JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.PDF

Download Kata kunci: listrik terbarukan, elektroda, air limbah perikanan, sel bahan bakar mikroba. ABSTRACT ..... berbeda. Jurnal Pengolahan Hasil ...

0 downloads 342 Views 3MB Size
Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair… Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

PEMBANGKIT BIOLISTRIK DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI PERIKANAN MENGGUNAKAN MICROBIAL FUEL CELL DENGAN JUMLAH ELEKTRODA YANG BERBEDA Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor E-mail: [email protected] ABSTRAK Listrik adalah salah satu hal yang paling penting dalam suatu bangsa dan bahkan untuk setiap orang di dunia ini. Krisis energi yang terjadi memaksa kita untuk mengembangkan alternatif sumber energi terbarukan untuk menggantikan penggunaan minyak bumi yang menjadi sumber utama bagi masyarakat. Banyak pilihan pengganti, sel bahan bakar merupakan salah satu contoh dari suatu teknologi alternatif. Sel bahan bakar mikroba adalah sel bahan bakar dimana bakteri menggunakan bahan organik sebagai sumber untuk metabolisme mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan air limbah dalam memproduksi listrik melalui sel bahan bakar mikroba (MFC) teknologi dengan nomor yang berbeda dari elektroda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah ruang tunggal katoda udara. Jumlah elektroda yang digunakan adalah satu pasang elektroda, dua pasang elektroda, tiga pasang elektroda, dan empat pasang elektroda. Tegangan listrik diukur dalam 5 hari (120 jam) dan kualitas air limbah yang kandungan nitrogen total, total Amonia Nitrogen (TAN), Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), MLSS, MLVSS dan dianalisis di setiap tiga hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan dari dua pasang elektroda adalah cara yang optimal untuk menghasilkan tenaga listrik. Sistem ini MFC juga dapat mengurangi beban pencemaran air limbah perikanan yang ditunjukkan dari penurunan total nitrogen, TAN, BOD, COD dalam lima hari. Kata kunci: listrik terbarukan, elektroda, air limbah perikanan, sel bahan bakar mikroba

ABSTRACT Electricity is one of the most important things in a nation and even for every single people in the world. Energy crisis that happened force us to develop an alternate of renewable energy source to substitute the use of petroleum that being the main sources to society. In many choices of the substitute, fuel cell is one of the examples of an alternate technology. Microbial fuel cell is a fuel cell where bacteria use the organic material as a source for their metabolism. This research purposed to study the ability of wastewater in producing electricity through microbial fuel cell (MFC) technology with different number of electrodes. The method used in this research is single chamber air cathode. The number of electrodes used are one pair electrode, two pairs of electrode, three pairs electrode, and four pairs electrode. The electricity voltage was measured in 5 days (120 hours) and the wastewater quality which are the total nitrogen content, Total Ammonia Nitrogen (TAN), Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), MLSS, and MLVSS were analyzed in every three days. The result of this research showed that the treatment of two pairs electrode is the optimum treatment to produce the electricity power. This MFC‟s system can also reducing pollution load of fisheries wastewater which was indicated from the reducing of total nitrogen, TAN, BOD, and COD in five days. Key word: Renewable electricity, electrode, fisheries wastewater, microbial fuel cell

1

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair… Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

NaOH 0,05 N, Kertas saring Whatman 42, bahan uji amonia. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain, kaca akrilik, elektroda karbon grafit, kabel, multimeter digital tipe DT 830B, botol Erlenmeyer, buret, pipet, botol DO, DO meter (Lutron DO5510), aerator, spektrofotometer (Optima SP-300), oven (Yamamoto Drying Oven DV 41), tanur (Yamamoto Muffle Furnace FM 38), cawan porselen, dan desikator.

PENDAHULUAN Listrik merupakan salah satu komponen yang sangat berperan banyak dalam kehidupan suatu bangsa dan bahkan bagi setiap manusia. Beberapa manfaat listrik adalah untuk kemudahan rumah tangga, pendidikan, produksi (industri), bahkan kesehatan. Krisis listrik akhir akhir ini menurut Suyanto et al. (2010) terjadi karena peningkatan pertumbuhan penduduk yang menyebabkan permintaan energi listrik semakin besar sedangkan pasokan energi listrik semakin menipis. Krisis energi memicu pengembangan sumber energi alternatif (renewable) untuk mensubstitusi penggunaan minyak bumi yang selama ini menjadi sumber energi utama bagi masyarakat. Sel elektrokimia berbasis mikroba atau microbial fuel cell (MFC) merupakan sel bahan bakar yang memanfaatkan materi organik untuk digunakan oleh mikroba sebagai sumber energi dalam melakukan aktivitas metabolismenya. Energi fuel cell tidak selalu harus bersumber dari hidrogen murni, melainkan juga dapat bersumber dari zat-zat lain yang mengandung hidrogen atau menghasilkan elektron. Pemanfaatan air buangan sebagai sumber energi (substrat) diharapkan biaya operasional dapat ditekan menjadi lebih murah (Sitorus 2010). Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan adalah limbah industri perikanan. Limbah industri perikanan mengandung banyak bahan organik dalam konsentrasi tinggi karena kandungan lemak, protein, dan nutrien lainnya. Kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah cair industri perikanan menyebabkan limbah ini menjadi sumber pertumbuhan bagi mikroba (Suprihatin dan Romli 2009). Sebanyak 1.300 m3/hari limbah cair dihasilkan pada musim ikan (Romli dan Suprihatin 2009). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kemampuan limbah cair perikanan sebagai penghasil listrik melalui teknologi microbial fuel cell (MFC), serta mengetahui jumlah elektroda yang optimal untuk menghasilkan energi listrik dalam sistem MFC

METODE PENELITIAN Pembuatan limbah cair buatan Limbah cair buatan dibuat menggunakan limbah padat pengolahan ikan (isi perut, kulit, dan insang). Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan karakteristik limbah cair yang digunakan untuk percobaan. Pembuatan limbah cair dilakukan menurut cara Ibrahim et al. (2009) yakni limbah potongan daging dan kulit ikan yang diperoleh dari proses pengolahan filet ikan dicincang, selanjutnya direbus pada air mendidih selama 10 menit dengan rasio berat ikan (kg) dan volume air (liter) adalah 1:5. Air rebusan disaring untuk memisahkannya dari padatan dan ampas ikan. Air rebusan yang dingin siap digunakan untuk percobaan, kemudian dilakukan analisis karakteristik limbah cair buatan meliputi BOD, COD, total nitrogen, dan total amonia nitrogen. Persiapan alat MFC Bejana yang digunakan terbuat dari bahan akrilik dengan dimensi 10x7x10 cm. Volume limbah cair yang digunakan adalah 700 mL. Elektroda yang digunakan adalah karbon grafit berukuran 7x1x1 cm. Sistem MFC yang digunakan merupakan sistem MFC satu bejana tanpa membran mengacu pada penelitian Lovley (2006). Lumpur aktif dimasukkan ke dalam MFC yang berisi limbah cair dengan perbandingan antara lumpur aktif dan limbah cair sebesar 1:10. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah pemberian katoda dan anoda sebanyak satu pasang, dua pasang, tiga pasang, dan empat pasang dalam satu bejana dengan 3 kali ulangan.

MATERIAL DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain lumpur aktif, limbah ikan berupa kulit dan sisa daging, akuades, K2Cr2O7, H2SO4.Ag2SO4, indikator ferroin, ferrous ammonium sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2], NaOH 45%, HCl 0,05 N, indikator mengsel,

anoda dynamo pengaduk katoda

Gambar 1. Skema sistem alat MFC 2

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair… Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

Pengukuran elektrisitas Masing-masing elektroda grafit di kedua bejana dihubungkan dengan kabel lalu bejana ditutup rapat. Kedua kabel dihubungkan oleh multimeter. Multimeter diatur untuk pengukuran daya listrik pada skala terkecil terlebih dahulu kemudian nilai tegangan yang tertera pada layar multimeter diamati pada selang waktu tertentu (Suyanto et al. 2010). Pengamatan terhadap kualitas limbah cair dilakukan selama 6 hari dengan mengukur nilai total nitrogen, TAN, MLSS, MLVSS, BOD, COD, pada hari ke-0 (awal), 3 (tengah), dan 6 (akhir). Setiap analisis dilakukan 3 kali ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Limbah Cair Perikanan Karakteristik limbah cair merupakan hal yang penting untuk diketahui pada tahap awal proses pengolahan limbah cair. Limbah cair yang digunakan pada penelitian ini merupakan limbah cair buatan. Penggunaan limbah cair buatan sebagai pengganti limbah cair dari industri perikanan ini agar lebih stabil selama penelitian (Tabel 1). Total N yang tinggi dalam limbah cair dapat berbahaya bagi organisme di dalam air karena dapat menyebabkan gas buble diseases, yaitu penyakit yang disebabkan oleh gelembung gas dalam saluran darah (Firdus dan Muchlisin 2010).

Tabel 1 Karakteristik limbah cair perikanan buatan Parameter Satuan Limbah cair buatan Total N mg/L 802,8 BOD5 mg/L 428 COD mg/L 1205,33 Amonia mg/L 3,5 *Sumber: Ibrahim (2007) Nilai BOD5 dan COD merupakan ukuran adanya pencemaran air dan dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah oksigen terlarut (Dwijani et al. 2010). Semakin tinggi BOD5 dan COD dalam suatu perairan maka perairan tersebut semakin tercemar. Senyawa amonia pada air limbah merupakan produk penguraian dari senyawa protein, sehingga konsentrasi ammonia yang tinggi merupakan indikator tingginya proses penguraian (pembusukan) limbah organic protein (Poppo et al. 2008).

Limbah cair industri perikanan* 111 184 571 1,5 bakar pada MFC secara umum berupa bahan organik yang diuraikan oleh mikroba (Lovley 2006). Microbial fuell cell bisa didesain dengan satu atau dua bejana, secara umum MFC dengan dua bejana ini di tengahnya dihubungkan dengan membran penukar ion. Jenis MFC satu bejana ada yang menggunakan membran, tetapi penggunaan membran ini mahal dan lebih mudah rusak saat penggunaannya. Sistem MFC yang tidak menggunakan membran telah dikembangkan untuk pengolahan air limbah (Chang et al. 2006). Sistem MFC dalam penelitian ini menggunakan MFC satu bejana dan ditambahkan lumpur aktif yang digunakan untuk mengolah limbah cair perikanan.

Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam Sistem MFC Karakteristik limbah cair perikanan buatan disajikan pada Tabel 1. Penggunaan limbah cair perikanan buatan dalam sistem MFC dilakukan untuk menjamin konsistensi beban setiap dilakukan pengulangan, karena limbah cair yang digunakan dari industri pengolahan secara langsung mempunyai fluktuasi beban polusi yang tinggi keragamannnya. Bahan organik yang terkandung pada limbah cair buatan ini merupakan sumber bahan bakar pada sistem MFC. Microbial fuel cell (MFC) merupakan sebuah sel bahan bakar yang mengkonversi energi kimia ke energi listrik. Sumber bahan

Total Nitrogen Jumlah total nitrogen dalam limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC disajikan pada Gambar 2. Jumlah total nitrogen mengalami penurunan dari hari ke-0 sampai hari ke-6 pada semua perlakuan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan total nitrogen selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara signifikan terhadap total nitrogen limbah cair perikanan. 3

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair… Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

Gambar 2 Total N dalam limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC Penurunan jumlah total nitrogen ini terjadi karena adanya proses nitrifikasi. Proses penurunan total nitrogen ini karena adanya konversi amonia menjadi nitrit oleh bakteri Nitrosomonas, kemudian nitrit diubah menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Penurunan jumlah total nitrogen pada pengolahan limbah cair ini bukan masa nitrogennya yang menurun, tetapi yang terjadi adalah perubahan bentuk senyawa nitrogen dari amonia menjadi senyawa nitrit dan nitrat. Menurut Ibrahim (2007), pada proses nitrifikasi terjadi penurunan jumlah nitrogen-amonia pada badan air, sehingga terjadi penurunan nilai kebutuhan baik oksigen biologis (BOD) maupun kimiawi (COD). Dalam pengolahan limbah cair tujuannya memang untuk mereduksi konsentrasi nitrogen dengan cara

membebaskannya ke atmosfer sebagai gas nitrogen melalui proses denitrifikasi biologis. Biochemical oxygen demand (BOD) Pengukuran BOD hari ke-0 sampai hari ke-6 terjadi penurunan nilai pada semua perlakuan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan BOD selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara signifikan terhadap BOD limbah cair perikanan. Hal ini terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme yang menggunakan oksigen untuk mengoksidasi senyawa organik. Hasil pengukuran BOD limbah cair selama di dalam sistem MFC disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 BOD limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC BOD merupakan jumlah miligram oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerobik untuk menguraikan bahan organik karbon dalam 1 L air selama 5 hari pada suhu 20±1oC (BSN 2009). Semakin banyak bahan buangan organik yang ada di dalam air, semakin sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya (Poppo et al. 2008). Penurunan BOD ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Suyanto et al. (2010) yang menyebutkan bahwa pada sistem MFC tersebut terdapat aktivitas bakteri yang menyebabkan penurunan BOD dari hari ke-0 sampai hari ke-5. Analisis BOD merupakan

analisis yang mencoba mendekati secara umum proses-proses mikrobiologis yang terjadi di dalam air. Perubahan nilai BOD ini menandakan bahwa terjadi kecepatan oksidasi senyawa organik oleh mikroba. Chemical oxygen demand (COD) Nilai rata-rata COD pada semua perlakuan mengalami penurunan pada hari ke0 sampai hari ke-6. Penurunan nilai COD pada penelitian ini disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme yang menghilangkan zat organik dalam limbah cair tersebut. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa 4

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair… Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

perbedaan elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan COD selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara

signifikan terhadap COD limbah cair perikanan. Hasil pengukuran COD limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 COD limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC Chemical oxygen demand (COD) dapat didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang diperlukan proses kimia di perairan (Firdus dan Muchlisin 2010). Makin tinggi nilai COD menunjukkan bahwa limbah tersebut banyak mengandung bahan-bahan organik dan anorganik (Ibrahim et al. 2009). Semakin banyak bahan buangan organik yang ada di dalam air, maka semakin sedikit kandungan oksigen yang terlarut dalam air (Poppo et al. 2008). Senyawa organik yang terkandung dalam air buangan berguna sebagai makanan dan pertumbuhan sel baru (Edahwati dan Suprihatin 2009).

bahan-bahan organik yang mengandung nitrogen terutama protein dan asam-asam amino bebas. Sehingga konsentrasi nitrogen ammonia dalam air limbah tersebut dipengaruhi oleh pertambahan melalui proses hidrolisis protein dan senyawa nitrogen organik lainnya dan pengurangan melalui terbentuknya senyawa nitrit dan nitrat melalui proses oksidasi senyawa amonia. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan TAN selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara signifikan terhadap nilai TAN limbah cair perikanan. Hal ini didukung oleh Dwijani et al. (2010), yang menyatakan bahwa penurunan kadar amonia dalam pengolahan air limbah tersebut disebabkan adanya proses oksidasi N-amonia lebih besar daripada proses hidrolisis senyawasenyawa organik yang mengandung nitrogen oleh mikroorganisme.

Total Amonia Nitrogen (TAN) Kandungan amonia yang turun setiap harinya (Gambar 5) karena adanya aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan senyawasenyawa organik yang mengandung nitrogen. Nilai TAN merupakan kandungan nitrogen yang terikat dalam senyawa amonia di dalam air limbah. Mikroorganisme menghidrolisis

Gambar 5 Nilai TAN limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC

5

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair… Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

Organisme pengurai dalam lingkungan akuatik akan menguraikan senyawa-senyawa organik berprotein menghasilkan amonia. Proses degradasi senyawa organik berikatan N akan membebaskan amonia disebut amonifikasi.

elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kenaikan nilai MLSS dan MLVSS selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan nilai MLSS dan MLVSS dalam limbah cair perikanan. Kenaikan nilai MLSS dan MLVSS ini menunjukkan adanya pertumbuhan mikroorganisme di dalam sistem MFC tersebut. Proses pengolahan limbah cair yang menggunakan lumpur aktif akan meningkatkan jumlah mikroorganisme sekaligus mengurangi senyawa organik di dalam limbah cair tersebut. Pertumbuhan mikroorganisme dalam sistem MFC ditandai dengan adanya pertambahan nilai MLSS dan MLVSS pada pengolahan limbah cair menggunakan lumpur aktif.

Degradasi senyawa organik kompleks bernitrogen seperti protein, menghasilkan senyawa karbon organik sebagai sumber energi bagi mikroba dan senyawa N sederhana sebagai nutrien untuk mensintesis sel (Ibrahim 2007). MLSS dan MLVSS Nilai MLSS dan MLVSS pada sistem MFC selama pengolahan limbah cair disajikan pada Gambar 6 dan 7. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan

Gambar 6 MLSS limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC

Gambar 7 MLVSS limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC

6

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair… Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

Biomassa yang dinyatakan dalam MLVSS adalah mikroorganisme yang memanfaatkan senyawa-senyawa organik bagi pertumbuhan. Mikroorganisme yang menjadi perhatian utama adalah mikroorganisme nitrifikasi dan denitrifikasi. Kebutuhan pertumbuhan mikroorganisme memerlukan substrat sebagai penyedia nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel baru dalam pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Substrat penyedia nutrisi merupakan sumber karbon dan senyawa-senyawa bernitrogen seperti TKN, amonia, dan nitrat merupakan sumber nitrogen (Ibrahim 2007).

pengaruh pada besar kecilnya elektrisitas yang dihasilkan. Nilai daya listrik yang dihasilkan pada penelitian ini masih tergolong rendah. Bila dibanding dengan penelitian sebelumnya (Ibrahim et al 2013) terjadi peningkatan sekitar 80% dari 120 mV menjadi 204 mV walaupun dalam kondisi jumlah elektroda yang sama. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai daya listrik yang dihasilkan dalam sistem MFC, diantaranya kondisi operasi sistem, luas area elektroda, tipe elektroda dan jenis mikroorganisme (Pant et al, 2010). Perbedaan daya listrik yang tidak signifikan yang dihasilkan dalam sistem dengan elektroda 1, 2, 3 dan 4 pasang disebabkan oleh sistem rangkaian yang disusun secara paralel. Hal ini sesuai dengan berlakunya hukum Ohm. Fluktuasi daya listrik yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan ini diduga karena adanya aktivitas metabolisme yang dilakukan oleh bakteri dan reaksi kimia yang terjadi dalam sistem. Aktivitas katabolisme senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang menghasilkan ion-ion positif dan negatif, dan selisih dari laju total energi yang dihasilkan dan digunakan oleh bakteri dapat menurun atau meningkat. Fluktuasi daya listrik yang dihasilkan ini dapat pula disebabkan oleh interaksi dan persaingan antara bakteri di dalam substrat pertumbuhan. Penurunan yang terjadi pada akhir pengukuran elektrisitas pada MFC disebabkan karena menurunnya kandungan organik yang digunakan oleh bakteri sebagai nutrien bagi pertumbuhan bakteri.

Elektrisitas dalam sistem MFC Hasil pengukuran elektrisitas limbah cair perikanan disajikan pada Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11. Sistem MFC dengan perlakuan elektroda 2 pasang merupakan perlakuan yang menghasilkan rata-rata listrik paling besar diantara perlakuan lainnya. Perlakuan elektroda 2 pasang juga menghasilkan listrik yang berada di atas nilai rata-rata lebih banyak dibanding nilai yang di bawah rata-rata pada tiap jam pengukuran. Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nilai listrik antara elektroda 2 pasang dengan elektroda 4 pasang (p>0,05). Hal ini yang menjadikan perlakuan pada elektroda 2 pasang ini lebih optimal dibanding perlakuan lainnya. Perlakuan dengan elektroda 4 pasang menghasilkan listrik paling besar pada jam ke98, yaitu sebesar 0,445 V dan jam yang sama pada perlakuan elektroda 3 pasang menghasilkan listrik sebesar 0,335 V. Elektroda 2 pasang menghasilkan listrik paling besar adalah 0,41 V pada jam ke-10, dan elektroda 1 pasang menghasilkan listrik paling besar pada jam ke-9, yaitu sebesar 0,389 V. Besarnya pengukuran listrik pada jam ke-98 menunjukkan bahwa waktu ini merupakan yang optimal dalam memanfaatkan limbah cair sebagai penghasil listrik untuk elektroda 3 dan 4 pasang sebelum listrik yang dihasilkan ini turun kembali. Elektrisitas dalam sistem MFC diukur setiap jam selama 5 hari dalam satuan Volt. Suyanto et al. (2010) menyatakan bahwa pengukuran setiap jam pada sistem ini karena tiap reaksi metabolisme di dalam sistem MFC sangat cepat sekali sehingga memberikan

KESIMPULAN Limbah cair perikanan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik melalui teknologi microbial fuell cell (MFC). Sistem MFC ini dapat menurunkan rata-rata total N dalam limbah cair perikanan sebesar 16,98%, BOD sebesar 32,05%, COD sebesar 37,4%, dan nilai TAN sebesar 71,74% dari hari pertama sampai 6 hari pengukuran. Peningkatan nilai MLSS dengan nilai rata-rata pengukuran sebesar 2966 mg/L dan nilai MLVSS sebesar 2683,25 mg/L pada hari terakhir pengukuran. Perlakuan dengan 2 pasang elektroda merupakan perlakuan yang optimal dalam menghasilkan energi listrik dengan teknologi microbial fuel cell meskipun 7

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair… Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan sistem 1, 3 dan 4 pasang elektroda.

Ibrahim B, Trilaksani W, Apriyani D. 2013. Potensi biolistrik dari limbah cair industri perikanan dengan microbial fuel cell. Jurnal Dinamika Maritim, Vol III(2):45-55. Lovley DR. 2006. Bug juice: Harvesting electricity with microorganisms. Nature Reviews Microbiology 4: 497-506 Pant D, Bogaert GV, Diels L, Vanbroekhoven K. 2010. A review of the substrates used in microbial fuel cells (MFCs) for sustainable energy production. Bioresource Technology 6(101): 1533-1543 Poppo A, Mahendra MS, Sundra IK. 2008. Studi kualitas perairan pantai di kawasan industri perikanan Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Ecotrophic 3 (2): 98-103 Romli M, Suprihatin. 2009. Set up model industri daur ulang minyak ikan di Muncar. Jurnal Kelautan Nasional 2: 119-130 Sitorus B. 2010. Diversifikasi sumber energi terbarukan melalui penggunaan air buangan dalam sel elektrokimia berbasis mikroba. Jurnal ELKHA 2 (1): 10-15 Suprihatin, Romli M. 2009. Pendekatan produksi bersih dalam industri pengolahan ikan: studi kasus industri penepungan ikan. Jurnal Kelautan Nasional 2: 131-143 Suyanto E, Mayangsari A, Wahyuni A, Zuhro F, Isa SMSH, Sutariningsih ES, Retnaningrum E. 2010. Pemanfaatan limbah cair domestik IPAL Kricak sebagai substrat generator elektrisitas melalui teknologi microbial fuel cell ramah lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September: 230-242

DAFTAR PUSTAKA [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. Air dan Limbah - Bagian 72: Cara Uji Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical oxygen demand/ BOD) SNI 6989.72. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional Chang, Seop I, Moon H, Bretschger O, Kyung JJ, Il HP, Nealson KH, Hong BK. 2006. Electrochemically active bacteria (EAB) and mediator-less microbial fuel cells. Journal of Microbiology and Biotechnology 16 (2): 163-177 Dwijani WS, Budiarsa IWS, Indra NMW. 2010. Efektivitas sistem pengolahan instalasi pengolahan air limbah Suwung Denpasar terhadap kadar BOD, COD, dan amonia. Jurnal Kimia 4 (2): 141-148 Edahwati L, Suprihatin. 2009. Kombinasi proses aerasi, adsorpsi, dan filtrasi pada pengolahan air limbah industri perikanan. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan 1 (2): 79-83 Firdus, Muchlisin ZA. 2010. Degradation rate of sludge and water quality of septic tank (water closed) by using starbio and freshwater catfish as biodegradator. Jurnal Natural 10 (1): Ibrahim B. 2007. Studi penyisihan nitrogen air limbah agroindustri hasil perikanansecara biologis dengan model dinamik activated sludge model (ASM) 1. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Ibrahim B, Erungan AC, Heriyanto. 2009. Nilai parameter biokinetika proses denitrifikasi limbah cair industri perikanan pada rasio COD/TKN yang berbeda. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 12 (1): 31-45

8

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair… Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

Nilai rata-rata elektrisitas (V)

0.500 0.400

Rata-rata 0,204 V

0.300 0.200 0.100

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 105 110 115 120

0.000 Jam

Gambar 8 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 1 pasang

Nilai rata-rata elektrisitas (V)

0.500 0.400 Rata-rata 0,213 V

0.300 0.200 0.100

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 105 110 115 120

0.000 Jam

Gambar 9 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 2 pasang Ratarata 0,200 V

Gambar 10 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 3 pasang

0.400

Rata-rata 0,212 V

0.300 0.200 0.100 0.000

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 105 110 115 120

Nilai rata-rata elektrisitas (V)

0.500

Jam

Gambar 11 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 4 pasang

9

ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

STUDI BIOLOGI DAN EKOLOGI HEWAN FILUM Mollusca DI ZONA LITORAL PESISIR TIMUR PULAU BINTAN Henky Irawan dan Falmi Yandri Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjungpinang E-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan di pesisir timur Pulau Bintan yang masuk dalam kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan (KKLD Kab Bintan). Pemilihan lokasi berada pada KKLD dikarenakan pada kawasan tersebut di lindungi sehingga organisme yang berada di kawasan tersebut masih dalam kondisi yang alami dan keberadaannya tidak terganggu. Lokasi yang dijadikan tempat pengambilan sampel di sekitar daerah KKLD tersebut adalah Desa Malang Rapat, Desa Teluk Bakau, dan Desa Gunung Kijang yang berada di Kelurahan Kawal, wilayah perairan laut Pesisir Timur Kecamatan Gunung Kijang. Pada lokasi-lokasi tersebut penelitian dilakukan pada zona litoral. Hasil penelitian menemukan 73 spesies hewan Filum Mollusca dimana terdiri dari 26 spesies Kelas Bivalvia dan 47 spesies Kelas Gastropoda di pesisir timur pulau bintan. Diantara 47 hewan kelas gastropoda masih ada 3 hewan yang belum ada nama ilmiahnya. Hewan-hewan Kelas Bivalvia dan Gastropoda yang ditemukan memiliki kebiasaan hidup melekat pada substrat, menetap tetapi tidak melekat pada substrat dan bergerak lambat. Keberadaan hewan-hewan tersebut juga terkait dengan kondisi substrat pasir dan lumpur dimana juga ditemukan dalam lambung hal ini terkait dengan kebiasaan makan hewan tersebut. Kebiasaan makan hewan-hewan tersebut adalah pemakan endapan dan penyaring makanan. Kata kunci: Mollusca, Bivalvia, Gastropoda, Zona litoral ABSTRACT This research was conducted on the East coast of Bintan Island, in part of marine conservation area in Bintan region. The locations were chosen in marine conservation area because the organisem in that area were protected and still in natural condition. The locations for sampling are at the coastal area of Malang Rapat Village, Teluk Bakau Villege, and Gunung Kijang Village. Samplings on each location were take place in litoral zone. The result from this research is there were 73 species of Mullusk wich is 26 species of Bivalvia class and 47 species of Gastropod class that were found in east coas of Bintan Island. The species of Bivalvia and Gastropod were found live attach ti substrat, settle but not attach to substrat, and moving slowly. The existence of that species has relation with subtsrat sand and mud wich is also found in their gut, wich shown relation to their feeding habit. The feeding habits of of that species were deposit freeder and filter feeder. Keyword: Mollusk, Bivalvia, Gastroopod, Litoral Zone

Dari pengamatan dan penelitian pendahuluan yang telah di lakukan selama tiga tahun di daerah perairan laut Pulau Bintan maka sangat banyak keanekaragaman hewanhewan di zona litoral pesisir timur pulau Bintan yang di temukan sehingga sangat berpotensi untuk di teliti karena mengingat telah adanya lembaga akademis yang juga

PENDAHULUAN Hewan dari filum Mollusca merupakan hewan avertebrata air yang banyak di kaji dalam beberapa mata kuliah yang di ajarkan di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP), Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) yang terletak di Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau. 10

ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

bergerak di bidang penelitian seperti Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UMRAH dan belum adanya data mengenai hewan-hewan dari filum Mollusca ini secara terperinci di Kepulauan Riau umumnya dan Pulau Bintan khususnya. Beberapa hewan dari filum Mollusca yang sudah dikenal umum adalah siput gonggong, kerang bulu, cumi-cumi dan sotong. Hingga saat ini belum ada informasi yang terperinci mengenai biologi dan ekologi hewan-hewan tersebut yang terdapat di perairan laut Pulau Bintan, maka oleh karena itu sangat perlu di lakukan penelitian agar dapat memperoleh data mengenai biologi dan ekologi hewan-hewan filum Mollusca tersebut. Tujuan dari studi biologi dan ekologi hewan filum mollusca di zona litoral pesisir timur pulau bintan adalah untuk menggali informasi mengenai biologi dan ekologi hewan filum Mollusca yang terdapat di perairan Pulau Bintan sehingga informasi tersebut nantinya dapat berguna khususnya dalam memperkaya bahan ajar mata kuliah avertebrata air, Budidaya Laut dan Pesisir, Bioteknologi Laut, Bahan Hayati Laut, Keanekaragaman Hayati Laut, Biologi Laut, dan Ekologi Perairan yang di ajarkan di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau. Di harapkan dengan adanya informasi dari daerah sendiri yang bersifat spesifik lokal hewan filum Mollusca yang ada di zona litoral pesisir timur pulau bintan itu sendiri maka akan menambah wawasan mahasiswa dan membuat mahasiswa FIKP UMRAH lebih mengenal potensi keanekaragaman hayati laut daeranya sendiri.

hewan filum Mollusca dapat dengan mudah di temukan. Lokasi yang di jadikan tempat pengambilan sampel di sekitar daerah KKLD tersebut adalah Desa Malang Rapat, Desa Teluk Bakau, dan Desa Gunung Kijang yang berada di Kelurahan Kawal, wilayah perairan laut Pesisir Timur Kecamatan Gunung Kijang.

