HUBUNGAN ANTARA PARITAS, BERAT BAYI LAHIR, DAN

Download perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara paritas, berat bayi lahir dan retensio plasenta dengan kejadian perdarahan post...

1 downloads 601 Views 389KB Size
HUBUNGAN ANTARA PARITAS, BERAT BAYI LAHIR, DAN RETENSIO PLASENTA DENGAN KEJADIAN PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER RELATIONSHIP BETWEEN PARITY, BIRTH WEIGHT BABIES, AND THE INCIDENCE OF RETAINED PLACENTA WITH PRIMARY POSTPARTUM HEMORRHAGE Sofia Supa1, Sondang Sidabutar1 Akbid Griya Husada Surabaya, [email protected], [email protected]

ABSTRAK Perdarahan post partum merupakan kehilangan darah ≥ 500 ml setelah kelahiran bayi dan palsenta. Perdarahan post partum primer (early post partum hemorrhage) yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab kejadian perdarahan post partum primer tersebut adalah atonia uteri, retensio plasenta, induksi persalinan, partus lama, umur ibu yang terlalu tua ataupun terlalu muda, paritas ibu yang banyak, overdistensi uterus, dan anemia. Dampak dari perdarahan post partum primer adalah anemi, sindrom Sheehan, syok haemoraghie hingga kematian. Di Puskesmas Jagir Surabaya kejadian perdarahan post partum mengalami peningkatan sebesar 0,75 % dari tahun 2009-2011. Berdasarkan data ini maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara paritas, berat bayi lahir dan retensio plasenta dengan kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012. Penelitian ini menggunakan desain analitik observasional jenis cross sectional dengan instrumen penelitian menggunakan data sekunder dari buku register ibu bersalin. Populasi penelitian sebesar 568 ibu bersalin dan besar sampelnya 197 orang yang dipilih secara sistematik random sampling. Hasil penelitian dibuat tabel frekuensi, tabulasi silang dan dianalisis menggunakan uji Chi Square dengan α = 0,05. Hasil penelitian didapatkan paritas ibu bersalin mayoritas primipara sebesar 64,47 %, berat bayi lahir mayoritas non makrosomia sebesar 91,88 % dan ibu bersalin mayoritas tidak terjadi retensio plasenta sebesar 92,39 %. Kejadian perdarahan post partum primer mayoritas terjadi pada multipara dan grandemultipara

sebesar 24,29 %, pada berat bayi lahir mayoritas makrosomia sebesar 62,50 % dan pada ibu bersalin mayoritas dengan retensio plasenta sebesar 60 %. Hasil uji chi square didapatkan bahwa pada paritas ibu χ2Hitung (7,92) > χ2Tabel (3,84), berat bayi lahir χ2Hitung (31,58) > χ2Tabel (3,84) dan retensio plasenta χ2Hitung (26,48) > χ2Tabel (3,84). Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu ada hubungan antar paritas, berat bayi lahir dan retensio plasenta dengan kejadian perdarahan post partum primer. Peran petugas kesehatan dalam mengatasi masalah ini yaitu dengan pemeriksaan ANC sesuai standar, pertolongan persalinan sesuai standar asuhan persalinan normal, dan penerapan komunikasi efektif dalam pemberian KIE. Kata Kunci : Paritas, Berat Bayi Lahir, Retensio Plasenta, Perdarahan Post Partum.

ABSTRACK Postpartum hemorrhage is blood loss ≥ 500 ml after childbirth. Primary postpartum hemorrhage (early post partum hemorrhage) is bleeding that occurs within the first 24 hours. Cause of primary post partum hemorrhage is uterine atony, retained placenta, induction of labor, prolonged labor, maternal age is too old or too young, many mothers parity, uterine overdistention, and anemia. The impact of primary postpartum hemorrhage is anemia, Sheehan syndrome, shock haemoraghie until death. At the health center Surabaya Jagir post partum bleeding events increased by 0.75% from 2009 to 2011. Based on this data it is necessary to investigate the relationship between parity, birth weight babies and the 1

incidence of retained placenta with primary postpartum hemorrhage at Surabaya Jagir Health Center in 2012. This research uses observational analytic design of cross sectional types. The research instrument used secondary data from the register book maternal. The research population of 568 women giving birth and the large sample is 197 people that chosen by systematic random sampling technique. The results created frequency tables, cross tabulation and analyzed using Chi Square test with α = 0.05. The results showed the majority of primiparous maternal parity was 64.47%, the majority of non-birth weight by 91.88% macrosomia and maternal placenta retained the majority did not happen by 92.39%. Incidence of primary postpartum hemorrhage and the majority occur in multiparous grandemultipara by 24.29%, the majority of macrosomia birth weight by 62.50% and the majority of the maternal placental retention by 60%. Chi square test results showed that the maternal parity Calculate χ2 (7.92)> χ2 Table (3.84), birth weight Calculate χ2 (31.58)> χ2 Table (3.84) and retained placenta Calculate χ2 (26 , 48)> χ2 Table (3,84). The conclution there is a relationship between parity, birth weight babies and the incidence of retained placenta with primary post partum hemorrhage. Role of health workers in addressing this problem is to fit standard ANC checks, delivery assistance according to normal standards of care delivery, and implementation of effective communication in the delivery of comunication, information and education. Key word: Parity, Birth Weight Babies, Retained Placenta, Postpartum Hemorrhage

2

Kematian Ibu (AKI) yang dimaksud adalah kematian seorang ibu yang disebabkan kehamilan, melahirkan atau nifas, bukan karena kecelakaan. Angka Kematian Ibu (AKI) dihitung per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah angka kematian ibu di Indonesia masih tergolong tinggi diantara negaranegara ASEAN (Association of South East Asian Nations) lainnya. Angka Kematian Ibu (AKI) di Singapura yaitu 6 per 100.000 kelahiran hidup, AKI Malaysia mencapai 160 per 100.000 kelahiran hidup, AKI Vietnam mencapai 160 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 112 per 100.000 kelahiran hidup,Brunei 33 per 100.000 per kelahiran hidup, sedangkan di Indonesia 228 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2011).

