ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA BANDAR LAMPUNG NOMOR 16/G/2009/PTUN/BL TENTANG SENGKETA SERTIFIKAT GANDA
Emelda Sari, Sudirman Mechsan, Syamsir Syamsu. Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Soemantri Brojonegoro Nomor 1 Bandar Lampung 35145 Email:
[email protected]
ABSTRAK Sertifikat pada dasarnya merupakan akta otentik yang menunjukkan kepemilikan tanah secara sah, tetapi pada kenyataannya terdapat sertifikat ganda yang berdampak pada terjadinya sengketa, sehingga salah satu pihak yang terlebih dahulu memiliki sertifikat mengajukan gugatan kepada Kepala Kantor Pertanahan dan pihak lain yang memiliki sertifikat di kemudian hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Dasar pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL tentang Sengketa Sertifikat Ganda adalah objek sengketa dan dimohonkan batal atau tidak sah oleh Penggugat adalah Keputusan Tergugat berupa Sertifikat Hak Milik Nomor 9500/kp.B tanggal 26 April 2004 seluas 302 M2, atas nama tergugat II Intervensi, Surat Ukur Nomor 288/ Kampung Baru/2004 tanggal 27 April 2007. Menimbang bahwa gugatan penggugat tersebut, Pihak Tergugat dan Tergugat II Intervensi dalam tanggapannya masing-masing tanggal 12 Oktober 2009 dan 28 Oktober 2009 selain mengajukan jawaban dalam pokok perkara, juga telah mengajukan eksepsi, oleh karena itu majelis hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi tersebut dalam mempertimbangkan tentang pokok sengketanya. (2) Akibat hukum terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL terhadap masalah sertifikat ganda adalah Tergugat harus melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu Sertifikat Hak Milik Nomor 9500/kp.B tanggal 26 April 2004 batal demi hukum, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif dalam rangka menciptakan kepastian hukum. Kata Kunci: Putusan, Sengketa, Sertifikat Ganda
I. Pendahuluan Tanah merupakan salah satu kebutuhan primer bagi manusia bahkan sampai meninggalpun manusia masih membutuhkan tanah. Kebutuhan manusia terhadap tanah dewasa ini makin meningkat. Hal ini disebabkan semakin bertambahnya jumlah penduduk, sementara disisi lain luas tanah tidak bertambah. Kebutuhan manusia terhadap tanah semakin mengalami peningkatan seiring dengan kebutuhan tempat tinggal atau rumah. Setiap orang yang akan mendirikan tempat tinggal pasti membutuhkan tanah, sehingga upaya membangun tempat tinggal ini tidak terlepas dari kegiatan perolehan hak atas tanah untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah yang dimilikinya. Dasar kepastian hukum mengenai hak milik atas tanah terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hak milik berdasarkan Pasal 20 UUPA merupakan hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah dan memberi wewenang untuk mempergunakan bagi segala macam keperluan selama waktu yang tidak terbatas sepanjang tidak ada larangan khusus untuk itu. Sifat terkuat dan terpenuhi artinya yang paling kuat dan penuh bagi pemegang hak milik dan mempunyai hak untuk bebas dengan menjual, menghibahkan, menukarkan dan mewariskan. Hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang mengenai tanah yang dihakinya, karena telah ditetapkan UUPA dan peraturan pemerintah tentang pendaftaran tanah. Sebagai pelaksanaan Pasal 19 UUPA maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Menurut Pasal 1 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, diketahui bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termaksud pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran tanah sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 berfungsi untuk mengetahui status bidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan. Untuk memperoleh kekuatan hukum rangkaian kegiatan pendaftaran tanah secara sistematis, pengajuan kebenaran materiil pembuktian data fisik dan data yuridis hak atas tanah, ataupun lain hal yang dibutuhkan sebagai dasar hak pendaftaran tanah, dan atau riwayat asal usul pemilikan atas tanah, jual-beli, warisan, tidak terlepas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dampak arti praktisnya selama belum dibuktikan yang sebaliknya data fisik dan data yuridis dalam perbuatan hukum maupun sengketa didepan pengadilan harus diterima sebagai data yang benar. Individu atau badan hukum lainnya tidak dapat menuntut tanah yang telah bersertifikat atas nama orang lain atau badan hukum lainnya jika selama lima tahun sejak dikeluarkan tidak mengajukan gugatan di pengadilan.
