JURNAL FILSAFAT

Download Pengkajian Pancasila dengan menggunakan pisau analisis filsafat ilmu adalah hal yang menarik karena di dalam nilai-nilai. Pancasila secara ...

1 downloads 544 Views 126KB Size
FILSAFAT ILMU DAN ARAH PENGEMBANGAN PANCASILA: RELEVANSINYA DALAM MENGATASI PERSOALAN KEBANGSAAN Oleh : Syahrul Kirom

1

Abstract Study about Pancasila as an Indonesian way of life through the philosophy of science is very important when it is related to national problems nowadays. The philosophy of science which has three aspects (ontology, epistemology and axiology) can be used as a tool to solve the national problems, especially in case of corruption. The solution provides an understanding of Pancasila values. The result of study about the values of Pancasila from the philosophy of science, they are : first, the ontology, Pancasila has teachings and values, such as developing an attitude of respect among human being; second, the epistemology, Pancasila has sources of knowledge and concepts of nationalism that should be used as a guidance in the social life of Indonesia; third, the axiology, the values of Pancasila have a contribution in the lives of Indonesian people through the noble values in social justice and humanity. Keywords: Pancasila, Philosophy of Science, Ontology, Epistemology, Axiology. A. Pendahuluan Pengkajian Pancasila dengan menggunakan pisau analisis filsafat ilmu adalah hal yang menarik karena di dalam nilai-nilai Pancasila secara genuine sudah terkandung juga filsafat ilmu. Filsafat ilmu pada dasarnya adalah suatu telaah kritis terhadap metode yang digunakan untuk mengkaji ilmu tertentu, baik itu secara empiris maupun rasional. Filsafat ilmu merupakan bagian filsafat yang mencoba berbuat bagi keilmuan yang dikerjakan 1. Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Ushuludin (STIU) Khozinatul Ulum, Blora, Jawa Tengah dan Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.

Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011

filsafat terhadap seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua hal : di satu sisi, membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta serta menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di sisi lain, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan dan tindakan (Gie, 2007:59). Archie J. Bahm dalam tulisannya yang berjudul What Is Science menegaskan bahwa persoalan-persoalan di dalam kehidupan masyarakat, jika masalah itu dikatakan ilmiah, harus meliputi komponen-komponen : sikap, metode, tindakan, kesimpulan dan implikasi. Sikap ilmiah diperlukan dalam menyelesaikan problem kehidupan manusia. Sikap ilmiah ini sangat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Bahm menjelaskan bahwa untuk memperoleh ilmu pengetahuan harus memiliki beberapa syarat, yakni harus memiliki rasa ingin tahu, bersifat spekulatif dan objektif, membuka cakrawala pengetahuan baru atau inovatif serta mampu memberikan penilaian, dan bersifat tentatif (Bahm, 1985:45). Pengetahuan ilmiah itu dibangun dengan tujuan untuk memecahkan problem-problem ilmiah. Menurut Bahm, ilmu itu sendiri adalah suatu nama bagi usaha manusia untuk mampu memahami sifat dasar berbagai hal dengan jalan merumuskan hipotesis-hipotesis atau teori-teori tentang sifat-sifat dasar dan mengujinya secara pengamatan atau percobaan untuk mengetahui apakah masih berlaku atau tidak. Oleh karena itu, untuk dapat memecahkan masalah ilmiah diperlukan sikap-sikap yang ilmiah juga. Bahm juga memberikan hipotesis bahwa sesungguhnya masalah ilmiah dapat diterima oleh para ilmuwan dan masyarakat jika dapat dikomunikasikan, dapat dipecahkan secara ilmiah, dan bahkan dapat dipecahkan dengan menggunakan metode secara ilmiah juga. Dengan demikian, setiap persoalan–persoalan yang muncul di dalam kehidupan manusia itu harus dapat diteliti dan dikaji secara ilmiah. Di sini, filsafat ilmu berperan dan berfungsi untuk mengkaji permasalahan secara ilmiah. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah seharusnya filsafat ilmu dengan dasar-dasar dan metode ilmiahnya mampu menyelesaikan persoalan kebangsaan yang sekarang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah lunturnya pemahaman dan penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup di dalam masyarakat. Lunturnya pemahaman dan penerapan 100

Syahrul Kirom, Filsafat Ilmu dan Arah ...

