JURNAL KEPENDIDIKAN

Download Artikel diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto, panjang antara 10-20 halaman. Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Keguruan dan Il...

0 downloads 604 Views 573KB Size
ISSN No. : 1412 – 2952 Tahun 3 Nomor 3 Juni 2007

JURNAL KEPENDIDIKAN Mohammad Imam Farisi

: Struktur Kompetensi Ilmu Pengetahuan Sosial Sekolah Dasar dan Pengorganisasian Pengalaman Belajar Siswa

Mohammad Harijanto

: Implementasi Peran dan Fungsi Trilogi Pendidikan Memasuki Era Globalisasi

Suparti

: Penerapan Pendekatan Pengalaman Bahasa dalam Pembelajaran Baca-Tulis pada Kelas Awal di SD Laboratorium IKIP Malang

Lukiyadi

: Efektivitas Sistem Belajar Jarak Jauh dalam Penyelenggaraan Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Barokah Widuroyekti

: Pemanfaatan Cerita Anak Sebagai Alternatif Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Dasar

S. Adi Suparto

: Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah:

Konsep dan Implikasinya Terhadap Peningkatan Mutu Guru Rahmad

: Kaidah Morfofonemik Bahasa Madura

1

SUSUNAN PENYUNTING JURNAL INTERAKSI

Penanggung Jawab Dra. Sri harini (Dekan FKIP)

Ketua Penyunting Drs. Moh. Harijanto, M.Pd.

Wakil Ketua Penyunting Rahmad, S.Pd.

Penyunting Pelaksana Dra. Yanti Linarsih Moh. Romly, M.Pd. Dra. Sri Widjajanti Halifaturrahman, S.Pd. Drs. Zainal Arifin

Penyunting Ahli Drs. H. kutwa, M.Pd. Drs. Abd. Roziq

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan, Jl. Raya Panglegur Pamekasan, Telp. (0324) 322231, 325786. Fax. (0324) 32418, E-mail:[email protected]

JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI menerima sumbangan artikel yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Artikel diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto, panjang antara 10-20 halaman.

Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan 2

JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI

Tahun 3 Nomor 3 Juni 2007

Struktur Kompetensi Ilmu Pengetahuan Sosial Sekolah Dasar dan Pengorganisasian Pengalaman Belajar Siswa Oleh : Mohammad Imam Farisi

4

Implementasi Peran dan Fungsi Trilogi Pendidikan Memasuki Era Globalisasi Oleh : Mohammad Harijanto

20

Penerapan Pendekatan Pengalaman Bahasa dalam Pembelajaran Baca-Tulis pada Kelas Awal di SD Laboratorium IKIP Malang Oleh : Suparti

25

Efektivitas Sistem Belajar Jarak Jauh dalam Penyelenggaraan Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar Oleh : Lukiyadi

33

Pemanfaatan Cerita Anak Sebagai Alternatif Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Dasar Oleh : Barokah Widuroyekti

41

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Konsep dan Implikasinya Terhadap Peningkatan Mutu Guru Oleh : S. Adi Suparto

51

Kaidah Morfofonemik Bahasa Madura Oleh : Rahmad

69

JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI menerima sumbangan artikel yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Artikel diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto, panjang antara 10-20 halaman.

3

STRUKTUR KOMPETENSI ILMU PENGETAHUAN SOSIAL SEKOLAH DASAR DAN PENGORGANISASIAN PENGALAMAN BELAJAR SISWA

Oleh: Mohammad Imam Farisi* Abstrak

Setiap mata pelajaran memiliki struktur kompetensi yang berbeda, bergantung pada dasar pengembangannya. Kompetensi IPS-SD dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa IPS-SD merupakan pendidikan sosial dan pendidikan intelektual-keilmuan. Secara struktural, kompetensi IPS-SD mencakup tiga dimensi pengembangan, yakni kompetensi personal, kompetensi sosio-kultural, dan kompetensi intelektualkeilmuan. Ketiga struktur dasar kompetensi IPS-SD dapat diraih apabila pengalaman belajar diorganisasi dalam sekuensi pembelajaran yang sistemik dan sistematis, serta mengacu pada model-model pembelajaran. Kata kunci: struktur, kompetensi, pengalaman belajar.

Pendahuluan Sejak Indonesia merdeka, kurikulum SD telah mengalami perubahan sebanyak delapan kali, yakni kuriku-lum 1947, 1950-an, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994 dan suplemennya tahun 1999, dan kurikulum 2004 yang juga dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK-SD 2004 yang direncanakan untuk mengganti-kan kurikulum 1994 ternyata urung di-berlakukan lebih lanjut, sekalipun sosialisasi dan ujicoba secara terbatas di sekolah-sekolah telah dilakukan sejak lima tahun lalu di hampir tiap provinsi. Pembatalan pemberlakuan KBK 2004 menurut penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), karena kurikulum 2004 lebih sarat dengan isi tanpa standar kompetensi yang jelas. Sebagai gantinya, pada tahun 2006 ini direncanakan ada kurikulum baru, tetapi bukan KBK yang disusun 2004, melainkan ”kuri-kulum baru” yang disusun berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang dirumuskan oleh BSNP dan disahkan oleh Mendiknas (Kompas, 10 Februari 2006).

Kurikulum baru tersebut (sebut saja kurikulum 2006) masih belum dapat dipastikan namanya, apakah akan diberi label ”Kurikulum 2006” atau ”KBK 2006”. Kalaupun atribut ”KBK” nanti tidak secara eksplisit ditambahkan pada kurikulum baru, tak dapat dipungkiri bahwa ”kompetensi” tetap akan menjadi kata kunci dalam paradigma reformasi model kurikulum standar nasional. Kepastian bahwa kurikulum baru tetap ”competency-based” bisa dirujuk pada Permendiknas no. 22, 23, dan 24 tahun 2006 tentang Standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah yang pada Mei 2006 lalu disahkan oleh Mendiknas. Komitmen untuk melakukan reformasi kurikulum berbasis kompe-tensi bukan tanpa alasan. Tak bisa ditawar lagi, bahwa dunia pendidikan harus mampu meyakinkan bahwa SDM yang dihasilkannya harus mempunyai kompetensi yang mampu bersaing dalam era global. Oleh karenanya, programprogram pendidikan yang ditawarkan juga harus mampu memberi bukti keterbentukan kemampuan/ kompetensi

*

Dosen FKIP Universitas Terbuka di UPBJJ-UT Surabaya. Doktor Kependidikan dalam bidang Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.

4

yang dianggap relevan dengan era global. Dengan berbasis kompetensi, kurikulum akan menjadi terarah karena disusun dengan langkah-langkah yang sistematis, sehingga jika semuanya dikerjakan dengan benar dan implementasinya dilakukan secara taat asas, janji-janji yang terkemas dalam program pendidikan akan dapat diwujudkan. Disamping itu, dengan dirumuskannya kompetensi secara jelas, pihakpihak yang berkepentingan akan dapat memantau/menilai secara objek-tif tingkat penguasaan kompetensi tersebut. Selanjutnya, para pengguna lulusan akan mempunyai gambaran yang jelas tentang kompetensi yang dikuasai oleh pekerja yang direkrutnya sehingga jika mereka ingin melakukan pembinaan akan mempunyai dasar awal (baseline) yang jelas. Namun perlu diingat bahwa kurikulum berbasis kompetensi juga bukan panacea, muji-zat atau resep yang dapat memecahkan segala persoalan pendidikan (Wardani, 2003). Di dalam Permendiknas no. 22 tahun 2006 pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa ”Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu”. Berdasarkan pada rumusan standar isi dan standar kompetensi lulusan itu pula, dirumuskan cakupan kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman dalam penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan. Bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang nanti akan dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah, juga harus berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang masih dalam proses penyusunan oleh BSNP. Selanjutnya, di dalam Permen-diknas no. 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas no. 22 dan 23 tahun 2006, dinyatakan bahwa semua satuan pendidikan dasar dan me-nengah harus sudah mulai menerapkan kedua Permendiknas tadi paling lambat tahun ajaran 2009/2010 (pasal 2, ayat 2). Bagi satuan pendidikan dasar dan menengah

yang telah melaksanakan uji coba kurikulum 2004 secara menyeluruh dapat menerapkan secara menyeluruh untuk semua tingkatan kelasnya mulai tahun ajaran 2006/2007 (pasal 2, ayat 3); dan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang sama sekali belum per-nah melaksanakan uji coba kurikulum 2004, pelaksanaan kedua Permendiknas tadi secara bertahap dalam waktu paling lama 3 tahun, dengan tahapan: kelas 1 dan 4 (tahap I); kelas 1, 2, 4, dan 5 (tahap II); dan kelas 1 s.d VI (tahap III) (pasal 2, ayat 4). Untuk kepentingan pelaksana-an ketiga Permendiknas tadi, dan agar sekolah dan komite sekolah khususnya satuan SD dapat mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang diharapkan, ada tiga aspek pen-ting yang perlu dipahami: (1) dasar pemikiran yang digunakan dalam menetapkan kompetensi; (2) struktur kompetensi; (3) pengorganisasian pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan. Tulisan ini tidak akan menyoal tentang pergantian atau perubahan kurikulum dari waktu ke waktu, melainkan hanya akan mendiskusikan ketiga aspek di atas, khususnya pada matapelajaran Ilmu Pengetahuan So-sial. Ketiga aspek pokok di atas menjadi penting dan mendasar, karena tanpa pengertian yang jelas tentang dasar pemikiran dan struktur dasar kompetensi yang telah ditetapkan, seideal apapun perubahan kurikulum dilakukan, tentu tidak akan banyak mengubah realitas pendidikan seperti yang sudah berlangsung selama ini. Dasar Pengembangan Kompetensi IPS di Amerika Serikat Untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas, berikut akan dikaji dinamika historis-epistemologis IPS (Social Studies) di Amerika Serikat, sebagai salah satu ”centre of excellenc-es” pengembangan IPS di dunia; sekaligus menjadi rujukan utama—diakui atau tidak—dalam pengembang-an kompetensi IPS-SD di Indonesia. Secara historis-epistemologis, istilah “kompetensi” lahir sejalan dengan terjadinya perubahan sosial-budaya dari masyarakat dan budaya agraris ke masyarakat dan budaya industri atau teknologi (Tuxworth, 1995). Dalam masyarakat dan budaya industri atau

5

teknologi, manusia ibarat minyak, energi, dan tenaga listrik, dan pikiran manusia ibarat mesin komputer yang menjadi penggerak roda industri (Lapp, et.al. 1975). Dalam perspektif Lapp, pemaknaan dan penggunaan istilah kompetensi waktu itu mengacu pada filsafat pendidikan ”teknologikal-sme” sebagai paradigma unggul dalam masyarakat industri. Akan tetapi, istilah kompetensi tidak harus secara ekstrem ditempatkan dan didefinisikan dalam konteks seperti itu, karena sesungguhnya pemaknaan dan penggu-naan sebuah konsep atau istilah selalu mengalami rekonseptualisasi dan re-kontekstualisasi, mengacu pada filsafat pendidikan yang digunakan. Khusus dalam dinamika historisepistemologis IPS, konsep dan model pendidikan berbasis kompetensi bukan wacana baru. Sejak IPS menjadi muatan kurikulum persekolahan di Amerika Serikat pada akhir abad 19, telah berorientasi pada pencapaian standar kompetensi tertentu. Orientasi pada pencapaian kompetensi tersebut, secara konsisten dipertahankan sejak awal pertumbuhannya oleh Komisi IPS (Committee on Social Studies= CSS) hingga sekarang oleh National Council for the Social Studies (NCSS) (Saxe, 1991; NCSS, 1994). Dari hasil kajian terhadap dinamika historis-epistemologis IPS di Amerika Serikat, diketahui bahwa dasar pengembangan standar kompeten si IPS adalah kompetensi dasar kewarganegaraan (civic competen-cies) yang mencakup tiga ranah substantif, yaitu: pengetahuan kewarga negaraan (civic knowledge); nilai dan sikap kewarganegaraan (civic disposi-tions); dan keterampilan kewarganega-raan (civic skills) (Winataputra, 2001). Dalam perkembangannya, kompetensi-kompetensi dasar kewarganegaraan dalam IPS bersifat dinamis. Pada awal-awal pertumbuhannya (1850an – 1912), dimensi “sosio-ekonomis” dan “sosio-kultural” ke-warganegaraan menjadi mainstream. Waktu itu, IPS-SD diarahkan pada pengembangan kompetensi “produkti-vitas ekonomi” dan “pekerja kritis” dengan tujuan pada pemben-tukan warganegara yang arif, kritis, dan partisipatif (Hursch & Ross, 2000).

Pada periode 1913-1930an, dimensi “sosio-kultural” kewarganega-raan atau “socially oriented education” menjadi mainstream. Waktu itu, IPS-SD diarahkan pada pengembangan kompetensi “efisiensi sosial” dalam konteks pembentukan “Community-civics”, yaitu kondisi kewarganegaraaan di dalam konteks komunitas-nya. Maksudnya, bahwa siswa sebagai warganegara yang baik adalah apabila memiliki “perasaan sosial” (social feeling), “pikiran sosial” (social thought), dan melakukan “tindakan sosial” (social action). Atau warga-negara yang berketetanggaan (good citizen of neighborhood) yang ditunjukkan melalui keanggotaannya yang efisien di dalam lingkungan masyarakat bertetangga, serta melesta-rikan rasa keberanggotaan di dalam komunitas dunia (Saxe, 1991). Pada periode 1930an hingga awal 1970an, dimensi ”intelektual-keilmuan“ kewarganegaraan menjadi mainstream. Waktu itu, kompetensi dasar kewarganegaraan bergeser ke arah pengembangan kompetensi warga-negara sebagai intelektual dan ilmuwan. Pergeseran orientasi ini diawali dengan lahirnya kesepakatan di dalam pertemuan pertama NCSS tanggal 28-30 November 1935 (14 tahun setelah berdiri) bahwa “Social Sciences as the Core of the Curriculum” (Lybarger, 1991). Puncak evolusi pemikiran intelektual-keilmuan dalam IPS-SD terjadi pada tahun 1960an, ketika para ilmuwan dan pendidik ber-ijima’ bahwa penguasaan disiplin ilmu sebagai keniscayaan. Dalam historiografi IPS, era 1960an sering diklaim sebagai era “The New Social Studies”, yang ditandai munculnya gerakan pembaharuan di kalangan komunitas pakar dan pengembang IPS untuk meningkatkan efektivitas dan kualitas IPS, melalui penguasaan kemampuan intelektual tingkat tinggi, dengan menempatkan metode inkuiri ilmiah dan pendekatan struktur disiplin ilmu sebagai substansi bidang kajian kurikulum IPS. Tujuan utama IPS adalah mempelajari ilmu-ilmu sosial secara mendasar dan komprehensif. Pemikiran-pemikiran dari Bruner, Schwab, serta Peters & Hirst menjadi dasar-dasar pemikiran teoretik dan filosofis utama dari gerakan tersebut (Barr, Barth, & Shermis, 1977).

6

Berbarengan dengan eforia gerakan IPS-Baru dengan proyek-proyeknya yang mengarah pada pengembangan dimensi intelektual-keilmuan, muncul pula pemikiran yang tak kalah gemanya, yaitu agar dimensi psikologis dan sosial juga mendapatkan penekanan dalam kompetensi IPS. Bahkan, gerakan “menentang arus” ini justru memberikan kekuatan tersendiri bagi terjadinya pergeseran orientasi dalam pemikiran IPS yang “scientific oriented”; atau setidak-tidaknya bersi-fat gabungan, antara dimensi psiko-logis-intelektual-sosial. Gerakan yang dimaksudkan dipelopori oleh projek-projek pengem-bangan kurikulum IPS pimpinan Paul R. Hanna yang berhasil mengembang-kan kurikulum pola “the expanding of humans community”. Gagasan awal kurikulum Hanna tersebut sudah dimulai tahun 1930an dan dielaborasi lebih lanjut pada tahun 1960an, justru ketika gerakan IPS berada di puncak kejayaan “intelektualme’ (Lybarger, 1991:7). Di dalam konsep kurikulum Hanna, siswa ditempatkan sebagai “pusat lingkaran”, dan secara bertahap dan konsisten meluas ke lingkaran ling-kunganlingkungan sosial dari yang terdekat (sekitar) hingga terjauh (dunia). Secara konseptual, gagasan kurikulum Hanna memiliki paralelitas dengan pemikiran kurikulum CSS tahun 1913, “a broader horizon curri-culum” (Saxe, 1991, appendix). Pada periode 1970—1990an, dimensi ”socio-kultural“ dan “intelek-tual-keilmuan” kewarganegaraan kem-bali menjadi mainstream. Akan tetapi, berbeda dengan dimensi sosio-kultural dan intelektualkeilmuan pada periode-periode sebelumnya, pada periode ini pengembangan dimensi sosiokultural dan intelektual-keilmuan kewarganega-raan lebih diarahkan pada “social action” atau “social participation” berbasis penguasaan kemampuan berpikir atau intelektual. Dalam dokumen NCSS “Social Studies Curriculum Guidelines” tahun 1971, dinyatakan bahwa “social participation is a necessary and essential component of modernday social studies pro-grams” (Jarolimek, 1977:15). Bahwa IPS dikembangkan sebagai program pendidikan yang “combine the best of active pupil involvement with the corresponding development of thinking abilities”, dan bahwa “intellectual skill are

best developed in settings where they are used, thus ensuring that gaining knowledge and applying it will not be too far removed from one other” (Jarolimek, 1977:12). Melalui pengembangan kedua dimensi kompetensi tersebut, IPS-SD diharapkan dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis-reflektif yang berorientasi pada “masalah” dan “pemecahan masalah” yang muncul di dalam kehidupan masyarakat. Di sisi lain, IPS-SD juga diharapkan dapat lebih berperan dalam proses pembentukan dan pengembang-an ilmu pengetahuan akademik yang transformatif (making the social studies transformative) (Banks, 1995). Orientasi pada kompetensi dasar sosio-kultural dan intelektual-keilmuan tadi, tampaknya menjadi evolusi mutakhir dalam pemikiran kurikulum IPS-SD, sehingga tetap dipertahankan hingga awal tahun 2000 ini. Akan tetapi, dalam hal orientasi kompetensi intelektual-keilmuan, ter-dapat pergeseran paradigmatik yang sangat mendasar. Apabila pada periode-periode sebelumnya (1930 s.d 1970) lebih menekankan pada penguasaan struktur keilmuan (scienti-fic structure of discipline) yang telah dikembangkan oleh para pakar atau ilmuwan, pengembangan kompetensi dasar intelektual-keilmuan sejak tahun 1970an hingga dewasa ini lebih diarahkan pada “kemampuan siswa membangun sendiri pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan dasar kewarga-negaraan”. Pergeseran orientasi ini, sejalan dengan penerimaan luas di kalangan pakar dan pengembang IPS terhadap paradigma konstruktivisme. Ditegaskan NCSS di dalam dokumen “Expecta-tions of Excellence: Curriculum Standards for Social Studies” (1994) bahwa “Program IPS adalah membantu siswa membangun pengetahuan dasar dan sikap-sikap yang berasal dari disiplin-disiplin akademik sebagai cara-cara yang khas dalam memandang realitas…”. Komitmen terhadap pengem-bangan kompetensi kewarganegaraan kembali ditegaskan oleh NCSS pada tahun 2003 bahwa IPS merupakan “... the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence…to help young people develop the ability to make informed and

7

reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world" (NCSS, 2003). Dari kajian terhadap dinamika sosiohistoris-epistemologis IPS-SD di Amerika Serikat di atas, jelas bahwa dasar pemikiran utama pengembangan kompetensi IPS yang secara konsisten dipertahankan sejak awal pertumbuh-annya hingga dewasa ini adalah “kompetensi dasar kewarganegaraan” (civics competencies). Karenanya, pendidikan kewarganegaraan di Amerika Serikat integral di dalam IPS (Social Studies). Bagaimana halnya dengan dinamika sosio-historisepistemologis IPS-SD di Indonesia, akan didiskusikan pada bagian berikut.

