II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. DESKRIPSI ITIK LOKAL ITIK ATAU YANG

Download merupakan salah satu rumpun bangsa Indian Runner tersebar di wilayah Indonesia dengan ... 2.2.1 Kerabang. Kerabang telur merupakan bagian t...

0 downloads 604 Views 178KB Size
9

II KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1.

Deskripsi Itik Lokal Itik atau yang lebih dikenal di masyarakat disebut bebek (bahasa jawa),

golongan terdahulunya merupakan itik liar yang wilayah penyebarannya sampai ke Afrika Utara bahkan sampai ke Asia seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Indonesia (Murtidjo, 2012). Itik merupakan jenis unggas air yang termasuk ke dalam kelas Aves. Berdasarkan klasifikasi zoologis (Srigandono,1997), itik berada dalam : Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Sub Phylum

: Vertebrata

Class

: Aves

Ordo

: Anseriformes

Family

: Anatidae

Sub Family

: Antinae

Spesies

: Anas platyrhynchos

Penyebaran itik di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, berawal dari datangnya orang-orang Hindia Belanda di pulau Jawa pada abad delapan (Soedjai, 1973). Awalnya itik digunakan sebagai pembasmi hama siput di lahan pertanian oleh petani di Asia Tenggara. Itik di habitat aslinya biasa mencari makan dekat dengan perairan, dengan kebiasaan tersebut sistem pemeliharaan itik biasa dilakukan petani menggunakan sistem gembala di lahan pertanian.

10

Itik Indonesia dikenal juga sebagai Indian Runner yang berkembang di berbagai wilayah Indonesia (Marhijanto, 1996). Populasi itik lokal Indonesia yang merupakan salah satu rumpun bangsa Indian Runner tersebar di wilayah Indonesia dengan bermacam-macam nama menurut daerah atau lokasi asal berkembangnya, diantaranya itik Pajajaran. Itik Pajajaran ialah salah satu itik lokal yang berasal dari Jawa Barat yang merupakan varietes hasil persilangan dari itik Cihateup betina dengan itik Magelang jantan. Penamaan tersebut diambil dari daerah kampung Pajajaran desa Pangauban, Batujajar Bandung Barat Provinsi Jawa Barat. Itik Magelang mewariskan sifat-sifat fisik yaitu penampilan postur tinggi dan besar dengan bobot tubuh mampu mencapai lebih dari 2 kg (Sidiq 2011). Itik Magelang juga mewariskan sifat jinak, tenang dengan tingkat stress rendah dan produksi telur stabil berkisar 237-300 butir per ekor per tahun (Nugraha 2011). Itik Cihateup menurunkan sifat tidak rentan terhadap penyakit dan angka kematian yang kecil hanya 1-2%. Secara umum itik Pajajaran memiliki warna bulu coklat gelap, kombinasi putih dan hitam. Warna paruh dan shank dominan hitam serta terdapat lingkaran berbentuk cincin pada leher (Lanam, 2012).

2.2.

Deskripsi Telur Telur itik merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki rasa

yang lezat, mudah dicerna dan bergizi tinggi. Telur itik umumnya berukuran besar dan warna kerabang putih sampai hijau kebiruan. Rata-rata bobot telur itik adalah 60-75 g (Resi, 2009). Telur pada umumnya terbagi dalam dua jenis, yaitu telur konsumsi dan telur tetas. Telur konsumsi ialah telur yang dihasilkan oleh induk tanpa perkawinan, telur ini tidak bisa ditetaskan, hanya dapat digunakan untuk

11

konsumsi atau kebutuhan rumah tangga. Telur tetas adalah telur yang dihasilkan dari induk yang dikawini oleh pejantan, jenis inilah yang dapat ditetaskan dengan persentase hasil penetesan cukup tinggi. Bagian dan susunan telur secara garis besar terdiri dari 11% kerabang, 58% albumen, dan 31% yolk (Ensminger, 1991). Beberapa faktor yang mempengaruhi struktur telur yaitu: umur, suhu lingkungan, kualitas serta kuantitas ransum, strain dan penyakit (Abbas, 1989). Telur unggas mengandung semua bahan penting bagi perkembangan embrio (Benjamin dkk, 1960). Sebutir telur mengandung 65% air, 12% protein, 11% lemak, 1% karbohidrat dan 11% abu (North dan Bell, 1990). Secara berurutan tiga sumber energi yang digunakan embrio dalam perkembangannya adalah karbohidrat, protein dan lemak (Sarwono, 1994).

