II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka Bakar 2.1.1 Definisi Luka bakar

2.1 Luka Bakar. 2.1.1 Definisi. Luka bakar merupakan kerusakan pada kulit yang disebabkan oleh berbagai sumber non-mekanik seperti zat kimia, listrik,...

298 downloads 658 Views 615KB Size
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luka Bakar 2.1.1 Definisi Luka bakar merupakan kerusakan pada kulit yang disebabkan oleh berbagai sumber non-mekanik seperti zat kimia, listrik, panas, sinar matahari atau radiasi nuklir (Murray & Hospenthal, 2008). 2.1.2 Epidemiologi Berdasarkan WHO Global Burden Disease, pada tahun 2004 diperkirakan 310.000 orang meninggal akibat luka bakar, dan 30% pasien berusia kurang dari 20 tahun. Luka bakar karena api merupakan penyebab kematian ke-11 pada anak berusia 1 – 9 tahun. Anak – anak beresiko tinggi terhadap kematian akibat luka bakar, dengan prevalensi 3,9 kematian per 100.000 populasi. Luka bakar dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup (WHO, 2008). Di Amerika Serikat, luka bakar menyebabkan 5000 kematian per tahun dan mengakibatkan lebih dari 50.000 pasien di rawat inap (Kumar et al., 2007). Di Indonesia, prevalensi luka bakar sebesar 0,7% (RISKESDAS, 2013).

7

Secara global, 96.000 anak–anak yang berusia di bawah usia 20 tahun mengalami kematian akibat luka bakar pada tahun 2004. Frekuensi kematian lebih tinggi sebelas kali di negara dengan pendapatan rendah dan menengah dibandingkan dengan negara dengan pendapatan tinggi sebesar 4,3 per 100.000 orang dan 0,4 per 100.000 orang. Kebanyakan kematian terjadi pada daerah yang miskin, seperti Afrika, Asia Tenggara, dan daerah Timur Tengah. Frekuensi kematian terendah terjadi pada daerah dengan pendapatan tinggi, seperti Eropa dan Pasifik Barat (WHO, 2008).

Gambar 1. Frekuensi Mortalitas Akibat Luka Bakar karena Api per 100.000 anak-anak berdasarkan Tingkat Pendapatan Negara, 2004 (WHO, 2008)

2.1.3 Klasifikasi Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, antara lain: penyebab, luasnya luka, dan keparahan luka bakar.

8

a. Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme dan Penyebab 

Luka bakar termal Luka bakar yang biasanya mengenai kulit. Luka bakar ini bisa disebabkan oleh cairan panas, berkontak dengan benda padat panas, terkena lilin atau rokok, terkena zat kimia, dan terkena aliran listrik (WHO, 2008).



Luka bakar inhalasi Luka bakar yang disebabkan oleh terhirupnya gas yang panas, cairan panas atau produk berbahaya dari proses pembakaran yang tidak sempurna. Luka bakar ini penyebab kematian terbesar pada pasien luka bakar (WHO, 2008).

b. Klasifikasi Berdasarkan Derajat dan Kedalaman Luka Bakar 

Derajat I (superficial) hanya terjadi di permukaan kulit (epidermis). Manifestasinya berupa kulit tampak kemerahan, nyeri, dan mungkin dapat ditemukan bulla. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 3 hingga 6 hari dan tidak menimbulkan jaringan parut saat remodeling (Barbara et al., 2013).



Derajat II (partial thickness) melibatkan semua lapisan epidermis dan sebagian dermis. Kulit akan ditemukan bulla, warna kemerahan, sedikit edem dan nyeri berat. Bila ditangani dengan baik, luka bakar derajat II dapat sembuh dalam 7 hingga 20 hari dan akan meninggalkan jaringan parut (Barbara et al., 2013).

9



Derajat III (full thickness) melibatkan kerusakan semua lapisan kulit, termasuk tulang, tendon, saraf dan jaringan otot. Kulit akan tampak kering dan mungkin ditemukan bulla berdinding tipis, dengan tampilan luka yang beragam dari warna putih, merah terang hingga tampak seperti arang. Nyeri yang dirasakan biasanya terbatas akibat hancurnya ujung saraf pada dermis. Penyembuhan luka yang terjadi sangat lambat dan biasanya membutuhkan donor kulit (Barbara et al., 2013).

c. Klasifikasi Berdasarkan Luas Luka Sedangkan berdasarkan luas lesi dapat diklasifikasikan menjadi 3 yakni: 

Luka bakar ringan, yakni luka bakar derajat I seluas <10% atau derajat II seluas <2%.



Luka bakar sedang, yakni luka bakar derajat I seluas 10-15% atau derajat II seluas 5-10%



Luka bakar berat, yakni luka bakar derajat II seluas >20% atau derajat III seluas >10%

Untuk menilai luas luka menggunakan metode “Rule of Nine” berdasarkan LPTT (Luas Permukaan Tubuh Total). Luas luka bakar ditentukan untuk menentukan kebutuhan cairan, dosis obat dan prognosis. Persentase pada orang dewasa dan anak-anak berbeda. Pada dewasa, kepala memiliki nilai 9% dan untuk ektremitas atas memiliki nilai masing-masing 9%. Untuk bagian tubuh anterior dan

10

posterior serta ekstremitas bawah memiliki nilai masing-masing 18%, yang termasuk adalah toraks, abdomen dan punggung. Serta alat genital 1%. Sedangkan pada anak-anak persentasenya berbeda pada kepala memiliki nilai 18% dan ektremitas bawah 14% (Yapa, 2009).

