ICASERD WORKING PAPER NO.29 REPRESENTASI PEMUDA

Download Salah satu faktor penarik (pull factor) kuatnya mobilitas tenaga kerja pedesaan ke perkotaan adalah adanya ... pekerjaan, merupakan represe...

0 downloads 404 Views 86KB Size
ICASERD WORKING PAPER No.29

REPRESENTASI PEMUDA PEDESAAN MENGENAI PEKERJAAN PERTANIAN: Kasus Pada Komunitas Perkebunan Teh Rakyat di Jawa Barat Herlina Tarigan Februari 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

ICASERD WORKING PAPER No.29

REPRESENTASI PEMUDA PEDESAAN MENGENAI PEKERJAAN PERTANIAN: Kasus Pada Komunitas Perkebunan Teh Rakyat di Jawa Barat Herlina Tarigan Februari 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]

No. Dok.036.29.03..04

REPRESENTASI PEMUDA PEDESAAN MENGENAI PEKERJAAN PERTANIAN: Kasus Pada Komunitas Perkebunan Teh Rakyat di Jawa Barat Herlina Tarigan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRAK

Semakin sulitnya memperoleh tenaga kerja pertanian di pedesaan disinyalir sebagai akibat dari rendahnya pendapatan bekerja di sektor ini. Sebagian besar angkatan kerja yang kehilangan pekerjaan sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi menolak untuk bekerja di sektor pertanian, sekalipun sektor ini relatif terbuka dan tidak menuntut kualifikasi pekerja yang tinggi. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis representasi pemuda pedesaan, khususnya pada komunitas perkebunan, terhadap pekerjaan pertanian. Dengan menggunakan penelitian kualitatif melalui analisis kasuskasus, ditemukan bahwa pergeseran pilihan pekerjaan pemuda pedesaan terhadap pekerjaan nonpertanian lebih disebabkan faktor pertimbangan sosial. Berkembang penilaian bahwa pekerjaan pertanian merupakan pekerjaan yang masih bernilai ekonomis tetapi kurang memberi status sosial yang terhormat. Sifat pekerjaan yang lebih mengandalkan kekuatan fisik namun langka terhadap teknologi dan unsur-unsur modern-perkotaan dinilai sebagai pekerjaan yang kurang menarik bagi pemuda. Kata kunci : representasi, pemuda pedesaan, pekerjaan pertanian

PENDAHULUAN Latar Belakang Selama dua dekade terakhir ditemukan adanya kesulitan untuk memperoleh tenaga kerja pertanian di pedesaan. Awalnya, kesulitan terjadi hanya pada musim kemarau ketika produksi pertanian diperkirakan rendah akibat keterbatasan air sehingga banyak petani yang tidak berproduksi. Pada masa-masa seperti itu, pekerja pertanian memilih mencari kesempatan kerja ke wilayah perkotaan (Rahman, 1993). Namun pada tahun-tahun terakhir, kesulitan terhadap tenaga kerja pertanian terjadi hampir sepanjang musim akibat banyak tenaga kerja yang melakukan migrasi ke kota. Salah satu faktor penarik (pull factor) kuatnya mobilitas tenaga kerja pedesaan ke perkotaan adalah adanya penekanan pembangunan ekonomi pada industri pengolahan (Wahyuni, 2000).

Pembangunan ini telah membuka banyak peluang kerja baru.

Sementara itu, rendahnya perolehan pendapatan dari pekerjaan pertanian menjadi faktor pendorong (push factor) mobilitas yang cukup besar pengaruhnya. Hal ini bisa dilihat

1

dari data statistik yang menunjukkan bahwa

sekalipun sejak tahun 1976 hingga

sekarang, tingkat upah nominal pekerjaan pertanian terus mengalami kenaikan, namun secara riel, tingkat upah cenderung statis.

Jika dibandingkan dengan industri, laju

kenaikan upah pertanian hanya sekitar separuh tingkat upah sektor industri (Kasryno, 2000). Perubahan sosial ekonomi yang cukup mendasar di atas, ditambah perbaikan sarana transportasi hingga ke pedesaan merupakan penyebab komplementer yang secara tidak langsung telah menciptakan kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian. Pada jangka panjang, ini merupakan masalah mendasar bagi pembangunan pertanian mengingat hingga saat ini pertanian masih diharapkan menjadi sektor yang handal sekaligus penyerap tenaga kerja terbesar. Perlu dipahami, pekerjaan merupakan salah satu alat untuk mencukupi kebutuhan manusia, baik secara materi atau nonmateri. Sebagai alat, pada pekerjaan selalu lekat simbol-simbol status yang mendasari pandangan seseorang terhadap pekerjaan tersebut.

Di tingkat sistem sosial,

kumulatif pandangan terhadap suatu

pekerjaan, merupakan representasi komunitas yang sangat mempengaruhi tindakan dalam memilih

pekerjaan.

Dengan demikian, patut diduga jika penolakan terhadap

pekerjaan pertanian tidak semata disebabkan oleh faktor ekonomi. Terbukti, ketika krisis moneter melanda Indonesia tahun 1997, banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan di kota dan kembali ke desa, tidak bersedia bekerja di sektor pertanian, sekalipun sektor ini relatif terbuka terhadap beragam kualifikasi pekerja. Banyak di antaranya memilih lebih lama menganggur sampai mendapat pekerjaan yang dipandang sesuai di luar sektor pertanian (Rozany et al., 2000). Ini mengindikasikan adanya faktor nonekonomi yang menjadi pertimbangan terhadap penolakan untuk bekerja di pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari representasi pemuda pedesaan pada komunitas perkebunan, mengenai pekerjaan pertanian melalui beberapa kasus kajian dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Representasi akan dianalisis dari empat

kasus yang menggambarkan bagaimana proses pembentukan serta pemaknaan nilai kerja sebagai pedoman pemuda untuk memilih pekerjaan. Representasi ini merupakan pengetahuan yang sangat membantu mengarahkan pembangunan secara keseluruhan, khususnya sektor pertanian dan pembangunan di bidang ketenagakerjaan.