2.2.1

Kerabang Kerabang telur merupakan bagian terluar yang membungkus isi telur dan

berfungsi mengurangi kerusakan fisik maupun biologis, serta dilengkapi dengan pori-pori kerabang yang berguna untuk pertukaran gas dari dalam dan luar kerabang telur (Sumarni dan Djuarnani, 1995). Kerabang telur mempunyai sifat keras, halus, dilapisi kapur dan terikat kuat pada bagian luar dari lapisan membran kulit luar (Winarno dan Koswara, 2002). Faktor yang mempengaruhi ketebalan kerabang telur antara lain adalah ketebalan kandungan Ca, semakin rendah kandungan Ca pada kerabang telur semakin tipis (Kurtini dan Riyanti, 2008). Ketebalan kerabang telur itik yaitu 0,3-0,5 mm. Bagian kerabang telur terdapat pori-pori sebanyak 7.000-15.000 buah yang digunakan untuk pertukaran gas. Poripori tersebut sangat sempit, berukuran 0,036 x 0,031 mm dan 0,014 x

12

0,012 mm yang tersebar di seluruh permukaan kerabang telur (Romanoff dan Romanoff 1963). Jumlah pori-pori persatuan luas pada bagian tumpul telur lebih banyak dibandingkan dengan pori-pori bagian yang lainnya (Sirait, 1986). Fungsi pori kerabang telur adalah sebagai tempat pertukaran gas dari dalam dan luar kerabang sehingga membantu respirasi embrio di dalam telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Secara histologis kerabang telur terdiri dari kutikula, lapisan bunga karang, lapisan manilla dan lapisan membrana (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kutikula berfungsi untuk mencegah penetrasi mikroba melalui kulit telur dan mengurangi penguapan. Kutikula merupakan lapisan terluar yang menyelubungi seluruh permukaan telur dan menutupi pori-pori, mencegah penguapan yang terlalu cepat dan mencegah masuknya bakteri ke dalam telur (North, 1984). Selama masa inkubasi embrio akan mengeluarkan gas CO2 sebagai hasil proses pernapasan dan memerlukan O2 untuk kelangsungan hidupnya (Rasyaf, 1994).

2.2.2

Albumen Albumen merupakan bagian yang sangat diperhatikan karena sifat

biokimianya sehubungan dengan kualitas telur. Albumen atau disebut juga putih telur merupakan sumber utama protein yang mengandung niasin dan riboflavin (USDA, 2007). Warna jernih atau kekuningan pada putih telur disebabkan oleh pigmen ovoflavin (Romanoff dan Romanoff, 1963). Albumen terdiri dari 58-61 persen dari berat telur (Hutt, 1949). Kandungan utama dari albumen adalah air dan protein, lebih lanjut kandungan albumen terdiri atas 88 persen air, 10,8 persen protein, 0,2 persen lemak, dan 1 persen abu (Smith, 1990).

13

Albumen tesusun dari empat lapisan yang terdiri dari chalaziferus, innerthin albumen, thick albumen dan outerthin albumen (Smith, 1990). Perbandingan bagian thick dan thin albumen tidak tetap, dipengaruhi oleh genetik, penyakit dan umur telur. Semakin lama telur disimpan maka proporsi thin albumen semakin meningkat (Smith, 1990). Albumen merupakan bagian telur yang mengandung protein dalam berbagai jenis. Protein tersebut yang akan mempengaruhi sifat fungsional telur (Winarno dan Koswara, 2002). Albumen mengandung lima jenis protein yaitu ovalbumin, ovomukoid, ovomusin, ovokonalbumin dan ovoglobulin. Selain itu albumen mengandung protein anti mikroba yang disebut lysozyme, berfungsi membantu memperlambat proses kerusakan telur (Sarwono, 1994).

