HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU BULLYING DAN

Download Penelitian ini ingin melihat hubungan antara empati dengan perilaku bullying serta perilaku defending yang dilakukan oleh siswa reguler ter...

0 downloads 389 Views 211KB Size
HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU BULLYING DAN DEFENDING TERHADAP SISWA DENGAN ASD (STUDI PADA SISWA REGULER DI SMPN INKLUSIF DI JAKARTA) Michelle Salim, Adriana S. Ginanjar Program Studi Sarjana Reguler Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Penelitian ini ingin melihat hubungan antara empati dengan perilaku bullying serta perilaku defending yang dilakukan oleh siswa reguler terhadap siswa dengan ASD di SMPN inklusi yang berlokasi di Jakarta. Penelitian dilakukan terhadap 158 siswa reguler kelas 7 dan 8 yang memiliki teman sekelas dengan ASD. Pengumpulan data secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan dua instrumen. Empati diukur dengan Interpersonal Reactivity Index (IRI) sementara perilaku bullying dan defending diukur dengan Self Report of Behaviors in Bullying. Wawancara dengan guru dan siswa juga dilakukan untuk menambah gambaran seputar sekolah inklusi, karakteristik siswa dengan ASD di kelas, serta hubungannya dengan para siswa reguler. Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat hubungan yang negatif antara empati dengan perilaku bullying (r= -0,301, p < 0,01), dan hubungan yang positif antara empati dengan perilaku defending (r= 0,554, p < 0,01). Hal tersebut berarti semakin tinggi tingkat empati para siswa reguler terhadap siswa dengan ASD, maka semakin rendah tingkat perilaku bullying dan semakin tinggi tingkat perilaku defending yang mereka tampilkan. Kata kunci : empati; perilaku bullying; perilaku defending; siswa dengan ASD; siswa reguler; SMPN inklusif This research aims to find the correlation between empathy and bullying and defending behavior performed by regular students towards student with ASD in public inclusive middle schools located in Jakarta. The participants are 158 students in 7th and 8th grade who have a classmate diagnosed with ASD. Quantitative data collection was conducted using two instruments. Empathy was measured using Interpersonal Reactivity Index (IRI), while bullying and defending behavior was measured using Self Report of Behaviors in Bullying. Interviews with teachers and students were also done in order to obtain more informations about the inclusive school, characteristics of student with ASD, and their relationship with other students. The main results of this research show that empathy is negatively correlated with bullying behavior (r= -0,301, p < 0,01), and at the same time empathy is positively correlated with defending behavior (r= 0,554, p < 0,01). That is, the higher empathy of regular students towards student with ASD, then the lower bullying behavior and the higher defending behavior is displayed. Keywords: bullying behavior; defending behavior; empathy; public inclusive middle school; regular students; student with ASD

Fenomena bullying semakin banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Salah satu tempat berlangsungnya perilaku bullying adalah sekolah. Selain sebagai sebuah institusi pendidikan formal dimana para siswa dapat menuntut ilmu, sekolah juga menjadi tempat para  

1   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

siswa bertatap muka dan memiliki kesempatan untuk berinteraksi satu dengan yang lain. Melalui interaksi sosial tersebut, mereka dapat saling mengenal dan membangun hubungan pertemanan. Namun ada kalanya interaksi yang terjadi antar siswa bukanlah merupakan suatu bentuk interaksi yang menyenangkan, paling tidak bagi salah satu pihak. Menurut Gini, Albiero, Benelli, dan Altoe (2007), kekerasan antar teman di sekolah merupakan fenomena yang menimbulkan kecemasan bagi berbagai pihak, seperti para psikolog, guru, dan keluarga. Berdasarkan beberapa studi sebelumnya, Pellegrini dan Bartini (2000) menyimpulkan bahwa sebagian besar tindak kekerasan yang terjadi di sekolah pada masa remaja adalah bullying yang terjadi antar teman sebaya. Seperti halnya di negara lain, sekolah-sekolah di Indonesia juga menjadi tempat dimana bullying biasa terjadi. Hal tersebut membuat berbagai pihak menaruh perhatian besar kepada bullying di Indonesia. Dr. Amy Huneck, seorang pakar intervensi terhadap bullying dari Amerika Serikat, melakukan penelitian di Indonesia pada tahun 2006. Hasilnya menunjukkan bahwa 10-16% siswa menerima ejekan, hinaan, disisihkan, dipukul, ditendang, atau didorong paling tidak satu kali dalam seminggu (Darmawan, 2010). Sementara berdasarkan hasil studinya, Darmawan (2010) menyatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, bullying dan tindak kekerasan dalam lingkungan sekolah telah mengganggu stabilitas di banyak sekolah. Berdasarkan survey terbaru yang dilakukan mulai bulan April 2012 di Indonesia oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 87,6% dari 1.026 responden melaporkan bahwa mereka mengalami penderitaan dalam bentuk siksaan mental, fisik, atau verbal, mulai dari name calling sampai pemukulan. Sebesar 42,1% dari total responden tersebut menyatakan bahwa teman sebaya paling sering menjadi pelakunya, sementara 29,9% adalah guru dan staf sekolah dan 28% ialah petugas kebersihan dan penjaga keamanan sekolah (sumber: www.thejakartapost.com). Bullying ditandai dengan adanya seorang siswa yang menjadi korban saat ia terekspos, secara berulang dan dalam jangka waktu tertentu, terhadap perilaku negatif yang dilakukan oleh satu atau lebih siswa lain (Olweus, 1993a dalam Olweus & Limber, 2010). Lebih lanjut, Olweus menjelaskan bahwa perilaku negatif tesebut dapat ditunjukkan dalam bentuk kontak fisik, kata-kata, atau cara lain seperti gestur tubuh atau sengaja menyisihkan teman dari kelompok. Mereka yang menjadi korban bullying rentan memiliki self-esteem yang rendah, depresi, maladjustment, well-being yang rendah, dan bahkan kecenderungan bunuh diri (Besag, 1989; Craig, 1998; Rigby, 1998 dalam Lodge & Frydenberg, 2005). Gottfredson,

 