Dasar Pengembangan Kompetensi IPS di Indonesia Berbeda dengan di Amerika Serikat, melacak dinamika historis-epistemologis IPS di Indonesia sangat sulit dilakukan. Sejumlah faktor penyebabnya antara lain: (1) karyakarya intelektual-keilmuan dari para pakar dan pengembang IPS di Indonesia lebih bersifat individual dan juga terdokumentasikan dalam kepus-takaan perorangan, tidak semuanya dipublikasikan; (2) organi-sasi yang menghimpun para pakar dan pe-ngembang IPS di Indonesia, yaitu Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia (HISP IPSI) usianya masih relatif muda, baru terbentuk pada tahun 1991 (Somantri, 1991); (3) forum komunikasi dan seminar-seminar IPS baik berskala nasional maupun lokal, lebih ber-orientasi pada topik atau kajian fragmatiskontekstual daripada topik atau kajian epistemologis ke-IPS-an; dan (4) karya historiografi IPS di Indonesia hingga kini belum pernah disusun. Berdasarkan kenyataan di atas, maka upaya melakukan pelacakan terhadap dinamika historis-episte-mologis IPS di Indonesia hanya bisa dilakukan dengan mengkaji dinamika historis kurikulum IPS persekolahan sejak tahun 1964 hingga 2006 (cf. Winataputra, 1991). Akan tetapi, karena perubahan kurikulum selain didasarkan pada hasil penilaian nasional pendidikan (national assess-ment), juga didasarkan pada asumsi

teoretik dan filofosis tertentu (Soedijarto, 2004), maka dari dokumen kurikulum pun bisa diidentifikasi dasar-dasar epistemologisnya. Dari hasil kajian terhadap perkembangan kurikulum IPS-SD sejak tahun 1964 hingga sekarang, tampak bahwa dasar pemikiran IPS di Indonesia tidak seluruhnya dikembang-kan di dalam konteks pendidikan kewarganegaraan (citizenship educat-ion), dengan orientasi pokok pada pengembangan kompetensi dasar kewarganegaraan (civic competencies), melainkan juga dikembangkan dalam konteks pendidikan sosial (social education), dengan orientasi pokok pada pengembangan kompetensi dasar sosial (social competencies). Pada awal pertama masuk di dalam kurikulum persekolahan tahun 1964 hingga tahun 1968, pengembang-an kompetensi IPS terintegrasi dengan kompetensi kewarganegaraan. Pada tahun 1964, IPS-SD bernama Pendidik-an Kewargaan Negara, dengan orien-tasi pada pengembangan kompetensi “sosio-kutural” dan “moral” kewarga-negaraan, yakni kemampuan siswa menjadi manusia susila yang cakap dan demokratis serta bertanggung jawab. Pada tahun 1968, IPS-SD bernama Pengetahuan Masyarakat, dengan orientasi pengembangan kompetensi tetap pada dimensi “sosio-kutural” dan “moral” kewarganegaraan. Label IPS sebagai nama kurikulum SD mulai digunakan di dalam kurikulum 1975. Sejak kurikulum tahun 1975 ini pula, unsur pendidikan kewarganegaraan mulai dipisahkan dari IPS dan dimasukkan ke dalam matapelajaran tersendiri, yakni Pendidikan Moral Pancasila (PMP) (Depdikbud, 1975). Posisi ini terus dipertahankan dalam kurikulum 1984, 1986, 1994, KBK 2004 hingga kurikulum 2006. Pada revisi kurikulum 2004, memang pernah muncul gagasan untuk kembali mengintegrasikan dimensi pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum IPS-SD dengan nama Pendidikan Kewarganegaraan dan Pengetahuan Sosial atau PKPS (Depdiknas, 2003). Akan tetapi PP. no. 15 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional dan Permendiknas no. 22 dan 23 tahun 2006 menetapkan bahwa IPS dan PKn merupakan dua matapelajaran yang berada di

8

dalam dua kelompok matapelejaranyang terpisah dan sama-sama diajarkan di SD. Hasil kajian di atas berbeda dengan pandangan pakar pada umum-nya, seperti Winataputra (2001) dan Kalidjernih (2005) yang berpendapat bahwa “For primary level, the curriculum for citizenship education is integrated with social studies (pengetahuan sosial)”. Seperti dikemukakan, integrasi IPS dalam pendidikan kewarganegaraan hanya terjadi pada dua kurikulum IPS-SD, yaitu kurikulum 1964 dan 1968. Di dalam kurikulum 1975, orientasi pengembangan IPS diarahkan pada pencapaian kompetensi “sosio-kultural”, yakni kesadaran diri sebagai manusia yang harus mampu hidup dalam lingkungan yang penuh dengan hubungan fungsional dan timbal balik antara dirinya dengan lingkungannya, dan mampu memanfaatkan lingkungan bagi kehidupannya sebagai manusia (Soetjipto, ed. 1980). Dalam kurikulum 1986, orientasi pengembangan IPS selain diarahkan pada pencapaian kompetensi “sosio-kultural”, juga kom-petensi “intelektual-keilmuan”, yakni kemampuan mengembangkan cara berpikir kritis dan kreatif dalam melihat hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya (Depdikbud, 1986). Orientasi pada pencapaian kompetensi “sosio-kultural” dan “inte-lektual-keilmuan” ini tetap dipertahan-kan di dalam kurikulum IPS-SD 1994. Bahwa IPS-SD adalah mengembang-kan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna bagi diri siswa dalam kehidupan sehari-hari. Kedua kompetensi tadi, kembali dipertahan-kan di dalam kurikulum IPS-SD tahun 2004 edisi tahun 2001, tetapi dengan cakupan substantif yang berbeda. Bahwa IPS-SD adalah mengembang-kan pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan sosial yang berguna bagi dirinya, mengembangkan pemahaman tentang pertumbuhan masyarakat Indo-nesia masa lampau hingga kini sehingga siswa bangga sebagai bangsa Indonesia (Depdiknas, 2001). Sedang-kan di dalam kurikulum IPSSD tahun 2004 edisi revisi tahun 2003, dinyatakan bahwa IPS-SD adalah: (1) mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan kewarganegaraan melalui pende-katan

pedagogis dan psikologis; (2) mengembangkan kemampuan ber-pikir kritis dan kreatif, inkuiri, meme-cahkan masalah, dan keterampilan sosial; (3) membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; dan (4) meningkatkan kemampuan bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun global. Sedikit berbeda dengan orien-tasi pada kurikulum sebelumnya, di dalam kurikulum IPS-SD 2006, selain diarahkan pada pencapaian kompetensi “sosio-kultural” dan “intelektual-keilmuan”, IPS-SD juga memasukkan kompetensi “personal”. Bahwa IPS-SD adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk: (1) mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehi-dupan masyarakat dan lingkungannya; (2) berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial; (3) memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; dan (4) memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja-sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global (Permen-diknas no. 22, 2006). Orientasi pada pengembangan kompetensi sosio-kultural dan intelektualkeilmuan tersebut didasar-kan pada pemikiran bahwa IPS-SD termasuk di dalam kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang bertujuan mengem-bangkan logika, kemampuan berpikir dan analisis peserta didik (Permen-diknas no. 23, 2006). Dari kajian dinamika kuriku-lum IPSSD di atas, jelas bahwa kompetensinya cenderung dikembang-kan berdasarkan pemikiran bahwa IPS-SD di Indonesia merupakan: (1)”pendidikan sosial” (social educat-ion) yakni pendidikan yang diarahkan untuk membantu siswa menjadi pribadi yang memiliki berbagai sosial yang dibutuhkan di dalam kehidupan bermasyarakat. (2)”pendidikan inte-lektual-keilmuan” (scientific and intellectual education), yakni pendidik-an yang diarahkan untuk membantu siswa menjadi pribadi yang memiliki kemampuan berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, dan meme-cahkan masalah

9

yang muncul bermasyarakat.

di

dalam

kehidupan

Perlu ditekankan, bahwa kompetensi intelektual-keilmuan dalam IPS-SD tidak dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menguasai struktur atau body of knowledge disiplin keilmuan seperti dalam pemikiran Bruner (1978). IPS-SD juga bukan sebagai bentuk pengajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah seperti dalam pemikiran Dimyati (1989), atau penyederhanaan ilmu-ilmu sosial untuk tujuan pendidikan seperti yang menjadi position paper dari HISPIPSI. Kompetensi intelektualkeilmuan da-lam IPS-SD berkenaan dengan kemampuan siswa memanfaatkan atau menggunakan struktur atau body of knowledge (substantif, sintaksis, dan normatif) disiplin keilmuan di dalam mengkritisi dan memecahkan masalah yang muncul di dalam kehidupan siswa di masyarakat. IPS-SD pada dasarnya merupakan “delimiting the social sciences for pedagogical use” atau IPS-SD sebagai “a sepecific field to utilization of social sciencies data as a force in the improvement of human welfare” (CSS, dalam Saxe, 1991: 17, 21-22). Karenanya, di dalam Permen-diknas no. 22 tahun 2006 dinyatakan bahwa ” IPS-SD mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan genera-lisasi yang berkaitan dengan isu sosial”.

Struktur Kompetensi IPS-SD Yang dimaksud dengan struk-tur kompetensi IPS dalam tulisan ini adalah pola organisasi kompetensi-kompetensi dalam suatu jalinan atau relasi sistemik yang saling berkaitan antara kompetensi yang satu dengan kompetensi yang lain sebagai sebuah totalitas atau kesatuan, yang terdapat di dalam standar isi dan standar kompetensi lulusan SD. Sebelumnya sudah dikemuka-kan, bahwa pengembangan kompetensi di dalam IPS-SD 2006 difokuskan tiga aspek kompetensi, yaitu kompetensi “sosiokultural”, “intelektual-keilmu-an”, dan “personal” . Ketiga orientasi pengembangan kompetensi tersebut tampaknya dimaksudkan agar IPS-SD lebih diarahkan pada pengembangan “kemampuan-kemampuan dasar alamiah” (native capacities, natural capabilities) siswa dalam upaya me-

ngembangkan jatidirinya sebagai makh luk personal, sosio-kultural, dan intelektual (Dewey, 1964). Dengan demikian, kompetensi-kompetensi yang dirumuskan di dalam IPS-SD benar-benar bersifat “mendasar” bagi setiap siswa dalam upaya membentuk dan membangun sendiri struktur pengetahuan/pengertian, kete-rampilan, nilai, sikap, dan tindakannya baik dalam konteks kehidupan pribadi, sosial, dan kultural; serta menjadi bagian integral dalam setiap ikhtiar siswa untuk membangun dan mengembangkan identitas, karakter, atau jatidirinya sebagai makhluk personal, sosiokultural dan intelektual. Sejalan dengan orientasi pengembangan pada ketiga kompetensi di atas, maka secara struktural kompetensi IPS-SD tersusun sebagai berikut:

Kompetensi Personal Kompetensi personal adalah kompetensi yang dikembangkan untuk mambantu siswa mampu membentuk dan mengembangkan kepribadiannya sebagai makhluk personal atau individu dalam konteks kehidupan keseharian personal, sosial dan kultural. Dengan kata lain, pembentukan dan pengem-bangan kompetensi personal dimaksud-kan pada upaya mengenalkan dan memahamkan siswa atas identitas dirinya, dan membangun “kesadaran diri” (self awareness) siswa pada dirinya sebagai makhluk pribadi (homo persona) dengan segala keunikan dan keutuhan pribadinya yang senantiasa akan terus berkembang (Hasan, 1993; Sumaatmadja, 2003; Wiriaatmadja, 2003). Kompetensi personal ini selama perkembangan kurikulum IPS-SD 1964—1994 tampak terpinggirkan, tidak dinyatakan secara eksplisit (Hasan, 2002). Kompetensi personal yang dikembangkan di dalam IPS-SD berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan SD adalah kemampuan memahami identitas diri dalam konteks kehidupan sosial (Permendiknas no. 23, 2006). Kompetensi ini dikembangkan pada diri siswa melalui pembentukan kemampuan: mengidentifikasi identitas diri; menceriterakan pengalaman diri; menceritakan kembali peristiwa penting

10

yang dialami sendiri di lingkungan keluarga; memelihara dokumen dan koleksi benda berharga miliknya; menceritakan pengalamannya dalam melaksanakan peran dalam anggota keluarga (Permendiknas no. 22, 2006). Signifikansi kompetensi per-sonal dalam IPS-SD, didukung oleh sejumlah hasil penelitian empirik dan kepustakaan yang ditinjau oleh Jantz & Klaweitter (1991); Wyner & Farquhar (1991); dan Alleman & Rosaen (1991). Dalam tinjauan tersebut, disimpulkan bahwa kompetensi personal dipandang sebagai “crucial component” dan “dominant purposes” dalam IPS-SD. Kompetensi tersebut dipandang sebagai pemberi dasar atau fondasi bagi siswa untuk lebih mengetahui dan memahami dirinya dan harga dirinya, sebagai dasar untuk membedakan dirinya dengan orang lain, yang dipandang esensial bagi kepentingan belajar selanjutnya; dan menjadi dasar bagi IPS-SD dalam mengembangkan kapa-bilitas mental yang dipandang penting bagi siswa untuk merealisasikan diri (Wyner & Farquhar, 1991; Sumantri, 2002); sebagai pengorganisasi dan penyaring terhadap apapun sikap dan reaksi orang lain tentang dirinya (Martorella, 1985). Kepemilikan kompetensi personal juga dipandang mampu memberikan pengertian diri lebih baik, dari sisi pribadi maupun orang lain di luar diri siswa (NCSS:1989); juga dipandang sangat berpengaruh terhadap perilaku siswa dengan bertindak sebagai “sistem penyaring” yang melibatkan persepsi siswa dan konstruksi realitas siswa; berkaitan secara positif dengan kemampuan dan prestasi akademik siswa; dengan sikap, perilaku, dan performansi siswa di sekolah/kelas (Jantz & Klaweitter, 1991). Kompetensi personal juga dipandang penting bagi siswa agar mereka mampu bersikap dan bertindak, baik di dalam kehidupan pribadi maupun sosial, atas dasar suatu nilai tertentu yang telah menjadi miliknya, menjadi panduan dalam dirinya (Hasan, 1993); serta sebagai motivator bagi siswa dalam pencapaian hasilhasil belajarnya, tidak hanya oleh akuntabiltas dan sistem peringkat (Brophy & Alleman, 1996:45).

Kompetensi Sosio-Kultural

Kompetensi sosio-kultural ada-lah kemampuan membentuk dan mengembangkan karakter atau jatidiri siswa sebagai makhluk sosial dan kultural, yakni karakter siswa yang dicirikan oleh kesadaran dan pemahaman diri terhadap arti penting dirinya sebagai makhluk yang se-nantiasa ingin mencari kawan atau sahabat, perlu bekerjasama, memba-ngun relasi-relasi sosial di antara sesama manusia guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan personal, sosio-kulturalnya. Dengan kata lain, kompetensi sosio-kultural ini berkaitan dengan pembentukan dan pengembang-an pengembangan “kesadaran” dan “kepribadian” siswa sebagai makhluk sosiokultural. Dengan kepemilikan kompetensikompetensi sosial tersebut siswa SD sejak dini diharapkan sudah terbentuk dan terbina didalam dirinya bahwa mereka secara fitriah adalah anggota masyarakat yang matang pada saatnya nanti. Pembentukan dan pengembangan kompetensi-komptensi sosiokultural ini sesuai dengan tuntutan sosial pada masa kini dan mendatang, termasuk tuntutan di dalam masyarakat global (Saxe, 1991; Stopsky & Lee, 1994). Sejumlah kompetensi sosio-kultural yang dikembangkan di dalam IPS-SD berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan SD adalah kemampuan:  Memahami identitas keluarga, serta mewujudkan sikap saling menghormati dalam kemaje-mukan keluarga. Kompetensi ini dikembangkan pada diri siswa melalui pembentukan kemampuan: mengidentifikasi identitas keluarga dan kerabat; men-ceriterakan kasih sayang antar anggota keluarga; dan menunjuk kan sikap hidup rukun dalam kemajemukan keluarga.  Mendeskripsikan kerja sama yang terjadi di dalamnya. Kompetensi ini dikembangkan pada diri siswa melalui pem-bentukan kemampuan: memberi contoh bentuk-bentuk kerjasama di lingkungan tetangga; dan memahami lingkungan dan melaksanakan kerjasama di sekitar rumah dan sekolah.  Menghargai peranan tokoh pejuang dalam mempersiapkan dan mempertahankan kemerde-kaan

11

Indonesia. Kompetensi ini dikembangkan pada diri siswa melalui pembentukan kemampu an: mendeskripsikan perjuangan para tokoh pejuang pada masa penjajahan Belanda dan Jepang; menghargai jasa dan peranan tokoh perjuangan dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia; menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memprok-lamasikan kemerdekaan; dan menghargai perjuangan para tokoh dalam mempertahankan kemerdekaan (Permendiknas no 22 dan 23 tahun 2006).

Kompetensi Intelektual-Keilmuan Secara umum kompetensi intelektualkeilmuan diartikan sebagai kemampuan berpikir atau bernalar yang didasarkan pada adanya kesadaran atau keyakinan atas sesuatu baik yang bersifat fisikal, sosial, kultural, psikologis, dll. (inderawi atau tidak) yang dipandang memiliki makna baik bagi dirinya maupun orang lain (Dewey, 1910). Termasuk dalam kompetensi intelektual-keilmuan dalam pengertian ini adalah kemampuan berpikir “standar” maupun “ilmiah”. Berpikir standar adalah kemampuan berpikir (thinking abilities), atau “cara-cara berpikir” (ways of thinking) yang bersifat “standar” bagi setiap manusia, tanpa harus dikaitkan dengan cara-cara berpikir suatu disiplin ilmu tertentu, melainkan lebih pada upaya melatih dan membina siswa agar dapat bermanfaat dalam memenuhi kebutuh-an perkembangan hidup mereka, baik secara psikologis, sosial dan budaya pada masa kini dan mendatang (Hasan, 1993). Berpikir ilmiah adalah kemampuan berpikir (thinking abilities), atau “cara-cara berpikir” (ways of thinking) berdasarkan pada kesadaran adanya masalah yang perlu mendapatkan pemecahan secara kritis-reflektif, objektif, daan dukungan fakta yang mendukung dan teruji. Secara fitriyah, kompetensi intelektual-keilmuan merupakan satu-satunya kemampuan yang hanya dinisbatkan kepada manusia, tidak kepada makhluk lain. “Allah has not created anything better than reason”. Kompetensi intelektual-keilmuan juga

merupakan kekuatan terbesar manusia yang memungkinkan mereka mampu berpikir dan berbuat sehingga bisa melahirkan atau menciptakan peradab-an tinggi seperti sekarang ini (Somantri, 2001). Adalah sunnatullah, bahwa pada diri setiap manusia—termasuk siswa SD—terdapat sejumlah dorongan dasar yang bersifat intelektual-keilmuan, yaitu: (1) rasa ingin tahu (sense of curiosity), (2) hasrat ingin membuktikan secara nyata apa yang sedang dan sudah dipelajari (sense of reality), (3) dorongan untuk menemu-kan sendiri (sense of dis-covery) (Sumaatmadja, 2003). Atas dasar itu, pembentukan dan pengembangan kompetensi intelektual-keilmuan dalam IPSSD juga merupakan sebuah keniscayaan atas fitrah diri siswa sebagai manusia. Tujuan akhir pengembangan kedua jenis kompetensi intelektual-keilmuan tersebut adalah terbentuknya kemampuan siswa untuk mengkon-struksi atau membangun (building/ construction) konsep-konsep dan gagasangagasan abstrak; maupun projek-projek nyata (concreate pro-jects) dengan menyusun dan menemu-kan kaitan antar unsur-unsur, atau “mendekonstruksi”-nya (deconstruct-ion) menjadi unsur-unsur yang lebih kecil berdasarkan cara-cara memper-oleh pengetahuan yang bersifat “standar” atau “ilmiah” bagi setiap siswa. Kedua kemampuan tersebut dipandang sebagai kebutuhan dasar kedua bagi setiap siswa di dalam memahami dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi di dalam kehidupan masyarakat (Saxe, 1994). Sejumlah kompetensi dasar intelektual-keilmuan yang terdapat di dalam Permendiknas no 22 dan 23 tahun 2006 adalah:  Mendeskripsikan kedudukan dan peran anggota dalam keluarga, lingkungan tetangga dan sekolah, serta kerja sama yang terjadi di dalamnya. Kompetensi ini dikembangkan pada diri siswa melalui pembentukan kemampuan: men-deskripsikan lingkungan rumah; memahami peristiwa penting dalam keluarga secara krono-logis; mendeskripsikan kedu-dukan dan peran anggota keluarga; memberi contoh bentuk-bentuk kerjasama di lingkungan

