HUBUNGAN PARAMETER LINGKUNGAN TERHADAP PREVALENSI PENYAKIT

Download Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan Parameter. Lingkungan Terhadap Prevalensi Penyakit Karang dan Tutupan Karang Hidup...

0 downloads 389 Views 17MB Size
i

HUBUNGAN PARAMETER LINGKUNGAN TERHADAP PREVALENSI PENYAKIT KARANG DAN TUTUPAN KARANG HIDUP

DEDI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan Parameter Lingkungan Terhadap Prevalensi Penyakit Karang dan Tutupan Karang Hidup adalah benar karya saya dengan arah dan bimbingan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

Dedi NIM C551130161

RINGKASAN DEDI. Hubungan Parameter Lingkungan Terhadap Prevalensi Penyakit Karang dan Tutupan Karang Hidup. Dibimbing oleh NEVIATY PUTRI. ZAMANI, DEDI SOEDHARMA dan TASLIM ARIFIN. Penyakit karang didefinisikan sebagai kondisi tidak normal pada koloni karang, baik yang disebabkan oleh faktor external maupun faktor internal. Tekanan lingkungan memberikan dampak yang cukup besar bagi kesehatan karang yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit pada koloni karang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sebaran tingkat kesehatan karang dan menganalisis keragaman jenis kesehatan karang pada pulau-pulau kecil di daerah Teluk Jakarta dan Pulau Tunda banten serta menganalisis hubungan parameter lingkungan dengan sebaran keragaman tingkat kesehatan karang. Pengambilan data kesehatan karang menggunakan metode transek sabuk dengan lebar 1m x 1m dan panjang 50m sedangkan parameter lingkungan (nitrat dan fospat) dianalisis di Laboratorium Produktifitas Lingkungan (Prolink) FPIK IPB. Sebaran keragaman jenis tingkat kesehatan karang dan parameter lingkungan dianalisis dengan metode Correspondent Analysis (CA) sedangkan hubungan parameter lingkungan dan tingkat kesehatan karang dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama atau PCA (The principle component Analysis) dengan menggunakan software XLstat 2014. Hasil penelitian menunjukkan persen tutupan karang Pulau Tunda berkisar 54,95%-73,00% sedangkan pada daerah Teluk Jakarta berkisar 0,65%-41,27%. Penyakit karang yang ditemukan antara lain: 18 koloni yang terserang White Syndrom (WS), 2 koloni yang terserang Brown Band Disease (BrB), 1 koloni yang terserang Skeletal Eroding Band (SEB). Pemutihan karang seperti Full (67 koloni), Spot (5 koloni), patch (107 koloni) dan stripes (35 koloni) sedangkan gangguan kesehatan karang seperti Fish bite (27 koloni), Drupellla (2 koloni), Coralliopholia (2 koloni), Crown-of-Thorns Starfish (COTS) (13 koloni) Pigmentation Respon (80 koloni), Invertebrate Galls (51 koloni), Spons Over (37 koloni), Sedimentation Damage (114 koloni). Acropora dan Porites merupakan genus karang yang banyak terserang penyakit baik di pulau Tunda Banten maupun di Teluk Jakarta. Parameter lingkungan yang didapatkan anatara lain salinitas 30-33 o/oo, Suhu 28-32 oC, Nitrat 0,07-0,124 mg/l, dan fospat 0,04 – 0,028 mg/l. Analisis koresponden menunjukan sebaran kesehatan karang pada lokasi pengamatan memiliki sebaran yang berbeda pada setiap lokasi pengamatan. Hasil analisis koresponden untuk F1 (41,44%) dan F2 dengan akar ciri F2 (24,16%). Total ragam kedua sumbu 65,60% sedangkan Hasil analisis komponen utama dari hubungan parameter lingkungan dan kelimpahan penyakit karang yang terdapat pada lokasi pengamatan dengan kontribusi masing–masing sumbu sebesar 49,43% untuk sumbu (F1) dan 33,08% untuk sumbu (F2) dari ragam total sebesar 82,51%. Salinitas, suhu, nitrat dan fospat merupakan parameter lingkungan yang memberikan dampak pada keragaman tingkat kesehatan karang disuatu perairan dan menyebabkan munculnya pemutihan karang dan meningkatkan keragaman penyakit karang dan mempengaruhi persen tutupan karang hidup. Kata kunci: Kesehatan karang, Faktor lingkungan, Pulau Tunda, Teluk Jakarta

iv

SUMMARY DEDI. Environmental Parameters Relationship Against Coral Disease Prevalence and Life Coral Cover. Supervised by NEVIATY PUTRI ZAMANI, DEDI SOEDHARMA dan TASLIM ARIFIN. Coral disease is defined as an abnormal condition of the coral colonies, whether caused by external factors and internal factors. Environmental stress impacts significantly to the health of coral that can cause disease in coral colonies. This study aims to assess the health of the intensity distribution of coral and analyze the health of coral species diversity on small islands in the Bay of Jakarta and Banten Tunda Island and analyzing relationship environmental parameters with the intensity distribution of the diversity of coral health. This study was measured by the belt transect method with 1 m x 1m wide and 50 m long while environmental parameters (nitrat and phosphate) were analyzed in the Laboratory Productivity Environment FPIK IPB. Distribution of the intensity in species diversity of coral health and environmental parameters were analyzed by the method Correspondent Analysis (CA) while the relation of environmental parameters and the coral health intensity were analyzed using The Principal Component Analysis (PCA) using software XLstat 2014. The results showed that the percent cover of coral at Tunda island ranged 54.95% -73%, while Jakarta Bay area ranged from 0.65% - 41.27%. Coral diseases found among other things: 18 colonies were attacked White Syndrome (WS), 2 colonies were attacked Brown Band Disease (BrB), 1 colonies were attacked Skeletal eroding Band (SEB). Coral bleaching as Full (67 colonies), Spot (5 colonies), patch (107 colonies) and stripes (35 colonies) while the coral health as Fish bite (27 colonies), Drupellla (2 colonies), Coralliopholia (2 colonies), Crownof-Thorns Starfish (COTS) (13 colonies), Pigmentation Response (80 colonies), Invertebrate Galls (51 colonies), Sponges Over (37 colonies) and sedimentation Damage (114 colonies). Many of coral diseases found in the genus of Acropora and Porites at Tunda island Banten and Jakarta Bay. Environmental parameters were obtained among other things salinity 30-33 o/oo, temperature 28-32°C, nitrate 0.070.124 mg/l and phosphate 0.04-0.028 mg/l. Correspondent Analysis showed the distribution of coral health on the observation location had different spreads. Correspondent analysis revealed that F1 (46.52%) and F2 with root traits F2 (24.20%). Total variances in both axes was 70.72% while the results of Principal Component Analysis from the relationship of environmental parameters and the abundance of coral disease were found on both observation location with the contribution of each axis by 49.43% for axis (F1) and 33.08% for axis (F2) which came from the total variances was 82.51%. Salinity, temperature, nitrate and phospate are the environmental parameters which have an impact on the level of coral health diversity sector in the waters and lead to the emergence of coral bleaching and increasing coral disease diversity which influencing the percent live coral cover. Keyword: Coral disease, Enviromental factor, Tunda Island, Jakarta Bay.

(C) Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

vi

HUBUNGAN PARAMETER LINGKUNGAN TERHADAP PREVALENSI PENYAKIT KARANG DAN TUTUPAN KARANG HIDUP

DEDI

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu Keluatan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Ofri Johan, M.Si

viii

Judul Tesis Nama NIM

: Hubungan Parameter Lingkungan Terhadap Prevalensi Penyakit Karang dan Tutupan Karang Hidup : Dedi : C551130161

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Neviaty P Zamani, M.Sc Ketua

Prof Dr Dedi Soedharma, DEA Anggota

Dr Taslim Arifin Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Neviaty P Zamani, M.Sc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 23 November 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan ridho-Nya tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan bagian dari riset dampak pembangunan Jakarta Giant Sea Wall.Tesis ini mengupas tentang Hubungan Parameter Lingkungan Terhadap Prevalensi Penyakit Karang dan Tutupan Karang Hidup di Pulau Tunda Banten dan beberapa Pulau Kecil Teluk Jakarta. Tesis ini disajikan dalam empat bab yang berupa pendahuluan, metode penelitian, hasil, pembahasan dan kesimpulan yang menjawab tujuan dari penelitian ini. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Neviaty P. Zamai,M.Sc selaku pembimbing utama, Bapak Prof.Dr. Dedi Soedharma,DEA dan Bapak Dr. Taslim Arifin selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan sumbangsih dan membimbing penulis dalam proses penyusunan tesis ini serta Bapak Dr. Ofri Johan, M.Si selaku Penguji Luar Komisi yang banyak memberikan masukan kepada penulis hingga mampu menyelesaikan tesis ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu penulis antara lain : 1. Dirjen DIKTI atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPDN) yang diberikan. 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan KKP. 3. Pihak Laboratorium Produktivitas Lingkungan FPIK IPB. 4. Pimpinan dan seluruh staf Sekolah Pascasarjana IPB, atas kerja sama dan layanan selama ini. 5. Seluruh dosen program studi Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB. 6. Dr. Hawis H. Madduppa, Bang Beginer Subhan,M.Si, Bang Dondy Arafat, M.Si dan kawan-kawan Lab. Hidrobiologi ITK IPB. 7. Mas Fery Kurniawan, Robba Fahrysi Darus,S.Kel, M.Si, M. Rizza Muftiadi, S.Si, dan Wahyu Adi, S.Pi,M.Si yang telah banyak memberikan masukan dan motivasi dalam penulisan tesis saya. 8. Nisrina Fajar Noor Ramadhani mahasiswa S1 MSP FPIK IPB yang telah membantu dalam proses analisis kualitas air. 9. Teman-teman kelas Pascasarjana Ilmu Kelautan 2013 yang selalu saling memotivasi yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. 10. Semua pihak yang telah membantu saya namun tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 11. Terakhir dan paling utama keluarga besar saya : bapak, ibu, kakak, adik dan saudara-saudara yang tak henti-hentinya mendoakan saya dan yang selalu memberikan kasih sayang kepada saya yang tak pernah putus. Penulis menyadari bahwa isi tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna, maka dengan demikian penulis mengharapkan kritikan dan saran dari berbagai pihak untuk kesempurnaan tesis ini agar menjadi lebih baik dan mendekati sempurna. Semoga karaya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2015 Dedi

x

DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 METODE PENELITIAN Peralatan Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan Data Analisis Data Sebaran dan Hubungan Prevalensi Penyakit, Persen Tutupan, Parameter Lingkungan (Salinitas, Suhu, Nitrat dan Fospat) 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Terumbu Karang Kelimpahan Tingkat Kesehatan Karang Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan Karang Kondisi Parameter Lingkungan Sebaran Penyakit dan Gangguan Kesehatan Karang 4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

x xi xi xi 1 1 3 5 5 5 5 6 7 7 8 8 8 12 20 23 24 32 32 32 33 39 45

DAFTAR TABEL 1 Alat yang digunakan dalam pengambilan data karang dan penyakit karang 2 Alat pengukuran parameter lingkungan 3 Kriteria standar kesehatan terumbu karang 4 Jenis penyakit karang yang ditemukan pada lokasi pengamatan 5 Pemutihan karang (Bleaching) yang ditemukan pada lokasi pengamatan 6 Gangguan kesehatan karang yang ditemukan pada lokasi pengamatan 7 Parameter lingkungan 8 Sebaran tingkat kesehatan karang pada lokasi penelitian

5 5 8 13 14 17 23 25

DAFTAR GAMBAR Skema kerangka penelitian Lokasi pengamatan pada Pulau Bokor dan Pulau Lancang Kecil Lokasi pengamatan pada Gugusan Pulau Pari Lokasi pengamatan pada Pulau Tunda Banten Grafik persentase tutupan karang pada lokasi pengamatan Grafik persentase tutupan bentik organisme pada lokasi pengamatan Dokumentasi pengamatan Kelimpahan genus karang yang terserang penyakit dan gangguan kesehatan karang pada lokasi pengamatan 9 Grafik prevalensi tingkat kesehatan karang pada pulau-pulau kecil Teluk Jakarta 10 Grafik prevalensi tingkat kesehatan karang pada stasiun pengamatan Pulau Tunda Banten 11 Sebaran jenis penyakit dan gangguan kesehatan karang berdasarkan Correspondent Analysis (CA) 12 Hubungan parameter lingkungan (salinitas, suhu, nitrat dan fospat) terhadap prevalensi, keragaman dan tutupan karang hidup berdasarkan analisis Principal Component Analysis (PCA) 1 2 3 4 5 6 7 8

4 6 6 7 9 11 16 20 22 23 27

30

DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil pengamatan karang pulau Tunda Banten 2 Hasil pengamatan karang pada beberapa pulau kecil Teluk Jakarta 3 Hasil analisis komponen utama parameter lingkungan, keragaman tingkat kesehatan karang dan lokasi pengamatan 4 Hasil Correspondent Analysis (CA) paremeter lingnkungan, keranganam tingkat kesehatan karang dan lokasi pengamatan 5 Prosedur analisis nitrat 6 Prosedur analisis fospat

39 40 41 43 44 44

1

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit karang didefinisikan kondisi yang tidak normal dari organisme yang memiliki peran penting dalam terumbu karang yang berasosiasi dan disebabkan oleh faktor eksternal seperti terinfeksi penyakit atau faktor internal yang tidak berfungsi dengan baik (Barnard dan Scheske 2010). Berdasarkan penyebabnya, penyakit karang dibedakan menjadi dua yaitu infeksi patogen (Sweet et al. 2013) dan noninfeksi patogen. Patogen dibedakan menjadi dua yaitu mikro dan makro parasite. Dalam penelitian Sweet et al. (2013) Potensi patogen didefinisikan sebagai tingkat kehadiran terjadi pada karang sehat, peningkatan dalam jumlah besar di jaringan karang sehat yang berdekatan dengan karang yang berpenyakit dan bakteri patogen berpotensi menimbulkan penyakit white syndrom dan yellow band disease. Kehadiran sebagian besar spesies alga tertentu akan menyebabkan stres pada karang dan memungkinkan munculnya penularan dari penyakit yang ada sedangkan noninfeksi dapat berupa mutasi genetik, kekurangan nutrisi, meningkatnya air laut, radiasi ultraviolet, sedimentasi dan polutan (Santavy 1997). Menurut Redding (2013), pengaruh nitrogen menyebabkan terjadinya penyakit sindrom putih (white syndrom) pada karang Porites, selain nitrogen perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan suhu permukaan air laut menyebabkan terjadinya pengasaman laut yang mempengaruhi pertumbuhan karang. Penyakit karang menjadi penggerak kematian karang di Indo Pasifik dengan tanda – tanda seperti pemutihan (spotting) dan penyakit pita hitam (black band disease) pada kelompok tertentu (Sheridan 2013). Menurut Richmond (1993), ada empat kondisi karang yang telah diidentifikasikan sebagai penyakit yaitu: white band disease (WBD), black band disease (BBD), infeksi bacterial dan shut down reaction. Faktor lingkungan dapat menyebabkan hilangnya zooxanthella pada jaringan karang dan menyebabkan kerusakan karang hingga menyebabkan terjadinya pemutihan karang (Le Tissier 1996; Obura 2009) dan penyakit karang (Richmond 1993). Beberapa faktor eksternal yang dapat meningkatkan stres pada karang menyebabkan kematian pada karang (Douglas 2003), peningkatan dan penurunan suhu (Kushmaro 1998; Baird dan Marshall 2002; Yee 2011), peningkatan radiasi matahari (Le Tissier 1996; Yee 2011), sedimentasi yang tinggi (Weber 2012), predator yang terdapat pada perairan tersebut (Rotjan dan Lewis 2008) dan tekanan antropogenik. Menurut McClanahan (2003), karang cenderung memiliki respon yang lebih tanggap terhadap perubahan suhu perairan. Respon yang terjadi terlihat dengan hilangnya pigmen warna yang terdapat pada karang. Kehilangan pigmen warna ini menyebabkan kematian massal karang. Menurut Brown (1997), faktor-faktor kunci yang dapat mempengaruhi terumbu karang selama periode perubahan iklim adalah naiknya permukaan laut (Sea level rise), peningkatan suhu air laut, perubahan kelarutan mineral karbonat, bertambahnya radiasi ultra violet dan kemungkinan menguatnya aktivitas badai dan arus. Kerusakan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang dapat disebabkan oleh perubahan iklim secara global. Menurut Gilman et al. (2008), kenaikan permukaan