2

KERANGKA PEMIKIRAN Representasi pemuda pedesaan mengenai nilai suatu pekerjaan merupakan hasil seleksi dari pengalaman hidup yang prosesnya berlangsung sepanjang hidup (longlife process). Dalam konteks individu, representasi lebih umum disebut sebagai pandangan. Proses munculnya representasi terhadap suatu pekerjaan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Representasi yang positif terhadap pekerjaan pertanian, akan diikuti oleh keputusan tindakan memilih usaha atau pekerjaan tersebut sebagai alat untuk meraih tujuan hidup. Pemuda akan memutuskan untuk bekerja di pertanian, di dalam atau di luar komunitasnya. Sebaliknya, jika representasi terhadap usaha dan pekerjaan pertanian negatif, maka pemuda memutuskan untuk bekerja keluar sektor pertanian, di dalam atau di luar komunitasnya. Perubahan sosial yang terjadi akibat tekanan kebutuhan masyarakat dalam upaya mencapai tujuan dan harapan, merupakan refleksi dari keinginan meraih kepuasan dan mengurangi kekecewaan.

Kelangkaan sumberdaya

pertanian dan

kelangkaan pekerjaan menjadi faktor pendorong untuk bertindak dalam rangka memperluas medan sosial.

Namun demikian keterbatasan kualifikasi pendidikan,

ketrampilan dan akses terhadap sektor pertanian menjadi kondisi yang membatasi individu dalam meraih tujuan-tujuan. Pemuda, sebagai kelompok usia produktif merupakan bagian masyarakat yang paling dinamis dalam mengejar tujuan-tujuan sebagai alternatif pemecahan persoalan ekonomi keluarga. Kesadaran dan pengenalan tujuan yang ingin diraih membangun representasi dan orientasi kerja yang termotivasi. Hal ini sekaligus memacu penggunaan cara dan alat yang paling sesuai dengan situasi yang ada (Parsons, 1937). Pengambilan keputusan mengenai pekerjaan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh keluarga, ekosistem maupun masyarakat. Strategi bertahan hidup dalam lingkungan yang berbeda nilai dan normanya akan menyebabkan representasi dan orientasi kerja serta tindakan yang berbeda pula. Secara ringkas kerangka berfikir ini dapat dilihat pada gambar 1.

3

Ekosistem Keluarga Petani

Pemuda (Kelangkaan sb. daya dan pekerjaan)

Masyarakat

Representasi dan Orientasi Kerja

Keputusan Pilihan Pekerjaan (tindakan)

Keluar Pertanian (dalam/luar desa)

Tetap/masuk pertanian (dalam/luar desa)

TUJUAN

Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Pemilihan Lokasi dan Responden Contoh Penelitian ini dilaksanakan pada pertengahan hingga akhir tahun 2001 dengan mengambil lokasi di Desa Sukajembar, Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Lokasi dipilih secara purposif dengan pertimbangan : 1) Merupakan komunitas dengan basis perekonomian perkebunan teh rakyat yang relatif tidak banyak mendapat dampak dari krisis moneter ; 2) Secara geografi maupun prasarana angkutan, akses terhadap kota cukup sulit, namun dinamika penduduknya cukup kelihatan. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus yang menerapkan multi-metoda pengumpulan data berupa pengamatan langsung, wawancara mendalam (indepth interview) personal maupun kelompok (focus group interview). Sebagai penelitian kualitatif, kajian memberi penekanan pada proses dan pemaknaan nilai kerja serta penyebab perubahannya yang tidak akan diuji secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas ataupun frekuensi (Denzin dan Lincoln, 1994 : 4).

4

Data penelitian meliputi data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif merupakan data gambaran umum lokasi dan komunitas yang diperoleh dari sensus terhadap semua rumah tangga (277 KK) salah satu dari tiga dusun yang dipandang memadai untuk mewakili kondisi desa secara keseluruhan. Hasil sensus digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan empat responden inti yang diperoleh melalui strategi bola salju (snow ball). Responden inti adalah pemuda tahapan remaja dan dewasa dengan selang usia 17 hingga 40 tahun (Ritzer, 1979 dalam Soe’oed, 1999). Pendidikan pemuda minimal SLTP dengan pertimbangan mempunyai peluang memasuki pekerjaan non pertanian. Kasus responden inti akan dikaji untuk melihat pandangan pemuda terhadap pekerjaan pertanian,

ditambah 22 responden pendukung yang dipakai untuk menguatkan

representasi pemuda di tingkat komunitas. Empat responden didasarkan pada keterwakilan terhadap beragam karakteristik pemuda pada komunitas yang dianalisis (tabel 1). Penggalian data utama dilakukan dengan teknik wawancara mendalam, dengan pertimbangan pentingnya melakukan temu muka berulang dengan responden sebagai proses pemahaman dan konfirmasi terhadap pandangan subjek penelitian mengenai hidupnya, pengalamannya atau situasi sosialnya (Taylor dan Bogdan, 1984)

Metode Analisis

Data kuantitatif dari sensus diolah secara sederhana untuk ditabulasikan dan ditafsirkan maknanya terhadap substansi utama. Sedangkan data kualitatif sebagai data utama dianalisis melalui tiga jalur yang berlangsung secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992).

Reduksi data meliputi proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang diperoleh dari catatan-catatan tertulis maupun foto pengamatan di lapangan yang diproses selama penelitian berlangsung (Moleong, 1999 : 189-214). Data disajikan secara deskriptif pada tiap segmen dimana penarikan kesimpulan dilakukan secara terus menerus hingga ke tingkat yang lebih rinci dan kokoh.

5

Tabel. 1. Karakteristik Keluarga Asal dan Pekerjaan Pemuda Kasus

1

Responden Kasus *) AS

2

IK

3

IR

No

Kriteria Orangtua

Kriteria Pemuda

Janda sesepuh desa (alm suami pernah menjabat kadus selama 30 thn), pekerjaan sebagai petani berlahan luas yang sudah diwariskan kepada anakanaknya. Kini lahan garapan seluas 0,2 ha sawah dan 0,4 ha kebun. Seorang haji yang bekerja sebagai guru (PNS), sebagai pedagang pucuk teh, pengusaha arang dan bertani dengan luas lahan 2 ha kebun. Isterinya berdagang kelontong. Janda PNS (alm. suami guru asal dari desa tetangga) bekerja sebagai petani. Memiliki lahan 0,28 ha sawah dan 2 ha kebun.

