VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
ISSN : 2477 - 3131
FILSAFAT REKONTRUKSIONISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM STUDI ATAS PEMIKIRAN MUHAMMAD IQBAL *Oleh: Jeeny Rahmayana, M.Pd.I
Abstract : Education cannot be indivisible to human beings. However the implementation of obtaining education always changes. Sometimes that these changes are positive, but some of them are also bring up to negative values. Many institution of the education system only preparing and educate the students to aim at the world (a connection horizontally form). On the other side there are also institution of education only educate the students to the life of course (relations vertically form). According to Muhammad Iqbal and perception of islamic education, it is necessary to stipulate the man clearly and good, based on religion values, so that it can be created insan kamil. That is the human who could be successful vertically and horizontally form. Key words : Education, Insan Kamil, and implementation. Pendahuluan Pendidikan pada hakekatnya adalah membantu peserta didik untuk menjadi generasi yang utuh, yang pandai dalam bidang pengetahuan, bermoral, berbudi luhur, peka terhadap orang lain, beriman, dan lainya. Pendidikan juga membawa misi untuk melibatkan peserta didik pada persoalanpersoalan konkrit yang dihadapi dalam masyarakat. Rasanya sudah sangat sering kita dengarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pendidikan nasional. Katakata ekstrem pun sering terluapkan, konon pendidikan nasional Indonesia telah gagal menjalankan misinya untuk membentuk manusia-manusia yang cakap dan berkepribadian serta membangun bangsa yang berkarakter. Konon pendidikan hanya bisa menghasilkan koruptor, kolutor, provokator, dan manusia-manusia tak berbudi lainnya. Ekstreminitas tersebut tentu tidak sepenuhnya benar meskipun ada bagian yang tidak salah. Adalah benar bahwa sebagian koruptor, kolutor, provokator serta manusiamanusia yang tidak berbudi lainnya adalah orang-orang yang berpendidikan, bahkan sebagian diantaranya berpendidikan tinggi. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti
bahwa seluruh hasil pendidikan kita, khususnya pendidikan tinggi adalah buruk. Karena pendidikan itu sendiri merupakan sebuah proses tiada henti, sebuah proses yang selalu menyisakan berbagai persoalan, meskipun ia selalu memberikan konsepkonsep baru tentang bagaimana membangun dan mengembangkan kualitas manusia. Disini, pendidikan menempati posisi penting, ketika secara “ tulus “ ia menjadikan manusia sebagai subyek yang merdeka, sebagai sosok yang tidak “kosong” dari pengalaman-pengalaman yang telah dia ciptakan sendiri. Secara epistimologi, kelemahan beberapa memikiran klasik adalah ketika ia menganggap pengetahuan sudah ada dan sudah jadi, lalu ia menempatkan “sosok guru” sebagai seseorang yang paling tahu. Sehingga tugas guru adalah mentransfer pengetahuan itu ke dalam otak peserta didik. Maka peserta didik tinggal membuka otaknya dan menerima pengetahuan itu apa adanya. Pada proses selanjutnya, materi-materi pelajaran “disesakkan” sedemikian rupa ke otak-otak peserta didik. Kesadaran untuk maju dicoba melalui media pengembangan dan pola-pola penciptaan keresahan, ancaman, dan bahkan hukuman oleh guru. Sekolah, pada Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
1
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
akhirnya telah kehilangan ruh kanalisasi diri, etos kesepahaman, ekspresi dan aktualisasi pemikiran. Kesenangan pada proses pembelajaran, berubah “dratis” menjadi kebingungan, kenyamanan belajar pada akhirnya tidak lagi ditemukan di kelas. Inilah yang menjadi kegelisahan oleh para memikir pendidikan, Kurt Singger menyebutnya sebagai “Pedagogi hitam”. Sinisme senada juga muncul dari Ivan Illich, yang menyuarakan proyek “desschooling sociaty” (masyarakat bebas dari sekolah). Kemudian Everett Reimer, meneriakkan “the end of school”, Paulo Friere dengan “pedagogy of the opressed” nya, serta “the end of education” dari celotehan Neill Postman. Usaha sekolah dalam melakukan proses pembelajaran, juga sangat mengunggulkan supremasi kognisi. Sehingga orientasi pembelajarannya adalah bagaimana guru berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan seluruh bahan atau materi, demi mengejar ulangan bersama dan mencapai nilai yang tinggi dalam menghadapi ujian akhir atau bersaing dalam menempuh ujian masuk Peguruan Tinggi. Maka pendidikan afeksi dan kompetensi peserta didik dalam melakukan interaksi antar sesama sungguh menjadi terabaikan. Secara konseptual, tugas seorang pendidik adalah memberikan stimulus, fasilitas, dan motivasi demi teraktualisasinya potensi setiap peserta didik. Akan tetapi pada dataran realitas, seorang pendidik berupaya melakukan indoktrinasi dan “pencekokan” ilmu, yang oleh Friere disebut sebagai the banking consept of education. Dalam konteks pendidikan Islam, problematika pendidikan Islam mengalami hal yang serupa. Relasi pendidik – peserta didik melahirkan sikap-sikap eksklusif, formalis, dan tidak demokratis (Muqawim : 45). Sementara dalam konteks content, pendidikan islam masih menunjukkan sikap apriori terhadap perbedaan. Padahal pendidikan Islam secara substansif berangkat dari
ISSN : 2477 - 3131
