II. TINJAUAN PUSTAKA A. BIOLOGI DAN MORFOLOGI ULAT KANTONG

Download Ciri khas utama dari ulat kantong adalah hidupnya di dalam sebuah bangunan .... membahayakan musuh alami, manusia, ikan dan kehidupan lain...

6 downloads 833 Views 450KB Size
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Ulat Kantong Klasifikasi ulat kantong Mahasena Corbetti : Kingdom

: Animalia

Subkingdom : Bilateria Phylum

: Arthropoda

Subphylum

: Mandibulata

Class

: Insecta

Subclass

: Dicondylia

Ordo

: Lepidoptera

Family

: Acrolophidae

Genus

: Mahasena

Species

: Mahasena corbetti

Ciri khas utama dari ulat kantong adalah hidupnya di dalam sebuah bangunan mirip kantong yang berasal dari potongan-potongan daun, tangkai bunga tanaman inang, di sekitar daerah serangan. Ciri khas yang lain yakni pada bagian tubuh dewasa betina kebanyakan spesies ulat kantong mereduksi dan tidak mampu untuk terbang. Jantan memiliki sayap dan akan mencari betina karena bau feromon

yang

dikeluarkan

betina

untuk

menarik

serangga

jantan

(Utomo dkk, 2007). Keluarga ulat ini membentuk kantong, larva ini tinggal di dalamnya sampai dewasa. Hama ini bergerak dengan mengeluarkan kepala dan sebagian dadanya. Bentuk kantongnya bermacam-macam, ada yang kecil dan sempit serta

5

ada pula yang besar dan longgar. Jika ulat bertambah besar, kantong bagian mukanya juga diperbesar dan diperpanjang untuk keperluan menggantung saat tidak berjalan. Warna kantong ini hitam kelabu.

Gambar 1. Hama Ulat Kantong (Sumber : Foto langsung) Ulat ini memakan daun, bunga dan kulit tanaman dengan sangat rakus. Umumnya ulat ini pemakan segala tanaman, tetapi ada juga yang hanya menyerang tanaman tertentu. Ulat berkepompong dalam kantong dengan posisi berubah, yaitu kepalanya dibelakang. Pupa yang jantan akan menjadi ngengat bersayap, sedangkan yang betina bentuknya tetap seperti ulat, tidak berubah jadi ngengat, tidak bersayap, tidak berkaki atau tidak bersayap atau kakinya kerdil, dan tetap hidup dalam kantong. Ulat muda ini sudah dapat mengeluarkan benang sutera untuk menggantung, kemudian digunakan untuk menyebar dengan bantuan angin, manusia, dan binatang lainnya. Selain menetap di suatu tempat, ulat muda ini lalu membentuk kantong sendiri (Pracaya, 2007). Karena sifat yang khas ini maka dikatakan jenis ulat ini sebagai ulat kantong. Tingkat populasi kritis adalah 5-6 ekor/pelepah. Berbagai jenis predator dan parasitoid juga banyak di jumpai. Jika dalam keadaan mendesak dapat

6

dilakukan pengendalian dengan menggunakan insektisida. Pengendalian ulat kantong ini umumnya lebih sulit dari pada ulat api karena stadia ulat, kepompong dan kupu-kupu tetap berada di dalam kantongnya (Lubis, 2008).

B. Siklus Hidup dan Biologi Hama Ulat Kantong Siklus hidup hama pemakan daun kelapa sawit melalui empat stadium yaitu telur, larva (ulat), pupa (kepompong) dan imago (dewasa). 1. Telur Telur berwarna kuning pucat dan berbentuk oval. Telur akan menetas setelah 16-18 hari. Jumlah telur yang dihasilkan betina Mahasena corbetti sekitar 1000-3000 butir (Prawirosukarto, 2002). 2. Larva Mahasena corbetti mengalami fase perkembangan sampai 12-13 instar. Larva yang baru menetas makan dan membuat kantung dari daun kering yang berasal dari kantung induk betina. Panjang tubuh larva instar I sekitar 3-5mm, instar II sekitar 5-10mm, instar III sekitar 10-15mm, instar IV sekitar 15-20mm, instar V sekitar 20-25mm, instar VI sekitar 25-30mm, instar VII sekitar 30-35mm, instar IX sekitar 35-40mm, instar X sekitar 40-45mm, instar XI dan instar XII sekitar 45-50mm. larva instar awal M. corbetti sangat aktif makan pada instar I sampai instar III dan larva sedang (IV sampai dengan VII). Ukuran panjang kantung M. corbetti jantan dapat mencapai 30 mm, sedangkan betinanya 50 mm (Ramlah Ali dkk., 2007)

