika.

Pythagoras

yang

memperkenalkan gagasan tentang “bilangan kuadrad” dan “bilangan pangkat tiga”, serta yang pertama menerapkan konsep-konsep geometri ke dalam aritmatika. Berkat ajarannya, “teori” mendapatkan maknanya dalam kegiatan keilmuan seperti saat ini. Ada dugaan bahwa dialah tokoh yang pertama kali menggunakan istilah “filsafat” dan yang pertama kali menggunakan kata “kosmos” untuk alam semesta. Tentang bilangan, ia menyatakan bahwa asas pertama dari segala sesuatu adalah bilangan yang mewujudkan satu kesatuan.

115

Unsur-unsur atau asas dari bilangan terdapat pada segala sesuatu yang ada. Unsur-unsur bilangan dimaksud adalah: genap dan ganjil, serta terbatas dan tidak terbatas. Dari bilangan yang berlawanan akan muncul suatu harmoni, misalnya antara bilangan ganjil dan bilangan genap. Seluruh kenyataan di dunia ini disusun dari bilangan-bilangan yang mewujudkan suatu harmoni atau keselarasan yang dapat mendamaikan segala sesuatu yang saling berlawanan. Menurut Pythagoras ada 10 asas yang saling berlawanan, yaitu: Terbatas lawan dari tidak terbatas, ganjil lawan dari genap, peria lawan dari wanita, diam lawan dari bergerak, lurus lawan dari bengkok, terang lawan dari gelap, baik lawan dari jahat, dan persegi lawan dari bulat panjang. Pytagoras juga sebagai pembuka jalan bagi pembahasan matematika bersama filsafat sebagai salah satu konsep yang sangat produktif dalam sejarah kemanusiaan. Sejak saat itu matematika berkembang secara simbiosis bersama dengan filsafat dan sains (Hadiwijono, 1983, Russell, 2007 dan Magee 2008).

Xenophanes (570-480 SM). Ia dilahirkan di Yunani, akan tetapi melewatkan sebagian besar hidupnya di Italia Selatan, dan sezaman dengan Anaxagoras dan Pythagoras. Sebenarnya, semula ia bukan seorang filosof, tapi seorang penyair yang kritis, yang mengenal tentang pemikiran-pemikiran filosofis yang berkembang saat itu. Ia berpendapat, bahwa pengertian manusia tentang berbagai hal, merupakan ciptaan manusia itu sendiri, demikian pula dengan pengetahuan. Karena belajar, maka kita akan dapat mengubah ide-ide kita. Semakin banyak kita belajar, ide-ide kita akan semakin berkembang, dengan demuikian kita akan semakin mendekati

116

kebenaran. Namun ide-ide tersebut tetaplah ide kita sendiri yang selalu berisi unsur menebak-nebak. Tentang kebenaran sendiri tak seorangpun tahu tentang segala hal, termasuk tentang dewa-dewa. Tentang yang ilahi, ia menolak kepercayaan banyak ilahi. Yang ilahi adalah satu-satunya yang ada, yang merangkum segala sesuatu. Tapi ia tidak membedakan dengan jelas antara kepercayaan monoteistis dengan politeistis. Tulisan Xenophanis diterjemahkan oleh filosof abad ke 20 oleh Karl Popper. Salah satu pokok filsafatnya adalah yang kita sebut sebagai pengetahuan ilmiah, adalah pengetahuan yang didasarkan pada informasi yang tidak lengkap, di mana pengetahuan tadi sifatnya tentatif dan falsiviable

yang selalu dapat digantikan

kemudian, oleh sesuatu yang lebih mendekati kebenaran (Hadiwijono, 1983 dan Magee, 2008).

Parmenides (540 – 475 SM). Pemikiran Parmenides berbeda dengan pemikiran Heraklitos bahwa hakekat dari kenyataan itu adalah perubahan. Pandangan Parminedes adalah, hakekat dari kenyataan bukanlah yang bergerak, yang selalu berubah, melainkan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Dalam pandangannya, alam semesta adalah sebagai sebuah entitas tunggal yang tak berubah. Segala sesuatu pasti ada, yang tidak berasal dari kitiadaan, dan mustahil segala sesuatu yang ada menjadi tiada. Oleh karena itu yang dapat dipikirkan hanyalah yang ada; sedangkan yang tiada tidak dapat dipikirkan. Karenanya, yang berada identik dengan berpikir. Apa yang tampak sebagai perubahan, atau gerak, sesungguhnya sesuatu yang terjadi dalam suatu sistem yang tertutup dan senyatanya tidak berubah. Semua serba deterministik, tidak berubah, dan sudah seharusnya ada

117

seperti adanya sekarang. Pandangan tersebut amat mirip dengan pandangan ilmiah tentang alam di era abad ke 17 dan abad ke 20 yaitu Newton dan Einstein. Ini jelas sekali identik dengan teori dari Rene Descarte “Cogio Ergo Sum” artinya aku berpikir maka aku ada. (Hadiwijono, 1983, Russell 2009 dan Magee, 2008).

Empedokles (492 – 432 SM). Paduan antara filosof, Nabi, ilmuan dan dukun yang ditemukan dalam diri Phytagoras, terpancar dengan amat sempurna dalam diri Empedokles. Ia dianggap filosof pra-Socrates yang sangat menarik. Ia seorang pemimpin politik yang demokratis yang konon terkenal memiliki kekuatan gaib. Ia seorang filosof yang memiliki riwayat hidup melodramatik, yang meninggal karena bunuh diri di kawah sebuah gunung berapi. Pandangannya berbeda dengan pandangan Parmenides yang menyatakan segala sesuatu tidak berubah. Menurut dia, dunia ini plural, tidak satu. Pengalaman inderawi senantiasa berubah, tidak ada yang tetap. Akan tetapi ada gagasan Parmenides yang ia ambil, yaitu bahwa materi tidak muncul dari ketiadaan, dan tidak akan lenyap dalam ketiadaan. Segala sesuatu terbentuk dari empat unsur abadi, yaitu: tanah, air, udara, dan api. Api dimaksud, berarti api yang ada di ruang angkasa yaitu: matahari dan bintang-bintang. Doktrin empat unsur abadi ini kemudian diadopsi oleh Aristoteles, dan memainkan peran penting dalam perkembangan pemikiran dunia Barat, hingga masa Renaisans (Russell, 2007 dan Magee, 2008).

Anaxagoras (480 – 411 SM). Ia adalah orang pertama yang memperkenalkan filsafat kepada masyarakat Athena, dan filosof

118

pertama yang berpendapat bahwa roh adalah penyebab utama dari perubahan-perubahan fisik. Anaxagoras menolak ajaran Parmenides, yang monoistis. Menurutnya kenyataan bukanlah satu, sebab kenyataan itu terdiri dari anasir-anasir yang masing-masing memiliki kualitas yang sama dengan kualitas yang ada, yaitu: tidak dijadikan, tidak berubah dan berada di ruang kosong. Wawasan Anaxagoras memiliki kesamaan dengan denagan wawasan Empedokles yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu terbentuk dari empat unsur yaitu tanah, air, udara dan api. Hanya ada perbedaan, menurut Anaxagoras unsur-unsur tadi bukanlah hanya empat, tetapi banyak dan tak terbilang dan bermacam-macam, yang dia sebut sebagai benih-benih (spermata). Seperti Empedokles, ia juga mengajarkan teori tentang panggabungan dan perceraian. Segala sesuatu terjadi dari benih-benih yang banyak tadi, di mana semua benih mengandung semua kualitas. Sekalipun benda dapat dibagi-bagi hingga tak terhingga, namun semua kualitas ada pada benda itu. Daun misalnya, tidak hanya berwarna hijau, karena kenyataanya ada daun yang berwarna kuning, merah, coklat, bahkan ada juga daun yang berwarna hitam. Kenyataan seluruhnya adalah campuran dari berbagai benih, di mana di dalam setiap benda terkandung semua benih. Hanya saja yang dapat terlihat adalah benih yang dominan, misalnya salju tampak putih, darah tampak merah, daun tampak hijau dan sebagainya (Hadiwijono, 1983 dan Russell. 2007). Yang sangat penting ajaran Anaxagoras adalah, teori tentang “nous” (roh dan rasio). Roh adalah substansi yang terkandung dalam komposisi mahluk-mahluk hidup, dan karena rohlah mahluk hidup berbeda dengan benda-benda mati. Roh ini terpisah dari segala

119

sesuatu, tidak tercampur dengan benih-benih. Ia memisahkan antara roh dengan benda-benda. Roh ini adalah yang terhalus dan paling sempurna dari segala sesuatu. Oleh karena itu roh menguasai segala sesuatu yang berjiwa. Semula benih-benih menimbulkan suatu “chaos” atau kekacauan, kemudian roh menimbulkan suatu gerak dunia, dalam kekacauan tadi, sehingga muncullah ketertiban (Hadiwijono 1983 dan Russell, 2007).

Filosof Atomis: Leukippos, dan Demokritos (460 – 370 SM). Nama keduanya nyaris mustahil untuk dipisahkan, karena keduanya sama-sama melahirkan gagasan tentang atom dalam upaya untuk mejembatani paham monisme yang digagas oleh Parmenides, dan paham pluralisme yang digagas oleh Epidokles. Mereka berdua dikenal sebagai kelompok atomis. Leukippos mengemukakan gagasan yang sangat fundamental tentang alam semesta. Alam semesta ini terbentuk dari atom yang sangat kecil sehingga tak dapat dilihat dan tak dapat dibagi. Kata atom sendiri berasal dari kata Yunani yang berarti tidak dapat dipotong. Segala yang ada adalah terbentuk dari atom dan ruang. Adanya perbedaan antara benda-benda dikarenakan perbedaan formasi atom-atom ini. Atom tidak diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan.

Perubahan yang terjadi di alam semesta ini

sesungguhnya adalah perubahan formasi atau perpindahan atom-atom belaka (Russell, 2007 dan Magee, 2008). Demokritos, seperti halnya filosof yang lain, mengajarkan bahwa kenyataan bukan hanya satu, tetapi terdiri dari banyak unsur, dari bagian terkecil seperti diajarkan oleh Anaxagoras yang disebut dengan spermata atau benih-benih. Hanya saja bagian terkecil tadi

120

oleh Demokritos tidak disebut dengan spermata, tetapi disebutnya dengan atom (atomos) yang artinya tidak terbagi. Tentang perubahan, Leukippos dan Demokritos manafsirkannya sebagai perubahan secara kausal. Mereka tidak pernah menerangkan tentang fenomena alam dari segi tujuannya. Demokritos berujar, “aku lebih suka menemukan suatu sebab dari sesuatu, dibandingkan mendapatkan kekuasaan atas kerajaan Persia.” Teori lain yang mereka ajarkan adalah bahwa alam semesta bukanlah sebuah kontinum, seperti yang diyakini Parmenides; melainkan terdiri dari entitas-entitas yang terpisah. Tentang gerak, Demokritos menyatakan bahwa itu terjadi karena adanya ruang yang berisi dan ada ruang yang kosong. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Parmenides yang tidak mengakui ruang kosong. Menurut dia, ruang kosong adalah nyata, karena yang berada bukanlah hanya yang ada, tapi ruang kosong juga berada. Semua atom memang tidak tampak, tetapi senantiasa bergerak. Gerakan terjadi karena ruang yang penuh mengisi ruang yang kosong. Gerak ini terjadi secara spontan dan menuju ke semua arah atau jurusan, di mana atom-atom tersebut saling kait mengkait. Kejadian tersebut menyebabkan adanya gerakan puting beliung, yang makin lama makin menarik banyak atom, dan atom yang besar ada di pusat, sedangkan atom yang lebih kecil dilontarkan ke tepi. Terbetuknya kosmos, menurutnya karena adanya mekanisme gerak atom tadi. Wawasan mereka tentang ini dianggap wawasan yang sangat original, yang sekalipun tidak terlalu tepat, perkembangan ilmu atom di kemudian hari adalah berkat jasa mereka (Hadiwijono, 1983 dan Magee, 2008).

121

Protagoras (480 – 411 SM). Ia berbeda dengan filosof lainnya yang konsentrasinya lebih ditujukan pada pemahaman akan alam semesta daripada untuk memahami tentang manusia. Bahkan mereka kelihatannya masih belum memiliki konsep terntang hakekat manusia. Protagoras mengatakan bahwa manusia adalah tolok ukur segala hal, baik yang ada maupun yang tiada. Manusia adalah ukuran segalanya. Jika manusia menganggapnya demikian, ya demikianlah adanya dan jika tidak demikian, maka tidaklah demikan pula adanya. Manusialah yang menentukan benar tidaknya sesuatu, atau ada tidaknya sesuatu. Apakah sesuatu itu benar atau tidak, tergantung pada orang yang bersangkutan. Sesuatu yang baik bagi seseorang, belum tentu juga baik bagi orang lain. Seperti halnya dengan angin, terasa segar bagi orang yang sehat, akan tetapi membuat menggigil bagi orang yang sakit. Suatu pendirian dianggap benar bagi seseorang, bisa juga dianggap tidak benar bagi orang lain. Itu semua tergantung pada masing-masing orang yang menerimanya (Hadiwijono, 1983 dan Russell, 2007). Tentang negara, menurutnya manusia mendirikan negara bukanlah karena alam, tetapi karena kesulitan hidup yang dihadapi tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, sehingga

mereka butuh

kehidupan bersama. Kenyataannya, hidup bersamapun juga tidak mudah. Guna mengatasi kesulitan yang disebabkan oleh kehidupan bersama, maka diciptakanlah apa yang disebut dengan keadilan (dike) dan hormat terhadap orang lain (aidos). Semua itu memang dikehendaki oleh manusia itu sendiri misalnya direlisasi dengan undang-undang. Akan tetapi undang-undang itu baik atau tidak masih

122

juga tergantung pada masing-masing orang yang menerimanya (Hadiwijono, 1983).

Kaum Sofis. Para filosof sebagaimana dikemukakan di atas, dikenal sebagai filosof pra-Socrates, sekalipun sebagian dari mereka hidup hampir bersamaan dengan Socrates. Misalnya Demokritos, Empidokles, Anaxagoras dan protagoras, hidup sezaman dengan Socrates. Mereka dikatakan sebagai filosof pra-Socrates, untuk menunjuk bahwa mereka tidak mendapatkan pengaruh dari pemikiranpemikiran Socrates. Sekalipun ada beberapa kesamaan di antara mereka, filsafat Socrates merupakan suatu reaksi dan kritik terhadap pemikiran mereka yang juga dikenal sebagai kaum Sofis. Sebutan sofis ini awalnya berarti sarjana atau cedekiawan. Kemudian dalam perkembangannya sofis, berkonotasi dengan sesuatu yang tidak baik, kaum penipu, karena para guru profesional dari kalangan cendekiawan tadi sudah mulai komersial, dengan kemampuan retorika dan argumentasi yang tidak benar, berkeliling untuk meminta uang sebagai imbalan atas

ajaran

yang mereka berikan.

Mereka

mengajarkan dan melatih kaum muda berbagai pengetahuan dan keterampilan, khususnya seni berargumentasi dan berbicara di depan umum untuk mempengaruhi orang (dalam konotasi yang tidak baik). Tokoh kaum Sofis yang paling terkenal adalah Protagoras yang hidup sekitar Tahun 480 – 411 SM. Kemudian pada abad ke-4 Masehi para sarjana atau cendekiawan tidak lagi disebut sofis, tetapi “filofos” atau filosof, sebagaimana yang kita kenal saat ini, yang membedakan kaum cendekiawan yang komersial dan tidak jujur yaitu kaum Sofis, dengan

123

cendekiawan yang memang bijaksana (Hadiwijono, 1983 dan Magee, 2008).

27. MASA SOCRATES Masa ini ditandai oleh kehadiran tiga tokoh besar yang sangat berpengaruh dalam dunia kefilsafatan, yaitu: Socrates, Plato dan Aristoteles. Masa ini dianggap sebagai metamorfosis filsafat dari langit ke bumi, karena kajiannya bukan lagi jagad raya, akan tetapi manusia manusia yang menjadi objek kajiannya.

Socrates (469 – 399 M). Socrates adalah Filosof pertama yang lahir sebagai orang Athena. Tidak ada tahun pasti tentang kelahirannya, tetapi tahun kelahiran yang ada dibuat berdasarkan tahun kematiannya. Konon ia berasal dari keluarga kaya, yang kemudian jatuh miskin, tetapi memiliki latar belakang pendidikan yang baik. Ia dijatuhi hukuman mati dengan cara harus minum racun, pada tahun 99 S M disaat ia berusia 70 tahun dengan meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak. Ia mempelajari berbagai macam filsafat yang sedang menjadi mode pada saat itu. Ada dua hal dari filsafat sebelumnya yang ia pelajari yang membuatnya terkesan yaitu kekurangan mereka. Yang pertama, adalah bahwa pemikiran yang berbeda-beda dari sekumpulan teori yang saling bertentangan. Ide-ide atau teori-teori mereka tentang dunia begitu menarik, tetapi ada perhatian untuk mengkritisi, hal ini menimbulkan kesulitan untuk menentukan mana yang benar di antara teori-teori tadi. Yang kedua, kalaupun dapat menentukan mana yang benar dari ide-ide atau teoriteori tadi, tidaklah banyak gunanya. Pengetahuan tentang berapa jarak

124

antara bumi dan matahari atau mana yang lebih besar antara matahari dan bumi, tidak akan mengubah perilaku kita (Hadiwijono 1983 dan Magee, 2008). Bagi Socrates, masalah yang penting bagi manusia adalah jawaban terhadap pertanyaan tentang apa yang baik, apa yang benar, dan apa itu keadilan. Mencari jawaban-jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan di atas, pastilah akan memiliki dampak yang luar biasa untuk kehidupan manusia. Seperti itulah kiranya pengetahuan yang perlu kita cari demi menjalani kehidupan dan mengatur kehidupan kita sendiri, di mana Socrates sendiri merasa tidak memiliki pengetahuan tersebut seperti halnya yang lain pula. Pada masa itu memang masih belum ada pengetahuan yang kokoh dan kuat mengenai alam, dan mengenai seluk-beluk tentang manusia. Oleh karena itu ia berkelana menyusuri seluruh penjuru Athena, bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan seperti politikus, pejabat, para tukang dan lainlainnya, sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang banyak hal seperti masalah moralitas dan politik. Pertanyaan-pertanyaan Socrates

tersebut

diajukan

kepada

siapa

saja

yang

mau

mendengarkannya dengan cara dengan cara dialogis (Hadiwijono, 1983 dan Magee, 2008). Socrates selain memiliki kepribadian yang menyenangkan dan juga karismatik, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan juga sangat menarik; sehingga kemanapun ia pergi, di manapun ia berada, selalu dikelilingi banyak orang dengan penuh antusias, terutama dari kalangan orang-orang muda. Kepada mereka yang ditemui, Socrates mengajukan

pertanyaan

mengenai

kehidupan

sehari-hari

dan

pekerjaan mereka. Jawaban-jawaban dari mereka dianalisis dan

125

disimpukan sebagai suatu hipotesis. Selanjutnya hipotesis-hipotesis tadi dikemukakan untuk didiskusikan lagi dengan mereka, kemudian dianalisis dan disimpulkan lagi; demikian seterusnya, sehingga tercapai tujuan akhirnya. Misalnya apa itu keberanian? Misalnya ada yang menjawab bahwa hakekat keberanian itu adalah kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan. Lantas Socrates bertanya lagi apa itu yang disebut dengan keras kepala. Orang keras kepala menunjukkan keteguhan hati yang luar biasa, dan karenanya mereka juga dapat bertahan mengahadapi kesulitan. Apakah keras kepala sama dengan berani? Apakah keras kepala juga sesuatu yang terpuji? Dengan demikian orang yang mengajukan jawaban tadi akan mempertimbangkan lagi akan kebenaran jawabannya. Tujuan yang dimaksud adalah melacak atau menelusuri tabir-tabir hukum dari alam semesta termasuk manusia yang semu ini, untuk menemukan hukumhukum yang sejati, sehingga terbentuklah pengetahuan dan yang murni dan sejati pula. Melalui cara tersebut, Socrates jarang sampai pada jawaban-jawaban yang final, karena setiap jawaban masih harus dipertanyakan dan diuji lagi, dipertanyakan lagi, diuji lagi, demikian seterusnya (Hadiwijono, 1983 dan Magee, 2008)). Metode yang digunakan oleh Socrates disebut juga dengan metode ironi (eironea). Metode ini digunakan sebagai alat koreksi terhadap metode retorika yang dilakukan kaum Sofis, yang telah menjadikan banyak orang menjadi sombong. Metode ironi ini sengaja dilakukan, untuk membuat orang-orang yang sombong tadi menjadi bingung, karena jawaban-jawaban terhadap pertanyaan tadi menjadi saling bertentangan, sehingga penjawabnya ditertawakan orang. Cara pengajaran filsafat Socrates biasanya disebut dengan “dialektika”

126

karena dalam proses pengajarannya, yang memegang peranan penting adalah dialog.

