JURNAL ISSN : 2339-0786 PENDIDIKAN SAINS - kimia.unimus.ac.id

PENDIDIKAN SAINS JURNAL Universitas Muhammadiyah Semarang ISSN : 2339-0786 Diterbitkan Oleh: Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Pe...

29 downloads 646 Views 3MB Size
JURNAL PENDIDIKAN SAINS

ISSN : 2339-0786

Universitas Muhammadiyah Semarang Volume 02, Nomor 01, Maret 2014

Jurnal Pendidikan Sains

Volume 2

Nomor 1

Halaman 1-42

Diterbitkan Oleh: Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam Universitas Muhammadiyah Semarang

Semarang Maret 2014

ISSN 2339-0786

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

ISSN : 2339-0786

JURNAL PENDIDIKAN SAINS PELINDUNG REKTOR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

PENANGGUNG JAWAB Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Muhammadiyah Semarang

PEMBINA REDAKSI Ketua Program Studi Pendidikan Kimia FMIPA UNIMUS

REDAKTUR PELAKSANA 1. 2. 3. 4.

Andari Puji Astuti, S.Pd., M.Pd. Eko Yuliyanto, S.Pd.Si., M.Pd. Fitria Fatichatul Hidayah, S.Si., M.Pd. Muhamad Imaddudin, S.Pd.,M.Pd.

DEWAN REDAKSI 1. Dr. Eny Winaryati, M.Pd. (Universitas Muhammadiyah Semarang) 2. Dr. Sri Haryani, M.Si. (Universitas Negeri Semarang)

ALAMAT REDAKSI: JURNAL PENDIDIKAN SAINS PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA, FMIPA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG Jl. Kedungmundu Raya No.22, Semarang Telp. (024)76740231, 76740231 Email: [email protected]

i

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

ISSN : 2339-0786

JURNAL PENDIDIKAN SAINS DAFTAR ISI

1

2 3

4

5

6

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………………………………………………….

i

REDAKTUR……………….………….………………………………………………………………………………………………………….

ii

PENGANTAR REDAKSI……………………………………………………………………………………………………………………..

iii

Anggun Zuhaida, Sri Haryani, Endang Susilaningsih Penyusunan Asesmen Metakognisi Calon Guru Kimia Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah………………………………………………….…………………………….

1

Eny Winaryati, Kompetensi Pengawas Dalam Supervisi Akademik Pada SMP Di Kota Semarang ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………. Restiana Purwaningtyas, Ashadi, Suparmi Pembelajaran kimia menggunakan pendekatan

6

sains teknologi masyarakat ditinjau dari kreativitas dan kemampuan Berpikir kritis............

14

Fitria Fatichatul Hidayah Karakteristik panduan praktikum kimia fisika bervisi-sets Untuk meningkatkan keterampilan proses sains…………………………………………………………………..…………………..

20

Muhamad Imaduddin, Fitria Fatichatul Hidayah, Andari Puji Astuti, Deskripsi Pedagogical Content Knowledge Guru Kimia Menggunakan Komponen Model Pentagon…………………………..……………………

26

Siti Sarah, Maryono Keefektivan Pembelajaran Berbasis Potensi Lokal dalam Pembelajaran Fisika SMA dalam Meningkatkan Living Values Siswa………………………………………………………………………………..

36

ii

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

ISSN : 2339-0786

PENGANTAR REDAKSI

Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas diterbitkannya Jurnal Pendidikan Sains Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Muhammadiyah Semarang edisi perdana Oktober 2013. Jurnal Pendidikan Sains ini memuat artikel yang membahas aspek, pendidikan kimia, pendidikan fisika, pendidikan biologi, pendidikan IPA, dan inovasi-inovasi pembelajaran. Tim redaksi menerima artikel ilmiah dari hasil penelitian, laporan studi kasus, kajian, dan tinjauan pustaka. Terbitnya jurnal pendidikan ini menjadikan suatu indikator bahwa program studi pendidikan kimia sangat peduli terhadap perkembangan dan inovasi-inovasi pada pendidikan Sains(Fisika, Kimia dan Biologi). Selain itu adanya Jurnal Pendidikan Sains menunjukkan bahwa para dosen pendidikan kimia sudah membudayakan meneliti dan mempublikasikan hasil penelitian. Program Studi Pendidikan Kimia juga mengajak pihak lain berpartisipasi dalam penerbitan jurnal ini baik universitas lokal ataupun tingkat nasional. Guna meningkatkan kualitas jurnal pendidikan Kimia, tim redaksi menerima kritik dan saran untuk memperbaharui inovasi pada Jurnal Pendidikan Kimia. Kami selaku tim redaksi mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap tim redaksi dan pihak-pihak yang terkain atas dedikasi dan kerjasamanya dalam upaya mewujudkan penerbitan Jurnal Pendidikan Kimia.

Semarang, 01 Maret 2014

Redaksi

iii

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

PENYUSUNAN ASESMEN METAKOGNISI CALON GURU KIMIA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH 1)

Anggun Zuhaida, 2)Sri Haryani, 3)Endang Susilaningsih e-mail: [email protected]

1

Mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA, Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. 2,3 Dosen Program Studi Pendidikan IPA, Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. Abstrak

Proses pembelajaran merupakan suatu sistem yang memiliki beberapa komponen diantaranya adalah tujuan, materi, media, metode dan evaluasi. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap sistem pembelajaran tersebut adalah guru. Kompetensi profesional seorang calon guru agar dapat menguasai konsep pembelajaran secara luas dan mendalam dapat dikembangkan dengan mengetahui kemampuan metakognisi dari seorang calon guru. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu asesmen metakognisi bagi para mahasiswa calon guru kimia melalui pembelajaran berbasis masalah. Subjek uji coba dalam penelitian ini adalah 31 mahasiswa sebuah PTN di Semarang menggunakan rancangan one group pretest-posttest design. Asesmen yang dikembangkan disusun berdasarkan indikator metakognisi meliputi asesmen tes essay, asesmen kinerja, asesmen sikap dan asesmen diri. Hasil penelitian pada tes uraian menunjukkan adanya kenaikan kemampuan metakognisi secara umum dengan pengujian N-gain sebesar 0.5 (kategori sedang), hasil observasi kinerja pada saat praktikum dan observasi sikap dalam diskusi dan presentasi menunjukkan penilaian yang positif dengan level ―baik dan sangat baik‖, sedangkan hasil angket penilaian diri menunjukkan hasil yang meningkat dengan N-gain sebesar 0.45 (kategori sedang). Secara keseluruhan melalui suatu pembelajaran berbasis masalah, mahasiswa calon guru kimia mengalami kenaikan keterampilan metakognisi yaitu pada keterampilan ―evaluasi‖. Kata kunci: Asesmen, Metakognisi, Pembelajaran Berbasis Masalah PENDAHULUAN Proses pembelajaran merupakan suatu sistem yang memiliki beberapa komponen diantaranya adalah tujuan, materi, media, metode dan evaluasi. Dengan demikian, ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap sistem pembelajaran tersebut, diantaranya adalah guru, siswa, sarana dan prasarana dan sebagainya. Salah satu faktor yang dianggap sangat mempengaruhi sistem pembelajaran adalah faktor guru. Hal ini dikarenakan, guru merupakan ujung tombak yang berhubungan langsung dengan peserta didik sebagai subjek dan objek belajar (Sanjaya, 2009:50). Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditetapkan untuk melaksanakan amanat UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyatakan Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

kompetensi professional merupakan komponen yang harus dimiliki oleh seorang guru untuk dapat menyampaikan materi kepada peserta didik dengan baik. Kompetensi profesional seorang guru adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi profesional seorang calon guru agar dapat menguasai konsep pembelajaran secara luas dan mendalam dapat dikembangkan dengan mengetahui kemampuan metakognisi dari seorang calon guru. Haryani (2011:9) menyebutkan bahwa peningkatan penguasaan konsep diikuti dengan peningkatan metakognisi, dan sebaliknya, peningkatan metakognisi diikuti dengan peningkatan penguasaan konsep. Metakognisi juga memiliki peran penting untuk membantu calon guru dalam mengelola pembelajarannya kelak dan mengembangkan lingkungan belajar yang kondusif. Pengembangan metakognisi penting dilakukan, karena metakognisi adalah kunci dalam pencapaian pemahaman kimia agar lebih bermakna dan lebih tahan lama. Calon guru, diharuskan untuk dapat melatih metakognisinya agar dapat mengelola pembelajarannya kelak 1

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

(Cooper, 2009:240). Metakognisi calon guru yang berkembang dapat diukur dengan menggunakan suatu alat ukur berupa suatu asesmen. Asesmen merupakan suatu bagian yang terintegrasi dengan perencanaan dan proses pelaksanaan pembelajaran. Mueller (2005) menjelaskan bahwa berbagai metode asesmen harus mampu mengukur semua aspek yang peserta didik ketahui dan peserta didik lakukan. Asesmen harus mampu mengukur tingkat pengetahuan peserta didik dalam mengaplikasikan ilmunya secara efektif dan kreatif, selanjutnya berbagai hasil asesmen dianalisis untuk menentukan penilaian bagi peserta didik. Asesmen juga diharapkan dapat menstimulasi peserta didik untuk melakukan kegiatan dalam rangka meningkatkan kemampuan individual dengan mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan asesmen metakognisi dengan tujuan untuk mengukur metakognisi yang berkembang pada calon guru. Pengembangan metakognisi dapat dilakukan dengan pengorganisasian lingkungan belajar dan kemampuan dalam pemecahan masalah. Dikemukakan oleh Haryani (2011:144) bahwa melalui model praktikum kimia analisis instrumen berbasis masalah dapat dijadikan sebagai pendekatan alternatif untuk dapat meningkatkan metakognisi bagi calon guru kimia. Hmelo dalam Downing (2010:77) menyatakan pembelajaran berbasis masalah pada dasarnya memerlukan cara yang berbeda dalam menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah, dan melibatkan proses metakognitif. Pembelajaran berbasis masalah merupakan cara belajar yang mendorong pemahaman lebih dalam dari suatu materi, dan juga merupakan pembelajaran berorientasi masalah di mana peserta didik tidak hanya mendapatkan pengetahuan dasar, tetapi juga dapat mengalami bagaimana menggunakan pengetahuan mereka untuk memecahkan masalah dalam dunia nyata (Bilgin, 2009:154). Asesmen metakognisi melalui pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan tujuan untuk mengukur metakognisi calon guru kimia. Target utama dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester 4 (angkatan 2011) pada PTN di Semarang yang mempunyai kemampuan heterogen. Mahasiswa calon guru yang pada hakikatnya nanti diharapkan dapat menjadi seorang guru yang memenuhi kompetensi guru

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

sehingga dapat mentransfer ilmu yang dimiliki dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun asesmen metakognisi melalui pembelajaran berbasis masalah pada perkuliahan Kimia Organik II (materi ajar Benzena) bagi calon guru kimia. Harapan dari penelitian ini adalah dapat memberikan kontribusi dalam mengetahui kemampuan metakognisi calon guru kimia dan dapat meningkatkan kualitas lulusan calon guru kimia yang dapat dengan baik mengorganisir pembelajarannya kelak. METODE PENELITIAN Metode pre experimental dengan one group pretest-posttest design digunakan dalam penelitian ini, dan perbedaan antara tes awal dan tes akhir diasumsikan sebagai efek perlakuan. Penelitian dilakukan di Program Studi Tadris Kimia Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Walisongo Semarang, dengan subyek penelitian 31 orang mahasiswa. Data yang diperoleh terdiri atas data kualitatif yaitu berupa hasil asesmen kinerja dan sikap (lembar observasi) dan asesmen diri (angket), serta data kuantitatif berupa hasil tes uraian. Hasil tes uraian dan angket dianalisis menggunakan N-gain, sedangkan data kualitatif dianalisis secara deskriptif persentase. Pengukuran metakognisi dilakukan dengan menggunakan asesmen tes essay, kinerja, sikap dan diri yang mengandung indikator-indikator metakognisi yang dikembangkan dari tipe-tipe Metakognisi Schraw dan Dennison (1994:472474) yang meliputi beberapa keterampilan metakognisi: (a) pengetahuan deklaratif, (b) pengetahuan prosedural, (c) pengetahuan kondisional, (d) planning, (e) manajemen informasi, (f) monitoring, (g) debugging dan (h) evaluasi. HASIL DAN DISKUSI Pembelajaran kimia organik berbasis masalah pada penelitian ini dirancang untuk meningkatkan metakognisi dan keterampilan pemecahan masalah mahasiswa calon guru pada materi benzena. Masalah yang harus diselesaikan mahasiswa melalui diskusi dan praktikum dapat berasal dari dosen, namun juga dapat berasal dari mahasiswa setelah dikonsultasikan dengan dosen. Dari masalah yang diberikan dosen serta masalah yang berasal dari mahasiswa, selanjutnya secara berkelompok mahasiswa menentukan masalah open ended sebagai berikut: (1) penggunaan asam benzoat 2

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

pada makanan, (2) penggunaan fenol sebagai desinfektan (3) penggunaan pewarna diazo sebagai pewarna tekstil (4) penggunaan sakarin sebagai pemanis buatan, (5) penggunaan DDT sebagai pestisida, dan (6) penggunaan natrium alkil benzena sulfonat sebagai detergen. 35 30 25 20 15 10 5 0

35 30 25 20 15 10 5 0

0 1

30

11

IT

9

SBIT

7 4

5 SB

23

23

B CB

6

3

KLT

Aspirin

KB

Gambar 2: Hasil Analisis Asesmen Kinerja Mahasiswa dalam Praktikum *Ket. SB: sangat baik, B: baik, CB: cukup baik, KB: kurang baik Gambar 2 menjelaskan bahwa hasil kinerja mahasiswa pada praktikum pembuatan aspirin menunjukkan hasil yang sangat baik diperoleh 5 mahasiswa, baik 23 mahasiswa dan cukup baik 3 mahasiswa. Sedangkan pada praktikum KLT: nitrasi fenol menunjukkan hasil yang sangat baik diperoleh 2 mahasiswa, baik 23 mahasiswa dan cukup baik 6 mahasiswa. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pencapaian kinerja pada praktikum aspirin lebih tinggi, hal ini dikarenakan pada praktikum aspirin tidak diperlukan keterampilan khusus untuk penggunaan instrumen alat tertentu seperti pada praktikum Kromatografi lapis tipis. Hasil kinerja dari pelaksanaan kedua praktikum menunjukkan ketercapaian yang baik secara umum dengan ditunjukkannya tidak ada mahasiswa yang masuk dalam kategori kurang baik. Hal tersebut disebabkan karena pada saat sebelum pelaksanaan praktikum mahasiswa diberikan kesempatan untuk diskusi dan memecahkan permasalahan yang kira-kira akan mereka hadapi saat praktikum. Sehingga pada saat pelaksanaan praktikum mahasiswa lebih mudah untuk melakukannya. Indikator metakognisi yang paling tinggi pada asesmen kinerja adalah pada indikator mengetahui apa yang dibutuhkan untuk belajar dengan baik. Indikator tersebut masuk dalam keterampilan metakognisi: planning.

SKIT TMI

pra pembelajaran pasca pembelajaran

Gambar 1. Hasil Analisis Perubahan Ketercapaian Indikator Metakognisi Peserta Didik *Ket. IT: indikator tercapai, SBIT: sebagian besar indikator tercapai, SKIT: sebagian kecil indikator tercapai, TMI: tidak mencapai indikator Gambar 1 menunjukkan hasil ketercapaian indikator metakognisi melalui tes essay pada pra dan pasca pembelajaran, dapat diketahui bahwa porsi TMI pada pasca pembelajaran jauh lebih sedikit dibandingkan pra pembelajaran. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kemampuan yang signifikan dari peserta didik. Pada pra pembelajaran kategori yang muncul hanya TMI dan SKIT, sedangkan pada pasca pembelajaran sudah mulai muncul kategori SBIT dan IT. Hasil tersebut menunjukkan dengan penggunaan asesmen metakognisi melalui pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan metakognisi peserta didik. Hasil dari pretest yang diperoleh menunjukkan rerata sebesar 21,2 dan data terdistribusi normal. Sedangkan hasil posttest, rerata yang didapatkan sebesar 75,8 dan data juga terdistribusi normal. Berdasarkan rerata pretest dan posttest menunjukkan kenaikan sebesar 54,6 sehingga diperoleh N-gain sebesar 0,5 yang termasuk dalam kategori sedang. Indikator metakognisi yang paling tinggi diperoleh pada indikator menyusun dan menginterpretasikan data atau pernyataan yang ada, indikator tersebut merupakan salah satu indikator yang terdapat pada keterampilan metakognisi: Evaluasi.

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

2

3

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

20

16

40

15 10

10 5

5

jumlah peserta didik

0 SB

B

CB

KB

3

20

15

10 0

Gambar 3. Hasil Asesmen Sikap dalam Diskusi dan Presentasi Pemecahan Masalah

3 14 8

7

sangat baik baik

13

6

6 5

Pra pembelajaran

Pasca Pembelajaran

cukup kurang

Gambar 4. Hasil Angket Penilaian Diri: Pra Pasca Pembelajaran

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

8

baik

11

cukup

9 4

10 2

kurang

Pra praktikum

Pasca praktikum

Gambar 5: Hasil Angket Penilaian Diri: Pra Pasca Praktikum Berdasarkan Gambar 4 dan 5 menunjukkan perubahan ke arah yang positif pada perubahan kemampuan metakognisi mahasiswa pada saat perkuliahan maupun praktikum. Selain itu, perubahan ke arah positif juga dapat dilihat dari hasil N-gain angket penilaian diri saat pembelajaran sebesar 0,29 (rendah) dan 0,45 (sedang) pada saat praktikum. Meskipun gain pada angket perkuliahan merupakan kategori rendah, tetapi dari hasil pencapaian menunjukkan ke arah positif dengan meningkatnya jumlah kategori sangat baik dan menurunnya kategori kurang baik. Pada angket penilaian diri saat praktikum menunjukkan harga gain yang lebih tinggi jika dibandingkan gain pada saat perkuliahan, hal ini dikarenakan siswa lebih tertarik dengan pemecahan masalah melalui kegiatan praktikum dibandingkan dengan pemecahan masalah hanya melalui diskusi dan presentasi di dalam kelas. Indikator metakognisi yang paling tinggi pada asesmen diri melalui perkuliahan adalah merencanakan beberapa strategi untuk memecahkan masalah (keterampilan metakognisi: planning), memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan baik (keterampilan metakognisi: evaluasi) dan mengembangkan strategi belajar yang berbeda bergantung pada situasi (keterampilan metakognisi: pengetahuan prosedural). Sedangkan asesmen diri pada saat praktikum menunjukkan kenaikan indikator metakognisi yang paling tinggi adalah: mengetahui tingkat kemampuan yang telah dimiliki dan membuat ringkasan tentang apa yang telah dipelajari (keterampilan metakognisi: evaluasi), serta menghubungkan informasi yang didapat dengan teori yang ada (keterampilan metakognisi: manajemen informasi).

