I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Ternak sapi, khususnya sapi perah merupakan salah satu sumber daya penghasil protein berupa susu yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya bagi kehidupan masyarakat. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan protein hewani menyebabkan kebutuhan susu sapi juga ikut meningkat, ini merupakan prospek yang sangat bagus bagi para pengusaha peternakan sapi perah. Usaha peternakan sapi perah di Indonesia baru dimulai pada abad 17 bersamaan dengan masuknya Belanda ke Indonesia. Pada waktu itu orang Belanda merasa berkepentingan mendatangkan sapi perah agar dapat diperoleh produksi susu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tingkat produksi susu ini sangat
ditentukan
oleh
tatalaksana
pemeliharaan.
Apabila
tatalaksana
pemeliharaan bagus maka hasil susu yang diperoleh akan bagus. Ditinjau dari segi ekosistim dan ekonomis, sapi perah berperan sangat penting sebagai pengumpul bahan-bahan yang tidak bermanfaat sama sekali bagi manusia seperti rumput, limbah dan hasil ikutan lainnya dari produk pertanian disekitar. Bahan-bahan yang tidak berguna bagi manusia itu menjadi bahan makanan bagi sapi sehingga dapat memproduksi susu dan daging. Disisi lain para peternak atau produsen susu mempunyai kendala dalam pemeliharaan, karena untuk meningkat produksi susu maka memerlukan bahan
1
pakan yang lebih. Bahan baku yang berguna untuk meningkatkan produksi yaitu pakan yang mengandung kadar protein yang tinggi. Pakan merupakan komponen terbesar pada usaha peternakan. Biaya pakan yang dipengaruhi oleh inflasi dan kenaikan harga menjadi perhatian utama para pelaku usaha peternakan. Harga pakan konsentrat pada tahun 2010 rata-rata Rp.1.800/kg saat ini sudah lebih dari Rp.2.500/kg. Tingginya harga bahan baku pakan mendorong perlunya strategi yang tepat untuk mencapai efisiensi dan efektivitas produksi ternak. Orientasi efisiensi dalam penggunaan pakan sangat terkait dengan kualitas dampak terhadap performa ternak (Andang, 2014). Pakan yang diberikan pada sapi perah harus diperhatikan kualitas dan kuantitasnya terlebih
dahulu,
karena apabila tidak diperhatikan dapat
mengakibatkan penurunan produksi susu. Pakan untuk sapi perah ada dua macam yaitu : bahan pakan kasar berupa hijauan dan bahan pakan penguat berupa konsentrat. Umumnya nilai nutrisi yang terkandung dalam hijauan pada daerah tropis sangat rendah, sehingga diperlukan pakan penguat untuk mencukupi kebutuhan ternak. Pemberian hijauan dan konsentrat setiap harus diberikan sama selama pemeliharaan sapi perah. Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi kebutuhan sapi utnuk hidup pokok dan untuk berproduksi (Soeradji, 1978). Permasalahan sekarang adalah pemberian konsentrat membutuhkan biaya yang mahal. Untuk mengurangi biaya tersebut dapat digunakan bahan makanan alternatif berupa limbah kulit ubi kayu, kulit ubi kayu dibuang begitu saja. Padahal kalau dimanfaatkan sangat bagus dijadikan sebagai pakan tambahan ternak. Kulit ubi kayu terkandung banyak zat-zat makanan yang sangat dibutuhkan ternak (Anggorodi, 1979).
2
Limbah kulit ubi kayu termasuk salah satu bahan pakan yang mempunyai energi (Total Digestible Nutrients = TDN) tinggi, disamping mempunyai kandungan nutrisi yang cukup lengkap yaitu BK 17,45%, Protein 8,11%, TDN 74,73%. SK 15,20%, Lemak 1,29%, Ca 0,63% dan P 0,22% (Rukmana, 1997). 1.2. Tujuan Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk melihat bagaimana cara pemanfaatan limbah kulit ubi kayu sebagai pakan konsentrat pada pemeliharaan sapi perah. Tujuan lain dari pelaksanan PKPM (Pengalaman Kerja Praktek Mahasiwa) adalah : 1. Melatih mahasiswa mengembangkan kemampuan yang telah didapatkan selama perkuliahan dan menerapkan sesuai dengan perkuliahan di lapangan 2. Memperkaya kemampuan praktis di bidang peternakan bagi mahasiswa. 3. Mengetahui tatalaksana pemeliharaan sapi di Kelompok Tani Ternak Tunas Baru, Padang Panjang. 4. Mengetahui produksi susu sapi dengan pemberian kulit ubi kayu.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Fries Holland (FH) Salah satu jenis sapi perah adalah Fries Holland. Sapi Fries Holland berasal dari negara Belanda. Amerika Serikat bangsa sapi ini disebut Holstein, dan di negara-negara lain ada pula yang menyebut Friesien. Di Indonesia sapi ini lebih dikenal dengan sebutan FH. Sapi FH menduduki populasi terbesar, hampir di seluruh dunia, baik di negara-negara sub-tropis maupun tropis. Bangsa sapi ini mudah beradaptasi di tempat baru. Di Indonesia populasi bangsa sapi FH ini juga yang terbesar diantara bangsa-bangsa sapi perah yang lain (Siregar, 1990). Sapi FH mempunya ciri-ciri warna belang hitam putih, pada dahi terdapat pola hitam putih berbentuk segitiga. Dada, perut bawah, kaki dan ekor berwarna putih. Tanduk kecil-pendek menjurus ke depan. Sapi FH bersifat tenang, jinak sehingga mudah dikuasai, tidak tahan panas, tapi mudah beradaptasi, dan lambat menjadi dewasa. Berat badan sapi FH jantan 800-900 kg, sedangkan yang betina 600-625 kg dan tingginya rata-rata 1,35 meter (Budi, 2006). Produksi susu sapi FH menurut Hertika (2008) sekitar 14,99 liter/ekor/hari, dan Putranto (2006) produksi rata-rata sapi perah FH di Indonesia sekitar 10 liter/ekor/hari.
4
2.2. Sapi Perah Masa Laktasi Masa Laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara masa beranak dan saat masa kering kandang. Sapi mulai berproduksi setelah melahirkan anak. Kira-kira setengah jam setelah sapi itu melahirkan. Produksi susu sudah mulai keluar dan saat itulah masa laktasi dimulai. Namun, sampai dengan 4-5 hari yang pertama produksi susu tersebut masih berupa colostrum yang sangat baik untuk pedet untuk pertumbuhan pada kehidupan awal (AAK, 1990). Menurut Alim dan Hidaka (2002) masa laktasi menjadi tiga yaitu: masa laktasi awal (3 bulan setelah melahirkan), masa laktasi tengah (3-6 bulan) dan masa laktasi akhir (lebih dari 6 bulan). 2.3. Kebutuhan Zat Makanan Sapi Perah Sapi perah membutuhkan sejumlah zat makanan untuk memenuhi kebutuhan berbagai fungsi tubuhnya. Pada dasarnya, kebutuhan sapi perah terdiri dari kebutuhan pokok dan kebutuhan untuk berproduksi. Kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan untuk memenuhi proses-proses hidup saja tanpa proses pertumbuhan, produksi air susu, dan untuk pertumbuhan janin apabila sapi perah sedang bunting (Siregar, 1995). Kebutuhan ternak ruminansia terhadap pakan dicerminkan oleh kebutuhan terhadap nutrisi. Jumlah kebutuhan nutrisi setiap harinya sangat bergantung terhadap jenis ternak, umur, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting, dan menyusui).
