JURNAL ILMIAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP AKTIVITAS

Download Perkembangan teknologi informasi mempengaruhi motif manusia untuk melakukan kejahatan terorisme di dunia maya, sehingga muncul istilah cy...

0 downloads 427 Views 108KB Size
JURNAL ILMIAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP AKTIVITAS CYBERTERRORISM DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Sidang Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum

Oleh : Solihin Niar Ramadhan 110110110195

Program Kekhususan : Hukum Pidana

Pembimbing : Dr. Sigid Suseno, S.H., M.Hum. Dr. Muhamad Amirulloh, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2015

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP AKTIVITAS CYBERTERRORISM DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

ABSTRAK

Solihin Niar Ramadhan 110110110195

Perkembangan teknologi informasi mempengaruhi motif manusia untuk melakukan kejahatan terorisme di dunia maya, sehingga muncul istilah cyberterrorism. Cyberterrorism dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengancam, membahayakan dan merugikan masyarakat. Dalam rangka perlindungan masyarakat, maka hukum pidana memiliki peran penting dalam mencegah dan menanggulangi cyberterrorism. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai kebijakan kriminalisasi terhadap aktivitas cyberterrorism di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif, karena menggunakan data sekunder sebagai sumber utama. Spesifikasi penelitian bersifat deskriptif-analitis dibantu dengan penelitian empirik, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan data dan fakta sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis terhadap ketentuan hukum yang berlaku, khususnya terhadap Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memiliki kelemahan dalam mencegah dan menanggulangi aktivitas cyberterrorism yaitu, tidak tercakupnya kebijakan kriminalisasi propaganda dan dukungan terhadap terorisme. Terhadap pelaku pembuat dan penyebar materi muatan propaganda dan dukungan terhadap terorisme tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam mengoptimalkan upaya perlindungan masyarakat dari bahaya cyberterrorism seperti propaganda dan dukungan terorisme, perlu diadakan perubahan terhadap Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu, perlu dirumuskan suatu ketentuan agar pelaku pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan propaganda dan dukungan terhadap terorisme dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Kata kunci : kebijakan hukum pidana, cyberterrorism, pertanggungjawaban pidana

kebijakan

kriminalisasi,

PENDAHULUAN

Kondisi kehidupan masyarakat yang berkembang pesat senantiasa diikuti oleh peningkatan kejahatan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kondisi tersebut kemudian didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Akibatnya, muncul tindak pidana teknologi informasi yang umumnya disebut sebagai tindak pidana siber atau kejahatan siber (cybercrime). Di antara ragam kejahatan yang menggunakan teknologi, salah satu jenis kejahatan yang saat ini berkembang adalah terorisme. Terorisme menimbulkan rasa takut pada seluruh masyarakat internasional, khususnya masyarakat Indonesia. Saat ini, Indonesia merupakan tempat yang subur pengkaderan terorisme dan tempat yang aman untuk berlindung bagi aktivitas terorisme.1 Interaksi antara pemanfaatan teknologi informasi dan motif manusia untuk melakukan kejahatan terorisme di dunia maya atau di dunia virtual melahirkan pemahaman baru tentang terorisme, yaitu cyberterrorism.2 Dalam beberapa kasus, perkembangan teknologi tersebut digunakan

oleh

kelompok-kelompok

radikal

untuk

melancarkan

kegiatannya.3

1

Romli Atmasasmita (et.al.), Laporan Akhir Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme , Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 2011, hlm.10. 2 Sarah Gordon dan Richard Ford, “Cyberterrorism?”, (tanpa tahun), , [25/09/2014]. 3 Faisal Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, Bandung, Mandar Maju, 2005, hlm.106.

Kasus cyberterrorism yang saat ini sedang berkembang adalah pembuatan dan penyebaran video berisi perekrutan, ancaman, dan propaganda4 terorisme yang diunggah ke internet. Kasus cyberterrorism berupa pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan perekrutan, ancaman, dan propaganda terorisme yang diunggah ke internet bukan merupakan suatu kejahatan yang sederhana walaupun terdapat Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Cyberterrorism yang merupakan bagian dari cybercrime

dipandang

sebagai

sesuatu

yang

dapat

mengancam,

membahayakan dan merugikan masyarakat.5 Sehingga, diperlukan adanya upaya untuk mencegah dan menanggulangi cyberterrorism. Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, peneliti memberikan identifikasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut : 1.