Gambar 2. Rule of Nine (Yapa, 2009)

2.1.4 Patofisiologi Luka bakar dikelompokkan menjadi tiga zona berdasarkan derajat kerusakan jaringan dan perubahan pada aliran darah. Pada bagian pusat atau tengah luka disebut sebagai zona koagulasi, yaitu zona yang paling banyak terpapar panas dan mengalami kerusakan terberat. Protein akan mengalami denaturasi pada suhu diatas 410 C, sehingga panas yang berlebih pada tempat luka akan mengakibatkan denaturasi protein, degradasi, dan koagulasi yang mampu menyebakan nekrosis jaringan. Diluar zona

11

koagulasi terdapat zona stasis atau zona iskemik yang ditandai dengan menurunnya perfusi jaringan. Zona stasis merupakan zona yang berpotensi untuk dilakukan penyelamatan jaringan (Nisanci et al., 2010). Pada zona stasis, hipoksia dan iskemik dapat menyebabkan nekrosis jaringan dalam 48 jam bila tidak dilakukan pertolongan. Penjelasan mengenai terjadinya mekanisme apoptosis dan nekrosis yang terjadi belum dapat dijelaskan secara detail, tetapi proses autofagus akan terjadi dalam 24 jam pertama luka dan apoptosis onset lambat pada 24 hingga 48 jam pasca trauma luka bakar. Pada daerah paling luar luka yaitu zona hiperemis, merupakan zona yang menerima peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi inflamasi (Tan et al., 2013).

Gambar 3. Zona Luka Bakar (Rudall & Green, 2010) 2.1.5 Gambaran Klinis Gambaran klinis luka bakar dapat dikelompokkan menjadi trauma primer dan sekunder, dengan adanya kerusakan langsung yang disebabkan oleh

12

luka bakar dan morbiditas yang akan muncul mengikuti trauma awal. Pada daerah sekitar luka, akan ditemukan warna kemerahan, bulla, edema, nyeri atau perubahan sensasi. Efek sistemik yang ditemukan pada luka bakar berat seperti syok hipovolemik, hipotermi, perubahan uji metabolik dan darah (Rudall & Green, 2010). Syok hipovolemik dapat terlihat pada pasien dengan luas luka bakar lebih dari 25% LPTT. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas pembuluh darah yang berlangsung secara kontinyu setidaknya dalam 36 jam pertama setelah trauma luka bakar. Berbagai protein termasuk albumin keluar menuju ruang interstitial dengan menarik cairan, sehingga menyebabkan edema dan dehidrasi. Selain itu, tubuh juga telah kehilangan cairan melalui area luka, sehingga untuk mengkompensasinya, pembuluh darah perifer dan visera berkonstriksi yang pada akhirnya akan menyebabkan hipoperfusi. Pada fase awal, curah jantung menurun akibat melemahnya kontraktilitas miokardium, meningkatnya afterload dan berkurangnya volume plasma. Tumour necrosis factor-α yang dilepaskan sebagai respon inflamasi juga berperan dalam penurunan kontraktilitas miokardium (Rudall & Green, 2010). Suhu tubuh akan menurun secara besar dengan luka bakar berat, hal ini disebabkan akibat evaporasi cairan pada kulit karena suhu tinggi luka bakar dan syok hipovolemik. Uji kimia darah menunjukkan tingginya kalium (akibat

kerusakan

pada

sel)

dan

rendahnya

kalsium

(akibat

hipoalbuminemia). Setelah 48 jam setelah trauma luka, pasien dengan luka bakar berat akan menjadi hipermetabolik (laju metabolik dapat meningkat

13

hingga 3 kali lipat). Suhu basal tubuh akan meningkat mencapai 38,5 0C akibat adanya respon inflamasi sistemik terhadap luka bakar. Respon imun pasien juga akan menurun karena adanya down regulation pada reseptor sehingga meningkatkan resiko infeksi dan juga hilangnya barier utama pertahanan tubuh yaitu kulit (Rudall & Green, 2010). Nyeri akibat luka bakar dapat berasal dari berbagai sumber yaitu antara lain, sumber luka itu sendiri, jaringan sekitar, penggantian pembalut luka ataupun donor kulit. Setelah terjadinya luka, respon inflamasi akan memicu dikeluarkannya berbagai mediator seperti bradikinin dan histamin yang mampu memberi sinyal rasa nyeri (Richardson & Mustard, 2009). Hiperalgesia primer terjadi sebagai respon terhadap nyeri pada lokasi luka, sedangkan hiperalgesia sekunder terjadi beberapa menit kemudian yang diakibatkan adanya transmisi saraf dari kulit sekitarnya yang tidak rusak. Pasien dengan luka bakar derajat I atau derajat II superfisial biasanya akan berespon baik terhadap pengobatan dan sembuh dalam waktu 2 minggu, luka bakar tersebut tampak berwarna merah muda atau merah, nyeri dan memiliki suplai darah yang baik (Rudall & Green, 2010). 2.1.6 Terapi 