PENDAHULUAN Kematian maternal merupakan salah satu masalah kesehatan yang terus menjadi perhatian masyarakat dunia. Menurut WHO ( World Health Organisation) pada tahun 2010, sebanyak 536.000 perempuan meninggal akibat persalinan. Sebanyak 99% kematian ibu akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara-negara berkembang. Rasio kematian ibu di negaranegara berkembang merupakan rasio yang tertinggi dengan 450 kematian ibu per 100 ribu kelahiran bayi hidup jika dibandingkan dengan rasio kematian ibu di 9 negara maju dan 51 negara persemakmuran. Masih tingginya AKI (Angka Kematian Ibu) di negara berkembang mencerminkan lambatnya proses penurunan AKI tersebut. Lambatnya proses penurunan AKI karena masih tingginya tingkat kemiskinan sehingga berpengaruh pada bidang kesehatan. Oleh karena itu, negara - negara berkembang dengan angka kematian yang masih tinggi belum menunjukkan kemajuan yang berarti dalam 15 tahun terakhir (Kaban, 2013).

Berdasarkan data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 Indonesia telah berhasil menurunkan Angka Kematian Ibu dari 390/100.000 kelahiran hidup (1992) menjadi 334/100.000 kelahiran hidup (1997). Selanjutnya turun menjadi 228/100.000 kelahiran hidup. Meskipun telah terjadi penurunan dalam beberapa tahun tarakhir akan tetapi penurunan tersebut masih sangat lambat (Wilopo, 2010). Selain itu, angka tersebut masih jauh dari target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2014 sebesar 118 per 100.000 kelahiran hidup dan target MDG’s sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2015 (Depkes RI, 2011).

Dalam pernyataan yang diterbitkan secara resmi oleh WHO dijelaskan bahwa untuk mencapai target MDGs (Millenium Development Goals) pada tahun 2015 yakni Angka Kematian ibu turun menjadi 102/100.000 KH, maka penurunan angka kematian ibu antara tahun 1990 sampai tahun 2015 seharusnya 5,5 persen per tahun. Pada kenyataanya selama periode tahun 1990-2005 belum ada kawasan yang mampu mencapai penurunan angka kematian ibu hingga 5,5 persen per tahun. Menurut laporan WHO, hanya Asia Timur yang penurunannya telah mendekati target yakni 4,2 persen per tahun sedangkan tingkat penurunan yang jauh dari target terjadi di kawasan Sub-Sahara Afrika yang hanya memiliki penurunan 0,1 persen per tahun ( Kaban,2013).

Angka Kematian Ibu menunjukkan kemampuan dan kualitas pelayanan kesehatan, kapasitas pelayanan kesehatan, kualitas pendidikan dan pengetahuan masyarakat, kualitas kesehatan lingkungan, sosial budaya serta hambatan dalam memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan. Tingginya AKI dan lambatnya penurunan angka ini menunjukkan bahwa pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) sangat mendesak untuk ditingkatkan baik dari segi jangkauan maupun kualitas pelayanannya. Menurut Depkes (Depertemen Kesehatan) pada tahun 2010, penyebab langsung kematian maternal di Indonesia terkait kehamilan dan persalinan

Menurut WHO (2000), 81% AKI akibat komplikasi selama hamil dan bersalin, dan 25% selama masa post partum (Depkes RI, 2011). Salah satu indikator utama derajat kesehatan suatu negara adalah Angka Kematian Ibu (AKI). Angka 3

kesehatan. Sementara ”Empat Terlalu” adalah terlalu muda (16 tahun), terlalu tua (> 35 tahun) usia ibu untuk memutuskan hamil, terlalu sering melahirkan dan terlalu dekat jarak kehamilan/persalinan. Penyebab kematian ibu di Jawa Timur tahun 2010 yang terbesar adalah karena perdarahan post partum primer sebesar 26,96 % (Depkes RI, 2011).

terutama yaitu perdarahan 28%. Perdarahan yang sering terjadi sampai menimbulkan kematian adalah perdarahan dalam 24 jam pertama. Sebab lain, yaitu eklampsi 24%, infeksi 11%, partus lama 5%, dan abortus 5% (Depkes RI, 2011). Menurut Dinas Kesehatan Jawa Timur, berdasarkan hasil Laporan Kematian Ibu (LKI), AKI di Provinsi Jawa Timur dari tahun ke tahun terus menurun. Tahun 2010 108/100.000 kelahiran hidup dan tahun 2011 104,4/100.000 kelahiran hidup. Sedang untuk tahun 2012, angka kematian Ibu melahirkan turun menjadi 97,4/100.000 kelahiran hidup (Soekarno, 2013). Bila dibandingkan dengan target angka kematian ibu di Jawa Timur sebesar 125 per 100.000 kelahiran hidup, maka kondisi tersebut menunjukkan keberhasilan Provinsi Jawa Timur dalam menekan kematian ibu. Namun yang harus diwaspadai adalah bahwa kondisi tersebut belum menggambarkan kondisi sebenarnya dilapangan karena kematian ibu sebagian besar yang dilaporkan adalah dari yankesdas sedangkan dari RS relatif masih kecil. Disisi lain pelaporan kematian ibu maternal diharapkan dapat dilacak dan dicacat secara cepat baik itu dari yankesdas maupun dari RS, sehingga upaya penurunan kematian ibu dapat dilakukan sesuai dengan permasalahan yang ada dilapangan (Dinkes, 2010).

Perdarahan post partum merupakan perdarahan yang lebih dari 500 cc atau lebih setelah anak lahir (Bobak, 2004). Dengan diketahui penyebab utama kematian ibu di Indonesia yang terbesar adalah disebabkan oleh perdarahan maka dapat diartikan bahwa tindakan pengawasan selama kehamilan dan pertolongan persalinan masih belum dapat dilaksanakan dengan baik. Berdasarkan catatan medik yang diperoleh dari Puskesmas Jagir Surabaya mengenai kejadian perdarahan post partum primer dari jumlah keseluruhan persalinan normal dalam 3 tahun terakhir dari tahun 2009-2011 pada tabel 1.1 dapat disimpulkan bahwa angka kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya dari tahun 2009-2011 cenderung mengalami peningkatan. Rata-rata peningkatan selama 3 tahun adalah sebesar 0,38 %. Adapun penyebab dari kejadian perdarahan post partum primer tersebut adalah atonia uteri, retensio plasenta, induksi persalinan, partus lama, umur ibu yang terlalu tua ataupun terlalu muda, paritas ibu yang banyak, overdistensi uterus, dan anemia.