2   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

Gottfredson, dan Hybl (1993 dalam Lodge & Frydenberg, 2005) menyatakan bahwa bahkan pelaku bullying memiliki kemungkinan untuk mengalami kegagalan dalam menyelesaikan sekolah, menggunakan alkohol dan obat-obatan terlarang, serta terlibat dalam perilaku kenakalan lain dalam hidupnya. Fenomena bullying melibatkan tiga peran utama, yaitu: bullies, korban, dan bystanders (Sullivan, Cleary, & Sullivan, 2004). Bullies ialah mereka yang melakukan perilaku bullying terhadap orang lain, korban ialah mereka yang menerima/mendapatkan perilaku bullying tersebut, dan bystanders adalah mereka yang menyaksikan atau mengetahui berlangsungnya episode bullying. Pada umumnya penelitian tentang bullying lebih banyak membahas tentang dinamika bullying pada diri bullies dan korban. Padahal berdasarkan sebuah penelitian di Kanada yang dilakukan oleh Craig, Pepler, dan Atlas (2000 dalam Lodge & Frydenberg, 2005), peer bystanders hadir dalam 85% episode bullying di sekolah. Bystanders dapat dibagi ke dalam empat sub-peran, yaitu mendukung dengan ikut bersorak (reinforcers), mendukung dengan ikut melakukan bullying (assistants), menyaksikan dengan pasif (outsiders), dan mengintervensi (defenders) (Salmivalli, dkk., 1996 dalam Cappadocia, Pepler, Cummings, & Craig, 2012). Dari empat peran tersebut, terlihat bahwa peran defenders merupakan peran yang paling prososial, dengan cara melakukan intervensi dan perilaku defending terhadap individu yang menjadi korban bullying. Namun sayangnya peer bystanders seringkali bersikap pasif dan tidak melakukan intervensi, dan hal tersebut terutama terjadi pada masa remaja awal. Trach, Hymel, Waterhouse, dan Neale (2011 dalam Bellmore, Ting-Lan, Ji-in, & Hughes, 2012) menyatakan bahwa peer bystanders memang cenderung tidak menampilkan perilaku menolong seperti meminta bully untuk berhenti atau menenangkan korban (defending), dan lebih cenderung menampilkan perilaku tidak menolong seperti pergi menjauh dari tempat bullying berlangsung (passive bystanding). Padahal berdasarkan beberapa hasil penelitian yang sudah dilakukan, peer bystanders memiliki kekuatan untuk menghentikan atau memperpanjang episode bullying (Cappadocia, Pepler, Cummings, & Craig, 2012). Sementara semakin banyak teman-teman yang berkumpul untuk menyaksikan episode bullying, maka akan semakin lama episode bullying berlangsung karena bullies merasa mendapat dukungan dalam bentuk perhatian dari teman-temannya (O’Connell, dkk., 1999 dalam Cappadocia, Pepler, Cummings, & Craig, 2012). Menurut Caravita dan Blasio (2008), perilaku defending merupakan suatu perilaku yang penting namun belum banyak dipelajari dibandingkan dengan

 

3   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

perilaku-perilaku lain terkait dengan bullying. Oleh sebab itu, untuk dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam melakukan intervensi terhadap bullying, perlu diketahui terlebih dahulu faktor yang terkait dengan perilaku defending tersebut. Menurut Olweus dan Limber (2010), penyebab dari bullying harus dilihat dari beberapa aspek yang berbeda. Dalam hal ini, faktor lingkungan dan faktor individu samasama terkait dengan munculnya perilaku bullying. Dalam mengidentifikasi berbagai hal yang terkait dengan fenomena bullying, banyak penelitian memfokuskan studi terhadap proses kognitif dan sosial-emosional sebagai salah satu mekanisme kontrol dari perilaku agresif individu (Kokkinos & Kipritsi, 2012). Studi lain mengungkapkan bahwa anak-anak yang agresif memiliki kekurangan dalam beberapa determinan sosial (berasal dari luar diri) yang berkaitan dengan perilaku agresif, kemampuan problem solving, self-efficacy, serta empati saat berinteraksi dengan orang lain. Empati memampukan individu untuk dapat membayangkan dan memahami pengalaman emosional individu lain. Kemampuan empati penting dalam perkembangan sosial dan emosional seseorang, dimana dapat mempengaruhi perilaku individu tersebut terhadap individu lain serta hubungan yang terjalin antar mereka. Menurut McDonald dan Messinger (2011), empati adalah motivator psikologis untuk menolong orang lain yang sedang mengalami kesusahan. Empati dapat menjadi mekanisme yang memotivasi keinginan seseorang untuk menolong orang lain, bahkan saat harus mengorbankan kepentingan personal. Empati juga diperlukan individu untuk berkembang menjadi individu yang kompeten secara sosial yang mampu menjalin hubungan sosial yang bermakna. Hubungan antara empati dan perilaku bullying telah berusaha untuk dipahami sejak puluhan tahun yang lalu. Meta-analisis yang dilakukan oleh Jolliffe dan Farrington (2004 dalam Gini, Albiero, Benelli, & Altoe 2007) juga membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara perilaku antisosial dan tingkat empati yang rendah. Asosiasi tersebut paling kuat ditemukan pada remaja dan dewasa muda. Dalam fenomena bullying, Olweus (n.y.) mengungkapkan bahwa salah satu karakteristik dari anak-anak yang melakukan bullying ialah empati yang rendah terhadap para korban. Hal ini tercermin dari rendahnya kepedulian bullies terhadap konsekuensi emosional yang dapat mereka munculkan pada orang lain serta rendahnya kemampuan untuk turut merasakan konsekuensi emosional tersebut (Arsenio & Lemerise, 2001; Eisenberg & Fabes, 1998 dalam Gini, Albiero, Benelli, & Altoe, 2007). Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, pengembangan empati dinilai sebagai komponen penting dalam penerapan program intervensi yang bertujuan untuk mengurangi  

4   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

perilku agresif pada umumnya dan bullying pada khususnya (Manger, Eikeland, & Asbjornsen, 2011 dalam Stavrinides, Georgiou, & Theofanous, 2010). Empati tidak hanya terkait dengan perilaku bullying, tetapi juga dengan perilaku prososial yang dalam bullying ditampilkan dengan perilaku defending. Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya, Gini, Albiero, Benelli, dan Altoe (2007) menyatakan bahwa tingginya tingkat empati seseorang dikaitkan dengan tingginya perilaku prososial dan rendahnya perilaku agresif. Gini, Albiero, Benelli, dan Altoe (2007) melakukan studi terhadap remaja Italia di kelas 1 dan 2 SMP. Hasil penelitian mereka menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan antara empati dan perilaku bullying dan korelasi positif yang signifikan antara empati dan perilaku defending. Hal yang serupa juga terlihat pada hasil penelitian Almeida, Coreia, dan Marinho (2010 dalam Hoffmann, 2012), yaitu bullies memiliki potensi empati yang lebih rendah dari defenders. Kebanyakan penelitian seputar fenomena bullying memfokuskan kepada perilaku bullying pada anak dan remaja yang perkembangannya normal di sekolah reguler. Sementara pada kenyataannya, bullying tidak terbatas pada sekolah reguler namun juga di berbagai jenis sekolah, termasuk sekolah inklusi. Peneliti belum menemukan adanya penelitian, terutama di Indonesia, yang berusaha menjelaskan perilaku bullying yang terjadi di sekolah inklusi khususnya yang terjadi pada para siswa berkebutuhan khusus. Lingkungan sekolah di Indonesia sendiri mulai berkembang dengan hadirnya sistem pendidikan inklusi dimana anakanak yang perkembangannya normal dan yang berkebutuhan khusus dapat belajar di kelas yang sama. Selanjutnya dalam penelitian ini, istilah siswa reguler akan digunakan untuk mengacu kepada siswa “normal” di sekolah inklusi. UNESCO (2003 dalam Tsaputra, 2011) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi merupakan cara terbaik untuk mengintegrasikan anak-anak berkebutuhan khusus dengan pendidikan umum. Melalui integrasi tersebut, para guru dan teman-teman lainnya akan terdorong untuk menerima perbedaan yang ada dalam lingkungan serta melihatnya sebagai hal yang dapat memperkaya lingkungan belajar bersama. Saat ini anak dan remaja dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) semakin banyak yang menempuh pendidikan di sekolah inklusi. ASD sendiri merupakan gangguan perkembangan dimana individu yang memilikinya mengalami defisit dalam fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, serta disertai dengan minat dan perilaku yang tidak biasa (Mash & Wolfe, 2010). Tetapi, berdasarkan penelitian oleh Salend (2001 dalam Hines, 2001), selain diperolehnya keuntungan bagi siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler, tidak sedikit hasil

