GUIDELINE FOR MANAGEMENT OF TRAUMATIC BRAIN INJURY

Download III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala. 13. III.9 Lembar Pesanan Saat Pulang. 13. III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif ( ROI)...

0 downloads 1059 Views 5MB Size
PEDOMAN TATALAKSANA CEDERA OTAK     (Guideline for Management of Traumatic Brain Injury)                                              

  Editor:                                  Joni  Wahyuhadi                                                                                                    Wihasto  Suryaningtyas                                                                                                    Rahadian  Indarto  Susilo                                                                                                    Muhammad  Faris                                                                                                    Tedy  Apriawan      

Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, 2014

Tim Neurotrauma dan Kontributor Prof. Dr. dr. Abdul Hafid Bajamal, SpBS Prof. Dr. dr. Nancy Margarita Rahatta, SpAn. KIC Dr. dr. M. Arifin Parenrengi, SpBS Dr. dr. Agus Turchan, SpBS Dr. dr. Hamzah, SpAn. KNA Dr. dr. Joni Wahyuhadi, SpBS dr. Eko Agus Subagio, SpBS dr. Wihasto Suryaningtyas, SpBS dr. Rahadian Indarto Susilo, SpBS dr. Muhammad Faris, SpBS dr. Achmad Fahmi, SpBS dr. Nur Setiyawan Suroto, SpBS dr. Irwan Barlian Immadoel Haq, SpBS dr. Tedy Apriawan, SpBS dr. Alfan Syah Putra Nasution dr. Yusuf Hermawan dr. Mohammad Kamil dr. Geizar Arsika Ramadhana dr. Yusnita Rahman dr. Fendi Fatkhurrohman Gozi dr. Mochamad Rizki Yulianto dr. Yudhistira Kaysa Karim dr. Adi Wismayasa dr. Gibran Aditiara Wibawa dr. Fatkhul Adhiatmadja dr. Krisna Tsaniadi Prihastomo dr. Wisnu Baskoro

Sekretariat Neurotrauma: SMF/ Departemen Ilmu Bedah Saraf RSU dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga Jl. Mayjen Prof. Drg. Moestopo 6 – 8 Surabaya Telp: 031-5501325/ 5501304 Fax: 031-5025188 e-mail: [email protected]

SAMBUTAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SOETOMO, SURABAYA Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat Nya, Tim Neurotrauma RSUD Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, dapat menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak” edisi kedua tahun 2014. Penyusunan buku pedoman ini adalah langkah maju untuk menjawab tantangan di bidang pelayanan, pendidikan, penelitian dan pengembangan. Di bidang pelayanan, pedoman ini dapat dimanfaatkan di setiap institusi yang berhubungan dengan penanganan cedera otak, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan menurunkan angka kecacatan dan kematian akibat cedera otak. Rumah sakit dr. Soetomo selain memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, juga merupakan tempat pendidikan baik bagi tenaga medis maupun paramedis, mulai dari jenjang diploma hingga spesialisasi. Besar harapan kami bagi seluruh peserta didik untuk dapat memanfaatkan pedoman ini dengan baik sehingga proses pendidikan dapat berjalan sinergis dengan pelayanan yang prima. Pedoman ini berdasar evidence base medicine dan disusun sedemikian rupa sehingga memberi peluang besar untuk pengembangan dan penelitian lebih lanjut. Beberapa fenomena kasus cedera otak masih mengundang pertanyaan yang saat ini belum semuanya terjawab dengan jelas. Kami berharap hasil kerja kerja keras ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi para klinisi yang memberi pelayanan, para konsultan, dan peserta didik dokter spesialis, dokter muda serta paramedis dalam memberikan pelayanan terbaik dan kemajuan di masa mendatang. Wassalamualaikum Wr. Wb

Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya

dr. Dodo Anondo, MPH

SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA Assalamualaikum Wr. Wb. Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya dapat menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak”, edisi kedua yang disusun berdasarkan Evidence Base Medicine (EBM).

tepat, dan akurat.

Pesatnya kemajuan ilmu dan tehnologi di bidang ilmu kedokteran, membawa perubahan yang mendasar pada pelayanan dan pendidikan khususnya bidang bedah syaraf. Cedera Otak adalah salah satu kasus emergency bidang bedah syaraf yang membutuhkan penanganan yang cepat,

Pelayanan yang bermutu, yang didukung dengan pedoman baku yang ilmiah, merupakan bagian dari proses pendidikan yang sangat bermanfaat bukan hanya bagi pasien tetapi juga bagi peserta didik. Dalam sinergisme sistim pelayanan dan pendidikan yang terpadu ini, dipastikan akan muncul hal baru yang memberi lahan bagi pengembangan dan penelitian terutama di bidang neurotrauma. Besar harapan saya bahwa buku pedoman ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mahasiswa kedokteran, dokter, peserta didik pendidikan spesialis, dokter spesialis, perawat, peserta didik keperawatan dan semua pihak yang terkait dalam proses pelayanan dan pendidikan. Pengembangan dan penyempurnaan ilmu yang telah ada selalu saya harapkan dan saya dukung untuk memperluas khazanah dan wawasan keilmuan. Kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyiapkan dan menerbitkan buku pedoman ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya. Semoga bermanfaat dan terus berupaya mengembangkan keilmuan yang dimiliki demi kemanusiaan. Terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Prof. Dr. Agung Pranoto, dr., M.Sc., Sp. PD-KEMD FINASIM

KATA PENGANTAR

Cedera otak sampai saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian para dokter, khususnya yang berkecimpung dalam bidang neurotrauma dan perawatan gawat darurat. Problem utama pada cedera otak adalah tingginya angka kecacatan dan kematian. Angka kematian di RSUD,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara 6 % sampai 12 % keadaan ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri yaitu antara 3-8 %. Hal yang mengembirakan angka mortalitas ini terus menurun dari tahun ke tahun dan pada tahun 2013 sebesar 3 %. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, cedera otak banyak terjadi pada usia produktif yang tentu akan sangat mempengaruhi produktfitas dan kemajuan bangsa. Upanya memberikan pelayanan yang prima dan meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan bagi para klinisi, sejawat dokter bedah saraf di pusat pelayanan kesehatan di daerah dan para peserta didik program spesialis bedah umum, bedah saraf, saraf dan anestesi serta para dokter muda dan tenaga para medis, maka kami susun buku pedoman ini yang berbasis ilmiah, dengan sistematika yang mudah dipahami. Buku ini dapat sebagai acuan dalam mengambil keputusan yang cepat dan tepat pada saat yang tepat dalam menangani penderita cedera otak. Kecepatan dan ketepatan adalah faktor utama untuk menurunkan angka kecacatan dan kematian akiba cedera pada susunan saraf. Semoga ALLAH SWT memberikan hidayah dan rahmadNYA sehingga tujuan mulya penyusunan pedoman ini dapat tercapai dan dapat memberikan manfaat demi kemanusiaan.

Ketua Tim Neurotrauma RSUD.Dr.Soetomo-FK.Unair Surabaya.

Prof. Dr. Abdul Hafid Bajamal, dr., Sp.BS.

DAFTAR ISI SUSUNAN TIM NEUROTRAUMA SAMBUTAN Direktur RSU. Dr Soetomo Surabaya Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN I. PENDAHULUAN

1

II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN

3

III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM (GENERAL MEASURES)

6

III.1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage

6

III.2. Langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat

6

III.2.1 Perlindungan Umum (General precaution)

6

III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas

8

III.2.3 Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak

8

III.3 Survey Sekunder

9

III.3.1 Anamnesis

9

III.3.2 Pemeriksaan Fisik Umum

9

III.3.3 Pemeriksaan Neurologis

10

III.4 Observasi

11

III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala

11

III.6 Pemeriksaan CT Scan

12

III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit

12

III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala

13

III.9 Lembar Pesanan Saat Pulang

13

III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif ( ROI)

13

III.11 Kriteria Masuk Ruang High Care Unit ( HCU ) / Ruang F1

14

IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA KEPALA

15

IV.1. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Ringan

15

IV.2. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Sedang

16

IV.3. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Berat

17

V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA

18

V.1. Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang

18

V.2. Rekomendasi Penggunaan Manitol dan Hipertonik Saline

22

V.3. Rekomendasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pemasangan Kateter

26

Ventrikel V.4. Rekomendasi Penggunaan Analgetik

28

V.5. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid

31

V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer

33

V.7. Rekomendasi Pemberian Nutrisi

37

V.8. Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Suppresor Agent

40

V.9. Rekomendasi Penggunaan Citicoline

42

V.10. Rekomendasi Penggunaan Piracetam

44

V.11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptide

47

V.12. Rekomendasi Penggunaan sel punca (Stem Cell)

49

VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN

50

(GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT) VI.1. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH)

50

VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural (SDH)

52

VI.3. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak

56

VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior

58

VI.5. Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii

60

VI.6. Rekomendasi Pembedahan Pada Diffuse Axonal Injury (DAI)

63

VII. REKOMENDASI ACUAN PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL (GUIDELINE FOR

65

INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND TREATMENT) VII.1. Indikasi Pemasangan Alat Pantau Tekanan Intrakranial – ventrikulostomi

65

VII.2. Manajemen Tekanan Intrakranial

66

VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIKA PADA ANAK

72

VIII.1. Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi

72

VIII.2. Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial

75

VIII.3. Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat

80

VIII.4. Penggunaan Terapi Hyperosmolar untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial

83

VIII.5. Peran Pengeluaran LCS pada Pengendalian TIK

87

VIII.6. Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB

89

VIII.7. Pembedahan untuk Hipertensi Intrakranial pada Pediatri

91

IX. CEDERA OTAK TERKAIT OLAHRAGA

99

IX. PENUTUP

103

Cover dalam : Operasi Kepala. Dikutip dari Wilkins RH dan Rengachary SS (Eds). Neurosurgery. 2nd edition. McGraw-Hill. New York, 1996

DAFTAR SINGKATAN CBF

: Cerebral Blood Flow

CMRO2

: Cerebral Metabolic Rate of O2

COB

: Cedera Otak Berat

COR

: Cedera Otak Ringan

COS

: Cedera Otak Sedang

CPP

: Cerebral Perfusion Pressure

CSF

: Cerebro Spinal Fluid

CSS

: Cairan Serebro Spinal

CT Scan

: Computed Tomography Scanning

EDH

: Epidural Hematoma

EVD

: External Ventricular Drainage

GCS

: Glasgow Coma Scale

HCU

: High Care Unit

ICP

: Intracranial Pressure

IRD

: Instalasi Rawat Darurat

KRS

: Keluar Rumah Sakit

LCT

: Long Chain Triglycerides

LCU

: Low Care Unit

MAP

: Main Arterial Pressure

MCT

: Medium Chain Triglycerides

MRS

: Masuk Rumah Sakit

NSAID

: Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs

PPI

: Proton Pump Inhibitor

RCT

: Randomized Control Trial

ROI

: Ruang Observasi Intensif

SDH

: Sub Dural Hematoma

SRMD

: Stress Related Mucosa Damage

TBI

: Traumatic Brain Injury

TIK

: Tekanan Intra Kranial

AAN

: American Academy of Neurology

 

I. PENDAHULUAN Cedera otak masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah saraf, dan di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian dan biaya tinggi. Perkembangan pengetahuan mengenai patofisiologi dan tatalaksana cedera otak, sangat pesat pada dekade terakhir ini. Salah satu konsep sentral yang didasarkan pada penelitian laboratorium, klinis dan biomolekuler serta genetika, bahwa kerusakan neurologis tidak hanya terjadi pada saat terjadinya impak cedera, melainkan berkembang pada jam-jam dan hari-hari berikutnya. Kerusakan sistim syaraf dipengaruhi juga oleh kerentanan pasien terhadap cedera. Perkembangan patofisiologi ini memacu berkembang metode penanganan yang komprehensif, metode neurorestorasi dan rehabilitasi, dalam rangka meningkatkan outcome dari pasien cedera otak. Cedera otak atau sering disebut neurotrama, masih merupakan masalah yang serius di RSUD dr Soetomo. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr. Sutomo sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2013, didapatkan data: Data Penderita Cedera Otak RSU Dr. Soetomo Th. 2002 - 2013 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013



Ʃ penderita CO 2005 1910 1621 1670 1588 1231 1339 1487 916 1050 1026 1411

Ʃ penderita COB 455 467 275 199 195 159 196 209 126 145 173 166

Total Kematian 225 210 134 103 98 75 81 76 123 124 106 101

% 11.22 10.99 8.27 6.17 6.17 6.09 6.05 5.11 13.4 11.8 9.96 7.1

Total kematian COB 169 127 81 65 49 30 38 29 98 96 72 80

% 37.14 27.19 29.45 32.66 25.13 18.85 19.34 13.87 77.7 66.2 41.6 48.1

Angka kematian pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara 6,171 % hingga 11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar literatur internasional, yaitu berkisar antara 3-8 %.

1



Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera otak berat masih tinggi, berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan menurun. Angka ini relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu 22 %.



Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien cedera otak yang datang ke IRD.

Tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan cedera otak di RSU Dr. Soetomo menunjukkan bahwa cedera otak memerlukan penanganan yang komprehensif. Prehospital care dan Hospital care merupakan faktor yang sangat penting untuk dibenahi dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pembenahan Hospital Care meliputi: 1. Pembenahan tatalaksana, dengan cara: a. Pembuatan guideline yang merupakan pedoman praktek kedokteran (PPK) yang juga berisi algoritma tatalaksana cedera otak. b. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (provider) c. Pemenuhan sarana dan prasarana gawat darurat d. Pemenuhan sarana dan prasarana perawatan high care unit (HCU) e. Penelitian dan pengembangan klinis dan laboratoris 2. Pembenahan tatalaksana Pre-Hospital care, dengan cara: a. Sosialisasi Guideline b. Peningkatan sistem rujukan c. Peningkatan

kemampuan

sumber

daya

manusia

dengan

cara

pendidikan berkelanjutan. 3. Kerjasama dengan pusat neurotrauma lain 4. Evaluasi berkala Target pencapaian adalah menurunnya mortalitas dan morbiditas sebesar 1% per tahun di RSUD Dr. Sutomo, sehingga pada lima tahun pertama tercapai angka morbiditas dan mortalitas yang sama dengan pusat neurotrauma internasional. Langkah awal adalah tersusunnya pedoman ini.

2

II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN Proses pembuatan guideline atau Pedoman Praktek klinik cedera otak, diawali pada tahun 2004 di SMF/ Lab. Bedah Saraf RSUD Dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga dengan membentuk tim

neurotrauma yang terdiri dari para ahli bedah saraf,

anestesi, peserta didik spesialis bedah saraf dan anestesi serta paramedis di Instalasi Rawat Darurat dan Instalasi Rawat Inap Bedah. Tim neurotrauma melakukan pengumpulan data,

identifikasi masalah, opini, pengalaman praktis dan studi

literatur serta penelitian yang berkaitan dengan cedera otak. Pedoman ini terdiri dari dua bagian besa, yaitu algoritma tatalaksana cedera otak di RSUD Dr. Soetomo dan rekomendasi untuk perawatan dan terapi baik dengan intervensi pembedahan maupun tanpa pembedahan. Pembuatan pedoman ini berdasarkan evidence based medicine dengan membagi tingkat terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori rekomendasi yaitu A, B dan C (Adelson 2003; Mod. SIGN / Scottish Intercollegiate Guideline Network 2011) : A.

Didapat dari level pembuktian klas I, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat prospektif randomized controlled trial (RCT) atau meta analisis dari penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan gold standard atau standard (high degree of clinical certainty).

B.

Didapat dari level pembuktian klas II, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat analisis baik prospektif maupun retrospektif (studi observasional, kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode ini merupakan

guideline (moderate clinical certainty). C.

Didapat dari level pembuktian klas III, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian retrospektif,

serial case, dari data registrasi pasien, laporan kasus, review kasus, dan pendapat ahli (level pembuktian IV). Metode ini merupakan

option (unclear clinical certainty). 3

Level of Evidence (pembuktian klas) Mod. SIGN ( Scottish Intercollegiate Guideline Network ) 2011

level of

No

Evidence finding

Evidence 1.

I-a

Evidence diperoleh berdasar

hasil metaanalisis atau

sistemik review dari berbagai uji klinik acak dengan kontrol/kelola (randomized controlled trials Study / RCT) 2.

I -b

Evidence berasal dari minimal satu uji klinik acak dengan kontrol/kelola ( RCT)

3.

II - a

Evidence berasal dari paling sedikit satu uji klinik dengan pembanding, tapi tanpa randomisasi

4.

II - b

Evidence berasal dari paling sedikit satu hasil penelitian dengan rancangan quasi-eksperimental

5.

III

Evidence

berasal

dari

penelitian

deskriptif

non

eksperimental (studi komparatif, korelasi dan studi kasus) 6.

IV

Evidence berasal dari laporan komite ahli atau opini, maupun pengalaman klinik ahli yang diakui.

KLASIFIKASI REKOMENDASI ( EBM-HTA ) Adelson, 2003 : (Diagnostik maupun Tindakan) 1. Gold Standard (High degree of clinical certainty) > ( I-a, I-B ) Rekomendasi : A 2. Guideline (Moderate clinical certainty) > ( II-a, II-b) Rekomendasi : B 3. Option (Unclear clinical certainty) > ( III- IV ) Rekomendasi : C

4

Sistematika penulisan dan isi dari pedoman adalah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kondisi di RSUD Dr. Soetomo sebagai rumah sakit tersier tipe A pendidikan. Diharapkan

secara mudah para klinisi, konsultan, peserta didik program dokter

spesialis dan mahasiswa kedokteran serta paramedis dapat menggunakannya. Acuan dan rekomendasi yang disarankan, diperoleh dari penelitian klinis dan laboratorium

serta eksplorasi jurnal atau referensi, sehingga sangat mungkin

berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Secara berkala pedoman ini akan dilakukan evaluasi dan dilakukan penelitian pendukung sehingga dihasilkan acuan dan rekomendasi dengan tingkat kepercayaan klinis (clinical certainty) yang lebih tinggi.

Editor

5

III.

ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM ( GENERAL MEASURES )

III. 1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage IRD

Triage atau penapisan, bertugas memeriksa tanda vital dan memberi label sesuai kegawatan. Semua pasien cedera otak segera dikonsultasikankan pada dokter jaga bedah saraf. III.2. Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat 1. General precaution 2. Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (Airway, Breathing, Circulation) 3. Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan pemeriksaan fisik seluruh organ) 4. Pemeriksaan neurologis 5. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan 6. Menentukan diagnosis pasti 7. Menentukan tatalaksana III.2.1. Perlindungan Umum (General precaution ) Perlindungan umum (General precaution) terdiri dari : a. Informed to Consent dan Informed Consent b. Perlindungan diri No 1.

2.

3.

4.

Jenis Perlindungan Mencuci tangan dengan antiseptik - setelah terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda yang terkontaminasi - segera setelah melepas sarung tangan - diantara pemeriksaan 2 pasien yang berbeda Pemakaian sarung tangan - jika akan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda – benda yang terkontaminasi - jika bersentuhan dengan mukosa atau kulit yang tidak intak Pemakaian Masker, dan goggles - untuk melindungi mukosa mata, hidung dan mulut ketika akan berhadapan dengan darah atau cairan tubuh Pemakaian Jubah Pelindung ( gowns) - untuk melindungi kulit dari darah atau cairan tubuh 6

5.

6.

7.

8.

10.