Gambar 1. Peta KKLD Pulau Bintan, Kab Bintan Prov Kepulauan Riau. Sumber Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan Dan Perikanan. 2009.

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga November 2013 yang bertempat di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan (KKLD kab Bintan). Pemilihan lokasi berada pada KKLD di karenakan pada kawasan tersebut di lindungi sehingga organisme yang berada di kawasan tersebut masih dalamm kondisi yang alami dan keberadaannya tidak terganggu, lalu dari hasil pengamatan penelitian pendahulian yang telah di lakukan di sekitar daerah KKLD tersebut

Gambar 2. Peta Kecamatan Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Sumber Bappeda Kabupaten Bintan.2009. Prosedur Kerja Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey lapangan untuk mengambil hewan Mollusca yang ditemukan, metode wawancara dengan nelayan dan penduduk sekitar lokasi, dan metode sampling dengan mengambil hewan Mollusca sebanyak 11

ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

3 individu sebagai sampel untukstudi biologi yaitu pengamatan morfologi dan anatomi di laboratorium dan mengambil data kualitas perairan dengan 3 kali ulangan. Setiap kegiatan penelitian di dokumentasikan dengan menggunakan kamera digital.

C. Pengamatan sedimen Pengamatan sedimen dilakukan dengan mengambil sedimen permukaan di lokasi ditemukannya Mollusca. Sedimen dibawa kelaboratorium untuk diamatistruktur dan jenisnya secara deskriptif dengan mikroskop.Karakteristik sedimen yang diamati adalah tipe sedimen, warna sedimen, dan organisme yang menempel pada sedimen tersebut.

Biologi Mollusca A. Identifikasi Identifikasi hewan Mollusca dilakukan dengan membawa sampel dari lokasi pengamatan ke laboratorium dan mengidentifikasi ciri-ciri spesies yang mengacu pada panduan identifikasi filum Coelenterata (Suginyo, Widigdo, Wardianto, Krisanti,. 2005) dan dikonfirmasi serta di daftarkan World Register of Marine Spesies dengan alamat website http://www.marinespecies.org.

HASIL DAN PEMBAHASAN Biologi Telah ditemukan 75 spesies hewan Filum Mollusca dimana terdiri dari 26 spesies Kelas Bivalvia dan 47 spesies Kelas gastropoda di pesisir timur pulau bintan. Diantar 47 hewan kelas gastropoda masih ada 3 hewan yang belum ada nama ilmiahnya.

B. Pengamatan Morfologi Pengamatan morfologi juga di lakukan di laboratorium dan yang dilakukan adalah dengan menggambarkan bentuk, tubuh, ciriciri spesifik, yang mengacu kepada morfologi dalam bahan ajar avertebrata air filum Mollusca oleh Irawan, 2012. C. PengamatanAnatomi Pengamatan anatomi juga dilakukan di laboratorium dan yang dilakukan adalah dengan membedah tubuh hewan-hewan filum Mollusca tersebut untuk melihat organ-organ dalamnya lalu menggambarkannya, yang mengacu kepada anatomi dalam bahan ajar avertebrata air filum Mollusca oleh Irawan, 2012.

Ekologi 1. Suhu Dari hasil pengukuran suhu perairan Kampung Galang Batang berkisar antara 2730oC. Kawal 26-32,1 oC. Teluk Bakau 28-30 oC dan Malang Rapat 28-34,5 oC. Adapun waktu pengukuran suhu di tiap lokasi dilakukan pada pagi dan siang hari. Hasil pengukuran siang hari dengan suhu tertinggi terjadi di perairairan Malang Rapat dengan 34,5oC dan pagi hari suhu terendah terdapat di Kawal dengan 26 oC. Perubahan suhu mengalami kenaikan dari pagi menjeleng siang hari dan kembali turun pada sore hari. Tinggi rendah suhu perairan sangat dipengaruhi oleh intensitas penyinaran matahari. Tingginya suhu pada siang hari dikarenakan posisi matahari tegak lurus dan tidak condong. Berdasarkan pengukuran suhu perairain didapatkan bahwa suhu perairan di masing-masing lokasi masih dalam kondisi normal atau mendukung kehidupan biota.

Ekologi Mollusca A. Gambaran habitat Penggambaran habitat Mollusca dilakukan dengan mengamati keadaan lingkungan sekitar lokasi penelitian secara deskriptif.

2. Salinitas Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam yang terlarut dalam air. Salinitas perairan sangat penting untuk mengetahui karakteristik dari suatu perairan tersebut. Hasil pengukuran salinitas perairan Kampung Galang Batang berkisar antara 20-30‰. Kawal 18 - 30‰. Teluk Bakau 30,1 – 33,2‰ dan Malang Rapat 34,9-36,5 ‰. Hasil pengukuran salinitas pada saat pasang tertinggi terdapat di

B. Pengamatan kondisi perairan Pengamatan kondisiperairan dengan melihat parameter: Fisika, Kimia dan Biologi dalam pengamatan in ijuga di lakukan sampling hewan Mollusca yang diamati lebih lanjut di laboratorium.Parameter fisika yang di amati adalah: kecerahan, kedalaman, danpasangsurut. Parameter Kimia yang di amati adalah DO, pH, Salinitasbaik yang ada di permukaandan di dasarperairan. 12

ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

Malang Rapat dan waktu terendah terdapat di Kawal. Tinggi rendahnya salinitas suatu perairan sangat tergantung dari suplai air tawar dan air asin. Kisaran salinitas di daerah Teluk Bakau dan Malang Rapat pada waktu pasang maupun surut dikarenakan suplai air asin dari laut lebih dominan dibandingkan air tawar dari sungai dan ini ditunjang dengan kondisi di daerah tersebut relativ tidak ditemukan sungai sebagai pensuplai air tawar keperairan.

Gunung Kjang termasuk perairan yang subur. Syukur. (2002) dalam Iman,M.S, (2010) kecerahan keeping secchi < 3 m adalah tipe perairan yang subur eutropik, antara 3-6 m kesuburan sedang mesotrofik dan > 6 meter digolongkan pada tipe perairan kurang subur oligotrofik. 5. Arus Arus yang diukur adalah arus permukaan. Arus selama pengukuran di perairan Galang Batang berkisar antara 0,17 – 1,28 m/dtk. Kawal 0,27 – 3,31 m/dtk. Teluk Bakau 1,2- 1,25 m/dtk dan Malang Rapat 1,92,5 m/dtk. Cepat lambatnya arus sangat berpengaruh terhadap karakteristek endapan sedimen didasar perairan. Pada arus yang kuat karakteristik sedimen di dasar perairan cendrung pasir dan berbatuan dan arus yang lambat cendrung dasar perairannya berlumpur.

3. Keruhan Hasil pengukuran tingkat keruhan di masing-masing tempat didapatkan rata-rata di Galang Batang 1,9 ntu, Kawal 1,8 ntu. Teluk Bakau 0,39 ntu dan Malang Rapat 0,29 ntu. Kekeruhan suatu perairan sangat dipengaruhi oleh banyak sedikitnya jumlah partikel tersuspensi yang terdapat di kolom perairan yang bersumber dari aliran sungai yang memasuki perairan, maupun hasil pengadukan sedimen didasar perairan yang disebabkan oleh arus maupun gelombang. Meningkatnya kekeruhan dikolom perairan menyebabkan kecerahan di perairan menjadi berkurang.

6. Derajat Keasaman ( pH ) Pengukuran yang di lakukan di Galang Batang 7,05. Kawal 7,12. Teluk Bakau 8,02 dan Malang Rapat 8,14. Hasil pengukuran ditemukan bahwa nilai pH perairan di masingmasing tempat berada diatas 7, ini dapat dinyatakan bahwa perairan tersebut cendrung bersifat basa yang disebabkan oleh banyaknya suplai air asin dari laut yang mendominasi di perairan pantai karena parairan laut cendrung bersifat basa.

4. Kecerahan Hasil pengukuran tingkat kecerahan perairan Kampung Galang Batang berkisar antara 134 cm – 153.5 cm, Kawal 148 - 163 cm. Teluk Bakau 100 % dan Malang Rapat 100%. Pengukuran kecerahan perairan dilakukan pada siang hari karena intensitas cahaya dan posisi matahari berada tegak lurus dengan bumi, rendahnya nilai kecerahan di desa Galang Batang dan Kawal sangat erat dengan suplai air tawar yang bersal dari sungai karena di daerah ini terdapat sungai yang bermuara kelaut yang membawa partikelpartikel tersuspensi. Sementara di Malang Rapat dan Teluk Bakau tingginya tingkat kecerahan menunjukan bahwa perairan tersebut sangat sedikit mengandung partikelpartikel tersuspensi. tingkat kecerahannya 100%, Hal ini di karenakan pada saat pengukuran letak piringan sechidisk menyentuh dasar perairan Kecerahan sangat penting karena erat kaitanya dengan proses fotosintesis yang terjadi diperairan. Dari hasil pengukuran yang didapat di Kampung Galang Batang Desa

7. Dissolved Oxygen ( DO ) Setelah melakukan pengukuran kandungan oksigen terlarut pada siang hari di perairan dengan rata-rata desa Galang Batang 7,15. Kawal 7,1. Teluk Bakau 7,5 dan Malang Rapat 8,1. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) di masing-masing perairan tergolong baik untuk organisme akuati dalam perairan, dengan demikian pada siang hari kandungan oksigen terlarut akan tinggi hal ini di karenakan seiringnya tingginya intensitas cahaya matahari yang menyinari perairan akan menyebabkan lajunya proses fotosintesis oleh tumbuh-tumbuhan terutama jenis fitoplankton yang menghasilkan kandungan oksigen. 8. Substrat. Tipe tanah/substrat secara tidak langsung juga menjadi salah satu faktor penentu kehidupan biota bentos terutama Filum Mollusca, dimana tipe suptrat seperti yang kita ketahui, pada substrat yang 13

ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

berlumpur pekat dan selalu tergenang air laut menyebabkan tanah kekurangan oksigen dan mudah menempel sehingga dibutuhkan adaptasi yang tinggi dalam merespon situasi ini seperti yang terjadi pada jenis-jenis mollusca yang mengembangkan adaptasi morfologinya dengan setae ( bulu halus ) untuk mencegah terjadinya penyumbatan pada system respirasi. Hasil pengukuran substrat di laboratorium, dengan menggunakan saringan bertingkat dengan ukuran mesh 2,36mm, 2,00mm, 1,18mm, 500μm(0,5mm), 250μm(0,25mm), 125μm(0,125mm), dan 106μm(0,106mm), di dapat penggolongan substrat menurut Wenworth pada subtrat dasar perairan Galang Batang cendrung lumpur berpasir, Kawal cendrung pasir berlumpur, Teluk Bakau berpasir dan Malang Rapat berpasir.

hewan mollusca di di zona litoral pesisir timur Pulau Bintan. Zona litoral pesisir timur Pulau Bintan dapat dijadikan sebagai lokasi laboratorium alam dalam mempelajari hewan-hewan mollusca kelas Bivalvia dan Gastropoda. TERIMAKASIH Terimakasih kepada Lembaga Penelitian Universitas Maritim Raja Ali Haji yang telah memberikan dana untuk kegiatan penelitian studi biologi dan ekologi hewan filum mollusca di zona litoral pesisir timur pulau bintan DAFTAR PUSTAKA Bappeda Kabupaten Bintan.2009. Peta Admin Kab. Bintan. Bank Data Bappeda Bintan. Kabupaten Bintan. Bupati Bintan 2007 Keputusan Bupati Bintan Nomor : 36/VIII/2007 TENTANG Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan. KAbupaten Bintan.

KESIMPULAN DAN SARAN Jenis hewan Filum Mollusca yang di temukan di zona litoral pesisir timur Pulau Bintan adalah dari kelas Bivalvia dan Gastropoda, hal ini terkait dengan kebiasaan hidup hewan kedua kelas tersebut yang menempel pada substrat, bergerak lambat bahkan cenderung menetap. kulalitas air di di zona litoral pesisir timur Pulau Bintan mendukung untuk kehidupan hewan-hewan tersebut. Ekosistem yang ditemukan adalah ekosistem hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang dimana di ketiga ekosistem ini ditemukan hewan dari kelas Bivalvia dan Gastropoda. Keberadaan hewan kelas Bivalvia dan Gastropoda ini terkait dengan lingkungannya adalah ketersediaan makanan dan kebiasaan makan dimana dalam kebiasaan makan hewan kelas Bivalvia dan Gastropoda ini pemakan sedimen dan penyaring makanan. Substrat pada zona litoral tersebut adalah sedimen pasir dan lumpur yang juga di temukan dalam pencernaan hewan-hewan tersebut. Masih ada 3 hewan kelas Gastropoda yang belum ada nama ilmiahnya ketika di rujuk pada bank data dunia World Register of Marine Species sehingga hewan-hewan tersebut berpotensi untuk di daftarkan sebagai temuan spesies baru. Data dari penelitian ini dapat dijadikan rujukan untuk penellitian berikutnya dalam keanekaragaman dan struktur komunitas

COREMAP.2013. http://www.coremap.or.id/datin/molus c/ Irawan, H. 2012. Bahan Ajar Avetebrata Air, Filum Mollusca. Handout Irawan, H. 2012. Penuntun Praktikum Avertebrata Air, , Filum Mollusca. McKenzie, L. 2007. Undertanding Sediment. Seagrass Watch. Nuraini dan Rusliadi. 2009. Buku Ajar Avertebrata Air. PUSBANGDIK UNRI. Pekanbaru. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan Dan Perikanan. 2009. Mengenal Kawasan Konservasi Perairan (Laut) Daerah. Program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (COREMAM II). Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, PulauPulau Kecil Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta Selatan. ISBN 978602-8717-30-4. Suginyo.S., Widigdo,B., Wardianto,Y., dan Krisanti,M. 2005. Avertebrata Air Jilid I. Penebar Swadaya. Jakarta World Register of Marine Species. 2013. http://www.marinespecies.org 14

ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

Tabel 1. Spesies dan tempat ditemukannya hewan filum Mollusca di pesisir timur pulau Bintan No

Gambar dan nama ilmiah

Tampat ditemukan Desa Daerah gunung kawal kijang

Desa malang rapat pulau pucung

Desa malang rapat tanjung keling

Desa malang rapat teluk dalam

Desa Telu k Baka u











1

Anadara antiquata (Linnaeus, 1758)



3

Isognomon californicum (Conrad, 1837) 3

Isognomon isognomum (Linnaeus, 1758) √

4



Isognomon radiatus (Anton, 1838) √

5

Pecten maximus (Linnaeus, 1758) √

6

Placuna sp

15

ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26



7

Barbatia foliata (Forsskål in Niebuhr, 1775) √

8

Barbatia novaezealandiae (E. A. Smith, 1915) √

9

Pitar albidus (Gmelin, 1791) 10

Coecella chinensis (Deshayes, 1855) √

11





Gafrarium sp √

12

Fragum unedo (Linnaeus, 1758) √

13

16

ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

Circe scripta (Linnaeus, 1758) 14









Lioconcha berthaulti (Lamprell dan Healy, 2002) √

15

Hippopus porcellanus (Rosewater, 1982) √

16

Lima vulgaris (Link, 1807) √

17

Atrina (Atrina) vexillum (Born, 1778) √

18

Atrina zelandica (Gray, 1835) √

19

Atrina chinensis (Deshayes, 1841)

17

ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26



20

Pinna muricata (Linnaeus, 1758) √

21

Corculum cardissa (Linnaeus, 1758) √

22

Tridacna crocea (Lamarck, 1819) √

23

Tridacna squamosa (Lamarck, 1819) √

24

Anomia trigonopsis (Hutton, 1877) √

25

Carditopsis smithii (Dall, 1896)

18

ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26



26

Pedum spondyloideum (Gmelin, 1791) √

27

Volema pyrum (Gmelin, 1791) √

28





Pugilina cochlidium (Linnaeus, 1758) √

29

Gibberulus gibberulus (Linnaeus, 1758) √

30

Canarium urceus (Linnaeus, 1758) √

31



Canarium mutabile (Swainson, 1821) √

32

Laevistrombus turturella (Röding, 1798)

19



ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26



33

Vasum turbinellus (Linnaeus, 1758) √

34



Chicoreus capucinus (Lamarck, 1822) √

35

Chicoreus sp √

36



Semiricinula fusca (Küster, 1862) √

37

Nerita undata (Linnaeus, 1758) √

38

Narasius pullus

20







ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26



39



Cerithidea cingulata (Gmelin, 1791) √

40

Cerithium zonatum (Wood, 1828) √

41

Thais sp √

42



Pictocolumbella ocellata (Link, 1807) √

43

Cypraea tigris (Linnaeus, 1758) √

44

Mauritia arabica (Linnaeus, 1758) √

45

Lambis lambis (Linnaeus, 1758)

21





ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26



46



Tectus niloticus (Linnaeus, 1767) √

47





Trochus maculatus (Linnaeus, 1758) √

48



Astralium calcar (Linnaeus, 1758) √

49



Cerithium nodulosum (Bruguière, 1792) √

50

Turritella terebra (Linnaeus, 1758) √

51

Conus tabidus (Reeve, 1844)

22

ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26



52

Rhinoclavis (Rhinoclavis) sinensis (Gmelin, 1791) √

53

Neverita didyma (Röding, 1798) √

54

Melo melo (Lightfoot, 1786) √

55

Cymbiola nobilis (Lightfoot, 1786) √

56

Conus josephinae (Rolán, 1980) √

57

Canarium labiatum (Röding, 1798)

23

ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26



58

Turbo haynesi (Preston, 1914) √

59

Turbo bruneus (Röding, 1798) √

60

Ampullina sp ( Cossman, 1918) √

61

Angaria delphinus (Linnaeus, 1758) √

62



Ergalatax junionae (Houart, 2008) √

63

Planaxis sulcatus (Born, 1778)

24





ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26



64

Clypeomorus nympha (Houbrick, 1985) √

65

Clypeomorus pellucida (Hombron & Jacquinot, 1852) √

66



Batillaria zonalis (Bruguière, 1792) √

67



Morula (Morula) nodulosa (C. B. Adams, 1845) √

68

Semiricinula tissoti (Petit de la Saussaye, 1852) √

69

Telescopium telescopium (Linnaeus, 1758)

25



ISSN: 2086-8049

Studi Biologi Dan Ekologi…. Henky Irawan, Falmi Yandri

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26



70

Engina menkeana (Dunker,1860) Jenis hewan Kelas Gastropoda yang belum ada nama ilmiahnya √

71



72



73

26

ISSN: 2086-8049

Kajian Analitik Stok….. Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

KAJIANANALITIK STOK DAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD (TKG) IKAN SELIKUR (Megalaspis cordyla) DI TEMPAT

PENDARATAN IKAN KOTA TANJUNGPINANG Winny Retna Melani dan Andi Zulfikar Jurusan Menejemen Sumberdaya Perairan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang. E-mail: [email protected] ABSTRAK Kajian stok ikan Selikur (Megalaspis cordyla) di Wilayah Perairan Tanjungpinang merupakan salah-satu upaya kajian stok ikan berbasis spesies dan diharapkan menjadi langkah awal pendataan untuk terbentuknya basis data perikanan di Wilayah Perairan Propinsi Kepulauan Riau, baik secara umum (holistik) maupun spesifik (analitik). Persaman regresi hubungan panjang berat ikan selikur tiap bulannya adalah y = 2.4951x-1.224, R2 = 0.87 dengan persamaan hubungan panjang berat ikan selikur per bulannya adalah W = 0.2941 L2.4951. Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan betina Lt=51.36(1-e[-0,24(t+0,006], sedangkan untuk ikan jantan Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05]. Laju pertumbuhan ikan selikur jantan lebih cepat dibandingkan ikan selikur betina.Ikan selikur betina mempunyai nilai L infiniti (nilai maksimum panjang yang dapat dicapai) sebesar 51.36 cm, lebih besar dibandingkan ikan jantan (41.59 cm). Laju mortalitas total (Z) ikan selikur jantan sebesar 2,83, mortalitas alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC sebesar 1,52, laju mortalitas akibat ditangkap nelayan (F) 1,31 dengan nilai laju eksploitai (E) sebesar 0,46 (0,5) atau telah mencapai laju eksploitasi optimum. Persamaan regresi y = -2,83x + 9,535 R2 = 0,89.Laju mortalitas total (Z) ikan selikur betina sebesar 0,931, mortalitas alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC sebesar 0,6, laju mortalitas akibat ditangkap nelayan (F) 0,33 dengan nilai laju eksploitai (E) sebesar 0,35 atau belum mencapai laju eksploitasi optimum. Persamaan regresi y = -0,931x + 8,137, R2 = 0,81. Kata Kunci: Pendaratan ikan, selikur, laju pertumbuhan, laju mortalitas

ABSTRACT Selikur fish (Megalaspis cordyla) stock assessments in Tanjungpinang seawaters area is an efforts to a species-based fish stock assessment and be expected to become the first step of establishment fisheries database in Kepulauan Riau Province seawater areas, both in general (holistic) or specific (analytic). Regression equation length weight relation of selikur fish each month is y = 2.4951x-1.224, R2 = 0.87 with the weight of the selikur fish length relation equation per month is W = 0.2941 L2.4951. Von Bertalanffy growth parameters of female fish Lt=51.36(1-e[-0,24(t+0,006], whereas for male fish Lt = Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05]. The growth rate of selikur male fish faster than the selikur female fish. selikur female fish has L infiniti value ( maximum length value that can be achieved) of 51.36 cm, larger than the male (41.59 cm). total mortality rate (Z) of selikur male fish was 2,83, natural mortality (M) with an average temperature of 28oC was 1.52, the rate of mortality from fishermen capture (F), 1.31 with Exploration rate value (E) was 0.46 (0.5) or has reached the rate of optimum exploitation. regression equation y = -2,83x + 9,535 R2 = 0,892. Total mortality rate of females selikur fish (Z) was 0.931, natural mortality (M) with an average temperature of 28oC was 0.6, the rate of mortality from fishermen catch (F) 0.33 with exploitation rate value (E) 0.35 or has not yet reached the optimum exploitation rate. Regression equation is: y = -0,931x + 8,137, R2 = 0,81. Keywords: fish landing, selikur fish, growth rate, mortality rate