Pelaksanaan untuk tercapainya jaminan dan kepastian hukum hak-hak atas tanah diselenggarakan pendaftaran tanah dengan mengadakan pengukuran, pemetaan tanah dan penyelenggaraan tata usaha hak atas tanah merupakan hubungan hukum orang atau badan hukum dengan sesuatu benda yang menimbulkan kewenangan atas obyek bidang tanah dan memaksa orang lain untuk menghormatinya akibat dari pemilikan.
Pendaftaran tanah yang dilakukan secara sistematis sampai saat ini masih dianggap belum maksimal dan prosedural dalam masyarakat, walaupun sebelum dilakukan pengukuran oleh tim teknis telah dilakukan pematokan awal oleh para pemilik tanah. Kota Bandar Lampung sebagai salah satu kota yang sedang berkembang, masyarakatnya juga memiliki hubungan erat dengan tanah. Tanah merupakan sumber kehidupan sekaligus aktifitas sehari-hari, oleh karena itu setiap tanah yang dimiliki masyarakat butuh pengakuan atas kepemilikan tanah tersebut. Terjadinya persengketaaan di bidang pertanahan, menuntut peran maksimal dari petugas Kantor Pertanahan yang secara eksplisit tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan waktu untuk menyelesaikan proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan maupun pengenaan sanksi kepada petugas Kantor Pertanahan apabila melakukan kesalahan dalam pelaksanaan seluruh dan atau setiap proses dalam pendaftaran tanah. Hal ini erat kaitannya dengan hakikat dari sertifikat tanah itu sendiri, yaitu: a. Memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak baik oleh manusia secara perorangan maupun suatu badan hukum; b. Merupakan alat bukti yang kuat bahwa subjek hukum yang tercantum dalam sertifikat tersebut adalah pemegang hak sesungguhnya, sebelum dibuktikan sebaliknya atau telah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan sertifikat tanah;
c. Memberikan kepastian mengenai subjek dan objek hak atas tanah serta status hak atas tanah tersebut. Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini adalah dengan semakin meningkatnya pembangunan, maka kebutuhan terhadap tanah semakin meningkat pula, sedang persediaan tanah semakin terbatas. Keadaan yang demikian berakibat banyaknya tindak pidana atau pelanggaran terhadap tanah terjadi baik itu pemalsuan surat-surat tanah yang dipergunakan untuk kepentingannya dan merugikan bagi orang lain, juga dengan menipu dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak dengan jalan menjual, menukarkan, menyewakan atau menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah atau partikelir, pembatasan tanah. Salah satu perkara sengketa sertifikat ganda adalah dalam Putusan Nomor: 16/G/2009/PTUN/BL, yang menyabutkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung telah menjatuhkan putusan dalam sengketa antara Drs. Hi. Refzon sebagai Penggugat terhadap Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandar Lampung sebagai Tergugat I dan Lorensiana Renny sebagai Tergugat I, terkait sertifikat ganda atas sebidang tanah di Jalan Bumi Manti Kampung Baru Kedaton Bandar Lampung. Pada mulanya Drs. Hi. Refzon Bin Hi. Rustam Effendy ZN, berencana menjual
tanah miliknya yang terletak di Jalan Bumi Manti Kampung Baru Kedaton Bandar Lampung dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 8934/Kp. Baru Tanggal 07 Desember 1982, namun dicegah oleh Lorensiana Reny Binti Agustinus karena juga memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 9500/Kp. Baru/2004 Tanggal 26 April 2004, untuk lokasi yang sama. Tanah yang terletak kapling nomor 34 di Jalan Bumi Manti Kampung Baru Kedaton Bandar Lampung tersebut pada awalnya dibeli oleh paman Drs. Hi. Refzon Bin Hi. Rustam Effendy ZN yaitu Wirzen Nur (Alm) dari Tergugat dengan alas hak berupa Surat Jual Beli Tanah/Kebun Kelapa Tertanggal 27 Juli 1979 dari Sariat kepada Tergugat. Kemudian berdasarkan akta jual beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) pada Kantor Kecamatan Kedaton sesuai dengan akta jual beli Nomor 205/C/1979 tertanggal 10 Agustus 1979 maka tanah tersebut menjadi milik Wirzen Nur (Alm). Akibat tidak dapat dijualnya tanah saksi Drs. Hi. Refzon Bin Hi. Rustam Effendy ZN yaitu Wirzen Nur (Alm), maka saksi melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung dengan Tergugat I yaitu Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandar Lampung dan Tergugat Intervensi yaitu Lorensiana Reny. Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Apakah dasar pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL tentang Sengketa Sertifikat Ganda? b. Apakah akibat hukum terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL terhadap masalah sertifikat ganda? Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL tentang Sengketa Sertifikat Ganda 2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL terhadap masalah sertifikat ganda
II. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan empiris. Prosedur pengumpulan dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Prosedur pengolahan data dilakukan melalui tahap pemeriksaan data, klasifikasi data, penyusunan data dan seleksi data. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif.
III. Pembahasan
A. Analisis Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL tentang Sengketa Sertifikat Ganda Tahap-Tahap Putusan Pengadilan Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung dalam hal ini melakuka pemeriksaan terhadap Penggugat dan Tergugat terkait dengan persengketaan tanah yang terjadi. Majelis hakim mempertimbangkan permohonan Penggugat kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung melalui Majelis Hakim yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara ini berkenan memberikan Putusan yang amarnya sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya; 2. Menyatakan batal atau tidak sah surat keputusan berupa Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor: 9500/Kp.B, tanggal 26 April 2004, atas nama Lorensiana Renny seluas 302 M2, Surat Ukur Nomor: 288/Kampung Baru/2004, tanggal 12 April 2004; 3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk mencabut obyek sengketa berupa Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor: 9500/Kp.B, tanggal 26 April 2004, atas nama Lorensiana Renny seluas 302 M2, Surat Ukur Nomor: 288/Kampung Baru/2004, tanggal 12 April 2004; 4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materiil kepada Penggugat sebesar Rp. 5.000.000,(lima juta rupiah);
5. Membebankan kepada tergugat untuk membayar semua biaya. yang timbul dalam sengketa tata usaha negara ini; Tergugat atas gugatan tersebut telah mengajukan eksepsi dan jawabannya pada tanggal 12 Oktober 2009 yang pada pokoknya dalam eksepsi bahwa tergugat mengajukan eksepsi tentang kewenangan mengadili (kompetensi absolut), dengan dasar masih ada sengketa kepemilikan diantara para pihak, sehingga yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan kepemilikan bidang tanah adalah Pengadilan Negeri, bukanlah Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam pokok perkara bahwa tindakan Tergugat dalam menerbitkan obyek sengketa telah sesuai dengan prosedur penerbitan sertipikat sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dalam hal ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Bahwa tindakan Tergugat dalam menerbitkan obyek sengketa telah menerbitkan dan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Tergugat mohon kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung melalui Majelis Hakim yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa ini berkenan untuk memutuskan dalam eksepsi yaitu menerima permohonan eksepsi Tergugat dan dalam pokok perkara yaitu menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan tidak dapat diterima, menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini. Selain itu atas gugatan Penggugat tersebut, Tergugat II Intervensi telah mengajukan tanggapannya tertanggal 28 Oktober 2009, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut dalam eksepsi yaitu bahwa pengajuan gugatan telah lewat tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana ketentuan Pasal 55 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Bahwa sengketa ini merupakan sengketa kepemilikan sehingga seharusnya gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri bukan Pengadilan Tata Usaha Negara (Kewenangan Mengadili/Kompetensi Absolut) dan gugatan penggugat kabur (obscuur libel) oleh karena tidak jelas obyek gugatannya. Selain itu dalam pokok perkara, bahwa Tergugat II Intervensi adalah pembeli yang beritikad baik, sehingga sudah sepatutnya dilindungi secara hukum. Seluruh data fisik dan data yuridis untuk terbitnya sertipikat telah dipenuhi oleh Tergugat II Intervensi, sehingga telah sesuai dengan UndangUundang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Eksepsi Tentang Gugatan Penggugat Daluarsa Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL mempertimbangkan eksekspi yang diajukan oleh Tergugat II Intervensi yang mendalilkan bahwa gugatan telah diajukan lewat batas waktu 90 (Sembilan puluh) hari sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, bahkan telah lewat waktu 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Majelis Hakim menimbang bahwa benar surat Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa diterbitkan pada tanggal 26 April
