INDUSTRI KREATIF FESYEN DI BANDUNG DAN BALI JURNAL SOSIOLOGI

Download Untuk mengutip artikel ini: Achwan, Rochman. 2014. “Dua Dunia Seni: Industri Kreatif Fesyen di. Bandung dan Bali.” Jurnal Sosiologi MASYARA...

0 downloads 434 Views 282KB Size
Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489

Dua Dunia Seni: Industri Kreatif Fesyen di Bandung dan Bali Penulis: Rochman Achwan Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 57-75 Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI

Jurnal Sosiologi MASYARAKAT diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected]; [email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm

Untuk mengutip artikel ini: Achwan, Rochman. 2014. “Dua Dunia Seni: Industri Kreatif Fesyen di Bandung dan Bali.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 57-75.

SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012

Dua Dunia Seni: Industri Kreatif Fesyen di Bandung dan Bali Rochman Achwan Departemen Sosiologi Universitas Indonesia E-mail: [email protected]

Abstrak Banyak negara termasuk Indonesia menaruh perhatian dalam mendorong perkembangan industri kreatif. Ahli sosiologi ekonomi dan ahli sosiologi seni sudah lama meneliti dinamika perkembangan industri ini. Dengan menggunakan konsep Dunia Seni (Art World) dan konsep jaringan kelembagaan, studi ini berusaha menjawab dua pertanyaan penting. Pertama, bagaimana dinamika Dunia Seni, termasuk jaringan sosial, di arena industri kreatif fesyen di Bandung dan Bali? Kedua, seberapa jauh peran pemerintah dalam mendorong perkembangan industri kreatif dibidang fesyen di Bandung dan Bali? Dua daerah tersebut dipilih karena secara historis dikenal sebagai daerah industri fesyen. Fokus utama studi ini adalah industri distro fesyen di Bandung dan kain tenun ikat di Bali. Dengan menggunakan metode studi kasus yang diperluas dan mewawancarai lima puluh informan di dua daerah tersebut, studi ini menyimpulkan sebagai berikut. Pertama, masyarakat fesyen perlu mendorong dirinya sendiri melahirkan pemimpin inovatif dalam produksi dan distribusi fesyen. Kedua, pemerintah perlu menjadi fasilitator dalam membangkitkan komitmen pengembangan jaringan sosial pengusaha fesyen. Masa depan industri fesyen akan tergantung pada penguatan jaringan sosial yang ditandai dengan kerja sama inovatif antara pemerintah dengan masyarakat industri fesyen. Abstract Many countries, including Indonesia, have paid attention to support the development of creative industry. Economic sociologists and sociologits of art have done researches on dynamics of this industry for quite sometime. By employing concepts of Art World and institutional (social) networks, this study attempts to answer two important questions. First, how do dynamics of social relationships within Art Worlds occur in an arena of fashion creative industries in Bandung and Bali? Second, to what extent local government plays roles in the drive of development of this industry in both areas? The main focus of this study is distro fashion industry in Bandung and Balinese fine clothing in Bali. Extended case method has been used to collect data from various actors. Fifty key informants in each area have been interviewed. This study reveals that the Art Worlds of fashion industries in both areas need to re-invent themselves so that they are capable of inovating their methods of production and distribution. Moreover, local governments need to facilitate a constructive development of social networks among fashion producers. The future of creative fashion industry will depend on the maturity of social networks that signified by innovative cooperation between local governments and societies of fashion industries. Keywords: creative industry, art world, fashion, institutional network.

58 |

RO C H M A N AC H WA N

PE N DA H U L UA N

Kebijakan industri di Indonesia telah menggunakan perspektif kerja sama antara pemerintah, pengusaha, dan perguruan tinggi. Pemerintah dan perguruan tinggi dipandang memiliki peran penting dalam mengembangkan industri. Pemerintah mempunyai peran sebagai pihak yang memudahkan transaksi perekonomian, sedangkan perguruan tinggi sebagai tempat pengembangan gagasan dan prototipe dasar. Di bidang industri kreatif, perspektif ini juga mulai digunakan meskipun dalam dimensi yang lebih terbatas. Pada dunia industri kreatif, pemerintah digambarkan sebagai fasilitator yang memberi ruang bagi pelaku industri kreatif. Peran perguruan tinggi tidak terlalu jelas digambarkan, kecuali untuk sekolah tinggi yang berkaitan dengan seni. Sudah cukup lama pemerintah mendorong pengembangan industri kreatif yang bersifat kriya (kerajinan), dan di kurun lima tahun terakhir mulai menyentuh dunia kreatif, seperti musik, arsitektur, fesyen, dan film. Namun, peran pemerintah nampaknya masih terbatas dan belum menyentuh dinamika perkembangan struktur sosial industri kreatif tersebut. Studi ini berusaha menjawab dua pertanyaan penting. Pertama, seberapa luas dan dalam jaringan sosial yang tumbuh dan berkembang di arena industri fesyen? Kedua, seberapa jauh peran pemerintah dalam mendorong perkembangan industri kreatif dibidang fesyen di Bandung dan Bali? Dua daerah tersebut dipilih karena secara historis dikenal sebagai daerah industri fesyen. Fokus utama studi ini adalah industri distro fesyen di Bandung dan kain tenun ikat di Bali. Kedua bidang yang diteliti tersebut merupakan bagian dari industri kreatif yang telah tumbuh sebelum munculnya wacana pengembangan industri ini di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menawarkan pemikiran baru pengembangan industri kreatif yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat industri kreatif, dan perguruan tinggi. DU N I A S E N I DA N J A R I N G A N K E L E M B AG A A N

Howard S. Becker, ahli sosiologi seni, memperkenalkan konsep Dunia Seni (Art World) sebagai alat analisis mempelajari dinamika produksi budaya. Konsep ini telah menjadi konsep klasik dan M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