semangat al-Qur’an dan living sunnah (Fazlurrahman, 1994: 45). Sementara sebagai sebuah konsep ilmu, pendidikan Islam terinspirasi dari dua sumber tersebut, akan tetapi ketika bersentuhan pada dataran formulasi dan pengembangan, maka akan terjadi dealektika dengan konsep dan teori yang dibangun dari non al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga sebuah ilmu bersifat relatif, debatable, dan falifiable (Abdul Munir Mulkhan, 2002: 229). Pengertian Pendidikan Islam Terminologi pendidikan Islam menurut Kamal Hasan berati sebuah proses yang komprehensif dan pengembangan kepribadian manusia secara menyeluruh meliputi intelektual, spritual, emosi, dan fisik. Sehingga seorang muslim disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan-tujuan kehadirannya oleh Allah Swt sebagai hamba dan wakil-Nya di dunia. Sementara hasil kongres pendidikan Islam se Dunia, melalui seminar tentang konsep kurikulum pendidikan Islam di Islamabad, Maret 1980 menyatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan pancaindra. Oleh karena itu pendidikan Islam harus mampu mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia baik secara spritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, bahasa, dan mengembangkan secara individu maupun kelompok serta mendorong aspek-aspek itu kearah kebaikan dan kearah kesempurnaan hidup (Muhammad Kamal Hasan, 1989:409). Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam harus mampu membimbing jasmani dan rohani berdasarkan hukumhukum Islam menuju kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Kepribadian yang dimaksud adalah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang seluruh aspekaspeknya, baik tingkah lakunya, aktifitas jiwanya maupun filsafat hidupnya dan kepercayaannnya menuju kepada Allah SWT, serta penyerahan diri secara totalitas kepadaJurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
2
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Nya (Marimba, 1989: 23). Dari uraian di atas maka pendidikan Islam merupakan sebuah upaya yang sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, dan menghayati hingga mengimani, bertaqwa kepada Tuhannya dan berakhlak mulia. Jadi yang penulis maksud dalam pendidikan Islam disini adalah bagaimana melakukan proses internalisasi dan pembelajaran agama Islam, yang kemudian dibarengi tuntutan untuk membangun kesadaran pembebasan dan mengembangkan sikap kontekstual dalam pembelajaran. Pendidikan Dalam pandangan filsafat Rekonstruksionisme Kata rekonstruksionisme mempunyai akar kata dari bahasa inggris, yaitu “recontract ” yang berarti menyusun kembali. Artinya melakukan perombakan dan penyusunan kembali pola-pola lama menjadi pola-pola baru yang lebih modern. Secara historis, lahirnya rekonstruksionisme sebagai sebuah sistem pendidikan berawal dari terbitnya buku John Dewey pada tahun 1920, yang berjudul reconstruction in philosophy. Buku ini lalu dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg pada tahun 1930-an melalui keinginan mereka untuk menjadikanlembaga pendidikan sebagai sebuah media rekonstruksi terhadap masyarakat (Muhmida Yeli, 2005: 193). Jadi makna rekonstruksionisme adalah sebuah aliran filsafat pendidikan modern yang muncul di barat. Dan untuk lebih spesifiknya, nanti peneliti akan membahasnya lebih detail pada bab selanjutnya. Namun ada juga yang memaknai rekonstruksionisme sebagai sebuah mazhab filsafat pendidikan yang menempatkan sekolah/lembaga pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat.Seperti yang telah dinyatakan oleh Caroline Pratt (1948), seorang rekonstruksionis sosial yang berpengaruh pada periode itu : “nilai terbesar suatu sekolah harus menghasilkan manusia-manusia yang dapat berpikir secara efektif dan bekerja secara
ISSN : 2477 - 3131
konstruktif, yang saat bersamaan dapat membuat suatu dunia yang lebih baik dibandingkan dengan sekarang ini untuk hidup di dalamnya”. Dimana sekolah/lembaga pendidikan tersebut tidak hanya harus menstransmisikan pengetahuan mengenai tatanan sosial yang ada, melainkan juga harus berusahan merekonstruksii-nya seoptimal mungkin. Sehingga, menimbulkan suatu perubahan cara berfikir yang lebih efektif dan cara kerja yang konstruktif yang secara signifikan dapat membuat suatu dunia yang lebih baik dari sebelumnya atau mungkin juga lebih baik dari sekarang. I always remember, today have to be more either from yesterday. Tomorrow have to be more either from today”. Kehadiran aliran rekonstruksionisme dalam pendidikan didorong adanya tuntutan yang menghendaki agar sekolah berperan mengambil bagian dalam membangun masyarakat masa depan. Hal ini dikarenakan masyarakat mengalami kebimbangan, ketakutan dan kebingungan dalam menghadapi perkembangan zaman. Rekonstruksionisme ini untuk pertama kali dikemukakan oleh Brameld dan Brubaeker yang mengkaji tentang ide pokok rekontruksionisme. Tokoh lain yang mempelopori aliran ini diantaranya adalah George S. Couts . Langkah awal yang diambil oleh aliran rekonstruksionisme dalam pendidikan yaitu dengan mengadakan Persahabatan Pendidikan Amerika. Prinsip – prinsip yang menjadi landasan kerja yaitu: 1. Memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada setiap anak, tanpa membedakan ras, kepercayaan / latar belakang ekonomi. 2. Memberikan pendidikan tinggi latihan akademik, professional, dan teknikal kepada setiap mahasiswa untuk dapat menyerap dan menggunakan ilmu dan teknologi yang diajarkannya. Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