Sebutan lain dari metode dialektika ini adalah

“maieutika” yang berarti seni kebidanan. Nama ini diberikan karena Socrates dalam proses pengajarannya bertindak sebagai seorang bidan yang sedang membantu kelahiran seorang bayi. Bayi di sini sebagai analogi dari pengetahuan atau pengertian yang benar. Jadi dalam proses pengajarannya Socrates berusaha membantu orang untuk mendapatkan pengertian atau pengetahuan yang benar dengan cara dialog.. Atas dasar proses yang demikian itu Socrates menemukan metode dalam bernalar yang disebut dengan metode “induksi” yaitu metode untuk menemukan definisi umum dari suatu masalah dengan cara mengadakan sintesa terhadap kasus-kasus husus (lihat bab logika). Bagi Socrates definisi atau pengetahuan umum ini bukanlah sekedar dibutuhkan dalam ilmu pengetahuan, akan tetapi yang paling utama dibutuhkan dalam etika seperti: tentang kebenaran, keadilan, persahabatan, keberanian, apa itu kesalehan dan lain-lain (Hadiwijono, 1983). Metode dialektika Socrates menjadi sangat terkenal, karena memiliki efek luar biasa, seperti menjatuhkan dua burung dengan satu lemparan batu. Di satu pihak, cara ini dapat memperlihatkan ketidak tahuan seseorang yang merasa tahu, padahal dia tidak lebih banyak tahu dari apa yang diketahui oleh Socrates. Di pihak lain metode ini dapat memotivasi orang terhadap problem-problem filosofis yang mendalam dan fundamental, dengan cara mengangkat persoalanpersoalan hidup ke permukaan. Sehingga dengan demikian, hal tersebut dapat menstimulasi orang-orang untuk menyadari dan

127

menghargai berbagai kesulitan yang ada, kemudian berupaya untuk mengatasi atau menyelesaikannya (Magee, 2008). Ajaran Socrates tentang menusia adalah penekanannya pada masalah “jiwa.” Inti sari manusia adalah jiwa, dan hakekatnya manusia adalah sebuah pribadi yang bertanggung jawab. Jiwa manusia adalah asas hidup yang lebih mendalam, bukanlah sekedar nafasnya semata-mata. Karena jiwa adalah inti sari dari manusia, maka manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwa atau psikologisnya, lebih dari sekedar kesenangan secara materi atau fisiologis, seperti: kekayaan, kesehatan dan lain-lainnya. Orang yang bahagia secara psikologis, adalah orang yang memiliki jiwa yang baik. Kalau hanya hidup saja, manusia masih belum memiliki arti apa-apa. Baru akan memiliki arti apabila hidup dengan jiwa yang baik, dalam arti memiliki kebahagiaan jiwa atau psikologisnya (Hadiwijono, 1983). Tentang kebahagiaan tadi, dia maksudkan sebagai kebajikan atau keutamaan. Pemahaman tentang kebajikan atau keutamaan di sini tidak diartikan hanya sebagai sesuatu yang berkaitan dengan moral, akan tetapi lebih luas dari itu, yaitu bagaimana seseorang “menjadi profesional dalam bidangnya.” Misalnya; kebajikan dan keutamaan bagi seorang tukang sepatu, tukang kayu dan tukang batu menjadi tukang yang baik atau tukang yang profesional. Kebajikan atau keutamaan itu sendiri menurut Socrates adalah “ilmu pengetahuan.” Di sini bisa dipahami bahwa kebajikan bagi petani, politikus, pendidik dan lain-lainnya adalah bagaimana mereka menjalani tugasnya dengan profesional dalam arti memiliki pengetahuan yang baik yang berkaitan dengan profesinya. Orang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang profesinya, akan melakukan tugas kewajibannya dengan baik

128

pula. Orang yang melakukan kewajibannya dengan baik, tentunya akan dapat menjalani hidup dengan baik. Orang yang dapat menjalani hidup dengan baik, akan mendapatkan mendapatkan kepuasan jiwa. Kebahagiaan hidup bersumber dari kepuasan jiwa ini, karena jiwa menurut ajaran Socrates adalah asas yang paling hakiki dalam klehidupan manusia (Hadiwijono, 1983). Pandangan Socrates tentang kenegaraan tidak begitu jelas, akan tetapi ia mengemukakan tentang asas-asas etika kenegaraan. Dalam hal tersebut ia menyatakan bahwa negara memiliki tugas untuk mewujudkan kebahagiaan dalam arti membuat jiwa warga negaranya sebaik mungkin. Para penguasa harus tahu apa yang baik bagi warganya, dan mampu melakukan segala hal yang baik buat mereka. Dalam suatu pemerintahan, yang penting bukanlah demokrasi, akan tetapi keahlian khusus, yaitu pemahaman terhadap segala hal yang baik dan kemampuan untuk melakukan yang baik itu tadi. Untuk dapat melakukan itu semua penguasa harus memiliki sifat kebajikan atau keutamaan, di mana keutamaan itu sendiri sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya adalah “pengetahuan” (Hadiwijono, 1983). Metode dialektika yang digunakan Socrates yang mengajari semua orang untuk mempertanyakan segala hal, dianggap sebagai sumber suversif. Ia mengajari orang-orang menelanjangi ketidak tahuan para penguasa. Ia ditangkap penguasa dengan tuduhan mengajari dan menyesatkan para kaum muda sehingga tidak mempercayai dewa-dewa lagi. Ia dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati dengan cara minum racun. Akibat dari ajarannya yang dianggap kontroversial pada saat itu, sosok Socrates

129

menjadi tokoh yang sangat dicintai sekaligus dibenci. Akan tetapi Socrates dianggap tokoh paling inspiratif dalam sejarah pemikiran manusia dan dianggap paling menonjol di antara para filosof, karena dialah orang pertama yang memulai mempertanyakan dan mengkaji konsep-konsep yang fundamental, yang selanjutnya konsep tadi menjadi ciri dari pemikiran filsafat selanjutnya (Magee, 2008).

Plato (427 – 347 SM). Plato salah seorang murid Socrates, yang berbeda pandangan dengan gurunya yang tidak meninggalkan karya tulis. Iia sebagai filosof Yunani pertama yang dikenal karena tulisantulisannya yang utuh. Selama hidupnya ia telah berhasil menerbitkan sekitar dua lusin karya tulis yang disusun berdasarkan dialog yang dilakukannya, mulai dari 20 sampai dengan 300 halaman kalau diukur dengan cetakan yang berlaku saat ini. Buku dialog yang sangat terkenal yaitu “Republik” yang berisi tentang keadilan dan blue print tentang negara yang ideal, dan “Simposium” yang membahas tentang hakekat cinta. Karyanya di samping berisi konsep-konsep filosofis terbaik yang pernah dihasilkan, penulisannya juga disusun dengan sangat indah, yang berhasil membangkitkan antusiasme di kalangan para pembacanya. Banyak ahli bahasa memberikan penilaian terhadap karya Plato sebagai prosa Yunani terbaik, dan karya sastra besar dunia. Sehingga dengan demikian, Plato juga dianggap sebagai seniman selain sebagai filosof (Hadiwijono, 1983 dan Magee, 2008)). Plato masih berusia kurang lebih 31 tahun ketika sang guru dihukum mati pada tahun 399 SM. Ia selalu hadir di setiap persidangan Socrates berlangsung, di mana peristiwa tersebut merupakan pengalaman traumatis bagi dirinya. Ia memandang

130

Socrates sebagai sosok manusia yang paling baik, paling bijaksana, dan paling adil, tetapi kenapa diperlakukan tidak adil seperti itu. Setelah kematian sang guru, Plato mulai mengadakan serangkaian dialog filosofis, dengan tema tentang konsep dasar moral dan politik, yang menempatkan Socrates sebagai tokoh protagonisnya dengan dua motif. Pertama, ia mengadakan pembangkangan terhadap penguasa, dengan mengangkat kembali ajaran-ajaran Socrates yang telah dianggap sebagai ajaran sesat. Kedua, adalah untuk merehabilitasi nama baik sang guru yang sangat ia hormati dan ia cintai, dengan menunjukkan bahwa Socrates sama sekali bukanlah orang yang menyesatkan kaum muda, akan tetapi ia adalah seorang guru yang begitu bijaksana dan begitu berharga bagi murid-muridnya dan bagi semua orang. Ajaran Plato dalam karya-karyanya sebagaimana yang telah dikemukakan

di

atas,

menggunakan

Socrates

sebagai

tokoh

protagonisnya, sehingga banyak pula ide-idenya dikemukakan seolaholah ide Socrates, selain memang ide original ide dia sendiri. Hal ini menyulitkan para ilmuan untuk membedakan mana konsep Socrates, dan mana pula konsep atau ide dari Plato sendiri. Akan tetapi tampak juga perbedaan yang jelas antara keduanya yaitu: pertama, Socrates menekankan pada masalah moral dan politik, yang tidak terlalu menunjukkan minat pada alam semesta. Keutamaan menurutnya adalah ilmu pengetahuan, sehingga dialog, diskusi dan argumentasi itu yang dilakukan dengan metodenya yang terkenal dengan metode dialektika, hanyalah dimaksudkan untuk mencari pengetahuan. Kedua, Plato tertarik pada filsafat secara keseluruhan, baik tentang alam maupun

tentang

bagaimana

manusia

seharusnya

menjalani

131

kehidupannya, sebagai manusia pada umumnya ataupun sebagai pribadi. Tidak ada sesederhana atau sekecil apapun dari realitas ini yang tidak menarik baginya untuk dikaji. Tentang matematika dan fisika, baginya kedua ilmu tersebut dianggap sebagai kunci untuk memahami alam semesta. Bahkan di pintu rumahnya yang dijadikan sebagai kampus/akademi terpampang tulisan “Yang Tidak Tahu Matematika Dilarang Masuk.” (Magee, 2008). Tentang yang selalu berubah dan yang tetap, dia berpandagan bahwa di dunia ini ada dua hal, yaitu dunia yang tidak tetap yang selalu berubah, dan akan binasa, serta dunia yang tetap, yang tidak pernah berubah. Yang selalu berubah tadi dikenal oleh pengamatan dan pengalaman indrerawi; sedangkan yang tidak pernah berubah hanya dapat dikenal oleh akal budi. Yang tidak dapat berubah ini ia sebut dengan alam “ide.” Ide ini menurut Plato bukanlah suatu gagasan yang dibuat oleh manusia, yang hanya terdapat di pikiran saja, dan bersifat subjektif. Ide bersifat objektif, berdiri sendiri, terlepas dari subjek yang berpikir, tidak tergantung pada pemikiran manusia. Bahkan ide itulah yang mamandu pemikiran manusia. Ide manusia ini bersifat umum dan kekal, tidak berubah. Setiap orang tidak sama dalam mengungkapkan idenya masing-masing, tiap menusia mengungkapkan idenya dengan caranya sendiri-sendiri. Akan tetapi semuanya bersumber dari ide manusia yang bersifat umum dan kekal tidak dapat berubah tadi. Pemahaman ide saat sekrang, adalah suatu gagasan atau tanggapan yang hanya terdapat dalam pikiran saja. Akibat dari pemahaman tersebut, ide merupakan sesuatu yang subjektif. Bagi Plato ide bukanlah sesuatu yang subjektif, akan tetapi sesuatu yang objektif. Ide yang dimaksud oleh Plato adalah bukan

132

ciptaan pemikiran manusia. Ide tidak tergantung pada pemikiran, akan tetapi sebaliknya, pemikiranlah yang tergantung kepada ide-ide. Pemikiran tidak lain daripada menaruh perhatian kepada ide-ide dimaksud. Plato juga menegaskan bahwa ide-ide tersebut tidak dapat terungkap secara sempurna pada tiap-tiap manusia (Hadiwijono, 1983 dan Bertens, 1999). Tentang manusia, Plato menyatakan bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu “jiwa” dan “raga.” Jiwa dan raga merupakan realitas yang berbeda dan terpisah. Jiwa bersifat adikodrati, yang berasal dari alam ide yang bersifat kekal, dan tidak dapat mati. Jiwa terdiri dari tiga unsur, yaitu: rasio, kehendak dan keinginan atau nafsu. Rasio atau akal budi, berhubungan dengan kebijaksanaan, kehendak berhubungan dengan kegagahan dan keberanian, sedangkan keinginan berhubungan dengan pengendalian diri. Pada hakekatnya ketiga unsur tadi saling berbeda dan saling bertentangan, akan tetapi seharusnya saling bersinergi dalam fungsinya. Rasio atau akal budi mengatur atau mengendalikan keinginan atau nafsu melalui kehendak. Dalam diri masing-masing manusia, mungkin berbeda mana yang paling diminan di antara ketiganya. Bila yang dominan dalam diri seseorang adalah rasionya, maka orang tersebut termasuk manusia kelas atas, yang paling pantas untuk menjadi pemimpin. Mereka ini adalah golongan orang yang tertinggi, yang terdiri dari para individu yang memerintah, dan orang-orang bijak yaitu para filosof. Bila yang dominan adalah kehendaknya ia termasuk dalam kalas menengah. Kelas ini adalah kelas dari kelompok polisi, tentara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban dan pegawai pemerintahan yang bertugas membantu pimpinan. Kelas paling bawah adalah kelas rakyat jelata dan pekerja

133

kasar, para petani, para tukang dan pedagang, di mana mereka ini didominasi oleh keinginannya. Gagasan ini diterapkan oleh Plato dalam konsep bermasyarakat. Dalam kemasyarakatan, idealnya kelas atas yang memimpin dan melindungi masyarakat pada umumnya, dengan bantuan kelas menengah yaitu para polisi, tentara, pegawai pemerintahan, sebagai tenaga pendukung agar tercipta masyarakat yang teratur (Hadiwijono, 1983, dan Magee, 2008).

Arestoteles (384 – 322 SM). Ia dilahirkan di Stageira, Yunani Utara, anak seorang dokter pribadi Amyntas II, Raja Makedonia. Agaknya ia mewarisi minat pada pengetahuan empiris dari bapaknya yang berprofesi sebagai dokter tadi. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil, dan ia diasuh oleh seorang wali. Pada usia sekitar 17 atau 18 tahun, ia dikirim ke Athena untuk belajar di Akademia Plato oleh wali yang mengasuhnya. Ia tinggal di sana sekitar 20 tahun lamanya, sampai Plato meninggal dunia pada tahun 348 SM. Pada waktu masih tinggal di Akademia, ia sudah menerbitkan beberapa karyanya, dan mengajar murid-murid Akademia yang lebih muda, dalam mata pelajaran logika dan retorika. Sepeninggal Plato, Aristoteles keluar dari Akademia, dan mendirikan sekolah di Assos daerah Asia Kecil. Pada tahun 342 SM, ia kembali ke Makedonia, atas undangan raja Philippos anak raja Amyntas II, untuk mendidik anaknya pangeran Alexander yang agung, yang waktu itu masih berusia 13 tahun. Tidak lama setelah Alexander dinobatkan menjadi raja, Aristoteles kembali ke Athena, tetapi tidak kembali ke Akademia lagi. Ini dilakukan agaknya karena pemikirannya sudah jauh lebih berkembang dari filsafat Akademia. Ia mendirikan sekolah sendiri yang dinamakan

134

Lyceum. Ketika raja Alexander wafat, timbullah huru-hara di Athena menentang kekuasaan Makedonia. Aristoteles dianggap durhaka, karena dituduh sebagai dalangnya, maka ia lari ke Kalkes. Kalkes merupakan tempat di mana ia menemukan persemayaman di akhir hayatnya, dua tahun kemudian (Hadiwjono, 1983, Bertens, 1999, Russell, 2007, dan Magee, 2008). Aristoteles merasa sangat berhutang budi pada gurunya Plato, dan ia sangat mengagumi kejeniusan sang guru tersebut. Akan tetapi sekalipun demikian, ia berbeda pandangan dengan sang guru, dan menolak ajaran yang sangat fundamental dari filsafat Plato, yaitu pandangan

tentang adanya dua dunia. Dua dunia tersebut

sebagaimana

yang

telah

dikemukakan

dalam

pembicaraan

sebelumnya, yaitu dunia yang selamanya terus berubah sebagaimana yang ditangkap oleh panca indera, dan dunia abstrak yang tidak tergantung pada ruang dan waktu, yang hanya dapat ditangkap oleh akal budi saja yang ia sebut dengan alam ide. Bagi Aristoteles, apa yang tidak bisa diamati dan dialami tidak memberikan arti apa-apa. Aristoteles tidak percaya kita akan mendapatkan jawaban-jawaban filosofis, di luar dunia pengalaman ini. Kalau kita mencoba keluar dari landasan pengalaman ini, berarti kita berkelana di ruang kosong dan di dunia omong kosong. Pada poin inilah Aristoteles tidak setuju dan menolak bentuk-bentuk ideal yang dikemukakan oleh Plato. Bagi Aristoteles dunia ini amat mengagumkan, dan penuh daya pesona yang tiada habisnya. Kenyataannya perasaan kagum terhadap dunia pengalaman

inilah penyebab pertama orang memulai berfilsafat

(Magee, 2008).