DUA DUNIA SENI

| 59

acuan ahli sosiologi dalam mempelajari karya seni, seperti fesyen, musik, dan lukisan. Seperti dikutip oleh Cluley (2012:203), Becker mendefinisikan Dunia Seni bukanlah dunia yang dihuni oleh seorang seniman saja. Ia menyatakan: “Karya seni bukanlah hasil dari individu seniman berbakat istimewa. Semua karya seni, seperti semua kegiatan manusia, melibatkan kerjasama dengan sejumlah orang atau bahkan banyak orang. Kelompok yang menghasilkan teks-teks budaya disebut seniman kreatif, seniman yang melukis di kanvas dan seniman yang menulis simfoni. Di samping itu terdapat kelompok yang membantu seniman tersebut. Kelompok ini disebut ‘personil pendukung’ (support personel), fungsionaris administratif yang mendukung kreativitas tanpa perlu dirinya kreatif”. Hubungan antara seniman kreatif dan personil pendukung berjalan cukup lama sehingga pola hubungan ini menjadi konvensi. Produksi budaya bukanlah produksi siap saji (ready made product), melainkan produksi yang dikerjakan melalui proses panjang. Produksi budaya menyandarkan pada kesepakatan-kesepakatan awal antar kelompok yang terlibat. Kesepakatan ini menjadi konvensi dalam melahirkan karya seni. Konvensi dapat lahir dari teknologi dan input yang digunakan atau dari proses pemasaran hasil karya seni. Pola hubungan antar aktor dalam Dunia Seni ini dikembangkan lebih lanjut oleh Patrik Aspers (2006) lewat konsepnya yang ia sebut sebagai pengetahuan kontekstual (contextual knowledge). Seperti dijelaskan oleh Achwan (2014), Aspers membahas peran penting kreativitas dalam industri fesyen. Industri fesyen menurutnya dapat digolongkan ke dalam ekonomi estetika (aesthetic economy). Ekonomi jenis ini mencakup keseluruhan pasar estetika (aesthetic market) ditandai oleh produk yang terus menurus berubah dan menekankan pentingnya taste/cita rasa. Pekerja kreatif di bidang industri estetika ini memainkan peran penting, karena ia mendesain produk hingga akhirnya dapat diperjualbelikan. Dasar argumentasi Aspers adalah kreativitas bukanlah lahir dari individu, melainkan dari lingkungan sosial. Ini berarti Aspers menolak pandangan bahwa wiraswasta ekonomi ataupun wiraswasta budaya lahir dari dalam diri aktor tersebut. Oleh karena itu, ia M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

60 |

RO C H M A N AC H WA N

mengadvokasikan pentingnya mempelajari konteks masyarakat di mana pekerja kreatif memperoleh dan menggunakan pengetahuannya untuk menghasilkan produk yang dapat dibeli oleh masyarakat. Proses kemunculan ide hingga produk fesyen tersedia di pasar memerlukan waktu yang cukup lama. Pelbagai aktor baik langsung maupun tidak langsung terlibat dalam produksi, seperti majalah fesyen, tenaga pemasaran perusahaan, dan calon konsumen, ikut memberi andil dalam proses tersebut. Hampir semua produksi fesyen dicirikan bukan oleh pemain tunggal, melainkan kerja sama kelompok. Aspers memperkenalkan terminologi “province of meaning” sebagai sumber inspirasi kerja kreatif. Province of meaning adalah jaringan antar aktor dengan keahlian mereka masing-masing yang langsung dan tidak langsung mengilhami pekerja kreatif dalam mewujudkan karyanya. Aktor dalam industri fesyen, misalnya menggunakan informasi yang ia cerna dari acara fesyen di televisi, majalah fesyen, fotografer bintang iklan, dan lain lain. Dalam melukis keberagaman Dunia Seni, Becker (1976:706714) membuat empat kategori seniman. Kategori ini berguna dalam menganalisis hubungan antara struktur (konvensi) dengan agensi. Keempat kategori tersebut adalah pertama, integrated professionals, seniman (komposer, pelukis, musisi) yang terus menerus mengikuti konvensi yang ada dalam melahirkan karyanya. Cara-cara konvensional ini mencakup aspek-aspek produksi seni, seperti cara memperoleh input, bentuk dan isi karya, dan cara pembiayaan karyanya. Kedua, maverick adalah seniman yang telah menjadi bagian dari Dunia Seni konvensional, namun ia tidak dapat menerima kendala yang dihadapinya. Oleh karena itu, ia tidak mengikuti konvensi yang berlaku dalam menghasilkan karyanya. Ketiga, grass-roots artists adalah seniman yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan dunia seni yang ada. Mereka tidak mengenal seniman lain. Mereka bekerja sendiri namun karyanya diharagai sebagai karya seni oleh masyarakat. Keempat dan ini mirip dengan kategori ketiga, seniman rakyat (folk artists) adalah seniman yang tidak menganggap hasil karyanya sebagai karya seni. Namun, oleh masyarakat luas dinilai memiliki nilai seni. Definisi Dunia Seni dan kategorisasi seniman yang dikembangkan oleh Becker dan diperdalam oleh Aspers mengabaikan peran negara dan kelompok ekonomi lain. Di Indonesia dan di Asia Tenggara, peran kedua aktor tersebut sangat penting dalam mendorong dan menghambat dinamika perkembangan industri kreatif. Oleh karena M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

DUA DUNIA SENI

| 61

itu, untuk mengisi kekosongan ini, penulis menggunakan konsep jaringan kelembagaan sebagai konsep yang dapat menjelaskan kaitan antara industri kreatif fesyen dengan aktor di luar Dunia Seni. Konsep jaringan kelembagaan diperkenalkan oleh Peter Evans dan Fred Block (2005), memfokuskan pada hubungan antar makro institusi, seperti politik, ekonomi, dan masyarakat. Premis utama konsep ini adalah hubungan yang serasi antara institusi mendorong kemakmuran suatu negara. Lebih lanjut, Evan dan Block memperkenalkan dua subkonsep yang mereka sebut sebagai kelekatan kelembagaan dan kecakapan kelembagaan. Dalam kaitan kedua subkonsep tersebut, penulis merumuskan kelekatan kelembagaan sebagai derajat kelakatan negara atau kelompok ekonomi lain terhadap Dunia Seni industri kreatif fesyen. Derajat kelekatan ini dapat bersifat kuat (strong embeddedness) dan lemah (weak embeddedness), dan kedua sifat tersebut dapat mendorong dan menghambat kemajuan industri fesyen. Sedangkan, kecakapan kelembagaan diartikan sebagai kemampuan atau ketidakmampuan institusi negara, bisnis, ataupun industri kreatif fesyen dalam mendorong perkembangan industri ini. Krisis kelembagaan dan inovasi kelembagaan menjadi kriteria dalam menilai kecakapan kelembagaan. M E T O DE PE N E L I T I A N