12

tetangga; dan memahami lingkungan dan melaksanakan kerjasama di sekitar rumah dan sekolah; dan memahami jenis pekerjaan dan penggunaan uang di lingkungan keluarga, tetangga, dan sekolah.  Memahami sejarah, kenampak-an alam, dan keragaman suku bangsa di lingkungan kabupa-ten/kota dan provinsi. Kompe-tensi ini dikembangkan pada diri siswa melalui pembentukan kemampuan: menghargai berba-gai peninggalan dan tokoh sejarah nasional, keragaman suku bangsa serta kegiatan ekonomi di Indonesia; mengenal sumber daya alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan kabupaten/ kota dan provinsi; dan kemampuan menghargai berba-gai peninggalan dan tokoh sejarah yang berskala nasional pada masa Hindu-Budha dan Islam, keragaman kenampakan alam dan suku bangsa, serta kegiatan ekonomi di Indonesia.  Memahami perkembangan wilayah Indonesia, keadaan sosial negara di Asia Tenggara serta benua-benua. Kompetensi ini dikembangkan pada diri siswa melalui pembentukan kemampuan: mendeskripsikan perkembangan sistem adminis-trasi wilayah Indonesia; mem-bandingkan kenampakan alam dan keadaan sosial negara-negara tetangga; dan mengidentifikasi benua-benua.  Mengenal gejala (peristiwa) alam yang terjadi di Indonesia dan negara tetangga, serta dapat melakukan tindakan dalam menghadapi bencana alam. Kompetensi ini di-kembangkan pada diri siswa melalui pembentukan kemam-puan: mendeskripsikan gejala (peristiwa) alam yang terjadi di Indonesia dan negara tetangga; dan mengenal cara-cara meng-hadapi bencana alam.  Memahami peranan Indonesia di era global. Kompetensi ini dikembangkan pada diri siswa melalui pembentukan kemam-puan: menjelaskan peranan

Indonesia pada era global dan dampak positif serta negatifnya terhadap kehidupan bangsa Indonesia; dan mengenal manfa-at ekspor dan impor di Indonesia sebagai kegiatan ekonomi antar bangsa (Permendiknas no 22 dan 23 tahun 2006)

Pengorganisasian Pengalaman Belajar Integral dengan struktur kompetensi IPS-SD di atas adalah pengorganisasian pengalaman belajar. Artinya, untuk mencapai ketiga struktur kompetensi IPS-SD tersebut, guru dituntut untuk mampu merancang dan mengorganisasikan “pengalaman-pengalaman belajar bermakna” (meaningful learning experiences) bagi siswa sesuai dengan sifat dan karakteristik siswa, daerah, dan kompetensi yang hendak dicapai dan dikembangkan. Tanpa organisasi pengalaman belajar bermakna seperti itu, dipastikan siswa tidak akan mampu mencapai semua kompetensi secara utuh. Di dalam dokumen kurikulum IPS-SD tahun 2004 dijelaskan, bahwa pengalaman belajar--di dalam kurikulum 1994 disebut uraian kegiatan--merupakan rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa secara berurutan (sekuensial) untuk mencapai kompetensi tertentu. Penentu an urutan atau rangkaian langkah pembelajaran sangat penting artinya bagi materi-materi yang memerlukan prasyarat tertentu. Pengalaman belajar atau uraian kegiatan minimal mengandung dua unsur penciri yang mencer-minkan pengelolaan pengalaman belajar siswa, yaitu: kegiatan siswa dan materi (Depdiknas, 2003b). Dokumen kurikulum IPS-SD tahun 2004 menekankan agar pengalaman belajar dikembangkan berdasarkan pendekatan pembelajaran yang bersifat spiral (mudah ke sukar; konkret ke abstrak) dari Bruner (1978), atau pendekatan “expanding commu-nities of men” atau “the expanding of humans community” dari Paul R. Hanna; atau pendekatan “a broader horizon” dari CSS (Saxe, 1991, appendix) yang menempatkan siswa di “pusat lingkaran” (self-centric), dan secara bertahap dan konsisten meluas ke

13

lingkaran lingkungan-lingkungan sosial dari yang terdekat (sekitar) hingga terjauh (dunia). Dasar teoretik dan filosofis pengemasan pengalaman belajar ini, menurut Kliebard dan Akenson (Popke witz & Maurice, 1991:34), dapat dilacak di dalam “Herbart's system of philosophy”, yaitu sistem filsafat yang asumsi-asumsi filosofisnya berpusat pada “the analysis of experience”, dan memandang bahwa “all mental phenomena result from interaction of elementary ideas” (Clark, 2000). Formulasi pemikiran Herbart-ian dirumuskan dalam “Teori Rekapitulasi Kesadaran” (Recapitulati-on Theory of Cognition), yang menempatkan kesadaran pada “diri sendiri” sebagai “pusat sistem”, kemudian meluas kepada kesadaran pada dunia “di luar-diri” (Brassard, 2001:2). Implikasinya adalah, bahwa pengorganisasian pengalaman belajar “follows from building up sequences of ideas important to the individual” (Clark, 2000). Artinya, pengalaman belajar harus dikembangkan secara “sekuensial” dari konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang dipandang penting bagi siswa dari yang bersifat “pengenalan diri siswa sendiri” (self) meluas pada materi “pengenalan dunia luar yang semakin meluas” (world), terutama “dunia sosial” (social world).

2003; Wiriaatmadja, 2003). Karena itu pula, benar pandangan Kliebard dan Akenson bahwa dasar-dasar pemikiran pengemasan pengalaman belajar IPS model Hanna (Bruner dan CSS) tidak semata-mata diturunkan dari ilmu-ilmu sosial, melainkan juga dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi ilmiah dan predisposisi-predisposisi kultural dan institusi-onal, serta menyatu dengan kebutuhan praktis sekolah (Popkewitz & Maurice, 1991:34). Lebih lanjut Kliebard dan Akenson berpandangan, bahwa model pengemasan pengalaman belajar Hanna—juga Bruner dan CSS—di-dasarkan pada asumsi-asumsi epistemologis dari psikologi perkembangan anak, bahwa semua perkembangan haruslah mempunyai keseimbangan secara psikologis. Berdasarkan asumsi tersebut, pengemasan model peng-alaman belajar tersebut sangat sesuai dengan minat dan pengalaman siswa, tahapan perkembangan mental siswa, bisa menciptakan kesatuan dan keterhubungan, sejalan dengan pendi-dikan kewarganegaraan; juga didasar-kan pada keyakinan bahwa pola tersebut bisa menggerakkan siswa belajar dari sesuatu yang sederhana dan nyata menuju yang abstrak”. Dengan kata lain, perspektif baru dalam pengorganisasian pengalaman belajar IPS model Hanna—juga Bruner dan CSS—telah “dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial dan kultural, maupun kemajuan teori-teori ilmiah di dalam disiplin psikologi” (Akenson, dalam Popkewitz & Maurice, 1991:34). Bentuk-bentuk pengalaman belajar bermakna yang perlu dirancang dan dikembangkan guna mencapai ketiga kompetensi IPS-SD di atas adalah sebagai berikut (Depdiknas, 2003b; cf. Farisi, 2005): Pengalaman Belajar Mental

Gambar 1: Teori Rekapitulasi Kesadaran Manusia model Herbartian (Brassard, 2001:3). Sistem filsafat Herbartian tersebut diakui oleh pakar IPS sebagai “landasan filsafat dalam gerakan IPS secara keseluruhan” semenjak awal konseptualisasinya, baik di Amerika maupun Indonesia (Saxe, 1991, Hasan, 1993; Somantri, 2001; Sumaatmadja,

Pengalaman mental adalah bentuk pengalaman belajar yang diperoleh melalui pelibatan mental-psikologis siswa selama pembelajaran. Termasuk pengalaman mental adalah: (1) pengalaman kognitif dan metakognitif, yaitu pengalaman belajar berkaitan dengan aspek jenis penge-tahuan (faktual, konseptual, dan pro-sedural); bagaimana cara mengetahui; cara membangun pengetahuan, dan pengetahuan tentang apa yang di-ketahui, termasuk strategi untuk mengetahui dan

14

kontrol terhadap pe-ngetahuan yang dimiliki. Kebermakna-an pengalaman kognitif dan meta-kognitif ini sangat bergantung pada konteks personal, sosiokultural, serta karakteristik isi pengetahuan yang sudah dimiliki siswa. (2) pengalaman logikamatematika, yaitu pengalaman belajar berkenaan dengan pengalaman membangun atau mengkonstruksi relasi-relasi antar objek dalam bentuk simbol-simbol matematis. (3) Penga-laman normatif/afektual, yaitu pengalaman belajar yang didapatkan siswa dari hasil relasi dan interaksinya dengan satu atau beberapa jenis nilai, sikap, etika, moral, dan/atau keyakinan yang diperoleh dari peranperan sosial, kultural, dan keagamaan dan bentuk-bentuk keadilan di dalam institusiinstitusi sosial, budaya, dan agama. Termasuk pengalaman normatif/afek-tual yang diperoleh siswa dari kehidupan sekolah. Beberapa bentuk pengalaman mental yang dapat diberikan kepada siswa antara lain melalui membaca buku, mendengarkan ceramah, mende-ngarkan berita radio, melakukan pere-nungan, menonton televisi atau film. Pada pengalaman belajar melalui pengalaman mental, biasanya siswa hanya memperoleh informasi melalui indera dengar dan lihat. Ditinjau dari tingkat perkembangan anak, pengalam-an belajar melalui indera dengar lebih sulit daripada melalui indera lihat karena melalui indera dengar di-perlukan kemampuan abstraksi dan konsentrasi penuh. Pengalaman Belajar Fisikal Pengalaman fisikal adalah bentuk pengalaman belajar siswa yang diperoleh dari hasil relasi-relasi dan interaksi-interaksi dengan lingkungan fisik yang kemudian digunakan untuk mengabstraksikan berbagai sifat dari benda-benda fisikal. Pengalaman belajar jenis ini dapat diberikan melalui kegiatan pengamatan, percobaan, penelitian, kunjungan, karya wisata/study tour, pembuatan buku harian, dan beberapa bentuk kegiatan praktis lainnya. Lazimnya, siswa dapat memanfaatkan seluruh inderanya ketika menggali informasi melalui pengalaman fisik. Pengalaman Belajar Sosial Pengalaman sosial adalah ben-tuk pengalaman belajar yang diperoleh siswa

melalui aktivitas relasi dan/atau interaksi siswa dengan satu atau beberapa lingkungan sosial-budaya yang berbeda. Pengalaman belajar jenis ini dapat diberikan melalui aktivitas wawancara dengan tokoh, bermain peran, berdiskusi, bekerja bakti, melakukan bazar, pameran, jual beli, pengumpulan dana untuk bencana alam, atau ikut arisan. Pengalaman belajar ini akan lebih bermanfaat kalau masing-masing siswa diberi peluang untuk berinteraksi satu sama lain: bertanya, menjawab, berkomentar, mempertanyakan jawaban, mendemonstrasikan, dan sebagainya. Sejalan dengan prinsip keterpaduan pembelajaran di SD, dan karakteristik kompetensi IPS-SD, maka ketiga jenis pengalaman belajar di atas juga harus diberikan kepada siswa secara terpadu (integrated leaning experiences). Selain itu, mengingat belajar merupakan proses siswa membangun gagasan/pemahaman sen-diri, maka kegiatan pembelajaran hendaknya mampu memberikan kesempatan seluasluasnya kepada siswa untuk berbuat, berpikir, berinteraksi sendiri secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan guru. Suasana belajar yang disedia-kan guru hendaknya juga memberikan peluang kepada siswa untuk melibat-kan mental secara aktif melalui beragam kegiatan, seperti kegiatan mengamati, bertanya/mempertanyakan, menjelaskan, berkomentar, mengaju-kan hipotesis, mengumpulkan data, dan sejumlah kegiatan mental lainnya. Guru hendaknya tidak memberikan bantuan secara dini dan hendaknya selalu menghargai usaha siswa meskipun hasilnya belum sempurna. Guru juga perlu mendorong siswa supaya siswa berbuat/berpikir lebih baik, misalnya melalui pengajuan pertanyaan menantang yang ‘menggeli-tik’ sikap ingin tahu dan sikap kreativitas siswa. Dengan cara ini, guru selalu mengupayakan agar siswa terlatih dan terbiasa menjadi pelajar sepanjang hayat. Beberapa strategi dan metode pengajaran perlu memprioritas-kan situasi nyata. Kalau sulit menyediakan situasi nyata, baru menyediakan alternatif di bawahnya seperti situasi buatan, atau alat audio-visual, atau alat visual, dan cara dengan pola audio (ceramah baru dipilih setelah keempat cara ini

15

tidak mungkin 2003b):.

disediakan)

(Depdiknas,

Dari sudut pandang kekonkret-an (non-verbal) dan keabstrakannya (verbal), pengalaman belajar bermakna dapat dikembangkan dalam bentuk situasi nyata, situasi buatan, dan situasi dengar dan lihat (audio-visual), seperti dapat dilihat dari kerucut pengalaman belajar menurut Edgar Dale (Asmin, 2002) berikut:

sebagai bandingan, berikut adalah kerucut pengalaman belajar yang terdapat di dalam dokumen KBK (Depdiknas, 2003b).

Gambar 3: Kerucut Pengalaman Belajar dalam KBK 2004 Sejumlah contoh jenis kegiatan belajar yang dapat memberikan pengalaman belajar yang bisa dipilih oleh guru antara lain: menggubah syair lagu dan bernyanyi; melakukan permainan; bermain peran; diskusi (bertanya, menjawab, berkomentar, mendengar penjelasan, menyanggah); menggambar dan mengarang; menulis prosa, puisi, pantun, gurindam; membaca bermakna; menyimak untuk menangkap gagasan pokok; dll. (selegkapnya periksa: Depdiknas, 2003b).

Hal penting yang juga perlu diperhatikan dalam mengembangkan pengalaman belajar adalah, bahwa semua kebutuhan pembelajaran siswa seperti kegiatan, materi, bahan, media, dan sumber belajar, harus diupayakan dan dikembangkan sendiri oleh guru. Guru tidak selayaknya menggantung-kan diri pada kegiatan, materi, bahan, media, dan sumber belajar yang diproduksi oleh pihak lain. Hal ini mengingat, bahwa tidak semua kegiatan, materi, bahan, media, dan sumber belajar tersebut relevan dengan kebutuhan siswa dan pembelajaran di masing-masing kelas/sekolah. Berbeda dengan kurikulum 1994 di mana input proses belajar-mengajar (PBM) seperti alat, bahan, dan sumber belajar dicantumkan dalam dokumen kurikulum 1994, sedangkan di dalam KBK tidak dicantumkan (Depdiknas, 2003b). Hal ini berarti pengemasan pengalaman belajar di dalam kurikulum berbasis kompetensi semakin memberi peluang dan kewenangan luas kepada guru untuk merencanakan, menentukan, dan mengembangkan kegiatan, materi, bahan, media, dan sumber belajar yang dibutuhkan di dalam pembelajaran yang dikelola. Setelah pengalaman-pengalam-an belajar dirancang, langkah selanjut-nya adalah menentukan langkah-langkah pembelajaran, yang memuat deskripsi atau uraian lengkap, rinci, dan saling berkaitan secara utuh dari setiap unsur aktivitas pembelajaran. Langkahlangkah pembelajaran tadi harus terarah pada upaya pemberian pengalaman belajar bermakna bagi siswa; dan mengacu pada pencapaian kompetensi yang diinginkan. Pada tahapan ini tugas guru adalah meran-cang dan mengembangkan kegiatan, materi, bahan, media, dan sumber belajar yang akan dibunakan ke dalam skenario pembelajaran yang lengkap, rinci, terstruktur dan sekuensial, serta saling berkaitan secara utuh, dari tahap awal, kegiatan inti, hingga kegiatan akhir. Unsur terpenting dalam sebuah langkah-langkah pembelajaran adalah keterkaitan dan kesatuan antara struktur dan sekuensi (urutan langkah-langkah) dari aktivitas siswa (students activities) dan aktivitas guru (teacher activities). Yang dimaksudkan dengan aktivitas siswa adalah

16

segala kegiatan yang siswa harapkan dan butuhkan untuk dilakukan, apakah melalui pengalaman langsung yang bermakna, simulasi, demonstrasi, pembelajaran terbimbing, atau intraksi dengan bahan-bahan tertulis, dalam upaya siswa untuk belajar, berpraktik, menerapkan, menilai, atau caracara lain untuk merespon terhadap muatan kurikulum (pengetahuan, keterampilan, nilai, atau kecenderungan untuk bertindak) (Brophy & Alleman, 1991). Semua aktivitas belajar siswa tadi harus disesuaikan dengan keragaman karakteristik individual siswa. Aktivitas guru adalah segala bentuk kegiatan guru yang dilakukan untuk memfasilitasi segala kegiatan siswa bagi tercapainya tujuan pembel-ajaran atau kompetensi dasar yang diharapkan. Oleh karena antara kegiat-an siswa dan guru saling berkaitan, maka adanya struktur dan sekuensi aktivitas guru atau siswa, sangat penting artinya agar tidak terjadi inkonsistensi dalam pelaksanaan pembelajaran, atau terjadinya duplikasi atau pengulangan aktivitas yang tidak perlu dan tidak selayaknya terjadi. Menyatu dengan aktivitas siswa dan guru tadi adalah bagaimana guru dan siswa secara bersama-sama memanfaatkan bahanbahan belajar, sumber-sumber belajar, dan tugas-tugas belajar; bagaimana metode, pendekatan, strategi, dan media/ teknologi pembelajaran diterapkan selama pembelajaran bagi terciptanya kondisi atau konteks pembelajaran yang secara psikologis menyenangkan, membetahkan, menarik, tidak menjemu kan, tidak membosankan; dan secara sosio-kultural sangat aktif-partisipatif, dan komunikatif. Struktur dan sekuensi aktivitas guru dan siswa yang akan dilakukan selama pembelajaran, juga bagaimana pemanfaatan bahan-bahan belajar, sumber-sumber belajar, dan tugas-tugas belajar tersebut harus digambar-kan rinci dan jelas, tidak dibuat dalam bentuk “pointer-pointer”. Unsur lain yang juga perlu ada di dalam langkah-langkah pembelajaran adalah pembagi-an alokasi waktu belajar (time consumption) yang dibutuhkan siswa untuk menyelesaikan semua bahan dan tugas belajarnya, serta kompetensi dasar yang ingin dicapai pada setiap penggal pembelajaran.

Sangat diharapkan, agar penyu-sunan langkah-langkah pembel-ajaran mengacu pada “model pembelajaran” (model of teaching) tertentu, sehingga jenis pengalaman belajar bermakna yang akan diberikan kepada siswa, dan kompetensi dasar yang diinginkan lebih terstruktur, sistematis, terfokus dan bisa dicapai lebih efektif. Model pembelajaran adalah suatu analog konseptual tentang pembelajar-an yang menyarankan bagaimana sebuah proses pembelajaran selayak-nya dilakukan. Model pembelajaran juga dapat diartikan sebagai sebuah struktur konseptual tentang pembelajar an yang dapat membantu memberikan bimbing-an atau arahan kepada guru di dalam mengelola dan mengembangkan aktivi-tas pembelajaran agar tujuan yang diharapkan dicapai efektif. Seperti pendekatan pembelajaran, sebuah model pembelajaran juga dikembang-kan atas dasar pertimbanganpertim-bangan filosofis, psikologis, sosial, kultural tentang hakikat siswa, guru, materi, bidang studi, juga ikhwal pembelajaran serta tujuan atau hasil yang hendak dicapai. Untuk keperluan ini, Joyce & Weil (1986) menyediakan kepada kita sejumlah altermatif model pembelajar-an yang bisa digunakan untuk keperluan penyusunan langkah-langkah pembelajaran. Secara garis besar, model-model pembelajaran tersebut diklasifikasi menjadi tiga rumpun, yaitu: (1) pemrosesan informasi; (2) personal; (3) sosial; dan (4) sistem perilaku. Setiap model pembelajaran memiliki prosedur atau sintaks pembelajaran tertentu. Akan tetapi pro-sedur dari semua model pembelajaran dapat diidentifikasi menjadi kegiatan awal hingga akhir dan mengarah pada pencapaian tujuan akhir pembelajaran. Prosedur pembelajaran yang umum dikenal dan dilaksanakan di Indonesia terdiri dari: (1) pra-KBM; (2) kegiatan awal; (3) kegiatan inti; (4) kegiatan akhir; dan (5) tindak lanjut.