11.

mencegah pakaian terkena kotoran selama prosedur pemeriksaan yang melibatkan kontak dengan darah dan cairan tubuh

Linen - hindari kontak kulit dan mukosa dengan linen kotor yang terkontaminasi - jangan mencuci linen kotor di daerah perawatan pasien Alat perawatan pasien - hindari kontak kulit dan mukosa dengan alat yang telah terkontaminasi dan jangan sampai mengenai baju yang dipakai serta lingkungan sekitarnya - alat yang telah dipakai harus dicuci sebelum digunakan kembali Kebersihan lingkungan - area perawatan pasien harus dibersihkan secara rutin dengan menggunakan desinfektan Benda tajam - jangan menutup ulang jarum suntik yang telah digunakan - jangan melepas jarum suntik bekas dari syringnya - jangan membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas dengan tangan - buang benda tajam di dalam kontainer anti tembus. Resusitasi pasien - hindari resusitasi dari mulut ke mulut. Gunakan mouthpiece, resusitation bags, atau alat bantu ventilasi lain. Penempatan pasien - pasien yang dapat menimbulkan kontaminasi pada lingkungan ditempatkan pada ruangan khusus

Tabel 3.1 Perlindungan Umum (General Precaution) ( Dikutip dari Guidelines for Healthcare Facilities with Limited Resources )

c. Persiapan alat dan sarana pelayanan Sebelum melakukan tindakan maka dokter bertanggung jawab dalam kelengkapan dan keberfungsian dari alat dan sarana kesehatan yang diperlukan dalam tindakan yang akan dilakukan. Sebelum melakukan tindakan medik maka dokter yang akan melakukan tindakan harus melakukan persiapan dan mejamin bahwa alat dan sarana yang akan dipakai lengkap dan terjamin keselamatannya.

7

III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas Pemeriksaan

Evaluasi

Perhatikan, catat, dan perbaiki

A. Airway

Patensi saluran napas ?

Obstruksi ?

Suara tambahan ? B. Breathing

Apakah oksigenasi

Rate dan depth

Efektif…. ?

Gerakan dada Air entry Sianosis

C. Circulation

Apakah perfusi Adekuat …..?

Pulse rate dan volume Warna kulit

Capilarry return Perdarahan Tekanan darah D. Disability ( status neurologis )

Apakah ada kecacatan

Tingkat kesadaran-

neurologis …?

menggunakan sistem GCS atau AVPU. Pupil (besar, bentuk, reflek cahaya, bandingkan kanan-kiri)

E. Exposure

Cedera organ lain… ?

(buka seluruh pakaian)

Jejas, deformitas, dan gerakan ekstremitas. Evaluasi respon terhadap perintah atau rangsang nyeri

Tabel 3.2 Survei Primer Pasien cedera otak

III.2.3. Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak 1.

Penanganan cedera otak primer

2.

Mencegah dan menamgani cedera otak sekunder

3.

Optimalisasi metabolisme otak

4.

Rehabilitasi 8

III.3. Survey Sekunder III.3.1 Anamnesis Informasi yang diperlukan adalah: –

Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat



Keluhan utama



Mekanisma trauma



Waktu dan perjalanan trauma



Pernah pingsan atau sadar setelah trauma



Amnesia retrograde atau antegrade



Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo



Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala



Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah

III.3.2 Pemeriksaan fisik Umum Pemeriksaan

dengan

inspeksi,

palpasi,

perkusi,

dan

auskultasi,

serta

pemeriksaan khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode: –

Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,



Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)

Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah: 1. Pemeriksaan kepala Mencari tanda : a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus dan benda asing. b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill

hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius. c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan fraktur mandibula d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata. 9

e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan dengan diseksi karotis 2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang. Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan autonomik. III.3. 3 Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan status neurologis terdiri dari : a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan: GCS 14 – 15

: Cedera otak ringan (COR)

GCS 9 – 13

: Cedera otak sedang (COS)

GCS 3 – 8

: Cedera otak berat (COB)

b. Saraf kranial, terutama: •

Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflek konsensuil à bandingkan kanan-kiri



Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.

c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal detachment. d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda lateralisasi. e. Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani.

10

III.4 Observasi Menggunakan lembar observasi umum ( tanda vital: tensi, nadi, pernafasan, dan suhu) dan lembar observasi neurologis khusus bedah saraf. Contoh lembar observasi neurologis sebagai berikut:

Gambar 3.1 Lembar observasi status neurologis. Data menunjukkan penurunan tingkat kesadaran disertai dilatasi pupil dan hemiparesis. GCS menurun dari 15 menjadi 5 menunjukkan bahwa telah terjadi keterlambatan penanganan. Data ini menggambarkan penanganan yang kurang tepat

III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala Indikasi pemeriksaan foto polos kepala : 1. Kehilangan kesadaran, amnesia 2. Nyeri kepala menetap 3. Gejala neurologis fokal 4. Jejas pada kulit kepala 11

5. Kecurigaan luka tembus 6. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga 7. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba 8. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak 9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko : benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasienusia > 50 tahun. III.6. Pemeriksaan CT Scan Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala : 1. GCS< 13 setelah resusitasi. 2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis, kejang. 3. Nyeri kepala, muntah yang menetap 4. Terdapat tanda fokal neurologis 5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur 6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus 7. Evaluasi pasca operasi 8. pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ ) 9. Indikasi sosial III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit Pasien cedera kepala akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai berikut: 1. Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran 2. Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan muntah 3. Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi 4. Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabetes mellitus 5. Fraktur tengkorak 6. CT scan abnormal

12

7. Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi di luar rumah sakit 8. Umur pasien diatas 50 tahun 9. Anak-anak 10. Indikasi sosial III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala Kriteria pasien cedera kepala dapat dipulangkan dengan pesan : -

Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan

-

Tidak ada gejala neurologis

-

Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang

-

Tak ada fraktur kepala atau basis kranii

-

Ada yang mengawasi di rumah

-

Tempat tinggal dalam kota

III.9 Lembar Pesanan saat Pulang Pasien cedera kepala yang pulang diberi lembar peringatan. Harap segera dibawa ke IRD bila : -

Muntah makin sering

-

Nyeri kepala atau vertigo memberat

-

Gelisah atau kesadaran menurun

-

Kejang

-

Kelumpuhan anggota gerak

III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif (ROI) Kriteria pasien cedera otak yang memerlukan perawatan di ROI : -

GCS < 8

-

GCS < 13 dg tanda TIK tinggi

-

GCS < 15 dengan lateralisasi

-

GCS < 15 dengan Hemodinamik tidak stabil.

-

Cedera kepala dengan defisit neurologis belum indikasi tindakan operasi. 13

-

Pasien pasca operasi

Kriteria pasien pindah dari ROI ke Ruang HCU / F1 -

pasien cedera kepala yang tidak memerlukan ventilator dan transportable ( layak transport ).

III.11

Telah dilakukan koordinasi dengan ruang HCU / F1

Kriteria masuk Ruang High Care Unit (HCU) / Ruang F1 -

Pasien dengan CT scan abnormal yang belum indikasi operasi

-

Pasien COR dan COS yang tidak memenuhi kriteria masuk ROI dan memerlukan observasi ketat.

-

Pasien yang memerlukan perawatan dengan observasi ketat paska pindah dari ICU/ROI IRD.

14

IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA OTAK

IV.1 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Ringan Pasien

1. 2. 3. 4. 5. 6.

IRD

Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC) Anamnesis, fisik diagnostik Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi Pemeriksaan lab : DL dan GDA + Lab lain sesuai indikasi Tx. Simtomatik + Antibiotik sesuai indikasi Lapor jaga bedah saraf

MRS di ruang HCU - F

OPERASI

ICU - ROI

• Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam (anak < 2 tahun: D5 0.25 NS) • Puasa 6 jam • Obat simptomatik IV atau supp • Observasi ketat sebagai pasien cidera otak • Catat keadaan vital dan neurologis bila akan dikirim ke ruangan perawatan • Serah terima penderita serta informasi lengkap keadaan penderita

VS. Stabil Neurologis Stabil

Cepat memburuk

R. Perawatan ( LCU )

Resusitasi + Rediagnosis

KRS

ICU ROI - 1

Operasi

15

IV.2 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Sedang

Penderita

• Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang collar brace • Lapor jaga bedah saraf • Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya • Pemeriksaan darah (DL, BGA, GDA, cross match) • Bila tensi stabil, infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam • Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis • Obat simptomatik IV atau supp • Bila telah stabil à CT scan kepala, foto leher lat, thorak foto AP Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi • Pasang kateter, evaluasi produksi urine

IRD

Operatif

MRS di ruang HCU - F

ICU-ROI

Membaik

VS. Stabil Neurologis Stabil

Memburuk

• Stabilisasi + Resusitasi • Rediagnosis cito

ICU - ROI

Operasi

Ruang Perawatan (LCU)

16

IV.3 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Berat

Penderita

IRD

Lapor jaga bedah saraf

• Resusitasi airway, breathing dan sirkulasi • Bersihkan lendir, benda asing, jawthrust bila perlu, kepala tidak boleh hiperextensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau nasofaring tube bila perlu. Bila ada sumbatan jalan nafas akut dilakukan cricothyrotomi dan persiapan intubasi atau tracheostomi • Intubasi + kontrol ventilasi ( PCO2 35 – 40 mmhg,, PaO2 : 80 – 200 atau Spo2 >97 % ), pasang pipa lambung • Pasang collar brace • Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tandatanda pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa.. • Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl, atau koloid atau darah). Cari penyebab, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg. • Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal ginjal dan atau gagal jantung, à manitol 20% 200 ml bolus dalam 20 menit atau 5 ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/ kgBB dalam 20 menit setiap 6 jam, jaga osmolalitas darah < 320 mOsm. • Bila kejang : Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah hingga kejang berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoin bolus10-18 mg/kgBB encerkan dengan aqua steril 20 ml iv pelan, dilanjutkan 8 mg/kgBB • Bila telah stabil Infus cairan isotonis (NaCl 0,9 %) 1,5 ml/kgBB/jam pertahankan euvolume,pemasangan CVP atas indikasi. . Pemeriksaan lab à DL, BGA, GDA, cross match • Anamnesis à pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika, intake terakhir, alergi • Pemeriksaan fisik umum dan neurologis • Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi • Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urine • Tanda vital stabil à CT scan kepala, foto leher lat, thorak fot AP, • Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi • Pemeriksaan refleks batang otak. Hati-hati pada pemeriksaan reflek oculocephalik • Pasang ICP monitor, pertahankan tekanan <15 mmhg.atau<22 cm H2O pada pasien yang tidak ada indikasi operasi lesi intrakranial. Bila ada lesi intrakranial indikasi operasi, ICP monitor dipasang bersamaan saat operasi emergensi

• Bila keadaan fungsi vital telah stabil • Catat keadaan terakhir sebelum dikirim ke ruangan ICU • Lakukan serah terima secara lengkap ( keadaan penderita, obat-obatan yang diberikan dan rencana perawatan)

Operasi

MRS di ICU -ROI

R. HCU - F

R. Perawatan (LCU)

17

V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA V.1 Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang Standard

: Belum ada data yang mendukung

Guideline

1) Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu pertama pasca trauma. Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin dan levetiracetam. 2) Pengobatan profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin dilakukan

setelah

7

hari

pasca

trauma

karena

tidak

menurunkan resiko kejang fase lanjut pasca trauma. 3) Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang fase dini pasca trauma Option

:-

Penjelasan Rekomendasi : Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang pasca trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi. Diperbolehkan untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap terjadinya kejang pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca trauma

(early type) pada pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca trauma. Fenitoin atau Carbamazepin terbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe dini oleh karena pada fase ini belum terbentuk fokus epilepsi. Penelitian Torbic tahun 2013 tentang levetiracetam sebagai obat anti epilepsi terbaru menunjukkan bahwa levetiracetam memiliki efikasi yang sebanding dengan fenitoin sebagai profilaksis kejang pasca trauma dan dibandingkan fenitoin, levetiracetam memiliki efek samping yang lebih sedikit. Kriteria pasien risiko tinggi kejang pasca trauma: 1. GCS ≤ 10

2. Immediate seizures 3. Kontusio kortikal 4. Fraktur linier

5. Penetrating Head Injury 18

6. Fraktur depresi 7. Alkoholik kronis 8. Post traumatic Amnesia> 30 menit 9. Epidural, subdural, atau intracerebral hematom 10. Defisit neurologis fokal 11. Usia ≥ 65 tahun atau ≤15 tahun Dosis dan cara pemberian : Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk menurunkan resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading segera setelah trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kgBB dalam 100 cc NS 0,9% dengan kecepatan infus maksimum 50 mg/menit.Pada pasien pediatri dosis loading fenitoin yang direkomendasikan 10-20 mg/kgBB, diikuti dosis rumatan 5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10 mg/kgBB/hari untuk mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml. Pengobatan profilaksis dengan levetiracetam dilakukan dengan cara pemberian dosis 500 mg setiap 12 jam selama 7 hari setelah cedera otak tanpa pemberian loading

dose. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi Penilaian

TP/DR II/B

Kesimpulan

Temkin

Penelitian

Fenitoin hanya efektif untuk

et al., 1990

randomized double

mencegah kejang dini pasca

blind untuk

trauma

mengetahui efektifitas pemberian feniotin untuk mencegah kejang pasca trauma 2

Golden N,

Penelitian

II/B

Faktor resiko terjadinya epilepsi

1996

retrospektif dengan

pasca trauma dini:

rancangan case

-usia < 15 tahun 19

control study untuk

-fraktur depress

mengetahui

-lesi intrakranial

pengaruh faktor

-defisit neurologis fokal

risiko terhadap angka kejadian epilepsi pasca trauma dini 3

Annegers

Penelitian

II/B

Faktor resiko yang signifikan:

et al., 1998

retrospektif untuk

- subdural hematom

mengetahui

- skull factures

karakteristik cedera

- amnesia lebih dari satu hari

otak yang

- usia > 65 tahun

berhubungan dengan timbulnya kejang pasca trauma 4

Temkin

Penelitian

II/B

Tidak didapatkan perbedaan

et al., 1999

randomized double-

yang signifikan untuk terjadinya

blind untuk

kejang pasca trauma lanjut

mengetahui

pada pasien yang mendapatkan

efektifitas fenitoin

terapi fenitoin selama 1 minggu

yang diberikan

dibandingkan dengan yang

selama 1 minggu

mendapatkan terapi asam

dibandingkan asam

valproat selama 1 atau 6 bulan

valproat yang diberikan selama 1 atau 6 bulan sebagai profilaksis kejang pasca trauma 5

Chang SB,

Meta analisis

II/B

Pengobatan profilaksis dengan

Lowenstein

beberapa penelitian

Fenitoin, dimulai dengan dosis

DH, 2003

level l,ll untuk

loading segera setelah trauma 20

mengetahui peranan

efektif menurunkan resiko

profilaksis obat anti

kejang dini pasca trauma.

epilepsi pada

Profilaksis tidak efektif untuk

penderita cedera

kejang fase lanjut. Faktor resiko

otak berat

terjadinya kejang : cedera otak berat, amnesia atau tidak sadar berkepanjangan, hematom intrakranial atau kontusio serebri, dan fraktur depress.

6

Torbic H

Meta analisis

II/B

Profilaksis anti kejang efektif

et al., 2013

penelitian level I

diberikan pada 1 minggu

dan II untuk

pertama pasca trauma.

mengetahui

Alternatif obat yang efektif

efektivitas obat-

adalah phenytoin dan

obatan anti kejang

levetiracetam.

dan faktor risikonya Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Algattas H and Huang JH. Traumatic brain injury pathophysiology and

treatments: early, intermediate and late phases post injury. Int. J. Mol. Sci. 2014, 15, 309-41; doi: 10.3390/ijms 15010309. Annegers JF et al. A Population Based Study of Seizure After Traumatic Brain

lnjuries. TheNEJM 1998 Chang S, Bemard and Lowenstein H Daniel. Practice parameter: Antiepileptic

drug prophylaxis insevere traumatic brain injury : Report of the Qua|ity Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurotogy 2003; 60:10-6. Golden N. Pengaruh Faktor Resiko terhadap Angka Kejadian Epilepsi Pasca Trauma Dini di RSUD Dr Soetomo. Karya Tulis Akhir PPDS I llmu Bedah Saraf, Lab AJPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1996 21

Temkin et al. A randomized double blind study of phenytoin for prevention of

post traumaticseizures. The NEJM 1990; 323 :497-502. Temkin et al. Valproate therapy for prevention of post traumatic seizures: a

randomized trial. J Neurosurg 1999;91:593–600. Torbic H et al. Use of antiepileptics for seizure prophylaxis after traumatic

brain injury. Am J Health-Syst Pharm. 2013; 70:759-66 V2. Rekomendasi penggunaan manitol dan Sodium Laktat Hipertonis Standard

Terapi dengan menggunakan larutan sodium laktat hiperosmolar lebih efektif dalam menurunkan TIK bila dibandingkan dengan manitol

Guideline

Manitol

membantu

menurunkan

TIK

pada

pasien

COB.

Pemberian secara bolus dengan dosis 0,25–1 gr/kgBB lebih dianjurkan dibandingkan pemberian secara terus menerus Option

1) Pemberian manitol dapat dilakukan sebelum pemasangan ICP

Monitor

jika

didapatkan

tanda-tanda

transtentorial atau terjadi penurunan

herniasi

kesadaran yang

progresif. Serum osmolaritas harus dibawah 320 mmol/l untuk mencegah terjadinya gagal ginjal. Pasien harus dipertahankan dalam kondisi euvolemia dan dipasang katater urine untuk memonitor produksi urine. 2) Terapi

dengan

menggunakan

larutan

sodium

laktat

hiperosmolar lebih efektif dalam menurunkan TIK bila dibandingkan dengan manitol Penjelasan Rekomendasi : Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke dalam ruangan Intra vaskular (TIK me↓→ CBF dan CPP me↑). Manitol secara bermakna menurunkan mortalitas COB tipe “non surgical mass lesion” bila tidak ada episode hipotensi atau hipoksia selama perawatan pada GCS 3–5 atau CT Scan menunjukkan kontusio serebri grade III Sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20%. Manitol diberikan bolus 0,25 – 1 gr/KgBB dalam 10 – 20 menit, setiap 4 – 8 jam. Sebelum memberikan manitol 22

harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, gula darah, dan elektrolit darah. Penghitungan osmolaritas awal darah dilakukan sebelum pemberian manitol. Dan harus terpasang foley kateter untuk pengukuran diuresis. Osmolaritas = 2(Na+ + K+) + Glukosa/18 + BUN/2,8 Dalam menggunakan manitol maka harus dilakukan observasi ketat untuk menjaga pasien agar tetap dalam keadaan euvolemia dan osmolaritas serum <320 mmol/l. Euvolemia dipertahankan dengan penggantian volume cairan yang isotonis dan harus dicegah terjadinya hipotensi (TDS <90 mmHg). Fenomena rebound dapat dikurangi dengan pemberian bolus, dan penghentian manitol dilakukan secara bertahap. Sodium laktat hipertonis diberikan dengan dosis 1,5 ml/KgBB selama 15 menit dalam setiap kali pemberian. Sodium laktat hipertonis dapat diberikan pada kasus dengan peningkatan TIK, dengan kondisi hipovolemia atau hipotensi. Sodium laktat dapat menurunkan TIK dengan jumlah pemberian yang lebih sedikit, penurunan TIK yang lebih besar dan menurunkan TIK yang lebih cepat. Komplikasi pemberian hipertonik salin diantaranya adalah rebound edema, kerusakan BBB, penurunan tingkat kesadaran karena hipernatremia, dan central

pontine myelinolisis (CPM). Sodium laktat hipertonis dapat memberikan keluaran pasien yang lebih baik dengan indikator Glasgow Outcome Scale, Barthel Index, dan

Karnoffsky Score bila dibandingkan dengan manitol dan dapat diberikan pada pasien dengan kondisi syok. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Pembuktian (DR) No 1

Penulis

Deskripsi penelitian

Mendelow

Penilaian pengaruh

et al.,1985

pemberian manitol 20

TP/DR

Kesimpulan

III/C Terjadi penurunan TlK, dan peningkatan CBF dan CPP

% dengan dosis 0,25 0,5g/kg intravena terhadap TlK. CPP dan CBF 23

2

Gemma

Prospective

et al., 1997

randomized

efektifnya dengan manitol

Clinical study

dalam menurunkan edema

membandingkan efek

otak selama proses operasi

hypertonic saline 7,5 %

bedah saraf

II/B

Hypertonic saline sama

dengan manitol 20 % 3

Balafif F.,

Studi case control

Bajamal A.H.,

Membandingkan antara

menurunkan mortalitas COB

1999

pasien COB tipe "non

tipe “non surgical mass

surgical mass lession"

lession” bila tidak ada episode

yang mendapat

hypotension atau hypoksia

manitol secara empiris

selama perawatan pada GCS

dengan tanpa manitol.