Penelitian di dua daerah ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang diperluas (extended case method). Dua tahap dalam melakukan penelitian ini ditempuh. Pertama, studi literatur dan data sekunder (desk study) dengan tujuan menemukan kerangka konsep yang dapat membimbing peneliti di lapangan. Sebab tanpa dibimbing oleh kerangka konsep, penelitian jenis apapun cenderung tidak akan mencapai sasaran. Dalam tahap ini, juga dilakukan pengumpulan hasil laporan jurnalistik yang dilakukan oleh sejumlah media nasional. Tujuannya adalah mengindentifikasi peta umum mengenai masalah yang dihadapi oleh pengusaha distro fesyen di Bandung dan pengusaha kain tenun di Bali. Kedua, menggunakan metode snowbowling dengan mewawancarai beberapa pengusaha yang paling berpengaruh di kedua daerah tersebut. Lewat wawancara tersebut, peneliti secara umum dapat memetakan aktor-aktor yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam bisnis ini. Lima puluh informan telah diwawancarai di dua daerah M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

62 |

RO C H M A N AC H WA N

tersebut, terdiri dari: pengusaha, asosiasi, dan penjabat pemerintah. Dengan extended case method (Burawoy 2009), wawancara berfokus pada hubungan-hubungan sosial dan ekonomi antarpengusaha dalam mengembangkan bisnis dan peran pemerintah daerah dan pusat dalam memengaruhi pola hubungan tersebut. Metode ini membawa manfaat dalam menemukan sejumlah isu (masalah) dan kaitan antarisu yang menjadi fokus perhatian para pelaku bisnis maupun pemerintah. DA S A R-DA S A R S O S I A L BU DAY A : B A N DU N G DA N B A L I

Distro fesyen di Bandung tumbuh dari fenomena perkotaan terkait dengan gaya hidup. Bandung adalah salah satu kota di Indonesia yang menjadi kiblat sebagai kota mode, kota hiburan, dan kota pendidikan. Masyarakat Bandung mempunyai karakter ramah dan tidak bergaya hidup tergesa-gesa, sehingga merupakan salah satu tempat nyaman bagi warga kota maupun warga Jakarta yang berlibur di akhir pekan. Apalagi jaraknya tidak terlalu jauh dari Jakarta, sehingga arus pertukaran kunjungan kedua kota ini mudah. Bandung dan sekitarnya dikelillingi oleh industri menengah dan kecil yang berkaitan dengan fesyen, seperti pengrajin kulit di Cibaduyut, pabrik tekstil di Majalaya, penjahit di pasar Baru, bordir di Tasikmalaya, dan Bandung sendiri menjadi pusat industri sablon di Indonesia. Gabungan antara komponen fesyen ini membuat Bandung mudah menghasilkan karya fesyen yang sedang dibutuhkan pasar, seperti TShirt, pakaian pria dan perempuan, pakaian olah raga, dan busana muslim. Dasar kreativitas produsen Bandung untuk segmen kaum muda ditopang oleh kultur pergaulan sosial, menghasilkan berbagai kelompok anak muda dengan minat dan kreativitas yang beragam seperti musik, fesyen, bisnis kafe, atau klub olah raga. Kreativitas anak muda Bandung selalu dekat dengan teknik desain dan teknologi informasi. Salah satu pusat pendidikan kedua bidang ini terletak di Bandung. Orientasi dan kapasitas warga kota Bandung ini sesuai dengan kemampuan untuk menjangkau kaum muda di kota besar. Kemampuan ini bukan sekedar menyediakan apa yang sedang menjadi tren. Namun, lebih dari itu Bandung sering menciptakan tren gaya hidup seperti makanan dan kafe yang unik untuk anak muda, musik beraliran rock, gaya pemasaran swakarsa (indie), pusat factory outlet, pusat T-shirt Bandung, dan pemasaran model distro. Di Bandung, M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

DUA DUNIA SENI

| 63

misalnya, banyak ditemukan jenis makanan yang merupakan hibrid dari makanan Eropa yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dengan demikian, tumbuhnya industri fesyen kasual di Bandung yang menjadi obyek penelitian ini lahir dari gambaran kota kreatif yang ditopang oleh kapasitas dalam mengkonstruksikan gaya hidup modern dan kedekatannya dengan kota utama Indonesia, Jakarta. Tenun ikat Bali juga lahir dari keunikan budaya masyarakatnya. Namun, banyak perbedaan mendasar dalam hal keistimewaan demografis ini. Berbeda dengan fesyen Bandung yang mengandalkan pada rekonstruksi kekinian, tenun ikat Bali sangat tipikal dari kategori industri kreatif warisan budaya (heritage). Komponen budaya masyarakat Bali sangat kuat mendominasi kehidupan masyarakat Bali. Bersatu dengan karakter masyarakat Bali yang rendah hati (humble) dan ramah, Bali menjadi tempat yang sangat ideal untuk pariwisata. Kreativitas masyarakat Bali bersumber dari budaya tradisi dan bukan hasil dari rekonstruksi budaya lain. Bersandar pada budaya, kekuatan industri kreatifnya terletak pada pengolahan bahan dan teknologi yang tidak banyak berubah. Ia merupakan pengolahan keindahan yang tidak ada habis-habisnya. Namun, di sinilah kekuatan dan sekaligus kelemahannya. Desain flora dan fauna tetap menjadi identitas kain tenun ikat Bali dari dahulu hingga sekarang. Industri kreatif Bali tidak terbiasa menanggapi tantangan apalagi merekonstruksi budaya luar. Oleh karena itu, industri kreatif Bali rentan terhadap peniruan maupun pencaplokan hak cipta dari pihak luar Bali. Peniruan kreatif dalam desain telah lama dilakukan oleh perusahaan busana mancanegara. Pengusaha dan pedagang seni Prancis, lewat Anomale, perusahaan busana yang dipimpinnya, memroduksi secara massal gaun wanita, pakaian pria, dan pakaian olahraga dengan desain flora dan fauna. Tenun ikat maupun distro fesyen nampak terlihat berada pada wilayah yang sama, yaitu fesyen. Namun, keduanya mempunyai latar belakang sosio kultural yang sangat berbeda. Jika pemerintah ingin mengembangkan industri kreatif di Indonesia, latar belakang ini harus diketahui agar kebijakan dan program pengembangan yang dijalankannya dapat berhasil. Para pengambil kebijakan tidak boleh menyamaratakan konteks sosial budaya ini dalam mengembangkan industri kreatif di Indonesia. Penyamaratan konteks sosial budaya semacam ini sering disebut sebagai “monocropping”, menggunakan konsep asing atau konsep yang dibangun oleh pemikiran pembuat M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

