IDENTIFIKASI KANDUNGAN TANIN DALAM EKSTRAK ETANOLIK DAUN JATI BELANDA (Guazuma ulmifolia Lamk.) DARI KEBUN TANAMAN OBAT UNIVERSITAS SANATA DHARMA DENGAN METODE KLT-DENSITOMETRI
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) Program Studi Ilmu Farmasi
Diajukan oleh: Monica Dini Puspita NIM : 068114003
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010
IDENTIFIKASI KANDUNGAN TANIN DALAM EKSTRAK ETANOLIK DAUN JATI BELANDA (Guazuma ulmifolia Lamk.) DARI KEBUN TANAMAN OBAT UNIVERSITAS SANATA DHARMA DENGAN METODE KLT-DENSITOMETRI
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) Program Studi Ilmu Farmasi
Diajukan oleh: Monica Dini Puspita NIM : 068114003
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010
i
ii
iii
” Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri” (Amsal 3: 5)
Kupersembahkan untuk Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, Bapak, Ibu, keluarga besarku yang kucintai, sahabat, teman-teman dan almamaterku
iv
v
vi
PRAKATA
Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, penyertaan, cinta dan kasih-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi Kandungan Tanin Dalam Ekstrak Etanolik Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) dari Kebun Tanaman Obat Universitas Sanata Dharma dengan Metode KLT-Densitometri”. Penyusunan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan Program Studi Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1.
Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
2.
Ibu Erna Tri Wulandari M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan waktu, bimbingan, saran dan kesabaran yang sangat berguna demi terselesaikannya skripsi ini.
3.
Bapak Yohanes Dwiatmaka M.Si., selaku dosen penguji atas waktu, bimbingan dan pengarahan yang diberikan.
4.
Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas waktu, bimbingan dan saran yang telah diberikan.
vii
5.
Seluruh staff laboratorium Farmakognosi Fitokimia dan Laboratorium Kimia Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta: Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Bimo, Mas Parlan, Mas Kunto, yang telah menemani, membantu dan memberikan saran selama penelitian ini.
6.
Bapak dan Ibu yang terkasih, atas doa, dukungan, semangat yang tiada habisnya untuk penulis.
7.
Pak Pudjono dan Pak Jeffri atas ilmu yang telah diberikan.
8.
Rico Aditya, Iren Anindya, Mas Fian, Uti atas semangat, dukungan, saran dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
9.
Adik-adikku, Dora dan Theo serta keluarga besarku yang kusayangi atas doa, dukungan, semangat dan perhatian yang selalu diberikan kepada penulis.
10.
Teman-teman tim penelitian dan sahabatku yang kucintai, Inge Maria Wibowo, Grace Litad, Ayu Widya Sari, Winny Listyarini Hardi atas semangat, dukungan, kerjasama dan kebersamaannya selama ini.
11.
Teman-teman seperjuangan FKK 06: Yuni, Tiara, Yenni, Priska, Siska, Veni, Amel, Aroma, Gessy, Manik, Chibi, Meli, Della, Helen, Esti, dan semuanya atas dukungan yang diberikan kepada penulis.
12.
Keluargaku di kos Difa yang kusayangi Mba Tiwi, Mba Galih, Mba Livi, Ina, Oki, Ayu Tegal, Rizza, Putri, Jojo, Melan, Evina, Eka, Sari, Sheila, Jesty atas kebersamaan, keceriaan, dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis.
viii
13.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu terwujudnya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari segenap pembaca, semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal penelitian di bidang Farmakognosi.
Penulis
ix
INTISARI Daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) telah lama dikenal oleh masyarakat sebagai tanaman obat. Berbagai khasiat daun jati belanda di antaranya yaitu sebagai obat pelangsing tubuh, penurun kolesterol, penyakit jantung dan diare. Tanin merupakan salah satu kandungan kimia utama dalam daun jati belanda. Pada daun jati belanda, senyawa tanin dapat mengurangi penyerapan makanan sehingga proses obesitas (kelebihan berat badan) dapat dihambat. Secara kimia, terdapat dua jenis tanin yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis tanin yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun jati belanda dan reprodusibilitas proses ekstraksi menggunakan cairan penyari etanol melalui pengukuran AUC (Area Under Curve) tanin. Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental. Tahap awal penelitian yaitu identifikasi tanin secara kualitatif dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan fase gerak etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100 : 11 : 11 : 27) v/v, selanjutnya diidentifikasi jenis tanin, apakah termasuk tanin terhidrolisis atau tanin terkondensasi. Tahap selanjutnya dilakukan pengukuran AUC tanin dengan metode KLT-densitometri. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Hasil identifikasi tanin secara kualitatif dengan metode KLT diperoleh bahwa sampel ekstrak etanolik daun jati belanda diduga mengandung tanin terkondensasi. Nilai AUC rata-rata sebesar 10835,9667 ± 173,8401 dan nilai CV sebesar 1,6043% menunjukkan bahwa proses ekstraksi dengan cairan penyari etanol adalah reprodusibel. Kata kunci: tanin, ekstrak etanolik daun jati belanda, KLT, KLT-densitometri
x
ABSTRACT Bastard cedar’s leaves already known as medicinal herbs. Various benefits of bastard cedar’s leaves are slimming drugs, lowering cholesterol, heart disease and diarrhea. Tannin is the main chemical content in bastard cedar’s leaves. In bastard cedar’s leaves, tannin decreased the absorbtion of food in order to delayed obesity process. Chemically, there are two kinds of tannins, they are hydrolisable tannins and condensed tannins. This research aims to find out the kind of tannins in bastard cedar’s leaves ethanolic extract and extraction process reproducibility using etanol by the measurement of AUC (Area Under Curve) tannins. This is a non experimental research. The first step of the research are qualitative identification by Thin Layer Chromatography (TLC) method using mobile phase ethyl acetate : formic acid : acetic acid : water ( 100 : 11 : 11 : 27) v/v and then continued identification the kind of tannins including are hydrolisable tannins or condensed tannins. The next step, is measurement of AUC tannins by TLC-densitometry method. This research were analyzed descriptively. The results of qualitative identification tannin with TLC method in bastard cedar’s leaves ethanolic extract sample suspected contain condensed tannins. AUC rate score 10835,9667 ± 173,8401 and CV score 1.6043% shown the extraction process using ethanol is reproducible.
Key words: tannin, bastard cedar’s leaves ethanolic extract, TLC, TLCdensitometry
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................ v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................... vi PRAKATA ............................................................................................................ vii INTISARI.............................................................................................................. x ABSTRACT ............................................................................................................ xi DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xvii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xix BAB I PENGANTAR .......................................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................................ 1 1. Perumusan masalah ................................................................................... 4 2. Keaslian penelitian .................................................................................... 4 3. Manfaat penelitian..................................................................................... 5 B. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA................................................................... 7 A. Jati Belanda ..................................................................................................... 7 1. Keterangan botani ..................................................................................... 7
xii
2. Nama daerah.............................................................................................. 7 3. Deskripsi ................................................................................................... 8 4. Kandungan Kimia ..................................................................................... 8 5. Tanin ......................................................................................................... 9 B. Pembuatan Simplisia ....................................................................................... 14 1. Pengumpulan bahan baku ......................................................................... 14 2. Sortasi basah ............................................................................................. 15 3. Pencucian .................................................................................................. 15 4. Pengeringan ............................................................................................... 16 5. Sortasi kering ............................................................................................ 17 C. Ekstrak ............................................................................................................ 17 1. Definisi ...................................................................................................... 17 2. Metode ekstraksi ....................................................................................... 18 3. Penguapan ................................................................................................. 20 D. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) .................................................................... 21 E. Densitometri .................................................................................................... 25 F. Keterangan Empiris......................................................................................... 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 28 A. Jenis Penelitian ................................................................................................ 28 B. Definisi Operasional ....................................................................................... 28 C. Alat dan Bahan ................................................................................................ 29 1. Alat penelitian ........................................................................................... 29 2. Bahan penelitian ........................................................................................ 29
xiii
D. Tata Cara Penelitian ........................................................................................ 30 1. Pengumpulan bahan .................................................................................. 30 2. Determinasi tanaman ................................................................................. 30 3. Pembuatan simplisia daun jati belanda ..................................................... 30 4. Pembuatan serbuk daun jati belanda ......................................................... 31 5. Pembuatan ekstrak etanolik daun jati belanda .......................................... 31 6. Identifikasi tanin secara kualitatif dengan KLT ........................................ 31 7. Pengukuran AUC tanin dengan KLT-densitometri ................................... 32 E. Analisis Hasil .................................................................................................. 33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 34 A. Pengumpulan Bahan ....................................................................................... 34 B. Determinasi Tanaman ..................................................................................... 34 C. Pembuatan Simplisia Daun Jati Belanda ........................................................ 35 D. Pembuatan Serbuk Daun Jati Belanda ............................................................ 36 E. Pembuatan Ekstrak Etanolik Daun Jati Belanda ............................................. 38 F. Identifikasi Tanin secara Kualitatif dengan KLT............................................ 41 G. Pengukuran AUC Tanin dengan KLT-Densitometri ....................................... 56 1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum..................................56 2. Pengukuran AUC bercak sampel...............................................................57 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 58 A. Kesimpulan ..................................................................................................... 58 B. Saran................................................................................................................ 58
xiv
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 59 LAMPIRAN .......................................................................................................... 63 BIOGRAFI PENULIS .......................................................................................... 78
xv
DAFTAR TABEL
Tabel I.
Hasil ekstraksi daun jati belanda................................................... 40
Tabel II. Harga Rf dan warna bercak sampel dengan KLT sebelum disemprot pereaksi besi (III) klorida ............................................. 48 Tabel III. Harga Rf dan warna bercak sampel dengan KLT setelah disemprot pereaksi besi (III) klorida ............................................. 55 Tabel IV. Nilai AUC bercak sampel ............................................................. 57
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Struktur kimia tanin terkondensasi ................................................... 10
Gambar 2.
Struktur kimia tanin terhidrolisis ..................................................... 10
Gambar 3. Struktur kimia asam galat (a) dan asam tanat (b) ............................. 12 Gambar 5. Struktur silika gel ............................................................................. 22 Gambar 5.
Ekstrak cair (a) dan ekstrak kental daun jati belanda (b) ................. 40
Gambar 6.
Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi UV 254 nm................................................. 44
Gambar 7.
Gugus kromofor dan ausokrom pada struktur asam tanat (a) dan tanin terkondensasi (b) .............................................................. 45
Gambar 8.
Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi UV 365 nm .......................................... 47
Gambar 9.
Interaksi antar komposisi fase gerak ................................................ 49
Gambar 10. Interaksi asam tanat dengan fase gerak ............................................ 50 Gambar 11. Interaksi tanin terkondensasi dengan fase gerak .............................. 50 Gambar 12. Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi menggunakan pereaksi semprot besi (III) klorida ............................................................................... 53
xvii
Gambar 13. Reaksi tanin terkondensasi dengan pereaksi semprot besi (III) klorida .............................................................................................. 54 Gambar 14. Hasil scanning panjang gelombang serapan maksimum pada bercak sampel dengan TLC Densitometry Scanner ......................... 56
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Surat keterangan determinasi ........................................................ 64
Lampiran 2.
Foto bahan pada proses pengentalan ekstrak etanolik daun jati belanda .................................................................................... 65
Lampiran 3.
Data pengentalan ekstrak etanolik daun jati belanda .................... 66
Lampiran 4.
Perhitungan perolehan ekstrak kental daun jati belanda ............... 67
Lampiran 5.
Foto hasil identifikasi tanin secara kualitatif dengan KLT ........... 69
Lampiran 6.
Hasil pengukuran AUC bercak sampel dengan TLC Densitometry Scanner ........................................................... 72
Lampiran 7.