nilai-nilai Pancasila sebagai dasar ideologi negara Indonesia menyebabkan bangsa Indonesia banyak ditimpa masalah-masalah besar, seperti praktek korupsi yang menggurita, dan bencana alam yang berkelanjutan, serta bencana kemanusiaan lainnya. Koento Wibisono menyatakan bahwa sejak reformasi 1998, akibat praktek politik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru menyebabkan banyak orang menjadi pesimis, alergi, dan apatis dengan Pancasila. Bangsa Indonesia ini kadang juga menyalahkan Pancasila, di mana semua kesalahan mengenai persoalan kebangsaan itu dijatuhkan pada ideologi Pancasila. Padahal, jika dipikirkan kembali persoalannya bukan pada Pancasila, akan tetapi bagaimana masyarakat Indonesia mampu menerapkan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan (Edwin dkk., 2006: XII). Pancasila yang memiliki sumber pengetahuan dan nilainilai luhur sudah seharusnya dapat diimplementasikan oleh setiap masyarakat Indonesia. Akan tetapi, persoalan secara filosofis adalah mengapa Pancasila itu sulit diterapkan di dalam diri bangsa Indonesia? Pancasila hanya menjadi sebuah simbol dan tidak memiliki arti serta sumbangsih dalam menyelesaikan persoalan negara, persoalan yang seharusnya diselesaikan secara bersama. Berdasarkan asumsi itu, persoalan mengenai lunturnya pemahaman bangsa Indonesia mengenai Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) menjadi tugas dari disiplin filsafat ilmu untuk mengkaji secara ilmiah dengan mengedepankan sikap akademis dan intelektual yang tinggi, sehingga dapat diperoleh pemecahan masalah secara komprehensif. Filsafat ilmu sebagai dasar ilmu pengetahuan harus mampu mengembangkan Pancasila sebagai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang sesungguhnya mempunyai nilai-nilai luhur untuk mengatasi persoalan kehidupan manusia dengan menggunakan aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. B.Sejarah Filsafat Ilmu Filsafat ilmu berasal dari zaman Yunani Kuno, di mana filsafat ilmu lahir karena munculnya sebuah pengetahuan dari Barat. Akan tetapi, pada perkembangannya ternyata ilmu pengetahuan di abad ke-17 mengalami perpecahan, di mana ilmu dan filsafat berdiri sendiri. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa sebelum abad ke-17 ilmu identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985) yang mengemukakan bahwa 101

Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011

dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Koento Wibisono menyatakan bahwa filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dapat dipahami bahwa para filsuf Yunani Kuno ternyata telah merintis tentang pengertian apa itu filsafat ilmu dan bagaimana ilmu pengetahuan itu harus diletakkan? Ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk, di mana kaidah-kaidah ilmu pengetahuan itu dikatakan oleh Robert Merton adalah universalisme, komunalisme, disinterestedness dan skeptisisme yang terarah (Wibisono, 2009:2). Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan ke arah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu, tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan. Ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif yang terdiri dari berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan atau perorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan. Francis Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyan Knowledge is Power yang mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu, implikasi yang timbul adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan ilmu yang lain, serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis. Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain dibutuhkan satu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Filsafat mampu mengatasi hal tersebut. Ini senada dengan pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu 102

Syahrul Kirom, Filsafat Ilmu dan Arah ...

menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences). Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan a higher level of knowledge maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerus pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya ilmu (pengetahuan), ilmu tentang ilmu (Wibisono, 2009:13). Berkenaan dengan filsafat dalam konteks kearifan hidup personal maupun kolektivitas tertentu, filsafat ilmu (Philosophy of Science) adalah sebuah refleksi kritis secara mendasar atas perkembangan ilmu, khususnya terhadap tendensi filsafat ilmu (Sutrisno, 2006:19), yaitu filsafat sebagai “pandangan hidup” atau weltanschauung. Hal ini berkaitan dengan upaya sekelompok manusia untuk merespon dan menjawab permasalahan pokok kehidupan manusia. Selain itu, filsafat sebagai pandangan hidup hampir sama juga dengan Pancasila yang merupakan way of life. Karena itu, Pancasila dan filsafat juga memiliki ilmu pengetahuan (knowledge). Hubungan-hubungan keilmuan nampak terlihat di dalam nilai-nilai Pancasila yang terdiri dari lima sila. C. Filsafat Ilmu dan Relevansinya dengan Nilai-Nilai Pancasila Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan umat manusia. Filsafat ilmu merupakan satu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu. Robert Ackermann mendefinisikan filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu. Filsafat ilmu demikian jelas bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya (Gie, 1997:57). Rudolf Carnap memakai istilah science of science dan memberikan definisi the analysis and description of science from various points of view, including logic, methodology, sociology and history of science. (Analisis dan deskripsi tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi, sosiologi dan 103

Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011

sejarah ilmu). Filsafat ilmu sebagai sumber pengetahuan ternyata memiliki keterkaitan dengan Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) ternyata juga menyimpan banyak pengetahuan-pengetahuan yang sudah selayaknya dikembangkan oleh disiplin filsafat ilmu yang secara ilmiah mempunyai nilai-nilai muatan positif dalam membentuk watak dan karakter bangsa Indonesia. Di sisi lain, ketika berbicara tentang filsafat, ada dua hal yang patut diperhatikan : pertama, filsafat sebagai metode dan kedua, filsafat sebagai suatu pandangan (Hadi,1994:19). Oleh karena itu, di sini filsafat sebagai sebuah ilmu pengetahuan akan dijadikan sebagai pandangan hidup. Terkait dengan Pancasila, Pancasila sebagai sebuah pandangan hidup sudah tentu memiliki nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalamnya, dan bahkan Pancasila telah memiliki ilmu pengetahuan. Secara filsafati, Pancasila merupakan sistem nilai-nilai ideologis yang berderajat. Artinya di dalamnya terkandung nilai luhur, nilai dasar, nilai instrumental, nilai praksis, dan nilai teknis. Agar ia dapat menjadi ideologi bangsa dan negara Indonesia yang lestari tetapi juga dinamis berkembang, nilai luhur dan nilai dasarnya harus dapat bersifat tetap, sementara nilai instrumentalnya harus semakin dapat direformasi dengan perkembangan tuntutan zaman. Di samping itu, Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (science of knowledge) yang dalam karya-karya berikutnya ditunjukkan segisegi ontologik, epistemologi, dan aksiologinya sebagai raison d’etre bagi Pancasila sebagai suatu faham atau aliran filsafati (Wibisono, 1995:126). Pancasila sejak semula dijadikan weltanschauung atau pandangan hidup bangsa Indonesia, sekaligus prinsip-prinsip dasar negara. Dengan demikian, isi pemikiran Pancasila sangat berhubungan dengan nilai-nilai yang mendasari urusan kemasyarakatan. Ketika Pancasila dinyatakan sebagai pandangan hidup, berarti Pancasila itu sendiri memiliki ilmu pengetahuan yang sesungguhnya sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia sebagai petunjuk (guidance) di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila yang dipelajari secara ilmiah adalah satu objek pembahasan di mana secara umum Pancasila merupakan hasil budaya bangsa Indonesia (Kaelan, 1993:13). Filsafat ilmu juga tidak dapat dilepaskan dengan Pancasila sebagai sebuah ilmu (science). 104