27

ISSN: 2086-8049

Kajian Analitik Stok….. Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

kajian-kajian lanjut yang lebih spesifik (berbasis spesies/jenis) serta mendetail mengenai kondisi stok ikan di alam, agar potensi tersebut dapat dikelola secara berkelanjutan. Model alternatif selain metode diatas adalah model dengan menggunakan metode analitik (kajian berbasis spesies, panjang, berat dan konversi panjang ke umur ikan dan lainlain).Metode analitik ini dapat digunakan sebagai pelengkap dan konfirmasi mengenai kondisi stok ikan spesies/jenis tertentu (terutama ikan yang secara ekologi sangat penting atau secara ekonomi mempengaruhi kondisi kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat nelayan yang menangkap ikan tersebut). Salah-satu spesies ekonomis penting di Kota Tanjungpinang yang layak dijadikan kajian untuk dianalisis dinamika dan kondisi stoknya di alam adalah ikan selikur (Megalaspis cordyla).Ikan selikur merupakan salahsatu jenis ikan dalam kelompok ikan pelagis kecil.Ikan selikur hidup di lingkungan pelagis kisaran kedalaman kurang dari 200 m (Satria et al,2002).Harga ikan selikur dipasaran Kota Tanjungpinang berkisar antara Rp 30.000,-per kilogram (pada saat musim angin sekitar bulan Desember, Januari, Februari dan Maret) dan Rp.25.000,- per kilogram (pada saat musim tenang). Kajian stok ikan didaerah tropis dapat dilakukan melalui metode analitik berdasarkan ukuran panjang-berat yang dikonversi ke dalam kelompok umur yang sama/kohort (Cadima, E.L., 2003).Analisi hubungan panjang–berat ikan merupakan salah satuinformasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber dayaperikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikanyang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap. Analisa hubungan panjang–berat jugadapat mengestimasi faktor kondisi (index of plumpness)yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkankondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu(Singh,W., 2009).Aspek tingkat kematangan gonad (TKG) diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi atau tidak, informasi kapan ikan tersebut akan

PENDAHULUAN Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) secara geografis terletak pada 1°10' LS-5°10' LU dan 102° 50'-109°20' BT. Luas wilayah Provinsi Kepulauan Riau mencapai 425.214,6679 km² yang terdiri dari perairan laut seluas 417.005,0594 km² (98,05%). Sementara itu, luas daratannya mencapai 8.209,605 km² (1,95%) yang terdiri dari gugusan pulau besar dan kecil.ProvinsiKepulauan memiliki panjang garis pantai 2.367,6 km, dengan jumlahpulau-pulau kecil 2.408 buah pulau, yang dihunipenduduk hanya sekitar 385 pulau. Kondisi geografis tersebut membuat Provinsi Kepulauan Riau mempunyai potensi kelautan yang sangat besar, khususnya sektor perikanan tangkap.Secara garis besar, jenis sumber daya ikan yang terdapat di perairan laut Kepri adalah: kelompok sumber daya ikan pelagis (tongkol, tenggiri, kembung, layang, teri, selikur dan sebagainya), kelompok sumber daya ikan demersal (kakap merah, kurisi, beloso, bawal, dan lainlain), kelompok sumber daya ikan karang (kerapu, baronang, napoleon, dan lain-lain), kelompok sumber daya moluska (cumi-cumi, sotong, dan lainlain), dan kelompok sumber daya krustase (kepiting, rajungan), dan kelompok sumber daya udang. Kota Tanjungpinang adalah kota utama dan merupakan ibukota Provinsi Kepulauan Riau.Berdasarkan survei yang telah dilakukan (Kapal Riset MV.SEAFDEC, 2006 dan Komisi Nasional Pengkajian Jenis Ikan/Komnasjiskan, 2011yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No. KEP.45/MEN/2011)dugaan potensi perikanan tangkap disekitar perairan Kota Tanjungpinang mencapai kisaran 166,3-211,41 ton/tahun. Menurut survey tersebut juga dinyatakan bahwa secara umum sektor penangkapan ikan di Wilayah Kota Tanjungpinang untuk semua kelompok ikan telah melebihi potensi yang ada (overfishing).Survey ini menggunakan pendekatan analisis holistik yaitu berdasarkan data berat total/tonnase ikan dengan metode Catch per Unit Effort (CPUE) dan model surplus production Schaefer, tidak melihat jenis/spesies ikan. Fenomena umum ini perlu mendapat perhatian yang serius dan 28

ISSN: 2086-8049

Kajian Analitik Stok….. Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

memijah, baru akan memijah, atau sudah selesai memijah (Patrick, Ket al.,2009).

September 2013.Interval pengambilan sampel 7 hari sekali dengan jumlah sampel variatif.Jumlah sampel bervariasi disebabkan hasil tangkapan juga beragam tergantung kondisi alam. Pemeriksaan gonad dilakukan di Laboratorium Kelautan dan Perikanan UMRAH.Pengambilan sampeldilakukan secara acak pada nelayan atau pengumpul. Pengukuran dilakukan terhadap panjang total ikan (dari mulut sampai ujung ekor), berat basah ikan dan berat gonad setelah ikan dibedah.Panjang ikan diukur menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm, berat ikan ditimbang menggunakan timbangan analitik dengan ketelitian 1 gram.Pengambilan gonad ikan selikur menggunakan alat bedah, ditimbang dan diamati dibawah mikroskop.

Luaran Penelitian Kondisi geografis Provinsi Kepulauan Riau dimana wilayah perairannya berbatasan dengan beberapa negara, sehingga perlu adanya riset kajian stok ini dalam lingkup lintas antar wilayah negara tersebut.Salah-satu hal yang mendesak adalah pembentukan jaringan basis data perikanan yang melibatkan antar negara, yang tiap negara dapat dengan bebas dan terkontrol untuk mengakses data tersebut untuk keperluan pendidikan ataupun komersial dalam bentuk pertukaran data kajian stok berbagai jenis ikan.Pembentukan basis data perikanan tersebut memerlukan berbagai kajian dasar yang mendalam dan terus menerus berbagai spesies ikan baik melalui model holistik maupun analitik.Selanjutnya kajian stok dan dinamika populasi ikan memerlukan kajian yang komprehensif dan dilakukan dalam runtun waktu yang panjang, terkait dengan pola musim dan tingkat pemanfaatan (penangkapan), agar estimasinya dapat reliable.Kajian yang komprehensif ini hanya dapat dilakukan melalui kolaborasi antar instansi terkait dengan program dan pendanaan yang kontinyu. Agar hal tersebut dapat terealisasi maka pada tahap awal hasil penelitian ini akan dibuat dalam bentuk makalah untuk dapat disampaikan kepada instansi terkait yang diantaranya Badan Perencanaan Daerah Provinsi Kepri, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Provinsi Kepri agar dapat menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan lingkungan. Selain itu juga hasil penelitian ini minimal akan dimuat di Jurnal Dinamika Maritim PSPL UMRAH. Kajian ini dapat memberikan gambaran data dasar tentang aspek biologi dan dinamika stok ikan selikur (Megalaspis cordyla).

Model, Tahapan dan Variabel Pengukuran Penelitian Kajian stok padapenelitian ini menggunakan model analitik berbasis panjang-berat.Umur ikan diduga dari parameter pertumbuhan Von Bertalanffy setelah dilakukan pemisahan kelompok umur (kohort) dengan metode Density estimation via Gaussian finite mixture modeling (dikomparasi dengan metode Bhattacharya dan Normsep). Analisis Data a. Sebaran Frekuensi Panjang Berdasarkan data panjang hasil pengukuran, dibuat analisis statistik deskriftifnya untuk melihat pola sebaran data. Kemudian dibuat tabel frekuensi distribusinya, diplotkan dalam grafik untuk melihat pergeseran sebaran kelas panjangnya.Pergeseran tersebut untuk melihat gambaran awal dari kelompok umur (kohort). b. Pemisahan Kelompok Umur Identifikasi kelompok umur (kohort) dilakukan menggunakan metode Density Estimation via Gaussian Finite Mixture Modeling(software R paket mclust), Bhattacharya dan dipertajam dengan metode maximum likelihood function (Normal Separation/NORMSEP). Metode Bhattacharyamenggunakan transformasi distribusi normal kedalam suatu persamaan garis lurus, memisahkan suatu distribusi

METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel dan Data Ikan yang dijadikan sampel hanya ikan yang ditangkap di Perairan Kota Tanjungpinang.Ikan sampel diambil di Pelantar (Pelabuhan) II Kota Tanjungpinang dari tanggal 21 Juni-27 29

ISSN: 2086-8049

Kajian Analitik Stok….. Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

komposit ke dalam suatu kelompok umur terpisah.Sementara NORMSEP berdasarkan persamaan : L= ∑fiLog∑pjqijdimana i=1, j =1 dengan ketentuan : qij = (1/σj√2π)*exp -1/2(xi-μj/σj)2 Perhitungan menggunakan bantuan software FISAT II FAOICLARM Ver1.2.2 c. Parameter Pertumbuhan Von Bertalanffy -Parameter pertumbuhan menggunakan persamaan Von Bertalanffy : L(t) = L∞ * [1 - exp (-K*(t-t )]

a.Menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinierkan yang dikonversikan ke panjang C(L1,L2) (L1+L2) In = c - Z*t ∆t(L1,L2) 2 - Laju Mortalitas Alami (M) menggunakan rumus Pauly untuk ikan bergerombol (schooling): M = 0.8*e (-0.0152-0.279*LN (L∞) +0.6543*LN (K)+0.463*LN (rata-rata suhu)

- Laju Mortalitas Penangkapan F = Z-M - Laju Eksploitasi E = F/Z

o

- Pendugaan nilai L∞, K, to menggunakan metode Ford-Walford K = (-LN b), L∞= a/(1-b), - Pendugaan to menggunakan persaman Pauly: log(-to) = 0,3922 - 0,2752(log L∞) - 1,038(log K) d. Mortalitas Parameter yang diestimasi : Mortalitas Total (Z), persamaan b = Z, langkah-langkahnya sebagai berikut : - Mengkonversikan data panjang ke data umur dengan menggunakan inverse persamaan von Bertalanffy 1 L t(L) = t0 -

* In

e. Hubungan Panjang Berat Hubungan panjang berat menggunakan persamaan : W = a L b ,linearisasi menggunakan persamaanLN (W) = LN(a) + b LN (L)Untuk menguji nilai b=3 atau b ≠ 3 (b>3, pertambahan berat lebih cepat dari pada pertambahan panjang) atau (b<3, pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan berat) dilakukan uji‐t (Sparre and Vanema, 1999 dalam Pope dan Kruse, 2007), dengan hipotesis : H0 : β = 3, hubungan panjang dengan berat adalah isometrik H1 : β ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik b1 adalah nilai b (hubungan dari panjang berat), b0 adalah 3, dan Sb1 adalah simpangan koefisien b.Selanjutnya, nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%, jika thitung> ttabel maka tolak hipotesis nol (H0) dan jika thitung< ttabel maka gagal tolak hipotesis nol (H0).

1L∞

K

- Menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh dari panjang L1 ke L2 (perubahan nilai t) (L∞ - L1)

1 ∆t = t (L2) – t = (L1) In

*

b1 – b0

(L∞ - L2)

K

t hitung = Sb1

- Menghitung (t+ delta t/2) (L1 + L2) 1 t (L1 + L2) = t0 2

In K

*

f. Faktor Kondisi

Faktor kondisi dihitung berdasarkan ketentuan sebagai berikut (Sparre and Vanema, 1999 dalam Pope dan Kruse, 2007):

12L∞ 30

ISSN: 2086-8049

Kajian Analitik Stok….. Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

Gonad Somatic Index (GSI) menunjukkan korelasi yang kuat antara berat gonad dan GSI (R2 0.91) dan antara panjang total dan berat (R2 0.87). Sedangkan korelasi antara panjang total (total length) dengan berat tubuh (weight) dan berat gonad (gonad weight) menunjukkan hubungan yang sedang (R2 0.5).Grafik korelasi antara panjang total (total length), berat basah tubuh (weight), berat gonad (gonad weight) dan GSI (Gonad Somatic Index).

a) Jika pertumbuhan ikan isometrik (b=3) : K = W.102 / L3 b) Jika pertumbuhan ikanallometrik(b≠3) : K = W / aLb

g. Nisbah Kelamin -

Indeks Kematangan Gonad (IKG) IK = BG/BT X 100 IKG = Indeks Kematangan Gonad BG = Berat Gonad (gram) BT = Berat Total Ikan (gram) - Nisbah kelamin digunakan untuk melihat perbandingan ikan jantan dan ikan Betina, menggunakan rumus berikut: p = n/N X 100% p adalah proporsi ikan (jantan/betina), n adalah jumlah jantan atau betina, dan Nadalah jumlah total ikan (jantan + betina). - Untuk melihat sebaran kelamin ikan dengan menggunakan selang kepercayaan 95% ialah : p-1.64√pq/n ≤ π ≤ p+1.64√pq/n p adalah proporsi betina, q adalah proporsi jantan, n adalah jumlah ikan betina danjantan, dan 1,96 adalah nilai z pada selang kepercayaan 95%.

Uji Anova Panjang Total Uji anova dilakukan untuk melihat komparasi sebaran panjang total ikan selikur apakah ada indikasi perbedaan sebaran panjang baik antar jenis kelamin maupun per bulannya. Faktor Bulan Uji anova panjang total ikan (respon) dengan faktor bulan menunjukkan hasil yang sangat signifikan diantara 4 faktor Bulan tersebut. Uji lanjut Tukey menunjukkan pada bulan September merupakan bulan dengan panjang total rata-rata paling berbeda dan paling beragam dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Faktor Jenis Kelamin Uji anova Panjang Total (respon) dengan faktor Jenis Kelamin juga menunjukkan hasil yang sangat signifikan. Uji lanjut Tukey menunjukkan antara Jantan (Male) dan Betina (Female) tidak terdapat perbedaan, sedangkan untuk ikan yang tidak dapat teridentifikasi jenis kelaminnya (NI) berbeda sangat nyata dengan keduanya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Sampel dan Data Penelitian Pengambilan data dilakukan selama ±4 bulan, mulai dari tanggal 21 juni 2013- 27 September 2013 dengan jumlah total sampel ikan 471 ekor, dengan jumlah ikan jantan (M) sebanyak 219 ekor, ikan betina (F) sebanyak 204 ekor dan tidak teridentifikasi (NI) sebanyak 48 ekor. Data pengukuran meliputi ukuran panjang total (Total Length), berat basah tubuh (Weight) dan Berat Gonad (Gonad Weight). Korelasi antara panjang total, berat basah tubuh, berat gonad dan

Hubungan Panjang-Berat Ikan Selikur (Megalaspis cordyla) Hubungan panjang-berat menunjukkan pola pertumbuhan isometric atau allometrik. Hubungan panjang berat dianalisis menggunakan persamaan regresi dengan transformasi log data panjang total dan berat basah tubuh ikan tiap bulannya. Uji anova dengan p value < 0.05 menunjukkan 31

ISSN: 2086-8049

Kajian Analitik Stok….. Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

bahwa model regresi ini bisa digunakan untuk memprediksi hubungan panjangberat. Dari nilai estimasi log panjang total diperoleh nilai slope (b) sebesar 2.4951. Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t (uji parsial), dengan hipotesis: H0 : b = 3, hubungan panjang dengan berat adalah isometrik. H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik, dimana: 1. Allometrik positif, jika b>3 (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang) 2. Allometrik negatif, jika b<3 (Pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat) Nilai p value menunjukkan <0.05 yang berarti ikan selikur mempunyai pola pertumbuhan allometrik negatif tiap bulannya (b < 3, pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat) atau Ho ditolak. Dari persaman regresi didapatkan nilai titik potong (a) sebesar -1.224, dan nilai kemiringan (b) sebesar 2.4951 maka dapat ditentukan persamaan hubungan panjang berat ikan selikur per bulannya W = 0.2941 L2.4951

modeling dengan bantuan perangkat lunak R paket mclust. Kelompok Umur Ikan Jantan Hasil pemisahan kelompok umur ikan Selikur Jantan terindikasi ada 2 kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang sebesar 28.81 cm/jumlah 113 ekor dan 31.15 cm/jumlah 106 ekor.

Gambar

2.Histogram dan QQ-Plot Distribusi Kelompok Umur Ikan Jantan

Kelompok Umur Ikan Betina Hasil pemisahan kelompok umur ikan selikur betina terindikasi ada 2 kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang sebesar 29.20 cm/jumlah 85 ekor dan 31.69 cm/jumlah 119 ekor.

Gambar 1. Grafik Hubungan PanjangBerat Ikan Selikur (Megalaspis cordyla) Selama Bulan Penelitian (y = 2.4951x-1.224, R2 = 0.87) Pemisahan Kelompok Umur (Kohort) Pemisahan kelompok umur dilakukan menggunakan metode Density estimation via Gaussian finite mixture

Gambar 3. Histogram dan QQ-Plot Distribusi Kelompok Umur Ikan Betina

32

ISSN: 2086-8049

Kajian Analitik Stok….. Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

Dari nilai K (koefisien pertumbuhan per tahun) dan kurva pertumbuhan, diketahui bahwa laju pertumbuhan ikan selikur jantan (nilai K 0,9) lebih cepat dibandingkan ikan selikur betina (nilai K 0,24). Ikan selikur betina mempunyai nilai L infiniti (nilai maksimum panjang yang dapat dicapai) sebesar 51.36 cm, lebih besar dibandingkan ikan jantan (41.59 cm).

Parameter Pertumbuhan Von Bertalanffy Ikan Betina Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan betinaLt=51.36(1-e[0,24(t+0,006]

Parameters: Estimate Linf K t0

Std. Error t value Pr(>|t|) 5.136e+01 5.373e-02 955.968 <2e-16 *** 2.413e-01 6.706e-04 359.826 <2e-16 *** 6.678e-03 4.018e-03 1.662 0.0981 Signif.codes: 0 „***‟ 0.001 „**‟ 0.01 „*‟ 0.05 „.‟ 0.1 „ ‟ 1 Residual standard error: 0.01339 on 200 degrees of freedom Number of iterations to convergence: 2 Achieved convergence tolerance: 2.711e-06 Residual sum of squares: 0.0359 Asymptotic confidence interval: 2.5% 97.5% Linf 51.25 51.46817888 K 0.239 0.24261186 t0

-0.001

4.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Ikan Selikur Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre dan Venema 1999). Laju mortalitas yang dihitung adalah mortalitas total (Z), mortalitas alami (M) atau mortalitas akibat usia tua, penyakit, predator dan sebagainya, mortalitas akibat penangkapan (F) atau kematian akibat ditangkap nelayan, dari nilai ini kemudian diduga laju eksploitasinya (E). Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland(1971) dalamPauly (1984) adalah:Foptimum = M dan Eoptimum = 0.5. Perhitungan menggunakan perangkat lunak FISAT II Ver 1.2.2 FAO-ICLARM . 4.6.1. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Ikan Selikur Jantan Laju mortalitas total (Z) ikan selikur jantan sebesar 2,83, mortalitas alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC sebesar 1,52, laju mortalitas akibat ditangkap nelayan (F) 1,31 dengan nilai laju eksploitai (E) sebesar 0,46 (0,5) atau telah mencapai laju eksploitasi optimum. Persamaan regresi y = -2,83x + 9,535 R2 = 0,89.

0.014

Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Ikan Selikur Betina(Lt=51.36(1-e[0,24(t+0,006] ) Ikan Jantan Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan jantan Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05] Estimate Std. Error t value Pr(>|t|) Linf 41.59627 0.27062 153.710 <2e-16 *** K 0.90486 0.02478 36.520 <2e-16 *** t0 -0.04934 0.02018 -2.445 0.0153 * Signif.codes: 0 „***‟ 0.001 „**‟ 0.01 „*‟ 0.05 „.‟ 0.1 „ ‟ 1 Residual standard error: 0.2938 on 216 degrees of freedom Number of iterations to convergence: 3 Achieved convergence tolerance: 3.168e-07 Residual sum of squares: 18.6 Asymptotic confidence interval: 2.5% 97.5% Linf 41.06288818 42.129660888 K 0.85602350 0.953694325 t0 -0.08911795 -0.009567808

Gambar 6. Kurva Tangkapan Berbasis Data Panjang Total Jantan

Gambar 5. Kurva Pertumbuhan Ikan Selikur Jantan (Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05]) 33

ISSN: 2086-8049

Kajian Analitik Stok….. Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

cm/jumlah 113 ekor dan 31.15 cm/jumlah 106 ekor. Kelompok umur ikan belikur betinajuga terindikasi ada 2 kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang sebesar 29.20 cm/jumlah 85 ekor dan 31.69 cm/jumlah 119 ekor. 4. Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan betina Lt=51.36(1-e[-0,24(t+0,006], sedangkan untuk ikan jantan Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05]. Laju pertumbuhan ikan selikur jantan lebih cepat dibandingkan ikan selikur betina. Ikan selikur betina mempunyai nilai L infiniti (nilai maksimum panjang yang dapat dicapai) sebesar 51.36 cm, lebih besar dibandingkan ikan jantan (41.59 cm). 5. Laju mortalitas total (Z) ikan selikur jantan sebesar 2,83, mortalitas alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC sebesar 1,52, laju mortalitas akibat ditangkap nelayan (F) 1,31 dengan nilai laju eksploitai (E) sebesar 0,46 (0,5) atau telah mencapai laju eksploitasi optimum. Persamaan regresi y = -2,83x + 9,535 nilai R2 = 0,89. 6. Laju mortalitas total (Z) ikan selikur betina sebesar 0,931, mortalitas alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC sebesar 0,6, laju mortalitas akibat ditangkap nelayan (F) 0,33 dengan nilai laju eksploitai (E) sebesar 0,35 atau belum mencapai laju eksploitasi optimum. Persamaan regresi y = -0,931x + 8,137, R2 = 0,81. Saran 1. Eksploitasi untuk ikan selikur jantan telah mencapai tingkat optimum dan ikan betina mendekati nilai optimum, perlu dilakukan kajian lanjut yang kontinyu oleh instansi terkait untuk verifikasi hasil tersebut dan untuk formulasi regulasi

Mortalitas dan Laju Eksploitasi Ikan Selikur Betina Laju mortalitas total (Z) ikan selikur betina sebesar 0,931, mortalitas alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC sebesar 0,6, laju mortalitas akibat ditangkap nelayan (F) 0,33 dengan nilai laju eksploitai (E) sebesar 0,35 atau belum mencapai laju eksploitasi optimum. Persamaan regresi y = -0,931x + 8,137, R2 = 0,81.

Gambar 7. Kurva Tangkapan Berbasis Data Panjang Total IkanSelikur KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan 1. Perbandingan panjang total ikan selikur (Megalaspis cordyla) yang didaratkan pada pendaratan ikan Pelantar II Tanjungpinang terdapat perbedaan yang sangat nyata tiap bulannya berdasarkan jenis kelamin (jantan, betina dan ikan yang tidak teridentifikasi). Bulan September merupakan bulan dimana sebaran panjang total ikan selikur paling berbeda dengan bulan-bulan lainnya. 2. Persaman regresi hubungan panjang berat ikan selikur tiap bulannya adalah y = 2.4951x1.224, R2 = 0.87 dengan persamaan hubungan panjang berat ikan selikur per bulannya adalah W = 0.2941 L2.4951. Ikan selikur mempunyai pola pertumbuhan allometrik negatif tiap bulannya (b < 3, pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat). 3. Kelompok umur ikan selikur jantan terindikasi ada 2 kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang sebesar 28.81 34

ISSN: 2086-8049

Kajian Analitik Stok….. Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

perikanan khususnya untuk ikan selikur. 2. Dari hasil penelitian, pada bulan September terjadi perubahan signifikan sebaran panjang total ikan selikur yang didaratkan di TPI Tanjungpinang (ukuran ikan didominasi ukuran kecil), perlu dikaji dengan periode waktu yang lebih lama dan dengan jumlah yang lebih besar untuk konfirmasi hasil tersebut, untuk mengetahui dinamika perubahan stok ikan selikur per tahun.

Journal of Fisheries Management27(3): 936-939. Satria A. 2002. Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut (Belajar dari PengalamanJepang). Prosiding Lokakarya Regional Pulau Sulawesi tentang ”DesentralisasiPengelolaan Wilayah Laut”. Lembaga Studi dan Pemberdayaan MasyarakatPesisr dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia dan PT. PustakaCesindo. Jakarta. Singh, W. 2009.Assessing the status of fish stock for management: thecollection and use of basic fisheries data and statistics.Fisheries \training Programme.99 p. Valdez, R.A. 2008. Animas River fisheries database synthesis and analysis. Final Report.SWCA, Environmental Consultants, Broomfield, Colorado. Ward, T.M and Rogers, P.J. 2007. Development and evaluation of egg-based stock assessment methods for blue mackerel Megalaspis cordyla in southern Australia.SARDI Aquatic Sciences.Australia .468

DAFTAR PUSTAKA Cadima, E.L.2003. Fish stock assessment manual. FAO Fisheries Technical Paper.No. 393. Rome, FAO. 2003. 161p. Dinas Kelautan dan Propinsi Kepulauan Riau.2011. Laporan Akhir : Studi Identifikasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau. DKP Kepri dan Pt. Maton Selaras Consultant.981 hal. Kolding, J. and Ubal Giordano, W. 2002. Lecture notes. Report of the AdriaMed Training Course on Fish Population Dynamics and Stock Assessment.FAO-MiPAF Scientific Cooperation to Support Responsible Fisheries in the Adriatic Sea.GCP/RER/010/ITA/TD08.AdriaMed Technical Documents, 8: 143 pp. Patrick, K et al. 2009. Guide to Fisheries Science and Stock Assesment. Atalantic State Marine Comission.NOOA-USA.74p. Pope,K..L and C.G. Kruse. 2007. Analysis and Interpretation of freshwater fisheries data. Pages 423-471 in C.S. Guy, and M.L. PBrown (editors).American Fisheries Society, Bethesda, MD. Richter, T.J. 2007.Development and evaluation of standardweight equations for bridge-lip suckers and large-scalesuckers.North American

35

Kajian kandungan bahan organik… Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

KAJIAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK TERHADAP KELIMPAHAN KEONG BAKAU (Telescopium telescopium) DI PERAIRAN TELUK RIAU TANJUNGPINANG Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

Jurusan Menejemen Sumberdaya Perairan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang E-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kandungan bahan organik terhadap kelimpahan keong bakau (Telescopium telescopium) di perairan Teluk Riau Kota Tanjungpinang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan analisis data menggunakan analisis regresi linier sederhana. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kelimpahan keong bakau di setiap stasiun penelitian yaitu 1 – 5 ind/m2. Kemudian kandungan organik substrat di setiap stasiun penelitian yaitu 17,75 – 62,70 %. Berdasarkan hasil analisis keong bakau dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95%, diperoleh nilai koefisien determinasi (R²) yaitu 0,655. Artinya pengaruh kandungan bahan organik terhadap kelimpahan keong bakau diseluruh stasiun sebesar 65,5% sementara 35,5% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diketahui. Kata kunci: kandungan bahan organik, keong bakau, kelimpahan.