3
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
3. Membuat sekolah – sekolah Amerika menjadi berperan sangat penting sebagai satu bagian dari kehidupan nasional kita yang akan menarik bagian karena para gurunya adalah laki – laki dan perempuan dari zaman kita yang sangat bersemangat. 4. Menyusun sebuah program pemuda untuk anak – anak muda yang berusia 17 sampai dengan 23 tahun untuk membawa mereka dan sekolah aktif menuju pada partisipasi dalam masyarakat orang dewasa. 5. Mengusahakan penggunaan penuh dari perlengkapan sekolah untuk pertemuan–pertemuan pemuda, kegiatan–kegiatan masyarakat, pendidikan orang dewasa. 6. Bekerja sama penuh dengan semua lembaga masyarakat dan lembaga sosial menuju sebuah masyarakat demokratis yang sesunggunya 7. Terus memperluas penelitian dan eksperimentasi pendidikan 8. Mengajak pemimpin masyarakat untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana dari masyarakat menjadi bagian dari sekolah.Langkah berikutnya adalah mengenai kurikulum–kurikulum rekonstruksionisme lebih memusatkan perhatiannya pada problema–problema yang dihadapi masyarakat. Aliran rekonstruksionisme melihat kurikulum sebagai alat untuk mempengaruhi perubahan sosial dan masyarakat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat. Model Pembelajaran Aliran Rekonstruksionisme Dalam filsafat modern dikenal beberapa aliran-aliran diantaranya aliran rekontrusionisme di zaman modern ini banyak menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia terutama dalam bidang pendidikan dimana keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai
ISSN : 2477 - 3131
kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran. Untuk mengatasi krisis kehidupan modern tersebut aliran rekonstrusionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia. Oleh karena itu pada aliran rekonstruksionisme ini, peradaban manusia masa depan sangat di tekankan. di samping itu aliran rekonstruksionisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sebagainya. Pandangan aliran ini terhadap belajar juga dapat dilihat dari beberapa aspek pendidikan, yaitu : 1. Pelajar Siswa hendaknya dipandang sebagai bungan yang sedang mekar, yang mengandung arti bahwa siswa adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjdai manusia pembangunan masyarakat masa depan. 2. Pengajar a) Direktur Proyek Adalah guru yang tugasnya membantu para siswa mengenali masalah- masalah yang dihadapi umat manusia sehingga para siswa merasa terikat untuk memecahkannya. b) Pemimpin Penelitian. Adalah guru yang tugasnya harus menumbuhkan dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan perubahan, guru harus menumbuhkan berpikir yang berbedabeda sebagai suatu cara untk menciptakan alternatif pemecahanpemecahan masalah yang menjanjikan keberhasilan. 3. Pengajaran Pelaksanaaan pengajaran yang diarahkan untuk meningkatkan kondisi Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
4
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
kehidupan sesuai masyarakat.
ISSN : 2477 - 3131
dengan
potensi
4. Belajar Siswa hendaknya belajar dengan tekun dan penuh dengan motivasi dalam menghadapi perkembangan zaman dan kemajuan teknologi agar tujuan dari pendidikan dapat terlaksana. Aliran rekonstruksionisme ini berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berusaha mencari kepepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidup manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya, maka melalui lembagai dan proses pendidikan. Rekonstruksionisme ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru. Aliran rekonstruksionisme juga berkeyakinan bahwa tugas penyelamat dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Oleh karena itu pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia. George counts sebagai pelopor rekonstruksionisme dalam publikasinya Dare the school build a new sosial order mengemukakan bahwa sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, dan kesukuan (rasialisme). masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang besar
merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial dari pada pendidikan hanya mempertahankan status qua dengan ketidaksamaan-ketidaksamaan dan masalah-masalah yang terpendam di dalamnya. Sekolah harus bersatu dengan kekuatan buruh progresif, wanita, para petani, dan kelompok minoritas untuk mengadakan perubahan-perubahan yang diperlukan. Counts mengkritik pendidikan progresif telah gagal menghasilkan teori kesejahteraan sosial dan mengatakan sekolah dengan pendekatan child centered tidak cocok untuk menentukan pengetahuan dan skill sesuai dalam abad dua puluh. Sosok dan Pemikiran Muhammad Iqbal Tentang Pendidikan Beliau adalah salah satu tokoh intelektual Islam pada abad 19. Ia lahir di Sialkot, Punyab (sekarang termasuk wilayah Pakistan) pada tahun 1976. kawasan ini pada awalnya masih termasuk wilayah India. Kemudian setelah Pakistan memisahkan diri dari India dan menyatakan diri sebagai negara merdeka, maka secara otomatis daerah tersebut masuk kedalam wilayah Pakistan. Akan tetapi karena Muhammad Iqbal meninggal sebelum proses pemisahan itu terjadi, maka banyak orang memasukkan Muhammad Iqbal sebagai tokoh pembaharu dari India, bukan Pakistan (Fazlur Rahman, 1992: 13). Muhammad Iqbal seringkali dikenal sebagai seorang filosof, ahli hukum, pemikir politik, dan sebagai seorang penyair ulung (John L. Esposito: 213). Gubahan syairsyairnya hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia yang banyak ditulis dalam bahasa Arab, Urdu, Persia, dan Inggris. Toto Suharto dalam tulisannya Rekonstruksi Pemikiran Pendidikan Islam; Telaah Pemikiran Muhammad Iqbal, menulis tentang bagaimana hegemoni pengetahuan Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