Syahrul Kirom, Filsafat Ilmu dan Arah ...

Anton Bakker dalam analisisnya menyatakan secara tegas bahwa Pancasila dapat berperan selaku framework di mana sekian ilmu serentak bekerja secara interdispliner. Di sini kapasitas Pancasila dapat dieksplorasi ke dalam ranah filsafat ilmu (Philosophy of Science) berkaitan dengan aras ontologis, epistemologis dan aksiologis (Sutrisno, 2006:124). Pancasila merupakan sebuah pandangan dunia atau world view yang juga dapat ditanamkan nilai-nilai filsafat. Pancasila adalah filsafat bangsa yang sesungguhnya berhimpit dengan jiwa bangsa. Di sini yang muncul adalah kapasitas pengetahuan bangsa, misalnya yang berkaitan dengan hakikat kenyataan dan kebenaran. Hakikat kenyataan dan kebenaran serta nilai-nilai filsafat tersebut sebenarnya adalah bagian dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi yang harus dieksplorasi oleh filsafat ilmu dalam upaya mengembangkan Pancasila. Sebagai pandangan dunia atau filsafat, Pancasila merupakan acuan intelektual kognitif bagi cara berpikir bangsa, yang dalam usaha keilmuan dapat terbangun ke dalam sistem filsafat yang kredibel. Bahan materialnya adalah berbagai butir dan ajaran kebijaksanaan dalam budaya etnik maupun agama. Penguasaan ilmu pengetahuan di Indonesia harus berpedoman pada keilmuan Pancasila. Pancasila berfungsi sebagai sudut pandang. Hal ini adalah konsekuensi logis dari pendirian teleologis dalam ilmu. Ilmu pengetahuan tidak bebas nilai: ilmu pengetahuan “masuk” ke dalam matriks Pancasila yang berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa dan berpuncak pada Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sutrisno, 2006:74-75). D. Pengembangan Nilai- Nilai Pancasila Pancasila mempunyai pengertian secara umum sebagai pandangan dunia (way of life), pandangan hidup (weltanschauung), pegangan hidup (weldbeschauung), petunjuk hidup (wereld en levens beschouwing). Dalam hal ini, Pancasila diperuntukkan sebagai petunjuk hidup yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (Kaelan, 1993:67). Dengan kata lain, Pancasila diperuntukkan sebagai petunjuk arah semua kegiatan dan aktivitas hidup dan kehidupan di segala bidang : politik, pendidikan, agama, budaya, sosial dan ekonomi. Ini berarti semua tingkah laku dan tindak tanduk perbuatan manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila Pancasila. Secara etimologis, menurut tingkatnya, kata “Pancasila” 105

Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011

berasal dari bahasa Sansekerta, India (bahasa kasta Brahmana). Menurut Prof. Muhammad Yamin, dalam bahasa Sansekerta perkataan ”Pancasila” ada dua macam arti, yaitu: Panca artinya ‘lima’, sedangkan, syiila berkaitan dengan peraturan tingkah laku yang penting/ baik. Dengan demikian, Pancasila itu memiliki prinsip-prinsip moral dan etika (Kaelan, 1993:18). Adapun isi dari Pancasila adalah sebagai berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama ini meliputi dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam sila pertama ini kita harus percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, saling menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama, saling menghormati kebebasan dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masingmasing, tidak memaksakan satu agama dan kepercayaan kepada orang lain. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila kedua, pada dasarnya diliputi dan dijiwai oleh Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang juga menjiwai sila-sila persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam sila kedua, kita harus mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban, saling mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Persatuan Indonesia, sila ketiga ini diliputi dan dijiwai oleh Sila Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab, meliputidan menjiwai sila-sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam sila ketiga ini kita harus menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara Indonesia di atas kepentingan pribadi atau golongan, rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara, cinta tanah air dan bangsa, memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Persatuan Indonesia, meliputi dan menjiwai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam sila keempat, berarti 106

Syahrul Kirom, Filsafat Ilmu dan Arah ...

mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan, dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila ini diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan oleh hikmat kebijaksanaan dalam permuswaratan/ perwakilan. Di dalam sila kelima berarti perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan, bersikap adil, menghormati hak-hak orang lain, suka memberi pertolongan kepada orang lain, tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum, bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. (Kaelan, 1993:187-189). Pancasila disebut juga weltanschauung atau pandangan hidup. Hal itu menunjukkan bahwa Pancasila merupakan gagasan vital bangsa, sistem nilai dasar yang derivasinya terbangun ke dalam sistem moral dan sistem hukum negara bangsa, negara kesatuan RI modern. Sebagai pandangan hidup, Pancasila mengandung sistem normatif preskreptif bagi kehidupan manusia. Pancasila mengandung prinsip-prinsip mulia. Kehendak untuk menegakkan negara Indonesia pastilah didasari oleh niat dan pedoman yang baik. Gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya merangkum kebijaksanaan bangsa Indonesia atas konteks budaya dan agama yang berabad lamanya disimpan sebagai norma etis. Unsur-unsur kebaikan tercantum dan menjadi pedoman masyarakat Indonesia. Koento Wibisono menyatakan bahwa untuk mengembangkan Pancasila, pertama harus ada unsur keyakinan. Setiap ideologi selalu memuat konsep-konsep dasar yang menggambarkan seperangkat keyakinan yang diorientasikan kepada tingkah laku para pendukungnya untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Yang kedua adalah unsur mitos. Setiap ideologi selalu memitoskan ajaran dari seseorang atau “badan” sebagai kesatuan, yang secara fundamental mengajarkan cara bagaimana hal yang ideal itu pasti dapat dicapai. Yang ketiga adalah loyalitas. Setiap ideologi selalu menuntut adanya loyalitas serta keterlibatann optimal para pendukungnya untuk mendapatkan derajat penerimaan optimal. Selain itu, dalam ideologi terkandung juga adanya tiga sub 107

Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011

unsur, yaitu rasional, penghayatan dan susila (Bakry, 2001: 36). Notonagoro dalam usahanya memberikan dasar yang sahih bagi tafsir Pancasila secara ilmiah menyajikan sejumlah alasan yang dianggapnya penting. Pertama, dia mengutip apa yang dikatakan oleh Menteri Roeslan Abdulgani pada seminar manipol di Bandung tanggal 28 Januari 1961 bahwa presiden Soekarno menghendaki penarikan ke atas dan penarikan ke bawah ajaran Pancasila. Yang dimaksud dengan penarikan ke atas adalah perumusan teori Pancasila, khususnya ke dalam filsafat ilmu yang mengkaji Pancasila. Sedangkan, yang dimaksud dengan penarikan ke bawah adalah tingkat penjabaran dan pelaksanaannya yang boleh disebut sebagai sikap hidup atau way of life. (Hadi, 1994:30). Sementara itu, Notonagoro juga mengatakan bahwa Pancasila bermanfaat secara epistemologis bagi cara pandang hidup berbangsa dan bernegara. Karena itu, untuk meneruskan manfaat Pancasila sebagai pendirian dan pandangan hidup dalam menentukan sikap dalam kerangka penyelidikan dan penyampaian pandangan dalam ilmu pengetahuan dapat dikemukakan tiga hal penting dan fundamental sebagai pertimbangan, yaitu : kecakapan cipta untuk mencapai kenyataan, sebab-akibat dan hubungan antara ilmu pengetahuan, serta keadaban etika (Edwin dkk., 2006:16). Pengetahuan mengenai Pancasila sebagai dasar filsafat dan asas kerohanian (ideologi) negara Republik Indonesia, sebagaimana halnya pengetahuan yang lain, adalah bertingkat-tingkat. Pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, pengetahuan biasa, pengetahuan yang dicapai dengan akal sehat oleh orang pada umumnya atau disebut common sense. Kedua, pengetahuan ilmiah, pengetahuan yang diperoleh dengan cara ilmu pengetahuan atau analisis. Filsafat ilmu sebagai dasar sebuah ilmu pengetahuan (science of knowledge) dapat mengembangkan Pancasila dengan tiga cara, yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Pertama, secara ontologi, Pancasila pada hakekatnya adalah sebuah sistem nilai atau prinsip yang mendasari bentuk negara Indonesia. Sebagai nilai atau prinsip dasar, di dalamnya terkandung makna-makna kebijaksanaan reflektif yang menyiratkan idealisasi pada hal yang dianggap baik, benar, indah dan bermanfaat bagi manusia. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya menegaskan secara ontologi, bahwa manusia hidup di dunia harus selalu bertaqwa dan beriman kepada Tuhan. Sila pertama memiliki makna secara ontologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang 108

Syahrul Kirom, Filsafat Ilmu dan Arah ...