2

air laut yang ekstrem, badai, curah hujan (presipitasi), perubahan suhu, peningkatan konsentrasi CO2, pola sirkulasi air laut dan tanggapan ekosistem merupakan dampak dari perubahan iklim secara global. Perubahan iklim global menyebabkan perubahan struktur komunitas ekosistem pesisir dan laut. Peningkatan suhu dan naiknya muka air laut menyebabkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang dengan hilangnya zooxanthella pada jaringan karang. Tingginya tekanan lingkungan yang terjadi pada daerah Teluk Jakarta dan Teluk Banten menyebabkan kondisi pulau-pulau kecil di wilayah sekitar menjadi terganggu. Ramawijaya et al. (2012) menyimpulkan bahwa parameter lingkungan dan karbon laut pada daerah pesisir Teluk Banten dipengaruhi oleh tingkat antropogenik dan musim. Tekanan lingkungan yang tinggi tersebut menyebabkan beberapa parameter seperti nilai BOD, nutrien serta toksik pada perairan meningkat. Limbah yang terdapat unsur toksik yang masuk melalui unsur hara (nutrien) yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang serta dapat menimbulkan infeksi penyakit pada koloni karang. Pengaruh tingginya nutrien (eutrofikasi) dijelaskan oleh Brown (1997) pada daerah Barbados dan Kaneohe Bay Hawaii. Tekanan yang terjadi pada daerah Barbados merupakan kombinasi dari pengayaan nutrien, penambahan sedimentasi dan masuknya bahan beracun dan di Kaneohe Bay tekanan meliputi sedimentasi, limbah rumah tangga dan run off dari daerah pertanian. Perairan Teluk Jakarta merupakan kawasan yang terletak berhadapan langsung dengan kawasan pulau-pulau kecil Kepulauan Seribu. Kawasan perairan Teluk Jakarta merupakan perairan dangkal. Selain itu, Teluk Jakarta bermuara 13 sungai yang membelah Kota Jakarta. Asupan air tawar yang berasal dari sungaisungai tersebut sangat berdampak pada kualitas perairan sekitar dan sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem pesisir dan laut. Padatnya aktivitas manusia dengan berbagai jenis kegiatan yang terjadi di sekitar kawasan tersebut membuat terjadinya degradasi kawasan yang disebabkan pembangunan gedung-gedung bertingkat serta pembuangan limbah-limbah rumah tangga dan industri yang menyebabkan terganggunya aspek fisik, kimia dan biologis di perairan Teluk Jakarta. LIPI (2010) melaporkan beberapa pulau kecil yang berhadapan dengan kawasan Teluk Jakarta memiliki luasan ekosistem karang berkisar sebagai berikut P. Air 33,48 hektar, P. Lancang 22,41 hektar, P. Payung 8,19 hektar, P. Tidung 25,83 hektar, P.Onrust 2,37 hektar. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Payung (68,61%) dan Pulau Tidung (50,41 %) dapat dikategorikan “baik”, Pulau Air (43,16%) dikategorikan “sedang”, sedangkan Pulau Lancang (7,24%) dan Pulau Onrust (0,07%) dikategorikan “rusak”. Persentase tutupan karang hidup yang terendah dijumpai di Pulau Onrust, kemudian diikuti di Pulau Lancang dimana persentase tutupannya <1 0%, sedangkan persentase tutupan karang hidup di Pulau Payung, Pulau Tidung dan Pulau Air masih terlihat baik dengan kisaran antara 43,16 - 68,61 % . Kondisi terumbu karang pada pulau-pulau kecil di sekitar Teluk Jakarta sangat tergantung dengan kondisi perairan sekitar. Karang dengan tutupan yang sangat rendah dapat mengindikasikan terjadinya kerusakan baik yang disebabkan oleh kondisi perairan yang buruk atau disebabkan terjangkit penyakit. Karang yang terinfeksi penyakit dapat menimbulkan stres dan kematian pada koloni karang. Faktor infeksi penyakit karang tidak hanya disebabkan oleh kegiatan

3

manusia, tetapi juga dapat disebabkan oleh biota yang memberikan dampak infeksi penyakit karang. Beberapa penelitian melaporkan kondisi kesehatan karang pada daerah Kepulauan Seribu di beberapa lokasi yang telah diamati oleh peneliti sebelumnya seperti: Subhan et al. (2011) mengemukakan sebesar 18.46% pemutihan karang terjadi pada Genus Fungidae yang terdapat pada pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Johan et al. (2012) kelimpahan penyakit Black Band Disease (BBD) terjadi di Pulau Pramuka bagian utara (0.15 kol/m), Pulau Pari bagian timur (0.092 kol/m), Pulau Penjaliran (0.092 kol/m), dan Pulau Tikus (0.085 kol/m). Johan et al. (2014) melaporkan tingkat prevalensi penyakit sabuk hitam (Black Band Disease) di Kepulauan Seribu mencapai 12, 53%, puncak terjadinya penyakit karang jenis ini terjadi pada musim peralihan antara musim kemarau dan musim penghujan. Pulau Tunda merupakan pulau kecil terluar yang terdapat pada daerah Teluk Banten secara administrasi pulau ini berbatasan dengan pulau-pulau kecil yang terdapat pada daerah Teluk Jakarta. Bagian timur pulau Tunda berbatasan dengan Gugusan pulau Pari dan pulau Tidung Kepulauan Seribu. Bagian Selatan berhadapan langsung dengan Teluk Banten dan daratan Pulau Jawa. Bagian Utara berbatasan dengan Laut Jawa. Perairan Pulau Tunda sangat dipengarhui oleh aktifitas-atifitas dari daratan yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Jakarta. Pengerukan Pasir di wilayah utara Pulau Tunda dapat menyebabkan kestabilan ekosistem di pulau tersebut ternggagu. Jarak pulau Tunda kurang lebih 28 km dari dari muara Teluk Banten sedangkan jarak pulau tunda dan Teluk Jakarta berkisar 70 km. Pengaruh dari aktifitas pembangunan dan indurtri dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten berdampak pada beberapa ekosistem bawah laut yang terdapat pada pulau-pulau kecil disekitarnya. Kawasan Pulau Tunda terdapat aktivitas penambangan pasir, penambangan tersebut dikhawatirkan akan berakibat pada kerusakan ekosistem terumbu karang yang ada. Kerentaan adaptasi karang terhadap tekanan antropogenik sangat dikhawatirkan dengan keberadaan aktivitas tersebut. Kondisi terumbu karang Pulau Tunda dapat terancam dengan eksploitasii karang batu yang berlebihan untuk pembangunan pondasi pemukiman. Selain itu, faktor keberadaan penduduk yang menyebabkan terjadinya pembuangan limbah rumah tangga dapat menyebabkan tekanan terhadap lingkungan tersebut. Limbah rumah tangga yang mengandung sejumlah bahan penting seperti toksik atau produk ikutan dari pestisida, herbisida, klorin, atau logam berat dapat memberikan dampak kerusakan organisme karang. Riska et al. (2015) melaporkan akumulasi logam berat pada perairan pulau Tunda Banten mengalami peningkatan dilihat dari pita tahunan karang Porites lutea. Potensi akumulasi logam berat tersebut terjadi diakibatkan oleh berbagi sumber baik secara alami dan antopogenik dari daerah sekitar pulau Tunda. Penelitian tentang pengaruh parameter lingkungan terhadap sebaran tingkat kesehatan karang pada pulau kecil Teluk Jakarta dan pulau Tunda perlu dilakukan untuk melihat perbandingan sebaran tingkat kesehatan karang dan parameter lingkungan yang mempengaruhi keberadaan tingkat kesehatan karang karang. Rumusan Masalah Kondisi Teluk Jakarta dengan tingkat antropogenik yang tinggi menyebabkan degradasi pada ekosistem terumbu karang pada pulau-pulau kecil.

4

Maka dari itu, Pulau Tunda yang terletak jauh dari teluk Jakarta akan dibandingkan dengan pulau-pulau kecil di depan Teluk Jakarta (P. Bokor, P. Lancang Kecil dan gugusan Pulau Pari) untuk melihat tingkat kesehatan karang yang terdapat pada pulau-pulau tersebut. Beberapa parameter lingkungan menyebabkan terjadinya kerusakan pada karang baik itu pemutihan, infeksi penyakit karang atau stres yang lainnya. Berdasarkan hal tersebut terdapat beberapa permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini yaitu: 1. Apakah pulau-pulau kecil yang berhadapan dengan Teluk Jakarta dan Pulau Tunda Banten memiliki keragaman penyakit dan gangguan kesehatan kesehatan karang yang sama. 2. Apakah parameter lingkungan mempengaruhi prevalensi penyakit karang, keragaman penyakit dan tutupan karang hidup.

Gambar 1 Skema kerangka penelitian

5

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan antara lain: 1. Mengkaji sebaran tingkat kesehatan karang antara pulau-pulau kecil yang dekat (P. Bokor, P. Lancang Kecil dan Gugusan Pulau Pari) maupun jauh (P. Tunda) dari Teluk Jakarta. 2. Menganalisis keragaman jenis kesehatan karang antara pulau-pulau kecil yang dekat (P. Bokor, P. Lancang Kecil dan Gugusan Pulau Pari) maupun jauh (P. Tunda) dari Teluk Jakarta. 3. Menganalisis hubungan parameter lingkungan terhadap keragaman penyakit karang, prevalensi penyakit dan tutupan karang hidup. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan tersedianya informasi pengaruh parameter kondisi lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya sebaran keragaman penyakit karang dan gangguan kesehatan karang di beberapa pulau-pulau kecil Teluk Jakarta dan Pulau Tunda Banten sehingga dapat menjadi acuan bahwa kerusakan karang yang terjadi secara alami dapat disebabkan oleh perubahan kondisi faktor lingkungan yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit karang dan menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang.

2 METODE PENELITIAN Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan untuk pengambilan data penyakit karang disajikan pada Tabel 1 sedangkan alat dan bahan yang digunakan dalam pengukuran parameter fisika dan kimia lingkungan perairan disajikan pada Table 2. Tabel 1 Alat yang digunakan dalam pengambilan data karang dan penyakit karang No Nama Alat Kegunaan 1. Scuba set Alat bantu pengambilan data 2. Alat tulis bawah air Mencatat data dibawah air 3. Roll Meter Mengukur panjang koloni karang 4. Transek Pengambilan data 5. Camera underwater Mengambil gambar ikan dan karang pada lokasi 6. GPS Untuk penentuan posisi lokasi penelitian 7. Buku identifikasi Untuk mengidentifikasi penyakit karang Tabel 2 Alat pengukuran parameter lingkungan Parameter Nama alat Kegunaan Suhu Thermometer raksa Mengukur suhu perairan Hand Refraktometer Salinitas Mengukur salinitas perairan Fospat Water sampler Pengambilan sampel air Nitrat

Satuan 0 C ‰ Liter

6

Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai April 2014. Pengamatan kondisi sebaran keragaman tingkat kesehatan karang dilakukan pada pulau Tunda Banten dan beberapa pulau-pulau kecil Teluk Jakarta. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2, 3 dan 4.

Gambar 2 Lokasi pengamatan pada Pulau Bokor dan Pulau Lancang Kecil

Gambar 3 Lokasi pengamatan pada Gugusan Pulau Pari

7

Gambar 4 Lokasi pengamatan pada Pulau Tunda Banten Pengumpulan Data Data kondisi terumbu karang diambil dengan metode transek garis (Line Intercept Transect) pada kedalaman berkisar 3-5 meter dengan panjang transek 50 meter (English et al. 1994), sedangkan sebaran penyakit karang diambil menggunakan metode transek sabuk (belt transect) dengan lebar transek 1 meter kiri dan 1 meter kanan dengan mengikuti garis transek pengambilan data terumbu karang. Penyakit karang diambil dan di identifikasi sesuai buku panduan penyakit karang menurut Beeden et al. (2008). Pengambilan data parameter lingkungan seperti salinitas dan suhu dilakukan secara insitu sedangkan data nitrat dan fospat dilakukan analisis kualitas air pada Laboratorium Kualitas Perairan (ProLink) IPB. Analisis Data Untuk mengetahui kondisi terumbu karang pada lokasi pengamatan dilakukan perhitungan persen tutupan karang hidup. Persamaan yang digunakan dalam menghitung bentuk pertumbuhan karang (lifeform) menggunakan perhitungan menurut English et al. (1994) yaitu: 𝐿𝑖 =

𝑛𝑖 𝑥 100 % 𝐿

Keterangan: Li = persentase penutupan biota karang ke-i ni = panjang total kelompok biota karang ke-i L = panjang total transek

8

Data persentase penutupan karang hidup yang didapat dikategorikan dengan penentuan nilai tutupan karang hidup menurut Zamani dan Maddupa (2011) Kriteria standar kesehatan terumbu karang menurut Zamani dan Madduppa (2011) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kriteria standar kesehatan terumbu karang Sangat Parameter Baik baik Tutupan karang hidup 75-100 % 50-74,9 % Tutupan alga 0-24,9 % 25-49,9 % Tutupan pasir 0-24,9 % 25-49,9 % Indeks kematian karang 0,075 – 1 0,50 – 0,749

Buruk 25-49,9 % 50-74,9 % 50-74,9 % 0,25 –0,499

Sangat buruk 0-24,9 % 75-100 % 75-100 % 0,0 – 0,249

Sumber: Zamani dan Madduppa (2011)

Prevalensi dan kelimpahan penyakit karang Untuk mengetahui prevalensi penyakit karang dilakukan perhitungan dengan membandingkan jumlah koloni karang yang terserang penyakit tertentu dibagi dengan jumlah total koloni karang terserang penyakit yang ditemukan pada lokasi pengamatan dikali 100% (Muller dan Van Woesik 2011), sedangkan untuk mengetahui kelimpahan penyakit karang yang ditemukan dilakukan perhitungan dengan melakukan perbandingan antara jumlah individu yang terserang penyakit dibagi dengan luas area pengamatan menggunakan rumus kelimpahan menurut Odum (1971) sebagai berikut: 𝑥𝑖 𝑋𝑖 = 𝑛 Keterangan: Xi = Kelimpahan jenis penyakit karang ke - i xi = Jumlah Individu yang terserang penyakit n = Luas Area pengamatan

Sebaran dan Hubungan Prevalensi Penyakit, Persen Tutupan, Parameter Lingkungan (Salinitas, Suhu, Nitrat dan Fospat) Untuk mengetahui sebaran tingkat kesehatan karang berdasarkan lokasi pengamatan dianalisis dengan Correspondent Analysis (CA) sedangkan untuk mengetahui hubungan prevalensi, keragaman, tutupan karang hidup dan parameter lingkungan (salinitas, suhu, nitrat dan fospat) dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama atau PCA (The Principle Component Analysis) dan Uji statistik analisis komponen utama dan analisis koresponden dilakukan dengan menggunakan program XL-Stat 2014 dan microsoft excel 2013.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Terumbu Karang Persentase karang hidup pada lokasi pengamatan beberapa pulau kecil di Teluk Jakarta termasuk dalam kategori sangat buruk hingga sedang. persentase