7

3. Pupa Ukuran pupa jantan lebih kecil daripada betina. Panjang pupa jantan lebih pendek dibandingkan betina (+ 30 mm vs + 50 mm) (Sudharto, 1990). Pupa seperti tumpukan potongan daun yang tidak teratur. Masa populasi mencapai 30 hari. Pupa menggantung pada permukaan pada bagian bawah daun. 4. Imago Jantan M. corbetti akan menjadi imago ngengat. Ngengat jantan berupah kupu-kupu berwarna cokelat, rentang sayapnya 30mm dan dapat hidup kurang dari 3 hari. Betina ulat kantung dewasa tanpa sayap, dan menghabiskan seluruh hidupnya di dalam kantung (Sudharto, 1990). Ulat

M. corbetti berukuran lebih besar dibandingkan dengan Metisa

plana yakni pada akhir perkembangannya dapat mencapai panjang sekitar 35 mm, dengan panjang kantong 30-50 mm. Ngengat Mahasena corbetti jantan bersayap normal dengan rentangan sayap sekitar 30 mm dan berwarna coklat tua. Seekor ngengat betina berwarna sama dengan ngengat jantan, tetapi tidak bersayap, berbentuk seperti ulat, dan tetap tinggal di dalam kantong sampai mati. Pada waktu kopulasi, ngengat jantan terbang mendatangi kantong ngengat betina, dan kopulasi berlangsung melalui ujung

kantong.

Ngengat

betina

meletakkan

telur

di

dalam

kantong

(Prawirosukarto, 2002). Seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur antara 2000-3000 butir. Telur menetas dalam waktu sekitar 16 hari. Ulat yang baru menetas sangat aktif dan bergantungan dengan benang-benang liurnya, sehingga mudah menyebar

8

dengan bantuan angin, terbawa manusia atau binatang. Ulat sangat aktif makan sambil membuat kantong dari potongan daun yang agak kasar atau kasar. Selanjutnya ulat bergerak dan makan dengan hanya mengeluarkan kepala dan kaki depannya dari dalam kantong. Ulat mula-mula berada pada permukaan atas daun, tetapi setelah kantong semakin besar berpindah menggantung di bagian permukaan bawah daun kelapa sawit (Sulistyo dkk., 2010). Pada akhir perkembangannya, ulat dapat mencapai panjang 35 mm dengan panjang kantong sekitar 30-50 mm. Stadia ulat berlangsung sekitar 80 hari. Ulat berkepompong di dalam kantong selama sekitar 30 hari sehingga total siklus hidupnya adalah sekitar 126 hari (Susanto dkk., 2010). Pengetahuan tentang siklus hidup secara utuh sangat berguna di dalam managemen pengendalian hama ini. Dengan informasi ini, rantai terlemah dari siklus hidupnya didapat sehingga akan membantu dalam menentukan waktu tindakan pengendalian yang tepat. Informasi siklus hidup juga akan memberikan pemahaman biologi yang lebih baik untuk pengelolaan hama.

C. Gejala Serangan Hama Ulat Kantong Kerusakan yang disebabkan ulat kantong adalah daun tidak utuh lagi, rusak, dan berlubang-lubang. Kerusakan helaian daun di mulai dari lapisan epidermisnya. Kerusakan lebih lanjut adalah mengeringnya daun yang menyebabkan tajuk bawah berwarna abu-abu dan hanya daun muda yang masih berwarna hijau, kerusakan akibat hama ini dapat menimbulkan penyusutan produksi.