seharusnya dapat dipahami oleh masyarakat dan bangsa Indonesia agar di dalam kehidupan tidak melakukan perbuatan yang tercela dan merugikan orang lain. Kedua, secara epistemologis, Pancasila pada mulanya adalah harmonisasi dari paham Barat modern sekuler, paham kebangsaan, Islam dan pelbagai jenis pengetahuan lainnya yang melalui proses perdebatan panjang hingga mencapai titik temu. Kebenaran yang dikandung Pancasila adalah kebenaran konsensus. Watak konsensus berkonsekuensi pada fleksibilitas peninjauan atas konsensus, meskipun jika berubah dalam bentuk yuridis akan memiliki kekuatan mengikat. Pancasila yang mengandung kebenaran konsensus adalah sistem terbuka yang dapat ditafsir dalam pelbagai arti, dinilai kelemahan dan kelebihannya dan dikontekstualisasikan dengan semangat perubahan. Pengetahuan yang bersifat kefilsafatan mengenai Pancasila memiliki kesesuaian dengan proses tercapainya kesiapan pribadi. Dengan adanya pengetahuan yang bersifat kefilsafatan mengenai hakikat Pancasila, itu berarti adanya dasar yang kuat dan kekal untuk terbentuknya way of life negara, bangsa dan warga negara (Edwin dkk., 2006:165). Nilai-nilai Pancasila yang terdiri dari lima sila itu memiliki banyak sumber pengetahuan yang sudah seharusnya mampu diimplementasikan dalam kehidupan manusia, dan dijadikan petunjuk dalam berperilaku. Pengetahuan yang terkandung di dalam Pancasila sesungguhnya sudah cukup untuk mengatasi persoalan kebangsaan dan membawa kemajuan jika ia diterapkan secara genuine di dalam menjalankan semua aktivitas, tugas negara maupun tugas akademik. Ketiga, secara aksiologi, Pancasila sebagai pandangan hidup mempunyai nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam silasilanya, yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan kerakyatan serta keadilan sosial. Nilai-nilai luhur tersebut sudah seharusnya mampu diserap oleh masyarakat Indonesia. Berpijak dari ketiga aspek dalam filsafat ilmu tersebut, sistem filsafat di dalam nilai-nilai Pancasila mengandung ajaran tentang potensi dan martabat manusia yang merupakan anugerah dari Tuhan. Karena itu, ketika seseorang mampu menghayati dan menjiwai nilai-nilai budi pekerti dari Pancasila, besar kemungkinan masyarakat Indonesia akan lebih baik dalam berperilaku sehingga apa yang dicita-citakannya akan tercapai serta menjadikan jati diri bangsa Indonesia lebih bermartabat. 109

Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011

Tepat kiranya jika Notonagoro mengembangkan Pancasila seringkali menggunakan “pisau filsafat ilmu”. Ia menghampiri Pancasila dari jendela filsafat, meminjam pelbagai perspektif di dalam teori-teori filsafat dalam rangka membedah hakikat Pancasila. Satu-satunya jalan untuk meluruskan, atau untuk memberi porsi pantas bagi batas-batas pengertian, debat ilmiahfilosofis diyakini dapat menghantarkan masyarakat Indonesia dan dinamika kenegaraan pada nilai hakiki Pancasila. Filsafat sebagai ilmu yang berkerangka komprehensif, radikal, koherensi diyakini dapat menggali unsur-unsur paling inti dari Pancasila (Edwin dkk., 2006:145). Dengan menguak secara filosofis nilai-nilai Pancasila diharapkan memunculkan suatu pengetahuan baru dan pengembangan baru terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan didasari oleh nilai-nilai luhur Pancasila diharapkan dapat menggugah manusia-manusia Indonesia untuk kembali setia dan konsisten meresapi dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Karena itu, sudah menjadi tanggung jawab sebagai seorang ilmuwan untuk mampu membantu dan menerapkan ajaran nilai-nilai dalam Pancasila. Pancasila bagian dari falsafah bangsa Indonesia yang sudah semestinya memiliki nilai-nilai etis dan luhur untuk selalu diimplementasikan di dalam perguruan tinggi sehingga ajaran dan nilai-nilai Pancasila tidak menjadi sebuah simbol saja serta dijadikan sebagai alat kepentingan politik. Karena itu, untuk menyelesaikan problem Pancasila agar tidak dijadikan alat kepentingan politik, dan tidak menyebabkan manusia-manusia Indonesia menjadi apatis, masyarakat Indonesia harus dapat menempatkan ideologi Pancasila sebagai sebuah sistem ilmu pengetahuan sehingga upaya untuk mengikis anggapan negatif atas ideologi Pancasila menjadi lebih memungkinkan. Namun demikian, masyarakat Indonesia itu juga harus mampu menempatkan daya kritis dari cipta karsa pikir manusia terhadap nilai-nilai Pancasila. Apabila Pancasila tidak didukung oleh manusia-manusia yang sadar dan terdidik serta ilmuwan-ilmuwan yang handal, dan para mahasiswa yang duduk di Perguruan Tinggi, maka nilai-nilai Pancasila akan menjadi pudar, disfungsional dan mungkin terjerumus dalam kemandekan dan kebekuan dogmatik, kemiskinan konseptual sebagai akibat langkanya gagasan-gagasan segar secara filsafati. Dengan begitu, sudah semestinya kita perlu merefleksikan 110

Syahrul Kirom, Filsafat Ilmu dan Arah ...