5
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Barat yang kemudian direkonstruksi oleh Iqbal melalui pendidikan Islam yang lebih memberikan makna bagi peningkatan dinamika dan kreatifitas manusia. Tulisan ini berangkat dari kondisi historis umat Islam yang terjajah oleh Barat. Disatu sisi pengetahuan yang dikembangkan di Barat lebih berorientasi pada materialisme, sementara perkembangan pemikiran di dunia Islam mengalami kemundurun yang sangat luar biasa. Maka menurut Toto Suhartoyo, Muhammad Iqbal adalah tokoh muslim pada saat itu yang mencoba mesintesiskan model pemikiran yang tidak memihak ke Barat dan tidak pula Timur (Islam). Muhammad Iqbal sendiri telah menulis, yang kemudian menjadi sebuah karya master peace-nya, The Reconstruction of religious thought in Islam. Karya ini merupakan tulisan Muhammad Iqbal terbesar dalam bidang pemikiran filsafatnya dalam bentuk prosa. Tema utama dalam buku ini adalah gagasan perlunya diadakannya rekonstruksi pemikiran keagamaan. Ada tujuh hal yang dibahas dalam buku ini, pertama, tentang pengalaman keagamaan dan pengetahuan. Kedua, tentang pembuktian filsafat mengenai pengalaman keagamaan. Ketiga, tentang konsepsi Tuhan dan arti sholat. Keempat, tentang ego manusia yang merdeka dan abadi. Kelima, tentang jiwa kebudayaan Islam. Keenam, tentang prinsipprinsip gerakan pembaharuan dalam Islam. Ketujuh, tentang kemungkinan-kemungkinan dalam agama. Muhammad Iqbal juga adalah filosof Muslim yang banyak dipengaruhi oleh banyak filosof Barat seperti Thomas Aquinas, Bergson, Nietzsche, Hegel dan masih banyak lagi yang lainnya. Di antara sekian banyak filosof, menurut Donny Gahral, Nietzsche dan Bergsonlah yang paling banyak mempengaruhi Iqbal. Nietzsche dan Bergson sangat mempengaruhi Iqbal khususnya konsepnya tentang hidup sebagai kehendak kreatif yang terus bergerak menuju realisasi. Manusia sebagai kehendak kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum mekanis maupun takdir sebagai rencana Tuhan terhadap
ISSN : 2477 - 3131
manusia yang ditetapkan sebelum penciptaan. Namun semangat relegius Iqbal menyelamatkannya dari sikap atheisme yang dianut Nitzsche sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia. Iqbal masih mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan kemahakuasaan Tuhan dengan kebebasan manusia. Iqbal juga menolak konsep Nitzsche maupun Bergson tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang sadar bahwa dalam kehendaknya ia memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia berkehendak, namun Iqbal menolak tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan oleh manusia sendiri melainkan oleh takdir atau hukum evolusionistik. Filsafat ketuhanan Iqbal berbeda dengan filsafat ketuhanan kontemplatif karena Iqbal berangkat dari filsafat manusia yang menekankan pengetahuan langsung tentang keberadaan ego atau diri yang bebas-kreatif. Metafisika gerak Iqbal mengemukakan bahwa manusia bukanlah benda statis tetapi suatu aktivitas gerak dinamis-kreatif yang terus merindu akan kesempurnaan. Hidup keberagamaan sendiri menurut Iqbal adalah suatu proses evolusi yang dapat dibagi menjadi tiga tahap, iman, pemikiran dan penemuan. Pada tahap pertama yaitu tahap iman kita menerima apa yang difirmankan Tuhan tanpa keraguan sedikitpun. Pendeknya segala sesuatu yang berasal dari Tuhan adalah mutlak benar karena berasal dari Tuhan dan bukan konstruksi manusia. Pada tahap kedua yaitu tahap pemikiran. Kita tidak sekadar menaati secara buta firman Tuhan melainkan mulai memikirkan maksud dari firman tersebut atau singkatnya kita mencoba memahami secara rasional apa yang kita percayai. Dan pada tahap terakhir yaitu tahap penemuan kita mencapai kontak langsung dengan realitas ultim yang merupakan sumber semua hukum dan kenyataan. Esensi pendidikan Islam menurut Muhammad Iqbal adalah sebagai pengupayaan perubahan ke arah yang lebih Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
6
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
baik, yang mengarah pada pengembangan, menurut tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, meniscayakan pendidikan berorientasi pada masa depan masyarakat, bukan masa sekarang, dan atau hanya sekedar pelestarian nilai-nilai semata. Masyarakat sebenarnya tidak bisa dipandang sebagai sebuah sistem yang kaku. Hal ini dikarnakan didalamnya terdapat jaringan-jaringan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya yang bermuara pada sebuah peristiwa yang bergerak kearah perubahan-perubahan. Menurut Muhammad Iqbal dalam konteks pendidikan, gerakan perubahan suatu masyarakat dan sosial lebih diarahkan pada uapaya bagaimana penyelenggaraan pendidikan diorientasikan untuk menjawab ragam persoalan dan kebutuhan masyarakat dalam gerak bangun kemajuan diberbagai sektor kehidupan (Muhmida Yeli, 2009: 355). Pendidikan mestinya harus diselenggarakan atas dasar prinsip-prinsip epietemologi yang bener-benar