Bagaimana kebijakan kriminalisasi terhadap perekrutan, ancaman, dan propaganda terorisme yang diunggah ke internet dihubungkan dengan Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme?

2.

Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan perekrutan, ancaman dan propaganda terorisme yang diunggah ke internet?

4

Propaganda adalah salah satu upaya penerangan (paham atau pendapat) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang lain agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. 5 Di beberapa negara, aktivitas cyberterrorism terjadi dengan target critical infrastructure seperti jaringan listrik, jaringan telepon, radar bandara udara, sistem peluru kendali, jaringan perbankan, jaringan komunikasi militer, dan infrastruktur publik lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.

Kebijakan Kriminalisasi Terhadap Perekrutan, Ancaman, Dan Propaganda Terorisme Yang Diunggah Ke Internet Dihubungkan Dengan

Undang-Undang

No.15

Tahun

2003

Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Terorisme

merupakan

kejahatan

terhadap

kemanusiaan

dan

peradaban. Selain itu, terorisme juga menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama di dunia.6 Dalam rangka perlindungan masyarakat, hukum pidana memiliki peran penting untuk mencegah dan menanggulangi terorisme. Masyarakat internasional maupun regional telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.7 Indonesia telah melakukan kriminalisasi berbagai perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembuatan

dan

penyebaran

informasi berisi

materi

muatan

perekrutan, ancaman, dan propaganda terorisme yang diunggah ke internet dikategorikan sebagai aktivitas penyebaran materi muatan (dissemination of content) untuk 3 (tiga) tujuan berbeda, antara lain rekrutmen, 6

ancaman,

dan

propaganda

(recruitment,

threats

and

Arsyad Mbaii, Op.Cit.hlm.2. Muladi, “Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi”, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III, hlm. 1, (2002).. 7

propaganda). Aktivitas cyberterrorism merupakan bagian dari cybercrime, sehingga dipandang sebagai sesuatu yang mengancam, membahayakan dan merugikan masyarakat. Dalam rangka perlindungan masyarakat, maka hukum pidana memiliki peran penting untuk mencegah dan menanggulangi cyberterrorism. Pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan propaganda terorisme perlu ditindak secara penal (hukum pidana). Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kebijakan kriminalisasi terhadap pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan untuk tujuan perekrutan, secara implisit tercakup dalam “merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan aksi terorisme” yang tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan untuk tujuan

ancaman

tercakup

dalam

kebijakan

kriminalisasi

yang

dikategorikan sebagai delik formil dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu, penyebaran materi muatan untuk tujuan ancaman tercakup sebagai tindak pidana pengancaman Pasal 27 Ayat (4) j.o Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kebijakan kriminalisasi terhadap pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan untuk tujuan propaganda dan dukungan bagi terorisme melalui penggunaan teknologi dan informasi belum tercakup dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.8 Belum tercakupnya kebijakan kriminalisasi

terhadap

penyebaran

materi

muatan

untuk

tujuan

propaganda dan dukungan bagi terorisme melalui penggunaan teknologi dan informasi merupakan salah satu kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Untuk

menutupi

kelemahan

tersebut,

kebijakan

kriminalisasi

terhadap propaganda terorisme dapat ditinjau berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) sebagai lex generalis dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Apabila dihubungkan dengan KUHP, perbuatan propaganda terorisme tercakup dalam kebijakan kriminalisasi kejahatan terhadap ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 155 ayat (1), 156, 157 ayat (1), dan Pasal 160 KUHP. Apabila dihubungkan dengan UU ITE, khusus bagi penyebar informasi elektronik berisi materi muatan untuk tujuan propaganda dan dukungan terhadap terorisme tercakup dalam kebijakan kriminalisasi menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan dalam Pasal 28 Ayat (2) j.o Pasal 45 Ayat (2) UU ITE.