kembali ajaran Ernest Renan dalam uraiannya Qu’est ce qu’une Nation? (1882). Ia menegaskan bahwa hakikat bangsa itu adalah “asas kerohaniaan/asas kejiwaan yang lahir dari suatu solidaritas besar dan dikuatkan oleh keinginan untuk tetap hidup bersama (l desir de vivere ensemble). Ditambahkannya bahwa hakikat suatu bangsa tidak cukup kuat apabila hanya didasarkan pada kesamaan ras, agama, ataupun bahasa (Wibisono, 1995:132). Filsafat, adalah sebuah ilmu pengetahuan sudah seharusnya mampu mengembangkan nilai-nilai Pancasila, dengan jalan dijadikan bahan dan kurikulum dalam pendidikan di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat harus memahami bahwa Pancasila yang memiliki nilai-nilai luhur itu adalah sifat-sifat dan karakter yang sesuai dengan bangsa Indonesia. Karena itu, perguruan tinggi harus mampu mengembangkan dan menanamkan sejak dini di dalam pikiran masyarakat Indonesia. Filsafat ternyata ilmu yang sangat mendasar bagi setiap pengembangan ilmu. Oleh karena itu sudah seharusnya jika ia dijadikan dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Sebab dalam filsafat itulah kita dapat mengetahui bagaimana hakikat ilmu pengetahuan. Karena itu, Pancasila sebagai ilmu pengetahuan sudah seharusnya juga dikembangkan di dalam struktur masyarakat, bahkan mulai dari tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan bahkan di tingkat pejabat negara. Sehingga dengan memberikan penanaman kembali esensi dan ontologi Pancasila, epistemologi Pancasila, aksiologi Pancasila, dapat dijadikan pedoman hidup bagi bangsa Indonesia dan umat manusia. Di sisi lain, dalam konteks keilmuan di dalam akademik, pemahaman dan pengembangan terhadap Pancasila sesungguhnya sangat relevan dengan filsafat ilmu yang menekankan pada pengetahuan ilmiah, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Hal ini dapat dilakukan oleh seorang ilmuwan dan akademisi dan bahkan itu menjadi tanggung jawab mereka untuk melakukan pengembangan Pancasila melalui jalur akademik. Langkah-langkahnya dapat berupa pengajaran dalam lembaga pendidikan formal, seminar, penelitian atau juga penyusunan karya ilmiah. Oleh karena itu, pengembangan Pancasila secara terusmenerus melalui jalur keilmuan itu akan berdampak signifikan. Pancasila dapat memberikan sumbangsih dalam tingkat perguruan tinggi. Penerapan secara terus-menerus filsafat ilmu ke dalam pengembangan Pancasila merupakan kekaryaan yang penting, 111

Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011

sebagaimana juga pernah diisyaratkan oleh Bung Karno bahwa Pancasila harus ditarik ke atas, pada tingkat ilmiah. Tugas ini harus dilakukan di tingkat perguruan tinggi. Tetapi, juga dapat dilakukan oleh komunal dan media didik yang perlu diangkat ke dalam diskusi publik. E. Problem Kebangsaan dan Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila Proses kebangsaan Indonesia sampai hari ini terus berlangsung dengan pelbagai dinamika dan permasalahannnya. Beberapa tahun terakhir persoalan persatuan kebangsaan terasa mengalami tantangan yang tidak ringan, yang tampak pada munculnya peristiwa-peristiwa kerusuhan yang tak sedikit (Sutrisno, 2006:142). Perbedaan aliran keagamaan dapat menyulut perpecahan yang pada akhirnya rasa persatuan semakin hilang. Permasalahan aktual yang lain ialah merebaknya praktek korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan pejabat daerah membuat peradaban bangsa Indonesia semakin hancur. Ketika korupsi menjadi budaya bangsa Indonesia, maka negara Indonesia akan mengalami kesulitan untuk maju dan bersaing dengan negara lain. Menguatnya praktek korupsi di Indonesia disebabkan oleh para pejabat negara yang tidak mampu mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Bahkan mereka apatis, dan tidak peduli dengan Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai sebuah identitas saja, tetapi tidak pernah diimplementasikan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mengatasi persoalan kebangsaan dalam upaya pengembangan Pancasila diperlukan beberapa faktor. Pertama, harus ada proses penyadaran terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang memiliki banyak makna bagi kehidupan umat manusia. Penyadaran dapat dilakukan selain kepada masyarakat juga kepada pejabat negara dengan memberi pengetahuan bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup harus selalu diikutsertakan dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintah sehingga perilaku menyimpang dan korupsi dapat direduksi. Pengetahuan sebagai kesadaran (consciousness) dan kerjasama cipta-rasa-karsa menimbulkan disiplin kehendak kejiwaan (sesuai dengan bawaan karsa-kejiwaan untuk berbuat baik) atau wajib melaksanakan pengetahuan yang kebenarannya/ kenyataannya telah dipastikan oleh cipta-rasa dan telah sesuai dengan rasa keindahan kejiwaan. Pengetahuan tentang Pancasila sebagai kesadaran ideologis menimbulkan wajib ideologis (Edwin 112

Syahrul Kirom, Filsafat Ilmu dan Arah ...