Penutup Pemahaman terhadap hakikat dan struktur kompetensi IPS-SD merupakan aspek penting agar refor-masi kurikulum berbasis kompe-tensi mencapai sasaran yang dicitakan. Agar kompetensi-kompetensi IPS-SD terse-but terartikulasikan pada tingkat praksis pembelajaran di sekolah, maka pengalaman

17

belajar yang dikembang-kan juga berorientasi dan berpijak pada kompetensi-kompetensi yang ditetap-kan. Jika tidak, kebermaknaan peng-alaman belajar mustahil diraih siswa, dan konsep kurikulum berbasis kompetensi pun akhirnya lebih banyak berfungsi sebagai formalitas atau label yang tidak bermakna. Pamekasan, 14 Agustus 2006 Daftar Rujukan Alleman, J.E. & Rosaen, C.E. (1991). The Cognitive, Social, Emoti-onal, and Moral Development Characteristics of Students: Ba-sic for Elementary and Middle School Social Studies. Dalam James P. Shaver, (ed). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: McMillan Publishing Company. 109-120. Arief Achmad MSP. (2004). Quo Vadis, Pendidikan IPS di Indone-sia? Dalam Pendidikan Network. (Versi elektronik). Asmin. (2001). Konsep dan Metoda Pembelajaran Untuk Orang De-wasa (Versi elektronik). Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 034. 25-32. Banks, J.A. (1995). Transformative Challenges to the Social Sciences Disciplines: Implications for Social Studies Teaching and Learning. Dalam Theory and Research in Social Education, XXIII(1), 2-20. Barr, R.D., Barth, J.L., & Shermis, S.S. (1977). Defining the Social Studies. Virginia: National Council for the Social Studies. Brassard, L. (2001). “Recapitulation Theory of Cognition”. Tersedia di: http://www.webnow.com/ herbart. [29-102002] Brameld, T. (1966). Philosophy of Education in Cultural Perspect-ive. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Brophy. J. & Alleman, J. (1996). Powerful Social Studies for Elementary Studies. Florida: Harcourt Brace & Company. Bruner, J.S. (1978). The Process of Education. Cambrigde: Harvard University Press. Clark, D. (2000). Herbart's System of Philosophy. Tersedia di: http://www.nwlink.com/~donclark/hrd/histor y/history.html. [29-10-2002] Depdikbud. (1975). Buku Garis-garis Besar Program Pengajaran Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial.Jakarta. Depdikbud. (1986). Kurikulum Sekolah Dasar: Garis-garis Besar Prog-ram Pengajaran Mata-pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: Depdikbud.

Depdikbud. (1994). Kurikulum Sekolah Dasar: Garis-garis Besar Prog-ram Pengajaran Mata-pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: Depdikbud. Depdiknas. (2001). Kurikulum Berba-sis Kompetensi: Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Ilmu Sosial untuk Sekolah Dasar. Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pusat Kurikulum Depdiknas. Depdiknas. (2003a). Kurikulum Berba-sis Kompetensi: Standar Kompe-tensi Mata Pelajaran Pengetahu-an Sosial SD & MI. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. Depdiknas. (2003b). Pelayanan Profes-ional Kurikulum 2004: Belajar Mengajar yang Efektif . Jakarta: Puskur-Depdiknas. Dewey, J. (1910). How We Think. tersedia di: www.spartan.ac. brocku.ca/~lward/dewey/dewey1910.html [10 Juni 2002]. Dimyati, M. (1989). Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah: Bagian Integral Sistem Ilmu Pengetahu-an. Jakarta: Depdikas, Ditjen Dikti, P2LPTK. Farisi, M.I. (2005). Rekonstruksi Dasar-dasar Pemikiran Pendi-dikan Ilmu Pengetahuan Sosial berdasarkan Perspektif Konstruk tivisme. Disertasi Doktor. Tidak diterbitkan. PPS Universitas Pendidikan Indonesia. Hasan, S.H. (1993). Tujuan Kurikulum Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Jurnal Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial (JPIS). edisi perdana. 92-101. Hasan, S.H. (1996). Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial. (Buku Satu). Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS-IKIP. Hursh, D.W. & Ross, E.W. (2000). Democratic Social Education: Social Studies for Social Change. dalam Hursh, D.W. & Ross, E.W. (eds). Democratic Social Education: Social Studies for Social Change. New York & London: Falmer Press. 1-22. Jantz, R.K. & Klaweitter, K. (1985). Early Childhood/Elementary So-cial Studies: A Review of Recent Research. Dalam Stanley, W.B. (ed). Review of research in Social Studies Eucation: 1976-1983. New York: NCSS. 65-122. Jarolimek, J. (1977). Social Studies in Elementary School, (5th ed). New York: Mc Millan Publish-ing Co, Ltd., Collier McMillan Publisher Company. Joyce, B. & Weil, M. (1986), Teaching, Santa Monica, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Kalidjernih, F.K. (2005). Post-Colonial Citizenship Education: A Critical Study of the Production and Reproduction of the

18

Indonesian Civic Ideal. Thesis Doctor of Phylosophy, unpublished. University of Tasmania. KBK Tidak Jadi: Kurikulum Baru Disesuaikan Standar Isi Kompetensi. (10 Februari 2006). Dalam Kompas. Lapp, D, et.al. (1975). Teaching and Learning: Philosophical, Psycho logical, Curricular Applications. New York: Macmillan Publish-ing Co., Inc. Lybarger, M.B (1991). The Historiography of Social Studies: Retrospect, Circumspect, and Prospect, dalam Shaver, J.P. (eds). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 3-15. Martorella, P.H. (1985). Elementary Social Studies: Developing Ref-lective, Competent, and Concern-ed Citizens. Boston, Toronto: Little, Brown and Company. NCSS. (1989). Charting A Course: Social Studies for the 21st Century ( A Report of the Curriculum Task Force of the National Commission on Social Studies in the Schools. Washington: NCSS. NCSS. (1994). Expectations of Excel-lence: Curriculum Standards for Social Studies. Washing-ton: NCSS. Peraturan Menteri Pendidikan Nasio-nal Nomor 22 Tahun 2006 ten-tang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Mene-ngah. Peraturan Menteri Pendidikan Nasio-nal Nomor 23 Tahun 2006 ten-tang Standar Kompetensi Lulus-an untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan Menteri Pendidikan Nasi-onal Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendi-dikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidik-an Dasar dan Menengah. Peraturan Pemerintah nomor 15 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional Popkewitz, T.S. & Maurice, H.S. (1991). Social Studies Education and Theory: Science, Knowled-ge, and History. dalam Shaver, J.P. (ed). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 27-40. Saxe, D.W. (1991). Social Studies in Schools: A History of The early Years. New York: State University of New York Press.

Saxe, D.W. (1994). Social Studies for the Elementary Teacher. Boston: Allyn and Bacon. Soetjipto, R. ed. (1980). Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: Depdikbud. Somantri, N. (1991). “Jatidiri (Iden-titas) Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial-IKIP dan Jurusan Pendidikan IPS FKIPUniversitas”. Makalah disampai-kan pada Forum Komu-nikasi FPIPS-IKIP dan JPIPSFKIP-Universitas se Indonesia, Yogyakarta. Somantri, N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Dedi Supriadi & Rohmat Mulyana (eds). Bandung: PPS-FPIPS UPI dan PT. Remadja Rosda Karya. Stopsky, F. & Lee, S.S. (1994). Social Studies in a Global Society. Columbia: Delmar Publ. Inc. Sumaatmadja, N. (2003). Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pada Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. No.20 Tahun XI, edisi Januari – Juni. 28-35. Sumantri, M. (2002). Pengembangan Potensi Siswa dengan Kurikulum Terpadu untuk menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar tetap dalam bidang Ilmu Perencanaan Kurikulum pada FIP-UPI. Bandung:UPI. Tuxworth, E. (1995). Competence Based Education and Training: Background and Origins. dalam Burke, J. (ed). Competency-Based Education and Training. London-New York: The Palmer Press. 10-25 Wardani, I.G.A.K. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Apa, Me-ngapa, dan Bagaimana Imple-mentasinya. Jurnal Pendidikan, Vol. 1 nomor 4. 1-10. Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendi-dikan Demokrasi (Suatu Kajian Konseptual dalam Konteks Pen-didikan IPS). Disertasi Doktor, tidak diterbitkan, PPS Universi-tas Pendidikan Indonesia. Wiriaatmadja, R. (2003). Pembelajaran IPS di Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. No.20 Tahun XI, edisi Januari – Juni. 22-27. Wyner, N.B & Farquhar, E. (1991). Cognitive, Emotional, and Social Development: Early Childhood Social Studies. dalam James P. Shaver (ed), Handbook of Re-search on Social Studies Teach-ing and Learning, New York: McMillan Publishing Company. 109120.

19

IMPLEMENTASI PERAN DAN FUNGSI TRILOGI PENDIDIKAN MEMASUKI ERA GLOBALISASI * Oleh: Mohammad Harijanto **

Abstrak Hembusan era globalisasi gemanya tidak hanya menerpa bidang ekonomi dan informasi/telekomunikasi saja, tetapi menyentuh hampir semua tatanan kehidupan umat manusia. Permasalahan dibidang pendidikan adalah apa peran dan fungsi trilogi pendidikan dalam memasuki era globalisasi ini. Trilogi pendidikan global berkaitan dengan hal berikut: (1) Demokratisasi, (2) Modernisasi, dan (3) Adaptasi Kata Kunci: implementasi, peran, fungsi, trilogi, pendidikan

Pendahuluan Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar Gujarat India ke Nusantara pada abad ke 13. Islam mula-mula berkembang di kawasan pantai terbukti dari fakta sejarah bahwa pusat penyebaran agama Islam membentang mulai dari Banten, Cirebon, Demak, hingga ke Gresik. Pendidikan agama Islam di masa pra-kolonial dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar, pendidikan di pesantren, dan pendidikan di madrasah. Di pesantren, para santri tinggal di tempat pemondokan sederhana yang biasa disebut pondok, dengan sifat khusus: (1) pelajaran bersifat keagamaan, (2) Penghormatan yang tinggi kepada guru, (3) Tidak ada gaji atau upah khusus untuk guru karena motivasinya semata-mata karena Allah, (4) Santri datang secara sukarela untuk menuntut ilmu (Wahyudin, 2004:417).

*

**

Pendidikan di Indonesia dewasa ini menciptakan sistem pendidikan yang mantap, berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional, dan mampu menjawab tantangan masa kini dan masa depan pendidikan nasional dewasa ini

ditata dan dikembangkan dengan memberikan prioritas pada wajib belajar pendidikan sembilan tahun. Pelaksanaan KBK, Pengadaan buku pelajaran, dan Pembinaan mutu guru. Hembusan era globalisasi gemanya tak hanya menerpa bidang ekonomi dan informasi/telekomunikasi saja, tetapi menyentuh hampir semua tatanan kehidupan umat manusia. Esensinya adalah bahwa kerjasama internasional antar negara merupakan prasyarat dalam menata kehidupan global yang lebih baik. Globalisasi bukan berarti persaingan antar bangsa dalam arti sempit, bukan pula penindasan si kuat kepada si lemah (hukum rimba), tetapi lebih merupakan

Disajikan dalam kegiatan seminar Pendidikan Bersama Bupati Pamekasan Tanggal 24 Desember 2005 di Kabupaten Pamekasan Dosen FKIP-UT di UPBJJ Surabaya

20

pranata baru antar bangsa yang berpijak pada semangat kebersamaan guna kehidupan masyarakat yang lebih baik. Di tengah pesimisme konflik kepentingan antar bangsa di beberapa bagian belahan dunia, ternyata globalisasi menjanjikan nuansa baru bagi kehidupan yang lebih arif dengan berlandaskan kebersamaan, saling menghormati, dan saling membutuhkan. Konsekwensi logis adanya globalisasi di bidang pendidikan menyangkut hal berikut: 1. Dalam globalisasi, sistem nilai dan filsafat merupakan posisi kunci dalam garapan pendidikan nasional. Semua negara menempatkan sistem nilai dan etika sebagai landasan utama dalam merancang kurikulum nasionalnya. 2. Globalisasi menurut adanya angkatan kerja yang berkualifikasi dan berpendidikan (skilled educated employees). Dalam masyarakat informasi, lapangan kerja terutama dialamatkan pada mereka yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang berlatar pendidikan yang memadai. Sebaliknya, mereka yang miskin keterampilan dan tuna pendidikan, akan berderet mengisi barisan pengengguran atau sebagai kelompok pekerja dengan gaji yang sangat minim. 3. Kerja sama pendidikan mutlak diperlukan. Kerja sama internasional di bidang pendidikan adalah sisi lain daripada konsekuensi globalisasi. Bantuan dana, pengiriman tenaga ahli, ataupun pemberian beasiswa dan pengiriman siswa tugas belajar keluar negeri merupakan salah satu bentuk kerja sama internasional di bidang pendidikan. Menurut Syamsudin, A. (2002:1.3) manusia diciptakan Tuhan dengan segenap potensi yang akan menjadi modal dasar bagi perkembangannya. Perkembangan pendidikan dilihat dari dimensi inovasi: (1) Muncul dari pihak bawah (desentralisasi). Pandangan ini menyatakan bahwa agar pembaharuan itu terlaksana dengan penuh makna, dan tumbuh mengakar di masyarakat luas, sebaiknya ide pembaharuan muncul dari pihak bawah (change from the

grass roots), (2) Muncul dari pihak atas atau pusat sebagai penentu kebijakan (sentralisasi). Pandangan ini menyatakan bahwa tanpa ada restu atau keputusan kebijaksanaan dari pihak atas atau pusat maka orangorang yang ada di bawah dan daerah akan merasa ragu-ragu atau kurang merasa terdorong untuk ikut serta menyebarkan dan melaksanakan pembaharuan. dan (3) Muncul sedikit demi sedikit, aspek demi aspek tetapi terus menerus dari waktu ke waktu (Wahyudin, D:2004:8.7). Dalam bidang pendidikan menurut Robinson Situmorang, dkk (2005:2.3) misalnya keadaan saat ini menunjukkan lambatnya para lulusan menerima ijazah dari perguruan tempat mereka belajar. Dari harapan dan kenyataan sebagaimana diuraikan di atas maka permasalahan yang muncul adalah apa peran dan fungsi trilogi pendidikan dalam memasuki era globalisasi ini ? Implementasi Trilogi Pendidikan Memasuki Era Globalisasi Abad 21 Ihwal globalisasi di bidang pendidikan ini sebenarnya telah dirintis semenjak dua dasawarsa yang lalu oleh badan dunia PBB. Lewat “trilogi pendidikan global” misalnya, badan dunia PBB di bidang pengembangan telah mencanangkan tiga kebutuhan mendesak bagi pendidikan global, terutama bagi negara berkembang, yaitu: 1. Demokratisasi pendidikan 2. Modernisasi pendidikan menghormati identitas budaya

dengan

3. Adaptasi pendidikan dengan tuntutan pekerjaan produktif searah dengan kebutuhan lapangan kerja (Supriadi, 2004:2.21) Di bidang demokratisasi pendidikan, peran dan fungsinya tercuat nilai hakiki tentang pendidikan itu sendiri bahwa melalui pendidikan yang ditempuh dimaksudkan untuk mendidik masyarakat dalam hal berikut: a. Menuju kemandirian,

21

b. Menuju ke suatu wujud pemerataan untuk memperoleh pendidikan seluas-luasnya.

1. Peralihan dari masyarakat industri kepada masyarakat informasi

c. Pendidikan adalah universal dan hak semua orang atau lazim juga disebut sebagai education is universal and for all.

2. Peralihan dari teknologi yang dipaksakan kepada teknologi tinggi dan sentuhan tinggi

Ketiga hal di atas sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan dimana pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak deskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa (UURI Nomor 20, 2003:76).

3. Peralihan dari ekonomi nasional menuju ekonomi dunia

Dalam hal modernisasi pendidikan, peran dan fungsinya mencakup antara lain keragaman alternatif dalam pelayanan pendidikan dan proses belajar-mengajar. Beberapa bentuk modernisasi pendidikan antara lain:

7. Dari demokrasi perwakilan demokrasi partisipatoris

a. Pendidikan jarak jauh, b. Pendidikan dengan multimedia, c. Cara belajar tuntas, atau dengan pendekatan non konvensional lainnya dalam bidang pendidikan. Semuanya itu bermuara sama ke arah globalisasi pendidikan, serta pemerataan perolehan pendidikan untuk semua orang tanpa rintangan atau hambatan baik secara geografis, psikis, fisik, finansial maupun halangan yang sifatnya dukungan kultural. Adaptasi pendidikan merupakan hakikat usaha ke arah menjembatani kesenjangan antara angkatan kerja yang dihasilkan lembaga pendidikan dengan lapangan kerja yang tersedia. Peran dan fungsi menyangkut hal berikut: a.

Kesenjangan ini bisa bersifat kesenjangan okupasional,

b.

Kesenjangan akademik, ataupun mungkin kesenjangan kultural/ budaya, karena masyarakat belum siap secara kultur dalam mengantisipasi gejolak perkembangan yang ada.

Antisipasi garapan pendidikan menghadapi kehidupan abad ke 21 berkaitan dengan prediksi menghadapi kehidupan abad mendatang. John Naisbitt (dalam Wahyudin, 2004:2.22) menyebut perubahan masa depan dengan sepuluh arah yaitu:

4. Peralihan dari perencanaan jangka pendek menuju perencanaan jangka panjang 5. Dari sentralisasi menuju desentralisasi 6. Dari bantuan institusional menuju ke bantuan individual menuju

8. Peralihan dari hierarki-hierarki menuju kepada penjaringan (network) 9. Peralihan dari utara menuju ke selatan, dan 10. Peralihan dari satu pilihan kepada pilihan majemuk. Dalam konteks nasional, antisipasi garapan pendidikan nasional menghadapi kehidupan abad mendatang, secara yuridis formal telah tersurat pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu kebijakan yang perlu dilaksanakan adalah bahwa sistem pendidikan nasional menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana dan berkesinambungan (UURI Nomor 20, 2003:70). Sebagai perbandingan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tercantum bahwa Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan pengembangan manusia Indonesia seutuhnya. Dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan sebagaimana terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan pada pasal 3 dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

22

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UURI Nomor 20, 2003:76) Bila bangsa ingin berkualitas setara dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia, maka latar pendidikan warganya harus meningkat, minimal lulusan SLTP atau sederajat. Dengan demikian, meningkatnya mutu sumber daya manusia secara nasional, bagaimanapun juga akan membawa bangsa kita ke arah kehidupan yang lebih baik. Menurut Tisno Hadi Subroto (2005:1.8) Pendidikan yang efektif memberikan kemudahan untuk terciptanya kesempatan yang kaya untuk melihat dan membangun kaitan-kaitan konseptual. Ada beberapa gagasan yang mungkin dapat dipertimbangkan dalam menyiapkan garapan pendidikan nasional, khususnya dalam antisipasi menghadapi kehidupan abad 21 mendatang sebagaimana dikemukakan Iskandar Alisyahbana (dalam Wahyudin, D, 2004:223): 1. Pendidikan bukan hanya berurusan dengan transmisi pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga dengan preferensi lain. Itu berarti bahwa pendidikan berhubungan erat dengan nilai-nilai, dan sebagian nilainilai itu adalah berkenaan dengan nasionalisme 2. Negara kita adalah negara kepulauan. Secara potensial, sumber-sumber kita ada di darat dan di perairan. Kita bertanggung jawab untuk melindungi sumber alam tersebut serta memanfaatkannya sebaikbaiknya untuk kemaslahatan bangsa. Ini berarti kita perlu cukup banyak orang berlatih untuk pemanfaatan sumbersumber tersebut 3. Di masa depan mungkin sekali ada perubahan dan fluktuasi yang berarti dalam penyebaran penduduk. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan sistem pendidikan yang cukup luwes yang mampu secara cepat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut

4. Di masa depan perlu memberi peranan yang seluas-luasnya kepada kaum wanita untuk mendapat kesempatan dalam pendidikan 5. Tuntutan belajar seumur hidup (life long education) tampaknya harus mendapat perhatian yang lebih memadai di masa mendatang 6. Pentingnya media elektronik dalam menyebarluaskan pendidikan, termasuk pengembangan sistem belajar jarak jauh dan pemanfaatan komputer untuk pendidikan 7. Publikasi dan penelitian serta pengembangan pendidikan merupakan hal yang sangat mendasar bagi setiap masyarakat yang ingin maju. Kesimpulan Dari uraian di disimpulkan bahwa;

atas

maka

dapat

1. Tuntutan belajar seumur hidup (life long education) tampaknya harus mendapat perhatian yang lebih memadai di masa mendatang 2. Pendidikan di Indonesia saat ini dari sentralisasi menuju desentralisasi Muncul dari pihak bawah (desentralisasi) pendidikan itu terlaksana dengan penuh makna, dan tumbuh mengakar di masyarakat luas, ide pembaharuan pendidikan muncul dari pihak bawah (change from the grass roots) 3. Trilogi pendidikan yang mendesak bagi pendidikan global, terutama bagi negara berkembang, yaitu: (1) Demokratisasi pendidikan, (2) Modernisasi pendidikan dengan menghormati identitas budaya, dan (3) Adaptasi pendidikan dengan tuntutan pekerjaan produktif searah dengan kebutuhan lapangan kerja DAFTAR RUJUKAN Fiske, Edward B. 1998. Arah Pembangunan Desentralisasi Pengajaran Politik dan Konsesnsus. Jakarta: Gramedia. Hannaway, D. dan Reynold (ed). 1994. Decentralization and School

23

Improvement: Can We Fulfill the Promise ? San Fransisco: Jossey Bass Publisers. Nasution, N. 2000. Strategi Belajar Mengajar. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta:Universitas Terbuka. Nasution, N. 2000. Psikologi Pengajaran. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta:Universitas Terbuka. Robinson Situmorang, dkk. 2005. Desain Pembelajaran. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta:Universitas Terbuka. Suciati, dkk. 2002. Belajar dan Pembelajaran 2. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta: Universitas Terbuka.