64 |

RO C H M A N AC H WA N

kebijakan sendiri tanpa menghiraukan kenyataan sosial yang ada (Evan 2003). Sungguhpun dalam konteks kebijakan yang berbeda, model monocropping ini pernah diterapkan di Mexico (Portes 1997) dan Rusia (Achwan 2014) dalam program liberalisasi ekonomi. Hasilnya adalah kegagalan program ini di kedua negara tersebut. T I P O L O G I PE N G U S A H A DA N J A R I N G A N S O S I A L

Dinamika perkembangan organisasi industri kreatif tidaklah sama dengan industri konvensional, karena kedua jenis industri ini memiliki tujuan yang berbeda. Richard Swedberg, seperti dikutip oleh Achwan (2014), menyatakan bahwa industri konvensional bertujuan menciptakan sesuatu yang baru dan menguntungkan secara ekonomi. Sedangkan prinsip dasar industri kreatif agak berbeda karena mengandung gabungan tiga elemen pokok yaitu man of action atau kewiraswastaan, seni, dan orientasi keuntungan (commerce). Industri kreatif Distro fesyen di Bandung ditandai oleh dominasi dua tipologi pengusaha yaitu pengusaha konvensional dan pengusaha Maverick. Pengusaha konvensional adalah pengusaha yang setiap hari kegiatannya ditopang oleh kebiasaan yang sudah berjalan lama (convention) dalam produksi dan pemasaran produk. Sebagai contoh, para pengusaha mengambil input bahan baku yang sudah disediakan pasar, lalu mereka mengolahnya sesuai desain, bukan dengan mengembangkan kerja sama dengan misalnya pabrik tekstil. Penguasaan teknologi desain dan teknologi informasi untuk produksi dan pemasaran merupakan ciri kelompok pengusaha ini. Namun, penguasaan teknologi tersebut, khususnya untuk pemasaran, justru membuat bisnis ini menjadi individual. Para pelaku bisnis mengandalkan pada jaringan pergaulan sosial yang dinamis yang ada pada anak muda Bandung. Dalam pergaulan sosial tersebut lahirlah pertukaran gagasan. Meskipun tidak selalu langsung berkaitan dengan gagasan produk, berbagai kemudahan diperoleh melalui sumber daya yang tersebar yang ada dalam hubungan ini (wawancara dengan Ketua KICK, 12 juli 2012). Persaingan tidak menonjol karena dasar dari produk adalah justru hubungan sosial. Mereka tidak jarang melontarkan gagasan, tanpa terlalu khawatir akan dicuri. Pengambilan ide bukan tidak jarang terjadi, namun para pelaku tidak menganggap ini masalah besar. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

DUA DUNIA SENI

| 65

Namun, pengusaha distro fesyen yang lahir dari pergaulan ini kurang terdorong untuk berkembang menjadi besar. Bahkan terbukti belakangan ini, kurangnya dorongan mengembangkan diri ini membahayakan keberadaan produksi mereka. Asosiasi formal dan tidak formal belum merupakan sumber kekuatan pengembangan fesyen yang bersifat individual ini. Sebagai contoh, banyak dari usaha ini yang mempunyai masalah pengelolaan produksi yang sama selama bertahun-tahun. Masalah ini kurang ditangani oleh asosiasi yang ada. Asosiasi juga belum mempunyai program yang cukup jelas dalam melakukan berbagai bentuk kerja sama, misalnya dalam permodalan (kecuali kasus dimana pihak ketiga yang aktif) maupun dalam inovasi desain dengan perguruan tinggi, pabrik kain, atau media promosi. Bahaya dari proses produksi yang bersifat individual di kalangan pengusaha distro fesyen ini adalah larinya konsumen potensial. Anak muda di Jakarta yang merupakan konsumen potensial, mempunyai banyak pilihan di berbagai pusat perbelanjaan dan melalui internet. Gagasan tentang eksklusivitas fesyen Bandung sukar dipertahankan. Apalagi sering harga produknya lebih mahal. Belakangan muncul ide untuk memperluas konsep toko atau gerai sebagai tempat pelayanan beberapa kebutuhan kaum urban perkotaan, seperti kafe dan salon eksklusif. Namun pengembangan ini tetap dengan logika individual yang sama. Bagi anak-anak muda Jakarta, kelebihan dari fesyen distro, selain modelnya yang eksklusif adalah mereka memiliki pengalaman yang unik berbelanja di toko-toko ini yang umumnya terletak dalam lingkungan yang menyenangkan. Namun, tantangan berkaitan dengan ini adalah tingkat kemacetan yang tinggi pada saat akhir pekan. Kemacetan semacam ini mungkin berdampak pada antusiasme pengunjung dari Jakarta dan kota lainnya serta mengurangi nilai simbolik yang masih dimiliki. Pengusaha maverick adalah pengusaha yang cenderung tidak mengikuti konvensi yang ada dalam proses produksi dan pemasaran, namun tetap menjadi bagian dari masyarakat industri tersebut. Kelompok pengusaha ini jumlahnya sedikit dibandingkan jumlah kelompok pengusaha konvensional. Pengusaha maverick selalu mencari dan menemukan posisi strategis dalam arena industri kreatif ini. Pencarian dan penemuan posisi ini mereka lakukan dengan jalan membuat desain fesyen, membangun organisasi produksi, dan pemasaran yang unik. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