dkk., 2006:157). Pengetahuan tentang Pancasila sebagai kesadaran dapat menimbulkan kelanjutan transformasi di dalam kepribadian dan jiwa manusia. Kedua, memperbaiki mental pejabat negara agar tidak selalu melakukan korupsi yaitu dengan selalu menanamkan nilainilai Pancasila. Dengan memberikan pengetahuan mengenai nilainilai Pancasila akan menambah pengalaman dan peresapan pengetahuan seseorang tentang Pancasila ke dalam mentalitasnya, dan hati-budi-nuraninya. Ketiga, menanamkan nilai-nilai Pancasila ke dalam hati nurani. Jika hati nurani tidak memiliki kepedulian dan empati terhadap nilai-nilai luhur dari ontologi Pancasila maka sulit untuk mengimplementasikan makna Pancasila di dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, yang perlu dibenahi adalah nurani manusia sehingga penyadaran nilai-nilai Pancasila tidak hanya dilakukan melalui rasio dan pikiran manusia saja, melainkan juga menyentuh hati nurani manusia. Pancasila adalah inheren pada eksistensi manusia sebagai manusia yang terlepas dari keadaan kongkretnya. Untuk menunjukkan “akses” ke arah Pancasila, Driyarkara memulai dengan eksistensi manusia yang cara mengadanya ialah ada bersama dalam “Aku-Engkau”, dan bukan antara “Aku-Engkau” (Sutrisno, 2006:76). Karena itu, jika nilai-nilai Pancasila itu sudah inheren di dalam diri manusia, kemungkinan persoalan-persoalan kebangsaan itu dapat diselesaikan. Pengetahuan tentang Pancasila dimulai saat seseorang mulai mengerti keberadaan cipta, rasa dan karsa yang dimilikinya. Saat ketiga unsur tersebut mulai bekerja sama dalam kesatuan yang bulat dan menyeluruh meliputi perinciannya dalam memandang, menilai dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya, saat itulah Pancasila (sebagai pengetahuan) mulai terbentuk dalam dirinya (Edwin dkk., 2006:144). Pengetahuan tentang Pancasila tidaklah cukup berkedudukan di luar, akan tetapi harus dapat menyatu dengan pribadinya, terjelma sebagai sifat, sebagai suasana yang meliputinya dengan mutlak, sampai-sampai dialami sebagai mentalitas, sebagai watak insan kamil di dalam seluruh jiwa dan pikiran manusia. Notonagoro (dalam Edwin dkk., 2006:164) menyatakan bahwa dalam keseharian pengetahuan yang dimiliki seorang manusia tidak menjamin keberadaannya sebagai pelaksana aktif atas pengetahuan tentang nilai-nilai Pancasila yang dimilikinya. 113

Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011

Oleh karena itu, dibutuhkan rasa atau kemauan untuk mengaplikasikan pengetahuan nilai-nilai Pancasila. Sebab hanya dengan kemauan, kemampuan tersebut dapat berguna bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kebutuhan kebangsaan saat ini dan mendatang untuk menyelesaikan masalahmasalah bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya adalah dengan memberikan pemahaman secara komprehensif dan filosofis mengenai nilai-nilai Pancasila dalam pemenuhan eksplanasinya di kalangan elit politik, pejabat negara dan birokrat. Mereka perlu dididik mengenai nilai-nilai Pancasila agar mereka tidak melakukan praktek korupsi dan kecurangan lainnya di dalam sistem demokrasi Indonesia. Pancasila adalah sistem ajaran bangsa Indonesia dalam menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Bangsa Indonesia meyakini kebenaran nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai pedoman berpikir dan bertindak. Karena itu, setiap manusia yang ingin melakukan tindakan harus bercermin pada nilai-nilai Pancasila terlebih dahulu. Pancasila sebagai norma fundamental berfungsi sebagai suatu cita-cita atau ide yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan. Wujud Pancasila secara kongkret merupakan perwujudan Pancasila dalam setiap perbuatan, tingkah laku dan sikap hidup sehari-hari. Untuk merealisasikan pengamalan Pancasila dalam upaya mengatasi persoalan kebangsaan di Indonesia, maka pengamalan Pancasila dapat dilakukan di jalur pendidikan. Pertama, dengan memberikan pengetahuan, pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah dan pengetahuan filsafat tentang Pancasila. Hal ini sangat penting terutama bagi para pemimpin, dan ilmuwan. Kedua, dengan kesadaran, melalui sikap yang sadar dan mengetahui pertumbuhan keadaan yang ada dalam diri sendiri akan membantu seseorang untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Ketiga, dengan ketaatan, yaitu selalu dalam keadaan sedia untuk memenuhi wajib lahir dan batin, lahir berasal dari luar misalnya dari pemerintah, batin dari diri sendiri. Keempat, kemampuan yang cukup kuat, pendorong untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Kelima, mawas diri, yakni dengan selalu menilai diri sendiri apakah dirinya berbuat baik atau buruk dalam melaksanakan Pancasila (Kaelan, 1993:178). Setiap warga negara Indonesia sudah seharusnya mendasarkan cipta, rasa, karsa dan karya atas nilai-nilai Pancasila. Pada hakikatnya, sebagaimana dikatakan Notonagoro, memiliki 114

Syahrul Kirom, Filsafat Ilmu dan Arah ...