5
Kondisi tubuh (normal, sakit) dan lingkungan tepat hidupnya (temperatur, kelembaban udara), serta bobot badannya (Sutardi, 1981). Standar kebutuhan zat makanan sapi perah laktasi dapat dilihat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Standar Kebutuhan Zat Makanan Sapi Perah Laktasi Bobot Badan (Kg)
Protein (g)
M.E (M.Kal)
350 341 10.76 400 373 11.90 450 403 12.99 500 432 14.06 550 461 15.11 600 489 16.12 Sumber : Irda, I, dkk. (2014)
Kebutuhan Zat Gizi TDN (Kg) Ca (g)
2.85 3.15 3.44 3.72 4.00 4.27
14 15 17 1 20 21
P (g)
VitaminA (x1000IU)
11 13 14 15 16 17
27 30 34 38 42 46
2.4. Bahan Pakan Sapi Perah Blakely dan Bade (1985) mengemukakan, bahwa pakan adalah bahan yang dapat dimakan dan dicerna oleh seekor hewan yang mampu menyajikan hara atau nutrisi yang penting untuk perwatan tubuh, pertumbuhan penggemukan, reproduksi, kebuntingan serta laktasi. Siregar (1995) menyatakan, hijauan dan konsentrat sebagai komponen ransum sapi perah, merupakan sumber zat-zat makanan yang dibutuhkan itu dapat terpenuhi, hijauan dan konsentrat perlu diformulasikan menjadi suatu ransum. Dengan demikian, formulasi ransum sapi perah yang dapat memenuhi zat-zat makanan yang dibutuhkan sapi perah. Menurut Syarief (1985), dalam penyusunan ransum yang sempurna untuk sapi perah, perlu dilakukan tiga hal yaitu :
6
1. Ransum hendaknya disusun dari bermacam-macam bahan makanan. 2. Susunan ransum harus cukup mengandung protein, baik jumlah maupun kualitasnya. 3. Ransum harus cukup mengandung karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi serta vitamin. Pakan sapi perah menjadi faktor utama yang dapat mempengaruhi produksi dan kualitas susu, serta bisa mempengaruhi kesehatan sapi, baik kesehatan tubuh maupun kesehatan reproduksinya. Secara umum, pakan sapi perah adalah hijauan (rumput) dan konsentrat sebagai pakan penguat. Meskipun demikian, pemberian pakan harus sesuai dengan bobot badan sapi, kadar lemak susu dan produksinya susunya. Pakan sapi yang diberikan pada ternak harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: bahan pakan yang digunakan harus mudah didapat, tersedia terus menerus atau sepanjang tahun, harga relatif murah, tidak mengandung racun, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia dan mempunyai nilai gizi (Anggorodi, 1979). 2.4.1. Pakan Hijauan Pakan hijauan adalah pakan yang berasal dari rumput-rumputan dan kacang-kacangan yang merupakan pakan utama untuk ternak ruminansia. Pakan hijauan yang diberikan sebaiknya hijauan yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi dan disukai oleh ternak, seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang mempunyai kandungan nutrisi berdasarkan bahan kering adalah protein kasar 8,69%, lemak 2,71% , serat kasar 3,23%, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 43,7%, TDN 52,4%, Ca 0,475% dan P 0,347% (Sutardi, 1981).
7
2.4.2. Pakan Konsentrat Konsentrat merupakan suatu campuran pakan yang mengandung kadar serat kasar rendah dan mudah dicerna. Konsentrat juga merupakan bahan pakan tambahan yang berfungsi sebagai pelengkap kebutuhan nutrisi utama yang belum terpenuhi dalam pemberian pakan hijauan atau pakan kasar (AAK, 1990). Konsentrat memiliki energi yang tinggi dan serat kasar yang rendah. Pemberian konsetrat pada sapi perah harus disesuaikan dengan kebutuhan sapi.Jumlah konsentrat yang diberikan untuk sapi potong penggemukan, karena apabila konsentrat terlalu banyak diberikan akan mengakibatkan kegemukan pada sapi perah sehingga reproduksi sapi perah terganggu (Anggorodi, 1979). Bahan pakan konsentrat adalah bahan pakan yang mengandung satu atau lebih zat makanan dalam makanan dalam konsentrat tinggi yang terdiri dari bahan pakan sumber energi, sumber protein, sumber mineral dan vitamin (Syarief, 1985). 2.4.3. Pemberian Air Minum Air merupakan bagian yang memiliki persentase terbesar dalam tubuh dan sangat penting fungsinya pada jaringan tubuh (Anggorodi, 1979). Terbatasnya air minum dapat menyebabkan berkurangnya konsumsi pakan terutama dalam kondisi yang panas sehingga zat pakan mempercepat hilangnya air. Air dalam tubuh ternak berfungsi sebagai transportasi zat-zat makanan melalui dinding usus kedalam peredaran darah, mengangkut zat-zat sisa, sebagai
8
pelarut beberapa zat makanan, membantu pembentukan beberapa zat dan mengontrol suhu tubuh. Menurut Sudono, dkk, (2003), air mutlak dibutuhkan dalam usaha peternakan sapi perah. Hal ini disebabkan susu yang dihasilkan 87% berupa air dan sisanya berupa bahan kering. Disamping itu, untuk mendapatkan 1 liter air susu seekor sapi perah membutuhkan 3,5-4 liter air minum. Jumlah air minum yang dibutuhkan sapu laktasi tergantung dari ukuran tubuh, suhu lingkungan, produksi susu dan kadar air pada pakan yang diberikan. Sebaiknya air minum pada sapi laktasi diberikan secara adlibitum atau air selalu tersedia setiap saat pada tempat yang telah disediakan. 2.5. Kulit Ubi Kayu Menurut Rukmana (1997), ubi kayu merupakan bahan pangan potensial masa depan tatanan pengembangan agribisnis dan agroindustri. Sejak awal Pelita I, sampai sekarang ubi kayu beperan cukup besar dalam mencakupi bahan pangan nasional dan dibutuhkan sebagai bahan baku berbagai industri makanan. Pemberian makan ternak kulit ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, setelah melalui proses pengolahan kulit ubi kayu ini dapat diberikan kepada ternak sebagai bahan pakan substitusi dan bahkan dapat dikonsumsi oleh manusia. Dalam pemberiannya limbah kulit ubi kayu kepada ternak ada beberapa cara antara lain : a. Dicampurkan dalam bahan pakan lainnya yang sebelumnya kulit singkong sudah dipotong kecil-kecil, dan dilayukan pemberian dengan takaran yang sesuai dengan takaran dan kebutuhan yang diinginkan. 9
b. Dilayukan dan dikeringkan dibawah sinar matahari hingga kadar air 15-20%, agar tidak ditumbuhnya mikroorganisme (jamur). Kemudian diberikan ke ternak di siang hari c. Pemberian pakan limbah kulit ubi kayu pada ternak domba dicampurkan pada air minumnya (comboran) yang tercampur dengan bahan pakan seperti dedak padi ataupun dedak jagung. Pemberian kulit ubi kayu harus dibatasi sesuai dengan kebutuhan dan bahan pakan campuran lainnya, untuk menghindari hal-hal yang merugikan ternak maupun peternak. Sehingga perlu dilakukan dengan mencacahnya/di potong kecil-kecil terlebih dahulu kemudian dilayukan sebelum diberikan ke ternak sebagai bahan pakan alternatif (http://www.lembahgogoniti.com, 2015) Kulit ubi kayu termasuk salah satu bahan pakan ternak yang mempunyai energi (Total Digestible Nutrients = TDN) tinggi, dan kandungan nutrisi tersedia dalam jumlah yang memadai seperti dijelaskan dalam tabel berikut : Tabel 2. Kandungan Energi (TDN) dan nutrisi dalam Limbah Ubi Kayu Bahan
Bahan Kering (%)
Protein (%)
Daun
23,53
21,45
Kulit
17,45
TDN (%)
Serat Kasar (%)
Lemak (%)
Ca (%)
P
61,00
25,71
9,72
0,72
0,59
8,11
74,73
15,20
1,29
0,63
0,22
Onggok 85,50 1,51 Sumber : Sudaryanto (1989)
82,76
0,25
1,03
0,47
0,01
(%)
Kulit ubi kayu merupakan limbah sampah yang belum termanfaatkan secara maksimal.Berdasarkan kandungan dalam limbah kulit ubi kayu, Kulit ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia.