Seorang guru dengan status PNS, merangkap sebagai petani dengan luas garapan 0,2 ha sawah dan 0,8 ha kebun. Aktif sebagai pembina pemuda dalam bidang olah raga. Isterinya ikut membantu bertani. Seorang guru SD (PNS), kini berdagang dan menjadi jasa penjualan komoditas pertanian secara tidak tetap. Pernah sekolah SPMA selama 2 tahun dan pernah berusahatani di lahan orangtua. Seorang petani yang menggarap lahan orangtua dan mertuanya. Aktif sebagai ketua remaja masjid dan proyek pembangunan desa.

Operator mesin di pabrik Keduanya buruhtani tak gesper (Jakarta) berlahan sejak pertama menikah. Mengusahakan tanah Perhutani di hutan dan menggaduh ternak tetangga. Keterangan : *) Untuk menjaga kerahasiaan responden, nama diinisialkan. 4

DJ

Keterangan Pemuda pernah bermigrasi ke Sukanagara dan Cianjur karena sekolah.

Pemuda pernah bermigrasi ke Sukabumi dan Jakarta untuk sekolah sambil bekerja sebagai supir.

Pemuda pernah bermigrasi ke beberapa kota (Sukabumi, Bogor dan Jakarta) dalam rangka sekolah dan bekerja. Pernah bekerja sebagai kenek, sopir dan bekerja di bengkel. Pemuda pernah pernah membantu pamannya berdagang di Jakarta dan pernah bekerja padaTaylor di Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Komunitas Pengamatan Kondisi umum ekosistem dan seluruh sarana prasarana pendukung, berperan besar dalam menentukan tipikal dan orientasi kerja suatu komunitas. Oleh karena itu menjadi pokok penting untuk melihat gambaran umum wilayah dan perkembangan komunitas yang diteliti. Desa Sukajembar terletak 27 km dari ibukota kecamatan dengan posisi terpisah dari desa tetangganya oleh kebun teh dan hutan. Kondisi jalan beraspal dengan beberapa tempat mengalami kerusakan berat. Kendaraan umum hanya empat buah mobil L-300 milik warga desa yang setiap hari masing-masing keluar dan masuk desa sekali. Dua kendaraan ke Sukanagara dan dua lainnya ke Sukabumi. Di luar jadwal

6

keberangkatan keempat mobil itu, masyarakat menggunakan ojek dengan ongkos 3-5 kali lebih mahal dari ongkos mobil. Sukajembar terdiri dari tiga buah dusun. Dilihat dari kepadatan pemukiman, terutama warung, sekolah, mesjid dan kantor kepala desa sebagai bangunan publik, maka dusun Jembarmanah dianggap sebagai pusat aktivitas desa. Secara geografis posisinya diapit oleh dua dusun lainnya. Sejak jaman kolonial, masyarakat setempat sudah mulai mengenal tanaman teh melalui beberapa warga desa yang bekerja pada perkebunan Belanda di desa tetangga. Secara perlahan seluruh masyarakat mengenal dan mengusahakan teh, hingga kini lebih kurang 85 persen areal pertanian merupakan perkebunan teh rakyat. Pemukiman penduduk umumnya berbentuk rumah panggung dengan alasan: 1) menghindari banjir karena posisi desa dikelilingi oleh beberapa anak sungai, 2) mengurangi rasa dingin, 3) ketersediaan bahan baku kayu dari hutan sekitar desa dan 4) kesulitan bahan bangunan seperti semen dan batu, karena jarak yang jauh ke kota. Beberapa rumah permanen dengan model rumah perkotaan dimiliki oleh keluarga yang mempunyai anggota sebagai TKI ke Arab Saudi. Dusun Jembarmanah mempunyai penduduk sebanyak 1083 jiwa yang terdapat dalam 277 kepala keluarga.

Di antaranya 402 jiwa atau 37,1 persen merupakan

kelompok pemuda (usia 17-40 tahun). Jarang sekali terjadi kegiatan sewa-menyewa dan jual-beli lahan, sekalipun penguasaan sumberdaya ini sangat senjang (Tabel 1). Masing-masing petani berusahatani di atas lahannya sendiri. Mereka yang tidak mempunyai lahan cenderung bekerja sebagai buruh tani atau bekerja di luar sektor pertanian. Pada kasus-kasus ‘terpaksa’ harus menjual karena kebutuhan yang sangat mendesak atau pertikaian dalam keluarga, diutamakan penjualan pada keluarga atau kerabat dekat.

Harga lahan yang

sudah ditanami teh sekitar Rp 3000-Rp 5000 per meter. Namun secara sosial, lahan merupakan simbol kekayaan yang umum diwariskan kepada keturunan. Tingkat pendidikan penduduk rata-rata hanya sampai sekolah dasar.

Hanya

sebagian kecil saja yang bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat di atas SD, karena harus bersekolah ke kota kecamatan yang berarti membutuhkan biaya tinggi untuk uang sekolah, biaya menginap maupun kebutuhan hidup. Pemuda yang sekolah umumnya berasal dari keluarga aparat desa atau orangtua yang berpendidikan.

7

Peningkatan

jumlah penduduk yang berpendidikan di atas SD secara signifikan terjadi setelah berdirinya SMP kelas jauh pada tahun 1994. Tabel 1. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Menurut Luas Pemilikan Lahan Di Dusun Jembarmanah, Desa Sukajembar, 2001 Luas pemilikan lahan

Jumlah rumah tangga

Rumah tangga tak berlahan Pemilik lahan sempit (kurang dari 0,5 ha) Pemilik lahan luas (lebih dari 0,5 ha) Jumlah

Persentase

108 106

39,0 38, 3

63

22,7

277

100,0

Sumber : Data Sensus Keterangan : Ukuran luas dan sempit di atas disesuaikan dengan jenis lahan yang dominan adalah lahan kebun.

Dilihat dari segi mata pencaharian, 32,2 persen penduduk sebagai buruhtani, 30,4 persen sebagai petani, 6,8 persen wiraswasta, 4,6 persen tukang, 0,8 persen PNS, 0,3 persen pensiunan, 1,1 persen TKI dan 23,7 persen tenaga kerja yang menganggur. Pekerjaan pertanian yang banyak ditekuni adalah usaha perkebunan teh. Hanya sebagian kecil berusahatani padi dan hortikultura.

