HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007
TESIS
Oleh HENDRA YUDI 037 012 007/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007
TESIS Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh HENDRA YUDI 037 012 007/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi Konsentrasi
:
HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007 : Hendra Yudi : 037 012 007 : Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan : Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Badaruddin, MSi) Ketua
(Dr. Sutarman, MSc) Anggota
Ketua Program Studi,
(Dr. Drs. Surya Utama, MS)
(Ir. Etti Sudaryati, MKM) Anggota
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc.)
Tanggal Lulus : 12 Maret 2008
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Telah diuji Pada tanggal : 12 Maret 2008
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Dr. Badaruddin, MSi
Anggota
: 1. Dr. Sutarman, MSc 2. Ir. Etty Sudaryati, MKM 3. dr. Ria Masniari Lubis, MSi 4. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
PERNYATAAN
HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar Kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan,
Maret 2008
( Hendra Yudi )
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
ABSTRAK Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa dan sebagai modal pembangunan. Karena itu, sudah sewajarnya perlu adanya upaya peningkatan kualitas manusia yang dimulai sejak dalam kandungan dari keluarga. Pentingnya perhatian terhadap gizi pada balita menyebabkan orang tua harus lebih mengerti dalam menyusun menu keluarga agar memenuhi standar gizi yang memadai. Faktor sosial budaya sangat berpengaruh pada perawatan anak dalam keluarga sehingga berdampak pada status kesehatan dan satatus gizi balita. Masalah gizi balita di kota Medan dari hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2006 adalah 23,8 persen gizi kurang, 9 persen gizi buruk dan 2 persen gizi lebih. Pada Kecamatan Medan Area masih dijumpai kasus gizi kurang, dengan keadaan masyarakat yang heterogen. Berdasarkan fakta yang ada maka dilakukan survei dengan disain Cross Sectional Study, yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat pada suatu waktu dan tidak diikuti terus menerus dalam kurun waktu tertentu di Kecamatan Medan Area. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 6-24 bulan yang berasal dari keluarga yang tinggal dalam wilayah kecamatan Medan Area yang berjumlah 2960 orang, dengan sampel sebanyak 107 keluarga, dimana masing-masing sampel tersebut diwakili oleh ibu rumah tangga sebagai responden penelitian. Data yang diperoleh melalui wawancara yang berpedoman pada kuesioner yang telah disiapkan dan pengukuran status gizi (BB/U) dengan menggunakan timbangan digital. Hasil pengumpulan data, menunjukan dimana hasil uji kai kuadrat diketahui bahwa pendidikan ibu (p=0,011), pekerjaan ibu (p=0,031) dan pengetahuan ibu (p=0,026) memiliki hubungan dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Sedangkan pendidikan ayah (p=0,395), pekerjaan ayah (p=0,211), penghasilan keluarga (p=0,294) dan tradisi/kebiasaan (p=408) tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Dari perhitungan yang didapat berdasarkan penelitian tersebut, maka terlihat bahwa masih terdapat masalah gizi yang tidak baik yang disebabkan kurangnya pengetahuan tetang kesehatan dan gizi, untuk itu disarankan kepada petugas puskesmas dan posyandu untuk meningkatkan pelaksanaan pemantauan pertumbuhan balita dan meningkatkan penyuluhan dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentang kesehatan dan gizi, sehingga informasi tersebut dapat dipahami oleh masyarakat khususnya kaum ibu sebagai orang yang berhubungan langsung terhadap pertumbuhan status gizi balita.
Kata Kunci : Faktor Sosial Budaya, Status Gizi, Anak Usia 6 -24 bulan.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
ABSTRACT The children of Indonesia are the generation responsible for continuing the national aspiration and development. Therefore, their family needs to attempt to improve their quality even when they are still being carried by their respective mothers. The importance of paying attention to the nutrient in children under five years old requires their parents to more understand the family menu arrangement in order to meet the adequate standard of nutrient. The sicio-cultural factor is very dominant in treating children in a family that it brings an impact to the health status and nutrient status of children of 6 – 24 months old. Based on the result of Pemantauan Status Gizi (Nutrient Status Monitoring) done by the Health Service of Sumatera Utara Province in 2006, the nutrient problem in children of 6 – 24 months old in the city of Medan was children with less nutrients (23,8%), poor nutrient (9%), and excessive nutrient (2%). A case of less nutrient and heterogeneous community is still found in Medan Area sub district. The population of this survey study with cross-sectional design is 2960 children of 6 – 24 months old originally from the families living in Medan Area sub district and 107 children were selected as the samples for this study. Each sample was represented by a housewife as a respondent for this study. The data for this study were obtained through interviewing the respondents based on the questionnaires distributed to them and the nutrient status (Body Weight/Age) of the children was measured through digital weighing scale. The result of the chi-square test shows that mothers` education (p = 0.011), mothers` occupation (p = 0.031), and mothers` knowledge(p = 0.026) have relationship with the nutrient status of the children of 6 – 24 months old. Fathers` education (p =0.395), fathers` occupation (p = 0.211), family income (p = 0.294) and tradition/belief (p = 0.408) do not have any relationship with the nutrient status of the children of 6 – 24 months old. This result of this study reveals that the problem of poor nutrient caused by the less knowledge on health and nutrient still exists, therefore, it is suggested that the officer/ personnel of puskesmas (Community Health Center) and posyandu (Integrated Service Post) improve the implementation and monitoring of the growth of children of 6 – 24 months old and increase the number of extension in providing the community with the information on health and nutrient that the information can be well understood by the community especially the mothers who are directly related to the growing process of nutrient status of children of 6 – 24 months old.
Keywords: Sociocultural Factor, Nutrient status, Children of 6 – 24 Months Old.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Sebelum dan sesudahnya penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ” Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ” Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak dan oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Sutarman, MSc dan Ibu Ir. Etti Sudaryati, MKM selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan fikiran dalam membimbing mulai dari penyusunan proposal hingga selesai penulisan tesis ini, demikian juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu dr. Ria Masniari Lubis, MSi dan Ibu Dra. Jumirah, Apt. M.Kes atas kesediaan waktu, tenaga dan fikiran sebagai Tim penguji tesis ini. Disamping itu penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSAK, selaku Rektor USU. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
3. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS sebagai Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU. 4. Ibu Dr. Dra. Ida Yustina, MSi selaku Sekretaris Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU. 5. Kapala Dinas Kesehatan dan Kepala Balitbang Kota Medan beserta jajarannya yang telah memberi izin dan membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini. 6. Pegawai puskesmas dan masyarakat di Kecamatan Medan Area Kota Medan dan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. 7. Seluruh Staf Dosen Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Pascasarjana USU. 8. Rekan-rekan Mahasiswa Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara tahun 2003 serta semua pihak yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan dorongan dalam penulisan tesis ini. Demikian juga kepada Alm. Ayahanda tercinta Misdi Haryanto dan Ibunda tercinta Musiyah serta kepada Istri tercinta Masnura dan ketiga putera tersayang dambaan hati Mhd. Ihsan Habwandi, Chaidir Ali Habwandi dan Mhd. Iqbal Habwandi yang telah banyak membantu dalam hal memahami, menghibur dan mau mengerti, memberikan dorongan moril maupun materil mulai dari mengikuti pendidikan hingga penyelesaian tesis ini.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Untuk itu semua, penulis tidak dapat membalasnya semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua bantuannya dan penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi pengambil keputusan dibidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan,
Maret 2008 Penulis
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Nama Hendra Yudi dilahirkan di Kelumpang, dengan Ayah bernama Misdi Hariyanto dan Ibu bernama Musiyah, merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara, menganut agama Islam. Telah menikah dengan Masnura dan telah dikarunia
3 (tiga) orang putera yang masing-masing bernama Mhd Ihsan
Habwandi, Chaidir Ali Habwandi dan Mhd. Iqbal Habwandi, sekarang menetap di Jalan Pukat Banting IV No. 46-B Kelurahan Bantan Kecamatan Medang Tembung Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Pendidikan dimulai dari SD Negeri 064021 Helvetia Medan pada tahun 1974 - 1980, selanjutnya ke SMTP MTs Swasta Perguruan NU Sekip Medan pada tahun 1980 - 1983, kemudian mengikuti sekolah keguruan pada PGAN Tanjung Pura pada tahun 1983 – 1986, setelah itu melanjutkan ke Perguruan Tinggi IAIN Sunan Gunung Djati Bandung pada tahun 1987 – 1992 dan pada Tahun 2003 – 2008 mengikuti studi sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara. Sebelum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara, pernah mengajar pada Perguruan Swasta Alwasliyah Binjai pada tahun 1992 – 1994. pada tahun 1994 – 2004 diangkat menjadi PNS sebagai staf pada Subbid Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat pada Bidang Sosial Budaya Bappeda Provinsi Sumatera Utara dan sekarang menjabat Kasubbid Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Perempuan pada Bidang Sosial Budaya Bappeda Provinsi Sumatera Utara.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ....................... ...................................................................................
vi
ABSTRACT .........................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ....................... ..................................................................
viii
RIWAYAT HIDUP ..............................................................................................
xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR ....................... ....................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................
xx
BAB 1 :
BAB 2 :
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................
5
1.4. Hipotesis Penelitian ................................................................
5
1.5. Manfaat Penelitian .................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sosial Budaya ........................................................
7
2.2 Indikator Sosial Budaya ...........................................................
10
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
2.3 Indikator Tingkat Kehidupan Dengan Meninjau Aspek
BAB 3 :
Sosial Budaya .........................................................................
14
2.4 Status Gizi Balita .....................................................................
18
2.5 Penilaian Status Gizi Balita ...................................................
24
2.6 Landasan Teoritis .....................................................................
27
2.7 Kerangka Konsep......................................................................
31
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ......................................................................
33
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................
33
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................... 3.4 Metode Pengumpulan Data ......................................................
33 35
3.5 Defenisi Operasional Variabel
BAB 4 :
...............................................................................................................
37
3.6 Metode Pengukuran ...............................................................
39
3.7 Metode Analisis Data ...............................................................
40
HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ...........................................................
41
4.1.1. Geografi Medan Area ............................................................
41
4.1.2. Gambaran Kependudukan......................................................
42
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 5 :
4.1.3. Gambaran Mata Pencaharian .................................................
43
4.1.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita ..................
44
4.1.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu .......
44
4.2. Gambaran Faktor Siosial Budaya ....................................................
45
4.2.1. Pendidikan .............................................................................
45
4.2.2. Pekerjaan................................................................................
48
4.2.3. penghasilan ............................................................................
49
4.2.4. Suku/Etnis..............................................................................
49
4.2.5. Tradisi/Kebiasaan ..................................................................
51
4.2.6. Pengetahuan ...........................................................................
53
4.3. Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan ................................................
53
4.4. Tabulasi Silang Status Gizi dan Faktor Sosial Budaya....................
55
PEMBAHASAN.............................................................................
60
5.1. Sosial Budaya Ibu dan Ayah ...........................................................
60
5.2. Status Gizi Anak .............................................................................
62
5.3. Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi ......................
63
5.3.1. Pendidikan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi ......................
63
5.3.2. Pekerjaan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi .........................
65
5.3.3. Penghasilan dengan Status Gizi ............................................
66
5.3.4. Tradisi/kebiasaan dengan Status Gizi ..........................................
68
5.3.5. Pengetahuan dengan Status Gizi ..................................................
69
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................................
71
6.1. Kesimpulan .....................................................................................
71
6.2 Saran ................................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
75
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
3.1.
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada 15 Respnden ...............
37
3.2.
Definisi Operasional Variabel, Alat Ukur dan Skala ...................
38
4.1.
Keadaan Geografis Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006 ……....…………………..
41
Distribusi Penduduk berdasarkan Jumlah Keluarga dan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006 …………………………..
42
Distribusi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006 ...................................................................................
43
Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita di Wilayah Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006 ............
44
Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu di Wilyah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2007....................................................................................
45
Distribusi Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ....................................................
46
Distribusi Katagori Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................
46
Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 .............................................................
47
Distribusi Katagori Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................
47
4.2.
4.3.
4.4. 4.5.
4.6. 4.7. 4.8. 4.9.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.10.
Distribusi Kategori Pekerjaan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ....................................................
48
Distribusi Katagori Pekerjaan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ....................................................
48
Distribusi Kategori Penghasilan Keluarga di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................
49
Distribusi Suku/Etnis Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 .............................................................
50
Distribusi /Etnis Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 .............................................................
50
Distribusi Tradisi/Kebiasaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 .............................................................
51
4.16. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ayah dengan Tradisi/ Kebiasaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007.
51
4.17. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ibu dengan Tradisi/ Kebiasaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007.
52
4.11. 4.12. 4.13. 4.14. 4.15.
4.18.
Distribusi Kategori Pengetahuan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ....................................................
53
Distribusi Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................
54
Distribusi Kategori Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 .....................
54
Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pendidikan Ibu dan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007..
55
4.22. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pekerjaan Ibu dan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007..
56
4.23. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Penghasilan Keluarga di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ................
57
4.19. 4.20. 4.21.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.24. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tradisi/Kepercayaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 .................
58
4.25. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Pengetahuan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................
58
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Judul
Halaman
2.1.
Model Interelasi Tumbuh Kemban Anak ( Unicef) ….………... 24
2.2
Kurva klasifikasa Z score (Standar Deviasi) Status Gizi (NHCS-WHO) …………………………………….. 28
2.3.
2.4.
Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF (1998) The State of the World's Children 1998. Oxford Univ. Press)……………………………………………………......
32
Kerangka Konsep Penelitian ………………………………........ 34
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1.
Judul
Kuesioner Penelitian Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan ...................................................................................
Halaman
79
2.
Master Data Status Gizi Anak Usia-24 Bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan .......................................................................... 83
3.
Tabel Katagori Status Gizi Berdasarkan Indeks Berat Badan Menurut umur (BB/U) Anak Laki-laki dan Perempuan Usia 0-60 Bulan .............................................................................
89
Uji Validitas dan Reliabilitas serta Hasil Uji Statistik Penelitian Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan ....................