merupakan refleksi nyata atas model gerak manusia dalam mengatur diri dan kediriannya agar dapat benar-benar berfungsi dan difungsikan sebagai penggerak potensi perubahan dan kemajuan diberbagi sektor. Dalam konteks dunia pendidikan, pendidikan persekolahan merupakan wadah strategis dalam mempercepat lahirnya perbaikan-perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan ditengah-tengah masyarakat, baik dalam konteks pengembangan individuindividu yang bergabung dalam suatu tatanan masyarakat, maupun dalam konteks kolektifitas dan kelembagaan yang meniscayakan munculnya masyarakat baru yang lebih arif dan tanggap untuk berbuat sesuatu yang mengarah pada perbaikanperbaikan taraf hidup di berbagai lini. Namun dibalik itu semua, sistem pendidikan mestinya tidak memenjarakan kebebasan dan kreatifitas para pemburu ilmu pengetahuan. Menurut Muhammad Iqbal dalam filsafat Khudi (ego) nya manusia dapat mengubah apa yang ada kearah yang semestinya ada, karena ego manusia dapat membayangkan sebuah dunia baru yang lebih
ISSN : 2477 - 3131
baik dan lebih sempurna dari upayanya membaca masa lalu dan mengaikakan dengan masa sekarang. Muhammad Iqbal tidak sepakat dengan pemikiran Plato dan idealisme yang pada umumnya menganggap bahwa ego manusia hanyalah bayangan jiwanya yang merupakan bagian dari jiwa yang abadi, sehingga ego manusia senantiasa berjuang untuk dapat bersatu pada dengan induknya. Bagi Muhammad Iqbal pandangan semacam ini tidak dapat dijadikan cita moral dan agama serta cerminan dalam dunia pendidikan. Pemikiran semacam ini akan membunuh kebebasan dan kreatifitas manusia dalam pendidikan. Baginya, tujuan ego selalu berjuang untuk mewujudkan dan mengaktualisasikan dirinya dalam realitasnya, sehingga menjadi kepribadian yang mantap dan kukuh sebagai manusia (M. Iqbal, 1966:4). Muhammad Iqbal juga mengatakan bahwa hakikat manusia adalah segenap kekuatan diri yang akan menentukan siapa ia. Apabila dirinya dapat berkembang dengan baik, maka eksistensinya dalam masyarakat dan dunia pun akan diakui. Jika manusia tidak mengambil prakarsa dan berkeinginan untuk mengembangkan dirinya dan tidak ingin merasakan gejolak batin hidup yang lebih tinggi, maka ruh yang ada padanya akan mengkristal dan perlahan-lahan akan menjadikan dirinya tereduksi kepada bendabenda mati. Dan untuk membangun kembali (rekonstruksi) umat Islam yang telah terpuruk pada kemerosotan dan kemunduran yang berpangkal pada kemerosotan humanitas, menurut Muhammad Iqbal perlu menata dan membangun kembali tata sistem baru dengan mengembangkan potensi diri dan akal manusia yang akan menunjuk pada eksistensi manusia dalam memandang realitas (M. Iqbal, 1966:119). Terakhir iqbal juga menambahkan bahwa pengembangan manusia mesti dengan memperhitungkan kondisi-kondisi fisik yang merupakan prasyarat bagi keguatan yang dilakukannya dengan penuh kesadaran. Iqbal menganjurkan agar memanfaatkan sumbersumber material guna pencapaian berbagai tujuan spritual yang paling tinggi. Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
7
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Tujuan Pendidikan Menurut Muhammad Iqbal Menurut Muhammad Iqbal, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk pribadi Muslim yang memiliki kepribadian kenabian, yang memiliki orientasi vertikal dan horizontal sekaligus. Akan tetapi produk pendidikan Islam jusru menyumbang berbagai persoalan (meski bukan satu-satunya) dalam hubungannya dengan realitas sosial. Prilakuprilaku destruktif sering diwujudkan dalam konflik komunal. Dalam salah satu sajaknya, Muhammad Iqbal mengkritik sistem pendidikann yang berlaku pada saat ini: Aku tamat dari sekolah dan pesantren penuh duka, Disitu tidak kutemukan kehiduan, Tidak pula cinta, Tak kutemukan hikmah, dan tidak pula kebijaksanaan. Guru-guru sekolah adalah orangorang yang tak punya nurani, Mati rasa, mati selera, Dan kiai-kiai adalah orang-orang yang tak punya himmah, Lemah cita, miskin pengalaman. Sajak ini mengajukan sebuah keluhan dari seorang Muhammad Iqbal tentang pola pendidikan barat dan dunia Islam tradisional. Pendidikan barat lebih menitikberatkan pada materialisme, sehingga merusak tatanan spritualitas kemanusiaan. Sementara pada pendidikan Islam tradisional, menurut Muhammad Iqbal telah memenjarakan otak dan jiwa manusia dalam kurungan yang ketat. Pendidikan tradisional dalam perspektif Muhammad Iqbal kiranya tidak mampu mencetak manusia intelek yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan keduniaan. Dalam konteks ini kiranya sangat penting untuk melihat dan meneliti Muhammad Iqbal sebagai seorang rekonstruksionisme yang mencoba membangkitkan kesadaran umat Islam dari belenggu persoalan tersebut. Salah
ISSN : 2477 - 3131