9

tutupan karang hidup pada Pulau Bokor (0,65%), Pulau Lancang Kecil (5,05%), Pulau kongsi (17,88%), Pulau Burung (25,08%) dan Pulau Pari (41,27%). Hasil pengamatan tutupan karang Pulau Tunda pada 4 stasiun pengamatan stasiun 1 (72,30%), stasiun 2 (68,58%), stasiun 3 (73,00%) dan stasiun 4 (54,95%). Presentasi persen tutupan karang hidup pada lokasi pengamatan disajikan pada Gambar 5. Kondisi terumbu karang pada pulau-pulau kecil Teluk Jakarta memperlihatkan adanya pengaruh tekanan lingkungan yang terjadi pada lingkungan sekitar yang disebabkan oleh aliran-aliran sungai yang bermuara pada perairan teluk Jakarta. persentase tutupan karang terendah pada 2 pulau yang berdekatan atau berhadapan langsung dengan Teluk Jakarta sangat buruk (Pulau Bokor dan Pulau Lancang Kecil) masing-masing secara berurutan 0,65 % dan 5,05%.. Kondisi persentase karang yang terdapat pada Pulau Bokor dan Pulau Lancang Kecil sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan sekitarnya. Tingkat kekeruhan yang terjadi disebabkan oleh aliran sungai dari Teluk Jakarta menyebabkan kondisi terumbu karang di pulau tersebut semakin buruk. LIPI (2010) menyimpulkan tingkat kekeruhan yang disebabkan oleh sungai-sungai yang bermuara pada Teluk Jakarta berpotensi memberikan dampak pada kondisi terumbu karang Teluk Jakarta. . 80.00 73.00

72.30 68.58

70.00

Persen Tutupan (%)

60.00

54.95

50.00 41.27 40.00 30.00

25.08 17.88

20.00 10.00

5.05 0.65

0.00 Pulau Bokor

Pulau Lancang Kecil

Pulau Pari

Pulau Burung

Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau Kongsi Tunda 1 Tunda 2 Tunda 3 Tunda 4

Gambar 5 Grafik persentase tutupan karang pada lokasi pengamatan Kondisi terumbu karang yang buruk terebut memperlihatkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar baik oleh logam berat ataupun oleh sedimen yang terjadi oleh aliran sungai yang bermuara ke perairan Teluk Jakarta. pencemaran perairan dan beberapa jenis logam berat dapat menyebabkan degradasi suatu organisme laut khususnya organisme bentik dasar perairan. Konsentrasi logam berat yang tinggi di perairan Teluk Jakarta cukup memberikan dampak negatif pada kehidupan organisme yang ada. Mustaruddin (2013) menjelaskan

10

kadar Mercury (Hg) dan Timbal (Pb) dalam hasil ikan tangkapan nelayan Teluk Jakarta telah melebihi baku mutu. Konsentrasi logam Timbal (Pb), Kadmium (Cd), Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) telah terakumulasi pada kerang hijau (Perna viridis) yang terdapat pada perairan Teluk Jakarta (Arifin dan Fadhlina 2009). Menurut Wicaksono et al. (2013) menjelaskan bahwa kadar logam berat yang melebihi ambang batas dapat membahayakan kehidupan organisme karang. Panuntun et al. (2012) melaporkan jenis karang Acropora aspera dapat mengakumulasi logam berat Pb (timbal) dengan konsentrasi 0,010 mg/l. Sedimentasi yang di hasilkan oleh sungai-sungai yang mengalir ke perairan Teluk Jakarta memberikan dampak terhadap kehidupan organisme karang. Sedimen yang terdapat pada Teluk Jakarta telah terkontaminasi oleh Tembaga (Cu), Nikel (Ni) dan Kadmium (Cd) (Rochyatun dan Rozak 2007). Sedimen memberikan dampak negatif pada terumbu karang yang terdapat pada perairan tersebut, hal ini dikarenakan sedimen dapat menutupi polip-polip karang dan menyebabkan stres. Menurut Weber et al. (2012), akumulasi sedimen pada suatu perairan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan organisme karang. Aliran sungai-sungai tersebut membawa sedimentasi dari daratan yang sangat berpengaruh pada kesehatan karang. Hal ini terlihat dari beberapa penelitian sebelumnya yang menyebutkan semakin tinggi tingkat sedimentasi maka semakin rendah karang hidup yang di temukan. Seperti halnya pada Pulau Bokor dan Pulau Lancang Kecil dengan persen tutupan karang hidup yang ditemukan dalam kategori buruk (rusak) menunjukkan bahwa pengaruh sedimentasi dari aktivitas daratan Teluk Jakarta memberikan efek yang buruk untuk kelestarian terumbu karang yang terdapat pada pulau-pulau kecil yang berhadapan langsung dengan Teluk Jakarta. Laporan LIPI (2010) menyebutkan beberapa pulau kecil yang berhadapan dengan kawasan teluk Jakarta memiliki persentase tutupan karang hidup dalam kategori baik hingga rusak. Persen tutupan karang di Pulau Payung (68,61%) dan Pulau Tidung (50,41 %) dapat dikategorikan "baik", Pulau Air (43, 16%) dikategorikan "sedang', sedangkan Pulau Lancang (7,24%) dan Pulau Onrust (0,07%) dikategorikan" rusak". Persentase tutupan karang keras hidup yang terendah dijumpai di Pulau Onrust, kemudian diikuti di Pulau Lancang di mana persentase tutupannya <1%. Sedangkan persentase tutupan karang hidup di Pulau Payung, Pulau Tidung dan Pulau Air masih terlihat baik dengan kisaran antara 43,16 - 68,61 % . dari data tersebut menjelaskan bahwa kehadiran karang hidup pada daerah pulau-pulau kecil di sekitar Teluk Jakarta masih dalam kategori sedang – rusak. Persen tutupan karang yang buruk sangat tergantung dengan kondisi perairan sekitar dan faktor-faktor lain. Karang dengan tutupan yang rendah sangat dapat di indikasikan terjadinya kerusakan. Sedangkan persentase tutupan karang Pulau Tunda Banten termasuk dalam kategori baik. Kondisi terumbu karang yang demikian dipengaruhi oleh faktor lingkungan lokasi pengamatan. Hasil pengamatan kondisi terumbu karang Pulau Tunda masih dalam ketegori baik. Kondisi ini disebabkan ekosistem Pulau Tunda belum dipengaruhi oleh aktifitas lingkungan yang dapat merusak terumbu karang. Pulau Tunda merupakan pulau didaerah teluk Banten dengan kondisi alam yang masih sangat baik. Pengaruh dari aktifitas lingkungan masih sedikit. Aktifitas

11

penambangan pasir yang dilakukan oleh salah satu perusahan penambangan pada bagian utara Pulau Tunda belum memperlihatkan pengaruh negatif pada lingkungan sekitar. Pulau Tunda saat ini merupakan objek wisata alternatif dari masyarakat sekitar daratan Banten dan Karang Antu. Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Tunda juga terhitung masih sangat sedikit. Kerusakan ekosistem terumbu karang juga dapat disebabkan oleh banyaknya wisatawan yang melakukan aktifitas di perairan yang terdapat terumbu karang. Lamb et al. (2014), menyebutkan aktifitas kegiatan wisata diving dan snorkeling pada daerah terumbu karang memberikan dampak pada kerusakan terumbu karang. Persentase bentik organisme pada pulau-pulau kecil Teluk Jakarta yang banyak ditemukan yaitu dead coral with algae (karang mati yang ditutupi alga). Persentase dead coral with algae mencapai kisaran 3,70 % hingga 81,93 %. Persentase tertinggi terdapat pada Pulau Lancang Kecil dengan persen tutupan 81,93 %, Pulau Kongsi 81,15%, Pulau Burung 74,72%, Pulau pari 54,97% dan tutupan terendah pada Pulau Bokor 3,70%.

Persen Tutupan (%)

120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 Pulau Pulau Pulau Bokor Lancang Pari Kecil

Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau Burung Kongsi Tunda 1 Tunda 2 Tunda 3 Tunda 4

Abiotic

Dead Coral

Dead Coral with Algae

Hard Coral

Rubble

Others Biota

Soft Coral

Sponge

Gambar 6 Grafik persentase tutupan bentik organisme pada lokasi pengamatan Pada setiap lokasi pengamatan pulau-pulau kecil Teluk Jakarta, tutupan karang keras (karang hidup) lebih rendah dibandingkan dengan persen tutupan dead coral with algae. Hal ini dikarenakan adanya persaingan antar bentik organisme untuk bertahan hidup baik persaingan antar ruang ataupun persaingan antar memperebutkan makanan. Bahartan et al. (2010) menyebutkan indikasi kerusakan terumbu karang terlihat dari tingginya pertumbuhan makro alga pada daerah terumbu karang. Terumbu karang merupakan organisme yang hidup di perairan yang miskin nutrien (oligotropik). Tingginya nutrien dapat menyebabkan peningkatan pertumbuhan makro alga yang dapat menutupi cahaya matahari yang

12

masuk kedalam perairan untuk dimanfaatkan terumbu karang sebagai alat untuk melakukan proses fotosintesis. Peningkatan makro alga merupakan indikasi kestabilan ekosistem sudah terganggu, hal tersebut dikarenakan ikan herbivora yang sedikit menyebabkan pertumbuhan makro alga meningkat. Peningkatan makro alga yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan kesehatan karang, kompetisi ruang atau kematian pada koloni karang tertentu. Pulau Tunda presentase dead coral with alge dan dead coral sangat kecil ditemukan pada setiap lokasi pengamatan. Nilai persentase dead coral with alge 2,12% dan dead coral 4,22%. Presentase nilai yang kecil sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tersebut. Terlihat pada lokasi pengamatan Pulau Tunda kondisi karang masih dalam kategori baik dengan persentase tutupan karang secara berurutan sebagai berikut: Stasiun 1 (72,30%), Stasiun 2 (68,58%), Stasiun 3 (73(%) dan Stasiun 4 (54,95%). Berbeda dengan kondisi beberapa pulau yang berada pada daerah Teluk Jakarta yang telah banyak dipengaruhi oleh aktifitas lingkungan yang menyebabkan kondisi perairan disekitar pulau menjadi sangat mempengaruhi kehidupan organisme yang berada pada perairan tersebut. Pulau Tunda belum banyak terpengaruh oleh aktifitas-aktifitas manusia yang berlebihan. Kondisi Pulau Tunda yang berjarak hampir 30 km dari perairan Teluk Banten membuat kondisi perairan disekitar pulau Tunda belum terpengaruh oleh aktifitas dari daratan pulau Jawa. Kelimpahan Tingkat Kesehatan Karang Kelimpahan penyakit karang yang ditemukan pada lokasi pengamatan seperti penyakit parang (Tabel 4), pemutihan karang (Tabel 5) dan kelompok compromised pealth (gangguan kesehatan) (Tabel 6). Kelimpahan penyakit karang yang ditemukan pada seluruh lokasi pengamatan sangat sedikit. Penyakit yang ditemukan antara lain: 18 koloni yang terserang White Syndrom (WS), 2 koloni yang terserang Brown Band Disease (BrB), 1 koloni yang terserang Skeletal Eroding Band (SEB). Kelimpahan ketegori pemutihan karang seperti Full (67 koloni), Spot (5 koloni), patch (107 koloni) dan stripes (35 koloni). Sedangkan kategori gangguan kesehatan karang seperti Fish bite (27 koloni), Drupellla (2 koloni), Coralliopholia (2 koloni), Crown-of-Thorns Starfish (COTS) (13 koloni) Pigmentation Respons (80 koloni), Invertebrate Galls (51 koloni), Spons Over (37 koloni), Sedimentation Damage (114 koloni). Jenis penyakit karang banyak ditemukan pada lokasi pengamatan Pulau Pari dengan ditemukannya penyakit SEB (1 koloni), BrB (1 Koloni) dan Penyakit WS (10 koloni) dan pada lokasi yang berdekatan dengan Teluk Jakarta hanya ditemukan 3 koloni penyaki WS pada lokasi pengamatan Pulau Lancang Kecil sedangkan pada lokasi pengamatan Pulau Tunda hanya ditemukan 1 jenis penyakit. hal tersebut diasumsikan bahwa tekanan lingkungan pada lokasi pengamatan Pulau Pari lebih kuat dibandingkan dengan lokasi Pulau Tunda. Aktifitas yang terjadi pada lokasi pengamatan Pulau Pari dengan tingat wisatawan khusunya aktifitas wisata snorkeling dan diving yang besar dapat menyebabkan hal ini dapat menyebabkan tingkat strees pada organisme karang meningkat. Lamb et al. (2014), menyebutkan aktifitas kegiatan wisata diving dan snorkeling pada daerah terumbu karang

13

memberikan dampak pada kerusakan terumbu karang. Penyakit karang yang ditemukan pada lokasi pengamatan yang berdekatan dengan Muara Teluk Jakarta sedikit temukan, hal ini disebabkan tutupan karang hidup pada dua lokasi pengamatan Pulau Bokor (0,65%) dan Pulau Lancang Kecil (5,05%) sangat buruk dan jumlah koloni yang ditemukan pada lokasi tersebut juga sedikit. Tutupan karang hidup yang sangat buruk pada dua lokasi pengamatan tersebut diasumsikan terjadi karena tekanan lingkungan yang berasal dari muara sungai dari daratan Jakarta yang menyebabkan tingkat sedimentasi meningkat dan menyebabkan tertutupnya poli-poli karang hingga terjadi strees pada karang. Penyakit karang jenis WS (white Syndrome) juga ditemukan pada lokasi pengamatan Pulau Tunda. Secara umum, penyakit karang WS ditemukan pada semua lokasi pengamatan. Tabel 4 Jenis penyakit karang yang ditemukan pada lokasi pengamatan Jenis Penyakit Lokasi P. Bokor P. Lancang Kecil Pulau Pari P. Burung P.Kongsi P. Tunda 1 P. Tunda 2 P. Tunda 3 P. Tunda 4 Jumlah

Skeletan Eroding Band

Brown Band

White Syndrome

0 0 1 0 0 0 0 0 0 1

0 0 1 1 0 0 0 0 0 2

0 3 10 2 2 1 0 0 0 18

Beberapa peneliti telah melaporkan keberadaan penyakit karang yang terdapat di Kepulauan Seribu. Penyakit White Syndrome banyak ditemukan pada setiap ditemukan di lokasi pengamatan. Estradivari et al. (2009) melaporkan bahwa terdapat jenis penyakit karang White Syndrome dan pemutihan karang di Kepulauan Seribu. Subhan et al. (2011) menyebutkan terdapat 5 genus (marga) karang dari Famili Fungiidae (Sandalolitha, Ctenactis, Fungia, Herpolitha, Heliofungia) yang terserang oleh penyakit Yellow Band Disease (YBD), Sedimentasi, dan Bleaching (putih). Johan et al. (2014) melaporkan tingkat prevalensi penyakit sabuk hitam (Black Band Disease) di Kepulauan Seribu mencapai 12,53%, puncak terjadinya penyakit karang jenis ini terjadi pada musim peralihan antara musim kemarau dan musim penghujan. Penyakit White Syndrome ditemukan pada 4 lokasi pengamatan. White Syndrom merupakan penyakit karang yang terjadi akibat kehilangan jaringan pewarna karang yang disebabkan terinfeksi oleh bakteri pemakan karang. Menurut Work dan Aeby (2011), penyakit White Syndrome terjadi karena adanya mikroorganisme cyanobacteria yang menyebarkan penyakit ketika terjadinya luka pada karang jenis Acropora. Aeby et al. (2010) menjelaskan kualitas perairan dapat mempengaruhi penyebaran penyakit karang White syndrome pada karang jenis Montipora, hal ini dikarenakan beberapa jenis penyakit karang sangat terpengaruh