10
Pengolahan menjadi pakan ternak meliputi pengurangan kadar HCN dan pengolahan kulit ubi kayu (perendaman, pengukusan, pencampuran dengan urea, dan fermentasi). Ragam cara pemberian kulit ubi kayu kepada ternak meliputi Dicampurkan dalam bahan pakan lainnya, dilayukan dan dikeringkan dibawah sinar matahari, atau dicampurkan pada air minumnya (http://caraberternak.com, 2015).
Hasil analisa proksimat menunjukkan bahwa ubi kayu tanpa diolah kandungan protein kasarnya 4,57%, serat kasar 1,35%, lemak 0,65%, Ca 0,18%, P 0,10% dan kandungan HCN nya 129,59 ppm (Hendrawati,2000). Dalam penyusunan ransum ternak, limbah ubi kayu dapat menggantikan sumber energi yang mahal harganya seperti jagung. Proses pelayuan atau pengeringan limbah ubi kayu bertujuan memperpanjang daya simpan untuk jangka waktu yang lama. Keracunan ternak dapat terjadi bila konsumsi HCN melebihi 2,4 mg/kg berat badan ternak (Rukmana, 1997). 2.6. Pemerahan Dengan Mesin Perah (mekanis) Mesin perah pertama kali diciptakan dan dikeluarkan pada tahun 1850 oleh seorang petani dari Amerika yang bernama Anna Baldwin. Alat tersebut berbentuk sebuah pompa yang dihubungkan dengan pipa yang berujung pada sebuah mangkok yang berlubang empat untuk menyedot susu dari keempat puting, di ujung lain digantungkan sebuah ember untuk menampung susu hasil pemerahan (Budi, 2006). Komponen-komponen alat pemerah susu tipe single bucket double unit terdiri dari:
11
a. Bucket (milk can) Bucket berfungsi sebagai alat untuk menampung dan menyimpan air susu hasil pemerahan sementara. b. Pompa vakum Pompa vakum adalah sebuah peralatan yang dapat mengeluarkan udara dan gas-gas lainnya darisuatu ruangan tertutup. Sebagai hasil dari pengeluaran gas ini adalah terbentuknya ruangan yang bertekanan lebih rendah dari pada tekanan atmosfir lingkungan. Beberapa tingkatan kevakuman menunjukkan pada sebuah situasi fisik yang berbeda. Untuk mendeskripsikan situasi ini dapat digunakan konsep kerapatan molekul (molecular density), mean free path, dan waktu konstan menuju bentuk lapisan tunggal (the time constant to formmonolayer), konsep yang berhubungan dengan tekanan, gas, dan suhu (Nurhasanah dkk, 2010). Pompa vakum berfungsi memberikan tekanan vakum pada ambing sapi agar pemerahan susu dapat terjadi. Tekanan vakum yang digunakan adalah 44 Kpa, apabila beberapa molekul disuatu bagian ruangan dikeluarkan, maka molekul yang tertinggal akan bergerak mengisi ruangan yang ditinggalkan (memiliki kepadatan yang lebih rendah), dengan kata lain pompa vakum tidak dapat mengeluarkan molekul gas yang memasuki mekanisme dari pompa vakum (Nurhasanah, dkk, 2010). c. Vacuum gauge Vacuum gauge berfungsi sebagai penunjuk tekanan vakum yang dihasilkan oleh pompa vakum.
12
d. Pulsator Pulsator adalah sebuah alat yang secara bergantian membentuk vakum dan udara atmosfer diantara bagian pemerah (shells) dan karet pemerah (linear). Vakum pada ujung puting mengeluarkan susu dengan suatu perbedaan tekanan, fase ini disebut juga fase buka atau fase pemerahan (Nurhasanah, dkk, 2010). Pijatan atau fase istirahat, dimulai ketika pulsator memberi udara atmosfir pada ruang antara bagian pemerah dan karet pemerah.Hal ini mengempiskan karet pemerah di ujung puting dan memberikan pijatan pada puting (Nurhasanah, dkk, 2010). e. Rangkaian selang pemerah susu Rangkaian selang pemerah susu terdiri dari selang PVC, claw bowl, liners dan shells. Selang PVC dibuat transparan untuk memudahkan dalam pengecekan aliran air susu hasil pemerahan. Claw bowl juga dibuat transparan dan dilengkapi dengan katup yang dapat membuka dan menutup otomatis saat dilakukan pemerahan.Liners terbuat dari bahan karet.Shells terbuat dari bahan stainless stell (Nurhasanah, dkk, 2010). ISO 5707 memberikan pedoman standar desain untuk mesin perah mengenai laju aliran air susu saat pemerahan, standar aliran terendah 2,5 kg susu/menit, dan standar aliran tertinggi 5 kg susu/menit (Kutz, 2007). Nurhasanah, dkk, (2010), proses pemerahan susu yang dilakukan secara bersamaan untuk 2 ekor sapi dengan mesin perah system double unit bucketmembutuhkan waktu pemerahan 5-7 menit untuk sapi dengan produksi susu 5-7 liter per pemerahan, sedangakan untuk sapi dengan produksi susu 10 liter per pemerahan memerlukan waktu 9-10 menit untuk 2 ekor sapi. 13
2.7. Refleks Pengeluaran Air Susu Refleks pengeluaran susu meliputi aktivasi syaraf dikulit puting yang sensitif terhadap sentuhan atau temperatur. Rangsangan syaraf melalui sumsum tulang belakang sampai ke nuklei paraventrikuler dari hipotalamuskemudian berjalan ke pituitari posterior tempat dilepaskannya
ke dalam aliran darah.