Syamsudin, A. 2002. Profesi Keguruan 2, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta: Universitas Terbuka. Tisno Hadi Subroto. 2005. Pembelajaran Terpadu. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta: Universitas Terbuka. Udin Saripudin S Winataputra. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta:Universitas Terbuka. Undang-Undang Republik Indonesia. 2003. Bandung:Citra Umbara Wahyudin, D. 2002. Pengantar Pendidikan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Jakarta: Universitas Terbuka. Winkel, W.S. 1989. Psikologi Pengajaran. Jakarta:Bina Aksara.

24

PENERAPAN PENDEKATAN PENGALAMAN BAHASA DALAM PEMBELAJARAN BACA-TULIS PADA KELAS AWAL DI SD LABORATORIUM IKIP MALANG oleh Suparti*) Abstrak: Baca-tulis menjadi penekanan pembelajaran di SD. Penelitian ini mengkaji pembelajaran baca-tulis di kelas awal berdasarkan pendekatan pengalaman bahasa (PPB) yakni membiasakan para siswa untuk selalu membaca dan menuliskan pengalamannya. Masalah umum penelitian ini yakni bagaimanakah guru menerapkan PPB dalam pembelajaran baca-tulis pada kelas awal di SD LABORATORIUM IKIP MALANG. Tujuan penelitian ini yakni mendapatkan deskripsi tentang (1) teknik penyajian materi baca-tulis berdasarkan PPB, (2) bentuk interaksi guru siswa dalam pembelajaran baca-tulis berdasarkan PPB, (3) jenis penilaian yang diterapkan, (4) hambatan-hambatan yang ditemui dan upaya mengatasinya, dan (5) minat siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk mengembangkan kemampuan baca-tulis, guru menerapkan PPB dalam pelaksanaan pembelajarannya. Teknik pembelajaran yang diterapkan adalah teknik ceramah, tanya jawab, diskusi, dan penugasan. Interaksi yang dibangun guru yakni interaksi searah, dua arah, dan multi arah. Dua cara penlaian dilakukan guru yakni penilaian proses dan penilaian hasil. Hambatan yang ditemui guru yakni kurangnya waktu ntuk mengetahui kekuatan dan kelemahan siswa. Guru tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengadakan koreksi terhadap tulisan siswa. Upaya yang dilakukan guru untuk mengatasi hambatan tersebut yakni melakukan pemeriksaan terus-menerus setiap ada kesempatan dan pada saat istirahat. Dengan PPB, siswa memiliki minat yang tinggi untuk belajar baca-tulis.

Kata-kata kunci: pendekatan pengalaman bahasa, baca-tulis, kelas awal. Pendahuluan Masyarakat Indonesia pada umumnya masih berada dalam proses transisi dari budaya lisan ke budaya tulisan. Kecenderungan masyarakat untuk lebih banyak berbahasa lisan daripada berbahasa tulis masih sering ditemui dalam memanfaatkan waktu luangnya. Disebutkan oleh Baradja (2000) bahwa kebiasaan baca-tulis belum berkembang dengan baik pada masyarakat. Padahal, kebiasaan bacatulis sangat menunjang pemerolehan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Baca-tulis memiliki peranan penting dalam kehidupan. Membaca merupakan sarana bagi manusia untuk mengembangkan jiwanya. Jika seseorang terampil dan suka membaca maka ia memiliki kesempatan untuk mengenal dan memahami dunianya dengan lebih cermat dan teliti. Kecermatan dan ketelitianini akan mengembangkan jiwa secara lebih baik. Mengingat pentingnya peranan baca-tulis dalam kehidupan, suda selayaknya baca-tulis dikembagkan dalam pembelajaran mulai sekolah dasar (SD) sampai perguruan tinggi (PT).

*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya

25

Pembelajaran baca-tulis permulaan (MMP) di kelas I SD diarahkan agar siswa memiliki kegemaran dan keterampilan baca-tulis untuk meningkatkan pengetahuan dan memanfaatkannya dalam kehidupan seharihari (Depdikbud, 1995). Yang hendaknya diperhatikan adalah bagaimanakah menyediakan fasilitas pembelajaran baca-tulis bagi pembelajar pemula agar mereka memiliki kegemaran/minat untuk mengikuti pembelajaran dengan rasa senang dan tidak tertekan. Pembelajaran baca-tulis dapat diciptakan dengan melibatkan siswa sebanyakbanyaknya untuk mengungkapkan pengalaman bahasa mereka. Dikatakan oleh Jalongo (1992) bahwa penggunaan pengalaman bahasa siswa akan membangkitkan kesadaran pribadi yang positif. Melalui pengalaman bahasanya, siswa dapat mengawali kegiatan menulisnya dengan rasa senang. Mereka menulis apa yang dirasakan dan dipikirkannya kemudian mereka membaca apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Hal itu menguatkan pendapat Ellis, dkk. (1989) bahwa skemata (pengetahuan awal) siswa sangat baik untuk bekal pembelajaran membaca dan menulis. Pendekatan pengalaman bahasa (PPB) merupakan suatu pendekatan dalam belajar bahasa dengan didasarkan pada beberapa kerangka teori. Kerangka teori yang digunakan sebagai acuan ialah teori belajar bahasa yang dikemukakan oleh Goodman (1996) bahwa belajar bahasa akan berlangsung dengan mudah jika bersifat nyata, relevan, bermakna, dan kontekstual. Hal itu sejalan dengan teori pengalaman bahasa yang dikemukakan oleh Allen (1976). Pembelajaran dilaksanakan dengan mengajak para siswa untuk menceritakan pengalamannya, menuliskan ceritanya, dan membaca yang ditulisnya. Kajian Pustaka Hakikat Pendekatan Pengalaman Bahasa Pendekatan Pengalaman Bahasa (PPB) merupakan pendekatan dalam pembelajaran

bahasa utamanya pada baca-tulis. PPB berpedoman pada penggunaan pengalaman bahasa siswa-siswa sebagai bahan belajar. Dinyatakan oleh Combs (1996) bahwa pembelajaran bahasa merupakan suatu keutuhan dan kepaduan, keterampilan membaca dipadukan dengan keterampilan menyimak, berbicara, dan menulis. Dalam pembelajaran berdasarkan PPB, guru membelajarkan membaca kepada siswa melalui karangan-karangan yang dikembangkan oleh seorang siswa atau sekelompok siswa atau secara klasikal dengan bimbingan guru. Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi (Depdikbud, 1995). Oleh karena itu, pembelajaran bahasa hendaknya diarahkan untuk tujuan komunikasi. Sejalan dengan tujuan pembelajaran bahasa tersebut, dikemukakan Combs (1996) bahwa PPB menekankan pada komunikasi, bahan belajar yang dikembangkan dalam cerita merupakan pengalaman bahasa siswa. Pada kelas awal, ketika para siswa belum lancar baca-tulis, guru dapat membantu mereka untuk menuliskan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh siswa. Oleh karena itu, belajar membaca hendaknya selalu didahului oleh kegiatan menyimak dan berbicara. Melalui berbicara dan menyimak siswa dapat menguasai bahasa yang ada di lingkungannya. Kegiatan berbahasa termasuk membaca ditentukan oleh faktor-faktor di antaranya persepsi, latar pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi (Jalongo, 1992). Oleh karena itu pengalaman berbahasa siswa akan menentukan kegiatan pembelajaran bahasa. Pengalaman berbahasa lisan siswa yang baik akan merupakan bekal dalam pembelajaran bahasa tulis. Dalam PPB, baca-tulis dikonsepsikan sebagai suatu proses yang dimulai sejak kecil. Kemampuan baca-tulis dibangun melalui keterampilan pemahaman secara lisan,

*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya

26

kepekaan terhadap lingkungan, dan kesadaran metalinguistik (Jalongo, 1992). Landasan Teori PPB merupakan pendekatan alamiah yang berpangkal dari wawasan whole language dan teori pengalaman bahasa (Jalongo, 1992; Spodek, 1993). Whole language merupakan suatu pandangan tentang hakekat proses belajar bahasa yang dikembangkan dari berbagai wawasan dan hasil penelitian dari berbagai disiplin ilmu dan dikembangkan dari pengalaman praktis para guru (Syafi'ie, 1995). Tesis-tesis yang mendasari pandangan whole language bersumber dari teori belajar bahasa, teori ilmu bahasa, dan teori pembelajaran bahasa. Teori Belajar Bahasa Beberapa tesis yang bersumber dari teori belajar bahasa yang mendasari whole language sebagai berikut. (1) Belajar bahasa akan berlangsung dengan mudah bagi siswa apabila belajar bahasa itu bersifat menyeluruh, nyata, relevan, bermakna, fungsional, disajikan dalam konteks pemakaian yang sesungguhnya, dan siswa menggunakannya. (2) Pemakaian bahasa bersifat individual dan sosial. Pemakaian bahasa didorong dari dalam diri anak sendiri oleh adanya kebutuhan untuk berkomunikasi, disusun, dan diekspresikan sesuai dengan norma-norma dalam kehidupan masyarakat. (3) Siswa belajar melalui bahasa dan belajar tentang bahasa yang semuanya berlangsung secara simultan dalam konteks pemakaian bahasa secaralisan dan tulis yang bersifat otentik dalam peristiwa komunikasi. (4) Belajar bahasa adalah belajar membangun makna sesuai dengan konteks. (5) Perkembangan bahasa adalah suatu proses pembentukan kemampuan personal-sosial yan bersifat holistik (Goodman, 1986; Spodek, 1994; Syafi'ie, 1995). Pada dasarnya dalam sebuah teori belajar bahasa terdapat tiga prinsip yakni prinsip komunikasi, prinsip tugas, dan prinsip kebermaknaan (Richards and Rodger, 1986:71). Prinsip komunikasi mengacu pada kegiatan yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang dapat meningkatkan proses belajar mengajar. Prinsip tugas mengacu pada kegiatan pemakaian bahasa untuk melaksanakan tugas yang bermakna yang

dapat meningkatkan proses belajar mengajar. Prinsip kebermaknaan mengisyaratkan bahwa bahasa yang bermakna dapat meningkatkan proses belajar mengajar. Implikasi dari ketiga prinsip tersebut adalah kegiatan belajar harus diseleksi dengan mengutamakan keterlibatan siswa dalam kegiatan pemakaian bahasa yang otentik dan bermakna bukan sekedar melatih pola-pola tertentu yang bersifat mekanis. Proses belajar bahasa dapat diperoleh secara alamiah/ informal dan formal. Proses belajar secara alamiah/ informal diperoleh melalui komunikasi sehari-hari atau komunikasi yang sebenarnya. Proses belajar secara formal diperoleh di lingkungan sekolah melalui belajar. Pembelajaran dalam lingkungan formal pada umumnya mengutamakan penguasaan kode-kode formal atau bentuk bahasa, sedangkan dalam lingkungan alamiah mengutamakan isi pesan komunikasi (Burt dan Dulay, 1981:178). Belajar bahasa seyogyanya berlangsung secara alamiah. Oleh karena itu dalam lingkungan formal, pembelajaran hendaknya diutamakan daripada pengajaran. Mengajarkan bahasa pada hakikatnya adalah menciptakan kondisi yang bersifat kondusif yang memungkinkan terjadinya proses belajar bahasa para siswa (Syafi'ie, 1996). Pusat kegiatan belajar mengajar adalah siswa karena siswalah yang belajar. Pembelajaran yang sesuai adalah pengelolaan cara belajar siswa aktif. Guru berperan sebagai sumber informasi dan fasilitator yang bertugas menciptakan kemudahan-kemudahan bagi para siswa untuk menggunakan bahasa dalam fungsi komunikasi. Belajar bahasa termasuk di dalamnya baca-tulis akan lebih mudah dan berlangsung dengan baik apabila dipelajari dalam konteks yang alamiah (Goodman, 1986). Pembelajaran hendaknya mengoptimalkan siswa untuk berperan aktif dalam kegiatan belajar (Joni, 1991). Aplikasi dalam pembelajaran bacatulis, yaitu siswa diberi kesempatan untuk baca-tulis dengan tujuan nyata, mengaitkan pengalaman dalam pembelajarannya. Teori Ilmu Bahasa Beberapa tesis yang bersumber dari ilmu bahasa adalah sebagai berikut. (1) Bahasa adalah suatu sistem lambang makna dalam masyarakat. Baik dalam bentuk lisan maupun tulis pada hakikatnya bahasa adalah suatu

*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya

27

sistem lambang yang kompleks yang digunakan oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan. (2) Pemakaian bahasa bersifat individual dan sosial. Bersifat individual, artinya bahasa dipakai oleh individu untuk menyatakan gagasan, mengungkapkan perasaan, menyampaikan informasi, dan melalui bahasa individu dapat menerima pesan komunikasi. Bersifat sosial, artinya pemakaian bahasa selalu dalam konteks komunikasi yang terjadi di masyarakat. (3) Bahasa adalah suatu sistem yang terdiri atas subsistem yang saling berhubungan dan merupakan suatu kesatuan. (4) Pemakaian bahasa bersifat prediktif, digunakan dalam wujudnya yang menyeluruh. Artinya, dalam memakai bahasa (pemahaman dan penggunaan) kita dapat menggunakan unsur-unsur kebahasaan yang sesuai untuk memperkirakan bentuk atau makna yang akan diperoleh dari suatu teks (Goodman, 1986; Syafi'ie, 1995). Teori Pembelajaran Bahasa Pandangan-pandangan dasar tentang belajar-mengajar adalah sebagai berikut. (1) Belajar lebih ditekankan daripada mengajar. Mengajar bahasa pada hakikatnya adalah menciptakan kondisi yang bersifat kondusif yang memungkinkan terjadinya proses belajar bahasa di kalangan siswa. Pusat kegiatan belajar mengajar adalah siswa, karena siswalah yang belajar. Pengelolaan belajar didasarkan pada pengelolaan belajar siswa aktif. Guru bahasa tidak hanya sebagai sumber informasi, lebih daripada itu, guru bahasa berperan sebagai fasilitator yang mampu menciptakan kemudahan-kemudahan yang menunjang proses belajar bagi para siswa. (2) Para siswa diharapkan belajar baca-tulis demikian mereka belajar wicara. Ini terjadi secara gradual (pelan tapi meningkat), alamiah tanpa banyak pengarahan secara langsung, dan lebih banyak didorong daripada dikoreksi. (3) Para siswa baca-tulis setiap hari. Mereka tidak ditugasi membaca bacaan yang artifisial, atau menulis sesuatu yang tidak mempunyai tujuan yang nyata. (4) Membaca, menulis, berbicara, dan menyimak tidak dipandang sebagai komponen keterampilan berbahasa yang terpisah-pisah dan diajarkan sendiri-sendiri (Goodman, 1986; Syafi'ie, 1995) Teori Pengalaman Bahasa Teori pengalaman bahasa, pada awalnya, memegang konsep bahwa belajar

membaca merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan proses perkembangan bahasa (Oka, 1983, Rubin, 1993). Membaca tak dapat dipisahkan dari kegiatan menyimak, berbicara, dan menulis. Oleh karena itu belajar membaca dikaitkan dengan belajar berbicara, menyimak, dan menulis dengan penekanan pada pengembangan kemampuan berpikir dan kemampuan pengungkapan bahasa. Allen mengemukakan asumsi yang mendasari teori pengalaman bahasa yakni "apa yang dapat saya pikirkan, dapat saya bicarakan. Apa yang dapat saya katakan dapat saya tuliskan atau orang lain tulis untuk saya. Apa yang dapat saya tulis dapat pula saya baca. Saya dapat membaca apa yang saya tulis atau orang lain tulis untuk saya" (Allen, dalam Smith, 1980). Asumsi itu berpangkal pada pandangan bahwa membaca merupakan pengalaman bahasa, yaitu proses perkembangan menterjemahkan pengalaman ke dalam bahasa lisan dan bahasa tulis (Oka, 1983). Berdasarkan teori pengalaman bahasa, PPB mencakup semua kemampuan bahasa dan menekankan pada dasar komunikasi secara keseluruhan (Olson, 1992; Combs, 1996). Latar belakang pengalaman siswa ketika datang di sekolah meru pakan titik awal pembelajaran formal dalam belajar baca-tulis. Pengalaman berbahasa siswa akan merupakan respon yang baik dari stimulus yang diberikan oleh guru (Jalongo, 1992). Belajar merupakan hasil serentetan stimulan dan respon dan proses belajar akan dipengaruhi oleh frekuensi pengontrolan (Gredler,1991). Karakteristik dan Prosedur Pembelajaran PPB Pada hakikatnya pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kompetensi komunikatif yakni kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis (Depdikbud, 1993:21). Aspek-aspek yang tercakup dalam pembelajaran bahasa ialah menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat aspek tersebut dikembangkan bersama-sama sejak kelas I SD dan penekanan pada kemampuan baca-tulis. Pembelajaran akan lebih mudah bagi siswa jika belajar bahasa itu bersifat nyata, relevan, kontekstual, dan bermakna (Goodman, 1984). Pembelajaran baca-tulis dengan PPB menekankan pada komunikasi serta

*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya

28

menggabungkan kegiatan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Anak-anak berpikir, berbicara, menuliskan, kemudian membacanya. Bahasa dan pemikiran mereka digunakan sebagai dasar untuk belajar bacatulis. Materi baca-tulis adalah hal-hal yang mereka alami dan mereka ketahui serta ada di sekitar mereka (Combs, 1996). PPB mengacu langsung pada pengalaman dan bahasa siswa (Dixon & Nessel, 1983, Smith, 1985). Belajar membaca dengan PPB didasarkan pada asumsi bahwa minat, pengalaman, dan pengetahuan tentang nilai pribadi akan menciptakan motivasi dalam belajar membaca. Membaca akan lebih mudah dan menyenangkan jika bahasa yang digunakan sesuai dengan bahasa pembaca (Nessel & Jones dalam Combs, 1996:216). Karena materi belajar berasal dari mereka maka variasi-variasi kegiatan belajar akan lebih menarik untuk diajarkan, berguna, dan tepat sasaran. Langkah pembelajaran baca-tulis dengan PPB meliputi kegiatan: (1) penjajakan, (2) pembahasan, (3) penulisan, (4) penyempurnaan, dan (5) pemanfaatan (Olson, 1992; Sujana, dalam Muchlisoh, 1993; Dixon & Nessel 1983). Berikut ini dipaparkan lima tahapan pembelajaran baca-tulis dengan PPB. (1) Penjajakan Sebelum pelajaran (kegiatan inti pembelajaran) dimulai, guru menjajaki latar belakang pengetahuan dan pengalaman bahasa siswa. Guru mengidentifikasi kebutuhan dan minat mereka. Guru memotivasi mereka untuk berpikir dan berbicara. Hal itu dapat dilakukan dengan menunjukkan gambar, melalui pengalaman langsung, atau melalui penjelasan verbal, serta bertanya jawab. (2) Pembahasan Murid bersama-sama guru mendikusikan pengalaman mereka. Guru mengarahkan para siswa untuk berinteraksi. Apabila murid kesulitan mengungkapkan hal yang mereka pikirkan, guru memancing dengan pertanyaan-pertanyaan. Guru membimbing siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penuntun. Pembahasan dapat dilakukan secara kelompok atau klasikal dengan bimbingan guru. (3) Penulisan