Perhitungan hasil pengukuran AUC bercak sampel ...................... 76
xix
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Tanaman obat merupakan jenis tanaman yang dipercaya oleh masyarakat memiliki khasiat dan digunakan sebagai bahan obat tradisional. Jati belanda merupakan sekian dari banyak tanaman obat di Indonesia yang mempunyai nilai jual tinggi. Salah satu bagian tanaman pada jati belanda yang berkhasiat sebagai obat adalah daunnya. Berbagai khasiat daun jati belanda di antaranya yaitu sebagai obat pelangsing tubuh, penurun kolesterol, penyakit jantung dan diare (Sulaksana dan Jayusman, 2005). Beberapa penelitian telah membuktikan adanya khasiat dalam daun jati belanda, di antaranya yaitu pemberian ekstrak daun jati belanda dengan konsentrasi yang semakin meningkat dapat menurunkan kadar kolesterol total serum kelinci (Monica, 2000); daun jati belanda bisa meningkatkan aktivitas in vitro enzim lipase yang berfungsi menghidrolisis lemak setelah mengalami emulsifikasi (Joshita, 2000); pemberian lendir daun jati belanda secara oral dengan dosis 350 mg/kg berat badan menunjukkan adanya penghambatan kenaikan bobot badan tikus dibandingkan dengan pemberian air suling sebagai kontrol (Pramono, 2000) dan masih banyak lagi penelitian yang membuktikan khasiat dari daun jati belanda. Tanin merupakan salah satu kandungan kimia utama dalam daun jati belanda. Tanin bersifat sebagai astringen. Saat kontak dengan membran mukosa
7
2
usus halus, senyawa tanin berikatan dengan protein dalam sel epitel mukosa menghasilkan ikatan silang (Mills dan Bone, 2000). Ikatan silang protein-tanin ini membentuk ikatan yang rapat dan kurang permeabel sehingga menyebabkan makanan yang akan diabsorbsi oleh usus halus menjadi terhambat. Secara kimia, terdapat dua jenis tanin yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi memiliki khasiat sebagai astringen, antiinflamatori, antimikrobial, antidiare dan antioksidan. Tanin terkondensasi diketahui memiliki khasiat yang lain yaitu sebagai hipokolesterolemik (Mills dan Bone, 2000). Menurut Xuepin (2003), tanin terhidrolisis lebih bersifat toksik dibandingkan dengan tanin terkondensasi karena pembentuk tanin terhidrolisis mudah dihidrolisis menjadi asam galat. Asam galat tersebut dapat membentuk kelat dengan ion logam. Pembentukan kelat ini menyebabkan hilangnya ion logam dari dalam tubuh di mana ion logam tersebut dibutuhkan terutama untuk proses pembentukan energi. Salah satu ion logam yang sangat dibutuhkan oleh tubuh adalah zat besi (Fe). Sebagian besar Fe disimpan dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Fe berperan dalam pembentukan sel darah merah. Bila cadangan besi tidak mencukupi dan berlangsung terus menerus maka pembentukan sel darah merah berkurang dan selanjutnya menurunkan aktivitas tubuh sehingga mudah lelah (Arifin, 2008). Menurut Clinton (2009), tanin terhidrolisis dapat menghambat penyerapan zat besi sehingga menyebabkan anemia. Penghambatan penyerapan ini terjadi melalui pembentukan kelat dengan besi sehingga mengurangi bioavailabilitasnya dalam gastrointestinal. Tanin terkondensasi diketahui tidak
3
menghambat penyerapan dari zat besi sehingga lebih aman digunakan. Berdasarkan perbedaan kedua jenis tanin tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai identifikasi tanin dalam ekstrak etanolik daun jati belanda yang berasal dari kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pada penelitian ini ingin diketahui jenis tanin yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun jati belanda dan reprodusibilitas proses ekstraksi melalui pengukuran AUC (Area Under Curve) tanin. Proses ekstraksi yang baik diharapkan dapat digunakan untuk mendapatkan kualitas ekstrak yang baik pula. Reprodusibilitas proses ekstraksi dapat teramati dengan nilai AUC tersebut. Cara penyarian menggunakan metode maserasi dengan cairan penyari etanol karena tanin dapat larut dalam pelarut organik polar seperti etanol. Daun jati belanda yang digunakan berasal dari kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta karena belum pernah dilakukan identifikasi tanin menggunakan bahan baku yang berasal dari kebun tanaman obat tersebut. Identifikasi kandungan tanin dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) untuk mengetahui jenis tanin yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun jati belanda, apakah termasuk tanin tehidrolisis atau tanin terkondensasi. Reprodusibilitas proses ektraksi dilakukan dengan pengukuran AUC tanin dengan metode KLT-densitometri. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat mengenai keberadaan dan jenis tanin yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun jati belanda. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
4
masyarakat mengenai adanya kemungkinan efek daun jati belanda yang dapat digunakan sebagai obat pelangsing tubuh, penurun kolesterol, penyakit jantung dan diare. 1. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas timbul permasalahan, yaitu: a. Jenis tanin apakah yang terdapat dalam ekstrak etanolik daun jati belanda? b. Bagaimana reprodusibilitas proses ekstraksi menggunakan cairan penyari etanol melalui pengukuran AUC tanin? 2. Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan penulis penelitian mengenai identifikasi kandungan tanin dalam ekstrak etanolik daun jati belanda dari kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma dengan metode KLT-densitometri belum pernah dilakukan. Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap jati belanda, antara lain: a. Pengaruh Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan dan Gambaran Hematologik Darah Tikus Betina serta Identifikasi Komponen Lendirnya (Nurwati, 1984). b. Penelitian Pendahuluan Pengaruh Pemberian Seduhan Daun Guazuma ulmifolia Lamk terhadap Aktivitas Enzim SGOT, SGPT, SGGT Kelinci (Semedi, 1994). c. Ekstraksi dan Identifikasi secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Spektrofotometri UV Senyawa Alkaloid Tumbuhan Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) (Wulandari, 1996).
5
d. Pengaruh Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Darah Kelinci (Monica, 2000). e. Pengaruh Daun Jati Belanda Terhadap Kerja Enzim Lipase secara In Vitro (Joshita, 2000). f. Pengaruh Lendir Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) terhadap Bobot Badan Tikus Putih Betina (Pramono, 2000). g. Aktivitas Lipase Pankreas Rattus norvegicus Akibat Pemberian Ekstrak Etanol Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) (Rahardjo, 2005). h. Pengaruh Pemberian Infusa Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) terhadap Kadar Trigliserida Dalam Plasma Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Wijayanti, 2007). 3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keberadaan dan jenis tanin yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun jati belanda. b. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat mengenai kandungan daun jati belanda yang dapat digunakan sebagai obat.
6
B. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah: 1. mengetahui jenis tanin yang terdapat dalam ekstrak etanolik daun jati belanda. 2. mengetahui reprodusibilitas proses ekstraksi menggunakan cairan penyari etanol melalui pengukuran AUC tanin.
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
A. Jati Belanda 1. Keterangan botani Pohon jati belanda berasal dari Amerika beriklim tropis dan di Pulau Jawa biasanya ditanam pada ketinggian 1-800 m di atas permukaan laut (Anonim, 1986b). Tanaman ini ditanam sebagai tanaman pekarangan atau tanaman peneduh di tepi jalan. Saat ini, tanaman jati belanda hampir dapat ditemui di semua daerah di Pulau Jawa bahkan di pulau lain pun tanaman ini dijumpai tumbuh liar. Tanaman jati belanda belum dibudidayakan secara komersial (Sulaksana dan Jayusman, 2005). Jati belanda termasuk dalam suku Sterculiaceae dan genus Guazuma. Secara ilmiah, jati belanda memiliki spesies dengan nama Guazuma ulmifolia Lamk. (Backer dan Backhuizen van den Brink, 1963). 2. Nama Daerah Tanaman jati belanda mempunyai nama daerah yang berbeda-beda, di antaranya adalah: Sumatera
: Jati Blanda
Jawa
: Jati Landa, Jatus Landi
Nama asing jati belanda antara lain Bastard Cedar (Inggris), Cedre de la Jamique, Orme d’Ameriqne (Perancis), Mutamba (Brazil) dan Guasima (Meksiko). Nama di Indonesia lebih dikenal dengan Jati Belanda (Heyne, 1987).
7
8
Selain nama daerah, jati belanda juga mempunyai beberapa nama lain. Nama tersebut di antaranya yaitu Bubroma guazuma, Diuroglossum rufescens, Theobroma guazuma, Guazuma coriacea, G. inuira, G. polybotra, G. tomentosa dan G. utilis (Anonim, 2004 a). 3. Deskripsi Tanaman jati belanda berupa semak atau pohon, tinggi 10 m sampai 20 m, percabangan ramping. Bentuk daun bundar telur sampai lanset, panjang helai daun 4 cm sampai 22,5 cm, lebar 2 cm sampai 10 cm, pangkal menyerong berbentuk jantung, bagian ujung tajam, permukaan daun bagian atas berambut jarang, permukaan bagian bawah berambut rapat; panjang tangkai daun 5 mm sampai 25 mm, mempunyai daun penumpu berbentuk lanset atau berbentuk panjang 3 mm sampai 6 mm (Anonim, 1978). Tanaman jati belanda memiliki perbungaan berupa mayang, panjang 2 cm sampai 4 cm, berbunga banyak, bentuk bunga agak ramping dan berbau wangi; panjang gagang bunga lebih kurang 5 mm; kelopak bunga lebih kurang 3 mm; mahkota bunga berwarna kuning, panjang 3 mm sampai 4 mm; tajuk terbagi dalam 2 bagian, berwarna ungu tua kadang-kadang kuning tua, panjang 3 mm sampai 4 mm, bagian bawah berbentuk garis, panjang 2 mm sampai 2,5; tabung benang sari berbentuk mangkuk; bakal buah berambut, panjang buah 2 cm sampai 3,5 cm. Buah yang telah masak berwarna hitam (Anonim, 1978). 4. Kandungan kimia Zat utama yang terkandung dalam seluruh bagian tanaman jati belanda adalah tanin dan lendir atau muscilago. Kandungan zat aktif yang juga diketahui
9
terdapat hampir di semua bagian tanaman adalah β-sitosterol, kafein, friedelin-3αasetat, friedelin-3β-ol, terpen, triterpen (sterol), karotenoid, flavonoid, resin, glukosa, asam lemak, asam fenolat, zat pahit, karbohidrat, serta minyak lemak (Sulaksana dan Jayusman, 2005). Ekstrak kental daun jati belanda adalah ekstrak yang dibuat dari daun tanaman Guazuma ulmifolia Lamk., suku Sterculiaceae, mengandung flavonoid tidak kurang dari 3,2 %. Kandungan kimia yang dimiliki adalah tanin, flavonoid, friedelin-3α-asetat, friedelin-3β-ol dan lendir (Anonim, 2004 a). Bahan kering daun jati belanda mengandung tanin sebesar 2,4% (Powell, 1997). 5. Tanin Tanin adalah sejenis kandungan tanaman bersifat fenol yang memiliki rasa sepat. Tanin ini larut, setidak-tidaknya sampai batas tertentu, dalam pelarut organik yang polar, tetapi tidak larut dalam pelarut organik nonpolar seperti benzena. Kadar tanin yang tinggi mungkin mempunyai arti pertahanan bagi tanaman yaitu untuk membantu mengusir hewan pemangsa tanaman. Beberapa tanin terbukti mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor, dan menghambat enzim seperti reverse transkriptase dan DNA topoisomerase (Robinson, 1995). Secara kimia, terdapat dua jenis utama tanin yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisiskan (Harborne, 1987). Tanin terkondensasi terjadi karena reaksi polimerisasi (kondensasi) antar flavonoid, sedangkan tanin terhidrolisis terbentuk dari reaksi esterifikasi asam fenolat dan gula (glukosa) (Heinrich, Barnes, Gibbons dan Williamson, 2004).
10
Gambar 1. Struktur kimia tanin terkondensasi (Heinrich, Barnes, Gibbons dan Williamson, 2004)
Gambar 2. Struktur kimia tanin terhidrolisis (Heinrich, Barnes, Gibbons dan Williamson, 2004)
Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan oligomer
11
yang lebih tinggi. Nama lain tanin terkondensasi adalah proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam dan dipanaskan, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung
satuan
terputus
dan
menghasilkan
monomer
antosianidin.
Proantosianidin banyak dalam bentuk prosianidin dan bila direaksikan dengan asam akan menghasilkan sianidin. Pada tanin terkondensasi, tanaman dapat diekstraksi dengan metanol 50-80%. Tanin dapat dideteksi dengan sinar UV pendek berupa bercak lembayung yang bereaksi positif dengan setiap pereaksi fenol baku (Harborne, 1987). Tanin terhidrolisis merupakan ikatan ester antara suatu monosakarida, terutama D-glukosa di mana gugus hidroksilnya (seluruh atau sebagian) terikat dengan asam galat, digalat, trigalat dan asam heksahidroksidifenat. Tanin terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis dan berwarna coklat kuning yang larut dalam air. Tanin terhidrolisis dapat diekstraksi dengan air panas atau campuran etanol-air (Robinson, 1995). Asam tanat sebagai salah satu contoh tanin terhidrolisis (Harborne, 1987). Asam tanat merupakan polimer asam galat dan glukosa. Asam tanat berupa serbuk amorf, berkilau, berwarna kuning putih sampai cokelat terang dan berbau khas. Asam tanat berkhasiat untuk mengobati diare. Selain itu, asam tanat memiliki efek antibakteri, antienzimatik, antioksidan dan antimutagen (Anonim, 2009).