Non-operatif Pada 6 jam pertama luka bakar merupakan fase kritis. Rujuk segera pasien yang mengalami luka bakar parah ke rumah sakit. Berikut langkah – langkah yang dilakukan untuk pertolongan pertama pada luka bakar, antara lain (WHO, 2003) :

14

-

Jika pasien belum mendapatkan pertolongan pertama, alirkan air dingin pada luka bakar pasien untuk mencegah kerusakan lebih jauh dan melepaskan pakaian yang terbakar.

-

Jika luka bakar terbatas, kompres dengan air dingin selama 30 menit untuk mengurangi nyeri, edema dan meminimalisasi kerusakan jaringan.

-

Jika luka bakar luas, setelah dialirkan air dingin, pasang pembalut yang bersih pada daerah luka untuk mencegah hipotermia.

1. Initial Treatment Wound Care : 

Luka bakar harus steril.



Pemberian profilaksis tetanus.



Bersihkan semua bulla, kecuali pada luka bakar yang sangat kecil.



Eksisi dan lakukan debridement pada jaringan nekrosis yang menempel.



Setelah di-debridement, bersihkan luka bakar dengan larutan chlorhexidine 0.25% (2.5g/liter), 0.1% (1g/liter) larutan cetrimide, atau antiseptik lain yang berbahan dasar air (CEPDR, 2013).



Jangan menggunakan larutan berbahan dasar alkohol.



Gosok dengan hati – hati jaringan nekrotik yang longgar. Berikan lapisan tipis krim antibiotik (silver sulfadiazine) .



Balutkan kain kasa pada luka. Gunakan kasa kering yang tebal untuk mencegah terjadinya kebocoran pada lapisan luar.

15

2. Daily Treatment Wound Care 

Ganti balutan kasa setiap hari (dua kali sehari jika memungkinkan) atau sesering mungkin untuk mencegah terjadinya kebocoran cairan.



Inspeksi

luka,

ada

perubahan

warna

atau

tidak

yang

mengindikasikan adanya infeksi. 

Demam dapat muncul hingga luka tertutup



Adanya selulitis mengindikasikan adanya infeksi



Berikan antibiotik sistemik jika mengalami infeksi Streptococcus hemolyticus.



Infeksi Pseudomonas aeruginosa sering menimbulkan septicemia dan kematian. Berikan aminoglikosida sistemik.



Pemberian antibiotik topikal setiap hari. Jenis antibiotik topikal yang dapat diberikan antara lain : - Nitrat silver (0.5% aqueous), paling murah, diaplikasikan pada balutan kassa oklusif namun tidak dapat penetrasi ke dalam jaringan parut. Obat ini dapat menyebabkan deplesi elektrolit dan menyebabkan noda. - Silver sulfadiazine (1% ointment), diaplikasikan pada selapis balutan kasa, memiliki kemampuan penetrasi ke dalam jaringan parut yang terbatas, dan dapat menyebabkan neutropenia. - Mafenide acetate (11% ointment), diaplikasikan tanpa balutan kasa, memiliki kemampuan penetrasi ke dalam jaringan parut yang lebih baik, dapat menyebabkan asidosis (WHO, 2003).

16

Trauma luka bakar kurang dari 20% LPTT hanya mengalami sedikit kehilangan cairan, sehingga secara umum dapat diresusitasi dengan hidrasi oral kecuali pada kasus luka bakar pada wajah, tangan, area genital atau luka bakar yang terjadi pada anak-anak dan lanjut usia. Saat ini rekomendasi untuk memberikan cairan resusitasi secara intravaskular yaitu ketika area luka lebih besar dari 20%. Salah satu rumus yang digunakan untuk menghitung jumlah cairan yang diberikan pada trauma luka bakar adalah rumus Brooke yang termodifikasi yaitu dalam 24 jam pertama cairan Ringer Laktat 2 ml/kg BB/% area luka bagi pasien dewasa dan 3 ml/kg BB/% area luka bagi pasien anak-anak. Selanjutnya, untuk 24 jam berikutnya diberikan cairan koloid dengan dosis 0,3 – 0,5 ml/kg/BB/% area luka (Haberal et al., 2010). 

Operatif Luka

bakar

sirkumferensial

derajat

III

pada

ekstremitas

dapat

menyebabkan gangguan vaskular. Hilangnya sinyal ultrasound Doppler pada arteri ulnar dan radialis merupakan indikasi dilakukannya eskaratomi pada ekstremitas atas. Hilangnya sinyal arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis

posterior

mengindikasikan

dilakukannya

eskaratomi

pada

ekstremitas bawah (Edlich, 2015).