2.2.3

Yolk Yolk merupakan bagian terpenting dari isi telur, karena selain sebagai

tempat tumbuh embrio juga mengandung zat-zat makanan yang sangat menunjang perkembangan embrio (Romanoff dan Romanoff, 1963). Telur mengandung 31 persen yolk (Ensminger, 1991). Yolk terdiri dari material yolk, latebra, germinal disk dan membran vitelin (Kurtini dkk, 2011). Latebra merupakan saluran yang menghubungkan germinal disk dengan pusat kuning telur yang berguna dalam perkembangan embrio. Germinal disk terletak di permukaan yolk dan merupakan tempat dimulai tumbuhnya embrio (Benjamin dkk, 1960). Membran vitelin melingkupi yolk, membran ini tipis, kuat dan hampir tidak berwarna. Smith (1990) menyatakan bahwa germinal disk terdapat pada semua telur dan bukan petunjuk bahwa telur tersebut fertil.

14

Kuning telur memiliki diameter 25-150 µm dan kuning telur mengandung pigmen karotenoid yang dihasilkan oleh oxycarotenoids (Kurtini, dkk., 2011). Pigmen tersebut secara linier dipengaruhi oleh tingkat pigmen di dalam makanan (Abbas, 1989). Selama penyimpanan, air dapat berpindah dari putih telur ke kuning telur. Akibatnya, berat kuning telur meningkat dan selanjutnya akan menyebabkan pelemasan membran vitelin hingga pecah, sehingga kuning telur dapat bercampur dengan putih telur (Abbas, 1989). Kandungan pada yolk tersusun atas air, protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin (Sarwono, 1994). Yolk tersusun atas 49% air, 17% protein, 32% lemak dan 2% abu (Smith, 1990). Yolk berfungsi juga sebagai cadangan makanan yang diserap oleh embrio sehingga anak itik tetap hidup beberapa hari setelah menetas tanpa makan dan minum.

2.3.

Umur Induk Pemeliharaan itik dengan berbagai tingkatan umur dilakukan untuk

menjaga tingkat produksi telur, namun dengan bertambahnya umur induk maka setelah tahun pertama produksi telur fertilitas dan hasil penetasannya menurun secara drastis (North, 1984) Produksi telur itik menurun sejalan bertambahnya umur induk setelah melewati puncak produksi telur pada umur 36 – 55 minggu, karena pejantan yang lebih tua akan lebih jarang melakukan perkawinan daripada itik yang lebih muda. Hal tersebut terjadi karena dalam perkawinan massal atau kelompok pada saat angka produksi rendah maka tingkat ovulasinya pun rendah dan itik betina melakukan kopulasi yang lebih jarang daripada saat angka produksi telurnya tinggi (Jull, 1977).

15

Itik petelur menurun dengan cepat daya tetasnya terutama setelah terjadi penurunan kualitas kerabang telurnya yaitu menjadi tipis bila induk telah berproduksi selama 9 atau 10 bulan (North, 1984). Banerjee (1982), menyatakan bahwa sejak awal produksi telur, produksi telur meningkat dengan bertambahnya umur itik tetapi setelah melewati puncak produksi yang biasa dicapai pada umur 36 – 55 minggu maka produksi telur selanjutnya menurun. Umur itik 26 minggu produksi telur naik dengan tajam dan mencapai puncaknya pada umur 36 – 55 minggu, kemudian produksi telur menurun dengan perlahan sampai 55% sesudah masa produksi 15 bulan yaitu pada umur itik 82 minggu (Wahyu, 1978). Selanjutnya selama minggu ke-20 dari periode 24 – 26 minggu, itik tersebut diharapkan produksi telurnya meningkat dari nol sampai mencapai puncak produksi kira-kira 85 – 90% dan umur 42 – 72 minggu itik telah mencapai berat badan yang tetap dengan produksi telur yang menurun. Sastroamidjojo (1971), berpendapat bahwa pada umumnya setelah umur 2 tahun lebih itik tidak berproduktif karena daya menerima zat rendah demikian pula daya tetasnya telah menurun.

2.4.