3-5 atau CT scan

II/B

Manitol secara bermakna

menunjukkan kontusio grade lll 4

Qureshi

Review dari literatur

et al., 2000

tentang hipertonik salin

menunjukkan efek yang

dalam terapi edema

menguntungkan dalam hal

otak dan hipertensi

penurunan TIK sekaligus

intrakranial

menjaga hemodinamik pada

III/C Hipertonik saline

penelitian klinis dan di laboratorium 5

6

Faris M.,

Penelitian eksperimen

I/A

Hipertonik sodium laktat dan

Wahyuhadi J.,

dengan analisis

manitol efektif dan aman

2009

komparatif antara

dalam pengobatan

pemberian sodium

peningkatan TIK. Hipertonik

laktat dengan manitol

sodium laktat lebih efektif

dalam menurunkan TIK

dibandingkan manitol

Ichai C,

Prospective open

et al., 2009

randomized study

larutan sodium laktat

membandingkan terapi

hiperosmolar lebih efektif

sodium laktat

dalam menurunkan TIK bila

I/A

Terapi dengan menggunakan

24

hiperosmolar dengan

dibandingkan dengan manitol

manitol dalam menurunkan TIK pada kasus cedera otak 7

Ardyansyah A., Penelitian eksperimen

I/A

Hipertonik natrium laktat

Wahyuhadi J.,

dengan analisis

dapat menurunkan TIK lebih

2011

komparatif antara

banyak dan lebih lama

pemberian Hipertonik

dibandingkan manitol

natrium laktat dengan manitol dalam menurunkan TIK 8

Wakai

Randomized control

et al., 2013

trial dengan pemberian

dibandingkan dengan

manitol pada pasien

pemberian pentobarbital dan

trauma akut cedera

kurang menguntungkan jika

otak sedang dan berat

dibandingkan dengan

I/A

Pemberian manitol lebih baik

pemberian cairan hipertonik saline. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Ardyansah A., Wahyuhadi J., Perbandingan Pemberian Dosis Multipel Hipertonik Natrium Laktat dan Manitol terhadap Penurunan Tekanan Intrakranial pada Penderita Cedera Otak Berat tanpa Indikasi Operasi dengan Tekanan Intrakranial lebih dari 20 mmHg, SMF Bedah Saraf RSU Dr Soetomo, 2011 Balafif F., Bajamal A.H., Pengaruh Pemberian Mannitol secara empiris pada penderita cedera otak berat tipe Non Surgical Mass Lession di RS dr. Soetomo Surabaya. 1999 Faris M. Wahyuhadi J., Perbandingan Pengaruh Pemberian Hipertonik Sodium Laktat

dan

Manitol

terhadap

Progresifitas

Penurunan

Tekanan

Intrakranial Penderita Cedera Otak Berat Lesi Non Operatif. SMF Bedah Saraf RSU Dr Soetomo,2009 25

Gemma M, Cozzi S, Tommasino C, Mungo M, Catvi MR, Cipriani A, Garancini MP. 7.5% Hypertonic saline versus 20% mannitol during elective

neurosurgical

supratentorial procedures, J Neurosurg

Anesthesiol,

1997;9(4):329 – 34 Ichai C, Armando G, Orban JC, et al. Sodium Lactate versus Mannitol in The

Treatment of Intracranial Hypertensive Episodes in Severe Traumatic Brain-injured Patients. Intensive Care Med, 200935:471 – 479 Iskandar J. Cedera Kepala. BIP. 2004 Mendelow AD, et al. Effect of mannitol on cerebral blood flow and cerebral

perfusion pressure in human head injury. J Neurosurg 1985;63:43-9 Reilly P, Selladurai B. Initial Management of Head Injury: a Comprehensive Guide. McGraw Hill, 2007, p177 – 205 Qureshi AI, Suarez JI, Use of hypertonic saline solutions in treatment of

cerebral edema and intracranial hypertension, Crit Care Med, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11008996 2000;28(9):3301-13 Wakai A, McCabe A, Roberts I and Schierhout G. Mannitol for acute traumatic

brain injury. Cochrane Database Syst Rev. Aug 5, 2013

V.3 Rekomendasi penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pemasangan Kateter Ventrikel Standard

: Belum ada data yang mendukung

Guideline

: Belum ada data yang mendukung

Option

1. Pemberian antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter ventrikel setiap 5 hari tidak mengurangi resiko infeksi 2. Penggunaan antibiotik lokal maupun sistemik tidak menurunkan resiko infeksi pada pemasangan kateter ventrikel.

Penjelasan Rekomendasi : Pada COB karena trauma, angka kejadian infeksi dapat meningkat pada tindakan pemasangan ICP monitor, tindakan ventilasi mekanik dsb. Pada umumnya infeksi ditemukan pada 10 hari pertama setelah pemasangan ventriculostomy. Tidak ada pengaruh antara kateter yang diganti setiap 5 hari atau tidak. Infeksi memberi 26

pengaruh signifikan terhadap morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap dari penderita. Pada pemasangan ICP monitor jangka panjang terjadi kenaikan tingkat infeksi sampai dengan 27% sedangkan penggunaan ICP monitor jangka pendek belum terbukti menaikkan resiko morbiditas dan mortalitas. Dari seluruh pasien COB, tidak ada insiden definitive terhadap infeksi CSF. Cephalosporin generasi ke 1 dan 2 merupakan jenis antibiotik yang di rekomendasikan. Pada trauma penetrasi craniocerebral, tidak didapatkan bukti yang mendukung penggunaan antibiotik profilaksis namun para ahli menyarankan pemberian antibiotika broad spectrum secara rutin berkaitan dengan beratnya komplikasi yang mungkin terjadi.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi

TP/DR

Kesimpulan

Sunbarg

Analisa rertrospektif dari

III/C

et al.,1996

648 pasien yang

COB tidak ada insiden

memakai TIK monitor.

definitive terhadap

142-nya adalah COB.

infeksi CSF.

Dari seluruh pasien

Tidak ada yang mendapat antibiotik profilaksis. 2

Holloway

Analisa retrospektif dari

III/C

61 pasien dengan

et al.,1996

584 pasien cedera otak

venticulostomy

berat berkaitan dengan

ditemukan infeksi. Pada

efek penggantian kateter

umumnya infeksi

terhadap insiden

ditemukan pada 10 hari

terjadinya infeksi

pertama setelah pemasangan ventriculostomy. Tidak ada pengaruh antara 27

kateter yang diganti setiap 5 hari atau tidak. 3

Arabi

Analisa terhadap

III/C

Penggunaan antibiotik

et al., 2005

insidens infeksi

lokal maupun sistemik

ventrokulostomy dan

tidak menurunkan resiko

evaluasi terhadap faktor

infeksi pada

resikonya.

pemasangan kateter ventrikel.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Arabi Y, Memish ZA, Balkhy HH, Ventriculostomy-associated infections:

Insidence and risk factors. ,Amj Infect Control 2005;33:137-43. Holloway KL, Barnes T, Choi S. Ventriculostomy

infections: the effect of

monitoring duration and catheter exchange in 584 patients. J Neurosurg 1996;85:419–24. Sundbarg

G,

Nordstrom

prolonged

C-H,

ventricular

Soderstrom

S.

Complication

due

to

fluid pressure recording. Br. J Neurosurg

1988;2:485–95. Yuen, ECP.2004. The use of prophylactic antibiotic in trauma. Hong Kong Journal of Emergency Medicine

V.4 Rekomendasi penggunaan analgetik Standard Guideline

: Belum ada data pendukung 1. Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien trauma kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari. 2. Obat-obatan NSAID lainnya seperti ibuprofen dan naproxen bisa diberikan per-oral. 3. Ketoprofen

supp

dan

acetaminophen

supp

bermanfaat

mengurangi nyeri pada COR. 28

Option

1.

Belum ada data yang tidak membolehkan metamizol diberikan pada pasien trauma kepala (Insiden agranulocytosis 92% terjadi pada 2 bulan pertama pemakaian metamizol)

2.

Indometasin dapat bermanfaat untuk menurunkan tekanan intrakranial yang refrakter pada cedera kepala berat.

Penjelasan rekomendasi : Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan TIK dan harus ditangani. Pada pasien cedera otak terjadi peningkatan kadar PG dimana PG berperan dalam proses rasa nyeri. NSAID seperti ketorolac, metamizol dan ketoprofen bermanfaat mengurangi nyeri dengan menghambat sintesa PG melalui blokade enzim Cyclooxigenase (COX). Acetaminophen bukan termasuk NSAID namun memiliki mekanisme yang sama dalam menghambat sintesa PG melalui blokade enzim COX. Peningkatan kadar prostaglandin terjadi pada pasien cedera otak. Namun pemakaian obat NSAID dapat pula menyebabkan perdarahan saluran cerna dan gangguan fungsi ginjal. Indometasin merupakan golongan NSAID yang mempunyai sifat anti inflamasi, analgesik dan antipiretik melalui efek inhibisi reversibel terhadap enzim COX. Indometasin

dapat

berfungsi

sebagai

terapi

alternatif

dalam

manajemen

peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter pada COB. Namun mekanisme aksi indometasin dalam menurunkan cerebral blood flow (CBF) dan tekanan intrakranial masih belum dipahami sepenuhnya. Ketorolac untuk dewasa diberikan dengan dosis 30 mg intravena dosis tunggal atau 30 mg/6 jam intravena dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Metamizol diberikan dengan dosis 500-1000mg/6 jam secara peroral, intravena atau perektal.

29

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi penelitian

TP/DR

Kesimpulan

Jacobi J

Review literatur pada

et al., 2002

Medline search 1994-2001

acetaminophen boleh

untuk penyusunan

digunakan pada pasien

guideline dengan review

trauma kepala

II/B

Ketorolac dan

dari metaanalisis dan tabel

evidence 2

3

Hedenmalm Secara retrospektif

III/C

Insiden agranulocytosis

K et al.,

membahas laporan kasus

92% terjadi pada 2 bulan

2002

agranulocytosis akibat

pertama pemakaian

pemakaian metamizole

metamizole

Review : Peran

Roberts

et al., 2002

III/C

Indometasin

indometasin pada

dipertimbangkan pada

penanganan cedera kepala

penanganan cedera kepala dengan peningkatan TIK yang refrakter

4

Prasetya H,

eksperimental semu pada

II/B

Ketoprofen dan

Bajamal

pemakaian ketoprofen dan

acetaminophen bermanfaat

A.H., 2005

acetaminophen pada COR

mengurangi nyeri pada COR

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Hedenmalm

K

associated

et al. with

Agranulocytosis

and

other

blood

dyscrasias

dipyrone (metamizole). Eur J Clin Pharmacol

2002;58(4):265-74. Jacobi J et al. Clinical practice guidelines for the sustained use of sedatives

and analgesics in the critically ill adult. Am J Health Syst Pharm 2002;59(2):150-78 30

Prasetya H, Bajamal A.H. Perbandingan Efek Analgetika antara Pemberian Paracetamol

650

mg

Suppositoria

Suppositoria

terhadap Nyeri

denganKetoprofen

Kepala

100

mg

pada Penderita Cedera Otak

Ringan. Karya Akhir, 2005. Roberts R, Redman J. Indomethacin - A Review of its Role in the Management

of Traumatic Brain Injury. Critical Care and Resuscitation 2002; 4: 271280 V.5 Rekomendasi penggunaan kortikosteroid Standard

: Penggunaan glukokortikoid tidak direkomendasikan untuk pasien dengan COB. Glukokortikoid tidak meningkatkan keluaran dan menurunkan TIK pada pasien dengan COB

Guideline

: Terapi dengan dan tanpa kortikosteroid pada pasien memar otak secara statistik hasil terapi tidak berbeda bermakna

Option

: Tidak

ada

penurunan

angka

kematian

dengan

pemberian

metilprednisolon dalam 2 minggu setelah cedera kepala Penjelasan rekomendasi : Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak dan kerusakan reseptor kortikosteroid. Cedera otak juga menyebabkan kenaikan kadar kortikosteroid atau meningkatkan pemakaian reseptor protein dan karenanya penggunaan kortikosteroid tidak efektif karena terbatasnya jumlah reseptor protein yang masih ada dan sebagian reseptor kortikosteroid mengalami kerusakan sehingga pembentukan lipokortin juga terbatas. Hal ini juga menyebabkan toleransi kortikosteroid terganggu. Pada beberapa kasus dilaporkan efek samping penggunaan kortikosteroid yang terjadi bisa timbul perdarahan gastrointestinal dan infeksi. Karena adanya peningkatan mortalitas dan manfaat yang kurang pada penggunaan kortikosteroid dibeberapa penelitian menjadi pertimbangan untuk tidak memberikan kortikosteroid pada pasien dengan cedera otak.

31

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi

Kasan U., 1994

Penelitian prospektif

TP/DR Kesimpulan II/B

Outcome terapi dengan

komparatif penggunaan

dan tanpa

dengan dan tanpa

kortikosteroid pada

kortikosteroid pada

pasien memar otak

pasien cedera otak

secara statistik tidak berbeda bermakna

2

Aiderson P., 1997

Penelitian Randomized

I/A

Review sistemik pada

Controlled Trials untuk

RCT untuk

menilai kuantitas

kortikosteroid pada

efektifitas dan

cedera otak akut

keamanan tentang

menunjukan efek yang

penggunaan

tidak jelas

kortikosteroid pada trauma kepala 3

4.

CRASH trial

Penurunan angka

collaborators,

kematian dengan

angka kematian

2004

pemberian

dengan pemberian

metilprednisolon dalam

metilprednisolon dalam

2 minggu setelah

2 minggu setelah

cedera kepala

cedera kepala

Alderson P., 2005

Penelitian Randomized

III/C

I/A

Tidak ada penurunan

Penelitian yang

Controlled Trials untuk

terbesar menyimpulkan

menilai kuantitas

mortalitas dengan

efektifitas dan

steroid pada penelitian

keamanan tentang

ini menyarankan

penggunaan

steroid tidak lagi

kortikosteroid pada

digunakan rutin pada

trauma kepala

cedera otak

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

32

Referensi Alderson P, Roberts I. Corticosteroid for acute traumatic brain injury, 2005 CRASH trial collaborators, Effect of intravenous corticosteroids on death

within 14 days in 10 008 adults with clinically significant head injury (MRC CRASH trial): randomized placebo-controlled trial Lancet 2004; 364: 1321–28 Alderson P. Corticosteroids in acute traumatic brain injury: systemic review of

randomized controlled trials, BMJ 1997. Kasan U. Penatalaksanaan Penderita Memar Otak Penelitian Prospektif Komparatif dengan dan tanpa penggunaan Kortikosteroid, disertasi 1994. V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer Standard

: Baik propofol, midazolam, ataupun kombinasi keduanya dinyatakan aman untuk pasien dengan trauma kepala.

Guideline

1. Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman dan efektif untuk anestesiadan sedasi pasien dengan peningkatan ICP. 2. Propofol memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta memudahkan dalam evaluasi fungsi neurologis secara awal. 3. Dexmedetomidine merupakan sedasi tanpa efek neurologis dan memberikan efek proteksi pada otak.

Option

:-

Penjelasan rekomendasi : Sedasi adalah komponen penting dalam penanganan pasien dengan cedera otak, dapat memfasilitasi intervensi terapi, memperbaiki kenaikan TIK, dan memastikan pasien dalam keadaan yang nyaman. Dapat dilihat dalam table di bawah ini, pilihan yang sesuai GCS dan ada tidaknya tunjangan ventilasi mekanik. Agent sedasi yang ideal haruslah (i) menurunkan CMRO2 sekaligus mempertahankan suplai oksigen ke otak. (ii) menurunkan TIK tanpa menurunkan CPP (iii) memelihara autoregulasi otak dan reaktifitas vascular terhadap CO2 (iv) memiliki onset yang cepat (v) mudah dalam pengendalian kedalaman dan durasi sedasinya (vi) memiliki therapeutic 33

window untuk evaluasi status neurologis dan deteksi komplikasi neurologis. Pemberian sedatif dapat digunakan sebagai tertiary management kontrol TIK. Propofol loading dose diberikan 1-2 mg/kgBB dan diberi dosis rumatan 1-3 mg/kgBB/jam. Midazolam loading dose diberikan 0,03-0,3mg/kg diberikan dalam 20 menit; dan dosis rumatan 0,03-0,2mg/kg/jam. Penthotal loading dose diberikan 510mg/kg BB diberikan dalam 10 menit, dan di beri dosis rumatan 2-4mg/kgBB/jam. Phenobarbital: Bolus 2-5 mg/kgBB atau Thiopenthal 2-10 mg/kg BB diikuti siringe

pump

(0.3-7.5

mg/kgBB/jam)

atau

thiopental

1-6

infus

mg/kg/hr.

Dexmedetomidine diberikan dengan loading dose 0,5-1 mcg/KgBb selama 10 menit, diikuti dengan dosis maintanance 0,2-0,3 mcg/KgBb/jam. Analgesia and sedation strategy in patients with various acute neurological conditions Head injury,

Head injury,

Cerebrovascular

Hepatic

Alcohol

mechanical

spontaneus

accident

encelophaty

withdrawl

ventilation,

breathing GCS

GCS ≤ 8

>8

syndrome

Analgesia

Opioids

NSAID

-

-

-

Sedation

Midazolam

Light sedation:

Light sedation:

Isoflurane for

Midazolam

Propofol

propofol &

propofol &

short periods

Other

Barbiturates

midazolam

midazolam

benzodiazepines

(Uncontrolled

Neuroleptic.

Neuroleptic.

Clonidine

ICP)

Phenothiazine

Phenothiazine

Neuroleptics Clomethiazole

Antagonist

No

No

No?

Yes

Yes

Monitoring

Vital functions,

Vital functions,

Vital functions,

Vital functions,

Vital functions,

invasive

neurologial

neurologial

neurologial

neurological

haemodinamic

functions

functions

functions, liver

function.

monitoring,

function tests

ICP SjO2 GCS, Glasgow coma score; ICP, intracranial pressure; NSAID, non-steoidal anti-inflamatory drugs; SjO2, oxygen saturation of the jugular vein.

34

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi Penelitian

TP/DR

Kesimpulan

Sanchez

Meneliti safety dan

et al., 1998

efficacy penggunaan

ataupun kombinasi keduanya

propofol; midazolam

dinyatakan aman untuk pasien

araupun kombinasi

dengan trauma kepala.

I/A

Baik propofol, midazolam,

propofol dan midazolam pada pasien trauma kepala 2

Karabinis

Meneliti safety dan

et al., 2004

efficacy sedasi

neurologis lebih cepat dan

berbasis analgesia

lebih mudah diprediksi dengan

menggunakan

menggunakan ramifentanil

ramifentanil,

dibandingkan dengan

kombinasi dengan

penggunaan fentanil ataupun

midazolam dan

morphin.

I/A

Waktu pemeriksaan

propofol dibandingkan dengsn fentanil, morphin kombinasi dengan midazolam dan propofol di unit perawatan neurointensif. 3

Chen HI

Meneliti penggunaan

III/C

Penggunaan barbiturat dapat

et al., 2008

barbiturat terhadap

meningkatkan oksigenasi

keadaan intractable

jaringan otak pada penderita

peningkatan TIK

dengan TIK yang meningkat

ketika penggunaan

pasca trauma.

terapi sedasi dan terapi osmotik gagal.