Setelah terjadinya trauma luka, peningkatan tekanan jaringan interstitial akan meyumbat aliran vena, baru kemudian aliran kapiler arteri. Dalam periode 3 hingga 8 jam dibutuhkan untuk terjadinya edema yang akan meningkatkan tekanan jaringan. Ketika tekanan kompartemen jaringan

17

lebih besar daripada 40 mmHg, eskaratomi pada luka bakar derajat III akan mencegah terjadinya trauma iskemik berlanjut. Perlu diingat bahwa penyebab umum tidak adanya denyut nadi pada ekstremitas diakibatkan karena hipovolemik dengan vasokonstriksi perifer, bukan akibat dari tekanan interstitial (Edlich, 2015).

Eskaratomi dilakukan pada bagian medial dan lateral ekstremitas yang memanjang sesuai dengan ukuran panjang eskar (jaringan yang nekrosis). Insisi dibuat menggunakan skalpel. Akibat lamanya gangguan vaskular yang terjadi, eskaratomi dapat menyebabkan trauma reperfusi pada ekstremitas dengan hiperemis reaktif dan edema pada otot kompartemen. Pada kasus tersebut, fasiotomi diperlukan untuk mengembalikan perfusi jaringan terhadap ekstremitas (Edlich, 2015). 2.1.7 Prognosis Prognosis luka bakar akan lebih buruk bila terjadi pada area luka yang lebih besar, usia penderita yang lebih tua, dan pada wanita. Adanya trauma inhalasi atau trauma signifikan lain seperti fraktur tulang panjang dan komorbiditas berat (penyakit jantung, diabetes, gangguan psikiatri dan keinginan untuk bunuh diri) juga mempengaruhi prognosis (Tintinalli, 2010). Selain itu juga dapat digunakan metode skoring Baux termodifikasi untuk memprediksi persentase mortalitas trauma luka bakar. Rumus Baux adalah umur + persentase area luka bakar + (17 x (trauma inhalasi, 1 = ya, 0 = tidak) (Osler et al., 2010).

18

2.1.8 Komplikasi Komplikasi luka bakar dapat berasal dari luka itu sendiri atau dari ketidakmampuan tubuh saat proses penyembuhan luka (Burninjury, 2013). 

Infeksi luka bakar Infeksi pada luka bakar merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Sistem integumen memiliki peranan sebagai pelindung utama dalam melawan infeksi. Kulit yang rusak atau nekrosis menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap patogen di udara seperti bakteri dan jamur. Infeksi juga dapat terjadi akibat penggunaan tabung atau kateter. Kateter urin dapat menyebabkan infeksi traktus urinarius, sedangkan tabung pernapasan dapat memicu infeksi traktus respirasi seperti pneumonia (Burninjury, 2013).



Terganggunya suplai darah atau sirkulasi Penderita dengan kerusakan pembuluh darah yang berat dapat menyebabkan kondisi hipovolemik atau rendahnya volume darah. Selain itu, trauma luka bakar berat lebih rentan mengalami sumbatan darah (blood clot) pada ekstremitas. Hal ini terjadi akibat lamanya waktu tirah baring pada pasien luka bakar. Tirah baring mampu menganggu sirkulasi darah normal, sehingga mengakibatkan akumulasi darah di vena yang kemudian akan membentuk sumbatan darah (Burninjury, 2013).



Komplikasi jangka panjang Komplikasi jangka panjang terdiri dari komplikasi fisik dan psikologis. Pada luka bakar derajat III, pembentukan jaringan sikatriks terjadi

19

secara berat dan menetap seumur hidup. Pada kasus dimana luka bakar terjadi di area sendi, pasien mungkin akan mengalami gangguan pergerakan sendi. Hal ini terjadi ketika kulit yang mengalami penyembuhan berkontraksi atau tertarik bersama. Akibatnya, pasien memiliki gerak terbatas pada area luka. Selain itu, pasien dengan trauma luka bakar berat dapat mengalami tekanan stress pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD). Depresi dan ansietas merupakan gejala yang sering ditemukan pada penderita (Burninjury, 2013). 2.2 Penyembuhan Luka Bakar Proses penyembuhan pada luka bakar bergantung pada kedalaman luka. Pada luka bakar derajat I dan derajat II superfisial, penyembuhan luka terjadi secara primer. Luka derajat II superfisial sembuh dari sisa epitelium folikel rambut yang banyak ditemukan pada dermis superfisial. Proses penyembuhan akan memakan waktu 5-7 hari dan biasanya jaringan sikatriks minim terjadi. Pada derajat II dalam dan derajat III, proses penyembuhan luka terjadi secara sekunder yang melibatkan proses epitelisasi dan kontraksi (Tiwari, 2012). Fase inflamasi (reaktif), proliferasi (reparasi) dan maturasi (remodeling) berkonstitusi dalam ketiga fase pada proses penyembuhan luka. Ketiga fase ini sama terjadi untuk semua jenis luka, hanya terdapat perbedaan durasi pada tiap fase (Tiwari, 2012).

20

a. Fase Inflamasi Setelah terjadinya luka, respon inflamasi tubuh dimulai yang terdiri dari komponen vaskular dan seluler : -

Respon vaskular terjadi sesaat setelah trauma luka bakar yang ditandai dengan adanya vasodilatasi dengan ekstravasasi cairan ke ruangan interstitial. Pada trauma luka bakar yang berat, peningkatan permeabilitas kapiler akan memicu ekstravasasi plasma masif (Tiwari, 2012).