 

5   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

buruk yang didapat dari penyelenggaraan sekolah inklusi. Salah satunya adalah isolasi dan frustasi yang dialami oleh siswa tersebut. Cappadocia, Weiss, dan Pepler (2012) mengemukakan bahwa anak-anak dengan ASD memiliki risiko yang lebih besar untuk menjadi korban bullying dibandingkan dengan siswa reguler. Bagi para remaja dengan ASD, kelemahan mereka dalam komunikasi seringkali menempatkan mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan secara sosial. Padahal menurut beberapa penelitian, keasertifan dan komunikasi yang sehat merupakan salah satu faktor penting yang dapat melindungi seorang remaja dari perilaku bullying (Cappadocia, Weiss, & Pepler, 2012). Remaja dengan ASD mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain sehingga para remaja tersebut kerap kali menjadi korban bullying. Bullying tidak hanya terjadi pada anak dan remaja dengan perkembangan normal, bahkan sebenarnya anak dan remaja dengan ASD memiliki risiko yang lebih besar untuk menjadi korbannya. Karakteristik diri mereka yang berbeda dari siswa reguler di sekolah sering menempatkan mereka dalam posisi yang kurang menguntungkan secara sosial, terlebih ketika teman-temannya tidak memahami dan berempati terhadap keadaan siswa dengan ASD tersebut. Peneliti tertarik untuk melihat tingkat empati para siswa reguler terhadap siswa dengan ASD di sekolah dan kaitannya dengan perilaku bullying atau defending yang mereka lakukan. Dengan mengetahui hubungan empati dengan kedua perilaku tersebut, maka dapat diterapkan strategi atau program yang tepat untuk mengembangkan kemampuan empati remaja agar perilaku bullying di sekolah dapat dikurangi sementara perilaku defending dapat ditingkatkan. Empati Davis (1983) mengungkapkan bahwa secara umum empati merupakan reaksi seorang individu terhadap pengalaman individu lain yang ia observasi. Reaksi yang dimaksud berupa reaksi yang sifatnya kognitif atau reaksi yang lebih mengacu kepada reaksi emosional. Lebih lanjut, Davis (1994 dalam Gini, Albiero, Benelli, dan Altoe, 2007) menjelaskan bahwa empati adalah kontruk multidimensional yang terdiri dari komponen kognitif dan afektif. Komponen kognitif merefleksikan kemampuan mengidentifikasi dan memahami perspektif orang lain, sementara komponen emosional ditandai dengan kecenderungan untuk merasakan simpati atau kepedulian terhadap orang lain. Empati terdiri dari empat dimensi, yaitu: (1) Perspective Taking (PT) yaitu kecenderungan untuk secara spontan mengadopsi sudut pandang psikologis orang lain, (2) Fantasy (FS) yaitu kecenderungan seseorang untuk menempatkan dirinya

 

6   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

secara imajinatif pada perasaan dan aksi dari tokoh fiksional di dalam buku, film, maupun drama, (3) Empathic Concern (EC) yang menggambarkan perasaan-perasaan simpatik dan kepedulian terhadap orang lain yang mengalami kesusahan/ketidakberuntungan, dan (4) Personal Distress (PD) yang menggambarkan perasaan cemas dan tidak nyaman yang dimiliki seseorang saat berada dalam situasi interpersonal yang menegangkan. PT dan EC dinilai paling berperan dalam hubungan interpersonal, dimana PT mampu membuat individu untuk memahami dan mengantisipasi bagaimana perilaku dan reaksi orang lain, sehingga dapat tercipta hubungan interpersonal yang sehat. Sementara EC dinilai sebagai yang paling berperan dalam perilaku prososial dan menolong. Menurut Hodges dan Myers (2007), banyak contoh perilaku mulia yang dilakukan manusia, termasuk membantu orang yang tidak dikenal dan mereka yang terstigmatisasi, berakar dari perasaan empatik. Namun selain manfaatnya dalam ranah perilaku prososial dan menolong, empati juga berkaitan dengan perilaku yang sifatnya agresif. Terdapat dua mekanisme yang di balik kemampuan empati dalam menekan perilaku agresif (Davis, 1994 dalam Gini, Albiero, Benelli, & Altoe, 2007). Pertama, semakin individu mampu menghargai perspektif orang lain, semakin ia mampu memahami dan mentolerir posisi orang lain sehingga kecenderungan untuk melakukan perilaku agresif menurun (Feshbach, 1978 dalam Gini, Albiero, Benelli, & Altoe, 2007). Individu yang mampu mengalami dan merasakan rasa sakit yang dirasakan orang lain, akan dapat menekan perilaku agresifnya untuk menghindari distress emosional yang mungkin ditimbulkan (Batson, dkk., 1989; Eisenberg & Fabes, 1998 dalam Gini, Albiero, Benelli, & Altoe, 2007). Perilaku Bullying dan Defending Perilaku bullying didefinisikan sebagai perilaku yang disengaja, berulang, dan negatif (tidak menyenangkan atau menyakitkan) oleh satu atau lebih orang terhadap seseorang yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri (Olweus & Limber, 2010). Konflik antar siswa dengan kekuatan fisik atau mental yang hampir setara tidak dapat dikatakan sebagai bullying (Smith , dkk., 1999 dalam Dake, Price, & Telljohann, 2003). Menurut Smith, Cowie, Olafsson, dan Liefooghe (2002), bullying merupakan suatu subkategori dari perilaku agresif. Perilaku agresif sendiri seringkali didefinisikan sebagai aksi negatif yang dilakukan secara sengaja untuk menyakiti orang lain, sehingga perilaku yang secara tidak sengaja menyakiti orang lain tidaklah dikatakan agresif. Menurut Griffin dan Gross (2004 dalam Kokkinos & Kipritsi, 2012), bullying dapat dikategorikan ke dalam direct bullying dan indirect bullying.