Oksitosin menyebar di kapiler dan menyebabkan kontraksi sel myo-epitelial yang mengelilingi alveoli dan pembuluh-pembuluh lebih kecil. Aksi pemerahan ini meningkatkan tekanan intramamari dan memaksa susu melalui pembuluh pergi ke sisterne puting dan ambing (Wikantadi, 1978). Kontraksi sel myo-epitelial terjadi dalam 20-60 detik setelah perangsangan puting. Setelah pelepasan oksitosin aliran susu berkurang sesuai dengan waktu. Hal ini dapat terjadi karena kelelahan selmyo-epitelial atau ketidakaktifan oksitosin. Fakta menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk setengah aktivitas oksitosin di dalam darah sapi menghilang hanya dalam 1-2 menit. Level efektif berakhir dalam 6-8 menit, karena itususu harus diperah dengan cepat saatoksitosin berkontraksi dengan sel myo-epitelial (Wikantadi, 1978). Ada bukti bahwa sebelum oksitosin dilepaskan, rangsangan syaraf berjalan langsung dari puting melalui sumsum tulang belakang ke otot halus di pembuluh besar ambing. Otot-otot halus ini kemudian berkontraksi. Keadaan ini menyebabkan pembuluh ambing memendek dan membesar serta membantu mengalirkan susu melalui sistem pembuluh ke arah sisterne. Sel myo-epitel berkontraksi sebagai respon terhadap rangsangan mekanis langsung, karena
14
itupemijatan ambing sebelum pemerahan menyebabkan tambahan sejumlah susu dari alveoli (Wikantadi, 1978). Rangsangan luar selain pencucian akan mengawali refleks pengeluaran susu. Rangsangan terkuat untuk melepaskan oksitosin adalah kehadiran pedet. Rangsangan lain yang berhubungan dengan pemerahan adalah suara ribut, pemberian pakan, keberadaan pemerah, dan coitus (Wikantadi, 1978). Refleks pengeluaran susu dapat dihambat juga, jika hal ini terjadi hanya sejumlah kecil susu yang dapat dikeluarkan dari ambing. Keadaan lingkungan yang tidak menyenangkan saat pemerahan akan menyebabkan sistem syaraf simpatetik membebaskan epineprin syaraf-hormon dari medula adrenal ke dalam darah. Epineprin adalah vasokonstriktor kuat yang mampu mengurangi pasokan darah ke ambing dan menghalangi oksitosin sampai ke sel myo-epitelial dalam jumlah yang cukup untuk menghasilkan kontraksi. Injeksi oksitosin pada saat ini tidak efektif. Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa epineprin dapat langsung menghambat sel myo-epitelial merespon oksitosin. Hambatan refleks juga terjadi bila ambing berisi penuh susu. Pada kasus ini, aliran darah kapiler berkurang sangat banyak sehingga oksitosin tidak bertahan lama di myo-epitelium (Wikantadi, 1978). 2.8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Air Susu Produksi
air susu yang dihasilkan bangsa sapi perah Fries Holland
tertinggi jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, baik di daerah beriklim sedang maupun di daerah tropis. Telah diketahui bahwa air susu yang banyak menganduk lemak akan banyak mengandung vitamin A dan D
15
pervolume susu, karena vitamin-vitamin tersebut berhubungan dengan kadar lemak susu. Bangsa sapi juga menentukan susunan kimia air susu yang dihasilkan (Sudono, dkk, 2003). Dalam rangka menangani sasaran peningkatan produksi susu dan tingkat konsumsi yang terus meningkat, maka perlu ditinjau faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produksi dan kualitas susu yang dihasilkan dalam suatu peternakan sapi perah dan faktor sapi perah itu sendiri (Gillespic, 1992). Kemampuan produksi susu seekor sapi 30% dipengaruhi oleh sifat-sifat genetis atau sifat keturunan dan 70% dipengaruhi keadaan sekitar yaitu 70% dipengaruhi keadaan sekitar yaitu makanan, tatalaksana, penyakit, iklim dan lain-lain (Sudono dan Sutardi, 1969) Produksi dan komposisi air susu Sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya jenis ternak (ras/spesies) dan keturunannya (hereditas), tingkat laktasi, umur ternak, infeksi atau peradangan pada ambing, nutrisi atau pakan ternak, lingkungan dan prosedur pemerahan susu. Keseluruhan faktor –faktor ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu faktor-faktor yang ditimbulkan oleh lingkungan, genetik dan manajemen (Saleh, 2004). 1.
Nutrisi dan Lingkungan Faktor lingkungan adalah faktor yang memberikan pengaruh cukup besar
terhadap tingkat produksi. Diantara sekian banyak komponen faktor lingkungan yang paling nyata pengaruhnya terhadap sapi perah, terutama pada masa laktasi (produksi air susu) adalah suhu, yang selalu berkaitan erat dengan kelembaban (Daisy, 2003).
16
Pengaruh lingkungan terhadap produksi susu dan komposisi air susu dapat dikomplikasikan oleh faktor-faktor seperti nutrisi dan tahap laktasi, bila faktorfaktor seperti ini dihilangkan maka memungkinkan untuk mengamati pengaruh musim dan suhu.
Biasanya pada musim hujan kandungan lemak susu akan
meningkat sedangkan pada musim kemarau kandungan lemak susu lebih rendah. Produksi air susu yang dihasilkan pada kedua musim tersebut juga berbeda. Pada musim hujan produksi air susu dapat meningkat karena tersedianya pakan yang lebih banyak dari musim kemarau. Suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi produksi air susu, dimana lingkungan dengan kelembaban yang tinggi dapat mempengaruhi timbulnya infeksi bakteri dan jamur penyebab mastitis. Pada suhu lingkungan yang tinggi terlihat jelas dapat menurunkan produksi air susu dimana ternak sapi menurunkan konsumsi pakan, tetapi belum jelas apakah suhu dapat mempengaruhi produksi air susu (Saleh, 2004). Penyediaan zat makanan yang tidak mencukupi akan membatasi sekresi air susu, sebab mengingat sifat dari ternak sapi perah yang mampu mengorbankan berat badannya untuk keperluan berproduksi. Berat badan yang hilang ini tentu saja akan menuntut penggantian dari zat-zat makanan dalam ransum. Jadi sapi perah yang mendapatkan makanan yang sangat terbatas akan mencukupi kebutuhan hidup pokoknya dengan mengorbankan zat makanan yang diperlukan dalam laktasi (Saleh, 2004). Jenis pakan dapat mempengaruhi komposisi air susu. Pakan yang terlalu banyak konsentratnya akan menyebabkan kadar lemak susu rendah. Jenis pakan dari rumput-rumputan akan menaikkan kandungan asam oleat sedangkan pakan berupa jagung atau gandum akan menaikkan asam butiratnya. Pemberian pakan
17
yang banyak pada seekor sapi yang kondisinya jelek pada waktu sapi itu dikeringkan dapat menaikkan hasil produksi air susu sebesar 10 - 30%. Pemberian air adalah penting untuk produksi air susu, karena air susu 87% terdiri dari air dan 50% dari tubuh sapi terdiri dari air. Jumlah air yang dibutuhkan tergantung dari produksi air susu yang dihasilkan oleh seekor sapi, suhu sekeliling dan pakan yang diberikan. Perbandingan antara air susu yang dihasilkan dan air yang dibutuhkan adalah 1 : 36. Air yang dibutuhkan untuk tiap hari bagi seekor sapi berkisar 37 - 45 liter (Saleh, 2004). 2.
Genetik Faktor-faktor lain mempengaruhi tinggi rendahnya produksi susu pada
ternak adalah ukuran dan bobot badan induk, umur, ukuran dan pertautan ambing,
pertumbuhan, suhu
lingkungan, faktor genetik dan lingkungan
termasuk manajemen dan pemberian pakan (Ernawani, 1991). Faktor genetis
ini akan menentukan
jumlah produksi
air susu selama laktasi dengan komposisi zat zat susu
induk dan pejantan jelek tatalaksana
dan
makanan. makanan
Jika
dan mutu produksi
yang
serba
baguspun tidak akan dapat memperbaiki produksi yang jelek dari warisan kedua induknya (Anggorodi, 2001). Sapi-sapi yang secara genetis baik akan memberikan produksi susu yang baik pula. Akan tetapi, jika makanan yang diberikan tidak memadai, baik dari segi jumlah maupun mutu, maka untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup dan berproduksi akan dicukupi dengan mengorbankan persediaan zat-zat makanan yang ada di dalam tubuh. (Anonim, 2000).
18
3.
Tata Laksana Pemeliharaan Manajemen yang baik dan sempurna merupakan kunci sukses bagi usaha
peternakan sapi perah. Dalam hal ini termasuk perlakuan yang diberikan seorang peternak terhadap rangsangan masalah pemerahan, lamanya kering kandang, pencegahan terhadap penyakit, frekuensi pemerahan, jarak perkawinan (service periode), dan jarak melahirkan (calving interval) (Saleh, 2004). Perlakuan yang kasar dalam proses pemeliharaan akan menimbulkan rasa sakit dan rasa takut yang dapat mengakibatkan sapi menjadi stress, sehingga menimbulkan hambatan dalam proses pemerahan. Peristiwa semacam ini juga akan mengakibatkan sekresi atau pembentukan air susu berikutnya terhambat, bahkan dapat kemerosotan produksi secara permanen bagi seluruh masa laktasi (Saleh, 2004).