135

Pemikiran Aristoteles tentang “ada” sekalipun tidak sama, masih berkaitan dan terinspirasi oleh ajaran filosof-filosof sebelumnya terutama ajaran Plato gurunya. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya yaitu adanya perbedaan yang mencolok antara

pandangan

Heraklitos

dan

Parmenides.

Heraklitos

berpandangan bahwa realitas yang ada itu adalah segala sesuatu yang terus bergerak, yang terus berubah; sedangkan Parmenides menolak pandangan demikian itu. Menurut dia, realitas itu adalah fenomena yang tetap, tidak bergerak dan tidak berubah. Plato memecahkan persoalan dua pandangan yang berbeda secara ekstrim tadi, dengan menyatakan bahwa: realitas yang serba berubah itu memang ada, yaitu fenomena yang ditangkap oleh indera, dan fenomena yang tetap, yang tak berubah juga ada, yaitu ide-ide yang hanya bisa dikenal oleh akalbudi. Akan tetapi Aristoteles berpandangan lain. Menurutnya, “ada” sebagai realitas yang sebenar-benarrnya ada, hanyalah dimiliki oleh benda-benda kongkret, seperti meja, kursi, rumah, mobil, pesawat terbang tumbuh-tumbuhan, binatang dan lain-lain yang ditangkap oleh pengalaman inderawi manusia yang ia sebut dengan istilah “hole”. Di luar benda-benda kongkret tadi bukanlah sesuatu yang ada, atau jelasnya benda dimaksud adalah realitas yang tiada. Di antara yang nyata-nyata ada dan yang tiada itu, ada realitas yang nyata “mungkin ada” yang ia sebut dengan istilah “morfe” . Realitas yang mungkin ada sekalipun bukan sesuatu yang ada, ini merupakan potensi, pra-kondisi, atau pre-desposisi untuk ada. Misalnya: kayu dan batu memiliki potensi untuk menjadi patung. Potensi akan tetap potensi, dan patung tetap tiada, apabila kayu dan batu tersebut tidak dipahat menjadi patung. Jadi di sini dapat dipahami bahwa yang ada (patung),

136

merupakan realisasi atau perwujudan dari potensi untuk menjadi ada tadi. Keduanya secara hakiki harus dibedakan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan (Hadiwijono, 1983). Mengenai pengenalan, Aristoteles mengajarkan dua macam pengenalan, yaitu pengenalan inderawi dan pengenalan rasional. Pengenalan inderawi memberikan pengetahuan tentang suatu benda tanpa materinya. Misalnya bunga merah dan batu keras. Kualitas merah telah tersirat dalam bunga, dan kualitas keras juga telah tersirat dalam batu. Merah dan keras adalah bentuk yang menentukan materi bunga dan batu dari kedua benda tersebut. Indera manusia hanyalah memberikan pengetahuan bentuk kongkret dari bentuk benda-benda tersebut tanpa materi. Misalnya kalau kita melihat bunga merah, mata kita juga menjadi merah. Tapi walaupun demikian, mata kita tidak akan pernah menjadi bunga. Ini yang disebut pengenalan indrawi yang hanya menerima bentuk tanpa materi. Beda dengan indera yang hanya dapat mengenal bentuk kongkret dari benda-benda, “rasio” dapat mengenal hakekat dari benda-benda tersebut. Indera dalam mengenali objek membatasi diri pada satu aspek saja, misalnya mata melihat warna, dan telinga mendengar bunyi. Tidak mungkin mata melihat bunyi di samping melihat warna, dan tidak mungkin pula telinga mendengar warna di samping mendengar bunyi.

Objek dari rasio

manusia lebih umum dan lebih luas dibandingkan dengan objek yang jadi sasaran inderanya. Menurut Aristoteles, inilah jalan untuk menuju pada ranah ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan hanyalah mengenai hal-hal yang umum saja, dan merupakan abstraksi terhadap yang kongkret, bukan yang kongkret itu sendiri. Misalnya tentang benda seperti meja: ada yang bundar, ada yang oval, ada yang persegi

137

panjang, ada yang segi tiga dan semacamnya. Terhadap benda-benda itu semua, rasio berusaha melepaskan bentuk-bentuk kongkret dari benda yang diamati, untuk sampai pada pemahaman umum tentang meja-meja itu tadi. Akal atau rasio menurut Aristoteles, tidak memiliki ide-ide bawaaan. Pengetahuan umum yang didapat, adalah berdasarkan

abstraksi

terhadap

benda-benda

kongkret

tadi

(Hadiwijono, 1983 dan Bertens, 1999). Tentang manusia, awalnya pandangan Aristoteles masih dipengaruhi oleh pandanga Plato, yang mengajarkan dualisme, yaitu manusia terdiri dari unsur jiwa dan raga. Jiwa dan raga merupakan entitas yang berbeda. Kemudian ia meninggalkan pandangan dualisme tadi. Jiwa dan raga dipandangnya sebagai dua aspek dari satu substansi yang berhubungan dan saling tergantung antara satu dengan yang lain, seperti halnya antara materi dan bentuk serta potensi dengan realisasi atau aktualitasnya. Jika raga itu materi, maka jiwa adalah bentuknya, atau jika raga itu potensi maka jiwa adalah realisasinya. Jiwa manusia yang menyebabkan raga atau tubuh manusia menjadi hidup, dan dengan raga maka jiwa teraktualisasikan dalam hidup. Pada waktu raga manusia mati, maka jiwanya juga akan ikut mati atau binasa. Menurutnya tidak ada jiwa yang kekal yang tak dapat mati (Hadiwijono, 1983). Tentang tujuan hidup, bagi Aristoteles adalah kebahagiaan (Well-being). Segala apa yang dilakukan manusia dalam hidupnya, tentunya mengejar suatu tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut tentunya sesuatu yang baik buat dirinya maupun orang lain. Tujuan seorang dokter dalam segenap aktivitasnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan. Aktivitas pebinis mengarah pada

138

tujuan untuk menambah aset atau harta kekayaannya. Tujuan seorang seniman dalam aktivitasnya adalah mencari sesuatu yang berhubungan dengan masalah keindahan. Seorang pelaut selalu mengarahkan aktivitasnya untuk membawa kapalnya berlabuh dengan selamat di pelabuhan tempat tujuan. Suatu aktivitas kadang-kala memiliki beberapa tujuan antara yang tentunya berkaitan dengan tujuan yang akhir dan tujuan-tujuan lainnya. Maksudnya tujuan suatu perbuatan demi untuk mencapai tujuan tertentu atau mendukung tujuan yang lain. Misalnya seorang dokter memberikan obat tidur bagi pasiennya supaya tidur nyenyak. Kalau tidur nyenyak si pasien akan mendapatkan suasana yang membuat ia dapat istirahat yang cukup. Kalau sudah mendapatkan istirahat

yang cukup, diharapkan

kesehatannya akan cepat pulih kembali. Tentang kebahagiaan ini banyak orang mengekspresikan dengan berbagai-macam ungkapan. Kalau yang satu menganggap kesehatan adalah kebahagiaan, mungkin yang lain menganggap kekayaan adalah kebahagiaan, sedangkan yang lainnya mungkin akan merasakan kebagiaan, ketika ia menerima hadiah atau penghargaan setelah memenangkan kontes atau kompetisi tertentu. Boleh jadi juga ada orang yang sama, dapat mengungkapkan kebahagiaan yang berbeda dalam setiap pengalaman atau peristiwa lain dalam tiap periode rentang kehidupannya. Misalnya bila sakit, ia menganggap kesehatan sebagai kebahagiaan, tapi bila ia sehat, boleh jadi kekayaan yang merupakan sebagai suatu kebahagiaan. Berkaitan

dengan

tujuan-tujuan

tersebut,

Aristoteles

mengajukan pertanyaan, apakah gerangan tujuan tertinggi atau tujuan terakhir demi tujuan itu sendiri, dan tidak untuk mengejar tujuan yang lain? Menurut dia tujuan tersebut adalah “kebahagiaan.” Kebahagiaan

139

tadi tidak dimaksudkan sebagai kebahagiaan yang sifatnya subjektif, tetapi kebahagiaan universal yang terdapat pada setiap manusia yaitu well-being. Untuk meraihnya manusia harus mencapai kesempurnaan, di mana hal tersebut akan terjadi bila aktivitasnya dilakukan untuk mengaktualisasikan potensinya secara penuh. Hal tersebut dikatakan oleh Arietoteles sebagai keutamaan. Keutamaan dimaksud, adalah menyangkut

kepribadian manusia dengan segala aspeknya secara

utuh. Manusia adalah mahluk rasional (intelektual), yang juga memiliki

perasaan-perasaan,

keinginan, motif-motif

kebutuhan-kebutuhan,

keinginan-

rasional, motif-motif irasional dan nafsu-

nafsu, di mana semua hal tersebut merupakan potensi atau pra-kondisi dalam diri manusia. Manusia akan mencapai keutamaan apabila dalam aktivitasnya dapat mengaktualisasikan semua aspek tadi secara maksimal dan sinergis sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dalam kehidupannya di masyarakat (Magee, 2008). Mengenai keutamaan tadi, menurut Aristoteles ada dua macam keutamaan yaitu: keutamaan “moral” dan keutamaan “intelektual.” Keutamaan moral adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang dapat memilih jalan tengah di antara dua ekstrim yang berlawanan yang dihadapi dalam hidupnya. Sebagai contoh, bagi seorang yang begitu sulit untuk mengeluarkan atau membelanjakan uangnya, lalu orang itu diberi label sebagai orang yang “kikir.” Di lain pihak, ada orang yang terlalu mudah mengeluarkan atau mebelanjakan uangnya, maka ia akan diberi label sebagai orang yang “boros.” Sikap yang memilih jalan tengah di antara dua ekstrim kikir dan boros tadi adalah “kemurahan hati.” Orang yang murah hati adalah orang yang tidak kikir dan tidak pula boros. Contoh lain misalnya orang yang sangat

140

tidak percaya diri dalam menghadapi persoalan-persoalan atau menghadapi orang lain, akan diberi label “pengecut.” Sebaliknya orang yang terlalu percaya diri dalam menghadapi segala persoalan hidupnya, atau terlalu berani dalam berhadapan dengan orang lain, akan diberi label “gegabah.” Sikap keutamaan yang mengantarai dua ekstrim pegecut dan nekat ini menurutnya adalah ”keberanian.” Sikap mengambil jalan tengah ini menurut Aristoteles sifatnya subjektif, dalam arti berbeda antara masing-masing orang, baik intensitas maupun

kuantitasnya.

Misalnya

bagi

seorang

fakir

miskin,

memberikan uang sedekah seribu rupiah mungkin sudah cukup untuk dikatakan sebagai keutamaan atau kemurahan hati. Akan tetapi bagi orang kaya, mungkin orang akan tetap mengatakan ia kikir manakala dia bersedekah sebanyak sepuluh ribu rupiah, sekalipun nominalnya sepuluh kali lipat dari sedekah si miskin. Juga label keberanian yang diberikan kepada seorang yang fisiknya gagah perkasa, berbeda dengan label keberanian yang diberikan kepada orang yang lemah dan sakit-sakitan. Ini sesuai dengan doktrin Aristoteles yang terkenal dengan the golden mean yaitu jalam tengah emas. Seperti yang telah dikemukakan di atas, kemurahan hati adalah jalan tengan antara boros dan kikir, keberanian adalah jalan tengah dari kenekatan dan pengecut (Bertens, 1999, Magee, 2008). Keutamaan

lebih

lanjut

adalah

keutamaan

intelektual.

Keutamaan intelektual atau keutamaan rasional, memiliki dua fungsi yaitu fungsi “teoritis” dan fungsi praktis.” Orang akan dapat mengaktualisasikan fungsi

teoritis

dari

keutamaan ini,

yaitu

kemampuan orang untuk dapat mengenal kebenaran, melalui jalan panjang yang meliputi seluruh proses pendidikan ilmiah. Keutamaan

141

praktis yang dikenal dengan nama keutamaan prudensial (prudence) yaitu merupakan kemampuan manusia untuk menentukan mana benda-benda kongkrit yang baik dan berguna dalam hidupnya. Hubungan antara keutamaan moral dengan keutamaan praktis menurut Aristoteles adalah keutamaan moral sejati. Keutamaan moral sejati harus selalu disertai dengan keutamaan praktis. Artinya harus disertai dengan tindakan kongkrit. Manusia akan menemukan kebahagiaan apabila ia dapat mencapai keutamaan tersebut (Bertens, 1999 dan Magee 2008). Apabila

membandingkan

antara

pandangan-pandangan

Aristoteles yang cenderung pada paham materialistik dan Plato yang merupakan paham idealistik sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian-uraian sebelumnya, ibaratkan kita membandingkan dua kutub yang berbeda. Plato adalah filosof yang serba merenung yang menekankan pada pengetahuan yang bersumber dari rasio; sedangkan Aristoteles murid Plato, adalah tokoh yang menekankan pada pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman empirik. Tentang perbedaan pandangan yang fundamental dengan gurunya ini, Aristoteles berujar “Saya mencintai Plato, akan tetapi saya lebih mencintai kebenaran” (Magee, 2008).

28. MASA HELINISTIK Zaman ini dikenal sebagai puncak perkembangan dan kejayaan filsafat Yunani kuno, sekaligus sebagai penanda awal keruntuhannya. Sepeninggal Socrates, kiranya masih belum ditemukan pemikirpemikir brillian seperti tiga filosof besar seperti Socrates, Plato dan Aristoteles sampai lima abad kemudian. Aleksander Agung murid

142

Socrates, mengubah peta sejarah yang membentangkan kekuasaannya, ia menaklukkan nyaris seluruh bagian dunia waktu itu, mulai dari Italia di barat sebagian besar Timur Tengah, Afrika Utara, sampai ke India di bagian timur. Kondisi ini juga mempengaruhi perkembangan filsafat. Proses kolonialisasi, dimulai dengan mendirikan kota-kota baru untuk mengatur dan mengurus wilayah kekuasaannya. Dalam proses ini Aleksander bekerja sama dengan orang-orang Yunani. Mereka umumnya menikahi perempuan setempat, yang menyebabkan populasi penduduk di kota-kota tersebut dengan cepat menjadi kosmopolitan. Dampaknyankemudian terbangunlah penduduk yang multiracial, dan multilingual. Kota-kota tersebut menjadi kota-kota bernuansa Yunani yang tersebar di luar Yunani, akan tetapi dengan etos pemerintahan dan bahasa yang serba Yunani. Kota-kota tersebut diberi nama sesuai dengan nama penguasanya, seperti kota Aleksandaria di Mesir yang berasal dari kata Aleksander, nama dari raja Aleksander Agung. Dunia ini dikenal dengan dunia “Helinistic,” Atau Zaman Helinistik (Magee, 2008). Kata helenistik yang juga disebut helinisme, berasal dari kata hellenizein yang berarti roh kebudayan Yunani, yang memberikan pengaruh pada bangsa di luar Yunani di sekitar Laut Tengah, dalam mengadakan perubahanperubahan di bidang pengetahuan, kesusasteraan,

dan agama

(Hadiwijono, 1983). Zaman ini berlangsung selama 300 tahun, mulai dari ambruknya negara kota Yunani pada abad ke-4 SM sampai munculya kekaisaran Romawi abad Ke-2 SM. Selama kurun waktu itu peradaban Yunani kuno menyebar ke seluruh dunia. Dalam kurun waktu yang sama muncul Republik Romawi,

bersama dengan

kristenitas. Karena pengaruh kuat kutur dan bahasa Yunani pada

143

waktu itu, maka Kitab Suci Perjanjian Baru, ditulis dalam bahasa Yunani sekalipun Palestina waktu itu merupakan wilayah kekuasaan Romawi (Magee, 2008). Zaman ini ditandai dengan adanya perubahan-perubahan pola pemikiran, yaitu dari pemikiran filsafati yang teoritis menjadi pemikiran filsafati praktis. Semakin lama filsafat menjadi seni dalam menjalani kehidupan. Orang bijak adalah orang yang dapat mengatur hidupnya dengan menggunakan rasionya. Dalam zaman helinistik ini banyak aliran-aliran yang semuanya menekankan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan cit-cita hidup manusia. Pertama, adalah aliran-aliran dalam kelompok yang menekankan pada masalah-masalah kebijaksanaan yang berhubungan dengan kehidupan praktis. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah aliran Epikuros dan aliran Stoa. Kedua, aliran-aliran yang bernuansakan keagamaan. Yang termasuk dalam aliran ini adalah: filsafat Neopythagoras, filsafat Platonis Tengah, filsafat Yahudi dan filsafat Neoplatonisme (Hadiwijono, 1983). Pada waktu itu filsafat berkembang begitu pesat dan sampai pada puncaknya yaitu pada awal abad ke-6 masehi. Acuan pemikiran pada jaman itu adalah rasionalitas, individualitas dan imanensi. Rasionalitas, maksudnya adalah rasio dijadikan sebagai sumber utama manusia untuk pemenuhan sifat ingin tahunya, untuk memahami realitas, baik mengenai alam semesta dan asal usulnya, serta mengenai dirinya

beserta

problem-problem

yang

dihadapi.