ABSTRACT This research aims to know the influence of organic matter content on bakau snail abundance (Telescopium telescopium) in the town of Tanjung Pinang of Riau in Gulf waters. The method used in this research was a survey method and analysis of the data using simple linear regression. The results of this research shows that bakau shell slug abundance in every research station that is 1 - 5 ind/m2. Then the content of organic substrates in each research station that is 17,75% - 62.70%. Based on the results of a simple linear regression analysis among organic substances with an abundance of slugs belongkeng, adjust R2 value 0,655. It means the influence of the content of organic matter abundance of snails throughout the bakau shell station of 65,5% while the remaining 35.5% are influenced by other factors is not known. Keyword : organic content, bakau shell, abundance perairan Teluk Riau. Limbah yang dihasilkan ada yang besifat organik dan anorganik seperti dari kegiatan rumah tangga dan kegiatan industri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Melani et al., (2012), bahwa kondisi perairan Kota Tanjungpinang yang didalamnya termasuk perairan Teluk Riau tergolong buruk (poor) dengan nilai CWQI (Canadian Water

PENDAHULAN Perairan Teluk Riau merupakan salah satu perairan estuari yang terdapat di Kota Tanjungpinang. Perairan Teluk Riau disusun oleh pantai berlumpur, sebagian ditumbuhi oleh vegetasi mangrove dan sebagian juga masih ditumbuhi vegetasi lamun. Dari aktivitas-aktivitas yang ada akan menghasilkan limbah akan menggangu

36

Kajian kandungan bahan organik… Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

Quality Index) sebesar 30. Jika bahan organik melebihi ambang batas yang sewajarnya maka akan bersifat pencemar, meskipun bahan organik itu sendiri merupakan nutrient bagi biotabiota perairan. Kandungan bahan organik yang tinggi akan mempengaruhi tingkat keseimbangan perairan. Menurut Zulkifli et.al,, (2009) tingginya kandungan bahan organik akan mempengaruhi kelimpahan organisme, dimana terdapat organisme-organisme tertentu yang tahan terhadap tingginya kandungan bahan organik tersebut, sehingga dominansi oleh spesies tertentu dapat terjadi. Pada penelitian ini parameter kandungan bahan organik yang diukur adalah Total Organic Matter (TOM), TOM menggambarkan kandungan bahan organik total dalam suatu perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi, dan koloid (Hariyadi et. al., dalam Hamsiah, 2000). Keong bakau merupakan deposit feeder yang memanfaatkan bahan organik yang mengendap di substrat dasar perairan sebagai makanannya. Ketersediaan bahan organik akan memberikan variasi kelimpahan terhadap organisme yang ada. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang kajian kandungan bahan organik terhadap kelimpahan keong bakau di perairan Teluk Riau. Berkembangnya aktivitas masyarakat di perairan pesisir Teluk Riau dapat berpengaruh terhadap kualitas perairan karena limbah yang dihasilkan dari aktivitas masyarakat tersebut umumnya dibuang langsung ke perairan. Salah satu limbah yang akan berpengaruh adalah limbah organik yang mempengaruhi jumlah bahan organik perairan. Jika bahan organik melebihi ambang batas yang sewajarnya maka akan bersifat pencemar, meskipun bahan organik itu sendiri merupakan nutrien bagi biota-biota perairan termasuk siput belongkeng. Sehingga perlu diketahui seberapa besar pengaruh kandungan

bahan organik (TOM) terhadap keong bakau (Telescopium telescopium). Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kandungan bahan organik terhadap kelimpahan keong bakau (Telescopium telescopium) di perairan Teluk Riau Kota Tanjungpinang. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kelimpahan keong bakau (Telescopium telescopium) serta kandungan bahan organik di perairan Teluk Riau. Hipotesis Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah: Ho : Kandungan bahan organik (TOM) tidak berpengaruh terhadap kelimpahan keong bakau (Telescopium telescopium). Ha : Kandungan bahan organik (TOM) berpengaruh terhadap kelimpahan keong bakau (Telescopium telescopium). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2013 yang berlokasi di perairan Teluk Riau Kecamatan Tanjungpinang Kota Provinsi Kepulauan Riau. Sedangkan penelitian laboratorium dilakukan di laboratorium Universitas Maritim Raja Ali Haji dan Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Tanjungpinang. Alat Dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2 NO 1

37

Parameter Suhu

2

DO

3

pH

4

Kekeruhan

Alat dan Bahan Mulititest Model YK-2005WA Mulititest Model YK-2005WA Mulititest Model YK-2005WA Turbidimeter

Kajian kandungan bahan organik… Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

5 6 7

Arus Salinitas COD

8

TOM

9 10

pH Tanah Tipe Substrat

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

dilakukan dengan pertimbangan batas aktifitas yang ada di sekitar lokasi masih memberikan pengaruh terhadap perairan.

Current Drouge Salinometer Labu Erlemeyer, Gelas Ukur, pipet ukur, K2Cr2O2, H2SO4. Oven, Furnace, Desikator Soil tester Ayakan bertingkat

Perhitungan Kelimpahan Keong Bakau Kelimpahan populasi keong bakau dihitung dengan menggunakan rumus (Brower et al., 1989 dalam Pratama, 2013).

Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini dilakukan dengan metode survei, yaitu metode penelitian yang tidak melakukan perubahan (tidak ada perlakuan khusus) terhadap variabel yang akan diteliti dengan tujuan untuk memperoleh serta mencari keterangan secara faktual tentang objek yang diteliti. Sumber data dalam penelitian ini merupakan data hasil pengukuran parameter fisika kimia perairan di lapangan dan di laboratorium serta data hasil olahan berupa nilai kelimpahan dan analisis regresi sederhana. Data yang diperoleh tersebut ditabulasikan untuk selanjutnya dibahas secara deskriptif, kemudian untuk melihat pengaruh kandungan bahan organik terhadap kelimpahan siput belongkeng dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana dengan bantuan SPSS Ver. 17,00.

Dimana : Di = Jumlah individu per satuan luas (individu / m2) Ni = Jumlah individu dalam transek kuadrat (individu) A = Luas transek kuadrat (meter2) Analisis Pengaruh Kandungan Bahan Organik Terhadap Kelimpahan Keong Bakau Untuk melihat pengaruh kandungan bahan organik terhadap kelimpahan keong bakau dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana dengan bantuan sistem komputerisasi SPSS Ver.17.00. Analisis regresi linear sedehana bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel X (kandungan bahan organik) terhadap variabel Y (kelimpahan keong bakau). Secara matematis persamaan regresi dapat digambarkan sebagai berikut (Sudjana, 2002): y = a + bx Dimana: y = Kelimpahan Keong Bakau a = Koefisien b = Konstanta x = Kandungan Bahan Organik

Penentuan Stasiun Penentuan Lokasi stasiun menggunakan metode purposive sampling yaitu penentuan lokasi berdasarkan atas adanya tujuan tertentu dan sesuai dengan pertimbangan peneliti sendiri sehingga mewakili populasi (Arikunto, 2006). Stasiun pengamatan tersebut meliputi (Lampiran 2): Prosedur Pengambilan Sampel Keong Bakau Pengambilan sampel keong bakau dilakukan pada saat surut di setiap stasiun, dimana pada tiap stasiun terdapat 3 titik sub stasiun yang terdiri dari 3 transek. Penentuan transek dilakukan secara tegak lurus ke arah laut dengan mengguanakan plot yang berukuran 1 x 1 m pada setiap transek, dan jarak antar plot ± 5 m. Hal tersebut

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Organik Substrat (TOM) Berdasarkan hasil pengukuran nilai rata-rata kandungan total organik substrat pada setiap stasiun penelitian berkisar antara 17,75 – 62,70 %. Kandungan total organik tertinggi terdapat pada Stasiun 2 (Tanjung Unggat) yaitu sebesar 62,50 %, 38

Kajian kandungan bahan organik… Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

berkisar mulai dari 1 – 5 ind/m2. Kelimpahan tertinggi ditemukan pada Stasiun 2 (Tanjung Unggat) yaitu 5 ind/m2, kemudian pada Stasiun 4 (Kampung Bugis) dengan kelimpahan 4 ind/m2, sedangkan keliimpahan terendah terdapat pada Stasiun 1 (Senggarang) dan Stasiun 3 (Sei Carang) yaitu 1 ind/m2. Hal tersebut dikarenakan pada masing-masing stasiun memiliki kondisi habitat yang berbeda-beda sehingga perbedaan tersebut sedikit banyak mempengaruhi kehidupan keong bakau. Diduga perbedaan utama yang mempengaruhi keberadaan keong bakau pada setiap stasiun adalah kadar organik substrat yang merupakan tempat hidup dan mencari makan bagi keong bakau. Kelimpahan individu keong bakau pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.

TOM (%)

kemudian pada Stasiun 1 (Senggarang) yaitu sebesar 41,77 %, selanjutnya pada Stasiun 4 (Kampung Bugis) yaitu sebesar 40,77 % dan terendah pada Stasiun 3 (Sei Carang) yaitu sebesar 17,75 %. 80 60 40 20 0 Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun 1 2 3 4

Kelimpahan Ind/m2

Dapat dilihat pada gambar 4 bahwa nilai total organik terendah terletak pada Stasiun 3 (Sei Carang), sedangkan nilai tertinggi terletak pada Stasiun 2 (Tanjung Unggat). Tingginya kandungan organik substrat pada Stasiun 2 tersebut diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu letak stasiun ini yang berada di pemukiman penduduk dan berseberangan dengan eksosistem mangrove, sehingga mendapat banyak pasokan bahan organik yang terbawa oleh arus. Kemudian faktor berikutnya yang turut berpengaruh terhadap tingginya kandungan organik substrat pada Stasiun 2 adalah Substrat yang berupa lumpur (halus), menurut Wood (1987) dalam Siddik (2011), pada sedimen yang lebih halus memiliki kandungan organik yang lebih banyak dibandingkan dengan sedimen dengan butiran yang lebih kasar. Sedangkan kondisi sebaliknya terdapat pada Stasiun 3 (Sei Carang) yang memiliki kandungan total organik terendah (17,75%). Kondisi ini diduga dikarenakan tipe substrat yang dominan terdiri dari pasir dan butiran yang bertekstur/diameter kasar sehingga menyebabkan bahan organik yang berasal dari ekosistem mangrove disekitarnya lebih sulit untuk tinggal dan melekat pada substrat.

6 4 2 0

Kelimpahan yang lebih tinggi terdapat pada Stasiun 2 (Tanjung Unggat) dan Stasiun 4 (Kampung Bugis) dibanding dengan stasiun lainnya diduga karena stasiun ini memiliki substrat dengan kandungan bahan organik yang lebih besar di banding stasiun lainnya sehingga menjadikan ketersediaan bahan makanan pada stasiun tersebut melimpah. Kondisi yang demikian dikarenakan pada kedua Stasiun ini terdapat banyak pemukiman yang menyumbang kandungan bahan-bahan organik kedalam perairan, seperti sisasisa makanan, sampah organik dan limbah rumah tangga. Wood dalam Puspitasari (2012) menjelaskan bahwa bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi organisme benthik, sehingga jumlah dan laju pertambahannya dalam sedimen mempunyai pengaruh terhadap

Kelimpahan Keong Bakau Kelimpahan keong bakau di perairan Teluk Riau dapat dikatakan bervariasi pada setiap stasiun yaitu

39

Kajian kandungan bahan organik… Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

populasi organisme dasar. Substrat yang kaya akan bahan organik biasanya didukung oleh melimpahnya fauna deposit feeder seperti siput atau gastropoda (Odum, 1993). Kelimpahan pada Stasiun 1 (Senggarang) dan Stasiun 3 (Sei Carang) lebih rendah diduga dikarenakan populasi keong bakau pada Stasiun 1 telah banyak ditangkap/dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, karena pada Stasiun ini merupakan tempat bekarang/mencari siput dan sejenisnya bagi masyarakat setempat. Sedangkan pada Stasiun 3 (Sei Carang) memiliki kandungan bahan organik lebih rendah dibandingkan stasiun yang lain. Sehingga ketersediaan makanan bagi keong bakau pada stasiun ini lebih sedikit. Kemudian substrat pada Stasiun 3 ini tergolong pasir sehingga menyebabkan bahan organik yang berasal dari ekosistem mangrove disekitarnya lebih sulit untuk tinggal dan melekat pada substrat.

Stasiun Penelitian Paramet er Suhu Kekeruha n Arus DO pH Salinitas pH Tanah COD

Satuan o

C NTU cm/d mg/l 0 /00 -

mg/l

TOM

%

Substrat

-

1 30,1 4.23

2 31,2 5,44

3 31,1 6,79

4 30,5 3,38

7,23 7,43 7,2 32,8 6,2

7,16 7,1 7,9 31,2 5,7

8,3 6,8 7,3 29,9 6,8

7,03 7,03 7,6 31,4 6,3

42,3 9 41,2 6 Lum pur

50,8 8 62,7 0 Lum pur

26,5 8 17,7 5 Pasir

59,4 9 40,7 7 Lum pur

Hasil pengukuran kekeruhan diseluruh stasiun penelitian berkisar antara 3,38 – 6,79 NTU. Berdasarkan Kepmenlh No. 51 (2004) standar baku mutu kekeruhan untuk biota laut adalah < 5 NTU. Artinya kisaran nilai kekeruhan pada perairan Teluk Riau sudah tidak memenuhi standar baku mutu yaitu pada Stasiun 2 dan 3 (Tanjung Unggat dan Sei Carang) yang mencapai 5,44 dan 6,79 NTU. Sedangkan untuk Stasiun 1 dan 4 masih tergolong baik karena masih di bawah standar baku mutu. Tingginya nilai kekeruhan pada Stasiun 2 diduga dipengaruhi oleh aktivitas tambat kapal dan lalu lintas kapal pengangkut bauksit, sementara tingginya kekeruhan pada Stasiun 3 diduga dipengaruhi oleh kandungan bahan organik substratnya yang tinggi sehingga memudahkan partikel-partikelnya terangkat saat terjadinya pengadukan. Kecepatan arus yang diukur dalam penelitian ini adalah arus permukaan secara umum yaitu gerakan massa air laut kearah horizontal. Kecepatan arus disetiap stasiun penelitian berkisar antara 7,03 – 8,3 cm/dtk. Tingginya kecepatan arus pada Stasiun 3 (Sei Carang) dikarenakan stasiun ini berada pada selat, dengan kondisi demikian menyebabkan setiap arus yang mengalir akan bergabung searah dengan arah selat. Menurut

Karateristik Fisika Kimia Periaran dan Substrat Hasil pengukuran parameter fisika kimia perairan dan substrat pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa hasil pengukuran suhu diseluruh stasiun penelitian yaitu berkisar antara 30,1 – 31,2 0C. Nilai suhu diseluruh stasiun penelitian tidak berada dalam kisaran yang terlalu jauh, hal ini dikarenakan keadaan cuaca pada saat pengukuran suhu relatif sama sehingga suhu tidak mengalami perubahan atau fluktuasi. Secara umum kisaran suhu yang diperoleh selama penelitian merupakan kisaran yang masih dapat mendukung kehidupan makrozoobenthos. Hal ini disebabkan karena suhu yang diperoleh berada di bawah batas toleransi tertinggi untuk keseimbangan struktur populasi hewan benthos yaitu mendekati 320C (Adriman dalam Prihatiningsih, 2004).

40

Kajian kandungan bahan organik… Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

Wibisono (2005), Kecepatan arus yang paling besar biasanya berada pada perairan selat yang posisinya searah dengan arah arus. Hal ini diduga yang menyebabkan substrat pada Stasiun 3 ini tergolong pasir, sehingga secara tidak langsung menyebabkan kelimpahan siput belongkeng pada stasiun ini rendah yaitu sebesar 1 ind/m2. Kondisi sebaliknya pada Stasiun 1,2 dan 4 yang kecepatan arusnya yang lebih rendah dibanding Stasiun 3, memiliki substrat yang tergolong lumpur dan memiliki kelimpahan siput belongkeng yang lebih tinggi yaitu sebesar 1 – 5 ind/m2. Kecepatan arus dapat mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman makrozoobenthos, karena pengendapan sedimen atau komposisi substrat dasar yang menjadi salah satu suplai makanan untuk makrozoobenthos tergantung pada kecepatan arus (Puspitasari, 2012). Hasil pengukuran oksigen terlarut di setiap stasiun penelitian menunjukkan variasi yang tidak begitu besar yaitu berkisar antara 6,8 – 7,4 mg/l. Berdasarkan Kepmenlh No. 51 (2004), standar baku mutu oksigen terlarut untuk kehidupan biota laut adalah > 5 mg/l. Effendi (2003) berpendapat bahwa perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen yang tidak kurang dari 5 mg/l. Sehingga dapat dikatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut di perairan Teluk Riau tergolong normal dan baik bagi kehidupan siput belongkeng. Konsentrasi oksigen terlarut tertinggi terletak pada Stasiun 1 (Senggarang) yaitu 7,4 mg/l. Stasiun ini dikarenakan nilai kekeruhannya termasuk masih dibawah baku mutu yaitu 4,23 NTU. Konsentrasi okesigen terlarut terendah terletak pada Stasiun 3 (Sei Carang) yaitu 6,8 mg/l. Stasiun ini dicirikan dengan tingkat kekeruhan tertinggi yaitu 6,23 NTU, posisi yang cendrung lebih tertutup dan terdapat aktivitas lalu lintas kapal pengangkut bauksit serta pelabuhan tambat kapal.

Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) disetiap stasiun penelitian berkisar antara 6,8 – 7,9. Nilai pH terendah terdapat pada Stasiun 1 (Senggarang) dan nilai tertinggi terdapat pada Stasiun 2 (Tanjung Unggat). Berdasarkan Kepmenlh No. 51 (2004), standar baku mutu nilai pH yang mendukung untuk kehidupan biota laut adalah berkisar antara 7 – 8,5. Sebagian besar biota akuatik sangat sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH antara 7 – 8,5 (Effendi, 2003). Dengan demikian dapat dikatakan nilai pH pada perairan Teluk Riau di semua stasiun penelitian tergolong baik untuk kehidupan biota laut termasuk siput belongkeng. Sedangkan hasil pengukuran pH tanah disetiap stasiun penelitian berkisar antara 5,7 – 6,8. Nilai pH tanah tertinggi terdapat pada Stasiun 3 (Sei Carang) yaitu 6,8, dan nilai terendah terdapat pada Stasiun 2 (Tanjung Unggat) yaitu 5,7. Tingginya nilai pH pada Stasiun 3 diduga karena rendahnya kandungan organik substrat. Hal tersebut menurut Rinawati et al., dalam Puspitasari (2012) bahwa nilai pH yang normal mengindikasikan jumlah bahan organik sedikit. Semakin banyak jumlah bahan organik yang terlarut maka akan mengakibatkan nilai pH menurun karena konsentrasi CO2 semakin meningkat akibat aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik. Hasil pengukuran salinitas disetiap stasiun penelitian berkisar antara 30,8 – 32,1 0/00. Salinitas tertinggi terdapat pada Stasiun 1 (Senggarang) sedangkan nilai terendah terdapat pada Stasiun 3 (Sei Carang). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa nilai salinitas pada perairan Teluk Riau cukup bervariasi, hal ini di karenakan pada setiap stasiun penelitian memiliki karakteristik yang cukup berbada. Rendahnya nilai salinitas pada Stasiun 3 (Sei Carang) yang tergolong payau disebabkan karena lokasi stasiun ini berada pada muara laut Tanjungpinang dan aliran sungai Sei Carang, sehingga terus menerima masukan masa air tawar

41

Kajian kandungan bahan organik… Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

yang cukup banyak. Berbeda dengan Stasiun 3, stasiun lainnya cendrung memiliki salinitas yang lebih tinggi, hal ini dikarenakan tidak adanya masukan air tawar yang cukup berarti yang mampu mempengaruhi salinitas. Selain itu juga stasiun-stasiun ini cendrung berada pada kondisi yang lebih terbuka dan berhadapan langsung dengan laut terbuka sehingga pengaruh air laut dengan salinitas yang tinggi lebih dominan. Menurut Nontji (2002), sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai. Effendi (2003) mengungkapkan bahwa COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Berdasarkan hasil pengukuran nilai COD pada setiap stasiun penelitian berkisar antara 26,58 – 59,49 mg/l. Nilai COD terendah terdapat pada Stasiun 3 (Sei Carang) yaitu 26,58 mg/l, hal ini disebabkan karena pada stasiun ini diduga dikarenakan sedikitnya limbahlimbah domestik yang masuk ke dalam perairan, selanjutnya nilai tertinggi terdapat pada Stasiun 4 (Kampung Bugis) yaitu 59,49 mg/l. Hal ini diduga disebabkan banyaknya limbah-limbah domestik yang berasal dari pemukiman yang berada disekitarnya.

1. Konstanta = 1,983, artinya apabila nilai kandungan bahan organik tetap, maka kelimpahan keong bakau sebesar 1,983. 2. Koefisien kandungan bahan organik (X) bernilai positif yaitu 0,108. Artinya apabila terjadi peningkatan kandungan bahan organik sebasar 1%, maka kelimpahan akan bertambah sebesar 0,108. Hasil analisis regresi linier sederhana antara kandungan bahan organik dengan kelimpahan keong bakau dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95%, diperoleh nilai koefisien determinasi (R²) di yaitu 0,655. Artinya pengaruh kandungan bahan organik terhadap kelimpahan keong bakau diseluruh stasiun sebesar 65,5% sementara 35,5% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diketahui. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa variabel X (kandungan bahan organik) mampu menjelaskan variabel Y (kelimpahan keong bakau). 8

Kelimpahan Individu…

6 4 2 0

-2 0

50

100

Kandungan Bahan Organik

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa hubungan antara kandungan bahan organik dengan kelimpahan keong bakau pada setiap stasiun penelitian ini sedang. Hal ini menggambarkan bahwa tingginya kandungan bahan organik sedimen seimbang dengan kelimpahan keong bakau yang ada.

Pengaruh Kandungan Bahan Organik Terhadap Kelimpahan Keong Bakau Dalam menganalisis pengaruh kandungan bahan organik (x) terhadap kelimpahan keong bakau (y) dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana. Adapun persamaan regresi yang terbentuk berdasarkan hasil perhitungan analisis regresi linear sederhana adalah sebagai berikut. Y = 1,983 + 0,108 X Berdasarkan persamaan regresi yang dihasilkan, dapat diketahui bahawa :

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data terhadap populasi keong bakau (Telescopium telescopium) di perairan Teluk Riau, dapat disimpulkan bahwa:

42

Kajian kandungan bahan organik… Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

1. Kelimpahan keong bakau disetiap stasiun penelitian yaitu 1 – 5 ind/m2. Di mana kelimpahan tertinggi terdapat pada Stasiun 2 (Tanjung Unggat) yaitu 5 ind/m2, sedangkan kelimpahan terendah terdapat pada Stasiun 3 (Sei Carang) yaitu 1 ind/m2. Kemudian kandungan organik substrat disetiap stasiun penelitian yaitu 17,75 – 62,70 %. Di mana kandungan organik substrat tertinggi terdapat pada Stasiun 2 (Tanjung Unggat) yaitu 62,50 %, sedangkan kandungan organik substrat terendah terdapat pada Stasiun 3 (Sei Carang) yaitu 17,75 %. 2. Berdasarkan hasil analisis regresi linier sederhana antara kandungan bahan organik dengan kelimpahan keong bakau dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95%, diperoleh nilai koefisien determinasi (R²) yaitu 0,655. Artinya pengaruh kandungan bahan organik terhadap kelimpahan keong bakau diseluruh stasiun sebesar 65,5% sementara 35,5% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diketahui.

moral dan material. Tidak lupa kepada teman-teman MSP 09 atas kerjasama, motivasi dan kepeduliannya selama ini serta semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarata. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Hadinafta, R. 2009. Analisis Kebutuhan Oksigen Untuk Dekomposisi Bahan Organik Di Lapisan Dasar PerairanEstuari Sungai Cisadane, Tangerang. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hamsiah, 2000. Peranan Keong Bakau (Telescopium telescopium) Sebagai Biofilter Limbah Budidaya Tambak Udang Intensif. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Houbrick R. S. 1991. Systematic review and functional morphology of the mangrove snails terebralia and telescopium (potamididae; prosobranchia). Malacologia 33 (12): 289338. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51. 2004. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut. Jakarta. Melani, W.R., et.al., 2012. Indeks Kualitas Lingkungan Perairan Pesisir Kecamatan Tanjungpinang Kota Kepulauan Riau. Laporan Akhir Penelitian. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjungpinang.

Saran Penelitian ini hanya mengkaji kandungan total organik substrat secara keseluruhan, diharapkan dilakukan penelitian lanjutan dengan kandungan bahan organik yang lebih spesifik seperti C-organik dan N-organik. Serta perlu dilakukan penelitian dalam jangka waktu yang lebih lama. UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ungkapan terima kasih kepada Ibu Winny Retna Melani, SP, M.Sc sebagai Pembimbing I dan Bapak Andi Zulfikar, S.Pi, MP sebagai Pembimbing II, atas segala kritik, saran, dan masukkannya. Tak lupa pula kepada Ibu Diana Azizah, S.Pi, M.Si atas segala bimbingan dan motivasinya. Ungkapan terima kasih kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, serta keluarga besar yang telah memberikan do‟a, dukungan

43

Kajian kandungan bahan organik… Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

Nontji,

A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan Oleh T. Samingan. Gadjah Mada Universty Press. Yogyakarta. 574 hal. Pratama, R. R. 2013. Analisis Tingkat Kepadatan Dan Pola Sebaran SIput Laut Gonggong Di Perairan Pesisir Pulau Dompak. Skripsi Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjungpinang. Prihatiningsih, 2004. Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Teluk Jakarta. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Puspitasari, Niken. 2012. Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Perairan Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Skripsi Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjungpinang. Rahmawati, Gita. 2013. Ekologi Keong Bakau (Telescopium telescopium) Pada Ekosistem Mangrove Pantai Mayangan Jawa Barat. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siddik J. 2011. Sebaran Spasial Dan Potensi Reproduksi Populasi Siput laut gonggong (Strombus Turturela) di Teluk Klabat Bangka – Belitung. Tesis. Sekolah Pasaca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Standar Nasional Indonesia No. 062412, 1991. Metode Pengambilan Contoh Uji Kualitas Air. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta. Sudjana, 2002. Metode Statistika. Edisi Keenam. Tarsito. Bandung. Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan, PT. Grasindo, Jakarta.

www.marinespecies.org Klasifikasi Keong Bakau. Diakses pada 31 Januari 2014. Zulkifli, H., Z. Hanafiah., D. A. Puspitawati. 2009. Struktur dan Fungsi Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Sungai Musi Kota Palembang: Telaah Indikator Pencemaran Air. Jurusan FMIPA. Universitas Sriwijaya.