19
III. METODE PELAKSANAAN
3.1. Waktu dan Tempat Pengalaman kerja praktek mahasiswa dilaksanakan selama dua setengah bulan mulai tanggal 16 Maret sampai 31 Mei 2015 bertempat di Kelompok Tani Ternak Tunas Baru, Desa Ganting, Kota Padang Panjang. 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah fasilitas yang ada di Kelompok Tani tersebut, seperti milk can, ember susu, saringan susu/strainer, mesin pemerah susu, kain lap, ember, literan susu, sedangkan bahan yang digunakan adalah Sapi Fries Holland (FH) sebanyak 17 ekor, dan antiseptik. Bahan yang digunakan dalam pembuatan pakan yaitu dedak, bungkil kelapa sawit, garam, mineral dan ampas tahu serta ditambahkan dengan pemberian kulit ubi kayu. 3.3. Pelaksanaan 3.3.1 Pengambilan Data Pengambilan data yang dilakukan selama 30 hari. Data yang diperoleh langsung dari hasil pengamatan di lapangan dan mengikuti secara aktif kegiatan yang ada hubungannya dengan pemerahan susu sapi. Sapi yang digunakan sebanyak 6 ekor dengan masa laktasi ke 2 yang terdiri dari 3 ekor untuk perlakuan kulit ubi kayu dan 3 ekor tanpa pemberian kulit ubi kayu dengan rata-rata pemberian 7,5 kg/ekor. Data susu sapi perah dengan pemberian kulit ubi kayu kepada ternak dilakukan langsung di Kelompok Tani Ternak Tunas Baru, dan data susu sapi 20
perah yang tidak di berikan kulit ubi kayu juga di ambil di Kelompok Tani Ternak Tunas Baru. Produksi air susu dilihat dari jumlah air susu yang dihasilkan setiap hari. 3.3.2. Pengolahan Data Data produksi susu yang diambil adalah data produksi total dari pemerahan susu pagi dan sore di Kelompok Tani Ternak Tunas Baru Padang Panjang. 3.3.3. Prosedur Kerja A. Penyiapan Kulit Ubi Kayu Kulit ubi kayu yang dimanfaatkan di Kelompok Tani Ternak Tunas Baru, Padang Panjang berasal dari pabrik pembuatan kerupuk sanjai yang di ambil disekitar Payakumbuh, Bukittinggi dan Padang Panjang. Kulit ubi kayu dibeli langsung dan di antarkan langsung kepada peternak, sebelum diberikan kulit ubi kayu, kulit ubi kayu dicuci dahulu dan dimasukkan ke dalam ember besar yang berisi air, guna untuk membersihkan kulit ubi kayu terlebih dahulu yang mana akan diberikan kepada ternak, sehingga tanah yang ada pada kulit ubi kayu tidak menempel pada kulit ubi kayu tesebut. Rata-rata pemberian kulit ubi kayu yaitu sebanyak 7,5 kg/ekor sapi. B. Pemberian Pakan dan Minum Pakan yang diberikan di kelompok tani tersebut terdiri dari konsentrat dan hijauan, yang mana konsentrat diberikan pada pagi hari jam 08.00 Wib dan sore hari jam 16.00 Wib pada saat waktu pemerahan dilakukan. Pakan konsentrat diberikan kepada sapi sebanyak 17,5 kg, yang terdiri dari ampas tahu sebanyak 21
10 kg, dedak 6 kg, bungkil sawit 0,05 kg, garam 0,05 kg, mineral 0,05 kg, dan rata-rata pemberian kulit ubi kayu sebanyak 7,5 kg per ekor sapi. Hijauan diberikan pagi dan sore juga, yang mana pada pagi hari diberikan jam 11.00 Wib dan pada sore hari diberikan jam 18.30 Wib. Hijauan diberikan setelah dilakukan pemerahan keseluruhan sapi yang mana hijauan ini diberikan dalam bentuk rumput lapang dan daun-daunan seperti daun ubi jalar dan daun jagung dengan jumlah 10% dari berat badan. Pemberian air minum dilakukan secara terus menerus tanpa ada batasan (ad libitum), artinya terus menerus diberikan atau di isi pada tempat air minum. C. Pemerahan Sebelum dilakukan pemerahan, sapi dibersihkan atau dimandikan terlebih dahulu sampai bersih terutama pada putting yang akan diperah. Setelah sapi dimandikan, keringkan badan sapi dahulu, supaya air bekas pemandian tersebut tidak terkontaminasi dengan putting yang akan diperah yang mana akan merusak air susu. Pada proses pemerahan diberikan konsentrat dengan penambahan kulit ubi kayu yang telah diaduk merata. Setelah dilakukan pemerahan puting yang tidak habis diperah, dilakukan pemerahan kembali dengan menggunakan tangan. Pemerahan yang dilakukan di Kelompok Tani Ternak Tunas Baru dengan menggunakan mesin pemerahan, yang mana dilakukan pemerahan pada pagi dan sore. Pada pagi hari dilakukan pemerahan jam 7.00 Wib dan sore dilakukan jam 15.30 Wib. Sebelum melakukan pemerahan, sapi atau ternak dimandikan sampai bersih terlebih dahulu dan baru dilakukan pemerahan.
22
3.4. Parameter Parameter yang diamati meliputi : 1. Konsumsi ransum dengan penggunaan kulit ubi kayu (kg). 2. Produksi Susu (liter).
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Hasil Sapi perah yang ada di Kelompok Tani Ternak Tunas Baru adalah sebanyak 35 ekor dan yang sedang berproduksi atau sedang masa laktasi yaitu sebanyak 17 ekor dan kering kandang 1 ekor dengan jumlah data sebanyak 6 ekor dengan masa laktasi ke 2 di antaranya 3 perlakuan dan 3 kontrol. Pengamatan produksi susu dengan pemberian kulit ubi kayu dalam ransum dan tanpa pemberian kulit ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 3 adalah sapi yang diberi penambahan kulit ubi kayu dan Tabel 4 adalah tanpa pemberian kulit ubi kayu. Tabel 3. Rata-rata Produksi Susu 1 bulan dengan penambahan kulit ubi kayu No 1 2 3
Sapi
Bulan Produksi
4 bulan 0092 6 bulan 0093 2 bulan 0098 Rata-Rata (liter)
Konsumsi Ransum (kg/hari) 21 18 20 19,67
Produksi (liter/hari) 15,86 9,22 11,03 12,04
Tabel 4. Rata-rata Produksi Susu 1 bulan tanpa penambahan kulit ubi kayu No
Sapi
1 0100 2 0094 3 0091 Rata-Rata (liter)
Bulan Produksi 4 bulan 3 bulan 6 bulan
Konsumsi Ransum (kg/hari) 13 15,5 11,5 13,33
Produksi (liter/hari) 10,09 17,74 9,18 12,33
4.2. Pembahasan Dari Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan total produksi susu yang dihasilkan dengan pemberian ransum penambahan kulit ubi kayu adalah rendah dengan rata-rata 12,04 liter dibandingkan dengan ransum tidak penambahan kulit ubi kayu dengan rata-rata produksinya 12,33 liter. Hal ini disebabkan produksi 24
susu pada sapi tanpa penambahan kulit ubi kayu dengan bulan produksi 3 bulam, produksi susunya lebih tinggi yaitu 17,74 liter/hari. Hal ini berbeda dengan produksi susu pada bulan produksi 4 bulan dan bulan produksi 6 bulan yaitu 10,09 liter/hari dan 9,18 liter. Bila dilihat pada Tabel 3, rata-rata produksi susu dengan penambahan kulit ubi kayu bulan produksi 4 bulan adalah 15,86 liter/hari dan bulan produksi 6 bulan 9,22 liter/hari lebih tinggi produksi susunya dibandingkan dengan rata-rata produksi susu tanpa penambahan kulit ubi kayu bulan produksi 4 bulan dan bulan produksi 6 bulan. Komposisi ransum yang diberikan kepada ternak perlakuan dan kontrol terdiri dedak sebanyak 6 kg, bungkil sawit sebanyak 0,05 kg, garam 0,05 kg, mineral 0,05 kg, ampas tahu sebanyak 10 kg dan pada perlakuan ditambahkan kulit ubi kayu dengan rata-rata sebanyak 7,5 kg. Kandungan gizi dari komposisi ransum tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5. Kandungan zat gizi bahan pakan Bahan Pakan BK (%) PK (%) SK (%) Dedak 89,6 8,2 8,9 Bungkil 88,6 16,5 15,6 Sawit Ampas Tahu 26,2 23,7 23,6 Garam Ultra Mineral Sumber : Ramaiyulis, dkk. (2013). Tabel 6. Kandungan gizi kulit ubi kayu Bahan Pakan BK (%) PK (%) Kulit Ubi Kayu 17,45 8,11