 

7   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

Direct bullying mencakup serangan fisik (misal: memukul) dan kata-kata/verbal (misal: name-calling/julukan). Sementara indirect bullying merujuk kepada eksklusi sosial dengan cara menyebarkan rumor atau menolak untuk berteman dengan individu tertentu. Tipe bullying ini juga seringkali dikenal sebagai relational bullying. Perilaku defending merupakan perilaku prososial yang bisa ditampilkan oleh peer bystanders dalam fenomena bullying di sekolah. Mereka yang melakukan defending biasanya mengambil tempat di sisi korban untuk membela, menenangkan, serta memberi dukungan. Bystanders yang bergabung dan turut melakukan bullying atau sekadar memberikan feedback positif dalam bentuk verbal dan non-verbal (misal: tersenyum, tertawa) dapat menjadi reward bagi bullies. Sementara mereka yang menentang perlakuan bullies dengan berada di sisi korban akan memberikan feedback negatif bagi bullies. Oleh sebab itu, sebenarnya peer bystanders memiliki potensi untuk dapat melakukan sesuatu yang mampu untuk menghentikan berlangsungnya episode bullying. Bullying terhadap Siswa dengan ASD Sampai sejauh ini, penelitian tentang fenomena bullying pada remaja yang dilakukan di berbagai tempat biasanya hanya fokus terhadap remaja dengan perkembangan normal/siswa reguler yang bersekolah di sekolam umum. Sementara masih sedikit perhatian yang ditujukan kepada populasi remaja berkebutuhan khusus, seperti Autism Spectrum Disorders (ASD) (Roekel, Scholte, & Didden, 2010). Frith dan Hill (2004 dalam Roekel, Scholte, & Didden, 2010) mengungkapkan satu alasan remaja dengan ASD memiliki risiko yang tinggi untuk menjadi korban bullying, yaitu karena mereka memiliki kekurangan dan kesulitan dalam menjalin interaksi sosial yang normal serta dalam memahami perilaku orang di sekitarnya. Terutama pada lingkungan sekolah umum, remaja dengan ASD sangat berisiko menjadi korban bullying karena karakteristik khusus mereka, seperti kesulitan dalam berkomunikasi serta perilaku dan minat mereka yang terstereotip (Haq & Le Couteur, 2004 dalam Roekel, Scholte, & Didden, 2010). Beberapa penelitian menyatakan bahwa para siswa dengan ASD yang berada di tengah-tengah siswa reguler di sekolah memang rentan mengalami isolasi sosial, kesepian, dan menjadi korban dari bullying. Ditambah lagi remaja dengan autisme memiliki risiko mengalami gangguan kecemasan atau depresi, sehingga penting bagi berbagai pihak di sekolah untuk peka terhadap isu kesehatan mental dan sosial pada siswa dengan autisme.

 

8   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

Metode Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian korelasional karena bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan/asosiasi antara dua aspek situasi atau lebih (Kumar, 2005), dimana variabel-variabel yang diukur dan diuji kaitannya adalah empati dan perilaku bullying/defending. Selain itu penelitian ini juga merupakan penelitian kuantitatif, dimana peneliti ingin menguantifikasi data yang diperoleh ke dalam bentuk angka-angka yang kemudian diolah dengan menggunakan perhitungan statistik untuk mengetahui hubungan antarvariabel tersebut (Kumar, 2005). Partisipan dalam penelitian ini adalah 158 siswa reguler di dua SMPN inklusif di Jakarta. Mereka berada pada rentang usia 12-14 tahun dan sedang berada di kelas 7 dan 8. Setiap partisipan adalah siswa yang memiliki teman sekelas dengan Autism Spectrum Disorders (ASD). Pemilihan sampel dilakukan dengan metode non-probability sampling dan accidental sampling. Penelitian ini hanya dilakukan pada SMP inklusif yang secara aktif menerima siswa berkebutuhan khusus, bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian, serta memiliki siswa dengan ASD di beberapa kelasnya. Pengambilan data secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari kata pengantar, informed consent, dua alat ukur, identitas diri yang harus dilengkapi, serta deskripsi anak dengan ASD berdasarkan DSM IV-TR. Alat ukur pertama yang digunakan adalah Interpersonal Reactivity Index (IRI) yang disusun oleh Davis pada tahun 1980, untuk mengukur tingkat empati siswa reguler terhadap siswa dengan ASD. Penelitian ini hanya menggunakan dua subskala dari IRI, yaitu: 1) Perspective Taking (PT) yang mengukur komponen kognitif dari empati, kemampuan untuk mengadopsi sudut pandang orang lain dalam kehidupan sehari-hari (contoh item: “Untuk memahami teman dengan ASD dengan lebih baik, kadang-kadang saya mencoba untuk membayangkan bagaimana sudut pandangnya dalam berbagai hal“), dan 2) Empathic Concern (EC) yang mengukur aspek emosional dari empati, perasaan-perasaan simpatik dan peduli terhadap orang lain yang hidupnya kurang beruntung (contoh item: “Ketika saya melihat teman dengan ASD dimanfaatkan oleh orang lain, saya merasa seperti ingin melindunginya“). Setiap subskala terdiri dari tujuh item, Partisipan diminta untuk mengindikasikan seberapa tepat setiap item menggambarkan diri mereka dalam skala Likert, mulai dari 0 (Sangat Tidak Sesuai) sampai 4 (Sangat Sesuai). Setiap dimensi dari IRI memiliki reliabilitas internal dan test-retest yang memuaskan (reliabilitas internal berkisar antara 0,71 sampai 0,77; reliabilitas

 