Indivualitas,

dimaksudkan pada pemahaman bahwa manusia adalah pribadi yang berperan sebagai faktor utama dalam pengembangan budaya. Pengembangan budaya harus bertolak dari kebebasan perorangan, yang tidak terikat lagi pada kepercayaan tahayul, mitos-mitos, tradisi

144

dan dogma-dogma seperti yang terjadi pada masyarakat Yunani kuno. Imanensi sebagai objek pemikiran filsafat Yunani pada masa Helenistik ini adalah bukan sekedar pada hal-hal yang sifatnya transendental, akan tetapi lebih menekankan pada hal-hal praktis dan empiris, yang berkaitan dengan kebutuhan kongkrit manusia dalam kehidupan. Hal ini sebagai implikasi dari prinsip rasionalitas dan individualitas tadi, manusia lebih berkonsentrasi pada hal-hal yang dekat dengan kebutuhan-kebutuhan kongkritnya. Masa kejayaan filsafat Yunani kuno ini disusul oleh masa Romawi kuno. Bangsa Romawi dikenal dengan bangsa yang maju dalam bidang politik, hukum, militer, bisnis, bidang trasportasi darat dan laut, serta sistem pengairan. Pada masa ini ilmu hukum dikembangkan intensif, akan tetapi pengetahuan filsafat tidak ada perkembangan; sedangkan yang ada hanyalah karya-karya Aristoteles sebagai pegangan. Pola pikir Helinistik ini, nanti akan mempengaruhi pola pikir ilmuan jaman modern sampai saat ini. Sebagaimana yang telah disinggung dalam pembicaraan awal, periode Helinistik ini dikenal sebagai periode puncak kejayaan filsafat Yunani kuno, sekaligus sebagai periode awal keruntuhannya Ini karena periode ini segera disusul oleh masa abad pertengahan yang dikenal dengan sebutan “The Dark of The Middle Age,” yaitu abad pertengahan yang dipenuhi suasana kegelalapan. Di sini perlu dicatat bahwa abad kegelapan tersebut hanyalah terjadi di Eropa. Sebab pada abad itu di Timur Tengah sangat maju dalam bidang keilmuan. Ini bisa dilihat banyaknya ilmuan-ilmuan muslim terkemuka yang muncul pada masa itu, seperti Al-Kindi (801-873 M), Al-Farabi (870-950 M) Ibnu Haytam yang juga dikenal dengan nama lain yaitu Al-Hazen

145

(965-1009 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibnu Rusyd (1126-1198 M) dan masih banyak lagi lainnya (Wibisono, dkk, 1989

Soleh,

20013,dan https://en.wikipedia /wiki/ History_of_scientific_method, Tanggal 8 Agustus 2015 pukul 8;18 WIB).

29. MASA ABAD TENGAH Sebagaimana yang telah disinggung di muka, abad ini dikenal dengan abad kegelapan, karena pada abad di Eropa diwarnai oleh suasana kacau-balau. Filsafat berhenti dalam waktu lama, dan perkembangan ilmu begitu terhambat. Abad ini dimulai dengan keruntuhan kerajaan Romawi. Bersamaan dengan keruntuhan tadi, runtuh juga peradaban Romawi yang Kristiani maupun yang non Kristiani yaitu budaya Helinistik yang sudah dirintis selama lima abad terakhir (Hadiwijono, 1983, dan Magee,2008). Abad kegelapan ini berlangsung sejak tahun 500 sampai awal tahun 1500 masehi. Segala bidang kehidupan mengalami stagnasi, bahkan kemunduran. Kekacauan, kemiskinan, kelaparan, dan perilaku anarkis terjadi, karena waktu itu terjadi banyak peperangan, sehingga filsafat tidak berkembang. Perlahan-lahan gereja mempunyai pengaruh yang menentukan dalam berbagai bidang kehidupan. Peranan agama dan gereja begitu dominan. Agama menjadi elemen yang terpenting dalam masa itu, sehingga pemikiran filsafat menjadi bernuansa “theologis.” Nilai-nilai yang berkembang bukan nilai dasar seperti rasionalitas, individualitas dan imanensi yang sifatnya kritis dan terbuka sebagaimana yang terjadi pada masa Helenistik, akan tetapi didasarkan pada otoritas gereja dan dogma-dogma agama. Dalam kurun ini kehidupan manusia didorong ke arah transendensi, yaitu

146

keselarasan dan kedekatan antara arah hidup manusia dengan Tuhan. Akibatnya, manusia terbelenggu oleh kekuatan yang ada di luar dirinya, yang mengekang rasionya sehingga kehilangan daya kritis dalam memahami realitas kehidupan (Wibisonao, 1989). Selama kurang lebih 10 abad lamanya abad pertengahan ini berlangsung, selama itu pula sistem-sistem filsafat serta pengetahuan lainnya, tidak bekembang secara variatif dan inovatif. Kebebasan manusia sebagai peribadi sangat dikekang, bahkan bisa berhadapan dengan ancaman hukuman. Ini seperti yang dialami Giardano Bruno (1547-1600) yang menyatakan bahwa dalam alam semesta ini mungkin terdapat banyak “dunia,” dalam sistem tata surya lain yang menyerupai bumi kita ini. Gereja menganggap pandangan ini sangat berbahaya dan tidak dapat dibiarkan, maka Bruno dipenjarakan untuk kemudian dibakar hidup-hidup. Segala pemikiran, kreativitas dan inovasi yang dianggap membahayakan otoritas dan dogma gereja dilarang. Semua harus sesuai dengan kehendak dan rencana Allah sesuai dengan apa yang termaktub dalam “Kitab Penciptaan” (Keith Wilkes, lihat Wibisono, dkk, 1989). Akan tetapi muncul upaya mengadakan sintesa antara filsafat dan theologi ini, yang dimulai pada abad ke delapan masehi. Ini dapat dilihat dengan didirikannya Universitas-Universitas, dibentuknya beberapa ordo biara baru, di mana dalam institusi tersebut ditemukan bahwa filsafat sudah mulai diperkenalkan. Masa ini dikenal dengan zaman “Skolastic.” Salah seorang tokoh yang terpenting adalah Thomas Aquinas. Ia secara cerdas telah berupaya mengadakan sintesasintesa antara filsafat dengan theologi. Pada abad ke-14 diskusidiskusi menujukkan kecenderungan sikap kritis yang lebih besar. Ini

147

pertanda dimulainya abad modern yang dikenal pula dengan masa “renaissance,” sebagaimana yang telah disinggung dalam uraian sebelumnya, menyusul berakhirnya atau keruntuhan abad pertengahan yang penuh kegelapan tadi.

30. MASA RENAISSANCE Masa renaissance ini muncul seiring dengan berakhirnya masa abad pertengahan, mulai abad ke 14 sampai dengan abad ke 15. Masa ini dianggap sebagai masa transisi antara masa abad pertengahan dengan abad moderen. Abad moderen ditandai dengan penolakan terhadap otoritas gereja di sisi negatifnya, mendahului penerimaan terhadap otoritas sains di sisi positifnya. Begitu sulit menentukan pastinya kapan berakhirnya abad pertengahan secara tepat. Hanya pada abad ke 14 terjadi krisis dan titik jenuh abad tengah tadi, dan puncaknya terjadi pada abad ke 15 masehi. Kemudian lahirlah suatu gerakan yang dikenal dengan gerakan renaissance. Kata renaissance berasal dari bahasa Italia yaitu renascimento yang berarti kelahiran kembali.

Kelahiran kembali maksudnya adalah kelahiran suatu

peradaban yang pernah berjaya yaitu pada masa Socrates, Plato dan Aristoteles sampai masa helinistik, sebagai anti klimaks dari dominasi doktrin agama dan gereja pada abad pertengahan. Masa Socrates, Plato dan Arestoteles dan sesudahnya, yaitu masa Helinestik sebagimana yang telah dikemukakan dalam uraian terdahulu, adalah masa-masa

di

mana

manusia

memiliki

kebebasannya

untuk

menggunakan rasionya sebagai sumber utama dalam mengenal dan mengerti dirinya sendiri, alam semesta serta kenyataan hidup dengan segala bentuk dan hakekatnya. Pada masa itu hak individu sebagai

148

manusia

perseorangan

pengembangan

budaya.

diakui

sebagai

Sebagai

faktor

konsekuensi

utama dari

dalam

kebebasan

menggunakan rasio, kebebasan setiap individu untuk mengembangkan budayanya adalah pemikiran waktu itu tidak hanya terkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat transendental saja, tetapi juga pada halhal yang bersifat immanent. Immanent atau imanensi seperti yang telah disinggung dalam uraian terdahulu, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Para filosof masa ini berusaha menghidupkan kembali kebudayaan, kesusastraan dan kesenian klasik serta pemikiran kefilsafatan dengan mencari inspirasi dari warisan kebudayaan Yunani dan Romawi (Russell, 2007 dan Wibisono, 1989). Sekalipun dalam sejarah kefilsafatan disebutkan bahwa masa renaissance dimulai sejak abad ke 15, tetapi embrionya sudah terjadi sejak abad ke 14; oleh para humanis di Italia. Dalam masa abad pertengahan, mereka telah mempelajari naskah-naskah karya para penulis Yunani dan romawi. Para humanis mengusahakan adanya kepustakaan yang baik, dengan mengikuti jejak kebudayaan klasik. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan perkembangan sifat-sifat dan potensi alamiah yang dimiliki manusia. Para humanis Italia tidak menyangkal adanya kuasa yang lebih tinggi yaitu Tuhan dengan Wahyunya yang menjadi doktrin pada abad pertengahan. Hanya menurut mereka potensi sifat dan potensi alamiah yang dimiliki oleh manusia memiliki nilai yang cukup untuk dikenali dalam rangka upaya memanusiakan manusia, karena dengan potensi yang ada, manusia dapat pula menghasilkan karya budaya. Mereka tidak serta merta meninggalkan ajaran Abad Tengah, tetapi berusaha men-

149

jembatani dalam rangka adaptasi antara doktrin gereja dengan filsafat dan kebudayaan Yunani klasik. Serbuan sains pertama kali datang secara serius melalui publikasi teori Copernician, pada tahun 1543; akan tetapi teori tersebut tidak kunjung menebar pengaruh sampai kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh Galilio Galilei pada abad ke 17. Sejak itu dimulailah pertikaian panjang antara sains dan dogma agama, yang akhirnya kaum tradisionalis terpaksa mengakui kemenangan ilmu pengetahuan, yang pada waktu itu masih dianggap sesuatu yang

baru (Hadiwijono, 1983, Siswomihardjo, 1985 dan

Russel 2007). Kemudian, di Jerman timbul pula kaum humanis. Hanya berbeda dengan kaum humanis di Italia yang masih mengindahkan kuasa yang lebih tinggi di atas manusia; kaum humanis Jerman hanya menerima hidup dalam batas-batas dunia sebagimana adanya yang terlepas dari segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan dan Wahyu. Mereka menerima hidup apa adanya, dalam batas keduniawian. Demikianlah kaum humanis dengan upaya mempelajari naskahnaskah klasik Yunani dan romawi ikut mengantarkan kelahiran masa renaissance yang menjadikan kebudayaan hanya bersifat alamiah dan kongkret saja. Pada masa renaissance perkembangan pengetahuan tidak hanya dalam bidang ilmu alam saja, tetapi juga dalam bidang ilmu ketatanegaraan. Kemudian masa renaissance ini mengantarkan perkembangan filsafat pada suatu masa yang disebut dengan jaman modern jaman yang didominasi oleh otoritas sains. Otoritas sains ini oleh kebanyakan filosof dipandang sebagai epos modern, sangat berbeda dengan otoritas gereja, karena otoritas sains bersifat intelektual, bukan politis. Tidak ada hukuman bagi mereka yang

150

menolak kaidah sains tertentu. Berikut ini uraian tentang beberapa tokoh zaman renaissance (Hadiwijono, 1983 dan Siswomihardjo, 1985 Russell, 2007).

Nikolaus Kopernikus (1473-1543). Copernikus adalah tokoh gereja ortodoks. Berdasarkan temuannya dia menyatakan bahwa matahari sebagai pusat jagat raya. Teori ini berbeda sama sekali dengan teori geosentrisme dari Ptolemeus yang telah diadopsi dan menjadi doktrin gereja pada saat itu; yang menyatakan bahwa pusat jagat raya adalah bumi. Pandangan Copernicus tadi disebut dengan heleosentrisme. Teori heleosentrisme menyatakan bahwa bumi memiliki dua macam gerak, yaitu berputar pada porosnya setiap hari dan

mengelilingi

matahari

setiap

tahun.

Copernikus

tidak

mempublikasikan temuannya, karena takut akan sangsi dari gereja. Setelah setahun kematiaanya tahun 1543, temuan tadi dipublikasikan oleh temannya. Buku tersebut dipersembahkan kepada Sri Paus, dan beredar secara luas dikalangan masyarakat tanpa ada kecurigaan. Orang hanya menganggap sebagai pendapat lain yang kebetulan berbeda dengan teori Ptolomeus yang memang menjadi tren pemikiran masyarakat pada waktu itu.

Johanes Kepler (1571-1630). Ia adalah tokoh yang menerima teori heleosentrisme setelah Kopernikus. Dia menemukan tiga hukum gerak bagi planit-planit. Pertama, planit-planit bergerak dengan membuat lingkaran elips, mengelilingi matahari sebagai fokusnya. Kedua, garis yang menghubungkan pusat planit dengan matahari, dalam waktu yang sama akan membentuk bidang yang sama luasnya.

151

Ketiga, kuadrad periode planit mengelilingi matahari, sebanding dengan pangkat tiga dari rata-rata jaraknya terhadap matahari.

Galileo Galilei (1564-1642). Ia adalah tokoh sains modern yang pertama kali terlibat konflik dengan otoritas gereja. Ia dikutuk oleh institusi pengadilan yang dibentuk oleh Gereja Katolik Roma, dalam rangka menumpas ajaran yang dianggap menyimpang dari paham yang menjadi mainstream pada saat itu. Ada dua kesalahan yang dituduhkan kepadanya, yaitu pernyataannya pertama bahwa bumi berputar pada sumbunya dan kedua, bumi mengelilingi matahari, di mana pandangan tersebut diwarisi dari teori Nikolaus Kopernikus dan Johannes Kepler

sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,

hampir seabad sebelumnya. Galilei membuat sendiri sebuah teleskop setelah terinspirasi oleh teleskop buatan Hans Lipper yang ia kenal sebelumnya. Teleskop tadi dipakai untuk menjelajahi jagat raya, yang kemudian menemukan bahwa bintang Bima Sakti terdiri dari bintangbintang yang banyak sekali jumlahnya; dan masing-masing bintang berdiri sendiri. Pandangnnya tentang jagat raya, sejalan dengan teori heleosentrisme sebagaimana halnya Kopernikus dan Johanes Kepler. Selain itu, ia adalah orang yang pertama menetapkan hukum akselerasi atau kecepatan benda jatuh baik dalam besarannya ataupun arah geraknya. Jika sesuatu benda jatuh di ruang kosong, maka kecepatan kejatuhan tadi akan tetap. Tetapi, kalau di ruang tadi ada udara yang bergerak secara berlawanan, maka kecepatan gerak kejatuhan tadi akan berubah. Akselerasi tadi akan tetap sama bagi semua benda, baik yang berat atau yang ringan. Ajaran heleosentrisme atas dasar temuan Galilei ini, menggoncangkan gereja. Pada tahun

152

1632 gereja secara terbuka menuntut Galilie untuk menarik ajarannya (Hadiwijono, 1980 dan Magee, 2008).

Niccolo Machiavelli (1467-1525). Ia mengemukakan gagasan tetang negara otokratis. Ia sebagai intelektual, berusaha mengedepankan kejujuran di dalam memaparkan tentang realitas. Sebagaimana halnya para ilmuan lainnya pada waktu itu, Machiavelli, secara sadar berusaha untuk melepaskan diri dari beban tradisi agama Kristen agar dapat mengembangkan pengetahuan baru yang bebas nilai. Dalam bukunya “Sang Pangeran” ia dengan lugas memaparkan bagaimana penggunaan kekuatan dan ancaman memainkan peranan yang amat besar, di samping penampilan dan upaya pencitraan dalam bidang politik. Dalam bukunya yang lain yaitu “diskursus” ia menyatakan kalau penguasa ingin menyelamatkan negara dari suatu krisis, atau ia sekedar ingin mempertahankan posisinya sebagai penguasa, ia harus bersiap-siap

menghadapi

konskuensi

tindakan

yang

mungkin

bertentangan dengan prinsip moral atau prinsip-prinsip apapun. Pernyataan itu dia kemukakan secara jujur berdasarkan fakta situasi politik yang ia amati di negaranya Italia pada waktu itu. Oleh karena itu istilah “Machiavillian” sering dikonotasikan dengan hal yang negatif, yaitu dikenakan pada orang yang mengejar keinginan akan kekuasaan, dengan cara-cara berdusta, jahat dan amoral dalam artian menghalalkan segala cara. Atas kejujurannya dalam mengungkapkan fakta-fakta tadi, dia dikatakan si jahat yang menyarankan praktekpraktek jahat dalam tulisannya. Pada hal ia sendiri berpendapat bahwa “republik yang didukung penuh oleh rakyat adalah bentuk pemerintahan yang paling baik dan paling stabil” (Magee, 2008).

153

Tokoh lain yang muncul pada masa ini adalah Thomas More dan Hugo De Groot. Thomas More (1480-1535). Ia memiliki obsesi tentang negara Utopia. Yang dimaksudkan dengan negara utopia adalah masyarakat agraris yang berdasarkan keluaraga, sebagai sistem kesatuan dasar yang tidak mengenal hak milik pribadi dan tidak mengenal ekonomi uang. Hugo De Groot (1583-1645). Ia menyusun gagasan tentang Hukum Internasional. Masa Renaissance ini telah mengantarkan manusia pada kedewasaan berpikir sampai pada puncak kejayaannya pada abad ke-17. Pada masa tersebut muncul tokohtokoh besar dari dua aliran besar yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain yaitu aliran Empirisme dan aliran Rasionalisme (Hadiwijono, 1983).

31. Aliran Empirisme Aliran empirisme seperti aliran realisme, beranggapan bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang bersumber dari pengalaman empirik manusia. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi digunakan sebagai alat bantu di dalam mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induksi (periksa bab logika). Tokoh-tokohnya antara lain adalah: Francis Bacon, Thomas Hobbes dan John Locke.

Francis Bacon (1561-1626). Dia tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan urusan kenegaraan. Dia menjadi anggota parlemen dalam usia yang masih sangat muda, yatiu usia 23 tahun. Pada tahun 1617, dia mendapatkan jabatan yang pernah diduduki oleh ayahnya yaitu Keeper of the Great Seal, dan mendapatkan jabatan sebagai Lord

154

of Chanselor pada tahun 1618. Tapi setelah menduduki jabatan penting selama dua tahun, dia dituduh menerima suap. Memang, etika dalam dunia profesi hukum pada waktu itu cukup longgar, sehingga hampir setiap hakim menerima suap, baik dari penggugat maupun dari tergugat. Atas tuduhan itu dia mengakuinya, tapi dengan alibi bahwa suap itu tidak mempengaruhinya dalam keputusan-keputusan yang dia berikan sehubungan dengan jabatannya. Dia dihukum harus membayar denda, hukuman kurungan (penjara), dipecat dari jabatannya, dan dibuang selamanya dari lingkungan istana. Dia terpaksa meninggalkan kehidupan publik, dan menghabiskan sisa waktunya untuk menulis buku-buku penting. Bukunya yang terpenting adalah “The Advancement Of Learning” yang dalam banyak hal dianggap sangat modern (Russell, 2007 dan Magee, 2008)). Bacon adalah orang yang pertama kali memandang bahwa pengetahuan Ilmiah dapat memberi manusia kekuasaan atas alam. Oleh karena itu menurut dia, perkembangan sains dapat digunakan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran manusia di mana hal

tersebut

tidak

pernah

terbayangkan

sebelumnya.