pengetahuan dan ilmu mengenai Pancasila pun belum cukup. Oleh karena itu, hal yang penting adalah mengetahui, kemudian meresapi, menghayati dan akhirnya mengamalkan Pancasila dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Pancasila sebagai kepribadian bangsa yang merupakan perwujudan dari jiwa bangsa dalam sikap mental dan tingkah laku adalah dasar filsafat hidup, ideologi, dan moral negara yang harus dikembangkan sesuai dengan kodrat manusia. Wawasan dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah lama berakar serta hidup dalam hati nurani, sanubari, watak, kepribadian dan pergaulan hidup bangsa Indonesia yang tercermin dalam adat-istiadat, kebiasaan, perilaku serta lembaga-lembaga masyarakat. Kelima nilai dasar yang tercakup dalam Pancasila merupakan inti hidup dalam kebudayaan bangsa, sekaligus menjadi tuntutan dan tujuan hidupnya, serta menjadi ukuran dasar seluruh perikehidupan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, pada hakikatnya adalah moral, moral bangsa Indonesia yang mengikat seluruh warga masyarakat, baik sebagai perorangan maupun sebagai kesatuan bangsa. Pancasila adalah etika dan moral bangsa Indonesia dalam arti merupakan inti bersama dari pelbagai moral yang secara nyata terdapat di Indonesia. Bangsa Indonesia mempunyai berbagai moral yang berasal dari agama-agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Masing-masing moral itu mempunyai coraknya sendiri, berbeda satu sama lain dan hanya berlaku bagi kelompok yang bersangkutan. Namun demikian, dalam moral-moral itu terdapat unsur-unsur bersama yang bersifat umum dan mengatasi segala paham golongan. Dengan demikian, nampaklah bahwa moral Pancasila mengatasi segala golongan dan bersifat nasional. Pancasila adalah lima asas moral yang relevan untuk ditetapkan menjadi dasar negara. Karena itu, nilai-nilai Pancasila yang juga memiliki ilmu pengetahuan dari aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi itu harus mampu dijadikan landasan dasar dalam upaya mengembangkan Pancasila dan mengatasi persoalan bangsa Indonesia saat ini. F. Penutup

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kehadiran filsafat di Perguruan Tinggi, bahkan dalam kehidupan manusia, amatlah penting. Hal itu tampak nyata dengan diajarkannya filsafat ilmu di semua bidang disiplin pada jenjang S1, S2 dan S3. Filsafat 115

Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011

ilmu juga dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan secara ilmiah yang bermuara pada melemahnya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila. Melemahnya pemahaman dan penghayatan masyarakat dapat diatasi dengan melakukan revitalisasi dan reaktualisasi nilainilai Pancasila. Dalam kerangka ini, nilai-nilai Pancasila yang memiliki ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan dapat dikaji melalui filsafat ilmu. Pertama, secara ontologi, Pancasila mempunyai ajaran dan nilai-nilai luhur, seperti mengembangkan sikap saling menghormati dan menyayangi sesama manusia, di mana Tuhan mempunyai peranan dalam memberikan petunjuk pada umat manusia. Kedua, epistemologi, Pancasila mempunyai sumber pengetahuan dan wawasan kebangsaan yang sudah seharusnya dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, secara aksiologi, nilai-nilai Pancasila memiliki sumbangan berarti bagi kehidupan umat manusia, nilai-nilai luhur untuk saling membantu dan memberikan rasa keadilan sosial harus diejawantahkan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengembangan Pancasila dapat dilakukan dengan filsafat ilmu. Dalam konteks ini, seorang ilmuwan dan akademisi memiliki peran dan fungsi yang sangat signifikan sebagai mediator untuk memberikan pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila. Melalui kebebasan mimbar dan kebebasan akademik yang dikembangkan secara bertanggung jawab, telaah filsafati mengenai pengembangan Pancasila itu sangat relevan dan urgen untuk “disuarakan” oleh dunia perguruan tinggi. G. Daftar Pustaka Bakry, Noor Ms, 2001, Orientasi Filsafat Pancasila, Liberty, Yogyakarta. Bahm, Archie J, 1985, What is Science?, Alburque, Mexico. Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, 2003, Pengantar Filsafat Ilmu,terjemahan Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta. Edwin, Ferry, dkk, 2006, Prof. Notonagoro & Pancasila: Analisis Tekstual & Kontekstual, UGM Press, Yogyakarta. Gie, The Liang, 1997, Pengantar Filsafat Ilmu, Penerbit Liberty, Yogyakarta. _____________, 2007, Pengantar Filsafat Ilmu, Penerbit Liberty, 116

Syahrul Kirom, Filsafat Ilmu dan Arah ...

Yogyakarta. Hadi, Hardono, 1994. Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila,Kanisius, Yogyakarta. Kaelan, 1993, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta. Sutrisno, Slamet, 2006, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Andi, Yogyakarta. Van Peursen, 1985, Susunan Ilmu Pengetahuan, Gramedia, Yogyakarta. Wibisono Siswomihardjo, Koento, 1995, Peran Filsafat Dalam Hidup Berbangsa, dalamAlex Lanur (ed), Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka: Problem dan Tantanganya, Kanisius, Yogyakarta. ____________________________, 2009, Diktat Mata Kuliah Filsafat Ilmu, Program Pascasarjana Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Tidak Diterbitkan

117