Jumlah Kematian Maternal di Provinsi Jawa Timur berdasarkan laporan Kematian Ibu Kab/Kota, pada tahun 2010 tercatat sebanyak 598 kasus kematian dengan rincian 152 kematian masa hamil, 163 waktu bersalin dan 283 pada masa nifas. Penyebab langsung kematian ibu antara lain pendarahan, eklampsia, partus lama, komplikasi aborsi dan infeksi (Kementerian Kesehatan RI, 2009). Sementara itu yang menjadi penyebab tak langsung kematian ibu adalah “Empat Terlambat” dan “Empat Terlalu”. Maksud dari ”Empat terlambat”adalah Keterlambatan keluarga dalam mengetahui tanda-tanda bahaya bumil, keterlambatan keluarga dalam mengambil keputusan untuk merujuk, keterlambatan mencapai sarana pelayanan dan keterlambatan memperoleh pelayanan

Kejadian perdarahan post partum pada ibu bersalin di Indonesia masih cukup tinggi, oleh karena itu angka toleransi perdarahan post partum menurut Dinas Kesehatan Kota Jawa Timur adalah sekitar 8-10 % . Pada kenyataannya angka kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya dari tahun 2009-2011 yaitu sebesar 6,43 – 7,48 %. Kondisi ini menunjukan bahwa angka kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya lebih rendah dari angka toleransi yang ditetapkan. Meskipun demikian, kondisi ini merupakan suatu masalah karena angka kejadian perdarahan 4

post partum di Puskesmas Jagir Surabaya hampir mendekati batas tertendah angka toleransi yang ditetapkan yaitu 8%. Adapun beberapa kasus morbiditas ibu di Puskesmas Jagir Surabaya yang hampir mengancam nyawa ibu akibat komplikasi perdarahan post partum yaitu ibu mengalami syok hemoraghe sehingga dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya untuk mendapat penanganan yang lebih intesif. Dalam hal ini, meskipun angka kejadian perdarahan post partum di Puskesms Jagir Surabaya lebih rendah dari angka toleransi yang ada namun akibatnya sangat mengancam nyawa ibu. Selain itu, hal utama yang dikhawatirkan adalah angka kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya akan terus mengalami peningkatan pada tahun berikutnya sehingga berdampak pada morbiditas yang terus meningkat sehingga berdampak pada mortalitas ibu.

kontraksi uterus akan semakin lemah dan terjadilah perdarahan ( Harrry Oxorn dan William R. Forte, 2010). Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa paritas lebih dari 3 bermakna sebagai faktor risiko yang mempengaruhi perdarahan postpartum primer. Penelitian Miswarti (2007) juga menyatakan proporsi ibu yang mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas 1 sebesar 12%, paritas 2-3 sebesar 40% dan paritas lebih dari 3 sebesar 48%, serta terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer. Demikian juga dengan penelitian Milaraswati (2008) menyatakan bahwa proporsi ibu yang mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas > 4 yaitu 69% dan didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer (Diah, 2013). Selain pada Tabel 1.2 ditemukan pula faktor kelahiran bayi besar yang mempengaruhi kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2009-2011 pada Tabel 1.3 yang dapat disimpulkan bahwa angka kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya pada tahun 2009 mayoritas terjadi pada ibu dengan tidak retensio plasenta yaitu sebesar 77,41 %, sedangkan 2 tahun berikutnya mayoritas terjadi pada retensio plasenta yaitu pada tahun 2010 sebesar 51,61 % dan tahun 2011 sebesar 52 %.

Menurut Depkes pada tahun 2010, penyebab langsung kematian maternal di Indonesia terkait kehamilan dan persalinan terutama oleh perdarahan 28%. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dapat ditingkatkan sehingga dapat menekan angka kejadian perdarahan post partum. Selain pada Tabel 1.1 ditemukan angka kejadian perdarahan post partum primer berdasarkan paritas ibu di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2009-2011 seperti pada Tabel 1.2 yang dapat disimpulkan bahwa angka kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya mayoritas terjadi pada multipara yaitu pada tahun 2009 sebesar 70,96 %, tahun 2010 sebesar 77,41 % dan tahun 2011 sebesar 76 %. Paritas adalah seorang wanita yang sudah pernah melahirkan bayi yang dapat hidup atau viable (Saifuddin,2011). Uterus yang telah melahirkan banyak anak cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan. Hal ini karena uterus telah mengalami perubahan dalam keelastisannya. Semakin banyak melahirkan anak maka uterus akan semakin elastis dan ukuran bertambah besar ukurannya sehingga

Bayi besar (makrosomia) adalah bayi baru lahir yang berat badan lahir pada saat persalinan lebih dari 4000 gram. Bayi besar ini dapat menyebabkan perdarahan post partum karena uterus meregang berlebihan dan mengakibatkan lemahnya kontraksi sehingga dapat terjadi perdarahan post partum. Ditemukan faktor retensio plasenta mempengaruhi kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2009-2011 pada Tabel 1.4 yang dapat disimpulkan bahwa angka kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya pada tahun 2009 mayoritas terjadi pada ibu dengan tidak retensio 5

plasenta yaitu sebesar 77,41 %, sedangkan 2 tahun berikutnya mayoritas terjadi pada retensio plasenta yaitu pada tahun 2010 sebesar 51,61 % dan tahun 2011 sebesar 52 %.

retensio plasenta, dan inversio uteri (Oxorn, 2010). Faktor pendukung antara lain sarana dan prasarana, transportasi, dan tenaga kesehatan (Farid, 2013). Dampak yang ditimbulkan oleh perdarahan post partum adalah syok hemoraghie, anemia dan sindrom Sheehan. Akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan menurunnya kesadaran akibat banyaknya darah yang keluar. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan dapat menyebabkan hipovolemia berat. Apabila hal ini tidak ditangani dengan cepat dan tepat, maka akan menyebabkan kerusakan atau nekrosis tubulus renal dan selanjutnya merusak bagian korteks renal yang dipenuhi 90% darah di ginjal. Bila hal ini terus terjadi maka akan menyebabkan ibu tidak terselamatkan.