35

4

Shigemori

Pertimbangan

M et al.,

penggunaan sedasi

II/B

2012

Diazepam dapat digunakan pada kasus epilepsy tetapi tidak cocok untuk mengevaluasi tingkat kesadaran. Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman dan efektif untuk anestesiadan sedasi pasien dengan peningkatan ICP. Propofol memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta memudahkan dalam evaluasi fungsi neurologis secara. Dexmedetomidine merupakan sedasi tanpa efek neurologis dan memberikan efek proteksi pada otak.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi: Chen HI, Malhotra NR, Oddo M, Heuer GG, Levine JM, LeRoux PD. Barbiturate

infusion for intractable intracranial hypertension and its effect on brain oxygenation. Neurosurgery. 2008 Nov;63(5):880-6; discussion 886-7. doi: 10.1227/01.NEU.0000327882.10629.06. Ederoth P et al. Blood-brain barrier transport of morphine in patients with

severe brain trauma. Br J Clin Pharmacol.2004;57(4):427-35 Karabinis A et al. Safety and efficacy of Analgesia-based regimens in intensive

care unit patients with brain injuries: a randomized, controlled trial. Crit Care.2004;8(4): 268 - 80. Rivier MC, Cholero R, and Ravussin P. Sedation and Analgesia for the Brain-

Failure Patient. In: Sedation and Analgesia in the Critically Ill. Ed. By Park GR and Sladen RN. Blackwell Science 1995. pp 130-144 36

Sanchez-Izquierdo-Riera JA et al. Propofol versus Midazolam: safety and

efficacy for sedating the severe trauma patient. Anesth Analg. 1998;86(6):1219-24. Shigemori M et al. Guidelines for management severe head injury 2nd Edition. Guidelines from the guidline committee on the managemnt of severe head injury in Japan Society of Neurotraumatology. Neurol. Med. Chir (Tokyo) 52, 1 – 30, 2012. V.7 Rekomendasi pemberian nutrisi Standard

: Pemberian nutrisi dini

Guideline

1. Pemberian nutrisi diberikan secara bertahap dan kebutuhan total harus tercapai dalam 7 hari setelah trauma. 2. Kebutuhan nutrisi pasien cedera otak yang tidak dilumpuhkan sebesar 140% dari kebutuhan basal, dan pada pasien yang dilumpuhkan sebesar 100% dari kebutuhan basal 3. Nutrisi dapat diberikan secara enteral dan parenteral 4. Sedikitnya 15% dari asupan energi harus mengandung protein 5. Pemberian lemak sebaiknya yang merupakan kombinasi Long-

Chain Triglyserides (LCT) dan Medium-Chain Triglyserides (MCT) Option

: Pemberian melalui gastrojejunostomy untuk menghindari masalah pengosongan

lambung

dan

memudahkan

pemberian

dan

terhindar dari tercabut saat pasien gelisah karena letaknya yang jauh dari wajah pasien Penjelasan Rekomendasi : Cedera otak meningkatkan respon metabolik dan katabolik tubuh sehingga membutuhkan nutrisi yang cukup. Disarankan pemberian early feeding yang adekuat karena memberikan survival dan disability outcome yang lebih baik pada pasien dengan cedera otak. Belum ada penelitian yang menunjukkan metode pemberian mana yang paling baik Dari penelitian diketahui bahwa pemberian kombinasi LCT dan MCT mungkin dapat memberikan efek yang menguntungkan pada metabolisme protein di viscera pasca 37

trauma. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian late feeding (lebih dari 1 minggu setelah trauma) berhubungan dengan nitrogen loss yang besar disertai penurunan berat badan sebesar 15% perminggu. Untuk mencapai pemenuhan nutrisi pada hari ke-7, maka pemberian nutrisi harus dimulai paling lambat 72 jam setelah trauma atau cedera. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No. Penulis

Deskripsi Penelitian

TP/DR

1.

Calon B

Meneliti nilai metabolik MCT

et al.,1990

dan LCT pada penderita

menguntungkan

trauma kepala

pada metabolisme

II/B

Kesimpulan MCT memiliki efek

protein viseral pasca trauma 2.

Sarafzadeh

Mengukur perubahan

II/B

Hiperventilasi

et al.,2003

metabolik pada penderita

memiliki potensi

impending atau manifest

terjadinya efek

hypoxia pada pasien cedera

samping

otak. Meneliti safety dan

metabolisma

efficacy penggunaan propofol

cerebral. Keadaan

dan midazolam pada pasien

metabolisme cerebral

trauma kepala

anaerob tergantung dari derajat dan lamanya episode hipoksik

3.

Krakau K

Systematic review mengenai

et al., 2006

status metabolik dan terapi

menunjukkan

nutrisi pada penderita cedera

peningkatan

otak sedang – berat

metabolic rate,

I/A

Hasil review

hiperkatabolisme, dan intoleransi gastrointestinal sampai 2 minggu 38

pasca trauma. Kecenderungan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah pada penderita yang mendapat early

feeding 4.

Aaron M. Cook

Review artikel

III/C

et al., 2008

Terapi nutrisi termasuk pemberian cairan yang tepat dan monitoring elektrolit yang ketat untuk mencegah kelebiihan cairan, elektrolit atau glukosa yang dapat merugikan pasien.

5.

Roger Hartl

Penelitian retrospektif pada

III/C

Jumlah nutrisi

et al., 2008

pasien dengan cedera otak

berhubungan dengan

berat dan pemberian nutrisinya

mortalitas.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi: Aaron M. Cook et al. Nutrition Considerations in Traumatic Brain Injury.2008 Calon B et al. Long-chain versus medium and long-chain triglyceride-based fat emulsion in parental nutrition of severe head trauma patients. Infusiontherapie.1990;17(5):246-8. Krakau K et al. Metabolism and nutrition in patients with moderate and severe

traumatic brain injury:A systemic review. Brain Inj.2006;20(4):345-67. Roger Hartl et al. Effect of early nutrition on deaths due to severe traumatic

brain injury. 2008 39

Sarrafzadeh AS et al. Metabolic changes during impending and manifest

cerebral hypoxia in traumatic brain injury. Br J Neurosurg. 2003;17 (4) : 340-6 V.8 Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid

Supresssor Agent Standard

: Pemberian terapi farmakologis profilaksis acid supressive agent dengan H2 blocker, proton pump inhibitor (PPI), dan gastric

mucosal protector dapat membantu penurunan insiden perdarahan gastrointestinal dan stress related mucosal damage (SRMD). Proton

pump inhibitor (PPI) lebih dianjurkan karena memiliki karakteristik cara kerja dan durasi kerja yang lebih baik dibandingkan H2 Blocker dan gastric mucosal protector Guideline

:-

Option

:-

Penjelasan rekomendasi Pemberian regimen profilaksis Acid suppressor agent

dapat menurunkan insiden

perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh stress ulcer dengan pengaturan PH asam lambung. PPI mempunyai keunggulan dibandingkan regimen lainnya karena site of action memblokade jalur akhir produksi asam lambung dan durasi kerja yang lebih lama. Dosis anjuran omeprazole 40mg/12jam iv atau 40mg/hari peroral atau personde (Messori et al., 2000., Michelle et al., David C. Metz, 2005) Ranitidin diberikan dengan dosis 150 mg/12 jam secara peroral atau personde, 50 mg/6-8 jam secara intravena atau dapat diberikan secara kontinyu intravena perinfus dengan dosis 6,25 mg/jam. Sedangkan Sucralfat sebagai mucosal protector diberikan dengan dosis 1 gr/6 jam.

40

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

2

Penulis

Deskripsi Penelitian

TP/DR I/A

Kesimpulan

S Trippoli,

Meta analisis dari

et al.,

penelitian tentang

sucralfat kurang efektif dalam

2000

penggunaan ranitidine

pencegahan perdarahan

versus sucralfat dalam

gastrointestinal yang

pencegahan stress ulcer

disebabkan oleh stress ulcer I/A

Pemberian ranitidine dan

Michelle

Meta analisis dari

Pemberian obat profilaksis

E, Allen,

Randomized Controlled

untuk pencegahan perdarahan

2004

Trials tentang

gastrointestinal yang

profilaksis terapi

disebabkan oleh stress ulcer

terhadap stress ulcer

memberikan hasil yang sedikit significan dalam menurunkan insiden perdarahan gastrointestinal

3

David C.

Meta analisis dari

Metz,2005 Randomized Controlled

I/A

Pemberian regimen acid

suppressive agent dapat

Trials tentang

mencegah terjadinya SRMD

penggunaan acid

dan stress ulcer dengan

suppressive agent untuk

menjaga keasaman lambung.

pencegahan SRMD dan

stress ulcer Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi David C. Metz. Preventing the Gastrointestinal Consequences of Stress-

Related Mucosal Disease. Medscape. 2005 Michelle E. Allen; Brian J. Kopp; Brian L. Erstad. American Society of Health-

System Pharmacists. ASHP therapeutic guidelines on stress ulcer prophylaxis. Am J Health-Syst Pharm. 1999;56:347-79. S Trippoli, M Valani, M Govini, A Corrado. Bleeding and pneumonia in

intensive care patients given ranitidine and sucralfate for prevention

41

of stress ulcer: meta-analysis of randomized controlled trials. BMJ 2000;321:1103-07 V.9 Rekomendasi penggunaan Citicoline Standard

: Citicoline tidak memberikan perbaikan outcome fungsional yang signifikan dibandingkan dengan kelompok placebo

Guideline

1. Pemberian citicolin pada pasien sindroma post concussion, ditemukan perbaikan memori dan pengurangan gejala-gejala pasca comotio 2. Penilaian dengan Glasgow Outcome Scale 3 bulan pasca cedera menunjukkan perbaikan yang bermakna

Option

: Pemberian Citicolin pada jangka waktu lama setelah cedera Otak dapat memberikan peningkatan kemampuan Kognitif

Penjelasan Rekomendasi : Citicoline (Cytidine 5-diphosphocholine atau CDP-Choline) berfungsi mengaktivasi biosintesis struktur fosfolipid membran sel neuron, meningkatkan metabolise otak dan menambah level neurotransmitter termasuk acetylcolin dan dopamin. Citicolin juga berfungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria ATPase dan Na/K ATPase serta menghambat enzim phospholipase A2. Citicolin dapat diberikan pada pasien cedera otak saat setelah kejadian maupun jangka lama dan hasilnya menunjukkan perbaikan dalam pengurangan gejala sindroma post concussion, perbaikan Glasgow Outcome Scale dan fungsi kognisinya. Pemberian dapat diberikan dengan dosis 1 gram/hari baik PO maupun injeksi. Hasil penelitian : a) Citicoline tidak memberikan perbaikan outcome fungsional yang signifikan dibandingkan dengan kelompok placebo b) Adanya perbaikan dalam fungsi memori pada pasien dengan pemberian citicolin dibanding tanpa pemberian obat tersebut

42

a) Adanya perbaikan dalam fungsi motor, kognisi dan psikis serta didapatkan adanya pemendekan masa waktu rawat inap pada pasien dengan pemberian citicoline Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No

Penulis

1

Levin HS, 1991

Deskripsi penilaian Penelitian double blind

TP/DR II/B

Kesimpulan Hasil: adanya perbaikan

placebo-control untuk

dalam fungsi memori

menilai efikasi

pada pasien dengan

citicoline dengan

pemberian citicoline

pemberian 1 gram

dibanding dengan tanpa

tablet selama 1 bulan

pemberian obat tersebut

pada 14 orang untuk

(p<0,02)

pengobatan tanda dan gejala sindroma post concussional setelah cedera otak ringan dan sedang 2

Calatayud MV,

Penelitian single blind

Perez JB, Aso

randomized pada 216

dalam fungsimotor,

Escario J., 1991

pasien cedera otak

kognisi dan psikis serta

sedang dan berat

didapatkan adanya

yang menerima

pemendekan masa

pengobatan citicoline.

waktu rawat inap pada

II/B

Hasil: adanya perbaikan

pasien dengan pemberian citicoline 3

Spiers

Laporan kasus 2

III/B

Citicoline memberikan

PA,Hochanadel

pasien dengan

hasil perbaikan fungsi

G, 1999

pemberian citicoline

kognisi setelah cedera

selama 1,5 sampai 4

otak sedang dan berat.

tahun setelah cedera otak 43

4

Zafonte et al,

CORBIT (The

2009

Citicoline Brain Injury

memberikan perbaikan

Treatment), suatu

outcome yang signifikan

RCT besar yang

dibandingkan dengan

menilai efektifitas

kelompok placebo

I/A

Citicoline tidak

pemberian citicoline terhadap outcome fungsional pasien dengan cedera kepala Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi: Levin HS. Treatment of postconcussional symptoms with CDP-coline. J Neurology Science.103: 539-42, 1991 Maldonado VC ef aI. Effects of CDP-coline on the recovery of patients with

head injury. JNeurology

Science. 103: 515-18, 1991

Spiers PA, Hochanadel G: Citicoline for traumatic brain injury: report of two

cases, includingmy own. J lnt Neuropsychol Soc. 5:260-2&+, 1999 Zafonte R, et al. The Citicoline Brain Injury Treatment (COBRIT) Trial. Journal of Neurotrauma 26:2207–2216 (December 2009) V.10 Rekomendasi Penggunaan Piracetam Standard

: Belum ada data pendukung

Guideline

1. Pemberian

piracetam

dengan

dosis

24-30

gr/hari

secara

bermakna dapat memberikan efek memperbaiki gejala neurologis pada pasien cedera otak. 2. Setelah pengobatan piracetam 8 minggu dengan dosis 4800 mg ditemukan

pengurangan

tanda

dan

gejala

sindroma

post

concussional seperti vertigo, sakit kepala, kelelahan, gangguan kesadaran, peningkatan kerinqat dan gejala lain. 3. Dosis 40-50 mg/kg (1600 – 2400 mg/hari) memberikan hasil yang positif untuk memperbaiki kondisi pasien yang dapat dilihat pada parameter kemampuan fungsi kognitif (memori, atensi) dan 44

fungsi koordinasi motorik Option

: Dosis tinggi piracetam (24-30 g/hari) memperbaiki kondisi pasien jika pengobatan dimulai segera setelah cedera.

Penjelasan Rekomendasi : Piracetam memperbaiki metabolisme otak dengan cara memacu katabolisme oksidatif, meningkatkan pemecahan ATP, meningkatkan level cAMP, memperbaiki metabolisme phospholipid dan bio-sintesis protein. Piracetam juga memperbaiki fungsi penggunaan oksigen dan glukosa oleh otak serta peningkatan perfusi lokal → dapat dilihat pada parameter partial oxygen pressure (oxygen therapy) dan KGD. Pemakaian piracetam dapat diberikan pada pasien cedera otak maupun pasca cedera dengan gejala sindroma post concussion dengan efek memperbaiki gejala neurologis dan kesadaran. Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera otak adalah 24-30 gr/hari baik injeksi maupun oral, dan untuk pemeliharaan diberikan dosis PO 4,8 gr/hari. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No

Penulis

1 Hakkarainen

Deskripsi penelitian Penelitian double-blind

H., Hakamies dengan 60 pasien dengan L., 1978

TP/DR

Kesimpulan

II/B Hasil: setelah pengobatan, 8 minggu ditemukan

sindroma post concussion

pengurangan tanda dan gejala

yang diberikan selama 2-

sindroma post concussion

12 bulan, dengan dosis

seperti vertigo, sakit kepala,

4800 mq perhari.

kelelahan, gangguan kesadaran, peningkatan kerinqat dan gejala lain.

2 Goscinski l,

Penelitian prospektif

II/B Hasil: Dosis 24-30 g/hari

et al., 1998

kasus-kontrol untuk

memberikan hasil yang positif

mengetahui efektifitas

untuk memperbaiki kondisi

pemberian piracetam

pasien yang dapat dilihat pada

pada 100 pasien cedera

parameter: partial oxygen 45

pressure dan kadar gula darah

otak sedang dan berat 3 Goscinski l,

et al., 1999

Penelitian observasional

III/C Hasil: dosis tinggi piracetam

yang dilakukan pada tahun

(24-30 g/hari) memperbaiki

1995-1996 dengan jumlah

kondisi pasien jika pengobatan

pasien 100 orang untuk

dimulai segera setelah cedera.

mengetahui pengaruh piracetam pada cedera otak. 4 Zavadenko

Penelitian prospektif

II/B Hasil: Dosis 40-50 mg/kg

NN, et al.,

case/control untuk

(1600 – 2400 mg/hari)

2008

mengetahui efektifitas

memberikan hasil yang positif

pemberian piracetam

untuk memperbaiki kondisi

pada 42 pasien trauma

pasien yang dapat dilihat pada

kepala tertutup cedera

parameter kemampuan fungsi

otak sedang dan berat

kognitif (memori, atensi) dan fungsi koordinasi motorik.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi: Hakkrainen, H. & Hakamies, L.

Piracetam in the treatment of

post-

concussional syndrome. Eur Neurol 17, 50-55, 1978 Goscinski l, Sliwonik S, SondejT, KwiatkowskiS, Moskala M, CichonskiJ, Wegrzyn D, Uhl H, Piracetam in severe cranio-cerebral injuries. Neurol Neurochir Pol Sep-Oct;32(5):1't 89-97, 1 998 Goscinski l, Moskala M, Cichonski J, Polak J, Krupa M, Sliwonik S, Sondej T,

Clinical observations conceming piracetam treatment of patients after craniocerebral injury, Przegl Lek;56(2):1 19-20, 1999 Zavadenko NN, Guzilova LS, The consequences of closed traumatic brain

injury and piracetam efficacy in their treatment in adolescents. Neurosci Behav Physiol; 108(3):43-8, 2008.

46

V11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptida Standard

Belum ada data yang mendukung

Guideline

Belum ada data yang mendukung

Option

Neuroprotektif pada cedera otak traumatik untuk mencegah dan mengurangi pemulihan

cedera dari

sekunder,

cedera.

serta

meningkatkan

Neuroprotektif

ditargetkan

proses untuk

mengurangi kerusakan otak dan memberikan harapan yang bagus pada kasus cedera otak dan stroke. Penjelasan Rekomendasi: Tujuan utama neuroprotektif pada cedera otak traumatik adalah untuk mencegah dan

mengurangi cedera sekunder, serta pada proses pemulihan dari cedera,

sedangkan tujuan neuroprotektif pada stroke adalah untuk mencegah kematian saraf di daerah penumbra. Ada mekanisme absolut dan relatif

proses

neuroprotektif. Mekanisme relatif meliputi : modulasi saluran kalsium, modulasi saluran sodium, modulasi antagonis NMDA reseptor, modulasi antagonis GABA reseptor,

antioksidan, anti radikal bebas, adesi molekul, agonis dan antagonis

adenosin. Mekanisme absolut meliputi : faktor neurotropik, neurotrophic factor-like

molecules, sitokin. Faktor neurotropik berperan dalam : pembangunan ontogenetik

yang berperan

dalam kontrol selular proliferasi dan diferensiasi (ekspresi dari fenotipe mediator, saluran ion, pertumbuhan neurit), promosi kelangsungan hidup neuron (jika ada tidak merusak agen) sepanjang hidup dan mempertahankan fenotip, meningkatkan daya tahan sel neuron akibat agen yang merusak (hipoksia, iskemia, hipoglikemia, eksisitotoksis, zat toksik, dan trauma), serta neuroproteksi, neuroplastisitas dan aktivitas sinaptik dalam proses belajar

47

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1.

Penulis

Deskripsi penelitian

TP/DR

Kesimpulan

Muresanu

Review , neuroprotektif III/C

Neuroprotektif meningkatkan

et al., 2007

pada cedera otak

daya tahan sel neuron akibat

traumatik adalah untuk

agen yang merusak

mencegah dan

(hipoksia, iskemia,

mengurangi cedera

hipoglikemia, eksisitotoksis,

sekunder, serta pada

zat toksik, dan trauma)

proses pemulihan dari cedera. 2.