satu dari upaya Muhammad Iqbal ini bisa dilihat dari sajaknya: Bangkitlah! Pikullah amanat di atas pundakmu, Hembuskan panas nafas panasmu di atas kebun ini, Agar harum-haruman narwasatu meliputi segala. Janganlah! Jangan pilih hidup bagai nyanyian ombak, Hanya bernyanyi ketika terhempas dipantai! Tapi, jadilah kamu air bah! Menggugah dunia dengan amalmu. Berbagai belenggu yang mengitari umat Islam, misalnya pandangan bahwa mempelajari alam semesta dan sejarah bukan bagian dari agama. Kemudian umat Islam selalu berada dibawah bayangan-banyangan filsafat Helenisme- Yunani. Untuk itulah sajak tersebut secara jelas berisi semangat untuk melakukan rekonstruksi. Dan upaya rekonstruksi Muhammad Iqbal tersebut tidak terbatas pada bidang pemikiran saja, melainkan juga pada pendidikan Islam. Oleh karena itu pola pembelajaran yang selama ini muncul dan berlaku dimasyarakat khususnya masyarakat islam, yang mana dipandang sebagai suatu proses mengkonsumsi pengetahuan. Guru bukanlah sekedar fasilitator, melainkan sebagai sumber tunggal pengetahuan di depan kelas. Maka proses belajar adalah suatu proses dimana siswa memproduksi pengetahuan. Dan selain itu siswa juga menyusun pengetahuan, membangun makna (meaning making), serta mengkonstruksi gagasan. Disinilah makna dasar dari teori Rekonstruksionisme, yang menekankan bahwa belajar adalah meaning making atau membangun makna, sedang mengajar adalah schaffolding atau memfasilitasi. Secara sederhana, paradigma pembelajaran rekonstruksionisme adalah: Dari
Menjadi
Mengajar
Belajar
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
8
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Indoktrinasi Guru sebagai subyek Mengumpulkan Pengetahuan
ISSN : 2477 - 3131
Partisipatif sebagai fasilitator dan mediator Siswa sebagai subyek Menemukan Pengetahuan dan Mengembangkan kerangka berfikir
Paradigma pembelajaran filsafat rekonstruksionisme, mencoba mengafirmasi dari mengajar menjadi belajar, dari pendekatan indoktrinasi ke partisipatif, dimana pendidik sebagai fasilitator dan mediator, pendidik sebagai subyek berubah menjadi siswalah yang menjadi subyek, dari mengumpulkan pengetahuan menuju pada proses menemukan pengetahuan dan mengembangkan kerangka berfikir. Dengan usaha untuk menggali dan menafsirkan kembali beberapa pemikiran Muhammad Iqbal tentang rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam tersebut, kemudian melakukan kajian lebih lanjut tentang modelmodel pembelajaran aliran filsafat rekonstruksionisme, maka akan dapat ditelusuri lebih lanjut bagaimana sintesa dari dua pemikiran yang berbeda tersebut (satu dari dunia timur dan sangat islami, dan yang satunya adalah salah satu aliran filsafat barat). Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika penulis tertarik untuk mendiskripsikan dan mengkaji lebih jauh pemikiran mereka, terutama pandangannya tentang pembelajaran. Karena bagi penulis pandangan tersebut sangat membantu dalam menghadapi berbagai problem realitas sosial. Konsep dan Pola Pikir Muhammad Iqbal Tentang Pendidikan Muhammad Iqbal senantiasa berupaya mereformasi pemikiran agama dengan menanamkan dan membudayakan rasionalitas. Menurutnya, rasionalitas sudah menyatu dengan Islam sejak zaman kenabian. Iqbal yang menguasai ilmu-ilmu logika lantas mengkritisi metode logika ala Yunani kuno. AlQur’an menyeru kita untuk menuntut ilmu.
Sayangnya, umat Islam lalai akan seruan itu. Mohammad Iqbal meyakini bahwa tertutupnya pintu ijtihad yang merupakan ajang pengembangan dari pemikiran Islam yang sebenarnya telah mengakibatkan stagtansi pemikiran di tengah masyarakat Islam. Karena itu, jika pintu ijtihad yang benar dibuka khususnya dalam kasus-kasus yang disepakati oleh umat Islam, akan terbentang jalan bagi umat Islam menuju ke arah kemajuan. Dalam paradigma Muhammad Iqbal sendiri tentang pendidikan Islam, beliau berpendapat bahwa pendidikan Islam sangat modern. Muhammad Iqbal menjadikan hakikat ego atau individualitas sebagai dasarnya dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Masalah ini dibahas dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa Persia dengan bentuk matsnawi berjudul Asrar-i Khudi; kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi dan dalam kumpulan ceramah yang kemudian dibukukan dengan judul The Reconstruction of Relegious Thought in Islam (Hasyimsyah: 185). Menurut Iqbal, khudi, arti harfiahnya ego atau self atau individualitas, merupakan suatu kesatuan yang riil atau nyata, adalah pusat dan landasan dari semua kehidupan, merupakan suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional, menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sintesis yang melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang bercerai-berai dari organisme yang hidup ke arah suatu tujuan konstruktif. Iqbal menerangkan bahwa khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan. Hal ini tercantum pada beberapa matsnawinya dalam Asrar-i Khudi. Untuk memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan ketertarikan, sedangkan yang memperlemahnya adalah ketergantungan pada yang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ego maka setiap individu mesti menjalani tiga tahap. Pertama, Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
9