SK (%) 15,20
LK (%) 9,1 2,5
TDN (%) 67 70
10,1 -
79 -
LK (%) 1,29
TDN (%) 74,73
Sumber : Sudaryanto, (1989)
25
Tingginya produksi susu 4 bulan produksi dan 6 bulan produksi pada sapi dengan penambahan kulit ubi kayu dikarenakan kandungan gizi ransumnya lebih tinggi dibandingkan dengan ransum sapi tanpa penambahan kulit ubi kayu. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kandungan gizi ransum perlakuan dan kontrol Ransum PK (g) LK (g) Perlakuan 1,18 0,77 Kontrol 1,07 0,75
TDN (kg) 7,27 6,39
Pemberian pakan ternak dengan penambahan kulit ubi kayu menyebabkan meningkatnya nilai gizi ransum perlakuan. Pemberian makan ternak kulit ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, setelah melalui proses pengolahan kulit ubi kayu ini dapat diberikan kepada ternak sebagai bahan pakan tambahan. Kulit ubi kayu yang berpotensi sebagai pakan ternak mengandung asam sianida yang tinggi. Total kandungan sianida pada kulit singkong berkisar antara 150 sampai 360 mg HCN per kg berat segar yang bisa menghambat produksi dan pertumbuhan pada ternak. Namun kandungan sianida ini sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh varietas tanaman ubi kayunya. Tingginya kandungan asam sianida dalam kulit ubi kayu ini dapat menimbulkan keracunan jika dikonsumsi oleh ternak (http :// cakrawalakitaa. blogspot.com/2014/04/ pemanfaatan-limbah-kulit-singkong.html, 2014). Tingginya kandungan asam sianida pada kulit ubi kayu dapat diatasi dengan cara :
26
1. Perendaman: dilakukan dengan cara memasukkan kulit ubi kayu yang sudah dipotong kecil-kecil ke dalam ember yang kemudian diisi air sampai kulit singkong terendam dan dibiarkan semalaman (16 jam). 2. Pengukusan: dilakukan dengan membersihkan kulit singkong dari tanah yang melekat (dicuci) kemudian dipotong kecil-kecil selanjutnya dikukus dalam panci yang ada saranganya yang berisi air dan didihkan selama 15 menit. 3. Dicampur dengan urea 3% BK: Kulit ubi kayu dicuci kemudian dipotong kecilkecil selanjutnya dicampur dengan urea dengan konsentrasi 3% dari berat kering. 4. Kemudian campuran terbut dimasukkan ke dalam plastik disimpan dalam kondisi kedap udara selama 1 minggu. 5. Fermentasi: dilakukan dengan cara kulit ubi kayu yang sudah dicuci kemudian diiris kecil-kecil yang selanjutnya dikukus dalam panci yang berisi air mendidih selama 15 menit, setelah itu diangkat kemudian ditebar dalam nampan sampai dingin. Setelah dingin kulit singkong ini diinokulasi dengan menggunakan kapang Trichoderma resii, kemudian ditutup dengan nampan diatasnya dan dibiarkan selama 4 hari (Nurlaili, 2013). Penyebab dari produksi tidak merata atau menurun ditunjukkan dari hasil data di atas menyatakan bahwa faktor bulan produksi tidak menunjukkan peningkatan produksi walaupun terdapat kecenderungan peningkatan produksi hingga bulan produksi 3. Sesuai hasil penelitian Sattar et al. (2005) dan Tadesse et al. (2010) yang menyatakan bahwa penampilan produksi pada bulan produksi 2, 3, 4, dan 6 tidak menunjukkan variasi produksi yang signifikan, walaupun secara numerik produksi tertinggi dicapai ternak bulan produksi . Hal ini dapat disebabkan status fisiologis ternak pada bulan produksi 2, 3, 4 dan 6 dalam taraf 27
kondisi yang sama terkait dengan kematangan dan kesiapan sel-sel kelenjar ambing untuk berproduksi. Masa laktasi juga mempengaruhi faktor produksi susu. Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu yakni selama 10 bulan antara saat beranak dan masa kering. Produksi susu per hari mulai menurun setelah laktasi dua bulan (http://sellyr06.alumni.ipb.ac.id/2010/07/18/faktor-faktor-yang-mempengaruhikualitas-kuantitas-dan-susunan-susu-sapi-perah, 2010). Hal ini juga didukung oleh Firman (2010), bahwa produksi susu pada sapi perah terbanyak dihasilkan pada periode laktasi ketiga dan keempat dengan kisaran umur 5 – 6 tahun, dan sesudah itu produksi susunya akan terus menurun dengan semakin tuanya umur sapi. Selanjutnya Tillman, dkk. (1991), menyatakan bahwa umur sapi adalah suatu faktor yang mempengaruhi produksi air susu. Pada umumnya, produksi pada laktasi pertama dan kedua adalah terendah dan akan meningkat pada periode-periode laktasi berikutnya. Namun faktor-faktor lain seperti makanan, kesehatan, frekuensi pemerahan, dapat lebih berpengaruh terhadap produksi air susu dibandingkan faktor umur sapi. Salah satu penyebab yang lain produktivitas sapi perah menurun, juga disebabkan oleh faktor kekurangan pakan atau pemberian hijauan dan konsentrat tidak sesuai dengan kebutuhannya. Standar baku konsentrat sapi perah adalah 67% TDN, 16% protein kasar, 6% lemak kasar, 12% kadar air, 11% serat kasar, 10% abu, 0,9–1,2% Ca dan P 0,6-0,8% (Tillman, 1991). Oleh karena itu, perlu diperhatikan jika kadar konsentrat tidak sesuai dengan standar baku tersebut maka
28
bisa berdampak penurunan jumlah produksi susu terutama jumlah TDN –nya kurang dari 67%. Palatabilitas ternak terhadap kulit ubi kayu cukup tinggi, karena setiap kali pemberian kulit ubi kayu habis dimakan oleh ternak. Sebelum pemberian kulit ubi kayu dibersihkan terlebih dahulu, supaya kulit ubi kayu yang dimakan oleh ternak tidak mengandung tanah, yang mana bisa menyebabkan ternak cacingan atau terserang penyakit lainnnya.
29
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa dengan judul “Pengaruh Pemberian Konsentrat Dengan Penambahan Kulit Ubi
Kayu Untuk Meningkatkan Produksi Susu Sapi Perah Di Kelompok Tani Ternak Sapi Perah Tunas Baru Padang Panjang” dapat diambil kesimpulan yaitu : 1. Produksi susu sapi yang dihasilkan dengan pencampuran konsentrat ditambahkan kulit ubi kayu dengan kadar pemberian 7,5 kg/ekor sapi lebih sedikit lebih rendah dengan rata-rata 12,04 liter dibandingkan dengan ransum tanpa pemberian kulit ubi kayu dengan rata-rata 12,34 liter. 2. Produksi susu juga dipengaruhi pada tingkat laktasi dan bulan produksi yang berbeda. 3. Penambahan kulit ubi kayu sebanyak 7,5 kg/ekor, dalam ransum ternyata tidak mempengaruhi terhadap produksi susu yang dihasilkan. 5.2. Saran Dari hasil pelaksanaan karya ilmiah laporan tugas akhir disarankan kepada peternak untuk dapat menggunakan hasil dari pertanian seperti kulit ubi kayu sebagai pencampuran dalam ransum. Hal ini dikarenakan pada kulit ubi kayu terdapat zat gizi yang dibutuhkan oleh ternak.