Teasdale, G.M

Review, neuroprotektif III/C

Konsep neuroproteksi telah

et al., 1997

ditargetkan untuk

semakin luas diketahui

mengurangi kerusakan

dengan memberikan terapi

otak dan memberikan

sedini mungkin dan banyak

harapan yang bagus

hal-hal baru yang diketahui

pada kasus cedera

berperan dalam mekanisme

otak dan stroke

cedera otak dan banyak dikembangkan secara luas obat neuroprotektan yang punya target yang spesifik

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Muresanu FD, et al. Neuroprotection and Neuroplasticity in Craniocerebral

Trauma. Romanian Journal of Neurology 2007. Vol VI, No. 4. Page: 154-165 Teasdale, G.M & Bannan, P. E. 1997. Neuroprotection in Head Injury. In Head

Injury. Pathophysiology and Management of Severe Closed Injury. Editor : Reilly, P; Bullock, R. Page : 423-436. Chapman & Hall Medicaal. London. UK

48

V.12 Rekomendasi penggunaan sel punca (Stem Cell) Terapi sel punca telah mengalami kemajuan signifikan sebagai strategi pengobatan untuk berbagai penyakit selama dekade terakhir. Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak. Saat ini terdapat beberapa data dari banyak laboratorium bahwa pengobatan cedera otak (TBI), stroke, perdarahan intraserebral, cedera tulang belakang, dan penyakit neurodegeneratif menggunakan sel batang mesenchymal (MSC) menghasilkan manfaat fungsional, meskipun tanpa mengurangi lesi, menunjukkan bahwa sel-sel ini merangsang pemulihan fungsi dan merombak cedera jaringan. Tabel Pembuktian (Evidence) Clinical Trial No 1

Penulis

Deskripsi

Kesimpulan

Harting, T.M

Penelitian

Infus intravena sel punca mesenkimal

et al., 2008

prospektif

tidak menghasilkan hasil yang signifikan

menggunakan

dari sel yang rusak atau proses

hewan coba tikus

pemulihan motorik atau fungsi kognitif sampel.

2

Harting, T.M

Penelitian

Kombinasi sel punca embrionik

et al., 2009

prospektif

pluripotentiality dengan beberapa hasil

menggunakan

diferensiasi sel germinal memiliki

hewan coba tikus

kerangka kerja konseptual yang baru untuk perbaikan SSP.

3

Richardson

Review Literatur

Dengan paradigma baru neurogenesis

R.M et al.,

endogenik dan transplantasi diferensiasi

2010

NPC memberikan harapan pada terapi penyakit destruktif SSP seperti TBI dan SCI.

4

Tajiri N, et al.,

Experimental

Penurunan yang signifikan dari

2014

menggunakan

kerusakan dan kehilangan sel dari

hewan coba tikus

korteks dan hippocampus pada terapi

Intravenous transplants of human adipose-derived stem cell Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

49

Referensi Chopp M., Mahmood A., Lu D., Li Y., Mesenchymal stem cell treatment of

traumatic

brain

injury.

J

Neurosurg

110:1186–1188,

2009.,

Departments of Neurology and Neurosurgery, Henry Ford Health System, Detroit, Michigan Harting TM., Baumgartner J.E., Worth L.L., Ewing-Cobbs L., Gee A.P., Cell

therapies for traumatic brain injury, Neurosurg Focus 24 (3&4):E17, 2008 Harting TM., Jimenez F., Xue H., Fischer U.M., Baumgartner J., Intravenous

mesenchymal stem cell therapy for traumatic brain injury, J. Neurosurg. / Volume 110 / Page 1189–1197 / June 2009 Richardson R.M., et all., Stem cell biology in traumatic brain injury: effects of

injury and strategies for repair,. J Neurosurg 112:1125–1138, 2010 Tajiri N, et al. Intravenous transplants of human adipose-derived stem cell

protect

the

brain

from

traumatic

brain

injury-induced

neurodegeneration and motor and cognitive impairments: cell graft biodistribution and soluble factors in young and aged rats. J Neurosci. 2014 Jan 1;34(1):313-26. doi: 10.1523/JNEUROSCI.2425-13.2014 Vadivelu S., Platik. M.M., Choi L., Lacy M.L., Shah A.R. Multi-germ layer

lineage central nervous system repair:nerve and vascular cell generation by embryonic stecells transplanted in the injured brain., J Neurosurg 103:124–135, 2005 VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN (GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT) VI.1 Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH) Standard

: Belum ada data yang mendukung

Guideline

: Belum ada data yang mendukung

Option

: Pengambilan keputusan operatif atau non operatif berdasarkan keadaan klinis dan radiologis penderita. Indikasi pembedahan atau evakuasi massa dilakukan bila terdapat efek massa dan penurunan fungsi neurologi secara progresif 50

Indikasi pembedahan

:

1) Pasien EDH tanpa melihat GCS dengan volume > 30 cc, atau ketebalan > 15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm, atau 2) Pasien EDH akut (GCS <9) dan pupil anisokor Waktu : Pasien EDH akut dengan koma (GCS < 9) dan pupil anisokor dilakukan cito pembedahan atau evakuasi Metode : Belum ada data yang cukup untuk mendukung satu metode pembedahan, bagaimanapun juga craniotomy memberikan kemungkinan evakuasi yang lebih baik Penjelasan Rekomendasi : Ketebalan, volume hematom, dan midline shift (MLS) struktur pada CT Scan kepala awal mempengaruhi outcome. CT Scan kepala evaluasi pada pasien non operatif dilakukan 6-8 jam setelah trauma. pasien EDH dengan volume > 30 cc, atau ketebalan > 15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm tanpa melihat GCS, dilakukan tindakan pembedahan karena efek massa yang signifikan. Pasien EDH dengan volume < 30 cc dan GCS < 9 disertai pupil anisokor secepat mungkin dilakukan tindakan evakuasi. Pasien EDH dengan volume <30 cc, ketebalan <15 mm, pergeseran midline <5 mm tanpa melihat GCS yang tidak disertai pupil anisokor dilakukan manajemen non operatif yang agresif. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis Mitesh V, 1998

Deskripsi Analisis Retrospektif

TP/DR III/C

Kesimpulan Pengambilan

terhadap 221 pasien

keputusan operatif

EDH

atau non operatif berdasarkan radiologis dan keadaan klinis penderita 51

2

Bullock

Manajemen

III/C

Evakuasi massa bila

et al., 2006

pembedahan

ada efek massa

hematoma epidural

dan penurunan fungsi neurologi secara progresif

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Bullock et al. Surgical management of Acute Epidural Hematomas. Neurosurgery 2006;58:7-15 Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore, Maryland,

USA.Mitesh

V.

American

Journal

of

Neuroradiology

1998;20:115-6 Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC Graw Hill Co. New York. Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC Graw Hill Co. New York. VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural Standard

: Belum ada data yang mendukung

Guideline

1. Menurunkan TIK dengan drainase LCS transventrikel dan monitoring TIK, keduanya lebih penting daripada operasi dekompresi pada SDH tipis (tebal ≤ 10mm) 2. Tidak ada perbedaan bermakna secara statitistik antara tindakan operasi dan konservatif pada penderita cedera otak berat dengan hematom subdural akut traumatika tipis.

Option

: Indikasi

pembedahan

pada

SDH

akut

sesuai

penjelasan

rekomendasi. Dengan indikasi pembedahan sebagai berikut: Indikasi pembedahan

:

SDH Akut 1)

Pasien SDH tanpa melihat GCS : 52

a. Dengan ketebalan > 10 mm b. Atau midline shift (MLS) > 5 mm pada CT Scan 2)

Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK

3)

Pasien SDH dengan GCS < 9 : a. Ketebalan SDH < 10 mm dan pergeseran struktur midline, jika mengalami penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih antara saat kejadian dengan saat masuk ke rumah sakit b. Dan atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetri atau fixed c. Dan/atau TIK > 20 mmHg

SDH Kronis 1. Terdapat gejala klinis penurunan kesadaran maupun defisi neurologis fokal atau kejang 2. Ketebalan lesi > 1cm Waktu : Pada pasien SDH akut dengan indikasi pembedahan maka pembedahan dilakukan secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada evakuasi hematom. Metode : Metode penanganan pasien dengan SDH akut tipis traumatika dengan drainase LCS transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi craniotomy dekompresi dan pemasangan drainase LCS transventrikel dilakukan pada penderita dengan indikasi tertentu. Penjelasan Rekomendasi : Penderita COB dengan komplikasi SDH akut merupakan penyebab kematian utama pada COB dengan lesi massa intrakranial dimana angka kematian mencapai 42%90%. Kerusakan otak yang terjadi lebih berat karena mekanisme trauma yang hebat, kerusakan parenkim otak yang luas dan edema serebral. Secara patofisiologi, pengaruh cedera otak primer yang terjadi terhadap hasil akhir lebih penting daripada efek SDH itu sendiri sehingga kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada tindakan evakuasi hematom. Tindakan drainase LCS transventrikel lebih baik dibandingkan dengan pembedahan evakuasi hematom dan dekompresi pada SDH tipis  

53

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi penelitian

TP/DR

Kesimpulan

II/B

Kemampuan untuk

Wilberger

Penelitian retrospektif analitik

et al.,1991

untuk mengetahui apakah operasi

mengontrol TIK

yang dilakukan kurang dari 4 jam

lebih berpengaruh

setelah trauma memberi hasil akhir

terhadap hasil akhir

yang lebih baik

dibandingkan waktu pelaksanaan evakuasi hematom

2

Widodo,

Penelitian prospektif eksperimental

II/B

Tidak ada

Kasan U,

untuk mengetahui perbedaan hasil

perbedaan

1999

akhir antara tindakan operasi dan

bermakna secara

konservatif pada penderita cedera

statitistik antara

otak berat dengan hematom

tindakan operasi

subdural akut traumatika tipis.

dan konservatif pada penderita cedera otak berat dengan hematom subdural akut traumatika tipis.

3

4

Hartanto,

Penelitian prospektif analitik

II/B

Kasan U,

evakuasi hematom dan dekompresi

pembedahan

2003

dibanding penanganan secara

(evakuasi

konservatif pada penderita dengan

hematom dan

cedera otak berat dengan

dekompresi) lebih

komplikasi hematom subdural

baik daripada

kurang dari 1cm dan efek massa

penanganan secara

lebih dari 5 mm.

konservatif. II/B

Tindakan

Thohari K,

Studi prospektif observasional

Tindakan drainase

Bajamal

untuk mengetahui perbedaan

CSF transventrikel

A.H.,

hasil akhir antara tindakan

lebih baik

2006

pembedahan evakuasi hematom

dibandingkan 54

dan dekompresi dengan drainase

dengan

CSF transventrikel pada penderita

pembedahan

dengan cedera otak berat dengan

evakuasi hematom

komplikasi hematom subdural

dan dekompresi.

kurang dari 1 cm dan efek massa lebih dari 5 mm. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore, Maryland, USA Greenberg, MS 2010, Handbook of Neurosurgery, 7th eds, Thieme, New York. Hartanto RA, Kasan U. Operasi Dekompresi dan Evakuasi hematom subdural akut tipis pada cedera otakberat. Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUDDr Soetomo. 2003 Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC Grow Hill Comp, New York. Palmer JD. Head trauma in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone, New York 1997. pp. 499-580 Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Thohari K., Bajamal A.H., Penatalaksanaan Perdarahan Subdural Akut Tipis pada Penderita Cedera otak Berat.Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSU Dr. Soetomo. 2006 Valadka AB, Andrews BT, 2005, Neurotrauma: Evidence-Based Answers to

Common Questions, Thieme, New York, Stuttgart. Widodo J., Kasan U. Perbandingan tindakan operasi dan konservatif penderita dengan komplikasihematoma subdural akut traumatika tipis pada cedera otak berat. Karya Tulis Akhir PPDS IIlmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1999 Wilberger JE Jr, Harris M, Diamond DL: Acute subdural hematoma: Morbidity, mortality, andoperative timing. J Neurosurg 1991;74:212-8.

55

VI.3 Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak Standard

: Belum ada data yang mendukung

Guideline

: Belum ada data yang mendukung

Option

: Indikasi, waktu dan metode pembedahan

Indikasi pembedahan : 1) Pasien dengan GCS 6-8 dengan perdarahan parenkim otak pada daerah frontal atau temporal dengan volume perdarahan > 20 cc, dengan pergeseran struktur midline ≥ 5 mm dan atau kompresi pada sisterna. 2) Perdarahan parenkim otak dengan volume perdarahan > 50 cc 3) Pasien dengan perdarahan parenkim otak dan tanda-tanda deteriorasi neurologis yang progresif sesuai dengan lesi, hipertensi intrakranial yang refrakter dengan medikamentosa, atau didapatkan tanda-tanda efek massa pada CT scan. Waktu dan Metode : Kraniotomy dan evakuasi lesi massa direkomendasikan pada pasien dengan lesi fokal dan dengan indikasi pembedahan di atas. Kraniektomy dekompresi bifrontal dalam 48 jam sejak trauma merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan cerebral edema diffusa dan hipertensi intrakranial membandel dengan pengobatan. Prosedur dekompresi termasuk dekompresi subtemporal, lobektomi temporal dan kraniektomy dekompresi hemisfer, merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan hipertensi intrakranial yang membandel dan trauma parenkimal diffusa dengan klinis dan radiologis adanya impending herniasi transtentorial Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi

Soloniuk

Manajemen dan indikasi

et al, 1986

operasi ICH trauma

TP/DR III/C

kesimpulan Indikasi operasi dibuat berdasarkan data dari yang ada dan waktu kapan untuk dilakuan evakuasi.

2

De Luca

Pengalaman pengarang

et al, 2000

penanganan pasien

IV/C

Operasi dekompresi untuk peningkatan TIK 56

dengan peningkatan

harus dilakukan

tekanan intracranial.

sesegera mungkin, sebelum keadaan yang irrversibel terjadi.

3

Bullock

Manajemen bedah pada

et al., 2006

perdarahan parenkim otak

III/C

Evakuasi massa segera dilakukan bila ada efek masa dan penurunan fungsi neurologi progresif

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Bullock et al. Surgical management of posterior

fossa mass

lesions.

Neurosurgery 2006;58:47– 55. Cooper PR (ed), 1993, Head Injury, 3rd ed, William & Wilkins Baltimore, Maryland, USA. De Luca GP, Volpin L, Fornezza U, et al. The role of decompressive

craniectomy in the treatment

of

uncontrollable

post-traumatic

intracranial hypertension. Acta Neurochir Suppl 2000;76:401-4. Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 Neurotrauma, MC Graw Hill Comp, New York. Palmer JD. Head Trauma in Manual of Neurosurgery Churchill Livingstone, New York 1997. pp 499-580 Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Soloniuk D, Pitts LH, Lovely M, et al. Traumatic intracerebral hematomas:

timing of appearance and indications for operative removal. J Trauma 1986; 26:787-94. Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed MC Graw Hill Comp New York.

57

VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior Standard

: Belum ada data yang mendukung

Guideline

: Belum ada data yang mendukung

Option

: Indikasi, waktu dan metode pembedahan

Indikasi pembedahan

:

1) Pasien dengan efek massa pada CT Scan kepala. Efek massa ditandai dengan : a) Kompresi atau obliterasi ventrikel IV b) Kompresi atau hilangnya sisterna basalis, atau c) Hidrosefalus obstruktif 2) Pasien dengan defisit neurologis Waktu

:

Pasien dengan indikasi untuk dilakukan pembedahan, evakuasi harus dilakukan segera bila ada efek masa dan penurunan fungsi neurologi yang progresif dan penderita dengan GCS > 8 memiliki prognosa / outcome yang lebih baik Metode : Kraniektomi

suboccipital

merupakan

metode

yang

banyak

dipakai

dan

direkomendasikan untuk evakuasi lesi massa fossa posterior Penjelasan Rekomendasi : Trauma yang berakibat lesi massa pada fossa posterior hanya berkisar 3% dari seluruh cedera otak. Meski demikian sebagian besar pasien dengan lesi massa fossa posterior didapati dengan penurunan kesadaran yang progresif dikarenakan ruang fossa posterior yang terbatas dan penekanan langsung pada batang otak. Tindakan bedah yang tepat dan segera dapat memberikan outcome yang baik. Terapi konservatif dapat dilakukan secara selektif pada kasus SDH fossa posterior Pasien dengan perdarahan cerebellum dengan diameter <3cm, atau tidak didapatkan defisit neurologis namun pada CT Scan terdapat efek massa, dapat diterapi konservatif dengan observasi ketat dan CT scan serial 58

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

2

Penulis

Deskripsi

TP/DR III/C

Kesimpulan

Kizikilc

Laporan kasus pasien

et al., 2003

SDH trauma fosa

dapat dilakukan secara

posterior dengan kista

selektif pada kasus

arakhnoid

SDH fosa posterior III/C

Terapi konservatif

Avella

Laporan kasus 24 pasien

Pada pasien dengan

et al., 2003

SDH trauma fosa

GCS > 8 yang segera

posterior

dilakukan operasi memiliki outcome yang lebih baik

3

Bullock

Manajemen bedah lesi

III/C

Evakuasi massa yang

et al., 2006

massa fosa posterior dari

segera bila ada efek

analisa 24 dokumen

masa dan penurunan

medline secara review

fungsi neurologi

sistematis

progresif

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Avella

et

al.

Traumatic Subdural Hematomas of posterior fossa :

Clinicoradiological analysis of 24 patients. 2003. Bullock et al. Surgical management of Posterior fossa mass lession. Neurosurgery 2006;58:47-55 Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore, Maryland, USA Kizikilc et al. Traumatic Posterior Fossa Subdural Hemorraghe Associated with

an Arachnoid Cyst in a Pediatric Patient. Eur J of Trauma 2003; 29: 242-6 Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC Graw Hill Co. New York. Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC Graw Hill Co. New York. 59

VI.5 Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii Standard

: Belum ada data yang mendukung

Guideline

: Pemberian antibiotika profilaksis untuk pencegahan meningitis pada fraktur basis cranii tidak bermakna dibandingkan placebo

Option

: Penatalaksanaan Fraktur basis cranii terdiri dari perawatan konservatif dan atau tindakan pembedahan

Indikasi pembedahan

:

1. Kebocoran likuor serebrospinal setelah trauma yang disertai dengan meningitis. 2. Fraktur transversal os petrosus yang melibatkan otic capsule 3. Fraktur tulang temporal disertai kelumpuhan komplit otot – otot wajah 4. Pneumocephalus atau kebocoran LCS lebih dari lima hari Waktu : Tidak ada konsensus mengenai waktu pelaksanaan operasi. Rekomendasi terakhir menyebutkan diharapkan operasi sudah dilaksanakan dalam waktu 5 hari semenjak LCS fistula diisolasi. Pembedahan secepatnya direkomendasikan untuk mengurangi insiden infeksi Metode : Subtotal petrosectomy yang terdiri dari eksenterasi total dari temporal bone air cell tracts dan obliterasi dari tuba eustachian. Setelah struktur yang cedera diperbaiki atau dibebaskan (nervus fasialis, arteri karotis atau otic capsule), kavitas yang terbentuk diobliterasi dengan graft lemak endogen dan flaps otot temporal. Tindakan operasi untuk otorrhea meliputi craniotomy fossa media atau fossa posterior, menelusuri tulang untuk melihat paparan dura yang menutupi tulang petrosus.

Diusahakan

melakukan

penutupan

primer,

namun

bila

tidak

memungkinkan dapat dilakukan graft fascia lata atau graft lemak atau otot untuk menutupi defek. Tindakan operasi untuk Rhinorrhea disesuaikan dengan lokasi kebocoran yamg diketahui dengan tindakan diagnostik radiologis.

60

Penjelasan Rekomendasi

:

Perawatan konservatif dilaksanakan bila tidak didapatkan kebocoran LCS yang persisten, fraktur tulang temporal, kelumpuhan otot-otot wajah, kehilangan pendengaran, atau kebutaan. Terapi konservatif meliputi pemberian antibiotik empirik intravenous selama 5 hari untuk memberikan kesempatan penyembuhan robekan dura. Data terakhir menganjurkan pemberian PNC 1-2 juta unit/hari pada kasus kebocoran LCS. Kultur nasal dan tenggorokan segera diambil, dan antibiotik yang dipilih sesuai dengan kultur. Pasien dipertahankan dalam posisi bed rest total dengan elevasi posisi the head of bed, untuk mengurangi aliran LCS. Bila kebocoran cairan likuor tidak berkurang dalam waktu 72 jam dengan terapi konservatif, pemasangan lumbar drain dilakukan untuk mengalirkan 150 ml LCS perhari selama 3-4 hari. Diversi LCS dari kebocoran dura dapat membantu penutupan secara spontan. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi penilaian

TP/DR

Kesimpulan

II/B

Pemberian obat antibiotik

Turchan A.

Prospektif case

1995

control insiden

propilaksis untuk

meningitis pada

pencegahan meningitis

pemberian antibiotik

pada fraktur dasar

pada fraktur dasar

tengkorak tidak

tengkorak

bermakna dibandingkan placebo.