9   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

test-retest berkisar antara 0,62 sampai 0,71). Sementara seperti banyak alat ukur empati lainnya, perbedaan skor antara perempuan dan laki-laki ditemukan pada setiap subskala, dimana perempuan memiliki skor yang lebih tinggi dari laki-laki pada keempat subskala. Pada penelitian ini sendiri, berdasarkan hasil uji inter-item correlation dilakukan penghapusan terhadap tiga item (item 2, 7, dan 12). yang memikiki indeks korelasi di bawah 0,2. Hasil uji reliabilitas IRI selanjutnya menjadi 0,694. Kedua adalah alat ukur Self Report of Behaviors in Bullying untuk mengukur tingkat perilaku bullying/defending siswa reguler terhadap siswa dengan ASD. Alat ukur tersebut dikembangkan oleh Pozzoli dan Gini (2010) berdasarkan Participant Role Questionnaire (PRQ) yang disusun oleh Salmivalli, dkk. pada tahun 1996. Self Report of Behaviors in Bullying mengukur tiga peran dalam bullying, yaitu: bullies, defenders, dan outsiders. Setiap subskala tersebut terdiri dari tiga item yang mewakili: physical bullying, verbal bullying, dan relational bullying. Pengujian reliabilitas yang dilakukan pada remaja kelas 7 dan 8 di Italia memiliki hasil yang baik (perilaku bullying= 0,76, perilaku defending= 0,75, dan perilaku passive bystanding= 0,76.) Sementara pada penelitian ini, hasil pengujian reliabilitas subskala perilaku bullying memiliki koefisien 0,63 dan koefisien reliabilitas subskala perilaku defending bernilai 0,775. Penelitian ini hanya menggunakan subskala perilaku bullying dan defending. Dalam pengerjaannya, partisipan diminta untuk merespon dengan seberapa sering mereka melakukan perilaku tertentu dalam tahun ajaran terakhir pada 4 poin skala Likert, berkisar antara 1 (tidak pernah) sampai 4 (selalu). Lalu, seperti penelitian yang dilakukan oleh Gini, Albiero, Benelli, dan Altoe (2007) dengan PRQ, penelitian ini menggunakan pendekatan dimensional dimana skor perilaku bullying/defending pada Self Report of Behaviors in Bullying digunakan sebagai pengukuran yang sifatnya continuous dan bukan kategorikal. Proses pengambilan data dilakukan di lima kelas pada dua SMPN inklusif yang berlokasi di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Pada akhir pengambilan data jumlah kuesioner yang berhasil dikumpulkan adalah sebanyak 164 kuesioner, namun hanya sebanyak 158 data yang lengkap dan dapat diolah dan dianalisis secara statistik. Selain menyebarkan kuesioner kepada partisipan, peneliti juga melakukan wawancara dengan guru untuk mendapatkan gambaran tentang sekolah, performa siswa dengan ASD di kelas, dan hubungan antar siswa reguler dengan siswa dengan ASD. Wawancara juga dilakukan dengan beberapa siswa yang sebelumnya telah mengisi kuesioner penelitian untuk mendapatkan gambaran hubungan para siswa reguler dengan siswa dengan ASD di kelas.  

10   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

Pengolahan data dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS Statistics 17.0. Teknik statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah statistik deskriptif, paired-samples t-test, pearson product-moment, dan independent t-test. Statistik deskripsif digunakan untuk mengolah dan menginterpretasi data demografis partisipan yang mencakup jenis kelamin, usia, kelas, agama, saudara dengan ASD yang dimiliki partisipan, jenis kelamin siswa dengan ASD, serta kedekatan hubungan partisipan dengan siswa dengan ASD di kelasnya. Selain itu statistik deskriptif juga digunakan untuk memperoleh nilai rata-rata (mean), standar deviasi, nilai maksimum, dan nilai minimum dari kedua variabel yang diukur pada partisipan. Paired-samples t-test digunakan untuk melihat signifikansi perbedaan mean skor perilaku bullying dan defending pada partisipan. Kemudian, pearson product-moment digunakan menguji hubungan antara empati dengan perilaku bullying/defending pada siswa reguler terhadap siswa dengan ASD. Teknik selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini ialah independent samples t-test. Metode tersebut digunakan untuk melihat signifikansi perbedaan mean skor pada beberapa kategori data demografis partisipan terhadap kedua variabel penelitian, mencakup jenis kelamin, kelas, saudara dengan ASD yang dimiliki partisipan, dan kedekatan hubungan partisipan dengan siswa dengan ASD. Sementara pearson correlation digunakan untuk melihat korelasi antara usia dan kedua variabel. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif, jumlah partisipan perempuan (n= 85) sedikit lebih banyak dari partisipan laki-laki (n= 73). Kemudian berdasarkan usia, mayoritas partisipan berusia 13 tahun (n= 86). Partisipan yang berada di kelas 8 (n= 92) lebih banyak dibandingkan dengan partisipan di kelas 7 (n= 66). Berdasarkan agama, hampir semua partisipan beragama Islam (n= 148). Terdapat lebih banyak partisipan (n= 96) yang tidak memiliki kerabat atau saudara dengan simtom ASD dibandingkan dengan mereka yang memiliki saudara dengan simtom ASD (n= 62). Lalu dari 5 kelas yang digunakan peneliti dalam pengambilan data, terdapat 5 siswa dengan ASD yang semuanya adalah siswa. Mengenai kedekatan hubungan partisipan dengan teman sekelas dengan ASD, mayoritas menganggap bahwa diri mereka tidak berteman dekat dengan siswa dengan ASD (n= 109). Sebagian besar siswa reguler memiliki tingkat empati terhadap siswa dengan ASD yang tinggi, terlihat dari mean skor empati (M= 31,98) yang mendekati nilai maksimum (42) pada distribusi skor empati. Selain itu, mean skor perilaku bullying (M= 4,12) mendekati skor minimum alat ukur maupun distribusi yaitu 3. Dilihat dari persebarannya, juga hanya  

11   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

sebanyak 45 partisipan memiliki skor bullying di atas mean skor, sementara sejumlah 113 partisipan memiliki skor perilaku bullying di bawah rata-rata. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat perilaku bullying pada mayoritas siswa reguler termasuk rendah. Lalu berdasarkan analisis statistik dengan paired-samples t-test, mean skor perilaku defending (M= 6,63) secara signifikan lebih tinggi dari mean skor perilaku bullying (M= 4,12). Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat perilaku defending di antara siswa reguler lebih tinggi daripada perilaku bullying terhadap siswa dengan ASD. Namun begitu, dari gambaran kedua perilaku tersebut terlihat bahwa meskipun tingkat perilaku bullying pada siswa reguler termasuk rendah, tidak menjamin para siswa reguler selalu menampilkan perilaku defending terhadap siswa dengan ASD yang menjadi korban dari bullying. Hasil pengolahan data menggunakan pearson product-moment menunjukkan bahwa empati dan perilaku bullying memiliki nilai r = 0,301 dengan p < 0,01 (1-tailed). Interpretasi dari korelasi tersebut adalah, terdapat hubungan yang signifikan antara empati dan perilaku bullying. Sementara nilai koefisien korelasi yang negatif mengindikasikan bahwa semakin tinggi empati siswa reguler terhadap siswa dengan ASD, maka semakin rendah tingkat perilaku bullying yang ditujukan kepada siswa dengan ASD. Pada saat yang sama, empati dan perilaku defending memiliki nilai r = 0,554 dengan p < 0,01 (1-tailed). Hasil itu menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara empati dan perilaku defending. Signifikansi hubungan tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi empati siswa reguler terhadap siswa dengan ASD, maka semakin tinggi tingkat perilaku defending mereka kepada siswa dengan ASD yang menjadi korban bullying. Mean skor empati pada partisipan perempuan (M= 33,07) secara signifikan lebih tinggi daripada partisipan laki-laki (M= 30,71). Signifikansi tersebut menunjukkan bahwa perbedaan mean skor empati disebabkan oleh perbedaan kelompok, yaitu partisipan perempuan dan partisipan laki-laki. Selain itu, para siswa yang memiliki saudara dengan ASD memiliki mean skor empati (M= 32,76) yang lebih tinggi dari mereka yang tidak memiliki saudara dengan ASD (M= 31,48). Para siswa reguler yang memiliki saudara dengan simtom ASD dan lebih familiar dengan gangguan tersebut menampilkan empati yang lebih tinggi terhadap siswa dengan ASD di kelasnya. Kemudian, empati ditinjau dari kedekatan dengan siswa dengan ASD juga memiliki perbedaan mean skor yang signifikan. Partisipan yang memiliki hubungan dekat dengan siswa dengan ASD memiliki empati (M= 32,94) yang lebih tinggi dari mereka yang tidak dekat dengan siswa dengan ASD (M= 31,55). Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya perbedaan tingkat empati juga dikarenakan oleh adanya