30
DAFTAR PUSTAKA AAK, 1990.Beternak Sapi Perah.Kanisius.Yogyakarta. Alim, A, F .dan T. Hidaka, 2002.Buku Petunujuk Teknologi Sapi Di Indonesia. Diary Technology Improvement Project In Indonesia ,Bandung. Andang, S, Indartono, 2014, teknologi pakan untuk sapi perah, Jakarta Anggorodi, R. 1979. Ubi Kayu. Kanisius.Yogyakarta. Anggorodi, R. 2001. Produksi dan mutu air susu. Edisi Kedua PT. Gramedia Jakarta. Anonim. 2000. Beternak sapi perah. Yogyakarta Budi, U. 2006. Dasar Ternak Perah. Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. Medan. Blakely, J dan Bade, 1985. Ilmu Peternakan Umum, Gajah Mada, Malang. Daisy,R. 2003. Stress Panas Pada Sapi Perah Laktasi. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ernawani, 1991. Pengaruh tatalaksana pemerahan terhadap kualitas susu. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Firman, A. 2010. Agribisnis Sapi Perah.Widya Padjadjaran,Bandung. Gillespic, R.J. 1992. Modern Livestock and Poultry Production. Delmar Publisher Inc, Canada. Hendrawati dan Lingga, P, 2000.Bertanam ubi-ubian.Penebar Swadaya, Jakarta. Hertika, S. 2008. Analisis Pendapatan Usaha Ternak Sapi Perah (Studi Kasus di Perusahaan X, Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor).Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. http://cakrawalakitaa.blogspot.com/2014/04/pemanfaatan-limbah-kulitsingkong.html, Diakses pada hari Kamis, 9 Juli 2015 pukul 14.00 Wib. http://caraberternak.com/search/kulit-singkong-sebagai-pakan-ternak/ Diakses pada hari Jumat, 22 Mei 2015 pukul 10.15 Wib. http://sellyr06.alumni.ipb.ac.id/2010/07/18/faktor-faktor-yang-mempengaruhikualitas-kuantitas-dan-susunan-susu-sapi-perah/. Diakses pada hari Selasa, 7 Juli 2015 pukul 13.00 Wib http://www.lembahgogoniti.com/artikel/29-pakan-kambing/66-tabel-kandungannutrisi-bahan-pakan-ternak.html Diakses pada hari Jumat, 22 Mei 2015 pukul 10.35 Wib. Irda,I Syukriani, D, dan P. S. Noor. 2014. Produksi sapi perah. Program Studi Peternakan Jurusan Budidaya Tanaman Pangan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh, Payakumbuh.
31
Kutz, M. 2007. Handbook of Farm, Dairy, and Food Machinery. William Adrew Publishing. Norwich, NY, U.S.A. Nurhasanah. A. 2010. Rekayasa Alat Pemerah Susu Kompatibel Dengan Unit Penyimpanan Suhu Rendah (Menurunkan Cemaran Bakteri 50 % dan Kehilangan hasil <10%).Balai Besar PengembanganMekanisasi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pertanian. Nurlaili, F, Suparwi, dan T.R. Sutardi. 2013. Fermentasi kulit singkong (manihot utilissima pohl) menggunakan aspergillus niger pengaruhnya terhadap kecernaan bahan kering (kbk) dan kecernaan bahan organik (kbo) secara in-vitro. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 856-864, September 2013. Putranto, E. H. 2006. Analisis Keuntungan Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Jawa Tengah.Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Ramaiyulis, Dewi, M. dan Y. S. Amir. 2013. Bahan Pakan Formulasi Ransum. Program Studi Peternakan. Jurusan Budidaya Tanaman Pangan. Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh, Payakumbuh. Rukmana, R. 1997. Ubi Kayu. Kanisius.Yogyakarta. Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Sattar, A. Mirza, R. H.. Niazi, A. A. K and Latif, M. 2005. Productive and reproductive performance of Holstein-Friesian cows in Pakistan. Pakistan Vet. J., 25: 75-81. Siregar, S. 1990. Sapi perah (Jenis, Teknik Pemeliharaan, dan Analisa Usaha). Penebar Swadaya, Jakarta. Siregar, S, 1995. Sapi Perah. Penebar Swadaya. Jakarta. Soeradji, Drh, 1978. Peternakan Umum. Yasaguna. Jakarta. Sudaryanto.B, 1989.Kandungan Nutrisi Limbah Ubi Kayu, Kanisius, Yogyakarta Sudono, A. dan T, Sutardi. 1969. Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Peternakan Rakyat. Dirjen Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. Sudono, M,. 2003. Tata Laksana Peternakan Sapi Perah. Graha Ilmu. Yogyakarta. Sutardi, T, 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya, Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Syarief, Z.M, 1985. Ternak Perah. CV. Yasaguna. Jakarta. Tadesse, M., J. Thiengtham, A. Pinyopummin and S. Prasanpanich. 2010. Productive and reproductive performance of Holstein Friesian dairy cows in Ethiopia. Tillman,. A.D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekoedjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Wikantadi, B. 1978. Biologi Laktasi. Bagian Ternak Perah, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 32
Lampiran 1. DOKUMENTASI
Pemberian Hijauan
Pemberian Daun Ubi Jalar
Penimbagan Hijauan
Pencincangan Hijauan
Pengadukan Konsentrat dengan Kulit Ubi kayu
Pengadukan Konsentrat Pedet 33
Lampiran 2. SEJARAH KELOMPOK TANI TERNAK TUNAS BARU Kelompok Tani Ternak Tunas Baru berdiri pada tahun 2011 yang beranggotakan 8 orang yang mana diketuai oleh Bapak Mukhlizar dan Wakil Ketua Ibu Suparmi. Kelompok Tani Ternak Tunas Baru mempunyai populasi ternak pada awalnya sebanyak 20 ekor, dengan terus berkembang Kelompok Tani Ternak Tunas Baru sekarang mempunyai Populasi sekitar 40 ekor, yang mana terbagi-bagi diberbagai kandang disekitar Padang Panjang. Pemasaran pertama yang dilakukan oleh kelompok ternak tunas baru adalah dengan penjualan atau pemasaran yang diantarkan langsung kerumahrumah sekitar Padang Panjang, yang mana harga awal susu pada waktu itu Rp. 6.000/liter. Semakin berkembangnya waktu Kelompok Ternak Tunas Baru melakukan pemasaran di sosial media atau internet. Pemasaran yang dilakukan sekarang adalah konsumen yang datang langsung ke kandang dengan harga yang cukup besar yaitu Rp. 10.000/liter.