Bacon

berpandangan bahwa pengetahuan yang telah ada sebelumnya, tidak mendorong perkembangan pengetahuan, tidak ada kemajuan, dan tidak memberikan manfaat praktis bagi kehidupan manusia. Ia berupaya mengubah cara lama di dalam mendapatkan pengetahuan, dengan

upaya menyusun prosedur keilmuan secara logis dan

sistematis. Ia lalu

mengembangkaan metode induksi moderen. Ia

berupaya untuk menjadikan manusia dapat menguasai kekuatankekuatan alam dengan cara penemuan-penemuan empirik. Seluruh landasan filsafatnya bersifat praktis, yang membuat manusia bisa

155

menguasai kekuatan-kekuatan alam dengan penemuan-penemuan pengetahuan ilmiah. Dia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari theologi, bukannya dicampur adukkan seperti pemikiran kaum Skolastik. Dia menerima ajaran agama ortodok, karena dia bukan orang yang memusuhi agama. Tapi menurut dia agama hanyalah bisa dipahami dengan “wahyu” bukan dengan akal, ini berbeda dengan filsafat yang bergantung pada akal manusia. Bacon adalah filosof yang ada pada urutan pertama yang orientasi keilmuan menekankan pentingnya metode induksi sebagai lawan dari deduksi (Hadiwijono, 1980, Russell, 2007 dan Magee, 2008)). Dia sangat menyepelekan metode deduksi. Melalui metode induksi dia berusaha menemukan sifat umum dari kasus-kasus khusus, dengan tingkat generalisasi yang masih rendah. Kemudian disusul lagi dengan generalisasi kedua, ketiga dan seterusnya, dan selanjutntya diujikan dalam lingkungan baru, sehingga pada akhirnya ditemukan hukum umum yang dianggap benar yang ia sebut denga hukum prerogatif (periksa bab logika induktif). Meskipun filsafatnya dalam banyak hal dianggap tidak memuaskan, akan tetapi filsafat Bacon dianggap memiliki nilai penting dan abadi sebagai pendiri metode induktif modern dan pioner dalam upaya mensistematisasikan prosedur ilmiah secara logis. (Russell, 2007).

John Locke (1632-1704). Ia anak dari seorang ahli hukum di Inggris. Pada tahun 1646, ia kuliah di Westminster, sekolah terbaik di Inggris pada saat itu. Selain mempelajari filsafat klasik, ia juga belajar bahasa

Hibrani

dan

bahasa

Arab.

Kemudian

melanjutkan

pendidikannya di Oxford University, dan di sana dia berkenalan

156

dengan filsafat baru dan sains baru. Kemudian ia lulus dalam bidang kedokteran. Ia tertarik pada dunia filsafat, juga pada masalah-masalah praktis. Ia sangat efektif dan sangat menikamati ke dua bidang tersebut. Ia seorang ilmuan yang hangat, mempesona, pintar dalam bergaul, rendah hati dan bijaksana. Ia punya banyak sahabat sekalipun belum pernah kawin. Dalam relasi peribadi dan urusan politik ataupun urusan filsafat dia sangat berkomitmen dengan akal sehat. Ia sangat hati-hati dalam menjaga pandangannya dari inkonsistensi dan jauh dari realitas. Bahkan apabila suatu hal membuatnya ia tidak konsisten, maka ia akan mengakui apabila ia tidak konsisten (Magee, 2008). Mengenai

bagaimana

kita

belajar

kata

Locke,

adalah

pengalaman secara langsung, yaitu tentang kesadaran kita tentang citra inderawi, pikiran, perasaan, ingatan dan sebagainya, dalam jumlah yang luar biasa banyak, yang disebutnya sebagai ide-ide. Yang dimaksud ide tersebut adalah segala sesuatu yang ada secara langsung dalam dalam kesadaran kita. Stimulus eksternal yang kita terima melalui indera kita adalah masukan dasar, atau data mentah. Secara terus menerus indera kita menerima data mentah tersebut seperti misalnya tentang terang dan gelap, panas dan dingin, keras dan lunak, tentang berbagai macam bentuk warna, suara dan sebagainya yang ia sebut sebagai kualitas-kualitas sekunder, yang hanya dapat dikenali oleh indera. Warna kuning, merah, hijau dan sebagainya tidak akan ada tanpa mata, suara merdu atau sumbang tidak akan ada tanpa telinga dan sebagainya. Pada tahap awal kehidupan, kesadaran kita belum mampu memberi nama

data mentah tersebut secara

keseluruhan. Namun karena kita sudah mengenali sejak awal, selanjutnya kita mulai mengingat sebagian-sebagian. Lalu berupaya

157

mengasosiasikan beberapa hal yang satu dengan yang lain, sehingga terbentuklah gagasan umum tentang hal tersebut. Selanjutnya mulailah kita memiliki ide umum tentang benda-benda, di luar diri kita di mana benda-benda tersebut merupakan asal usul berbagai kesan yang kita terima sebagai data mentah tadi. Berangkat dari awal seperti di atas itulah pikiran dan ingatan kita membangun ide-ide yang semakin lama semakin kompleks dan semakin canggih atas dasar masukan data pengenalan inderawi kita.

Kemudian kita mendapatkan gambaran

tentang dunia, dan selanjutnya kita mengembangkan kemampuan nalar untuk berpikir tentangnya. Jadi pengertian kita mengenai apa yang benar-benar ada, mengenai pemahaman kita tentang dunia dan realitas, dibangun atau diturunkan dari unsur-unsur pengalaman inderawi. Inilah pokok dari aliran empirisme. Aliran empirisme ini menolak ajaran Rene Descartes, di mana tanpa bekal apapun selain atas isi kesadaran sendiri, kita seperti kertas kosong yang mulai ditulisi oleh pengaman-pengalaman, memvalidasi konsepsi tentang dunia luar (Russell, 2007 dan Magee, 2008) . John Lock berusaha menggabungkan teori empirisme seperti teori dari Francis Bacon dan Thomas Hobbes dan Rasionalisme Rene Descartes. Pemikiran Lock kemudian identik dengan pemikiran dari tokoh rasionalisme Libniz. Menurut libniz pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang didapat dari pemikiran analitik di dunia rasional dan pemikiran sintetik yang didasarkan pada pengalaman empirik. Walaupun demikian, John Lock masih sangat sangat kental kecondongannya

pada

empirisme.

Sebagaimana

yang

telah

dikemukakan dalam uraian sebelumnya, aliran empirisme menentang teori rasionalisme tentang idea-idea sebagai bawaan manusia. Bagi

158

John Lock, segala pengetahuan datang dari pengalaman inderawi, tidak lebih dari itu. Tidak ada seorangpun yang memiliki pengetahuan melebihi

pengalamannya.

Waktu

dalam

proses

mendapatkan

pengetahuan, rasio adalah pasif. Rasio tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Semula rasio seperti halnya kertas putih yang masih kosong tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu atau menerima tulisan dari pengalamn empirik. Menurut dia, manusiapun lahir kedunia juga ibaratkan kertas putih yang belum bertuliskan apaapa. Pandangannya membuka jalan akan munculnya metode observasi dan eksperimen dalam dunia sains. Sebagai tokoh aliran empirisme John Lock tidak membedakan antara pengetahuan empirik dan pengetahuan rasional, karena tujuan atau objeknya adalah satu, yaitu gagasan-gagasan atau ide-ide, akan tetapi ia menegaskan bahwa ideide tersebut timbulnya dari pengalaman inderawi atau pengalaman empirik. Berasal dari pengalaman tersebut, berkembang pengetahuan dan pemahaman lebih lanjut tentang realitas dunia eksternal. Pemikiran Lock mempengaruhi Newton dan pada gilirannya dia juga dipengaruhi oleh Newton. Pemikiran John Lock, memiliki dampak revolusionir dalam bidang pendidikan, sains, politik di samping filsafat (Wijono,1980 dan Magee, 2008).

George Berkely (1685-1753). Ia adalah seorang Irlandia yang beragama Protestan, dan penerus pemikiran John Lock di bidang metafisika. Ia begitu masyhur karena karya-karyanya yang diterbitkan ketika ia masih berusia dua puluhan tahun. Ia aktif dalam gerakan mendukung peningkatan di “Dunia Baru.” Ia pernah tinggal di kolonikoloni

Ingris

di

Amerika.

Koleksi

perputakaan

dan

tanah

159

pertaniaannya di Rhode Island diwariskan kepada Universitas Yale yang didirikan pada tahun 1701. Hingga kini namanya dipakai sebagai nama salah satu collage di Yale sampai sekarang. Kota Berkeley di California juga menggunakan namanya. Ia mempunyai pangkal pikiran yang sama dengan Locke. Namun kesimpulan-kesimpulan dari pemikirannya berbeda dengan hasil pemikiran dari John Lock; pemikiran Berkely lebih tajam. Sekalipun ia dianggap sebagai tokoh empirisme yang konsisten akan tetapi pemikirannya juga bermuara pada idealisme yang ia sebut sebagai immaterialisme yang menyangkal akan adanya suatu dunia yang berada di luar kesadaran manusia (Hadiwijono, 1980 dan Magee, 2008). Pada umumnya filosof menjadi masyhur karena menghasilkan karya-karya yang luas cakupannya, akan tetapi Berkeley dikenang karena satu gagasan saja, yang sejak kemunculannya tidak ada yang mampu benar-benar menyanggahnya. Dia mengatakan bahwa “Lock benar ketika menyatakan bahwa yang dapat kita tangkap secara langsung adalah isi kesadaran kita sendiri.” Namun jika demikian halnya apa jaminan yang membuat kita dapat menegaskan bahwa isi kesadaran disebabkan oleh suatu yang benar-benar berbeda sifatnya dengan hal-hal yang tidak pernah kita alami secara langsung, yaitu objek-objek material ? Orang mengatakan bahwa gambaran atau citra inderawi adalah salinan dari objek-objek meterial itu, tetapi apa pula artinya? Kita tahu bahwa pengalaman adalah hal yang inheren dalam diri subjek, karena kita masing-masing secara langsung menyadari akan keberadaan kita sebagai subjek, yakni subjek yang mengalami. Dalam hal ini kita tidak pernah memiliki landasan apapun untuk percaya bahwa pengalaman-pengalaman ini melekat pada objek lain

160

yang bukan kita. Lalu apakah objek yang kita kenal ? Objek yang kita kenal adalah gagasan-gagasan atau ide-ide yang disebabkan karena pengamatan inderawi yang disertai dengan pengamatan psikologis, ditambah dengan ingatan-ingatan dan fantsi-fantasi terhadap gabungan dari bagian-bagian dari gambaran yang diamati. Oleh karena itu menurut Berkeley, jika kita hendak konsisten dengan empirisme, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa yang ada hanyalah pikiran atau rasio dan segala isinya, dalam hal ini subjek beserta pengalaman-pengalaman mereka (Wijono, 1980, Russell, 2007 dan Magee, 2008).

David Hume (1711-1776). Dia dianggap salah satu tokoh yang paling menarik perhatian dalam sejarah filsafat. Semua orang di Prancis tempat dia tinggal beberapa lama dan tempat dia berasal, menyukainya sekalipun tanpa dia membangun pencitraan diri. Mereka menyebut sebagai “David yang baik.” Awalnya dia belajar ilmu hukum, kemudian berbisnis, belajar sastra dan terakhir belajar filsafat. Hume tokoh yang konsisten mengembangkan filsafat empisme dari John Locke dan George Berkely menjadi empirisme logis. Buku maha karyanya yang terkenal, adalah Treatise of Human Nature (Traktat tentang Kodrad Manusia) ditulis ketika dia masih usia sangat muda, yaitu di usia 28 tahun. Buku tersebut dibagi menjadi tiga buku yaitu buku pertama membahas tentang “Sikap dan Saling Pengertian”, buku kedua membahas tentang “Hasrat” dan buku ketiga membahas tentang “Moral.” (Hadiwijono, 1980, Russell, 2007 dan Magee, 2008). Dalam bukunya yang pertama tadi, dia mengawali adanya perbedaan dua jenis persepsi yaitu kesan-kesan (impressions) dan

161

pengertian-pengertian

atau

gagasan-gagasan

(ideas).

Hume

berpendapat bahwa manusia dalam hidupnya tidak memiliki pengetahuan bawaan. Pengetahuan manusia adalah pengetahuan empirik yang didapat melalui pengamatan inderawi. Dari pengamatan inderawi inilah kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau gagasan-gagasan (ideas) didapat. Yang dimaksud dengan kesankesan adalah kesan inderawi, yaitu persepsi objektif sebagaimana adanya terhadap objek yang diamati di dunia empirik yang tampak dengan jelas. Persepsi objektif ini cenderung tetap, tidak berubah dalam waktu yang lama dan cenderung dipersepsi sama dengan apa yang ditangkap oleh indera orang lain. Misalnya kerbau yang bermata dua, berkaki empat bertaduk dikapala dan dikaki, ya seperti itu adanya, dan selamanya akan seperti itu. Atau kesan sakit bila tangan luka kena pisau. Kesan seperti itu akan sama antara individu yang satu dengan individu yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian atau idea adalah gambaran tentang tentang objek yang diamati tadi, akan tetapi tampak samar-samar dibandingkan dengan kesan-kesan inderawi tadi. Hasil pengamatan yang tampak samarsamar tersebut adalah hasil dari refleksi atau perenungan kembali terhadap kesan-kesan yang telah diterima indera kita. Misalnya rasa sakit yang dirasakan waktu tangan luka, akan terasa lebih jelas dan lebih terasa dibandingkan dengan rasa sakit yang muncul dalam pikiran atau perenungan. Perbedaan antara kesan-kesan dan idea-idea, terletak pada cara munculnya dalam kesadaran manusia, yaitu yang pertama muncul secara langsung dari pengamatan inderawi, dan yang lain muncul sebagai hasil dari refleksi dan perenungan kembali

162

terhadap pengamatan inderawi tadi (Hadiwijono, 1980 dan Russell, 2007). Idea-idea yang keadannya samar-samar dan tidak pasti ini menurut Hume adalah segala kesan atau pengetahuan apa saja yang diterima manusia secara tidak langsung baik melalui perenungan dan gagasan dari diri sendiri ataupun informasi dari orang lain. Sebagian besar manusia mendasarkan pengetahuannya pada idea-idea

atau

pengertian-pengertian yang tidak langsung ini, sehingga dengan demikian, pengetahuan yang seperti ini sebenarnya tidak ada nilainya, yang mengakibatkan manusia menjadi ragu-ragu.

Akan tetapi hal

tersebut akan teratasi apabila manusia berhasil menemukan kembali dan mengacu pada sumber-sumber asli di mana pengertian-pengertian atau idea-idea itu berasal, yaitu kesan-kesan yang diterima langsung dari pengalaman empirik. Hume sependapat dengan Locke, mengenai premis dasar empirisme, yakni hanya dari pengalaman sajalah kita dapat memperoleh pengetahuan tentang segala sesuatu di luar diri kita, entah itu pengalaman diri kita atau pengalaman orang lain. Melalui cara yang demikian itu dari keragu-raguan manusia akan menemukan kepastian

dalam

pengetahuan.

Tapi

walau

demikian

dia

menambahkan, bahwa kita tidak akan benar-benar mendapatkan pengetahuan dengan kepastian yang mutlak. Kita hidup di dunia ini dengan kemungkinan-kemungkinan belaka, bukan dengan kepastian. Jadi di sini dapat dipahami, bahwa pengetahuan yang benar dan tidak meragukan atau pengetahuan yang pasti adalah pengetahuan yang berupa idea-idea yang dikonfirmasi kembali dengan sumber awal dari idea-idea tersebut, yaitu pengamatan inderawi di dunia empirik (Hadiwijono, 1980, Siswomihardjo, 1985 dan Magee, 2008).

163

. 32. Aliran Rasionalisme Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa masa renaissance kemudian disusul dengan masa filsafat modren, yang ditandai oleh munculnya dua aliran besar yaitu Rasionalisme selain Empirisme.

Aliran

rasionalisme

berpendapat,

bahwa

sumber

pengetahuan yang representatif dan dapat dipercaya adalah rasio atau nalar. Pengetahuan yang diperoleh dari rasiolah yang dapat memenuhi tuntutan pengetahuan ilmiah yaitu mutlak dan universal. Pengalaman adalah berfungsi untuk menguatkan pengetahuan yang didapat melalui rasio tadi. Rasio dapat menemukan kebenarannya sendiri atas dasar asa-asas ilmu pasti. Metode yang digunakan adalah metode “deduktif.” Tokoh-tokohnya antara lain ialah: Rene Descartes, Blaise Pascal dan Baruch Spinoza.

Rene Descartes (1596-1650). Ia dilahirkan di Prancis pada tahun 1596. Ia belajar ilmu hukum, ilmu kedokteran, dan ilmu alam. Ia juga mendapatkan pendidikan terbaik dari para Yesuit dalam bidang filsafat dan matematika. Di tengah sedang menempuh pendidikan, dia bergabung dengan Angkatan Darat sebagai prajurit. Selama menjadi prajurit dia berkelana berkelilig Eropa, akan tetapi, dia belum pernah menyaksikan satu pertempuran pun. Pengalaman pengembaraannya sebagai prajurit memberikan pelajaran baginya, bahwa dunia manusia jauh beraneka ragam dan kontradiktif dibandingkan apa yang ia temukan dalam buku yang telah ia pelajari. Ia kemudian terobsesi dengan suatu pertanyaan “Adakah sesuatu yang benar yang dapat benar-benar kita yakini, sebagai suatu pengetahuan yang pasti” ?