14

oleh tekanan lingkungan di suatu perairan yang dapat menyebabkan terjadinya beberapa penyakit karang. Menurut Sussman et al.(2008), penyakit White Syndrome terjadi disebabkan oleh patogen Vibrio coralliilyticus yang ditandai dengan terjadinya pemutihan karang sebelum terinfeksi oleh penyakit tersebut. Menurut Redding (2013), pengaruh nitrogen menyebabkan terjadinya penyakit sindrom putih (White Syndrom) pada karang Porites, selain nitrogen perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan suhu permukaan air laut menyebabkan terjadinya pengasaman laut yang mempengaruhi pertumbuhan karang. Menurut McClanahan (2003), karang cenderung memiliki respon yang lebih tanggap terhadap perubahan suhu perairan. Respon yang terjadi terlihat hilangnya pigmen warna yang terdapat pada karang. Kehilangan pigmen warna ini menyebabkan kematian massal karang. Pemutihan karang terjadi pada semua lokasi pengamatan. Dengan tingkat kemunculan pemutihan karang lebih besar terjadi pada lokasi Pulau Tunda Banten sedangkan pada lokasi pengamatan Gugusan Pulau Pari dan pulau kecil (Bokor dan Lancang Kecil) yang berdekatan dengan Teluk Jakarta sangat sedikit ditemukan pemutihan karang. Pemutihan karang terjadi disebabkan oleh pengaruh suhu dan salinitas pada perairan tersebut. Suhu pada lokasi pengamatan mencapai 28-32 oC. Furby et al. (2014) menyimpulkan bahwa peningkatan suhu muka air laut dapat meningkatkan patogen virus dan dapat menyebabkan ketahanan (kekebalan) organisme karang menjadi berkurang. Pemutihan karang yang terdapat lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Pemutihan Karang (Bleaching) yang ditemukan pada lokasi pengamatan Bentuk Pemutihan Lokasi P. Bokor P. Lancang Kecil Pulau Pari P. Burung P.Kongsi P. Tunda 1 P. Tunda 2 P. Tunda 3 P. Tunda 4 Jumlah

Full

Spots

Patches

Stripes

0 0 11 1 3 12 4 20 16 67

0 0 0 3 2 0 0 0 0 5

0 2 8 6 0 10 12 28 41 107

0 1 3 0 14 2 0 11 4 35

Pemutihan karang merupakan jenis penyakit dengan kelimpahan tertinggi yang ditemukan pada setiap lokasi. Empat kategori jenis pemutihan karang ditemukan pada semua lokasi pengamatan baik pada pulau kecil Teluk Jakarta maupun pada Pulau Tunda Banten. Pemutihan karang karang telah terjadi beberapa tahun yang lalu. Wilkinson (1998) melaporkan bahwa pemutihan karang terjadi dikarenakan oleh arus hangat dari Laut Cina Selatan yang mengalir ke perairan Laut Jawa dan Kepulauan Riau. Sekitar 75-100% dari persen tutupan karang, 25% terjadi pemutihan karang pada perairan Bali Barat (National Park) dan Bali Timur

15

(Tulamben). Pemutihan karang di perairan Kepulauan Seribu Jakarta dan Taman Nasional Laut Karimunjawa (Utara Jawa) di mulai pada bulan Januari dan Febuari hingga bulan Mei. Hal ini berkaitan erat dengan pengamatan yang dilakukan pada perairan Pulau Tunda Banten dan perairan pulau kecil Teluk Jakarta. Dimana pada daerah pengamatan banyak terdapat pemutihan karang. Peningkatan suhu 0,5oC di daerah subtropis dapat menyebabkan pemutihan karang dengan mengeluarkan simbiosis alga yang terdapat pada koloni karang (Wilkinson 2008). Baker et al. (2008) pemutihan karang terjadi selama Agustus hingga Oktober di daerah Karibia pada tahun 1983-2000 pemutihan karang pada daerah Karibia merupakan terjadinya anomaly suhu permukaan laut. Pemutihan karang terjadi disebabkan oleh suhu ratarata permukaan laut meningkat lebih dari 300C (Burke et al. 2004).

a

b

c

d

e

f

16

g

i

h

j

k

l

m

n

Gambar 7 Dokumentasi pengamatan Keterangan: Pigmentation Respons (a,b), Invertebrate Galls (c,d), White Syndrome (e), Brown Band Disease (f), Spons Over (g,h), Crown-of-Thorns Starfish (i,j), Sedimentation Damage (k,l) dan Pemutihan karang (m,n). Sumber foto: dokumentasi pribadi

17

Tabel 6 Gangguan kesehatan karang yang ditemukan pada lokasi pengamatan Jenis Gangguan Kesehatan Lokasi P. Bokor P. Lancang Kecil Pulau Pari P. Burung P.Kongsi P. Tunda 1 P. Tunda 2 P. Tunda 3 P. Tunda 4 Jumlah

1

2 0 2 0 0 2 6 10 5 27

2

3

4

5

6

7

8

0 0 2 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 2 2

0 0 1 0 0 4 0 0 8 13

7 2 7 15 0 0 13 28 8 80

3 0 3 7 0 13 8 17 0 51

4 1 6 1 18 0 3 4 0 37

20 4 28 12 0 8 12 20 10 114

Keterangan: 1. Fish bite 2. Drupellla 3. Coralliopholia 4. Crown-of-Thorns Starfish 5. Pigmentation Respons 6. Invertebrate Galls 7. Spons Over 8. Sedimentation Damage

Beberapa jenis gangguan kesehatan karang ditemukan pada lokasi pengamatan baik di pulau-pulau yang berdekatan dengan teluk Jakarta maupun Pulau Tunda Banten. Tingkat gangguan kesehatan karang disajikan pada tabel 6. Gangguan kesehatan karang yang tertinggi merupakan Sedimentation Damage dengan total koloni 114 koloni karang dari seluruh lokasi pengamatan. Sedimentation Damage terjadi diakibatkan tingginya pengaruh aktifitas antropogenik dan banyaknya aliran sungai yang menimbulkan tingkat sedimentasi pada perairan meningkat. Sedimen yang tinggi menyebabkan kematian pada karang yang terjadi karena polip-polip karang tertutupi oleh partikel-partikel dari sedimen tersebut dan terhalangnya cahaya matahari yang dibutuhkan biota karang untuk melakukan proses fotosintesis. Menurut Weber (2012), limpasan sedimen yang menumpuk pada karang akan menjadi kunci kematian karang hal terebut dikarenakan sedimen yang kaya akan bahan organ menyebabkan peningkatan konstan hidrogen sulfida yang dapat meningkatkan degradasi lendir karang dan menyebabkan kematian jaringan karang. Gleason (1998) menyebutkan karang jenis P. Astreoides mampu mentoleransi tingkat sedimen yang tinggi. Menurut Rogers (1990), peningkatan sedimentasi menyebabkan degradasi terumbu karang pada satu wilayah, partikel sedimen yang menutupi organisme karang dan mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Hasil pengamatan dilapangan genus karang yang tinggi terserang penyakit atau gangguan kesehatan karang yaitu genus karang Porites dan genus karang Acropora (Gambar 8). Dua genus karang tersebut merupakan genus yang paling banyak ditemukan terserang penyakit karang atau gangguan kesehatan karang pada lokasi pengamatan. Myers dan Raymundo (2009) menjelaskan genus karang Acropora dan Porites yang rentan terhadap beberapa penyakit yang timbul pada suatu perairan. Sejalan dengan pengamatan yang dilakukan, genus Acropora dan Porites merupakan dua genus karang yang paling banyak ditemukan terserang

18

penyakit, pemutihan dan gangguan kesehatan karang baik di daerah Pulau Tunda dan daerah pulau-pulau kecil Teluk Jakarta. Acropora merupakan genus karang bercabang yang rentan terhadap beberapa faktor lingkungan yang dapat menyebabkan kerusakan serta menimbulkan penyakit pada genus Acropora. Beberapa penyakit ditemukan pada karang Acropora pada lokasi pengamatan seperti pemutihan, spons over dan sedimentasi yang berlebih menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan dan timbulnya penyakit karang pada genus karang Acropora di lokasi pengamatan baik di pulauTunda Banten maupun di beberapa pulau kecil Teluk Jakarta. Rogers et al. (2005) menjelaskan dibeberapa terumbu karang Florida terjadi penyebaran penyakit karang White Pox Disease (penyakit cacar putih) pada jenis karang Acropora palmata. Petterson et al. (2002) menjelaskan peningkatan suhu pada daerah Florida menyebabkan penularan penyakit White pox (cacar putih). Roff et al. (2006) menjelaskan karang Acropora spp pada daerah Great Barrier Reef paling banyak ditemukan tererang penyakit White Syndrom yang menyerang bagian lesi karang. Seveso et al. (2012) interaksi biologis memberikan kontribusi timbulnya penyakit karang yang disebabkan oleh protozoa dan Halofolliculina corallasia dan pertumbuhan alga yang berlebih dapat menyebabkan degradasi terumbu karang disuatu perairan. Porites merupakan genus karang yang paling banyak ditemukan terserang penyakit dan gangguan kesehatan karang yang terjadi pada koloni-koloni karang porites. Thurber et al. (2008) menjelaskan karang jenis Porites compressa mengandung virus eukariotik, virus tersebut akan merespon tanggapan sters pada karang yang disebabkan oleh penurunan pH, peningkatan nutrisi, dan stres termal yang terjadi pada koloni karang. Pemanasan global memberikan dampak negatif pada kesehatan karang. Nordemar et al. (2003) melaporkan respon fisiologis karang jenis Porites clyndirica yang terkena pengayaan anorganik terlarut dan peningkat suhu lebih dari 2º C, pengayaan nitrat yang signifikan mengurangi tingkat produksi primer dan menurunkan konsentrasi klorofil pada koloni Porites clyndrica. Peningkatan suhu permukaan menyebabkan kerusakan pada jaringan karang yang menimbulkan pemutihan pada bagian-bagian terentu atau seluruhnya pada koloni tersebut. Tingkat kematian dan kerusakan karang juga dapat disebabkan oleh dampak lingkungan yang tinggi. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kerusakan terumbu karang yaitu proses el-nino yang menyebabkan terjadinya pemutihan karang pada beberapa daerah di belahan dunia seperti di daerah Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Proses el-nino menyebabkan Kenaikan suhu permukaan air laut dapat mempengaruhi pertumbuhan karang jenis Porites lutea (Arman et al. 2013). Peningkatan suhu sebesar 29,57oC menyebabkan penurunan pertumbuhan karang Porites lutea pada pulauTunda Banten (Lalang et al. 2015). Gambar 8 menunjukan tingkat kelimpahan genus yang ditemukan pada setiap lokasi pengamatan baik di beberapa pulau-pulau kecil Teluk Jakarta maupun di Pulau Tunda banten. Dari gambar tersebut, memperlihatkan genus Acropora dan Porites ditemukan paling dominan pada setiap lokasi pengamatan. Hal ini dikarenakan genus karang Porites dan Acropora merupakan genus karang yang paling banyak terdapat pada lokasi pengamatan. Menurut Edinger (2000), terumbu

19

karang pada daerah dekat pantai yang memiliki tingkat pencemaran yang tinggi akan didominasi oleh terumbu karang sub massive dan karang massive. Beberapa karang sub massive dan karang massive merupakan genus Porites yang banyak terdapat pada daerah pengamatan. Kondisi lingkungan pada lokasi pengamatan pada pulau-pulau kecil Teluk Jakarta yang buruk terebut memperlihatkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar baik oleh logam berat ataupun oleh sedimen yang terjadi oleh aliran sungai yang bermuara ke perairan Teluk Jakarta. Pencemaran perairan dan beberapa jenis logam berat dapat menyebabkan degradasi suatu organisme laut khususnya organisme bentik dasar perairan. Konsentrasi logam berat yang tinggi di perairan Teluk Jakarta cukup memberikan dampak negatif pada kehidupan organisme yang ada. Mustaruddin (2013) menjelaskan konsenterasi Mercury (Hg) dan Timbal (Pb) dalam hasil ikan tangkapan nelayan Teluk Jakarta telah melebihi baku mutu. Pada daerah Pulau Tunda Banten kondisi perairan sangat di pengaruhi oleh aktifitas manusia dan pengeruhkan pasir yang terdapat pada bagian utara pulau. Aktifitas rumah tangga dengan limbah yang mengandung sejumlah bahan penting seperti toksik atau produk ikutan dari pestisida, herbisida, klorin, atau logam berat dapat memberikan dampak kerusakan organisme karang Riska et al. (2015) melaporkan akumulasi logam berat pada perairan Pulau Tunda Banten mengalami peningkatan dilihat dari pita tahunan karang Porites lutea. Potensi akumulasi logam berat tersebut terjadi diakibatkan oleh berbagi sumber baik secara alami dan antopogenik dari daerah sekitar pulau Tunda. Pulau Bokor

Pulau Lancang Kecil

40 30

Koloni/100m2

Koloni/100m2

30 20 6

10 0

Favites

7 6 5 4 3 2 1 0

6

2 1

Porites

Pulau Kongsi 20

34

2

2

7 1

1

1

Koloni/100m2

Koloni/100m2

Pulau Burung 40 35 30 25 20 15 10 5 0

1

15

15 10 5 0

7 1

5

6

4 1

20

Pulau Pari 30

17

20

13

5 1 1 4 1 1 1

1

Acropora Anacropora Astreopora Favites Fungia Galaxea Leptoria Montastrea Montipora Porites Turbinaria

0

30 25 20 15 10 5 0

28

1

Pulau Tunda 2

1

1

5

9

9

4

2

Turbinaria

4

Porites

4

Pocillopora

2

Oxypora

Acropora Favites Galaxea Goniastrea Leptoria Montastrea Montipora Platygyra Porites Symphyllia Turbinaria

Acropora

0

5

Platygyra

1 1

27

Goniastrea

2 1 4 3 1 1 2

52

Montastrea

20

60 50 40 30 20 10 0

Favites

Koloni/100m2

Koloni/100m2

30 5

1

9

5

Pulau Tunda 3 37

40

10

1

Galaxea

10

Koloni/100m2

Koloni/100m2

40

Pulau Tunda 1

38

Pulau Tunda 4 35

30 18 2

6

1

2

1 Montastrea

10

Lobophyllia

20

Goniastrea

Koloni/100m2

40

5

12

8 2

2 Turbinaria

Symphyllia

Porites

Pocillopora

Platygyra

Oxypora

Fungia

Favites

Acropora

0

Gambar 8 Kelimpahan genus karang yang terserang penyakit dan gangguan kesehatan karang pada lokasi pengamatan Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan Karang Prevalensi penyakit karang yang ditemukan pada lokasi pengamatan pulau kecil Teluk Jakarta sangat kecil. Prevalensi penyakit yang ditemukan seperti SEB (0,46%), BrB (0,93%), WS (6,48%). Sedangkan prevalensi gangguan kesehatan karang seperti SD (37,96%) dan PR (20,83%). WS merupakan penyakit karang yang tinggi ditemukan pada lokasi pengamatan, sedangkan penyakit karang yang sedikit ditemukan yang yaitu SEB. Prevalensi pemutihan karang (Coral Bleaching) seperti Full (5,56%), Spot (2,78%), Patches (8,33%) dan Sripes (1,85%). Prevalensi penyakit parang kecil Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 9.