93
4.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan kualitas manusia merupakan suatu proses yang panjang dan berkesinambungan, harus dimulai sejak dini, yaitu sejak manusia masih dalam kandungan. Mempersiapkan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sehat, cerdas, terampil, produktif dan kreatif, yang akan meneruskan pembangunan bangsa harus lebih memperhatikan aspek tumbuh kembang balita, sehingga dalam jangka panjang tercipta kesehatan bangsa Indonesia secara nyata (DepKes RI, 1996). Mempersiapkan kualitas balita dimulai dari keluarga, sebab keluarga mempunyai berbagai fungsi di dalam masyarakat, antara lain sebagai kesatuan unit ekonomi yang bertanggungjawab terhadap anggota keluarganya. Disamping fungsi tersebut salah satu fungsi keluarga yang paling menonjol adalah sebagai pemelihara dan sebagai wadah sosialisasi bagi generasi baru. Perlu diingat bahwa keluarga harus dilihat sebagai suatu sistem interaksi antar individu yang secara timbal balik akan mensosialisasikan dan saling mengatur para anggotanya (Yuliani, 2004). Pentingnya perhatian terhadap gizi pada balita menyebabkan orangtua harus lebih mengerti dalam menyusun menu keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang. Pengetahuan orangtua tentang gizi akan sangat berpengaruh pada kebiasaan makan keluarga. Oleh karena itu, pemerintah melalui Dinas Kesehatan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
memberikan penyuluhan program keluarga sehat dengan tujuan membantu para keluarga dan masyarakat bertanggungjawab terhadap kesehatan diri sendiri, membantu pelayanan kesehatan dalam masyarakat, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta untuk menyediakan informasi dan pelayanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau serta mudah diakses berdasarkan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan, membantu masyarakat memanfaatkan sumber daya yang ada untuk keperluan peningkatan kesehatan yang bersifat preventif (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2003). Selain itu, faktor sosial budaya juga berpengaruh pada perawatan balita dalam keluarga sehingga berdampak pada status kesehatan dan satatus gizi balita. Faktor sosial budaya tersebut diantaranya pendidikan, pekerjaan, penghasilan, suku/etnis, tradisi/kebiasaan dan pengetahuan mereka akan kesehatan dan gizi. Dimana latar belakang suku yang berbeda pada orangtua akan berdampak pada kebiasaan makan balita yang berbeda pula. Di sisi lain orangtua yang mempunyai latar belakang pendidikan yang baik akan lebih mudah menerima informasi kesehatan yang dapat mendukung peningkatan status gizi balita. Demikian juga dengan tingkat pendapatan keluarga dapat mempengaruhi status gizi balita. Pada keluarga yang berpendapatan rendah mempunyai risiko 2 kali lebih besar memiliki balita berstatus gizi kurang dibandingkan pada keluarga yang berpendapatan tinggi (Berg, 1989). Status gizi yang diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuranukuran gizi tertentu. Masalah gizi utama terjadi akibat dari ketidakseimbangan gizi
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
yang masuk ke dalam tubuh seseorang, sehingga jika balita kekurangan gizi maka dapat mengakibatkan status kesehatan balita yang buruk. Setiap balita yang berstatus gizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10 – 13 poin. Pada tahun 1999 diperkirakan terdapat kurang lebih 1,3 juta balita bergizi buruk, berarti terjadi potensi kehilangan IQ sebesar 22 juta poin, (Pemerintah RI dan WHO, 2000). Menurut data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2000 menyebutkan sekitar 3-4 juta balita menderita kekurangan gizi, yaitu sebanyak 1,5 juta diantaranya bergizi buruk, sedangkan pada tahun 2003 prevalensi gizi kurang sebanyak 27,5 persen dan prevalensi gizi buruk sekitar 8,5 persen. Hal ini dapat mengakibatkan mudahnya terkena diare, infeksi dan mengalami gangguan pertumbuhan (
[email protected],2007). Permasalahan kesehatan masih banyak dijumpai di Kota Medan, diantaranya masalah gizi pada balita. Hal ini terlihat dari hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2006 untuk Kota Medan adalah 23,8 persen gizi kurang, 9 persen gizi buruk dan 2 persen gizi lebih. Angka ini masih dinyatakan bermasalah dan perlu penanganan yang serius karena angka ini masih berada diatas angka prevalensi gizi kurang yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005 2009 yaitu setinggi-tingginya gizi kurang mencapai 20 persen dan gizi buruk 5 persen. Masyarakat Kota Medan merupakan masyarakat yang bersifat multi etnis dengan latar belakang budaya, pekerjaan, pendidikan dan penghasilan yang
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
berbeda. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2006 bahwa masyarakat Kecamatan Medan Area memiliki
keanekaragaman sosial budaya,
dengan jumlah penduduk sebesar 112.667 orang, dimana laki-laki sebesar 55.802 orang sedangkan perempuan sebesar 56.865 orang. Data untuk suku bangsa yang terdapat di Kecamatan Medan Area, juga terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa sehingga dapat dijadikan objek penelitian dengan uraian sebagai berikut : suku Melayu sebanyak 6.444 orang,
Karo
sebanyak 607 orang, Simalungun
sebanyak
248 orang,
Tapanuli/Toba sebanyak 8.330 orang, Madina sebanyak 6.831 orang, Pakpak sebanyak 215 orang, Nias sebanyak 265 orang, Jawa sebanyak 18.919 orang, Minang sebanyak 35.016 orang, Cina sebanyak 30.246 orang, Aceh sebanyak 3.240 orang, dan suku lainnya sebanyak 2.306 orang. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat Kecamatan mempunyai Sukaramai
tiga puskesmas dan
yaitu Puskesmas
Puskesmas Medan
Area
Kota
Medan
Matsum,
Area
Puskesmas
Selatan. dimana puskesmas Kota
Matsum mempunyai jumlah balita sebanyak 4.562 orang, puskesmas Sukaramai mempunyai balita sebanyak 4.582 orang dan Puskesmas Medan Area Selatan mempunyai balita sebanyak 2.696 orang. Sedangkan jumlah balita yang ditimbang di puskesmas Kota Matsum sebanyak 3.735 orang, puskesmas Sukaramai balita yang ditimbang sebanyak 3.070 orang sedangkan puskesmas Medan Area Selatan balita yang ditimbang sebanyak 2.322 orang. Puskesmas yang memiliki angka balita yang kurang gizi tertinggi adalah Puskesmas Kota Matsum dengan
presentase sebesar 17,97 persen, kemudian
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
diikuti puskesmas Sukaramai sebesar 2,64 % dan selanjutnya Puskesmas Medan Area Selatan sebesar 0,56 persen. Puskesmas Kota Maksum memiliki jumlah balita Bawah Garis Merah (BGM) 78 balita atau 2,09 persen dan Bawah Garis Titik-Titik (BGT) 593 balita atau 15,88
persen, sedangkan Puskesmas Sukaramai BGM
sebanyak 6 balita atau 0,2 persen dan BGT 75 balita atau 2,44 persen, dan puskesmas Medan Area Selatan terdapat BGM hanya 13 balita atau 0,56 persen dan tidak terdapat balita BGT. (Profil Dinas Kesehatan Kota Medan, 2006). Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan faktor sosial budaya dengan status gizi balita di wilayah Kecamatan Medan Area.
1.2. Perumusan Masalah Masih dijumpai kasus anak gizi kurang di Kecamatan Medan Area yang secara sosial budaya masyarakat bersifat heterogen, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimanakah hubungan faktor sosial budaya terhadap status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan”.
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran faktor sosial budaya dan kaitannya dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
1.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan faktor sosial budaya (suku/etnis,
tradisi/kebiasaan,
pendidikan,
pekerjaan,
penghasilan,
dan
pengetahuan) dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area.
1.5. Manfaat Penelitian a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan bagi pemerintah khususnya bidang kesehatan agar lebih memahami hubungan faktor sosial budaya dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dalam kegiatan perencanaan program dan strategi penanggulangan gizi anak usia 6 – 24 bulan agar mempertimbangkan aspek sosial budaya. c. Merupakan bahan informasi penting yang ditinjau dari sosial budaya masyarakat terhadap tingkat keberhasilan program perbaikan gizi masyarakat.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Sosial Budaya Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial selalu dihadapkan kepada masalah sosial yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Masalah sosial timbul sebagai akibat dari hubungannya dengan sesama manusia lainnya dan akibat tingkah lakunya. Masalah sosial tidak sama antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya karena adanya perbedaan dalam tingkatan perkembangan kebudayaannya, sifat kependudukannya dan keadaan lingkungan alamnya (Munandar, 1992). Teori sosial yang diartikan sebagai usaha mengerti hakikat masyarakat, memerlukan landasan pengetahuan dasar tentang kehidupan manusia sebagai suatu sistem. Landasan ini dapat diperoleh dari ilmu sosial yang ruang lingkupnya manusia dalam konteks sosial (Sumaatmaja, 1986). Keluarga adalah unit satuan masyarakat yang terkecil dan sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini, dalam hubungannya dengan perkembangan individu, sering dikenal dengan sebutan primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
penerus keturunan saja, banyak hal-hal mengenai kepribadian yang dapat diyakini dari suatu keluarga yang pada saat-saat sekarang ini sering dilupakan orang. Perkembangan intelektual akan kesadaran lingkungan seorang individu sering kali dilepaskan bahkan dipisahkan dengan masalah keluarga. Hal-hal semacam inilah yang sering menimbulkan masalah-masalah sosial, karena kehilangan pijakan. Budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi daya, yang berarti daya dari budi, karena itu harus dibedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut (Widagdho, 1993). Budaya dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi perlakuan dan tindakan-tindakan sosial manusia, atau sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia. Di dalam masyarakat, manusia mengembangkan kebudayaannya. Ada yang diterima dan ada yang tidak, atau diterima secara selektif karena berkenaan dengan nilai-nilai moral dan estetika, sistrem-sistem penggolongan, benda-benda, berbagai hal lainnya yang diperlukan hidupnya. Kesemuanya ini merupakan masalah sosial, yang didalamnya masyarakat berada dalam suatu proses perubahan sosial dan kebudayaan yang cepat (Munandar, 1992). Budaya berisi norma-norma sosial, yakni sendi-sendi masyarakat yang berisi sanksi atau hukuman-hukumannya yang dijatuhkan oleh golongan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
bilamana peraturan yang dianggap baik untuk menjaga kebutuhan dan keselamatan masyarakat itu, dilanggar. Norma-norma itu mengenai kebiasaankebiasaan hidup, adat-istiadat atau tradisi-tradisi hidup yang dipakai turuntemurun (Shadily, 1984). Pada dasarnya individu selalu berada dalam situasi sosial. Situasi sosial yang merangsang individu sehingga individu bertingkah laku disebut situasi perangsang sosial atau social stimulus situation (Ahmadi, 1999). Situasi perangsang sosial ini digolongkan menjadi 2 (dua) golongan besar, yaitu : a. Orang lain, yang dapat berupa : 1). Individu-individu lain sebagai perangsang. 2). Kelompok sebagai situasi perangsang, yang dapat dibedakan lagi atas : hubungan intragroup, hubungan intergroup. b. Hasil kebudayaan yang dibedakan : 1). Kebudayaan materil (materiil culture). 2). Kebudayaan non materil (non materiil culture).
Persoalan kurang gizi disebabkan karena tidak tersedianya zat-zat gizi dalam kualitas dan kuantitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Kecukupan zat-zat gizi ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh makanan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
yang dikonsumsi, dan makanan yang dikonsumsi pada gilirannya amat ditentukan oleh kebiasaan yang bertalian dengan makanan. Kebiasaan makan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan makanan telah ditanamkan sejak awal pertumbuhan manusia yang berakar dalam setiap kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, berbicara mengenai kebiasaan makan berarti juga berbicara mengenai kebudayaan masyarakat. Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan memungkinkan untuk melihat berbagai perubahan dan variasi pengetahuan yang terjadi dalam berbagai perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya perubahan-perubahan gaya hidup atau perilaku jangka panjang sebagai konsekuensi langsung ataupun tidak langsung dari perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Perubahan gaya hidup pada gilirannya akan mempengaruhi kebiasaan makan, baik secara kualitas maupun kuantitas (Pelto, 1980). Dengan adanya pernyataan di atas, dapat menimbulkan pertanyaan tentang mengapa satu keluarga mengkonsumsi jenis makanan bergizi sedangkan keluarga lainnya tidak. Disamping faktor ekonomi, faktor sosial dan budaya sangat menentukan dalam hal ini. Karena kebiasaan makan, nilai-nilai dan kepercayaan terhadap makanan, cara memasak, merupakan konsep yang diciptakan masyarakat berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
2.2. Indikator Sosial Budaya Kondisi sosial adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat (Soekanto, 1997). Untuk melihat kondisi sosial seseorang maka perlu diperhatikan beberapa faktor yakni pekerjaan, pendapatan dan pendidikan (Koentjaraningrat, 1993). Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intlektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang komplek, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Wikipedia, 2008). Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai mahluk yang berbudaya,
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, mialnya pola-pola prilaku yang menjadi suatu kebiasaan, bahasa, peralatan hidup, tradisi, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Wikipedia, 2008). Selain faktor-faktor tersebut, ada juga faktor lain yang sering diikut sertakan oleh beberapa ahli dalam melihat kondisi sosial seseorang yakni perumahan, kesehatan dan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat. Selanjutnya pekerjaan adalah kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa untuk dijual kepada orang lain atau ke pasar guna memperoleh uang sebagai pendapatan bagi seseorang sesuai dengan nilai sosial yang berlaku. Untuk lebih jelasnya pengertian pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni : Pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni sebagai berikut (Suroto, 1992): a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan perorangan. b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan c. bagi masyarakat dan perseorangan sebagai imbalan atas pengorbanan energinya. d. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan prestasinya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
e. Pekerjaan
merupakan
sumber
penghidupan
yang
layak
dan
sumber
martabatnya, adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia makhluk Tuhan. Pendapatan adalah sesuatu yang diperoleh dari pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan dan dari pekerjaan sub sistem dari semua anggota rumah tangga (Mulyanto, 1995). Sedangkan pengertian pendidikan meliputi beberapa hal, yakni : a. Pendidikan merupakan aktivitas manusia dalam usahanya untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. b. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mengembangkan kepribadiannya dengan membina potensi-potensi pribadinya, baik jasmani maupun rohani dan berlangsung seusia hidup. c. Pendidikan juga berarti sebagai lembaga yang bertanggungjawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi maupun sistem pendidikan tersebut. Dan hal ini tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai, cita-cita dan falsafah yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. d. Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan pribadi dan kemampuan seseorang yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah. Banyak aspek yang dapat menggambarkan kondisi sosial seseorang, seperti pendapatan yang rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari, pendidikan yang rendah sehingga tidak dapat mengangkat harkat
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
dan martabatnya, perumahan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan dan lain sebagainya (Soediharjo, 1993). Setiap kelompok masyarakat, betapapun sederhananya, memiliki system klasifikasi makanan yang didefenisikan secara budaya. Setiap kebudayaan memiliki pengetahuan tentang bahan makanan yang dimakan, bagaimana makanan tersebut ditanam atau diolah, bagaiman mendapatkan makanan, bagaiman makanan tersebut disiapkan, dihidangkan, dan dimakan. Makanan bukan saja sumber gizi, lebih dari itu makanan memainkan beberapa peranan dalam berbagai aspek dalam kehidupan (Foster dan Anderson, 1986). Dalam pengertian di atas para ahli tersebut mencatat beberapa peranan makanan yaitu makanan sebagai ungkapan ikatan social, makanan sebagai ungkapan dari kesetiakawanan kelompok, makanan dan stress dan simbolis makanan dalam bahasa. Masing-masing kebudayaan selalu memiliki suatu rangkaian aturan yang menjelaskan siapa yang menyiapkan dan menghidangkan makanan, untuk siapa, dimana satu kelompok atau individu makan bersama, dimana dan dalam kesempatan apa dan aturan makan, yang semuanya itu terpola secara budaya dan merupakan baian dari cara-cara yang telah diterima dalam kehidupan setiap komunitas (Helman, 1984).