Ada beberapa yang berdagang

kebutuhan sehari-hari, tengkulak hasil pertanian terutama pucuk teh, industri pengolahan teh, pembuatan gula aren serta sebagai jasa angkutan. Tengkulak hasil pertanian seperti pucuk teh dan hortikultura sifatnya berantai. Para tengkulak membeli barang dagangan dari petani dan menjualnya kepada tengkulak tingkat kecamatan atau kabupaten yang masuk ke desa.

Ada dua orang tengkulak bermodal besar yang membawa sendiri

barang dagangannya ke luar desa. Menurut perkiraan aparat desa, lebih kurang 5-6 ton produksi teh Sukajembar yang dibawa keluar desa setiap harinya. Pucuk ini dibeli dan dibawa oleh tengkulak ke pabrik pengolahan yang ada di desa lain atau pabrik teh milik perkebunan swasta yang terdekat dengan desa. Mata pencaharian yang mengarah pada pekerjaan sektor industri di antaranya pembuatan gula aren. Proses produksinya masih tradisional dan terbatas menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Produksinya banyak dijual ke Sukanagara atau ke Sukabumi. Selain itu ada warga yang bekerja sebagai buruh pada pabrik teh yang terdapat di dusun Jembarmanah. Para pekerja pabrik ini digolongkan sebagai pekerja tetap meskipun sistem pengupahannya mingguan. Salah satu aktivitas ekonomi yang agak

8

banyak menampung tenaga kerja adalah industri pembuatan arang, usaha

milik

perorangan warga setempat. Proses pembuatan arang dilakukan di hutan alam sekitar desa. Pekerjanya adalah buruh harian lepas dan hanya bekerja pada saat pengusaha memproduksi arang. Pekerjaan sektor jasa meliputi pamong, supir atau kenek angkutan dan supir ojeg. Proses produksi perkebunan teh rakyat belum dilakukan secara optimal. Teknologi saprodi dan teknik pengelolaan usaha masih sederhana. Karena sifat tanaman teh yang penanganannya hanya menyibukkan pada awal tanam maka petani punya banyak waktu luang untuk berinteraksi dan membina hubungan sosial dengan masyarakatnya.

Kedekatan hubungan dalam bentuk interaksi yang intensif membuat

kontrol sosial terhadap seluruh perilaku anggota masyarakat sangat ketat. Kegiatan berburuh dilakukan di seputar usahatani yang dimaksud di atas dan terbatas di dalam desa. Sebagian masyarakat ada yang berburuh ke perkebunan teh swasta yang ada di sekitar desa (Perkebunan Ciwangi). Jarak yang relatif jauh membuat tidak ada yang berburuhtani sampai keluar desa. Pada prinsipnya tidak ada perbedaan tingkat upah petani atau di lahan perkebunan swasta.

antara berburuh di lahan

Perbedaan tingkat upah terjadi antar jenis

kelamin. Seperti kasus yang berlaku pada sebagian besar daerah di Indonesia, khususnya di lokasi perkebunan rakyat, ada pembedaan pekerjaan dan penilaian atas kerja antara wanita dan pria (Sukesi dalam Ihromi 1995 : 357).

Stereotipe bahwa

pekerjaan wanita lebih ringan, bersifat rutin dan tidak berpengaruh besar pada produksi, secara turun temurun telah dilakukan sebagai kebiasaan. Akibatnya, tingkat upah yang diperoleh wanita dalam jam kerja yang sama dengan pria, bahkan untuk jenis pekerjaan yang sama cenderung lebih rendah. Pekerja laki-laki mendapat upah sebesar Rp 7.000 per bedug, sedangkan pekerja wanita mendapat Rp 6.000 per bedug (jam 7-12 siang). Kegiatan memanen pucuk teh biasanya dikerjakan oleh tenaga kerja wanita, karena dipandang hasil kerjanya lebih bersih, lebih rapi dan telaten. Sistem pengupahan dengan cara penimbangan hasil petikan yakni seharga Rp 250 per kilogram. Seorang pemetik teh yang trampil bisa memperoleh upah kerja sekitar Rp 18.000-20.000 per hari. Hal ini dimungkinkan karena seorang pemanen bisa bekerja di beberapa tempat dalam sehari.

9

Jarak dan jumlah kendaraan yang terbatas ke kota maupun ke desa lain menyebabkan migrasi komutasi (gerak penduduk harian) sangat rendah. Namun kasus migrasi sirkulasi cukup tinggi. Tujuan migrasi yang paling dominan adalah Sukabumi, Cianjur, Bandung, Jakarta, Jambi, dan Ponorogo. Proses migrasi secara berantai (chait migration) membuat migran terkonsentrasi pada kota-kota tersebut di atas. Pekerjaan yang umumnya digeluti adalah buruh pabrik, sopir atau kenek, pembantu rumah tangga, kerja di bengkel dan pedagang keliling. Para migran pulang ke desa per periode bulan tertentu. Pada hari lebaran sebagian besar di antara mereka pulang dan merayakan hari lebaran di desa. Kepulangan para migran dengan penampilan yang berbeda menjadi perangsang warga desa untuk menjadi calon migran baru.

PANDANGAN PEMUDA MENGENAI PEKERJAAN PERTANIAN Proses penanaman nilai-nilai kerja dalam keluarga dan masyarakat merupakan latar yang penting untuk menjelaskan mengapa suatu pandangan muncul dan disikapi sebagai pedoman untuk memutuskan sebuah pekerjaan. Pandangan pemuda pedesaan mengenai pekerjaan pertanian diangkat dari setting sosial dan pengalaman empat responden inti yang kemudian diperkaya pengalaman maupun pandangan responden pendukung hingga kebulatan informasi diyakini sebagai bentuk representasi pemuda pedesaan secara keseluruhan. Kasus I : Pertanian Sebagai Pekerjaan Sampingan Yang Aman dan Nyaman Pekerjaan

tetap

dengan

pendapatan

tetap

dipandang

sebagai

bentuk

keterjaminan penghasilan pada masyarakat desa. Proses sosialisasi orangtua kepada anak, nasihat untuk rajin belajar agar bisa menjadi orang terhormat dengan tidak bekerja sebagai petani, merupakan pesan yang menunjukkan bahwa orangtua pedesaan memandang pekerjaan nonpertanian khususnya pegawai sebagai pekerjaan yang baik dan bergengsi secara status sosial. Persepsi seperti ini merupakan persepsi umum yang mempengaruhi pandangan pemuda mengenai pekerjaan. Kasus AS yang menekuni kegiatan mengajar sejak tahun 1988 merupakan pekerjaan utama yang lekat sebagai status sosial di masyarakat. Hal itu pula yang mendudukkan dirinya tergolong pada kelompok masyarakat yang dihormati. Status itu memberi peluang lebih besar untuk berpartisipasi pada berbagai kegiatan desa seperti membina pemuda, panitia pembangunan mesjid atau panitia-panitia perayaan hari besar

10

lain yang diselenggarakan di desa.