2004, yang apabila dihubungkan dengan tanggal pengajuan gugatan yaitu 18 Agustus 2009, maka terkesan gugatan a quo telah diajukan lewat waktu (daluarsa), namun demikian menurut hemat Majelis perhitungan waktu berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 berlaku bagi orang atau badan hukum perdata yang dituju langsung oleh keputusan objek sengketa, sedangkan bagi pihak ketiga yang berkepentingan, perhitungan 90 (sembilan puluh) hari dihitung sejak ia mengetahui secara resmi keputusan objek sengketa dan merasa dirugikan. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL
Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL tentang Sengketa Sertifikat Ganda memiliki beberapa dasar pertimbangan hukum di antaranya adalah: 1. Objek sengketa dan dimohonkan batal atau tidak sah oleh Penggugat adalah Keputusan Tergugat berupa Sertifikat Hak Milik Nomor 9500/kp.B tanggal 26 April 2004 seluas 302 M2, atas nama tergugat II Intervensi, Surat Ukur Nomor 288/ Kampung Baru/2004 tanggal 27 April 2007 2. Menimbang bahwa gugatan penggugat tersebut, Pihak Tergugat dan Tergugat II Intervensi dalam tanggapannya masing-masing tanggal 12 Oktober
2009 dan 28 Oktober 2009 selain mengajukan jawaban dalam pokok perkara, juga telah mengajukan eksepsi, oleh karena itu majelis hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi tersebut dalam mempertimbangkan tentang pokok sengketanya.
hukum pertanahan dapat berupa pelanggaran dalam pembuatan data fisik dan data yuridis, misalnya perusakan patok tanda batas tanah dan mengubahnya pada tempat yang lain, memberikan data palsu yang berkaitan dengan keberadaan tanah, dan dilakukan oleh beberapa oramg yang terkait, seperti kepala desa, lurah, camat dan orang yang memohon hak.
Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung dalam Perkara Nomor 16/G/2009/PTUN/BL pada Kamis tanggal 19 Januari 2010, memutuskan menolak eskepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi seluruhnya dan dalam pokok sengketa memutuskan sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian 2. Menyatakan batal Sertipikat Hak Milik Nomor 9500/kp.B, atas nama Tergugat 11 Intervensi, yang diterbitkan oleh Tergugat tanggal 26 April 2004 3. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Sertipikat Hak Milik Nomor 9500/kp.B, atas nama Tergugat II Intervensi, yang diterbitkan oleh Tergugat tanggal 26 April 2004 4. Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.372.000,- (satu juta tiga ratus tujuh puluh dua ribu rupiah) 5. Menolak gugatan Penggugat selebihnya
Seseorang yang tanpa kesalahan, tidak dapat dipidana asas ini mengandung arti bahwa seseorang yang melakukan peristiwa pidana yang dapat dibuktikan tanpa ada unsur kesalahan dalam dirinya; maka ia dapat dibebaskan dalam segala dakwaan. Dalam praktek pertanggung jawaban pidana senantiasa sangat dikaitkan dengan perbuatan sengaja (dolus) dan atau karena kelalaian (culpa). Pembuktian adanya unsur kesengajaan dan kelalaian sangat diperlukan misalnya tentang pembuatan data-data fisik maupun data yuridids dalam pendaftaran tanah, dicurigai adanya kesalahan terhadap penentuan tugu/batas patok yang memenuhi syarat teknis sesuai dengan peraturan perundang-undangan, karena di banyak daerah tugu batas/patok adalah apa yang selama ini diyakini masyarakat secara alamiah baik itu berupa pohon, batas tegalan sungai dan sebagainya. Dalam hal ini penyidik Polri harus proaktif melakukan penelitian/investigasi tentang batas-batas tanah yang sebenarnya sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Menurut penjelasan Masnah selaku Kepala Subseksi Perkara pada BPN Kota Bandar Lampung diketahui bahwa pelanggaran
Hakim dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak
pidana, hakim akan melihat keadaan pihak Tergugat atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi hakim terhadap perkara yang terjadi. Terkait dengan intuisi hakim sebagai penegak hukum maka hakim dapat mendasarkan pada adanya unsur melawan hukum materil dan asas legalitas yang menentukan bahwa seseorang tidak dapat dihukum kecuali undang-undang mengaturnya terlebih dahulu, ketentuan ini telah tereliminasi dengan berlakunya asas melawan hukum materil. Sifat melawan hukum dari satu perbuatan dianggap ada secara diam-diam meskipun tidak dengan tegas dirumuskan dalam delik pidana. Untuk membuktikan adanya sikap melawan hukum, dapat dipakai asas perbuatan melawan hukum yang berlaku, yaitu perbuatan melawan hukum dapat ditafsirkan sebagai membuat sesuatu atau melalaikan sesuatu yang melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan perbuatan itu, bertentangan dengan baik kesusilaan maupun asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai penghormatan diri orang lain atau barang orang lain. Unsur objektif dalam tindak pidana memberikan keterangkan palsu dalam penerbitan sertifikat tanah adalah dengan maksud menggunakan akta itu seolah-olah keterangan itu cocok dengan hal yang sebenarnya, yakni si pelaku menyadari
bahwa surat-surat palsu itu akan dipergunakan untuk kepentingannya dan untuk merugikan orang lain, dengan sengaja memberikan keterangan palsu dalam penerbitan akta otentik. Menurut penjelasan Ilham Lubis, selaku Hakim PTUN Bandar Lampung, Tergugat yang mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, Tergugat yang sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum dan Tergugat mempunyai keluarga, menjadi faktor yang meringankan Tergugat dalam persidangan. Kekuasaan kehakiman sebagai suatu badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. B. Akibat Hukum Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/ PTUN/BL Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan
antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat. Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan dapat menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara yaitu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pengertian yang diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Perjalanan pelaksanaan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara ini sejak diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986, telah mengalami dua kali perubahan, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hal yang sangat krusial dan nampaknya belum mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat pencari keadilan adalah ketentuan mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan pelaksanaan eksekusi terhadap putuasan PTUN yang telah berkekuatan hukum tersebut diatur dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan mengalami perubahan, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Secara lengkap bunyi Pasal 116 tersebut adalah sebagai berikut : (1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14(empat) belas hari kerja. (2) Apabila setelah 60(enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. (3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90(sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. (4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif. (5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Di samping diumumkan pada media cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan Pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. (7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan pelaksanaan eksekusi putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut secara tersurat nampaknya sudah sangat menjanjikan akan mampu memberikan kepastian hukum para pencari keadilan. Tetapi dalam prakteknya penerapan Pasal 116 tersebut, khususnya