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum ilahiah. Kedua, belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinya melalui rasa takut dan cinta kepada Tuhan seraya tidak bergantung pada dunia. Ketiga, menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (Insan Kamil). Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa esensi pendidikan Islam menurut Muhammad Iqbal adalah sebagai pengupayaan perubahan ke arah yang lebih baik, yang mengarah pada pengembangan, menurut tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, meniscayakan pendidikan berorientasi pada masa depan masyarakat, bukan masa sekarang, dan atau hanya sekedar pelestarian nilai-nilai semata. Masyarakat sebenarnya tidak bisa dipandang sebagai sebuah sistem yang kaku. Hal ini dikarnakan didalamnya terdapat jaringan-jaringan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya yang bermuara pada sebuah peristiwa yang bergerak kearah perubahan-perubahan. Dalam konteks pendidikan, gerakan perubahan suatu masyarakat dan sosial lebih diarahkan pada uapaya bagaimana penyelenggaraan pendidikan diorientasikan untuk menjawab ragam persoalan dan kebutuhan masyarakat dalam gerak bangun kemajuan diberbagai sektor kehidupan (Muhmida Yeli: 355). Pendidikan mestinya harus diselenggarakan atas dasar prinsipprinsip epietemologi yang bener-benar merupakan refleksi nyata atas model gerak manusia dalam mengatur diri dan kediriannya agar dapat benar-benar berfungsi dan difungsikan sebagai penggerak potensi perubahan dan kemajuan diberbagi sektor. Dalam konteks dunia pendidikan, pendidikan persekolahan merupakan wadah strategis dalam mempercepat lahirnya perbaikanperbaikan dalam berbagai bidang kehidupan ditengah-tengah masyarakat, baik dalam konteks pengembangan individu-individu
ISSN : 2477 - 3131
yang bergabung dalam suatu tatanan masyarakat, maupun dalam konteks kolektifitas dan kelembagaan yang meniscayakan munculnya masyarakat baru yang lebih arif dan tanggap untuk berbuat sesuatu yang mengarah pada perbaikanperbaikan taraf hidup di berbagai lini. Namun dibalik itu semua, sistem pendidikan mestinya tidak memenjarakan kebebasan dan kreatifitas para pemburu ilmu pengetahuan. Dari penjelasan tersebut jelas antara kaum Rekonstruksionisme dengan Muhammad Iqbal jelas mempunya perhatian yang sama terhadap pendidikan. Hanya saja kaum rekonstruksionisme lebih banyak mengkritik dan memberikan ide-ide terhadap dunia pendidikan secara umum. Sedangkan Muhammad Iqbal sangat mengharapkan perubahan dan merekonstruksi pendidikan islam yang sudah sangat mengkhawatirkan. Melalui filsafat ego nya Muhammad Iqbal mencoba memberikan pandangan-pandangan dan kritik yang membangun terhadap dunia pendidikan. Bila diarahkan pada konteks sekarang ini, dimana pendidikan islam jelasjelas sudah berada dalam masa yang sangat kritis dan mengkhawatirkan. Dan situasi ini jelas-jelas sangat membutuhkan rekonstruksi terhadap sistem pendidikan islam. Dan pada akhirnya yang harus bertanggung jawab dalam rekontruksi ini bukan hanya Muhammad Iqbal, namun kita semua. Yaitu para pendidik, orang tua, masyarakat, dan semua sistem yang ada harus diperbaiki. Kesimpulan Dalam pengertian Rekontruksionisme, belajar adalah suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dibuat sendiri oleh pelajar atau orang yang mau mengerti. Orang itulah yang aktif berpikir, membuat konsep, dan mengambil makna. Guru atau pendidik di sini hanyalah membantu agar proses rekonstruksi itu berjalan. Guru bukan mentransfer pengetahuan sebagai yang sudah tahu, tetapi Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
10
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
membantu agar anak didik membentuk pengetahuannya. Dalam belajar sistem ini, peran murid diutamakan dan keaktivan murid untuk membentuk pengetahuan dinomorsatukan. Semua peralatan, bahan, lingkungan, dan fasilitas disediakan untuk membantu pembentukan itu. Murid diberi kesempatan mengungkapkan pemikirannya akan suatu masalah, tanpa dihambat. Dengan dibiasakan berpikir sendiri dan mempertanggungjawabkan pemikirannya, murid akan terlatih untuk menjadi pribadi yang sungguh mengerti, yang kritis, kreatif, dan rational. Dalam pengertian Rekontruksionisme, murid tidak dianggap sebagai suatu tabula rasa yang kosong, yang tidak mengerti apa-apa sebelumnya. Murid dipahami sebagai subyek yang sudah membawa "pengertian awal" akan sesuatu sebelum mereka mulai belajar secara formal. Hal ini dikuatkan oleh pemikiran Muhammad Iqbal yang berpendapat bahwa untuk membangun humanitas manusia diperlukan penataan sistem pendidikan yang bermuara pada pengembangan potensi diri dan akal manusia dalam memandang realitas, tidak saja yang bersifat rasional-idealis seperti yang ditawarkan plato, tetapi juga sesuatu yang bersifat indrawi. Untuk itu, pendidikan terbaik yang sesuai dengan watak manusia tentulah suatu pendidikan yang mengaksentuasikan aktifitasnya pada pemberian pengetahuan kepada subjek didik melalui metode problem solving, yaitu suatu cara yang efektif untuk melatih berpikir kreatif, kritis dan inovatif. Dengan cara ini menurutnya dapat membentuk cakrawala berpikir subjek didik sedemikian rupa sehingga menjadi manusia-manusia yang tanggap akan berbagai problematika kehidupannya dalam masyarakat. Pengembangan manusia menurut Muhammad Iqbal mesti dengan memperhitungkan kondisi-kondisi fisik yang merupakan prasyarat bagi kegiatan yang dilakukannya dengan penuh kesadaran. Ia juga menganjurkan agar memanfaatkan sumber-
ISSN : 2477 - 3131
sumber material guna pencapaian berbagai tujuan spiritual yang paling tinggi. Muhammad Iqbal mengkritik konsep mekanisme di dalam kehidupan. Menurutnya dengan mengikuti pendapat J.S. Haldane, perbedaan antara sebuah mesin dengan sebuah organisme hidup adalah bahwa yang terakhir ini bersifat memelihara dan memproduksi diri sendiri. Iqbal memperkuat konsepnya dengan pernyataan corak pendidikan sangat tergantung pada cara pandang seseorang atau sekelompok orang tentang watak sejarah yang dapat melahirkan perkembangan dan kemajuan individu dan masyarakat kearah kesempurnaan.