-

Respon seluler ditandai dengan adanya sel neutrofil dan monosit sebagai sel pertama yang bermigrasi ke area inflamasi. Kemudian, neutrofil akan segera menurun dan digantikan oleh makrofag. Migrasi sel-sel tersebut diinduksi oleh faktor kemotaktik seperti kallkirein dan peptida fibrin yang dilepaskan dari proses koagulasi dan substansi yang berasal dari sel mast seperti tumour necrosis factor, histamin, protease, leukotrien dan sitokin. Respon seluler membantu fagositosis dan proses pembersihan jaringan mati dan toksin akibat jaringan yang terbakar (Tiwari, 2012).

b. Fase Proliferasi Pada luka bakar partial thickness, re-epitelisasi akan dimulai dalam bentuk migrasi keratinosit dari sisa kulit yang masih utuh pada dermis beberapa jam setelah luka, biasanya proses ini akan menutup luka dalam 5 hingga 7 hari. Setelah re-epitelisasi membran basal terbentuk diantara dermis dan epidermis, angiogenesis dan fibrogenesis akan membantu rekonstruksi dermis (Tiwari, 2012).

21

c. Fase Remodeling Fase remodeling merupakan fase ketiga dari proses penyembuhan dimana maturasi graft dan sikatriks terjadi. Pada fase akhir ini diawali dengan penambahan protein struktural fibrosa seperti kolagen dan elastin di sekitar epitelium, endotel dan otot polos sebagai matriks ekstraselular. Kemudian, fase resolusi pada matriks ekstraselular akan menjadi jaringan sikatriks dan fibroblas akan menjadi fenotipe miofibroblas yang akan bertanggung jawab terhadap kontraksi sikatriks. Pada luka bakar derajat II dalam dan derajat III, fase resolusi akan memanjang hingga beberapa tahun dan akan membentuk kontraktur luka serta jaringan parut hipertropik (Tiwari, 2012).

Hiperpigmentasi yang terlihat pada luka bakar superfisial diakibatkan adanya respon berlebih dari melanosit terhadap trauma luka bakar, sedangkan hipopigmentasi pada luka bakar dalam diakibatkan hancurnya melanosit pada kulit (Tiwari, 2012).

2.3 Silver Sulfadiazine Silver sulfadiazine merupakan antibiotik topikal pilihan untuk luka bakar. Komponen aktif silver sulfadiazine terdiri atas silver nitrat dan sodium sulfadiazine. Atom silver menggantikan atom hidrogen pada molekul sulfadiazine. Obat ini sering digunakan pada luka bakar permukaan (superficial burn) dan dalam (deep burn). Silver sulfadiazine memiliki spektrum antimikroba yang luas (Gram +, Gram -, dan ragi) dan bersifat bakterisidal (Greenhalgh, 2009).

22

Komponen silver akan berikatan dengan DNA bakteri sehingga akan menghambat proses sintesis protein bakteri dan menyebabkan pertumbuhan bakteri terhambat. Silver sulfadiazine memiliki kemampuan disosiasi sedang sehingga dapat berperan sebagai reservoir silver yang sangat mudah berdisosiasi jika dalam berbentuk garam (Anderson et al., 2012). Ion silver dapat berikatan dengan enzim yang terdapat di dalam bakteri sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan metabolisme bakteri. Selain itu, ion silver juga dapat terdeposit dinding sel dan membran plasma bakteri sehingga menyebabkan struktur luar bakteri tersebut menjadi abnormal (Jung et al., 2008).

Sulfadiazine merupakan antibiotik golongan sulfonamide. Sulfadiazine dapat menghambat sintesis asam folat bakteri dengan cara menghambat enzim dihydropteroat sintase sehingga pembentukan asam dihidrofolik dari PABA (p-aminobenzoic acid) akan menurun. Penurunan pembentukan asam dihidrofolik

akan menghambat pembentukan purin dan DNA bakteri

sehingga pertumbuhan bakteri akan berkurang (Katzung, 2006).

Dosis untuk pengobatan luka bakar eksternal derajat II dan III umumnya diberikan dengan cara mengoleskan silver sulfadiazine pada area luka sebanyak satu atau dua kali sehari dengan ketebalan sekitar 1,5 mm. Pemberian silver sulfadiazine kontraindikasi untuk penderita alergi sulfa dan ibu hamil. Pada ibu hamil, komponen sulfonamide menyebabkan kernikterik pada bayi. Selain itu, obat ini tidak boleh diberikan pada luka bakar di daerah wajah karena dapat menimbulkan iritasi mata. Efek samping obat ini

23

adalah dapat menyebabkan leukopenia pada hari ke 3 dan ke 5 setelah terjadi luka bakar. Namun, beberapa dokter menyakini bahwa leukopeni tersebut terjadi karena penurunan migrasi leukosit ke daerah luka dan tidak disebabkan oleh supresi pada sumsum tulang (Greenhalgh, 2009).