44

Valuasi ekonomi hutan mangrove …. Linda Wati Zen, Fitria Ulfa

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

VALUASI EKONOMI HUTAN MANGROVE DI PULAU DOMPAK KOTA TANJUNGPINANG PROPINSI KEPULAUAN RIAU Linda Waty Zen dan Fitria Ulfah Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang

E-mail: [email protected] ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat dan nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak, mengkuantifikasi total nilai pemanfaatan (use value) dan nilai bukan pemanfaatan (non-use value) ekosistem hutan mangrove, serta merumuskan strategi pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan aspek fungsi dan peran mangrove. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode kuantitif deskriptif serta penjelasan kualitatif untuk menggambarkan tentang karakteristik ekosistem hutan mangrove. Analisis kuantitatif berdasarkan data angka menjelaskan tentang Nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove. Hasil penelitian menemukan bahwa manfaat ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak terdiri dari manfaat langsung berupa hasil hutan (kayu log) , penangkapan ikan, kepiting, udang dan siput laut (gonggong) , manfaat tidak langsung berupa penahan abrasi dan manfaat pilihan berupa nilai keanekaragaman hayati. Nilai manfaat ekonomi total hutan mangrove di Pulau Dompak adalah sebesar Rp 88.257.253.176,20 per tahun atau sebesar Rp 169.725.486,88 per hektar per tahun yang terdiri nilai manfaat langsung sebesar Rp 53,131,453,176.20 per tahun ( 60,20 %).Nilai manfaat tidak langsung diperoleh sebesar Rp 35,040,000,000.00 ( 39,70 %) dan nilai manfaat pilihan sebesar Rp 85,800,000.00 (0,10 %). Kata kunci : hutan mangrove, Pulau Dompak, manfaat, nilai ekonomi ABSTRACT The purpose of this study was to determine the benefits and economic value of mangrove forest ecosystems on Dompak island, quantifies the total value of the utilization (use value) and the value is not use (non-use value) of mangrove forest ecosystems, as well as formulating strategies of sustainable management of mangrove forests while attention to aspects of the function and role of mangroves. The method used in this research is descriptive quantitative method and qualitative explanations to describe the characteristics of mangrove forest ecosystems. Quantitative analysis based on the data rate describes the economic value of mangrove forest ecosystems. The study found that the benefits of the mangrove forest ecosystem on the Dompak island consists of direct benefits such as forest products (wood logs), catching fish, crabs, shrimp and sea slugs (“gonggong”), indirect benefits in the form of retaining abrasion and benefits of options such as biodiversity values. Total value of the economic benefits of mangrove forests in densely packed island is Rp 88,257,253,176.20 per year or Rp 169,725,486.88 per hectare per year consisting of direct benefit value of Rp 53,131,453,176.20 per year (60.20%). Indirect benefits derived value of Rp 35,040,000,000.00 (39.70%) and the option value of benefits Rp 85,800,000.00 (0.10%). Keywords : mangrove forest, Dompak island, benefit, economic value.

45

Valuasi ekonomi hutan mangrove …. Linda Wati Zen, Fitria Ulfa

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

mangrove. Oleh sebab itu, begitu mudah mereka mengkonversi ekosistem alamiah ( hutan mangrove) menjadi peruntukan lain ( Dahuri, 2003). Penilaian ekonomi dari ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak Kota Tanjungpinang perlu dilakukan sehingga dapat memberikan gambaran tentang nilai ekonomi ekosistem mangrove di Pulau Dompak tersebut, serta dapat dirumuskan strategi pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan aspek fungsi dan peran mangrove.

PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir dan laut yang sangat bermanfaat dalam mendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan lautan. Fungsi ekologis hutan mangrove diantaranya adalah penyedia makanan bagi biota perairan, tempat pemijahan (spawning ground) bagi bermacam-macam biota, pelindung terhadap abrasi , angin taufan dan tsunami, penyerab limbah, pencegah intrusi air laut dan sebagainya.Fungsi ekonomis hutan mangrove diantaranya sebagai penyedia kayu bakar, daun-daun untuk obat, bahan bakar, alat penangkap ikan, bahan baku kertas dan sebagainya. Pulau Dompak merupakan salah satu kategori pulau kecil di Propinsi Kepulauan Riau, yang terletak disebelah Selatan Kota Tanjungpinang. Pulau Dompak memiliki potensi sumberdaya mangrove yang cukup luas, dimana dari seluruh total ekosistem mangrove di Kota Tanjungpinang sebanyak 27,6 persen terdapat di Pulau Dompak. Kegiatan pembangunan yang cukup pesat di Kota Tanjungpinang menjadikan pulau Dompak sebagai salah satu kawasan pengembangan pusat kota. Pulau Dompak dengan luas lebih kurang 957 ha telah ditetapkan menjadi daerah perkantoran dan pusat pemerintahan daerah Propinsi Kepulaun Riau. Beragam aktifitas pembangunan di kawasan pulau Dompak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang dapat merusak lingkungan kawasan Perairan di Pulau Dompak. Sampai saat ini, kebanyakan manusia khususnya para perencana dan pengambil keputusan menghargai nilai manfaat ekosistem alamiah hanya dari segi manfaat langsung (direct-use value), padahal Nilai Ekonomi Total suatu ekosistem alamiah terdiri dari nilai penggunaan (use-value) dan nilai bukan penggunaan (non-use value), sehingga mereka memberikan penilaian yang rendah terhadap keberadaan ekosistem

Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1.

2.

3.

Mengetahui manfaat dan nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak Mengkuantifikasi total nilai pemanfaatan (use value) dan nilai bukan pemanfaatan (non-use value) ekosistem hutan mangrove. Merumuskan strategi pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan aspek fungsi dan peran mangrove.

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi tentang kondisi dan potensi sumberdaya mangrove pulau Dompak sehingga bermanfaat bagi pemerintah dalam merumuskan strategi kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Pulau Dompak Kota Tanjungpinang Propinsi Kepulaun Riau. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi dari penelitian ini adalah kawasan pulau Dompak yang terletak di daerah administrasi Kota Tanjungpinang Propinsi Kepulauan Riau. Penelitian

46

Valuasi ekonomi hutan mangrove …. Linda Wati Zen, Fitria Ulfa

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2013. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. .Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara. Data tersebut meliputi data variabel valuasi ekonomi hutan mangrove, profil masyarakat, pandangan responden terhadap hutan mangrove, interaksi masyarakat dengan hutan mangrove. Sedangkan d Data sekunder diperoleh dari Kantor Kelurahan Dompak, mencakup monografi meliputi data penduduk (KK, jumlah jiwa, dll). Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui wawancara, observasi lapangan, yang meliputi : 1. Wawancara langsung dengan responden tentang masalah yang diteliti dengan menggunakan pedoman wawancara berupa daftar pertanyaan 2. Observasi : melakukan pengamatan secara langsung pada obyek yang diteliti, yaitu pengamatan secara langsung tentang kondisi ekologi hutan mangrove, serta tingkat pemanfaatan langsung terhadap hutan mangrove.

untuk menggambarkan tentang karakteristik ekosistem hutan mangrove. Analisis kuantitatif berdasarkan data angka menjelaskan tentang Nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove. Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove Penilaian ekonomi sumberdaya mangrove dilakukan dengan menggunakan tahap sebagai berikut: (Bakosurtanal, 2005 & Bann,1998 ) : 1. Identifikasi manfaat dan fungsifungsi sumberdaya hutan mangrove 2. Kuantifikasi besarnya dampak 3. Dampak kuantitatif dinyatakan dalam nilai uang (rupiah) 4. Analisis ekonomi. 

Identifikasi dan Fungsi Sumberdaya Hutan Mangrove Nilai ekonomi sumberdaya mangrove dibagi menjadi nilai penggunaan (usevalue) dan nilai non penggunaan (nonuse value). Nilai penggunaan dibagi menjadi dua yaitu nilai langsung (directuse value) dan nilai tidak langsung ( indirect- use value). Sedangkan nilai non-penggunaan dibagi menjadi tiga, yang meliputi nilai manfaat langsung (option value), nilai manfaat keberadaan (existence value) dan nilai warisan (bequest value) (Fauzi, 2004). Nilai manfaat langsung (direct-use value) Nilai manfaat langsung adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan secara langsung dari suatu sumberdaya. Manfaat langsung diartikan sebagai manfaat yang dapat dikonsumsi.

Metode Pemilihan Responden Metode pemilihan sampel/ responden yang digunakan adalah purposive sampling,yaitu metode pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu atau sengaja, dimana yang menjadi sasaran responden penelitian adalah masyarakat yang bermukim di Pulau Dompak yang terdiri dari 193 KK. Responden yang dipilih adalah masyarakat yang sering berasosiasi dengan mangrove yang tinggal di pesisir Pulau Dompak. Jumlah responden penelitian ini adalah sebanyak 23 orang.

Nilai manfaat langsung hutan mangrove dihitung dengan persamaan : DUV = ∑ DUV i Keterangan : DUV = Direct Use Value DUV 1 = manfaat kayu ( Rp/th) DUV2 = manfaat penangkapan ikan (Rp/th) DUV3 = manfaat penangkapan udang (Rp/th) DUV4 = manfaat penangkapan kepiting (Rp/th) DUV5= manfaat penangkapan siput laut (gonggong) (Rp/th)

Analisis Data Metode Penelitian yang digunakan adalah Metode kuantitif deskriptif serta penjelasan kualitatif

47

Valuasi ekonomi hutan mangrove …. Linda Wati Zen, Fitria Ulfa

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

1) Nilai manfaat tidak langsung (indirect-use value) Manfaat tidak langsung adalah manfaat dari suatu sumberdaya (mangrove) yang dimanfaatkan secara tidak langsung oleh masyarakat. Manfaat tidak langsung dapat berupa manfaat fisik yaitu penahan abrasi air laut. Penilaian hutan mangrove secara fisik dapat diestimasi dengan fungsi hutan mangrove sebagai penahan abrasi. (Rp/th) 2) Nilai manfaat pilihan (option value) Manfaat pilihan yaitu nilai ekonomi yang diperoleh dari potensi pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem di masa datang yaitu berupa nilai Biodiversity ( Rp/th).

yang tidak dijual dipasar, contohnya nilai keberadaan. 4. Nilai Manfaat Ekonomi Total Teknik perhitungan untuk menilai ekonomi suatu sumberdaya, mengacu pada metode valuasi ekonomi atau Total Economi Value (TEV) (Dahuri, 2003). Nilai manfaat ekonomi total dari hutan mangrove merupakan penjumlahan dari seluruh nilai ekonomi dari manfaat hutan mangrove yang telah diidentifikasi dan dikuantifikasikan. Secara matematis dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut ; TEV = DUV + IUV + OV Keterangan : TEV = Total Economi Value ( Total Nilai Ekonomi) DUV = Direct Use Value ( Nilai Penggunaan langsung) IUV= Indirect-Use Value (Nilai Penggunaan Tidak langsung) OV = Option Value ( Nilai pilihan)

Menurut Ruitenbeek ( 1992), hutan mangrove Indonesia mempunyai nilai biodiversity sebesar US $ 1.500 per km2. Nilai manfaat pilihan ini diperoleh dengan persamaan : OV = US $ 15 per ha x luas hutan mangrove Keterangan :

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Daerah Penelitian Letak Administratif Kependudukan Jumlah penduduk kelurahan Dompak terbilang cukup sedikit yaitu sekitar 2.679 jiwa, terdiri dari penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 1.395 jiwa dan penduduk yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 1.284 jiwa sehingga kelurahan Dompak hanya memiliki 13 buah Rukun Tetangga dan 4 buah Rukun Warga. Pulau Dompak yang sebagian besar berupa hutan hanya dihuni sejumlah kecil penduduk. Pulau Dompak didiami oleh 193 KK. .(Pemko Tanjungpinang, 2011).

OV = Option Value (nilai pilihan)

 Kuantifikasi Manfaat Ke dalam Nilai Uang Setelah seluruh manfaat dapat diidentifikasi, maka selanjutnya adalah mengkuantifikasi seluruh manfaat ke dalam nilai uang dengan beberapa nilai, yaitu : 1. Nilai pasar Pendekatan ini digunakan untuk menghitung nilai ekonomi dari komoditas-komoditas yang langsung dapat dimanfaatkan dari sumberday mangrove 2. Harga tidak langsung Pendekatan ini digunakan untuk menilai manfaat tidak langsung dari hutan mangrove. 3. Contingent Value Method (CVM) Pendekatan ini digunakan untuk menghitung nilai dari suatu sumberdaya

Kondisi Umum Perairan Pulau Dompak Kondisi perairan Pulau Dompak mampu menunjang kehidupan hutan mangrove. Berdasarkan hasil penelitian Lestari, et al (2012) diketahui bahwa suhu perairan di lokasi penelitian rata-rata 29 °C. Secara umum kisaran suhu yang diperoleh merupakan kisaran yang masih dapat mendukung kehidupan 48

Valuasi ekonomi hutan mangrove …. Linda Wati Zen, Fitria Ulfa

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

mangrove (baku mutu suhu sebesar 28 – 32 °C). Sedangkan nilai kekeruhan di Perairan Pulau Dompak cukup tinggi jika dibandingkan dengan nilai ambang baku mutu untuk kehidupan biota laut menurut KepMenLH Nomor 51 Tahun 2004 (< 5 NTU). Kecepatan arus pada lingkungan perairan kawasan mangrove di Pulau Dompak berkisar antara 0,104 – 0,13 m/s. Jika hutan mangrove masih banyak maka arus perairan semakin kecil sampai ke pantai, sehingga keberadaan hutan mangrove harus selalu dijaga kelestariannya supaya tidak terjadi abrasi. Nilai salinitas berkisar antara 30 – 30,5 ‰. Menurut baku mutu (KEPMENLH, 2004) bahwa mangrove dapat berkembang secara optimum pada salinitas sampai dengan 34‰. Oksigen terlarut (DO) di perairan Pulau Dompak berkisar antara 6,77 – 8,99 mg/l. Nilai ini masih dalam kisaran baku mutu menurut MENLH, 2004 ( > 5 mg/l). Kadar pH di lokasi penelitian berkisar antara 7,6 – 7,7. Nilai pH pada lokasi penelitian berada pada nilai optimum baku mutu menurut MENLH, 2004 (78,5). Hal ini berarti bahwa pH di lokasi penelitian berada pada kondisi yang sehingga masih baik untuk menunjang kehidupan hutan mangrove.

dihitung dengan menggunakan Metode Meyer ( metode factor kulit kayu) (FAO 1994 dalam Kustanti, 2011). Dari hasil survey dilokasi penelitian di dapatkan rata-rata diameter pohon Rhizopora sp adalah 23,73 cm maka berdasarkan metode Meyer volume total (termasuk kulit kayu) Rhizopora sp dengan rata-rata diameter 25 cm adalah 0,4989 ( FAO, 1994 dalam Kustanti, 2011). Nilai manfaat kayu mongrove di Pulau Dompak dapat dilihat pada table dibawah ini. Tabel 1. Nilai Manfaat Hutan Mangrove sebagai Kayu Log Biaya/harga

Satuan

Harga kayu mangrove Biaya Operasional Laba Kotor Produksi kayu/ha Luas hutan total Produksi total Nilai Kayu

Rp/m3

150,000.00

Rp/m3

55,000.00

Rp/m3 m3

Nilai

95,000.00 536.32

ha

520.00

m3 Rp

27885.10 26,494,084,500.00

Sumber : data primer setelah diolah Dari table diatas terlihat bahwa dengan memperhitungkan biaya operational untuk penebangan dan pengangkutan sebesar Rp 55.000/m3 maka didapatkan nilai ekonomi hutan mangrove di Pulau Dompak sebagai produsen kayu log adalah Rp. 26,494,084,500.00.  Nilai Ikan Manfaat langsung yang dapat dikonsumi adalah manfaat penangkapan ikan. Penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan peralatan yang tergolong sederhana seperti pancing dan jarring. Penangkapan ini juga dilakukan dengan menggunakan armada penangkapan yang sederhana berupa perahu berukuran kecil/sampan yang dilengkapi dengan mesin kapal berkuatan kecil, sehingga jarak penangkapan (fishing ground) nya pun terbatas di sekitar perairan pulau Dompak.

Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove  Nilai Manfaat Langsung Hutan Mangrove Berdasarkan hasil identifikasi di lokasi penelitian, manfaat langsung dari ekosistem hutan mangrove yang dapat dihitung nilainya adalah potensi kayu (nilai kayu log) ,manfaat penangkapan hasil perikanan; terdiri dari ikan, kepiting, udang dan gonggong (siput laut).  Nilai Kayu Log Hutan mangrove di Pulau Dompak memiliki luas mencapai 520 hektar. Nilai manfaat kayu log yang dihasilkan hutan mangrove dihitung berdasarkan volume kayu mangrove per ha tahun dikali dengan harga kayu mangrove. Untuk menentukan volume kayu total

49

Valuasi ekonomi hutan mangrove …. Linda Wati Zen, Fitria Ulfa

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

Nilai manfaat bersih penangkapan ikan mencapai Rp. 5,956,986,956,52. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini.

masyarakat pulau Dompak yang melakukan penangkapan udang, Masyarakat Pulau Dompak menggunakan jaring untuk menangkap udang di sekitar hutan mangrove Pulau Dompak. Hasil tangkapan untuk setiap kali penangkapan adalah 3,96 kg, sedangkan frekwensi penangkapan per tahun adalah 274,43 trip. Hasil perhitungan nilai manfaat langsung dari hasil penangkapan udang yang dilakukan oleh nelayan di P,Dompak disajikan pada table dibawah ini. Tabel 4.Nilai Manfaat Langsung Hasil Penangkapan Udang

Tabel 2. Nilai Manfaat Langsung Hasil Penangkapan Ikan Biaya/harga

Satuan

Nilai

Tangkapan Ikan

Kg/trip

1,584.13

Harga Jual Ikan

Rp/kg

25,217.39

Biaya Operasional

Rp/trip

11,086.96

Frekwensi penangkapan Nilai manfaat ikan

Trip/thn

325.00

Rp/thn

5,956,986,956.5 2

Sumber : Data primer setelah diolah  Nilai Kepiting Manfaat langsung yang dapat dikonsumi dari ekosistem mangrove di Pulau Dompak selain daripada ikan adalah penangkapan kepiting bakau (Scylla sp). Kepiting bakau yang hidup di ekosistem mangrove ditangkap dengan menggunakan peralatan perangkap (bubu). Meskipun hasil tangkapan tidak banyak untuk setiap kali melakukan penangkapan, tetapi nelayan setempat setiap hari melakukan penangkapan kepiting.

Satuan

Nilai

Tangkapan kepiting

Kg/trip

859.30

Harga Jual kepiting

Rp/kg

Biaya Operasional

Rp/trip

Frekwensi penangkapan Nilai manfaat kepiting

Trip/thn

35.000.0 0 7,134,78 2.61 288.52

Rp/thn

Satuan

Nilai

Tangkapan udang

Kg/trip

1,085.74

Harga Jual udang

Rp/kg

62,173,91

Biaya Operasional

Rp/trip

6,540,521.74

Frekwensi penangkapan Nilai manfaat udang

Trip/thn

274,43

Rp/thn

11,766,076,809. 07

Sumber : Data primer setelah diolah Hasil perhitungan manfaat langsung penangkapan udang diperoleh nilai manfaat langsung penangkapan udang di Pulau Dompak adalah sebesar Rp. 11.766.076.809 per tahun.  Nilai Siput Laut (Gonggong) Siput laut (gonggong) Strombus sp merupakan salah satu biota khas Kepulauan Riau. Gonggong termasuk salah satu jenis moluska Gastropoda yang digemari oleh masyarakat untuk dikonsumsi baik oleh masyarakat setempat maupun wisatawan. Siput ini ditangkap mulai dari yang berukuran kecil sampai yang berukuran besar. Siput laut ( Gonggong) Strombus sp hidup pada substrat lumpur dan berpasir. Pulau Dompak merupakan salah satu kawasan di Tanjungpinang yang merupakan habitat bagi siput laut Gonggong. Di Pulau ini sekaligus menjadi salah satu daerah penangkapan siput laut Gonggong bagi masyarakat sekitarnya. Besarnya nilai manfaat langsung yang dihasilkan dari penangkapan siput laut (gonggong) di ekosistem hutan

Tabel 3. Nilai Manfaat Langsung Hasil Penangkapan Kepiting Biaya/harga

Biaya/harga

5,666,87 0,128.00

Sumber : Data primer setelah diolah Dari hasil perhitungan manfaat hasil penangkapan kepiting di peroleh nilai manfaat langsung hail penangkapan kepiting adalah sebesar Rp 5,666,870,128 per tahun.  Nilai Udang Udang (Peneus sp) merupakan biota perairan disekitar ekosistim hutan mangrove yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga ditemukan banyak

50

Valuasi ekonomi hutan mangrove …. Linda Wati Zen, Fitria Ulfa

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

mangrove Pulau Dompak dapat dilihat pada table berikut. Tabel 5. Nilai Manfaat Langsung hasil penangkapan Siput Laut (Gonggong) Biaya/harga Tangkapan Gonggong Harga Jual Gonggong Biaya Operasional Frekwensi penangkapan Nilai manfaat Gonggong

Satuan

berdasarkan jenis-jenis manfaatnya serta persentase masing-masing nilai manfaat tersebut terhadap total manfaat dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Tabel 6. Nilai Manfaat Total Hutan Mangrove di Pulau Dompak

Nilai

Jenis Manfaat

ekor /trip

1,385.22

Rp/100 ekor Rp/trip

28,043.48 3,365,217.39



Trip/thn

336.52



Rp/thn

3,247,434,782.61

Nilai Manfaat (Rp/tahun)

Persen tase (%)

Manfaat Langsung

Sumber : Data primer setelah diolah Manfaat penangkapan siput laut (gonggong) diperoleh sebesar Rp 3,247,434,782.61 per tahun Nilai Manfaat Total Nilai manfaat total dari hutan mangrove merupakan penjumlahan dari seluruh manfaat hutan mangrove yang telah diidentifikasi dan dikuantifikasi ke dalam bentuk nilai uang (rupiah). Jenis manfaat hutan mangrove Pulau Dompak terdiri dari manfaat langsung yaitu produksi kayu, penangkapan ikan, penangkapan kepiting, penangkapan udang, dan penangkapan siput laut (gonggong) , manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi dan manfaat pilihan. Nilai fungsi dan manfaat tersebut memberikan gambaran keseluruhan dari fungi yang dimiliki oleh kawasan hutan Pulau Dompak. Nilai manfaat (ekonomi) total hutan mangrove Pulau Dompak adalah sebesar Rp 88,262,330,976.20 per tahun atau sebesar Rp 169,735,251.88 per hektar per tahun. Dari nilai ekonomi total tersebut dapat diketahui bahwa manfaat langsung memiliki nilai yang paling besar dibandingkan dengan manfaat lainnya yaitu sebesar Rp 53,131,453,176.20 per tahun ( 60,20 %). Nilai manfaat tidak langsung diperoleh sebesar Rp 35,040,000,000.00 ( 39,70 %) sedangkan nilai manfaat pilihan diperoleh sebesar Rp 90,877,800.00 (0,10 %). Untuk lebih jelasnya tentang besarnya nilai seluruh manfaat hutan mangrove

Produksi Kayu

26,494,084,500.00

30.02

Penangkapan Ikan  Penangkapan Kepiting  Penangkapan Udang  Penangkapan Siput Laut (gonggong) Manfaat Tidak Langsung Manfaat Pilihan Nilai Ekonomi Total

5,956,986,956.52

6.75

5,666,870,128.00

6.42

11,766,076,809.07

13.33

3,247,434,782.61

3.68

35,040,000,000.00

39.70

90,877,800.00 88,262,330,976.20

0.10 100.00

Sumber : Data primer setelah diolah KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove di Pulau Dompak Kota Tanjungpinang dapat disimpulkan : 1. Manfaat ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak terdiri dari manfaat langsung berupa hasil hutan (kayu log) , penangkapan ikan, kepiting, udang dan siput laut (gonggong) , manfaat tidak langsung berupa penahan abrasi dan manfaat pilihan berupa nilai keanekaragaman hayati. 2. Nilai manfaat ekonomi total hutan mangrove di Pulau Dompak adalah sebesar Rp 88.257.253.176,20 per tahun atau sebesar Rp 169.725.486,88 per hektar per tahun, terdiri nilai manfaat langsung sebesar Rp 53,131,453,176.20 per tahun ( 60,20 %).Nilai manfaat tidak langsung diperoleh sebesar Rp 35,040,000,000.00 ( 39,70 %) dan nilai manfaat pilihan sebesar Rp 85,800,000.00 (0,10 %). 3. Strategi pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak adalah menjaga fungsi dan peranan ekosistem mangrove melalui pengembangan ekowisata mangrove,

51

Valuasi ekonomi hutan mangrove …. Linda Wati Zen, Fitria Ulfa

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

mata pencaharian altenatif bagi nelayan atau wanita nelayan, alternatif potensi pemanfaatan hutan mangrove seperti pemanfaatan buah mangrove, penerapan peraturan tentang pentingnya menjaga kelestarian ekosistem mangrove, dengan pengawasan yang ketat baik oleh pihak pengelola maupun dengan partisipasi masyarakat setempat.