Specific Gravity Specific gravity merupakan perbandingan antara berat telur dengan berat

jenis air, definisi tersebut menyebabkan specific gravity tidak memiliki satuan (Sears, dkk., 1988). Penentuan specific gravity yang umum digunakan adalah metode pengambangan telur dalam berbagai konsentrasi larutan garam. Nilai specific gravity diperoleh pada saat telur-telur mulai mengambang pada tingkat konsentrasi larutan garam yang berbeda, dengan demikian nilai specific gravity telur sama dengan nilai specific gravity larutan garam. Kisaran nilai specific

16

gravity larutan garam yang biasa digunakan dalam pengukuran kualitas kerabang telur adalah 1,074 – 1,090 dengan peningkatan 0,004 (North, 1984). Larutan garam yang digunakan dalam pengukuran nilai specific gravity memiliki fungsi sebagai bahan pengawet telur, karena dapat mencegah dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan racun yang dihasilkannya, pada konsentrasi tertentu dapat mengurangi kelarutan O2, menghambat kegiatan bakteri pembusukan. Garam memiliki ukuran molekul yang relatif kecil sehingga tekanan osmotiknya besar, garam berfungsi untuk meningkatkan tekanan osmotik sehingga terjadi plasmolisa pada sel mikroorganisme, dan sel mengalami dehidrasi serta mengakibatkan kepekaan terhadap O2, sesuai dengan prinsip pengawetan telur, yaitu mencegah penguapan, hilangnya CO2, mencegah kerja enzim dalam telur, mencegah mikroorganisme dari luar melalui pori-pori kerabang telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Nilai specific gravity dapat diaplikasikan untuk penentuan kualitas kerabang secara tidak langsung. Semakin tinggi nilai specific gravity maka kualitas kerabang semakin baik. Specific gravity memiliki korelasi positif dengan ketebalan kerabang telur (Wells dan Belyavyn, 1987) hal tersebut menandakan bahwa pada nilai specific gravity semakin tinggi, maka ketebalan kerabang semakin tinggi pula. Telur berkualitas baik memiliki nilai specific gravity di atas 1,080 (North, 1984). Nilai specific gravity menunjukkan kandungan CaCO3 dan kualitas kerabang telur. Specific gravity yang tinggi memberikan gambaran CaCO3 yang tinggi. Ion-ion Ca dan ion-ion karbonat di uterus dalam jumlah yang cukup diperlukan untuk membentuk CaCO3 kerabang telur (Wahyu, 1992). Penambahan sodium bikarbonat atau kalsium dalam ransum dapat meningkatkan kualitas

17

kerabang sehingga specific gravity pun meningkat (Miles dan Harms, 1982). Lebih lanjut North (1984) mengemukakan bahwa limestones dan oystershell akan memperbaiki kualitas kerabang telur. Kandungan kalsium dan vitamin D yang rendah, temperatur lingkungan di atas 80 – 90° F menghasilkan telur dengan kualitas kerabang yang rendah. Penyimpanan dapat menurunkan nilai specific gravity karena sejalan dengan lamanya waktu penyimpanan maka rongga udara semakin besar. Hal ini akan menyulitkan di dalam mendapatkan nilai specific gravity yang dapat mencerminkan kekuatan kerabang telur. Oleh karena itu telur yang diukur harus telur yang umumnya tidak lebih dari satu hari, penyimpanan menyebabkan specific gravity turun sebesar 0.005 unit perhari (Roberson dan Mc. Daniel, 1987). Menurut Board (1966) yang dikutip oleh Wells dan Belyavin (1987) specific gravity yang rendah memungkinkan lebih besar masuknya bibit penyakit meskipun keadaan kerabangnya normal dan terlebih pada kerabang telur yang tidak baik. Hal ini dapat dimengerti karena dengan berkurangnya nilai specific gravity berarti ketebalan berkurang sehingga semakin mudah bibit penyakit masuk ke dalam telur.

2.5.

Daya Tetas Daya tetas adalah angka yang menunjukkan tinggi rendahnya kemampuan

telur untuk menetas (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Hal ini dapat dihitung dengan dua cara, yaitu membandingkan jumlah telur yang menetas dengan jumlah telur yang ditetaskan atau membandingkan jumlah telur yang menetas dengan jumlah telur yang fertil. Sedangkan menurut Wibowo dan Jafendi (1994) daya tetas adalah persentase jumlah telur yang menetas dari jumlah telur yang fertil.