 

12   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

perbedaan dalam kelompok, yaitu partisipan yang berteman dekat dengan siswa dengan ASD serta mereka yang tidak berteman dekat. Perilaku bullying yang ditampilkan oleh partisipan laki-laki (M= 4,74) secara signifikan lebih tinggi daripada partisipan perempuan (M= 3,59). Para siswa reguler terbukti lebih sering melakukan bullying terhadap siswa dengan ASD dibandingkan dengan siswi reguler. Selanjutnya, perbedaan mean skor perilaku defending yang signifikan ditemukan pada jenjang pendidikan (p= 0,025). Perbedaan tingkat perilaku defending pada partisipan secara signifikan disebabkan oleh adanya perbedaan kelompok antara partisipan di kelas 7 dan di kelas 8. Partisipan di kelas 8 memiliki mean skor perilaku defending yang lebih tinggi (M= 7,02) dibandingkan dengan partisipan di kelas 7 (M= 6,35). Lalu, kedekatan antara partisipan dengan siswa dengan ASD di kelas juga memiliki perbedaan mean skor yang signifikan (p= 0,002). Mereka yang memiliki hubungan yang dekat dengan siswa dengan ASD memiliki mean skor perilaku defending (M= 7,31) yang lebih tinggi dari mereka yang tidak dekat dengan siswa dengan ASD (M= 6,32). Pembahasan Penelitian ini menunjukkan korelasi yang signifikan antara empati dengan perilaku bullying serta antara empati dengan perilaku defending. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa reguler untuk memahami perspektif serta menginternalisasi kondisi emosional siswa dengan ASD dapat memotivasinya untuk tidak terlibat dalam perilaku bullying. Pada saat yang sama, kemampuan tersebut juga terbukti berkaitan dengan semakin tingginya kecenderungan siswa reguler untuk menampilkan perilaku defending terhadap siswa dengan ASD yang menjadi korban dari bullying. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan hasil yang didapatkan dari beberapa penelitian lain tentang empati dan perilaku agresif serta prososial, khususnya dalam konteks bullying. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Gini, Albiero, Benelli, dan Altoe (2007) terhadap remaja Italia kelas 1 dan 2 SMP yang menemukan bahwa semakin rendahnya empati terkait dengan semakin tingginya perilaku bullying, sementara semakin tinggi empati akan semakin tinggi pula perilaku defending terhadap korban bullying. Lebih jauh lagi, berdasarkan meta analisis yang dilakukan oleh Jolliffe dan Farrington (2004 dalam Gini, Albiero, Benelli, & Altoe 2007) asosiasi positif antara antara perilaku antisosial dan tingkat empati yang rendah paling kuat ditemukan pada remaja dan dewasa muda. Pada konteks sekolah inklusif ketika para siswa reguler tidak mampu untuk berempati terhadap siswa dengan ASD, yang biasanya dinilai suka memperlihatkan perilaku yang  

13   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

“aneh” atau bahkan “mengganggu”, perilaku bullying menjadi fenomena yang mungkin terjadi. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Frith dan Hill (2004 dalam Roekel, Scholte, & Didden, 2010), salah satu alasan remaja dengan ASD berisiko untuk menjadi korban bullying adalah karena mereka memiliki kesulitan dalam menjalin interaksi sosial yang normal serta dalam memahami perilaku orang di sekitarnya. Lalu Haq dan Le Couteur (2004 dalam Roekel, Scholte, & Didden, 2010) juga menyatakan bahwa pada lingkungan sekolah umum risiko tersebut meningkat dikarenakan karakteristik khusus siswa dengan ASD, seperti kesulitan dalam berkomunikasi serta perilaku dan minat mereka yang terstereotip. Berdasarkan hasil wawancara, beberapa siswa dengan ASD kerap kali menampilkan perilaku yang dapat menganggu siswa lain, seperti: menimbulkan suara-suara gaduh di kelas dan memukul siswa lain, sehingga para siswa reguler merasa kesal dan melakukan bullying terhadap mereka. Kemampuan siswa reguler untuk berempati terhadap keadaan siswa dengan ASD memang diperlukan agar di antara mereka bisa terjalin hubungan yang lebih harmonis. Beberapa penelitian lain juga mengungkapkan bahwa kesulitan siswa dengan ASD dalam mempunyai teman di sekolah membuat dirinya semakin rentan menjadi target dari perilaku bullying. Dalam penelitian ini sendiri, berdasarkan pernyataan oleh seorang siswa tidak ada siswa reguler di kelasnya yang berteman dengan siswa dengan ASD dan ia kerap menjadi korban bullying. Dalam fenomena bullying, terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi hadirnya perilaku bullying di antara teman sebaya ataupun perilaku defending terhadap mereka yang menjadi korbannya. Menurut penuturan beberapa siswa, perilaku bullying terhadap siswa dengan ASD biasanya dilakukan tidak di depan guru atau saat guru tidak berada di kelas. Selain itu menurut penuturan dari guru di sekolah inklusif, siswa reguler dengan siswa dengan ASD memiliki hubungan yang baik. Namun pada praktiknya para siswa dengan ASD masih menjadi korban bullying. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengawasan oleh para guru di sekolah inklusif masih belum optimal. Menurut Espelage dan Swearer (2004 dalam Santrock, 2009), iklim sekolah berperan dalam fenomena bullying. Lingkungan sekolah dimana para orang dewasa maupun peers membiarkan bullying terjadi akan membuat bullying semakin sering terjadi. Lebih lanjut berkaitan dengan pelaksanaan sekolah inklusif, memang masih terdapat beberapa kekurangan yang menyebabkan belum optimalnya efektivitas dari program inklusi tersebut. Pada kedua SMPN inklusif pada penelitian ini, belum ada implementasi metode pengajaran khusus bagi para siswa berkebutuhan khusus, kurangnya tenaga guru untuk membimbing mereka, pengawasan guru terhadap hubungan antar siswa yang belum optimal, serta kooperasi yang minim dari pihak orangtua. Padahal sebenarnya pihak sekolah  