66 |

RO C H M A N AC H WA N

Pengusaha X adalah pengusaha yang menjadi “icon” industri fesyen di Bandung. Ia telah menjalankan bisnis ini lebih dari dua puluh tahun. Ia membangun organisasi produksi dan memasarkannya ke department stores di kota-kota besar di Indonesia. Malahan ia pernah mengekspor produknya ke Eropa. Namun, dewasa ini, pola produksi dan pemasaran tersebut tidak dapat dipertahankan, karena kerja sama bisnis dengan department stores ia nilai tidak menguntungkan. Saat ini, di samping tetap memroduksi fesyen, perusahaannya menerima permintaan dari pengusaha kecil dan menengah yang ingin memroses bahan mentah menjadi produk fesyen (makloon). Salah satu hal yang menarik adalah pengusaha X melakukan inovasi ‘budaya’ agar ia tetap diakui sebagai “icon” industri kreatif dari Bandung (wawancara dengan pengusaha X, 25 Juli 2012). Inovasi tersebut ia lakukan, pertama, dengan menjadikan pabriknya menjadi destinasi pariwisata fesyen. Ia bekerja sama dengan kantor pemerintah dan biro perjalanan mendatangkan turis lokal ke pabriknya untuk memperoleh pengetahuan tentang proses pembuatan fesyen. Kedua, ia menjadi narasumber di seminar, talkshow televisi, dan radio. Langkahlangkah inovatif ini membawa pengusaha X meraih identitas simbolik (symbolic identity), identitas yang sangat diperlukan di dunia industri kreatif. Pengusaha Y memilih cara yang berbeda. Ia menekankan pentingnya desain T-shirt dan merchandise yang memberi makna identitas kota Bandung, seperti gedung bersejarah, keindahan alam, dan keunikan masyarakat Bandung. Sasaran konsumennya adalah turis lokal dan mancanegara. Pola pemasaran yang ia kembangkan berbeda dengan pola yang dikembangkan oleh pengusaha konvensional. Pengusaha Y menyewa gerai di pusat-pusat perbelanjaan dan bukan di daerah eksklusif fesyen distro. Desain yang ia kembangkan dan strategi bisnis yang ia pilih telah mendorong perusahaan busana nasional menjalin kerja sama (wawancara dengan pengusaha Y, 15 Juli 2012). Tantangan dan peluang di atas membutuhkan pembaruan model pengelolaan industri distro fesyen, baik dalam efisiensi input, pengelolaan produksi, maupun jangkauan distribusi (termasuk pendekatan terhadap konsumen). Kemampuan untuk melakukan penyesuaian ini membutuhkan kerja sama dengan pihak lain karena tidak dapat diperoleh dari jaringan yang ada. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

DUA DUNIA SENI

| 67

Pelajaran akademis apa yang dapat ditarik dari kasus distro fesyen di Bandung? Pertama, kasus Bandung menyimpang dari pengalaman perkembangan industri di banyak negara. Dobbin (2007) menyatakan bahwa konteks kemasyarakatan sebelum suatu industri muncul dan berkembang memengaruhi pola organisasi industri tersebut. Dalam membandingkan antara Prancis dan Amerika Serikat, Dobbin berkesimpulan bahwa negara ikut campur dalam dunia industri di Prancis, sedangkan di Amerika Serikat justru swasta yang berpengaruh. Hal ini disebabkan karena konteks kemasyarakatan di kedua negara tersebut berbeda. Di Prancis, secara historis, negara campur tangan, sedangkan di Amerika, negara tidak campur tangan dalam mendorong perkembangan industri. Kedua, kasus Bandung juga menyimpang dari asumsi akademis yang selama ini ditegakkan. Asumsi tersebut menyatakan bahwa kreativitas bukanlah urusan individu melainkan urusan kolektivitas. Oleh karena itu, berdasarkan asumsi ini, tidak ada orang jenius di dunia ini, melainkan orang yang memperbarui teori dan menemukan inovasi berdasarkan temuan para pendahulunya. Dengan mengikuti asumsi ini, maka dapatlah dikatakan bahwa produk baru di bidang fesyen di negara maju dilahirkan dari proses panjang yang dilalui oleh pekerja kreatif (creative designer) lewat kontak dan diskusi dengan aktor-akor profesional lain, seperti redaksi majalah mode, juru foto, seniman, akadimisi, dan lain-lain. Produk-produk baru yang dilahirkan oleh perusahaan fesyen, seperti Levis, Zara, H & M, dan lain-lain merupakan hasil dari proses panjang yang dilalui oleh para pekerja kreatif. Tipologi pengusaha tenun ikat Bali relatif sama dengan pengusaha distro fesyen Bandung yang ditandai oleh pengusaha konvensional dan pengusaha maverick. Jaringan industri pengusaha konvensional juga mirip dengan pengusaha konvensional Bandung. Pada dasarnya produk tenun ikat ini merupakan karya individual sebagai bagian dari warisan budaya. Jaringan ekonomi mereka merentang mulai pedagang benang, perbankan, dan pembeli. Jaringan lain bagi sebagian pengusaha adalah hubungan dengan komunitas yang menyediakan penenun. Beberapa tahun belakangan ini muncul hubungan nonekonomi yang sangat berarti bagi para pengrajin yaitu dengan pemerintah daerah (wawancara dengan Walikota Denpasar, 1 Juli 2013). Hubungan dengan pemerintah daerah menciptakan beberapa M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