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
11
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Daftar Pustaka Abdul Munir Mulkhan, 2002., Nalar Spritual Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana. Abdurrahman Saleh, 1973., Didaktik Pendidikan Agama, Jakarta: Bulan Bintang. Abdul Hadi, WM, “Sajak-sajak Iqbal dan Renaisance Asia” dalam Republika Online, edisi 14 Februari 1999. Abdul Wahhab ‘Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, (Bandung: Pustaka, 1985). Abu Hasan al-Nadwi, 1987., Pendidikan Islam Yang Mandiri, (trj) Oleh Afif Muhammad), Bandung : Dunia Ilmu. AD. Marimba, 1989., Pengantar Filasafat Pendidikan Islam, Bandung: Ma’arif. Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1995., Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Alex Lanur Ofm, 1993., Logika ; Selayang Pandang, Yogyakarta: Kanisis. Amin Abdullah, 2003., “Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama ; dari Paradigma Positivistik-Sekularistik kea rah Teoantroposentrik-Integralistik” dalam Amin Abdullah, dkk. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum : Upaya Mempertemukan Epistimologi Islam dan Umum, Yogyakarta : Suka Press. Anton Meliono, dkk, 1988., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka). Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, 1994., Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius. Aoer Cyprianus, 2005., Masa Depan Pendidikan Nasional; Catatan Seorang Wartawan Pendidikan Sejak 1994, Jakarta: Center for Poverty Studies., Bambang Q. Anees., 2004., Kamu Nggak Bego Kok!, Bandung: Mizan. Danusiri, 1996., Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ISSN : 2477 - 3131
Departemen Pendidikan Nasional, 2002., Kurikulum Berbasis Kompetensi; Mata Pelajaran PAI, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Djohan Efendi dan Abdul Hadi WM (ed), Iqbal Pemikir Sosial dan Sajak-sajaknya, (Jakarta: Panjta Simpati, 1986). E. Sumaryono, 1999., Hermeunetik; Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Filsafat Kanisius. Fazlur Rahman, 1994., Islamic Metodology in History, New Delhi : Adam Publishere and Distributors. Fazlur Rahman, 1985., Islam dan Tantangan Modernitas; Tentang Transformasi Intelektual, Bandung: Pustaka. H. A. R. Gibb, 1992., Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, Bandung: Mizan. Imam Hanafi, “Paradigma Pembelajaran Rekonstruksionisme”, dalam Jurnal alFikra, PPs UIN Suska Riau, Vol. …. Ibn ‘Arabi., tth., The Bezel of Wisdom, New York: Paulist Press. K. G. Saiyidain, 1981., Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, (alih bahasa oleh: M. I. Soelaeman), Bandung: CV. Diponegoro. M. Sommers., Logika, Bandung : Penerbit Alumni. Mahfud Sholihudin, 1986., Pengantar Psikologi Umum, Surabaya: Sinar Wijaya. Muqawwim, “Pendidikan Islam Perspektif Critical Padagogy” dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam, Vol. 4. no. 1 Januari – juni 2005. Muhmida Yeli, 2005., Filsafat Pendidikan Islam, Pekanbaru: LSFK2P. Muhammad Kamal Hasan, 1989., “Beberapa Dimensi Pendidikan Islam di Asia Tenggara” dalam Taufiq Abdullah dan Shiddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES. Muhammad Iqbal, 1981., Reconstruction of Relegion Though of Iqbal in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan. Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
12
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Ninian Smart, 1999., History of Mysticism; Encyclopedia of Philoshophy, New York: Collier MacMillan Publisher. Purwantoro, dkk, 1991., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pedesaan dan Kawasan UGM dengan Depag RI. Prilaku Kekerasan Kolektif; Kondisi dan Pemicu, Yogyakarta, 1997. Qomar Mujamil, 2005., Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga. Radja Mudyaharjo, 2002., Pengantar Pendidikan: Sebuah Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Salahudin al-Nadwi, 1995., Muhammad Iqbal wa Qadaya al-Tajdid, dalam Studi Islamika, Vol. II, No. 1, Tahun 1995. Syed Abdul Vahid, 1976., Studies in Iqbal, Lahore: Muhammad Asyraf.
ISSN : 2477 - 3131
Shahid Hussain, “Iqbal’s Concep of Personal Identity” dalam M. Ma’ruf (ed), Contribution to Iqbal’s Thought, (Lahore: Islamic Book Serviece, 1997). T. Indratno A. Ferry T, 2005., Manusia PascaIndonesia & Manusia Pasca Einstein, Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar. Toto Suharto., 2005., “rekonstruksi Pemikiran Pendidikan Islam; Telaah Pemikiran Muhammad Iqbal” dalam Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 4, No. 2 Juli- Desember 2005. W. Poespoprojdo, 1987., Logika Scientifika, Bandung: Remaja Rosdakarya. WJS. Purwadarminta, 1976., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Balai Pustaka. _______ ., 1985., Pesan dari Timur, Bandung: Pustaka.
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
13