164

Menurutnya, pengetahuan harus satu, disusun sebagai suatu bangunan yang seluruhnya berdiri sendiri, dengan satu metode yang umum. Ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti. Adapun pengetahuan yang dapat dipandang sebagai yang benar, adalah apa yang terpilahpilah secara jelas. Artinya gagasan-gagasan atau ide-ide itu seharusnya dapat dibedakan secara jelas antara gagasan-gagasan atau ide-ide yang satu dengan yang lain. Descartes sangat memperhatikan realitas yang ada, sedangkan asas yang pertama atau asas yang logis dan abstrak sebagai dalil acuan yang eksistensial (Hadiwjono, 2000 dan Magee, 2008). Descartes

mengembangkan

sebuah

cabang

baru

dalam

matematika yang menerapkan aljabar dalam geometri, yang kemudian disebut dengan analitis, atau geometri koordinat. Ia terpukau dengan kepastian matematika yang transparan dan dapat diandalkan. Pembuktian matematis dimulai dari sejumlah kecil premis-premis yang sangat sederhana, mendasar dan begitu jelas, sehingga begitu mustahil untuk meragukan kebenarannya. Misalnya pembuktian bahwa sebuah garis lurus adalah jarak yang terpendek di antara dua titik. Kemudian pembuktian tersebut dilanjutkan satu demi satu langkah-langkah logis dengan cara “deduktif.” Masing-masing langkah tersebut tidak dapat disangkal atau diragukan akan kepastiannya. Demikianlah selanjutnya, kita akan menemukan bahwa melalui langkah-langkah logis, yang setiap langkahnya sederhana dan amat jelas, melalui premis-premis yang amat sederhana dan amat jelas pula, kita mungkin akan sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang sama sekali tidak sederhana dan tidak terlalu jelas. Matematika adalah

165

suatu metode untuk mendapatkan pengetahuan yang pasti tentang dunia (Magee, 2008). Descartes begitu galau dengan ketidakpastian pemikiranpemikiran Skolastik yang ia terima sebelumnya. Dia berujar “aku terkejut karena begitu banyak kesalahan-kesalahan yang kuterima sebagai kebenaran sejak masa kecilku.” Ternyata bahwa pengaruh Aristoteles yang ada dalam aliran Skolastik menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu Descartes terdorong untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional dan segala gagasan kefilsafatan pada masa itu. Ia ingin memulai dengan cara baru. Untuk memulai cara baru itu ia harus memiliki suatu pangkal pemikiran yang pasti. Pangkal yang pasti tersebut menurut dia ditemukan dengan memulai keragu-raguan. Tentang keragu-raguan, dia juga mengatakan bahwa hanya satu yang tidak dapat diragukan, yaitu “aku ragu-ragu” artinya aku selalu meragukan segala sesuatu. Ini bukan hayalan, akan tetapi ini kenyataan. Aku ragu-ragu, aku berpikir, oleh karena itu aku berpikir. Karena aku berpikir maka aku ada “cogito ergo sum.” Yang mencerap kepercayaanku kepada Tuhan, dan pengetahuanku dalam matematika adalah karena akal budiku, bukan oleh indera-inderaku yang sering menipuku. Dari sini kemudian muncul suatu aliran filsafat yang dikenal sebagai aliran rasionalisme, yang mendasarkan diri pada keyakinan bahwa pengetahuan kita tentang dunia dapat diperoleh dari penalaran, karena kesan inderawi cenderung menjadi sumber kekeliruan yang tidak dapat diandalkan (Hadiwijono, 1980, dan Magee, 2008).

166

Blaise Pascal (1623-1662). Ia adalah seorang ahli ilmu pasti, ahli dalam ilmu alam serta seorang filosof. Persamaan dengan Descartes, mereka sama-sama mencintai ilmu pasti dan ilmu alam. Akan tetapi ia jauh melebihi Descartes dalam memahami ilmu alam. Ia menerima metode induksi sebagaimana yang digunakan dalam ilmu alam. Kalau Descartes berpendapat bahwa metode dalam ilmu pasti harus menjadi metode dalam filsafat, bagi Pascal tidak demikian. Metode dalam ilmu pasti bukanlah metode yang harus ditiru oleh filosof, sebab menurutnya seorang filosof harus menyelami keadaan manusia yang dihadapi secara kongkrit orang demi orang. Atas dasar penyelaman itulah manusia akan mengetahui bahwa realitas dari apa yang ditangkap oleh indera itu adalah suatu rahasia. Rasio manusia memang dapat memberi pengetahuan kepada kita tentang rahasia itu, akan tetapi masih belum memberikan rumusan-rumusan dalam pengertian yang memadai. Itu terjadi karena rumusan-rumusan tadi merupakan wujud dari kesatuan dua hal yang berbeda dan saling bertentangan yaitu “raga dan jiwa,” yang selalu menempatkan manusia dalam ketegangan dalam setiap pengambilan keputusan yang menentukan. Oleh karena itu di dalam setiap pengambilan keputusan, tidak cukup hanya mengandalkan rasio saja, melainkan juga dengan hati; di mana letak dari hati tersebut lebih dalam dari akal. Dalam hati manusia dihadapkan dengan Allah. Setiap keputusan yang disertai dengan pertimbangan hati, akan dapat meredusir ketegangan, karena dengan hati manusia dapat melupakan segala hal, kecuali Allah. Filsafat Pascal mewujudkan dialog antara manusia dan Allah. Di jagad raya yang luas ini manusia bukanlah apa-apa, akan tetapi di tengahtengah jagad raya tersebut hanya manusialah satu-satunya mahluk

167

yang berpikir. Karena itu hanya manusialah satu-satunya mahluk yang dapat berkomunikasi dengan Allah. Tidak dapat disangkal bahwa fisafat pascal yang menekankan perhatian terhadap manusia, tidak punya pengaruh sebesar filsafat Descartes pada aliran rasionalisme dalam abad modern. Akan tetapi pada abad ini, orang semakin mengkritik Descartes dan makin condong ke filsafat Pascal yang menonjolkan perhatiannya pada manusia (Hadiwijono, 1980).

Baruch Spinoza (1632-1677). Ia adalah seorang Yahudi, dan satu-satunya filosof Yahudi sebelum Karl Marx yang paling menonjol dalam jajaran filosof Barat. Ia dibesarkan dalam lingkungan Yahudi ortodoks yang dikucilkan dan diusir dari Sinagoge pada usia 24 tahun, karena pendangannya yang terlalu liberal. Meskipun filsafatnya didominasi oleh pemikiran tentang Tuhan, orang-orang kristen juga membencinya, bahkan kaum ortodoks menuduhnya sebagai orang ateis.

Pengaruh

Descartes

terhadap

Spinoza

tampak

dalam

penggunaan ilmu pasti di dunia filsafat. Ia terkesan dengan dunia sains, serta menerima pandangan Descartes bahwa cara yang benar untuk mendirikan bangunan pengetahuan ilmiah adalah dimulai dari premis-premis yang benar-benar tidak dapat diragukan, dan kemudian menyimpulkan pelbagai konsekuensinya dengan menggunakan logika. Akan tetapi rasionalisme Spinoza lebih luas dan lebih konsekuen dibandaingkan dengan rasionalisme Descartes. Menurut Spinoza filsafat Descartes masih banyak meninggalkan persoalan-persoalan fundamental yang belum terpecahkan, yaitu dua jenis substansi yang jelas-jelas berbeda yaitu mental atau jiwa, dengan raga atau materi. Bagaimana mungkin jiwa dapat menggerakkan materi dalam ruang ?

168

Di sini menurutnya, jawaban Descartes terhadap pertanyaan tersebut masih lemah, sehingga sehingga tidak seorangpun jakin terhadapnya, yang oleh pengikutnya hal tersebut tidak terlalu penting untuk didiskusikan. Tentang realitas, baginya dalam dunia ini tidak ada sesuatu apapun hal yang bersifat rahasia, karena rasio atau akal manusia telah mencakup segala sesuatu, termasuk tentang Tuhan. Bahkan bagi dia, Tuhan juga menjadi objek kajian rasio yang paling penting.

Sistem

rasionalnya

mewujudkan

suatu

usaha

guna

merumuskan apa yang telah dialami sendiri dalam pengalaman mistis, dengan pengertian-pengertian rasional. Dalam arti yang terdalam, ajaran Spinoza dapat dipandang sebagai mistik filsafati, yang mengajarkan tentang perbandingan antara manusia dengan Tuhan sebagai sosok yang tiada batasnya (Hadiwijono, 1980; Russell, 2007, dan Magee, 2008). Seperti banyak filosof terkemuka lainnya, Spinoza juga ahli dalam berbagai bidang, selain sebagai pakar kitab suci, yang menguasai

bahasa

Spanyol,

Portugis,

Belanda

dan

Hibrani.

Ketertarikan Spinoza terhadap dunia matematika, yang dikenal dengan sebutan sains baru, menimbulan beberapa permasalahan yang sama peliknya dalam pandangannya. Pemasalahan ini muncul karena ia sebagai manusia dengan keyakinan moral yang tinggi dan sangat religius, sehingga mengalami kesulitan dalam menyikapi sains baru tersebut. Bila keseluruhan realitas itu adalah representasi dari sebuah sistem deduktif deterministik, berarti segalanya dapat dideduksikan secara logika dengan premis-premis yang sudah terbukti benar dengan sendirinya, lalu dimanakah ruang bagi moral? Di manakah kebebasan kalau segalanya sudah ditentukan kebenarannya? Demikian pula di

169

manakah ruang bagi Tuhan dalam sistem berpikir seperti itu? Dia berpandangan apabila segalanya dapat diterangkan menurut hukumhukum

persamaan

matematika,

maka

tampaknya

kita

tidak

membutuhkan Tuhan untuk menjelaskan apapun. Karena pertanyaanpertanyaan semacam itu pada abad ke 17 sampai abad ke 20 banyak orang dibuat gusar, sehingga ia dianggap berada di luar sistem. Newton berusaha menjawab bahwa yang menciptakan alam semesta adalah Tuhan, kemudian Tuhan membiarkannya, dan alam semesta bekerja sendiri dengan hukum-hukum yang telah Tuhan letakkan, yang kemudian dikenal dengan hukum alam. Hukum alam inilah kemudian dijadikan sebagai dasar atau fondasi dalam kegiatan ilmiah. Jawaban semacam itu tidak memuaskan Spinoza yang membutuhkan Tuhan ada di mana-mana dan mencakup segalanya. Sistem deduktif dan deterministik ini tidak memberikan ruang bagi Tuhan ini yang merupakan masalah pelik bagi Spinoza. Sedangkan bagi dia, Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, dan segala sesuatu ada dalam Tuhan. Di sini antara Tuhan dan alam semesta untuk pertama kali diberi rumusan secara modern. Pengertian tentang Tuhan menurut Spinoza berbeda dengan yang diajarkan oleh Descartes. Bagi Descartes, Tuhan adalah pencipta dunia, akan tetapi bagi Spinoza, Tuhan merupakan suatu kesatuan umum, yang mengungkapkan diri dalam dunia. Segala yang ada adalah Tuhan, tiada sesuatupun yang tidak tercakup dalam Tuhan dan tiada sesuatupun yang dapat berada tanpa Tuhan (Hadiwijono, 1980 dan Magee, 2008). Dalam hal rasio, Spinoza menyatakan bahwa kebebasan rasio atau kebebasan berpikir sangatlah penting. Dia berusaha menjelaskan dan menunjukkan secara rinci bahwa kitab-kitab sucipun dapat

170

ditafsirkan secara bebas oleh siapapun, selama ia memiliki kompetensi teologis. Dalam buku karya terpentingnya “Ethics,” dia mengkritik Bibel, mendahului pandangan-pandangan modern, yaitu tentang banyak tahun dalam kitab Perjanjian Lama yang berbeda dengan tahun-tahun yang telah ditentukan secara tradisional. Akibatnya tanpa adanya alasan-alasan yang jelas dia diprovokasi, dia dikabarkan sebagai orang yang temperamental yang pemarah yang sangat dikecam dan dibenci oleh sesama etnis Yahudinya. Padahal dia sebenarnya adalah seorang rasional yang santun, tidak pernah mencela pendapat orang yang tidak sepaham, akan tetapi dengan gigih dia berusaha untuk meyakinkan orang lain akan ajarannya. Tentang pemikiran rasionalnya, dia berbeda dengan sebagian filosof lain, dia tidak

hanya

percaya

terhadap

kebenaran

hasil

pemikiran-

pemikirannya, akan tetapi juga berupaya untuk memperaktekkannya (Russell, 2007).

Godfried Wilhem Leibniz (1646-1716). Ayahnya seorang profesor filsafat moral di leipzig. Ia belajar dan mendapat gelar doktor di Atrdorf. Karena sejak mahasiswa ia sudah kelihatan sangat menonjol, dengan pandangannya-pandangannya yang jauh berbeda (original), maka pada usia 21 tahun dia ditawari anugerah profesor akan tetapi dia menolaknya, dengan alasan dia ingin lebih terlibat dalam dunia praktis. Dalam karir publiknya, dia pertama kali memilih untuk menjadi pegawai Keuskupan besar di Mainz pada tahun 1667. Kemudian, pernah menjadi penasihat raja, diplomat, pustakawan, dan ahli sejarah keluarga Duke dari Hanover. Di tengah-tengah kesibukannya berkarier, dalam kamar kerja peribadinya dia belajar

171

dan menulis dengan tekun, akan tetapi tulisan-tulisannya tidak sistematik dan cenderung tidak diterbitkan. Tentang tulisannya yang acak-acakan tersebut, ia pernah berkata, “sehabis menyelesaikan sesuatu, biasanya aku melupakannya”, dan tidak pernah mencarinya lagi. Ini sangat berbeda dengan filosof Baruch Spinoza, yang dalam mengkomunikasikan pemikiran-pemikirannya disampaikan secara seksama, teratur dan sistematis (Russell, 2007 dan Magee, 2008). Pada tahun 1672 dia pindah ke Paris, dan peristiwa ini begitu penting bagi pengembangan intelektualnya, karena Paris pada waktu itu adalah tempat paling terkemuka dalam bidang filsafat metematika. Di Paris ia menciptakan “kalkulus infinitif” tanpa dia mengetahui bahwa teori itu telah ditulis sebelumnya oleh Newton. Karyanya diterbitkan pertama kali pada tahun 1684, sedangkan karya Newton diterbitkan pada tahun 1687, atau dua tahun setelahnya. Ini yang menjadikan polemik tentang siapa yang lebih dahulu di antara keduanya, di mana hal tersebut sama-sama merugikan kedua belah pihak. (Russell, 2007 dan Magee, 2008). Tentang kebenaran pengetahuan, dia menyatakan ada dua kebenaran, yaitu kebenaran atas dasar penalaran, dan kebenaran atas dasar fakta. Kebenaran atas dasar penalaran adalah kebenaran yang didapat melalui analisis terhadap pernyataan kebenaran yang ada, dengan melihat dan mengacu pada hal-hal yang ada di luar pernyataan tadi. Kebenaran ini kemudian dikenal dengan kebenaran analitis. Sementara kebenaran atas dasar fakta, adalah pernyataan akan kebenaran pengetahuan itu benar apabila memang kebenaran tersebut berdasarkan fakta. Bagi Leibniz dalam hal ini logika dan matematika dipandang sebagai metode analitik, dan kalim-klaim pengetahuan

172

dunia empirik dianggap sebagai metode sintetik. Kedua jenis metode dalam mendapatkan kebenaran tadi yaitu analitis dan sintetis ini pada abad ke 20 dianggap sebagai metode keilmuan yang fundamental dalam aliran filsafat “positivisme logis.” (Russell, 2007 dan Magee, 2008).

33. Munculnya Istilah Sains (Ilmu Pengetahuan Ilmiah) Hampir dua abad lamanya filsafat modern diwarnai oleh suasana pertentangan antara dua aliran yaitu empirisme dan rasionalisme. Sebagaimana yang telah tersirat dalam uraian-uraian

sebelumnya,

aliran empirisme dengan metode induksinya beranggapan bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang bersumber dari pengalaman empirik manusia. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi digunakan sebagai alat bantu di dalam mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman manusia. Pengetahuan yang didapat dari pengalaman manusi, adalah pengetahuan empirik dengan muatan kebenaran yaitu korespondensi. Sebaliknya aliran rasionalisme dengan metode deduksinya berpendapat, bahwa sumber pengetahuan yang representatif dan dapat dipercaya adalah rasio. Pengetahuan yang diperoleh dari rasiolah yang dapat memberikan pengetahuan yang mutlak dan universal dengan muatan kebenaran yaitu koherensi. Pengalaman hanyalah berfungsi untuk menguatkan pengetahuan yang didapat melalui rasio tadi. Dua aliran tersebut memiliki keunggulan dan kebenarannya di samping kekurangannya masing-masing. Aliran rasionalisme bisa memberikan ilmu yang iniversal, akan tetapi tidak dapat memberikan pemecahan masalah yang realistik. Aliran empirisme dapat memberikan pengetahuan yang langsung mengenai

173

objek-objek yang realistik, akan tetapi tidak dapat memberikan pengetahuan yang universal. Dalam mengatasi kekurangan masingmasing aliran tadi, mulai ada upaya-upaya untuk menjembataninya dari tokoh-tokoh berikut.

Emmanuel Kant (1924-1804). Menurut Emmanuel Kant, rasionalisme

dengan

metode

deduksinya

hanyalah

mampu

memberikan pengetahuan yang bersifat analitic a-priori di mana pengetahuan ini sekalipun memberikan pengetahuan yang yang bersifat umum dan universal, akan tetapi tidak mungkin dapat memberikan pengetahuan-pengetahuan yang baru. Sebalikya aliran empirisme dengan metode induksinya, hanya mampu memberikan pengetahuan yang bersifat sintetic a-posteriori yaitu pengetahuan baru akan tetapi berlakunya hanya sementara dan tidak mungkin memberikan pengetahuan yang berlaku umum dan universal. Kant berusaha untuk menggabungkan kedua model pemikiran tersebut, dengan pola pemikiran yang disebut dengan aliran filsafat Kritisime. Kritisisme tidak hanya sekedar penggabungan antara filsafat rasionalisme dengan empirisme saja, akan tetapi ditujukan untuk pendalaman kedua aliran yang berbeda tersebut, sehingga muncul pengetahuan dalam perspektif baru. Bagi Kant, pengetahuan yang representatif adalah pengetahuan yang dapat memberikan informasi baru, dan juga berlaku umum dan universal. Selain Emmanueil Kant, August Comte adalah salah seorang tokoh filsafat yang juga berupaya untuk menjembatani antara aliran rasionalisme dengan empirisme (Hadiwijono, 1985 dan Siswomiharjo, 1985).