Gambar 3 menunjukkan bahwa pencapaian mahasiswa terhadap penggunaan asesmen sikap dalam diskusi menunjukkan baik secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh pencapaian mahasiswa yang hanya pada kategori sangat baik (5 mahasiswa), baik (16 mahasiswa) dan cukup baik (10 mahasiswa). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada saat pelaksanaan diskusi dan pemecahan masalah mahasiswa cenderung antusias untuk mengikuti dan memiliki keinginan yang besar untuk dapat mengetahui apa yang disampaikan oleh temantemannya. Indikator metakognisi yang paling tinggi adalah pada indikator: memahami tujuan belajar, menyusun dan menginterpretasikan data atau pertanyaan yang ada. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa sudah memiliki keterampilan metakognitif berupa pengetahuan deklaratif untuk memahami tujuan belajar sehingga menjadikan mahasiswa dapat memahami tujuan belajarnya dan dapat mengevaluasinya dengan menginterpretasikan data yang ada. 35 30 25 20 15 10 5 0

sangat baik

30

4

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

SIMPULAN Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, asesmen metakognisi yang dikembangkan berdasarkan indikator-indikator metakognisi melalui pembelajaran berbasis masalah meliputi asesmen tes essay, kinerja, sikap dan diri dengan menggunakan instrumen tes (soal uraian) serta non tes (lembar observasi dan angket). Kedua, hasil penggunaan asesmen metakognisi pada instrumen tes berupa soal uraian menghasilkan gain 0,5 (kategori sedang), asesmen kinerja dan sikap dengan menggunakan lembar observasi secara umum menunjukkan hasil positif dengan level ―baik dan sangat baik‖ serta asesmen diri menghasilkan gain pada pelaksanaan perkuliahan 0,29 (rendah) dan pada praktikum 0,45 (sedang). Terakhir, keterampilan metakognisi secara umum meningkat pada indikator keterampilan planning dan evaluasi. Daftar Pustaka Bilgin, Ibrahim, Erdal Senocak, Mustafa Sozbilir. The Effects of Problem-Based Active Learning in Science Education on Students’ Academic Achievement, Attitude and Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 5: 153-164, (2009) Cooper. Design and Validation of an Instrument To Assess Metacognitive Skillfulness in Chemistry Problem Solving. Journal of Chemical Education, 86: 240-245, (2009) Downing, Kevin. Problem-Based Learning and Metacognition. Asian Journal Education & Learning, 1: 75-96, (2010) Haryani, Sri. Pengembangan Model Praktikum Analitik Instrumen Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Metakognisi Mahasiswa Calon Guru. UPI, Bandung, (2011) Mueller, J. The Authentic Assessment Toolbox: Enhancing Student Learning Through Online Faculty Development. North Central College, 1: 1-7, (2005) Schraw, Dennison. Assesmen Metacognitive Awareness. Department of Educational Psychology. University of Nebraska, Lincoln, (1994)

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

5

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

KOMPETENSI PENGAWAS DALAM SUPERVISI AKADEMIK PADA SMP DI KOTA SEMARANG Eny Winaryati Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS) Jl. Kedungmundu Raya No. 18 Semarang. Email: [email protected] ABSTRAK Ada dua hal yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah, yaitu: kualifikasi dan kompetensi. Kompetensi yang harus dimiliki meliputi enam yaitu: kompetensi kepribadian, supervisi manajerial, supervisi akademik, evaluasi pendidikan, penelitian dan pengembangan, dan kompetensi sosial. Tanggung jawab pengawas sekolah adalah meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar/bimbingan dan hasil prestasi belajar/bimbingan siswa dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Terlebih di era globalisasi ini, tuntutan tanggung jawab seorang pengawas sekolah menjadi semakin berat. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: mengetahui gambaran pengawas dalam supervisi akademik pada SMP di kota Semarang. Hasil penelitian diperoleh beberapa temuan penilaian terhadap kompetensi pengawas sekolah dalam supervisi akademik yaitu terkait dengan: (1) pembimbingan kepala sekolah pada tiap mata pelajara dari rumpun mta pelajaran yang relevan; (2) berkenaan dengan tugasnya untuk membimbig guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran berdasarkan pengembangan KTSP; (3) pembimbingan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan. Berdasarkan beberapa temuan diatas, perlu dicari solusinya, agar hubungan antara supervisor dan supervisee dapat berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan, melalui penilaian multirater (berdasarkan teori 360 degree feedback). Harapannya agar pengawas sekolah mengetahui kekurangan dan adanya perbaikan di masa depan. Kata Kunci: pengawas, supervisi, semarang PENDAHULUAN Berdasarkan permendiknas no. 12 tahun 2007, tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah. Ada dua hal yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah, yaitu: kualifikasi dan kompetensi. Kompetensi yang harus dimiliki meliputi enam yaitu: kompetensi kepribadian, supervisi manajerial, supervisi akademik, evaluasi pendidikan, penelitian dan pengembangan, dan kompetensi sosial. Kompetensi sebagai pengawas satuan pendidikan diatas dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan fungsional pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah. Berkenaan dengan kompetensi supervisi akademik, seorang pengawas harus memiliki kemampuan untuk membina, mengarahkan, membimbing guru agar dapat mengelola kelas dengan professional, mendidik siswanya agar berakhlak mulia, memiliki kreativitas dan inovasi dalam proses pembelajaran, dapat mengkreasi pembelajaran menjadi bermakna. Gurulah yang sering berhadapan dengan siswa. Menjadi hal yang sangat mungkin, jikan Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

guru menjadi panutan dan idola bagi muridnya. Guru tidak hanya dituntut pengajaran saja, tetapi juga pendidikan. Tuntutan guru yang professional dan berdedikasi menjadi suatu keharusan dan kunci keberhasilan siswanya. Guru memiliki posisi yang sangat penting dan menetukan. Guru merupakan garda terdepan dalam keterlaksanaan proses pemelajaran di sekolah. Guru merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas kualitas dan kebermaknaan proses pemelajaran di dalam kelas. Guru adalah pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik (UU no 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen). Hal diatas sejalan dengan keputusan Menpan No. 118 tahun 1996 menyatakan bahwa pengawas sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan kepengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah tertentu yang telah ditunjuk/ditetapkan. Tanggung jawab pengawas sekolah adalah meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar/bimbingan dan hasil prestasi 6

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

belajar/bimbingan siswa dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Terlebih di era globalisasi ini, tuntutan tanggung jawab seorang pengawas sekolah menjadi semakin berat. Persoalan yang terkait tentang pengawas sekolah adalah, pengawas sekolah sering dijadikan masa tunggu untuk memperpanjang masa pensiun. Hal ini sudah bukan rahasia di sunia pendidikan kita. Kemampuan pengawas yang belum atau tidak memadai, terutama untuk mendorong guru agar dapat mengkreasi pembelajaran yang bermakna dengan berbagai strategi pembelajaran, lebih banyak tidak tergarap. Pembelajaran kontekstual yang menjadi keharusan dewasa ini, menjadi tanggung jawab yang harus dipikirkan oleh guru dengan segala keterbatasannya. Terlebih dengan lemahnya monitoring, dan evaluasi yang dilakukan oleh pengawas, maka unsur pembinaan dan motivasi pada guru menjadi rendah. Hal ini diperkuat dengan banyaknya sekolah yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga pengawas sekolah kurang mengetahui secara nyata situasi pembelajaran di kelas. Sementara itu pengawas BP dan pengawas mata pelajaran/rumpun mata pelajaran belum dapat dilaksanakan secara merata pada hampir setiap sekolah. Realisasi pengawas mata pelajaran serumpun membutuhkan jumlah pengawas yang lebih banyak. Pelaksanaannya diserahkan oleh masing-masing daerah. Sudah barang tentu tergantung kebijakan kepala daerah setempat. Rumusan masalahnya adalah bagaimana gambaran kompetensi pengawas dalam supervisi akademik pada SMP di kota Semarang?. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: mengetahui gambaran kompetensi pengawas dalam supervisi akademik pada SMP di kota Semarang.

Instrumen penilaian guru IPA terhadap kompetensi pengawas sekolah. Pengukuran dengan menggunakan skala likert 1-5 (sangat setuju- Sangat Tidak setuju). HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian kompetensi pengawas sekolah SMP kaitannya dalam supervisi akademik di wilayah kota Semarang, dalam penelitian ini dilakukan oleh kepala sekolah dan guru IPA. Hal ini dimaksudkan bagaimana supervisee menerima atau menanggapi supervisi yang dilakukannya selama ini. Penilaian ini didasarkan pada dimensi-dimensi, yang dirinci dalam beberapa indikator. 1. Memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis. 2. Memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis. 3. Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis berlandaskan standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP. 4. Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran/bimbingan yang dapat mengembangkan berbagai potensi siswa melalui mata-mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis. 5. Membimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis. 6. Membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pela-jaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di seko-lah menengah yang sejenis. 7. Membimbing guru dalam mengelola, merawat, mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran

METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian kuantittaif dalam bidang pendidikan. Penelitian dilakukan di wilayah kota Semarang. Subyek penelitian adalah SMP di Kota Semarang, yang terdiri dari : 1) Kepala Sekolah SMP di Kota Semarang; 2) Guru IPA SMP di Kota Semarang. Dalam rangka mengumpulkan data, dilakukan pengukuran dengan menggunakan Instrumen atau alat ukur. Instrumen/alat ukur variabel penelitian ini adalah nontes, meliputi: a) Instrumen penilaian oleh kepala sekolah terhadap kompetensi pengawas sekolah; b) Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

7

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

dalam rumpun mata pelajaran yang relevandi sekolah menengah yang sejenis. 8. Memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaan yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.

kerja; 2) dapat meningkatkan kemampuan bidang pengawasan, melalui eksplorasi kebutuhan daripada dukungan kebutuhan; 3) dapat meningkatkan pemahaman tentang bagaimana proses pembelajaran itu dilakukan, agar tidak terhambat oleh masalah relasional; 4) dapat meningkatkan keterampilan mediasi problem pengawasan di lapangan; 5) dapat memperkuat peran awal pada kantor bidang pendidikan melalui pendalaman pemahaman tentang masalah relasional yang serius pada clien. Attachment Theory dapat meningkatkan sebuah pemahaman tentang hubungan pengawasan, melalui model internalisasi kedekatan kepengawasan yang dipengaruhi oleh gaya relasional mereka. Harapannya adalah terjalinnya hubungan yang aman, akan ditemukan lingkungan yang aman untuk belajar, memfasilitasi mereka untuk mengeksplorasi dan pertumbuhan profesionalnya. (Susanne Bennett, Loretta Vitale Saks, 2006).

Pembahasan dalam penelitian ini dibagi dua: 1) penilaian dari kepala sekolah; 2) penilaian dari guru IPA SMP. Pembahasan didasarkan dari totalitas nilai pada tiap dimensi. Harapannya akan diperoleh gambaran dari tiap dimensi tentang kompetensi pengawas sekolah dalam supervisi akademik. Berdasarkan dimensi diatas ada beberapa kalimat kunci berkenaan dengan kompetensi kepala sekolah yakni: 1) Membimbing berkenaan dengan perkembangan tiap mata pelajaran; 2) Melakukan pembimbingan tiap mata pelajaran; 3) Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran berdasarkan prinsip KTSP; 4) Membimbing dalam penggunaan strategi pembelajaran; 5) membimbing menyusun RPP; 5) Membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran; 6) Membimbing guru dalam pemanfaatan media pembelajaran;7) Memotivasi guru dalam pemanfaatan TI. Pengawas dapat memperkaya kemampuannya di lapangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan, seperti mengajar, administrasi, dan fungsi dukungan emosional. Pengawas diperlukan adalah untuk menyediakan bimbingan. Fungsi dukungan emosional dari pengawas diperlukan, terutama ketika yang di-supervisee sedang mengalami problem lingkungan dalam dirinya, dan hubungan diantara mereka. Bila pengawasan dapat member dukungan rasa aman, mereka menjadi tidak ragu. Ketidakamanan, kekhawatiran tentang kesalahan, atau kecemasan yang dialami menjadi hilang. Pengawas harus menggunakan kesempatan, terutama untuk mendengarkan, memberikan perspektif dan klarifikasi teori dan praktek. Attachment Theory, menjelaskan bahwa dalam hubungan sosial, pengawasan perilaku manusia dipengaruhi banyak faktor sebelumnya. Perhatian terhadap perilaku, mengarah pada pola kedekatan/hubungan sehingga dapat menawarkan lensa baru untuk pengawasan dan dapat memenuhi tujuan sebagai berikut: 1) dapat memberikan lensa untuk mengenali dan menilai kebaikan antara yang di supervisee dengan supervisor dalam hal pola relasional dan aliansiJurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

a. Penilaian Kepala Sekolah terhadap Pengawas Sekolah tentang Supervisi. Responden dalam penelitian ini adalah guru, dan kepala sekolah. Total sampel adalah 41 SMP, 14 SMP Negeri, dan 27 SMP swasta. Jika didasarkan dari jumlah sekolah yang ada, seharusnya perbandingannya adalah 1 SMP Negeri : 3 SMP Swasta. Namun dalam penelitian ini perbandingan yang digunakan adalah 1 SMP Negeri : 2 SMP Swasta. Hal ini didasarkan dengan alasan, karena banyak SMP swasta yang memiliki jumlah murid sangat sedikit, sehingga kualifaksinya kurang memenuhi. Ada beberapa sekolah SMP yang bisa dikatakan ―mati segan hidup tak mau‖. Responden dipilih dari masing-masing sub rayon sebanyak lima sekolah. Responden menilai koompetensi kepala sekolah terkait dengan kapasitasnya sebagai supervisi akademik yang dilakukannya. Hasil penilaian tertera pada tabel ddan gambar beikut ini. Tabel 2. Rata-rata penilaian kepala sekolah tentang supervisi pengawas sekolah

8

Nomor

Dimensi

1 2 3 4 5

1 2 3 4 5

Jmh Indikator

3 indikator 2 indikator 2 indikator 3 indikator 1 indikator

Nilai ratarata

4,34 4,02 3,98 4,15 4,07

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

6 6 7 7 8 8 Skor total Rata-rata nilai

2 indikator 3 indikator 2 indikator

memerlukan langsung keterlibatan dengan fenomena dan banyak diskusi tentang bagaimana menafsirkan pengamatan. Baik NSTA dan the National Research Council’ (NRC) percaya bahwa laboratorium yang berkualitas adalah yang menyediakan bagi siswanya pengalaman dengan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan fenomena alam dan dengan data yang dikumpulkan oleh orang lain. Sesuai dengan tahapan perkembangan laboratorium pengalaman yang mengintegrasikan laboratorium, kuliah, diskusi, dan membaca tentang ilmu pengetahuan sangat penting bagi siswa dari segala usia dan tingkat kemampuannya (Froschauer, 2007, hal 2). Jika pembimbingan dari pengawas kepada guru masih ditemukan adanya masalah, hal ini dapat menurunkan kualitas guru dalam pembelajaran. Harapannya adalah hubungan antara pengawas dan yang diawasi terjalin dalam suasana yang menyenangkan, sehingga dapat berdampak pada keberhasilan belajar siswa. Linda S Moore, Alan J Dettlaff & Tracy J Dietz (2004), menyampaikan dalam penelitiannya bahwa pembelajaran tidak akan terjadi jika ada factor yang menghambat hubungan pengawasan. Sementara pertumbuhan literatur terfokus pada pentingnya pengawasan perilaku dan keterampilan dalam pengawasan lapangan. Penelitian menunjukkan bahwa kualitas hubungan antara supervisor dan supervisee merupakan faktor utama dalam hal keberhasilan di lapangan. Hubungan positif di atas memiliki pengaruh kuat terhadap kinerja daripada kemampuan. Menggunakan MyersBriggs Type Indicator (MBTI) untuk memeriksa hubungan antara tipe kepribadian dan beberapa variable. Handley (1982) menemukan korelasi yang signifikan antara supervisor pelatihan dan kepuasan peserta latihan dalam pengawasan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa mengenali perbedaan di awal proses pengawasan dapat meningkatkan kepuasan dan menghindari potensi masalah dalam hubungan pengawasan. Literatur menunjukkan bahwa siswa yang memiliki pengalaman lapangan positif lebih memungkinkan untuk mencapai tujuan belajar mereka dengan layanan yang efektif. Kepuasan pengalaman lapangan lebih memungkinkan meningkatkan pembelajaran, meningkatkan motivasi, dan meningkatkan keterlibatan siswa dalam pengalaman lapangan.

3,89 4,08 4,38 32,91 4,11

Penilaian Kepala Sekolah terhadap Supervisi Pengawas Sekolah 4,40 4,20 4,00

Series1

3,80 3,60 1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 1. Grafik Rata-rata penilaian kepala sekolah tentang supervisi yang dilakukan oleh pengawas sekolah Penilaian terendah pada dimensi 2,3, dan 6. Item nomor 2 tentang kompetensi pengawas sekolah dalam melakukan pembimbingan pada tiap mata pelajaran dari rumpun mata pelajaran yang relevan. Item nomor 3 tentang kompetensi pengawas sekolah berkenaan dengan tugasnya untuk membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran berdasarkan pengembangan KTSP. Item nomor 6 tentang komptensi pengawas untuk melakukan pembimbingan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan. Nilai paling rendah terdapat pada item nomor 6. Padahal kegiatan ini sangat penting untuk mengarahkan dan membimbing guru dalam pembelajaran. Terlebih dalam pembelajaran IPA guru dintuntut untuk mendayagunakan fungsi laboratorium sebagai bagian central kegiatan pembelajaran. Karena dari laboratoriumlah para ilmuan bekerja untuk mendapatan temuan-temuan. Pengalaman laboratorium harus menjadi bagian integral dari pembelajaran sains. The American Chemical Society ( ACS) merekomendasikan bahwa sekitar 30% waktu instruksional harus dikhususkan untuk pekerjaan laboratorium. The American Association for the Advancement of Science (AAAS) menyatakan "Belajar ilmu pengetahuan secara efektif Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

9

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

b. Penilaian Guru terhadap Pengawas Sekolah tentang Supervisi Marion Bogo; Judith Globemian; Tamara Sussman, (2004) menyampaikan bahwa supervisi kelompok dalam pekerjaan sosial dan konseling memberikan penegasan pentingnya mengembangkan dan mempertahankan iklim kelompok yang produktif dan proses di mana siswa menampilan jati diri mereka sehingga saling melengkapi dan interaktif dalam mengejar tujuan belajar. Di bidang pendidikan medis kelompok belajar berbasis masalah semakin digunakan, belajar melalui dinamika kelompok pada siswa baru-baru ini memperoleh perhatian. Studi yang secara khusus menangani persepsi mahasiswa dalam kelompok ditemukan bahwa nilai siswa kelompok belajar dan memiliki tujuan yang jelas, komunikasi antara siswa terbuka, dan fasilitator yang fleksibel untuk melakukan umpan balik pada kelompok. Hasil temuan di atas bila di aplikasikan pada peran pengawas dalam supervisi pembelajaran menjadi sangat penting. Bagaimana agar tercipta iklim kelompok yang kondusif bagi guru untuk mengembangkan potensinya. Penilaian guru IPA SMP di kota Semarang tentang kompetensi pengawas sekolah diperlihatkan pada tabel dan gambar berikut ini.

Penilaian Guru terhadap Supervisi Pengawas Sekolah 4,5 4 3,5 3 1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 2. Grafik Rata-rata penilaian guru tentang supervisi yang dilakukan oleh pengawas sekolah Dari gambar diatas terlihat bahwa penilaian terendah pada dimensi 2 dan 6. Item nomor 2 tentang kompetensi pengawas sekolah dalam melakukan pembimbingan pada tiap mata pelajara dari rumpun mata pelajaran yang relevan. Item nomor 6 tentang komptensi pengawas untuk melakukan pembimbingan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan. Ke2 item ini skornya sanagat mencolok bila dibandingkan dengan item yang lainnya. Bila proses pembimbingan dari pengawas sekolah kepada guru masih dirasa ada hambatan, maka ini akan berpengaruh terhadapkualitas pembelajaran dan akan berdampak lebih lanjut pada kualitas belajar siswanya. Konsep pembelajaran dewasa ini adalah CBSA (cara Belajar Siswa Aktif) sehingga konsep belajar yang dapat mendorong siswa berprikir kritis menjadi bagian yang tidak boleh ditinggalkan. Todd Campbell, Chad Bohn (2008) menyampaiakn tentang empat prinsip yang mendukung lingkungan belajar yang efektif. Keempat prinsip tersebut adalah: 1) Pembelajaran berpusat pada siswa, seberapa pengetahuan awal siswa sebelum siswa masuk kels. 2) Pengetahuan berpusat lingkungan: lingkungan yang membantu siswa belajar dengan pemahaman melalui terlibat dengan ide-ide ilmiah dalam menelaah suatu ilmu. 3) Penilaian untuk mendukung pembelajaran: penilaian yang digunakan untuk mendukung pembelajaran melalui umpan balik melalui penilaian formatif. 4) Berpusat lingkungan masyarakat: lingkungan yang ditandai oleh kesempatan dan motivasi untuk

Tabel 2. Rata-rata penilaian kepala sekolah tentang supervisi yang dilakukan oleh pengawas sekolah Nomor

1 2 3 4 5 6 7 8

Dimensi

1 2 3 4 5 6 7 8 Skor total Rata-rata nilai

Jmh Indikator

3 indikator 2 indikator 2 indikator 3 indikator 1 indikator 2 indikator 3 indikator 2 indikator

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

Series1

Nilai rata-rata

4,04 3,73 4,1 4,15 4,02 3,76 4,1 4,32 32,22 4,0275

10

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

berinteraksi dan mendengar rekanrekan. Dalam penelitian ini ketika mempertimbangkan pembelajar berpusat lingkungan, Desain Pelajaran dan Implementasi sehingga ada keuntungan dimasa depan. Ejauh mana siswa terlibat untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka kepada orang lain.

menerima itu. Sebuah diskusi tentang pendekatan multirater untuk pengukuran kinerja disajikan. KESIMPULAN DAN SARAN 1.