12
CO 2H
HO
OH OH
a.
b.
Gambar 3. Struktur kimia asam galat (a) (Bruneton, 1999) dan asam tanat (b) (Anonim, 2007)
Tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi memiliki khasiat sebagai astringen, antiinflamatori, antimikrobial, antidiare dan antioksidan. Selain itu, terkondensasi juga memiliki khasiat yang lain yaitu hipokolesterolemik (Mills dan Bone, 2000). Menurut Xuepin (2003), tanin terhidrolisis lebih bersifat toksik dibandingkan dengan tanin terkondensasi karena pembentuk tanin terhidrolisis mudah dihidrolisis menjadi asam galat. Asam galat tersebut dapat membentuk kelat dengan ion logam. Pembentukan kelat ini menyebabkan hilangnya ion logam dari dalam tubuh di mana ion logam tersebut dibutuhkan terutama untuk proses pembentukan energi. Salah satu ion logam yang sangat dibutuhkan oleh tubuh adalah zat besi (Fe). Sebagian besar Fe disimpan dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Fe berperan dalam pembentukan sel darah merah. Bila cadangan besi tidak mencukupi dan berlangsung terus menerus maka pembentukan sel darah merah berkurang dan selanjutnya menurunkan aktivitas tubuh sehingga mudah lelah (Arifin, 2008). Menurut Clinton (2009), tanin terhidrolisis dapat menghambat penyerapan zat besi sehingga menyebabkan anemia. Penghambatan ini terjadi
13
melalui pembentukan kelat dengan besi sehingga mengurangi bioavailabilitasnya dalam gastrointestinal. Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein, karena tanin mengandung sejumlah kelompok fungsional ikatan yang kuat dengan molekul protein dan menghasilkan ikatan silang yang besar dan kompleks yaitu proteintannin. Terdapat tiga mekanisme reaksi antara tanin dengan protein sehingga terjadi ikatan yang cukup kuat antara keduanya yaitu ikatan hidrogen, ikatan ion dan ikatan cabang kovalen antara protein dengan tanin (Widodo, 2005). Tanin pada daun jati belanda bersifat sebagai astringen. Saat kontak dengan membran mukosa usus halus, senyawa tanin berikatan dengan protein dalam sel epitel mukosa menghasilkan ikatan silang (Mills dan Bone, 2000). Ikatan silang proteintanin ini membentuk ikatan yang rapat sehingga menyebabkan makanan yang akan diabsorbsi oleh usus halus menjadi terhambat. Uji untuk membedakan tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi dapat menggunakan kromatografi lapis tipis. Bercak dapat ditunjukkan dengan memakai uap amonia dan dilihat dengan sinar UV atau dengan penyemprotan memakai besi (III) klorida (Robinson, 1995). Penyemprotan dengan besi (III) klorida pada tanin terhidrolisis menampakkan bercak berwarna biru kehitaman dan pada tanin terkodensasi menampakkan bercak berwarna hijau kecokelatan (Bruneton, 1999).
14
B. Pembuatan Simplisia 1. Pengumpulan bahan baku Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisa dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan. Simplisia harus memenuhi persyaratan minimal untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaannya. Faktor yang berpengaruh adalah bahan baku simplisia, proses pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia dan cara pengepakan dan penyimpanan simplisia (Anonim, 1985). Tumbuhan liar umumnya kurang baik untuk dijadikan sumber simplisia jika dibandingkan tanaman budidaya karena simplisia yang dihasilkan mutunya tidak tetap. Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara lain tergantung pada bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen, waktu panen dan lingkungan tempat tumbuh (Anonim, 1985). Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar. Senyawa aktif terbentuk secara maksimal di dalam bagian tanaman atau tanaman pada umur tertentu. Selain waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula pada saat panen dalam sehari. Simplisia yang mengandung minyak atsiri lebih baik dipanen pada pagi hari. Waktu panen yang dilakukan
15
dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisik senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas sinar matahari. Pada daun, cara pengumpulannya yaitu saat daun masih tua atau muda (daerah pucuk) dan dipetik dengan tangan satu persatu (Anonim, 1985). 2. Sortasi basah Dalam proses pembuatan simplisia, setalah bahan baku dikumpulkan, kemudian dilakukan sortasi basah terhadap bahan baku tersebut. Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya yang terdapat pada bahan baku simplisia misalnya tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi sehingga simplisia yang dibersihkan dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Anonim, 1985). 3. Pencucian Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya yang melekat pada bahan baku simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut dalam air yang mengalir, pencucian agar dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin (Anonim, 1985). Cara pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal simplisia. Jika air yang digunakan untuk pencucian kotor, maka jumlah mikroba pada permukaan bahan simplisia dapat bertambah dan kandungan air yang terdapat pada permukaan bahan tersebut dapat mempercepat pertumbuhan mikroba (Anonim, 1985).
16
4. Pengeringan Pengeringan dilakukan untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Pengeringan juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya reaksi enzimatik serta pertanaman bakteri. Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Suhu pengeringan tergantung kepada bahan simplisa dan cara pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30° sampai 90°C, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60°C. Pada dasarnya, dikenal dua cara pengeringan yaitu pengeringan secara alamiah dan buatan. a. Pengeringan alamiah. Pengeringan alamiah dilakukan dengan pengeringan dengan panas sinar matahari langsung. Pengeringan dengan cara ini memiliki kecepatan pengeringan yang sangat tergantung kepada keadaan iklim sehingga cara ini hanya baik dilakukan di daerah yang udaranya panas atau kelembabannya rendah, serta tidak turun hujan. Pengeringan ini dilakukan untuk mengeringkan bagian tanaman yang relatif keras seperti kayu, kulit kayu, biji. Pengeringan alamiah dapat juga dilakukan dengan diangin-angin dan tidak dipanaskan dengan sinar matahari langsung. Pengeringan dengan cara ini terutama digunakan untuk mengeringkan bagian tanaman yang lunak seperti bunga, daun yang mengandung senyawa aktif mudah menguap (Anonim, 1985).
17
b. Pengeringan buatan. Kerugian yang mungkin terjadi jika melakukan pengeringan dengan sinar matahari dapat diatasi jika melakukan pengeringan buatan yaitu dengan menggunakan suatu alat atau mesin pengering. Pada pengeringan buatan dapat diperoleh simplisia dengan mutu yang lebih baik karena pengeringan akan lebih merata dan waktu pengeringan akan lebih cepat, tanpa dipengaruhi oleh keadaan cuaca (Anonim, 1985). 5. Sortasi kering Sortasi kering bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Demikian pula adanya partikel-partikel pasir, besi dan benda-benda tanah lain yang tertinggal harus dibuang sebelum simplisia dibungkus (Anonim, 1985). Sortasi kering dapat dilakukan secara mekanik terutama pada simplisia bentuk rimpang di mana jumlah akar yang melekat pada rimpang terlalu besar. Proses sortasi kering ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan (Anonim, 1985).
C. Ekstrak 1. Definisi Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi standar baku
18
yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin yang terkena panas (Anonim, 2000). Menurut Voigt (1994), ekstrak dikelompokkan menurut sifat-sifatnya menjadi: a. Ekstrak encer (extractum tenue). Sediaan ekstrak encer ini memiliki konsistensi madu dan mudah dituang. b. Ekstrak kental (extractum spissum). Sediaan ekstrak kental ini memiliki konsistensi liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang serta kandungan airnya berjumlah sampai 30%. c. Ekstrak kering (extractum siccum). Sediaan ekstrak kering ini memiliki konsistensi kering dan mudah digosokkan dengan kandungan lembab tidak lebih dari 5%. d. Ekstrak cair (extractum fluidum). Pada ekstrak cair memiliki konsistensi cair dan mudah dituang. 2. Metode ekstraksi Penyarian (ekstraksi) merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Adanya zat aktif yang terkandung akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara penyarian yang tepat (Anonim, 1986 a). Secara umum, penyarian dapat dibedakan menjadi infundasi, maserasi, perkolasi, destilasi uap dan sering terdapat modifikasi, seperti
19
misalnya maserasi dapat disempurnakan dengan digesti. Masing-masing proses penyarian tersebut dapat dijelaskan di bawah ini : a. Infundasi. Infudasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahanbahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh karena itu, sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Anonim, 1986 a). Infus merupakan sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada suhu 90°C selama 15 menit. Pembuatan infusa adalah dengan cara bahan dimasukkan dalam panci infus dan diberi air secukupnya, panaskan di tangas air selama 15 menit terhitung mulai tercapai suhu 90°C sambil sekali-sekali diaduk. Serkai selagi panas melalui kain flannel, tambahkan air secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki (Anonim, 1995). b. Maserasi. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana (Voigt, 1994). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia atau bahan dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar (Anonim, 1986 a).
20
c. Perkolasi. Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan pada bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi. Selain itu, pada perkolasi, ruangan di antara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari. Kecilnya saluran kapiler tersebut menyebabkan kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi (Anonim, 1986 a). d. Penyarian berkesinambungan. Proses ini dengan cara penggabungan antara proses penyarian yang dilanjutkan dengan proses penguapan. Keuntungan dari penyarian berkesinambungan ini antara lain cairan penyari yang diperlukan lebih sedikit dan secara langsung diperoleh hasil yang lebih dekat. Selain itu, serbuk simplisia disari oleh cairan penyari yang murni sehingga dapat menyari zat aktif lebih banyak. Penyarian dapat diteruskan sesuai dengan keperluan, tanpa menambah volume cairan penyari (Anonim, 1986 a). 3. Penguapan Penguapan adalah proses terbentuknya uap dari permukaan cairan. Pada penguapan, terbentuknya uap berjalan sangat lambat sehingga cairan tersebut
21
mendidih. Selama mendidih, uap tersebut terlepas melalui gelembung-gelembung udara yang terlepas dari cairan. Kecepatan penguapan tergantung pada kecepatan pemindahan panas. Oleh karena itu, alat penguapan dirancang agar dapat memberikan pemindahan panas yang maksimal kepada cairan. Permukaan harus seluas mungkin dan lapisan batas dikurangi. Pada pemilihan alat yang tepat harus diperhatikan sifat bahan yang akan diuapkan (Anonim, 1986 a). Ekstrak cair yang memiliki konsistensi cair dan kandungan pelarutnya yang masih tinggi dapat diubah menjadi bentuk ekstrak kental. Proses pengentalan ini dapat dilakukan melalui penguapan dengan menggunakan alat Vacum Rotary Evaporator (Voigt, 1994). Proses pengentalan dengan menggunakan Vacum Rotary Evaporator yaitu perputaran labu dalam sebuah pemanas yang berisi air pada temperatur dan kecepatan putar tertentu, akan menguapkan cairan yang terkandung dalam ekstrak. Pembesaran permukaan penguapan menyebabkan penguapan berlangsung dalam waktu lebih singkat. Pengaturan dalamnya pencelupan ke dalam penangas air, suhu penangas, hampa udara dan suhu pendingin membuat kondisi optimal dapat terpenuhi sehingga proses pengentalan ekstrak dapat berlangsung cepat (Voigt, 1994).
D. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi
adalah
prosedur
pemisahan
senyawa
campuran
berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi, karena adanya perbedaan koefisien distribusi masing-masing senyawa di antara dua fase yang saling bersinggungan
22
dan tidak saling campur, yang disebut sebagai fase gerak (mobile phase) yang berupa zat cair atau zat gas dan fase diam (stationary phase) yang berupa zat cair atau zat padat (Noegrohati, 1994). KLT digunakan untuk pemisahan senyawa secara cepat dengan menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada lempeng kaca (Anonim, 1979). Fase diam yang umum digunakan adalah silika gel, aluminium oksida, selulosa dan turunannya, poliamida dan lain-lain. Silika gel paling banyak digunakan (Stahl, 1983). Silika gel GF254 artinya silika tersebut mengandung gypsum (CaSO4½H2O) yang merupakan pengikat, dengan cara meningkatkan gaya adhesi antara partikel senyawa dengan silika dan juga meningkatkan gaya adhesi antar partikel silika. F254 adalah indikator fosforesensi pada panjang gelombang 254 nm yang berarti silika tersebut dapat berfosforesensi pada panjang gelombang 254 nm (Jork, 1990).