2.4 Amnion Liofilisasi Steril-Radiasi (ALS-R) 2.4.1 Amnion Amnion adalah jaringan semi transparan tipis yang membentuk lapisan terdalam membran fetus, dengan susunan membran basalis yang tebal dan jaringan stroma avaskuler. Membran amnion berfungsi sebagai epitel penutup, sekresi aktif dan transpor intersel. Penggunaan membran amnion dalam bidang kesehatan telah berkembang pesat. Membran amnion dapat berfungsi sebagai scaffold (matrik pendukung pertumbuhan sel dan jaringan) dalam rekayasa jaringan. Sel epitel dari membran amnion juga berfungsi merangsang migrasi stem cell (Niknejad et al., 2008).

Membran amnion berasal dari jaringan ekstra embrional terdiri dari komponen fetus (chorionic plate) dan komponen maternal (desidua). Komponen fetus termasuk membran amnion dan membran chorion, memisahkan fetus dengan endometrium. Membran amnion fetus pada kehamilan aterm terdiri atas dua lapisan utama. Lapisan terluar atau chorion berhubungan dengan sel-sel induk. Lapisan terdalam adalah membran amnion terdiri atas selapis sel epitel kuboid, membran basalis yang tebal dan stroma yang avaskuler (Niknejad et al.,2008).

24

Ketebalan membran amnion antara 0,02–0,5 nm. Membrana basalis pada amnion merupakan salah satu membran tebal dalam tubuh manusia. Lapisan compact stroma menghubungkan membrana basalis dengan lapisan fibroblas. Kolagen pada lapisan compact dihasilkan oleh sel mesenkim yang berada pada lapisan fibroblas. Kolagen interstisial yaitu tipe I dan tipe III didapatkan lebih banyak dan berfungsi menjaga integritas mekanik dari membran amnion, serta berbentuk bundles parallel. Kolagen tipe V dan VI berbentuk filamen menghubungkan antara kolagen intersisial dengan membrana basalis epitel. Lapisan intermediate yaitu zona spongiosa yang berdekatan dengan

membran

chorion, berisi proteoglikan dan glikoprotein yang terlihat seperti spongy pada preparat histologi (Niknejad et al., 2008).

Gambar 4. Struktur Membran Amnion (Niknejad et al., 2008)

25

Penggunaan membran amnion dalam proses pembedahan telah berkembang pesat, terkait peranannya dalam penyempurnaan penyembuhan luka. Hal ini berhubungan dengan sifat membran amnion sebagai anti-inflamasi, antibakteri, anti-fibrosis dan anti-scarring dengan imunogenitas rendah (Niknejad et al., 2008). Peran membran amnion dalam penyembuhan luka karena ada kandungan SLPI (Secretory Leukocyte Protease Inhibitor) yang berfungsi menekan beberapa faktor pro-inflamatory, seperti serin protease dalam proses penyembuhan luka (Higa et al., 2006).

Pada pemeriksaan makroskopis, membran amnion tersusun dari beberapa lapisan yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Bahan tersebut mudah terbagi menjadi lapisan amnion dan lapisan korion, yang dipisahkan oleh bahan seperti jelly, yaitu lapisan intermediate yang akan terlihat jelas pada pemisahan lapisan. Amnion atau selaput ketuban dilapisi oleh lapisan sel epitel yang dapat diambil secara mudah dengan teknik simple cell scraping untuk melihat selaput translucent dibawahnya. Lapisan amnion dan korion masing-masing menyusun membran dasar dan lapisan stroma (Fetterolf & Snyder, 2012).

Secara mikroskopis, sel epitelial yang melapisi jelas terlihat, sedangkan bagian yang lainnya terdiri dari beragam lapisan yang terlihat dengan pewarnaan H/E (Premier Laboratories, 2011).

26

Gambar 5. Jaringan amnion manusan dengan pewarnaan H/E (Premier Laboratories, 2011)

Membran amnion memiliki kandungan sebagai : 

Efek anti-inflamasi Membran amnion mampu menekan sitokin pro-inflamasi interleukin-1α (IL-1α) dan interleukin-1β (IL-1β) (Hao et al., 2000; Solomon, 2001). Pada awal fase inflamasi, pelepasan faktor kemotaktik akan menarik neutrofil dan makrofag yang berperan penting dalam melawan bakteri dan proses penghancuran jaringan yang rusak dengan bantuan proteinase, reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS). Tetapi, ROS dan RNS yang disekresi secara berlebih dapat menyebabkan kerusakan oksidatif berat pada kulit, termasuk komponen selular dan ekstraselular. Oleh karena itu, kulit yang terluka harus dilindungi secara baik dari efek toksik ROS dan RNS. Adanya penurunan produksi ROS

27

oleh sel pro-inflamasi akan mempercepat proses penyembuhan luka (Korkina et al., 2006).