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
2.3. Indikator Tingkat Kehidupan Dengan Meninjau Aspek Sosial Budaya Tujuan pembangunan nasional adalah untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, tujuan ini tidak terlepas dari pengertian bahwa manusia disatu pihak merupakan pemegang peranan dalam pembangunan nasional (subjek) tetapi sekaligus merupakan sasaran strategis pembangunan nasional itu sendiri yang dapat menikmati kehidupan yang layak sesuai dengan asas keadilan sosial. Pembangunan seperti ini hanya mungkin terlaksana jika seluruh rakyat mempunyai kemampuan dan kemauan yang cukup tinggi dan besar untuk melakukan semua upaya yang diperlukan serta merasa perlu ikut serta karena berkepentingan menangani hasilnya dengan pemerintah sebagai fasilisator dan pendorong yang kuat. Motivasi yang paling besar bagi orang untuk ikut dalam pembangunan adalah kesadarannya menangani berbagai kebutuhan hidup materil dan spirituil yang harus dipenuhi serta harapannya bahwa dengan ikut serta dalam pembangunan orang akan merasa memperoleh sarana yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengalaman Indonesia selama dekade pembangunan enam puluhan maupun tujuh puluhan ternyata cukup membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang berarti pula peningkatan pendapatan nasional masih tetap menyembunyikan kenyataan bahwa kepincangan sosial atau ketidakadilan dalam pembagian pendapatan setiap individu justru semakin meningkat, hal ini
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
terutama terlihat dari semakin besarnya jurang kelompok masyarakat berpenghasilan rendah terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi. Bagi negara yang berpenduduk banyak perluasan kesempatan kerja harus dijadikan strategi pembangunan yang pokok karena pekerjaan merupakan salah satu alat penting untuk meningkatkan mutu dan budaya manusia. Oleh karenanya kesempatan kerja dan jumlah orang yang mempunyai pekerjaan harus dijadikan pemeliharaan pekerjaan bukan hanya sebagai sarana saja melainkan juga sebagai tujuan bukan hanya sebagai kewajiban melainkan sebagai hak setiap umat manusia. Pengertian ini mencakup : a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan juga jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan perorangan. b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat dan perseorangan sebagai imbalan atas pengorbanan energinya. c. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan prestasinya. d. Pekerjaan yang merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber martabatnya adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia sebagai makhluk Tuhan. Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan dapat meningkatkan status sosial, kebiasaan, harga diri dan terutama pendapatan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
seseorang. Dengan tingginya pekerjaan yang dimiliki seseorang, maka semakin besar pula pendapatan yang diterima seseorang. Kepincangan pembagian pendapatan merupakan salah satu tolak ukur yang dapat membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tetap menyembunyikan kenyataan bahwa tingkat kemiskinan masih tetap belum dapat dikurangi atau berkurang (Sagir,1992). Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembangunan janganlah hanya melihat tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran, tetapi juga harus melihat keberhasilan pembangunan sosial, sehingga akan tercapai hasil pembangunan yang sesungguhnya. Pada dasarnya faktor ekonomis dan faktor non ekonomis seperti kesehatan, pendidikan, nutrisi, produktivitas dan kesuburan merupakan suatu integrated system yang dapat digambarkan sebagai berikut ; a. Rendahnya pendapatan atau kemiskinan akan sangat mempengaruhi tingkat kesehatan, nutrisi, tingkat pendidikan maupun kesuburan. Keluarga miskin tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan pangan bernilai gizi maupun kesehatan atau kehidupan yang sehat. b. Keluarga miskin cenderung mengerahkan balita-balitanya untuk turut memikul beban keluarga atau turut serta mencari penghasilan keluarga, sehingga pendidikan balita-balita akan terlantar karenanya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
c. Dalam suatu keluarga miskin, angka kelahiran atau kesuburan lebih tinggi, disertai angka kematian yang tinggi pula, baik sebagai akibat dari besarnya keluarga dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan di hari tua, maupun akibat kepercayaan bahwa masing-masing balita membawa rejekinya masing-masing. Seorang individu akan memperoleh pelajaran kebudayaan mengenai makanan ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi. Pengetahuan yang melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi dari sejak bayi tersebut boleh jadi merupakan pentgetahuan local atau indigenous knowledge, sebagai himpunan pengalaman yang disalurkan melalui informasi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Mundy, 1995). Walaupun pengetahuan mengenai apa yang dimakan, makanan untuk balita, pengolahan makanan, penyajian makanan, dan sebagainya telah diperoleh melalui
sosialisasi
dan
enkulturasi
dalam
kebudayaan,
pengetahuan-
pengetahuan tersebut senantiasa mengalami perubahan. Perubahan tersebut bisa datang dari unsur-unsur faktual yang diperoleh melalui praktisi biomedis seperti bidan desa, kader-kader posyandu, dari dokter, atau dari iklan-iklan televisi, atau perubahan sebagai akibat berbagai pengalaman individu itu sendiri. Dalam hal pentingnya kebutuhan-kebutuhan sosial negara-negara berkembang pada umumnya masih terus mengalami pertumbuhan penduduk, dengan sendirinya kebutuhan masyarakat semakin banyak mengenai serangkaian
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
keperluan hidup yang sifatnya sangat mendasar seperti pangan, sandang, pemukiman, pendidikan dan kesehatan. Jika dulu ada kecenderungan mengelompokkan pendidikan dan kesehatan dalam kategori kebutuhan sosial, maka dalam pembangunan ekonomi negara-negara berkembang kedua jenis kebutuhan dasar itu harus dianggap termasuk prioritas ekonomi yang utama, sebab
peningkatan
mutu
pendidikan
dan
pelayanan
kesehatan
amat
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Indikator kehidupan budaya masyarakat yang dimiliki oleh sekelompok manusia, suku dan sebagainya didasarkan pada suatu daerah/geografis turun temurun yang biasanya tampak pada : cara berpakaian, jenis makanan yang dikonsumsi, bahasa dan lain sebagainya. Khusus mengenai kebiasaan makan suku pada suatu daerah biasanya terlihat dari jenis makanan yang mereka konsumsi seperti sagu dan jagung, jadi tidak semua daerah/suku memakan nasi sebagai makanan pokoknya (Berg, 1989). Disamping itu ada budaya yang memperioritaskan anggota keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan umumnya kepala keluarga, anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya dan yang sering kali mendapatkan prioritas terbawah adalah ibu-ibu rumah tangga. Apabila hal yang demikian itu masih dianut dengan kuat oleh setiap budaya, sedangkan dilain pihak pengetahuan gizi belum dimiliki oleh keluarga yang
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
bersangkutan, maka dapat saja timbul distribusi konsumsi pangan yang tidak baik diantara anggota keluarga (Suhardjo, 1989).
2.4. Status Gizi Balita Berbicara mengenai gizi berarti membicarakan tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan dan proses dimana organisme menggunakan makanan untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, bekerjanya anggota dan jaringan tubuh secara normal dan produksi tenaga (Berg, 1989). Membahas mengenai masalah gizi, dapat digolongkan kepada tiga bagian adalah sebagai berikut : 1. Gizi kurang, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang timbul karena tidak cukup makan dan dengan demikian konsumsi energi kurang selama jangka waktu tertentu. Di negara-negara sedang berkembang, konsumsi pangan yang tidak menyertakan pangan cukup energi, biasanya juga kurang dalam satu atau lebih zat gizi esensial lainnya. Berat badan yang menurun adalah tanda utama dari gizi kurang. 2. Gizi lebih, yaitu keadaan patologik (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan makanan dan dengan demikian mengkonsumsi energi lebih banyak daripada yang diperlukan tubuh untuk jangka waktu yang panjang, dikenal sebagai gizi
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
lebih. Kegemukan merupakan tanda pertama yang biasa dilihat dari keadaan gizi lebih. 3. Gizi salah, yaitu keadaan patologik (tidak sehat) yang disebabkan oleh makanan yang kurang atau berlebihan dalam satu atau lebih zat esensial dalam waktu lama. Di negara-negara sedang berkembang jenis utama gizi salah yang disebabkan kurang gizi dalam waktu yang lama adalah kombinasi salah gizi energi-protein, anemia kurang besi, kurang vitamin A dan gondok. Status gizi merupakan keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan makanan. Susunan makanan yang memenuhi status gizi tubuh, pada umumnya dapat menciptakan status gizi yang memuaskan. Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi individu dan distribusi makanan dalam keluarga serta tingkat kesukaan individu. Konsumsi individu diperoleh dari konsumsi pangan dalam rumah tangga, sedangkan konsumsi pangan dalam rumah tangga dipengaruhi oleh persediaan pangan dan tingkat kesukaan. Pangan yang ada dalam rumah tangga tergantung dari pendapatan rumah tangga dan persediaan pangan, sedangkan persediaan pangan serta pendapatan dipengaruhi oleh persediaan pertanian dan pembangunan daerah (Roedjito, 1987).
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Status gizi adalah keadaan kesehatan yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia. Status gizi diukur dengan cara yaitu (Direktorat Bina Gizi, 1992). a. Antropometri, yaitu mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lemak dibawah kulit. b. Klinik, yaitu pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh ahli medis, biasanya yang melakukan adalah dokter. c. Laboratorium, yaitu pemeriksaan darah, urine, tinja. d. Dietetik, yaitu pemeriksaan jenis, jumlah, komposisi makanan yang dikonsumsi oleh individu. Pengukuran status gizi balita pada umumnya menggunakan antropometri yaitu dengan cara mengukur tinggi badan atau menimbang berat badan. Berat badan merupakan hasil peningkatan seluruh jaringan, tulang, otot, lemak dan cairan tubuh, ukuran antropometri berat badan yang terbaik untuk status gizi dengan keadaan tumbuh kembang pada waktu sekarang. Sedangkan tinggi badan bertambah sesuai dengan kecepatan pertumbuhan balita karena itu tinggi badan dapat dipakai sebagai petunjuk keadaan gizi balita untuk waktu yang lampau (Soetjiningsih, 1994). Status gizi yang ditentukan oleh keterbatasan dalam jumlah cukup dan dalam kombinasi pada waktu yang tepat ditingkat sel semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh untuk tumbuh, berkembang dan berfungsi normal semua
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
anggota badan. Oleh karena itu, pada prinsipnya status gizi ditentukan oleh dua hal sebagai berikut : (Persagi, 1990) a. Terpenuhinya dari makanan semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. b. Peranan faktor-faktor yang menentukan besarnya kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi tersebut. Pengetahuan gizi seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan dan status gizinya, demikian juga pada keluarga yang mempunyai pengetahuan tentang kebutuhan tubuh akan gizi, ia akan dapat menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsinya. Pengetahuan gizi seseorang didukung dari latar belakang pendidikannya. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan berbagai keterbatasan dalam menerima informasi dan penanganan masalah gizi dan kesehatan sekalipun di daerah tempat tinggalnya banyak tersedia bahan makanan (sayuran dan buah) serta pelayanan kesehatan yang memadai yang dapat menyampaikan informasi tentang bagaimana mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi. Pendidikan gizi diperlukan karena kenyataan menunjukkan bahwa suatu keadaan kesehatan tidaklah dipengaruhi oleh hanya satu faktor diantara berbagai faktor yang ada, faktor perilaku manusia memegang peranan penting. Pendidikan gizi bukan hanya memberikan informasi gizi secara formal tetapi merupakan kumpulan pengalaman dimana saja dan kapan saja, sepanjang dapat
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
mempengaruhi pengetahuan, sikap dan kebiasaan agar individu, kelompok atau masyarakat dapat memperbaiki sikap dan tingkah lakunya (Blum, 1972). Dari hal di atas, diketahui bahwa pengetahuan masalah gizi merupakan faktor penentu dalam melihat perkembangan dan ketahanan daya tahan tubuh balita. Dimana daya tahan, perkembangan dan pertumbuhan (gizi) balita diperoleh dari pengambilan makanan yang sehat dalam keluarga. Pelayanan kesehatan makanan dan lingkungan juga diperoleh dari kepedulian seorang ibu dalam rumah tangga. Hal ini tentunya di dapat melalui pendidikan, dimana pendidikan hanya dapat diperoleh dengan adanya sumber penghasilan dan pengawasan dalam rumah tangga yang meliputi : manusianya, ekonomi dan organisasi. Kesemuanya ini didasarkan pada kebijakan dan susunan dasar pemikiran pada struktur ekonomi dan potensi penghasilan yang diperoleh di dalam rumah tangga. Untuk lebih jelasnya, faktor penentu dari perkembangan dan ketahanan daya tahan tubuh balita digambarkan pada halaman berikut (Soetjiningsih, 1995):
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Faktor Penentu dari Perkembangan dan Ketahanan Daya Tahan (Tubuh) TUMBUH – KEMBANG ANAK
Kecukupan makanan Keadaan kesehatan Pemanfaatan Ketahanan makanan
Asuhan Bagi Ibu dan
Yankes dan Sanit.