DAFTAR PUSTAKA Astuti, J, M.Nurdin, A.Munir 2008. Valuasi Ekonomi SUmberdaya Alam dan Lingkungan Pesisir kota Bontang Kalimantan Timur. Analisis vol.5.no.1 Maret 2008. ISSN 0852-8144. Hal 5364 Bann, Camille,1998. The Economic Valuation of Mangroves ; A Manual for Researchers.Ottawa Canada, Special Paper . EEPSEA, International Development Research Centre. Bakosurtanal. 2005. Pedoman Penyusunan Neraca dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut BAKOSURTANAL.Cibinong. Dahuri , 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, PT.Gramedia Pustaka Utama Jakarta Fauzi, Ahmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Harahab, Nurdin. 2011. Valuasi EKonomi Ekosistem Hutan mangrove dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Berkala Penelitian Hayati Edisi Khusus 7A hal, 59-67. Kustanti, Asihing., 2011. Manajemen Hutan Mangrove. PT.Penerbit IPB Press. Bogor. Kordi, M.G.H. 2012. Ekosistem Mangrove Potensi, Fungsi dan Pengelolaan. PT.Rineka Cipta. Jakarta Lestari, F., Linda W.Z & Lily V., 2012. Identifikasi Kondisi Ekosistem Mangrove dan Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat di Pulau Dompak Kota Tanjungpinang Propinsi Kepri. Laporan

Saran : Mengingat besarnya nilai manfaat hutan mangrove maka saran dari hasil penelitian ini yaitu : 1. Dalam perencanaan wilayah pulau Dompak seharusnya memperhitungkan nilai ekonomisekologis ekosistem hutan mangrove, mengingat besarnya potensi ekonomi ekositem hutan mangrove yang besar, jika dimanfaatkan dengan baik akan memberikan manfaat yang lebih maksimal bagi masyarakat. 2. Pengambil kebijakan sepatutnya memahami penilaian sumberdaya pesisir karena pemahaman nilai yang baik dan utuh terhadap sumberdaya akan memberikan umpan balik yang positif bagi pembangunan wilayah. 3. Perlu dikaji potensi dan tingkat pemanfaatan kepiting, udang serta siput laut gonggong diperairan Pulau Dompak karena biota tersebut merupakan biota laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan punya peran yang penting dalam kawasan perairan disekitar ekosistem hutan mangrove. Potensi ini perlu dikelola secara lestari agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. 4. Perlu dikembangkan konsep ekowisata di Pulau Dompak, mata pencaharian altenatif bagi nelayan atau wanita nelayan, alternatif potensi pemanfaatan hutan mangrove seperti pemanfaatan buah mangrove, penerapan peraturan tentang pentingnya menjaga kelestarian ekosistem mangrove, dengan pengawasan yang ketat baik oleh pihak pengelola maupun dengan partisipasi masyarakat setempat.

52

ISSN: 2086-8049

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

KARAKTERISTIK CARBOXYMETHYL CHITOSAN DENGAN VARIASI KONSENTRASI NaOH Pipih Suptijah, Uju, Mochammad Jamil Awal Saputra Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga, Jl. Agatis, Bogor 16680 Jawa Barat Telp. (0251) 8622909-8622906, Fax (0251) 8622907 E-mail: [email protected], [email protected] ABSTRAK Carboxymethyl chitosan (CMCh) merupakan senyawa turunan kitosan yang diperoleh dengan modifikasi kimia sehingga larut air. Pembuatan CMCh dilakukan melalui proses alkalisasi dan karboksimetilasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik karboksimetil kitosan antara lain kelebihan natrium hidroksida pada proses alkalisasi kitosan, rasio antara kitosan dan asam monokloroasetat serta suhu karboksimetilasi kitosan menjadi karboksimetil kitosan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi NaOH terhadap kualitas carboxymethyl chitosan yang dihasilkan, mempelajari proses pembuatan CMCh, menetapkan konsentrasi NaOH yang tepat dalam proses pembuatan CMCh, dan menganalisis karakteristik CMCh yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian, CMCh terbaik terdapat pada penggunaan konsentrasi NaOH 10 M dengan rendemen berkisar antara 110,72%-114,22%. Nilai pH berkisar antara 3,74-4,31. Persentase kadar air sebesar 10,70%-11,42%. Kadar abu dan nitrogen masing-masing berkisar antara 0,49%0,50% dan 4,52%-4,81%. Nilai viskositas sebesar 6,50-8,25 cPs, serta kelarutan sebesar 61,61%-91,50%. Gugus fungsi yang berbeda dari kitosan yaitu gugus C O, gugus CH alkena, gugus C O, dan gugus C O C. Kata kunci: carboxymethyl chitosan, gugus fungsi, karakteristik CMCh, kelarutan, kitosan. ABSTRACT Carboxymethyl chitosan (CMCh) is chitosan derivative product obtained from chemical modification. CMCh were made by alkalization process and carboxymethylation process. Factors that affect CMCh characteristics were excess sodium hydroxide in alkalization process, ratio between chitosan and monochloroacetic acid, and carboxymethylation temperature. The objectives of this research were to study the NaOH effect to CMCh characteristics, to learn process of making CMCh, to set the proper concentration of NaOH, and to analyze CMCh characteristics. CMCh yields were 110.72%-114.22%. CMCh pH value were 3.74-4.31. The optimum NaOH concentration to obtain the best CHCh was 10 M. Percentage of CMCh moisture content was 10.70%11.42%. Ash content and nitrogen content of CMCh were 0.49%-0.50% and 4.52%4.81%. CMCh viscousity was 8.25 cps. Percentage of CMCh solubility was 61.61%91.50%. The different functional groups from chitosan which observed in CMCh were C O group, CH group from alkene functional group, C O group, and C O C group. Keywords: Carboxymethyl chitosan, chitosan, CMCh characteristics, functional group, solubility. Kitosan merupakan biopolimer turunan kitin yang dapat diperoleh dari

PENDAHULUAN

53

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

karapas udang dan kepiting. Miao et al. (2008) melaporkan bahwa kitosan merupakan polisakarida kationik yang diperoleh dari deasetilasi basa kitin. Kitosan memiliki tiga tipe gugus fungsional yaitu gugus amino/asetamido dan gugus hidroksil yang berikatan secara primer maupun sekunder, masing-masing berada pada C-2 dan C3. Mutu kitosan terdiri dari beberapa parameter yaitu bobot molekul, kadar air, kadar abu, warna, derajat deasetilasi dan kelarutan. Kelarutan merupakan salah satu karakteristik yang penting bagi kitosan. Kitosan hanya larut pada sebagian besar larutan asam organik dengan pH sekitar 4,0 tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5. Mourya et al. (2010) mengungkapkan bahwa rendahnya kelarutan kitosan dalam pH netral maupun alkali karena adanya struktur kristal yang stabil yang terbentuk dari ikatan kuat hidrogen, oleh karena itu aplikasi kitosan menjadi terbatas. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan kitosan yang ada dapat dimodifikasi menjadi senyawa-senyawa turunannya yang memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dalam pH netral dan alkali. Modifikasi kitosan dapat dilakukan secara kimiawi maupun melalui proses depolimerisasi. Salah satu senyawa turunan kitosan yang dapat larut dalam pH netral adalah carboxymethyl chitosan (CMCh) (Miranda et al. 2003). Carboxymethyl chitosan merupakan senyawa turunan kitosan yang telah dimodifikasi dengan penambahan gugus hidrofilik sehingga dapat larut dalam air. An et al. (2009) mengungkapkan bahwa karboksimetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara alkilasi menggunakan reagen asam monokloroasetat. Aplikasi CMCh antara lain sebagai senyawa pengantar obat, senyawa pengantar obat yang responsif terhadap perubahan pH, kosmetik, senyawa pengantar DNA, dan senyawa peningkat aktivitas penyebaran obat. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan karboksimetil kitosan adalah tingkat kemurnian kitosan, kelebihan natrium hidroksida pada proses alkalisasi kitosan, rasio antara kitosan dan asam monokloroasetat serta suhu karboksimetilasi kitosan menjadi karboksimetil kitosan. Informasi mengenai pengaruh konsentrasi NaOH terhadap karakteristik

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

carboxymethyl chitosan belum diketahui, sehingga diperlukan penelitian mengenai hal tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi NaOH terhadap kualitas carboxymethyl chitosan yang dihasilkan, mempelajari proses pembuatan CMCh, menetapkan konsentrasi NaOH yang tepat dalam proses pembuatan CMCh, dan menganalisis karakteristik CMCh yang dihasilkan. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan CMCh adalah kitosan yang diperoleh dari CV. Bio Chitosan Indonesia, asam monokloroasetat produksi Merck, NaOH, isopropil alkohol, dan metanol. Bahan-bahan digunakan dalam analisis proksimat adalah akuades, selenium, H2SO4, NaOH, HCl, dan asam borat (H3BO3). Bahan yang digunakan dalam analisis kelarutan dan viskositas adalah akuades. Bahan yang digunakan dalam analisis pH adalah larutan buffer. Alat yang digunakan untuk pembuatan CMCh adalah beaker glass, Erlenmeyer, corong kaca, kertas saring, magnetic stirrer merek Yamato, magnetic bar, batang pengaduk, sudip, termometer, mortar, kertas pH indikator, dan sendok. Alat yang digunakan dalam analisis rendemen adalah timbangan digital merek Sartorius TE1520S. Pengujian pH menggunakan alat pH meter merek Eutech. Alat yang digunakan untuk analisis proksimat adalah timbangan digital merek Sartorius TE1520S, desikator merek Yamato, oven merek Yamato, cawan porselen, sudip (analisis kadar air); tabung kjeldahl, destilator, buret, labu ukur, Erlenmeyer (analisis kadar protein); tanur dan desikator (analisis kadar abu). Alat yang digunakan dalam uji kelarutan adalah oven. Pengujian viskositas dilakukan dengan alat Viscometer Brookfield tipe LV dengan spindle nomor 1 dan kecepatan 60 rpm. Alat yang digunakan dalam analisis gugus fungsi adalah Fourier Transform Infrared (FTIR). Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pembuatan carboxymethyl chitosan dengan perlakuan perbedaan konsentrasi sebesar 54

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

5 M, 10 M, dan 15 M. (Xue et al. 2009 dengan modifikasi), tahap analisis carboxymethyl chitosan yang terdiri dari analisis kadar air (AOAC 2005), analisis kadar abu (AOAC 2005), analisis kadar nitrogen (AOAC 2005), analisis derajat keasaman (pH), analisis viskositas (BSN 1998), analisis kelarutan (Lembono 1989 dalam Khalil 2007), analisis gugus fungsi (Domsay dan Robert 1985).

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

yang digunakan untuk proses deproteinasi, maka semakin rendah kandungan nitrogen pada kitin dan kitosan. Faktor lain yang mempengaruhi kadar protein pada kitosan yaitu suhu proses dan konsentrasi NaOH yang digunakan pada proses deasetilasi. Zahiruddin et al. (2008) melaporkan bahwa protein yang masih terikat setelah proses deproteinasi akan semakin sedikit jumlahnya apabila proses deasetilasi dilakukan dengan suhu yang semakin meningkat dan konsentrasi NaOH yang tinggi. Derajat deasetilasi kitosan komersil yang digunakan sebesar 88,5%. Nilai tersebut lebih tinggi daripada hasil penelitian Hargono et al. (2008) dengan nilai sebesar 82,98%. Nilai derajat deasetilasi ini telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Protan Laboratories. Besarnya nilai derajat deasetilasi dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH yang digunakan dalam proses deasetilasi. Zahiruddin et al. (2008) melaporkan bahwa konsentrasi NaOH yang cukup tinggi pada saat deasetilasi akan mempermudah pemutusan gugus asetil.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kitosan Komersil Kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian memiliki kenampakan yang berwarna kuning pucat dengan ukuran partikel 20-30 mesh. Kadar air kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 8,6% (Tabel 1). Nilai persentase kadar air kitosan yang digunakan lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Suptijah (2004) dengan nilai 8,5%. Kelembaban lingkungan serta lamanya penyimpanan dapat memberikan pengaruh terhadap persentase kadar air kitosan. Sofia et al. (2010) menyatakan bahwa penyimpanan yang lama memungkinkan terjadinya perubahan kadar air, tergantung kondisi kelembaban lingkungannya. Nilai kadar air kitosan dipengaruhi juga oleh sifat higroskopis kitosan. Kurniasih dan Kartika (2011) menyatakan bahwa selain kelembaban lingkungan, sifat kitosan yang higroskopis menyebabkan berikatannya molekul air dengan gugus amina kitosan sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan kadar air. Kadar abu kitosan komersil yang diperoleh adalah 0,3% (Tabel 1). Nilai tersebut telah memenuhi standar mutu kadar abu kitosan menurut Protan Laboratories yaitu kurang dari sama dengan 2%. Faktor yang dapat mempengaruhi kadar abu pada kitosan adalah efektivitas proses demineralisasi. Menurut Kim (2004) kadar abu merupakan indikator keefektivan proses demineralisasi dalam menghilangkan kalsium karbonat. Kadar protein pada kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 0,5%. Nilai tersebut lebih rendah dari pada kitosan hasil penelitian Kurniasih dan Kartika (2011) yang mencapai 39,98%. Perbedaan nilai kadar protein ini dapat disebabkan oleh lamanya waktu deproteinasi. Poeloengasih et al. (2008) melaporkan bahwa semakin lama waktu

Rendemen Carboxymethyl Chitosan (CMCh) Rendemen CMCh dihitung sebagai persentase bobot CMCh yang dihasilkan terhadap bobot awal kitosan. Rendemen CMCh yang diperoleh berkisar antara 110,72%-114,22%. Persentase rendemen CMCh yang dihasilkan lebih besar daripada persentase rendemen hasil penelitian Khalil (2007) yang hanya mencapai 91,66%-98,82%. Nilai persentase rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan alkalisasi menggunakan 10 M NaOH yaitu 114,27±1,76%, sedangkan nilai rendemen terendah terdapat pada perlakuan alkalisasi menggunakan 5 M NaOH yaitu 110,70±2,49%. Hasil rendemen yang lebih besar dari 100% diduga oleh adanya kompetisi reaksi substitusi ion Cl- dari asam monokloroasetat dengan NaOH yang menghasilkan sodium klorida (NaCl) dan sodium glikolat (HOCH2-COONa). Berikut merupakan rekasi kimia yang terjadi pada proses pembuatan CMCh menurut Basmal et al. (2005): Kitosan-OH + NaOH Kitosan-ONa Kitosan-ONa + ClCH2COOH KitosanOCH2COONa + NaCl +2H2O ClCH2COOH + 2NaOH HOCH2-COONa NaCl + H2O

55

+

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

Sodium klorida dan sodium glikolat yang dihasilkan merupakan senyawa yang menjadi pengotor pada CMCh. Hasil penelitian Wijayani et al. (2005) menunjukkan bahwa kemurnian carboxymethyl cellulose meningkat pada penambahan NaOH tetapi mengalami penurunan bila ClCH2COONa semakin naik, penurunan yang terjadi disebabkan oleh semakin banyaknya NaCl yang dihasilkan. Persentase rendemen CMCh yang mencapai lebih dari 100% menurut Basmal et al. (2007) disebabkan karena adanya substitusi H+ pada atom C6 dengan CH2COOdari asam monokloroasetat. Hasil perlakuan penambahan konsentrasi NaOH yang berbeda terhadap rendemen CMCh disajikan pada Gambar 2. Hasil perhitungan rendemen pada Gambar 2 menunjukkan terjadinya kecenderungan peningkatan rendemen CMCh yang dihasilkan seiring dengan peningkatan konsentrasi NaOH yang digunakan, namun secara statistik tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi persentase rendemen CMCh yang dihasilkan adalah jumlah asam monokloroasetat yang ditambahkan. Oktavia et al. (2005) melaporkan bahwa bila jumlah monokloroasetat yang ditambahkan cukup banyak, rendemen karboksimetil kitosan juga meningkat. Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan rendemen CMCh adalah waktu reaksi pada saat karboksimetilasi, hal ini dibuktikan dalam penelitian An et al. (2009) yang melaporkan bahwa terjadinya peningkatan rendemen yang sejalan dengan peningkatan waktu reaksi karboksimetilasi dari 1 hingga 3 jam, namun setelah itu tidak terjadi peningkatan rendemen yang signifikan

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

Hasil analisis karakteristik kimia CMCh pada Tabel 2 menunjukkan nilai pH CMCh yang dihasilkan berkisar antara 3,74 hingga 4,31. Nilai pH CMCh yang dihasilkan meningkat seiring peningkatan konsentrasi NaOH, namun berdasarkan hasil ANOVA perbedaan konsentrasi NaOH tidak mempengaruhi pH CMCh (p>0,05). Nilai pH tertinggi terdapat pada konsentrasi NaOH 15 M yaitu 4,31±0,18, sedangkan pH terendah terdapat pada konsentrasi NaOH 5 M yaitu sebesar 3,74±0,06. Nilai pH CMCh yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Oktavia et al. (2005) yang mencapai 3,5-4, namun tidak memenuhi nilai pH dari Wuxi Asailuo (2013) yang mencapai 7. Rendahnya nilai pH yang dihasilkan selain dipengaruhi oleh pencucian yang dilakukan menggunakan metanol tidak sampai netral disebabkan pula oleh NaOH yang menyebabkan mengendapnya larutan. Khalil (2007) melaporkan bahwa rendahnya nilai pH dapat disebabkan oleh natrium hidroksida yang menyebabkan semua larutan mengendap sehingga sulit dipisahkan dan tidak dapat ditarik dengan isopropil alkohol. Persentase kadar air tertinggi terdapat pada CMCh dengan perlakuan konsentrasi NaOH 10 M yaitu 12,60±0,35%, sedangkan nilai kadar air terendah terdapat pada CMCh dengan perlakuan konsentrasi NaOH sebesar 5 M yaitu 10,70±4,57%. Berdasarkan hasil uji ANOVA, peningkatan konsentrasi NaOH tidak mempengaruhi kadar air CMCh (p>0,05). Kadar air CMCh yang dihasilkan lebih rendah dari pada hasil penelitian Khalil (2007) dengan nilai persentase sebesar 17,12%20,7%, namun nilai tersebut masih lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Basmal et al. (2007) dengan nilai 9,75%-9,82%. Perbedaan kadar air yang terkandung dalam CMCh dapat disebabkan oleh banyaknya asam monokloroasetat yang digunakan. Basmal et al. (2005) melaporkan bahwa semakin banyak asam monokloroasetat yang digunakan menyebabkan jumlah

Karakteristik Kimia Carboxymethyl Chitosan (CMCh) Persentase kadar air CMCh yang dihasilkan berkisar antara 10,70% hingga 12,60%. CMCh yang dihasilkan memiliki nilai persentase kadar abu dan nitrogen masing-masing berkisar antara 0,49%-0,50% dan 4,52%-4,81%. 56

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

gugus karboksimetil (-CH2COO-) yang berikatan dengan kitosan lebih banyak sehingga pada saat dikeringkan jumlah air di dalam CMCh yang keluar lebih sedikit. Kadar air CMCh yang yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu Wuxi Asailuo (2013) yang nilainya kurang dari 15%. Nilai kadar abu CMCh yang diperoleh yaitu 0,49%-0,5%. Kadar abu CMCh yang dihasilkan tidak mengalami perubahan untuk setiap peningkatan konsentrasi NaOH. Berdasarkan hasil uji ANOVA, perbedaan konsentrasi NaOH yang digunakan tidak mempengaruhi kadar abu CMCh yang dihasilkan (p>0,05). Nilai persentase kadar abu yang dihasilkan lebih rendah dari pada hasil penelitian Khalil (2007) dengan nilai persentase sebesar 0,76%-1,24%. Tidak terpengaruhnya nilai persentase kadar abu yang dihasilkan diduga karena jumlah asam monokloroasetat yang digunakan sama untuk setiap perlakuan. Basmal et al. (2005) melaporkan bahwa jumlah asam monokloroasetat yang diberikan pada waktu eterifikasi berpengaruh terhadap peningkatan jumlah kadar abu pada CMCh. Nilai kadar abu CMCh yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu dari Wuxi Asailuo (2013) yang nilainya kurang dari 1%. Kadar nitrogen CMCh yang diperoleh yaitu 4,52%-4,81%. Persentase kadar nitrogen tertinggi terdapat pada konsentrasi NaOH 15 M yaitu sebesar 4,81±0,02%, sedangkan nilai kadar nitrogen terendah terdapat pada konsentrasi NaOH sebesar 10 M yaitu 4,52±0,17%. Nilai kadar nitrogen yang dihasilkan lebih tinggi daripada hasil penelitian Khalil (2007) dengan nilai 3,03%-3,59%. Berdasarkan hasil uji ANOVA, perbedaan konsentrasi NaOH yang digunakan tidak mempengaruhi kadar nitrogen CMCh yang dihasilkan (p>0,05). Kadar nitrogen CMCh yang tidak terpengaruhi oleh perlakuan yang diberikan disebabkan karena NaOH hanya digunakan sebagai senyawa untuk mengaktifkan gugus OH sehingga tidak bereaksi dengan gugus amino pada

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

kitosan. Wijayani et al. (2005) melaporkan bahwa alkalisasi menggunakan NaOH bertujuan untuk mengaktifkan gugus-gugus OH dan berfungsi sebagai pengembang pada molekul selulosa. Viskositas Carboxymethyl Chitosan (CMCh) Nilai viskositas CMCh yang diperoleh berkisar antara 6,50-8,25 cPs (Gambar 3). Nilai viskositas tertinggi terdapat pada konsentrasi NaOH 15 M yaitu 8,25±0,35 cPs, sedangkan nilai viskositas terendah terdapat pada konsentrasi NaOH 5 M yaitu 6,50±0,00 cPs. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi NaOH mempengaruhi nilai viskositas CMCh (P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi NaOH menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap viskositas CMCh, dimana perlakuan konsentrasi 5 M berbeda nyata dengan konsentrasi 10 M dan 15 M. Terjadinya peningkatan nilai viskositas CMCh seiring dengan peningkatan konsentrasi NaOH diduga karena semakin banyak terbentuknya sodium glikolat yang sukar larut dalam air sehingga meningkatkan sifat tahanan dari larutan CMCh. Santoso et al. (2012) melaporkan bahwa sodium glikolat dan sodium klorida memiliki kelarutan yang sangat rendah dalam air dingin. Nilai viskositas CMCh yang dihasilkan lebih rendah daripada hasil penelitian Khalil (2007) dengan nilai 123,67-338,33 cPs, namun nilai viskositas tersebut masih memenuhi standar mutu Wuxi Asailuo (2013) yang nilainya sebesar ≤100 mpa.s. Miranda et al. (2003) melaporkan bahwa viskositas suatu cairan dipengaruhi oleh suhu dan tekanan, namun untuk senyawa polimer dipengaruhi oleh massa molar, struktur polimer, konsentrasi, bahan tambahan, suhu dan sifat pelarut. Berdasarkan hasil penelitian Basmal et al. (2007) suhu eterifikasi mempengaruhi viskositas CMCh, semakin tinggi suhu nilai viskositas semakin menurun 57

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

reaksi menyebabkan meningkatnya fraksi pada proses karboksimetilasi sehingga meningkatkan ketidaklarutan dalam pH yang rendah, sedangkan peningkatan rasio antara air dan isopropil alkohol sebagai pelarut dapat menurunkan fraksi pada proses karboksimetilasi sehingga meningkatkan ketidaklarutan dalam pH yang tinggi.

Kelarutan Carboxymethyl Chitosan (CMCh) Persentase kelarutan CMCh yang diperoleh berkisar antara 61,61%91,50% (Gambar 4). Nilai persen kelarutan tertinggi terdapat pada konsentrasi NaOH 10 M yaitu 91,50±0,71%, sedangkan nilai viskositas terendah terdapat pada konsentrasi NaOH 15 M yaitu 61,61±9,49%. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi NaOH mempengaruhi persentase kelarutan CMCh (P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi NaOH menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase kelarutan CMCh yang dihasilkan, dimana perlakuan konsentrasi 15 M menghasilkan pengaruh berbeda nyata terhadap perlakuan konsentrasi 5 M dan 10 M. Hasil analisis pada Gambar 4 menunjukkan terjadinya peningkatan persentase kelarutan CMCh dari 87,06% menjadi 91,50% pada perlakuan konsentrasi NaOH 5 M menjadi 10 M, namun mengalami penurunan menjadi 61,61% pada perlakuan konsentrasi NaOH 15 M. Penurunan persentase kelarutan ini diduga karena semakin banyak terbentuknya sodium glikolat dan sodium klorida dengan meningkatnya konsentrasi NaOH yang digunakan sehingga substitusi gugus hidroksil dengan gugus karboksil terhambat. Muzzarelli et al. (1982) dalam Mourya et al. (2010) melaporkan bahwa konsentrasi alkali lebih dari 60% menyebabkan terjadinya reaksi samping antara NaOH dengan asam monokloroasetat sehingga reaksi substitusi menurun. Nilai kelarutan CMCh yang dihasilkan lebih rendah daripada penelitian Khalil (2007) dengan nilai 95,08%-99,84%. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh jumlah asam monokloroasetat yang digunakan, suhu dan waktu pada saat proses karboksimetilasi, serta rasio penggunaan air dengan isopropil alkohol. Menurut Mourya et al. (2010), peningkatan suhu

Gugus Fungsi Carboxymethyl Chitosan (CMCh) Hasil pada Tabel 3 menunjukkan bahwa gugus fungsi CMCh memiliki puncak-puncak spesifik seperti gugus hidroksil (-OH) pada bilangan gelombang 3.394 cm-1 dan 3.364 cm-1, gugus CH pada bilangan gelombang 2.939 cm-1 dan 2.893 cm-1, gugus C O pada bilangan gelombang 1.643 cm-1, gugus amina (-NH2) pada bilangan gelombang 1.535 cm-1, gugus CH dari gugus fungsional alkena pada bilangan gelombang 1.389 cm-1 dan 1327 cm-1, gugus C O pada bilangan gelombang 1.250 cm-1 dan 1.149 cm-1, dan gugus C O C pada bilangan gelombang 1.080 cm-1. Hasil analisis gugus fungsi yang membandingkan antara gugus fungsi CMCh dengan kitosan komersil disajikan pada Gambar 5. Hasil analisis gugus fungsi pada Gambar 5 menunjukkan adanya perbedaan gugus fungsi yang diperoleh antara CMCh dengan gugus fungsi kitosan komersil yang digunakan. Perbedaan yang didapatkan yaitu munculnya gugus C=O, C-O, C-O-C, dan gugus CH dari gugus fungsional alkena pada CMCh yang tidak ada pada kitosan komersil. Adanya vibrasi molekul O-H dan C-O menunjukkan bahwa kitosan telah berhasil disubstitusi oleh asam monokloroasetat yang merupakan senyawa dari grup asam karboksilat. Grup asam karboksilat memiliki gugus karboksil yang bersifat polar sehingga kitosan yang berhasil disubstitusi dapat larut dalam air. Gugus karboksil (-COOH) memiliki sifat polar dan tak terintangi (Fessenden 2006) Gugus C-O pada bilangan gelombang 1.250 cm-1 dan 1.149 cm-1 mewakili senyawa (–CH2COOH). 58

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

Zamani et al. (2010) melaporkan bahwa puncak pada bilangan gelombang 1.728 cm-1 mewakili vibrasi peregangan C=O dan puncak 1.238 cm-1 mewakili vibrasi peregangan ikatan C-O dari senyawa (–CH2COOH). Gugus C-O-C pada bilangan gelombang 1.080 cm-1 menunjukkan bahwa karboksimetilasi terdapat pada gugus hidroksil primer dari kitosan, hal ini sesuai dengan pernyataan Xue et al. (2009) yang melaporkan bahwa semakin kuatnya vibrasi ikatan ether pada bilangan gelombang 1.076 cm-1, dan tidak signifikannya puncak alkohol primer pada bilangan gelombang 1.031 cm-1 menunjukkan bahwa karboksimetilasi terdapat pada gugus hidroksil primer dari kitosan.