14   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

maupun orangtua berkewajiban untuk membantu siswa dengan ASD khususnya, agar mereka mampu mencapai performa yang optimal dan mengembangkan kemampuan diri yang dimiliki. Berdasarkan hasil wawancara, salah satu bentuk respon lain yang muncul adalah perilaku passive bystanding. Para siswa kerap kali memilih untuk menjauh atau berdiam diri. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Lodge dan Frydenberg (2005), bahwa meski banyak anak dan remaja yang tidak setuju dengan bullying namun mereka tidak melakukan apa-apa untuk menghentikannya. Terdapat beberapa hal yang menjelaskan perilaku tersebut, seperti: rasa cemas akan kemungkinan menjadi target bullying berikutnya, kurangnya rasa percaya diri untuk mengintervensi tanpa bantuan orang lain, anggapan jika ada orang lain yang berusaha menghentikan bullying barulah dirinya akan melakukan hal yang sama, dan kurangnya strategi untuk melakukan intervensi dengan efektif. Perbedaan tingkat empati yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan pada penelitian ini juga telah dibuktikan pada banyak hasil penelitian sebelumnya. Davis (1983) sendiri sejak awal menyatakan bahwa seperti banyak alat ukur empati lainnya, terdapat perbedaan signifikan pada skor antara perempuan dan laki-laki pada setiap subskala, dimana skor perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Hal ini sejalan dengan tingkat perilaku bullying, dimana laki-laki yang tingkat empatinya lebih rendah memiliki tingkat bullying yang lebih tinggi. Sementara perempuan dengan tingkat empati yang lebih tinggi memang memiliki tingkat perilaku bullying yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Lalu, para siswa yang memiliki saudara dengan simtom-simtom ASD memiliki empati yang secara signifikan lebih tinggi daripada mereka yang tidak. Pada penelitian ini peneliti berasumsi bahwa para siswa reguler yang lebih banyak terekspos terhadap simtom ASD di luar sekolah, lebih sering berinteraksi dengan individu dengan ASD, dan oleh karenanya lebih dapat memahami berbagai faset dari gangguan ASD maka besar kemungkinan mereka lebih mampu untuk berempati terhadap siswa dengan ASD. Karakteristik siswa dengan ASD di kelas yang bagi siswa lain nampak “aneh” , bagi siswa yang mempunyai saudara dengan simtom ASD akan nampak lebih familiar dan dapat dimaklumi. Signifikansi perbedaan tingkat perilaku bullying hanya terlihat antara partisipan lakilaki dan perempuan. Lane (1989 dalam Xin Ma, 2001) menyatakan bahwa anak laki-laki lebih banyak melakukan bullying dibandingkan anak perempuan, dengan perbandingan 3:1. Beberapa penelitian yang lebih baru juga mengungkapkan hasil yang sama, seperti Gini, Albiero, Benelli, dan Altoe (2007) yang menemukan bahwa tingkat perilaku bullying remaja laki-laki lebih tingi dibandingkan perempuan. Berbeda dengan perilaku bullying, tidak  

15   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

ditemukan perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada perilaku defending terhadap siswa dengan ASD. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian oleh Gini, Albiero, Benelli, dan Altoe (2007), bahwa remaja perempuan menampilkan tingkat perilaku defending yang lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki. Namun lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa sebenarnya kemungkinan laki-laki untuk mengintervensi bullying dapat meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat empati yang dimiliki. Para siwa kelas 8 memiliki kecendrungan untuk melakukan perilaku defending yang secara signifikan lebih tinggi daripada siswa kelas 7. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari siswa yang merasa bahwa lama-kelamaan ia semakin mampu untuk memahami keadaan siswa dengan ASD, bahkan menganggap siswa tersebut sebagai seorang teman sekelas yang sebenarnya cukup menyenangkan. Lamanya waktu yang dihabiskan siswa untuk berinteraksi dengan siswa dengan ASD di kelas dapat membuat siswa reguler semakin memahami diri siswa dengan ASD. Terakhir, siswa reguler yang memiliki kedekatan dengan siswa dengan ASD akan cenderung menampilkan perilaku defending yang lebih tinggi. Berdasarkan Bellmore et al. (2012), terdapat beberapa alasan yang dapat diasosiasikan dengan perilaku menolong atau defending, dimana dua di antaranya adalah empati terhadap korban serta kedekatan hubungan dengan korban tersebut. Beberapa penelitian telah memberikan pemahaman bahwa hubungan antara bystanders dengan korban maupun bullies memang berperan dalam memprediksi respon yang akan ditampilkan. Salah satunya menurut Oh dan Hazler (2009 dalam Bellmore et al., 2012), bahwa para remaja awal akan mendukung pihak yang hubungannya lebih dekat dengan mereka. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan analisis data penelitian, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara empati dan perilaku bullying. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi empati yang dimiliki siswa reguler terhadap siswa dengan ASD, maka akan semakin rendah kecenderungan untuk melakukan perilaku bullying terhadap siswa dengan ASD. Sementara itu, hubungan yang signifikan positif juga ditemukan antara empati dan perilaku defending. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin tinggi empati siswa reguler terhadap siswa ASD maka akan semakin tinggi pula kecenderungan melakukan perilaku defending terhadap siswa dengan ASD yang menjadi korban bullying.

 

16   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

Saran Metode Penelitian Penggunaan beberapa instrumen untuk memperoleh data tentang satu fenomena dapat memberikan hasil yang lebih akurat. Seperti pada pengukuran perilaku bullying, jika data diperoleh tidak hanya dari siswa reguler namun juga siswa dengan ASD, guru, atau orangtua maka gambaran yang didapatkan pun dapat saling dibandingkan dan dilihat kaitannya secara lebih menyeluruh. Selain itu, dapat dilakukan modifikasi pada skala Likert dengan mengoperasionalisasikan pilihan jawaban (misal: jarang= 1-4 kali dalam satu bulan). Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan partisipan saat memberikan respon. Wawancara yang dilakukan untuk melengkapi data penelitian dapat dipersiapkan dengan lebih terstruktur sehingga prosesnya berjalan dengan lebih efektif serta setiap informasi yang didapatkan benar-benar relevan. Sehubungan dengan subyek penelitian, dapat dilakukan penelitian di sekolah swasta karena lingkungan sekolah yang sangat mungkin berbeda, dan selanjutnya dapat dibandingkan dengan hasil yang didapatkan dari sekolah negeri. Selain perilaku bullying dan defending, untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian mengenai perilaku lain yang menjadi bentuk respon bystanders, seperti passive bystanding. Berdasarkan hasil wawancara di penelitian ini, perilaku tersebut ditemukan dalam konteks bullying. Penelitian tersebut dapat secara lebih khusus dan mendalam melihat fenomena passive bystanding yang terjadi dalam konteks bullying di sekolah. Saran Praktis Sebaiknya, pihak sekolah inklusif terus menggalakan pengembangkan kualitas sekolah agar kebutuhan setiap siswa, terutama mereka yang berkebutuhan khusus dan ASD, dapat terakomodir dengan baik. Hal tersebut mencakup: jumlah tenaga guru/ahli, pelatihan bagi para guru, dan fasilitas lain yang mendukung proses pembelajaran bagi siswa dengan ASD. Pengayaan atau seminar bagi para siswa reguler juga dirasa perlu untuk menyampaikan informasi seputar teman-teman berkebutuhan khusus di sekolah sehingga para siswa reguler akan lebih siap dan memahami secara tepat keadaan siswa berkebutuhan khusus yang akan menjadi teman mereka. Sebagai bentuk usaha untuk mengurangi tingkat bullying, ada baiknya bagi pihak sekolah untuk mengadakan pelatihan bagi para siswa reguler untuk mengembangkan kemampuan yang dapat membantu mereka untuk semakin mampu menjalin hubungan pertemanan yang lebih harmonis dengan siswa dengan ASD, seperti kemampuan berempati terhadap para siswa dengan ASD.