21

Prevalensi White Syndrom (WS) merupakan jenis penyakit karang yang banyak disebabkan oleh organisme-organisme pemangsa karang. Organismeorganisme tersebut memanfaatkan jaringan karang sebagai makanan. Salah satu contoh mahkota berduri (Acanthaster planci) merupakan hewan atau pemangsa organisme karang yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan karang. Works dan Aeby (2011) menjelaskan predator seperti Drupella sp dan mahkota berduri (Acanthaster planci) dapat menyebabkan kehilangan jaringan karang. Aeby et al. (2010) menjelaskan infeksi penyakit karang jenis White syndrome yang menyerang karang Montipora merupakan jenis penyakit yang menular yang ditandai dengan multifokal lesi yang menyebabkan kehilangan jaringan karang secara progresif serta menyebabkan kematian karang secara signifikan. Roff et al. (2006) menyebutkan kematian koloni karang yang tinggi dapat disebabkan oleh munculnya penyakit sindrom putih (White Syndrome) yang dengan perkembangan yang cepat. Penyakit karang Skeletal Eroding Band (SEB) hanya ditemukan pada lokasi pengamatan Pulau Pari. Penyakit ini menyerang genus karang Acropora sedangkan pada genus yang lain tidak terlihat terkena penyakit tersebut. Penyakit karang jenis ini merupakan penyakit yang dapat mengikis koloni karang. Penyakit ini terjadi diakibatkan oleh infeksi protozoa yang terdapat pada perairan tersebut (Harvell et al. 2007). Infeksi patogen dari protozoa (Halofolliculina corallasia) dapat meningkatkan kerusakan dan pengikisan jaringan karang genus Acropora. Willis et al. (2004) melaporkan pola musim pada Great Barrier Reef menyebabkan peningkatan penyakit karang pada semua genus karang sedangkan Skeletal Eroding Band (SEB) meningkat dua kali lipat pada musim panas. Prevalensi Sedimentation Damage yang tinggi disebabkan oleh aliran sedimen yang berasal dari daratan Teluk Jakarta yang terbawa kelaut, yang berakibat pada beberapa koloni karang tertutup sedimen. Hosono et al. (2011) menjelaskan bahwa akumulasi logam antropogenik dalam sedimen Teluk Jakarta telah terjadi pada tahun 1920 hingga 1970 dan berakhir pada tahun 1990. Sejak tahun 1990 hingga 2006 tingkat akumulasi konstan pada daerah industri yang dekat dengan pesisir. Menurut Weber (2012), limpasan sedimen yang menumpuk pada karang akan menjadi kunci kematian karang hal terebut dikarenakan sedimen yang kaya akan bahan organ menyebabkan peningkatan konstan hidrogen sulfida yang dapat meningkatkan degradasi lendir karang dan menyebabkan kematian jaringan karang. Prevalensi Pigmentation Respons juga merupakan tingkat gangguan kesehatan karang yang tinggi. Pigmentation respons terjadi akibat oleh larva Cirriped yang menempel pada permukaan karang hidup pada genus Porites. Pigmentation Respons (pink blue) terjadi dikarenakan tekanan antropogenik yang menyebabkan sistem metabolisme pada karang terganggu sehingga menyebabkan munculnya warna pink blue pada beberapa karang Porites. Menurut Soenardjo (2013), penyakit sindrome pink-blotch dapat disebabkan oleh agen tunggal penyakit yang disebabkan oleh bakteri Erythrobacter sp. Pigmentation respons banyak ditemukan pada karang - karang massive dari genus Porites. pemudaran warna (tissue discoloration) dengan munculnya warna merah mudah atau ungu pada permukaan karang tersebut menandakan kesehatan karang tersebut terganggu. Benzoni et al. (2010) menjelaskan bahwa respon dari munculnya bintik-bintik

22

warna merah mudah atau ungu merupakan pengaruh dari mekanisme stres karang yang disebabkan oleh larva Cirriped yang menempel pada permukaan karang hidup pada genus Porites. Prevalensi Tingkat Kesehatan Karang Pulu Kecil Teluk Jakarta 0.46%

0.93%

SEB BrB WS

6.48% 5.56%

Full Spots

2.78%

Patches Stripes

37.96% 8.33%

Fish Dru

1.85% 1.85% 2.31% 0.46% 5.56%

20.83% 4.63%

COTS PR IG SP SD

Gambar 9 Grafik prevalensi tingkat kesehatan karang pada pulau-pulau kecil Teluk Jakarta Keterangan: SEB = Skeletal Eroding Band, BrB = Brown Band Disease, WS =White Syndrom, Full = Putih seluruhnya, Spots = Bintik Puith, Patches = Tambalan putih, Stripe = Garis putih, Fish = Fish bite, Dru = Drupellla, COTS = Crown-of-Thorns Starfish, PR = Pigmentation Respons, IG = Invertebrate Galls, SP = Spons Over, SD = Sedimentation Damage.

Prevalensi tertinggi adalah patches (26,61%) sedangkan prevalensi terendah adalah White Syndrome (0,29%). Selain Patches yang memiliki prevalensi tertinggi ada beberapa gangguan kesehatan yang yang cukup tinggi dibandingkan dengan yang lain seperti Pigmentaton Respons (14,33%), Invertevrate Galls (11,11%), Sedimantation Damage (14,62%) dan Putih Keseluruhan (15,20%). Prevalensi penyakit karang pada pulau Tunda disajikan pada Gambar 10. Pemutihan karang dibedakan menjadi empat kategori yaitu Pacth, Full, Stripes, dan Spot (bintik-bintik). Pemutihan Karang terjadi akibat hilangnya zooxanthella pada jaringan koloni karang yang menyebabkan karang menjadi memutih dengan mengghilangkan pigmen warna pada karang tersebut. Pemutihan karang terjadi dikarenakan terjadinya peningkatan suhu permukaan laut (Yee et al. 2011) dan tingginya radiasi matahari (Le Tissier dan Brown 1996). Peningkatan dan penurunan suhu permukaan air laut serta tingginya radiasi matahari menyebabkan stres pada organime karang (zooxanthella) yang dapat menyebabkan terjadinya pemutihan karang pada koloni-koloni karang (Douglas 2003). Pemutihan karang merupakan tanggapan terhadap perubahan lingkungan yang menyebabkan keluarnya polip karang ketika terjadinya stres pada karang (Hayes dan Goreau 1992). Pemutihan karang pada daerah Kepulauan Seribu dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Subhan et al. (2011) melaporkan sebesar 18.46% pemutihan karang terjadi pada genus Fungidae yang terdapat pada Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Pemutihan karang umumnya dikategorikan dalam jenis penyakit karang

23

yang disebabkan oleh tekanan lingkungan seperti naiknya suhu permukaan laut (Yee et al. 2008 ; Glynn 1993; Cervino et al. 2004; McClanahan, 2004), penurunan suhu laut (Coles dan Fadlallah 1991) dan peningkatan radiasi matahari (Le Tissier dan Bronw 1996).

Prevalensi Tingkat Kesehatan Karang Pulau Tunda WS

14.62 2.05

0.29

6.73 0.58 3.51

FISH COR COTS Full

15.20

11.11

Patches Stripes PR IG

14.33

SP

26.61

SD

4.97

Gambar 10 Grafik prevalensi tingkat kesehatan karang pada stasiun pengamatan Pulau Tunda Banten Keterangan: SEB = Skeletal Eroding Band, BrB = Brown Band Disease, WS =White Syndrom, Full = Putih seluruhnya, Spots = Bintik Puith, Patches = Tambalan putih, Stripe = Garis putih, Fish = Fish bite, Dru = Drupellla, COR = Coralliopholia, COTS = Crown-of-Thorns Starfish, PR = Pigmentation Respons, IG = Invertebrate Galls, SP = Spons Over, SD = Sedimentation Damage.

Kondisi Parameter Lingkungan Data parameter lingkungan diambil secara insitu seperti suhu dan salinitas sedangkan parameter lingkungan seperti nitrat dan fospat di lakukan analisis kualitas air di Laboratorium Produktifitas Lingkungan (Prolink) FPIK IPB. Beberapa data kualiatas air didapatkan dari data penelitian-penelitian sebelumnya. Data parameter lingkungan pada lokasi pengamatan disajikan pada tabel 5. Tabel 7 Parameter lingkungan Lokasi P. Bokor P. L. Kecil P. Pari P. Tunda 1 P. Tunda 2 P. Tunda 3 P. Tunda 4

Salinitas 30* 30* 30 33 31 32 32

Keterangan: Anma et el. 2014*

Suhu 29* 28* 28 29 32 31 30

Nitrat 0.057* 0.124* 0.015 0.007 0.052 0.014 0.040

Fospat 0.028* 0.018* 0.004 0.020 0.026 0.026 0.024

24

Suhu merupakan salah satu faktor yang banyak menyebabkan terjadinya kerusakan karang khususnya yang menyebabkan terjadinya pemutihan karang pada beberapa daerah di dunia maupun di Indonesia. Peningkatan dan penurunan suhu dapat berakibat terjadinya stres pada karang. Kisaran suhu pada lokasi pengamatan 28-32 oC. Suharsono (1999) melaporkan pemutihan karang terjadi pada gugusan pulau Pari dengan naiknya suhu sebesar 2-3 oC. Peningkatan suhu 0,5oC di daerah subtropis dapat menyebabkan pemutihan karang dan mengeluarkan simbiosis alga yang terdapat pada koloni karang (Wilkinson 2008). Baker et al. (2008) melaporkan pemutihan karang terjadi selama Agustus hingga Oktober di daerah Karibia pada tahun 1983-2000 pemutihan karang pada daerah Karibia merupakan terjadinya anomaly suhu permukaan laut. Pemutihan karang terjadi disebabkan oleh suhu ratarata permukaan laut meningkat lebih dari 300C (Burke et al. 2004). Nordemar et al. (2003) melaporkan peningkatan suhu lebih dari 2ºC dapat mengurangi tingkat produktifitas primer karang Porites clyndrica. Peningktan suhu permukaan air laut terjadi dikarenakan proses el-nino. Arman et al. (2013) menjelaskan pertumbuhan karang jenis Porites lutea dipegaruhi oleh terjadinya proses el-nino yang menyebabkan terjadinya kenaikan suhu muka air laut. Lalang et al. (2015) melaporkan pertumbuhan karang Porites lutea menjadi menurun ketika terjadi peningkatan suhu sebesar 29,57oC . Furby et al. (2014) menyimpulkan bahwa peningkatan suhu muka air laut dapat meningkatkan patogen virus dan dapat menyebabkan ketahanan (kekebalan) organisme karang menjadi berkurang. Salinitas pada saat pengamatan didapat sebesar 30-32 o/oo. Hasil dari pengamatan Anma et al. (2014) sebaran salinitas pada perairan Teluk Jakarta berkisar 29,5 o/oo sampai 30 o/oo . Salinitas terendah terjadi pada periran yang berdekatan dengan Teluk Jakarta. Salinitas mempengaruhi pertumbuhan karang dan dapat menyebabkan penyebaran penyakit pada koloni karang. Perubahan salinitas yang drastis dapat menyebabkan terjadinya pemutihan karang. Fluktuasi salinitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor alam seperti curah hujan, asupan air tawar dari daratan dan penyinaran matahari. Menurut Snedaker (1995), kenaikan muka air laut dapat disebabkan oleh meningkatnya salinitas yang berakibat pada peningkatan sulfida dalam sedimen. Pengayaan nutrien pada suatu perairan tergantung pada tinggi rendahnya konstentrasi nitrat dan fospat yang terdapat pada perairan tersebut. Kisaran konstrasi nitrat yang baik untuk kesehatan karang yaitu 0,040 mg/l sedangkan untuk kisaran fospat 0,07 mg/l (Bell 1992). Nilai konstrasi dari hasil analisi, kisaran nitrat 0,07-0,124 mg/l. sedangkan nilai kadar fospat yang terdapat pada lokasi penelitian berkisar 0,04 – 0,028 mg/l. Nilai konsentrasi kadar nitrat dan fospat pada lokasi penelitian telah melebih kisaran untuk kesehatan karang di suatu perairan. Menurut Dunn et al. (2012), kontaminasi konstentrasi fospat yang berlebihan dapat mempengaruhi organisme karang. Sebaran Penyakit dan Gangguan Kesehatan Karang Sebaran penyakit karang yang ditemukan pada lokasi pengamatan disajikan pada tabel 9. Tingkat Kemunculan penyakit karang yang di sebabkan oleh warna seperti Black Band Disease, Yellow Band Disease dan yang lain sangat sedikit ditemukan pada lokasi pengamatan, sedangkan kelompok Compromised Health

25

(gangguan kesehatan) banyak ditemukan pada lokasi pengamatan. Kelompok pengganggu yang banyak ditemukan pada setiap lokasi yaitu Pigmentation Respons, Spon Over, Sedimentation Damage, Fish Bites, Crown-of-Thorns Starfish (COTS), Drupella dan Invertabrate Galls. kelompok pengganggu yang tinggi ditemukan yaitu Sedimentation Damage, hal ini dikarenakan pada perairan gugusan pulau kecil Teluk Jakarta terkontaminasi oleh aliran sedimentasi dari daratan Jakarta. Tabel 8 Sebaran tingkat kesehatan karang pada lokasi penelitian Penyakit Bleaching Lokasi SEB BrB WS Full Spots Patches P. Bokor P. L. kecil + Pulau Pari + + + + + P. Burung + + + + + P.Kongsi + + + P. Tunda 1 + + + P. Tunda 2 + + P. Tunda 3 + + P. Tunda 4 + + Tabel 8 (Lanjutan) Compromised Health Lokasi Fish Dru COR COTS PR IG P. Bokor + + + P. L. kecil + Pulau Pari + + + + + P. Burung + + P.Kongsi + P. Tunda 1 + + + + P. Tunda 2 + + + P. Tunda 3 + + + P. Tunda 4 + + + + -

Stripes + + + + +

SP + + + + + + + -

SD + + + + + + + + +

Keterangan : + : ditemukan , - : tidak ditemukan SEB = Skeletal Eroding Band, BrB = Brown Band Disease, WS =White Syndrom, Full = Putih seluruhnya, Spots = Bintik Puith, Patches = Tambalan putih, Stripe = Garis putih, Fish = Fish bite, Dru = Drupellla, COR = Coralliopholia, COTS = Crown-of-Thorns Starfish, PR = Pigmentation Respons, IG = Invertebrate Galls, SP = Spons Over, SD = Sedimentation Damage.

Tingkat sedimen tersebut menyebabkan banyaknya ditemukan karangkarang yang tertutup sedimen hingga mengalami kematian. Bartley et al.(2014) menyebutkan peningkatan sedimen dan kekeruhan dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang, penambahan dan peningkatan sedimentasi bisa terjadi akibat peningkatan aktivitas antropogenik dari daratan. Weber et al.(2012) menjelaskan efek sedimentasi sangat berdampak pada kerusakan jaringan karang. Laju sedimentasi sangat berpengaruh pada pertumbuhan karang (Adriman et al. 2013). Erftemeijer et al. (2012) sebagian besar jenis karang sangat sensitif terhadap

26

peningkatan sedimentasi tinggi menyebabkan penurunan intensitas cahaya matahari dan berdampak pada meningkatnya stres pada polip hingga menyebabkan kematian karang, sedangkan pemutihan karang juga ditemukan pada beberapa lokasi pengamatan. Pemutihan karang yang terjadi dalam bentuk Strip, Pacth, Spot hingga putih seluruhnya. Pemutihan karang merupakan respon karang terhadap perubahan lingkungan khususnya pada perubahan suhu permukaan air laut yang memberikan dampak stres pada karang (Baird dan Marshall 2002). Radiasi matahari menyebabkan menurunkan kepadatan zooxanthella yang merupakan alga pewarna pada karena sehingga menyebabkan pemutihan karang yang signifikan (Le Tissier dan Brown 1996). Pigmentaion respons juga merupakan penggagu kesehatan yang ditemukan pada setiap lokasi pengamatan. Pigmentation respons banyak ditemukan pada karang-karang massive dari genus Porites. Pemudaran warna (tissue discoloration) dengan munculnya warna merah mudah atau ungu pada permukaan karang tersebut menandakan kesehatan karang tersebut terganggu. Benzoni et al. (2010) menjelaskan bahwa respon dari munculnya bintik-bintik warna merah mudah atau ungu merupakan pengaruh dari mekanisme stres karang yang disebabkan oleh larva Cirriped yang menempel pada permukaan karang hidup pada genus Porites. Sedimentation Damage juga merupakan gangguan kesehatan karang yang dijumpai pada setiap lokasi pengamatan, kondisi ini disebabkan tingginya aktivitas pada daratan Jakarta yang membawa sedimentasi hingga ke perairan pulau kecil di sekitar Teluk Jakarta. Sedimentasi merupakan faktor penting dalam peningkatan stres yang terjadi pada karang. Beberapa spesies karang mengalami degradasi oleh tingginya tingkat sedimentasi di satu perairan. Gleason (1998) menjelaskan karang jenis P. Astreoides mampu mentoleransi tingkat sedimen yang tinggi. Rogers (1990) melaporkan peningkatan sedimentasi menyebabkan degradasi terumbu karang pada satu wilayah, partikel sedimen yang menutupi organisme karang dan mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Sedimentasi yang berlebihan dapat mengubah struktur komunitas karang baik secara fisik maupun secara biologis. Penyakit White Syndrome ditemukan pada 3 lokasi pengamatan. White Syndrom merupakan penyakit karang yang terjadi akibat kehilangan jaringan pewarna karang. Menurut Work dan Aeby (2011) menjelaskan penyakit White Syndrome terjadi karena adanya mikroorganisme yang menyebarkan penyakit ketika terjadinya luka pada karang jenis Acropora. Aeby et al.(2010) kualitas perairan dapat mempengaruhi penyebaran penyakit karang White syndrome pada karang jenis Montipora, hal ini dikarenakan beberapa jenis penyakit karang sangat dipengaruhi oleh tekanan lingkungan di suatu perairan yang dapat menyebabkan terjadinya beberapa penyakit karang. Pemutihan karang yang ditemukan pada lokasi pengamatan dikategorikan menjadi 4 yaitu Pacth, putih keseluruhan, strip, dan spot (bintik-bintik). Pemutihan karang terjadi akibat hilangnya organisme karang (zooxanthella) yang keluar dari polip karang (Douglas 2003). Pemutihan karang pada daerah Kepulauan Seribu dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Subhan et al. (2011) sebesar 18.46% pemutihan karang terjadi pada genus Fungidae yang terdapat pada Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Pemutihan karang umumnya dikategorikan dalam jenis penyakit karang yang disebabkan oleh tekanan lingkungan seperti naiknya suhu permukaan laut (Yee et al. 2008 ; Glynn 1993; Cervino et al. 2004; McClanahan 2004),