Membran amnion juga memproduksi inhibitor metalloprotease alami (Hao et al., 2000; Kim et al., 2000). Matrix metalloproteinase inhibitors yang terdapat pada amnion seperti tissue inhibitor of metalloproteinase-1 (TIMP-1),

type-1

plasminogen

activator

inhibitor

(PAI-1)

serta

thrombospondin-1 (TSP-1) (Park et al., 2008). Pada fase inflamasi, TIMP1 menghambat efek apoptosis sel endotel yang distimulasi oleh sitokin melalui aktivasi jalur fosfatidilinositol-3-kinase-Akt, hal ini akan mengurangi derajat keparahan luka. Pada fase proliferasi, inhibitor metaloproteinase mengatur migrasi sel epitel dan stromal, sedangkan pada fase remodeling, mengatur kontraksi luka pada perubahan matriks ekstraselular khususnya kolagen yang dibutuhkan dalam transisi jaringan granulasi ke jaringan sikatriks (Gill & Parks, 2009). 

Anti-mikroba Membran

amnion

memproduksi

β-defensin,

secretory

leukocyte

proteinase inhibitor (SLPI) dan elafin yang bersifat sebagai anti mikroba spektrum luas, keadaan ini akan membantu penyembuhan luka pada fase inflamasi (King et al., 2007; Buhimschi et al., 2004). 

Anti pembentukan jaringan sikatriks dan tidak bersifat lengket Pada fase proliferasi, membran amnion mampu menekan aktivitas protease dan transforming growth factor-β (TGF-β). TGF-β bekerja mengaktivasi fibroblas beserta ekspresi reseptornya, oleh karena itu penekanan fungsi

28

fibroblas akan mencegah adesi permukaan kulit luka satu sama lain dan mencegah resiko fibrosis (Cuttle et al., 2005). 

Non-imunogenik dan memiliki antigenisitas yang rendah Membran amnion memiliki karakteristik biokimia dan anatomi permukaan molekular yang unik serta tidak mengekspresikan antigen Major Histocompatibility Complex (MHC) Class II. Selain itu, rendahnya atau tidak adanya ekspresi Histocompatibility (HLA) antigens A, B, C DR atau beta2 microglobulin akan mengurangi resiko reaksi imun ketika amnion dibalutkan pada luka penderita., sehingga pada fase inflamasi tidak akan memicu infiltrasi limfosit (Chen & Tofe, 2010).



Sifat analgesik Amnion bersifat efisien dalam menutupi ujung saraf pada tepi luka, sehingga mampu menjadi agen pereda nyeri jangka cepat terutama pada fase inflamasi (Branski et al., 2008).



Anti-angiogenik Respon angiogenesis pada fase proliferasi penyembuhan luka dapat melebihi jumlah kebutuhan yang diperlukan untuk perbaikan luka optimal, beberapa penelitian menyebutkan bahwa luka pada kulit akan sembuh secara adekuat ketika respon angiogenik diturunkan dan memiliki efek klinis penyembuhan luka jangka panjang yang lebih baik (Dipietro, 2013). Zat yang bersifat anti-angiogenik seperti trombospondin-1 dan endostatin diekspresikan oleh sel epitel amnion (Dua et al., 2004). Selain itu, faktor anti-angiogenik poten PEDF (Pigment epithelium-derived factor) juga ditemukan pada membran basalis amnion (Liu J et al., 2010).

29



Perlindungan terhadap hilangnya cairan dan protein Matriks kolagen yang intak akan mendukung migrasi dan proliferasi sel.



Mengandung kolagen tipe IV, V, dan VII Kolagen tipe IV, V dan VII menyusun substrat yang tidak hanya penting untuk integritas struktur membran, tetapi juga mampu mempercepat penyembuhan luka dan pertumbuhan sel. Molekul-molekul tersebut berinteraksi satu sama lain dalam bioregulasi kompleks tinggi yang membutuhkan adanya selaput, faktor pertumbuhan individu dan hubungan yang dapat meregulasi beragam proses penyembuhan regeneratif (Schultz et al., 2011). Sintesis dan penyusunan kolagen merupakan tahap terpenting dalam fase proliferasi penyembuhan luka. Kolagen kaya akan hidroksilisin dan hidroksiprolin yang membentuk kekuatan ikatan antar sel. Kemudian, pada fase remodeling, kolagen lebih terstruktur dengan baik (Simon et al., 2014).



Meningkatkan epitelisasi Ekspresi faktor pertumbuhan seperti keratinocyte growth factor (KGF), basic-fibroblast growth factor (b-FGF), hepatocyte growth factor (HGF) dan transforming growth factor-beta (TGF-β) akan membantu proses epitelisasi (Park et al., 2008). -

KGF merupakan faktor pertumbuhan yang terdapat pada fase reepitelisasi pada proliferasi penyembuhan luka dimana keratinosit akan menutupi luka dan membentuk epitelium

-

b-FGF berperan faktor pertumbuhan yang bekerja dalam proses angiogenesis pada proliferasi

30

-

HGF bekerja mengontrol pertumbuhan sel, motilitas sel dan morfogenesis

-

TGF-β berperan dalam mengontrol proliferasi dan diferensiasi sel

2.4.2 Cara Proses atau Pengawetan Jaringan Bank Jaringan Riset Batan (BJRB) adalah Bank Jaringan pertama di Indonesia yang menggunakan radiasi sinar gamma (γ) untuk mensterilkan jaringan muskuloskeletal dengan kualitas tinggi untuk implantasi/trasplantasi. BJRB berada di bawah Pusat Aplikasi Teknologi lsotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir

Nasional

mengembangkan

(PATIR-BATAN) teknologi

Bank

bertugas

Jaringan,

untuk

khususnya

meneliti dalam

dan bidang

pengawetan jaringan biologi baik alograf maupun xenograf dengan radiasi sinar γ dan partikel elektron (Abbas & Sidiq, 2010).