68 |

RO C H M A N AC H WA N

hubungan baru atau hubungan yang lama namun menjadi lebih dinamis. Hubungan baru tersebut misalnya dengan bank karena lembaga perbankan mulai memberi peluang pengusaha dan pengrajin tenun ikat meminjam kredit. Pembukaan peluang ini disebabkan karena pemerintah daerah mewajibkan kepada seluruh pegawai negeri memakai pakaian tenun ikat pada hari-hari tertentu (wawancara dengan staf Diperindag, 25 Juni 2013). Namun, nampaknya belum ada skema yang spesifik dinikmati para pengrajin. Pemerintah daerah juga mendorong munculnya asosiasi tenun ikat, bordir, dan songket. Asosiasi ini memungkinkan pengusaha tenun ikat bertemu dengan pengusaha di bidang yang agak berbeda, yang seharusnya bisa melahirkan gagasan kreativitas baru. Asosiasi juga memudahkan komunikasi dengan pemerintah, meskipun makna komunikasi di sini bukan bersifat dialog, namun sebagai organisasi dimana pemerintah sebagai protegee. Hingga saat ini asosiasi ini belum menghasilkan gagasan yang meningkatkan pelayanan maupun kapasitas anggotanya. Dalam hal kepengurusan saja, organisasi ini masih pada tahap belum stabil dan belum memberikan kepastian pada arahnya bahkan keberadaanya. Meningkatnya permintaan produk kain ikat dari dorongan pemerintah belum memecahkan masalah input paling penting dari produksi yaitu penenun. Masalah ini sebagian bersifat struktural. Artinya, persaingan tawaran bekerja di tenun ikat ataukah di sektorsektor pelayanan lain yang banyak disediakan di kota. Dengan model industri seperti yang telah ada, perusahaan tenun tidak dapat memberikan gaji yang lebih tinggi dari yang ditawarkan bidang lain. Bekerja dalam suasana yang tenang dan “terisolasi” bukan gagasan yang menarik bagi kebanyakan anak muda. Akibatnya, meskipun ada peningkatan permintaan, ada batas yang dapat dinikmati oleh pengusaha tenun ikat Bali. Karena keterbatasan ini, pengrajin dari daerah lain yang lebih siaplah yang menikmati meningkatnya permintaan (wawancara dengan pengusaha tenun ikat, 20 Juni 2013). Perubahan dalam organisasi usaha tenun ikat membutuhkan bantuan dari luar jaringan. Namun demikian bantuan semacam ini juga tidak dapat diperoleh di Bali sendiri. Sebagai contoh, Bali kekurangan ahli dalam pemasaran hasil industri kreatif dan konsultan manajemen industri kreatif. Institusi pelatihan dan pendidikan di Bali tidak cukup kuat untuk menghasilkan ahli-ahli semacam ini. Ini berarti bahwa dalam jaringan industri kreatif tenun ikat tidak bisa M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

DUA DUNIA SENI

| 69

melakukan perluasan jaringan ke organisasi semacam ini jika hanya dilakukan di Bali. Suatu gejala yang unik sedang terjadi antara pengrajin tenun ikat di Bali dengan pengrajin dari Troso, Jepara, Jawa Tengah. Sebenarnya Troso merupakan daerah pesaing produk kain tenun ikat Bali (wawancara dengan pengusaha tenun ikat, 22 Juni 2013). Sebagai komunitas pengrajin tenun, Troso lebih gesit dan siap untuk merambah pasar. Mereka mampu meniru motif-motif tenun dari berbagai daerah. Pembeli banyak yang tidak menyadari bahwa kain yang mereka gunakan sebagai baju bukan berasal dari daerah dimana kain tenun tersebut berasal. Pengusaha Troso, telah membangun jaringan pasarnya di Bali. Mereka masuk ke toko dan pasar kain tenun di Bali. Dengan adanya dorongan dari Walikota Denpasar, dan kemudian diikuti oleh kabupaten lain di provinsi Bali, pengrajin dari Troso mendapat kelimpahan pesanan dari beberapa pengrajin Bali. Hal ini disebabkan karena pengrajin Bali tidak mampu menyelesaikan permintaan pakaian seragam dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang tidak lama (wawancara dengan pengusaha tenun ikat, 2 Juli 2013). Kenyataan ini menunjukkan bahwa telah ada hubungan antara beberapa pengrajin Bali dengan pengrajin dari Troso. Namun, ini belum tentu menunjukkan suatu keadaan menguntungkan bagi pengrajin Bali dalam arti memperkuat usaha mereka. Hal itu masih menjadi pertanyaan apakah hubungan kerja sama ini akan menjamin keberlangsungan tenun ikat Bali. Untuk menghasilkan kerja sama yang saling menguntungkan, pihak pemerintah daerah harus memperhatikan perlunya suatu keterlibatan (engagement) baru antara pengrajin antar daerah. Ini merupakan suatu tantangan yang dihadapi oleh pemerintah daerah untuk saling bekerja sama. Mirip dengan Bandung, Dunia Seni fesyen di Bali juga memiliki pengusaha maverick. Uraian berikut merupakan hasil wawancara dengan pengusaha tersebut di Bali pada tanggal 29 Juli 2013. Ia sarjana seni rupa lulusan ITB dan menjuarai lomba desain tekstil nasional. Ia melakukan pembaruan dalam proses produksi dan pemasaran kain tenun ikat Bali. Saat ini pengusaha tersebut telah mengembangkan desain baru dengan sembilan seri. Esensi desainnya tetap mengandalkan flora dan fauna yang telah menjadi ‘merek dagang’ tenun ikat Bali. Namun, lukisan flora dan fauna mendapat sentuhan baru sehingga para pencinta kain tenun ikat dapat dengan mudah membedakan kain tenun tradisional. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

70 |

RO C H M A N AC H WA N

Dalam pembaruan organisasi produksi, ia bekerja sama dengan Pemda Denpasar membuat pusat-pusat pelatihan tenun ikat Bali. Pusat pelatihan ini bukan hanya mengajarkan metode mencipta desain baru, namun juga pola hubungan antara pemilik dan karyawan. Kedua hal ini penting mengingat kekuatan usaha bergantung pada nilai desain. Pengusaha maverick tersebut juga melakukan pembaruan dalam bidang pemasaran. Ia menciptakan pasar status (status market) dengan bekerja sama dengan pedagang seni (art dealer). Pedagang seni inilah yang memasarkan hasil produksinya dengan memasuki lingkaran elit di Jakarta dan Denpasar. J A R I N G A N K E L E M B AG A A N

Sudah banyak studi tentang bagaimana jaringan hubungan antar lembaga atau organisasi dapat mendorong perkembangan suatu industri (Owen-Smith, Jason and Walter W. Powell 2008; SmithDoerr, Laurell, dan Powel 2005). Namun selama ini fokus studi ini baru pada persoalan bagaimana organisasi yang terhubung memfasilitasi organisasi-organisasi lain dalam jaringan. Tingkat kepercayaan sebagai bagian dari keberlangsungan jaringan sosial (Esser 2008; Uslaner 2008) sering disebut sebagai faktor yang memfasilitasi terjadinya kerja sama. Akan tetapi, belum banyak studi yang melihat macam hubungan apa yang memfasilitasi dan yang menghambat hubungan antar organisasi yang terjalin dalam suatu jaringan. Sisi negatif dan sisi positif dari suatu hubungan sosial dan ekonomi sama pentingnya dalam mempelajari perkembangan dunia industri. Sisi negatif dari bentuk jaringan hubungan ekonomi dapat merugikan pekembangan ekonomi suatu negara. Bentuk negatif dari jaringan semacam ini sering disebut sebagai downside of social capital (Portes 1997). Ciri-ciri dari jenis modal sosial ini biasanya ditandai oleh jaringan yang bersifat tertutup. Organisasi-organisasi yang menjadi anggota jaringan ini biasanya memiliki kemudahan dalam menjangkau resources baik karena kedekatannya dengan kekuasaan negara maupun pengaruh kekuasaan ekonomi yang dimiliki. Itulah sebabnya jaringan semacam ini dapat melahirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, dengan kekuasaan negara atau monopoli atas suatu produk dan komoditi tertentu. Akibat-akibat ini tentu merugikan perekonomian di masyarakat. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