Hubungan supervisor dan supervisee sangat berperan dalam keberhasilan pembelajaran. Kekurang efektifnya hubungan ini akan berpengaruh pada kualitas pendidikan kita. Linda S Moore; Alan J Dettlaff; Tracy J Dietz (2004) menyampaikan dalam penelitian bahwa kualitas hubungan antara instruktur lapangan dan mahasiswa merupakan faktor utama dalam hal keberhasilan siswa di lapangan. Lazar dan Mosek (1993) menemukan bahwa hubungan positif antara instruktur lapangan dan mahasiswa memiliki pengaruh kuat pada peringkat instruktur lapangan tersebut terhadap kinerja siswa daripada kemampuan siswa. Studi tambahan menunjukkan bahwa gaya pengawasan dan karakteristik memiliki efek signifikan pada siswa evaluasi pengalaman secara keseluruhan. Berkenaan dengan masih adanya persoalan tentang kompetensi pengawas dalam pembimbingan dalam mata pelajaran dan pembimbingan di aboratorium, lapangan maupun kelas, maka adanya solusi untuk mengatasinya. Misalnya perlu adanya perubahan/revormasi tentang teknik dan strategi pendekatan pengawasan. Church, Allan H; Waclawski, Janine ( 1998), menyampaikan hasil penelitiannya bahwa pengukuran kinerja telah menjadi alat utama untuk mengukur aktivitas kerja dan mendokumentasikan perubahan perilaku untuk peningkatan kualitas total, pembelajaran organisasi, rekayasa ulang proses bisnis dan perampingan. Penilaian standar proses kinerja sebagai tolok ukur manajerial tradisional perlu dilakukan perubahan. Taylor menyampaikan gagasan pengukuran - terutama dari berbagai sumber dan perspektif - telah menjadi salah satu tanda-tanda vital organisasi modern dalam hal penilaian kinerja. Sebagian besar penekanan mengenai metode penilaian multirater didasarkan pada keyakinan sederhana dan perubahan lama organisasi, pelatihan dan pengembangan, dan profesional manajemen sumber daya manusia bahwa umpan balik ditingkatkan kesadaran diri dari individu yang Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

11

Kesimpulan. a. Berkenaan dengan jumlah variabel dan indikator: 1) Memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMP (3 indikator). 2) Memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMP (2 indikator). 3) Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis berlandaskan standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP (2 indikator). 4) Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran/bimbingan yang dapat mengembangkan berbagai potensi siswa melalui mata-mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMP (3 indikator).. 5) Membimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMP (1 indikator).. 6) Membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pela-jaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMP (2 indikator). 7) Membimbing guru dalam mengelola, merawat, mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

pelajaran yang relevan di SMP (3 indikator). 8) Memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaan yang relevan di sekolah menengah yang sejenis (2 indikator). b. Nilai terendah dari penilaian terhadap kompetensi pengawas sekolah dalam supervisi akademik diperoleh temuantemuan sebagai berikut: 1)

2)

pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan 2.

Penilaian dari kepala sekolah terhadap pengawas sekolah pada:  Dimensi nomor 2 berisi tentang kompetensi pengawas sekolah dalam melakukan pembimbingan pada tiap mata pelajara dari rumpun mta pelajaran yang relevan.  Dimensi nomor 3, tentang kompetensi pengawas sekolah berkenaan dengan tugasnya untuk membimbig guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran berdasarkan pengembangan KTSP.  Dimensi nomor 6 berisi tentang komptensi pengawas untuk melakukan pembimbingan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan Penilaian dari guru IPA terhadap pengawas sekolah pada:  Dimensi 2 berisi: kompetensi pengawas sekolah dalam melakukan pembimbingan tiap mata pelajara dari rumpun mapel yang relevan.  Dimensi nomor 6 berisi tentang komptensi pengawas untuk melakukan pembimbingan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

Saran Dari beberapa temuan diatas, perlu dicari solusinya, agar hubungan antara supervisor dan supervisee dapat berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan, melalui penilaian multirater (berdasarkan teori 360 degree feedback). Harapannya agar pengawas sekolah mengetahui kekurangan dan adanya perbaikan di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA Bafadal, (1992). Supervisi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara Church, Allan H; Waclawski, Janine ( 1998) Making multirater feedback systems work. Quality Progress31. 4 (Apr 1998) 81-89. Depdiknas. (2001). Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (Buku 1).Jakarta: Depdiknas. -------------. (2002). Kurikulum berbasis kompetensi, kebijakan umum, pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Puskur Balitbangdiknas. -------------.(2003). Undang-undang Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. -------------.(2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19, Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan. -------------.(2007). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 13 , Tahun 2007, tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah. -------------.(2007). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 12, Tahun 2007, tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah. -------------.(2007). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16, Tahun 2007, tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Ekosusilo, Madyo. (1998). Supervisi pengajaran dalam latar budaya jawa. Sukoharjo: Univet Bantara Press. Froschauer, L (2007). Testimony. Retrieved April 27, 2007, Web site: http://democrats.science.house.gov/ Media/File/Commdocs/hearings/2007/

12

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

research/08mar/froschauer_testimony. Pdf Glatthorn, Allan A.(1990). Supervisory Leadeship: Introduction to Instructional Supervision. USA: HarperCollins Publishers. Glickman, Carl. D. (1981). Developmental Supervision: Alternative Practice for Helping Teacherss Improve Instruction. Alexandria: ASCD Kimball Wills, John T Lovell (1975). Supervision For Better Schools. New Jersey: Prentice-Hall.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta Susanne Bennett; Loretta Vitale Saks (2006). A CONCEPTUAL APPLICATION OF ATTACHMENT THEORY AND RESEARCH TO T. Journal ofSocial Work Education: 42, 3; ProQuest Sociology pg. 669

Lazar,A., & Mosek, A. (1993). The influence of the field instructor-student relationship on evaluations of studends practice. The cllinical supervisor, 11(1),111-120. Marion Bogo; Judith Globemian; Tamara Sussman, 2004. SPECIAL SECTION: FIELD EDUCÆfl0N IN SOCIAL WORK THE FIELD INSTRUCTOR AS GROUP WORKER: MANAGING TRUST AND COMPETITION IN GROUP SUPERVISION. Journal ofSocial Work Education: Winter; 40, 1; ProQuest Sociology pg. 13 Mardapi, Djemari. (2008). Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes. Jogjakarta: Mitra Cendekia Mike Savoie, 2010. A Guidebook for Peer Evaluation. College of the Arts. Valdosta State University Oliva, Peter. F. (1984). Supervison for Today’s School. 2nd Edition. New York: Longman. Pidarta, Made. (2009). Supervisi Pendidikan Kontekstual. Jakarta. Rineka Cipta. Sergiovanni, T.J. Ed. (1982). Supervision of Teaching. Alexandria: ASCD Sahertian, Piet A. (2000). Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

13

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

PEMBELAJARAN KIMIA MENGGUNAKAN PENDEKATAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT DITINJAU DARI KREATIVITAS DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS

1,2

Restiana Purwaningtyas, Ashadi)1, Suparmi)2 Pendidikan Sains Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret [email protected]

The purposes of the research were to know the difference between student cognitive achievement who learnt chemistry learning achievement using Science Technology Society between student who had high and low creativity, between student who had high and low critical thinking and their interaction. The research used experimental method. The data was collected using test for cognitive achievement, creativity and critical thingking and questionnaire for student affective achievement. The data was analyzed using non-parametric Kruskal Wallis. Based on the results of data analysis it can be concluded that: 1) there was difference in students’ cognitive achievement between student who had high and low creativity, 2) there was no difference in students’ cognitive achievement between student who had high and low critical thinking, 3) there was an interaction between STS with creativity toward student’s cognitive achievement, 4) there was no an interaction between STS with critical thinking toward students' cognitive achievement, 5) there was no interaction between creativity and critical thingking toward student’s cognitive achievement. Keywords: Science Technology Society, Creativity, Critical Thinking, Acid Base, Student Cognitif Achievement. kurikulum ini merupakan evaluasi dari kurikulum KBK. Munif Chatib (2010:28) menyatakan ―keberadaan KTSP yang filosofisnya sekolah diharapakan mampu menyusun kurikulum dan silabusnya sendiri merupakan tahap awal untuk kemajuan pendidikan di Indonesia‖. Berlakunya kurikulum KTSP sejak tahun 2007 yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum KBK diharapkan mampu mengatasi kesurutan kreativitas guru karena kurikulum itu dibuat oleh sekolah, oleh para guru. Dalam kurikulum yang dikembangkan, sains dalam pembelajaran di Sekolah Menengah Atas mempunyai peran yang cukup tinggi dalam sehari-hari dan bagaimana proses aplikasi yang didapat dalam setiap materi yang telah diajarkan. Kimia mempunyai karakteristik bersifat abstrak pada sebagian materi, matematik, dan eksperimen, sarat dengan konsep, mulai dari konsep sederhana sampai dengan konsep yang lebih kompleks dan abstrak. Sehingga, sangat diperlukan sebuah pemahaman yang benar terhadap konsep dasar yang membangunnya. Banyaknya konsep kimia yang bersifat abstrak yang harus diserap siswa dalam waktu yang relatif terbatas dan kurang menariknya penyampaian materi

PENDAHULUAN Pendidikan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari manusia, mulai dari lahir hingga mati. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 menyatakan ―pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara‖. Berdasarkan UU Sisdiknas tersebut bisa disimpulkan bahwa pendidikan merupakan semua kegiatan apa saja baik dilakukan secara sadar dari yang mula-mula tidak tahu menjadi tahu. Sejalan dengan perkembangan sains, teknologi dan perubahan lingkungan, seharusnya pendidikan juga mengalami perkembangan, oleh karena itu kurikulum dalam pendidikan seharusnya juga mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan kondisi.Kurikulum pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan dari tahun ke tahun berdasarkan evaluasi dan kondisi yang ada. Hingga saat ini kurikulum yang berlaku adalah kurikulum KTSP, Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

14

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

menyebabkan banyak siswa enggan untuk mempelajari kimia lebih dalam dan menjadikan mata pelajaran kimia hal ini bisa dilihat dari nilai ujian dan tes semester. Dibawah ini disajikan nilai siswa kelas XI IPA semester 1 dan angket tingkat kesukaran mata pelajaran kimia kelas XI semester 2 SMA N 2 Sragen tahun 2010/2011.

dimana pembelajaran difokuskan pada instruksi pada buku. Namun, pembelajaran menggunakan textbook approach tidak membantu memahamkan konsep dan kemampuan berfikir tingkat tinggi. Pada dasarnya sebagian anak sudah mengetahui suatu materi, akan tetapi mereka belum mengetahui aplikasinya oleh sebab itu dibutuhkan suatu pendekatan yang mengajak anak untuk berfikir, proses mengajak anak untuk berfikir dan menemukan aplikasi konsep sains itu sendiri di pembelajaran, maka dalam aplikasinya di pembelajaran dikembangkan pendekatan STM. Salah satu tujuan pembelajaran di sekolah adalah untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Penggunaan pendekatan pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu peningkatan hasil belajar siswa. Selain itu, ada faktor lain sebagai penentu keberhasilan siswa yang belum diperhatikan oleh para guru dalam merancang kegiatan belajar mengajar sehingga proses belum maksimal yang juga menyebabkan rendahnya KKM terutama dalam pendekatan pembelajaran yang bersifat inquiry yaitu kemampuan berfikir kritis, kreativitas siswa, kemampuan guru dalam menyampaikan materi pelajaran, dan penggunaan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan materi. Kreativitas sangat diperlukan dalam proses pembelajaran, karena biasanya orang yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas, memiliki kegembiraan dan menyukai aktivitas yang kreatif. Kreativitas juga sangat dibutuhkan dalam metode proyek, karena dalam metode proyek siswa mencari penyelesaian suatu masalah yang telah mereka temukan dengan cara atau metode yang telah mereka dapat dari berbagai sumber, ketepatan sumber terhadap suatu masalah dan bagaimana solusi yang ditawarkan memerlukan kreativitas dalam mengkaitkannya. Selain kreativitas, yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah kemampuan berfikir kritis siswa, kemampuan berfikir kritis merupakan integrasi beberapa bagian pengembangan kemampuan, seperti pengamatan (observasi), analisis, penalaran, penilaian, pengambilan keputusan, dan persuasi. Kemampuan berfikir kritis siswa dalam materi asam basa juga mempunyai peranan penting, terutama pada sub bab pengertian asam basa menurut para ahli yang sering membuat siswa miskonsepsi, peranan

Tabel 1.1. Nilai Semester 1 kelas XI Kimia SMA N 2 Sragen Kelas Rerata KKM < KKM >KKM IPA 1 71,32 72 55,88 44,12 IPA 2 71,61 72 30,5 69,6 IPA 3 71,57 72 72,72 27,27 IPA 4 73,76 72 29,4 60,6 IPA 5 72,705 72 44,12 55,88 Berdasarkan nilai pada tabel, bisa dilihat ternyata masih banyak siswa kelas XI IPA SMA Negeri 2 Sragen yang nilainya dibawah KKM, KKM rendah dimungkinkan karena siswa sudah tidak tertarik terlebih dahulu dengan kimia yang cenderung banyak hafalan dan sebagian bersifat abstrak, masih banyak siswa yang menganggap bahwa materi asam basa cukup sulit, siswa memang sudah mengetahui materi asam basa, akan tetapi contoh yang nyata dikehidpan belum mengetahuinya, sehingga banyak yang hanya menghafal dan tidak tersimpan di memori dalam jangka panjang, sehingga pembelajaran terutama materi asam basa sebagai konsep dari materi selanjutnya (hidrolisis dan penyangga) harus lebih inovatif agar siswa lebih bisa memahami dan yang paling penting tidak hanya memahami konsep tetapi juga mengetahui aplikasinya dalam teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat. Penyebab rendahnya KKM disebabkan oleh beberapa faktor, baik dari faktor guru, siswa, dan faktor lain yang tidak bisa terkontrol. Dari faktor guru dimungkinkan belum menggunakan suatu alat bantu yang dapat diintegrasikan pada seluruh kegiatan belajar mengajar dan menuntut guru untuk lebih kreatif dalam pelaksanaan proses KBM sehingga pembelajaran masih konvensional, oleh karena itu berdasarkan kurikulum KTSP guru dituntut menggunakan pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Salah satu pembelajaran inovatif adalah Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat. Sebelum adanya pendekatan STM, pembelajaran sains dilaksanakan berdasarkan textbook approach Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

15

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

berfikir kritis sangat diperlukan agar tidak terjadi banyak miskonsepsi diantara siswa. Dari alasan tersebut, diharapkan para guru mampu menyajikan materi-materi kimia dengan lebih menarik, menyenangkan dan mampu membangkitkan motivasi siswa dalam belajar sehingga diharapkan akan mudah dalam memahami. Salah satu pokok bahasan kimia di Sekolah Menengah Atas adalah materi asam basa. Materi ini merupakan materi yang sarat dengan konsep dan berkaitan untuk materi selanjutnya yaitu Hidrolisis, Buffer, Ksp, sehingga perlu penanaman konsep yang utuh dan benar karena materi ini penting sebagai awal dari konsep siswa untuk memahami konsep kimia pada materi berikutnya. SMA Negeri 2 Sragen adalah salah satu dari sekian banyak Sekolah Menengah Atas yang ada di kabupaten Sragen. Dilihat dari inputnya, sekolah ini menjaring siswasiswa dari sekolah dasar yang memiliki tingkat prestasi yang sedang keatas. Pembelajaran

sains kimia yang sekarang dilakukan di sekolah masih menggunakan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered). Berdasarkan uraian di atas penulis bermaksud mengadakan penelitian tentang perbedaan prestasi belajar siswa menggunakan pendekatan Pembelajaran Kimia dengan Sains Teknologi Masyarakat (STM) ditinjau dari kemampuan berfikir kritis dan kreativitas siswa. METODE PENELITIAN Pelaksanaan penelitian ini akan dilaksanakan di kelas XI SMA NEGERI 2 SRAGEN Tahun Ajaran 2011/2012. Untuk try out instrument penelitian bertempat di SMA 2 SRAGEN dengan asumsi memiliki jenjang yang setara dan instrument penelitian tidak diketahui oleh siswa yang menjadi objek penelitian. penelitian ini berbeda, anak yang memiliki kreativitas rendahlah yang memiliki hasil belajar yang lebih baik, hal ini dimungkinkan karena interaksi yang dibangun oleh anak dalam kelompok, sebagaimana yang dijelaskan oleh Mihaly Csikszentmihalyi (2006) bahwa kondisi sosial orang mempunyai pengaruh yang bagus dan bagian penting dalam perkembangan kreativitas, semakin banyak ketidakseragaman atau perbedaan, semakin tidak fokus. Hal ini dimungkinkan setiap kelompok yang terdiri dari siswa yang sebagian besar mempunyai kreativitas yang tinggi, jika dalam kelompok banyak yang kreativ akan banyak pula ide, perbedaan dalam penyelesaian masalah seperti yang disampaikan Mihaly Csikszentmihalyi menjadi tidak fokus, begitu halnya jika setiap kelompok sebagian besar mempunyai kreativitas yang rendah justru sedikit terjadi perbedaan sedikit ide, sehingga penyelesaian masalh menjadi lebih fokus. 2. Hipotesis kedua Berpikir kritis adalah suatu aktifitas kognitif yang berkaitan dengan penggunaan nalar. Gardner dalam Doaa A. El-Demerdash (2011) mengidentifikasikan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menghasilkan pemikir kritis dengan memelihara kecakapan kemampuan berfikir kritis, kecakapan berupa kekonsistenan motivasi diri untuk memecahkan masalah dan mendiskusikan dengan berfikir.

Tabel 1.2 Desain Penelitian Berfikir Kreativitas Pendekatan Kritis(B) (C) STM (A) Tinggi Tinggi (C1) AB1C1 (B1) Rendah(C2) AB1C2 Rendah Tinggi (C1) AB2C1 (B2) Rendah(C2) AB2C2 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hipotesis pertama Berdasarkan data yang diperoleh terdapat perbedaan prestasi siswa yang memiliki kreativitas tinggi dan rendah. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Teresa M. Amabile, dkk (1996) hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan antara kreativitas tinggi dan rendah dalam suatu proyek kerja lingkungan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa perbedaan kreativitas berhubungan dengan prestasi belajar asam basa. Sedangkan studi hubungan antara kreativitas dengan pendidikan oleh Jr. Daniel Fasko (2001), menyatakan dari studi ini diketahui bahwa kreativitas sangat dibutuhkan dalam pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman sehingga hasil belajar akan meningkat. Secara teori, siswa yang memiliki kreativitas tinggi akan memperoleh hasil belajar yang baik, begitupula sebaliknya, namun pada kenyataan dilapangan dalam Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

16

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

Berdasarkan uji non parametrik Kruskall Wallis tidak ada perbedaan prestasi belajar siswa yang memiliki kemampuan berfikir kritis tinggi dan rendah. Hasil dari penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Doaa A. El-Demerdash bahwa pengembangan berfikir kritis mempunyai pengaruh dalam strategi pembelajaran. Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan kemampuan berfikir siswa tidak menghambat siswa dalam pembelajaran. Perbedaan hasil penelitian ini dimungkinkan karena banyak faktor, sehingga tidak bisa sebagai acuan akan tetapi tetap digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pengetahuan.

mahasiswa keperawatan yaitu strategi pembelajaran yang diberikan mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan kemampuan berfikir kritis siswa dan sejalan dengan keahlian mereka. Begitu pula halnya Linden (2008) dalam Doaa A. El-Demerdash (2011) dalam studinya efek dari pembelajaran dengan praktek dan pembelajaran tradisonal terhadap kemampuan berfikir kritis siswa menyatakan bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan praktek merupakan suatu standar pembelajaran interaktiv dan pembelajaran dengan praktek berpusat pada kemampuan berfikir kritis siswa. Menurut Mrs. Rajeshwari dari India (2011)menyatakan bahwa dengan menerapkan pembelajaran proyek dalam kelas bertujuan agar siswa menemukan banyak sumber informasi yang dapat membantu mereka dalam memahami topic lebih dalam dan mempunyai sudut pandang yang tidak umum, dalam mencari berbagai informasi tersebut membutuhkan kemampuan berfikir kritis. Jadi dapat disimpulkan siswa yang mempunyai kemampuan berfikir kritis tinggi akan lebih baik jika diberi pembelajaran dengan pendekatan STM. Dalam yayasan pendidikan Oracle (Oracle Eduxcation Foundation, 2011) siswa yang mempunyai kemampuan berfikir kritis tinggi apabila diberi pembalajaran dengan STM menggunkan metode proyek mempunyai hasil belajar yang lebih baik.