Begitu juga posisi duduk maupun kesempatan

berbicara pada pesta atau upacara seremonial di komunitasnya. Pekerjaan sampingan adalah berusahatani di atas sawah seluas 0,2 ha yang dibeli dari hasil menyisihkan sebagian gajinya. Kemudian usaha berkebun teh di atas lahan warisan seluas 0,8 ha. Produksi padi dari sawah menjadi sumber pangan pokok keluarga, sedangkan hasil produksi teh merupakan sumber pendapatan yang digunakan untuk keperluan biaya pendidikan anak serta memperbaiki/membangun rumah Sosialisasi pekerjaan domestik seperti mengambil air dan menyapu, maupun pekerjaan produktif seperti mengangon ternak, mengangkut pucuk teh dan mencari kayu di hutan terjadi di dalam keluarga sejak pemuda masih kecil. Kebiasaan kerja ini menanamkan nilai-nilai dasar perjuangan dalam kehidupan dewasanya. Setelah pulang sekolah, setiap anak dalam keluarga diwajibkan bekerja secara bergilir. Tidak ada pembagian tugas yang tegas antar seks dalam keluarga. Prinsip kerja keras, hidup hemat dan tidak memilih-milih pekerjaan merupakan produk sosialisasi keluarga yang ditanamkan dalam bentuk nasihat, arahan, dan perilaku nyata orangtua yang

berstatus sebagai kepala dusun dengan pekerjaan sebagai

buruhtani dan penebang kayu. Didikan keras orangtua mengenai belajar dan mengaji, merupakan proses transfer nilai tentang kewajiban bekerja sebagai bagian dari perintah agama. Kewajiban bekerja tetap dibebankan saat sekolah SLTP di Sukanegara maupun SPG di Cianjur. Kewajiban ini dibebankan sebagai pendidikan sekaligus bertujuan mengatasi keterbatasan biaya hidup. Sekalipun sekolah keguruan merupakan arahan orangtua dan bukan merupakan pilihan pemuda, pada akhirnya disyukuri sebagai satu hikmat warisan kedua orangtua. Pertimbangan orangtua tentang kemudahan memperoleh pekerjaan tanpa harus keluar desa merupakan salah satu faktor pendorong yang terkuat di antara banyak faktor yang berpengaruh.

Hubungan sosial orangtua dengan beberapa guru di dalam desa,

dianggap bisa menolong pemuda untuk memperoleh pekerjaan. Komunitas setempat menilai guru sebagai simbol status terhormat karena memiliki kepastian pendapatan hingga hari tua dan dianggap mempunyai nilai ibadah karena membuat orang lain menjadi pintar. Pada upacara/seremonial tingkat komunitas seorang guru punya posisi duduk dan kesempatan bicara yang khusus. Pandangan dan realitas sosial tersebut memberi kontribusi sangat besar dalam menumbuhkan jiwa pendidik selama belajar maupun sesudah bekerja.

11

Pekerjaa`n pertanian sebagai dunia kerja yang paling umum digeluti dalam keluarga inti, secara evolusi meningkatkan ketrampilan bertani.

Namun demikian,

motivasi belajar dengan unsur ‘pemaksaan’ dari orangtua ditangkap sebagai bentuk upaya bersama untuk membebaskan pemuda dari ketergantungan hidup di pertanian. Pekerjaan pertanian diharapkan menjadi alternatif paling terakhir tatkala pekerjaan lain tidak berpeluang untuk dimasuki. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan keluarga akibat bertambahnya anggota keluarga (anak) dan kebutuhan untuk berkembang, diupayakan pola kerja yang mampu mengelola waktu kerja untuk memperoleh peluang mendapatkan pendapatan tambahan. Berdasarkan ketersediaan sumberdaya lahan, pengetahuan dan modal yang ditabung dari pekerjaan tetap serta dukungan agroekosistem setempat, berusahatani dianggap pilihan pekerjaan yang paling tepat. Pilihan ini berdasarkan pertimbangan :1) usaha bisa dikelola pada waktu senggang ; 2) produktif untuk memberi pendapatan tambahan ; 3) kekayaan yang bisa dijual bila ada keperluan mendesak ; 4) bisa diwariskan kepada anak dan 5) mengandung nilai terhadap status sosial. Bagi pemuda pedesaan yang sudah mempunyai pekerjaan tetap, berusahatani berfungsi memperoleh produksi dan menjadi momentum untuk menumpahkan kejenuhan dan kekesalan pada waktu bekerja (mengajar). Suasana perkebunan yang hijau dan segar memberi kelegaan dan kenyamanan. Tanaman teh yang sudah berproduksi menjadi sumber pendapatan yang rutin. Pada musim tertentu, perolehan pendapatan dari pertanian melebihi besaran gaji yang diterima.

Kasus II : Pertanian Sebagai Pendukung Bisnis Yang Potensial Sosialisasi dalam keluarga memberi kesempatan bagi pemuda menekuni pekerjaan menjual jasa pemasaran mulai dari komoditas pertanian, gula aren, motor sampai jual beli emas. Sense business tumbuh dan menanamkan pandangan bahwa transaksi jual beli merupakan sumber pendapatan yang potensial. Pandangan itu tak berubah sekalipun pekerjaan tetap dan status sosialnya adalah seorang guru. Potensi pertanian di wilayah memunculkan pandangan bahwa komoditas pertanian merupakan komoditas ekonomis yang penting tersedia secara tepat waktu dan tepat jumlah. Hal itu pula yang mendorongnya berusahatani hortikultura di atas lahan seluas 0,5 ha milik orangtuanya, namun gagal karena harga jual produknya rendah.