Retensio plasenta adalah plasenta yang tidak terpisah dengan sempurna dan menimbulkan hemorrhage yang tidak tampak, dan juga didasari pada lamanya waktu yang terlalu antara kelahiran bayi dan keluarnya plasenta yang diharapkanyaitu 30 menit (Varney’s, 2007). Retensio plasenta dalam rahim akan menghambat kontraksi dan retraksi uterus sehingga apabila plasenta sudah dilahirkan dengan cara plasenta manual maka akan mengalami kelelahan sehingga menimbulkan atonia uteri atau terjadi perdarahan pada daerah tersebut. Sedangkan apabila pada retensio plasenta dengan adanya sebagian daerah yang sudah terlepas maka akan menyebabkan perdarahan karena adanya sinus- sinus darah yang terbuka pada saat uterus berkontraksi (Harrry Oxorn, 2010). Menurut penelitian oleh Soufyan dan Wawang (2008) yang mendapatkan kejadian perdarahan post partum akibat retensio plasenta paling banyak pada paritas ≥ 4 sebesar 25,5%, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2003) kejadian retensio plasenta paling banyak pada paritas 6 sebesar 6,85%. Sesuai dengan teori bahwa kejadian retensio plasenta lebih tinggi pada grandemultipara. Hal ini di hubungkan dengan kontraksi dari rahim yang kurang bagus karena dinding uterus yang sangat teregang dan banyak parutan bekas implantasi plasenta pada persalinan sebelumnya (Farid, 2013).

Dalam menanggulangi masalah diatas maka upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum primer dan segala dampak yang mungkin terjadi tidak hanya dilakukan pada saat bersalin tetapi sejak ibu hamil dengan melakukan pemeriksaan ante natal care secara teratur di tempat pelayanan kesehatan sehingga dapat mendeteksi secara dini segala kompliklasi yang mungkin terjadi. Ibu yang mempunyai riwayat perdarahan post partum atau terdapat faktor-faktor penyebab perdarahan post partum sangat dianjurkan bersalin di rumah sakit yang mempunyai sarana dan prasarana yang lebih lengkap atau memiliki bank darah sehingga kejadian perdarahan yang mungkin terjadi setelah persalinan yang menyebabkan kematian dapat diturunkan. Selain pemeriksaan antenatal care secara teratur, penerapan asuhan persalinan normal sangat penting dalam mencegah komplikasi persalinan termasuk perdarahan post partum primer yaitu dengan pelaksanann managemen aktif kala III dengan baik dan benar.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perdarahan post partum terdiri dari faktor predisposisi, faktor langsung dan faktor pendukung. Faktor predisposisi antara lain umur, paritas, status gizi, kelainan darah, kelahiran bayi besar, kelahiran yang dibantu dengan alat (forcep, vacum), distensi uterus yang berlebihan karena hidramnion dan gemeli, induksi persalinan dan punya riwayat perdarahan post partum (Bobak, 2004). Faktor langsung antara lain atonia uteri, trauma / laserasi,

Berdasarkan masih tingginya angka kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya yang cenderung meningkat dari tahun 2009-2011 yaitu pada 6

tahun 2009 sebesar 6,73%, tahun 2010 sebesar 7,36% dan tahun 2012 sebesar 7,48% serta beberapa faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum primer adalah paritas, bayi besar, dan retensio plasenta maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara paritas, kelahiran bayi besar dan retensio plasenta ibu bersalin dengan kejadian perdarahan post partum primer.

Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 sebanyak 197 orang. Dalam penelitian ini, variabel independennya (variabel bebas) yaitu paritas, berat bayi lahir dan retensio plasenta, sedangkan variabel dependennya (variabel terikat) yaitu perdarahan post partum primer. Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini yaitu register ibu bersalin. Pengumpulan data diperoleh dari buku register persalinan tahun 2012 yang merupakan data sekunder kemudian diolah dan diklasifikasikan.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara paritas, berat bayi lahir dan retensio plasenta dengan kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012.

Analisis data dalam penelitian ini melalui tahap pengolahan data yaitu editing , coding, entry data, cleaning data yang kemudian dihitung secara univariat dengan tabulasi frekuensi, bivariat dengan tabulasi silang. Sedangkan untuk analisa data dilakukan Uji Chi-Square, dimana skala ordinal direduksi menjadi skala nominal.

METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah analitik observasional yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Metode analitik yang digunakan adalah pendekatan survey cross sectional yaitu dalam menjalankan survey ini faktor resiko dengan efeknya diukur atau diamati pada saat yang sama, sehingga tiap subyek hanya diobservasi satu kali saja (Notoatmodjo, 2010).

HASIL PENELITIAN Puskesmas Jagir Surabaya merupaka Puskesmas PONED yang terletak di sebelah selatan Kota Surabaya di Jalan Bendul Merisi. Puskesmas Jagir meliputi 3 kelurahan yaitu Kelurahan Jagir, Kelurahan Darmo dan Sawunggaling.

Hipotesis dalam penelitian ini ada hubungan antara paritas dengan perdarahan post partum primer, ada hubungan antara berat bayi lahir dengan perdarahan post partum primer dan ada hubungan antara retensio plasenta dengan perdarahan post partum primer. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Jagir Surabaya pada bulan April – Juli 2013 dengan pertimbangan terjadi peningkatan kejadian perdarahan post partum primer yaitu pada tahun 2009 sebesar 6,73%, tahun 2010 sebesar 7,36% dan tahun 2011 sebesar 7,48%.

Karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012. Data yang telah diperoleh yaitu 197 ibu bersalin disajikan dalam tabel frekuensi, tabulasi silang dan kemudian dianalisa dengan uji square sebagai berikut :

Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 sebanyak 568 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara probability sampling dengan teknik sistematik random sampling. Sampel yang diperoleh yaitu sebagian ibu bersalin di 7

A.

Tabel Frekuensi / Univarian 1. Paritas Ibu Tabel 1. Frekuensi Paritas Ibu Bersalin di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012 Persentase Paritas Frekuensi (%) Primipara 127 64,47 Multipara 56 28,43 Grandemultipara 14 7,10 Jumlah 197 100 Sumber : Buku Register Persalinan Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012

3. Retensio Plasenta Tabel 3. Frekuensi Kejadian Retensio Plasenta di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012 Kejadian Persentase Retensio Frekuensi (%) Plasenta Terjadi retensio 15 7,61 plasenta Tidak terjadi retensio 182 92,39 plasenta Jumlah 197 100 Sumber : Buku Register Persalinan Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012

Berdasarkan tabel 1. dapat disimpulkan bahwa mayoritas paritas ibu bersalin di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 adalah primipara sebesar 64,47 %.