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

[AOAC] Association of official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical of Chemist. Virginia (US): Published by The Association of Analytical Chemist, inc. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. Cara Uji Viskositas Larutan Karboksimetil Selulosa (CMC). SNI 06-4558-1998. Jakarta: Bandar Standarisasi Nasional. Basmal J, Prasetyo A, Fawzya YN. 2005. Pengaruh konsentrasi asam monokloro asetat dalam proses karboksimetilasi kitosan terhadap karboksimetil kitosan yang dihasilkan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11(8):1-9. Basmal J, Prasetyo A, Farida Y. 2007. Pengaruh suhu eterifikasi terhadap kualitas dan kuantitas kitosan larut air yang dibuat dari cangkang rajungan. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 2(2): 99-106. Central Connecticut State University. Table of IR Absorptions. www.ccsu.edu. [17 September 2013] Domsay TM, Robert. 1985. Evaluation of infra red spectroscopic techniques for analyzing chitosan. Journal Macromol Chemical. 186:1671. Fessenden R J, Fessenden J S. 2006. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga. Ibrahim B, Suptijah P, Prantommy. 2009. Pemanfaatan kitosan pada pengolahan limbah cair industri perikanan. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan. 12(2):154-166. Hargono, Abdullah, Sumantri I. 2008. Pembuatan kitosan dari limbah cangkang udang serta aplikasinya dalam mereduksi kolesterol lemak kambing. Reaktor. 12(1):53-57. Khalil M. 2007. Kajian pengolahan dan toksisitas khitosan larut air dengan menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

KESIMPULAN Perbedaan konsentrasi NaOH dalam proses alkalisasi mempengaruhi persentase kelarutan serta viskositas CMCh yang dihasilkan. Hasil CMCh terbaik terdapat pada perlakuan konsentrasi NaOH sebesar 10 M. Nilai persentase rendemen pada perlakuan alkalisasi menggunakan 10 M NaOH yaitu sebesar 114,27±1,76%. Nilai pH CMCh pada perlakuan alkalisasi menggunakan 10 M NaOH sebesar 4,00±0,28. Nilai kadar air, kadar abu, dan kadar nitrogen CMCh pada perlakuan alkalisasi dengan 10 M NaOH masing-masing sebesar 12,60±0,35%, 0,49±0,00%, dan 4,52±0,17%. Nilai viskositas dan kelarutan CMCh pada perlakuan alkalisasi dengan 10 M NaOH masing-masing sebesar 7,69±0,27 cps dan 91,50±0,71%. Spektrum FTIR CMCh menunjukkan munculnya gugus C O, C O, C O C, dan gugus CH dari gugus fungsional alkena pada CMCh yang tidak ada pada kitosan komersil. DAFTAR PUSTAKA An TN, Thien DT, Dong NT, Dung PL. 2009. Water-soluble Ncarboxymethylchitosan derivatives: preparation, characteristics and its application. Carbohydrate Polymers. 75:489497. 59

ISSN: 2086-8049

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

Kim SOK. 2004. Physicochemical and functional properties of crawfish chitosan as affected by different processing protocols [tesis]. Seoul (KR). Seoul National University. Kurniasih M, Kartika D. 2011. Sintesis dan karakterisasi fisika-kimia kitosan. Jurnal Inovasi. 5(1): 4248. Miao J, Chen G, Gao C, Dong S. 2008. Preparation and characterization of N,O-carboxymethyl chitosan/Polysulfone composite nanofiltration membrane crosslinked with epichlorohydrin. Desalination. 233:147-156. Miranda ME, Rodrigues CA, Bresolin TMB, Freitas RA, Teixeira E. 2003. Rheological aspect of ncarboxymethyl chitosan in diluted solutions. Alimentos e Nutrição Araraquara. 14(2):141-147. Mourya VK, Inamdar NN, Tiwari A. 2010. Carboxymethyl chitosan and its applications. Advanced Materials Letters. 1(1):11-33. Oktavia DA, Wibowo S, Fawzya YN. 2005. Pengaruh jumlah monokloro asetat terhadap karakteristik karboksimetil kitosan dari kitosan cangkang dan kaki rajungan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11(4):7988. Poeloengasih CD, Hernawan, Angwar M. 2008. Isolation and characterization of chitin and chitosan prepared under various processing times. Indonesia Journal Chemical. 8(2):189-192. Santoso PS, Sanjaya N, Ayucitra A, Antaresti. 2012. Pemanfaatan kulit singkong sebagai bahan

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

baku pembuatan natrium karboksimetil selulosa. Jurnal Teknik Kimia Indonesia. 11(3):124-131. Sofia I, Pirman, Haris Z. 2010. Karakterisasi fisikokimia dan fungsional kitosan yang diperoleh dari limbah cangkang udang windu. Jurnal Teknik Kimia Indonesia. 9(1):11-18. Suptijah P. 2004. Tingkatan kualitas kitosan hasil modifikasi proses produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. 7(1):56-67. Wijayani A, Ummah K, Tjahjani S. 2005. Karakterisasi karboksimetil selulosa (CMC) dari eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms). Indonesia Journal Chemical. 5(3):228-231. Wuxi Asailuo. 2013. Carboxymethyl Chitosan. asl888.en.made-inchina.com. [27 Agustus 2013]. Xue X, Li L, He J. 2009. The performance of carboxymethyl chitosan in wash-off reactive dyeing. Carbohydrate Polymers. 75:203-207. Zahiruddin W, Ariesta A, Salamah E. 2008. Karakteristik mutu dan kelarutan kitosan dari ampas silase kepala udang windu (Penaeus monodon). Buletin Teknologi Hasil Perikanan. 11(2):140-151. Zamani A, Henriksson D, Taherzadeh MJ. 2010. A new foaming technique for production of superabsorbents from carboxymethyl chitosan. Carbohydrate Polymers. 80:10911101.

LAMPIRAN Tabel 1 Karakteristik kitosan komersil Parameter Kenampakan Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein Ukuran Partikel

Kitosan Komersila Kuning Pucat 8,6% 0,3% 0,5% 20-30 mesh 60

Standar Kitosanb ≤ 10% ≤ 2% ≤ 5% serpihan/bubuk

ISSN: 2086-8049

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

Derajat Deasetilasi

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

≥70%

88,5%

a

b

Sumber: CV. Bio Chitosan Indonesia.; Protan Laboratories diacu dalam Ibrahim et al. (2009)

Tabel 2 Karakteristik kimia carboxymethyl chitosan Parameter pH Kadar Air Kadar Abu Kadar Nitrogen

5M 3,74±0,06a 10,70±4,57%a 0,50±0,00%a 4,63±0,01%a

Hasil 10M 4,00±0,28a 12,60±0,35a 0,49±0,00a 4,52±0,17a

Standarb

Khalil (2007) 15M 4,31±0,18a 11,42±0,35a 0,50±0,00a 4,81±0,02a

4,33-4,57 17,12-20,7% 0,76-1,24% 3,03-3,59%

7,00-9,00 ≤15,00% ≤1,00% -

Sumber:bWuxi Asailuo (2013). a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Tabel 3 Hasil analisis gugus fungsi CMCh. Daerah Serapan Gugus Fungsional

Wilayah Serapan a (cm-1)

Puncak Serapan CMCh (cm-1)

Keterangan

Alkana Alkena Eter Asam Karboksilat

2.950-2.800 1.430-1.290 1.300-100 3.400-2.400 1.320-1.210

2.939 1.389 dan 1.327 1.080 3.394 dan 3.364 1.250 dan 1.149

Peregangan C H C H in-plane bend Peregangan C O C Peregangan O H Peregangan C O

Amida

1.640-1.550 1.680-1.630

1.535 1.643

Ikatan N H Peregangan C O

Sumber: aCentral Connecticut State University (2013) Viskositas (cps)

10 8

6,5

a

7,69 b

8,25 b

6 4 2 0 5 10 15 Konsentrasi NaOH (M)

Gambar2

Gambar 1 Kenampakan fisik carboxymethyl chitosan.

61

Rendemen carboxymethyl chitosan. Hasil yang diperoleh merupakan basis kering. aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

ISSN: 2086-8049

140 120 100 80 60 40 20 0

110,70a

114,27a

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

100

112,10a Kelarutan (%)

Rendemen (%)

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

91,5 aKonsentrasi (M)

87,06 a

61,61 b

80 60 40 20 0

5 10 15 Konsentrasi NaOH (M)

5

10

15

Gambar 4 Diagram hasil analisis kelarutan carboxymethyl chitosan. Huruf Gambar 3 Diagram hasil analisis viskositas diatas balok yang berbeda CMCh. Huruf diatas balok menunjukkan hasil yang yang berbeda menunjukkan berbeda nyata dari uji lanjut hasil yang berbeda nyata dari uji lanjut Duncan. Duncan C=O

C-O

C-O-C

CH

OH

A

NH

CH

b OH

CH

NH

Gambar 5 Grafik hasil analisis gugus fungsi CMCh. a) CMCh, b) Kitosan

62

Komponen Bioaktif Buah Pil… Lily Viruly

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 63-67

KOMPONEN BIOAKTIF BUAH PIL (Melia azedarach)ASAL PULAU TAMBELAN SEBAGAI ALTERNATIF OBAT HIPERTENSI ALAMI Lily Viruly Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang E-mail: [email protected] ABSTRAK Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang penderita hipertensinya tertinggi. Hal ini tentu akan menjadi pekerjaan rumah buat pemerintah Kepri untuk mengurangi penderita hipertensi di provinsi ini. Salah satu cara untuk mengurangi penderita hipertensi ini yaitu dengan cara mencari natural product atau herbal yang memiliki fungsi untuk menurunkan atau mengobati penyakit hipertensi. Tanaman buah “pil”/Mindi (Melia azedarach) secara empiris dipercayai oleh masyarakat Tambelan dapat mengurangi hipertensi. Dari hasil wawancara dengan masyarakat Tambelan maka Buah pil banyak ditemukan di hutan-hutan di Pulau Tambelan. Tujuan penelitian ini secara umum adalah : (1) Membuktikan secara empiris penggunaan buah pil untuk obat hipertensi melalui quisioner kepada penduduk Tambelan yang pernah menderita hipertensi. (2) Mengidentifikas senyawa bioaktif dari biji buah “pil” (Melia azedarach). (3) Menguji toksisitas dari buah “pil” dengan metode BSLT sehingga aman untuk dikonsumsi. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat Tambelan umumnya memakan biji dari buah pil jika sedang menderita hipertensi, mereka langsung mengunyah buah pil sebanyak 20 biji pagi dan 20 biji sore dan bisa sembuh hanya dalam waktu 24 jam. Secara kualitatif buah pil mengandung komponen bioaktif alkaloid, flavonoid, steroid, tannin, saponin dan triterpenoid. Total kandungan bioaktif flavonoid pada buah pil 0,32% (b/b). Hasil uji toksisitas dari buah pil sebesar 397,022 ppm, ini menunjukan bahwa buah pil aman untuk dikonsumsi sebagai atrenatif antihipertensi alami dengan takaran 20 biji pagi hari dan 20 biji sore hari. Kata kunci: buah pil, Melia azedarach , flavonoid, natural product ,hipertensi ABSTRACT Kepulauan Riau is one of the provinces in Indonesia that people with the highest hypertension. One way to reduce hypertension sufferers this is by way of searching for natural or herbal product that has a function to reduce or treat hypertension. "Buah pil” /Mindi (Melia azedarach) empirically Tambelan believed by the public to reduce hypertension. From interviews with the community Tambelan “Buah pil” are found in the forests of the island Tambelan. This study aim was: (1) Demonstrate the use of empirically Buah pil for hypertension drug Tambelan‟s through questionnaires to residents who had suffered from hypertension. (2) Identify bioactive compounds from the seeds of "buah pil" (Melia azedarach). (3) Analysis the toxicity of the "buah pil" with BSLT method that is safe for consumption. The resulted that general people that consumption buah pil Tambelan‟s if you're suffering from hypertension, they are immediately chew buah pil as many as 20 seeds in the morning and afternoon and can be cured in just 24 hours. Qualitatively buah pil contain bioactive components consists of alkaloids, flavonoids, steroids, tannins, saponins and triterpenoids. The total bioactive flavonoids buah pil 0.32% (w / w). The toxicity test of buah pil at 397.022 ppm, this indicates that buah pil are safe for consumption as a natural antihypertension alternatif with a doses as many as of 20 seeds morning and afternoon. Keywords: Buah pil, Melia azedarach, flavonoids, natural product, hypertension 63

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

penduduk Tambelan yang pernah menderita hipertensi. (2) Mengidentifikas senyawa bioaktif dari biji buah “pil” (Melia azedarach). (3) Menguji toksisitas dari buah “pil” dengan metode BSLT sehingga aman untuk dikonsumsi.

PENDAHULUAN Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang penderita hipertensinya tertinggi. Salah satu kabupaten di provinsi ini yaitu Kabupaten Natuna sekitar 53,3 % penduduknya menderita hipertensi (Antara News Kepri: 5/12/13). Hal ini tentu akan menjadi pekerjaan rumah buat pemerintah Kepri untuk mengurangi penderita hipertensi di provinsi ini. Salah satu cara untuk mengurangi penderita hipertensi ini yaitu dengan cara mencari natural product atau herbal yang memiliki fungsi untuk menurunkan atau mengobati penyakit hipertensi. Secara empiris banyak herbal yang dipercayai oleh masyarakat terutama di Provinsi Kepulauan Riau yang dapat menyembuhkan penyakit hipertensi. Tanaman buah “pil” atau nama umunya yaitu pohon Mindi (Melia azedarach) merupakan tanaman yang tumbuhnya cepat dan berasal dari Cina ini dapat ditemukan dari dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1.100 m diatas permukaan laut. Tanaman buah “pil” atau Mindi secara empiris dipercayai oleh masyarakat Tambelan dapat mengurangi hipertensi. Dari hasil wawancara dengan masyarakat Tambelan maka Buah pil atau buah Mindi banyak ditemukan di hutan-hutan di Pulau Tambelan. Secara ilmiah penelitian mengenai fungsi biji tanaman ini sebagai antihipertensi belum perbah dikaji secara komprehensif. Oleh karena itu perlu dilakukan penapisan awal dari kandungan bioaktif dari biji tanaman ini untuk dasar pengembangan sebagai obat antihipertensi alami. Tujuan umum penelitian ini adalah: (1) Membuktikan secara empiris penggunaan buah pil untuk obat hipertensi melalui quisioner kepada

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober 2013 sampai Maret 2014, di Pulau Tambelan-KEPRI dan di Laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang serta Laboratorium Biofarmaka, IPB, Bogor. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji buah tanaman “buah pil‟ (Melia azedarach) yang diambil dari Pulau Tambelan. Bahan lain yang digunakan yaitu bahan untuk analisis komponen bioaktif, bahan analisis Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya, timbangan digital, mortar, aerator, tabung reaksi dan alat untuk analisis bioaktif dan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama yaitu pengambilan dan preparasi biji buah “pil” serta pembuktikan secara empiris penggunaan buah pil untuk obat hipertensi melalui quisioner kepada penduduk Tambelan yang pernah menderita hipertensi. Tahap kedua yaitu pengujian komponen bioaktif dari biji buah “pil” dan uji toksisitas untuk keamanan mengkonsumsinya dengan metode BSLT. Penelitian pendahuluan Penelitian ini dimulai dengan pengambilan buah “pil” di hutan-hutan di Pulau Tambelan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Kemudian diambil biji dari buah pil tersebut lalu

64

ISSN: 2086-8049

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

dikeringkan. Setelah dikeringkan, kemudian dicobakan kepada penduduk Tambelan yang menderita hipertensi dan diobservasi setelah 24 jam dengan pengisian kuisioner untuk mengetahui pengaruh penggunaan buah pil sebagai obat antihipertensi alami.

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

Gambar

Penelitian lanjutan Penelitian lanjutan yaitu pengujian kandungan bioaktif dari buah pil (Harborne 1984) dan uji toksisitas dengan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test ) dari Loomis 1978. Uji toksitologi buah pil dilakukan dengan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test ). Sampel dilarutkan di air laut. Kemudian, masing-masing plat pengujian dimasukkan 10 ekor larva udang dan larutan sampel hingga diperoleh konsentrasi 10-1000 ppm. Larva udang diinkubasi selama 24 jam. Jumlah larva udang yang mati dihitung dan ditentukan jumlah rata-rata yang mati. Dibuat kurva hubungan antara konsentrasi eksrak sebagai sumbu x dan persen kematian di sumbu y untuk mendapatkan nilai LC50 dengan menggunakan Tabel Probit.

1

Buah pil yang dikeringkan

sudah

Pembuktian Empiris Buah Pil Sebagai Obat Hipertensi Hipertensi merupakan suatu keadaan seseorang ketika terjadi peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, penderita memiliki resiko penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal (Iskandar 2007; Yusuf 2008). Beberapa penyebab munculnya hipertensi antara lain penyakit gagal ginjal, kelainan endokrin, asupan garam terlalu tinggi, stress atau salah pemakaian obat (Iskandar 2007). Tinggi rendahnya tekanan darah juga dipengaruhi oleh faktor Renin Angiotensin System (RAS), yang melibatkan pengubahan zat angiotensin I menjadi angiotensin II (Yusuf 2008). Angiotensin II berfungsi untuk sekresi aldosteron penyebab retensi sodium yang dapat meningkatkan volume cairan ekstraseluler, sehingga mengakibatkan terjadinya hipertensi. Dengan menghambat aktivitas angiotensin converting enzyme (ACE), maka angiotensin I tidak diubah menjadi angiotensin II, sehingga hipertensi dapat dicegah. Metode inhibitor ACE merupakan metode skrining antihipertensi yang efektif (Wagner et al. 1991; Hansen et al. 1995; Somanadhan et al. 1996). Hasil wawancara dengan penderita hipertensi yang sudah pernah berobat dengan mengkonsumsi buah pil maka buah pil yang dikonsumsi oleh penderita hipertensi dapat menurunkan tekanan darah selama 24 jam setelah mengkonsumsi buah pil sebanyak 20 biji pagi hari dan 20 biji sore hari. Jika takaran konsumsi biji buah pil ini dikurangi menjadi 10 biji pagi dan 10 biji sore hari maka akan memperlambat

HASIL DAN PEMBAHASAN Tanaman “buah pil” (sebutan obat herbal hipertensi oleh penduduk Tambelan) atau nama umumnya dikenal sebagai pohon mindi dengan nama latinnya Melia azedarach, merupakan pohon liar di daerah-daerah dekat pantai dan dapat ditemukan dari dataran rendah sampai pegunungan, tanaman asli dari cina ini dapat tumbuh pada ketinggian 1.100 m diatas permukaan laut. Buahnya berjenis buah batu dan jika masak, warnanya coklat kekuningan, dan biji buah berwarna hitam. Tumbuhan ini cepat bertumbuh, dalam 2 tahun, tinggi tumbuhan ini mencapai 4-5 meter (Dalimartha 2007). Buah pil yang sudah dikeringkan dan dapat digunakan sebagai obat hipertensi (Gambar 1.)

65

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

khasiatnya, sehingga baru akan mampu menurunkan tekanan darah selama 3 hari.

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

diantaranya:alkaloid, flavonoid, tannin, saponin, steroid dan triterpenoid. Adapun kandungan flavonoid pada buah pil yang berfungsi untuk menurunkan tekanan darah adalah sebesar 0,32% (b/b). Flavonoid merupakan senyawa yang larut dalam air. Flavonoid berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia (Harborne 1987). Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar yang banyak terdapat dalam tumbuhtumbuhan hijau. Flavonoid merupakan senyawa antioksidan alami, mencegah bergabungnya oksigen dengan zat lain sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubuh (Liu dan Guo 2006). Flavonoid mengandung cincin aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sekitar sepuluh kelas flavonoid, yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavon, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon (Harborne 1987).

Kandungan Bioaktif pada Buah Pil Komponen bioaktif/metabolit sekunder adalah suatu zat yang dibiosintesis terutama dari banyak metabolit-metabolit primer seperti asam amino, asetol koenzim-A, asam mevalonat, dan zat antara (Intermediate) dari alur shikimat (Shikimic acid) (Herbert 1995). Metabolit sekunder sangat bervariasi jumlah dan jenisnya dari setiap organisme. Beberapa dari senyawa tersebut telah diisolasi sebagian diantaranya memberikan efek fisiologis dan farmakologis yang lebih dikenal sebagai senyawa kimia aktif (Copriady et al. 2005). Makhluk hidup dapat menghasilkan bahan organik sekunder (metabolit sekunder) atau bahan alami melalui reaksi sekunder dari bahan organik primer (karbohidrat, lemak, protein). Bahan organik sekunder (metabolit sekunder) ini umumnya merupakan hasil akhir dari suatu proses metabolisme. Bahan ini berperan juga pada proses fisiologi. Bahan organik sekunder itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu : fenolik, alkaloid dan terpenoid, tetapi pigmen dan porfirin juga termasuk di dalamnya (Purwanti 2009). Zat metabolit sekunder memiliki banyak jenis, adapun jenis dari metabolit sekunder yang dapat kita ketahui antara lain kumarin (Copriandy et al. 2005), azadirachtin, salanin, meliatriol, nimbin (Samsudin 2008). Pemanfaatan dari zat metabolit sekunder sangat banyak. Metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan, antibiotik, antikanker, antikoagulan darah, menghambat efek karsinogenik (Copriandy et al. 2005), selain itu metabolit sekunder juga dapat dimanfaatkan sebagai antiagen pengendali hama yang ramah lingkungan (Samsudin 2008). Hasil analisis fitokimia pada buah pil menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang terdapat pada buah pil

Toksisitas Buah Pil Hasil analisis toksisitas buah pil sebagai obat antihipertensi dengan menggunakan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test ) sebesar 397,022 ppm. Umumnya buah pil (Melia Azedarach) memiliki tingkat keracunan yang tinggi, jika dikonsumsi setiap hari terutama pada bijinya, hal ini dibuktikan dengan rasa pahit yang bersangatan pada biji buah pil (Azam, 2013). Dengan demikian maka konsumsi buah pil selama 24 jam dengan takaran 20 biji pagi hari dan 20 biji sore hari sampai saat ini bisa aman untuk dijadikan obat antihipertensi alami.

66

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan… Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

Harborne JB. 1984. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Herbert R B. 1995. Biosintesis Metabolit Sekunder. Diterjemahkan: Srigandono dari, The Biosintesis of Secondary Metabolites. Semarang: IKIP Semarang Press. Liu W, Guo R. 2006. Interaction of flavonoid, quercetin with organized molecular assemblies of nonionic surfactant. Colloids and Surfaces A: Physicochem. Eng. Aspects. 274:192-199. Loomis TA. 1987. Essential of toxicology.3rd ed. Philadelpia M.M. Azam et al. 2013. Pharmakological Potentials Melia Azedarach L. Review. J.American Biosciences 1(2):4449 Purwati E. 2009. Profil komponen bioaktif tanaman kava-kava (Pipermethysticum, Forst, f) dengan pelarut etanol dan methanol [skripsi]. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang. Samsudin. 2008. Azadirachtin Metabolit Sekunder dari Tanaman Mimba sebagai Bahan Insektisida Botani. Lembaga Pertanian Sehat. Somanadhan B. et al. 1996. An ethnopharmacological survey for potential angiotensin converting enzyme inhibitors from Indian medicinal plants. J Ethnopharmacol, 65:103-112. Wagner H, Elbl G, Lotter H, Uinea M. 1991. Evaluation of natural products as inhibitors of angiotensin I-converting enzyme (ACE). Pharm Pharmacol Lett 1:15-18. Yusuf I. 2008. Hipertensi sekunder. Medicinus, 21:71-79.

KESIMPULAN Tanaman buah “pil”/Mindi (Melia azedarach) secara empiris dipercayai oleh masyarakat Tambelan dapat mengurangi hipertensi. Dari hasil wawancara dengan masyarakat Tambelan maka Buah pil banyak ditemukan di hutan-hutan di Pulau Tambelan. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat Tambelan umumnya memakan biji dari buah pil jika sedang menderita hipertensi, mereka langsung mengunyah buah pil sebanyak 20 biji pagi dan 20 biji sore dan bisa sembuh hanya dalam waktu 24 jam. Secara kualitatif buah pil mengandung komponen bioaktif alkaloid, flavonoid, steroid, tannin, saponin dan triterpenoid. Total kandungan bioaktif flavonoid pada buah pil 0,32% (b/b). Hasil uji toksisitas dari buah pil sebesar 397,022 ppm, ini menunjukan bahwa buah pil aman untuk dikonsumsi sebagai atrenatif antihipertensi alami dengan takaran 20 biji pagi hari dan 20 biji sore hari. DAFTAR PUSTAKA Copriady J, Yasmi E, Hidayati . 2005. Isolasi dan karakterisasi senyawa kumarin dari kulit buah jeruk nipis (Citrus hystrix DC). Jurnal Biogenesis 2:13-15. Copriady J, Yasmi E, Hidayati . 2005. Isolasi dan karakterisasi senyawa kumarin dari kulit buah jeruk nipis (Citrus hystrix DC). Jurnal Biogenesis 2:13-15. Dalimartha, Setiawan. 2005. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Depok: Puspa Swara. Iskandar Y. 2007. Tanaman obat yang berkhasiat sebagai antihipertensi [karya Bandung: Fakultas Farmasi, Universitas Padjajaran Bandung. Hansen K. et al. 1995. In vitro screening of traditional medicines for antihypertensive effect based on inhibition of the angiotensin converting enzyme (ACE). J. Ethnopharmacol, 48:43-51.