2

Katzen T.

Review beberapa

et al., 2007

penelitian tentang

tengkorak dapat

fraktur dasar

dilakukan dengan

tengkorak

konservatif bila tidak

III/C

Penanganan fraktur dasar

didapatkan indikasi pembedahan. 61

3

Bachli H,

Review beberapa

III/C

Penanganan pembedahan

et al., 2009

penelitian mengenai

dari fraktur basis kranii

tingkat keparahan

secara bermakna dapat

dari fraktur basis

didasarkan dari tingkat

kranii

keparahannya (CMF-ISS)

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Bachli H, et al. Skull base and maxillofacial fractures: Two centre study with

correlation ofclinical findings with a comprehensive craniofacial classification system. Journal of Cranio-Maxilofacial Surgery. 2009;37: 305-311 Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore, Maryland, USA. Greenberg, Mark S. 2010. Handbook of NeuroSurgery 7th Ed. Thieme Publishers, pp 887-889. Katzen T., Janahy R, Eby JB, Mathiasen RA., Margulies DM, Shahinian HK.

Craniofacial and Skull Base Trauma. 2007. Available at \AMM/. Skull Base lnstitute' Kaye AH. Essential Neurosurgery.Blackwell Publishing, Ltd. Massachusetts. 2005 pp 50-51 Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC Grow Hill Comp, New York. Turchan A, Kasan U. Penggunaan Kloksasilin Dibandingkan Plasebo Dalam Hal Mencegah

Komplikasi Meningitis Bakteri Pada Penderita Patah

Tulang Dasar Tengkorak.Laboratorium

llmu Bedah RSUD Dr Soetomo.

Fakuhas Kedokteran UniversitasAirlangga. 1995 Wahyuhadi J, dkk. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Tim Neurotrauma RSUD Dr Soetomo. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007, pp 5, 31-32

62

VI.3 Rekomendasi Pembedahan pada Diffuse Axonal Injury (DAI) Standard

: Belum ada data yang mendukung

Guideline

1. Pasien

dengan

DAI

tanpa

lesi

massa

memiliki

tekanan

intrakranial yang normal sehingga pemasangan ICP monitor tidak diperlukan 2. Nimodipine memperbaiki prognosis pasien dengan diffuse axonal injury dan menurunkan terjadinya vasospasm. Option

:-

Penjelasan Rekomendasi : Pasien cedera otak berat dengan diffuse axonal injury tanpa lesi massa harus diintubasi atau ditracheostomy untuk proteksi terhadap jalan nafas, dan diberikan oksigen dengan monitoring terhadap saturasi oksigen secara berkelanjutan. Pasien harus mendapatkan support ventilator apabila didapatkan kondisi gagal nafas atau klinis pasien yang mengalami perburukan. Dapat diberikan sedasi ringan dengan midazolam i.v tunggal atau kombinasi dengan morphine. Nimodipine memperbaiki prognosis pasien dengan diffuse axonal injury dan menurunkan terjadinya vasospasm. Nimodipine diberikan dengan dosis 60 mg setiap 4 jam segera setelah pasien masuk RS Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi

TP/DR II/B

Kesimpulan

Farhaoudi M

Efek nimodipine pada

Nimodipine memperbaiki

et al., 2007

hemodinamik cerebral,

prognosis pasien dengan

vasospasm dan prognosis

diffuse axonal injury dan

jangka pendek pasien

menurunkan terjadinya

dengan diffuse axonal

vasospasm.

injury 2

Liew B

Keluaran pasien cedera

II/B

Pasien dengan DAI tanpa

et al., 2009

otak berat dengan diffuse

lesi massa memiliki

axonal injury yang diterapi

tekanan intrakranial yang

dengan manajemen ICP-

normal sehingga

CPP dibandingkan terapi

pemasangan ICP monitor 63

konservatif di RS. Sultanah

tidak diperlukan bila

Aminah, Johor Bahru

dibandingkan dengan bentuk cedera otak berat yang lain. Keluaran pasien dengan diffuse axonal injury yang diterapi secara konservatif lebih baik dalam hal lama rawatan di RS/ICU dan perbaikan GCS

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Farhoudi M et all., Effects of nimodipine on cerebral hemodynamics, and

prognosis of diffuse axonal injury patients. Neurosciences 2007; Vol. 12 (4) Liew B et al., Severe Traumatic Brain Injury: Outcome in Patients withDiffuse

Axonal Injury Managed Conservatively in Hospital Sultanah Aminah, Johor Bahru – An Observational Study. Med J Malaysia Vol . 64 No. 4 December 2009

64

VII. REKOMENDASI ACUAN PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL (GUIDELINE FOR INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND

TREATMENT ) VII.1 Indikasi

pemasangan

alat

pantau

tekanan

intrakranial-

Ventrikulostomi Standard

: Belum ada data yang mendukung

Guideline

: Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20 mmHg atau lebih rendah memberikan outcome yang signifikan lebih baik dinilai dari status kognitif.

Option

: Indikasi dan metode pemasangan ICP monitor

Indikasi : 1. Pemasangan ICP monitor perlu dilakukan pada pasien COB (GCS 3-8 setelah proses resusitasi) dengan CT Scan kepala abnormal (hematoma, contusio, edema serebri atau penyempitan sisterna basalis). 2. ICP monitor juga dipasang pada pasien COB dengan CT Scan kepala normal jika didapatkan 2 atau lebih dari hal berikut : a. Usia > 40 tahun b. TDS < 90 mmHg c. Postural bilateral atau unilateral Metode: Metode monitoring TIK adalah melakukan pemasangan drainase intraventrikuler, dengan lokasi insersi pada titik kocher. Penjelasan Rekomendasi

:

Tujuan utama Intensif Management Protocol adalah untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak secara adekuat untuk menghindari cedera otak sekunder. Perfusi otak yang menurun dan outcome yang buruk berhubungan dengan hipotensi sistemik dan hipertensi intrakranial. Satu-satunya jalan untuk menentukan CPP adalah dengan memonitor TIK dan tekanan darah sistemik secara kontinyu.

65

Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20 mm Hg atau lebih rendah memberikan outcome yang signifikan dinilai dari status kognitif. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi penelitian

TP/DR

Kesimpulan

II/B

Pasien dengan cedera kepala

Randall M.

Monitoring tekanan

et al., 2012

intrakranial

berat dengan tekanan intra

dipertimbangkan

kranial 20 mm Hg atau lebih

sebagai terapi standar

rendah memberikan outcome

untuk pasien cedera

yang signifikan dinilai dari

kepala berat

status kognitif.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore, Maryland, USA. Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC Grow Hill Comp, New York. Palmer JD. HEAD TRAUMA in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone, New York 1997. pp 499-580 Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Randall M, Chesnut, M.D, Temkin N, A trial of Intravranial-Pressure Monitoring

in Traumatic brain injury. J Neurotrauma 2012; 367; 26; 2471-81. Wilkins RH and Rengachary SS (Eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd Ed MC Graw Hill Comp New York. VII.2 Manajemen Tekanan Intra Kranial

Standard

: Belum ada data yang mendukung

Guideline

: Belum ada data yang mendukung

Option

: Beberapa option dalam penanganan ICP

66

Penjelasan rekomendasi : Pada beberapa jurnal sudah disusun guideline penanganan peningkatan TIK beserta Beberapa pilihan yang didapatkan dari penelitian.: •

Pemasangan ICP Monitor



Menjaga CPP>70 mmHg



Drainase Cairan Serebrospinal(CSF)



Manitol 0,25 - 1,0 gr/KgBB



Hyperventilation PaCO2 30-35 mmHg



Terapi tersier: barbiturat dosis tinggi, hyperventilation PaCo2<30mmHg,

Hypothermia, Decompressive Craniecktomy.

67

Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan I

Pemasangan   ICP    Monitor  

Menjaga   CPP>70mmHg  

Hipertensi  TIK  

CT  Scan   ulang  

Pertahankan   terapi  TIK  

Manitol   0.25-­‐1.0  g/KgBB  

ya a  

Hipertensi  TIK?  

tidak j  

Hiperventilasi  sampai   PaCO2  30-­‐35mmHg  

ya  

Hipertensi  TIK?  

tidak  

Terapi  tersier   penanganan  TIK  

Dikutip dari Guidelines For the Management of Severe Head Injury (Journal of Neurotrauma

November 1996)

68

Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan II

Sedasi  dan  analgesik  

Penggunaan  Ventilator   (PaCO2  30-­‐35  mmHg,  PEEP  sampai  10  cmH2O)  

Head  Up  30°  dengan  leher   yang  lurus   Terapi  Dasar   Terapi  Lanjutan   Manitol  

THAM  

Cairan  hipertonik  

Drainase  CSF  

Decompressive  Craniectomy  

Koma  dengan  barbiturat  

Dikutip dari Valadka AB, Andrews BT. Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Questions. 2004

69

Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan III

Sedasi    

Drainase  CSF  

Manitol  

Mild  Hiperventilasi-­‐   hipothermi  32  

Hiperventilasi  agresif  

Barbiturat  

Dikutip dari Head Injury Pathofiology and management of Severe Closed Injury,Peter Reilly 1997

70

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 2 3

Pengarang

Diskripsi

Bullock

Jalur kritis

et al., 1996

penanganan TIK

Peter Reilly,

Algoritma

1997

penanganan TIK

Valadka

Algoritma

et al., 2004

penanganan TIK

TP/DR

Kesimpulan

III/C

Sesuai skema I, drainase CSF setelah itu manitol

III/C

Skema III,drainase CSF dulu baru pemberian manitol

III/C

Sesuai skema II, pemberian manitol setelah itu drainase CSF

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi Bullock RM, Povlishock JT. Guidelines for the management of Severe Head Injury, Journal of Neurotrauma,November 1996. Reilly P,Head Injury : Pathophysiology and management of Severe Closed Injury, 1997 Valadka, Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Question,2004

71

VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIK PADA ANAK VIII.1 Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi Standard

: Belum ada data yang cukup

Guideline

: Hipotensi harus segera diatasi dengan cairan resusitasi

Option

: Kontrol terhadap jalan nafas harus dilakukan pada anak dengan GCS ≤8

Penjelasan Rekomendasi

:

Pada anak, hipotensi didefenisikan sebagai penurunan tekanan darah dibawah 5 persentil sesuai usia atau menunjukkan tanda-tanda syok. Batas bawah TDS (persentil kelima) sesuai usia dapat diperkirakan dengan formula : 70 mmHg + (2 x Usia dalam tahun). Oksigenasi dan ventilasi diawasi ketat dengan pulse oxymetri dan End-tidal CO2 monitoring atau pemeriksaan Gas Darah (BGA) secara berkala.

Hipoksia didefenisikan sebagai : apnea, Cyanosis, PaO2 < 60-65 mmHg, atau saturasi oksigen 90%. Cyanosis sentral bukan indikator yang awal dan tepat adanya hipoksia pada anak-anak.

Hipoventilasi didefenisikan sebagai pernafasan yang tidak adekuat sesuai usianya, pernafasan yang tidak teratur dan dangkal, periode apnea yang sering, atau didapatkan tanda hiperkarbia. Hipoventilasi adalah indikasi untuk dilakukan kontrol jalan nafas dan assisted ventilation dengan oksigen 100%. Pada anak, resusitasi cairan merupakan indikasi bila didapatkan tanda-tanda penurunan perfusi meskipun tekanan darah sudah adekuat. Syok biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, evaluasi adanya cedera spinal atau cedera lainnya harus dilakukan. Restriksi cairan untuk membatasi edema otak merupakan kontraindikasi pada penanganan cedera otak. Jika akses vaskuler perifer sulit didapatkan, infus intraosseus dan obat-obatan harus dilakukan. Mortalitas pada anak-anak lebih rendah dibandingkan dengan dewasa. Pada anak hanya hipotensi yang berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi, 72

sedangkan pada dewasa faktor hipotensi dan hipertensi. Hasil akhir yang jelek berhubungan dengan : GCS < 8, abnormalitas pupil, defisit motorik, hipoksia, hipotensi dan cedera ekstrakranial. Hipotensi dengan atau tanpa hipoksia meningkatkan angka mortalitas secara signifikan Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi Penelitian

TP/DR

Kesimpulan

Fisher

Penelitian double-blind cross

III/C

et al, 1992

over membandingkan

3% dapat menurunkan

penggunaan cairan saline

TIK dan mengurangi

3% (1025 mOsm/L) dan

intervensi yang lain

0,9% (308 mOsm/L) pada

( thiopental dan

anak dengan cedera otak

hiperventilasi). Kadar

berat

Serum sodium

Cairan hipertonis saline

meningkat sekitar 7 mEq/L setelah pemberian saline 3% 2

Khanna

Studi prospektif tentang

III/C

Terjadi penurunan yang

et al., 2000

penggunaan cairan

signifikan pada TIK dan

hipertonis saline 3% (1025

peningkatan CPP selama

mOsm/L)

pemberian cairan saline 3% Timbulnya hipernatremi dan hiperosmoler dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak

3

Peterson

Penelitian retrospektif untuk

III/C

Cairan hipertonis Saline

et al., 2000

mengetahui efek cairan

3%efektif dalam

hipertonis Saline 3% dalam

menurunkan TIK

menurunkan TIK 4

Simma

Penelitian prospektif random

III/C

Pasien yang diterapi

et al., 2000

terbuka membandingkan

dengan salin hipertonis

penggunaan saline

memerlukan intervensi 73

hipertonis (598 mOsm/L)

tambahan yang lebih

dengan ringer laktat yang

sedikit dibandingkan

diberikan lebih dari 3 hari

dengan pemberian

pada 35 anak dengan

dengan ringer laktat

cedera otak berat

dalam mengatur TIK. Group dengan pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, lebih sedikit komplikasi dibandingkan dengan penggunaan ringer laktat

5

Sakellaridis

Penelitian prospektif untuk

II/B

Tidak ada perbedaan

et al., 2011

membandingkan efek dari

diantara kedua terapi

mannitol dan saline

baik dalam hal

hipertonis terhadap

penurunan ICP dan

hipertensi intrakranial pada

durasi kerjanya

pasien dengan cedera otak berat Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi : Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial

pressure in children after head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4 : 4-10 Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment

of severe refractory posttraumatic intracranial hypertension in pediatric traumatic brain injury. Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151

74

Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al . Prolonged hypernatremia controls elevated

intracranial pressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143 Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and

hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg 2011; 114 : 545-548 Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled

study of fluid management in children with severe head injury : Lactated Ringer’s solution versus hypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 : 1265-1270 VIII.2 Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial Standard

: Belum ada data yang cukup

Guidelines

: Belum ada data yang cukup

Option

: ICP Monitor dapat dilakukan pada bayi dan anak dengan cedera otak berat

Penjelasan Rekomendasi: ICP monitor diindikasikan pada penderita COB dengan CT Scan abnormal. Penderita COB dengan CT Scan normal dipasang ICP monitor bila didapatkan minimal 2 dari keadaan berikut : 1)

Motor posturing

2)

Hipotensi sistemik

Fontanela mayor dan atau sutura yang masih terbuka pada bayi tidak dapat menyingkirkan kemungkinan terjadinya TIK yang tinggi atau menyingkirkan penggunaan ICP monitor ICP monitor tidak dianjurkan rutin pada COS dan COR. Belum ada penelitian RCT untuk mengevaluasi terhadap hasil akhir pengaruh penanganan COB dengan atau tanpa pemasangan ICP monitor. TIK > 20 mmHg berhubungan dengan peningkatan resiko kematian. TIK > 35 mmHg dan CPP < 55 mmHg (dewasa) dan 45 mmHg (anak) merupakan faktor prediktif untuk hasil akhir yang jelek 75

Anak-anak dengan Cedera pada brain stem dengan TIK > 40 mmHg berhubungan dengan kematian dan vegetative state yang tinggi. Tujuan terapi pasien anak dengan cedera otak berat adalah normalisasi TIK (< 20 mmHg), optimalisasi CPP dan CBF, mencegah terjadinya cedera otak sekunder dan menghindari terjadinya komplikasi berkaitan dengan modalitas terapi yang bervariasi Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi Penelitian

TP/DR

Eder

Studi retrospektif pada

et al., 2000

anak dengan cedera

cedera pada batang otak

otak berat.

dan TIK > 40 mm

Membandingkan

berhubungan dengan

beberapa faktor dan TIK

kematian dan kondisi

monitor terhadap

vegetatif yang tinggi.

III/C

Kesimpulan Anak-anak dengan

outcome 2

Peterson

Penelitian retrospektif

III/C

Cairan hipertonis Saline

et al., 2000

untuk mengetahui efek

3% efektif dalam

cairan hipertonis Saline

menurunkan TIK.

3% dalam menurunkan TIK 3

4

5

Downard

Penelitian retrospektif

III/C

et al., 2000

pada anak yang

berhubungan dengan

dilakukan pemasangan

peningkatan resiko

TIK

kematian III/C

TIK > 20 mmHg

Chambers

Penelitian observational

et al., 2001

pada pada anak-anak

merupakan prediktif

dan dewasa yang

faktor untuk hasil akhir

dilakukan TIK dan CPP

yang jelek pada anak

monitor

dan dewasa III C

TIK > 35 mm

14% survivor pada

White

Penelitian retrospektif

et al., 2001

dan observasional

kelompok 1 dan 41%

terhadap 136 pasien di

nonsurvivor pada

NICU dan PICU dengan

kelompok 2 memiliki ICP 76

ICP monitor

> 20mmHg pada 72 jam pertama. ICP pada 6 jam, 12 jam dan 24 jam pertama yang rendah berhubungan secara signifikan dengan

outcome yang baik. 6

Cruz

Penelitian retrospektif

III C

ICP yang tinggi pada

et al., 2002

mengenai efek dari

hari 1-5 pertama,

pemasangan ICP pada

berhubungan dengan

pasien pediatric

penurunan ekstraksi oksigen otak dan prognosis yang buruk.

7

Pfenninger,

Penelitian retrospektif

III C

Hipertensi intrakranial

Santi, 2002

mengenai hubungan

sebanding dengan

pengukuran ICP dan

prognosis buruk.

monitoring tekanan vena jugular dengan outcome pada pasien pediatric 8

Adelson

Penelitian rondomized

et al, 2005

controlled trial terapi

prediktor buruk untuk

hyptotermi dan

prognosis yang paling

normotermi pada terapi

sensitif. Rerata ICP yang

peningkatan TIK pada

rendah berhubungan

pasien pediatric

dengan prognosis yang

IIIC

ICP > 20 adalah

baik 9

Wahlstrom


Penelitian observasional

III C

Pada penelitian ini tidak

et al, 2005

mengenai terapi

terbukti adanya

monitoring ICP

hubungan signifikan

menggunakan protokol

antara ukuran ICP dan 77

Lund pada pasien

outcomen pasien.

pediatri 10

Stiefel M,

Penelitian retrospektif

III/C

Pemasangan monitor

et al, 2006

pada pasien anak-anak

PO2jaringan merupakan

yang dilakukan

tambahan yang berguna

pemasangan monitor

dan aman pada

TIK dan PO2 jaringan

pemasangan monitor TIK

11

Grinkeviciute

Penelitian observasional

III C

Pada penelitian ini tidak

et al, 2008

satu senter mengenai

ada perbedaan outcome

hubungan beberapa

pada kelompok dengan

terapi TIK tinggi pada

tekanan ICP rerata baik

pasien pediatri

(22.2mmHg) dan buruk (24.6mmHg)

12

Jagannathan

Penelitian observasional

III C

Outcome yang baik

et al, 2008

mengenai terapi

berhubungan dengan

pemasangan ICP dalam

manajemen kenaikan

hubungannya dengan

TIK yang baik.

tindakan craniektomy dekompresi pada pasien pediatric Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi : Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate

hypothermia

after severe traumatic brain injury in children.