12

Orangtua yang berstatus sebagai seorang haji dan kepala sekolah SD selalu menanamkan

pentingnya

pendidikan, namun tidak

mengorientasikan

pekerjaan

pertanian sebagai sesuatu yang negatif. Bagi pemuda, menjadi guru merupakan pilihan terakhir setelah gagal menjadi petani maju. Kegagalannya menyelesaikan SPMA akibat kelemahan fisik, dorongan orang tua, relasi dan beratnya beban menjadi pengangguran selama tiga tahun

akhirnya membuatnya pasrah menjadi guru setelah kuliah D2 di

Jakarta yang dikerjakan sambil bekerja sebagai sopir mikrolet. Selain belajar, sejak kecil orangtua kerap melibatkannya dalam aktivitas ekonomi seperti menjaga warung, ikut membeli pucuk teh, mengawasi pekerja pembakaran arang di hutan atau mengantar arang dagangan ayahnya ke Sukabumi dan Bogor. Ini menjadi proses belajar dan perluasan medan sosial pemuda.

Bersamaan itu pula dirasakan

bahwa semakin luas jaringan yang dibangun, semakin bernilai tiap jenis komoditas yang dihasilkan petani maupun masyarakat desanya. Pertanian yang ditangani secara tekun dan setia menjadi poin penting dalam mendukung bisnis pertanian yang prospektif di masa kini maupun masa datang. Keuntungan maksimal bisa didapat jika petani berperan sebagai produsen sekaligus pedagang yang mengambil jasa pengolahan dan pemasaran hingga ke tangan konsumen di daerah lain atau perkotaan.

Kasus III : Pertanian Sebagai Usaha dan Pekerjaan Yang Prospektif Pertanian sebagai usaha dan pekerjaan prospektif dimaksudkan sebagai usahatani perkebunan kebun teh dan hortikultura. Usahatani teh di atas lahan seluas 1,5 ha dan tanaman cabe di atas lahan 0,4 ha merupakan usaha yang ditekuni dengan optimal.

Lahan warisan di atas diakui sebagai sumberdaya berharga yang sangat

menentukan ketekunan dan keberhasilan bertani. Pemuda lulusan SMP Sukabumi yang pernah bekerja sebagai kenek sambil sekolah di Sukabumi, bekerja sebagai sopir angkutan kota selama empat tahun di Bogor, dan

bekerja

sebagai

buruh

bengkel

automotif

di

Jakarta

mengakui

adanya

ketidakseimbangan pendapatan dan pengeluaran hidup di kota membuka kesadarannya untuk kembali ke desa dan mencoba bekerja sebagai petani.

Pengalaman dan

sosialisasi keluarga membiasakannya bekerja mencari kayu bakar di hutan, membantu membuka hutan untuk dijadikan kebun, dan merawat kebun teh.

Kedua orangtuanya

memberi batasan yang jelas mengenai pekerjaan yang dikerjakan oleh anak wanita dan

13

anak laki-laki. Seluruh pekerjaan domestik rumah tangga dikerjakan oleh ibu dan anak wanita, sedang pekerjaan produktif seperti ke kebun dan mencari kayu dikerjakan oleh ayah dan anak laki-laki. Pembedaan antar seks terjadi pula pada bidang pendidikan formal. Namun demikian, orangtua tidak mengharapkan anak-anaknya menjadi petani. Sosialisasi nilai kerja yang ditanamkan dalam keluarga inti, mengalami resosialisasi ketika anak dewasa.

Pengetahuan membaca, menonton televisi,

mengamati sistem bertani orang lain dan pengalaman bertani secara pribadi merupakan faktor pendorong pemuda menekuni usahataninya.

Jaringan sosial yang dibangun

melalui pengabdian sebagai tokoh pemuda dan ketua BPD diharapkan memberi kontribusi yang baik bagi pengembangan usaha pertaniannya, terutama dari aspek saprodi dan pemasaran hasil. Pemuda memandang usaha berkebun teh dipadu usahatani hortikultura dinilai sebagai kombinasi usaha yang serasi dalam meningkatkan dan menstabilkan pendapatan rumah tangga. Secara psikologis pekerjaan pertanian juga memberi rasa nyaman dan tenang karena berada di antara masyarakat desa yang jauh dari sikap bersaing. Namun demikian pertimbangan terhadap perhitungan ekonomi masih menjadi prioritas karena berkorelasi langsung dengan penilaian sosial di masyarakat.

Kasus IV : Pertanian Sebagai Usaha dan Pekerjaan Hari Tua Tenaga operator mesin di pabrik gesper Tangerang ini berasal dari keluarga buruh tani. Sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci atau membersihkan rumah. Demikian juga mencari kayu bakar, mengangon ternak dan tak jarang berburuh mengolah atau membersihkan kebun petani lain. Keberuntungannya bisa mengecap pendidikan SMP karena bertepatan dengan berdirinya SMP kelas jauh di desa. Sepulang sekolah atau hari libur merupakan kesempatan berburuh untuk membantu mencukupi kebutuhan sekolah. Bekerja tidak memberatkan karena ekonomi keluarga sudah mensosialisasikan pentingnya kerja keras agar bisa melanjutkan hidup secara lebih baik. Sebelum menjadi operator, pernah bekerja sebagai tukang setrika pada seorang penjahit di Bogor dan pelayan toko pakaian di Jakarta. Namun pemuda memandang pekerjaan pertanian merupakan pekerjaan yang paling aman dan nyaman pada hari tua. Oleh karena itu pemuda secara rutin menabung sebagian penghasilan untuk dibelikan

14

lahan pertanian di desa. Bekerja di pabrik merupakan strategi mengumpulkan uang sebagai upaya mendapatkan aset produksi di pertanian.