67

Komposisi Jenis dan sebaran … Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

KOMPOSISI JENIS DAN SEBARAN EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PESISIR KOTA TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU Febrianti Lestari Jurusan Menejemen Sumberdaya Perairan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang. E-mail: [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang komposisi dan sebaran ekosistem mangrove di kawasan pesisir Tanjungpinnag. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui komposisi jenis dan sebaran ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kota Tanjungpinang, serta mengetahui potensi luas ekosistem mangrove yang terdapat di wilayah Kota Tanjungpinang. Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran dan pengamatan langsung (observasi) dengan menggunakan metode transek untuk analisis vegetasi, data biofisik dianalisis melalui citra dan analisis Geographic Information System (GIS). Hasil penelitian menemukan komposisi jenis mangrove sejati di kawasan pesisir Tanjungpinang terdiri dari enam jenis yaitu Rhizophora sp, Bruguiera sp, Sonneratia sp, Avicennia sp, Ceriopps sp dan Xylocarphus sp dengan sebaran ekosistem mangrove yang paling dominan ditemukan pada kawasan muara Sungai Dompak. Potensi luas ekosistem mangrove yang paling besar terdapat pada kawasan mangrove muara Sungai Dompak seluas 305,53 ha (kerapatan 138 pohon/ha), dan luas terkecil terdapat pada kawasan pesisir Tanjung Unggat (27,38 ha dengan kerapatan 52 pohon/ha) dibandingkan luas total ekosistem mangrove yang ditemukan diseluruh kawasan pesisir Kota Tanjungpinang (774,25 ha). Kata Kunci: Komposisi Jenis Mangrove, Sebaran Ekosistem Mangrove, Kawasan Pesisir Tanjungpinang

ABSTRACT A research on the composition and distribution of mangrove ecosystems in coastal areas of Tanjungpinang. The purpose of this study was to determine the species composition and distribution of mangrove ecosystems in coastal areas of Tanjungpinang, and to know the vast potential of mangrove ecosystem located in the Tanjungpinang city. Data collected through direct observation and measurement using transect method for the analysis of vegetation, biophysical data were analyzed Citra and analysis Geographic Information System (GIS). The results found true mangrove species composition in coastal areas Tanjungpinang consists of six types namely Rhizophora sp, Bruguiera sp, Sonneratia sp, Avicennia sp, Ceriopps sp and Xylocarphus sp with the distribution of the most dominant mangrove ecosystems found in the estuary area of densely packed. Vast potential of mangrove ecosystem found in most large mangrove estuary densely packed area of 305.53 ha (density of 138 trees / ha), and the smallest area located on the coastal area of Tanjung Unggat (27.38 ha with a density of 52 trees/ha) compared to extensive total mangrove ecosystems found throughout the coastal areas Tanjungpinang (774.25 ha). Keywords: Composition Type Mangrove, Distribution of Mangrove Ecosystems, Coastal Zone Tanjungpinang

68

Komposisi Jenis dan sebaran … Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

penting mangrove sebagai pengendali kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Terkait dengan upaya tersebut, upaya mengatasi laju kerusakan lingkungan pesisir, berupa abrasi dan intrusi air laut dengan pendekatakan ekosistem merupakan salah satu aspek keseimbangan yang harus dicapai dan dipertahankan keberlanjutannya. Sebagai upaya awal untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan ekosistem mangrove diperlukan data dan informasi yang akurat tentang kondisi ekosistem yang meliputi identifikasi dan inventrarisasi kondisi eksisting biofisik mangrove ekosistem mangrove di suatu kawasan. Data yang akurat tentang kondisi aktual mangrove di pesisir Tanjungpinang saat ini sangat diperlukan sebagai data dasar serta acuan program-program pengelolaan mangrove secara berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi yang akurat tentang komposisi jenis dan sebaran ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kota Tanjungpinang, serta potensi luas ekosistem mangrove yang terdapat di wilayah Kota Tanjungpinang. Data dan informasi ini dapat dijadikan landasan dasar bagi kebijakan program-program pengelolaan mangrove untuk kawasan pesisir Kota Tanjungpinang.

PENDAHULUAN Pengembangan suatu kota berimplikasi terhadap peningkatan jumlah penduduk yang cukup signifikan, sehingga mengakibatkan kebutuhan lahan menjadi semakin tinggi. Pada akhirnya dapat memicu peningkatan konversi lahan untuk permukiman, kawasan industri, sarana dan prasarana dan kegiatan lainnya. Konversi lahan mangrove merupakan salah satu bentuk konversi lahan yang tidak terelakkan dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat peningkatan pertumbuhan penduduk yang tak terkendali pada suatu daerah. Hal ini mendorong terjadinya kerusakan sumberdaya pesisir dan laut, yang nantinya akan berdampak negatif terhadap kehidupan manusia. Keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir barat pulau Bintan tepatnya kawasan pesisir wilayah administrasi Kota Tanjungpinang pada kenyataannya terus mengalami kerusakan atau degradasi akibat berbagai tekanan dalam pemanfaatan dan pengelolaan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Di beberapa kawasan mangrove di Kota Tanjungpinang sudah mengalami kerusakan yang cukup memprihatinkan seperti kawasan mangrove pulau Dompak yang memusnahkan habitat mangrove untuk pembangunan struktur dan infrastruk pusat kota berupa jalan dan jembatan serta pendirian gedunggedung untuk perkantoran. Pada kawasan yang lain terdapat fragmentasi habitat mangrove akibat penambangan bouksit pada ekosistem mangrove. mengingat pentingnya keberadaan ekosistem mangrove untuk mempertahan fungsi ekologis suatu kawasan, maka perlu dilakukan upaya untuk mempertahankan fungsi ekologis

METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada kawasan pesisir Kota Tanjungpinang mulai bulan Mei sampai bulan Oktober 2013. Informasi biofisik dikumpulkan melalui analisis citra dan analisis Geographic Information System (GIS), dan dilanjutkan dengan verifikasi

69

Komposisi Jenis dan sebaran … Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

melalui survei langsung lapangan dengan menggunakan metode transek untuk analisis vegetasi. Data penunjang seperti hasil kajian sebelumnya dan data dari instansi telah direview sebagai pembanding kondisi ekosistem mangrove terkini (current condition). Pengumpulan data dilakukan melalui cara pengukuran dan pengamatan langsung (observasi) dan pengambilan sampel. Parameter pengukuran biofisik ekosistem mangrove di lapangan terdiri dari (a) jenis mangrove, (b) kerapatan mangrove, (c) dominansi mangrove, dan (d) penutupan vegetasi. Data yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Tanjungpinang sangat spesifik terlihat bahwa proporsi terbesar kehadiran dijumpai di daerah muara sungai atau estuari yang dicirikan oleh adanya pengaruh aliran sungai. Sebaran jenisjenis mangrove yang ditemukan pada wilayah pesisir Tanjungpinang secara spesifik disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Jenis Mangrove di Kawasan Pesisir Tanjungpinang Kawasan Jenis Penyebaran Mangrove Muara Soneratia sp Sungai Rhizophora sp Ular Burguiera sp Xylocarpus sp Muara Burguiera sp Sungai Rhizophora sp Ladi Ceriopps sp Sonneratia sp Xylocarphus sp Muara Avicennia sp Sungai Burguiera sp Carang Xylocarphus sp Rhizophora sp Sonneratia sp Sungai Avicennia sp Tanjung Rhizophora sp Unggat Bruguiera sp Sonneratia sp Muara Xylocarphus sp Sungai Rhizophora sp Jang Sonneratia sp Bruguiera sp Muara Burguiera sp Sungai Sonneratia sp Dompak Xylocarhus sp Rhizophora sp Ceriopps sp

HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Jenis Mangrove di Kawasan Pesisir Tanjungpinang Hasil penelitian ditemukan sebanyak tujuh jenis mangrove sejati di kawasan pesisir Kota Tanjungpinang yang terdapat pada empat Kecamatan, yaitu Kecamatan Tanjungpinang Kota, Tanjungpinang Barat, Tanjungpinang Timur, dan Bukit Bestari. Berdasarkan pengamatan pada masing-masing lokasi penelitian menunjukan bahwa komposisi vegetasi mangrove sejati di kawasan pesisir Tanjungpinang dapat dikategorikan homogen. Hal ini sesuai dengan karakteritik mangrove di pulau kecil yang memiliki keragaman jenis yang sangat rendah. Namun penyebaran ekosistem mangrove di wilayah pesisir Tanjungpinang ditemukan menyebar pada kawasan daerah estuari atau muara sungai, diantaranya adalah kawasan muara Sungai Ular, muara Sungai Ladi, muara Sungai Carang, muara Sungai Tanjung unggat, muara Sungai Jang dan muara Sungai Dompak. Kehadiran tegakan ekosistem mangrove pada kawasan pesisir Kota

Jenis Penting Dominan Burguiera sp (INP =151,9)

Rhizophora sp (INP =117,2)

Rhizophora sp (INP =168,3)

Avicennia sp (INP =176,7)

Rhizophora sp (INP =168,3)

Rhizophora sp (INP= 151,8)

Kerapatan mangrove tertinggi ditemukan pada kawasan muara sungai Dompak sebesar 138 pohon/ha, kerapatan tertinggi berikut terdapat pada kawasan muara sungai Ladi dan sungai Ular masing-masing adalah sebesar 102 pohon/ha dan 101 pohon/ha. Sedangkan kerapatan mangrove terendah terdapat pada kawasan pesisir Tanjung Unggat sebesar 72 pohon/Ha (Tabel 2).

70

Komposisi Jenis dan sebaran … Febrianti lestari

438000

438600

439200

439800

UTM PETA SEBARAN MANGROVE

140,82

Sonneratia sp Rhizophora sp Burguiera sp Xylocarphus sp

N 105000

W

E S

182,57

80 0 80 160 Meters Skala 1:10001

55,63

Ke r ap a t an (P o ho n / Ha )

10 1

Lu a s M a ng r ov e (H a )

50 . 6 6 8

r

104400

iU la

27,38

Legenda :

ng a

M ang rov e Sun ga i Lau t D ara t

62,32

103800

Muara Sungai 101 Ular 2. Muara Sungai 102 Ladi 3. Muara Sungai 87 Carang 4. Tanjung 52 Unggat 5. Muara Sungai 69 Jang 6. Muara Sungai 138 Dompak Total Luas Ekosistem Mangrove Tanjungpinang

Luas Mangrove (Ha)

Su

Kerapatan Mangrove (Pohon/ha)

105000

1.

Kawasan Penyebaran

di kawasan pesisir Sungai Ular. Selanjutnya kerapatan mangrove yang ditemukan di sungai Ular adalah sebesar 101 pohon/Ha, dengan luasan mangrove sebesar 140,82 Ha (Gambar 1).

104400

No

2. Kerapatan dan Luas Mangrovedi Kawasan Pesisir Tanjungpinang

103800

Tabel

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

Sumber : Citra QuickBird perekaman tahun 2009

305,53 438000

774,25

438600

439200

439800

Gambar 1. Sebaran Jenis Mangrove di Kawasan muara Sungai Ular b. Sebaran Mangrove di Kawasan Muara Sungai Ladi Kawasan muara Sungai Ladi berada pada koordinat N:00°56'50.03" E: 104°27'03,5" dengan kondisi tanah berlumpur dan tergenangi air. Air pasang laut selalu menggenangi setiap hari sehingga mempengaruhi kondisi lumpur di kawasan ini. Warna lumpur dan tanah hitam kecoklatan terang dengan keadaan pH 5 dan salinitas 17 promil. Zonasi mangrove yang membentuk kawasan ini terdiri dari Rhizophora sp, Xylocarpus sp, dan Bruguiera sp sebagai mangrove sejati. Kawasan mangrove sungai Ladi didominasi oleh jenis Rhizophora sp yang dapat tumbuh baik karena jenis substratnya berupa lumpur sangat mendukung pertumbuhan jenis tersebut. Hasil perhitungan nilai penting terbesar ditemukan pada jenis Rhizophora sp yaitu sebesar 117,2. Jenis-jenis mangrove sejati yang di temui adalah: Bruguiera sp, Rhizophora sp, Sonneratia sp, Xylocarphus sp, dan Ceriopps sp. Kerapatan mangrove yang ditemukan adalah sebesar 102 pohon/Ha, sementara luas mangrove yang masih tersisa adalah sebesar 182,57 Ha (Gambar 2).

Sebaran Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Tanjungpinang a. Penyebaran Mangrove di Kawasan Muara Sungai Ular Kawasan muara Sungai Ular berada pada koordinat N:00°56‟21.1” E: 104°27‟18.5”, merupakan sebuah daerah yang cukup luas. Hasil pengamatan pada masing–masing transek menunjukan bahwa karakteristik vegetasi mangrove di kawasan muara Sungai Ular berkembang pada kondisi kelas genangan yang sama sesuai dengan klasifikasinya. Mangrove di Pesisir Sungai Ular memiliki kondisi tanah yang berlumpur dan tergenangi air. Air pasang laut juga mempengaruhi kondisi lumpur di area ini. Warna lumpur dan tanah hitam kecoklatan gelap dengan salinitas 5-10%. Kondisi hutan mangrove masih baik dengan zona terbuka ditempati oleh empat jenis mangrove sejati pada tingkat pohon yaitu; Rhizophora sp, Xylocarphus sp, Sonneratia sp dan Bruguiera sp. Menurut perhitungan Indeks nilai penting teridentifikasi bahwa jenis Burguiera sp merupakan jenis yang paling dominan untuk tingkat pohon di kawasan pesisir Sungai Ular (INP=151,9). Hal ini menjelaskan bahwa jenis Burguiera sp mempunyai peran penting pada ekosistem mangrove

71

Komposisi Jenis dan sebaran … Febrianti lestari

440100

441000

441900

442800

Bruguiera sp Rhizophora sp Sonneratia sp Xylocarphus sp Ceriopps sp

tanah hitam gelap dengan salinitas 20 promil. Hasil perhitungan nilai penting terbesar pada tingkat pohon teridentifikasi bahwa dua jenis mangrove yaitu Avicennia sp (INP = 116,7) dan Rhizophora sp (INP= 168,3) merupakan jenis yang memiliki peranan yang penting untuk ekosistem mangrove tingkat pohon di kawasan muara Sungai Carang. Kerapatan jenis ditemukan sebesar 88 pohon/Ha, sedangkan luas mangrove yang didapat di kawasan Sungai Carang sebesar 55.63 Ha (Gambar 3).

UTM 106200

106200

439200

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

PETA SEBARAN MANGROVE N W

E

105300

105300

S

10 0

0

10 0 200 Me te r s

Skala 1:18380

Kerapat an (Pohon/ Ha)

Luas Ma ngrove (Ha )

104400

104400

10 2

ng

Ma n g r ov e Sung a i La u t Da r at

di La ai 103500

103500

Su

439200

440100

74 . 4 6 9

Legenda :

441000

441900

Sumber : Citra QuickBird perekaman tahun 2009

442800

Gambar 2. Sebaran Jenis Mangrove di Kawasan Muara Sungai Ladi

UTM

c. Sebaran Mangrove di Kawasan Muara Sungai Carang Kawasan muara Sungai Carang merupakan salah satu lokasi yang telah mengalami pengembangan khusus pemanfaatan mangrove sebagai wilayah pariwisata. Di kawasan ini ditemukan mangrove trail yang mengitari lingkar luar atau daerah batas mangrove dengan perairan Sungai Carang. Kawasan mangrove Sungai Carang berada pada koordinat 00°55'46.19"N 104°29'18.59"E. Jenis mangrove yang di temukan pada ketegori pohon adalah Avicennia sp, Bruguiera sp, Xylocarphus sp, Rhizophora sp dan Soneratia sp. Dengan kondisi substrat lumpur terdapat ketebalan mangrove yang bervariasi antara 50 hingga 100 meter kemudian dilanjutkan dengan tanaman dataran rendah. Komposisi vegetasi mangrove di kawasan Sungai Carang dapat dikatakan homogen. Jenis-jenis mangrove yang menyusun zona terbuka adalah Avicennia sp dan Sonneratia sp, namun jenis ini hanya ditemukan pada jarak 015 meter dari bibir pantai. Zona tengah di temukan jenis Rhizophora sp, Bruguiera sp, dan Xylocarphus sp. Secara umum kondisi mangrove di kawasan Sungai Carang sudah banyak mengalami kerusakan berupa fragmentasi habitat akibat adanya kegiatan penambangan bauksit. Air pasang laut mempengaruhi kondisi lumpur di area ini. Warna lumpur dan

441900

442800

443700

444600

445500

104400

104400

PETA SEBARAN MANGROVE N

W

E S

100 0 100200 Meters 103500

103500

Avicennia sp Rhizophora sp Sonneratia sp Bruguiera sp Xylocarphus sp

Skala Ke r a p a ta n (P o h o n /H a )

55 . 8 2 3

ai C Sung

a ra

n

Legenda : 102600

102600

g

88

1:16924 Lu a s M an g r o v e (Ha)

Man grove Su nga i Lau t Darat

101700

101700

Sumber : Citra QuickBird perekaman tahun2009

441900

442800

443700

444600

445500

Gambar 3. Sebaran Jenis Mangrove di Kawasan Sungai Carang d. Sebaran Mangrove di Kawasan Pesisir Tanjung Unggat Kawasan pesisir Tanjung Unggat berada pada koordinat N 00°55'24.8" E 104°28'08.2". Dengan kondisi tanah yang berlumpur dan tergenangi air. Warna lumpur dan tanah hitam kecoklatan gelap dengan salinitas 25 promil. Kondisi hutan mangrove tampak mengalami gangguan berupa limbah rumah tangga, hal ini disebabkan lokasi mangrove dekat daerah pemukiman warga sekitar. Zona terbuka ditempati jenis Avicennia sp dan Sonneratia sp, kemudian zona tengah ditempati jenis Rhizophora sp. Kondisi substrat berlumpur dalam dan tergenang di kawasan pesisir Tanjung Unggat merupakan habitat yang cocok untuk jenis Avicennia sp sehingga tumbuh dengan baik di sepanjang pantai. Hasil perhitungan nilai penting terbesar menurut analisis vegetasi teridentifikasi 72

Komposisi Jenis dan sebaran … Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

100800

443700

PETA SEBARAN MANGROVE N

W

E S

50 0 50100 Meters

Skala 1:14973 99900

Kerapat an (Pohon/ Ha)

Luas Ma ngrove (Ha )

69

62.504

Legenda :

99000

Sun g ai J

Mangr ov e Sungai Laut Dar at

Sumber : Citra QuickBird perekaman tahun 2009

an g

98100

440100

441000

441900

442800

443700

Gambar 5. Sebaran Jenis Mangrove di Kawasan Sungai Jang

f. Sebaran Mangrove di Kawasan Muara Sungai Dompak Pengamatan ekosistem mangrove di kawasan Sungai Dompak berada pada koordinat N: 0°53'5.34" E:104°27'35.81". Jenis substrat di daerah ini lumpur tanah coklat gelap dan selalu tergenang air pasang. Vegetasi mangrove di kawasan estuari Dompak termasuk mangrove zona terbuka. Jenis mangrove yang tercatat berdasarkan pengamatan adalah sebanyak 6 jenis mangrove sejati terdiri dari: Bruguiera sp, Rhizophora sp, Sonneratia sp, Ceriopps sp dan Xylocarphus sp. Ratarata ketebalan vegetasi mangrove ± 70m diukur dari bibir pantai. Kerapatan mangrove yang di dapat sebesar 138 pohon/Ha, sedangkan luasan mangrove sebesar 305,53 Ha (Gambar 6).

PETA SEBARAN MANGROVE N W 102600

102600

E S

40 0 4080 Meters Skala 1:9023

Ke r ap a t an (P o ho n / Ha )

Tanjung Unggat 102000

102000

72

Lu a s M a ng r ov e ( Ha )

27.383

Leg end a : Kanal T anjung Unggat Mangrov e Laut Darat

Sumber : Citra Quickbird perekaman tahun 2009 101400

101400

441000

442800

441600

Rhizophora sp Sonneratia sp Avicennia sp

440400

441900

98100

441000

441000

99000

440400

440100

Rhizophora sp Sonneratia sp Bruguiera sp Xylocarphus sp

99900

UTM

UTM

100800

jenis Avicennia sp (INP = 176,7), hal ini menjelaskan bahwa jenis Avicennia sp memiliki peran penting pada ekosistem mangrove di kawasan Pesisir Tanjung Unggat. Kerapatan mangrove yang didapat di Tanjung Unggat sebesar 72 pohon/Ha, sedangkan luasan mangrove hanya sebesar 27,38 Ha. Luasan mangrove di Tanjung Unggat memiliki luasan yang paling sedikit, ini diduga lahan mangrove telah banyak di konversi menjadi permukiman, pelabuhan, hotel dan restoran serta industri (Gambar 4).

441600

Gambar 4. Sebaran Jenis Mangrove di Kawasan Tanjung Unggat e.

Sebaran Mangrove Kawasan Muara Sungai Jang Pengamatan yang dilakukan di kawasan muara Sungai Jang berada pada koordinat N: 0°53'51.69" E:104°28'14.26". Jenis substrat di daerah ini lumpur tanah coklat gelap dan selalu tergenang pasang air laut. Mangrove yang ditemukan di kawasan muara Sungai Jang termasuk mangrove zona payau. Jenis mangrove yang tercatat berdasarkan hasil pengamatan terdapat empat jenis mangrove sejati pada tingkat pohon yaitu: Burguiera sp, Xylocarphus sp, Rhizophora sp, dan Sonneratia sp. Kerapatan mangrove yang didapat di kawasan Sungai Jang sebesar 69 pohon/Ha, dengan luas mangrove sebesar 62.32 Ha (Gambar 5).

UTM

440000

442000

444000

446000

100000

N W

E S

200 0 200400 Meters Skala 98000

98000

100000

PETA SEBARAN MANGROVE

Rhizophora sp Xylocarphus sp Bruguiera sp Ceriopps sp Sonneratia sp Lumnitzera sp

K e ra pa t a n ( P oh on / H a )

1:26770 L ua s M a n g ro v e (H a)

138

m S u n g a i Do

p ak

22 9 . 7 9 3

Legenda :

96000

96000

Ma ng rove Su nga i Lau t Darat

Sumber : Citra QuickBird perekaman tahun 2009

440000

442000

444000

446000

Gambar 6. Sebaran Jenis Mangrove di Kawasan Muara Sungai Dampak

73

Komposisi Jenis dan sebaran … Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

mangrove yang paling sedikit terdapat pada Kecamatan Tanjungpinang Barat yaitu kawasan pesisir Tanjung unggat yaitu hanya seluas 27,38 ha. Hal ini disebabkan di kawasan tersebut sudah banyak kegiatan konversi lahan mangrove menjadi kawasan pertambangan, permukiman dan kegiatan perkotaan lainnya.

Potensi Luas Mangrove di Kawasan Pesisir Tanjungpinang Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan pengolahan analisis citra diketahui luas total ekosistem mangrove yang terdapat di kawasan pesisir Kota Tanjungpinang adalah seluas 774,25 hektar. Luas ekosistem mangrove yang ditemukan dalam pengamatan membentuk pola penyebaran yang terdistribusi pada enam kawasan muara sungai, meliputi luas mangrove di kawasan muara sungai Ular dan muara Sungai Ladi yang termasuk pada wilayah Kec. Tanjungpinang Kota adalah seluas 323,39 ha, luas mangrove di kawasan muara Sungai Carang yang merupakan wilayah Kec. Tanjungpinang Timur adalah seluas 55,63 ha, luas mangrove di kawasan pesisir Tanjung unggat yang termasuk ke dalam wilayah kec. Tanjungpinang barat adalah seluas 27,38 ha, dan luas mangrove di kawasan muara sungai Jang dan muara sungai Dompak yang termasuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Bukit Bestari adalah seluas 367,85 ha (Gambar 7).

KESIMPULAN 1.

2.

Gambar 7. Peta Luas Mangrove di Kawasan pesisir Kota Tanjungpinang

Komposisi jenis mangrove di kawasan pesisir Tanjungpinang terdiri dari enam jenis yaitu Rhizophora sp, Bruguiera sp, Sonneratia sp, Avicennia sp, Ceriopps sp dan Xylocarphus sp dengan sebaran ekosistem mangrove yang paling dominan ditemukan pada kawasan muara Sungai Dompak, sedangkan yang paling rendah terdapat pada kawasan pesisir Tanjung Unggat. Potensi luas ekosistem mangrove yang paling besar terdapat pada kawasan ekosistem mangrove muara Sungai Dompak seluas 305,53 ha sekaligus memiliki kerapatan jenis tertinggi (138 pohon/ha), sedangkan luas kawasan ekosistem mangrove terendah terdapat pada kawasan mangrove Tanjung Unggat hanya seluas 27,38 ha dengan kerapatan 52 pohon/ha dibandingkan luas total ekosistem mangrove yang ditemukan diseluruh kawasan pesisir Kota Tanjungpinang (774,25 ha).

DAFTAR PUSTAKA

Gambar 7 memperlihatkan pada masing-masing kawasan muara sungai, luas mangrove yang paling besar ditemukan di Muara Sungai Dompak wilayah kec. Bukit Bestari dengan luas mangrove 305,53 ha, ini di karenakan kondisi mangrove di kawasan tersebut relatif masih baik dan belum banyak mengalami konversi lahan mangrove menjadi fungsi lain. Sedangkan luas

Badola R, Barthwal S, Hussain SA. 2012. Attitudes of local Comunities towards conservation of mangrove forest: A case study from the east Coast of India. Estuarine, Coastal and Shelf Science 96: 188-196.

74

Komposisi Jenis dan sebaran … Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

Bengen DG. 2002. Pedoman Teknis: Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Ditjen

Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan mangrove. Bogor: PT. Penerbit IPB press. Mandal S, Ray S, Ghosh PB. 2012. Comparative study of mangrove litter nitrogen cycling to the adjacent estuary through modelling in pristine and reclaimed islands of Sundarban mangrove ecosystem, India. Procedia Environmental Sciences 13 : 340 - 362.

RLPS, 2005. Pedoman Identifikasi dan Inventarisasi Mangrove Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta, 2005.

Gill AM, Tomlinson PB. 1977. Studies on the growth of red mangrove (Rhizophora mangle L). The adult root system. Siotropica 9: 145155

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wilkinson C and Salvat B. 2012. Coastal Resource Degradation in the tropics: Does the tragedy of the commons apply for coral reefs, mangrove forest and seagrass beds. Marine Pollution Bulletin 64: 1096-1105.

Kusmana C et al. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

75