8

Romli Atmasasmita (et.al.), Laporan Akhir Naskah Akademik Perubahan UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 2011, hlm.58.

2.

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pembuat dan Penyebar Informasi Berisi Materi Muatan Perekrutan, Ancaman dan Propaganda Terorisme yang Diunggah ke Internet Subjek hukum yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana

berdasarkan Pasal 1 angka 2 dan angka 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah setiap orang dan/atau korporasi. Pertanggungjawaban pidana selalu berhubungan dengan kesalahan (schuld) baik dalam bentuk kesengajaan (dolus/opzet) maupun kealpaan (culpa). Dalam pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana terorisme, unsur yang paling fundamental adalah unsur kesalahan, sebab seseorang tidak dapat dikenakan suatu pertanggungjawaban tanpa adanya suatu kesalahan. Kesalahan yang dimaksud tentu kesalahan yang berkaitan dengan pelanggaran UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terhadap pelaku pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan perekrutan atau ajakan untuk melakukan aksi terorisme, dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 14 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terhadap pelaku pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan ancaman terorisme, dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu, terhadap

pelaku penyebar informasi berisi materi muatan ancaman terorisme yang diunggah

ke

internet,

dapat

dikenai

pertanggungjawaban

pidana

berdasarkan Pasal 27 Ayat (4) j.o Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Terhadap pelaku pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan propaganda dan dukungan terhadap terorisme tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jika dihubungkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pembuat informasi berisi materi muatan propaganda dan dukungan terhadap terorisme tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Namun, terhadap penyebar informasi berisi materi muatan propaganda dan dukungan terhadap terorisme dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Penyebar informasi berisi materi muatan propaganda terorisme dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 155 ayat (1), 156, 157 ayat (1), dan 160 KUHP. Sedangkan, untuk penyebar informasi elektronik berisi materi muatan propaganda

terorisme

dapat

dikenai

pertanggungjawaban

berdasarkan Pasal 28 Ayat (2) j.o Pasal 45 Ayat (2) UU ITE.

pidana

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.

Kelemahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak

Pidana

Terorisme

dalam

upaya

mencegah dan menanggulangi aktivitas cyberterrorism yaitu tidak mencakup propaganda dan dukungan terhadap terorisme. Kelemahan tersebut masih dapat ditutupi oleh ketentuanketentuan dalam Pasal 155 ayat (1), 156, 157 ayat (1), 160 KUHP dan Pasal 28 Ayat (2) j.o Pasal 45 Ayat (2) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, kebijakan kriminalisasi dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hanya mencakup penyebar, bukan pembuat informasi propaganda. 2.

Terhadap pelaku pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan perekrutan dan ancaman terorisme yang diunggah ke internet dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun, terhadap pelaku pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan propaganda dan dukungan

terhadap

pertanggungjawaban

terorisme pidana

tidak

berdasarkan

dapat

dikenai

Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorism. Jika dihubungkan dengan KUHP dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pembuat informasi berisi propaganda dan dukungan

terhadap

terorisme

tidak

dapat

dikenai

pertanggungjawaban pidana. Namun, penyebar informasi berisi propaganda dan dukungan terhadap terorisme yang diunggah ke

internet

dapat

dikenai

pertanggungjawaban

pidana

berdasarkan Pasal 155 ayat (1), 156, 157 ayat (1), 160 KUHP dan Pasal 28 Ayat (2) j.o Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

SARAN 1.

Dalam upaya mengoptimalkan perlindungan masyarakat dari bahaya cyberterrorism, perlu diadakan perubahan terhadap Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam perubahan Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu ditetapkan kebijakan kriminalisasi terhadap aktivitas pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan (dissemination of content) untuk tujuan propaganda

termasuk dukungan terhadap terorisme sebagai suatu tindak pidana. 2.

Dalam

upaya

perlindungan

masyarakat

dari

bahaya

propaganda dan pengaruh dukungan terhadap terorisme, maka perlu dirumuskan suatu ketentuan agar pelaku pembuat maupun penyebar informasi berisi materi muatan propaganda dan

dukungan

terhadap

pertanggungjawaban pidana.

terorisme

dapat

dikenai