Pendidikan Keluarga
Keberadaan dan Kontrol Sumber Daya keluarga : Manusia, Ekonomi
Super Struktur Politik dan Ideologi
Struktur Ekonomi Potensi Sumber
Gambar : 2.1. Model interelasi tumbuh kembang anak, (Unicef)
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
2.5. Penilaian Status Gizi Balita Pertumbuhan dan perkembangan balita dapat diartikan menyangkut semua kemajuan yang dicapai oleh tubuh manusia baik dari segi jasmani, mental dan intelektual, mulai dari masa konsepsi sampai dewasa. Pertumbuhan berarti bertambah besar ukuran fisik sebagai akibat perbanyakan dan pembesaran sel dalam tubuh manusia. Sedangkan perkembangan berarti meningkatnya keterampilan dan fungsi yang kompleks dari seseorang. Pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pada balita jika dikaitkan dengan gizi diperlukan tinjauan dari keadaaan gizi ibu sejak masa kehamilan. Masa hamil seorang ibu membutuhkan zat gizi yang lebih besar dari biasanya karena pada masa ini, zat gizi diperlukan bukan hanya untuk keperluan si ibu saja tetapi juga janin yang sedang dikandungnya. Apabila pada masa hamil seorang ibu kurang mengkonsumsi zat gizi sesuai dengan kebutuhannya bisa berakibat tidak baik bagi kesehatannya dan janin yang sedang dikandungnya (Departemen Kesehatan RI, 1985). Dalam menilai status gizi dapat dilakukan dengan empat cara yaitu (Supariasa dkk, 2002): a. Secara biokimia, yaitu melalui pemeriksaan darah, air seni, tinja sehingga dapat diketahui tingkat kecukupan zat dan gizi seseorang. b. Secara dietetika, yaitu survei konsumsi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
c. Secara klinis, yaitu dengan pemeriksaan keadaan jasmani. d. Secara antropometri, yaitu dengan mengukur berat badan, tinggi badan atau merujuk bagian tubuh tertentu sepoerti lingkar lengan, lingkar kepala, tebal lapisan lemak dan lain-lain. Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan di Indonesia adalah secara antropometri. Pengukuran status gizi berdasarkan kriteria antropometri mungkin mempunyai kelemahan-kelemahan, namun sampai saat ini dianggap merupakan cara yang paling banyak, mudah serta praktis untuk dilakukan, karena siapa saja dapat melakukannya dengan terlebih dahulu mendapat sedikit latihan. Berat badan (BB) merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak), karena massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi maka berat badan merupakan antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin berat badan berkembang mengikuti pertambahan usia. Sebaliknya dalam keadaan yang tidak normal terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu dapat berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari pada normal.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Berdasarkan sifat-sifat ini maka indeks BB/U digunakan sebagai salah satu indikator status gizi dan karena sifatnya berat badan yang labil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini. Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan kelemahan. Adapun kelebihannya adalah : a. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum. b. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek. c. Dapat mendeteksi kegemukan. Untuk menentukan klasifikasi status gizi menurut rekomendasi WHO (NCHS – WHO) digunakan Z Score (Standar deviasi) sebagai batas ambang yang dibagi menjadi empat klasifikasi yaitu (Supariasa, 2002): a. Status gizi buruk bila < – 3SD. b. Status gizi kurang bila ≥ -3SD dan < -2SD c. Status gizi baik bila ≥ – 2SD dan < +2SD. d. Status gizi lebih bila ≥ +2SD. Untuk lebih jelasnya, dapat digambarkan grafik sebagai berikut :
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Baik
-3
-2
-1
+1
+2
+3
2.6. Landasan Teoritis Penyebab langsung timbulnya gizi kurang pada anak adalah makanan tidak seimbang dan penyakit infeksi. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh. Dengan demikian timbulnya KEP tidak hanya karena kurang makan tetapi juga karena penyakit, terutama diare dan ISPA. Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita KEP. Sebaliknya anak yang tidak memperoleh makan yang cukup dan seimbang, daya tahan tubuhnya(imunitas)dapat melemah. Dalam keadaan demikian anak mudah diserang infeksi dan kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan makan. Akhirnya berat badan anak menurun. Apabila keadaan ini terus berlangsung, anak menjadi kurus dan timbullah KEP. Sering ditanyakan apakah makanan atau penyakit yang lebih dahulu menjadi penyebab KEP. Dalam kenyataan, keduanya (makanan dan penyakit) sering datang bersama-sama menyebabkan KEP.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Penyebab langsung seperti diuraikan diatas timbul karena tiga faktor sebab tidak langsung, yaitu (1) tidak cukup tersdia pangan atau makanan dikeluarga, (2) pola pengasuhan anak yang tidak memadai, dan (3) keadaan sanitasi yang buruk dan tersedia air bersih, serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut itu tidak berdiri sendiri tetapi saling berkaitan. Tidak kerawanan
cukupnya
persediaan
pangan
dikeluarga
menunjukan
adanya
ketahanan pangan keluarga. Artinya kemampua keluarga untuk
mencukupi kebutuhan pangan, baik jumlah maupun mutu gizinya, bagi seluruh anggota keluarga belum terpenuhi. Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Pola pengasuhan anak adalah sikap dan prilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya denagn anak, memberi makan, merawat, menjag kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya itu sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tidak memadai dapat menyebab anak tidak suka makan atau tidak diberikan makanan seimbang, dan juga dapat memudahkan terjadinya infeksi. Pola asuh anak berhubungan dengan keadaan ibu, seperti kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik , peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifat
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak. Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan kebersihan lingkungan besar pengaruhnya terhadap pengasuhan anak. Demikian pengasuhan anak yang baik memerlukan pelayanan kesehatan yang seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, pratek bidan atau dokter, dan rumah sakit. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan dan gizi, makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi termasuk KEP. Ketiga faktor tidaklangsung tersebut saling berkaitan dan bersumber pokok masalah yang ada di masyarakat yaitu diberdayakannya sumber daya masyarakat, terutama sumberdaya perempuan akibat kurangnya pendidikan, pengetahuan dan keterampilan keluarga untuk dapat memecahkan masalah gizi keluarga dan masyarakat. Ketidak berdayaan keluarga tersebut dimuka bersumber pada akar masalah yang ada pada masyarakat yaitu kerawanan pangan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh kemunduran ekonomi negara sehingga banyak pengangguran, meningkatkan harga terutama harga pangan (inflasi). Semua masalah diatas pada hakekatnya dapat bersumber pada ketidakstabilan ekonomi, politik dan sosial bangsa dan negara. Untuk lebih singkatnya dapat
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
digambarkan daya tahan tubuh balita dalam konteks sosial, politik dan budaya sebagaimana berikut (Soekirman, 2000): Dampak
Penyebab langsung
Penyebab tidak langsung
Kekurangan Gizi
Makan Tidak Seimbang
Tidak Cukup Persediaan Pangan
Penyakit Infeksi
Pola Asuh Anak
Tidak M d i
Sanitasi dan Air Bersih/Pelayanan Kesehatan Dasar Tidak Memadai
Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan
Pokok Masalah di Masyarakat
Kurang pemberdayaan wanita Dan keluarga, kurang pemanfaatan Sumberdaya masyarakat
Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan
Akar Masalah (nasional)
Krisis Ekonomi,Politik
Gambar 2.3. Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF (1998) The State of the World's Children 1998. Oxford Univ. Press)
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
2.7. Kerangka Konsep Penelitian ini mengemukakan faktor sosial budaya yang berhubungan dengan status gizi balita di dalam keluarga. Faktor sosial budaya yang terdapat dalam penelitian
meliputi
pendidikan,
pekerjaan,
penghasilan,
suku/etnis,
tradisi/kebiasaan, dan pengetahuan yang berhubungan dengan pola makan balita pada keluarga baik kuantitas maupun kualitas yang selanjutnya juga dapat berhubungan dengan status gizi balita. Dimana antara pendidikan, pekerjaan dan penghasilan mempunyai kaitan yang erat satu sama lain. Ketiganya saling mendukung satu sama lain, dalam arti apabila pendidikan yang dimiliki tinggi biasanya akan memperoleh pekerjaan yang baik dan pekerjaan yang memadai akan memberikan penghasilan yang baik pula. Keterkaitan faktor sosial budaya terhadap status gizi balita dalam keluarga sebagaimana yang telah disampaikan pada awal penulisan ini dari berbagai leteratur, antara lain mengemukakan bahwa kondisi sosial sering terkait dengan permasalahan perumahan, kesehatan dan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat serta merupakan interaksi yang bersinggungan dalam lingkungan hidup manusia. Keterkaitan tersebut termasuk juga menyangkut dari latar belakang pendidikan orangtua. Oleh karena itu dengan pendidikan yang tinggi maka orangtua akan lebih mengetahui cara merawat balita, sedangkan pekerjaan dan penghasilan yang baik dapat mendukung pola makan balita yang diharapkan dapat meningkatkan status gizi balita. Selain ketiga faktor sosial budaya tersebut suku/etnis, tradisi/kebiasaan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
dan pengetahuan merupakan faktor penting lainnya dalam meningkatkan status gizi balita. Faktor-faktor sosial budaya ini yang berhubungan dengan status gizi balita dapat dilihat pada kerangka konsep sebagai berikut :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sosial Budaya Pendidikan Pekerjaan Penghasilan Suku/Etnis Tradisi/Kebiasaan Pengetahuan
Status Gizi Balita ( Baik dan Tidak Baik)
Pola Makan Balita Pada Keluarga (kuantitas/ Kualitas)
---------- = tidak diteliti
Gambar 2.4 : Kerangka Konsep Penelitian
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah survei dengan menggunakan disain Cross Sectional Study, yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat pada suatu waktu dan tidak diikuti terus menerus dalam kurun waktu tertentu (Notoadmojo, 2002). 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Medan Area, dikarenakan pada kecamatan ini banyak balita yang mengalami gizi kurang (Profil Dinas Kesehatan Kota Medan, 2006). Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama 9 (sembilan) bulan, mulai bulan April - Desember 2007. Tahap-tahap penelitian ini dimulai dari penelusuran pustaka, konsultasi, seminar proposal dan dilanjutkan dengan penelitian di lapangan (pengumpulan data), analisa data dan penyusunan laporan penelitian. 3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki anak usia 6-24 bulan yang berasal dari keluarga yang tinggal dalam wilayah kerja Puskesmas di Kecamatan Medan Area yang berjumlah 2960 orang. Namun tidak
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
termasuk anak dari keluarga etnis China, dikarenakan tidak tercantum dalam data Puskesmas maupun data posyandu. 3.3.2. Sampel Sampel adalah anak usia 6 – 24 bulan yang ditimbang dan ibu sebagai responden yang diwawancarai, diambil dari populasi, dimana jumlahnya ditentukan dengan menggunakan rumus sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu populasi, yaitu (Sastroasmoro, 1995) :
Zα² PQ n= d²
Keterangan : Zα = deviat baku normal untuk α (Zα =1,96) P = proporsi balita yang mengalami masalah gizi (50 %) Q = 1-P (50 %) d = ketepatan absolut yang dikehendaki (10 %) n = jumlah sampel (97 keluarga) Dari perhitungan rumus didapat jumlah sampel minimal 97 keluarga, dengan memperkirakan 10 persen sampel yang keluar sewaktu pengolahan maka jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 107 keluarga. Teknik pengambilan sampel digunakan teknik Simple Random Sampling (pengambilan sampel secara acak sederhana), yaitu memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi sampel. Sampel diambil dengan mengumpulkan nama anak yang berusia 6-24 bulan secara keseluruhan yang ada di Kecamatan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Medan Area. Kemudian nama diambil secara acak dengan menggunakan gulungan kertas yang telah tertulis nama balita (sistem undian). 3.4. Metoda Pengumpulan Data Sebelum data dikumpulkan, terlebih dahulu kuesioner diuji validitasnya dengan melakukan uji realibilitas pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Setelah diketahui kusioner layak diajukan, selanjutnya dilakukan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan untuk jenis data : 1. Data Primer. Dikumpulkan melalui wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Data primer yang dikumpulkan adalah semua data yang termasuk variabel independent dan variabel dependen. Wawancara dilakukan dengan mengunjungi rumah responden yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat yang telah diberikan pelatihan sebelum ke lapangan. Data status gizi balita dikumpulkan dengan melakukan pengukuran berat badan dan mencatat data anak usia 6 – 24 bulan. Berat badan diukur dengan memakai alat ukur timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0,1 kg. 2. Data Sekunder. Dikumpulkan dari laporan bulanan, triwulan dan tahunan di Puskesmas Kecamatan Medan Area dan data dari laporan/catatan kantor kelurahan atau camat
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
atau instansi terkait lain yang berkenaan dengan data-data gambaran daerah penelitian.
Adapun usaha reabilitas dan validitas data yang dikumpulkan adalah sebagai berikut : a. Validitas alat ukur seperti timbangan. b. Pengukuran dilakukan dua kali seperti penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan c. Melatih enumerator atau pengumpul data dalam pengumpulan data, misal melatih cara menimbang berat badan, mengukur tinggi badan, menyamakan persepsi tentang kuesioner. d. Uji kuesioner di luar sampel penelitian. (hasil uji pada Lampiran 2) Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan responden diluar sampel penelitian diperoleh r-tabel = 0.514 dari N=15 orang dan taraf signifikansi 95% ternyata skore tiap pertanyaan lebih dari nilai r-tabel. Hal ini menunjukan bahwa semua kuesioner valid dan layak diajukan kepada sampel penelitian dan tidak dibutuhkan revisi kembali, sebagaimana dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Pada 15 Orang Responden No.
Pertanyaan Pengetahuan1
Total
Keterangan
.778** .001
Valid 0.778 > 0.514
15 Pengetahuan 2
.868** .000
Valid 0.868 > 0.514
15 Pengetahuan 3
.652*
Valid
.011
0.652 > 0.514
15 Pengetahuan 4
.773** .001
Valid 0.773 > 0.514
15 Pengetahuan 5
.656*
Valid
.011
0.656 > 0.514
15 Pengetahuan 6
.778** .001
Valid 0.778 > 0.514
15 Pengetahuan 7
.925** .000
Valid 0.925 > 0.514
15 Pengetahuan 8
.638*
Valid
.010
0.638 > 0.514
15
3.5. Definisi Operasional Variabel Dalam penelitian ini, terdapat berbagai variabel yang akan diukur dengan menggunakan perangkat-perangkat alat ukur yang telah ditetapkan, untuk
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
memperjelas gambaran variabel
dalam penelitian, maka disusunlah definisi
operasional variabel sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 3.2. Definisi Operasional Variabel, Alat Ukur dan Skala Varibel Sub Variabel Faktor Pendidikan Sosial Budaya Pekerjaan
Penghasilan
Tradisi/kepercayaan Suku/etnis
Pengetahuan
Status gizi
Definisi Operasional Tingkat pendidikan orang tua yang didapat secara formal seperti SD, SLTP, SLTA, PT Jenis pekerjaan orang tua yang meliputi PNS/TNI/Polri, karyawan swasta, wiraswasta, buruh, dll. Tingkat pendapatan yang didapat keluarga setiap bulannya, yang dihitung berdasarkan rupiah Kepercayaan terhadap ada tidaknya makanan pantangan pada balita Suku bangsa orang tua yang terdiri dari Jawa, Batak Toba, Karo, Mandailing, Nias, Minang, dll. Segala sesuatu yang diketahui ibu tentang kesehatan dan gizi Keadaan keseimbangan gizi yang diukur dari indeks antropometri (berat badan disesuaikan dengan usia)
Alat Ukur Kuesioner
Skala Ordinal
Kuesioner
Ordinal
Kuesioner
Ratio
Kuesioner
Ordinal
Kuesioner
Nominal
Kuesioner
Ordinal
Timbangan
Ordinal
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
3.6. Metode Pengukuran a. Pendidikan, dikategorikan menjadi : 1. tinggi, jika orang tua sampai pada pendidikan SLTA dan PT 2. rendah, jika SD dan SLTP b. Pekerjaan, dikategorikan menjadi : 1. pekerjaan tetap, jika jenis pekerjaan PNS/TNI/POLRI, karyawan swasta. 2. pekerjaan tidak tetap, jika wiraswasta, buruh, dan Ibu Rumah tangga. c. Penghasilan, dikategorikan menjadi : 1. penghasilan diatas atau sama dengan rata-rata 2. penghasilan dibawah rata-rata d. Tradisi/kepercayaan, dikategorikan menjadi : 1. ada pantangan makanan 2. tidak ada pantangan makanan e. Pengetahuan, dikategorikan menjadi (Notoadmojo, 2005) : 1. baik, jika pertanyaan benar ≥ 75% 2. kurang baik, jika pertanyaan benar < 75% f. Status gizi dikategorikan dengan mengambil batasan Z-score NCHS-WHO, dimana data diolah dengan menggunakan perangkat lunak yaitu dengan program Gizi Com (Supariasa, 2002), yaitu :
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
1. baik, jika batasan Z-score NCHS-WHO masuk dalam status gizi baik (≥ -2 SD
sampai ≤ +2 SD).