Gambar 4. Struktur silika gel (Anonim, 2005)
Silika gel dapat digunakan sebagai fase polar maupun non polar. Silika gel untuk fase non polar terbuat dari silika yang dilapisi dengan senyawa non polar misalnya, lemak, parafin, minyak silikon raber gom, atau lilin. Fase gerak air yang polar dapat digunakan sebagai eluen (Sjahid, 2008). Pada selulosa,
23
polaritasnya tinggi dan dapat digunakan sebagai pemisah secara partisi, baik dengan bentuk kertas maupun bentuk lempeng. Kedua bentuk tersebut masih sering digunakan untuk pemisahan flavonoid. Ukuran partikel yang digunakan kira-kira 50 µm, maka elusinya lebih lambat. Fase diam ini sekarang sudah diganti dengan bubuk selulosa yang dapat dilapiskan pada kaca seperti halnya fase diam yang lain sehingga lebih efisien dan lebih banyak digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa polar atau isomer (Sjahid, 2008). Fase gerak terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Fase gerak tersebut bergerak di dalam fase diam karena adanya gaya kapiler. Laju rambat tergantung kepada viskositas pelarut dan tentu juga kepada stuktur lapisan (Stahl, 1983). Bejana harus dapat menampung pelat 200x200 mm dan harus tertutup rapat. Untuk kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih yang lebarnya 18-20 cm dan panjangnya 45 cm ditaruh pada dinding sebelah dalam bejana berbentuk U dan dibasahi dengan pelarut pengembang. Tingkat kejenuhan bejana mempunyai pengaruh yang nyata pada pemisahan dan letak bercak pada bercak (Stahl, 1983). Larutan pembanding mengandung campuran terdiri atas 1-5 senyawa yang diketahui, dengan konsentrasi yang telah diketahui pula. Apabila mungkin, senyawa pembanding ini sama dengan senyawa yang terdapat di dalam larutan cuplikan tetapi boleh juga senyawa lain yang berbeda, yang mempunyai sifat rambat serupa dengan senyawa cuplikan (Stahl, 1983). Bercak atau pita ditotolkan pada jarak 15 mm dari tepi bawah lapisan. Jarak suatu bercak awal, yang berukuran 3-5 mm, ke bercak awal lainnya dan
24
jarak antara bercak paling pinggir dengan tepi samping sekurang-kurangnya 10 mm, biasanya ditotolkan 1-10 µl larutan 0,1–1%. Pada penotolan, disarankan agar menggunakan mikropipet berujung runcing, khusus berskala 1 µl dan bervolume 10 µl (1 ml = 1000 µl) (Stahl, 1983). Proses kerja dengan KLT yaitu dengan menempatkan pada dua sisi bejana kromatografi, 2 helai kertas saring, tinggi 18 cm, lebar sama dengan panjang bejana. Larutan fase gerak dimasukkan lebih kurang 100 ml ke dalam bejana kromatografi hingga tinggi pelarut 0,5 cm sampai 1 cm, kemudian ditutup rapat dan kertas saring harus basah seluruhnya. Pada dasar bejana, kertas saring harus tercelup ke dalam pelarut. Tahap selanjutnya yaitu dilakukan penotolan larutan sampel dan standar, menurut cara yang tertera pada masing-masing monografi dengan jarak kira-kira 1,5 cm-2 cm dari tepi bawah lempeng, biarkan kering. Bejana kemudian ditutup rapat dan dibiarkan hingga pelarut merambat 1015 cm di atas titik penotolan, keluarkan dan keringkan. Deteksi awal dengan mengamati bercak di bawah sinar ultraviolet pada panjang gelombang pendek (254 nm), kemudian dengan sinar ultraviolet panjang gelombang panjang (366 nm). Selanjutnya, dilakukan pengukuran dan pencatatan jarak bercak dari titik penotolan dan catat panjang gelombang untuk tiap bercak yang tampak. Apabila diperlukan, bercak disemprot dengan peraksi yang tertera pada monografi, kemudian bandingkan bercak sampel dengan bercak standar (Anonim,1979). Jarak pengembangan senyawa pada bercak biasanya dinyatakan dengan angka Rf yaitu : Rf =
jarak titik pusat bercak awal jarak garis depan dari titik awal
25
Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100. Apabila angka Rf lebih tinggi daripada Rf yang dinyatakan, kepolaran pelarut harus dikurangi tetapi bila angka Rf lebih rendah, komponen polar pelarut harus dinaikkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara, misalnya, pada pengaturan sistem kloroform-metanol (Stahl, 1983). Deteksi yang paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan penyerapan di daerah UV gelombang pendek (254 nm) dan gelombang panjang (365 nm). Apabila dengan kedua cara itu, senyawa tidak dapat dideteksi, harus dicoba dengan reaksi kimia; pertama tanpa dipanaskan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Stahl, 1983).
E. Densitometri Densitometri merupakan salah satu dari metode analisis kuantitatif. Penetapan kadar suatu senyawa dengan metode ini dilakukan dengan mengukur kerapatan bercak senyawa yang dipisahkan dengan cara KLT (Hardjono, 1985). Alat densitometri mempunyai sumber sinar yang bergerak di atas bercak pemisahan pada lempeng kromatografi yang akan ditetapkan kadar komponennya. Lazimnya lempeng itu digerakkan menyusuri berkas sinar tersebut. Bercak yang kecil dan intensif akan menghasilkan suatu puncak kurva absorbsi yang sempit dan tajam, sebaliknya bercak yang lebar akan menghasilkan puncak kurva absorbsi yang melebar dan tumpul (Sudjadi, 1988).
26
Teknik pengukuran dapat didasarkan atas pengukuran intensitas sinar yang diserap (absorbansi), intensitas sinar yang dipantulkan (reflaktansi) atau intensitas sinar yang difluoresensikan (fluoresensi). Teknik
pengukuran
berdasarkan reflaktansi di mana sinar datang sebagian diserap dan sebagian lagi dipantulkan (Mintarsih, 1990). Sifat pemantulan akan menjadi sensitif dan selektif bila sinar yang datang adalah monokromatis. Di sini, biasanya dipilih sinar pada panjang gelombang yang diserap paling banyak oleh noda yang diteliti. Banyaknya sinar yang direfleksikan akan ditangkap oleh suatu alat yang disebut reflection
photomultiplier yang akan diteruskan ke pencatat atau rekorder untuk diubah menjadi suatu puncak atau kromatogram. Luas puncak atau tinggi puncak sesuai dengan konsentrasi senyawa pada noda yang diukur kerapatannya. Penelusuran bercak akan mendapatkan hasil yang baik apabila dilakukan pada panjang gelombang maksimum karena perubahan konsentrasi pada bercak sedikit saja sudah dapat terdeteksi (Mintarsih, 1990). Pada beberapa alat TLC scanner, sudah dilengkapi alat pemroses data atau mikro komputer sehingga tinggi puncak dapat langsung dicatat sebagai data sekaligus dengan bercaknya dan dapat pula dicatat langsung sebagai kadarnya, melalui teknik pemrogaman tertentu (Mintarsih, 1990). Penelusuran bercak dapat dilakukan secara horisontal maupun vertikal (scanning horizontal atau scanning vertical). Penelusuran bercak secara horisontal dapat dilakukan satu persatu atau apabila satu pelat bercak yang diperoleh segaris semua maka dapat dilakukan penelusuran untuk semua bercak sekaligus
27
sedangkan cara penelusuran vertikal, hanya dapat dilakukan satu per satu (Mintarsih, 1990). Pelat yang digunakan untuk KLT-densitometri sebaiknya digunakan pelat buatan pabrik karena pada pelat buatan sendiri fase diamnya kurang kompak, sehingga akan mempengaruhi hasil penelusuran dengan densitometri yaitu berupa puncak yang lebar dan kasar. Puncak yang lebar disebabkan kurang kompaknya fase diam sedangkan puncak yang kasar disebabkan permukaan pelat yang kurang rata (Mintarsih, 1990). Terdapat dua cara penetapan dengan alat densitometer. Pertama, setiap kali penelitian ditotolkan dengan sediaan baku dari senyawa yang bersangkutan dan dielusi dalam satu lempeng, kemudian AUC (luas daerah di bawah kurva) sampel dibandingkan dengan AUC zat baku. Kedua, dengan membuat kurva baku hubungan antara jumlah zat baku dengan AUC (Supardjan, 1987).
F. Keterangan Empiris Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang dianalisis secara deskriptif. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai jenis tanin yang terdapat dalam ekstrak etanolik daun jati belanda yang berasal dari kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan reprodusibilitas proses ekstraksi menggunakan cairan penyari etanol melalui pengukuran AUC tanin.
28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental karena tidak diberikan perlakuan terhadap subjek uji. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia dan Kimia Analisis Instrumen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut: a. Pengumpulan bahan b. Determinasi tanaman c. Pembuatan simplisia daun jati belanda d. Pembuatan serbuk daun jati belanda e. Pembuatan ekstrak etanolik daun jati belanda f. Identifikasi kandungan tanin secara kualitatif dengan KLT g. Pengukuran AUC tanin dengan KLT-densitometri
B. Definisi Operasional 1. Ekstrak etanolik daun jati belanda adalah ekstrak yang dibuat dari daun tanaman Guazuma ulmifolia Lamk., suku Sterculiaceae menggunakan cairan penyari etanol 95% dengan metode maserasi. Ekstrak cair yang diperoleh diuapkan dengan Vacuum Rotary Evaporator dan dilanjutkan dengan
28
29
menguapkan sisa pelarut di dalam oven hingga diperoleh ekstrak kental dengan konsistensi liat dan tidak dapat dituang. 2. Identifikasi kandungan tanin dilakukan secara kualitatif dengan KLT dan reprodusibilitas proses ekstraksi melalui pengukuran AUC tanin dengan KLTdensitometri.
C. Alat dan Bahan 1. Alat penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : blender (Retsch), timbangan analitik (Precision Balance Model AB-204, Mettler
Toledo),oven (Memmert), Vacuum Rotary Evaporator (Janke & Kunkel Ika Labortechnik), TLC Densitometry Scanner (Camag TLC Scanner 3, seri no. 160602), alat-alat gelas (pyrex), shaker (Innova 2100), corong Buchner, penangas air, cawan porselin, cawan kaca, flakon, lampu ultra violet (UV) dengan λ 254 nm dan 365 nm (Cabinet).
2. Bahan penelitian Bahan baku yang digunakan adalah daun jati belanda yang berasal dari kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Bahan kimia yang digunakan meliputi etanol 95% teknis, etanol 70% teknis, petroleum eter p.a (Merck), kloroform teknis, metanol p.a (Merck), asam asetat p.a (Merck), etil asetat p.a (Merck), asam formiat teknis, besi (III) klorida p.a (Merck), silika GF254
p.a. Bahan lainnya berupa kertas saring dan aquadest dari laboratorium
30
Farmakognosi Fitokimia dan Kimia Analisis Instrumen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
D. Tata Cara Penelitian 1. Pengumpulan bahan Daun jati belanda diambil dari satu pohon di kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta pada bulan Juni 2009. Waktu pengambilan daun pagi hari yaitu pukul 9 hingga 10. Daun yang diambil adalah daun tua, yang telah membuka sempurna yaitu daun ke-4 sampai ke-8 dari pucuk.
2. Determinasi tanaman Determinasi
tanaman
Farmakognosi-Fitokimia,
jati
Fakultas
belanda Farmasi,
dilakukan Universitas
di
Laboratorium
Sanata
Dharma,
Yogyakarta secara makroskopik dengan membandingkan ciri-ciri morfologi tanaman jati belanda yang digunakan dengan determinasi menurut Backer dan Backhuizen van den Brink (1963).
3. Pembuatan simplisia daun jati belanda Daun jati belanda dibersihkan dan dicuci dengan air mengalir. Daun yang telah dicuci kemudian diangin-anginkan untuk menghilangkan sisa-sisa air dari proses pencucian dan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 45ºC selama 2 hari.
31
4. Pembuatan serbuk daun jati belanda Daun jati belanda yang telah kering diserbuk dengan blender sehingga dihasilkan serbuk kering daun jati belanda. Serbuk daun jati belanda kemudian diayak menggunakan pengayak dengan nomor mesh 12/50.