Neurosurgery 2005; 56:740 –754; discussion 740 –754 Chambers IR, Treadwell L, Mendelow AD : Determination of treshold levels of

cerebral perfusionpressure and intracranial pressure in severe brain injury

by

using

receiver

operatingcharacteristic

curves

:

An

observational study in 291 patients. J Neurosurg 2000; 94 :412-416 Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and 78

intracranial hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma: Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774 –779; discussion 779 –780 Downard C, Hulka F, Mullins R, et al : Relationship of cerebral perfusion

pressure and survival in pediatric brain-injured patients. J Trauma 2000; 49: 654-659 Elder HG, Legat JA, gruber W : Traumatic brain stem lesion in children. Childs Nerv Syst 2000;16: 21-24 Grinkeviciute DE, Kevalas R, Matukevicius A, et al: Significance of intracranial

pressure and cerebral perfusion pressure in severe pe- diatric traumatic brain injury. Medicina (Kaunas, Lithuania) 2008; 44:119 –125 Jagannathan J, Okonkwo DO, Yeoh HK, et al: Long-term outcomes and

prognostic factors in pediatric patients with severe traumatic brain injury and elevated intracranial pressure. J Neurosurg Pediatr 2008; 2:240 –249 Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls

elevated intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143 Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the

results improving? Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120 Stiefel M, Joshua D, Storm P, et al : Brain tissue oxygen monitoring in

pediatric patients with severe traumatic brain injury. J Neurosurg 2006; 105:281-286 White JR, Farukhi Z, Bull C, et al: Predictors of outcome in severely head-

injured children. Crit Care Med 2001; 29:534 –540 Wahlstrom MR, Olivecrona M, Koskinen LO, et al: Severe traumatic brain

injury in pediatric patients: Treatment and outcome using an intracranial pressure targeted therapy— The Lund concept. Intensive Care Med 2005; 31:832– 839

79

VIII.3 Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat Standard

: Belum ada data yang cukup

Guidelines

: Belum ada data yang cukup

Option

1. Hipertensi intrakranial didefenisikan sebagai peningkatan patologis pada TIK 2. Tatalaksana segera dimulai bila TIK ≥ 20 mmHg 3. Interpretasi dan terapi hipertensi intrakranial didasarkan pada titik kritis TIK yang dikaitkan dengan : pemeriksaan klinis, pemantauan variabel fisiologis misal CPP dan foto serial

Penjelasan Rekomendasi : Pengaruh hipertensi intrakranial atau peningkatan TIK yang patologis terhadap outcome COB pada anak-anak berkaitan dengan nilai puncak TIK dan durasi peningkatan tersebut. Outcome yang jelek bila TIK > 30 mmHg dibandingkan TIK < 20 mmHg. Batas tertentu TIK untuk memulai pengobatan pada anak-anak dengan COB belum dapat ditegakkan Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No

Penulis

Deskripsi Penelitian

TP/DR

Kesimpulan

1

Shapiro and

Studi prospektif non random

III/C

Peningkatan TIK >20

Marmarou,

menentukan hubungan

mmHg berbanding

1982

antara TIK dan PVI (Pressure

terbalik dengan PVI

Volume Index)

(Pressure Volume Index)

2

3

Cho

Penelitian retrospektif pada

et al., 1995

shaken baby syndrome pada

bila TIK > 30 mmHg

pasien < 2 tahun, yang

dibandingkan TIK <

dipasang TIK / operasi.

20 mmHg

Sharples

Penelitian prospektif.

et al., 1995

Mengetahui hubungan antara

III/C

III/C

Outcome yang jelek

CBF berbanding terbalik dengan TIK

CBF dengan TIK

80

4

III/C

14% survivors dan

White

Penelitian retrospektif dan

et al., 2001

observasional terhadap 136

41% nonsurvivors

pasien di NICU dan PICU

memiliki ICP >

dengan ICP monitor

20mmHg pada 72 jam pertama. ICP pada 6 jam, 12 jam dan 24 jam pertama yang rendah berhubungan secara signifikan dengan outcome yang baik.

5

Cruz

Penelitian prospektif pada

III C

Rerata ICP 15-21

et al., 2002

terapi monitoring ICP pada

mmHg pada hari ke 2-

pasien pediatri.

5 didapatkan pada kelompok pasien pasien dengan outcome yang baik. Rerata ICP 19-26 mmHg pada hari ke 25 didapatkan pada kelompok pasien dengan outcome yang buruk.

6.

Pfenninger,

Penelitian retrospektif

III C

Hipertensi intrakranial

Santi, 2002

mengenai hubungan

dengan tinggi > 20

pengukuran ICP dan

mmHg sebanding

monitoring tekanan vena

dengan prognosis

jugular dengan outcome

buruk.

pada pasien pediatric 7

Adelson

Penelitian rondomized

et al., 2005

controlled trial terapi

IIIC

Rerata ICP pada anak-anak dengan 81

hyptotermi dan normotermi

prognosis baik (11.9

pada terapi peningkatan TIK

+ 4.7 mm Hg) vs

pada pasien pediatri

prognosis buruk (24.9 + 26.3 mm Hg). Ukuran ICP > 20 mmHg sebanding dengan prognosis buruk

8

9

Kan

Penelitian prospektif untuk

et al., 2006

mengetahui mortalitas dan

kraniektomi

morbiditas pada pasien anak-

dekompresi hanya

anak dengan cedera otak

untuk peningkatan

berat yang dilakukan

TIK memiliki

kraniektomi dekompresi

mortalitas yang tinggi

Grinkeviciute Penelitian observasional satu

et al., 2008

III/C

III C

Pasien yang dilakukan

Tidak ada perbedaan

senter mengenai hubungan

outcome pada

beberapa terapi TIK tinggi

kelompok dengan

pada pasien pediatri

tekanan ICP rerata baik (22.2mmHg) dan buruk (24.6mmHg)

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi : Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate

hypothermia

after

severe

traumatic

brain

injury

in

children.

Neurosurgery 2005; 56:740 –754; discussion 740 –754 Cho D, Wang Y, Chi C : Decompressive craniotomy for acute shaken/impact

baby syndrome. Pediatr Neurosurg 1995; 23: 192-198 Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and

intracranial hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma: Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774 –779; discussion 779 –780 82

Grinkeviciute DE, Kevalas R, Matukevicius A, et al: Significance of intracranial

pressure and cerebral perfusion pressure in severe pe- diatric traumatic brain injury. Medicina (Kaunas, Lithuania) 2008; 44:119 –125 Kan P, Amini A, Hansen K, et al : Outcome after decompressive craniectomy

for severe traumatic brain injury in children. Journal Neurosurgery: Pediatrics 2006; 105:337-342 Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the

results improving? . Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120 Shapiro K, Marmarou A : Clinical applications of the pressure-volume index on

treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819825 Sharples PM, Stuart AG, Matthews Ds, et al : Cerebral blood flow and

metabolism in children with severe head injury. Part I : Relation to age, Glasgow Coma Score, outcome, intracranial pressure, and time after injury. JNNP 1995; 58 : 145 -152 White JR, Farukhi Z, Bull C, et al: Predictors of outcome in severely head-

injured children. Crit Care Med 2001; 29:534 –540 VIII.4 Penggunaan Terapi Hiperosmolar Untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial Standard

: Pemberian manitol lebih baik dibandingkan dengan pemberian pentobarbital dan kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan pemberian cairan hipertonik saline.

Guidelines

: Tidak ada perbedaan diantara mannitol dan saline hipertonis terhadap hipertensi intrakranial pada pasien dengan cedera otak berat dalam hal penurunan ICP dan durasi kerjanya

Option

: Cairan hipertonis NaCl 3% dan manitol dapat digunakan untuk mengendalikan TIK

Penjelasan Rekomendasi

:

Manitol merupakan pilihan dalam manajemen peningkatan TIK dan cedera otak. Manitol dapat menurunkan TIK melalui 2 mekanisme : 83

1. Menurunkan TIK dengan menaikkan viskositas darah dengan mengurangi resultante diameter pembuluh darah → Penurunan volume darah otak dan TIK ( bersifat sementara < 75 menit ) 2. Efek Osmotik yang berkembang secara perlahan 15-30 menit, mengikuti pergerakan air secara graduil dari parenkim (ICF) ke sirkulasi (IVF) → efek timbul sekitar > 6 jam dan memerlukan Blood Brain Barrier yang intak Manitol efektif dalam dosis bolus antara 0,25 gr/kgBB -1 gr/kgBB. Persyaratan penggunaan manitol : 1. Euvolemia harus dipertahankan dengan terapi cairan 2. Pemasangan kateter urethra diwajibkan untuk mencegah ruptur buli 3. Osmolalitas serum dipertahankan di bawah 320 mOsm/L Cairan hipertonis salin 3% efektif dalam menurunkan TIK dan mengurangi intervensi yang lain ( Thiopental dan hiperventilasi ) → me↓ TIK dan me↑ CPP. Group dengan pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, dan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan penggunaan RL. Dosis efektif dalam infus kontinyu salin 3% adalah 0,1 ml/kgBB/jam-1,0 ml/kgBB/jam. Osmolalitas serum dipertahankan pada 320 mOsm/L. Kadar serum sodium meningkat sekitar 7 mEq/L setelah pemberian salin 3%. Timbulnya hipernatremia dan hiperosmolar dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi penelitian

TP/DR

Kesimpulan

Fisher

Penelitian double-blind

et al., 1992

cross over

3%dapat menurunkan

membandingkan

TIK danmengurangi

penggunaan cairan saline

intervensi yanglain

3% (1025 mOsm/L) dan

(thiopental

0,9% (308 mOsm/L) pada

danhiperventilasi).

anak dengan cedera otak

Kadar Serum

berat.

sodiummeningkat sekitar

III/C

Cairan hipertonis saline

84

7 mEq/Lsetelah pemberian saline3% 2

Khanna

Studi prospektif tentang

III/C

Terjadi penurunan yang

et al., 2000

penggunaan cairan

signifikan pada TIK dan

hipertonis saline 3%

peningkatan CPP selama

(1025mOsm/L)

pemberian cairan saline 3%Timbulnya hipernatremia dan hiperosmoler dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak.

3

Peterson

Penelitian retrospektif

III/C

Cairan hipertonis Saline

et al., 2000

untuk mengetahui efek

3% efektif dalam

cairan hipertonis Saline

menurunkanTIK.

3% dalam menurunkan TIK. 4

Simma

Penelitian prospektif

III/C

Pasien yang diterapi

et al., 2000

random terbuka

dengan salin hipertonis

membandingkan

memerlukan intervensi

penggunaan saline

tambahan yang lebih

hipertonis (598 mOsm/L)

sedikit dibandingkan

dengan ringerlaktat yang

dengan pemberian

diberikan lebih dari 3 hari

dengan ringer laktat

pada 35 anak dengan

dalam mengatur TIK.

cedera otak berat

Groupdengan pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, lebih sedikit komplikasi dibandingkan dengan 85

penggunaan ringer laktat 5

Wakai, 2013

Randomized control trial

I/A

Pemberian manitol lebih

dengan pemberian manitol

baik dibandingkan

pada pasien trauma akut

dengan pemberian

cedera otak sedang dan

pentobarbital dan kurang

berat

menguntungkan jika dibandingkan dengan pemberian cairan hipertonik saline.

6

Sakellaridis

Penelitian prospektif untuk

II/B

Tidak ada perbedaan

et al., 2011

membandingkan efek dari

diantara kedua terapi

mannitol dan saline

baik dalam hal

hipertonis terhadap

penurunan ICP dan

hipertensi intrakranial

durasi kerjanya

pada pasien dengan cedera otak berat Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi : Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial

pressure in childrenafter head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4 : 4-10 Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the

treatment of severerefractory posttraumatic intracranial hypertension in pediatric traumatic brain injury.Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151 Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls

elevated intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143 Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and

hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg 2011; 114 : 545-548 Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled

study of fluidmanagement in children with severe head injury : Lactated 86

Ringer’s solution versushypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 : 1265-1270 VIII.5 Peran pengeluaran LCS Pada pengendalian TIK Standard

: Belum ada data yang cukup

Guidelines

: Drainase cairan serebrospinal (3 ml) secara signifikan mengurangi ICP dan meningkatkan CPP selama setidaknya 10 menit.

Option

: Pengeluaran atau drainase dapat dilakukan melalui kateter ventrikulostomi atau dikombinasi dengan drainase lumbal

Penjelasan Rekomendasi: Ditemukan studi kelas III pada anak dengan penggunaan darinase ventrikuler pada TBI. Sahpiro dan marmarou melakukan studi retrospektif pada anak dengan TBI berat, didapat score ≤ 8 pada Glasgow Coma Scale (GCS), yang mana semuanya dilakukan ventrikel drainase. Variabel terukur termasuk TIK, pressure-volume index, dan angka kematian. Drainase LCS akan meningkatkan Pressure Volume Index (PVI) dan penurunan TIK, kematian

hanya

terjadi

pada

pasien

dengan

hipertensi

intrakranial

tak

terkendali/refrakter. Drainase LCS tidak terbatas dari rute ventrikel. Drainase lumbal sebagai kombinasi perlu dipertimbangkan pada kasus : 1) Hipertensi

intrakranial

yang

membandel

setelah

pamasangan

kateter

ventrikulostomi yang berfungsi baik, 2) Sisterna basal yang terbuka 3) Dan tidak ada gambaran lesi massa yang besar atau pergeseran kompartemen pada foto Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi penelitian

TP/DR III/C

Kesimpulan

Shapiro,

Penelitian retrospektif,

Drainage meningkatkan

Marmaron, 1982

22 pasien dengan EVD

PVI, menurunkan TIK,

ditentukan TIK/PVI

kematian hanya pada 87

pasien dengan TIK tak terkendali 2

3

Baldwin and

laporan serial klinis, lima

III/C

Tiga dari lima selamat

rekate, 1991-

pasien dengan drain

1992

lumbar

Levy

Penelitian retrospektif,

et al., 1995

16 pasien dengan

kematian pada dua

lumbar drain

pasien dengan TIK tak

setelah penurunan TIK III/C

Penderita dari 16 orang ,

terkendali 4

Kerr E Mary,

Case control, untuk

et al., 2001

mengetahui efek

serebrospinal (3 ml)

drainase LCS pada ICP

secara signifikan

monitor terhadap

mengurangi ICP dan

perfusi otak

meningkatkan CPP

II/B

Drainase cairan

selama setidaknya 10 menit. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi : Baldwin HZ, Rekate HL : Preliminary experience wih controlled external

lumbar drainage in diffuse pediatric head injury. Pediatry Neurosurg 1991-2; 17: 115-120 Kerr ME, et al : Dose response to cerebrospinal fluid drainage on cerebral

perfusion in traumatic brain-injured adult, Neurosurg Focus 11 (4):Article 1; 1-6. 2001 Levy DI, Rekate HL, Cherny WB, et al : Controlled lumbar drainage in

pediatric head injury. J Neurosurg 1995; 83 : 452-460. Shapiro K, Marmarou A : Clinical application of the pressure-volume index on

treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819825

88

VIII.6

Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB

Standard

: Belum ada data yang cukup

Guidelines

: Belum ada data yang cukup

Option

: Hiperventilasi ringan atau profilaksis (PaCO2<35 mmHg) harus dihindari pada anak

Penjelasan Rekomendasi: Hiperventilasi → Hipocapnia (PaCO2 ↓) → Vasokonstriksi otak → Pe↓ CBF → pe ↓ volume darah otak → pe ↓ TIK. Terapi hiperventilasi menunjukkan keuntungan pada cedera otak dengan berbagai mekanisme yaitu : 1) Penurunan asidosis otak 2) Peningkatan metabolisme otak 3) Perbaikan tekanan darah dari aliran darah otak Hiperventilasi → Pe ↓ TIK dan pe ↑ CPP 4) Peningkatan perfusi pada area otak yang iskemia Hiperventilasi ringan (PaCO2 30-35 mmHg) dapat dipertimbangkan pada kondisi hipertensi intrakranial yang tidak turun dengan : 1. Sedasi dan analgesia 2. Blokade neuromuskular 3. Pengeluaran LCS 4. Terapi hiperosmolar Hiperventilasi agresif (PaCO2 < 30 mmHg) dapat dipertimbangkan sebagai terapi tingkat kedua pada hipertensi intrakranial refrakter. CBF, SaO2 vena jugularis, atau monitor oksigen jaringan otak dianjurkan untuk membantu mengidentifikasi terjadinya

iskemia

pada

kondisi

ini.

Hiperventilasi

agresif

singkat

dapat

dipertimbangkan pada kasus herniasi otak atau penurunan kondisi neurologis. Hiperventilasi dihubungkan dengan resiko iskemia iatrogenik. Hipocapnia (alkalosis respiratoris) menimbulkan pergeseran ke kiri dari kurva dissosiasi Hb-O2 → mengganggu pembawaan oksigen ke jaringan otak yang cedera dan masih intak. 89

Tidak ada bukti bahwa hiperventilasi sedang (PaCO2 25 – 30 mmHg) pada awal cedera otak dapat menyebabkan iskemia global ataupun regional. Meskipun aman, Hiperventilasi sementara masih diragukan manfaatnya.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1

Penulis

Deskripsi penelitian

TP/DR II/B

Kesimpulan

Stringer

Penelitian serial non

Iskemia karena

et al.,1993

randomuntuk pengukuran

hiperventilasi terjadi dan

CBF.Diukur TIK, CPP,

mempengaruhi jaringan

MAP,ETCO2, XeCT, CBF

otak yang cedera dan masih intak.

2

Skippen

Penelitian kohort

et al.,1997

prospektif,23 anak dengan

II/B

Bila PaCO2 turun, TIK akan turun dan CPP meningkat

cedera otakberat, GCS < 8. Umur 3 hingga 16 thn, rata-rata 11 tahun. PaCO2 dipertahankan pada > 35, 25-35 dan < 25torr 3

Diringer

Penelitian kohort

II/B

Hiperventilasi pada awal

et al.,2002

prospektif, 13 pasien

cedera otak tidak terbukti

dengan cedera otak berat,

menyebabkan iskemia

dibagi dalam 2 grup, membandingkan grup yang diterapi dengan hiperventilasi sedang, dan berat Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi : Diringer MN, Videen TO, Yundt K, et al. Regional Cerebrovascular and

Metabolic Effects of Hyperventilation after Severe Traumatic Brain Injury. J Neurosurg 2002;96:103-108 90

Skippen P, Seear M, Poskitt K, et al. Effect of hyperventilation on regional

cerebral blood flow inhead-injured children. Crit Care Med 1997; 25: 1402-1409 Stringer WA, Hasso AN, Thompson JR, et al. Hyperventialtion-induced

cerebral ischemia inpatients with acute brain lesions : Demonstration by Xenon -enhanced CT.AJNR 1993;14: 475-484 VIII.7 Pembedahan Untuk Hipertensi Intrakranial Pada Pediatri Standard

: Belum ada data yang cukup

Guidelines

: Belum ada data yang cukup

Option

1. Kraniektomy dekompresi perlu dipertimbangkan pada pasien pediatri dengan: a. Cedera Otak Berat (COB) b. Edema serebri (brain swelling) c. Hipertensi intrakranial yang membandel terhadap terapi medis intensif d. COB dengan hipertensi intrakranial yang tampaknya akan mengalami perbaikan dari cedera otaknya. 2. Kraniektomy dekompresi tampaknya kurang efektif pada pada pasien cedera otak sekunder yang berat 3. Outcome yang baik dapat diharapkan pada kasus penurunan GCS sekunder dan atau sindroma herniasi otak yang masih dalam proses dalam waktu 48 jam pertama setelah cedera 4. Pasien dengan GCS 3 dan tidak membaik adalah kelompok dengan outcome yang tidak baik

Penjelasan Rekomendasi

:

Tindakan pembedahan secara umum bertujuan kontrol terhadap hipertensi intrakranial yang berat. Tindakan kraniektomy dekompresi untuk kasus traumatic brain injury pada anak-anak menurunkan TIK secara

signifikan (rata-rata

penurunan 9 mmHg). Outcome yang baik didapatkan pada : usia muda, operasi lebih awal dan TIK tidak pernah > 40 mmHg 91

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No. Penuls 1.

Deskripsi Penelitian

Cho et al., 1995 Penelitian retrospektif pada

TP/DR Kesimpulan III/C

Pasien yang dioperasi

pada anak-anak dengan

survivalnya lebih baik

shaken baby syndrome yang

dibandingkan yang

dilakukan operasi

hanya mendapat

dekompresi atau terapi

terapi medis

medis 2.