Pekerjaan pertanian dinilai

aman karena bisa menghasilkan produksi yang relatif stabil terhadap gejolak politik atau kondisi perekonomian negara, dan nyaman karena berada diantara komunitas asalnya yang dinilai tenang, ramah, penuh rasa kekeluargaan.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pandangan Pemuda Pendidikan Tingkat pendidikan yang berbeda membuat orientasi kerja yang berbeda. Pemuda berpendidikan rendah (SD) menyadari betul kecilnya peluang untuk bekerja di luar sektor pertanian yang secara umum dinilai lebih baik dan bergengsi. Pekerjaan nonpertanian yang paling mungkin untuk dimasuki adalah sebagai kenek, kuli angkat barang dan pembantu rumah tangga. Jika mempunyai modal, pekerjaan berdagang menjadi salah satu alternatif yang umum dipilih karena dipandang memungkinkan seseorang untuk maju/kaya. Di dalam desa, pemuda berpendidikan rendah yang tidak tertarik pada pekerjaan pertanian, memilih bekerja sebagai kenek angkutan, atau berburuh membuat arang di hutan. Sekalipun pekerjaan ini bukan pekerjaan pertanian, tetapi sifatnya hanya mengandalkan modal tenaga semata. Pemuda yang berpendidikan lebih tinggi (SLTP ke atas) mempunyai kecendrungan orientasi kerja keluar sektor pertanian. Pegawai negeri, pekerja pabrik, karyawan swalayan atau sopir angkutan merupakan pekerjaan yang dipersepsikan baik dan sesuai, karena tidak semata-mata menggunakan tenaga, tetapi sedikit banyak menggunakan pikiran. Pekerjaan seperti ini dinilai lebih berstatus sosial tinggi dibanding pekerjaan pertanian. Bagi kelompok ini, selain jenis pekerjaan, lokasi pekerjaan menjadi bahan pertimbangan tersendiri. Jenis Kelamin Faktor alamiah seperti jenis kelamin juga berpengaruh menentukan orientasi kerja pemuda.

Pengaruh ini lebih tertuju pada persepsi masyarakat dan pemuda

mengenai karakteristik pekerjaan pertanian. Pekerjaan pertanian mempunyai ciri-ciri di antaranya butuh tenaga yang kuat, dapat merusak penampilan karena ruang kerjanya

15

berada di bawah terik matahari dan kotor sehingga lebih sesuai untuk kaum pria. Wanita hanya

terlibat

pada

pekerjaan

pemeliharaan

dan

proses

panen.

Akhirnya

pekerjaan/usaha pertanian lebih banyak ditekuni oleh pria akibat tuntutan sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga. Pada pekerjaan produktif nonpertanian, perbedaan pilihan antara pria dan wanita didasarkan pada pandangan yang sama, dimana wanita mengerjakan pekerjaan yang bersifat domestik (pembantu rumah tangga, menjahit, dll) sementara pekerjaan untuk pria lebih kepada publik. Pekerjaan yang banyak dikerjakan oleh pria adalah buruh pabrik, sopir atau kenek angkutan. Tampaknya kecenderungan untuk pekerjaan yang membutuhkan tenaga, waktu dan tempat yang lebih dinamis banyak dikerjakan oleh pria. Ini sekaligus membuat tingkat migrasi pria lebih tinggi. Status Perkawinan Ada perbedaan yang mendasar antara seorang pemuda yang belum menikah dengan yang sudah menikah dalam memandang pekerjaan. Pemuda belum menikah relatif lebih mudah untuk bermigrasi sehingga cenderung berorientasi keluar pertanian. Bagi pemuda sudah menikah, jika tidak ada pekerjaan yang dinilai lebih baik secara status sosial maupun ekonomi yang bisa dimasuki, maka pekerjaan pertanian pun dikerjakan. Usia Secara dikotomi dapat dikatakan bahwa pemuda yang berusia lebih muda punya orientasi kerja lebih ke arah luar pertanian, karena tenaga masih kuat dan mobilitas masih tinggi. Pekerjaan pertanian dipersepsikan sebagai pekerjaan yang rumit, melelahkan dan kotor. Akibatnya, pemuda berusia lebih muda berupaya mencari pekerjaan nonpertanian sekalipun harus ke luar desa. Tidak demikian dengan kelompok usia yang lebih tua. Sosialisasi Pekerjaan pertanian kurang disosialisasikan kepada anak, terlihat pada nasehatnasehat yang disampaikan para orangtua untuk rajin sekolah agar jadi anak pintar dan tidak jadi petani seperti orangtuanya. Secara sadar atau tidak sadar orangtua telah mensosialisasikan pandangan kepada anak tentang kelelahan, kerendahan dan ketidakcerahan bekerja di pertanian. Orangtua sudah mengalami pergeseran pandangan terhadap pekerjaan pertanian walaupun secara faktual mereka masih hidup di dalamnya.

16

Akibatnya proses sosialisasi pekerjaan pertanian tidak berlangsung secara intensif. Sebagai agen sosialisasi, orangtua membantu mengarahkan pemuda untuk berusaha keluar dari pekerjaan pertanian. Sumberdaya Lahan Pemuda berlahan mempunyai persepsi dan harapan yang lebih baik terhadap usaha pertanian.

Setidaknya

pemilikan

lahan membuka

kemungkinan

untuk

berusahatani sebagai mata pencaharian yang bisa dilengkapi dengan penghasilan dari pekerjaan lain seperti berburuh, menarik ojeg, berdagang dan lain-lain. Berbeda dengan pemuda yang tidak mempunyai lahan, maka kerja di pertanian berarti berburuhtani.

Berburuh dengan tingkat upah yang sepanjang masa kira-kira

setara empat liter beras per setengah hari adalah gambaran penghasilan yang suram. Status buruh menempatkan pemuda pada status sosial yang rendah di masyarakat. Kontak Media Kontak terhadap media komunikasi sedikit banyak memotivasi pemuda untuk memperluas medan sosial ekonomi dan teritorial.

Informasi yang cenderung bias

industri/kota mendorong pemuda untuk menjangkau sumber-sumber ekonomi perkotaan dan melupakan sumber-sumber ekonomi pedesaan yang identik dengan pertanian.