5. Pembuatan ekstrak etanolik daun jati belanda Ekstrak dibuat dengan cara maserasi menggunakan etanol 95%. Satu bagian serbuk kering yaitu sebanyak 15 gram dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, ditambah 10 bagian etanol 95% yaitu 150 ml, direndam selama 6 jam sambil dilakukan penggojogan dengan menggunakan shaker, kemudian didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan dan proses diulangi 2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan
Vacuum Rotary Evaporator kemudian dilanjutkan dengan menguapkan sisa pelarut menggunakan oven hingga diperoleh ekstrak kental.
6. Identifikasi tanin secara kualitatif dengan KLT a. Pembuatan larutan standar. Sebanyak 0,01 gram asam tanat dilarutkan dalam 5,0 ml etanol 70%. b. Pembuatan larutan sampel. Sebanyak 1 gram ekstrak daun jati belanda disari dengan petroleum eter 5,0 ml pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi petroleum eter disaring dan dipisahkan, kemudian ekstrak disari dengan kloroform : asam asetat (99 : 1) 5,0 ml pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi kloroform asam asetat disaring dan dipisahkan, kemudian ekstrak disari dengan metanol : kloroform : asam asetat (49,5 : 49,5 : 1) 5,0 ml pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi metanol-kloroform-asam asetat kemudian dapat langsung ditotolkan.
32
c. Identifikasi tanin dengan KLT. Larutan standar dan sampel ditotolkan sebanyak 5 µl pada pelat KLT dengan fase diam silika gel GF254. Larutan standar dan sampel ditotolkan masing-masing 3 kali replikasi. Pelat KLT dimasukkan ke dalam bejana yang sudah dijenuhkan dengan fase gerak etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100 : 11 : 11 : 27) v/v. Pengembangan dilakukan sepanjang 10 cm kemudian pelat dikeringkan. Deteksi dilakukan dengan menggunakan lampu UV dengan panjang gelombang 254 dan 365 nm, kemudian dilanjutkan dengan penyemprotan dengan menggunakan pereaksi besi (III) klorida.
7. Pengukuran AUC tanin dengan KLT-densitometri a. Pembuatan larutan sampel. Menimbang seksama kurang lebih 1 gram ekstrak daun jati belanda disari dengan petroleum eter 5,0 ml pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi petroleum eter disaring dan dipisahkan, kemudian ekstrak disari dengan kloroform : asam asetat (99 : 1) 5,0 ml pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi kloroform asam asetat disaring dan dipisahkan, kemudian ekstrak disari dengan metanol : kloroform : asam asetat (49,5 : 49,5 : 1) 5,0 ml pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi metanol : kloroform : asam asetat kemudian dapat langsung ditotolkan. b. Identifikasi tanin dengan KLT. Larutan sampel ditotolkan sebanyak 5 µl pada pelat KLT dengan fase diam silika gel GF254. Larutan sampel ditotolkan sebanyak 3 kali replikasi. Pelat KLT dimasukkan ke dalam bejana yang sudah dijenuhkan dengan fase gerak etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100 : 11 : 11 : 27) v/v. Pengembangan dilakukan sepanjang 10 cm kemudian pelat dikeringkan.
33
c. Pengukuran AUC bercak sampel dengan TLC Densitometry Scanner. Pada pengukuran AUC bercak sampel, sebelumnya dilakukan penentuan panjang gelombang serapan maksimum. Panjang gelombang serapan maksimum diperoleh dengan cara menelusuri bercak pada panjang gelombang 200 nm sampai 380 nm. Bercak sampel yang didapat kemudian diukur kerapatannya dengan TLC
Densitometry Scanner sehingga diperoleh luas area di bawah kurva. Pengukuran AUC dilakukan pada panjang gelombang serapan maksimum yang diperoleh.
E. Analisis Hasil Hasil yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Analisis hasil secara kualitatif dilakukan dengan memaparkan hasil berupa harga Rf dan warna bercak sebelum dan setelah penyemprotan dengan pereaksi besi (III) klorida pada standar asam tanat dan sampel menggunakan metode KLT. Analisis hasil mengenai reprodusibilitas proses ekstraksi melalui pengukuran AUC tanin dilakukan dengan memaparkan nilai AUC dan CV yang diperoleh menggunakan metode KLTdensitometri.
34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengumpulan Bahan Bahan baku berupa daun jati belanda yang diambil dari satu pohon di kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pengambilan daun dilaksanakan pada bulan Juni 2009. Waktu pengambilan daun dilakukan pada pagi hari yaitu pukul 9 hingga 10 pagi karena dengan adanya sinar matahari akan membantu berlangsungnya proses fotosintesis sehingga diharapkan kandungan kimianya dapat optimal. Daun yang diambil adalah daun tua, yang telah membuka sempurna yaitu daun ke-4 sampai ke-8 dari pucuk. Daun yang telah membuka sempurna berarti mendapatkan sinar matahari yang cukup sehingga kandungan kimia yang dihasilkan diharapkan dapat optimal. Selain itu, dipilih daun ke-4 sampai ke-8 karena apabila daun yang diambil kurang dari daun ke-4, daun belum cukup tua sehingga dikhawatirkan kandungan kimia yang dihasilkan belum optimal. Apabila daun yang diambil setelah daun ke-8, daun sudah terlalu tua, dikhawatirkan mutunya rendah karena kandungan kimianya sudah terdegradasi.
B. Determinasi Tanaman Determinasi tanaman bertujuan untuk memastikan apakah bahan baku tanaman yang digunakan adalah daun jati belanda. Determinasi tanaman ini dilakukan di laboratorium Farmakognosi-Fitokimia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta secara makroskopik dengan membandingkan ciri-ciri morfologi
34
35
tanaman jati belanda yang digunakan dengan buku acuan yang ada. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah Guazuma ulmifolia Lamk.
C. Pembuatan Simplisia Daun Jati Belanda Pada proses pembuatan simplisia daun jati belanda, tahap pertama yang dilakukan adalah sortasi basah. Sortasi basah bertujuan untuk memisahkan kotoran-kotoran dan bahan asing lain misalnya rumput, batang dan serangga seperti semut yang melekat pada daun. Tahap selanjutnya dilakukan pencucian daun. Pada proses pencucian, daun dicuci dan dibersihkan dengan air mengalir. Pencucian ini dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lain. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi. Oleh karena itu, tanah yang dibersihkan dari simplisia dapat mengurangi jumlah mikroba (Anonim, 1985). Daun yang telah dicuci, kemudian ditiriskan dan disebarkan secara merata di atas meja dengan tujuan untuk menghilangkan sisa-sisa air dari proses pencucian. Daun yang telah berkurang kelembabannya kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 45ºC selama 2 hari. Suhu yang digunakan yaitu 45°C karena bahan simplisia biasanya dikeringkan pada suhu 30°C sampai 90°C, tetapi suhu pengeringan yang terbaik adalah tidak melebihi 60°C (Anonim, 1985). Suhu yang terlalu tinggi dapat merusak kandungan kimia yang terdapat dalam daun jati belanda. Pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air pada daun dan mendapatkan bahan yang tidak mudah rusak oleh jamur, bakteri dan mikroorganisme lainnya sehingga
36
dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Pengeringan di dalam oven juga bertujuan agar bahan simplisia tidak tercemar oleh pengotor dari luar, misalnya debu. Pengeringan menggunakan oven yang tertutup rapat memungkinkan panas menyebar secara merata di dalamnya sehingga hasil pengeringan pun akan lebih merata. Selain itu, adanya suhu yang diatur di dalam oven menyebabkan pengeringan akan lebih cepat. Pengeringan dilakukan selama 2 hari untuk memperoleh daun yang benar-benar kering. Daun yang benar-benar kering dapat diketahui dengan cara meremas daun sampai dapat hancur. Daun yang telah kering tersebut akan memudahkan dalam proses penyerbukan. Tahap akhir dalam proses pembuatan simplisia yaitu dilakukan sortasi kering yang bertujuan untuk memisahkan pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia daun. Simplisia daun jati belanda yang telah dipisahkan dari pengotor kemudian siap untuk diserbuk.
D. Pembuatan Serbuk Daun Jati Belanda Pembuatan serbuk simplisia dilakukan dengan menggunakan blender sehingga dihasilkan serbuk kering daun jati belanda. Pembuatan serbuk ini bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel. Serbuk kering daun kemudian diayak menggunakan ayakan dengan nomor mesh 12/50. Tujuan dari pengayakan ini adalah untuk memperoleh serbuk yang kecil dan seragam sehingga luas permukaan kontak dengan pelarut semakin besar dan diharapkan kandungan zat aktif pada daun yang tersari lebih banyak.
37
Berdasarkan Anonim 1977, kecuali dinyatakan lain, seluruh simplisia harus dihaluskan menjadi serbuk dengan derajat halus (4/18). Pada proses pengayakan terdapat pembatasan derajat halus untuk simplisia tertentu. Hal ini dikarenakan serbuk yang terlalu halus akan mempersulit proses penyaringan karena butir-butir halus serbuk akan membentuk suspensi yang sulit dipisahkan dengan hasil penyarian. Hal demikian dapat menyebabkan hasil penyarian tidak murni lagi tetapi tercampur dengan partikel-partikel halus tadi. Selain itu, penyerbukan yang terlalu halus dapat menyebabkan banyak dinding sel yang pecah sehingga zat yang tidak diinginkan pun ikut ke dalam hasil penyarian (Anonim, 1986 a). Derajat halus suatu serbuk yang dinyatakan dengan 2 nomor dimaksudkan bahwa semua serbuk dapat melalui pengayak dengan nomor terendah dan tidak lebih dari 40% melalui pengayak dengan nomor tertinggi. Pada proses pengayakan ini, berarti serbuk dapat melalui pengayak dengan nomor 12 dan tidak lebih dari 40% melalui pengayak dengan nomor 50. Jenis pengayak yang digunakan dinyatakan dengan nomor mesh, dilakukan melalui konversi angka derajat halus, yaitu mengalikan 4/18 dengan 2,54 (1 inchi) (Anonim, 1977). Hasil yang didapat dari konversi yaitu ayakan dengan nomor mesh 10/45 tetapi karena terbatasnya ketersediaan alat di laboratorium maka digunakan ayakan dengan nomor mesh 12/50. Pengayakan dengan nomor mesh 12/50 ini tidak memberikan berpengaruh pada proses penyarian karena serbuk yang dihasilkan tidak ikut masuk ke dalam ekstrak cair.
38
Daun yang telah diserbuk kemudian diayak dengan ayakan nomor mesh 12/50. Serbuk daun yang diambil adalah serbuk yang dapat melalui ayakan dengan nomor mesh 12 dan serbuk yang tidak lebih dari 40% melalui ayakan dengan nomor mesh 50. Serbuk daun jati belanda yang telah diayak kemudian disimpan di dalam plastik dan dimasukkan ke dalam wadah berupa toples yang ditutup rapat. Penyimpanan ini bertujuan untuk menjaga agar mutu serbuk daun jati belanda tetap baik selama digunakan.
E. Pembuatan Ekstrak Etanolik Daun Jati Belanda Menurut Anonim 2004 a, dalam pembuatan ekstrak kental daun jati belanda, ekstrak dibuat dengan cara maserasi dengan menggunakan etanol 95%. Cairan penyari yang digunakan yaitu etanol 95% karena tanin dapat larut dalam pelarut organik polar. Etanol 95% merupakan pelarut organik polar sehingga diharapkan dapat melarutkan kandungan tanin pada daun. Selain itu, penggunaan etanol bertujuan untuk menghindari pertumbuhan mikroba pada ekstrak yang diperoleh. Prinsip dari proses maserasi yaitu cairan penyari akan menembus dinding sel daun dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka zat aktif yang terdapat pada sel daun dapat tersari oleh cairan penyari. Pada proses maserasi, serbuk kering daun jati belanda dilarutkan dalam pelarut etanol 95%, kemudian direndam selama 6 jam sambil dilakukan penggojogan menggunakan shaker dan didiamkan selama 24 jam. Penggojogan
39
dengan menggunakan shaker bertujuan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk daun. Selain itu, dengan penggojogan akan tetap terjaga derajat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel daun sehingga kandungan kimia akan terlarut secara optimal dalam cairan penyari. Pendiaman selama 24 jam ditujukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari (Anonim, 1998 a). Maserat yang dihasilkan kemudian dipisahkan menggunakan corong Buchner. Maserat yang diperoleh berupa ekstrak cair daun jati belanda. Proses maserasi diulangi 2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama agar kandungan kimia yang terdapat pada daun jati belanda dapat tersari secara optimal. Ekstrak cair daun jati belanda yang diperoleh, kemudian dikumpulkan dan dikentalkan dengan menggunakan Vacuum Rotary Evaporator. Pengentalan ekstrak cair menggunakan alat ini dapat menjaga stabilitas kandungan kimia yang terdapat pada ekstrak karena adanya penguapan larutan pengekstraksi yang lebih cepat dan karena adanya tekanan serta suhu yang diatur tidak terlalu tinggi. Pengentalan ekstrak cair daun jati belanda dilakukan pada suhu 50°C. Suhu diatur tidak terlalu tinggi karena bila dilakukan pada suhu tinggi, dikhawatirkan kandungan kimia yang terdapat dalam ekstrak menjadi rusak. Hasil dari pengentalan tersebut kemudian dikentalkan lagi di dalam oven dengan suhu 45°C hingga diperoleh ekstrak kental daun jati belanda dengan konsistensi liat dan tidak dapat dituang.