Menuliskan pengalaman sendiri merupakan hal yang sangat menyenangkan. Jika siswa belum dapat menulis, guru dapat menuliskan kata dan kalimat yang dituturkan oleh para siswa. Guru mengarahkan agar kalimat-kalimat yang dibuat oleh siswa dapat tersusun menjadi suatu cerita. Penulisan dapat dilakukan secara klasikal, dalam kelompok kecil, atau individual. Hal itu terutama bertujuan untuk menjadikan baca-tulis sebagai keterampilan yang bermakna dan mudah dimengerti oleh siswa. Sebagaimana dikemukakan oleh Jalongo (1992) bahwa pengalaman dan pengetahuan siswa berbahasa akan membangkitkan kesadaran pribadi yang positif. (4) Penyempurnaan Ketika menuliskan kata dan kalimat di papan tulis, guru tidak mengubah bahasa siswa meskipun terdapat kesalahan. Para siswa diberi kesempatan untuk membaca bacaan yang telah dibuat bersama-sama. Pembetulan dilakukan pada tahap penyempurnaan ini. Guru bersama siswa menyempurnakan bahasa dan struktur kalimat yang kurang tepat. (5) Pemanfaatan Menghasilkan suatu tulisan merupakan kebanggaan tesendiri bagi para siswa terutama bagi siswa yang belum lancar baca-tulis. Pembelajaran baca-tulis berdasarkan pengalaman bahasa mereka akan lebih menarik (Jalongo, 1992). Bacaan yang telah disempurnakan dapat digunakan untuk melatihkan keterampilan baca-tulis. Misalnya membaca dengan lafal dan intonasi yang benar, membaca kelompok kata, membaca kalimat, membaca paragraf, serta menambah kosakata siswa melalui pencarian sinonim atau antonim. Kelas akan mempunyai banyak bacaan apabila penulisan dilakukan secara berkelompok atau individual. Untuk melatihkan keterampilan membaca, guru dapat memilih cerita sebagai bahan pembelajaran membaca sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pada saat itu. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan penerapan PPB dalam pembelajaran baca-tulis yang dilaksanakan oleh guru kelas I SD LABORATORIUM IKIP MALANG. Rancangan penelitian ini disebut

*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya

29

juga studi kasus kualitatif-deskriptif. Yang menjadi subjek penelitian ini adalah guru dan siswa kelas Ia SD LABORATORIUM IKIP MALANG. Masalah umum dalam penelitian ini adalah bagaimanakah guru menerapkan PPB dalam pembelajaran baca-tulis pada kelas awal di SD LABORATORIUM IKIP MALANG. Tujuan penelitian ini yakni mendapatkan deskripsi tentang (1) teknik penyajian materi baca-tulis melalui PPB, (2) bentuk interaksi guru siswa dalam pembelajaran menulis melalui PPB, (3) jenis penilaian yang diterapkan, (4) hambatanhambatan yang ditemui dan upaya mengatasinya, dan (5) minat siswa. Data penelitian diambil dari sumber data berupa perilaku guru dan siswa dalam pembelajaran baca-tulis yang terwadahi dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Sumber data perilaku guru dan siswa diperoleh dengan cara mengamati dan mencatat perilaku dalam pembelajaran, serta merekam cakapan yang terjadi dalam pembelajaran baca-tulis di kelas. Dalam hal ini peneliti melibatkan diri sebagai pengamat. Data pelaksanaan dan penilaian dikumpulkan dengan menggunakan teknik pengamatan, catatan penelitian, dan wawancara. Data hambatan dan upaya pemecahannya, serta minat siswa dikumpulkan dengan teknik pengamatan dan wawancara. Peneliti berlaku sebagai instrumen utama dalam penelitian. Untuk mendapatkan data yang absah, peneliti menggunakan alat perekam, angket, daftar wawancara, catatan penelitian. Dalam penelitian ini, alat perekam yang digunakan adalah alat perekam suara (tape recorder). Data-data yang diperoleh dianalisis secara induktif dan berkesinambungan. Model yang digunakan adalah Model Miles dan Huberman (1993). Untuk menganalisis data digunakan pedoman penganalisisan. Pedoman penganalisisan disusun berdasarkan teori pengajaran pendekatan pengalaman bahasa yang bersumber dari pendekatan whole language. Kegiatan analisis data diawali dengan mengidentifikasi korpus data yang sesuai dengan rambu-rambu penerapan PPB. Kemudian data-data yang sesuai dideskripsikan berdasarkan indikator dan deskriptornya. Selanjutnya ditentukan kategori penerapan PPB pada setiap komponen yang

diteliti. Kegiatan akhir adalah menyimpulkan hasil analisis data. Alur kegiatan analisis data dipaparkan pada bagan 1. PENGUMPULAN DATA Pengamatan, Perekaman, Wawancara

REDUKSI DATA (1) Mentranskripsi dan memilih data (2) Memberi kode, antara lain: TEK : Penyajian Pembelajaran Menulis PEN : Penilaian Pembelajaran Menulis (3) Menyusun data

PAPARAN DATA (1) Penyajian Pembelajaran Menulis (2) Penilaian Pembelajaran Menulis

VERIFIKASI Penyajian, penilaian Pembelajaran menulis Cukup

belum cukup

PENARIKAN SIMPULAN AKHIR Penyajian, penilaian Pembelajaran menulis

Bagan 1 Alur kegiatan analisis data (modifikasi dari Miles dan Huberman 1993:22) Hasil dan Pembahasan Berdasarkan data yang terkumpul diperoleh hasil sebagai berikut. KBM dirancang oleh guru telah menerapkan PPB dengan baik. Siswa dilibatkan secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran. Guru berperan sebagai pengarah, pembimbing, dan fasilitator belajar. Penjelasan diberikan oleh guru untuk menguatkan dan memantapkan kegiatan baca-tulis siswa. Pemilihan Media dan Sumber Belajar (MSB) belum menerapkan PPB dengan baik dan sempurna. MSB utama yang dipilih oleh guru berupa buku teks. Isi buku teks yang diambil sebagai bahan belajar berupa bacaan dan gambar-gambar. Majalah anak-anak (Bobo) dipilih hanya sebagai bahan

*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya

30

pengayaan. Isi majalah yang dimanfaatkan berupa kalimat-kalimat. Dalam pelaksanaan, guru menerapkan PPB pada Teknik Penyajian Materi (TPM) dengan sangat baik. Guru banyak menggunakan teknik tanya jawab. Guru melibatkan siswa dengan memberikan kesempatan untuk menggunakan bahasa melalui tanya jawab. Guru berperan sebagai fasilitator belajar. Teknik ceramah digunakan oleh guru pada kegiatan awal sebagai pengarahan dan pada bagian akhir sebagai penguatan/pemantapan terhadap kegiatan yang telah dilakukan. Teknik diskusi tidak digunakan dalam pembelajaran baca-tulis pada kelas awal ini. Pola/bentuk interaksi dalam kelas telah menerapkan PPB dengan baik. Interaksi yang lebih banyak diterapkan adalah interaksi dua arah yakni interaksi guru-siswa dan siswa-guru. Interaksi searah dan multi arah tidak sering terjadi. Dalam kegiatan interaksi, guru berperan sebagai kokomunikator dalam pembelajaran. Dalam penilaian, guru telah menerapkan PPB dengan baik. Terdapat dua macam penilaian yakni penilaian proses dan penilaian hasil belajar. Penilaian proses berbentuk pertanyaan dan tugas-tugas. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kemajuan belajar baca-tulis para siswa. Pada setiap kali tatap muka, siswa ditugasi untuk menuliskan pengalaman dan membacakannya. Siswa dilatih untuk menemukan sendiri kesalahannya melalui pembacaan kembali tulisannya. Dalam penyelenggaraan pembelajaran baca-tulis ini, terdapat hambatan yang ditemui oleh guru yakni waktu dan media belajar. Guru merasa kekurangan waktu untuk membuat perencanaan mengajar tertulis dan waktu untuk mengoreksi tulisan siswa. Untuk mengatasi hambatan berupa waktu ini, guru menyikapi dengan cara mempelajari kurikulum, buku teks, dan membuat persiapan ringkas. Persiapan secara rinci dibuat pada saat sekolah libur. Berkaitan dengan koreksi tulisan siswa, guru melakukannya pada saat-saat istirahat dan setelah para siswa pulang dari sekolah usai jam terakhir (intra maupun ekstra kurikuler). Berkaitan dengan hambatan berupa media, guru mengatasinya dengan cara memanfaatkan gambar-gambar yang ada pada buku teks, membuat gambar di papan tulis,

memanfaatkan gambar-gambar yang ada pada majalah kelas dan sekolah. Minat para siswa dalam belajar baca-tulis sangat bagus. Mereka membaca dan menuliskan pengalaman mereka dengan suka cita. Mereka tidak merasa tertekan untuk melakukannya. Penutup Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan sebagai berikut. Perencanaan mengajar berdasarkan PPB dibuat oleh guru agar pelaksanaan pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar. Pelaksanaan pembelajaran membaca dan menulis diupayakan oleh guru dengan memanfaatkan pengalaman bahasa siswa. Pembelajaran berdasarkan pengalaman bahasa (PPB) diterapkan oleh guru dengan menggunakan metode tanya jawab dan diskusi. Metode ceramah hanya digunakan untuk memberikan arahan bagi siswa tentang apa yang harus mereka lakukan. Metode tanya jawab dan diskusi sebagai kegiatan utama dilakukan untuk memancing siswa agar menggunakan pengalaman bahasa yang dimilikinya dalam kegiatan membaca dan menulis. Guru mengupayakan pembelajaran berlangsung dalam interaksi belajar dua arah dan multi arah. Situasi pembelajaran diupayakan oleh guru secara alamiah agar siswa tidak merasa tertekan sehingga mereka dapat mengungkapkan pengalaman bahasanya secara lancar. Kendala yang dihadapi guru berkaitan dengan waktu dan media belajar. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diajukan beberapa saran. Pertama, sebelum menyajikan materi membaca-menulis guru hendaknya menyusun perencanaan pengajaran yang mengutamakan pengalaman bahasa siswa sebagai bekal untuk guru hendaknya membuat persiapan mengajar tertulis atau tidak tertulis secara rinci dengan mengutamakan pada pengalaman bahasa siswa. Tujuan, kegiatan belajar, media dan sumber belajar, serta penilaian yang direncanakan hendaknya didasarkan pada PPB. Media dan sumber belajar yang dipilih hendaknya bukan hanya dari buku teks tetapi dari berbagai sumber. Kedua, hendaknya guru menerapkan perencanaan mengajar berdasarkan PPB dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas. Guru menempatkan perannya sebagai pembimbing, pengarah, dan inovator sekaligus sebagai pemberi kemudahan siswa belajar baca-tulis.

*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya

31

Guru hendaknya memberikan fasilitas belajar dengan memberi kemudahan kepada siswa untuk mengungkapkan pengalaman bahasa mereka serta menciptakan situasi yang bebas tanpa tekanan. Rujukan Allen, van R. 1976. The Language Experience Approach to Reading Instruction. Boston: Ginn and Company. Baradja, M.F. 2000. Sekilas Mengenai Penelitian Kelas. Makalah Disajikan dalam Kuliah Perdana Mahasiswa PPS UM 6 September 2000. Combs, M. 1996. Develoing Competent Reader and Writers in the Primary Grades. Englewood Cliff: Prentice Hall, Inc. Depdikbud. 1995. Kurikulum Pendidikan Dasar: Landasan, Program, dan Pengembangan. Jakarta: Depdikbud. Dixon, Carol N. and Nessel, Denise. 1983. Language Experience Approach to Reading and Writing: Language-Experience Reading for Second Language Learners. Englewood Cliffs: Prentice Hall. Ellis, Arthur, Joan Pennau, Timothy Standal, Mary Kay Rummel. 1989. Elementary Language Arts Instruction. Englewood Cliffs: Prentice Hall. Goodman, Kenneth. 1986. What’s Whole in Whole Language?. Ontario: Scholastic. Gredler. 1991. Belajar dan Pembelajaran. Jalongo, Mary Renck. 1992. Early Childhood Language Arts. Boston: Allyn and Bacon. Joni, T. Raka. 1983. Cara Belajar Siswa Aktif, Wawasan Kependidikan, dan Pembaharuan Pendidikan Guru. Malang: IKIP Malang. Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael. 1993. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. London: Sage Publications, Inc.

Richards, Jack C. and Rodgers, Theodore S. 1986. Approaches and Methods in Language Teaching: A Description and Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Syafi’ie, 1996. Prinsip-prinsip Pengajaran Bahasa Indonesia di SD Berdasarkan Kurikulum 1994. Makalah disajikan dalam Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia di SD Berdasarkan Kurikulum 1994, 13 Januari 1996. PPS IKIP MALANG. Muchlisoh. 1993. Perkembangan Anak. Jakarta: Depdikbud

*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya

32

EFEKTIVITAS SISTEM BELAJAR JARAK JAUH DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR* Oleh: Lukiyadi** Abstrak

Penelitian evaluasi ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ) pada Program D-II Pendidikan Guru Sekolah Dasar (DII-PGSD) dilihat dari aspek: (1) efektivitas pengelolaan program; (2) efektivitas pengelolaan tutorial; dan (3) prestasi belajar mahasiswa mencakup: tingkat kelulusan mata kuliah per semester, Indeks Prestasi Semester (IPS), Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), dan kelulusan akhir program. Penelitian dilakukan pada program DII-PGSD Universitas Terbuka dengan sampel terdiri dari empat orang pengelola pokjar yang dipilih berdasarkan teknik “proportional stratified-cluster-area random sampling” dan dan 106 orang mahasiswa yang dipilih berdasarkan teknik “proportional area random sampling”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) efektivitas pengelolaan program DII-PGSD termasuk kategori baik; (2) efektivitas pengelolaan tutorial termasuk kategori sedang; (3) prestasi belajar mahasissa bervariasi, namun secara keseluruhan belum memuaskan. Kata kunci: efektivitas, sistem belajar jarak jauh, Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).

A. Pendahuluan Dalam rangka peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia, pendidikan memiliki posisi dan peran yang sangat mendasar dan strategis dalam kerangka pembangunan nasional yang berorientasi pada manusia (Depdikbud, 1996). Agar pendidikan dapat menjalankan peran dalam kerangka pembangunan nasional tersebut, upaya peningkatan kualitas guru Sekolah Dasar (SD) merupakan suatu keniscayaan. Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar Setara D.II Universitas Terbuka (DII-PGSD) melalui Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ), merupakan salah satu program pemerintah yang sudah dijalankan sejak tahun 1990-1991 (UT, 1992).

profesionalisme para guru pada jenjang pendidikan dasar, khususnya SD sejalan dengan akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan pembangunan nasional, dan globalisasi (UT, 1992). Di sisi lain, hasil observasi dan pengalaman mengelola DII-PGSD menunjukan realitas, bahwa umumnya mahasiswa belum bisa belajar mandiri. Ada kecenderungan bahwa mahasiswa datang ke tempat tutorial hanya untuk mendengarkan penjelasan atau ceramah dari tutor. Sementara proses tutorialnya sendiri masih cenderung menggunakan sistem pengajaran konvensional. Jarang sekali mahasiswa belajar secara mandiri sesuai harapan yang diinginkan sesuai dengan konsep SBJJ.

Dasar penyelenggaraan DII-PGSD adalah untuk meningkatkan kualitas akademik dan *

diturunkan dari sebagian Tesis Penulis pada Program Magister Pendidikan dalam bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS). ** Dosen FKIP-UT dan Alumni UNIRA

33

Masalah penelitian adalah: (1) bagaimanakah efektivitas SBJJ dalam aspek pengelolaan program DII-PGSD? (2) bagaimana efektivitas SBJJ dalam aspek pengelolaan tutorial DII-PGSD? (3) bagaimana efektivitas SBJJ dilihat dari prestasi belajar mahasiswa DII-PGSD yang mencakup: tingkat kelulusan matakuliah per semester; Indeks Prestasi Semester (IPS); Indeks Prestasi Kumulatif (IPK); dan tingkat kelulusan akhir program? B. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan: (1) efektivitas SBJJ dalam pengelolaan program DII-PGSD; (2) efektivitas SBJJ dalam pengelolaan tutorial DII-PGSD; dan (3) efektivitas SBJJ dilihat dari hasil belajar mahasiswa DII-PGSD yang mencakup: tingkat kelulusan matakuliah per semester, IPS, IPK, dan kelulusan akhir program. Secara teoretik, hasil penelitian evaluasi ini bermanfaat bagi rekonseptualisasi pemikiran teoretik tentang SBJJJ pada penyelenggaraan DII-PGSD. Secara praktis, hasil penelitian evaluasi ini dapat dimanfaatkan oleh pelaksana program sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya meningkatkan efektivitas SBJJ pada program penyetaraan DII-PGSD Universitas Terbuka, khususnya dalam pengelolaan program dan tutorial yang lebih kondusif dan kontributif terhadap keberhasilan studi mahasiswa. Hasil penelitian evaluasi ini juga dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa agar lebih memahami karakteristik SBJJ guna lebih meningkatkan prestasi akademiknya. C. Tinjauan Pustaka Dalam berbagai kepustakaan, terdapat sejumlah istilah yang digunakan secara berganti pakai untuk sistem belajar jarak jauh (SBJJ), antara lain: pendidikan terbuka (open education), sekolah terbuka (open school), belajar terbuka (open learning), pendidikan korespondensi (correspondence education), sekolah korespondensi (correspondence school), belajar jarak jauh (distance learning), belajar korespondensi (correspondence learning) dan pendidikan udara (education of the air) dan lain-lain (Atwi Suparman,

1992:4). Terminologi-terminologi di atas, kadang-kadang membuat orang awan semakin bingung, orang awam hanya mengerti bahwa pendidikan jarak jauh, adalah pendidikan tanpa pengajar, yang hanya menggunakan diktat, buku, melalui siaran televisi/siaran radio, kegiatan siswanya hanya membaca, menonton televisi/ mendengarkan siaran radio. Dengan sudut pandang masingmasing, beberapa ahli mencoba memberikan penjelasan tentang pengertian pendidikan jarak jauh (PJJ) dilihat dari berbagai aspeknya. Dari aspek proses pembelajarannya, Steiner (tt:1) misalnya, mengemukakan bahwa, ”distance education is instructional delivery that does not constrain the student to be physically present in the same location as the instructor. Historically, distance education meant correspondence study. Today, audio, video, and computer technologies are more common delivery modes”. Bahwa PJJ adalah suatu modus pembelajaran yang tidak membatasi siswa secara fisik berada di tempat yang sama dengan instruktur. Secara historis, pendidikan jarak jauh berarti suatu pembelajaran melalui korespondensi, audio, video, dan teknologi komputer menjadi model pembelajaran yang lebih umum. Wedemeyer (Haryono, 2001) juga berpendapat bahwa PJJ dicirikan oleh aspekaspek: (1) siswa/peserta didik belajar terpisah dari guru/instruktur; (2) isi pelajaran disampaikan melalui tulisan atau media lainnya; (3) pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan individual dan proses belajar terjadi melalui kegiatan siswa/peserta didik; (4) belajar dapat dilakukan ditempat yang dianggap sesuai untuk siswa/peserta didik dilingkungannya sendiri; dan (5) siswa/peserta didik bertanggung jawab atas kemajuan belajarnya, dan mempunyai kebebasan dalam menentukan kapan akan mulai dan akan berhenti belajar, serta kebebasan dalam menentukan kecepatan belajarnya. Pendapat senada dikemukakan oleh Keegan (1991), bahwa PJJ memiliki karakteristik antara lain: (1) ada keterpisahan yang mendekati permanen antara tenaga pengajar (guru atau dosen) dari peserta ajar (siswa atau mahasiswa) selama program pendidikan; (2) ada keterpisahan yang

34

mendekati permanen antara seorang peserta ajar (siswa atau mahasiswa) dari peserta ajar lain selama program pendidikan; (3) ada suatu institusi yang mengelola program pendidikannya; (4) pemanfaatan sarana komunikasi baik mekanis maupun elektronis untuk menyampaikan bahan ajar; (5) penyediaan sarana komunikasi dua arah sehingga peserta ajar dapat mengambil inisiatif dialog dan mengambil manfaatnya.

kepada pemilihan program-program pendidikan, manajemen, pelayanan mahasiswa, anggaran dan teknik evaluasi program. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, PJJ diselenggarakan dengan maksud untuk memberikan kesempatan kepada khalayak (masyarakat) yang karena alasanalasan tertentu tidak dapat mengikuti pendidikan formal (biasa) yang bersifat konvensional.