DUA DUNIA SENI

| 71

Dalam kasus Bandung, jaringan sosial yang ditopang moral kebersamaan dan tingkat kepercayaan yang tinggi ternyata tidak mendorong peningkatan kapasitas organisasi jaringan. Demikian pula di Bali, adanya moral kebersamaan tidak mampu mendorong peningkatan kapasitas diluar aspek seni. Pada kedua kasus tersebut, yang terjadi adalah kentalnya jaringan sosial justru membuat anggota enggan melakukan tindakan yang meminta anggota lain memenuhi persyaratan yang lebih tinggi dan mengingatkan pada kekurangan. Bandung dan Bali adalah dua kasus menyimpang dari perspektif sosiologi ekonomi dan sosiologi seni. Dua daerah ini ditandai oleh semaraknya jaringan sosial dalam bentuk perhimpunan sukerala yang kaya. Namun, perhimpunan sukarela ini gagal mentransformasikan dirinya kedalam kegiatan ekonomi. Bila distro fesyen di Bandung ditandai dengan pola organisasi yang individual, maka tenun ikat Bali ditandai dengan keengganan mengubah organisasinya dari sebelumnya berorientasi kepada seni menjadi berorientasi kepada seni dan ekonomi. Penulis berargumen bahwa ada faktor lain yang seringkali diperlukan untuk peningkatan kapasitas yang justru berada di luar wilayah jaringan sosial. Faktor-faktor tersebut, misalnya kepemimpinan dalam lembaga atau organisasi dan adanya anggota jaringan yang mampu mengakses organisasi di luar jaringan atau wilayahnya sendiri. Faktor-faktor ini dalam sosiologi ekonomi sering disebut sebagai structural holes atau agency. Konsep ini menunjuk pada keberadaan individu atau organisasi yang dapat menghubungkan dan memperluas hubungan dengan organisasi lain dalam mempermudah perkembangan bisnis (Granovetter 2005). Keterkaitan hubungan antar organisasi sering disebut sebagai arena organisasi (Nee 2005). Populasi di arena organisasi berkompetisi sekaligus bekerja sama untuk mengejar tujuan-tujuan ekonomi. Kompetisi sering melahirkan stagnasi dan malahan gulung tikar aktor ekonomi. Sedangkan, kerja sama dapat melahirkan aliansi antarorganisasi atau usaha memengaruhi para pengambil kebijakan untuk memperjuangkan kepentingannya. Arena organisasi yang ideal ditandai oleh kompetisi yang sehat, kompetisi yang tidak mendorong gulung tikarnya suatu organisasi, dan kerja sama dalam memengaruhi kebijakan publik.

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

72 |

RO C H M A N AC H WA N

PE R A N PE M E R I N TA H

Kasus Bandung menunjukkan bahwa pemerintah daerah saat ini tidak banyak perannya dalam pengembangan industri kreatif distro fesyen maupun industri kreatif secara umum. Perannya dalam pengembangan kota kreatif amat sedikit, misalnya dalam hal membuat kemudahan bagi kelompok sablon daerah Suci. Pemerintah kota dan propinsi mempunyai program pelatihan berkaitan dengan bordir dan baju muslim serta beberapa bantuan pameran. Namun, jumlah binaan sangat kecil dan tidak banyak dimensi yang diberdayakan. Pemerintah kota Bandung sesungguhnya menyadari pentingnya menjaga kenyamanan kota untuk mendatangkan wisatawan antar kota. Akan tetapi, gagasan terutama terpaku pada masalah infrastruktur. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah kota Bandung cenderung kurang responsif dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pengusaha distro fesyen. Ketidakresponsifan ini erat kaitannya dengan kepemimpinan pemerintahan setempat yang kurang menaruh perhatian dalam mendorong Bandung sebagai kota fesyen. Dengan kata lain, jaringan kelembagaan antara pemerintah daerah dengan industri distro fesyen gagal terbentuk. Namun, tahun 2014 merupakan tahun bersejarah bagi warga Bandung. Terpilihnya walikota baru, seorang akademisi sekaligus ketua perhimpunan Bandung Creative City Forum (BCCF) dapat memberi harapan baru mengenai masa depan industri kreatif distro fesyen. Sebelum terpilih menjadi walikota, ia berhasil meyakinkan dunia perbankan untuk memberi kemudahan pengusaha fesyen memperoleh kredit lunak. Dalam urusan kredit ini, asosiasi distro fesyen bertindak sebagai lembaga yang memberi rekomendasi anggotanya. Di Bali, peran pemerintah kota Denpasar sangat penting dalam arena organisasi industri kreatif tenun ikat. Akan tetapi, kepemimpinan ini baru menggerakkan apa yang ada di Bali. Pada kedua kasus tersebut, jaringan hubungan antar pengusaha maupun organisasi tidak bisa mengakses sumber daya lain yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan terhadap kegiatan ekonomi ini. Jaringan distro fesyen di Bandung membutuhkan kerja sama dengan pabrik tekstil, perusahaan lain yang bergerak di bidang fesyen, dan pemerintah daerah untuk mengatasi masalah lokasi sewa yang mahal namun strategis. Di Bali, jaringan membutuhkan bantuan perusahaan promosi yang mampu mengkonstruksikan produk tradisional dan simbolik. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