3. Hipotesis ketiga Pada uji hipotesis keempat ini ada interaksi antara pembelajaran menggunakan STM dengan kreativitas siswa terhadap prestasi belajar. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa yang mempunyai kreativitas tinggi lebih baik jika diberi pembelajaran dengan STM, meskipun terdapat interaksi, tetapi tidak sesuai dengan dugaan pada hipotesis, hal ini diduga siswa yang memiliki kemapuan rendah dalam mengerjakan tugas yang diberikan mengikuti prosedur yang ada (memegang konsep taat asas) dalam buku yang mereka temukan dan gunakan sehingga miskonsepsi dimungkinkan sangat kecil, sehingga hasil prestasi belajar lebih baik, selain itu dimungkinkan adanya beberapa faktor yang tidak bisa dikontrol oleh peneliti selama penelitian berlangsung.

5. Hipotesis kelima Berdasarkan perhitungan statistic didapatkan ada interaksi antar kreativitas dan kemampuan berfikir kritis siswa terhadap prestasi. Kreativitas dan kemampuan berfikir kritis merupakan komponen dalam ThinkQuest, yaitu platform pembelajran online yang dikembangkan Oracle Education Foundation. Yang mana menurut Senor Gonzales dalam paper yang disiapkan oleh SRI International Menlo Park CA (2011) menyatakan bahwa pentingnya ThinkQuest pada pembentukan konsep dalam pembelajaran sains, yang artinya kreativitas dan berfikir kritis merupakan komponen yang penting dalam proses pembelajaran untuk membentuk konsep sains pada siswa dan juga pada guru. Menurut perspektif konstruktivisme, pembelajaran dikelas dilihat sebagai proses konstruksi pengetahuan oleh siswa, sehingga

4. Hipotesis keempat Berdasarkan data yang diperoleh terdapat interaksi antara pembelajaran menggunakan STM dengan kemampuan berfikir kritis siswa terhadap prestasi belajar. Berdasarkan nilai rerata siswa dapat disimpulkan bahwa pendekatan STM jika diberikan pada siswa yang mempunyai kemampuan berfikir kritis tinggi akan memperoleh prestasi belajar yang tinggi, sedangkan siswa yang mempunyai kemampuan berfikir kritis rendah bisa meningkat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Doaa A. ElDemerdash, dkk mengenai strategi pembelajaran dan kecakapan berfikir kritis Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

17

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

siswa harus berperan aktif. Dalam proses ini siswa mengembangkan gagasan atau konsep baru berdasarkan analisis dan pemikiran ulang terhadap pengetahuan yang diperoleh pada masa lalu dan masa kini, sehingga kreativitas dan kemampuan berfikir kritis sangat berperan dalam proses ini agar tercapai proses belajar yang merupakan proses aktif untuk mengkonstruksi ilmu pengetahuan sehingga didapatkan hasil belajar yang maksimal. Namun, kemampuan berfikir kritis dan kreativitas merupakan faktor internal siswa yang berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan antara kreativitas dan kemampuan berfikir siswa merupakan hal yang berdiri sendiri, sehingga tidak berhubungan, siswa yang mempunyai kemampuan berifkir kritis tinggi belum tentu memiliki kreativitas yang tinggi dan begitupula sebaliknya.

berfikir kritis dengan kreativitas siswa terhadap prestasi belajar siswa. B. Rekomendasi Rekomendasi dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pembelajaran STM bisa digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, sehingga pembelajaran ini bisa sebagai salah satu pilihan untuk diaplikasikan dalam pembelajaran. 2. Dalam merancang proses pembelajaran perlu memperhatikan kemampuan berfikir kritis dan kreativitas siswa, dengan harapan siswa yang kemampuan berfikir kritis dan kreativitasnya tinggi dapat belajar optimal, sedangkan siswa yang kemampuan berfikir kritis dan kreativitasnya rendah dapat meningkatkan prestasi belajarnya. 3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acauan untuk penelitian yang sejenis dengan pokok bahasan yang lain seperti hidrolisis, penyangga, Ksp, koloid, elektrokimia dan lainnya yang dapat dilaksanakan di laboratorium dan banyak aplikasinya di masyarakat. 4. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan menambah variabel yang lain seperti kemampuan menggunakan alat, sikap ilmiah, motivasi berprestasi, kepedulian terhadap lingkungan dan lain sebagainya.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada perbedaan prestasi belajar siswa yang memiliki kreativitas tinggi dan rendah. Hasil menunjukkan bahwa, nilai rerata siswa yang memiliki kreativitas tinggi adalah 70,77 dan siswa yang memiliki kreativitas rendah adalah 76. 2. Tidak ada perbedaan prestasi belajar siswa yang memiliki kemampuan berfikir kritis tinggi dan rendah. Hasil nilai rerata menunjukkan siswa yang memiliki kemampuan berfikir kritis tinggi adalah 74,63 dan siswa yang memiliki kemampuan berfikir kritis tinggi 73,83, yang artinya nilai rerata siswa yang memiliki kemampuan berfikir tinggi > dari siswa yang memiliki kemampuan berfikir rendah. 3. Ada interaksi antara pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM dengan kreativitas siswa terhadap prestasi belajar siswa. Nilai rerata menunjukkan siswa yang memiliki kreativitas rendah memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi. 4. Ada interaksi antara pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM dengan kemampuan berfikir kritis siswa terhadap prestasi belajar siswa 5. Tidak ada interaksi antara kemampuan Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

DAFTAR PUSTAKA Akpinar, Ercan. 2009. Students’ attitudes toward science and technology: an investigation of gender, grade level, and academic achievement. Journal Reading. Turkey; Dokuz Eyliil University. Amabile, Teresa M. dkk. 1996. Assesing the work environment for creativity. Journal reading. California: California School of Professional Psycology Csikszentnihalyi, Mihaly. 2006. A Systems Perspective on Creativity. Cambridge: Cambridge University Press. Daniel, Fasko Jr. 2001. Education and Creativity. Bowling Green State University. Creativity Research Journal. 18

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

Dass, Pradeep M. and Robert E. Yager. 2009. Professional Development of Science Teachers: History of Reform and Contributions of the STS Based Iowa Chatauqua Program. Journal Reading.USA: The University of lowa, Lowa city. El-Demerdash, Doaa A. 2011. Prefered Educational Strategies and Critical Thinking Dispositions among Nursing Students. Alexandria University, Mesir. Journal of American Science. Gonzales, Senor. 2011. S.O.S, Save our Lagoon:Connecting Student’s Live to Science. SRI International Menlo park, CA. Paper of Science. Munif Chatib. 2011. Sekolahnya Manusia. Kaifa: Bandung. Nazir Md Zabit, Mohd. (2010). ProblemBased Learning On Students‟ Critical Thinking Skills In Teaching Business Education In Malaysia: A Literature Review. American Journal of Business Education. Volume 3 Nomor 6. Nikerson, Raymond S. 1985. The Teaching of Thinking. United States of America: Lawrence Erlnaum Associates. Panji Hidayat. 2009. Metode Science Technology Society (STS) dengan Eksperimen dan Proyek pada Materi Elektrokimia ditinjau dari Emotional Quotient (EQ) Siswa. Tesis S2 UNS. Surakarta. Pierce, William. 2006. Designing Rubrics for Assessing Higher Order Thinking. Columbia, MD. Howard Community College Rajeshwari. 2011. Exploring Math andScience: Building a Global Learning Family. SRI International Menlo park, CA. Paper of Science Richards, Ruth. 1988. Assesing Everyday Creativity: Characteristics of Lifetime Creativity Scales and Validation With Three Large Samples. Journal Reading. USA: Harvard School. Sunar, Sabiha and Omer Geban. 2011. Turkish Pre-Service Science Teachers’ Views on Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

Science-Technology-Society Issues. Journal Reading. Turkey ; Departement of secondary Science and Mathematic Education Middle East Tehnical University. Udin S. Winataputra, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka. Weiner, John M. 2011. Is There a Difference Between Critical Thinking and Information Literacy ? A Systematic Review 2000-2009. Journal of Information Literacy. Yoruk, Nuray, etc. 2010. The Effects of Science, Technology, Society, Environment (STSE) interactions on teaching chemistry. Chemistry Education, Ankara, Turki.

19

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

KARAKTERISTIK PANDUAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA BERVISI-SETS UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS Fitria Fatichatul Hidayah Pendidikan Kimia, Universitas Muhammadiyah Semarang [email protected] Abstrak Panduan praktikum merupakan salah satu bahan ajar yang digunakan pedoman mahasiswa melaksanakan praktikum. Selama ini, pelaksanaan praktikum Kimia Fisika Jurusan Tadris Kimia Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dilakukan dengan cooking book, yaitu petunjuk praktikum mulai dari tujuan, alat bahan, cara kerja dan hasil pengamatan telah tertuang dalam buku tersebut. Panduan tersebut kurang menumbuhkan semangat menggali pengetahuan. Untuk mencapai kompetensi calon guru kimia, peneliti ingin meningkatkan keterampilan proses sains dengan menerapkan panduan kegiatan bervisi SETS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik panduan praktikum Kimia Fisika bervisi-SETS dan pengaruh penggunaan terhadap keterampilan proses sains sehingga dapat digunakan sebagai acuan dan dapat diimplementasikan dalam kegiatan praktikum melalui model penelitian dan pengembangan (R & D). Materi elektrokimia yang digunakan meliputi: persamaan Nernst; elektrolisis; elektroplating. Penggunaan panduan kegiatan bervisi-SETS ada 16 dari 21 mahasiswa memperoleh nilai ≥ 70. Panduan kegiatan bervisi-SETS dapat meningkatkan keterampilan proses sains mahasiswa dengan rerata N-gain 0,6 (sedang). Kata Kunci: Pengembangan, Panduan Kegiatan, SETS, Keterampilan Proses Sains, elektrokimia. memanfaatkan pengetahuan yang diperoleh melaui jalur SETS; selalu memiliki pikiran alternatif, produktif dan berwawasan SETS; menerima masukan positif untuk meningkatkan kualitas belajar dan pembinaan karier berkenaan dengan bidang yang dipelajari. Hasil penelitian yang dilakukan Yoruk (2009) menyimpulkan bahwa ―Pendidikan kimia bervisi-SETS akan mengarahkan peserta didik untuk memilih bidang karir masa depan dan memberi efek terhadap hasil belajar peserta didik‖. Selain itu, pada pendekatan bervsis-SETS menggunakan alat evaluasi belajar berbentuk pembuatan peper, artikel, proposal kegiatan sains, kegiatan eksperimen dan pengembangan konsep dalam teknologi sederhana. Penilaian menurut Binadja (2006c) didasarkan pada kejelasan pada keterkaitan secara jelas antara informasi pada masing-masing unsur SETS yang dikembangkan oleh mahasisiwa.

PENDAHULUAN Standar Kompetensi Guru (SKG) yang harus dimiliki oleh calon guru yaitu menggunakan alat-alat ukur, alat peraga, alat hitung untuk meningkatkan pembelajaran kimia di laboratorium dan lapangan, merancang eksperimen kimia untuk keperluan pembelajaran atau penelitian, melaksanakan eksperimen kimia dengan cara yang benar (Depdiknas, 2007 dan Hamalik, 2009). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mencapai Standar Kompetensi Guru dalam menerapkan hukum – hukum kimia dengan teknologi dalam kehidupan sehari-hari adalah SETS (Science, Environment, Technology, and Society). Pendekatan SETS diharapkan dapat mempermudah mahasiswa dalam memahami materi pelajaran, sehingga mahasiswa dapat mencapai pemahaman yang kompeten, membantu mahasiswa untuk memiliki kemampuan memandang sesuatu secara intregatif dengan memperhatikan keempat unsur SETS (Binadja, 2002b). Peran mahasiswa dalam pembelajaran SETS antara lain: berusaha untuk selalu berwawasan SETS dalam belajar, berfikir dan bertindak; berpartisipasi aktif dalam kegiatan berwawasan SETS; berfikir tentang cara Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

Binadja (1999a) menyatakan bahwa pengajaran SETS (Science, Environment, Technology, and Society) dapat membuat mahasiswa melakukan penyelidikan untuk mendapatkan pengetahuan yang berkaitan dengan sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat yang saling berintegrasi. Kegiatan labalatorium dapat membangkitkan minat 20

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

belajar dan memberikan bukti-bukti bagi kebenaran teori atau konsep-konsep yang telah dipelajaqri mahasiswa sehingga teori atau konsep tersebut menjadi lebih bermakna pada struktur kognitif mahasiswa. Selain itu, kegiatan laboratorium merupakan sarana untuk mengembangkan dan menerapkan keterampilan proses sains.

mahasiswa Jurusan Tadris Kimia IAIN Walisongo, panduan praktikum yang digunakan berupa cooking book. Mahasiswa hanya terpaku dengan judul, dasar teori atau konsep, alat bahan dan cara kerja yang tertuang dalam buku panduan. Hasil praktikum dibuat dalam bentuk laporan tetapi tidak didiskusikan, hal ini tidak memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk mengkomunikasikan dan mendiskusikan apa yang didapatkan melalui praktikum. Setiap percobaan diawali dengan kegiatan pretes dan pelaporan tetapi mahasiswa belum mengetahui kebenaran praktikum yang sudah dilaksanakan karena tidak ada evaluasi setelah praktikum. Selain itu, buku panduan praktikum yang digunakan belum memuat konsep sains menghubungkaitkan terhadap permasalahan di lingkungan menggunakan teknologi yang diciptakan sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Salah satu strategi yang digunakan untuk meningkatkan keterampilan proses sains adalah dengan metode eksperimen bervisiSETS. Panduan kegiatan bervisi-SETS pada praktikum matakuliah Kimia Fisika di Jurusan Tadris Kimia IAIN Walisongo dapat membantu mahasiswa melaksanakan praktikum dengan melibatkan mahasiswa secara langsung dalam merumuskan masalah, membuat hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data serta mengintegrasikan terhadap sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. Salah satu upaya untuk meningkatan kompetensi mahasiswa dapat dilakukan dengan penyempurnaan pelaksanaan praktikum Kimia Fisika, yaitu menggunakan panduan kegiatan bervisi-SETS dengan mengukur keterampilan proses sains dan juga produk sains. Manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini yaitu (1). Memberi informasi tentang: karakteristik buku panduan praktikum Kimia Fisika bervisi SETS; (2) Panduan kegiatan bervisi-SETS dapat mengaitkan atau menghubungkan antara sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat, sehingga mahasiswa memiliki pola berfikir aktif, terintegrasi, kritis, kreatif dan membentuk sikap peduli terhadap lingkungan; (3) Memberikan kontribusi model eksperimen kepada mahasiswa dan perguruan tinggi.

Keterampilan proses sains merupakan keterampilan dalam pembelajaran sains meliputi: mengamati, menafsirkan, meramalkan, menggunakan alat dan bahan, menerapkan konsep, merencanakan percobaan dan mengkomunikasikan hasil percobaan (Wartono, 1999; Akinbobola, 2010). Keterampilan proses sains menonjol dan penting untuk mengajarkan capaian pengetahuan. Mahasiswa membutuhkan keterampilan proses untuk melakukan penyelidikan ilmiah dan juga selama proses belajar mereka (Taconis, Ferguson-Hessler & Broekkamp, 2000 dalam Karsli, 2009). Keterampilan proses sains merupakan sarana untuk memahami dan menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan proses sains dianggap memiliki tujuan utama untuk ilmu pengetahuan pendidikan dan pengaturan laboratorium. Kegiatan pre-laboratorium merupakan hal penting untuk mempersiapkan kemampuan mahasiswa memahami konsepkonsep ilmu pengetahuan dan berlatih keterampilan proses sains yang diperlukan untuk kemajuan pendidikan sains (Rezba et al., 2002;, 32-35 dalam Hassan Abd El-Aziz El-Sabagh, 2011). Sejalan dengan hal tersebut, kegiatan laboratorium Kimia Fisika diharapkan dapat berfungsi untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep Kimia Fisika, dapat meningkatkan penguasaan keterampilan proses sains sehingga dapat menjadi bekal bagi mahasiswa pada saat pelaksanaan kegiatan laboratorium untuk kepentingan penelitian. Pada mata kuliah ini, mahasiswa diberikan kesempatan untuk melakukan percobaan sendiri di laboratorium sehigga berkaitan dengan aspek psikomotorik. Menurut Nani Dahniar (2006), keterampilan motorik berhubungan dengan anggota tubuh atau tindakan yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otot sehingga dapat meningkatkan keterampilan proses sains. Berdasarkan hasil field study pada bulan September-Oktober 2012 terhadap Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

21

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

berlangsung belum bervisi-SETS dan belum mengajak mahasiswa untuk mengaplikasikan konsep yang telah diajarkan dalam memecahkan masalah di kehidupan seharihari, metode praktikum yang digunakan hanya metode verivikatif, serta buku panduan kegiatan yang digunakan masih bersifat resep maknan sehingga belum mengajak mahasiswa untuk mengaplikasikan konsep dalam konteks nyata. Pada penelitian ini, praktikum materi elektrokimia menggunakan panduan kegiatan bervisi-SETS dilaksanakan melalui pendekatan inkuiri dengan porsi pembimbingan rendah, diskusi análisis SETS, dan dilaksanakan diskusi pemecahan masalah, untuk meningkatkan keterampilan proses sains. Selain itu, pada kegiatan pembelajaran selalu mengkondisikan mahasiswa untuk selalu aktif berpikir, menekankan pembelajaran yang berpusat pada aktivitas mahasiswa selama pengembangan keterampilan proses sains serta pemberian tugas individu dan kelompok untuk meningkatkan keterampilan proses sains mahasiswa. Karakteristik lain dari panduan kegiatan praktikum bervisi-SETS terlihat pada setiap percobaan praktikum yang dikembangkan selalu dikaitkan dengan aplikasi dalam kehidupan nyata dan menghubungkaitkan unsur SETS. Praktikum didesain untuk meningkatkan keterampilan proses sains (pengenalan alat dan bahan, penentuan hipótesis, penentuan variabel, penerapan konsep, serta desain percobaan) yang dikembangkan bagi mahasiswa. Pada setiap kegiatan penutup akhir pembelajaran selalu dilakukan evaluasi penulisan laporan, pembahasan análisis perluasan SETS serta pemberian tugas latihan untuk mendesain praktikum sehingga meningkatkan keterampilan proses sains mahasiswa. Hal yang membedakan antara petunjuk praktikum ―tradisioanl‖ dengan panduan kegiatan adalah: a) Petunjuk praktikum pada penelitian ini memuat tujuan percobaan. Tetapi tujuan percobaan ini disesuaikan sendiri oleh mahasiswa berdasarkan permasalahan yang diajukan. b) Petunjuk praktikum pada penelitian ini tidak memuat cara kerja. Cara kerja disusun sendiri oleh mahasiswa berdasarkan prinsip percobaan dan pengenalan alat percobaan. c) Petunjuk praktikum pada penelitian ini mengharuskan

METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan (Research and Development). Pengembangan panduan kegiatan bervisi-SETS dikembangkan menggunakan model Borg dan Gall yang meliputi beberapa tahapan yaitu: penelitian dan pengumpulan data; perencanaan; pengembangan; uji coba; uji coba terbatas; uji coba luas; revisi uji coba luas. Desain penelitian yang digunakan yaitu one group pre test-post test design, dimana hasil penelitian dilihat dari perbedaan pre test maupun post test. Subyek uji coba adalah mahasiswa semester IV mata kuliah Praktikum Kimia Fisika di Jurusan Tadris Kimia IAIN Walisongo. Instrumen yang digunakan meliputi instrumen tes berupa soal penguasaan konsep terintegrasi keterampilan proses sains dan instrumen non tes berupa angket penilaian kualitas panduan kegiatan, lembar validasi panduan kegiatan, lembar validasi soal, lembar observasi kinerja mahasiswa, lembar observasi presentasi mahasiswa, lembar observasi diskusi perluasan SETS, lembar penilaian penulisan laporan dan angket respon mahasiswa. HASIL DAN PEMBAHASAN Observasi langsung diharapkan dapat mengetahui secara langsung kegiatan praktikum yang dilaksanakan oleh mahasiswa. Observasi langsung dilaksanakan dengan lembar observasi dan angket. Berdasarkan hasil observasi awal kinerja mahasiswa diperoleh rendahnya keterampilan proses sains (penggunaan alat dan bahan, desain praktikum, interpretasi data, serta pemahaman konsep). Dari hasil analisis angket diperoleh temuan bahwa kemampuan mahasiswa dalam menghubungkaitkan antara konsep Sains dengan unsur lingkungan, teknologi, masyarakat serta aplikasi dalam kehidupan sehari-hari sangat rendah. Kemampuan mahasiswa dalam mengaplikasikan konsep elektrokimia dalam memecahkan permasalahan di kehidupan sehari-hari juga sangat rendah. Analisis proses pembelajaran kimia dilaksanakan melalui metode wawancara dengan dosen matakuliah Kimia Fisika. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pembelajaran praktikum kimia fisika yang Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