27

penuruan suhu laut (Coles dan Fadlallah 1991) dan peningkatan radiasi matahari (Le Tissier dan Bronw 1996). Pemutihan karang merupakan tanggapan terhadap perubahan lingkungan yang menyebabkan keluarnya polip karang ketika terjadinya stres pada karang (Hayes dan Goreau1992). Selain suhu yang dapat menyebabkan terjadinya pemutihan karang, salinitas merupakan salah satu faktor yang berdampak pada terjadinya pemutihan karang. Berdasarkan hasil analisis koresponden, sebaran jenis penyakit karang yang terdapat pada lokasi pengamatan dibagi menjadi 3 kelompok (Gambar 11). Hasil dari analisis koresponden dengan nilai total ragam 65,60% dengan sumbu F1 (41,44%) dan sumbu F2 (24,16%). Berdasarkan nilai dari analisi koreponden terdapat tiga kelompok yang diambil secara deskriptif dengan melihat kedekatan dan pengelompokan dari jenis penyakit karang dan gangguan kesehatan karang pada lokasi pengamatan. Kelompok I (P. Pari, P. Lancang Kecil, P. Bokor, P. Burung dan P. Tunda 2) dicirikan oleh sebaran SD, WS, SEB, BrB, IG dan PR. Kelompok II (P. Kongsi) dicirikan oleh sebaran penyakit karang seperti Stripes dan SP dan Kelompok III (P.Tunda 1, 3, dan 4) dicirikan oleh sebaran gangguan kesehatan karang dan pemutihan karang seperti Patches, Full, Coralliopholia dan COTS.

Gambar 11 Sebaran jenis penyakit dan gangguan kesehatan karang berdasarkan Correspondent Analysis (CA) SEB = Skeletal Eroding Band, BrB = Brown Band Disease, WS =White Syndrom, Full = Putih seluruhnya, Spots = Bintik Puith, Patches = Tambalan putih, Stripe = Garis putih, Fish = Fish bite, Dru = Drupellla, COR = Coralliopholia, COTS = Crown-of-Thorns Starfish, PR = Pigmentation Respons, IG = Invertebrate Galls, SP = Spons Over, SD = Sedimentation Damage.

28

Kelompok I (P. Pari, P. Lancang Kecil, P. Bokor, P. Burung dan P. Tunda 2) merupakan pulau-pulau kecil daerah Teluk Jakarta yang memiliki tekanan antropogenik yang tinggi dari daratan Jakarta sehingga kondisi terumbu karang dan sebaran penyakit pada kelompok ini lebih didominasi oleh gangguan dari sedimentasi (Sedimentation Damage). Sedimentasi yang tinggi dapat mengubah kondisi terumbu karang secara fisik atau pun biologis. Selain itu pembangunan Pulau Tengah yang berada dalam Gugusan Pulau Pari juga diasumsikan memberikan dampak perubahan lingkungan. Kelompok ini dicirikan dengan sebaran peyakit karang yang terdapat pada lokasi tersebut seperti SEB, WS, BrB, IG, PR dan SD yang ditemukan pada lokasi tersebut. Sedimentation damage juga merupakan gangguan kesehatan karang yang dijumpai pada setiap lokasi pengamatan, kondisi ini disebabkan tingginya aktivitas pada daratan Jakarta yang membawa sedimentasi hingga ke perairan pulau kecil di sekitar Teluk Jakarta. Tingginya sedimentasi pada daerah Teluk Jakarta menyebabkan peningkatan nutrisi perairan yang dapat menyebabkan pada degradasi terumbu karang, dimana karang merupakan organisme yang hidup pada daerah yang miskin nutrient (oligotrofik). Invetebrate galls dan Druppella merupakan biota-biota asosiasi yang terdapat pada terumbu karang yang mendiami baik didalam koloni karang maupun di sekitar wilayah kehidupan karang. Sebagian besar merupakan jenis-jenis dari kerangkerangan dan siput yang menempel pada karang. Menurut Glynn dan Enochs (2010), beberapa spesies invetebrata yang berasosiasi dengan terumbu karang memberikan dampak pada kerusakan struktur komunitas karang ataupun pada kelimpahan jenis karang. Kelompok II (P. Kongsi) merupakan lokasi pengamatan pada bagian utara Pulau Pari dan berdekatan dengan Pulau Tengah yang memiliki aktifitas pembanguan yang sangat tinggi. Pada kelompok II, gangguan kesehatan seperti SP dan pemutihan karang bentuk Stripes mencirikan lokasi ini. Spons over (SP) menunjukan adanya kompetisi antara terumbu karang dan biota asosiasi spons yang berada pada perairan tersebut. Tingginya invasif spons disebabkan oleh kandungan nutrien perairan tersebut meningkat. Menurut Ward-Paige et al. (2005) penurunan tutupan karang dan dapat disebabkan oleh peningkatan kelimpahan spons dengn meningkatnya nutrisi suatu perairan. Sabine et al. (2015) menyebutkan faktor alam dan tingkat antropogenik dapat mempengaruhi kemampuan karang untuk pulih dari penyembuhan infaeksi jaringan (lesi) dan mengganggu regenerasi larva karang. Kompetisi ruangan pada terumbu karang juga dapat disebabkan oleh munculnya komunitas alga. Jompa dan McCook (2003) menyebutkan kerusakan jaringan karang dapat terjadi disebabkan oleh munculnya komunitas alga merah seperti Corallophila huysmansi yang dapat membunuh jaringan karang. Kelompok III (P. Tunda 1, 3, dan 4)) merupakan kelompok dengan sebaran tingkat kesehatan karang seperti (fishbite, full, patches Coralliopholia dan COTS) yang lebih besar dibandingkan pada lokasi yang lain. Pemutihan karang (full dan Pacthes) merupakan respon dari stres yang terjadi pada koloni karang yang mengeluarkan alga pewarna karang untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Pemutihan karang terjadi akibat peningkatan suhu air laut dan salinitas. Peningkatan dan penurunan suhu permukaan air laut serta tingginya radiasi matahari menyebabkan stres pada organime karang (zooxanthella) yang dapat

29

menyebabkan terjadinya pemutihan karang pada koloni-koloni karang (Douglas 2003). Pemutihan karang merupakan respon terhadap perubahan lingkungan yang menyebabkan keluarnya polip karang ketika terjadinya stres pada karang (Hayes dan Goreau 1992). Penurunan salinitas 22-25psu menyebabkan stres pada karang yang sensitif. Perubahan salinitas yang drastis dapat berakibat pada pemutihan karang dan berkurangnya biota yang bersimbiosis dengan karang (zooxanthella) yang berdampak pada penghambatan pertumbuhan karang (Stimson dan Kinzie 1991). Pemutihan karang juga dapat disebabkan oleh terjadinya peningkatan dan penurunan suhu permukaan laut. Baker et al. (2008) melaporkan pemutihan karang terjadi selama Agustus hingga Oktober di daerah Karibia pada tahun 1983-2000 yang disebabkan oleh anomali suhu permukaan laut. Fluktuasi salinitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor alam seperti curah hujan, asupan air tawar dari daratan dan penyinaran matahari. Menurut Snedaker (1995), kenaikan muka air laut dapat disebabkan oleh meningkatnya salinitas yang berakibat pada peningkatan sulfida dalam sedimen. Beberapa predator seperti ikan, mahkota berduri dan biota asosiasi lainnya dapat menyebabkan kehilangan jaringan karang. Works dan Aeby (2011) menjelaskan predator seperti Drupella sp dan mahkota berduri (Acanthaster planci) dapat menyebabkan kehilangan jaringan karang. Fisbite merupakan bentuk dari gigitan-gigitan ikan pemakan karang yang berasosiasi dan memanfaatkan karang sebagai makanan. Ikan pemakan karang dari Family ikan Chaetodontidae merupakan salah satu pemangsa terbesar koloni karang. Ikan Chaetodontidae memakan polip karang pada beberapa genus karang seperti Porites, Acropora, Agaricites, Pocillopora, dan Montipora (Rotjan dan Lewis 2008). Hubungan parameter lingkungan (salinita, suhu, nitrat dan fospat) terhadap persen tutupan karang hidup, keragaman jenis penyakit dan prevalensi penyakit karang pada lokasi pengamatan disajikan pada Gambar 12. Dari hasil analisis PCA terdapat 2 sumbu (F1 dan F2) dengan kontribusi masing-masing sumbu sebesar 49,43% (F1) dan 33,08% (F2) dengan dari ragam total sebesar 82,51%. Sumbu F1 dicirikan dengan salinitas (0,781), Nitrat (-0,843), prevalensi penyakit (0,832) dan tutupan karang (0,947) sedangkan pada sumbu F2 dicirikan dengan keragaman jenis penyakit (-0,903), suhu (0,618) dan fospat (0,968). Gambar 12 Menunjukkan hubungan antara parameter lingkungan dengan tutupan karang hidup, prevalensi penyakit dan keragaman penyakit yang ditemukan pada lokasi pengamatan. Salinitas memiliki korelasi yang kuat dengan tutupan karang hidup (0,779). Suhu memiliki korelasi dengan tutupan karang hidup (0,640). Nitrat berkorelasi dengan keragaman penyakit (-0,571), prevalensi penyakit (0,696), dan tutupan karang hidup (-0,716) sedangkan fospat berkorelasi dengan keragaman penyakit (-0,836). Berdasarkan Gambar 12 pengelompokan menjadi 3 kelompok yang diambil secara deskritif dan berdaraskan nilai parameter lingkungan yang terdapat pada lokasi pengamatan. Kelompok 1 (P. Pari) merupakan kelompok dengan tingkat keragaman penyakit karang yang tinggi ditemukan pada lokasi tersebut. Kelompok 2 (P.Lancang Kecil dan P. Bokor) dengan nilai nitrat dan fospat yang tinggi mencirikan pada kelompok ini menyebabkan meningkatnya nutrien suatu perairan yang menyebabkan stres pada karang. Kelompok 3 (P. Tunda 1, 2, 3dan 4) dicirikan dengan tingginya nilai suhu, salinitas, persen tutupan karang dan

30

prevalensi penyakit karang pada stasiun pengamatan Pulau Tunda. Nilai suhu dan salinitas pada lokasi pengamatan memberikan dampak pada peningkatan pemutihan karang yang banyak ditemukan pada setiap lokasi pengamatan tersebut.

Gambar 12 Hubungan parameter lingkungan (salinitas, suhu, nitrat dan fospat) terhadap prevalensi, keragaman dan tutupan karang hidup berdasarkan analisis Principal Component Analysis (PCA) Nilai korelasi dari hubungan dengan tutupan karang menunjukan hubungan yang erat. Nilai salinitas yang tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan karang dan perubahan kondisi terumbu karang. Perubahan salinitas menyebabkan kerusakan sel-sel penting yang berkembang secara fisiologis dari sisitem perkembangan organisme karang. Tekanan stres karang terhadap pengaruh salinitas tidak menunjukan perubahan yang signifikan tetapi pengaruh salinitas dapat menyebabkan beberapa spesies karang tertentu dapat mentoleransi perubahan salinitas perairan. Pada lokasi pengamatan salinitas mencapai 30-33 0/00. Salinitas (30 0/00) terendah terjadi pada daerah pulu-pulau kecil Teluk Jakarta sedangkan di Pulau Tunda Banten salinitas mencapai 33 0/00. Menurun Seveso et al. (2012), fragemen S. caliendrum dapat merespos perubahan salinitas pada kondisi hypersaline dan hyposaline sekalipun. Perubahan salinitas mempengaruhi eksprsi Hsp60 yang dapat menyebabkan stres yang terjadi pada karang jenis S. caliendrum. Penurunan dan peningkatan salinitas sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan di suatu daerah. Penurunan salinitas 22-25psu menyebabkan stres pada karang yang sensitif. Genus karang Porites dan Faviidae merupakan sekelompok karang yang dapat beradaptasi dengan kondisi perubahan lingkungan yang disebabkan oleh

31

faktor external seperti penebangan hutan yang menyebabkan banjir dan berdampak pada penurunan salinitas perairan pesisir (True 2012). Perubahan salinitas yang drastis dapat berakibat pada pemutihan karang dan berkurangnya biota yang bersimbiosis dengan karang (zooxanthella) yang berdampak pada penghambatan pertumbuhan karang (Stimson dan Kinzie 1991). Hubungan antara suhu perairan dan tutupan karang hidup dengan nilai korelasi (0,640) menunjukkan tutupan karang dapat dipengaruhi oleh intensitas suhu perairan. Anomali suhu yang hangat menunjukkan korelasi terhadap prevalensi penyakit karang (Ruiz-Moreno et al 2012). Peningkatan dan penurunan suhu secara drastis dapat menyebabkan pemutihan karang hingga mengurangi tutupan karang hidup. Kisaran suhu pada lokasi pengamatan 28-32 oC. Suharsono (1999) melaporkan pemutihan karang terjadi pada Gugusan Pulau Pari dengan naiknya suhu sebesar 2-3 oC. Peningkatan suhu 0,5oC di daerah subtropis dapat menyebabkan pemutihan karang dan mengeluarkan simbiosis alga yang terdapat pada koloni karang (Wilkinson 2008). Nordemar et al. (2003) melaporkan peningkatan suhu lebih dari 2º C dapat mengurangi tingkat produktifitas primer karang Porites clyndrica. Peningktan suhu permukaan air laut terjadi dikarenakan proses el-nino. Arman et al. (2013) menjelaskan pertumbuhan karang jenis Porites lutea dipegaruhi oleh terjadinya proses el-nino yang menyebabkan terjadinya kenaikan suhu muka air laut. Furby et al. (2014) menyimpulkan bahwa peningktan suhu muka air laut dapat meningkatkan patogen virus dan dapat menyebabkan ketahanan (kekebalan) organisme karang menjadi berkurang. Redding (2013) menyebutkan penyakit sindrom putih (white Syndrom) pada karang Porites dapat disebabkan oleh perubahan iklim yang dapat meningkatkan kenaikan suhu permukaan air laut. Menurut McClanahan (2003), karang cenderung memiliki respon yang lebih tanggap terhadap perubahan suhu perairan. Nitrat berkorelasi dengan keragaman penyakit (-0,571), prevalensi penyakit (-0,696), dan tutupan karang hidup (-0,716) sedangkan fospat berkorelasi dengan keragaman penyakit (-0,836). Nitrat dan fospat memiliki korelasi negatif terhadap prevalensi penyakit karang, keragaman penyakit, dan tutupan karang hidup. Hubungan negatif yang terjadi disebabkan tingginya nilai nitrat dan fospat dapat meningkatkan stres pada biota karang dan menyababkan kematian pada organisme karang. Semakin tinggi nilai nitrat dan fospat disuatu perairan menyebabkan semakin rendahnya tutupan karang dan semakin tinggi keragaman penyakit dan prevalensi penyakit karang yang terdapat pada daerah tersebut. Nitrat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam peningkatan stres pada karang. peningkatan nitrat disuatu perairan disebabkan tingginya tingkat sedimentasi yang terjadi pada suatu perairan. Kuntz et al.(2005) menjelaskan tingkat antropogenik dan nutrisi (nitrat dan fospat) tidak langsung mematikan karang tetapi memberikan respon perubahan pada karang dengan tingkat stres yang bervariasi. Pengayaan nitrat dapat mempercepat pemutihan karang dengan tingkat penyinaran matahari yang tinggi (Higuchi et al. 2015). Kisaran konstrasi nitrat yang baik untuk kesehatan karang yaitu 0,040 mg/l sedangkan untuk kisaran fospat 0,07 mg/l (Bell 1992). Nilai konstrasi dari hasil analisi, kisaran Nitrat 0,07-0,124 mg/l. sedangkan nilai kadar fospat yang terdapat pada lokasi penelitian berkisar 0,04 – 0,028 mg/l. Nilai

32

konsentrasi kadar nitrat dan fospat pada lokasi penelitian telah melebih kisaran untuk kesehatan karang di suatu perairan. Fospat merupakan salah satu parameter yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem karang. Dunn et al. (2012) menyebutkan kontaminasi fospat dapat mempengaruhi organisme karang, merubah tingkat petumbuhan, reproduksi karang, kematian karang dan kepadatan zooxanthella. Menurut Pangaribuan et al. (2013) konsentrasi kandungan fospat dan nitrat disuatu perairan sangat menentukan tinggi rendahnya densitas zooxanthella yang terdapat pada koloni karang jenis Acropora sp. Pengayaan nutrisi dapat menyebabkan terjadinya penyakit band kuning pada jenis Montastraea annularis dan Montastrae franksii (Bruno et al. 2003).