34
Lampiran 3. STRUKTUR ORGANISASI KELOMPOK TANI TERNAK TUNAS BARU
Ketua Mukhlizar
Wakil Ketua Suparmi
ANGGOTA KELOMPOK
35
Lampiran 4. Produksi air susu sapi (0092) Produksi (ml)
TGL
Produksi (ml)
TGL
Jumlah
Pagi
Sore
Produksi (ml)
TGL
Pagi
Sore
Jumlah
Pagi
Sore
Jumlah
1
10.100
6.350
16.450
11
10.700
4.000
14.700
21
10.250
4.400
14.650
2
10.200
7.700
17.900
12
10.400
7.000
17.400
22
11.000
5.500
16.500
3
11.200
4.800
16.000
13
10.000
5.750
15.750
23
9.950
6.150
16.100
4
9.400
3.600
13.000
14
9.800
6.950
16.750
24
10.000
6.550
16.550
5
9.450
5.000
14.450
15
10.300
4.100
14.400
25
10.550
6.650
17.200
6
10.600
4.550
15.150
16
10.800
4.200
15.000
26
10.700
5.550
16.250
7
11.200
4.700
15.900
17
10.000
3.200
13.200
27
10.450
5.350
15.800
8
10.200
5.600
15.800
18
8.900
6.550
15.450
28
10.650
5.250
15.900
9
12.200
4.950
17.150
19
10.000
7.000
17.000
29
10.550
6.500
17.050
10
10.500
4.950
15.450 20 9.900 Rata-Rata Produksi (ml)
6.000
15.900
30
11.500
5.600 17.100 15.863,33
Sumber : Kelompok Tani Ternak Tunas Baru Produksi air susu sapi (0093) Produksi (ml)
Tgl
Produksi (ml)
Tgl
Pagi
Sore
Jumlah
1
4.650
1.200
5.850
2
4.800
2.350
7.150
3
4.900
2.700
4
3.400
5
5.000
6
Produksi (ml)
Tgl
Pagi
Sore
Jumlah
Pagi
Sore
11
5.800
2.400
8.200
12
7.300
3.300
10.600
7.600
13
6.350
2.950
4.100
7.500
14
6.750
3.500
8.500
15
7.000
5.750
2.750
8.500
16
7
6.200
2.450
8.650
8
6.750
3.150
9.900
9
6.500
3.350
9.850
10
6.050
3.650
Jumlah
21
6.650
3.550
10.200
22
6.550
3.600
10.150
9.300
23
6.700
3.250
9.950
3.300
10.050
24
5.500
2.650
8.150
3.300
10.300
25
5.650
2.850
8.500
6.200
3.250
9.450
26
5.700
3.300
9.000
17
6.300
2.600
8.900
27
6.000
3.450
9.450
18
5.900
4.350
10.250
28
6.100
3.600
9.700
19
6.500
4.100
10.600
29
6.150
3.550
9.700
9.700 20 6.050 3.600 Rata-Rata Produksi (ml)
9.650
30
7.700
3.700 11.400 9.223,33
Sumber : Kelompok Tani Ternak Tunas Baru Produksi air susu sapi (0098) Produksi (ml)
Tgl Pagi
Sore
1
5.900
3.900
9.800
2
6.800
3.900
10.700
3
6.400
4.500
4
7.150
3.850
5
7.400
6
7.150
7
Produksi (ml)
Tgl
Jumlah
Pagi
Sore
Jumlah
11
6.600
3.400
10.000
12
6.450
5.000
11.450
10.900
13
7.100
4.650
11.000
14
7.350
5.300
4.150
11.550
15
7.350
4.550
11.700
16
7.700
8.100
3.600
11.700
17
8
6.850
4.300
11.150
9
8.400
3.500
11.900
10
7.350
3.400
10.750
Produksi (ml)
Tgl Pagi
Sore
Jumlah
21
6.800
3.550
10.350
22
6.700
3.650
10.350
11.750
23
6.850
3.800
10.650
12.650
24
7.300
4.650
11.950
4.100
11.450
25
7.200
3.750
10.950
3.250
10.950
26
7.250
3.800
11.050
7.100
4.250
11.350
27
7.300
3.650
10.950
18
6.050
2.100
8.150
28
6.950
3.550
10.500
19
6.650
4.850
11.500
29
6.850
3.800
10.650
20 7.500 3.850 Rata-Rata Produksi (ml)
11.350
30
7.000
4.700 11.700 11.028,33
Sumber : Kelompok Tani Ternak Tunas Baru 36
Produksi air susu sapi (0100) Produksi (ml)
Tgl
Produksi (ml)
Tgl
Produksi (ml)
Tgl
Pagi
Sore
Jumlah
Pagi
Sore
Jumlah
Pagi
Sore
Jumlah
1
6.800
3.450
10.250
11
6.700
2.800
9.500
21
6.800
3.500
10.300
2
4.900
3.900
8.800
12
7.050
3.800
10.850
22
5.800
2.900
8.700
3
6.200
5.300
11.500
13
5.000
4.550
9.550
23
6.250
4.000
10.250
4
6.600
4.100
10.700
14
5.900
2.650
8.550
24
6.300
3.150
9.450
5
6.100
3.750
9.850
15
6.200
3.200
9.400
25
6.300
2.650
8.950
6
6.900
4.100
11.000
16
7.250
4.200
11.450
26
7.000
2.850
9.850
7
5.000
3.600
8.600
17
6.550
2.850
9.400
27
6.850
4.000
10.850
8
7.000
4.300
11.300
18
6.150
4.500
10.650
28
6.600
4.250
10.850
9
6.200
5.000
11.200
19
6.650
4.100
10.750
29
6.550
4.500
11.050
10
6.650
2.000
8.650
20 7.300 3.600 Rata-Rata Produksi (ml)
10.900
30
6.300
3.250 9.550 10.088,33
Sumber : Kelompok Tani Ternak Tunas Baru Produksi air susu sapi (0094) Produksi (ml)
Tgl Pagi
Sore
Jumlah
1
10.750
6.550
17.300
2
12.400
6.850
19.250
3
10.800
6.850
4
10.750
5
9.600
6
Produksi (ml)
Tgl
Produksi (ml)
Tgl
Pagi
Sore
Jumlah
Pagi
Sore
Jumlah
11
11.600
6.100
17.700
12
11.500
7.200
18.700
21
12.150
6.350
18..500
22
12.250
7.200
17.650
13
10.500
6.600
19.450
17.100
23
11.500
6.150
17.650
6.400
17.150
14
10.650
6.400
16.000
15
11.450
6.450
17.100
24
10.650
6.500
17.150
5.650
17.100
25
11.450
5.650
11.100
7.000
18.100
16
17.100
12.550
6.000
18.550
26
12.000
6.000
18.000
7
11.500
5.800
17.300
8
10.350
6.750
17.100
17
11.400
5.600
17.000
27
12.700
5.000
17.700
18
11.400
5.250
16.650
28
11.950
5.150
9
11.300
6.800
18.100
17.100
19
11.200
7.200
18.400
29
11.850
5.750
17.600
10
11.800
6.500
18.300
20 12.800 6.350 Rata-Rata Produksi (ml)
19.150
30
11.850
6.400
18.250 17.740
Sumber : Kelompok Tani Ternak Tunas Baru Produksi air susu sapi (0091) Produksi (ml)
Tgl Pagi
Sore
Jumlah
1
5.850
3.150
9.000
2
6.250
3.600
3
6.000
3.900
4
5.950
5 6
Produksi (ml)
Tgl Pagi
Sore
Jumlah
11
6.000
2.900
8.900
9.850
12
5.950
3.900
9.900
13
5.250
3.300
2.700
8.650
14
5.750
5.650
2.900
8.550
15
5.000
3.700
8.700
16
7
3.300
2.400
5.700
8
4.650
2.800
9
5.950
10
6.250
Produksi (ml)
Tgl Pagi
Sore
Jumlah
21
6.100
2.700
8.800
9.850
22
5.950
2.650
8.600
8.550
23
6.850
2.550
9.400
3.550
9.300
24
7.000
2.850
9.850
6.000
2.900
8.900
25
6.950
2.750
9.700
6.800
2.800
9.600
26
6.750
2.600
9.350
17
5.700
2.700
8.400
27
6.900
2.800
9.700
7.450
18
5.950
4.000
9.950
28
7.100
2.750
9.850
3.300
9.250
19
6.000
4.000
10.000
29
6.950
2.550
9.500
3.400
9.650
20
6.950
3.350
10.300
30
6.750
3.350
10.100
Rata-Rata Produks (ml)
9.176,67
Sumber : Kelompok Tani Ternak Tunas Baru 37
38