22

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

mahasiswa menentukan variabel, membuat hipótesis, serta membuat rangkaian percobaan dan mengujinya melalui suatu percobaan. Pada praktikum menggunakan panduan kegiatan bervisi-SETS, mahasiswa diberi kesempatan untuk mendesain prosedur praktikum, menentukan alat dan bahan serta rangkaian alat. Menurut Roestiyah (1985) bahwa metode eksperimen melatih mahasiswa untuk mengalami sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan. Dalam metode eksperimen mahasiswa dapat aktif mengambil bagian dalam berbuat untuk diri sendiri. Dengan demikian mahasiswa dapat memperoleh kepandaian yang diperlukan dan langkah-langkah berfikir ilmiah (Tim Didaktik, 1995). Panduan kegiatan bervisi-SETS memuat beberapa aplikasi atau manfaat materi elektrokimia dalam kehidupan sehari-hari, mahasiswa diajak untuk mencari lebih lanjut informasi tentang aplikasi dan isu-isu permasalahan yang ada di lingkungan terkait materi elektrokimia. Dengan demikian, mahasiswa harus lebih aktif dalam mengumpulkan informasi serta dituntut untuk berfikir bagaimana merancang teknologi untuk memanfaatkan atau menyelesaikan permasalahan yang ada di lingkungan. Selain itu, mahasiswa diminta untuk merinci, mendiskripsikan, kemampuan mengidentifikasi dan kemampuan menyimpulkan hubungan sains, teknologi, masyarakat dan lingkungan. Partisipasi mahasiswa dalam kelompok dirasakan juga lebih meningkat dibandingkan pada pembelajaran konvensional. Hal ini dikarenakan pembelajaran menggunakan panduan kegiatan bervisi-SETS dilaksanakan melalui pendekatan inkuiri porsi pembimbingan rendah, serta diskusi aplikatif dan kegiatan praktikum yang dilaksanakan oleh siswa secara berkelompok. Pada kegiatan inkuiri porsi terbimbing rendah mahasiswa dilatuh untuk mandiri dan mencari informasi dari luar kemudian disahkan oleh dosen. Kemandirian ini menjadikan kuatnya solidaritas kelompok dengan pembagian tugas masing-masing, mulai rangkaian alat, bon bahan dan alat. Pada pendekatan diskusi analisis SETS mahasiswa dilatih untuk berbagi tugas dengan anggota kelompok lain dalam menyelesaikan tugas kelompok, membantu kesulitan mahasiswa Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

lain dalam penyelesaian tugas, dan mahasiswa menyampaikan hasil diskusi dan memberikan tanggapan atas pertanyaan yang disampaikan oleh mahasiswa dalam kelompok lain. Hasil kinerja mahasiswa dalam melaksanakan praktikum pada kategori sangat tinggi. Hal ini dikarenakan pembelajaran menggunakan panduan kegiatan bervisi-SETS melatih mahasiswa dalam merencanakan penelitian untuk mendapatkan bukti dalam merespon pertanyaan, melakukan percobaan, mengkomunikasikan prosedur dan penjelasan ilmiah, membuat hubungan antar variabel, menjelaskan penyebab dari perisitiwa yang terjadi, menghubungkan kejadian di sekitar mahasiswa dengan konsep yang telah diterima dalam proses pembelajaran, dan menjadikan hasil praktikum sebagai sumber ajar. Dengan pembelajaran ini, mahasiswa menjadi lebih terbiasa dalam melaksanakan kegiatankegiatan yang melatih keterampilan sehingga keterampilan proses sains meningkat, dan secara tidak langsung hasil belajar mahasiswa menjadi lebih baik. Dalam pembelajaran menggunakan panduan kegiatan bervisi-SETS, mahasiswa dibiasakan bekerja secara kolaboratif dan aktif, penilaian dilakukan secara autentik, dan sumber belajar dapat sangat berkembang. Hal ini berbeda dengan praktikum konvensional yang terbiasa dengan situasi praktikum prosedural, penilaian lebih dominan pada aspek hasil daripada proses, dan sumber belajar cenderung stagnan. Penerapan pembelajaran dengan panduan kegiatan berisiSETS telah menunjukan bahwa pendekatan tersebut sanggup membuat mahasiswa mengalami proses pembelajaran yang bermakna, yaitu pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan faham konstruktivisme. Mahasiswa diberi kesempatan untuk menggali sendiri informasi melalui membaca materi dan mencari di internet dari berbagai sumber ilmiah dan merancang serta melaksanakan percobaan secara mandiri, membuat presentasi untuk orang lain, mengkomunikasikan hasil aktivitas, bekerja dalam kelompok, dan memberikan gagasan untuk orang lain (Nurohman, 2008). Akibatnya hasil belajar mahasiswa mengalami peningkatan. Kegiatan praktikum dan diskusi aplikatif sains di lingkungan sekitar merupakan upaya untuk membawa mahasiswa pada pembelajaran kontekstual 23

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

sehingga mahasiswa dapat belajar secara langsung dalam dunia nyata, dan pada akhirnya mampu menghasilkan pemahaman konsep yang kuat. Hal ini sesuai dengan penelitian Morrison dan Estes (2007) bahwa aplikasi skenario dunia nyata merupakan strategi yang efektif untuk mengajarkan ilmu kimia sebagai proses. Wright (2001) juga mengungkapkan bahwa mahasiswa akan mudah memahami suatu materi ketika dia melakukan suatu aktivitas untuk mempelajarinya, hal ini akan membuat mahasiswa menikmati proses pembelajaran dan akhirnya akan dihasilkan keterampilan proses sains siswa yang baik.

--------------.2006c. Panduan Praktis Pengembangan Bahan Ajar Pembelajaran Berdasar KBK Bervisi dan Berpendekatan SETS. Bahan Pembelajaran Penerbitan Khusus Media MIPA UNNES. Semarang: Laboratorium SETS UNNES. Dahniar, Nani. 2006. ―Pertumbuhan Aspek Psikomotorik dalam Pembelajaran Fisika Berbasis Observasi Gejala Fisis pada Mahasiswa SMP‖. Jurnal Pendidikan Inovatif Vol 1 No 2 Maret 2006.[Akses tanggal 28 September 2012] Dahniar. 2006. ―Science Project sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa SMP‖. Jurnal Pendidikan Inovative 2 (1), September 2006. .[Akses tanggal 28 September 2012] Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Staandar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru: Jakarta. Depdiknas. El-Sabagh, Hassan Abd El-Aziz. 2011. ―The Impact of a Web-Based Virtual Lab on the Development of Students' Conceptual Understanding and Science Process Skills‖. Dissertation. Philosophy Educational Technology Department Faculty of Education Dresden University of Technology. [Akses tanggal 01 Desember 2012]. Hamalik, Oemar. 2009. Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara. Johnstone dan A. Al-Shuaili, 2009. ―Learning in the laboratory; some thoughts from the literature University Chemistry Education‖. The Higher Education chemistry journal of the Royal Society of Chemistry. November 2001 Volume 5, Issue No 2 ISSN 1369-5614 Pages 42 – 91.[Akses tanggal 20 September 2012]. Karsli, F. dan Çi ğ dem Şahin. 2009. ―Developing worksheet based on science process skills: Factors affecting solubility‖. Giresun University, Education Faculty, Department of Elementary Science Education 28200, Giresun atau TURKEY. Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, Volume 10, Issue 1, Article 15, p.1 (Jun., 2009).[Akses tanggal 05 Juni 2012].

SIMPULAN DAN SARAN Penggunaan panduan kegiatan bervisiSETS ada 16 dari 21 mahasiswa memperoleh nilai ≥ 70. Panduan kegiatan bervisi-SETS dapat meningkatkan keterampilan proses sains mahasiswa dengan rerata N-gain 0,6 (sedang). Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah: (1) Penggunaan panduan kegiatan bervisi-SETS sebaiknya diterapkan pada praktikum kimia lain; (2) Penerapan penilaian aspek psikomotorik dan afektif dilakukan dalam diskusi, presentasi, penulisan laporan praktikum; (3) Pemilihan materi bersifat aplikatif dan menghubungkaitkan unsur SETS sehingga lebih bermakna dan berdaya guna tinggi. DAFTAR PUSTAKA Akinbobola, A. Olufunminiyi. dan Afolabi, Folashade. 2010. ―Analysis of Science Process Skills in West African Senior Secondary School Certificate Physics Practical Examinations in Nigeria‖. American-Eurasian Journal of Scientific Research 5 (4): 234-240, 2010. ISSN 1818-6785. [Akses tanggal 02 Desember 2012]. Binadja, A. 1999a. Hakekat dan Tujuan Pendidikan SETS dalam Konteks Kehidupan dan Pendidikan Yang Ada. Makalah Seminar Lokakarya pendidikan SETS. SEAMEO RECSAM dan UNNES Semarang. ------------. 2002b. SETS (Science, Environment, Technology, and Society) dan Pembelajaran. Semarang: PPS UNNES.

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

24

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

Morrison, JA, dan Estes, JC. 2007. Using Scientist and Real-World Scenario in Professional Development for Middle School Science Teacher. Journal of Science Teacher Education. 18 (2): 165184 Nurohman, Sabar. 2008. Penerapan Seven Jump Method (SJM) Sebagai Upaya Peningkatan Keterampilan Proses Sains Mahasiswa. FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Roestiyah, N., K. 1985. Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem. Jakarta: Penertbit Bina Aksara. Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya. 1995. Pengantar Didaktik Kurikulum PBM. Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada. Wartono. 1999. Strategi Belajar Mengajar Fisika. Malang : Universitas Negeri Malang. Wright, T. 2001. ―Karen in Motion the Role of Physical Enactment in Developing an Understanding of Distance, Time, and Speed‖. The Journal of Mathematical Behavior. 20 (2): 145-162.[Akses tanggal 25 Juni 2013] Yoruk, N. et al. 2009. ―The effect of science, technology, society and environment (STSE) education on students’ career planning‖. Education Review.[Akses tanggal 2 September 2012

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

25

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

DESKRIPSI PEDAGOGICAL CONTENT KNOWLEDGE GURU KIMIA MENGGUNAKAN KOMPONEN MODEL PENTAGON 1,2,3

Muhamad Imaduddin1, Fitria Fatichatul Hidayah2, Andari Puji Astuti3 Program Studi Pendidikan Kimia, Universitas Muhammadiyah Semarang [email protected]

Abstrak Salah satu tugas guru sains termasuk guru kimia adalah membantu siswa untuk memahami tentang konten pengetahuan sains. Pedagogical Content Knowledge (PCK) merupakan pengetahuan khusus yang dimiliki oleh guru mengenai bagaimana mengajarkan konten tertentu kepada peserta didik dengan strategi yang mempu mengarahkan menuju pemahaman. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis kemampuan pengetahuan konten pedagogik menggunakan komponen PCK pada model pentagon. Komponen PCK pada model pentagon terdiri dari K1 (orientasi dalam mengajar kimia), K2 (pengetahuan akan pemahaman siswa dalam kimia), K3 (pengetahuan akan kurikulum kimia), K4 (pengetahuan terhadap strategi dan representasi pembelajaran untuk mengajarkan kimia), dan K5 (pengetahuan akan assesmen). Penelitian ini merupakan penelitian multiple case study dengan informan tiga guru yang mengajar di sekolah yang sama. Dengan mengetahui komponen-komponen PCK, diharapkan terjadi perbaikan dalam proses pembelajaran kimia. Perbaikan tersebut dapat ditindaklanjuti melalui dokumen CoRe dan PaP-eR. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pada beberapa komponen PCK yang dimiliki oleh informan guru. Dengan demikian, untuk memperbaiki kualitas pembelajaran kimia, diperlukan strategi yang berbeda pada masing-masing informan guru. Kata kunci: Pedagogical Content Knowledge, Model Pentagon, CoRe dan PaPeR. PENDAHULUAN Salah satu tugas guru sains termasuk guru kimia adalah membantu siswa untuk memahami tentang konten pengetahuan sains. Sejalan dengan hal tersebut, guru kimia dipersyaratkan mempunyai kompetensi dalam bidang akademis yang cukup kompleks (Permendiknas No. 16/2007), diantaranya menuntut penguasaan dan pemahaman konten yang mendalam serta cara mengajarnya. Shulman (1987) dan Loughran et al (2008) menyatakan bahwa pengetahuan konten dan pedagogis harus dipadukan dalam pembelajaran untuk menciptakan pengetahuan baru. Hal tersebut didefinisikan sebagai Pedagogical Content Knowledge (PCK). Lebih lanjut, Shulman (1986, 1987) menyatakan bahwa PCK merupakan pengetahuan khusus yang dimiliki oleh guru mengenai bagaimana mengajarkan konten tertentu kepada peserta didik tertentu dengan strategi yang mempu mengarahkan menuju pemahaman. PCK dapat juga diartikan sebagai gambaran tentang bagaimana seorang guru mengajarkan suatu subjek dengan mengakses apa yang dia ketahui tentang subjek materi, apa yang dia ketahui tentang pembelajar yang diajarnya, apa yang diketahui tentang kurikulum terkait dengan subjek dan apa yang dia yakini sebagai cara mengajar yang baik pada konteks materi (Rollnick. et al. 2008). Dengan demikian, PCK sangat penting dalam proses pembelajaran di dalam kelas, serta sudah semestinya dimiliki oleh guru-guru kimia. Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

PCK yang diusulkan Shulman, oleh banyak peneliti dianggap sebagai jawaban yang memuaskan terhadap transformasi konten atau materi subjek menjadi suatu bentuk penyajian di dalam kelas (Dahar & Siregar, 2000). Abell (2008) merupakan seorang pakar pendidikan yang dengan konsisten selama lebih dari 20 tahun mencermati perkembangan PCK sejak awal mula digagas oleh Shulman (1986, 1987), dan menggunakannya dalam berbagai bentuk kegiatan di universitas, antara lain dalam bentuk program penyiapan guru sekolah dasar maupun program sertifikasi untuk guru sains dan matematika di sekolah lanjutan pertama dan atas. Kesimpulan yang diperolehnya adalah bahwa ide mengenai PCK tetap masih aktual dan bermanfaat bagi pengembangan profesional seorang guru. Komponen PCK pada model pentagon terdiri dari K1 (orientasi dalam mengajar kimia), K2 (pengetahuan akan pemahaman siswa dalam kimia), K3 (pengetahuan akan kurikulum kimia), K4 (pengetahuan terhadap strategi dan representasi pembelajaran untuk mengajarkan kimia), dan K5 (pengetahuan akan assesmen). . Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis kemampuan pengetahuan konten pedagogik menggunakan komponen PCK pada model pentagon. Dengan mengetahui komponen-komponen PCK, diharapkan terjadi perbaikan dalam proses

26

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

pembelajaran kimia. Perbaikan tersebut dapat ditindaklanjuti melalui dokumen CoRe dan PaP-eR. CoRe (Content Representation) nantinya dapat menawarkan cara pandang akan konten tertentu yang diajarkan ketika mengajar suatu topik. Adapun PaPeR (Pedagogical and Professional-experience Repertoire) merupakan cerita narasi dari PCK yang dimiliki oleh guru pada pembelajaaran materi tertentu. PaP-eR dapat ―membongkar‖ pemikiran guru pada tiap unsur PCK. PaP-eR ini didasarkan pada observasi kelas dan komentar yang dibuat oleh guru selama wawancara (Mulhall et al., 2003).

tersebut (Baxter & Lederman, 1990). Kaitannya dengan hal tersebut, data deskripsi PCK guru dikumpulkan melalui beberapa sumber termasuk observasi kegiatan kelas, wawancara, hasil kerja siswa, dan catatan lapangan peneliti. Pengamatan terhadap tiga guru dalam pembelajaran kelas dilakukan melalui kegiatan observasi non-partisipatif. Observasi pada penelitian ini terkendala dengan adanya jadwal tes siswa dan kegiatan tes remidial. Akibatnya, observasi pembelajaran kelas hanya dapat dilaksanakan 2-5 kali sesi observasi. Selanjutnya, kegiatan interview juga dilakukan untuk memperkuat pendeskripsian komponen PCK yang dimliki oleh guru. Penelitian ini merupakan penelitian multiple case study dengan informan tiga guru yang mengajar di sekolah yang sama. Informan guru yang berpartisipasi dalam penelitian ini memiliki karakteristik dan latar belakang yang berbeda. Pada Tabel 1. digambarkan latar belakang dari informan guru. Untuk menjaga kerahasiaan, penyajian nama informan menggunakan inisial.

METODE PENELITIAN Menurut Kagan (1990), kompleksitas komponen PCK guru dapat ditangkap melalui instrumen tunggal. Secara khusus, penilaian PCK membutuhkan kombinasi pendekatan yang dapat mengumpulkan informasi mengenai pengetahuan guru, apa yang diyakini oleh guru, apa yang mereka lakukan, dan alasan mengapa mereka melakukan hal

Tabel 1. Latar Belakang Partisipan Guru Informan SM AR MY Pendidikan Dra. S.Pd. Drs. Latar belakang Keilmuan Teknik Kimia Pendidikan Kimia Teknik Kimia Usia 54 tahun 38 tahun 53 tahun Pengalaman mengajar 27 tahun 14 tahun 26 tahun Kelas yang diampu Kelas X dan XII Kelas X dan XI Kelas X dan XI PEMBAHASAN Komponen PCK dideskripsikan melalui model pentagon sebagaimana yang dikemukakan oleh Park & Chen (2012). Komponen tersebut digambarkan pada Gambar 1. Komponen meliputi K1 (orientasi dalam mengajar kimia), K2 (pengetahuan akan pemahaman siswa dalam kimia), K3 (pengetahuan akan kurikulum kimia), K4 (pengetahuan terhadap strategi dan representasi pembelajaran untuk mengajarkan kimia), dan K5 (pengetahuan akan assesmen). Komponen K1 merupakan anggapan atau kepercayaan guru mengenai tujuan mengajarkan kimia yang berbeda pada masing-masing level kelas. Komponen ini mencakup orientasi terhadap proses pembelajaran, ketegasan akademik, perubahan konseptual yang meliputi kedewasaan dan kemampuan berpikir, serta aktivitas-aktivitas terkait dengan kegiatan penemuan, proyek, dan inkuiri. Komponen K2 menggambarkan pengetahuan guru terhadap apa yang siswa ketahui mengenai topik dan area yang mungkin sulit dipahami siswa. Hal ini termasuk miskonsepsi siswa yang mungkin terjadi pada topik tertentu, kesulitan belajar materi tertentu,

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

motivasi siswa, adanya perbedaan kemampuan dan gaya belajar, minat, serta faktor kebutuhan siswa. Komponen K3 meliputi pengetahuan guru mengenai materi kimia pada kurikulum yang berlaku baik secara vertikal maupun horizontal. Struktur vertikal berhubungan dengan masalah sistem pelaksanaan kurikulum sekolah. Struktur vertikal ini meliputi (1) penggunaan sistem kelas dalam pelakasanaan pembelajaran, (2) sistem unit waktu yang digunakan, (3) pembagian waktu untuk masing-masing bidang studi dan pokok bahasan. Adapun struktur horizontal kurikulum berkaitan dengan bentuk penyusunan bahan pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Komponen K4 merupakan pengetahuan guru dalam memilih strategi mengajarkan materi kimia, serta menginterpretasikan materi ajar kimia.. Strategi pembelajaran dibedakan menjadi strategi khusus pada mata pelajaran yaitu pendekatan umum dalam mengajarkan mata pelajaran kimia, serta strategi khusus pada topik tertentu, yaitu strategi khusus yang diterapkan dalam mengajarkan materi tertentu. Selanjutnya, komponen K5 guru merupakan pengetahuan akan assesmen yaitu pengetahuan akan 27

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

metode-metode penilaian dan dimensi pembelajaran kimia.