2. tidak baik, jika ada dalam batasan Z-score NCHS-WHO masuk dalam status gizi kurang ( < -2 SD sampai > -3 SD), status gizi buruk (≤ 3 SD), dan status gizi lebih (> +2 SD).
3.7. Metode Analisis Data 3.7.1. Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang distribusi frekuensi responden, maka dilakukan analisis deskriptif/univariat. Analisis ini digunakan untuk memperoleh gambaran pada masing-masing variabel yang meliputi
suku/etnis,
tradisi/kebiasaan,
pendidikan,
pekerjaan,
penghasilan,
pengetahuan pada orang tua yang memiliki anak usia 6 – 24 bulan, serta status gizinya.
3.7.2. Analisa Bivariat Analisa bivariat akan dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel faktor sosial budaya (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan) dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Untuk menguji hipotesis dipakai uji kai kuadrat.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1.
Gambaran Lokasi Penelitian
4.1.1. Geografi Medan Area Kecamatan Medan Area terletak 25 meter di atas permukaan laut dengan luas wilayah 4,22 km2 dan batas wilayah Kecamatan Medan Area sebagai berikut : Sebelah Utara
: Kecamatan Medan Perjuangan
Sebelah Selatan
: Kecamatan Medan Kota
Sebelah Barat
: Kecamatan Medan Kota
Sebelah Timur
: Kecamatan Medan Denai
Kecamatan Medan Area memiliki 3 (tiga) unit Puskesmas yaitu Puskesmas Sukaramai, Puskesmas Medan Area Selatan dan Puskesmas Kota Maksum dengan keadaan geografis sebagaimana terlihat pada Tabel 4. 1.
Tabel 4.1. Keadaan Geografis Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006 No.
Puskesmas
Luas Wilayah (H)
Jumlah Kelurahan
1.
Kota Maksum
112,40 H
4
2.
Sukaramai
150,23 H
4
3.
Medan Area Selatan
153,10 H
4
Jumlah
415,73 H
12
Sumber :Badan Pusat Statistik Kota Medan 2006
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Puskesmas Kota Maksum mempunyai wilayah kerja seluas 112,40 Ha yang terdiri dari 4 Kelurahan yaitu Kelurahan Kota Maksum I, Kelurahan Kota Maksum II, Kelurahan Kota Maksum IV dan Kelurahan Sei Rengas Permata. Puskesmas Sukaramai mempunyai wilayah kerja seluas 150,23 Ha yang terdiri dari 4 Kelurahan yaitu Kelurahan Tegal Sari I, Kelurahan Tegal Sari II, Kelurahan Tegal Sari III dan Kelurahan Pasar Merah Timur. Puskesmas Medan Area Selatan mempunyai wilayah kerja seluas 153,10 Ha yang terdiri dari 4 Kelurahan yaitu Kelurahan Sukaramai I, Kelurahan Sukaramai II, Kelurahan Pandau Hulu II dan Sei Rengas II.
4.1.2. Gambaran Kependudukan Distribusi penduduk berdasarkan jumlah keluarga dan jenis kelamin di wilayah kerja 3 (tiga) Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jumlah Keluarga dan Jenis Kelamin di wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006 Penduduk
KK
Wilayah Kerja Puskesmas
Laki-laki
Jumlah Total
Perempuan
n
%
n
%
n
%
n
%
Kota Maksum
8657
39,8
18011
32,9
17857
33,2
38045
35,1
Sukaramai
6603
30,3
20673
37,8
19643
36,5
40316
37,2
Medan Area Selatan Jumlah
6476
29,7
15951
29,1
16212
30,1
32163
29,6
21736
100
54635
50,4
53712
49,5
108347
100
Sumber : Badan Pusat Statistik 2006
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Jumlah penduduk Kecamatan Medan Area pada tahun 2006 sebanyak 108.347 jiwa yang terdiri dari 54.633 laki-laki (50,4%) dan 53.712 perempuan (49,5%).
4.1.3. Gambaran Mata Pencaharian Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian di wilayah kerja 3 (tiga) puskesmas di Kecamatan Medan Area dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006 Kota Maksum N % 1112 49,8
N 782
% 35,0
Medan Area Selatan N % 337 15,1
6050
34.3
4588
26.0
6989
39.6
31 -
34,3 -
50 -
55,5 -
9 21
10 100
9639
41,9
6464
28,1
6900
29,9
237 37,1 Pensiun 1706 Jumlah 41,4 9 Total Sumber : Badan Pusat Statistik 2006
254 1213 8
39,8
147 1194 5
23,0
Pekerjaan
Pegawai Petani Pedagang
Negeri Swasta ABRI -
Penduduk
Kecamatan
Medan
Sukarame
29,4
29,0
Jumlah N 2231 1762 7 90 21 2300 3 638 4115 2
% 5,4 42.8 0,2 0,05 55,8 1,5 100
Area sebagian besar mempunyai mata
pencaharian pedagang yaitu 55,8 persen sedangkan pegawai swasta 42,8 persen, pegawai negeri 5,4 persen, pensiunan 1,5 persen, ABRI 0,2 persen dan petani 0,05 persen.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.1.4. Jumlah kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita Jumlah kelahiran dan kematian bayi dan balita di Kecamatan Medan Area dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut :
Tabel 4.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita di Wilayah Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006 Puskesmas
Jumlah Kelahiran
Jumlah Lahir Mati
Jumlah Bayi Mati
Jumlah Balita
Jumlah Balita Mati
Kota Maksum
1080
0
0
4.582
0
Sukaramai
1027
0
0
3.908
0
732
0
1
2.696
1
2.839
0
1
11.186
1
Medan Area Selatan Jumlah
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Medan, 2006. Tabel 4.4 di atas menunjukan bahwa jumlah kelahiran terbesar terdapat pada Puskesmas Koata Maksum yaitu 1080 orang, kemudian diikuti Puskesmas Sukaramai sebanyak 1027 orang dan Puskesmas Medan Area Selatan sebanyak 732 orang.
4.1.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu Balita yang mengalami BGM ada 65 orang dengan perincian terbanyak di Puskesmas Kota Maksum sebanyak 44 orang, dan pencapaian program hanya 89 persen, paling rendah diantara Puskesmas Sukaramai dan Medan Area Selatan. Tetapi partisipasi masyarakat untuk menggunakan posyandu di Puskesmas Kota
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Maksum paling tinggi dibandingkan dengan Sukaramai dan Medan Area Selatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut : Tabel 4.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2007 Kecamatan Kota Maksum Sukaramai Medan Area Selatan Rata-Rata Jumlah
Bayi Yang Memiliki KMS (%)
Partisipasi Masyarakat (%)
Pencapaian Program (%)
89,0 86,4
89,2 80,7
75,0 74,6
Cakupan Efek Program (%) 89,0 93,0
85
81
76,5
93,0
5
86,8 -
83,6 -
75,4 -
91,6 -
65
BGM 44 16
Sumber : Puskesmas Kecamatan Medan Area, bulan November 2007 4.2. Gambaran Faktor Sosial Budaya 4.2.1. Pendidikan Tingkat pendidikan ayah dan ibu yang memiliki anak usia 6 – 24 bulan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tingkat pendidikan tinggi dan tingkat pendidikan rendah, dimana yang tamat SLTA dan PT/Akademi termasuk dalam kategori tingkat pendidikan tinggi. Sedangkan tidak tamat, tamat SD dan SLTP dikategorikan tingkat pendidikan rendah yang dapat dilihat pada tabel berikut :
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 4.6. Distribusi Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4.
Tingkat Pendidikan SD SLTP SLTA PT/Akademi Jumlah
n 13 24 56 14 107
% 12,1 22,4 52,3 13,1 100,0
Tabel 4.6 menunjukkan tingkat pendidikan yang ditempuh ayah adalah SLTA yaitu 56 orang (52,3 %). Hal ini menunjukan bahwa tinggkat pendidikan ayah sebagian besar tinggi yang dapat berhubungan kepada status gizi anak.
Tabel 4.7. Distribusi Kategori Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 No. Kategori Tingkat Pendidikan 1. Tinggi 2. Rendah Jumlah
n 70 37 107
% 65,4 34,6 100,0
Pada Tabel 4.7 diketahui bahwa tingkat pendidikan ayah pada kategori tinggi sebanyak 70 orang (65,4 %), dan kategori rendah sebanyak 37 orang (34,6%). Sebagian besar pendidikan ayah adalah pada kategori tinggi yang dapat berhubungan dengan status gizi anak.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 4.8. Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4.
Tingkat Pendidikan SD SLTP SLTA PT/Akademi Jumlah
n 18 24 55 10 107
% 16,8 22,4 51,5 9,3 100,0
Pada Tabel 4.8. di atas diketahui bahwa tingkat pendidikan ibu terbanyak adalah SLTA sebanyak 55 orang (51,5 %) dan yang paling sedikit adalah PT/Akademi yaitu 10 orang (9,3 %). Dari tabel tersebut menunjukan bahwa pendidikan ibu sudah menggambarankan kategori yang baik yaitu tinggi.
Tabel 4.9. Distribusi Kategori Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 No. Kategori Tingkat Pendidikan 1. Tinggi 2. Rendah Jumlah
n 65 42 107
% 60,7 39,3 100,0
Pada Tabel 4.9 diatas diketahui bahwa kategori tingkat pendidikan tinggi yaitu 65 orang (60,7 %), dan kategori tingkat pendidikan rendah yaitu 42 orang (39,3 %). Hal ini menunjukan tingginya tingkat pendidikan ibu yang akan berhubungan pada status gizi anak.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.2.2. Pekerjaan Pekerjaan ayah dan ibu dikategorikan menjadi pekerjaan dengan penghasilan tetap dan pekerjaan dengan penghasilan tidak tetap yang dapat dilihat dalam tabel berikut
Tabel 4.10. Distribusi Kategori Pekerjaan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 No. Kategori Pekerjaan 1. Pekerjaan Tetap 2. Pekerjaan Tidak Tetap Jumlah
n 22 85 107
% 20,6 79,4 100,0
Dari Tabel 4.10 diatas dapat diketahui bahwa sebanyak 85 orang (79,4 %) ayah yang pekerjaan tidak tetap. Dimana dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar ayah bekerja sebagai wiraswasta atau dikategorikan pada pekerjaan tidak tetap.
Tabel 4.11. Distribusi Kategori Pekerjaan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 No. Kategori Pekerjaan 1. Pekerjaan Tetap 2. Pekerjaan Tidak Tetap Jumlah
n 10 97 107
% 9,3 90,7 100,0
Pada Tabel 4.11 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu adalah ibu yang pekerja tidak tetap yaitu 97 orang (90,7%). Di lapangan ditemukan bahwa
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
sebagian besar ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya dirumah atau dikategorikan ibu dengan pekerjaan tidak tetap. 4.2.3. Penghasilan Penghasilan keluarga dikategorikan dengan penghasilan di atas rata-rata dan penghasilan di bawah rata-rata yang diperoleh dari penghasilan tertinggi keluarga sebesar Rp. 5.000.000,- dan penghasilan keluarga terendah sebesar Rp. 200.000,dengan nilai rata-ratany sebesar Rp. 1.065.400,- yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.12. Distribusi Kategori Penghasilan Keluarga di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 No. Kategori Penghasilan 1. Penghasilan ≥ rata-rata (Rp.1.065.400) 2. Penghasilan < rata-rata (Rp.1.065.400) Jumlah
n
%
28
26,2
79
73,8
107
100,0
Pada Tabel 4.12 diatas diketahui bahwa kategori pendapatan diatas ratarata sebanyak 28 orang (26,2%) dan kategori pendapatan dibawah sebanyak 79 orang (73,8%).
4.2.4. Suku/Etnis Suku dari orang tua anak usia 6 – 24 bulan terdiri dari beberapa yang dapat dilihat pada tabel-tabel berikut :
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 4.13. Distribusi Suku/Etnis Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Suku/Etnis Batak Toba Batak Mandailing Jawa Melayu Minang Nias Lain-lain Jumlah
n 5 15 31 5 45 1 1 107
% 4,7 17,8 29,0 4,7 42,1 0,9 0,9 100,0
Pada Tabel 4.13 di atas diketahui bahwa suku/etnis ayah yang terbanyak adalah pada suku minang, yaitu 45 orang (42,1 %). Sedangkan terdapat 1 orang (0,9 %) pada lain-lain yaitu suku Aceh.
Tabel 4.14. Distribusi Suku/Etnis Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Suku/Etnis Batak Toba Batak Mandailing Batak Karo Jawa Melayu Minang Nias Lain-lain Jumlah Dari
Tabel
terbanyak adalah
4.14 suku
di atas
n 3 12 1 26 7 55 1 2 107 diketahui
bahwa
suku/etnis
% 2,8 11,2 0,9 24,3 6,5 51,4 0,9 1,9 100,0 ibu
yang
minang, yaitu 55 orang (51,4 %). Sedangkan pada
lain-lain terdapat 2 orang (1,9 %) yaitu suku Bugis dan Aceh.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.2.5. Tradisi/Kebiasaan Ada tidaknya pantangan makanan dalam keluarga atau yang biasa disebut tradisi/kebiasaan makan keluarga dapat diketahui pada tabel berikut :
Tabel 4.15. Distribusi Tradisi/Kebiasaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 No. Kategori Tradisi/Kebisaan 1. Ada pantangan 2. Tidak ada pantangan Jumlah
N 19 88 107
% 17,8 82,2 100,0
Ada tidaknya pantangan pada anak diketahui dengan melihat ada tidaknya satu jenis atau lebih makanan yang tidak boleh dikonsumsi anak. Dari Tabel 4.15 diketahui bahwa sebagian besar tidak ada pantangan bagi ibu untuk memberikan makanan pada anak yaitu 82,2 persen.
Tabel 4.16. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ayah dengan Tradisi/Kebiasaan Di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Suku/Etnik Batak Toba Batak Mandailing Jawa Melayu Minang Nias Lain-lain Jumlah
Tradisi/Kebiasaan Ada Tidak ada Pantangan pantangan n % n % 1 20,0 4 80,0 2 10,5 17 89,5 5 16,1 26 83,9 0 0 5 100,0 11 24,4 34 75,6 0 0 1 100,0 0 0 1 100,0 19 17,8 88 82,2
Jumlah n 5 19 31 5 45 1 1 107
% 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Dari Tabel 4.16 diketahui bahwa terdapat beberapa suku ayah yang tdak pantangan makanan pada anak, yaitu pada ayah suku/etnik Melayu, Nias dan Suku lainnya.