18

Daya tetas telur merupakan salah satu indikator di dalam menentukan keberhasilan suatu penetasan. Daya tetas ditentukan berdasarkan jumlah telur tetas yang menetas dari sejumlah telur-telur tetas yang tertunas atau fertil (Djannah, 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas yaitu teknis pada waktu memilih telur tetas atau seleksi telur tetas (keadaan kerabang, warna kerabang, bobot telur, bentuk telur dan lama penyimpanan) dan teknis operasional dari petugas yang menjalankan mesin tetas (suhu, kelembapan, sirkulasi udara dan pemutaran telur) serta faktor yang terletak pada induk yang digunakan sebagai bibit (Djanah, 1984). Sedangkan menurut Tullet (1990) keberhasilan penetasan tergantung dari suhu, kelembapan, frekuensi pemutaran telur, ventilasi dan kebersihan telur. Umur telur tetas yang semakin meningkat akan menurunkan kualitas telur karena penguapan CO2 dan H2O. Menurunnya kualitas telur akan menghambat perkembangan embrio sehingga dapat menurunkan fertilitas dan daya tetas (Winarno dan Koswara, 2002). Telur yang terlalu besar atau kecil tidak baik untuk ditetaskan karena daya tetasnya rendah (Sainsburry, 1984). Telur yang terlalu kecil mempunyai luas permukaan telur per unit yang lebih besar dibandingkan dengan telur yang besar. Hal ini diperkuat dengan pernyataan North dan Bell (1990), yang menginformasikan bahwa bobot telur yang tidak menetas memiliki bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan bobot telur yang menetas, karena telur yang kecil mempunyai luas permukaan telur per unit lebih besar dibandingkan dengan telur yang lebih besar, akibatnya penguapan air dari dalam telur akan lebih cepat sehingga telur akan cepat kering.

19

2.6.

Mortalitas Embrio North dan Bell (1990) menyatakan bahwa periode penetasan mengalami

masa kritis pada awal masa pengeraman saat terjadi perkembangan sistem peredaran darah, sedangkan pada masa akhir pengeraman saat terjadi perubahan fisiologis dari sistem pernafasan (udara). Masa kritis terakhir pada fase embrional adalah peristiwa menetas, yakni saat ayam keluar dari kerabang. Peristiwa ini nyatanya tidak sederhana yang terlihat, bahkan sebenarnya merupakan rangkaian dari peristiwa-peristiwa yang cukup unik. Selain itu, kematian embrio juga dipengaruhi kualitas telur tetas, sex ratio, gen letel, genetik, manajemen perkawinan, fertilitas dan metode penetasan (Muslim, 1993). Ningtyas, Dkk. (2013) menyebutkan bahwa faktor lain yang menyebabkan rendahnya hasil tetas pada suhu 36°C dikarenakan mortalitas embrio yang tinggi dan pada minggu terakhir penetasan banyak telur yang mengeluarkan busa karena busuk. Kejadian ini paling banyak disebabkan oleh kelembaban mesin tetas pada akhir masa inkubasi yang terlalu rendah, sehingga akan mempercepat penguapan air dari telur dan embrio akan kekeringan. Padahal kelembaban udara berfungsi untuk mengurangi atau menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang telur. Jika kelembaban tidak optimal, embrio tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu keras. Kebanyakan embrio yang ditetaskan ditemukan mati antara hari ke-22 sampai ke-27 selama inkubasi. Hal ini biasa disebut dead-in-shell dan terbagi menjadi tiga katagori. Katagori pertama, embrio tumbuh dan berkembang secara normal, tetapi tidak memiliki upaya untuk menerobos kerabang. Katagori seperti ini biasanya mati pada hari ke28. Katagori kedua mati pada hari yang sama, tetapi menunjukkan karakteristik paruh yang pipih dan lentur dengan oedema serta pendarahan pada otot penetasan

20

bagian belakang kepala. Kejadian tersebut merupakan dampak berkelanjutan dari usaha embrio memecah kerabang yang gagal. Katagori ketiga mati antara hari ke22 sampai hari ke-28. Kematian pada katagori ini disebabkan karena kesalahan posisi selama berkembang sehingga menghambat embrio tersebut untuk keluar dari kerabang. Untuk mempertahankan kelembaban yang stabil, persediaan air didalam bak penampung harus selalu tersedia dan cukup. Kegagalan menetasnya telur saat memasuki periode hatcher dapat disebabkan karena belum sempurnanya pembentukan embrio dan kurangnya kelembaban pada mesin tetas sehingga embrio tidak dapat melakukan memecahkan kerabang telur dan melakukan piping (Ningtyas dkk. 2013). North (1984) menyatakan bahwa terdapat 4 tahap atau periode kematian embrio, yaitu : -