Berdasarkan tabel 5.3 dapat disimpulkan bahwa mayoritas ibu bersalin di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 tidak mengalami retensio plasenta sebesar 92,39%.

2. Berat Bayi Lahir Tabel 2. Frekuensi Berat Bayi Lahir di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012 Berat Bayi Persentase Frekuensi Lahir (%) Makrosomia 16 8,12 Non 181 91,88 Makrosomia Jumlah 197 100 Sumber : Buku Register Persalinan Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012

Perdarahan Post Partum Primer

Berdasarkan tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa mayoritas berat bayi lahir di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 adalah non makrosomia sebesar 91,88 %.

Frekuensi

4. Kejadian Perdarahan Post Partum Primer Tabel 4. Frekuensi Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012 Persentase (%)

Terjadi Perdarahan Post 29 14,72 Partum Primer Tidak Terjadi Perdarahan Post 168 85,28 Partum Primer Jumlah 197 100 Sumber : Buku Register Persalinan Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012 Berdasarkan tabel 4. dapat disimpulkan bahwa mayoritas ibu bersalin di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 tidak mengalami perdarahan post partum primer sebesar 85,28 %.

8

B. Tabulasi Silang / Bivarian 1. Paritas Ibu dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012 Tabel 1.1 Tabulasi Silang antara Paritas Ibu dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012

Tabel 1.2 Tabulasi Silang antara Paritas Ibu dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012



%



%

Paritas

Jumlah



%

Primipara 12 9,45 115 90,55 127 100

Tidak Terjadi Perdarahan Post Partum Primer

Tidak Terjadi Perdarahan Post Partum Primer

Paritas

Terjadi Perdarahan Post Partum Primer

Persalinan

Terjadi Perdarahan Post Partum Primer

Persa Jum linan lah



%

Primipara Multipara dan Grandemul tipara

12

9,45

115 90,55 127



100

17

24,29

53

70

100

Jumlah

29

33,74 168

166,2 197 6

100

%

75,71



%

Sumber : Buku Register Persalinan Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012

16,0 47 83,93 56 100 Multipara 9 7 Grande57,1 8 6 42,86 14 100 4 multipara 82,6 217,3 197 100 Jumlah 29 6 168 4

Dari tabel 1.2 diatas dapat disimpulkan bahwa ibu dengan paritas primipara mayoritas tidak terjadi perdarahan post partum primer sebesar 90,55 %, dibandingkan dengan paritas multipara dan grandemultipara yang terjadi perdarahan sebesar 24,29 %.

Sumber : Buku Register Persalinan Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012 Dari tabel 1.1 diatas maka tidak dapat dilakukan uji chi-square karena tidak memenuhi syarat dimana data yang ada tersebut dalam skala pengukuran nominal. Oleh karena itu, untuk memenuhi syarat uji chi-square dimana data yang diperlukan dalam skala pengukuran nominal maka paritas ibu direduksi menjadi 2 kelompok yaitu primipara, multipara dan grandemultipara seperti pada Tabel 1.2 sebagai berikut

2. Berat Bayi Lahir dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012

9

Jumlah Retensio Plasenta

∑ % ∑ % ∑ % Makroso 10 62,5 6 37,5 16 100 mia Non Makroso 19 10,5 162 89,5 181 100 mia Jumlah 29 73 168 127 197 100 Sumber : Buku Register Persalinan Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012

Tidak Terjadi Perdarahan Post Partum Primer

Tabel 3. Tabulasi Silang antara Retensio Plasenta dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012 Persalinan Terjadi Perdarahan Post Partum Primer

Tidak Terjadi Perdarahan Post Partum Primer

Berat Bayi Lahir

Terjadi Perdarahan Post Partum Primer

Tabel 2 Tabulasi Silang antara Berat Bayi Lahir dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012 Persalinan



%



%

Jumlah

∑ %

Retensio 9 60 6 40 15 100 Plasenta Tidak Retensio 20 10,99 162 89,01 182 100 Plasenta Jumlah 29 70,99 168 129,01 197 100 Sumber : Buku Register Persalinan Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012

Dari tabel 2. diatas dapat disimpulkan bahwa ibu dengan bayi non makrosomia mayoritas tidak terjadi perdarahan post partum primer sebesar 89,50 %, dibandingkan ibu dengan bayi makrosomia yang terjadi perdarahan post partum primer sebesar 62,50 %.

Dari tabel 3. diatas dapat disimpulkan bahwa ibu bersalin dengan tidak retensio plasenta mayoritas tidak terjadi perdarahan post partum primer sebesar 89,01 %, dibandingkan ibu bersalin dengan retensio plasenta yang terjadi perdarahan post partum primer sebesar 60 %.

3. Retensio Plasenta dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012

C. Analisis Data 1. Paritas Ibu dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012

10

Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 Tabel 3. Uji Chi-Square Hubungan antara Retensio Plasenta dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012 Retensio Plasenta

Jumlah

Persalinan Tidak Terjadi Terjadi Perdarahan Paritas Perdarahan Post Post Partum Partum Primer Primer 18,70 108,30 127 Primipara 12 115 Multipara 10,30 59,70 70 dan 53 Grandemul 17 tipara 29 168 197 Jumlah

Retensio Plasenta Tidak Retensio Plasenta Jumlah

Dari hasil penghitungan dan analisa data menunjukkan bahwa χ2Hitung (7,92) > χ2Tabel (3,84) maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara paritas ibu bersalin dengan kejadian perdarahan post partum primer.

Persalinan Terjadi Tidak Perdara Terjadi han Post Perdarahan Partum Post Partum Primer Primer 2,21 12,79 9 6 26,79 20

155,21

Jumlah

Tabel 1. Uji Chi-Square Hubungan antara Paritas Ibu dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012

15 182

162 29

168

197

Dari hasil penghitungan dan analisa data menunjukkan bahwa χ2Hitung (26,48) > χ2Tabel (3,84) maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara retensio plasenta dengan kejadian perdarahan post partum primer.