9

Gambar 2. Tanaman yang Terserang Ulat Kantong (Sumber : Foto langsung) Serangan ulat kantong ditandai dengan kenampakan tanaman tajuk tanaman yang kering seperti terbakar. Tanaman pada semua umur rentan terhadap serangan ulat kantong, tetapi lebih cenderung berbahaya terjadi pada tanaman dengan umur lebih dari 8 tahun. Keadaan ini mungkin ditimbulkan dari kemudahan penyebaran ulat kantong pada tanaman yang lebih tua karena antar pelepah daun saling bersinggungan. Dari hasil stimulasi kerusakan daun yang dilakukan pada tanaman kelapa sawit berumur 8 tahun, diperkirakan penurunan produksi mencapai 30% - 40% pada dua tahun setelah kehilangan daun sebesar 50% (Prawirosukarto dkk.,1997).

D. Alat Power Sprayer Power

Sprayer

merupakan

komponen

yang

berfungsi

untuk

mensirkulasikan refrigeran ke semua komponen refrigerasi. Alat ini juga berfungsi untuk memastikan bahwa temperatur gas refrigeran yang disalurkan ke kondeser harus lebih tinggi dari temperatur condesing medium. Akibatnya temperatur refrigeran dapat dipindahkan walaupun tekanannya tetap.

10

Bagian-bagian dari alat semprot ini adalah unit ruang tekan dan isap, unit pompa, selang dan nozzle. Sebagai tempat untuk menampung cairan semprot digunakan drum dengan kapasitas 100-200 liter. Untuk mengoperasikan alat ini dibutuhkan tenaga kerja 3-4 orang yakni 1 orang untuk mengatur mesin dan drum yang berisi cairan semprot, 1-2 orang mengatur selang semprot. Panjang selang yang digunakan 25-50m tergantung luas areal (Wudianto, 1989).

Gambar 3. Power Sprayer (Sumber: Foto langsung)  Keuntungan dan kekurangan power sprayer Keuntungan: 1. Sesuai untuk insektisida kontak 2. Sesuai untuk tanaman menghasilkan yang berumur >5 tahun 3. Sesuai untuk areal rata. Kekurangan: 1. Diperlukan banyak tenaga kerja, minimal 3-4 Hk/alat 2. Tidak sesuai untuk areal bergelombang 3. Kurang efektif untuk insektisida Bacillus thuringiensis 4. Diperlukan air yang banya

11

Hasil kerja nozel, juga berfungsi sebagai penghalus butir-butir tadi sehingga lebih lembut. Dengan demikian tekanan/aliran udara berfungsi sebagai partikel-partikel obat. Pengguna alat pengkabut terutama untuk melakukan pemberantasan hama yang menyerang tanaman keras (Wawan, 2011)

E. Metode Pengendalian Hama Ulat Kantong (Mahasena corbetti) 1.

Pengendalian Secara Biologis Parasitoid yang sering digunakan untuk mengendalikan hama ulat kantong

antara lain parasitoid primer dan sekunder, serta predator mempengaruhi populasi ulat Mahasena corbetti. Telah ditemukan 33 jenis parasitoid dan 11 jenis predator hama pemakan daun. Beberapa predator terutama Eocanthecona furcellata (wolff) (Prawirosukarto, 2002). Bebrapa jenis lalat yang menjadi parasit hama ulat kantong, diantaranya Chalcicid (lalat parasit), Brachymeria, Tachinid (lalat perusak) (Pracaya, 2007). Penggunaan Bacillus thuringiensis (Bt) sebagai insektisida biologi mempunyai banyak keuntungan; toksisitasnya hanya pada serangga target, dan umumnya tidak membahayakan musuh alami, manusia, ikan dan kehidupan lain. Meskipun telah ada percobaan oleh beberapa kebun dalam menggunakan Bt untuk pengendalian ulat kantong, tetapi hanya sedikit keberhasilannya. 2.