Early-dead embryo yaitu kematian terjadi satu minggu pertama periode inkubasi (hari 1-7);

-

Middle mortality yaitu kematian terjadi diantara fase early sampai fase late (hari 8-25); Kematian embrio selama periode II harus sangat rendah, tapi kadang-kadang tinggi. Selama periode ini kebanyakan mati akibat bibit kekurangan gizi dalam makanan yang memiliki efek terbesar pada embrio, meskipun sedikit diperlukan vitamin A dapat menyebabkan kematian embrio yang berlebihan pada periode II karena vitamin A membantu dalam pengembangan sistem darah. Tidak hanya kematian meningkat selama periode II akibat dari keterbatasan nutrisi dalam makanan bibit tetapi juga dapat menimbulkan kelainan pada embrio. Seperti clubbed down, curled toes ( meringkuknya jari kaki), pengerdilan, micromelia

21

(pemendekan tulang panjang), parrot beak, crooked keel dan beak, malposisi, pembekuan darah dan terjadinya edema. -

Late mortality yaitu kematian terjadi tiga hari terakhir periode inkubasi (hari 26-28). Sebagian besar kematian embrio selama periode III disebabkan oleh faktor durasi yang panjang. Anak itik yang gagal menetas, 50% akan ditemukan dalam posisi yang lain dari normal dan sebagian besar karena embrio mengalami malposisi bahwa telur tidak diatur dengan rongga udara. Periode kritis ini terjadi akibat perubahan fisiologi embrio yang sudah sempurna menjelang penetasan (Paimin, 2004). Telur yang tidak menetas karena kekeringan disebabkan oleh kelembaban

mesin tetas yang terlalu rendah dan suhu mesin yang tinggi pada masa akhir pengeraman. Kelembaban udara berfungsi untuk mengurangi atau menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang telur. Jika kelembaban tidak optimal, embrio tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu keras. Peningkatan dan penurunan suhu yang tidak konstan selama penetasan dapat menyebabkan kematian embrio, hal tersebut dipertegas dengan pernyataan Mc Daniel (1979). Penyebab gagal tertas dalam proses penetasan terutama terjadi pada akhir masa penetasan dan disebabkan pengeringan selaput telur dalam pertumbuhan embrio yang tidak sempurna, sehingga embrio tidak menetas dan masih terdapat dalam kerabang telur (Setiadi, 2000).

2.7.

Operasional Mesin Tetas

2.7.1. Temperatur Suhu yang terlalu tinggi atau rendah didalam penetasan akan mengakibatkan pertumbuhan embrio yang tidak normal dan mengurangi daya

22

tetas (Arboleda, 1975). Lebih lanjut Bundy dan Diggins (1960) menyebutkan jika temperatur inkubator tinggi maka mempercepat perkembangan embrio dan cepat menetas, namun embrio berkembang secara tidak normal serta dapat menurunkan daya tetas. Temperatur mesin tetas yang diperlukan untuk menetaskan telur itik yaitu berkisar antara 100 – 101,9° F atau 37,78 – 38,83° C (Rasyaf, 1984). Lebih lanjut Hodgetts (2000) menyatakan Suhu yang baik untuk penetasan adalah 37,8° C, dengan kisaran 37,2 – 38,2° C. Pada suhu ini dapat menghasilkan daya tetas yang optimum. Embrio lebih sensitif terhadap temperatur tinggi daripada temperatur rendah. Peningkatan temperatur 0,05° C akan memperpendek waktu tetas, meningkatkan dehidrasi dan menghasilkan anak yang kecil. Temperatur mesin tetas yang mempunyai suhu 46° C selama 3 jam atau 50° C hanya dalam waktu satu jam akan mengakibatkan kematian embrio selurunya (Poultry International, 1985).