ayat (4) dan ayat (6) oleh PTUN masih sangat jauh dari harapan. Pasal 116 ayat (4) yang menyatakan bahwa “Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif”, aturan pelaksanaanya belum ada sampai saat ini baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, padahal ayat (7) Pasal 116 Undang-Undang ini telah mengamanahkan bahwa “Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan”. Kenyataan ini menggambarkan bahwa Pemerintah setengah hati dalam menegakkan hukum di bidang Tata Usaha Negara. Sanksi administratif yang paling memungkinkan untuk membuat jera Pejabat Tata Usaha Negara adalah pemberhentian dari jabatan. Ancaman sanksi pemberhentian dari jabatan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara ini dipastikan akan membuat para Pejabat Tata Usaha Negara selalu berhati-hati dalam menetapkan kebijakan dalam bentuk keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya Pasal 116 ayat (6) yang menyatakan bahwa “Di samping diumumkan pada media cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan Pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan”, dalam pelaksanaannya juga sangat sulit diterapkan dan menyita waktu yang cukup lama. Disamping padatnya kegiatan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, juga terkadang Presiden juga melimpahkan kewenangan itu kepada para Pembantu-pembantunya seperti Menteri Sekretaris Negara atau Menteri Dalam Negeri, sehingga para Pejabat Tata Usaha Negara yang melakukan pelanggaran, apalagi yang tipe dan karakter pribadinya memang senang melanggar dan tidak patuh hukum memiliki ruang untuk tidak mematuhi perintah tersebut dengan alasan undangundang tidak mengatur demikian. Hal tersebut tentunya dapat menyebabkan jatuhnya wibawa Presiden sebagai Pimpinan Tertinggi Pemerintahan di negeri ini. Akibat Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL Terhadap Masalah Sertifikat Ganda adalah untuk menguatkan pelaksanakan eksekusi putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah bahwa ayat
(4) Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi “Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif”, sangat tidak tegas dan membuat PTUN kesulitan dalam pelaksanaannya. Akibatnya adalah para pencari keadilan tidak memperoleh kepastian hukum. Sedangkan untuk ayat (6) yang berbunyi “Di samping diumumkan pada media cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan Pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan”, ini sangat membebani tugas-tugas Presiden sebagai Kepala Pemerintahan sehingga untuk mengefektifkan pelaksanaannya diberikan kepada lembaga negara pembantu Presiden yang bertugas dan berwenang dalam pendayagunaan aparatur negara yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Dengan merevisi Pasal 116 ayat (4) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tersebut dengan memasukkan rumusan kedua ayat yang dikemukakan di atas, maka Pejabat Tata Usaha Negara akan berhati-hati dalam menetapkan keputusan Tata Usaha Negara yang
melanggar peraturan perundang-undangan dan merugikan pihak lain, baik lembaga maupun anggota masyarakat secara perorangan. IV.Simpulan 1. Dasar pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL tentang Sengketa Sertifikat Ganda adalah objek sengketa dan dimohonkan batal atau tidak sah oleh Penggugat adalah Keputusan Tergugat berupa Sertifikat Hak Milik Nomor 9500/kp.B tanggal 26 April 2004 seluas 302 M2, atas nama tergugat II Intervensi, Surat Ukur Nomor 288/ Kampung Baru/2004 tanggal 27 April 2007. Menimbang bahwa gugatan penggugat tersebut, Pihak Tergugat dan Tergugat II Intervensi dalam tanggapannya masing-masing tanggal 12 Oktober 2009 dan 28 Oktober 2009 selain mengajukan jawaban dalam pokok perkara, juga telah mengajukan eksepsi, oleh karena itu majelis hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi tersebut dalam mempertimbangkan tentang pokok sengketanya 2. Akibat hukum terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung Nomor 16/G/2009/PTUN/BL terhadap masalah sertifikat ganda adalah Tergugat harus melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif dalam rangka menciptakan kepastian hukum. DAFTAR PUSTAKA Effendie, Bachtiar. 1993. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan PeraturanPeraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung. Hamzah, Andi. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Hutagalung, Arie Sukanti. 2005. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta. Harsono, Boedi . 2003. Hukum Agraria Indonesia,Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Harahap, M. Yahya. 1998. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta. Parlindungan, A.P. 1998. Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
Perangin, Effendi. 1994. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, RajaGrafindo, Jakarta. Soekanto, Soerjono 1983. Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Putusan Nomor 16/G/2009/PTUN/BL