 

17   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

Kepustakaan Bellmore, A., Ting-Lan Ma, Ji-in You, & Hughes, M. (2012). A two-method investigation of early adolescents’ responses upon witnessing peer korbanization in school. Journal of Adolescence 35 (2012) 1265–1276. Cappadocia, M.C., Weiss, J.A., & Pepler, D. (2012). Bullying Experiences among Children and Youth with Autism Spectrum Disorders. Journal of Autism and Developmental Disorders, v42 n2 p266-277 Feb 2012. Cappadocia, M.C., Pepler, D., Cummings, J.G., & Craig, W. (2012). Individual Motivations and Characteristics Associated With Bystander Intervention During Bullying Episodes Among Children and Youth. Canadian Journal of School Psychology July 20, 2012. Caravita, S.C.S., & Blasio, P.D. (2008). Unique and Interactive Effects of Empathy and Social Status on Involvement in Bullying. Oxford: Blackwell Publishing. Dake, J.A., Price, J.H., & Telljohann, S.K. (2003). The Nature and Extent of Bullying at School. Journal of School Health, 2003; 73 (5): 173-180. Darmawan. (2010). Bullying in School: A Study of Forms and Motives of Aggression in Two Secondary Schools in the city of Palu, Indonesia. (Tesis). Faculty of Humanity, Social Science and Education University of Tromsø, Norway. Davis, M.H. (1983). Measuring Individual Differences in Empathy: Evidence for a Multidimensional Approach. Journal of Personality and Social Psychology 1983, Vol. 44, No. 1, 113-126. Gini, G., Albiero, P., Benelli, B., Altoe, G. (2007). Does Empathy Predict Adolescents’ Bullying and Defending Behavior?. Wiley-Liss Inc., Aggressive Behavior. Gravetter, F., & Forzano, L. (2009). Research methods for behavioral science (3rd ed.). Belmont: Wadsworth. Hines, R.A. (2001). Inclusion in Middle Schools. Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education. Hodges, S. D., & Myers, M.W. (2007). Empathy. In R. F. Baumeister and K. D. Vohs (Eds.), Encyclopedia of social psychology (pp. 296-298). Thousand Oaks, CA: Sage.

 

18   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

Hoffmann, C. (2012). Bystanders in bullying situations: differences between participant roles and their reactions to manipulation. (Thesis). Faculty of Psychology, University of Twente, Netherlands. Kokkinos, C.M., & Kipritsi, E. (2012). The relationship between bullying, victimization, trait emotional intelligence, self-efficacy and empathy among preadolescents. Social Psychology Education (2012) 15:41–58. Kumar, R. (2005). Research methodology: A step by step guide for beginners (2nd Edition ed.). London: SAGE Publication. Lodge, J., & Frydenberg, E. (2005). The Role of Peer Bystanders in School Bullying: Positive Steps Toward Promoting Peaceful Schools. Theory Into Practice, v44 n4 p329-336 2005. Mash, E.J., & Wolfe, D.A. (2010). Abnormal Child Psychology. California: Wadsworth, Cengage Learning. McDonald, N.M., & Messinger, D.S. (2011). The development of empathy: How, when, and why. In A. Acerbi, J. A. Lombo, & J. J.Sanguineti (Eds), Free will, Emotions, and Moral Actions: Philosophy and Neuroscience in Dialogue. IF-Press. Olweus, D. (n.y.). Bullying In Schools: Facts And Intervention. Diunduh dari: http://www.ggdkennisnet.nl/?file=549&m=1310459526&action=file.download,

28

Maret 2013, 02.11. Olweus, D., & Limber, S.P. (2010). Bullying in School: Evaluation and Dissemination of the Olweus Bullying Prevention Program. American Journal of Orthopsychiatry 2010, Vol. 80, No. 1, 124–134. Pellegrini, A.D., & Bartini, M. (2000). A Longitudinal Study of Bullying, Korbanization, and Peer Affiliation during the Transition from Primary School to Middle School. American Educational Research Journal Vol. 37, No. 3 (Autumn, 2000), pp. 699-725. Pozzoli, T., & Gini, G. (2010). Active Defending and Passive Bystanding Behavior in Bullying: The Role of Personal Characteristics and Perceived Peers Pressure. Journal of Abnormal Child Psychology (2010) 38:815–827. Roekel, E. ,Scholte, R.H.J., & Didden, R. (2010). Bullying Among Adolescents With Autism Spectrum Disorders: Prevalence and Perception. Journal of Autism Developmental Disorder 40:63-73.

 

19   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013

Salmivalli, C., Lappalainen, M., & Lagerspetz, K.M.J. (1996). Stability and Change of Behavior in Connection With Bullying in Schools: A Two-Year Follow-Up. Aggressive Behavior Volume 24, pages 205–218. Santrock, J.W. (2009). Educational Psychology. New York: McGraw-Hill. Smith, P.K., Cowie, H., Olafsson, R.F., & Liefooghe, A.R.D. (2002). Definitions of Bullying: A Comparison of Terms Used, and Age and Gender Differences, in a FourteenCountry International Comparison. Child Development, July/August2002, Volume73, Number 4 , Pages 119-1133. Stavrinides, P., Georgiou, S., & Theofanous, V. (2010). Bullying and empathy: a short-term longitudinal investigation. Educational Psychology. Sullivan, K., Cleary, M., & Sullivan, G. (2004). Bullying in Secondary Schools: What it looks like and How to manage it. London: Paul Chapman Publishing. Tsaputra, A. (2011). Inclusive Education for Children with Disabilities In Indonesia: Dilemma and Suitable Framework for Indonesian Context . Diunduh dari: http://australiaawardsindo.or.id/files/arg/ARTICLE%20FOR%20ARG%20BULLETI N-ANTONI.pdf, Minggu 23 September 2012, 14.10. Xin Ma. (2001). Bullying and Being Bullied: To What Extent Are Bullies Also Victims?. American Educational Research Journal, Vol. 38, No. 2 (Summer, 2001), pp. 351370.

 

20   Hubungan antara empati…, Michelle Salim, FPsi UI, 2013