174

Auguste Comte (1798-1857). Nama lengkapnya adalah Isidore Marie Francois Xavier Comte. Ia adalah pendiri aliran filsafat positivesme. Yang dimaksud positif oleh Comte adalah nyata lawan dari hayal. Sasaran dari kejian filsafat positivisme adalah sesuatu yang rasional atau sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal manusia. Posisitif juga diartikan sebagai sesuatu yang bermanfaat, yang mengarah pada kemajuan pengetahuan, dan bukan hanya sekedar untuk memenuhi dorongan keingintahuan saja. Positif dimaksudkan sebagai lawan dari sesuatu yang meragukan yaitu pasti. Positif juga dimaksudkan sebagai lawan dari kabur, atau tidak jelas. Objek kajian filsafat harus ditujukan pada gejala yang nampak dan yang jelas-jelas dibutuhkan manusia, bukan pada sesuatu yang supra natural. Positif juga dimaksudkan sebagai dari negatif. Di sini maksudnya filsafat selalu mengarahkan pada hal-hal tertata secara baik dan tertib (Wibisono, 1989). Filsafat positivisme Comte tersebut merupakan upaya untuk menyatukan dua aliran yang berbeda yang ada pada kutub ekstrim masing-masing sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh Kant, yaitu untuk lebih memperluas dan lebih memperdalam serta mestimulasi munculnya paradigma baru dalam perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Comte dengan filsafat positivismenya, cenderung untuk membatasi pengetahuan manusia pada pada sesuatu yang positif dalam arti bukan hayal, yang dapat ditangkap oleh nalar manusia, dan posiitif dalam arti gejala yang nampak jelas dan tepat serta memang dibutuhkan manusia yang diperoleh dengan metode ilmu atau metode science (Wibisono, 1989). Bagi Kant dengan kritisismenya, pengetahuan yang representatif adalah pengetahuan yang dapat memberikan informasi baru, dan juga

175

berlaku umum dan universal. Comte dengan filsafat positivismenya, cenderung untuk membatasi pengetahuan manusia pada sesuatu yang positif dalam arti bukan hayal, yang dapat ditangkap oleh nalar manusia, dan posiitif dalam arti gejala yang nampak jelas dan tepat empiris, serta memang dibutuhkan manusia. Dari kedua teori di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwa pengetahuan yang benar dan representatif adalah pengetahuan yang meliputi pengetahuan a-priori sekaligus a-posteriori yang didasarkan pada kemampuan akal (rasional), sekaligus empirik, dengan metode deduksi dan induksi. Ini rupanya yang sekarang dikenal dengan metode science. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah metode science dalam arti metode pemikiran yang bergerak dari kutub rasional ke emprik, dari dari pola deduksi ke induksi, dari kutub a-priori ke a-posteriori lahir dari kehadiran filsafat Kritisisme dari Emmanuel Kant dan dari filsafat Positivisme dari Auguste Comte. Akan tetapi kesimpulan tersebut di atas mungkin masih perlu diperdebatkan, karena tokoh-tokoh sebelum Kant dan Comte, baik dari aliran rasionalisme maupun empirisme sudah menyatakan seperti hal tersebut. Misalnya Lock dan Libniz. berpandangan bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang didapat dari pemikiran analitik di dunia rasional dan pemikiran sintetik yang didasarkan pada pengalaman empirik.

David Hume. Menyatakan

bahwa kehidupan kita di dunia ini hanyalah kemungkinankemungkinan belaka, bukan dengan kepastian. Jadi di sini dapat dipahami, bahwa pengetahuan yang benar dan tidak meragukan atau pengetahuan yang pasti adalah pengetahuan yang berupa idea-idea yang kemudian dikonfirmasi kembali dengan sumber awal dari idea-

176

idea tersebut, yaitu pengamatan inderawi di dunia empirik. Maksudnya pengetahuan yang benar dan pasti adalah pengetahuan yang ada dalam rasio manusia yang telah dikonfirmasi kebenarannya di dunia emprik (Hadiwijono, 1980 dan Magee, 2008). Hal tersebut identik dengan apa yang telah berulang kali dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, ilmu pengetahuan ilmiah atau ilmu yang saintifik adalah pengetahuan yang di dapat melalui siklus kegiatan berpikir yang bergerak dari kutub rasional ke kutub empiris, atau dari kutub a-priori ke kutub a-posteriori, dengan metode analitik (deduksi) dan sintetik (induksi). Dalam hal ini Darwin menyatakan bahwa setiap hal yang saya pikirkan atau teori yang saya baca, saya usahakan untuk dibuktikan secara langsung, atau saya usahakan untuk menemukan keterkaitan dengan apa yang nantinya dapat saya amati di dunia empirik. Keyakinan saya, kebiasaan berpikir seperti hal tersebutlah yang memungkinkan saya dapat melakukan aktivitas apapun di dunia sains (Howard, 1982). Sebetulnya

metode

ilmiah

sebagaimana

yang

telah

dikemukaklan di atas, kira-kira hampir sepuluh abad sebelum Darwin lahir, bahkan beratus-ratus tahun sebelum para filosof abad modern seperti Emmanuel Kant, Francis Bacon dan lain-lainnya berbicara tetang metode ilmiah, Ibnu Haytam yang di dunia Eropa lebih dikenal dengan nama Al-hazen (965-1009 M), kelahiran Basra dan meninggal di Cairo. Ia adalah seorang ilmuwan Islam yang ahli dalam berbagai bidang bidang ilmu pengetahuan, seperti astronomi, matematika, geometri, medis, dan filsafat. Ia telah menyusun formula metode sains (scientific method) dengan tahapan sebagai berikut : Observation, statemen of problem, formulation of hypotesis, testing of hypotesis

177

using experimentation (i’tibar), analysis of experimentation results, interpretation of data and formulation of conclution and publication finding, identik dengan proses kegiatan keilmuan yang ada saat ini sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab tentang metode penelitian. Ia menulis buku tentang optical atau cahaya yang berjudul Al-Manasir yang diterbitkan sebanyak 10 jilid. Teori temuannya atas dasar eksperimen yang ia lakukan yaitu tentang cahaya adalah “light travel strait lines” yang maksudnya perjalanan cahaya mengarah seperti garis lurus. Teorinya tentang optik ini menjadi dasar pengembangan teknologi optik jaman moderen. (https://en.wikipedia. org/wiki/ History_of_scientific_method, tanggal 8 Agustus 2015 pukul 8;18 WIB). Contoh

ilustrasi mengenai perjalanan cahaya

temuannya tadi, seperti dalam gambar no 10.

Gambar no. 10. Tentang perjalanan cahaya yang ditemukan oleh Ibnu Haitam (Al-hazen) Sumber gambar : https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_scientific_method, Tanggal 8 Agustus 2015 pukul 8;18 WIB

178

Hasil karya penelitian mengenai cahaya yang telah ia lakukan, telah memberikan banyak inspirasi pada ahli sains barat, seperti Bacon, dan Kepler dalam menciptakan mikroskop serta teleskop.

VIII. PENUTUP Filsafat ilmu terdiri dari dua kata yaitu kata filsafat dan kata ilmu. Filsafat diartikan sebagai upaya spekulatif dalam arti kajian yang hanya disandarkan kepada kegiatan nalar, untuk menyajikan suatu pandangan sistematis dan menyeluruh terhadap realitas serta hakekat dari realitas tersebut. Filsafat juga mengandung pengertian, penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh berbagai pengetahuan. Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah ilmu pengetahuan ilmiah sebagai sinonim dari kata science. Filsafat ilmu adalah sebuah cabang dari filsafat pengetahuan yang khusus memfilsafati ilmu pengetahuan ilmiah. Filsafat kususnya filsafat ilmu berupaya untuk menentukan batasbatas dan jangkauan pengetahuan manusia yang meliputi sumbersumber pengetahuan, keabsahan atau kebenaran dari pengetahuan, hakekat pengetahuan serta nilai-nilainya. Semua pengetahuan khususnya pengetahuan ilmiah harus menjawab tiga pertanyaan, Apa? Bagaimana? dan Mengapa atau Un tuk Apa? Dalam istilah kefilsafatan ketiga pertanyaan tersebut dikenal denga istilah Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi yang disebut pula sebagai tiga tiang penyangga keilmuan. Masing-masing cabang pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan ilmiah, menjawab apanya, bagaimananya dan mengapanya atau untuk apanya sendiri, dalam arti masing-masing pengetahuan memiliki ontologi, epistimologi dan

179

aksiologinya sendiri. Ontologi atau metafisika adalah pengetahuan yang merupakan cabang dari filsafat yang membicarakan tentang ada dan keberadan dari alam semesta. Ontologi dalam kefilsafatan merupakan cabang dari filsafat yang menjawab pertanyaan yang meliputi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, misalnya apa alam semesta beserta hakikatnya, apa manusia itu dan sebagainya. Sedangkan ontologi ilmu pengetahuan ilmiah menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, tetapi yang dapat dijangkau oleh akal/penalaran, dan dapat diamati atau dialami oleh manusia. Ilmu memulai kajiaanya dari pengenalan dan pengalaman manusia, dan berhenti pada batas pengenalan dan pengalaman manusia

juga.

Epistimologi

dapat

dipahami

sebagai

Teori

Pengetahuan atau The Theory of Knowledge yang juga disebut juga dengan The Phylosophy of

Knowledge atau filsafat pengetahuan.

Epistimologi membicarakan sumber pengetahuan, proses dalam mendapatkan pengetahuan, sarana pendukung dalam mendapatkan pengetahuan,

macam-macam

pengetahuan

dan

kebenaran

pengetahuan. Salahsatu cabang dari filsafat pengetahuan, adalah filsafat ilmu. Jadi filsafat ilmu atau The Phylosophy of Science sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembicaraan sebelumnya, adalah filsafat pengetahuan khusus yang memfilsafati pngetahuan ilmiah. Epistemologi dalam keilmuan yaitu metode atau cara dalam mendapatkan pengetahuan yang benar secara ilmiah. Misalnya bagaimana atau dengan metode apa yang dapat digunakan untuk mencapai objek dan subjek yang dikaji tadi. Aksiologi sebagaimana ontologi dan epistimologi juga merupakan salahsatu cabang filsafat, yang biasa dikenal juga dengan istilah filsafat nilai. Ini dimaksudkan

180

untuk menerangkan tentang ukuran-ukuran nilai dari ilmu, hubungan ilmu dengan moral dan menunjukkan kearah mana seharusnya ilmu pengetahuan itu dikembangkan, agar supaya perkembangan ilmu dan teknologi sesuai dengan kebutuhan pengembangan peradaban, dan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia dalam segala aspek kehidupannya (periksa uraian tentang filsafat ilmu dan uraian tentang tiga tiang penyangga ilmu pengetahuan).. Beberapa sumber pengetahuan yaitu Indera, Nalar, Otoritas, Intuisi, Wahyu dan Keyakianan. Dari sumber-sumber tersebut, sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnnya, muncul bermacam-macam pengetahuan seperti pengetahuan prailmiah, pengetahuan ilmiah, pengetahuan kefilsafatan, pengetahuan seni dan pengetahuan keagamaan. Pengetahuan pra-ilmiah bersumber pada salah satu dari dua sumber yaitu penalaran atau panca indera. Apabila hanya bersumber pada penalaran yang ada hanyalah pengetahuan pra-ilmiah. Juga sebaliknya, apabila hanya bersumber dari panca indera juga hasilnya pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang bersumber dari penalaran dan pancaindera vice-versa. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang rasional yang telah dibuktikan atau didukung oleh fakta empirik, atau pengetahuan empirik yang juga rasional. Pengetahuan kefilsafatan adalah pengetahuan mengenai alam semesta dan seisinya dengan hakikatnya, yang hanya bersumber dari penalaran. Pengetahuan seni adalah pengetahuan yang sumbernya cenderung bertumpu pada pancaindera dan intuisi. Pengetahuan agama adalah pengetahuan yang bersumber dari wahyu dan keyakinan (periksa bab ilmu pengetahuan, bab macam-macam pengetahuan dan bab metodologi penelitian).

181

Beberapa alat bantu dalam proses keilmuan yaitu logika, bahasa, matematika statistika dan metodologi penelitian. Logika di sini, dimaksudkan sebagai pengetahuan dan kecakapan berpikir lurus, tepat atau berpikir benar. Objek materia dari logika adalah berpikir; sedangkan objek formalnya adalah bernalar lurus, tepat atau benar, sesuai dengan aturan-aturan atau hukum-hukum yang ditetapkan dalam logika. Dalam kegiatan ilmiah ada dua jenis logika yang biasa digunakan, yaitu logika deduksi dan logika induksi. Logika deduksi digunakan sebagai alat bantu untuk memformulasikan hipotesis, sehingga hipotesis yang diajukan memiliki kebenaran secara rasional atau dikenal dengan kebenaran koheren. Logika induksi digunakan sebagai alat bantu dalam proses pengumpulan data empirik, dalam rangka menguji untuk menentukan diterima atau tidaknya hipotesis yang diajukan dalam penelitian (periksa bab logika). Bahasa juga sebagai alat bantu dalam proses keilmuan.. Melalui bahasa manusia dapat menciptakan dan mengekspresikan pemikiranpemikiran konseptualnya, baik dalam bidang keilmuan atau bidangbidang lainnya, sehingga dengan demikian pemikiran tersebut dapat diketahui, dipelajari, serta dikoreksi untuk diadakan pengujian di dunia empirik dan diadakan refleksi ulang oleh yang bersangkutan atau oleh orang lain. Refleksi ulang, dimaksudkan untuk memperbaiki bila pemikiran tersebut perlu diperbaiki, serta menambah apabila pemikiran konseptual tadi dianggap masih kurang, sehingga pada akhirnya didapatkan pemikiran-pemikiran konseptual yang benar. Pemikiran-pemikiran konseptual yang benar tersebut pada akhirnya akan membuahkan produk yang berupa karya keilmuan dan teknologi atau produk hukum, norma dan etika yang benar pula yang dapat

182

bermanfaat untuk dijadikan sebagai dasar perilaku manusia dalam menempuh kehidupannya (periksa uraian tentang bahasa). Matematika sebagai alat bantu yang lain, dapat memberikan nuansa dalam disain teknik, arsitektur, seni lukis, seni musik serta dalam bidang ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu sosial. Matematika merupakan kekuatan utama pembentuk konsepsi tentang alam dan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Matematika adalah bahasa numerik, yang memungkinkan manusia melakukan pengukuran-pengukuran secara kuantitatif terhadap fakta kualitatif. Ilmu-ilmu sosial dengan perkembangannya yang begitu cepat dan semakin bertambah kompleks. Oleh karena itu ke depan seorang ahli ilmu-ilmu sosial harus mengetahui matematika lebih banyak dari apa yang harus diketahui oleh ahli-ahli fisika. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam pembicaraan terdahulu, matematika

adalah

bentuk

memberikan

kemampuan

pemikiran

untuk

abstrak

menguasai

yang

dunia

mampu

fisik,

dan

memberikan pengaruh terhadap hampir semua aspek kebudayaan manusia. Matematika merupakan kekuatan utama pembentuk konsepsi tentang alam dan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia, seperti bidang ilmu ekonomi, ilmu-ilmu sosial yang lain di samping disain teknik, arsitektur, seni lukis, seni musik (lihat uraian tentang matematika). Statistika adalah deskripsi kuantitatif dari berbagai macam masalah dalam bentuk angka-angka, atau jumlah dan ukuran bedabenda, kecepatan serta jarak tempuh gerak tertentu, dengan cara mengadakan pengukuran dan kuantifikasi. Statistika merupakan metode dalam membuat suatu kesimpulan yang tepat dari keadaan

183

yang tidak menentu dan tidak pasti. Dalam dunia keilmuan saat ini hampir tidak ada bidang-bidang kegiatan yang tidak menggunakan statistik, seperti bidang psikologi, pendidikan, ekonomi, kimia, biologi, pertanian, kedokteran, hukum, politik, sosiologi, teknik dan sebagainya. Mungkin hanya dalam bidang ilmu yang pendekatannya spekulatif yang tidak menggunakan statistika, seperti bidang filsafat, agama, sastra dan lain-lainnya yang kelihatan jumlahnya tidak sebanyak bidang-bidang yang menggunakan statistika. Secara sederhana ilmu dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah adalah bersifat faktual yang didapat di dunia empiris melalui pancaindera beserta alat bantunya, dan konsekuensi-konsekuensinya juga dapat diuji juga secara empiris. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah, di mana pengujian ini dimaksudkan untuk menarik kesimpulan secara induktif, yaitu penarikan kesimpulan umum dari kasus-kasus khusus atau kasus-kasus individual (lihat pembicaraan tentang statistika). Penelitian ilmiah pada hakekatnya merupakan operasionalisasi dari metode ilmiah dalam kegiatan keilmuan. Hal tersebut juga merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode yang digunakan dalam penelitian ilmiah ini dikenal dengan metodologi penelitian atau metodologi riset. Metodologi sebagai alat bantu dalam proses keilmuan yang ada saat ini memberikan ramburambu yang sangat cermat dan syarat-syarat yang begitu ketat agar pengetahuan yang didapat memiliki bobot keilmuan yang tinggi yang selanjutnya dikomunikasikan atau dipublikasikan dalam bentuk karya

184

tulis ilmiah. Penulisan karya ilmiah merupakan rangkaian proses keilmuan yang dikomunikasikan melalui bahasa tulis. Dalam hal ini banyak sekali ragam cara atau sistematikanya. Biasanya masingmasing institusi yang berkaitan dengan kegiatan keilmuan tersebut memiliki pedoman atau petunjuk sendiri yang menjadi acuan dalam kegiatan penelitian dan penulisan (periksa uraian tentang metodologi penelitian). Dalam dunia kefilsafatan dikenal ada tiga macam teori kebenaran pengetahuan yaitu: Kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi dan kebenaran pragmatis. Kebenaran korespondensi adalah kebenaran yang didasarkan pada pengalaman atau fakta empiris. Pengetahuan dikatakan benar secara korespondensi, apabila pengetahuan tersebut memang sesuai atau berkorespondensi dengan pengalaman atau kenyataan empirik yang diamati melalui indera. Kebenaran koherensi ini merupakan kebenaran pengetahuan yang mengacu pada kebenaran yang sudah ada sebelumnya. Artinya suatu pengetahuan dikatakan benar apabila proposisi-proposisi dari pengetahuan tersebut sesuai atau koheren dengan proposisi-proposisi dari pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Kebenaran pragmatis adalah kebenaran pengetahuan yang di dalamnya terkandung pernyataan bahwa benar tidaknya suatu pengetahuan, tergantung kepada konsekuensi praktis dari pengetahuan tersebut. Dalam teori kebenaran pragmatis ini tidak ada kebenaran yang mutlak, tidak ada kebenaran yang berlaku umum, tidak ada kebenaran yang tetap, tidak ada kebenaran yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal dan pengalaman. Ini sebagai konsekuensi dari kebenaran yang selalu terkait dengan segala sesuatu yang sifatnya praktis. Pengalaman manusia terus berkembang dan terus berubah