DUA DUNIA SENI

| 73

Pemerintah kota Denpasar sangat aktif dalam upaya memajukan tenun ikat dan kerajinan lainnya. Langkah-langkah yang telah dicoba dibangun juga cukup beragam. Misalnya, membangkitkan identitas tenun ikat melalui berbagai acara festival, menciptakan ikon tenun ikat, dan mengharuskan penggunaan kain tenun di instansi pemerintah kota pada hari tertentu. Inisiatif yang lebih maju adalah mendorong berdirinya asosiasi yang diharapkan memudahkan komunikasi antara pemerintah daerah dan pengrajin. Selain itu, pemerintah daerah membentuk forum pengembangan industri kreatif yang menyatukan beberapa orang yang mempunyai keahlian di bidang berbeda namun terkait dengan tenun ikat. Namun, inisiatif tersebut tidak begitu banyak membawa hasil. Masalahnya yaitu pembentukan organisasi sebagai forum komunikasi membutuhkan rancangan proses yang membuat berbagai keahlian bersinergi. Sedangkan persoalan yang dihadapi oleh asosiasi adalah masalah kepemimpinan sehingga para anggota tidak bisa bersatu memikirkan aksi bersama. Masalah semacam ini sering terjadi di institusi kemasyarakatan maupun pemerintah. Kasus industri kreatif kain tenun ikat di Bali (terutama Denpasar) menunjukkan bahwa inisiatif pengembangan tidak dapat dilakukan sepenuhnya dari inisiatif pemerintah. Pemerintah daerah mempunyai wewenang, namun orientasi dan kapasitas juga harus dimiliki oleh masyarakat industri tenun ikat untuk aktif menemukan jalan baru. Kondisi semacam ini mengakibatkan kesulitan melahirkan pemimpin yang inovatif dalam membangun organisasi. Organisasi yang inovatif merupakan prasyarat dalam pengembangan industri kreatif. Karena keberadaan organisasi semacam ini dapat memainkan peran sebagai structural hole, jembatan yang menghubungkan rentetan panjang proses produksi dan distribusi produk industri kreatif. K E S I M PU L A N

Mengembangkan industri kreatif merupakan konstruksi dari berbagai faktor sosial, kemampuan pemerintah, kapasitas teknik dari masyarakat itu sendiri. Industri kreatif tidak akan pernah bertahan atau berkembang hanya dari inisiatif yang bersifat individual. Industri kreatif membutuhkan kemampuan mengkonstruksikan gagasan, apalagi yang berbasis warisan budaya. Kemampuan teknokratis yang dibutuhkan adalah mengkonstruksikan gagasan yang dapat diterima M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

74 |

RO C H M A N AC H WA N

oleh konsumen potensial yang hidup dalam konteks urban. Gagasan tentang etnisitas harus dibuat relevan dengan gaya hidup urban profesional. Dalam industri distro fesyen, kemampuan teknokratis yang dibutuhkan adalah menghasilkan fesyen yang unik, namun kasual, dan nyaman dipakai. Kemampuan lain adalah jaringan yang menjangkau konsumen potensial. Promosi dengan hanya menggunakan internet tidak akan memberikan pengalaman unik karena harus berhadapan dengan pesaing yang menggunakan media yang sama. Pembaharuan dalam pengalaman datang ke gerai dan lokasi juga harus terus menerus diperbaharui. Mereka harus melakukannya di tengah harga sewa lahan yang semakin membumbung, terutama di Bandung. Karena itu konsep bersama di luar fesyen dan kafe harus dikembangkan. Pengalaman, pemaknaan, dan perluasan kognisi harus disatukan. Jaringan sosial merupakan sumber bertahannya industri kreatif. Namun dalam studi ini, jaringan sosial tidak memfasilitasi perkembangan industri kreatif. Pemerintah harus menjadi aktor dominan dalam membangkitkan komitmen anggota dalam jaringan. Namun pelaku industri kreatif memerlukan pemimpin yang mengarahkan jaringan untuk menemukan jalan sistematis mengembangkan jaringan. Untuk membantu munculnya inovasi pemerintah perlu mensubsidi beberapa pusat pengembangan model bisnis khusus untuk industri kreatif. DA F TA R PU S TA K A

Achwan, Rochman. 2014. Sosiologi Ekonomi di Indonesia. Jakarta: UI Press. Becker, Howard S. 1976. “Art Worlds and Social Types”. American Behavioral Scientist 19. Burawoy, Michael. 2009. The Extended Case Method: Four Countries, Four Decades, Four Great Transformations, and One Theoretical Tradition. Berkeley: University of California Press. Cluley, Robert. 2012. “Art Words and Art Worlds: The Methodological Importance of Language Use in Howard S. Becker’s Sociology of Art and Cultural Production”. Cultural Sociology 26.

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75

DUA DUNIA SENI

| 75

Dobbin, Frank. 2007. “Economic Sociology”. dalam Clifton D. Bryant dan Dennis L. Peck(eds.). 21st Century Sociology: A reference handbook. London: Sage. Esser, Harmut. 2008. “The two meanings of social capital”. dalam Dario Castiglione, Jan W. Van Deth, dan Guglielmo Wolleb (Eds.). The Handbook of Social Capital. Oxford: Oxford University Press. Evans, Peter. 2003. “Development as Institutional Change: The Pitfalls of Monocropping and Potentials of Deliberation”. Unpublished paper. Granovetter, Mark. 2005. “The Impact of Social Structure on Economic Outcomes”. Journal of Economic Perspectives. Vol 19. 2. Nee, Victor. 2005. “The New Institutionalism in Economics and Sociology”. dalam N. Smelser, & R. Swedberg, (eds.). The Handbook of Economic Sociology (2nd Edition). Princeton: Princeton University Press. Owen-Smith, Jason dan Walter W. Powell. 2008. “Networks and Institutions” dalam Royston Greenwood,  Christine Oliver,  Roy Suddaby, Kerstin Sahlin-Andersson (Eds.). The SAGE Handbook of Organizational Institutionalism, Singapore: Sage Publication. Portes, Alejandro. 1997. “Neo Liberalism and the Sociology of Development: Emerging Fields and Unanticipated Facts”. Population and Development Review. Vol 23. 2. Smith-Doerr, Laurell dan Walter W Powel. 2005. “Networks and Economic Life”. dalam Richard Swedberg & Neil Smelser (Eds.). Handbook of Economic Sociology. Princeton: Princeton University Press. Uslaner, Eric M. 2008. “Trust as a moral value”. dalam Dario Castiglione, Jan W. Van Deth, dan Guglielmo Wolleb (Eds.). The Handbook of Social Capital. Oxford: Oxford University Press.

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Ja nu a ri 2014:57-75