40
a
b
Gambar 5. Ekstrak cair (a) dan ekstrak kental (b) daun jati belanda
Tabel I. Hasil ekstraksi daun jati belanda
Jumlah serbuk yang Ekstraksi diekstraksi (gram) Replikasi 105 I Replikasi 105 II Replikasi 105 III
Hasil ekstrak kental (gram)
Rendemen ekstrak kental (%)
25,60
24,38
24,80
23,62
26,20
24,95
Rendemen rata-rata (%) ± SE
CV
24,32 ± 0,39
1,60%
Berdasarkan hasil ekstraksi dengan cara maserasi, diperoleh ekstrak kental daun jati belanda dengan 3 kali replikasi masing-masing sebanyak gram; gram dan gram dengan berat rata-rata ekstrak kental sebesar 25,53 gram. Rendemen rata-rata ekstrak kental yang diperoleh sebesar 24,32% ± 0,39 dan nilai CV sebesar 1,60%. Nilai CV yang diperoleh masuk dalam batas yaitu ≤ 2%. Hal ini menandakan bahwa reprodusibilitas proses ekstraksi daun jati belanda menggunakan cairan penyari etanol tinggi.
41
F. Identifikasi Tanin secara Kualitatif dengan KLT Ekstrak kental daun jati belanda diketahui mengandung senyawa tanin. Senyawa tanin itu sendiri dibedakan menjadi 2 jenis yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Identifikasi tanin dalam ekstrak etanolik daun jati belanda dilakukan secara kualitatif dengan metode KLT. Identifikasi secara kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui jenis tanin yang terdapat dalam ekstrak etanolik daun jati belanda. Identifikasi secara kualitatif menggunakan metode KLT karena mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode kromatografi yang lain, di antaranya yaitu pengerjaannya sederhana, tidak memerlukan biaya yang besar, waktu yang dibutuhkan relatif singkat dan jumlah sampel yang dibutuhkan lebih sedikit. Data yang diperoleh berupa harga Rf dan warna bercak hasil pengembangan pada pelat KLT. Standar yang digunakan dalam identifikasi ini adalah asam tanat. Asam tanat digunakan sebagai standar karena asam tanat merupakan tanin terhidrolisis. Pada prosesnya, akan diidentifikasi jenis tanin yang terdapat dalam ekstrak etanolik daun jati belanda. Perbandingan kedua jenis tanin tersebut dapat dilihat dari warna bercak, harga Rf dan hasil deteksi kimia dengan penyemprotan menggunakan besi (III) klorida. Apabila tidak menggunakan standar, akan sulit membedakan jenis tanin yang terdapat dalam sampel ekstrak etanolik daun jati belanda. Larutan standar dan sampel terlebih dahulu dibuat sebelum dilakukan penotolan. Pada pembuatan larutan standar, asam tanat dilarutkan dalam etanol 70%. Tanin terhidrolisis dapat larut dalam campuran etanol-air (Robinson, 1995).
42
Oleh karena itu, dipilih etanol 70% karena merupakan campuran etanol-air sehingga diharapkan dapat melarutkan asam tanat. Pada pembuatan larutan sampel, ekstrak etanolik daun jati belanda disari dengan petroleum eter pada suhu 50°C selama 5 menit. Tujuan penyarian dengan petroleum eter di sini adalah untuk melarutkan kandungan pada sampel yang bersifat nonpolar yang tidak diinginkan misalnya minyak lemak dan asam lemak. Penyarian ini dilakukan di atas penangas air pada suhu 50°C dengan tujuan untuk mempercepat pelarutan. Fraksi petroleum eter kemudian disaring dan dipisahkan. Ekstrak kemudian disari lagi dengan kloroform-asam asetat (99 : 1) pada suhu 50°C. Penggunaan kloroform-asam asetat juga digunakan untuk melarutkan senyawa nonpolar yang masih tertinggal di dalam sampel misalnya terpenoid, karotenoid, resin, kafein, friedelin-3αasetat, friedelin 3β-ol, β-sitosterol dan zat pahit. Fraksi kloroformasam asetat kemudian disaring dan dipisahkan. Ekstrak kemudian disari lagi dengan metanol-kloroform-asam asetat (49,5:49,5:1). Penggunaan metanolkloroform-asam asetat diharapkan dapat melarutkan kandungan tanin yang terdapat dalam sampel. Fase diam yang digunakan adalah silika gel GF254 sedangkan fase geraknya adalah etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100 : 11 : 11 : 27)v/v. Fase diam yang digunakan yaitu silika gel memiliki sifat polar karena terdapat ikatan Si-O-H pada permukaannya. Sifat kepolaran silika gel lebih besar dibandingkan dengan fase gerak. Fase gerak yang digunakan memiliki sifat kepolaran yang lebih rendah sehingga pemisahan ini termasuk pemisahan dengan
43
fase normal. Pemisahan dengan fase normal berarti fase diam yang digunakan lebih bersifat polar dibandingkan dengan fase gerak (Sethi, 1996). Pelat KLT yang akan digunakan harus diaktifkan terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 110oC (Sethi, 1996). Proses ini ditujukan untuk mengurangi kandungan air pada silika selama penyimpanan sehingga diharapkan tidak mengganggu selama proses pemisahan bercak. Adanya kandungan air akan sulit menyerap senyawa yang akan dipisahkan. Larutan standar dan sampel ditotolkan sebanyak 5 µl pada fase diam yang berupa pelat KLT. Replikasi pada sampel dilakukan sebanyak 3 kali. Penotolan dilakukan 2 cm dari batas bawah pelat KLT untuk menghindari larutan standar dan sampel yang telah ditotolkan terkena langsung fase gerak karena apabila langsung terkena fase gerak dikhawatirkan pemisahan senyawa tidak akan berlangsung dengan baik. Larutan standar dan sampel yang telah ditotolkan, kemudian dielusi dengan fase gerak etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100 : 11 : 11 : 27) v/v. Pelat KLT dielusi di dalam bejana yang sudah jenuh oleh uap fase gerak, kemudian ditutup rapat menggunakan alumunium foil dan ditimpa dengan lempeng kaca. Penjenuhan bejana dilakukan dengan melapisi dinding bejana dengan kertas saring yaitu setengah dari keliling bejana dan hampir mencapai bagian atas bejana. Bejana dikatakan sudah jenuh, jika kertas saring sudah terbasahi semua oleh uap fase gerak. Penjenuhan ini bertujuan agar pemisahan dapat berlangsung sempurna, perambatan bercak cepat dan optimal, selain itu akan menghasilkan bercak lebih bundar dan lebih baik. Proses pengembangan dilakukan sepanjang 10 cm.
44
Pelat KLT diangkat dari bejana bila pengembangan telah mencapai 10 cm, kemudian dikeringkan. Deteksi awal bercak standar dan sampel dilakukan dengan menggunakan deteksi fisika yaitu dengan dilihat di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 dan 365 nm.
Rf 1,00
0,50
0,00 A
B
C
D
Gambar 6. Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi UV 254 nm Keterangan : Fase gerak Fase diam Bercak A Bercak B Bercak C Bercak D
: etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100:11:11:27) v/v : silika gel GF254 : standar asam tanat : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi I : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi II : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi III
45
Berdasarkan hasil deteksi di bawah lampu UV 254 nm, terlihat bercak standar asam tanat berwarna ungu gelap. Pada bercak sampel, terlihat pemisahan menjadi 5 bercak setiap replikasinya dan berpendar ungu (Gambar 6.)
a.
b. Gambar 7. Gugus kromofor dan ausokrom pada struktur asam tanat (a) dan tanin terkondensasi (b) Keterangan :
kromofor auksokrom
ikatan hidrogen rigid/kaku dan planar
46
Asam tanat dan tanin terkondensasi memiliki gugus kromofor serta auksokrom pada strukturnya. Gugus kromofor memiliki kemampuan untuk menyerap energi radiasi sinar UV sehingga molekul senyawa dapat tereksitasi ke tingkat yang lebih tinggi dan akan kembali lagi ke tingkat dasar sedangkan gugus auksokrom berguna untuk memperkuat intensitas penyerapan sinar UV. Struktur yang rigid/kaku menyebabkan ketika senyawa kembali lagi ke tingkat dasar akan menghasilkan energi emisi yaitu dengan memancarkan warna. Adanya ikatan hidrogen pada asam tanat membentuk siklik sehingga strukturnya menjadi rigid/kaku dan planar. Struktur yang rigid/kaku ini menyebabkan bercak standar berpendar ungu gelap. Pada struktur tanin terkondensasi, terdapat beberapa ikatan hidrogen membentuk siklik sehingga membuat struktur tanin terkondensasi lebih rigid/kaku dan planar dibandingkan asam tanat (Gambar 7.). Struktur yang lebih rigid/kaku ini menyebabkan pendaran yang dihasilkan akan lebih terang. Pada sampel, terlihat bercak pada ketiga replikasi berpendar ungu. Pendaran ini disebabkan senyawa pada bercak sampel mengandung gugus kromofor serta memiliki struktur yang rigid/kaku dan planar dibandingkan dengan standar asam tanat sehingga pendaran yang dihasilkan lebih terang yaitu ungu. Deteksi bercak standar dan sampel selanjutnya dilakukan dengan dilihat di bawah lampu UV 365 nm.
47
Rf 1,00
0,50
0,00 A
B
C
D
Gambar 8. Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi UV 365 nm Keterangan : Fase gerak Fase diam Bercak A Bercak B Bercak C Bercak D
: etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100:11:11:27) v/v : silika gel GF254 : standar asam tanat : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi I : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi II : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi III
Berdasarkan hasil deteksi dengan lampu UV 365 nm, bercak standar tidak berpendar (Gambar 8.). Hal ini berarti asam tanat tidak menyerap energi radiasi sinar UV pada panjang gelombang 365 nm. Berbeda dengan standar, bercak sampel terlihat berpendar kuning. Senyawa pada bercak sampel mengandung gugus kromofor yang dapat menyerap energi radiasi sinar UV pada
48
panjang gelombang 365 nm sehingga molekul senyawa dapat tereksitasi ke tingkat yang lebih tinggi dan akan kembali lagi ke tingkat dasar. Struktur yang rigid/kaku menyebabkan ketika molekul senyawa pada bercak kembali lagi ke tingkat dasar akan menghasilkan energi emisi yaitu dengan memancarkan warna. Hal inilah yang menyebabkan pendaran kuning pada bercak sampel. Pada identifikasi tanin dengan KLT ini, selain warna bercak juga dilihat harga Rf yang dihasilkan pada bercak standar dan sampel (Tabel II.) Tabel II. Harga Rf dan warna bercak sampel dengan KLT sebelum disemprot pereaksi besi (III) klorida
Asal larutan
Bercak
Standar asam tanat Sampel ekstrak replikasi 1 Sampel ekstrak replikasi II Sampel ekstrak replikasi III
Bercak 1 Bercak 2 Bercak 3 Bercak 4 Bercak 5 Bercak 1 Bercak 2 Bercak 3 Bercak 4 Bercak 5 Bercak 1 Bercak 2 Bercak 3 Bercak 4 Bercak 5
Harga Rf bercak
Visual
0,66
-
0,28 0,40 0,46 0,51 0,56 0,28 0,40 0,47 0,51 0,57 0,29 0,41 0,47 0,52 0,56
-
Deteksi UV 254 UV 365 nm nm Ungu Hitam gelap Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning Ungu Kuning
Apabila diamati secara visual, tidak terlihat warna bercak standar maupun sampel tetapi ketika dilihat di bawah lampu UV 254, warna bercak antara standar dan sampel yang dihasilkan hampir mendekati/mirip, yaitu pada standar berpendar ungu gelap sedangkan pada sampel berpendar ungu (Tabel II.).