REPRESENTASI PEMUDA PEDESAAN : SEBUAH ANALISA KUALITATIF Pemuda pedesaan merepresentasikan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang kurang bergengsi secara status sosial. Meski demikian, pekerjaan ini diakui merupakan sumber pendapatan pendukung yang sangat potensial dan memberi kenyamanan karena relatif memiliki keterjaminan pendapatan. Secara sosiologis ada beberapa kecenderungan yang terjadi yaitu : Pekerjaan pertanian dirpresentasikan menguntungkan bila kedudukannya sebagai usaha dan bukan semata sebagai pekerjaan. Penguasaan lahan sangat penting sebagai kunci untuk meningkatkan produksi dan memaksimalkan keuntungan. Di dalamnya terkandung muatan kreatifitas dan tantangan mencari strategi untuk berkembang. Penguasaan lahan tidak saja berpengaruh secara ekonomi, tetapi secara sosial mengurangi perasaan kurang terhormat bekerja di sektor ini, karena

petani

sekaligus berperan sebagai manajer yang dalam dirinya lekat kekayaan lahan sebagai

17

sumberdaya ekonomi sekaligus lambang status sosial di pedesaan. Berkaitan dengan lahan menguatkan dugaan bahwa status ekonomi berimpitan dengan status sosial. Nilai yang berkembang di masyarakat memberi dua peran bagi pekerjaan pertanian. Pekerjaan ini lebih bernilai secara sosial bila berperan sebagai pekerjaan sampingan daripada sebagai pekerjaan utama. Artinya, bagi pemuda bekerja di sektor pertanian lebih memberi rasa bangga jika ada pekerjaan lain sebagai masker, sekalipun pekerjaan yang diakui sebagai pekerjaan utama itu belum tentu pemberi pendapatan yang terbesar. Sumberdaya modal menduduki posisi yang sangat mendasar bagi kegiatan ekonomi petani. Modal juga memiliki kekuatan dalam memberi nilai sosial terhadap apa yang dikerjakan oleh petani itu sendiri. Pemuda lebih merasa terhormat sebagai petani walaupun mengerjakan pekerjaan pertanian yang kasar, kotor dan melelahkan jika dibantu oleh tenaga buruh. Ini membuat pemuda merasa orang lain menilainya sebagai orang yang mampu mempekerjakan orang lain.

Hal itu memberi perasaan lebih

‘terhormat’ sekalipun bekerja di sektor pertanian. Kecenderungan di atas memberi indikasi bahwa usaha pertanian secara ekonomis masih cukup menguntungkan. Saat dimana sumberdaya dan situasi sosial memberi dukungan optimal, pekerjaan pertanian mampu memberi pendapatan lebih tinggi dan stabil, meskipun lebih diorientasikan sebagai pekerjaan sampingan atau pendukung.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Pemuda pedesaan merepresentasikan pekerjaan pertanian khususnya di perkebunan, sebagai pekerjaan yang secara ekonomi masih cukup menguntungkan, relatif memiliki keterjaminan dan kestabilan pendapatan. Namun demikian pekerjaan pertanian direpresentasikan sebagai pekerjaan yang kurang mampu memberi status sosial terhormat di dalam maupun di luar komunitasnya.

Pada akhirnya pekerjaan

pertanian lebih memberi kenyamanan jika diposisikan sebagai pekerjaan pendukung. Pergeseran pekerjaan kearah non pertanian, merupakan “penolakan” yang lebih dilandasi pada pertimbangan sosial.

Persepsi pemuda dan komunitas pedesaan

mengenai pekerjaan mengalami bias kepada industri dan perkotaan tidak sepenuhnya karena konpensasi yang dijanjikan sektor tersebut melainkan lebih diakibatkan dampak

18

“penjajahan budaya” modernisasi yang terimbas lewat pengetahuan dan informasi yang masuk ke pedesaan.

Secara tidak sadar, pemerintah menguatkan perkembangan

tersebut lewat prioritas pembangunan yang tidak seimbang antar sektor maupun antar wilayah dengan mendudukkan sektor pertanian sebagai pendukung sektor lain. Persoalan yang bernuansa sosial tersebut seharusnya lebih tepat dan mendasar jika diatasi dengan upaya sosial pula, meski disadari proses ini memerlukan waktu yang lebih lama. Implikasi yang mendesak adalah upaya merubah persepsi yang rendah terhadap pekerjaan atau usaha pertanian melalui berbagai metoda seperti mendekatkan jarak pengetahuan dan geografis antara sektor pertanian dan non pertanian hingga muncul kesadaran dimasyarakat mengenai adanya saling ketergantungan antara semua sektor khususnya antara sektor pertanian dan industri.

Mendesak pula realisasi

kebijakan yang berpihak pada kehidupan petani dan buruhtani disertai penyampaian informasi dan insentif ekonomi ke masyarkat yang adil dan seimbang antara pedesaan dan perkotaan maupun antar sektor.

DAFTAR PUSTAKA Denzin, Norman K. dan Y. S. Lincoln. 1994. Introduction : Entering the Field of Qualitative Research (bab 1). Dalam: Norman K. Denzin dan Yvonn S. Lincoln (ed). 1994. Handbook of Qualitative Research. SAGE Publication. Kasryno, Faisal. 2000. Sumber Daya Manusia dan Pengelolaan Lahan Pertanian di Pedesaan Indonesia. Forum Agro Ekonomi. Vol 18 No. 1 dan 2. Hal. 26-51 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Marzali, A. 1997. Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia. Jurnal Antropologi No. 54 Tahun XXI. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Jakarta. Miles, M. B. dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. UI Press. Jakarta. Moleong, Lexy J. 1999. Metode Penelitian Kualitatif. Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Parsons, Talcott. 1937. The Structure of Social Action. The Free Press. New York. Collier-Macmillan Limited. London. Rahman, Benny. 1993. Analisis Keterkaitan Antar Sektor Dalam Perekonomian Wilayah Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi. Volume 12, No. 2, hal 39-65. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

19

Rahman, Benny. 1993. Deskripsi Tingkat Upah Buruh Tidak Terdidik di Pedesaan, Indonesia. Forum Agro Ekonomi Vol. 11 No. 2 hal 47-59. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Ritzer, G. 1980. Jakarta.

Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.

CV Rajawali.

Rozany, A. N. dkk. 2000. Sektor Pertanian Sebagai Kegiatan Sementara Bagi Migran di Pedesaan. Buletin Agroekonomi Vol. 1 No. 1, hal 1-5. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Sarwono, S.W. 1997. Psikologi Sosial. Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. PT. Balai Pustaka (Persero). Jakarta. Soe’oed, RDF. 1999. Proses Sosialisasi dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Penyunting : T. O. Ihromi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Wahyuni, Ekawati S. 2000. Migran Wanita dan Persoalan Perawatan Anak : Sebuah Analisa Migrasi Internal di Jawa. Jurnal Sosiologi Indonesia No. 4, hal 12-23. Ikatan Sosiologi Indonesia. Jakarta. Yin, R. K. 1997. Studi Kasus: Desain dan Metode. PT Raja Grafindo Persada. Edisi 1. Cet. 2. Jakarta.

20