Polin

Penelitian case control, 35

III/C

Outcome yang baik

et al., 1997

pasien cedera otak berat

didapatkan pada usia

yang dilakukan dekompresi

muda, operasi lebih

kraniektomi dengan pre dan

awal dan TIK tidak

post operatif TIK monitor

pernah >40 mmHg

dan terapi medis 3.

4.

Taylor

Single center PRCT, 27

III/C

et al., 2001

cedera otak berat pada anak

dekompresi secara

dengan hipertensi

nyata menurunkan

intrakranial yang membandel

TIK dalam 48 jam

dengan terapi medis dan

setelah dirandomisasi

drainase ventrikel yang

dan hasilnya tidak

dirandom antara bitemporal

terlalu bermakna

dekompresi kraniotomi vs

terhadap perbaikan

tanpa pembedahan

klinis III/C

Kraniotomi

Hejazi

Penelitian retrospektif 7

Semua pasien

et al., 2002

kasus serial pada pasien

mengalami perbaikan

pediatri yang mengalami

komplit pada

brain swelling dengan ICP

monitoring selama 8

inisial>45mmHg telah

bulan post operasi.

dilakukan craniektomi dekompresi 5.

Figaji

Studi pada 5 kasus pasien

et al., 2003

pediatri yang mengalami

III/C

Semua pasien mengalami perbaikan 92

6.

Ruf et al., 2003

deteriorisasi neurologis (GCS

dan skor GOS 4 – 5

<8) yang dilakukan tindakan

pada monitoring14-

craniektomi.

40 bulan.

Studi kasus serial pada 6

III/C

3 pasien mengalami

kasus dengan skor GCS 3-7,

perbaikan komplit, 2

kisaran usia 5-11 tahun yang

pasein mengalami

dilakukan craniektomy

kecacatan pada

unilateral dan bilateral

monitoring selama 6

dekompresi.

bulan. ICP post operasi teregulasi dibawah 20 mm Hg.

7.

Kan et al., 2006

Studi kasus serial pada 6

III/C

5 dari 6 pasien

pasien pediatri dengan

meninggal. 3 dari 4

rerata skor GCS 4.6 yang

pasien memiliki ICP <

dilakukan craniektomi

20 mmHg

dekompresi. 8.

Rutgliano

Studi kasus retrospektif pada

III/C

5 dari 6 pasien

et al, 2006

6 pasien dengan kisaran usia

memiliki ICP tidak

dibawah 20 tahun yang

tinggi. 1 pasien

dilakukan craniektomy

mengalami kenaikan

dekompresi

ICP, setelah dilakukan operasi kedua ICP kembali normal.

9.

Skoglund

pasien pediatri dengan GCS

III/C

3 pasien memiliki

et al., 2006

3-15, riwayat deteriorisasi,

skor GOS 5pada

herniasi dan kenaikan ICP

monitoring selama 1

yang dilakukan unilateral

tahun, 1 pasien

atau bilateral craniektomy

dengan GOS 4, 3

dekompresi.

pasien dengan GOS 3 dan 1 pasien meninggal. 93

10.

Jagannathan

Studi kasus serial pada 23

III/C

ICP yang tinggi

et al., 2007

pasien dengan rerata usia

sebanding dengan

1.9 tahun yang dilakukan

mortalitas,

craniektomy dekompresi

didapatkan pula

post cedera kepala.

survival rate sebesar 70% dengan mortalitas terutama pada pasien dengan multitrauma.

4.

Ellis JA

Penelitian retrospektif

III/C

Internal cranial

et al., 2012

terhadap 10 pasien yang

expansion adalah

menjalani operasi internal

operasi yang aman

cranial expansion selama 5

dan efektif untuk

tahun

pasien dengan intraserebral hipertensi yang refrakter.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi: Cho

DY,

Wang

YC,

Chi

CS:

Decompressive

craniotomy

for

acute

shaken/impact syndrome.Pediatr Neurosurg 1995; 23:192–198 Ellis JA et al. Internal cranial expansion surgery for the treatment of refractory

idiopathic intracranial hypertension. 2012 Figaji AA, Fieggen AG, Peter JC: Early decompressive craniotomy in children

with se- vere traumatic brain injury. Childs Nerv Syst 2003; 19:666 – 673 Hejazi N, Witzmann A, Fae P: Unilateral decompressive craniectomy for

children with severe brain injury. Report of seven cases and review of the relevant literature. Eur J Pedi- atr 2002; 161:99–104 Jagannathan J, Okonkwo DO, Dumont AS, et al: Outcome following

decompressive craniec- tomy in children with severe traumatic brain 94

injury: A 10-year single-center experience with long-term follow up. J Neurosurg 2007; 106: 268 –275 Kan P, Amini A, Hansen K, et al: Outcomes after decompressive craniectomy

for severe traumatic brain injury in children. J Neuro- surg 2006; 105:337–342 Polin RS, Shaffrey ME, Bogaev CA, et al: Decompressive bifrontal craniectomy

in the treatment of severe refractory posttraumatic cerebral edema. Neurosurgery 1997; 41:84–94 Ruf B, Heckmann M, Schroth I, et al: Early decompressive craniectomy and

duraplasty for refractory intracranial hypertension in children: results of a pilot study. Crit Care 2003; 7:R133–R138 Rutigliano D, Egnor MR, Priebe CJ, et al: Decompressive craniectomy in

pediatric pa- tients with traumatic brain injury with intractable elevated intracranial pressure. J Pe- diatr Surg 2006; 41:83– 87; discussion 83– 87 Skoglund TS, Eriksson-Ritzen C, Jensen C, et al: Aspects on decompressive

craniectomy in patients with traumatic head injuries. J Neurotrauma 2006; 23:1502–1509 Taylor A, Warwick B, Rosenfeld J, et al: A randomized trial of very early

decompressive craniectomy in children with traumatic brain injury and sustained intracranial hypertension. Childs Nerv Syst 2001; 17:154–162 Tinjauan antara Cedera Otak Pediatri dan Dewasa : Perbandingan antara Cedera pada anak dan dewasa menurut “National Pediatric

Trauma Registry” menunjukkan bahwa proporsi anak yang mengalami cedera otak traumatik lebih besar dibandingkan orang dewasa. Tetapi karena sulitnya untuk menilai terapi pada anak dengan rentang kelompok umur yang lebar dan perbedaan tingkat perkembangan pada tiap fase mengakibatkan masih belum banyak penelitian yang memenuhi syarat untuk dijadikan standard penanganan pada masa akut hingga rehabilitasi. Karena tidak benar anggapan bahwa “ anak adalah miniatur orang dewasa”, maka tidaklah tepat untuk menyamakan dan mengaplikasikan begitu saja literatur penelitian pada orang dewasa atau guideline yang ada untuk orang 95

dewasa pada anak. Usaha-usaha untuk mengenali aspek khusus pada anak dikaji dan guideline yang disusun adalah sebagai pendamping guideline yang ada untuk orang dewasa. Guideline yang disusun sebagian besar adalah hasil konsensus bersama. Pediatrik atau anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia kurang dari 18 tahun. Cedera otak traumatik, yang selanjutnya disebut sebagai “cedera otak” saja, adalah perlukaan primer atau sekunder akibat kejadian trauma pada otak. Cedera otak akibat penganiayaan (abusive head injury) termasuk didalamnya penganiyaan, penyiksaan, penelantaran dan shaken baby syndrome dimasukkan juga dalam kategori cedera otak ini. Cedera akibat trauma kelahiran, tenggelam, dan gangguan pembuluh darah otak tidak dimasukkan dalam kelompok ini. Secara epidemiologi, cedera otak pada anak menyebabkan kematian pada 40% kasus anak usia 1 hingga 4 tahun dan 70% kematian pada anak usia 5 hingga 19 tahun. Pola dan prinsip manajemen cedera kepala pada anak hampir sama dengan pada orang dewasa tetapi ada perbedaan penting. Ini berhubungan dengan tingkat perkembangan anak, variasi anatomi terhadap kepala dan pada umumnya dan respon otak anak terhadap cedera traumatik. Hal-hal yang terkait adalah : pada anak kecil tidak mungkin melakukan pemeriksaanGCS seperti orang dewasa. Modifikasi skala yang diadopsi untuk anak kecil dan bayi. Fluktuasi respon lebih banyak pada anak dan dicatat secara terpisah pada kartu monitoring seringkali menyesatkan. Seringkali sulit memutuskan apakah ada penurunan kesadaran pada waktu benturan. Gegar otak bisa sangat singkat dan tidak bisa dinilai dengan observasi Trauma tumpul pada kepala anak dapat terjadi dalam waktu singkat dengan perkembangan edema otak akut. Kondisi ini bisa terjadi pada trauma kepala yang nampaknya terlihat ringan dan diindikasikan dengan penurunan status kesadaran yang cepat dan dalam.Kondisi ini dapat di diagnosa hanya setelah lesi masa disingkirkan dengan pemeriksaan CT scan. Penurunan kesadaran mendadak diikuti kondisi seperti episode bingung menandai beratnya cedera kepala. Pasien seperti ini harus menjalani CT scan untuk memastikan tidak ada perdarahan intrakranial. Kejang dini dalam satu jam sejak 96

trauma tidak sama resikonya dengan epilepsi pasca trauma lanjut pada orang dewasa. Pada umumnya anak anak membaik dan sembuh total setelah serangan, tidak ada indikasi pemberian anti konvulsan. Tipisnya scalp dan kalvaria pada anak kecil meningkatkan resiko kerusakan otak oleh penetrasi objek dimana pada orang dewasa tidak bisa tembus. Beberapa luka tusuk pada kepala anak harus diterapi seolah-olah telah terjadi trauma langsung pada otak. Luka masuk harus diperiksa dengan teliti untuk mencari tanda fraktur, keluarnya CSS atau jaringan otak. Jika masih ragu-ragu, CT scan dapat digunakan untuk menilai luasnya kerusakan pada sisi itu. Rujukan ke ahli bedah saraf diperlukan untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Fraktur impresi, baik yang sederhana maupun yang komplikata umumnya berkaitan dengan kerusakan lokal terhadap otak dibawahnya. Energi benturan secara substansial dapat diserap pada sisi trauma dan efek akselerasi pada otak diminimalisir. Tidak adanya riwayat hilangnya kesadaran tidak menghilangkan adanya cedera fokal yang berat. Foto polos kepala, khususnya tangensial view, bisa menyatakan luasnya cedera tulang walupun CT scan dapat menunjukkan lebih jelas aspek yang sama, dan ditambah dapat menunjukkan apakah ada atau tidak cedera otak dibawahnya. Karena elastisitasnya, kalvaria anak kecil dapat mengalami perubahan bentuk setelah benturan tanpa ada fraktur. Deformitas ini bisa berhubungan dengan trauma lokal terhadap otak atau trauma pada meningen yang menghasilkan

timbulnya

hematom

ekstradural.

Tidak

adanya

fraktur

tidak

menghilangkan suatu perdarahan tipe ini pada anak. Kehilangan darah adalah pertimbangan penting sebagai perhatian untuk menilai cedera otak pada anak termasuk bayi. Penurunan mendadak volume darah sirkulasi bisa dihasilkan dari perdarahan dari luka, hematom scalp (sub galeal) dan atau hematom intrakranial. Pada bayi kecil karena mekanisme kompensasi intrakranial hematom bisa sangat besar. Khususnya penting untuk menyatakan bahwa tekanan darah bisa dipertahankan sebagai refleksi peningkatan tekanan intrakranial dan distorsi. Pada pembedahan, tekanan darah bisaturun dengan cepat. Ini penting pada anak-anak jika merencanakan untuk melakukan

pembedahan

sebagai

pertimbangan

pemberian

transfusi

darah

segera.Pada kondisi emergensi darah O negatif dapat diberikan. Otak anak kecil 97

kemungkinan besar mengalami edema setelah trauma tumpul dan ini penting sekali untuk tidak memasukkan cairan berlebihan pada pasien seperti ini. Sebagaimana pada orang dewasa cairan intravena tidak diperlukan kecuali untuk mengganti perkiraan kehilangan sesuai indikasi. Edema otak lambat dapat menyebabkan perubahan yang tidak diduga dan observasi pada anak kecil di rumah sakit selama 24 jam setelah cedera ringan dianjurkan. Pada bayi, fontanela paling bermanfaat dalam menilai ada atau tidaknya peningkatan tekanan intrakranial. Adanya perdarahan retina, skull fraktur bilateral menunjukkan suatu trauma non kecelakaan. Gelisah pada cedera kepala anak kecil bisa menyulitkan saat CT scan. Pembiusan atau sedasi dapat diberikan pada kondisi akut. Rekomendasi atau guideline penatalaksanaan cedera otak berat pada anak sesuai dengan Guidelines For The Acute Medical Management of Severe Traumatic Brain Injury in Infants, Children, and Adolescent (Pediatric Critical Care Medicine, 4(3), 2003

(Rainer Gedeit.Head Injury. Pediatrics in Review Vol.22 No.4 April 2001)

98

IX. Cedera otak terkait olahraga Cedera otak merupakan diagnosis klinis dari cedera kepala dengan gangguan fungsi neurologis yang dapat berupa gejala akut dari gangguan fungsi kognitif. Diperkirakan terdapat 1,7 sampai 3,8 juta kerjadian cedera otak tiap tahunnya di AS, 10% nya berhubungan dengan trauma olahraga. Pada umumnya cedera otak dapat sembuh sendiri dengan perbaikan gejala dalam satu minggu namun dapat juga terjadinya sequel dari cedera otak dari yang ringan berupa nyeri kepala dan yang berat sampai meninggal. Diagnosis yang tepat dan pengobatan sesuai dengan pedoman standar sangat penting ketika merawat atlet yang mengalami cedera otak dan kemungkinan meningkatnya gangguan jangka panjang.

Conccusion karena trauma olahraga Gejala dari conccusion karena trauma olahraga diklasifikasikan dalam 4 kelompok : gangguan fisik, kognitif, emosi, dan gangguan tidur. Gangguan fisik

Gangguan kognitif Gangguan

Gangguan tidur

emosi - Nyeri kepala - Mual muntah - Gangguan keseimbangan - Mudah lelah - Gangguan visus

- Mental “berkabut”

Mudah marah

Mengantuk

- Merasa “lambat”

Sedih

Tidur lebih lama

- Susah konsentrasi

Lebih emosi

Susah tidur

- Mudah lupa

- Sensitif dengan

- Mengulang

cahaya

pertanyaan

- Sensitif dengan bising - Mati rasa - kesemutan

dan gugup

- Menjawab pertanyaan dengan pelan

99

Derajat concussion berdasarkan system Cantu dan AAN : Grade Ringan

Sistem Cantu 1. Amnesia post traumatic < 30 menit 2. Tidak pernah penurunan kesadaran

Sedang

1. penurunan kesadaran n < 5 menit atau

Sistem AAN 1. Bingung 2. Tidak pernah penurunan kesadaran 3. Gejala hilang < 15 menit Seperti diatas namun gejala masih masih ada > 15 menit

2. Amnesia post trauma > 30 menit Berat

1. penurunan kesadaran ≥ 5 menit atau

Tiap ada penurunan kesadaran

2. Amnesia post trauma ≥ 24 jam Kontraindikasi untuk kembali bermain olahraga yang memerlukan kontak fisik : 1. Gejala post concussion yang persisten 2. Sisa gejala trauma kepala pada sistem saraf pusat yang menetap ( dementia organik, hemiplegia, hemianopsia homonym) 3. Hidrosefalus 4. SAH spontan 5. Gejala abnormal dari foramen magnum (malformasi chiari) Pedoman untuk atlit bisa kembali bermain (AAN guideline) Rekomendasi penanganan concussion pada olahraga

Grade AAN Ringan



keluar dari kontes



periksa setiap 5 menit untuk gejala amnesia dan post concussive



Dimungkinkan bisa kembali bermain jika gejala menghilang dalam 15 menit

Sedang



Keluar dari kontes



Tidak disarankan kembali bermain pada hari itu



Periksa secara berkala untuk tanda-tanda berkembangnya gangguan intrakranial



Periksa kembali pada hari berikutna 100



CT atau MRI jika nyeri kepala atau gejala lain memburuk atau lebih dari 1 minggu

Berat



Latihan kembali setelah 1 minggu bebas gejala



Transportasi ambulans dari lapangan ke UGD RS jika belum sadar ( pasang stabilisator C-Spine)



Segera lakukan pemeriksaan neurologi.

neuroimaging yang

sesuai •

Dapat kembali ke rumah dengan instruksi “cedera kepala” jika pada pemeriksaan tidak didapatkan kelainan



Segera ke RS setiap ada tanda kelainan atau mental status tidak normal yang berkelanjutan.



Periksa status neurologi tiap hari sampai semua gejala membaik atau stabil



Adanya

penurunan

kesadaran

yang

berlangsung

lama,

perubahan mental status yang persisten, perburukan gejala post

concussion atau pemeriksaan neurologi yang tidak normalà evaluasi neurosurgical segera atau transfer ke trauma center. •

Setelah penurunan kesadaran < 1 menit pada concussion derajat 3, jangan kembali latihan sampai bebas gejala selama satu minggu



Setelah penurunan kesadaran > 1 menit pada concussion derajat 3, jangan kembali latihan sampai bebas gejala selama dua minggu.



CT scan atau MRI jika nyeri kepala atau keluhan memberat atau lebih dari dua minggu.

Concussion berulang pada periode waktu yang pendek merupakan suatu kondisi yang berpotensi membahayakan. Perlunya pemeriksaan neuroimaging (misal CT scan) pada atlet dengan gejala yang membaik bersifat kontroversi, dan tergantung penilaian dari dokter yang menangani. Indikasi pemerikasaan neuroimaging yang disarankan adalah : 1. Concussion berat 101

2. Gejala yang menetap > 1 minggu, meskipun ringan 3. Sebelum kembali berkompetisi setelah concussion yang kedua dan ketiga pada musim kompetisi yang sama. Rekomendasi pada concussion berulang pada satu musim kompetisi Concussion No 2

Panduan sebelum kembali bermain

Tingkat keparahan Ringan

1 minggu*

Sedang atau Berat 1 bulan* dengan CT scan atau MRI normal 3

Ringan



Disarankan untuk tidak bermain lagi pada musim ini, CT scan atau MRI†

2

Sedang

Disarankan tidak bermain lagi pada musim ini,dan hindari

Berat

olahraga yang memerlukan kontak fisik

*

tanpa gejala-gejala pada saat istirahat dan aktivitas



jika didapatkan abnormalitas akut pada CT/MRI: akhiri musim kompetisi. Pertimbangkan untuk tidak ikut berpartisipasi pada olahraga yang bersifat kontak fisik

Referensi Bradley, et al. 2013. Sport related concussion. Division of pediatric sports medicine rainbow babies and children hospital. Elsevier. Vol 14 : 4 Victoroff, et al. 2012. Diagnosis dan treatment of sport related traumatic brain injury. Psychiatric annals. 42 : 10 Sahler, et al. 2012. Traumatic brain injury in sports : A review. Hindawi rehabilitation research and practice. Greenberg, Mark. 2010. Handbook of neurosurgery 7 ed. Thieme : Hal 850.

102

PENUTUP Pedoman ini akan selalu dilakukan evaluasi dan secara sistematis dilakukan penelitian yang mendukung, sehingga mendapat tingkat kepercayaan klinis (clinical

certainty) yang tertinggi yaitu gold standard / standard. Namun, pada dasarnya pedoman ini sudah dapat digunakan sebagai acuan atau rekomendasi, baik untuk tatalaksana yang bersifat medik maupun intervensi pembedahan di bidang cedera otak. Besar harapan kami untuk menyempurnakan perdoman ini dengan mendapatkan saran dan kritik yang datang dari manapun dan siapapun terutama yang berkecimpung

pada

pelayanan

dan

pendidikan

serta

penelitian

dibidang

neurotrauma. Rasanya tak ada gading yang tak retak. Kesempurnaan selalu menjadi harapan kami namun berbagai keterbatasan membuat kami tidak dapat menyusun pedoman ini secara sempurna, sehingga kekurangan dan ketidak sesuaian selalu ada.

103