49
Walaupun warna bercak antara standar dan sampel hampir mirip tetapi harga Rf yang dihasilkan antara bercak standar dan sampel tidak sama. Harga Rf bercak standar yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan kelima bercak pemisahan sampel. Harga Rf bercak standar yaitu 0,66 sedangkan bercak sampel pada kisaran 0,28-0,57. Harga Rf yang lebih tinggi pada standar menandakan bahwa sifat kepolarannya mirip dengan fase gerak sehingga interaksinya dengan fase gerak pun lebih besar.
Gambar 9. Interaksi antar komposisi fase gerak Keterangan :
ikatan hidrogen
Fase gerak yang digunakan bersifat polar di mana sifat kepolarannya lebih rendah dibandingkan dengan fase diam. Pada gambar 9 terlihat adanya interaksi antar komposisi fase gerak dengan membentuk ikatan hidrogen.
50
Gambar 10. Interaksi asam tanat dengan fase gerak
Gambar 11. Interaksi tanin terkondensasi dengan fase gerak Keterangan :
ikatan hidrogen
51
Pada gambar 10 dan 11 terlihat bahwa terjadi interaksi antara asam tanat dengan fase gerak dan interaksi antara tanin terkondensasi dengan fase gerak membentuk ikatan hidrogen. Pada strukturnya, asam tanat memiliki gugus OH yang lebih banyak daripada gugus OH pada struktur tanin terkondensasi sehingga interaksi yang terjadi antara asam tanat dengan fase gerak pun lebih besar. Hal ini menyebabkan harga Rf yang dihasilkan oleh bercak standar asam tanat lebih tinggi daripada bercak sampel (Tabel II.). Selain itu, struktur pada asam tanat kurang planar dibandingkan dengan struktur tanin terkondensasi. Struktur yang kurang planar ini menyebabkan probabilitas asam tanat untuk terelusi oleh fase gerak semakin besar sehingga bercak standar asam tanat harga Rf yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan bercak sampel. Pada bercak sampel, terlihat bahwa harga Rf yang dihasilkan lebih rendah daripada bercak standar (Tabel II.). Harga Rf bercak sampel yang dihasilkan berbeda dengan bercak standar sehingga dapat disimpulkan bahwa pada bercak sampel diduga mengandung tanin yang berbeda dengan asam tanat. Bercak sampel diduga mengandung tanin terkondensasi. Pada strukturnya tanin terkondensasi memiliki gugus OH yang lebih sedikit sehingga interaksi yang terjadi dengan fase gerak pun lebih rendah (Gambar 11.). Interaksi ini menyebabkan bercak sampel lebih tertahan pada fase diam sehingga harga Rf yang dihasilkan pun lebih rendah dibandingkan harga Rf bercak standar. Interaksi antara asam tanat dengan fase diam dan interaksi antara tanin terkondensasi dengan fase gerak yaitu dengan membentuk ikatan hidrogen. Interaksi bercak standar dan sampel dengan fase diam ini sama halnya dengan
52
interaksi yang terjadi dengan fase gerak. Bila dilihat dari strukturnya, tanin terkondensasi mempunyai struktur yang lebih planar dibandingkan dengan asam tanat. Struktur yang planar ini menyebabkan probabilitas untuk berinteraksi antara bercak sampel dengan fase diam pun lebih besar. Hal ini menyebabkan bercak yang diduga mengandung tanin terkondensasi lebih tertahan pada fase diam dan harga Rf yang dihasilkan pun lebih rendah dibandingkan harga Rf bercak standar asam tanat. Berdasarkan hasil deteksi fisika menggunakan lampu UV 254 dan 365 nm, diketahui bahwa bercak sampel diduga mengandung tanin terkondensasi. Deteksi selanjutnya dilakukan dengan deteksi kimia yaitu dengan menggunakan pereaksi semprot besi (III) klorida. Penyemprotan dengan besi (III) klorida dapat untuk membedakan tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi (Robinson, 1995). Deteksi ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan warna bercak yang dihasilkan antara kedua jenis tanin yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Bercak sampel kemudian dideteksi secara kimia menggunakan pereaksi semprot besi (III) klorida.
53
Rf 1,00
0,50
0,00 A
B
C
D
Gambar 12. Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi menggunakan pereaksi semprot besi (III) klorida Keterangan : Fase gerak Fase diam Bercak A Bercak B Bercak C Bercak D
: etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100:11:11:27) v/v : silika gel GF254 : standar asam tanat : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi I : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi II : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi III
Pada hasil deteksi dengan penyemprotan besi (III) klorida, didapat hasil bercak standar asam tanat terlihat berwarna biru kehitaman sedangkan kelima bercak pemisahan sampel pada setiap replikasi berwarna hijau kecokelatan
54
(Gambar 12.). Terjadinya warna tersebut karena terbentuknya komplek logam Fe dengan gugus fenol pada salah satu benzen dalam struktur asam tanat maupun tanin terkondensasi. Berikut adalah reaksi antara tanin terkondensasi dengan pereaksi besi (III) klorida menghasilkan senyawa kompleks.
OH
O
HO
OH OH OH OH
O OH
HO
+
FeCl3
3
OH OH O
OH HO
OH
OH OH
3+ OH
OH
OH
HO
OH
HO
O
O
O
HO
HO
HO
HO
HO
O
OH
OH
O H
+
Fe
3HCl-
HO
O
OH
H O H
O O
HO
O O
HO
HO
OH
OH
OH
OH OH
HO O
O OH
HO
HO
OH
HO
OH
OH
OH HO OH HO
O
O
OH OH OH OH
Gambar 13. Reaksi tanin terkondensasi dengan pereaksi semprot besi (III) klorida
55
Tabel III. Harga Rf dan warna bercak sampel dengan KLT setelah disemprot pereaksi besi (III) klorida
Asal larutan
Bercak
Standar asam tanat Sampel ekstrak replikasi 1
Sampel ekstrak replikasi II
Sampel ekstrak replikasi III
Bercak 1 Bercak 2 Bercak 3 Bercak 4 Bercak 5 Bercak 1 Bercak 2 Bercak 3 Bercak 4 Bercak 5 Bercak 1 Bercak 2 Bercak 3 Bercak 4 Bercak 5
Harga Rf bercak
Visual
0,66
Biru kehitaman
0,28 0,40 0,46 0,51 0,56 0,28 0,40 0,47 0,51 0,57 0,29 0,41 0,47 0,52 0,56
Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan Hijau kecokelatan
Berdasarkan deteksi kimia dengan penyemprotan menggunakan pereaksi besi (III) klorida, harga Rf bercak standar dan sampel sama seperti sebelum disemprot tetapi warna bercak standar dan sampel yang dihasilkan berbeda. Menurut Bruneton (1999), penyemprotan dengan menggunakan besi (III) klorida pada tanin terhidrolisis menampakkan bercak berwarna biru kehitaman dan pada tanin
terkondensasi
menampakkan
bercak
berwarna
hijau
kecokelatan.
Berdasarkan hasil deteksi yang diperoleh, bercak asam tanat yang merupakan tanin terhidrolisis memberikan warna biru-kehitaman setelah disemprot dengan besi (III) klorida sedangkan pada bercak sampel berwarna hijau kecokelatan. Warna hijau kecokelatan menunjukkan bahwa pada sampel ekstrak etanolik daun jati belanda diduga mengandung tanin terkondensasi.
56
G. Pengukuran AUC Tanin dengan KLT-Densitometri Bercak sampel yang diduga mengandung tanin terkondensasi diukur nilai AUC-nya menggunakan TLC Densitometry Scanner. Tahap awal yang dilakukan yaitu dengan penentuan panjang gelombang serapan maksimum kemudian dilakukan pengukuran AUC bercak sampel pada panjang gelombang serapan maksimum yang diperoleh.
1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum Penentuan panjang gelombang serapan maksimum diperoleh dengan cara menelusuri bercak sampel pada panjang gelombang 200 nm sampai 380 nm. Penelusuran ini dilakukan untuk memperoleh panjang gelombang yang dicapai pada saat terjadi serapan maksimum yang ditunjukkan dengan terbentuknya puncak kurva.
Gambar 14. Hasil scanning panjang gelombang serapan maksimum pada bercak sampel dengan TLC Densitometry Scanner
57
Berdasarkan hasil penelusuran, diperoleh panjang gelombang serapan maksimum bercak sampel yaitu 332 nm. Panjang gelombang serapan maksimum ini digunakan untuk mengukur AUC bercak sampel yang diduga mengandung tanin terkondensasi.
2. Pengukuran AUC bercak sampel AUC bercak sampel yang diduga mengandung tanin terkondensasi diukur pada panjang gelombang 332 nm menggunakan TLC Densitometry
Scanner. Reprodusibilitas proses ekstraksi ditunjukkan dengan nilai AUC bercak sampel yang diperoleh. Hasil pengukuran AUC bercak sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel IV . Nilai AUC bercak sampel
Replikasi I 11108,1
II 10512,5
III 10887,3
Rata-rata ± SE 10835,9667 ± 173,8401
CV
1,6043%
Berdasarkan hasil pengukuran AUC bercak sampel diketahui bahwa dalam 1g/5ml sampel ekstrak etanolik daun jati belanda pada totolan sebanyak 5 µl, diduga mengandung tanin terkondensasi dengan nilai AUC rata-rata sebesar 10835,9667 ± 173,8401 dan CV sebesar 1,6043%. Menurut Harmita (2004), nilai CV yang diperbolehkan yaitu ≤ 2. Nilai AUC dan CV yang diperoleh menunjukkan serangkaian proses ekstraksi dengan cairan penyari etanol adalah reprodusibel.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan, yaitu: 1. Pada identifikasi tanin secara kualitatif dengan metode KLT diketahui bahwa sampel ekstrak etanolik daun jati belanda diduga mengandung tanin terkondensasi. 2. Nilai AUC rata-rata sebesar 10835,9667±173,8401 dan nilai CV sebesar 1,6043% menunjukkan proses ekstraksi menggunakan cairan penyari etanol adalah reprodusibel.
B. Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi dan isolasi tanin dalam ekstrak etanolik daun jati belanda yang berasal dari kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
58
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1977, Materia Medika, Jilid I, xx, 136-137, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 1978, Materia Medika, Jilid II, 42, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, 782-784, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, 1-15, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1986 a, Sediaan Galenik, 2-40, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 1986 b, Medicinal Herb Index In Indonesia, 101, P.T., Eisai Indonesia, Jakarta Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 9, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, cetakan pertama, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2003, Sinar Harapan, http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/ 2003/1010/kes1. html, diakses tanggal 20 Januari 2008 Anonim, 2004 a, Monografi Ekstrak Tumbuhan Indonesia, Vol.I, 29-31, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2004 b, Mutamba (Guazuma ulmifolia) Monograph, Raintree Nutrition, Inc. Carson City, Nevada Anonim,
2005, Classification and Separation Methods, http://www.emdchemicals.com/lifescience/literature/packing-silica-gelfor-use-in-flash-chromatography.pdf, diakses tanggal 28 Februari 2010
Anonim, 2007, Martindale: The Complete Drug Reference, The Parmaceutical Press Anonim, 2009, Tannic Acid,http://www.phtocemicals.info/phytochemicals/tannicacid.php, diakses tanggal 8 Desember 2009
59
60
Arifin, Z., 2008, Beberapa Unsur Mineral Esensial Mikro Dalam Sistem Biologi dan Metode Analisisnya, 99-104, Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor Backer, C.A., dan Backhuizen van den Brink, R. C., 1963, Flora Of Java, Vol. I, 3-7, 402-404, 408, N.V.P Noordhoff-Groningen-The Netherlands Bruneton, J., 1999, Pharmacognosy Phytochemistry Medicinal Plants, 2nd edition, 371, Lavoisier Publishing, France Clinton, C., 2009, Plant tannins: A novel approach to the treatment of ulcerative colitis, http://naturalmedicinejournal.com/pdf/nmj_nov09to_clinton.pdf, diakses tanggal 18 Maret 2010 Harborne, 1987, Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, terbitan kedua, 5-77, 103-115, 147-157, 235-241, Penerbit ITB, Bandung Hardjono, S., 1983, Kromatografi, 32-34, Laboratorium Analisis Kimia Fisika Pusat, UGM, Yogyakarta Harmita,
2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya,http://jurnal.farmasi,ui.ac.id/pdf/2004/volno3/Harmita0 10301.pdf, diakses tanggal 20 Januari 2010
Heinrich, M., Barnes, J., Gibbons, S., dan Williamson, E. M., 2004, Fundamental of Pharmacognosy and Phytotherapy, 77-78, Churchill Livingstone,Toronto Heyne, H., 1987, Tanaman Berguna Indonesia, Jilid III, 1348-1349, Yayasan Sarana Wanajaya, Jakarta Jork, 1990, Thin-Layer Chromatography, Vol.Ia, 12, Federal Republic of Germany Joshita, D., 2000, Pengaruh daun Jati Belanda Terhadap Kerja Enzim Lipase secara In Vitro, Warta Tumbuhan Obat Indonesia, Vol.6, No.2, 6-8 Mills, S. dan Bone, K., Principles, Principles and Practice of Phytotherapy, 69, Churcill Livingstone, USA Mintarsih, 1990, E. R. R., 1990, Penetapan Kadar Alkaloid Kinina dalam Akar, Batang, dan Daun Chinchona Succirubra Pavon et Klotzsch dari Daerah Kaliurang secara Spektrodensitometri (TLC-scanner), Skripsi, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta
61
Monica, W.S., 2000, Pengaruh Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Kelinci, Warta Tumbuhan Obat Indonesia, Vol.6, No.2,12-13 Noegrohati, S., 1994, Pengantar Kromatografi, dalam Noegrohati, S. dan Narsito, (Eds.), Risalah Prinsip dan Aplikasi Beberapa Teknik Analisis Instrumental, Laboratorium Analisis Kimia dan Fisika Pusat UGM, Yogyakarta Nurwati, S., 1984, Pengaruh Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan dan Gambaran Hematologik Darah Tikus Betina serta Identifikasi Komponen lendirnya, Skripsi, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta Powell, M. H., 1997, Winrock Internasional, http://www.winrock.org/forestry/ factnet.htm, diakses tanggal 17 Maret 2009 Pramono, S., Nurwati, S., Sugiyanto, 2000, Pengaruh Lendir Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.), Warta Tumbuhan Obat Indonesia, 14-15, Vol.6, No.2 Rahardjo, S.S., Ngatijan, Pramono, S., 2005, Aktivitas Lipase Pankreas Rattus norvegicus Akibat Pemberian Ekstrak Etanol Daun Jati Belanda (Guazuma Ulmifolia Lamk), Inovasi Online, Vol.4 Robinson, T., 1995, The Organic Constituent of Higher Plants, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, Edisi VI, 71-72, Penerbit ITB, Bandung Semedi, S.J., 1994, Penelitian Pendahuluan Pengaruh Pemberian Seduhan Daun Guazuma ulmifolia Lamk. terhadap aktivitas enzim SGOT, SGPT, SGGT Kelinci, http://www.haldin-natural.com/techdata/guazuma b.html, dalam Dzulkarnain B., et al., Review of Researches on Medicinal Plant (Part VI), Center for Pharmaceutical Research and Health Development, Jakarta : Ministry of Health of Republic of Indonesia Sethi, P.H.,1996, High Performance Thin Layer Chromatography Quantitative Analysis of Pharmaceutical Formulations, 6, CBS Publishers, New Delhi Sjahid, L.R., 2008, Isolasi dan Identifikasi Flavonoid dari Daun Dewandaru (Eugenia uniflora L.), 10-11, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah, Surakarta Stahl, E., 1983, Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi, 3-17, Penebit ITB, Bandung
62
Sudjadi, 1988, Metode Pemisahan, 75, Penerbit Kanisius, Yogyakarta Sulaksana, J. dan Jayusman D.I., 2005, Kemuning Jati Belanda, 8, 21-24, 45-47, Penebar Swadaya, Jakarta Supardjan, A. M., 1987, Pemisahan Tetrasiklin dan Hasil Pemisahannya dalam Sediaan Tetrasiklin secara KLT-densitometri, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian, UGM, Yogyakarta Voigt, 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi V, 579-582, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Widodo,
W., 2005, Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual, http://wahyuwidodo.staff.umm.ac.id/files/2010/01/NUTRISI-DANPAKAN-UNGGAS-KONTEKSTUAL.pdf, diakses tanggal 28 Februari 2010
Wijayanti, V.D., 2007, Pengaruh Infusa Pada Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Kadar Trigliserida Dalam Plasma Tikus Putih Jantan Galur Wistar, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Wulandari, R., 1996, Ekstraksi dan Identifikasi secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Spektrofotometri UV Senyawa Alakloid Tumbuhan Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.), Skripsi, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta Xuepin, Liao, 2003, Selective Adsorption of Tannins Onto Hide Collagen Fibres, http://chem.scichina.com:8081/sciBe/fileup/PDF/03yb0495.pdf, diakses tanggal 28 Februari 2010
63
64
Lampiran 1. Surat keterangan determinasi
Hasil determinasi yang diperoleh adalah sebagai berikut : 1b, 2b, 3b, 4b, 12b, 13b, 14b, 17b, 18b, 19b, 20b, 21b, 22b, 23b, 24b, 25b, 16b, 27a, 28b, 29b, 30b, 31a, 32a, 33a, 34a, 35a, 36d, 37b, 38b, 39b, 41b, 42b, 44b, 45b, 46e, 50a,…………………………………94 (Sterculiaceae) 1b, 6b, 10b, 12b, 15b, 17a, 18b…………10(Guazuma ulmifolia Lamk.) (Backer dan Backhuizen van den Brink , 1963).
65
Lampiran 2. Foto bahan pada proses pengentalan ekstrak etanolik daun jati belanda
Daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)
Ekstrak cair daun jati belanda
Ekstrak kental daun jati belanda
66
Lampiran 3. Data pengentalan ekstrak etanolik daun jati belanda
Vacum Rotary Evaporator
Ekstrak Etanolik Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk. )
∆p (m bar)
10
Tekanan untuk etanol 95% (m bar)
175
Tekanan untuk air (m bar)
72
Suhu (° C)
50
∆p (%)
50
Oven Suhu (° C) Waktu
45 8 jam
Hasil Ekstrak Kental (g) Replikasi I Replikasi II Replikasi III
25,60 24,80 26,20
Rendemen rata-rata (%)
24,32
SE
0,39
CV (%)
1,60
67
Lampiran 4. Perhitungan perolehan ekstrak kental daun jati belanda Berat serbuk daun jati belanda setiap kali replikasi = 105 g % Rendemen =
berat rendemen x100% berat serbuk
1. Replikasi I a. Berat cawan kosong (g)
= 66,30
Berat cawan + ekstrak kental (g) = 78,70 Berat ekstrak kental (g)
= 12,40
b. Berat cawan kosong (g)
= 57,60
Berat cawan + ekstrak kental (g) = 70,80 Berat ekstrak kental (g)
= 13,20
Total ekstrak kental (g)
= 25,60
% Rendemen =
25,60 g x100% = 24,38 % 105g
2. Replikasi II a. Berat cawan kosong (g)
= 64,50
Berat cawan + ekstrak kental (g) = 76,20 Berat ekstrak kental (g)
= 11,70
b. Berat cawan kosong (g)
= 58,90
Berat cawan + ekstrak kental (g) = 72,00 Berat ekstrak kental (g)
= 13,10
Total ekstrak kental (g)
= 24,80
% Rendemen =
24,80 g x100% = 23,62 % 105g
68
3. Replikasi III
a. Berat cawan kosong (g)
= 63,80
Berat cawan + ekstrak kental (g) = 76,60 Berat ekstrak kental (g)
= 12,80
b. Berat cawan kosong (g)
= 58,40
Berat cawan + ekstrak kental (g) = 71,80 Berat ekstrak kental (g)
= 13,40
Total ekstrak kental (g)
= 26,20
% Rendemen =
26,20 g x100% = 24,95 % 105g
Berat ekstrak kental rata-rata =
% Rendemen rata-rata =
SD =
25,60g + 24,80g + 26,20g = 25,53g 3
24,38% + 23,62% + 24,95% = 24,32% 3
∑ (rendemen tiap replikasi-rendemen rata) jumlah replikasi - 1 = 0,67
SE
=
SD ; di mana n = jumlah replikasi n
=
0,67 = 0,39 3
CV =
=
SE x100% x
0,39 x100% = 1,60% 24,32
2
69
Lampiran 5. Foto hasil identifikasi tanin secara kualitatif dengan KLT
A
B
C
D
Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi UV 254 nm Keterangan : Fase gerak Fase diam Bercak A Bercak B Bercak C Bercak D Jarak pengembangan
: etil asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) v/v : silika gel GF254 : standar asam tanat : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi I : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi II : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi III : 10 cm
70
A
B
C
D
Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi UV 365 nm Keterangan : Fase gerak Fase diam Bercak A Bercak B Bercak C Bercak D Jarak pengembangan
: etil asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) v/v : silika gel GF254 : standar asam tanat : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi I : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi II : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi III : 10 cm
71
A
B
C
D
Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi menggunakan pereaksi semprot besi (III) klorida Keterangan : Fase gerak Fase diam Bercak A Bercak B Bercak C Bercak D Jarak pengembangan
: etil asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) v/v : silika gel GF254 : standar asam tanat : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi I : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi II : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi III : 10 cm
72
Lampiran 6. Hasil pengukuran AUC bercak sampel dengan TLC Densitometry Scanner
73
74
75
76
Lampiran 7. Perhitungan hasil pengukuran AUC bercak sampel
a. Penimbangan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda Replikasi I
Replikasi II
Replikasi III
Berat cawan kaca (g)
15,4507
15,3021
15,2702
Berat cawan kaca + sampel (g)
16,4521
16,3026
16,2709
1,0015
1,0011
1,0010
15,4506
15,3015
15,2699
Berat sampel (g) Berat cawan kaca + sisa (g)
b. Perhitungan AUC bercak sampel Jumlah yang sampel yang ditotolkan = 5 µl = 0,005 ml Konsentrasi sampel awal = 1,00 g/5 ml = 0,20 g/ml Berat sampel ekstrak dalam 5 µl = 0,20 g/ml x 0,005 ml = 0,001 g = 1,00 mg Nilai AUC bercak sampel yang diperoleh yaitu : Replikasi
I 11108,1
II 10512,5
Rata-rata replikasi AUC =
III 10887,3
Rata-rata ± SE 10835,9667 ± 173,8401
11108,1 + 10512,5 +10887,3 3
= 10835,9667 SD
=
∑ (AUC tiap replikasi-AUC rata)
= 301,0999
jumlah replikasi - 1
2
CV
1,6043%
77
SE
=
=
SD ; di mana n = jumlah replikasi n
301,0999 3
= 173,8401
CV
=
SE x100% x
=
173,8401 x100% 10835,9667
= 1,6043%
78
BIOGRAFI PENULIS
Penulis memiliki nama lengkap Monica Dini Puspita, lahir pada tanggal 24 Maret 1988 di Kotabumi, Lampung Utara. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Aloysius Nasib Aji Wibowo dan Bernadetha Jumilah dan memiliki adik perempuan bernama Katharina Dora Mysticaweni serta seorang adik lakilaki bernama Theofilus Deni Alfaro. Penulis menempuh pendidikan awal di TK Xaverius Kotabumi Lampung Utara (1993-1995). Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SD Xaverius Kotabumi Lampung Utara (1995-2001), SMP Xaverius Kotabumi Lampung Utara (2001-2003), serta SMA Xaverius Pringsewu Tanggamus (2003-2006). Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta. Begitu banyak pengalaman yang didapat oleh penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis mengikuti beberapa kegiatan selama perkuliahan baik di bidang akademik maupun non akademik, antara lain sebagai Peserta Paduan Suara Fakultas Farmasi “Veronika” (2006-2007), Asisten Praktikum Farmakognosi Fitokimia I (2008), Panitia Sumpahan Apoteker Angkatan XVI (2008), Panitia Sumpahan Apoteker Angkatan XVII (2009). Penulis juga berprestasi dalam kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa yang berjudul “Identifikasi Potensi Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit X Yogyakarta” (2009).