Dari uraian karakteristik PJJ di atas, disimpulkan bahwa keterpisahan kegiatan pengajaran dari kegiatan belajar adalah ciri khas dari PJJ. Identifikasi ciri khas PJJ ini sejalan dengan pendapat Moore (1996) bahwa PJJ adalah sekumpulan metoda pengajaran di mana aktivitas pengajaran dilaksanakan secara terpisah dari aktivitas belajar. Pemisah kedua kegiatan tersebut dapat berupa jarak fisik, misalnya karena peserta ajar bertempat tinggal jauh dari lokasi institusi pendidikan. Pemisah dapat pula berupa jarak non-fisik yaitu keadaan yang memaksa seseorang yang tempat tinggalnya dekat dari lokasi institusi pendidikan namun tidak dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di institusi tersebut. Keadaan seperti ini terjadi misalnya karena pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.

D. Metode Penelitian

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, pendidikan jarak jauh adalah bentuk studi untuk semua tingkatan yang mendapatkan supervisi dari tutor seperti halnya pembelajaran biasa, serta tetap memberikan keuntungan pada siswa dengan perencanaan bimbingan melalui tutorial. Dengan pendidikan jarak jauh juga dapat memperluas kesempatan belajar untuk mentransformasi keahlian mengajar, membantu memperluas kesempatan belajar diluar ruang kelas dan kampus, sehingga memungkinkan terjadinya patungan keahlian mengajar secara lebih luas dibandingkan dengan apa yang didapat oleh guru dari sekolah manapun. Pembelajaran jarak jauh memungkinkan orang-orang yang ingin belajar, untuk belajar dimana saja mereka berada tanpa memandang umur, pekerjaan atau jarak dari pusat belajar. Dalam sistem pendidikan jarak jauh terdapat beberapa subsistem penting seperti pengembangan bahan ajar, tutorial dan ujian. Hal lain yang diarahkan pada peningkatan mutu, pendidikan jarak jauh biasanya terarah

Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi (evaluation research) (McMillan, & Schumacher, 2001) terhadap efektivitas SBJJ dalam penyelenggaraan program PGSD UT dilihat dari aspek: efektivitas pengelolaan program; (2) efektivitas pengelolaan tutorial; dan (3) prestasi belajar mahasiswa mencakup: tingkat kelulusan mata kuliah per semester, Indeks Prestasi Semester (IPS), Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), dan kelulusan akhir program. Sampel penelitian terdiri dari empat orang pengelola pokjar yang dipilih berdasarkan “proportional stratified-clusterarea random sampling”, dan 106 orang mahasiswa DII-PGSD tahun akademik 1999/2000 s.d 2002/2003, yang ditentukan dengan teknik “proportional area random sampling”. Penelitian dilakukan selama tiga bulan (Februari s.d April 2003), dan data dikumpulkan dengan metode angket dan dokumentasi. Data selanjutnya dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif persentase. E. Hasil dan Pembahasan 1. Efektivitas Pengelolaan Program Pengelolaan program DII-PGSD “sangat baik”, karena dari delapan komponen pengelolaan program yang dikaji, tujuh komponen dipandang “sangat jelas”, dan hanya satu komponen yang oleh para pengelola pokjar dipandang “kurang jelas”. Komponen-komponen pengelolaan program yang dipandang “sangat jelas” berkenaan dengan: (1) pedoman struktur organisasi penyelenggaraan dilingku-ngan program penyetaraan DII-PGSD yang telah ditentukan oleh pusat; (2) kebijakan pengelolaan untuk pengelola program; (3) kebijakan pengelolaan

35

untuk penanggung jawab pelaksana; (4) kebijakan pebgelolaan untuk pengelola administrasi proyek; (5) kebijakan pengelolaan untuk penanggung jawab program studi; (6) kebijakan pengelolaan untuk unit pelaksana program; dan (7) struktur organisasi di tingkat pokjar (Kabupaten/Kota/Kecamatan). Satu komponen pengelolaan program yang dipandang “kurang jelas”, berkenaan dengan “pembagian tugas pengelolaan program DIIPGSD yang telah ditentukan oleh pusat”. Kekurangjelasan pembagian tugas pengelolaan program terjadi pada tingkat penanggung jawab program, penanggung jawab pelaksana, pengelola administrasi proyek, pengelola program studi, dan pengelola unit pelaksana program, diduga sebagai akibat dari sentralisasi kebijakan pengelolaan program di tingkat pusat. Temuan di atas sejalan dengan hasil studi Musa, Sulistiorini, & Imawati (1993), Nurhasanah (1992), Wasono (1980), dan Kasroen (1992) yang menemukan bahwa sentralisasi kebijakan pengelolaan layanan registrasi, bahan belajar, dan ujian di UT Pusat, menyebabkan lamanya proses penyelesaian registrasi, pengiriman bahan ajar, dan ketersediaan dan penyelesaian TM dan LJTM dan pengirimannya, yang akhirnya dapat berakibat pada tidak diperolehnya kontribusi nilai dari TM. Terjadinya kesalahan-kealahan dalam pengisian formulir juga dapat berimplikasi pada keterlambatan pengiriman naskah tugas mandiri dan lembar jawaban tugas mandiri serta bukti registrasi kepada mahasiswa. Bagi UT Pusat pun, sentralisasi kebijakan layanan registrasi, bahan ajar, dan ujian sudah mencapai titik jenuh. Seperti dilaporkan oleh Mulyadijaya (1993) bahwa menjelang akan dilaksanakan ujian, surat-surat dan pesanan bahan belajar lewat surat maupun pelayanan langsung meningkat, sehingga memerlukan perhatian lebih. Bahkan kadang-kadang perlu tenaga tambahan. Ketahanan kerja ekstra dituntut akibat timbulnya kekeliruan yang cukup pahit yakni kesalahan-kesalahan rakit ataupun salah kirim. Yang sangat dikhawatirkan adalah timbulnya frustasi berkepanjangan dari mahasiswa karena lenyapnya kesempatan ikut ujian yang disebabkan pesanan bahan belajarnya terpaksa tidak diterima tepat waktu.

2. Efektivitas Pengelolaan Tutorial Pengelolaan tutorial program DIIPGSD secara keseluruhan dapat dikatakan “sedang”, karena dari sebelas komponen pengelolaan tutorial DII-PGSD yang dikaji, hanya tiga komponen yang dipandang “baik”; delapan komponen dipandang “sedang”; dan satu komponen dipandang “kurang”. Komponen-komponen pengelolaan tutorial yang dipandang “baik” adalah: (1) kepatuhan mahasiswa terhadap tata tertib tutorial; (2) keberadaan kelompok belajar mahasiswa untuk memecahkan permasalahan; dan (3) sosialisasi tata tertib tutorial bagi para mahasiswa. Sedangkan komponen-komponen pengelolaan tutorial yang dipandang “sedang” adalah: (1) kelayakan kondisi ruangan yang digunakan untuk tutorial; (2) kedekatan lokasi tempat tutorial dengan tempat tinggal mahasiswa; (3) partisipasi aktif mahasiswa dalam kelas tutorial; (4) komunikasi antara tutor dan mahasiswa dalam tutorial; (5) ketepatan waktu penerimaan modul oleh mahasiswa; (6) ketepatan waktu kehadiran mahasiswa dalam tutorial; (7) hubungan kerja antara tutor, mahasiswa, dan pengelola. Komponen pengelolaan tutorial yang dipandang “kurang” adalah “ketersediaan dan kelayakan alat penerangan di dalam kelas tutorial”. Dari hasil angket terbuka untuk para pengelola pokjar, juga diperoleh temuan masih lemahnya aspek-aspek pengelolaan tutorial, antara lain disebabkan oleh faktor-faktor: (1) kurangnya rasa percaya diri dan kemampuan mahasiswa dalam membagi waktu belajar; (2) kurangnya komunikasi antara tutor dengan pengelola pokjar yang cukup menghambat kelancaran pelaksanaan tutorial; (3) keterlambatan bahan ajar (modul) yang dipandang sangat mempengaruhi pengelolaan pembelajaran pada umumnya; (4) kurangnya partisipasi mahasiswa dalam proses tutorial. Para mahasiswa tidak membawa permasalahan yang akan dibahas di dalam tutorial, mereka hanya datang, duduk, dan mendengarkan penjelasan tutor (kurang memahami belajar mandiri), dan (5) berbagai tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh pengelola pokjar kadang-kadang berbenturan waktunya, sehingga kadang-kadang pula menjadi kendala dalam pengelolaan tutorial.

36

Dari sejumlah hasil penelitian, ada tiga aspek penting dalam pengelolaan tutorial yang dipandang kurang kondusif bagi terciptanya tutorial yang efektif, yakni: tingkat partisipasi aktif mahasiswa; komunikasi tutormahasiswa dalam tutorial; dan ketersediaan modul. Dari aspek tingkat partisipasi mahasiswa, sejumlah penyebabnya antara lain: (a) lemahnya kultur belajar dan pembelajaran mahasiswa (Zuhairi, 1995; Kadarko, 2000; Abdurrahman, dkk 1999; Darmayanti, 2001; Puspitasari, 2003); (b) ketidaksiapan mahasiswa mengikuti tutorial (Abdurrahman, dkk 1999; Farisi, 1996; Teguh, 2004; Sunaryo, 2005; Elison, 1990; Harsasi, 1993); (c) sikap dan persepsi Tutor yang tidak sejalan dengan konsep tutorial ideal (Teguh & Nazret, 2004; Tim, 1999a; 1999b; Teguh, 2004). Dari aspek ketersediaan modul, faktor yang paling krusial adalah ketidaktepatan waktu penerimaan modul oleh mahasiswa (Farisi, 1996; Sunaryo, 2005; Nawawi, 1993), dan kondisi modul ditengarai tidak sepenuhnya mendukung kemandirian belajar mahasiswa (Pannen, dalam Tim, 1999c). 3. Prestasi Belajar Mahasiswa Penelitian evaluasi terhadap efektivitas SBJJ dalam penyelenggaraan DIIPGSD dikaji dari aspek pencapaian prestasi belajar mahasiswa, mencakup indikator tingkat kelulusan mata kuliah per semester, IPS, IPK, dan kelulusan akhir program), menunjukkan hasil yang sangat variatif, dan belum sepenuhnya efektif. Prestasi belajar mahasiswa DII-PGSD bervariasi untuk masing-masing aspeknya (tingkat kelulusan mata kuliah per semester, IPS, IPK, dan kelulusan akhir program). Dilihat dari tingkat kelulusan setiap matakuliah per semester “tinggi”, dengan tingkat kelulusan rerata 84.78% atau rerata 15.22% yang tidak lulus. Mata kuliah yang tingkat kelulusannya di atas 70% sebanyak 19 (86.4%) mata kuliah dari total 22 mata kuliah yang ditempuh selama lima semester. IPS dalam lima semester, setiap semesternya “rendah” (1.89--2.6) dengan rerata 2.25 per semesternya. Interval IPS mahasiswa juga umumnya (57.1%) berada pada interval 2.00 – 2.75. Selain itu, IPS setiap semesternya terjadi “penurunan” dari semester I--III, yakni sebesar 0.22 pada semester I--II;

sebesar 0.1 pada semester II–III. Akan tetapi pada semester-semester selanjutnya terjadi “kenaikan” yakni sebesar 0.69 pada semester III–IV, dan sebesar 0.02 pada semester IV–V. IPK mahasiswa secara umum berada pada kategori “cukup” (68.9%), hanya 1.9% yang berkategori “memuaskan”. Akan tetapi, IPS dalam kategori “gagal” juga masih cukup besar yakni 29.2% atau sebanyak 31 orang. Tingkat kelulusan akhir program mahasiswa secara kuantitatif “sedang”, dengan persentase sebesar 70.8%. Akan tetapi, secara “kualitatif” “belum memuaskan”, karena 68.9% IPK yang dicapai berada pada rentangan 2.00–2.74 atau ”cukup”. Jumlah mahasiswa “gagal” atau “tidak lulus” dengan perolehan IPK pada kisaran 0.00--1.99 sebanyak 29.2%. Penelitian ini menemukan sejumlah korelat masih belum optimalnya pencapaian prestasi belajar mahasiswa, di antaranya adalah: (1) mata kuliah dengan tingkat kelulusannya sangat rendah atau dibawah 70% (tiga matakuliah), tampaknya disebabkan karena ketiga mata kuliah tersebut tidak mensyaratkan praktik/praktikum, sehingga nilai akhir mahasiswa hanya diperoleh dari nilai Tugas Mandiri (maks. 15%), dan UAS (65%), sementara kontribusi dari nilai praktik praktik/praktikum sebesar 15%--20% tidak diperoleh. (2) terjadinya kenaikan atau penurunan perolehan IPS pada setiap semester dari total lima semester, tampaknya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: besar kecilnya beban SKS yang ditempuh mahasiswa per semester; ada tidaknya matakuliah berpraktik/ berpraktikum pada setiap semesternya. Sejumlah studi lain tentang belum maksimalnya prestasi belajar mahasiswa DIIPGSD, juga menemukan sejumlah korelat, antara lain: rendahnya kualitas dan keterbacaan modul (Rumanta, 1991; Julaeha, dkk. dalam Tim, 1999b; Nuzia, 1990), rendahnya motivasi Belajar (Nawawi, 1993), kasus-kasus ujian--kesalahan dalam pengisian Lembar Jawaban Ujian (Mulyadijaya, 1993), dan belum efektifnya tutorial sebagai bentuk bantuan belajar mahasiswa dalam mengatasi kesulitan-kesulitan belajar mandiri. Sungguhpun demikian, fenomena rendahnya hasil belajar mahasiswa DII-PGSD dengan SBJJJ tampaknya bersifat mendunia,

37

seperti dilaporkan dalam ikhtisar penelitian Belawati (1997) dari hasil-hasil penelitian Irish, Woodley dan parlett, dan Roberts, yang menunjukkan bahwa tingkat kelulusan mahasiswa jarak jauh di berbagai negara seperti: Inggris, Amerika, Kanada, Jerman, dan Norwegia berkisar antara 5%--60% dari total mahasiswa. Statistik UT sendiri menunjukkan bahwa tingkat kelulusan mahasiswa reguler yang mendaftar pada tahun 1984-1992 hanya sekitar 5%. Hasil penelitian Julaeha dan Pratmoko (Tim, 1999b) juga melaporkan bahwa mayoritas mahasiswa reguler UT antara tahun 1994-1997 hanya memperoleh nilai dengan “batas minimal” yaitu C, dengan tingkat kelulusan total per matakuliah hanya 23%. Artinya, bahwa bila seorang mahasiswa mengikuti ujian sebanyak lima mata kuliah, maka hanya satu mata kuliah saja yang berhasil memperoleh nilai > C. Sungguhpun demikian, untuk menilai tingkat efektivitas DII-PGSD dari aspek hasil belajar dalam SBJJ sulit dilakukan, dan tidak bisa hanya dengan melihat satu aspek hasil belajar saja. Kesulitan untuk menentukan standar efektivitas hasil PJJ juga ditemukan di dalam Konferensi International Council for Distance Education (ICDE) ke 17 yang diadakan di Inggris pada tahun 1995 (Kesuma, et.al. 1995). Selain itu, menilai efektivitas penyelenggaraan PTJJ seperti yang diberlakukan pada pendidikan konvensional (pendidikan tatap muka) juga tidak “fair”, mengingat karakteristik sistem pengelolaan keduanya berbeda.

dan pengelola. Ketiga, prestasi belajar mahasiswa DII-PGSD dengan sistem SBJJ “cukup bervariasi” dan secara keseluruhan “belum memuaskan”. Tingkat kelulusan mahasiswa setiap matakuliah menunjukkan hasil “tinggi”. Akan tetapi, tingkat kelulusan semua per semesternya rendah; perolehan IPS dan IPK sebanyak 50-70% berada pada interval 2.00 – 2.74. Tingkat kelulusan program, secara kuantitatif memang menunjukkan hasil “tinggi”, akan tetapi secara “kualitatif” “belum memuaskan”, karena 68.9% IPK yang dicapai berada pada rentangan 2.00–2.74/cukup.

F. Kesimpulan dan Saran

Kedua, pengelolaan tutorial perlu lebih ditingkatkan melalui: penyiapan kondisi ruang tutorial yang lebih layak; memilih lokasi tempat tutorial yang berdekatan atau dapat dijangkau dari tempat tinggal mahasiswa; lebih mempartisipasiaktifkan mahasiswa dalam kelas tutorial dengan menerapkan model-model tutorial yang aktif-partisipatif; meningkatkan komunikasi dua arah antara tutor dan mahasiswa dalam tutorial; pengiriman modul tepat waktu kepada mahasiswa; memantau ketepatan waktu kehadiran mahasiswa dalam tutorial; dan meningkatkan pola-pola hubungan kerja antara tutor, mahasiswa, dan pengelola yang lebih baik.

Penelitian menyimpulkan bahwa: pertama, pengelolaan program DII-PGSD melalui SBJJ “sangat efektif”. Akan tetapi sentralisasi pengelolaan tugas oleh UT-Pusat telah menyebabkan munculnya berbagai kasus registrasi, bahan ajar, dan ujian, yang merugikan mahasiswa. Kedua, pengelolaan tutorial DII-PGSD masuk kategori “sedang”, dilihat dari kelayakan kondisi ruangan yang digunakan untuk tutorial; kedekatan lokasi tempat tutorial dengan tempat tinggal mahasiswa; partisipasi aktif mahasiswa dalam kelas tutorial; komunikasi antara tutor dan mahasiswa dalam tutorial; ketepatan waktu penerimaan modul oleh mahasiswa; ketepatan waktu kehadiran mahasiswa dalam tutorial; dan hubungan kerja antara tutor, mahasiswa,

Berdasarkan disarankan:

temuan

di

atas

Pertama, sentralitas pengelolaan tugas di tingkat pusat yang telah menyebabkan munculnya berbagai kasus registrasi, bahan ajar, dan ujian, yang merugikan mahasiswa perlu dikurangi melalui pemberdayaan dan revitalisasi peran dan fungsi UPBJJ dan Pusatpusat Layanan Mahasiswa sebagai unit pelayanan teknis administratif mahasiswa. Selain itu juga perlu disusun Juknis dan Juklak tentang pelaksanaan kebijakan DII-PGSD secara lebih rinci dan operasional untuk setiap gugus pelaksana, baik bagi pengelola program, pelaksana, pengelola administrasi, penanggungjawab prodi, dan pengelola UPP. Hal ini dipandang penting, agar setiap pelaksana program bisa menjalankan fungsi pengelolaan sesuai dengan tanggungjawabnya masing-masing.

Ketiga, untuk lebih meningkatkan hasil belajar mahasiswa, perlu dilakukan kaji

38

ulang terhadap aspek: jumlah beban belajar (SKS) per semester, dengan mempertimbangkan kesiapan, kemampuan, dan kesempatan belajar mahasiswa dalam aktivitas belajar mandirinya; dan aspek sistem penilaian yang berlaku dengan memberikan nilai kontribusi pada kegiatan/tugas tutorial. Daftar Pustaka Abdurrahman, et.al. (1999). Model-model tutorial. Bahan ajar program akreditasi tutor Universitas terbuka (PAT-UT). PAU-PAI Universitas Terbuka. 31-78. Belawati, T. (1997). Cara mengukur dropout di Universitas Terbuka. Komunika, No.15/Tahun IV. hal. 6-11. Darmayanti, T. (2001). Self-directed learning readiness scale: Adaptasi Instrumen Penelitian Belajar Mandiri. (Versi elektronik), Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh. 2(2). 1-4.

usaha untuk mencari pola pendekatan belajar yang efektif dalam menempuh studi di Universitas Terbuka. Tesis master tidak diterbitkan, Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta, Jakarta. Kasroen, A. (1992). Studi penjajagan tentang kasus-kasus pesanan bahan belajar lewat surat ke distribusi UT pusat menjelang masa akhir registrasi. Abstrak laporan penelitian. Jakarta: Puslitga-UT. Keegan, D.(1991). Foundations of distance education. 2nd ed. London: Routledge. Kesuma, R. et.al. (1995). Upaya meningkatkan kualitas pendidikan jarak jauh. dalam Komunika, No.12/Tahun II. 12-16. Moore, M.G. & Kearsley, G. (1996). Distance education: A system view. California: Wadsworth.

Elison, (1990). Pengaruh kebiasaan belajar, sikap dan kemampuan dasar terhadap prestasi belajar mahasiswa Universitas Terbuka di lingkungan UPBJJ-UT Palangkaraya. Abstrak laporan penelitian. Jakarta: PuslitgaUT.