Tabel 4.17. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ibu dengan Tradisi/Kebiasaan Di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Suku/Etnik Batak Toba Batak Mandailing Batak karo Jawa Melayu Minang Nias Lain-lain Jumlah
Tradisi/Kebiasaan Ada Tidak ada Pantangan pantangan n % n % 1 3,3 2 66,7 1 8,3 11 91,7 0 0 1 100,0 4 15,4 22 84,6 1 14,3 6 85,7 11 20,0 44 80,0 0 0 1 100,0 1 50,0 1 50,0 19 17,8 88 82,2
Jumlah n 3 12 1 26 7 55 1 2 107
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Dari Tabel 4.17 diketahui bahwa pada suku/etnik minang terdapat 20% ibu memberi pantangan makanan pada anak, meskipun tidak begitu besar jumlahnya pada suku-suku lain. Dari hasil penelitian diketahui bahwa makanan yang dipantangkan oleh ibu kepada anak dengan alasan kesehatan saja, bukan karena pantangan dari suku/etnik ibu.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.2.6. Pengetahuan Pengetahuan responden dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu pengetahuan dengan kategori baik dan pengetahuan dengan kategori kurang baik yang dapat dilihat lebih jelas pada tabel berikut ini :
Tabel 4.18. Distribusi Kategori Pengetahuan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 No. Kategori Pengetahuan 1. Baik 2. Kurang baik Jumlah
n 22 85 107
% 20,6 80,4 100,0
Meskipun sebagian besar tingkat pendidikan ibu sudah tinggi, ternyata ibu masih kurang pengetahuannya terhadap kesehatan. Pada Tabel 4.18 di atas dapat dketahui bahwa sebagian besar ibu memliki pengetahuan kurang baik, yaitu sebanyak 85 ibu (80,4 %).
4.3.
Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Status gizi balita yang ditemui dilapangan adalah terdiri dari kategori yaitu
status gizi baik, status gizi kurang dan status gizi buruk yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 4.19. Distribusi Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Kota Medan Tahun 2007 No. 1. Baik 2. Kurang 3. Buruk
Status Gizi
Jumlah
n 68 30 9 107
% 63,6 28,0 8,4 100,0
Dari hasil pengukuran berat badan anak diperoleh bahwa sebagian besar anak berstatus gizi baik. Seperti terlihat pada Tabel 4.19 di atas diketahui bahwa status gizi baik adalah sebanyak 68 orang (63,6 %), status gizi kurang sebanyak 30 orang (28,0 %) dan status gizi buruk sebanyak 9 orang (8,4 %).
Tabel 4.20. Distribusi Kategori Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 No. Kategori Status Gizi 1. Baik 2. Tidak Baik (Kurang dan Buruk) Jumlah
n 68 39 107
% 63,6 36,4 100,0
Satus gizi anak anak yang kemudian dikategorikan kedalam 2 kategori yaitu baik dan tidak baik diperoleh hasil bahwa sebagian besar anak berada pada kategori baik. Dimana pada Tabel 4.20 di atas dapat diketahui bahwa kategori status gizi baik adalah 68 orang (63,6 %), sedangkan kategori tidak baik sebanyak 39 orang (36,4%).
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.4.
Tabulasi Silang Status Gizi dengan Faktor Sosial Budaya Tabulasi silang antara status gizi dengan faktor sosial budaya dapat dilihat
dalam tabel-tabel berikut :
Tabel 4.21. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pendidikan Ibu dan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
Kategori Pendidikan
Status Gizi Baik Tidak baik N % n %
Jumlah n
%
Pendidikan Ayah Tinggi Rendah
47 21
67,1 56,8
23 16
32,9 43,2
70 100,0 37 100,0 P = 0,395
Pendidikan Ibu Tinggi Rendah
20 48
47,6 73,8
22 17
52,4 26,2
42 100,0 65 100,0 P = 0,011
Dari Tabel 4.21 diatas dapat diketahui bahwa diantara 37 ayah yang tingkat pendidikannya rendah, terdapat 16 (43,2%) ayah yang memiliki anak yang status gizi tidak baik, dan dari 70 ayah yang tingkat pendidikannya tinggi, terdapat 23 (32,9%) ayah yang memiliki anak yang status gizi tidak baik. Dari hasil uji terdapat nilai p adalah 0,395 (p>0,05) maka menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ayah dengan status gizi anak usia 6-24 bulan. Diantara 42 ibu yang tingkat pendidikannya tinggi, ada 47,6 persen ibu yang memiliki anak yang status gizi baik, dan dari 65 ibu yang tingkat pendidikan rendah terdapat 48 (73,8%) ibu yang memliki anak yang status gizi baik. Dari hasil uji didapat p=0,011 (p<0,05), maka hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak. Dimana semakin baik tingkat pendidikan ibu maka status gizi anak akan semakin baik.
Tabel 4.22. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Pekerjaan Ibu dan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
Kategori Pekerjaan
Status Gizi Baik Tidak baik N % n %
Jumlah N
%
Pekerjaan Ayah Penghasilan Tetap Penghasilan Tidak Tetap
17 51
77,3 60,0
5 34
22,7 40,0
22 100,0 85 100,0 P = 0,211
Pekerjaan Ibu Penghasilan Tetap Penghasilan Tidak Tetap
3 65
30,0 67,0
7 32
70,0 33,0
10 100,0 97 100,0 P = 0,031
Dari Tabel 4.22 diatas dapat diketahui bahwa diantara 22 ayah yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap, terdapat 5 (22,7%) ayah yang memiliki anak yang status gizi tidak baik, sedangkan dari 85 ayah yang berpenghasilan tidak tetap terdapat 34 (40,0%) ayah yang memiliki anak yang status gizi tidak baik. Dari hasil uji terdapat nilai p adalah 0,211 (p>0,05) maka menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan ayah dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Diantara 10 ibu yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap, ada 30,0% ibu yang memiliki anak yang status gizi baik, sedangkan dari 97 ibu yang berpenghasilan tidak tetap terdapat 65 (67,0%) ibu yang memiliki anak yang status gizi baik. Dari hasil uji didapat p=0,0031 (p<0,05), maka menunjukkan bahwa ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 4.23. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Penghasilan Keluarga di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
Penghasilan Keluarga Tinggi ( ≥ rata-rata Rp 1.065.400) Rendah (< rata-rata Rp.1.065.400) Jumlah
Status Gizi Baik Tidak baik n % n % 15 53,6 13 46,4 53 67,1 26 32,9 68 63,6 39 36,4
Jumlah n % 28 100,0 79 100,0 107 100,0 p =0,294
Penghasilan keluarga tidak mempunyai hubungan terhadap status gizi anak, hal ini dilihat dari uji statistik yang dihasilkan dimana p = 0,294. Hubungan yang tidak signifikan dengan p > 0,05 terjadi antara penghasilan keluarga dengan status gizi anak, dimana semakin baik penghasilan dalam keluarga tidak berhubungan dengan status gizi anak. Diantara penghasilan keluarga yang tinggi terdapat 15 (53,6%) keluarga yang memliki balita dengan status gizi baik, sedangkan diantara penghasilan keluarga yang rendah terdapat 53 (67,1%) keluarga yang memiliki anak dengan status gizi baik pula.
Tabel 4.24. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tradisi/Kepercayaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
Tradisi/Kepercayaan Ada pantangan Makanan Tidak Ada Pantangan Makanan Jumlah
Status Gizi Baik Tidak baik N % n %
Jumlah n
%
10
52,6
9
47,4
19
100,0
58
65,9
30
34,1
88
107
68
63,6
39
36,4
107 100,0 p =0,408
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Hasil
analisa
hubungan antara status gizi dengan tradisi diperoleh
bahwa dari 19 keluarga yang memberikan pantangan makanan kepada anak terdapat 10 anak (52,6%) dengan status gizi baik, sedangkan dari 88 keluarga yang tidak ada pantangan makanan terdapat 58 anak (65,9%) dengan status gizi baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,408 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tradisi/kepercayaan keluarga dengan status gizi anak.
Tabel 4.25. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Pengetahuan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
Pengetahuan Ibu Baik Kurang baik (Sedang) Jumlah
Status Gizi Baik Tidak baik N % n % 9 40,9 13 59,1 59 69,4 26 30,6 68 63,6 39 36,4
Jumlah n
% 22 100,0 85 100,0 107 100,0 P=0,026
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa diantara 22 ibu yang berpengetahuan baik memiliki 13 anak (59,14%) dengan status gizi tidak baik, sedangkan diantara 85 ibu yang pengetahuannya kurang baik terdapat 26 anak (30,6%) dengan status gizi tidak baik. Dari hasil uji statistik ditemukan nilai p = 0,026 maka ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan tatus gizi anak usia 6 – 24 bulan di kecamatan Medan Area.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Sosial Budaya Ibu dan Ayah Pendidikan ayah sebesar 34,6 persen masih berpendidikan rendah yaitu SD dan SLTP. Begitu pula dengan pendidikan ibu 39,3 persen berpendidikan rendah yaitu SD dan SLTP. Pendidikan dapat mempermudah orang menerima informasi. Pendidikan dalam penelitian ini merupakan pendidikan formal yang didapat ibu dari pendidikan sekolah. Ibu yang berpendidikan lebih rendah akan lebih sulit memahami bagaimana memantau pertumbuhan anak dan dampaknya pada status gizi anak yang tidak baik. Sebenarnya pendidikan khusus gizi sangat medukung ibu melaksanakan pemantauan pertumbuhan anaknya, karena pendidikan gizi merupakan salah satu upaya penanggulangan gizi. Dengan pendidikan gizi diharapkan terjadi perubahan perilaku ke arah perbaikan kesehatan dan gizi yang lebih baik lagi. Perilaku kesehatan dan gizi berasal dari proses sosialisasi dalam sistem keluarga melalui proses pendidikan maupun sebagai dampak penyebaran informasi. Pangan yang tersedia tidak banyak berarti tanpa pengetahuan gizi yang baik. Sebalikya pendidikan gizi tidak akan berhasil seperti yang diharapkan bila pangan tidak tersedia dan penduduk dalam kondisi miskin, (Baliwati, 2004). Selain pendidikan, ekonomi juga berperanan dalam pemantauan pertumbuhan atau lebih kepada status gizi anak, karena peningkatan ekonomi menurut Berg
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
(1989) akan mendorong rumah tangga menyediakan makanan yang semakin beragam dan berjenis. Tidak dapat dipungkiri kenyataan teori ini di masyarakat sering terbukti dengan semakin membaiknya tingkat ekonomi keluarga maka kecenderungan untuk membeli susu formula semakin meningkat pula. Jenis pekerjaan ayah dalam penelitian ini adalah sebagian besar berpenghasilan tidak tetap (79,4%), yaitu ayah yang bekerja sebagai wiraswasta (40,2%), termasuk didalamnya sebagai pedagang. Ibu yang berpenghasilan tetap dalam penelitian ini adalah ibu yang bekerja sebagai pegawai swasta dan pegawai negeri sipil (PNS), dan sebagian besar ibu adalah ibu rumah tangga (71,0 %), sehingga keadaan ekonomi yang lebih pasti juga menyebabkan kecenderungan terjadinya pergeseran pola asuh dengan baik. Jika dilihat dari pendapatan keluarga memang lebih banyak keluarga yang mempunyai penghasilan dibawah rata-rata ≤ Rp. 1.065.400,(73,8%). Hal ini berpengaruh pada ketersediaan pangan dalam keluarga yang secara langsung dapat berpengaruh pada status gizi anak. Suku ayah terbanyak adalah Minang (42,1 %), begitu pula pada suku ibu yang terbanyak adalah Minang (51,4%). Hal ini karena di daerah penelitian ini, kebanyakan masyarakat bersuku Minang, meskipun tidak sedikit susku-suku lain yang berdomisi di Kecamatan Medan Area, yaitu suku Batak Toba, Batak Mandailing, Jawa dan lain sebagainya. Hasil penelitian diketahui masih ada ibu yang memberikan pantangan makan pada anak (17,8%) dengan alasan kesehatan anak, dimana jenis makanan yang dipantangkan oleh ibu hanya sejenis makanan yang pedas, jajanan yang
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
mengandung zat kimia dan penyedap rasa yang berlebihan dan minuman terlalu dingin. Hal ini berbeda dengan tingkat pengetahuan ibu yang sebagian besar masih kurang (80,4 %).
5.2.
Status Gizi Anak Status gizi pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu kategori baik
dan tidak baik, dimana yang termasuk kategori baik adalah status gizi baik dan yang termasuk kategori tidak baik adalah status gizi kurang, buruk dan lebih. Hasil penelitian di lapangan diperoleh sebagian besar status gizi anak baik (63,6%) atau dalam kategori baik, sedangkan 36,4 persen masih pada kategori tidak baik, dimana terdapat 28 persen berstatus gizi kurang dan 8,4 persen anak dengan gizi buruk. Angka status gizi kurang dan buruk untuk kecamatan ini, masih lebih besar dari angka hasil laporan pemantauan status gizi untuk kota Medan tahun 2007, yaitu gizi kurang 21,8 persen dan status gizi buruk 5 persen, (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, tahun 2007). Banyak hal yang menyebabkan status gizi anak menjadi terganggu baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebab secara langsung diantaranya adalah kurangnya informasi yang memadai dan penghasilan keluarga yang masih banyak dibawah rata-rata (73,8 %). Dimana hal ini berpengaruh terhadap ketersediaan bahan pangan keluarga, karena pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan, (Berg, 1989). Di lain pihak sebagian
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
kekurangan gizi akan bisa diatasi apabila orang mengetahui bagaimana seharusnya memanfaatkan sumber yang dimiliki, (Berg, 1989). Banyak ibu yang tidak lagi menimbang berat badan anaknya secara rutin ke Posyandu, akibatnya ibu tidak mengetahui bagaimana pertumbuhan anak yang semestinya. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan ibu tentang bagaiman cara memantau pertumbuhan anak melalui posyandu, karena kebanyakan ibu tidak mengerti bagaimana mengetahui anak yang sehat melalui kartu menuju sehat (KMS) (56,1 %), meskipun mereka mengetahui manfaat dari penimbangan anak rutin tiap bulannya (88,8%). Kartu Menuju Sehat (KMS) yang akan menggambarkan status gizi balita tersebut. Rangkaian kegiatan pemantauan tumbuh kembang balita di posyandu meliputi pendaftaran, penimbangan, pencatatan (KMS) dan penyuluhan sederhana (Departemen Kesehatan RI, 2002). Dari data Puskesmas Medan Area, kita ketahui bahwa partisipasi masyarakat untuk datang ke posyandu (D/S) sudah baik yaitu rata-rata 83,6 persen. Angka ini menunjukkan sudah mencapai target yang diinginkan yaitu 80 persen. Tetapi keadaan status gizi yang baik di Medan Area masih 63,6 persen. Hal ini karena masih banyak faktor yang mempengaruhi status gizi anak, bukan hanya karena masalah ibu tidak datang membawa anak ke posyandu.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
5.3.
Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi
5.3.1. Pendidikan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi Pendidikan ayah tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak, dimana dari hasil uji dketahui bahwa nilai p = 0,395. Sedangkan tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan dengan status gizi (p = 0,011). Hal ini terjadi karena pada dasarnya ibu yang berperan secara langsung dalam mengasuh anak dalam keluarga. Tingkat pendidikan ibu dapat dikaitkan pada pola pikir ibu dalam mengasuh anak, dimana ibu menyediakan pangan keluarga dengan kualitas dan kuantitas yang cukup baik. Ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi atau menerima pesan-pesan kesehatan dan gizi daripada ibu yang berpendidikan lebih rendah. Menurut Notoatmodjo (1997), pendidikan merupakan proses belajar pada diri seseorang untuk melakukan perubahan. Seseorang dikatakan belajar, jika di dalam dirinya terjadi perubahan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerjakan menjadi dapat mengerjakan sesuatu. Menurut Ensiklopedia (2007), pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk memberikan pengetahuan serta ketrampilan. Pengertian ini menunujukkan bahwa pengetahuan penting untuk mendukung suatu perubahan yang diinginkan. Menurut penelitian Kusumawati dan Mutalazimah (2004), pendidikan mempunyai hubungan dengan berat bayi lahir, dalam hal ini pendidikan ibu dimana nilai p adalah 0,0006. Penelitian Kusumawati dan Mutalazimah ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan di Kecamatan
Medan Area, bahwa pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan status gizi anak.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Dari hasil penelitian ditemukan diantara 42 ibu yang tingkat pendidikannya tinggi, terdapat 47,6 persen ibu yang memiliki anak dengan status gizi baik. Sedangkan dari 65 ibu yang tingkat pendidikan rendah terdapat terdapat 73,8 persen status gizi anaknya baik. Hal ini berarti anak yang berstatus gizi baik lebih banyak ditemukan pada ibu yang tingkat pendidikannya rendah. Hasil survey dilapangan didapat bahwa sebagian besar ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah selalu berada di rumah. Hal ini menandakan bahwa ibu yang tingkat pendidikan rendah memiliki waktu lebih banyak untuk merawat dan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain itu akan lebih cepat tanggap terhadap setiap kondisi yang terjadi pada anaknya. Perhatian yang penuh dan perawatan anak yang maksimal menjadikan status gizi anak menjadi lebih baik. Dilain pihak ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi lebih banyak berada di luar rumah dan waktu untuk memperhatikan anak menjadi lebih sedikit, sehingga anak lebih sering bersama orang lain sebagai pengasuh. Selain itu, kurang tanggap terhadap konidisi yang terjadi pada pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Keadaan tersebut mengakibatkan anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan terutama status gizinya. Kurangnya perhatian dan waktu bersama anak membuat ibu kehilangan kendali dalam memantau pertumbuhan dan perkembangan anak. Menurut Soekirman (2000) bahwa pola asuh yang tidak memadai mempengaruhi dalam hal kedekatan dengan anak, memberi makan, merawat, memberi kasih sayang dan menjaga kebersihan.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
5.3.2. Pekerjaan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi Pekerjaan ayah tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak, dimana p = 0,211, sedangkan pekerjaan ibu berhubungan dengan status gizi anak, dimana p = 0,031. Hal ini terjadi karena ibu yang bekerja tidak dapat mengasuh anaknya secara langsung, ibu tidak dapat menyediakan dan memberikan makan pada anak. Pada ibu yang memiliki penghasilan tetap diketahui memiliki anak yang status gizi tidak baik lebih besar (70%) dibandingkan anak yang berstatus gizi tidak baik (30%). Hasil survey di lapangan ditemukan bahwa ibu yang berpenghasilan tidak tetap memiki anak status gizi baik dengan angka lebih tinggi (67%) dibandingkan ibu berpenghasilan tetap (30%). Hal ini terjadi karena ibu yang memiliki penghasilan tetap lebih banyak waktu diluar rumah dan bekerja dibandingkan ibu yang penghasilannya tidak tetap. Dikarenakan ibu yang berpenghasilan tetap kebanyakan bekerja sebagai karyawan swasta dengan rutinitas lebih banyak diluar rumah, sehingga pola asuh anak lebih banyak dilakukan orang lain sebagai pengasuhnya yang kemungkinan besar pengetahuan terhadap pola asuh yang baik masih kurang. Sementara ibu yang berpenghasilan tidak tetap sebagian besar adalah ibu rumah tangga yang kesehariannya hanya di rumah. Dengan demikian secara langsung dapat merawat dan mengasuh anaknya sendiri, sehingga ibu dapat memantau pertumbuhan dan perkembangan anaknya terutama status gizinya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
5.3.3. Penghasilan dengan Status Gizi Hasil penelitian menunjukan bahwa penghasilan tidak berhubungan dengan status gizi anak, dimana nilai p = 0,294 (p > 0,05). Hal ini karena penghasilan ratarata di Kecamatan Medan Area hanya berkisar 1 (satu) juta rupiah, sedangkan yang di bawah rata-rata ada 73,8 persen. Sebagian besar keluarga di Kecamatan Medan Area mempunyai penghasilan yang homogen sehingga penghasilan tidak mempengaruhi kepada status gizi anak. Pendapatan dikatakan mempunyai hubungan dengan status gizi anak, menurut yang tertulis dalam buku Berg (1989), anak-anak yang lebih banyak di dalam keluarga yang mempunyai pendapatan yang sama dengan keluarga lain, maka status gizi anak dalam keluarga yang mempunyai anggota yang lebih banyak akan lebih rendah daripada status gizi anak dalam keluarga yang mempunyai anggota lebih sedikit. Jumlah yang diberi makan akan lebih banyak, sementara pendapatan tidak mencukupi. Pendapatan yang tidak mencukupi lebih bayak habis untuk makanan. Menurut pernyataan dalam buku Soekirman (2000), setiap pertambahan penghasilan akan menambah keragaman jenis bahan makanan yang dikonsumsi. Tetapi dalam penelitian ini penghasilan tidak mempunyai hubungan dengan status gizi anak karena rata-rata pendapatan keluarga sebanyak 1 (satu) juta rupiah, rata-rata pendapatan seperti ini untuk ukuran hidup di kota sangat minim dan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup satu keluarga. Pendapatan hanya dihabiskan sebahagian besar untuk membeli makanan, sehingga untuk kelompok keluarga yang mempunyai pendapatan diatas atau sama dengan 1 (satu) juta rupiah tidak
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
mempunyai perbedaan yang mencolok dengan yang dibawah rata-rata, sama-sama mempunyai anak dengan status gizi tidak baik. Dimana 46,4 % anak dengan status gizi tiedak baik berasal dari keluarga yang mempunyai pendapatan ≥ 1 (satu) juta rupiah dan 32,9 % anak status gizi tidak baik berasal dari keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah 1 (satu) juta rupiah.
5.3.4. Tradisi/Kebiasaan dengan Status Gizi Tradisi/kebiasaan tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak, dimana nilai p = 0,408 atau p > 0,05. Tidak ada makanan yang dipantangkan untuk anak dalam keluarga yang tinggal di Kecamatan Medan Area, sehingga tradisi/kebiasaan tidak mempunyai hubungan dengan status gizi anak. Disamping itu hasil survey dilapangan menunjukkan bahwa masyarakat Kecamatan Medan Area yang terdiri dari beragam suku/etnis, namun secara tradisi/kebiasaan dalam pola makan ataupun konsumsi yang diberikan kepada anak yang berkaitan dengan latar belakang budaya suku/etnis masing-masing keluarga tersebut sudah tidak dilakukan. Umumnya untuk masyarakat perkotaan atau masyarakat yang sudah tinggal dalam satu wilayah yang sama mempunyai adat dan kebiasaan yang sama pula. Adat dan kebiasaan yang berasal dari leluhur/suku karena proses waktu yang lama akan merubah perilaku individu/keluarga dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di tempat individu/keluarga tinggal, sehingga masyarakat di tempat penelitian (Kecamatan Medan Area) mempunyai adat atau kebiasaan memberi makan anak yang sama. Menurut Robson (1980) kebiasaan makan pada orang-
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
orang yang tinggal disuatu daerah yang sama biasanya tidak berbeda, kebiasaan makan dibentuk dari sejak anak (usia muda) dan dalam waktu yang lama dan dipengaruhi oleh ekologi (lingkungan).
5.3.5. Pengetahuan dengan Status Gizi Pengetahuan ibu memiliki hubungan dengan status gizi anak, dimana nilai p = 0,026 atau p < 0,05. Keadaan ini sejalan dengan penelitian Kusumawati dan Mutalazimah (2004), dimana pengetahuan ibu mempunyai hubungan dengan berat bayi lahir dimana nilai p adalah 0,014. Pengetahuan mempengaruhi perilaku seseorang, karena pemahaman tentang objek sudah diketahui, dalam konteks penelitian ini pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi sudah memberikan pemahaman untuk bertindak. Walaupun sebagian besar ibu hanya mempunyai pengetahuan dengan tingkat sedang (4075%). Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan mendukung seseorang untuk bertindak. Dalam penelitian ini, pengetahuan ibu tentang makanan pada anak seperti, mengetahui arti makanan seimbang, ibu-ibu lebih banyak mengetahui bahwa makanan seimbang itu adalah makanan yang mengandung karbohidrat, protein dan vitamin (71 %). Sedangkan makanan yang baik untuk anak menurut ibu adalah makanan dengan ASI dan karbohidrat (65,4 %). Pemahaman ibu tentang makanan dalam konteks ini dikatakan sedang jika mengacu kepada batasan dalam buku Notoatmodjo (1997) dimana pengetahuan sedang antara 40-75
persen.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Pengetahuan ini akan mendukung ibu dalam merawat dan mengasuh anak termasuk pemberian makan pada anak, sehingga akan berdampak kepada status gizi anak. Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan merupakan respon tertutup yang belum diekspresikan ke tindakan, dan belum dapat dilihat/diamati orang lain secara jelas. Hasil penelitian diperoleh bahwa ibu yang pengetahuannya kurang baik memiliki anak dengan status gizi baik lebih tinggi (69,4 %) dibandingkan ibu yang pengetahuannya baik (40,9 %). Hal ini bisa saja terjadi, dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi status gizi anak diantaranya faktor lingkungan, penyakit infeksi dan lain sebagainya. Dimana dengan kondisi lingkungan di Kecamatan Medan Erea yang dapat digolongkan kurang baik karena padatnya penduduk, perumahan yang kurang sehat, kebersihan yang masih kurang dan lain sebagainya menyebabkan anak mudah terserang berbagai macam penyakit termasuk penyakit infeksi yang secara langsung mempengaruhi status gizi anak. Selain itu dilapangan juga dijumpai ibu yang memiliki pengetahuan baik, namun pada prakteknya masih kurang. hal ini dikarenakan anak diasuh oleh orang lain ataupun tingkat ekonomi yang tidak memadai untuk mendukung tingkat pengetahuan yang baik tersebut. Ibu-ibu yang memiliki pengetahuan lebih baik biasanya memiliki pendidikan yang lebih tinggi, sedangkan ibu
yang memiliki pendidikan tinggi lebih
mempunyai kesempatan untuk bekerja di luar rumah, sehingga pola asuh anak dalam keluarga menurun, karena waktu ibu lebih banyak digunakan diluar rumah daripada untuk mengasuh anak, hal ini dapat menyebabkan status gizi anak tidak baik.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ikhwansyah (2004) di Kecamatan Kertak Hanyar Kabupaten Banjar bahwa terdapatnya hubungan secara bermakna (P < 0,005) antara pengetahuan ibu dengan status gizi anak balita, (www.yahoo.com).
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta sesuai dengan tujuan penelitian, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Tidak ada hubungan pendidikan ayah dengan status gizi anak (p = 0,395), dimana pada kelompok status gizi anak yang baik tidak mempunyai perbedaan antara ayah dengan pendidikan tinggi (67,1 %) dan pendidikan rendah (56,8 %). 2. Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan statu gizi anak (P = 0,011) dengan arah hubungan yang negatif, dimana ibu yang berpendidikan rendah mempunyai anak dengan status baik (73,8 %) lebih banyak dibandingkan ibu yang berpendidikan tinggi (47,6 %). 3. Tidak ada hubungan pekerjaan ayah dengan status gizi anak (P = 0,211), imana ayah mempunyai pekerjaan dengan penghasilan tetap dan tidak tetap sama-sama memiliki anak dengan status gizi baik. 4. Pekerjaan ibu mempunyai hubungan dengan status gizi anak (P = 0,031), dimana ibu yang bekerja lebih banyak di rumah (berpenghasilan tidak tetap) mempunyai lebih banyak anak dengan status gizi baik (67,0 %) dari pada ibu yang bekerja di luar ruamah (berpenghasilan tetap). 5. Penghasilan keluarga yang diatas atau sama dengan Rp.1.065.400,- maupun dibawah Rp.1.065.400,- tidak mempunyai hubungan dengan status gizi
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
anak, dimana untuk kategori penghasilan keluarga ini mempunyai anak dengan status gizi baik yang sama-sama banyak. 6. Tidak ada hubungan antara tadisi/kebiasaan dengan status gizi anak (p = 0,408), dimana keluarga yang tidak mempunyai tradisi makanan pantangan mempunyai 65,9 % anak dengan status gizi baik, demikian juga dengan keluarga yang mempunyai tradisi makanan mempunyai anak dengan status gizi baik yang tinggi (52,6 %). 7. Pengetahuan ibu mempunyai hubungan dengan status gizi anak (p = 0,026) dengan arah hubungan yang negatif, dimana ibu yang yangb mempunyai pengetahuan kurang baik memiliki anak dengan status gizi baik (69,4 %) lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang berpengetahuan baik (40,9%).