2. Berat Bayi Lahir dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 Tabel 2. Uji Chi-Square Hubungan antara Berat Bayi Lahir dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012

PEMBAHASAN Perdarahan post partum adalah kehilangan 500 ml darah atau lebih setelah kelahiran pervaginam (Bobak,2005). Perdarahan post partum dibagi menjadi dua yaitu perdarahan post partum primer dan perdarahan post partum sekunder. Perdarahan post partum primer / dini (early post partum hemorrhage) yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama. Perdarahan post partum sekunder / lambat (late post partum hemorrhage) yaitu perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama (Saifuddin, 2011).

Jumlah

Persalinan Tidak Terjadi Terjadi Berat Bayi Perdarahan Perdaraha Lahir Post n Post Partum Partum Primer Primer 2,36 13,64 16 Makrosomia 10 6 26,64 154,36 181 Non 162 Makrosomia 19 29 168 197 Jumlah

Adapun faktor – faktor yang menyebabkan perdarahan post partum terdiri dari faktor predisposisi, faktor langsung dan faktor pendukung. Faktor predisposisi antara lain umur, paritas, status gizi, kelainan darah, kelahiran bayi besar, kelahiran yang dibantu dengan alat (forcep, vacum), distensi uterus yang berlebihan karena hidramnion dan gemeli, induksi persalinan dan punya riwayat perdarahan post partum (Bobak,

Dari hasil penghitungan dan analisa data menunjukkan bahwa χ2Hitung (31,58) > χ2Tabel (3,84) maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara berat bayi lahir dengan kejadian perdarahan post partum primer. 3. Retensio Plasenta dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer di

11

2004). Faktor langsung antara lain atonia uteri, trauma / laserasi, retensio plasenta, dan inversio uteri (Oxorn, 2010). Faktor pendukung antara lain sarana dan prasarana, transportasi, dan tenaga kesehatan (Farid, 2013). Dampak yang ditimbulkan oleh perdarahan post partum adalah syok hemoraghie, anemia dan sindrom Sheehan. Akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan menurunnya kesadaran akibat banyaknya darah yang keluar. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan dapat menyebabkan hipovolemia berat. Hal ini terus terjadi maka akan menyebabkan ibu tidak terselamatkan.

Berdasarkan tabel 1.2 menunjukkan bahwa ibu dengan paritas primipara mayoritas tidak terjadi perdarahan post partum primer sebesar 90,55 %, dibandingkan dengan paritas multipara dan grandemultipara yang terjadi perdarahan sebesar 24,29 %. Hasil ini didukung dengan uji Chi-Square yang menunjukkan bahwa χ2Hitung (7,92) > χ2Tabel (3,84) yang berarti H0 ditolak sehingga ada hubungan antara paritas ibu dengan kejadian perdarahan post partum primer. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi paritas maka semakin tinggi pula kejadian perdarahan post partum primer. Menurut teori yang dikemukakan oleh Harry Oxorn (2010) bahwa pada multiparitas kejadian perdarahan post partum primer semakin besar karena uterus yang telah melahirkan banyak anak cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan. Hal ini karena uterus telah mengalami perubahan dalam keelastisannya. Semakin elastis dan bertambah besar ukurannya maka kontraksi uterus akan semakin lemah sehingga kontraksi uterus akan semakin lemah dan terjadilah perdarahan. Kondisi inilah yang disebut sebagai atonia uteri dimana myometrium dan tonus ototnya sudah tidak baik lagi sehingga menimbulkan kegagalan kompresi pembuluh darah pada tempat implantasi plasenta sehingga perdarahan akan terus berlangsung.

Berdasarkan tabel 4. menunjukan bahwa mayoritas ibu bersalin tidak mengalami perdarahan post partum primer sebesar 85,28 % sedangkan ibu yang mengalami perdarahan post partum primer sebesar 14,72%. Kondisi ini menujukkan bahwa ibu bersalin yang tidak mengalami perdarahan post partum primer lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang mengalami perdarahan post partum primer. Meskipun demikian kondisi ini merupakan suatu masalah yang perlu diperhatikan karena angka kejadian perdarahan post partum yang sebesar 14,72 % melebihi batas angka toleransi yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Jawa Timur yaitu sebesar 8-10%. Angka kejadian perdarahan post partum primer yang sebesar 14,72 % ini merupakan angka kejadian dari jumlah sampel yang terpilih yaitu sebesar 197 orang sedangkan populasi keseluruhan ibu bersalin pada tahun 2012 adalah sebesar 568 orang. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa angka kejadian perdarahan post partum primer yang sebesar 14,72% ini hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah kejadian yang sebenarnya dari populasi 568 ibu bersalin. Oleh karena itu, masalah kejadian perdarahan post partum primer sangat perlu diperhatikn karena akan berdampak pada mortalitas ibu sehingga menyebabkan kematian. Semakin tinggi angka kejadian perdarahan post partum maka semakin tinggi pula angka morbiditas ibu sehingga berpotensi kepada mortalitas ibu yang juga akan terus meningkat.

Atonia uteri sering terjadi karena penanganan kala III persalinan yang tidak tepat. Usaha untuk mengeluarkan plasenta sebelun pemisahan total dapat mengakibatkan adanya bagian plasenta yang tertinggal dan membran yang menghambat kontraktilitas myometrium sehingga mempengaruhi pembuluh darah pada lokasi tersebut. Myometrium merupakan selubung otot yang sangat luas. Myometrium memiliki serabut otot oblig yang saling tumpang tindih dengan yang lainnya karena dikelilingi dengan pembuluh darah. Selama persalinan kala III serat ini berkontraksi dengan kuat dan menekan pembuluh darah untuk mengontrol pembuluh darah.