Orientasi terhadap pembelajaran kimia (K1) Mempengaruhi Pengetahuan mengenai pemahaman siswa untuk mengajarkan kimia (K2)

Mempengaruhi Terintegrasi

Mempengaruhi

Pengetahuan mengenai kurikulum kimia (K4)

Refleks i PCK

Pengetahuan mengenai strategi pembelajaran untuk mengajarkan kimia (K3)

Terintegrasi

Refleks i

Mempengaruhi

Mempengaruhi

Pengetahuan mengenai assesmen pembelajaran kimia (K5

Gambar 1. Model Pentagon PCK untuk Pembelajaran Kimia (dimodifikasi dari Park & Oliver, 2008 dengan menyusun kembali komponen dengan versi bahasa Indonesia dan memberikan tambahan kode tiap komponen) Selanjutnya, Magnusson et al. (1999) merepresentasikan lima komponen yang sama sebagaimana komponen pada model pentagon. Meskipun demikian, Magnusson et al. mengakui pentingnya interaksi dan koherensi di antara komponen-komponen, lima komponen disajikan dengan cara linear yang menekankan interaksi hanya antara orientasi terhadap pengajaran sains dan masing-masing empat komponen lainnya, sehingga mengabaikan interaksi antara empat komponen lainnya (Friedrichsen et al., 2011). Di sisi lain, model pentagon menyajikan komponen dalam bentuk pentagonal untuk menekankan keterkaitan antara komponen, serta meletakkan bobot yang sama pada setiap interaksi seperti terlihat pada Gambar 1. Model pentagon menunjukkan interaksi dan hubungan yang saling mempengaruhi antara komponen K1, K2, K3, K4, dan K5.

siswa. Menurut SM, kimia adalah mata pelajaran yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan seharihari. Semua produk yang ada di sekitar siswa dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Pengetahuan siswa tentang kimia yang berkaitan erat dengan kehidupan mereka dapat mengubah perilaku siswa atau mental siswa untuk lebih bijak dalam bertindak. SM menyatakan bahwa kimia sebagai salah satu mata pelajaran yang dapat mengembangkan karakter siswa. Salah satu karakter yang muncul adalah karakter bertanggung jawab. Selain itu, pembelajaran kimia juga dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan kedewasaan siswa dalam berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan berpikir dan kedewasaan itu dikembangkan melalui aktivitas diskusi. Meskipun demikian, aktivitas diskusi tidak dapat diterapkan pada semua materi kimia. Tugas mandiri biasanya juga diberikan SM untuk mempelajari kimia lebih jauh. Tugas mandiri yang dimaksud adalah kegiatan proyek. Sebagai contoh, tugas proyek yang berkaitan dengan korosi. Siswa diminta membuat pengamatan tentang faktor-faktor yang mempercepat laju korosi. Tugas mandiri membuat siswa dapat memperoleh pengetahuan secara langsung, walaupun terkadang pengetahuan

Komponen PCK informan SM SM adalah guru kimia senior di SMA tempat penelitian. Pengalaman mengajar selama 27 tahun, menjadikan beliau sosok yang bisa membawa diri dengan baik dalam menghadapi berbagai karakter siswa. SM berpendapat bahwa kimia merupakan mata pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan kepada Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

28

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

awal siswa tidak sesuai dengan teori. Misal, ketika dicampur dengan larutan asam, paku tidak juga mengalami korosi. Kesalahan tersebut terjadi karena siswa menggunakan paku dari baja, sehingga faktorfaktor yang mempengaruhi korosi tidak sesuai antara hasil pengamatan dengan teori yang berlaku. Selain itu, tugas mandiri juga digunakan sebagai alternatif ketika alokasi waktu pembelajaran kimia tidak mencukupi. Ketidakcukupan alokasi waktu dikarenakan banyaknya try out yang digunakan untuk persiapan ujian nasional. SM menjelaskan bahwa beberapa materi kimia sulit dikuasai siswa. Materi yang sulit adalah tentang atom dan bentuk molekul. Materi ini sulit dikuasai siswa dikarenakan atom dan bentuk molekul merupakan hal abstrak. Siswa sulit untuk membayangkan bagaimana bentuk molekul suatu senyawa. Karena dalam kehidupan sehari- hari, bentuk molekul tidak dapat mereka lihat menggunakan panca indera yang mereka miliki. Selain materi tersebut, siswa tidak terlalu sulit menguasai materi kimia. Penguasaan siswa dalam mempelajari kimia tergantung kepada motivasi belajar mereka. Motivasi siswa dalam mempelajari kimia sangat bergantung dari guru. Ketika guru dapat menerangkan materi kimia dengan baik, siswa tidak akan mengalami kesulitan belajar. Guru harus selalu berbenah dan dapat memahami karakter siswa. Di setiap kelas yang diampu SM terdapat perbedaan kognitif yang mencolok antara siswa satu dengan yang lain. Kondisi yang demikian menurut SM dapat menjadi kendala bila guru kimia tidak disiplin dan mengarahkan siswa untuk lebih rajin mempelajari kimia sebelum pelajaran dimulai. Melihat kondisi yang demikian, SM memiliki strategi untuk ―memaksa‖ siswa belajar sebelum memperoleh materi kimia. SM mengkomunikasikan kepada siswa bahwa kuis akan diberikan pada pertemuan selanjutnya. Kegiatan kuis dan diskusi memberi informasi kepada guru tentang kesiapan siswa dan pemenuhan tugas belajar siswa. Selain itu, guru juga dapat melakukan evaluasi, apakah strategi dan metode yang mereka gunakan untuk menjelaskan suatu materi sudah tepat atau belum. Menurut SM, ketepatan suatu strategi dapat terlihat dari banyaknya siswa yang tuntas KKM. Selain itu, dapat dilihat ketika siswa maju ke depan kelas dengan tidak membawa catatan untuk menyelesaikan soal. Meskipun nilai siswa sudah baik, kebanyakan siswa hanya membutuhkan kimia sebagai ―penyempurna‖ nilai UN. Semangat mereka untuk belajar kimia adalah untuk mendapat nilai yang baik. Orientasi siswa dalam belajar kimia seharusnya tidak hanya untuk memperoleh nilai. Berdasarkan uraian tersebut, komponen K2 terkait dengan pengetahuan guru akan Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

pemahaman siswa dalam kimia sudah dimiliki dengan baik pada diri SM. Komponen K3 yang diamati pada diri SM berkaitan dengan struktur vertikal dalam penguasaan materi kimia yang berjenjang dan berhubungan dengan materi pelajaran lain yang mendukung penguasaan materi kimia. Berdasarkan hasil wawancara, SM juga sudah memiliki komponen K3 dengan sangat baik. Menurut SM, diperlukan berimbangnya porsi materi kimia. Ketidakberimbangan porsi materi yang ada di struktur kurikulum pada akhirnya justru menyulitkan guru dalam memberikan materi pengayaan di kelas XI. Menurut SM, pada awalnya alokasi waktu pembelajaran kimia yang diberikan oleh struktur kurikulum untuk kelas X adalah 3 jam, kelas XI dan XII 4 jam. Alokasi yang diberikan oleh struktur kurikulum KTSP tidak sesuai dengan jumlah materi yang ada. Solusi dari masalah tersebut akhirnya sekolah memberikan alokasi waktu 5 jam per minggu untuk mempelajari kimia di kelas XI dan XII. Keluwesan kurikulum KTSP sangat membantu bagi sekolah- sekolah yang memiliki siswa dengan daya kognitif menengah ke bawah. Kurikulum KTSP menurut SM, benar-benar memberi kebebasan kepada sekolah untuk menyesuaikan pembelajaran dengan sumber daya yang ada di sekolah. Menurut SM, hampir semua kurikulum sama saja. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan SM. ―Jane materi kimiane kuwi podo wae mbak, (Bahasa: jawa). Cuma beberapa sub bab ditambahi atau dikurangi. Kurikulum semakin baru semakin memaksa guru untuk menuntaskan materi. Kuwi masalah meneh mbak, kabeh bocah kok di kon tuntas. Padahal waktune ora cukup yen kon baleni. Akhire bocah nek wis pisan di remidi ora tuntas, ping pindo juga ora tuntas, bocahbocah tak kei tugas. Padahal soal remidine kuwi podo mbak, artine sebenere bocah ora iso dituntaske kabeh‖ (Bahasa: jawa). Akhirnya guru dikejar target, pulang sekolah masih harus memberi tambahan. Seharusnya kurikulum tidak menargetkan KKM tapi memberikan nilai apa adanya sesuai kemampuan siswa‖. Ketika ditekankan kembali kurikulum mana yang paling sesuai, SM menyatakan bahwa CBSA adalah kurikulum yang paling sesuai. Pada kurikulum ini, porsi guru di kelas masih cukup berperan walaupun siswa juga aktif di kelas. Siswa masih mendengarkan, mencatat dan berpendapat. Komponen K4 terlihat dari penggunaan strategi yang tepat dari masing-masing materi yang diajarkan ke siswa. SM sudah memiliki strategi khusus untuk topik-topik yang dirasa sulit atau materi yang mudah. Misal, untuk materi perhitungan, guru tetap melakukan metode ceramah. Menurut SM, metode 29

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

ceramah merupakan metode yang paling tepat untuk siswa yang memiliki daya kognitif menengah ke bawah. Siswa belum dapat menemukan bagaimana aplikasi suatu rumus bila guru belum menjelaskan dengan metode ceramah. Sedangkan untuk materi yang mudah, misal kimia unsur, SM lebih sering menggunakan metode diskusi. Diskusi melalui kegiatan presentasi, akan menggali ketertarikan siswa lebih jauh dan membangun sifat kritis mereka. Walaupun sudah ada strategi khusus untuk masingmasing materi, materi bentuk molekul masih merupakan materi yang sulit diajarkan. Dengan demikian dapat disimpulkan, SM sudah memiliki pemahaman yang baik terhadap komponen K4. Selanjutnya, terkait dengan komponen K5 yaitu pengetahuan akan proses penilaian, SM memaparkan bahwa penilaiannya tidak ada aturan baku. SM biasa menggunakan tes lisan untuk materi yang bersifat hafalan dan tes tertulis untuk beberapa materi. Penilaian melaui observasi atau pengamatan dilakukan dengan melihat aktivitas umum yang dilakukan oleh siswa.

K1 yaitu orientasi guru terhadap pembelajaran kimia sudah berada pada level yang baik. AR memaparkan beberapa kajian materi kimia yang sulit bagi siswa. Materi kimia kelas X yang dianggap sulit adalah materi stoikiometri. Kesulitan tersebut dikarenakan banyaknya cakupan materi yang diajarkan pada bab stoikiometri kaitannya dengan pehitungan-perhitungan yang harus dikuasai oleh siswa. Bab stoikiometri ini terkait erat dengan konsep mol. Untuk kelas XI, kajian materi yang sulit adalah materi termokimia dan konsep kesetimbangan. Kesulitan tersebut kaitannya dengan soal-soal perhitungan dan penggunaan rumus. Untuk kelas XII, kajian materi yang sulit adalah materi reaksi oksidasi dan reduksi terkait dengan konsep penyetaraan. AR juga memaparkan bahwa secara umum terdapat perbedaan motivasi siswa yang diajarnya. Siswa kelas X menunjukkan motivasi dan minat yang lebih baik daripada kelas XI. Menurut analisis AR, terdapat beberapa kasus untuk siswa kelas XI yang tidak berminat melanjutkan ke IPA tetapi masuk pada jurusan IPA. Hal ini dikarenakan nilai yang tuntas dan yang lebih baik ada pada mata pelajaran IPA. Kondisi yang demikian terkait dengan konsep penilaian yang belum seragam antara guru di bidang peminatan IPA dan IPS. Selain itu, tidak ada persyaratan tambahan bagi siswa untuk masuk jurusan IPA. Persyaratan hanya terkait dengan nilai IPA yang tuntas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Selain itu, AR juga telah memahami bagaimana cara-cara untuk menumbuhkan minat siswa terhadap materi kimia. Dengan demikian, komponen K2 terkait dengan pengetahuan guru akan pemahaman siswa dalam kimia sudah terbentuk dengan baik pada diri AR. Komponen K3 menggambarkan pengetahuan AR mengenai kurikulum baik secara vertikal maupun horizontal. AR memahami dengan baik bahwa ada keterkaitan konsep kimia antar jenjang kelas. AR memaparkan sebagai contoh materi tentang perhitungan pH sangat terkait dengan konsep asam basa, buffer, dan hidrolisis. Oleh karena itu, kajian konsep tersebut sangat tepat untuk dikaitkan pada jenjang kelas yang sama yaitu pada kelas XI. Terkait dengan pengetahuan akan sistem unit waktu yang digunakan, serta pembagian masing-masing bidang studi dan pokok bahasan, AR masih belum benarbenar mengetahui. Hal ini dikarenakan adanya perubahan kurikulum yang digunakan di sekolah yaitu dari KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) menjadi kurikulum 2013. Terkait dengan alokasi waktu, AR menyatakan bahwa alokasi jam pelajaran kimia dirasa cukup. Meskipun demikian, pada praktiknya pelaksanaan pembelajaran sering pula terburu-buru dan tidak melihat kondisi siswa sudah memahami sepenuhnya atau belum. Jika

Komponen PCK Informan Guru AR AR merupakan sosok guru perempuan yang ramah dan bersahabat. Sebelum mengajar di SMA tempat penelitian, beliau juga pernah mengajar di salah satu SMA lain di kota Semarang. Pengalaman mengajar kimia dimiliki selama 14 tahun. AR berpendapat bahwa kimia merupakan mata pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan kepada siswa. Hal ini dikarenakan, banyak aplikasi dari pembelajaran kimia yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, banyak sekali jurusan yang terkait dengan kimia jika nantinya siswa akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Pembelajaran kimia juga dapat mengembangkan karakter siswa, sebagai contoh kedisiplinan, kejujuran, dan kerja sama siswa melalui kegiatan praktikum. Pembelajaran kimia juga mampu mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Siswa akan mengetahui dampak positif dan negatif terhadap suatu fenomena sehingga akan menentukan dan mengubah perilaku mereka. Sebagai contoh pengetahuan siswa mengenai bahan tambahan makanan. Pembelajaran kimia juga berhubungan dengan metode ilmiah yang mampu mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Jenis kegiatan pembelajaran kimia yang diselenggarakan oleh AR disesuaikan dengan materi kimia. Jika memungkinkan kegiatan praktikum, maka pembelajaran diarahkan pada kegiatan laboratorium. Selain itu, dilakukan pula kegiatan proyek siswa, sebagai contoh proyek pembuatan alat pengolahan air bersih pada materi sistem koloid. Berdasarkan paparan tersebut, dapat diketahui bahwa komponen Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

30

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

dilaksanakan secara ideal dan dilakukan pengulangan sehingga siswa benar-benar memahami konsep kimia, maka alokasi waktu yag diberikan dirasa kurang. Hal ini terutama untuk kasus kelas X yang memiliki alokasi waktu 3 jam pelajaran per minggu. Pada praktiknya AR sering pula meminta jam tambahan dari guru-guru lain. Kaitannya dengan perubahan kurikulum dari mulai CBSA, KBK, KTSP hingga kurikulum 2013, materi kimia pada dasarnya dianggap sama oleh AR. Meskipun demikian, ada beberapa sub bab yang disederhanakan. Pada praktiknya, untuk pembelajaran kimia tidak berbeda secara signifikan dengan adanya perubahan kurikulum. AR menganggap kurikulum yang ada pada prinsipnya sama yaitu mengutamakan keterlibatan siswa dan guru berfungsi sebagai fasilitator. Berdasarkan uraian tersebut, diketahui bahwa AR sudah memiliki pengetahuan akan kurikulum (K3) yang mumpuni mengingat pengalaman mengajar yang dimiliki AR juga sedah cukup lama. Kaitannya dengan pengetahuan terhadap strategi pembelajaran untuk mengajarkan kimia (K4), AR memamparkan bahwa pemilihan strategi pembelajaran memperhatikan materi kimia ayang diajarkan. Dipaparkan bahwa terdapat beberapa materi yang memang tidak melibatkan siswa. Sebagai contoh materi-materi yang didominasi oleh materi perhitungan seperti kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp), jika diajarkan melalui metode diskusi atau permainan justru akan ―menggantung‖ artinya materi justru tidak dapat dipahami seutuhnya oleh siswa. Berbeda untuk kajian materi seperti struktur atom atupun bentuk molekul, kegiatan diskusi masih memungkinkan. Siswa dapat menggali informasi sendiri melalui internet, membuat alat peraga bentuk molekul sendiri, serta mendiskusikannya di kelas. Terkait dengan materi kimia yang sulit untuk diajarkan, AR memaparkan bahwa dirinya kesulitan dalam mengajarkan teori hibridisasi. AR menerangkan bahwa jika guru mengalami kesulitan dalam menerangkan maka siswa juga akan kesulitan dalam memahami. Pernyataan ini diperkuat oleh AR. ―Siswa itu kan sebenarnya ibarat kertas putih ya. Jadi sebenarnya misalkan ada siswa bodoh, ada siswa yang nggak jelas, ada siswa yang nggak mudeng, itu kalo saya malah melihatnya dari gurunya. Bukan dari siswa. Jadi, saya itu kadangkadang malah begini. Piye yo carane aku ngajar ben murid kuwi tertarik, paham, ato mungkin malah tidak ada yang kelihatan ngantuk, justru beraktivitas terus (Bahasa: Jawa dan Indonseia). Saya malah kadang-kadang berpikir seperti itu. Jadi, pada saat pembelajaran kok ada siswa yang ngantuk, ada siswa yang ngobrol sendiri itu kadang-kadang malah saya melihatnya dari diri Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

saya sendiri. Iki mou ki aku kurange opo to, salahe opo to (Bahasa: Jawa). Saya malah seperti itu kadang-kadang. Koreksi diri saya sendiri malahan itu seringnya. Sehingga kan kadangkadang saya mencoba untuk diskusi dengan teman-teman yang lainnya yang sama-sama kimia. Kalo diskusi untuk pembelajaran kimia itu sering tapi kalo ikut masuk ke dalam pembelajaran itu yang belum penah kita jalankan. Mungkin karena waktu yang bertumbukan‖. Berdasarkan pernyataan AR tersebut, konsep PaP-eR (Pedagogical and Professional experience Repertoire) yang merupakan refleksi guru setelah mengajar sebenarnya sudah ada. Hanya saja PaP-eR belum berbentuk narasi yang dituliskan dalam bentuk laporan khusus. Meskipun demikian, sebagai seorang guru yang telah memiliki komponen PCK, AR pernah melaksanakan PTK (penelitian tindakan kelas) untuk memperbaiki penguasaan konsep materi termokimia. AR menjelaskan bahwa media kartu permainan yang berisi simbol-simbol dan rumus kimia senyawa atau unsur digunakan untuk menjelaskan reaksi pembentukan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa anak-anak lebih memahami konsep reaksi pembentukan. Adapun untuk materi sulit seperti stoikiometri, AR masih terkendala dalam mengajarkan. AR menggunakan sistem drill latihan soal. Siswa seringkali kesulitan dalam mendefinisikan istilah yang diperolehnya, sebagai contoh perbedaan molar dan molal, molekul dan atom, pemakaian simbol kimia yang sering terbalik-balik. Selanjutnya, terkait dengan komponen K5 yaitu pengetahuan akan proses penilaian, AR memaparkan bahwa untuk kegiatan praktikum sudah ada lembar pengamatan khusus. Selain itu, laporan juga dinilai tersendiri. Meskipun demikian, selama pembelajaran tidak ada lembar pengamatan yang pasti. AR menyatakan bahwa ―istilahnya tidak saklek‖. Jadi, pengamatan dilakukan dengan hanya melihat siswa mana yang aktif dalam bertanya dan maju ke depan kelas. Jadi, hanya dilihat secara umum. Adapun kuantifikasi penilaiannya, AR memiliki catatan khusus berupa tanda centang (√) pada nama-nama siswa. Semakin banyak siswa mempeoleh tanda centang, semakin baik nilainya. Berdasarkan hasil ini, dapat diketahui bahwa guru merasa paling nyaman dan efektif menilai siswa melalui pengamatan secara umum aktivitas di kelas. Komponen PCK Informan Guru MY MY merupakan sosok guru laki-laki yang telah memiliki pengalaman mengajar selama 24 tahun. MY berpendapat bahwa kimia sebagai ilmu yang penting karena banyak ilmu lain yang terkait 31