4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain: 1. Kelimpahan jenis penyakit dan gangguan kesehatan yang terdapat pada Gugusan Pulau Pari lebih tinggi dibandingkan lokasi pengamatan Pulau Bokor, Pulau Lancang Kecil dan Pulau Tunda sedangkan kelimpahan jenis pemutihan karang banyak ditemukan di Pulau Tunda. 2. Penyakit karang jenis White syndrome ditemukan pada semua lokasi pengamatan dengan frekuensi tertinggi ditemukan di Pulau Pari. Pigmentation respons dan sedimentation damage merupakan gangguan kesehatan karang yang ditemukan pada semua lokasi pengamatan. Pemutihan karang bentuk pacthes merupakan bentuk pemutihan karang yang ditemukan pada lokasi pengamatan pulau Tunda. Genus yang paling banyak dijumpai terinfeksi baik itu penyakit karang, pemutihan, maupun gangguan kesehatan karang yaitu genus karang Porites dan Acropora. 3. Salinitas, suhu, nitrat dan fospat merupakan parameter lingkungan yang memiliki hubungan dengan tingkat kesehatan karang. Salinitas dan suhu menyebabkan munculnya pemutihan karang, sedangkan konsentrasi nitrat dan fospat yang tinggi dapat mempengaruhi kesehatan karang, meningkatkan keragaman penyakit karang dan mempengaruhi persen tutupan karang hidup. Saran Perlu dilakukan penenitian lanjutan untuk mengetahui hubungan sebaran tingkat kesehatan karang dan pengaruh faktor-faktor lingkungan dengan penambahan lokasi pengamatan dan parameter lingkungan serta perlu dilakukan analisis kuantitatif lanjutan untuk melihat parameter lingkungan yang sangat mempengaruhi sebaran tingkat kesehatan karang.

33

DAFTAR PUSTAKA [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2010. Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa: Pengaruh Kekeruhan Terhadap Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu. Lipi. Aeby GS, Ross M, Williams GJ, Lewis TD, Work TM. 2010. Disease dynamics of Montipora white syndrome within Kaneohe Bay, Oahu, Hawaii: distribution, seasonality, virulence, and transmissibility. Diseases of aquatic organisms. 91(1):1-8.doi:10.3354/dao02247. Anma AH, Prartono T, Atmadipoera AS, Arifin T. 2014. Sebaran Polutan Logam Berat di Perairan Teluk Jakarta. Poernomo A, Sulistyo B, Wirasantosa S, Brodonegoro IS, Editor. Dimanika Teluk Jakatra: Analisi Dampak Pembangunan Tanggul Laut Jakarta (Jakarta Giant Sea Wall). Bogor. (ID). IPB Press. Arifin ZA, Fadhlina D. 2010. Fraksinasi Logam Berat Pb, Cd, Cu dan Zn dalam Sedimen dan Bioavailabilitasnya bagi Biota di Perairan Teluk Jakarta. J. Ilmu Kelautan. 14(1): 27-32. Arman AA, Zamani NP, Watanabe TW. 2013. Studi Penentuan Umur dan Laju Pertumbuhan Terumbu Karang terkait dengan Perubahan Iklim Ekstrim Menggunakan Sinar-X. Jurnal Aplikasi Isotop Radiasi. 9(1): 1-10. Bahartan K, Zibdah M, Ahmed Y, Israel A, Brickner I, Abelson A. 2010. Macroalgae in the coral reefs of Eilat (Gulf of Aqaba, Red Sea) as a possible indicator of reef degradation. Marine Pollution Bulletin. 60(5):759764.doi:10.1016/j.marpolbul.2009.11.017. Baird AH, Marshall PA. 2002. Mortality, growth and reproduction in scleractinian corals following bleaching on the Great Barrier Reef. J. Marine Ecology Progress Series. 237: 133-141.doi:10.3354/meps237133. Baker AC, Glynn PW, Riegl B. 2008. Climate change and coral reef bleaching: An ecological assessment of long-term impacts, recovery trends and future outlook. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 80(4): 435471.doi:10.1016/j.ecss.2008.09.003. Barnard N, Scheske C. 2010. Disease in Tropical Coral Reef Ecosystems: ICRI Key Messages on Coral Disease. 11. Bartley R, Bainbridge ZT, Lewis SE, Kroon FJ, Wilkinson SN, Brodie JE, Silburn DM. 2014. Relating sediment impacts on coral reefs to watershed sources, processes and management: A review. J. Science of the Total Environment. 468-469:1138-1153.doi:10.1016/j.scitotenv.2013.09.030. Beeden R, Willis BL, Raymundo L, Page CA, Weil E. 2008. Underwater cards for assessing coral health on Indo-Pacific reefs. Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management Program. Currie Communications, Melbourne, 22p. Baird AH, Marshall PA. 2002. Mortality, growth and reproduction in scleractinian corals following bleaching on the Great Barrier Reef. Marine Ecology Progress Series. 237:133-141. Bell PRF. 1992. Eutrophication and coral reefs - some examples in the Great Barrier Reef Lagoon. Water Resources. 5:553–568.doi:10.1016/0043-1354 (92)90228-V.

34

Benzoni F, Galli P, Pichon M. 2010. Pink spots on Porites: not always a coral disease. J. Coral reefs. 29(1):153-153.doi:10.1007/s00338-009-0571-z. Brown BE. 1997. Disturbances to Reefs in Recent Times. In. Life and Death of Coral. 354-379. Bruno JF, Petes LE, Drew Harvell C, Hettinger A. 2003. Nutrient enrichment can increase the severity of coral diseases. Ecology Letters. 6(12): 1056-1061. doi:10.1046/j.1461-0248.2003.00544.x. Burke CD, McHenry TM, Bischoff WD, Huttig ES, Yang W, Thorndyke L. 2004. Coral mortality, recovery and reef degradation at Mexico Rocks Patch Reef Complex, Northern Belize, Central America: 1995–1997. In Coelenterate Biology 2003 (pp. 481-487). Springer Netherlands. Cervino JM, Hayes R, Goreau TJ, Smith GW. 2004. Zooxanthellae regulation in yellow blotch/band and other coral diseases contrasted with temperature related bleaching: In situ destruction vs expulsion. J. Symbiosis. 37(1/3): 6386. Coles SL, Fadlallah YH. 1991. Reef coral survival and mortality at low temperatures in the Arabian Gulf: new species-specific lower temperature limits. J. Coral Reefs. 9(4):231-237.doi:10.1007/BF00290427. Douglas AE. 2003. Coral bleaching––how and why?.Marine Pollution Bulletin. 46(4), 385-392.doi:10.1016/S0025-326x(03)00037-7. Dunn JG, Sammarco PW, LaFleur G. 2012. Effects of phosphate on growth and skeletal density in the scleractinian coral Acropora muricata: A controlled experimental approach. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 411: 34-44. doi:10.1016/j.jembe.2011.10.013. Edinger EN, Risk MJ. 2000. Reef classification by coral morphology predicts coral reef conservation value. Biological Conservation. 92(1):1-13. English, Wilinson C, Baker V.1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Erftemeijer PL, Riegl B, Hoeksema BW, Todd PA. 2012. Environmental impacts of dredging and other sediment disturbances on corals: a review. J. Marine Pollution Bulletin. 64(9):1737-1765.doi:10.1016/j.marpolbul.2012.05.008. Estradivari, Setyawan E, Yusri S. (Eds). 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2003– 2007). Yayasan Terangi, Jakarta. 102 p. Furby KA, Apprill A, Cervino JM, Ossolinski JE, Hughen KA. 2014. Incidence of lesions on Fungiidae corals in the eastern Red Sea is related to water temperature and coastal pollution. Marine Environmental Research. 98: 2938.doi: 10.1016/j.marenvres.2014.04.002. Gilman EL, Ellison J, Duke NC, and Field C. 2008. Threats to mangroves from climate change and adaptation options: a review. Aquatic Botany. 89(2): 237-250.doi: 10.1016/j.aquabot.2007.12.009. Gleason DF. 1998. Sedimentation and distributions of green and brown morphs of the Caribbean coral Porites astreoides Lamarck. J. of Experimental Marine Biology and Ecology. 230(1):73-89.doi:s0022-0981(98)00084-7. Glynn PW and Enochs IC. 2011. Invertebrates and their roles in coral reef ecosystems. In Coral reefs: an ecosystem in transition. 273-325pp. Springer Netherlands.doi: 10.1007/978-94-007-0114-4_18

35

Glynn PW. 1993. Coral reef bleaching: ecological perspectives. J. Coral Reefs. 12(1):1-17.doi: 10.1007/BF00303779. Harvell D, Jordan-Dahlgren E, Merkel S, Rosenberg E, Raymundo L, Smith G, and Willis B. 2007. Coral disease, environmental drivers, and the balance between coral and microbial associates. Oceanography. 20:172-195. Hayes RI, Goreau TJ. 1992. Histology of Caribbean and south Pacific bleached corals. Proc. 7th Int. Coral Reef Symp.1:71pp. Higuchi T, Yuyama I, Nakamura T. 2015. The combined effects of nitrate with high temperature and high light intensity on coral bleaching and antioxidant enzyme activities. Regional Studies in Marine Science. 1-15. doi:10.1016/j.rsma.2015.08.012. Hosono T, Su CC, Delinom R, Umezawa Y, Toyota T, Kaneko S, Taniguchi M. 2011. Decline in heavy metal contamination in marine sediments in Jakarta Bay, Indonesia due to increasing environmental regulations. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 92(2), 297-306. doi:10.1016/j.ecss.2011.01.010. Johan O, Bengen DG, Zamani NP. 2012. Distribution and Abundance of Black Band Disease on Corals Montipora sp in Seribu Islands, Jakarta. J. of Indonesian Coral Reefs, 1(3):160-170. Johan O, Kristanto AH, Haryadi J, Radiarta IN. 2014. Puncak Prevalense Penyakit Karang Sabung Hitam (Black Band Disease) di Kepulauan Seribu, Jakarta. J. Riset Akuakultur. 9(2): 295-305. Jompa J, McCook LJ. 2003. Coral-algal competition: macroalgae with different properties have different effects on corals. Marine Ecology Progress Series. 258: 87-95. Kuntz NM, Kline DI, Sandin SA, Rohwer F. 2005. Pathologies and mortality rates caused by organic carbon and nutrient stressors in three Caribbean coral species. Marine Ecology Progress Series. 294:173-180. Kushmaro A, Rosenberg E, Fine M, Haim YB, Loya Y. 1998. Effect of temperature on bleaching of the coral Oculina patagonica by Vibrio AK- 1. Marine Ecology Progress Series. 171:131-137. Lalang. 2015. Laju Pertumbukah Linier Karang Porites lutea Menggunakan Sinar –X di Pulau Tunda Kebupaten Serang Provinsi Banten[Tesis]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. Lamb JB, True JD, Piromvaragorn S, Willis BL. 2014. Scuba diving damage and intensity of tourist activities increases coral disease prevalence. Biological Conservation.178:88-96.doi:10.1016/j.biocon.2014.06.027. Le Tissier MDAA, Brown BE. 1996. Dynamics of solar bleaching in the intertidal reefs coral Goniastrea aspera at KO Phuket, Thailand. Marine Ecology Progress Series. 136:235-244. McClanahan TR, Sala E, Stickels PA, Cokos BA, Baker AC, Starger CJ, IV SHJ. 2003. Interaction between nutrients and herbivory in controlling algal communities and coral condition on Glover’s Reef, Belize. Marine Ecology Progress Series. 261:135-147. McClanahan TR. 2004. The relationship between bleaching and mortality of common corals. Journal Marine Biology. 144(6):1239-1245.doi: 10.1007/s00227-003-1271-9.

36

Muller EM, Van Woesik R. 2011. Black-band disease dynamics: Prevalence, incidence, and acclimatization to light. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 397(1): 52-57.doi:10.1016/j.jembe.2010.11.002. Mustaruddin. 2013. Pola Pencemaran Hg dan Pb pada Fishing Ground dan ikan yang tertangkap nelayan: Studi kasus di Telu Jakarta. J. Bumi Lestari. 13(2):214-224. Myers RL, Raymundo LJ. 2009. Coral disease in Micronesian reefs: a link between disease prevalence and host abundance. Diseases of Aquatic Organisms. 87(1-2): 97-104. doi: 0.3354/dao02139. Nordemar I, Nystrom M, Dizon R. 2003. Effects of elevated seawater temperature and nitrate enrichment on the branching coral Porites cylindrica in the absence of particulate food. Marine Biology. 142(4): 669-677.doi: 10.1007/s00227-002-0989-0. Obura DO. 2009. Reef coral bleach to resist stress. Marine Pollution Bulletin. 58:206-212.doi:10.1016/j.marpolbul.2008.10.002. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. W. B Saunders Company, Philadelpia. Pangaribuan TH, Ain C, Soedarsono P. 2013.Hubungan kandungan Nitrat dan Fospat dengan densitas zooxanthella pda polip karang Acropora sp di perairan terumbu karang menjangan kecil, Karimun Jawa. Managent of Aquatic Resources: 2(4): 136-145. Panuntun P, Yulianto B, Ambariyanto. 2012. Akumulasi Logam Berat Pb pada Karang Acropora aspera: Studi Pendahuluan. Journal of Marine Research. 1(1):153-158. Patterson KL, Porter JW, Ritchie KB, Polson SW, Mueller E, Peters EC, Smith GW. 2002. The etiology of white pox, a lethal disease of the Caribbean Elkhorn coral, Acropora palmata. Proceedings of the National Academy of Sciences. PNAS. 99(13): 8725-8730.doi: 10.1073/pnas.092260099. Ramawijaya R, Awaludin MY, Pranowo WS. 2012. Variabilitas Parameter Oseanografi Dan Karbon Laut di Teluk Banten. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(3):339-346. Redding JE, Myers-Miller RL, Baker DM, Fogel M, Raymundo LJ, Kim K. 2013. Link between sewage-derived nitrogen pollution and coral disease severityin Guam. Marine Pollution Bulletin. 73(1):5763.doi:10.1016/j.marpolbul.2013.06.002. Richmond RH. 1993. Present Problems and Future Concerns Resulting from Anthropogenic Disturbance. Coral Reefs. 33(6): 524-536. Riska, Zamani NP, Prartono T, Arman A. 2015. Konsentrasi Timbal (Pb) pada Pita Tahunan Karang Porites Lutea di Pulau Tunda Banten. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 7(1): 235-245. Rochyatun E, Rozak A. 2007. Pemantauan Kadar logam berat dalam sedimen di perairan Teluk Jakarta. Makara Sains. 11(1): 28-36. Roff G, Hoegh-Guldberg O Fine M. 2006. Intra-colonial response to Acroporid “white syndrome” lesions in tabular Acropora spp. (Scleractinia). Coral Reefs, 25(2):255-264.doi:10.1007/s00338-006-0099-4. Rogers CS, Sutherland KP, Porter JW. 2005. Has white pox disease been affecting Acropora palmata for over 30 years?. Coral Reefs. 24(2): 194-194.doi: 10.1007/s00338-004-0470-2.