185

seiring dengan perjalanan waktu. Apa yang dianggap benar saat ini mungkin tidak benar pada waktu yang lain karena sudah tidak ada efek praktisnya sekalipun secara teoritis masih benar. Atau sebaliknya apa yang dianggap tidak benar saat ini karena tidak ada manfaat praktisnya, bisa saja benar pada waktu yang lain. Kebenaran pragmatis dari pengetahuan ini dalam prakteknya dapat dikoreksi oleh pengalaman-pengalaman berikutnya. Mengenai kebenaran ilmu pengatahuan

ilmiah yang meliputi tiga kebenaran tadi, yaitu

korespondensi, koheren dan pragmatis (periksa bab tentang kebenaran pengatahuan). Membicarakan tentang ilmu pengetahuan, tidak dapat terlepas dari pembicaraan tentang filsafat. Filsafat sebagai pengetahuan dan bahkan dikatakan sebagai induk dari semua pengetahuan, adalah filsafat dalam arti tradisi pemikiraan barat yang biasa dikenal dengan filsafat barat. Filsafat barat tersebut tidak bisa terlepas dari tradisi pemikiran Yunani kuno yang memang menjadi sumber atau akarnya, di dalam sejarah perkembangannya. Yunani adalah tempat awal dimulainya persemaian ilmu pengetahuan dan pemikiran-pemikiran keilmuan. Filsafat Yunani, dimulai sejak munculnya filosof praSocrates dan kaum sofis yang mengadakan gerakan demitologi yang disusul kemudian oleh

Socrates, Plato, Aristoteles serta filosof

sesudahnya. Sebelum munculnya filosof pra-Socrates dan kaum sofis tadi, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam hidupnya, orang Yunani mencari jawabannya pada mitos-mitos. Atas dasar mitologi, manusia pada waktu itu, berusaha menjelaskan berbagai macam gejala alam dengan segala macam aturannya; sedangkan para dewa dengan segala keperkasaan dan kekuasaannya

186

ditempatkan sebagai sumber dari segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam semesta ini. Demitologi muncul karena orang sudah tidak percaya lagi pada mitos-mitos, dan sudah mulai menggunakan nalarnya dalam memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupannya. Demitologi ini dimulai pada abad ke-6 S.M, di mana masa ini dikenal dengan masa pra-Socrates. Masa ini ditandai oleh kehadiran tiga tokoh besar yang sangat berpengaruh dalam dunia kefilsafatan, yaitu: Socrates, Plato dan Aristoteles. Masa ini dianggap sebagai metamorfosis filsafat dari langit ke bumi, karena kajiannya bukan lagi jagad raya, akan tetapi manusia. Sepeninggal Socrates, kiranya masih belum ditemukan pemikir-pemikir brillian seperti tiga filosof besar seperti Socrates, Plato dan Aristoteles sampai lima abad berikutnya. Kemudian Aleksander Agung murid Socrates, mengubah peta sejarah yang membentangkan kekuasaannya, ia menaklukkan nyaris seluruh bagian dunia waktu itu. Proses kolonialisasi, dimulai dengan mendirikan kota-kota baru untuk mengatur dan mengurus wilayah kekuasaannya. Upaya kolonialisasi ini juga mempengaruhi perkembangan filsafat Yunani, karena dalam prosesnya Aleksander bekerja sama dengan orang-orang Yunani. Masa ini dikenal dengan zaman Helinistik di mana perkembangan filsafat Yunani sampai pada puncak kejayaannya. Masa kejayaan filsafat Yunani kuno ini disusul oleh masa Romawi kuno. Bangsa Romawi dikenal dengan bangsa yang maju dalam bidang politik, hukum, militer, bisnis, bidang trasportasi darat dan laut, serta dalam sistem pengairan. Pada masa ini ilmu hukum dikembangkan intensif, akan tetapi pengetahuan filsafat tidak ada perkembangan; sedangkan yang ada hanyalah karyakarya Aristoteles yang dijadikan sebagai pegangan. Pola pikir

187

Helinistik ini, nantinya akan mempengaruhi pola pikir ilmuan jaman modern sampai saat ini. Periode Helinistik ini dikenal sebagai periode puncak kejayaan filsafat Yunani kuno, sekaligus sebagai periode awal keruntuhannya, karena sedang disusul oleh masa abad pertengahan yang dikenal dengan sebutan “The Dark of The Middle Age,” yaitu abad pertengahan yang dipenuhi suasana kegelapan. Perlu dicatat di sini abad kegelapan rupanya hanya terjadi di Eropa. Sebab di Timur tengah justru ilmu pengetahuan berkembang pesat (periksa uraian tentang filsafat masa pra-Socrates, masa Socrates dan Masa Helinestik). Abad kegelapan ini berlangsung di Eropa sejak tahun 500 sampai awal tahun 1500 masehi. Segala bidang kehidupan mengalami stagnasi, bahkan kemunduran. Kekacauan, kemiskinan, kelaparan, dan perilaku anarkis terjadi, karena waktu itu terjadi banyak peperangan, sehingga filsafat tidak berkembang. Perlahan-lahan gereja mempunyai pengaruh yang menentukan dalam berbagai bidang kehidupan. Kemudian peranan agama dan gereja begitu dominan. Agama menjadi elemen yang terpenting dalam masa itu, sehingga pemikiran filsafat menjadi bernuansa “theologis.” Nilai-nilai yang berkembang bukan nilai dasar seperti rasionalitas, individualitas dan imanensi yang sifatnya kritis dan terbuka

sebagaimana yang terjadi pada masa

Helenistik, akan tetapi didasarkan pada otoritas gereja dan dogma agama. Selama kurang lebih 10 abad lamanya abad pertengahan ini berlangsung, selama itu pula sistem-sistem filsafat serta pengetahuan lainnya, tidak bekembang secara variatif dan inovatif. Kebebasan manusia sebagai peribadi sangat dikekang, bahkan bisa berhadapan dengan ancaman hukuman. Akan tetapi kemudian

muncul upaya

188

mengadakan sintesa terhadap filsafat dan theologi ini, yang dimulai pada abad ke delapan masehi. Ini dapat dilihat dengan didirikannya Universitas-Universitas, dibentuknya beberapa ordo-ordo biara baru, di mana dalam institusi tersebut ditemukan bahwa filsafat sudah mulai diperkenalkan. Masa ini dikenal dengan zaman “Skolastic,” yang disusul masa berakhirnya atau keruntuhan abad pertengahan yang penuh kegelapan (periksa uraian mengenai abad pertengahan). Berakhirnya abad pertengahan dan masa skolastik, disusul dengan dimulainya masa renaissance pada abad ke 14 sampai dengan abad ke 15. Masa ini dianggap sebagai masa transisi antara masa abad pertengahan dengan masa moderen. Masa renaissance, mengantarkan manusia pada kedewasaan berpikir sampai pada puncak kejayaannya pada abad ke-17. Para filosof masa ini berusaha menghidupkan kembali kebudayaan, kesusastraan dan kesenian klasik serta pemikiran kefilsafatan dengan mencari inspirasi dari warisan kebudayaan Yunani dan Romawi Pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dan dua aliran besar yang saling bertentangan yaitu aliran Empirisme dan aliran Rasionalisme. Aliran empirisme seperti aliran realisme, yang beranggapan bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang bersumber dari pengalaman empirik manusia. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi digunakan sebagai alat bantu di dalam mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induksi. Aliran rasionalisme berpendapat, bahwa sumber pengetahuan yang representatif dan dapat dipercaya adalah rasio atau nalar. Pengetahuan yang diperoleh dari rasiolah yang dapat memenuhi tuntutan pengetahuan ilmiah yaitu mutlak dan universal. Pengalaman adalah berfungsi untuk menguatkan pengetahu-

189

an yang didapat melalui rasio tadi. Rasio dapat menemukan kebenarannya sendiri atas dasar asa-asas ilmu pasti. Metode yang digunakan adalah metode deduktif. Hampir dua abad lamanya filsafat modern diwarnai oleh suasana pertentangan antara aliran empirisme dan rasionalisme. Aliran empirisme

dengan

metode

induksinya

beranggapan

bahwa

pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang bersumber dari pengalaman empirik manusia. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi digunakan sebagai alat bantu di dalam mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Pengetahuan yang didapat adalah pengetahuan empirik dengan kebenaran korespondensi. Sebaliknya aliran rasionalisme dengan metode deduksinya berpendapat, bahwa sumber pengetahuan yang representatif dan dapat dipercaya adalah pengetahuan rasional dan universal dengan kebenaran koherensi yang bersumber dari penelaran atau rasio manusia. Dua aliran tersebut memiliki keunggulan dan kebenarannya di samping kekurangannya masing-masing. Aliran rasionalisme bisa memberikan ilmu yang iniversal, akan tetapi tidak dapat memberikan pemecahan masalah secara realistik. Aliran empirisme dapat memberikan pengetahuan yang langsung mengenai objek-objek yang realistik, akan tetapi tidak dapat memberikan pengetahuan yang universal. Dalam mengatasi kekurangan masing-masing aliran tadi, mulai ada upaya-upaya untuk menjembataninya dari tokoh-tokoh di antaranya adalah Emmanuel Kant dan August Comte. Bagi Kant dengan kritisismenya, pengetahuan yang representatif adalah pengetahuan yang dapat memberikan informasi baru, dan juga berlaku umum dan universal. Menurut Comte dengan filsafat positivismenya, cenderung untuk

190

membatasi pengetahuan manusia pada sesuatu yang positif dalam arti bukan hayal, yang dapat ditangkap oleh nalar manusia, dan posiitif dalam arti gejala yang nampak jelas dan tepat, empiris serta memang dibutuhkan manusia. Dari kedua teori di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwa pengetahuan yang benar dan representatif adalah pengetahuan yang meliputi pengetahuan a-priori sekaligus aposteriori yang didasarkan pada kemampuan akal (rasional), sekaligus empirik, dengan metode deduksi dan induksi. Ini yang sekarang dikenal dengan metode science. Metode science adalah metode pemikiran yang bergerak dari kutub rasional ke emprik, dari pola deduksi ke induksi, dari kutub a-priori ke a-posteriori yang kemudian dikenal dengan metode ilmiah dengan hasil pemilkirannya adalah ilmu pengetahuan ilmiah. Di sini perlu dicatat, bahwa metode sains (scientific method ) ini sudah diformulasikan oleh ilmuan Mesir Ibnu Haytam atau Al-Hazen hampir 10 abad sebelum aliran kritisisme dan aliran positivsme lahir (lihat bab tentang munculnya metode sains). Dimulainya metode sains berdampak pada perkembangan ilmu dan teknologi yang begitu pesat saat ini. Problema-problema dalam kehidupan manusia yang sebelumnya tidak pernah terpecahkan, bahkan sepertinya mustahil untuk dipecahkan, dapat teratasi. Hanya perkembangan ilmu dan teknologi saat ini sering mengabaikan faktor manusia,

sehingga

bukan

lagi

berkembang

seiring

dengan

perkembangan dan kebutuhan manusia, tapi justru sebaliknya manusialah yang harus menyesuaikan diri dengan ilmu dan teknologi. Dewasa ini ilmu sudah mulai merambah pada proses reproduksi yang mengarah pada penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu

bukan lagi

menjadi sesuatu yang bertujuan membantu manusia dalam memenuhi

191

kebutuhan hidup dan tujuan hidupnya lagi, akan tetapi telah menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Hal ini akan mengusik eksistensi manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, yang harus dibayar mahal oleh manusia yang akan kehilangan arti kemanusiaannya. Ilmu dan teknologi yang seharusnya menjadi rahmatan lil ‘aalamiin, justru menjadi la’natan lil ‘aalamiin. Menghadapi kenyataan tersebut, di sinilah urgensi dari filsafat ilmu, bukan hanya mempersoalkan tentang kebenaran metode ilmu yang pada hakikatnya mempelajari fenomena alam sebagaimana adanya, mulai mempertanyakan lagi hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa dicari dan untuk apa dipergunakan ? Di mana batas wewenang penjelajahannya keilmuan itu ? Ke arah mana perkembangan keilmuan itu harus diarahkan. Apa tanggung jawab moral dan sosial dari ilmu? Bagaimana hubungan antara ilmu dan moral ? Urgensi dari filsafat ilmu saat ini yaitu dalam hubungannya dengan kenyataan yang ada, di mana oleh beberapa ahli dianggap sebagai bentuk kegilaan yang sangat berbahaya dari perkembangan ilmu, dengan kecenderungan yang lebih mempertimbangkan dan mementingkan kebenaran metode dan kemahiran dalam prosesnya saja; sedangkan tujuan dari ilmu itu sendiri sebenarnya dicari untuk apa tidaklah menjadi pertimbangan lagi. Untuk itu diperlukan sebuah filsafat, demi upaya untuk menangkal kegilaan yang sangat berbahaya tersebut (periksa bab pendahuluan).

192

DAFTAR PUSTAKA Bagus Lorens, 1996. Kamus Filsafat, Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Bakry, N; M; 1996. Logika Simbolik, Khusus Logika Himpunan, Edisi Pertama, Penerbit: Liberty, Yogyakarta. Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani dari Thales ke Aristoteles, Penerbit: Kanisius, Jogyakarta. Bird, A; 2000. Philosophy of Science, Fundamental of Philosophy, Series Editor: John Shand U.C.L. Press, Taylor & Francis Group, London. Blashov, Y. and Rosenberg, A; 2002. Philosophy of Science Contemporary Readings,Routledge, Taylor & Francis Group, London and New York. Chalmers, 1979. Apa yang dinamakan Ilmu ? Penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Ellis, H.C, and Hunt, R.R, 1993. Fundamental of Cognitif Psychology, 6th edition, Brown & Benchmark Publishers, Iowa. Epstein, W; dan Shontz. 1971, Psychology In Progress, Penerbit: Holt, Rinehart and Wiston, INC, New York. Eysenck, M.W; 1984. A handbook of Cognitif Psychology, Lowrence Erbaum Association (LEA) Ltd. Publisher, London. Hadiwijono, H; 1983. Sari Sejarah Filsafat Yayasan Kanisius, Yogjakarta.

Barat 1, Penerbit

--------------; 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Penerbit Kanisius, Yogjakarta. -------------; 1985. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cetakan Ketiga, Penerbit Kanisius, Yogjakarta.

193

Hadi, S; 2015a. Statistik, Cetakan I, Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta. --------------; 2015b. Metodologi Riset, Cetakan I, Penerbit Pustaka pelajar, Yogjakarta. Hall, C; dan Lindzey, G; 1985. Introduction to Theories of Pernonality, John Wiley & Sons, New York. Howard, J; 1991. Darwin Pencetus Teori Evolusi, Seri Empu Dunia, Penerjemah, Hadyana Pujaatmaka, Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_scientific_method, tanggal 8 Agustus 2015 pukul 8;18 WIB 25 Mei 2015 http://www.abc.net.au/science/slab/hyshot/img/hyshot.jpg tanggal 8 Agustus 2015 https://ykyscreamo.files.wordpress.com/2012/02/monalisa.jpg?w=690 tanggal 25 Mei 2015 http://www.abc.net.au/science/slab/hyshot/img/hyshot.jpg tanggal 25 Mei 2015 Dunia (Tejemahan A Hadyana), Penerbit Pustaka Utama Grafiti, Jakarta Kattsoff, L; O; 1996. Elements of Philosophy, (Pengantar Filsafat), Alih Bahasa, Sumargono, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta. Kerlinger, F;N; 1990. Asas-Asas Penelitian Behavioral, Edisi Ketiga, Gajah Mada University Press. Yogjakarta. Lavine, T; Z; 1984. Marx Konflik Kelas dan Orang yangTerasing, Seri Petualangan Filsafat (Terjemahan Andi Iswanto, dkk.), penerbit: Jendela, Yogjakarta.

194

Magee, B; 2008. Story of Phylosophy, Terjemahan: Markus Widodo dan Hardono Hadi, Penerbit, Kanisius, Jogyakarta. Molan, B; 2012. Logika Ilmu dan Seni Berpikir Kritis, Cetakan I, Penerbit P.T. Indeks Jakarta. Mudhary, K.H.B. Dialog masalah Ke-Tuhanan Jesus, Kiblat Centre, 1981, Jakarta. Ofm, Alex Lanur; 1983. Logika Selayang Pandang, Penerbit kanisius, yogyakarta. Palmquis, S; 2002. The Tree of Philosophy, (Pohon Filsafat), Terjemahan Mohammad Shodiq, Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta. Poedjawijatna, I;R; 1980. Pembimbing ke Arah Filsafat, Cetakan Kelima, P.T. Pembangunan, Jakarta. --------------, 1983. Tahu dan Pengetahuan, Pengantar Ke Ilmu dan Filsafat, Penerbit Bina Aksara Jakarta. Rasjidi, 1978. Filsafat Agama, Cetakan keempat, Penerbit: Bulan Bintang, Jakarta. Rosenberg, J., F., 1984. The Practice of Phylosophy, A Handbook for Beginners, Second Edition,Prentice-Hall, INC., Englewood Cliffs, New Jersey. Russell, B; 2007. History of Western Philosophy (Sejarah Filsafat Barat), Terjemahan: Sigit Jadmiko, dkk; Penerbit Pustaka Pelajar, Jogyakarta. Siang, J; J; 2014. Logika Matematika, Soal dan Penyelesaian Logika, Himpunan, Relasi dan Fungsi, Penerbit Andi, Yogyakarta. Sidarta, B; A; 2012. Pengantar Logika, Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan Telaah, Penerbit, Rafika Aditama, Bandung.

195

Siswomihardjo, K; W; tt. Hubungan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Bahan Kuliah untuk Program S-2 dan S-3 di UGM) --------------, 1985. Ilmu Filsafat dan Aktualitasnya dalam Pembangunan Nasional, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta. --------------, 1989. Materi Pokok Dasar-Dasar Filsafat, (Universitas Terbuka), Penerbit Kurnia, Jakarta. Soleh, H; 2013. Filsafat Islam, Dari Klasik Hingga Kontemporer, Penerbit: Ar-Rzz Media, Jakarta. Solso, R.L; 1988. Gognitif Psychology, 2nd edition. Allyn and Bacon, Inc, Boston. Soreal T; 1989. Descartes, Seri Empu Dunia (Terjemahan, Hadyana) Penerbit: Pustaka Utama Graviti, Jakarta. Strathhern, P; 2001. 90 Menit Bersama Mahiavelli, (alih bahasa Frans Kowa), Penerbit Erlangga, Jakarta. Suriasumantri, Jujun, 1997. Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Hakekat Ilmu, Cetakan Ketigabelas, Penerbit Yayasan Obor, Indonesia. --------------, 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan kesebelas, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. --------------. 2010. Filsafa Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan Keduapuluh, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Suharnan; 2005. Psikologi Kognitif, Edisi Revisi, Penerbit Srikandi. Surabaya. Van Peursen, 1980. Susunan Ilmu Penegetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu (Terjemahan J. Drost), Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta.

196

Weiten, W; 2010. Psychology, themes & variation, International Student Edition, Eighth Edition, University of Nevada, Las Vegas, Penerbit: Cengage Learning, USA

Wibisono, K, dkk; 1989. Dasar-Dasar Filsafat (Materi Pokok ADNE 4221 Modul 1-12) Terbuka Penerbit Kurnia, Jakarta.