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

dengan kimia, banyak kejadian sehari-hari yang terkait dengan kimia, serta banyak lapangan kerja yang terkait dengan kimia. Mata pelajaran kimia sangat memungkinkan untuk mengembangkan karakter siswa. Hal ini sangat terlihat terutama pada kegiatan praktikum. Karakter kemandirian dan kedisiplinan, terutama hubungannya dengan keselamatan kerja sangat diperlukan. Mata pelajaran kimia sangat memungkinkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan kedewasaan siswa. MY memberikan contoh bahwa pengetahuan siswa terhadap sifat-sifat toksisitas unsur akan mampu membentuk sikap siswa jika dihadapkan kerja laboratorium ataupun fenomena sehari-hari. MY menyatakan bahwa kimia pada dasarnya diarahkan untuk kegiatan berpikir. MY lebih sering mengarahkan aktivitas pembelajraran agar siswa mampu untuk menemukan konsep sendiri. Berdasarkan uraian hasil wawancara, komponen K1 sudah terbentuk dengan baik pada diri MY. Mendeskripsikan komponen K2, MY memaparkan bahwa terdapat beberapa materi kimia yang sulit untuk dipahami oleh siswa. Sebagai contoh, untuk kelas X, siswa cenderung kesulitan untuk menguasai konsep mol terutama dalam menentukan rumus molekul. Selain itu, materi tata nama senyawa juga dianggap sulit. Hal ini dikarenakan kemalasan siswa dalam menghafal bilangan oksidasi. Untuk kelas XI, siswa cenderung kesulitan pada materi termokimia yang dikaitkan dengan konsep mol. Kesulitan itu juga diperparah karena adanya kesulitan pada konsep perhitungan matematis. Kaitannya dengan motivasi siswa dalam mempelajari kimia, MY juga mengaitkan dengan adanya ujian nasional (UN). MY menyatakan adanya UN juga mempengaruhi motivasi siswa untuk mempelajari kimia. Ada beberapa siswa yang orientasinya terhadap nilai UN dan kelulusan sehingga mau tidak mau harus mempelajari kimia. MY menyatakan lebih lanjut bahwa ―memang sudah dikondisikan seperti itu‖, SMA yang bagus adalah SMA yang lulus UN 100%, dan kimia adalah salah satu mapel UN. Selanjutnya, MY memaparkan bahwa untuk kelas yang diajarnya yaitu kelas XI IA II, XI IA IV dan XI IA III memiliki perbedaan kemampuan dan motivasi yang mencolok. XI IA III memiliki kemampuan yang lebih rendah dibanding yang lainnya. Hal ini akibat adanya beberapa siswa yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan siswa yang lain, serta kondisi pembelajaran. Meskipun demikian beberapa siswa tersebut dimanfaatkan oleh MY sebagai indikator pemahaman materi kimia di kelas. Terkait dengan menumbuhkan Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

minat siswa terhadap materi kimia, MY menyatakan: ―Untuk saya itu, supaya siswa suka kimia, saya masuk itu supaya seneng sek sama saya, ben ga medeni sek gitu lho (Bahasa: Jawa). Terus materinya itu saya terangkan berulang-ulang kali dan jangan sampai membuat kesan kimia itu sulit. Terus saya tanyakan bagian mana yang tidak bisa, kedua kali ga bisa tak ulang lagi, ketiga kali ga bisa tak ulang lagi. Konsekuensinya kalo jamnya kurang nanti pas terakhir saya percepat. Saya lebih suka itu daripada kesan di awal jadi sulit. Kok gurune cepet-cepetan ngejar materi (Bahasa: Jawa).‖ Berdasarkan uraian tersebut, MY menumbuhkan minat siswa terhadap materi kimia dengan membuat pencitraan dirinya menjadi guru yang yang disukai oleh siswa, serta membuat persepsi bahwa mata pelajaran kimia adalah mata pelajaran yang mudah. Dengan demikian, komponen pengetahuan K2 guru MY sudah dimiliki dengan baik. Terkait dengan komponen K3, MY memaparkan bahwa alokasi waktu mata pelajaran kimia pada dasarnya sudah sesuai jika tidak ada tanggal libur (tanggal merah) serta kegiatan try out ujian nasional bagi kelas XII. Meskipun demikian, MY merasa agak kurang untuk alokasi jam pelajaran per minggu bagi kelas X, sedangkan untuk kelas XI dirasa sudah mencukupi. Berhubungan dengan perubahan kurikulum, MY merasa bahwa materi kimia pada masing-masing kurikulum tidak mengalami perubahan yang signifikan, justru berkurang dan diperdalam pada beberapa bagian materi. MY menyatakan bahwa perubahan kurikulum pada dasarnya tidak berpengaruh besar pada pembelajaran kimia. MY menyatakan bahwa pada dasarnya metode pembelajaran kimia sejak CBSA sudah mengacu pada kurikulum 2013 yaitu pembelajaran saintifik, hanya saja tidak tertulis secara kongkret seperti yang dipaparkan di kurikulum 2013. Perbedaan yang dirasa MY mencolok adalah pada kegiatan mengkomunikasikan hasil kegiatan laporan. MY menyatakan bahwa pada kurikulum CBSA jarang dilakukan kegiatan mengkomunikasikan. Berdasarkan uraian di atas, MY telah memiliki pengetahuan K3 (pengetahuan mengenai kurikulum kimia). Komponen K4 terkait dengan pengetahuan terhadap strategi pembelajaran kimia yang dimiliki oleh guru. MY menyatakan bahwa metode atau strategi dalam mengajarkan kimia seharusnya disesuaikan dengan materi kimia yang diajarkan. Metode ceramah pada dasarnya masih sangat diperlukan untuk beberapa materi tertentu. MY memberikan contoh metode pembelajaran yang sering digunakannya. Sebagai contoh, pada materi 32

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

koloid, MY memberikan tugas makalah dan dipresentasikan. Dengan demikian, siswa dapat menggali informasi jauh lebih banyak. Untuk materi yang sarat dengan perhitungan, MY biasa menggunakan metode drill dan mengambil beberapa soal untuk didiskusikan. Untuk materi bentuk molekul, MY menggunakan molymode sebagai alat peraga. Sealin itu, MY juga aktif untuk memberikan tugas membuat alat peraga. Sebagai contoh alat peraga konsep ikatan ionik yang diperlihatkan pada Gambar 2.

Terkait dengan materi yang dianggap sulit untuk diajarkan, MY menyatakan bahwa materi bentuk molekul terutama pada sub materi teori hibridisasi, masih sulit untuk diajarkan. Selain itu, materi teori asam basa menurut Lewis juga masih sulit untuk diajarkan. Hal ini terkait dengan penggambaran proses pelepasan dan penerimaan pasangan elektron untuk memebentuk asam dan basa. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan, MY memberikan lebih banyak variasi metode pembelajaran daripada guru SM dan AR. Pengetahuan MY terhadap penilaian siswa terkait dengan komponen K5 pada PCK. MY telah memberikan variasi teknik penilaian baik melalui teknik pengamatan pada kegiatan praktikum, tes tertulis maupun lisan, hingga penilaian melalui peer assesment semisal untuk kegiatan proyek siswa. Ringkasan komponen PCK dari masing-masing informan guru dapat dilihat pada Tabel 2.

Gambar 2. Alat peraga pembentukan ikatan ionik yang dibuat oleh siswa Tabel 2. Komponen PCK Informan Guru AR MY

Komponen PCK K1

SM

K2

Materi yang paling sulit dipahami siswa adalah materi struktur atom (kelas X) dan bentuk molekul (kelas XI).

K3

Kurikulum CBSA dianggap Perubahan kurikulum tidak Perubahan kurikulum tidak terlalu paling sesuai terlalu mempengaruhi kegiatan mempengaruhi kegiatan pembelajaran kimia pembelajaran kimia

K4

- Materi yang sulit - Penekanan pada kegiatan diprioritaskan melalui praktikum jika metode ceramah. memungkinkan. - Materi yang mudah - Kegiatan diskusi dilakukan dipahami diajarkan melalui melaui kegiatan presentasi kegiatan diskusi dan kuis. - Adanya aktivitas drill soal - Adanya aktivitas drill soal - Penilaian dilakukan melalui - Penilaian dilakukan melalui tes dan observasi kelas. tes dan observasi kelas. - Pengamatan afektif dan - Pengamatan afektif dan psikomotorik siswa psikomotorik siswa dilakukan dilakukan secara umum. secara umum.

K5

Deskripsi singkat karakter

Kimia menjadi penting karena berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan mampu untuk mengembangkan karakter dan kemampuan berpikir siswa Materi yang paling sulit dipahami siswa adalah materi stoikiometri (kelas X), termokimia, dan kesetimbangan kimia (kelas XI).

Materi kimia yang sulit dipahami siswa adalah materi stoikiometri (kelas X), termokimia, teori hibridisasi, dan teori asam basa Lewis (kelas XI).

- Penekanan pada kegiatan praktikum jika memungkinkan. - Kegiatan diskusi melaui presentasi dan kuis. - Tugas proyek lebih variatif. - Adanya aktivitas drill soal

- Penilaian variasi mulai dari tes, observasi, maupun peer assesment. - Pengamatan afektif dan psikomotorik siswa dilakukan secara umum. Guru senior yang disiplin dan Guru yang interaktif dalam Guru yang interaktif dan tegas terhadap siswa. pembelajaran bersahabat dengan siswa dalam menyajikan pembelajaran.

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

33

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

Orientasi dari semua guru informan bahwa kimia adalah penting dalam kehidupan sehari-hari (K1). Orientasi tersebut mengarahkan usaha guru dalam memahami dunia siswa. Guru berusaha memahami apa yang diketahui siswa (K2) dan mengaitkan materi kimia dengan hal-hal yang diketahui oleh siswa. Selanjutnya, guru juga berusaha memperhatikan motivasi dan minat siswa yang mereka ajar. Dengan demikian, guru memiliki pengetahuan untuk menyelenggarakan pembelajaran dengan variasi strategi pembelajaran sesuai dengan karakter, motivasi, dan minat siswa yang diajar (K4). Pada akhirnya pengetahuan-pengetahuan tersebut akan mempengaruhi pula pada bagaimana guru memberikan assesmen pada siswa (K5).

Intergrasi komponen PCK Komponen-komponen dalam PCK memiliki keterkaitan satu sama lain. Komponen K1 terkait langsung dengan komponen K2 dan K3. Orientasi dalam mengajarkan kimia akan mempengaruhi bagaimana seorang guru akan memberikan nuansa dalam mengajarkan konsep-konsep kimia kepada siswanya. Berdasarkan hasil survey kepada ketiga guru informan, diperoleh informasi bahwa SM, AR, dan MY beranggapan bahwa mata pelajaran kimia menjadi penting karena berhubungan dengan kehidupan seharihari dan mampu untuk mengembangkan karakter serta kemampuan berpikir siswa. Dengan demikian, arah pembelajaran yang diselenggarakan ketiga guru informan tidak hanya sekedar menuntaskan materi kimia yang ada, tetapi juga mengarah pada pembentukan karakter dan pola pikir siswa. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 UU Sisdiknas yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Ketiga guru informan memiliki pengalaman yang sudah lama dalam mengajarkan kimia. Ketiga guru telah merasakan berbagai pergantian kurikulum. Sistem pendidikan di Indonesia belum stabil. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa pergantian kurikulum pendidikan semenjak kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat, Indonesia sudah 9 kali melakukan pergantian kurikulum. Mulai dari kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004 (KBK), 2006 (KTSP), hingga Kurikulum 2013. Meskipun telah terjadi perubahan kurikulum di Indonesia, guru informan menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan pada proses pembelajaran. Pengaruh yang paling terlihat adalah pada proses penilaian pembelajaran. Untuk kurikulum 2013, standar penilaian menggunakan penilaian otentik, yaitu mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil. Berdasarkan pernyataan guru informan, diketahui bahwa adanya perubahan kurikulum tidak mempengaruhi strategi pembelajaran yang dilaksanakan. Pendekatan ilmiah (Saintific Approach) yang ada di kurikulum 2013 pada hakekatnya adalah pembelajaran berpusat pada siswa. Siswa mencari pengetahuan bukan menerima pengetahuan. Pendekatan ini mempunyai esensi yang sama dengan Pendekatan Keterampilan Proses (PKP). Masalah pendekatan sebenarnya bukan masalah kurikulum, tetapi masalah implementasi yang sering kali tidak berjalan dengan baik di kelas. Bisa jadi pendekatan ilmiah yang diperkenalkan di Kurikulum 2013 akan bernasib sama dengan pendekatan-pendekatan kurikulum terdahulu bila guru tidak paham dan tidak bisa menerapkannya dalam pembelajaran di kelas. Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

Dokumen CoRe dan PaP-eR Pedagogical Content Knowledge

sebagai

wujud

Konsep PCK merupakan konsep yang dikembangkan salah satunya oleh Loughran et al. (2004), dengan menggunakan CoRe dan PaP-eR sebagai representasi PCK. CoRe (Content Representation) merupakan konseptualisasi seorang guru mengenai suatu materi, ditinjau dari berbagai aspek dengan menggunakan format tersendiri. PaP-eR (Pedagogical and Professional experience Repertoire) merupakan refleksi guru setelah mengajar, berbentuk narasi yang bertujuan untuk menggambarkan kondisi di kelas ketika pembelajaran berlangsung, merupakan ―jendela‖ untuk melihat penerapan dari CoRe. Kedua dokumen ini (CoRe dan PaP-eR) saling melengkapi. Selanjutnya, dokumen PaP-eR yang merupakan refleksi setelah guru mengajar, akan sangat bermanfaat untuk memperbaiki RPP berikutnya maupun perbaikan yang sudah diajarkan. Pada Lampiran 1. dapat dilihat contoh format CoRe kaitannya dengan PaP-eR yang telah dikembangkan oleh Loughran et al. (2004). SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pada beberapa komponen PCK yang dimiliki oleh guru informan. Variasi terjadi pada K2 (pengetahuan akan pemahaman siswa dalam kimia), K3 (pengetahuan akan kurikulum kimia), K4 (pengetahuan terhadap strategi dan representasi pembelajaran untuk mengajarkan kimia), dan K5 (pengetahuan akan assesmen). Adapun komponen K1 (orientasi dalam mengajar kimia) para guru memiliki kecenderungan yang sama. Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran kimia, diperlukan strategi yang berbeda pada masing-masing informan guru. Dengan mengetahui komponenkomponen PCK tersebut, diharapkan terjadi perbaikan dalam proses pembelajaran kimia. Perbaikan tersebut 34

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

dapat ditindaklanjuti melalui dokumen CoRe dan PaPeR.

documenting professional practice. Journal of Research in Science Teaching. 41 (4), 370 - 391. Loughran, J., Mulhall, P., & Berry, A. (2008). Exploring Pedagogical Content Knowledge in Science Teacher Education. International Journal of Science Education.30:10,1301 — 1320. Magnusson, S., Krajcik, L., & Borko, H. (1999). Nature, sources and development of pedagogical content knowledge. In: J. Gess-Newsome & N. G. Lederman (Eds.), Examining Pedagogical Content Knowledge (pp. 95–132). Dordrecht, Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Mulhall, P., Berry, A., & Loughran, J., (2003). Frameworks For Representing Science Teachers' Pedagogical Content Knowledge. Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, 4(2), 125. Park, S. & Chen, Y.C., (2012). Mapping Out the Integration of the Components of Pedagogical Content Knowledge (PCK): Examples From High School Biology Classrooms, Journal Of Research In Science Teaching, 49 (7), 922–941. Park, S., & Oliver, J. S. (2008). Revisiting The Conceptualisation Of Pedagogical Content Knowledge (PCK): PCK as A Conceptual Tool To Understand Teachers As Professionals. Research in Science Education, 38(3), 261–284. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Tanggal 4 Mei 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Rollnick, M., Bennett, J., Rhemtula, M., Dharsey, N., & Ndlovu, T. (2008). The Place of Subject Matter Knowledge in Pedagogical Content Knowledge: A case study of South African teachers teaching the amount of substance and chemical equilibrium. International Journal of Science Education. 30(10),1365 — 1387. Shulman, L.S. (1986). Those who understand: Knowledge growth in teaching. Educational Researcher. 15(2), 4–14. Shulman, L. (1987). Knowledge and Teaching: Foundations Of The New Reform. Harvard Educational Review. 57(1), 1-22.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dukungan dana melalui kegiatan Penelitian Dosen Pemula Tahun Anggaran 2014. Artikel ini merupakan bagian dari penelitian yang berjudul ―Eksplorasi Dokumen CoRe dan PaP-er Berkarakter Sebagai Wujud Pedagogical Content Knowledge Melalui Team Teaching Pembelajaran Kimia SMA‖.

DAFTAR PUSTAKA Abell, S.K.(2008). Twenty Years Later: Does pedagogical content knowledge remain a useful idea?, International Journal of Science Education.30(10),1405-1416. Baxter, J.A. & Lederman, N.G. (1999). Assesment and Measurenment of Pedagogical Content Knowledge. In J. Gess-Newsome & N.G.Lederman (Eds.), Examining Pedagogical Content Knowledge (pp.147-161). Doedrecht, The Neteherland Kluwer. Dahar, R.W & N. Siregar. (2000). Pedagogi Materi Subyek : Meletakkan dasar Keilmuan dari PBM‖. Makalah pada Seminar Staf Dosen FPMIPA dalam rangka mensosialisasikan Pedagogi Materi Subyek. UPI, Bandung. Friedrichsen, P., Van Driel, J. H., & Abell, S. K. (2011). Taking a Closer Look at Science Teaching Orientations. Science Education, 95, 358–376. Kagan, D.M. (1990). Ways of Evaluating Teacher Cognition: Inferences Concerning The Goldilocks Principle. Review of Educational Research, 60(3), 419-469. Loughran, J., Mulhall, P., & Berry, A. (2004). In search of Pedagogical Content Knowledge in Science: developing ways of articulating and

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

35

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

KEEFEKTIVAN PEMBELAJARAN BERBASIS POTENSI LOKAL DALAM PEMBELAJARAN FISIKA SMA DALAM MENINGKATKAN LIVING VALUES SISWA Siti Sarah1, Maryono2 FITK Universitas Sains Alquran Wonosobo Jl. Kalibeber Km. 03 Telp. (0276) 3326054 – 321873, Wonosobo 56351 [email protected] Intisari-Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) adakah perbedaan living values (kejujuran, kerja sama, dan tanggung jawab) antara siswa kelas X yang belajar menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal dan tanpa berbasis potensi lokal di SMA N 1 Kretek di Kabupaten Wonosobo; (2) bagaimana keefektivan peningkatan living values (kejujuran, kerja sama, dan tanggung jawab) melalui pembelajaran berbasis potensi lokal pada siswa kelas X di SMA N 1 Kretek di Kabupaten Wonosobo. Metode penelitian yang digunakan berupa quasi eksperimen, yaitu control-group pre-test post-test design. Instrumen penelitian yang digunakan berupa: angket dan lembar observasi. Analisis yang digunakan meliputi uji normalitas, uji homogenitas, dan uji beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tidak ada perbedaan living values kejujuran dan kerjasama siswa kelas X SMA N 1 Kretek yang belajar dengan menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal dan yang belajar tanpa menggunakan perangkat permbelajaran berbasis potensi lokal. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi (p > 0,05), yaitu 0,156 (kejujuran) dan 0,812 (kerja sama). Sebaliknya, ada perbedaan tanggung jawab antara siswa yang belajar menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal dengan siswa yang belajar tanpa perangkat tersebut dengan tingkat signifikansi (p < 0,05), yaitu 0,008. (2) Peningkatan living values kejujuran dan kerjasama melalui pembelajaran fisika berbasis potensi lokal lebih efektif diterapkan di SMA N 1 Kretek. Kata kunci: pembelajaran fisika, potensi lokal, living values diakibatkannya pun semakin banyak. Komnas Perlindungan Anak mencatat bahwa aksi tawuran antarpelajar di seluruh pelosok negeri ini pada tahun 2011 mencapai 339 kasus dengan korban meninggal dunia mencapai angka 82 orang. Angka tersebut meningkat cukup signifikan 165 persen dari 128 kasus pada tahun 2010 [10]. Jika ditarik benang merah dari beberapa penyimpangan di atas, salah satu penyebabnya adalah belum tertanamnya living values yang baik dalam diri siswa seperti yang telah diprogramkan oleh Kurikulum 2013 dalam skema pengembangan kompetensi meliputi sikap, pengetahuan, ketrampilan berpikir, dan ketrampilan psikomotorik yang dikemas dalam berbagai mata pelajaran. Ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan Kurikulum 2013, salah satunya memperhatikan keragaman potensi dan karakteristik daerah, lingkungan, persatuan nasional, serta nilai-nilai kehidupan (living values). Pendidikan diarahkan untuk membangun living values dan wawasan kebangsaan siswa yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia [2]. Fisika merupakan salah satu mata pelajaran di SMA yang umumnya jarang diminati siswa karena minimnya aplikasi fisika dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, perlu trik jitu untuk menjadikannya menarik dipelajari.