Pengendalian Secara Mekanik Pengendalian hama secara mekanik mencakup usaha untuk menghilangkan

secara langsung hama serangga yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis ini biasanya bersifat manual, yaitu dengan cara pemangkasan pelepah yang

12

terdapat banyak larva ulat, Mengambil hama yang sedang menyerang dengan tangan secara langsung, menumpuk hama dan kemudian membakarnya. Dengan melibatkan tenaga manusia telah banyak dilakukan oleh banyak negara pada permulaan abad ini. Cara pengendalian hama ini sampai sekarang masih banyak dilakukan di daerah - daerah yang upah tenaga kerjanya masih relatif murah (Pardede, 1997). 3.

Pengendalian Secara Kimia Pengendalian ulat pemakan daun kelapa sawit dengan menggunakan

insektisida kimia merupakan cara yang umum dilakukan di perkebunan kelapa sawit untuk mengatasi ledakan populasi ulat. Ulat kantong dapat dikendalikan dengan penyemprotan atau dengan injeksi batang menggunakan insektisida. Untuk tanaman yang lebih muda (< umur 2 tahun), knapsack sprayer dapat digunakan untuk penyemprotan. Untuk tanaman lebih dari 3 tahun, aplikasi insektisida dapat menggunakan fogging atau injeksi batang. Karena bahan bakunya adalah bahan kimia yang sangat berbahaya, ijin harus diperlukan dari Komisi Pestisida untuk tujuan dan cara aplikasi dan saat ini sudah tidak dikeluarkan lagi (Pardede. 1997). Pengendalian hama dapat dilakukan secara manual, kimia, atau biologis sesuai dengan hama yang menyerang tanaman. Pengendalian ulat kantong hingga sampai saat ini masih bertumpu pada pengendalian insektisida sintetik, karena cara ini mudah dilaksanakan dan hasilnya langsung dapat dilihat, disamping masih belum ditemukannya cara pengendalian hama yang lebih efektif.

13

4.

Penerapan Sistem Pengendalian Hama Terpadu Pengendalian hama terpadu merupakan perpaduan atau kombinasi

pengendalian hama secara terpadu (biologi) dan pengendalian secara kimia. Dalam hal serangan hama yang tejadi di perkebunan kelapa sawit, pihak perkebunan mempunyai cara masing-masing dalam pengendalianya seperti pemakaian insektisida kimia, mengunakan musuh alami serta mengunakan jebakan hama. Namun pengunaan insektisida kimia yang tidak bijaksana dapat mengakibatkan rusaknya agroekosisitem seperti

terjadinya resurjensi hama,

resistensi hama dan terbunuhnya musuh alami serta dapat menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dilakukan pengendalian hama dengan cara terpadu. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang apabila mengunakan pestisida disarankan seminimal mungkin dan menjadi pilihan terakhir, jika cara lain tidak dapat menghentikan laju populasi hama. Meskipun demikian sampai saat ini dalam prakteknya pengunaan pestisida masih sangat dominan. Oleh sebab itu pengetahuan mengenai pestisida dan cara aplikasinya sangat penting bagi perkebunan kelapa sawit di Indonesia untuk menjaga kelestarian agroekosistem pada perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan (Susanto. 2010). Sementara itu pengendalian hama terpadu (PHT) berdasarkan UU No. 12 tahun 1991 tentang budidaya tanaman dan PP No. 5 tahun

1996 tentang

perlindungan tanaman adalah usaha untuk mengoptimimkan hasil pengendalian hama secara ekonomik dan ekologik, yang dapat dicapai dengan menggunakan

14

berbagai taktik secara kompatibel agar tetap mempertahankan kerusakan akibat hama dibawah aras kerusakan ekonomi dan melindungi terhadap ancaman atau bahaya bagi manusia, binatang dan lingkungan. Dalam sistem ini penggunaan pestisida merupakan alternatif terakhir yang digunakan untuk pengendaliannya (Susanto, 2010). Faktor lingkungan :  Penghambat (musuh alami, dll)  Pendorong

HAMA

Monitoring Populasi

Padat Populasi Kritis Tidak Tindakan Pengendalian ?

Sensus Ulang (Evaluasi)

Tidak

Pengendalian Ulang ?

Ya

Gambar 4. Mekanisme Pengendalian Hama Terpadu

15