2.7.2. Kelembaban Kelembaban harus optimal selama proses penetasan dan dijaga agar tidak terjadi dehidrasi maupun terlalu lembab (Suprijatna dkk, 2005). Kelembaban yang optimal berkiksar 50 – 60%, sedangkan menurut Shanawany (1994), untuk menjaga agar tidak terjadi penguapan yang berlebihan perlu diatur kelembaban pada 65 – 70%. Mulai hari ke-20, kelembaban dinaikkan menjadi lebih dari 70%. Cara lain dengan melihat pada kaca ventilasi mesin tetas, bila pada kaca terdapat butir-butir air berarti kelembaban terlalu tinggi. Ada kalanya kelembaban di dalam

23

mesin tetas terlalu tinggi atau rendah rendah sehingga perlu dilakukannya pengaturan (Suharno, 2000). Kelembaban berfungsi untuk mengurangi kehilangan cairan dari dalam telur selama proses penetasan dan membantu pelapukan kulit telur pada saat akan menetas sehingga anak itik mudah memecahkan kulit telur (Widyaningrum dkk, 2013). Kelembaban pada akhir periode inkubasi ditingkatkan dengan tujuan untuk mempermudah piping, paruh atau anak tidak melekat pada selaput dan mencegah dehidradasi pada anak itik (Samosir 1987).

2.7.3. Ventilasi Ventilasi berguna untuk suplai oksigen (O2) yang akan digunakan oleh embrio dalam proses metabolismenya dan mengeluarkan karbondioksida (CO2) hasil metabolisme. Kebutuhan O2 meningkat sejalan dengan pertumbuhan embrio, begitu pula dengan CO2 yang dihasilkan (Jull, 1977). Menurut penelitian, selama pengeraman udara dalam mesin mengandung ± 0,5% CO2 dan 21% O2 (Susanto, 2013). Kandungan O2 di udara yang baik adalah sekitar 21% bagi perkembangan embrio di dalam penetasan. Penurunan O2 sebanyak 1% akan menurunkan daya tetas sebanyak 5% (Rasta dkk, 2012). Konsentrasi CO2 di atas 1,5 – 2,0 % mengurangi daya tetas secara drastis (North, 1984). Konsentrasi CO2 yang tinggi mencapai 5 % menyebabkan telur tidak menetas sama sekali (Ensminger, 1991). Kecepatan aliran udara 12 cm per menit memberikan daya tetas yang optimum (Card dan Nesheim, 1972). Lubang ventilasi dapat dibuka pada hari ke-4 sebesar 0,25 – 0,33 bagian, sedangkan pada hari ke enam dibuka 0,5 – 0,68 bagian

24

dan pada hari ke-9 dapat dibuka seluruhnya hingga akhir periode penetasan agar pertukaran gas berlangsung baik (Paimin, 1995).

2.7.4. Posisi Telur Posisi telur selama periode inkubasi diletakkan dengan ujung tumpul di atas agar kepala embrio berkembang mendekati rongga udara, dapat mencegah pecahnya selaput pembatas antara albumen dan yolk, serta dapat menjaga rongga udara tetap pada posisi yang semestinya (North, 1984). Peletakan telur dengan bagian runcing di atas menyebabkan terjadinya peristiwa tremulous air cell sehingga menurunkan daya tetas (Winter dan Funk, 1960). Hurd (1956) menegaskan bahwa tremulous air cell menurunkan daya tetas sebesar 20 %. Hasil penelitian selanjutnya mengemukakan bahwa daya tetas menurun 30 – 40 % bila telur diletakkan dengan bagian runcing di atas (Poultry International, 1985). Hal ini disebabkan ketika anak itik siap untuk menetas paruh tidak dapat menjangkau rongga udara untuk memulai pernafasan paru-paru. Telur tetas dapat pula disimpan pada posisi horizontal terutama pada mesin tetas tipe still air machine.

2.7.5. Pemutaran Telur Hurd (1956) menyatakan bahwa pemutaran telur dilakukan 3 – 5 kali sehari. Lebih lanjut Lasmini dan Parwati (1992) mengemukakan bahwa telur diputar tiga kali sehari dimulai pada hari ke-3 sampai hari ke-24 dengan sudut putar 180° untuk posisi telur horizontal. Pemutaran telur bertujuan agar telur memperoleh panas yang merata dan menjaga agar embrio tidak melekat pada selaput kerabang telur telur (Card, 1962).

25

Ensminger (1991) menambahkan bahwa pemutaran telur perlu dilakukan untuk mencegah germ berpindah tempat melalui albumen kemudian menempel pada membran kerabang atau mencegah pelekatan antara chorion dan selaput kerabang.