PENDAHULUAN Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara [3]. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan seharusnya mampu merubah sikap dan perilaku masyarakat kita. Namun, kenyataan di lapangan berbeda seperti kasus pergaulan bebas dan pornografi di kalangan pelajar serta penggunaan narkoba yang didapatkan dari sumber berikut. Sebanyak 22,6% remaja Indonesia terjebak dalam seks bebas [1]. Khusus di Kabupaten Wonosobo berdasarkan hasil survei yang dilakukan Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah pada tahun 2004 sebanyak 15,4% remaja telah melakukan hubungan seks sebelum menikah [15]. Selain prilaku seks bebas, potret buruk pelajar dapat dilihat dari banyaknya jumlah pecandu di Indonesia, yang menurut perkiraan Badan Narkotika Nasional (BNN) mencapai 3 juta orang. Selain itu, tawuran antarpelajar pun mewarnai potret buruk siswa. Pada umumnya aksi tawuran meletus secara mendadak hanya karena persoalan sepele seperti tersinggung yang dilanjutkan saling mengejek. Korban berjatuhan yang Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

36

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

Pemanfaatan potensi lokal sebagai sumber belajar fisika merupakan salah satu karakteristik yang diharapkan kurikulum agar pembelajaran menjadi aplikatif dan bermakna. Potensi lokal adalah potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah meliputi sumber daya alam, manusia, teknologi, dan budaya. Melalui potensi lokal yang terintegrasi dalam pembelajaran menjadikan siswa termotivasi untuk mempelajarinya, sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukan unsur potensi lokal dan living values dalam kegiatan pembelajaran melalui pembuatan perangkat pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian berjudul ―Pengembangan Perangkat pembelajaran Berbasis Potensi Lokal untuk Meningkatkan Living Values Siswa SMA di Kabupaten Wonosobo‖ yang telah menghasilkan perangkat pembelajaran (silabus, RPP, LKPD, media pembelajaran, dan lembar penilaian) berbasis potensi lokal yang telah teruji berhasil di salah satu SMA di Kabupaten Wonosobo dengan kategori siswa berkemampuan tinggi [14]. Melalui penelitian ini, akan diketahui bagaimana keefektivan pembelajaran fisika berbasis potensi lokal dalam meningkatkan living values siswa di SMA N 1 Kretek (kemampuan siswa berada pada kategori sedang di Kabupaten Wonosobo).

Istilah desentralisasi pendidikan telah menjadi wacana publik. Perubahan paradigma pengelolaan pendidikan pada era desentralisasi ini membawa konsekuensi terhadap penerapan kurikulum yang ada. Melalui desentralisasi pendidikan, peluang dalam mengembangkan Kurikulum 2013 makin terbuka lebar, termasuk memanfaatkan potensi lokal dalam penyusunan perangkat pembelajaran. Potensi daerah (lokal) merupakan potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah. Potensi lokal seyogyanya dimanfaatkan guna mendukung desentralisasi pendidikan. Potensi lokal yang meliputi sumber daya alam, manusia, teknologi, dan budaya dapat dikembangkan untuk membangun kemandirian nasional [12]. Potensi lokal tidak dapat lepas dari budaya lokal. Budaya bukan hanya potensi yang langsung berhubungan dengan seni dan budaya, namun merupakan segala hal mengenai cara pandang hidup masyarakat setempat yang berhubungan dengan keyakinan, produktivitas, pekerjaan, makanan pokok, kreativitas, nilai dan norma [3]. Kegiatan menggali potensi budaya yang memiliki hubungan langsung dengan tema-tema dalam pelajaran sains di sekolah akan lebih memberikan gambaran yang jelas dan relevan antara materi pembelajaran, pendidik, dan siswa. Setiap wilayah dengan karakter berbeda memiliki potensi berbeda, termasuk juga Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Kabupaten ini memiliki banyak potensi yang dapat dijadikan sumber pembelajaran fisika di SMA. C. Living Values Pembentukan karakter (character building) telah menjadi isu hangat dalam dunia pendidikan di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya bersifat dinamis dan multikultur dengan 701 jenis bahasa daerah. Jika jumlah bahasa daerah digunakan sebagai indikator keberagaman maka ada sekitar 701 kultur yang terdistribusi di pulau-pulau besar dan kecil [16]. Keberagaman kultur sejatinya memiliki nilai kearifan lokal (local wisdom) yang bergantung pada situasi dan kondisi daerah masingmasing. Kearifan lokal diartikan sebagai pengetahuan dasar yang diperoleh dari kehidupan yang seimbang dengan alam [13]. Kearifan lokal yang dilestarikan akan mampu menghambat efek negatif globalisasi dan modernisasi yang banyak mereduksi perilaku anakanak muda khususnya para pelajar. Pendidikan karakter harus menjadi bagian integral dalam kehidupan sekolah [9]. Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai institusi pendidikan berperan penting dalam proses pembentukan karakter siswa berusia 1518 tahun, yang selanjutnya menjadi pertanyaan adalah jenis pendidikan karakter seperti apa yang bisa ditawarkan di jenjang sekolah menengah atas.

LANDASAN TEORI A. Pembelajaran Fisika Selama hidupnya, setiap individu tidak lepas dari proses belajar. Belajar adalah key term yang paling vital dalam setiap usaha pembelajaran. Belajar dan mengajar merupakan pendeskripsian dan penggambaran berbagai macam interaksi pembelajaran siswa di kelas. Proses pembelajaran merupakan sistem yang terdiri dari empat komponen saling terkait, yaitu raw input (siswa), instrumental input (masukan instrumental), lingkungan, dan output (hasil keluaran). Pusat sistem itu sendiri berupa proses pembelajaran. Fisika merupakan salah satu bidang studi di tingkat SMA yang mendasari perkembangan teknologi maju dan konsep hidup harmonis dengan alam. Selain mempelajari fenomena alam, fisika juga memberikan pelajaran yang baik kepada manusia untuk hidup selaras berdasarkan hukum alam. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta pengurangan dampak bencana alam tidak akan berjalan secara optimal tanpa pemahaman yang baik tentang fisika. Komponen masukan instrumental berupa kurikulum, guru, sumber belajar, media, metode, dan sarana prasarana pembelajaran sangat mempengaruhi proses pembelajaran fisika. Salah satu instrumental input yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah potensi lokal. B. Potensi Lokal sebagai Sumber Belajar Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

37

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

Pendidikan karakter juga seharusnya memiliki karakteristik yang menampakan pendidikan karakter berbasis living values (nilai-nilai hidup). Living values yang dimaksud adalah nilai-nilai hidup dasar agar nilai-nilai tersebut mudah diinternalisasikan dan diimplementasikan [8]. Oleh sebab itu, pendidikan karakter berbasis living values memerlukan suatu model pembelajaran konstekstual, artinya pembelajaran yang mengintegrasikan living values ke dalam materi, metode, media, sumber pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Living values itu sendiri merupakan program pendidikan nilai. Program ini menyajikan berbagai macam aktivitas pengalaman dan metodologi praktis bagi para guru dan fasilitator untuk membantu anakanak dan para remaja mengeksplorasi dan mengembangkan nilai-nilai kunci pribadi dan sosial, yaitu kedamaian, penghargaan, cinta, tanggung jawab, kebahagiaan, kerja sama, kejujuran, kerendahan hati, toleransi, kesederhanaan, dan persatuan [4]. Adapun living values yang dapat dikembangkan di Indonesia karena sesuai dengan karakteristik bangsa ada 13, yaitu religius, kejujuran, toleransi, berkelakuan baik, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, cinta tanah air, menghargai prestasi, bekerja sama, dan tanggung jawab [8]. Pendidikan berbasis living values adalah sebuah program pendidikan nilai yang komprehensif. Program global yang inovatif ini menawarkan pelatihan, metodologi praktis dan berbagai kegiatan nilai pengalaman kepada pendidik, fasilitator, orang tua, dan pembimbing untuk membantu mereka memberikan kesempatan bagi anak-anak guna menggali dan mengembangkan nilai-nilai universal. Selain itu, pendidikan berbasis living values bertujuan menyediakan prinsip-prinsip panduan dan peralatan guna mengembangkan pribadi secara keseluruhan, mengakui bahwa individu terdiri dari dimensi fisik, intelektual, emosional, dan spiritual. Living values yang diintegrasikan dalam pendidikan karakter seyogyanya disesuaikan dengan potensi lokal setempat, sehingga siswa merasa dirinya menjadi bagian penting dan memiliki kebermaknaan tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh sikap dan perilaku siswa terhadap dirinya sendiri dan orang lain sebagai imbas program literasi values and emotional [6]. Pada akhirnya, siswa diharapkan menjadi generasi penerus yang akan melestarikan potensi lokal yang ada. Menurut Kevin Ryan, indikator karakter dapat dilihat dari tiga (3) hal berikut. (1) Knowing the good, yaitu mengetahui yang baik. (2) Loving the good atau IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Uji kesamaan rata-rata

mencintai atau menyukai yang baik. (3) Doing the good atau berbuat yang baik [5]. D. Keefektivan Pembelajaran Keefektivan dengan kata dasar efektif merujuk pada rasio antara output terhadap input. Keefektivan merupakan ukuran yang menyatakan sejauh mana sasaran dalam hal ini kuantitas, kualitas, dan waktu yang telah dicapai. Masalah keefektivan biasanya berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dan rencana yang telah disusun sebelumnya. Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dan siswa dengan melibatkan beberapa unsur tersebut perlu diupayakan agar dapat terlaksana dengan efektif. Pembelajaran efektif meliputi hal-hal berikut: 1) pembelajaran konsisten dengan kurikulum, 2) program yang telah direncanakan dilaksanakan oleh guru tanpa mengalami hambatan dan kesulitan yang berarti, 3) siswa melakukan kegiatan belajar belajar sesuai dengan program yang telah ditentukan tanpa mengalami hambatan dan kesulitan yang berarti, 4) guru memotivasi belajar siswa, 5) siswa aktif mengikuti kegiatan pembelajaran, 6) interaksi timbal balik antara guru dan siswa, 7) guru terampil dalam mengajar, dan 8) kualitas hasil belajar yang dicapai oleh para siswa [15]. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang akan digunakan berupa quasi eksperimen, yaitu control-group pre-test post-test design. Variabel bebas berupa penggunaan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal. Adapun variabel terikat berupa living values siswa. Subjek penelitian ini adalah siswa SMA kelas X SMA Negeri 1 Kertek, Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Adapun penelitian ini dirancang selama 1 tahun. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu: (1) angket untuk mengetahui living values siswa dan (2) observasi untuk mengetahui living values yang tertanam pada siswa. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) uji kesamaan kemampuan awal untuk mengetahui apakah kedua kelompok (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol) dalam keadaan sama atau tidak. Statistik uji yang digunakan dalam uji keseimbangan adalah uji-t; (2) uji normalitas untuk mengetahui apakah sampel penelitian ini berasal dari populasi yang normal atau tidak; (3) uji homogenitas untuk menguji apakah sampel-sampel tersebut berasal dari populasi yang homogen atau tidak; (4) uji hipotesis.

Tabel 1. Hasil uji-t living values (kejujuran, kerjasama, dan tanggung jawab) Independent Samples Test Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

38

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference

PRE.KEJUJUR Equal -AN variances assumed Equal variances not assumed PRE.KERJAS Equal A-MA variances assumed Equal variances not assumed PRE.TANG- Equal GUNGJAWA variances B assumed Equal variances not assumed

Mean Std. Error Sig. (2- Differenc Differenc F Sig. T Df tailed) e e Lower Upper .126 .725 2.224 33 .033 1.83333 .82453 .15582 3.5108 4 2.133 24.0 01

.043

1.83333

.85961

33

.301

-.88095

.83755 -2.58496 .82305

-1.036 26.5 58

.310

-.88095

.85027 -2.62693 .86502

33

.019

1.73810

.70600

.30173 3.1744 6

2.723 32.6 03

.010

1.73810

.63834

.43879 3.0374 0

.006 .941 -1.052

2.166 .151 2.462

Berdasarkan nilai signifikansi dari masing-masing data living values di atas, maka dapat diketahui bahwa semuanya memiliki nilai signifikansi (p > 0,05). Artinya, bahwa dua kelas yang diambil 2. Uji Normalitas

.05920 3.6074 7

sebagai kelas eksperimen (KE) dan kelas kontrol (KK) memiliki kesamaan rata-rata, sehingga memenuhi syarat untuk digunakan dalam penelitian.

Tabel 2. Hasil uji normalitas living values siswa kelas X SMA N 1 Kertek Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic df * .149 21 .200 .953 21 .321 14 .000 .838 14 .193 21 .040 .921 21 .192 14 .174 .930 14 .203 21 .024 .919 21 .198 14 .143 .880 14

KELA S POS.KEJUJURAN KE KK POS.KERJASAMA KE KK POS.TANGGUNG.JAW KE AB KK a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

39

Sig. .386 .015 .091 .309 .082 .059

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa masing-masing pasangan living values memiliki tingkat signifikansi yang berbeda, yaitu p < 0,05 (tidak terdistribusi normal) dan p > 0,05 (terdistribusi normal). Dengan demikian, maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan. Sebagai konsekuensinya, maka data dianalisis mengikuti statistik nonparametrik. 3. Pengujian hipotesis

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan living values antara KE dan KK digunakan uji Wilcoxon. Prinsip penggunaan uji Wilcoxon adalah membandingkan skor dari dua group yang tidak berhubungan satu dengan yang lain, dengan tujuan apakah kedua group tersebut memiliki rerata yang sama atau tidak. Berikut hasil analisisnya menggunakan SPSS.

Tabel 3. Hasil uji beda living values kejujuran, kerja sama, dan tanggung jawab pada KK dan KE Test Statisticsc KK.KEJUJURA KK.KERJASAM KK.TANGGUNG.JAW NAAB KE.KEJUJURA KE.KERJASAM KE.TANGGUNG.JAW N A AB a b Z -1.420 -.238 -2.673a Asymp. Sig. (2-tailed) .156 .812 .008 a. Based on positive ranks. b. Based on negative ranks. c. Wilcoxon Signed Ranks Test

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

40

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan kejujuran dan kerja sama siswa yang belajar menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal dan tanpa menggunakan perangkat berbasis potensi lokal. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi (p > 0,05) yaitu masingmasing 0,156 (untuk kejujuran) dan 0,812 (untuk kerja sama). Sebaliknya, aspek tanggung jawab antara siswa yang belajar menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal dan tanpa menggunakan perangkat berbasis potensi lokal memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi (p < 0,05), yaitu 0,008. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan tahun sebelumnya pada siswa kelas X SMA N 1 Wonosobo (sekolah dengan kategori tinggi) [14]. Perbedaan hasil penelitian antara siswa kelas X di SMA N 1 Wonosobo dan SMA N 1 Kretek dikarenakan living values siswa akan tumbuh maupun tidak berkaitan erat dengan lingkungan tempat siswa berada, baik lingkungan keluarga maupun sekolah. Dengan demikian, sekolah yang berbeda dengan atmosfer belajar berbeda tentunya akan mempengaruhi melekat tidaknya living values siswa sebagai salah satu produk pembelajaran. Sebagai salah satu sekolah dengan kategori tinggi, SMA N 1 Wonosobo menerapkan pola disiplin dan sportif baik dalam pelaksanaan program sekolah maupun kegiatan belajar. Dengan demikian, siswa SMA N 1 Wonosobo terbiasa dituntut dan dilatih kemandiriannya dalam belajar. Hal ini sangat sesuai dengan pola pembelajaran inquiry terbimbing yang di setting dalam membelajarkan fisika berbasis potensi lokal yang ada dalam perangkat pembelajaran. Pola ini menjadikan siswa memiliki motivasi yang kuat dalam belajar dan berprestasi. Adapun, SMA N 1 Kretek sebagai salah satu sekolah dengan kategori sedang menerapkan pola belajar yang sedikit lebih lunak dibanding SMA N 1 Wonosobo. Hal ini dikarenakan, siswa yang belajar di SMA N 1 Kretek merupakan siswa yang tidak berhasil masuk SMA dengan kategori tinggi karena kemampuan akademisnya yang belum mencapai. Perbedaaan atmosfer belajar Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

itulah yang menjadikan living values yang dimiliki siswa berbeda. Meskipun demikian, ada kesamaan antara pola yang terjadi dari kedua hasil penelitian ini, yaitu keduanya memiliki kecenderungan yang sama bahwa pengaruh yang pembelajaran berbasis potensi lokal hanya berlaku di masing-masing sekolah. Dengan demikian, hasil ini tidak dapat digeneralisasi. 4. Keefektivan pembelajaran dalam meningkatkan living values Efektivitas pembelajaran dapat dilihat dari selisih rata-rata skor pretest dan postes di masing-masing kelas, yaitu KE dan KK. Berikut hasilnya. Tabel 4. Keefektivan peningkatan living values melalui pembelajaran berbasis potensi lokal Living Values KE KK Kejujuran 1,71 2,29 Kerjasama 1,24 0,36 Tanggung jawab 0,76 0,43 Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa pada aspek kejujuran pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal kurang efektif. Sebaliknya, pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal ternyata efektif dalam meningkatkan kerja sama dan tanggung jawab siswa dalam belajar. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tidak ada perbedaan living values kejujuran dan kerjasama siswa kelas X SMA A yang belajar dengan menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal dan yang belajar tanpa menggunakan perangkat permbelajaran berbasis potensi lokal. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05 (p > 0,05), yaitu 0,156 (kejujuran) dan 0,812 (kerja sama). Sebaliknya, ada perbedaan tanggung jawab antara siswa yang belajar menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal dengan siswa yang belajar tanpa perangkat tersebut dengan signifikansi (p < 0,05), yaitu 0,008. (2) Peningkatan living values kejujuran dan kerjasama melalui pembelajaran fisika berbasis potensi lokal lebih efektif diterapkan di SMA A. 41

VOLUME 02 NOMOR 01 MARET 2014

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Dikti yang telah mendanai penelitian ini. Selain itu, terima kasih ditujukan kepada kepala sekolah, guru fisika, dan siswa kelas X SMA N 1 Kretek atas kesempatan yang diberikan untuk melaksanakan penelitian.

[9].

[10]. DAFTAR PUSTAKA [1]. Saputra, 22,6% Remaja Indonesia Penganut Seks Bebas, 2007. Website: http://news.detik.com/read/2007/05/31 /175112/787950/10/226-remajaindonesia-penganut-seksbebas?nd771104bcj, diakses tanggal 12 November 2013. [2]. BSNP, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP, 2006. [3]. D. Arowolo, The Effects of Western Civilisation And Culture on Africa, Afro Asian Journal of Social Sciences, Vol. 1, No. 1 Quarter IV, 2010. [4]. D. Tillman, Living Green Values Activities for Children and Young Adults A Special Rio+20 Edition, Switzerland, Association for Living Values Education International (ALIVE), 2012. [5]. E. A. Tuerah, Manajemen Pengembangan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan dalam rangka Memantapkan Karakter Bangsa di Sulawesi Utara. Proceeding Konaspi VII, Universitas Negeri Yogyakarta, 31 Oktober-3 November 2012, pp 5973. [6]. K. E. Hassan and R. Kahil, The Effect of Living Values: An Educational Program on Behaviors and Attitudes of Elementary Students in a Private School in Lebanon, Early Childhood Education Journal, Vol. 33, No. 2, 2005. [7]. Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan dan Karakter Bangsa. Jakarta: Pusat Kurikulum, 2010. [8]. K. Komalasari, The Living ValuesBased Contextual Learning to Develop the Students' Character, Journal of

Jurnal Pendidikan Sains Universitas Muhammadiyah Semarang

[11]. [12].

[13].

[14].

[15].

[16].

42

Social Sciences, 8 (2), 2012, pp. 246251. M. H. Romanowski, 2005, Through The Eyes Of Teachers: High School Teachers' Experiences With Character Education‖, ProQuest Education Journals, vol. 34, 2005, pp. 6-23. M. Tyson, Memutuskan Mata Rantai Aksi Tawuran Antar Pelajar, Website: http://metro.kompasiana.com/2012/09/ 27/memutuskan-mata-rantai-aksitawuran-antar-pelajar-491076.html, diakses tanggal 12 November 2013. N. Sudjana, Metode Statistik. Bandung, Tarsito, 2005. P. Hariyadi, Penguatan Industri Penghasil Nilai Tambah Berbasis Potensi Lokal peranan Teknologi Pangan untuk Kemandirian Pangan, Jurnal PANGAN, Vol. 19, No. 4, 2010, pp. 295-301. R. Mungmachon, Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure‖, International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 2, No. 13, 2012, pp. 174-181. S. Sarah dan Maryono. (2013), Pengembangan Perangkat pembelajaran Berbasis Potensi Lokal untuk Meningkatkan Living Values Siswa SMA di Kabupaten Wonosobo, Jurnal Teknologi Technoscience, vol.6, 2014, pp 185-194. T. P. Kurniawan, Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Praktek Kesehatan Reproduksi Remaja Di SMA Negeri 1 Purbalingga Kabupaten Purbalingga. Tesis. UNDIP, Semarang, 2008. Y. T. Winarto. ―Family Education and Culture in Indonesia: The Complex, Intermingled, And Dynamic Phenomena‖. Makalah yang telah dipresentasikan di konferensi international di Universitas Chai Yi Thailand. 26-27 Oktober, 2006

ISBN:9772339078012