37

Rogers CS. 1990. Responses of coral reefs and reef organisms to sedimentation. J. Marine Ecology Progress Series. 62(1):185-202. Rotjan RD, Lewis SM. (2008). Impact of coral predators on tropical reefs. Marine Ecology Progress Series. 367:73-91.doi:10.3354/meps07531. Ruiz-Morenol D, Willis BL, Page AC, Weil E, Cróquer A, Vargas-Angel B,and Harvell CD. 2012. Global coral disease prevalence associated with sea temperature anomalies and local factors. Diseases of Aquatic Organisms, 100: 249-261.doi: 10.3354/dao02488 Sabine AM, Smith TB, Williams DE, and Brandt ME. 2015. Environmental conditions influence tissue regeneration rates in scleractinian corals. Marine Pollution Bulletin. Article in press: doi:10.1016/j.marpolbul.2015.04.006 Santavy DL, Peters EC, Quirolo C, Porter JW, Bianchi CN. 1997. Yellow-blotch disease outbreak on reefs of the San Blas Islands, Panama. Coral Reefs. 18:19. Seveso D, Montano S, Strona G, Orlandi I, Vai M, Galli P. 2012. Up-regulation of Hsp60 in response to skeleton eroding band disease but not by algal overgrowth in the scleractinian coral Acropora muricata. Marine Environmental Research.78:34-39.doi:10.1016/j.marenvres.2012.03.008. Sheridan C, Kramarsky-Winter E, Sweet M, Kushmaro A, Leal MC. 2013. Diseases in coral aquaculture: causes, implications and preventions. Aquaculture. 396-399:124-135.doi:10.1016/j.aquaculture.2013.02.037. Snedaker SC. 1995. Mangroves and climate change in the Florida and Caribbean region: scenarios and hypotheses. In Asia-Pacific Symposium on Mangrove Ecosystems (pp. 43-49). Springer Netherlands. Soenardjo N. 2013. Karakterisasi Bakteri yang Berasosiasi dengan Penyakit PinkBlotchdi P. Sambangan, Karimunjawa. Journal Buletin Oseanografi Marina. 2(1):58-65. Stimson J, Kinzie RA. 1991. The temporal pattern and rate of release of zooxanthellae from the reef coral Pocillopora damicornis (Linnaeus) under nitrogen-enrichment and control conditions. Journal of Experimental Marrine Biology and Ecology. 153:63-74. Subhan B, Rahmawati F, Arafat D, Bayu NA. 2011. Kondisi kesehatan Karang Fungidae di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Teknologi Perikanan dan Kelautan. 2(1):41-50. Suharsono. 1999. Condition of coral reef ressources in Indonesia. Oceanology Research and Development center (Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI). Sussman M, Willis BL, Victor S, Bourne DG. 2008. Coral Pathogens Identified for White Syndrome (WS) Epizootics in the Indo-Pacific. J.PLoS ONE 3(6):e2393. doi:10.1371/journal.pone.0002393 Sweet MJ. Bythell JC. Nugues MM. 2013. Algae as reservoirs for coral pathogens. J.PLoS One. 8(7): e69717.doi:10.1371/journal.pone.0069717. Thurber RLV, Barott KL, Hall D, Liu H, Rodriguez-Mueller B, Desnues C, Rohwer FL. 2008. Metagenomic analysis indicates that stressors induce production of herpes-like viruses in the coral Porites compressa. Proceedings of the National Academy of Sciences. PNAS. 105 (47): 18413-18418. doi:10.1111/j.1462-2920.2009.01935.x.

38

True JD. 2012. Salinity as a structuring force for near shore coral communities. In Proceedings of the 12th International Coral Reef Symposium, Cairns, Australia (pp. 9-13). Ward-Paige CA, Risk MJ, Sherwood OA, and Jaap WC. 2005. Clionid sponge surveys on the Florida Reef Tract suggest land-based nutrient inputs. Marine Pollution Bulletin. 51(5):570-579. doi:10.1016/j.marpolbul.2005.04.006. Weber M, Beer DD, Lott C, Polerecky L, Kohls K, Abel RMM, Ferdelman TG, Fabricius KE. 2012. Mechanisms of damage to coral exposes to sedimentasi. PNAS. 109 (14): E1558-E1567. doi:10.1073/pnas.1100715109. Wicaksono DB, Yulianto B, Ambariyanto. 2013. Pengaruh Logam Berat Terhadap Karang. Journal of Marine Research. 2(1):161-166. Wilkinson C. 2008. Status of coral reefs of the world: 2008. Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rain forest Research Centre, Townsville, Australia. 296 p. Wilkinson. 1998. Status of coral reefs of the world: 2008. Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rain forest Research Centre, Townsville, Australia. 192 p. Willis BL, Page CA, Dinsdale EA. 2004. Coral disease on the great barrier reef. In Coral health and disease. Springer Berlin Heidelberg. 69-104pp. Work TM, Aeby GS. 2011. Pathology of tissue loss (white syndrome) in Acropora sp. corals from the Central Pacific. Journal of invertebrate pathology, 107(2):127-131. doi:10.1016/j.jip.2011.03.009. Yee SH, Santavy DL, Barron MG. 2008. Comparing environmental influences on coral bleaching across and within species using clustered binomial regression. Ecological Modelling. 218(1):162-174. doi:10.1016/j.ecolmodel.2008.06.037. Yee SH, Santavy DL, Barron MG. 2011. Assessing the effects of disease and bleaching on Florida Keys corals by fitting population models to data. Ecological Modelling. 222(7):1323-1332. doi:10.1016/j.ecolmodel.2011.01.009. Zamani NP, Madduppa HH. 2011. A Standard Criteria for Assesing the Health of Coral Reefs: Implication for Management and Conservation. Journal of Indonesia Coral Reefs. 1(2): 137-146.1089-8321.

39

LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil pengamatan karang pulau Tunda Banten Life Form Stasiun 1 Acropora Branching (ACB) 14.05 Acropora Encrusting (ACE) 0.00 Acropora Digitate (ACD) 0.00 Acropora Submassive (ACS) 1.15 Acropora Tabulate (ACT) 9.23 Coral Branching (CB) 2.83 Coral Encrusting (CE) 7.17 Coral Foliose (CF) 16.60 Coral Heliopora (CHL) 0.00 Coral Massive (CM) 14.77 Coral Submassive (CS) 4.60 Coral Millepora (CME) 0.00 Coral Mushroom (CMR) 1.90 Death Coral (DC) 0.00 Death Coral with Alga (DCA) 0.00 Coralin Alga (CA) 0.00 Macro Alga (MA) 0.00 Turf Alga (TA) 0.00 Soft Coral (SC) 3.05 Sponge (SP) 3.42 Others (OT) 15.35 Zoanthids (ZO) 0.00 Silt (SI) 0.00 Sand (SD) 2.87 Rock (RCK) 0.00 Rubble (RB) 3.02 Jumlah 100

Stasiun 2 17.80 0.00 1.87 1.47 7.07 1.82 4.17 14.73 0.00 17.00 2.17 0.00 0.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 11.20 1.37 14.10 0.00 0.00 1.82 0.00 2.93 100

Stasiun 3 5.08 0.00 5.42 0.00 4.75 2.50 1.33 20.17 0.00 18.67 9.42 0.00 5.67 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.42 2.92 5.75 0.00 0.00 3.17 0.00 6.75 100

Stasiun 4 4.37 0.00 1.78 0.00 6.85 3.17 2.33 15.92 0.00 18.62 1.00 0.00 0.92 4.22 2.12 0.00 0.00 0.00 6.78 2.75 6.02 0.00 0.00 10.87 0.00 12.30 100

40

Lampiran 2 Hasil pengamatan karang pada beberapa pulau kecil Teluk Jakarta Life Form Acropora Branching (ACB) Acropora Digitate (ACD) Coral Branching (CB) Coral Encrusting (CE) Coral Foliose (CF) Coral Massive (CM) Coral Submassive (CS) Coral Millepora (CME) Coral Mushroom (CMR) Death Coral (DC) Death Coral with Alga (DCA) Soft Coral (SC) Sponge (SP) Others (OT) Sand (SD) Rock (RCK) Rubble (RB) Total

P. Bokor

P. L. Kecil

P. Pari

P. Kongsi

P. Burung

0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.65 0.00 0.00 0.00 0.00

1.97 0.00 0.00 0.00 0.00 1.95 0.53 0.60 0.00 0.00

8.13 0.00 9.58 5.97 11.12 1.88 3.33 0.00 1.25 0.00

0.58 0.72 1.68 1.48 0.00 12.78 0.30 0.00 0.33 0.00

3.18 0.00 1.43 0.77 0.00 15.38 4.32 0.00 0.00 0.00

3.70 0.00 0.00 0.00 93.80 1.75 0.10 100

81.93 0.00 0.00 0.00 13.02 0.00 0.00 100

54.97 0.00 3.77 0.00 0.00 0.00 0.00 100

81.15 0.00 0.97 0.00 0.00 0.00 0.00 100

74.72 0.20 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100

41

Lampiran 3 Hasil analisis komponen utama parameter lingkungan, keragaman tingkat kesehatan karang dan lokasi pengamatan a) Akar ciri, korelasi antar variable dengan sumbu dan koordinat individu dalam sumbu utama Sumbu Faktorial Akar ciri (Eigenvaleu) Sumbu 1 (F1) Sumbu 2 (F2) Nilai 3.460 2.316 Ragam (%) 49.432 33.082 Kumulatif Ragam (%) 49.432 82.514 Variabel aktif a b a b Keragaman penyakit 0.388 0.151 -0.903 0.815 Preveansi penyakit 0.832 0.693 -0.135 0.018 Tutupan karang hidup 0.947 0.896 0.026 0.001 Salinitas 0.781 0.610 0.246 0.061 Suhu 0.618 0.382 0.619 0.383 Nitrat -0.843 0.710 0.318 0.101 Fospat 0.135 0.018 0.968 0.938 Stasiun Pengamatan c d c d P.Bokor -2.064 0.630 1.104 0.180 P.Lancang kecil -3.312 0.943 0.158 0.002 Pulau Pari -0.040 0.000 -3.523 0.975 P.Tunda 1 1.311 0.346 -0.161 0.005 P.Tunda 2 0.704 0.113 1.411 0.453 P.Tunda 3 2.405 0.818 0.617 0.054 P.Tunda 4 0.997 0.685 0.396 0.108 a. Korelasi antara variable dan faktor-faktor b. Kuadrat cosinus dari variabel c. Faktor Skor d. Kuadrat cosinus dari pengamatan

42

b) Matriks korelasi antara variable Variables Keragaman Prevalensi Tutupan karang Salinitas Suhu Nitrat Fospat

Keragaman 1 0.462 0.361 0.008 -0.235 -0.571 -0.836

Prevalensi

Tutupan karang

Salinitas

Suhu

Nitrat

Fospat

1 0.666 0.453 0.474 -0.696 0.039

1 0.799 0.640 -0.716 0.087

1 0.402 -0.586 0.319

1 -0.250 0.650

1 0.130

1

43

Lampiran 4 Hasil Correspondent Analysis (CA) paremeter lingnkungan, keranganam tingkat kesehatan karang dan lokasi pengamatan Akar ciri Nilai Ragam (%) Kumulatif Ragam (%) Jenis Penyakit SEB BrB WS Full Patches Stripes fishbite PR IG SP SD Stasiun Pengamatan P. Bokor P. Lancang kecil Pulau Pari P. Burung P.Kongsi P. Tunda 1 P. Tunda 2 P. Tunda 3 P. Tunda 4 a. Koordinat utama b. Kontribusi c. cosinus kuadrat

Sumbu Faktorial Sumbu 1 (F1) Sumbu 2 (F2) 0.374 0.195 46.520 24.196 46.520 70.716 a b c a b c 0.224 0.000 0.009 -1.178 0.013 0.242 -0.132 0.000 0.005 -1.152 0.025 0.361 0.523 0.024 0.106 -0.917 0.144 0.325 -0.140 0.007 0.061 0.383 0.094 0.458 -0.387 0.079 0.291 0.515 0.270 0.515 1.273 0.281 0.843 0.494 0.081 0.127 -0.322 0.014 0.263 0.224 0.013 0.127 -0.279 0.031 0.194 -0.230 0.040 0.132 -0.332 0.028 0.159 -0.057 0.002 0.005 1.688 0.522 0.967 -0.034 0.000 0.000 -0.155 0.013 0.063 -0.540 0.317 0.770 a b c a b c 0.003 0.000 0.000 -0.772 0.205 0.580 0.324 0.007 0.070 -0.677 0.057 0.306 0.137 0.007 0.034 -0.520 0.206 0.484 -0.299 0.020 0.141 -0.497 0.106 0.390 2.156 0.853 0.970 0.344 0.042 0.025 -0.296 0.021 0.124 0.246 0.028 0.086 -0.288 0.024 0.333 -0.038 0.001 0.006 -0.150 0.015 0.175 0.188 0.046 0.274 -0.358 0.053 0.177 0.623 0.311 0.535

44

Lampiran 5 Prosedur analisis nitrat 1. Saring sampel air laut menggunakan saringan dengan ukuran kertas saring 30 mikron 2. Ambil 5 ml sampel air yang telah disaring dan masukan kedalam gelas piala. 3. Tambahkan 0,5 ml larutan brucine dan aduk 4. Tambahkan 5 ml asam sulfat pekat kemudian aduk 5. Buat larutan blangko dari 5 ml akuades, lakukan prosedur 3 dan 4 6. Buat larutan standar NO3-N 7. Tambahkan 20-30 ml akuades dan 8 ml NH4OH, kemudian di encerkan sampai 100 ml. setelah di encerkan tambahkan akuades sampai tera. Selanjutnya lakukan prosedur 4 dan 5 8. Ukur larutan contoh dan larutan standar dengan larutan blanko pada panjang gelombang 510 nm, atur spektofotometer pada absorbasi 0,0. 9. Buat persamaan regresi dari larutan standa untuk menentukan kandungan nitrat pada sampel air tersebut 10. Rumus perhitungan MgNO3 = ppm NO3-N x (BM NO3/BA N) = ppm NO3 x 4.43 Lampiran 6 Prosedur analisis fospat 1. Siapkan beker ukuran 100 ml dan tuangkan 35 ml sampel air laut 2. Saring sampel air laut menggunakan saringan dengan ukuran kertas saring 30 mikron 3. Tambahkan 1 ml preaksi campuran I, kemudian tambahkan 1 ml larutan asam askorbit dan campurkan secara sempurna 4. Tambahkan 2 ml preaksi turbiditas 5. Diamkan, setelah 5-10 menit ukur absorbasinya dengan spektofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 880 nm

F= C/Astd-Ab Dimana:

F = Faktor kalobrasi C = Konsentrasi larutan standar (2 µm at PO43- - PL-1) Astd = Absorbasi standar Ab = Absorbasi blanko

Kandungan orthofosfat sampel dengan rumus

Cs (2 µm at PO43- - PL-1) = F x (Ac –At-Ab) Dimana: Ac At Ab

= Absorbasi contoh = Absorbasi standar = Absorbasi blanko

45

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 01 Januari 1989 di Toboali Kabupaten Bangka Selatan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Hermanto dan Ibu Suryati. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Toboali pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Bangka Belitung pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Peminatan Ilmu Kelautan dan lulus pada tahun 2011. Penulis pernah bekerja di PT. BCA Finance, honorer Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Tengah sebagai teknisi UPT Penangkaran Penyu dan membantu mengajar mata Kuliah Widya Selam di jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan UBB. Pada tahun 2013, Penulis melanjutkan pendidikan pascasarja di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Kelautan. Untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelas Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB penulis melakukan penelitian mengenai “Hubungan Parameter Lingkungan Terhadap Prevalensi Penyakit Karang dan Tutupan Karang Hidup”.