6.2. Saran Berdasarkan kesimpiulan diajukan beberapa saran sebagai bahan pertimbangan dalam pemecahan masalah sehingga dapat meningkatkan kulitas anak balita khususnya anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan area Kota Medan, adapun saran tersebut sebagai berikut : 1. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan, bahwa : a. Dalam menyusun kegiatan perencanaan pada bidang kesehatan, khususnya kegiatan upaya peningkatan status gizi masyarakat agar mempertimbangkan faktor sosial budaya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
b. Secara
berkesinambungan
agar
melakukan
supervisi
terhadap
puskesmas untuk pemantauan kinerja petugas puskesmas dalam meningkatkan status gizi balita pada masing-masing keluarga. c. Untuk memberikan penyegaran kepada petugas puskesmas melalui berbagai kursus dan pelatihan peningkatan status gizi balita, yang diharapkan
nantinya
dapat
memberikan
bimbingan
maupun
penyampaian informasi kepada masyarakat dalam kegiatan pengasuhan, khususnya para ibu yang memiliki balita. d. Secara berkala memberikan penghargaan kepada petugas puskesmas yang berprestasi dalam upaya peningkatan status gizi balita, sehingga peran petugas tersebut dalam pendampingan kepada para ibu yang memiliki balita dapat lebih efektif. 2. Disarankan kepada puskesmas : a. Agar kepala puskesmas lebih meningkatkan kegiatan bagi tenaga gizi untuk membina para kader posyandu dalam pemantauan status gizi balita. b. Agar petugas gizi memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya meningkatkan status gizi, khususnya tentang hubungan faktor
sosial
budaya
(pendidikan,
pekerjaan,
pengetahuan,
tradisi/kebiasaan makan) dengan status gizi anak, khususnya kepada para ibu.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
c. Agar petugas gizi memberikan penyuluhan kepada masyarakat dalam peningkatan pola asuh yang baik sehingga dapat meningkatkan status gizi anak-anak mereka. d. Agar petugas gizi membekali para kader posyandu dengan tehnik-tehnik komunikasi pada masyarakat, utamanya dalam mendekati etnis china, sehingga
partisipasi dan kemauan dari etnis china dalam kegiatan
pemantauan kesehatan balita dapat ditingkatkan. 3. Disaran kepada Lembaga Pemerhati Kesehatan dan Masalah Gizi agar lebih meningkatkan kegiatanya dalam mendukung penanggulangan permasalahan gizi, khususnya bagi balita. 4. Disarankan kepada Pemerintah Kota Medan dan masyarakat untuk bekerjasama
dalam
meningkatkan
sarana
prasarana
yang
dapat
meningkatkan status gizi balita seperti pengadaan Tempat Penitipan Anak (TPA) yang nantinya diharapkan dapat mendukung dalam memperhatikan kesehatan dan status gizi anak.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Ahmadi, Abu. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Alfonsine. 1985. Manual Pelayanan GiziUntuk Karya Kesehatan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ancok, Djamaluddin. 1992. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Berg, A., 1989. Peranan Gizi dalam Pembangunan, Jakarta: Penerbit CV Rajawali. Departemen Kesehatan RI. 1996. Program Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Anak Ditinjau Dari Peningkatan Penggunaan ASI dan Pembinaan Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Dep Kes RI. Departemen Kesehatan RI. 1994. Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam Bidang Kesehatan 1994/95 – 1998/99. Jakarta: Dep Kes RI. Departemen Kesehatan RI. 1985. Pedoman Bina Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Dep Kes RI. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. Program Keluarga Sehat. Djiteng Roedjito. 1987. Kajian Perencanaan Gizi. Bogor: Institut Pertanian. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 1992. Pedoman Pemantauan Status Gizi Melalui Posyandu. Jakarta. Fauzi Muzaham. 1995. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press. Foster, George, M & Barbara G, Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Penerjemah : Priyanti S. Pakan dan Meutia Swasono, Penerbit UI Press, Jakarta.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Helman, Cecil, 1984, Culture, Health, and Illness, Bristol: John Wright & Sons, Ltd. Ikhwansyah, 2004. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Kertak Hanyar Kabupaten Banajar, WWW.yahoo.com 26 Maret 2008 International Food Policy Research Institute. 1997. Care and Nutrition Concepts and Measurement. Washington DC. Khumaidi, M. 1994. Gizi Masyarakat. Jakarta: Gunung Mulia. Koentjaraningrat. 1993. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia. Kusuma, Yuli dan Mutalazimah. 2004. Hubungan Pendidikan Dan Pengatahuan Gizi Ibu dengan Berat Badan Bayi Lahir di RSUD DR. Moewardi Surakarta. Surakarta. INFOKES, 8(1). www.yahoo.com 18 desember. Lanner, Lenore J. & Jean-Pierre Habiet. 1989, Concepts about Infants Healt, Growth and Meaning, A. Comparison Between Nutritional Scientist and Madurese Mothers, Social Science Medicine, Vol. 29 (1) Lastoro, Lana. 2006. Belajar menulis Sejarah sosial Masyarakat. SAV PUSKAT Sinduharjo. Sleman. www.yahoo.com. 4 Januari 2008 Lie Goan Hong. 1995. Pola Makanan Di Indonesia, Aspek Kesehatan dan Gizi Anak Balita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lisdiana. 1997. Waspada Terhadap Kelebihan dan Kekurangan Gizi. Bandar Lampung: Trubus Agriwidya. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mundy, Pahil, A. 1995. Indegenous Communication and Indigeneos Knowledge. The Culture Dimention of Development Indigenous Knowledge System. (D.M. Warren L, J. Slikkerveer & D. Brokensha, ed). Intermediate Tecnology Publication. Notoatmojo. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset. Rakhmat Jalaluddin, 1991, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Pelto, Gretel, 1980, Anthropological Contributions to Nutrition Education Research, Journal of Nutrition Education, Vol. 13 (1): 2 – 8. Pemerintah R.I. dan WHO, 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001 – 2005, Jakarta. Persagi. 1990. Gizi Indonesia. Jakarta. Sagir. 1992. Kesempatan Kerja Ketahanan Nasional dan Pembangunan Manusia Seutuhnya. Bandung: Alumni. Santoso, dkk. 1999. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta. Santoso, dkk. 1978. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Akademi Gizi. Sastroasmoro, Sdigdo dan sofyan Ismail, 1995. Dasar-dasar metodologi Penenlitian Klinis. Bagian Ilimu Kesehatan Anak fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Jakarta : Banarupa Aksara. Shadily, Hasan. 1984. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Untuk Keluarga dan Masyarakat. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Soeleman, Munandar. 1992. Ilmu Budaya Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Eresco. Soetjiningsih., 1995. Tumbuh Kembang Anak, Jakarta: EGC Kedokteran. Solihin, Pudjiati. 1993. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: FKUI. Suhardjo. 1986. Pangan, Gizi, dan Pertanian. UI Press, Jakarta. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Jakarta: Depdikbud Pendidikan Tinggi Pusat. Sumaatmadja, Nursid. 1986. Perspektif Studi Sosial. Bandung: Alumni. Sugiyono. 1992. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Suparni. 1988. Tata Boga, Praktek Menyusun Menu Untuk Keluarga. Solo: Tiga Serangkai. Widagdho, Djoko. 1993. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Wikipedia Indonesia. 2007. Ensiklopedia www.yahoo.com. 18 Desember 2007.
Bebas
Berbahasa
Pendidikan.
Winarno. 1990. Gizi dan Makanan Bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Robson, J.R.K, 1980. Food, Ecology and Cultural, Readings in the Anthropology of Dictory Practices. Newyork : Gordon and Breach Science Publisher.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN :
NOMOR RESPONDEN A. NAMA PEWAWANCARA B. TANGGAL WAWANCARA C. WAKTU : PUKUL
:…………………………………… :…………………………………… :……………….s/d………………..
Indentitas Responden 1. Tanggal Wawancara :……………………………………………. 2. Nama :……………………………………………. 3.Agama / Suku :……………………………………………. 4. Alamat :……………………………………………. Usia Anak Balita 1. Berapakah usia anak ibu sekarang ? Sebutkan ..................bulan 2. Tanggal lahir : ......../.........../........... (dd/mm/yy) Pendidikan Oang Tua Pendidikan orang tua yang ditamatkan pada jenjang pendidikan terakhir : Pendidikan 1. SD 2. SLTP 3. SLTA 4. Akad/S1
Ayah
Ibu
Ayah
Ibu
Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan 1. PNS/TNI/Polri 2. Karyawan Swasta 3. Buruh/Pekerja lepas 4. Ibu Rumah Tangga 5. Wiraswasta 6. ......................................
Penghasilan Keluarga Penghasilan keluarga yang didapat dalam sebulan, bersumber dari pekerjaan ayah dan ibu : Rp...................................................................... Tradisi/Kepercayaan 1. Apakah anak ibu mempunyai makanan yang tidak boleh dimakan/dipantangkan ? a. Ya b. Tidak
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
2. Jika ya, makanan apa yang tidak boleh dimakan/dipantangkan pada anak ibu ? (sebutkan) ............................................................................................................................... 3. Kenapa makanan tersebut dipantangkan pada anak ibu ? a. alasan kesehatan : (sebutkan)............................................................................................................................. b. alasan dari leluhur : (sebutkan) .................................................................................................................................. c. alasan lain : (sebutkan) .................................................................................................................................. Suku Orang Tua Suku 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Ayah
Ibu
Batak Toba Batak Mandailing Batak Karo Jawa Melayu Minang Nias Sunda lain-lain ...........................
Pengetahuan 1. Apakah anda tahu apa arti anak yang sehat ? a. Anak yang selalu naik berat badannya (2) b. Anak yang tidak pernah sakit (1) c. tidak tahu (0) 2.
Bagaimana anda mengetahui anak yang sehat melalui KMS ? a. anak yang naik berat badannya dalam salah satu pita warna (2) b. anak yang naik berat badannya dan berpindah pada pita warna di atasnya c. tidak tahu (0)
(1)
3.
Apakah ibu tahu manfaat dari melakukan penimbangan secara rutin pada anak ? a. mengetahui secara dini setiap ada gangguan pertumbuhan pada anak (2) b. dapat mengetahui dengan cepat kepintaran anak (1) c. tidak tahu (0)
4.
Apakah ibu tahu makanan yang baik pada bayi ? a. ASI saja sampai usia anak 6 bulan (2) b. ASI dengan makanan lumat lainnya (1) c. tidak tahu (0)
5. Apakah ibu tahu kapan makanan boleh pertama kali dikenalkan pada bayi ? a. pada usia bayi setelah 6 bulan (2) b. pada usia bayi sebelum 6 bulan (1) c. tidak tahu (0)
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
6. Kapan anak ibu seharusnya dihentikan ASI (sapih) ? a. sampai anak berusia 24 bulan (2) b. sampai anak berhenti sendiri (1) c. tidak tahu (0) 7. Apakah ibu tahu arti dari anak BGM ? a. anak yang berat badannya di bawah garis merah (2) b. anak dengan status gizi buruk (1) c. tidak tahu 8. Apakah ibu tahu apa yang dilakukan jika anak BGM ? a. membawa anak ke puskesmas dan minta nasihat yang harus dilakukan pada anak (2) b. memberi makan pada anak sesering mungkin tanpa membawa ke puskesmas (1) c. tidak tahu (0) 9. Apa ibu tahu tanda-tanda anak kekurangan makan ? a. anak badannya kurus dan beratnya tidak naik (2) b. anak rewel dan tidak ceria (1) c. tidak tahu (0) 10. Manfaat ASI adalah : a. meningkatkan kekebalan tubuh bayi, agar tidak mudah sakit b. menjadikan hubungan ibu dan bayi semakin erat c. tidak tahu (0)
Ya (1) Ya (1)
Tidak (0) Tidak (0)
11. Makanan yang baik untuk anak ibu adalah : a. ASI dan makanan lain yang mengandung cukup zat gizi seimbang (2) b. ASI dan makanan lain yang hanya mengandung kalori dan protein (1) c. Tidak tahu (0) 12. Menurut ibu apakah harus ada makanan yang dipantangkan bagi anak kecuali makanan yang terlalu merangsang (pedas dan banyak bumbu) ? a. Tidak (2) b. Ya (1) c. Tidak tahu (0) 13. Apakah arti makanan yang megandung zat gizi seimbang ? a. mengandung zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur dalam porsi yang cukup (2) b. mengandung zat karbohidrat, protein dan vitamin (1) c. tidak tahu 14. Kapan sebaiknya frekuensi ASI diberikan dalam sehari ? a. sekehendak hati anak, kapan saja anak mau harus diberikan (2) b. 3 kali saja dalam sehari (1) c. tidak tahu (0) 15. Menurut ibu apa manfaat dari menjaga kebersihan diri dan lingkungan anak ? a. agar anak tetap sehat dan baik pertumbuhan dan perkembangannya (2) b. agar anak tidak mudah sakit dan mau makan (1) c. tidak tahu
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Hasil penimbangan Berat badan I : ......................kg Berat badan II : ......................kg Rata-rata berat badan : Berat badan I + II
= ...................kg
2
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Lampiran 4
Uji Validitas Pengetahuan Correlations
Pengetahuan1
Pengetahuan 2
Pengetahuan 3
Pengetahuan 4
Pengetahuan 5
Pengetahuan 6
Pengetahuan 7
Pengetahuan 8
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Total Pengetahuan .778** .001 15 .868** .000 15 .652* .011 15 .773** .001 15 .656* .011 15 .778** .001 15 .925** .000 15 .638* .010 15
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Pengetahuan 9
Pengetahuan 10
Pengetahuan 11
Pengetahuan 12
Pengetahuan 13
Pengetahuan 14
Pengetahuan 15
Total Pengetahuan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation
Total Pengetahuan .571* .029 15 .652* .011 15 .574* .025 15 .638* .010 15 .516* .049 15 .515* .048 15 .516* .049 15
Sig. (2-tailed) N
1.000 . 15
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Reliability Pengetahuan Case Processing Summary N Cases
Valid Excluded(
15
% 100.0
0
.0
Total
15
100.0
a)
a Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items .678 15
Item Statistics
Pengetahuan 1
Mean 1.67
Std. Deviation .488
Pengetahuan 2
2.40
.737
15
Pengetahuan 3
1.20
.561
15
Pengetahuan 4
1.67
.488
15
Pengetahuan 5
1.20
.414
15
Pengetahuan 6
1.67
.488
15
Pengetahuan 7
2.67
.724
15
Pengetahuan 8
2.07
.799
15
Pengetahuan 9
1.87
.352
15
Pengetahuan 10
2.53
.302
15
Pengetahuan 11
1.73
.458
15
Pengetahuan 12
1.20
.561
15
Pengetahuan 13
2.00
.378
15
Pengetahuan 14
1.27
.594
15
Pengetahuan 15
1.60
.507
15
N 15
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Item-Total Statistics Scale Mean Scale Corrected if Item Variance if Item-Total Deleted Item Deleted Correlation 25.07 17.210 -.271
Pengetahuan 1
Cronbach's Alpha if Item Deleted .716
Pengetahuan 2
24.33
11.667
.823
.573
Pengetahuan 3
25.53
15.124
.210
.672
Pengetahuan 4
25.07
13.495
.731
.617
Pengetahuan 5
25.53
15.981
.060
.684
Pengetahuan 6
25.07
15.067
.277
.665
Pengetahuan 7
24.07
11.495
.883
.564
Pengetahuan 8
24.67
13.238
.426
.641
Pengetahuan 9
24.87
16.981
-.259
.704
Pengetahuan 10
24.20
14.029
.064
.746
Pengetahuan 11
25.00
14.143
.581
.636
Pengetahuan 12
25.53
15.838
.045
.690
Pengetahuan 13
24.73
14.781
.492
.650
Pengetahuan 14
25.47
14.981
.222
.671
Pengetahuan 15
25.13
14.552
.399
.652
Scale Statistics
Mean Variance 26.73 16.352
Std. Deviation 4.044
N of Items 15
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008