12

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Herianto (2003) bahwa paritas lebih dari 3 bermakna sebagai faktor risiko yang mempengaruhi perdarahan postpartum primer. Demikian juga hasil penelitian Miswarti (2007) yang menyatakan bahwa ibu yang mengalami perdarahan post partum primer dengan paritas 1 sebesar 12%, paritas 2-3 sebesar 40% dan paritas lebih dari 3 sebesar 48%, serta terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer. Hasil penelitian ini juga didukung dengan penelitian Milaraswati (2008) yang menyatakan bahwa ibu yang mengalami perdarahan post partum primer dengan paritas > 4 yaitu 69% dan didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer (Diah, 2013).

menimbulkan kegagalan kompresi pembuluh darah pada tempat implantasi plasenta akibatnya terjadi perdarahan post partum (Oxorn, 2010). Adapun akibat lain dari makrosomia jika dibandingkan dengan panggul ibunya yaitu dapat menyebabkan trauma lahir pada bayi (perdarahan intrakranial dan distosia bahu) sedangkan pada ibu (ruptur uteri, serviks, vagina dan robekan perinium) yang dapat pula menyebabkan perdarahan post partum. Perbedaan sementara antara perdarahn akibat atonia uteri dan akibat laserasi ditegakan berdasarkan kondisi uterus. Apabila perdarahan terus berlanjut walaupun uterus berkontraksi kuat, penyebab perdarahan kemungkinan besar adalah laserasi. Darah yang keluar berwarna merah segar juga mengisyaratkan adanya laserasi. Untuk memastikan penyebab perdarahan adalah laserasi maka harus dilakukan inspeksi yang cermat terhadap vagina, serviks dan uterus (Cuningham, 2010).

Berdasarkan tabel 2. menunjukkan bahwa ibu dengan bayi non makrosomia mayoritas tidak terjadi perdarahan post partum primer sebesar 89,50 %, dibandingkan ibu dengan bayi makrosomia yang terjadi perdarahan post partum primer sebesar 62,50 %. Hasil ini didukung dengan uji Chi-Square yang menunjukkan bahwa χ2Hitung (31,58) > χ2Tabel (3,84) yang berarti Ho ditolak sehingga ada hubungan antara berat bayi lahir dengan kejadian perdarahan post partum primer. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi berat bayi lahir maka semakin tinggi pula terjadinya perdarahan post partum primer.

Berdasarkan tabel 3. menunjukkan bahwa ibu bersalin dengan tidak retensio plasenta mayoritas tidak terjadi perdarahan post partum primer sebesar 89,01 %, dibandingkan ibu bersalin dengan retensio plasenta yang terjadi perdarahan post partum primer sebesar 60 %. Hasil ini didukung pula dengan hasil uji Chi-Square yang menunjukan bahwa χ2Hitung (26,48) > χ2Tabel (3,84) , yang berarti Ho ditolak sehingga ada hubungan antara retensio plasenta dengan kejadian perdarahan post partum primer.

Berat bayi lahir yang lebih dari normal atau yang dalam penelitian ini disebut makrosomia dapat menyebabkan perdarahan post partum karena uterus meregang berlebihan dan mengakibatkan lemahnya kontraksi sehingga dapat terjadi perdarahan post partum. Kondisi ini karena uterus mengalami overdistensi sehingga mengalami hipotoni atau atonia uteri setelah persalinan. Adapun beberapa keadaan overdistensi uterus yang juga dapat menyebabkan atonia uteri yaitu kehamilan ganda dan hidramnion (Cuningham, 2010). Atonia uteri disebabkan oleh gangguan fungsi myometrium dan tonus otot yang sudah tidak berfungsi dengan baik sehingga

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Soufyan dan Wawang (2008) yang mendapatkan kejadian perdarahan post partum akibat retensio plasenta paling banyak pada paritas ≥ 4 sebesar 25,5%, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2003) kejadian retensio plasenta paling banyak pada paritas 6 sebesar 6,85%. Sesuai dengan teori bahwa kejadian retensio plasenta lebih tinggi pada grandemultipara. Hal ini di hubungkan dengan kontraksi dari rahim yang kurang bagus karena dinding uterus yang sangat teregang dan banyak 13

parutan bekas implantasi plasenta pada persalinan sebelumnya (Farid, 2013). Retensio seluruh atau sebagian plasenta dalam rahim akan mengganggu kontraksi dan retraksi, menyebabkan sinus-sinus darah tetap terbuka dan menimbulkan perdarahan post partum. Begitu bagian plasenta terlepas dari dinding uterus perdarahan terjadi di daerah tersebut. Sedangkan bagian plasenta yang masih melekat merintangi retraksi miometrium dan perdarahan berlangsung terus sampai sisa organ tersebut dan terlepas dan dikeluarkan. Tindakan segera yang harus dilakukan apabila terjadi retensio plasenta dan menimbulkan perdarahan adalah melakukan pengeluaran plasenta secara manual/ manual plasenta (Harry Oxorn, 2010).

yang mempunyai sarana dan prasarana yang lebih lengkap atau memiliki bank darah sehingga kejadian perdarahan yang mungkin terjadi setelah persalinan dapat dicegah dan segera ditangani. Selain pemeriksaan antenatal care secara teratur, penerapan asuhan persalinan normal sangat penting dalam mencegah komplikasi persalinan termasuk perdarahan post partum primer yaitu dengan pelaksanann managemen aktif kala III dengan baik dan benar sehingga komplikasi yang menyebabkan kematian dapat diturunkan.

Simpulan Dari hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Paritas ibu bersalin di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 mayoritas primipara sebesar 64,47 %. 2. Berat bayi lahir di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 mayoritas non makrosomia sebesar 91,88 %. 3. Kejadian retensio plasenta di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 sebesar 7,61 %. 4. Kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 sebesar 14,72 %. 5. Ada hubungan antara paritas dengan kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012. 6. Ada hubungan antara berat bayi lahir dengan kejadian perdarahan post partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012 7. Ada hubungan antara retensio plasenta dengan kejadian perdarahan posr partum primer di Puskesmas Jagir Surabaya tahun 2012.

Sebagai tenaga kesehatan, upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum primer dan segala dampak yang mungkin terjadi tidak hanya dilakukan pada saat bersalin tetapi sejak ibu hamil dengan melakukan pemeriksaan ante natal care secara teratur di tempat pelayanan kesehatan sehingga dapat mendeteksi secara dini faktor – faktor penyebab perdarahan dan segala komplikasi yang mungkin terjadi. Dalam melakukan pemeriksaan ante natal care harus sesuai dengan standar minimal yang berlaku yaitu standar 7 T. Dengan pemeriksaan kehamilan secara teratur dapat terdeteksi adanya bayi besar melalui perkiraan berat badan janin dan pemerikasaan reduksi urin pada ibu hamil untuk mengetahui kadar glukosa dalam urin ibu. Pemberian KIE seperti membatasi makanan yang mengandung karbohidrat pada usia kehamilan 36 minggu dan meningkatkan konsumsi makanan berserat seperti buah-buahan dan sayuran khususnya yang berwarna hijau karena mengandung zat besi. Selain itu, minum tablet besi selama kehamilan untuk mencegah terjadinya anemia sehingga diharapkan dapat mengurangi resiko terjadi perdarahan selama persalian.