Penelitian pengawetan amnion segar diproses secara liofilisasi kemudian disterilkan dengan radiasi sinar γ. Produk tersebut selanjutnya disebut dengan ALS-R. Amnion segar yang mengandung kolagen, beberapa hormon dan enzim, didapat dari plasenta bayi yang dilahirkan oleh ibu sehat, bebas dari penyakit menular seperti HIV dan Hepatitis B/C, baik dari kelahiran normal maupun melalui pembedahan (Abbas & Sidiq, 2010).

Agar jaringan biologi dapat disimpan dalam waktu lama, BJRB melakukan beberapa cara proses/pengawetan, antara lain : 

Liofilisasi, yaitu suatu proses pengeringan dari bahan biologi dengan cara sublimasi. Bahan biologi dibekukan dan dikeringkan tanpa melalui fase

31

cair. Dengan cara ini, jaringan biologi yang dikeringkan tidak mengalami perubahan kimia dan fisika (Abbas & Sidiq, 2010). 

Pembekuan pada suhu -800 C, dilakukan untuk menjaga keamanan dari jaringan alograf agar tetap awet sebelum diproses. Disamping itu juga digunakan untuk menyimpan jaringan autograf untuk dipakai kembali oleh pasien yang sama di kemudian hari. Penyimpanan jaringan pada suhu -800 C dapat digunakan sebelum 5 tahun (Abbas & Sidiq, 2010).



Sterilisasi Radiasi, untuk menjaga keamanan dari jaringan biologi, jaringan disterilkan dengan cara radiasi dengan sinar γ atau partikel elektron. Sterilisasi radiasi sangat cocok untuk jaringan biologi, karena prosesnya dingin sehingga tidak mengubah struktur jaringan, tidak meninggalkan residu beracun, sangat ampuh membunuh mikroorganisme dan juga virus sampai batas tertentu (Abbas & Sidiq, 2010).

Jaringan yang telah diproses dengan cara liofilisasi hingga kadar air 5-7%, dikemas dalam kantong plastik polietilen, dan diiradiasi dengan dosis 25 kGy. Jaringan tersebut dapat disimpan pada suhu 4-100 C dan terhindar dari cahaya matahari langsung. Cara penyimpanan ini direkomendasikan hanya untuk 2-5 tahun, tergantung dari jenis jaringannya. Untuk menjaga kualitas dan sterilitas jaringan, kemasan yang rusak atau terbuka akibat pemakaian (jaringan sisa) tidak boleh digunakan Iagi (Abbas & Sidiq, 2010).

32

2.5 Kerangka Teori

Faktor Host :

Faktor Luka :     

     

Mekanisme Derajat Luas Lokasi Komplikasi

Faktor Lingkungan :

Usia Berat Badan Gizi Agresivitas Psikologis Kesehatan Umum

 

Metode perawatan luka Ruang Perawatan Luka

Proses Penyembuhan

Sembuh Luka Bakar

Inflamasi

Proliferasi

Remodeling

Tidak Sembuh

SLPI, βdefensin, elafin, minimal HLA antigen

TIMP-1, PAI1, TSP-1

Endostatin, PEDF

Penekanan aktivitas protease dan TGF-β

Amnion (ALS-R) Liofilisasi  Pembekuan  Sterilisasi Radiasi

Gambar 6. Kerangka Teori

Kolagen tipe IV, V dan VII

33

2.6 Kerangka Konsep

Luka Bakar Derajat II Luka Tidak Steril

Fase Inflamasi

+ Amnion (ALS-Radiasi)

Fase Proliferasi

+ Silver Sulfadiazine

Fase Remodeling Sembuh

Keterangan: : Diteliti

: Tidak Diteliti

Gambar 7. Kerangka Konsep

2.7 Hipotesis

1. Amnion Liofilisasi Steril-Radiasi (ALS-R) memiliki pengaruh yang signifikan sebagai perban biologis terhadap waktu penyembuhan luka bakar derajat II pada tikus galur Wistar. 2. Amnion Liofilisasi Steril-Radiasi (ALS-R) memiliki pengaruh yang signifikan sebagai perban biologis terhadap infeksi lokal luka bakar derajat II pada tikus galur Wistar.

34

3. Amnion Liofilisasi Steril-Radiasi (ALS-R) memiliki pengaruh yang signifikan sebagai perban biologis terhadap reaksi alergi luka bakar derajat II pada tikus galur Wistar. 4. Amnion Liofilisasi Steril-Radiasi (ALS-R) memiliki pengaruh yang signifikan sebagai perban biologis terhadap pembentukan re-epitelisasi sempurna luka bakar derajat II pada tikus galur Wistar.