Saran Dari hasil pembahasan dan kesimpulan maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

Ibu yang mempunyai riwayat perdarahan post partum atau terdapat faktorfaktor penyebab perdarahan post partum sangat dianjurkan bersalin di rumah sakit

Bagi Puskesmas : 1. Diharapkan Puskesmas Jagir Surabaya terus meningkatkan program pemerikasaan Hb minimal yaitu 2 kali 14

selama kehamilan, yaitu 1 kali pada trimester I dan 1 kali pada trimester III untuk mendeteksi adanya anemia serta pemberian Fe sebanyak 90 tablet selama kehamilan. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan urin untuk mengetahui kadar glukosa dan protein ibu. 2. Diharapkan Puskesmas Jagir Surabaya dapat mengevaluasi dan meningkatkan mutu pelayanan dalam pemeriksaan kehamilan sehingga dapat dideteksi secara dini bila ditemukan adanya kelainan dalam kehamilan yang dapat menyebabkan perdarahan post partum.

Bagi Masyarakat Khususnya Ibu Hamil : 1. Para ibu hamil diharapkan memeriksakan kehamilannya secara teratur sesuai dengan standar yaitu 1 kali pada kehamilan trimester I, 1 kali pada kehamilan trimester II dan 2 kali pada kehamilan trimester III sehingga dapat mendeteksi secara dini adanya kelainan dalam kehamilan. 2. Bagi ibu dengan paritas multipara atau grandemultipara sebaiknya menghentikan kehamilan dengan mengikuti program KB. Apabila telah terjadi kehamilan maka ibu dianjurkan untuk rutin memeriksakan kehamilannya secara teratur serta meningkatkan asupan gizi yang seimbang selama kehamilan sehingga mengurangi resiko perdarahan pada saat persalinan. 3. Bagi ibu dengan usia kehamilan 36 minggu diharapkan untuk membatasi konsumsi makanan yang mengandung karbohidrat dan makanan yang manismanis agar bayi yang dilahirkan mempunyai berat badan normal.

Bagi Institusi Pendidikan : Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna, sehingga diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat meneliti faktorfaktor lain yang mempengaruhi peningkatan kejadian perdarahan post partu primer seperti karakteristik ibu dari segi umur, faktor ibu, faktor janin serta faktor pendukung lainnya yang berpotensi menyebabkan perdarahan post partum primer. Bagi Tenaga Kesehatan : 1. Diharapkan tenaga kesehatan khususnya para bidan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang faktor penyebab perdarahan post partum primer maupun penanganannya sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi seperti mengikuti pelatihan atau seminar kesehatan yang berkaitan dengan kejadian perdarahan post partum dan penanganannya. 2. Diharapkan tenaga kesehatan dapat memberikan pelayanan kehamilan yaitu Ante Natal Care sesuai dengan standar pelayanan kebidanan 7 T dan asuhan persalinan yaitu managemen aktif kala III yang benar dalam melahirkan plasenta. 3. Diharapkan tenaga kesehatan dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan berkomunikasi secara efektif sehingga dapat memberikan konseling / KIE kepada ibu hamil dan ibu bersalin secara efektif.

15

DAFTAR PUSTAKA Kaban, H., 2013. Data Angka Kematian Ibu Hamil Menurut WHO. Tersedia di : (Diakses tanggal 18 April 2013).

AKBID Griya Husada. 2013. Buku Panduan Penulisan Proposal dan KTI. Surabaya : AKGH Anton. 2012. Bayi Besar (Makrosomia). Tersedia di : (Diakses tanggal 16 Mei 2013). Bahiyatun. 2009. Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta : EGC.

Kosim, dkk., 2003. Managemen Masalah bayi Baru Lahir untuk Dokter, Bidan, Perawat di Runah Sakit. Jakarta : IDAI Manuaba, I.B.G., 2010. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta : EGC.

Bobak. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC. Budjianto, D., 2005. Metode Penelitian. Surabaya: P3SKK. Cunningham, F., 2005. Obstetri William. Jakarta : EGC. Depkes RI. 2011. Skenario Percepatan Penurunan AKI. Tersedia di : (Diakses tanggal 3 Juni 2013).

Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Rasyid, A., 2013. Asuhan Keperawatan Perdarahan Post Partum. Tersedia di : (Diakses tanggal 29 April 2013).

Diah, Y., 2013. Perdarahan Post Partum. Tersedia di : (Diakses tanggal 29 April 2013).

Reeder, dkk. 2011. Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.

Dinkes Jatim. 2010. Profil Kesehatan Propinsi Jawa Timur 2010. (pdf). Tersedia di : (Diakses tanggal 18 April 2013).

Saifuddin, A.B., 2011. Ilmu Bedah Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : EGC. Sastrawinata, S., 2004. Obstetri Patologi Edisi 2. Jakarta : EGC.

Farid. 2013. Jurnal Pendidikan Bidan. Tersedia di : (Diakses tanggal 29 April 2013).

Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Farrer, H., 2001. Perawatan Maternitas Edisi 2. Jakarta : EGC.

Soekarno, R., 2013. Angka Kematian Ibu Melahirkan Menurun. Tersedia di : (Diakses tanggal 18 April 2013).

Gant dan Cuningham. 2010. Dasar - dasar Ginekologi dan Obstetri. Jakarta. EGC

Sofian , A., Ed., 2011. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC.

Hidayat, A., 2006. Metode Penelitian keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba medika. Sulistyawati, Ari. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas.

Sulistyawati, A., 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Yogyakarta : Salemba Medika.

109 16

Surasmi, dkk. 2003. Perawatan Bayi risiko Tinggi. Jakarta : EGC Suyanto

dan Ummi, Kebidanan

S.,

2009.

Riset

17