Mulyadijaya. I.S. (1993). Studi terhadap tingkat kesalahan mahasiswa dalam mengisi lembar jawab ujian (LJU) sistem komputer di Universitas Terbuka. Abstrak laporan penelitian. Jakarta: Puslitga-UT.

Farisi, M. Imam. (2001), Masalah-masalah belajar mandiri pada mahasiswa PPD-II GSD Universitas Terbuka, Laporan penelitian tidak diterbitkan. Jakarta: Lemlit-Universitas Terbuka.

Musa, I., Sulistiorini, & Imawati, L. (1993). Efektifitas penyelenggaraan dan tingkat manfaat ekonomi program penyetaraan D-II PGSD. Abstrak laporan penelitian. Jakarta: PuslitgaUT.

Haryono, A. (2001). Belajar mandiri: Konsep dan penerapannya dalam system pendidikan dan pelatihan terbuka/jarak jauh. Dalam Jurnal Pendidikan dan Terbuka dan Jarak Jauh. Vol. 2. Number 2. 15-23.

McMillan, J.H. & Schumacher, H. (2001). Research in education: A conceptual introduction. fifth edition. New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Harsasi, (1993). Hubungan minat membaca dengan prestasi belajar mahasiswa penyetaraan DII guru SD semester V di kabupaten sragen. Abstrak laporan penelitian. Jakarta: Puslitga-UT. Kadarko, W. (2000). Belajar mandiri dalam konteks pendidikan jarak jauh: Suatu

Nawawi. H. et.al. (1993). Studi perbandingan mengenai motivasi dan prestasi belajar mahasiswa PGSD setara D II proyek dan program swadana dengan cara belajar jarak jauh. Abstrak laporan penelitian. Jakarta: PuslitgaUT. Nurhasanah. (1992). Peranan UPBJJ dalam mengurangi kasus registrasi dan ujian

39

mahasiswa. Abstrak laporan penelitian. Jakarta: Puslitga-UT. Nuzia, W.Z. (1990). Kesesuaian antara GBPP dengan modul matakuliah IPS-I program D-II penyetaraan guru SD di FKIP UT. Abstrak laporan penelitian. Jakarta: Puslitga-UT.

mandiri serta bukti registrasi mahasiswa UT melalui kantor pos masa registrasi 89.2. Abstrak laporan penelitian. Jakarta: Puslitga-UT. Zuhairi. A. (1995). “Pendidikan tinggi massa, pendidikan jarak jauh dan pendidikan terbuka”. Dalam Komunika, Nomor 12, Tahun 11. 6-11.

Rumanta, M. (1991). Readibility materi pokok pendidikan ilmu pengetahuan alam I edisi pertama program penyetaraan DII guru SD di FKIP Universitas Terbuka. Abstrak laporan penelitian. Jakarta: Puslitga-UT. Suparman, A. (1991), SBJJ, materi pendukung penataran tutor PGSD, Jakarta: Ditjen. Dikti, Universitas Terbuka, UT. (1992). Katalog program penyetaraan DII guru sekolah dasar (edisi kedua).. Jakarta: Depdikbud, Universitas Terbuka. UT. (1998). Katalog Universitas Terbuka 1998 (Edisi Kedua). Jakarta: Depdikbud, Universitas Terbuka. Rumanta, M. (1991). Readibility materi pokok pendidikan ilmu pengetahuan alam I edisi pertama program penyetaraan DII guru SD di FKIP Universitas Terbuka. Abstrak laporan penelitian. Jakarta: Puslitga-UT. Sunaryo, P.V.M. (2005). Strategi belajar mahasiswa PPD-II PGSD Universitas Terbuka. (Versi elektronik), Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh. 6(1). 4-8. Steiner (tt). What is distance education. Diambil pada tanggal 10 Maret 2006, dari http://www.dlrn.org/ library/ dl/whatis.html.. Teguh & Narzet, Y. (2004). Sikap tutor PGSD Universitas Terbuka terhadap program tutorial. (Versi elektronik), Jurnal Pendidikan, 5(2), 89-100. Wasono, N.E. (1980). Evaluasi pendirian UPPT kabupaten: Pengkajian tentang pemrosesan pengiriman naskah tugas mandiri dan lembar jawaban tugas

40

PEMANFAATAN CERITA ANAK SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA DI SEKOLAH DASAR Barokah Widuroyekti Abstrak: Pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dasar (SD) memerlukan bahan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa SD. Bahan pembelajaran apresiasi sastra selain harus memperhatikan perkembangan anak juga harus mempertimbangkan unsur-unsur dalam karya sastra itu sendiri, yang meliputi aspek bentuk dan aspek isi. Pemilihan bahan pembelajaraan apresiasi sastra di SD dapat dilakukan dengan memanfaatkan cerita anak dalam media massa anak maupun bukubuku cerita anak. Pemanfaatan cerita anak sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di SD tercermin dari strategi pembelajaran yang dirancang guru, yakni dalam pemilihan jenis kegiatan pembelajaran dan penyusunan langkah-langkah kegiatan belajar-mengajar. Kata-kata kunci: cerita anak, bahan pembelajaran apresiasi sastra, sekolah dasar

Pendahuluan Pemikiran terhadap pengemba-ngan bahan pembelajaran apresiasi sastra di SD perlu mendapat perhatian tersendiri. Pengembangan bahan pembelajaran apresaisi sastra selain harus memperhatikan perkembangan anak juga harus mempertimbangkan unsur-unsur sastra itu sendiri. Peran guru dalam memilih dan mengembangkan bahan pembelajaran sastra sangat penting. Dalam hal ini guru menjadi perancang bahan sekaligus pengalaman belajar anak. Bahan pembelajaran yang dipilih perlu mempertimbangkan kebutuhan dan perkembangan anak serta sesuai dengan situasi dan kondisi. Untuk itu, guru dapat mengembangkan bahan sendiri maupun memanfaatkan bahan yang telah tersedia di lingkungan. Pemilihan bahan pembelajaran sastra dengan memanfaatkan karya sastra dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sastra anak disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku.

Selama ini, guru masih sering mengalami kesulitan dalam memilih dan mengembangkan bahan pembelajaran apresiasi sastra. Pemilihan bahan sering hanya bersumber dari buku paket maupun buku-buku dari penerbit komersial. Kondisi demikian disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya, kurangnya kreativitas guru, kurangnya pengetahuan guru tentang karya sastra, kurangnya pemahaman guru tentang aspek perkembangan anak, dan sebagainya. Seiring dengan semakin menjamurnya media massa anak-anak, peluang guru untuk memanfaatkan teks sastra di media massa tersebut semakin besar. Namun demikian, hal ini perlu dibarengi dengan kemauan dan kemampuan untuk memilih teks sastra yang cocok untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di SD. Dalam rangka pemilihan bahan apresiasi sastra di SD, artikel ini akan mengupas berbagai hal menyangkut pembelajaran apresiasi sastra di SD dan pemanfaatan sastra anak dalam majalah anak sebagai alternative bahan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dasar.

41

Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Dasar Apresiasi sastra adalah suatu proses penghayatan yang kreatif. Dalam kegiatan apresiasi ada beberapa aspek kejiwaan yang terlibat, seperti: aspek kognitif, emosional, evaluatif, etis, serta imajinatif. Oleh karena apresiasi menyangkut unsur-unsur subjektif maka pengajaran apresiasi sastra hendaknya tidak dipandang sebagai pengajaran teori, melainkan harus mengaitkan teori dengan praktik dalam suatu keutuhan yang terpadu. Meskipun demikian, pengajaran sastra di Indonesia masih dikungkung oleh wawasan tradisional yang tercampur dengan wawasan New Criticism (Aminuddin, dalam Jabrohim, 1994:128). Wawasan tradisional ditandai oleh penyikapan karya sastra sebagai dunia adicita yang mengandung keluhuran dan nilai maha dalam. Adapun pengaruh wawasan New Crticicism tampak pada adanya pemilahan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dalam hal ini, karya sastra disikapi sebagai objek yang memiliki substansinya sendiri. Akibatnya bahan pengajaran sastra memberi kesan dipotong-potong tanpa memperhatikan kebermaknaan hubungan yang satu dengan yang lain. Pembelajaran apresiasi sastra di SD disajikan dalam lingkup pembelajaran bahasa Indonesia. Lebih khusus, pembelajaran apresiasi sastra dimasukkan dalam katagori keterampilan membaca. Dalam konteks pembelajaran bahasa Indonesia, keterampilan membaca yang dilatihkan meliputi keterampilan membaca permulaan dan keterampilan membaca pemahaman. Keterampilan membaca pemahaman dipilah dalam beberapa pilahan, yang menurut taksonomi yang diadaptasi dari Smith (dalam Rubin, 1993:195) meliputi empat

katagori keterampilan pemahaman, yakni: (1) pemahaman literal, (2) pemahaman interpretative, (3) pemahaman kritis, dan (4) pemahaman kreatif. Fungsi pengajaran apresiasi sastra adalah: (a) melatih keempat keterampilan berbahasa (mendengar, berbicara, membaca, menulis); (b) menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup manusia: adapt istiadat, agama, kebudayaan; (c) membantu mengembangkan kepribadian; (d) membantu pembentukan watak; (e) memberi kenyamanan, keamanan, dan kepuasan melalui kehidupan manusia dalam fiksi; (f) meluaskan dimensi kehidupan dengan pengalamanpengalaman baru hingga dapat melarikan diri sejenak dari kehidupan yang sebenarnya (Wardani dalam Ahmadi, 1990:87). Gambaran tentang pengajaran apresiasi sastra di sekolah dasar dapat diuraikan melalui beberapa komponen yang terlibat, antara lain: (1) tujuan pembelajaran sastra; (2) bahan pembelajaran sastra. Tujuan Pembelajaran Apresiasi Sastra Tujuan pembelajaran apresiasi sastra adalah membina agar anak memiliki kesanggupan untuk memahami, menikmati, dan menghargai suatu cipta sastra (Jabrohim, 1994:144). Pembinaan sastra dalam pengajaran sastra merupakan usaha mendekatkan anak dengan sastra, menumbuhkan rasa peka dan rasa cinta anak kepada sastra sebagai cipta seni. Diharapkan pengajaran sastra dapat membantu menumbuhkan keseimbangan antara perkembangan berbagai aspek kejiwaan anak sehingga terbentuk suatu kebulatan pribadi yang utuh. Tujuan pembelajaran apresiasi sastra sebagaimana tercantum dalam kurikulum 2004 adalah siswa mampu

42

menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.

perkembangan psikologis anak hendaknya diperhatikan karena tahaptahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minat anak terhadap banyak hal termasuk karya sastra.

Bahan Pengajaran Apresiasi Sastra Bahan pengajaran apresiasi sastra termasuk dalam ruang lingkup standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia, aspek membaca, yakni apresiasi dan ekspresi sastra melalui kegiatan membaca hasil sastra berupa dongeng, cerita anak-anak, cerita rakyat, cerita binatang, puisi anak, syair lagu, pantun, dan drama anak. Pembelajaran apresiasi sastra harus disesuaikan dengan kompetensi-kompetensi yang terdapat pada setiap aspek. Pemilihan bahan ajar untuk kompetensi-kompetensi tersebut dicari pada sumber-sumber yang relevan.

Pemilihan bahan pembelajaran apresiasi sastra hendaknya mempertimbangkan: (a) usia dan tingkat pengetahuan peserta ajar; (b) jumlah peserta ajar tiap kelas; (c) waktu yang dipakai untuk menyajikan satu scenario program satuan pelajaran; (d) bahan ajar mudah didapat.

Bahan pengajaran apresiasi sastra dibedakan ke dalam: bahan apresiasi sastra tidak langsung dan apresiasi langsung. Apresiasi tidak langsung mengacu pada pengajaran teori dan sejarah yang berfungsi untuk menunjang bahan yang kedua, yakni siswa secara langsung dihadapkan pada karya sastra (Nurgiyantoro dalam Jabrohim, 1994:53). Pembelajaran sastra haruslah diorientasikan kepada pemahaman pembaca karya sastra, bukan pada keterampilan menghafal teori sastra. Keterampilan proses komunikatif yang diharapkan hadir dari hasil pemahaman membaca karya sastra yaitu kemampuan merekonstruksi bangun sastra secara faktual, yang berwujud pengalamanpengalaman hidup yang berharga. Oleh karena itu, bahan ajar yang berupa karya sastra harus terjadi secara utuh. Pemilihan bahan pengajaran sastra perlu mempertimbangkan aspekaspek berikut: (1) bahasa; (2) kematangan jiwa (psikologi); (3) latar belakang kebudayaan para siswa. Karya sastra sebagai bahan pengajaran hendaknya dipilih sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa siswa. Selain itu, tahap-tahap

Pemilihan buku-buku bacaan untuk anak menuntut pengetahuan tentang perkembangan anak. Buku-buku bacaan yang dipilih haruslah memperhitungkan perkembangan kognitif, perkembangan bahasa, dan konsep moralitas, serta dimensi sosial tempat mereka belajar dan berinteraksi(Cullinan, 1989:12). Cerita Anak Cerita anak merupakan salah satu jenis sastra anak. Batasan tentang sastra anak antara lain dikemukakan oleh Sujiman (1984), yang menyatakan bahwa cerita anak adalah kisahan nyata ataupun rekaan yang berbentuk prosa maupun puisi yang tujuannya memberikan informasi dan menghibur kepada pembacanya (anak). Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh Kurt Frans dan Bernhard (1986), yang menyebut dengan istilah literer anak-anak, yakni semua teks yang disusun oleh orang dewasa atau anak-anak yang dapat diterima oleh anakanak dan ditujukan bagi anak-anak. Sarumpaet (1988), menyatakan bahwa bacaan anak-anak adalah bacaan yang ditulis oleh orang dewasa untuk anakanak dan pembacaannya dibimbing oleh orang dewasa. Cerita anak memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan cerita orang dewasa. Karekteristik cerita anak

43

mencakup dua sudut tinjauan, yakni dari segi bentuk dan segi isi. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, cerita anak memiliki aspek isi, yakni tentang pengalaman hidup manusia sedangkan aspek bentuk adalah segi-segi yang menyangkut cara penyampaian, yakni cara sastrawan memanfaatkan bahasa yang indah untuk mewadahi isi (Semi, 1988).

jenis cerita, topik, tema, amanat, dan amanat.

Pengkajian terhadap unsur bentuk dan isi cerita anak ini penting sebagai pedoman dalam pemilihan bahan pengajaran apresiasi sastra yang baik dan bermutu. Dalam hal ini, tidak setiap cerpen dapat dijadikan sebagai bahan pengajaran di sekolah. Perlu dipertimbangkan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Nilai sebuah karya sastra tidak hanya ditentukan oleh isi tetapi merupakan hasil tinjauan tentang isi dan struktur (Asandhimitra, 1992:4). Untuk mengetahui bermutu atau tidaknya suatu karya sastra dapat ditelusuri melalui bentuk ungkapan yang indah, isi ungkapan, bahasa ungkapan, dan nilai ekspresinya (Suhendar dan Pien Supinah, 1993:14). Sarwadi menyatakan bahwa ada berbagai hal yang perlu, dipertimbangkan dalam pemilihan cerita sebagai bahan pembelajaran, antara lain segi estetik, segi psikologis, segi ideology, dan segi pedagogis (dalam Jabrohim, 1994:173).

Cerita anak sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra haruslah memiliki alur yang tidak berbelit-belit sehingga mudah dipahami oleh anak. Cerita yang dipilih hendaknya memiliki alur yang jelas, artinya tahapan-tahapan peristiwa dalam aspek lakuan maupun percakapan diperlihatkan dengan jelas berdasarkan hukum sebab akibat.

Karakteristik Cerita Anak sebagai Bahan Pembelajaran

Demikian juga, penggambaran latar dalam cerita anak haruslah jelas, misalnya, latar tempat digambarkan dengan menampilkan tempat-tempat yang sudah dikenali oleh anak, misalnya lingkungan sekolah, rumah, pasar, dapat juga penggambaran yang lebih spesifik, seperti benda-benda. Penggambaran latar waktu juga harus jelas sesuai dengan karakteristik anak yang masih berada pada masa realistis dan kekinian.

Sastra di Sekolah Dasar Cerita anak merupakan salah satu genre sastra, yang memiliki karakteristik yang membedakannya dengan cerita untuk orang dewasa. Karakteristik cerita anak meliputi segi bentuk dan segi isi cerita. Segi bentuk meliputi aspek: struktur formal, bahasa, dan format cerita, sedangkan aspek isi cerita mencakup:

Karakteristik Segi Bentuk Cerita Sebagai fenomena sastra, cerita anak dapat ditinjau dari unsur-unsur pembangun cerita dari segi bentuk meliputi: alur, tokoh dan penokohan, latar, pusat pengisahan, dan bahasa., serta format cerita.

Jalan cerita yang dipilih perlu mempertimbangkan aspek kemenarikannya, misalnya cerita yang penuh ketegangan. Gaya penceritaan yang bersifat langsung, yakni permasalahan yang dikemukakan dibuat sesingkat mungkin dan langsung menampilkan masalah yang mendasar, misalnya tentang kebenaran dan ketidakbenaran, kebaikan dan keburukan, dan sebagainya. Tokoh dan penokohan dalam cerita anak hendaknya digambarkan secara jelas dan langsung, misalnya tokoh si kancil adalah binatang yang pintar dan mempunyai banyak akal. Tokoh dapat juga digambarkan dengan cara penggambaran dari segi fisik.

anak

Pusat pengisahan dalam cerita hendaknya disesuaikan dengan

44

karakteritik anak adalah pengisahan yang berpusat pada tokoh, yakni dengan cara memberikan keleluasaan pada tokoh untuk bertutur. Bahasa yang digunakan dalam cerita anak haruslah mudah dipahami oleh anak, yakni bahasa yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan tingkat penguasaan bahasa anak. Termasuk dalam aspek bahasa ini adalah cara penulisan yang dipakai pengarang, ciriciri karya sastra pada waktu penulisan karya tersebut, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang. Penggunaan bahasa dalam cerita anak perlu memperhatikan hal-hal berikut: (1) kalimat yang digunakan pendek-pendek dan sederhana dengan struktur yang jelas; (2) kata-kata kias dapat digunakan agar bacaan dapat dimengerti, kata-kata kias tersebut berfungsi sebagai penutup celah antara bahasa sehari-hari (percakapan) dan bahasa tulis yang digunakan dalam bacaan anak; (3) penggunaan gramatikal untuk memperkaya perbendaharaan kata anak dengan mengenalkan kosakata baru sesuai dengan tingkat perkembangan sehingga kemampuan mereka berkembang secara alami (Rahayu, 1993:43). Karakteristik Segi Isi Cerita Cerita anak memiliki tema yang dapat digolongkan ke dalam: cerita detektif, petualangan/pengembaraan, kepahlawanan, fiksi sejarah, fiksi ilmiah, cerita keluarga, cerita binatang, cerita misteri, dan lain-lain (Dermawan, 1985:25). Topik cerita dalam cerita anak merupakan realitas kehidupan sehari-hari yang dapat mengembangkan daya imajinasi anak secara wajar. Penyajian topik cerita dilakukan dengan mempertimbangkan kepadatan ide cerita. Cerita yang topiknya terlalu padat ide dapat mengganggu pembaca dalam menikmati bacaannya.

Cerita anak memuat tema dan amanat sebagai ide yang mendasari suatu cerita, sebagai pangkal tolak yang digunakan oleh pengarang dalam memaparkan cerita. Dalam hal ini, tema adalah pandangan hidup atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai yang membentuk gagasan utama dalam suatu karya sastra (Broks dkk dalam Tarigan, 1995:125). Tema dalam cerita anak berbeda dengan tema dalam cerita orang dewasa. Yang membedakan bacaan sastra anak dengan bacaan sastra orang dewasa adalah adanya pantangan dalam menampilkan tema dan amanat (Sarumpaet, 1988). Bahwa tidak semua tema dalam kehidupan ini dapat diangkat dalam bacaan sastra anak-anak. Tema dalam cerita anak lazimnya adalah tentang kemanusiaan, kepahlawanan, cinta dan kemiskinan, yang disesuaikan dengan alam pikiran anak. Selain itu, tema-tema yang mengajarkan tentang sikap-sikap yang benar terhadap kejahatan, kekerasan dana ketidaktoleransian, dan tema-tema yang mendorong anak menjadi warga negara yang lembut, toleransi, dan baik (Ellis, 1973). Karakteristik yang juga penting dalam cerita anak adalah aspek imajinasi. Dalam cerita fiksi penulis tidak memusatkan perhatian pada apa-apa yang terjadi secara aktual atau yang benarbenar terjadi tetapi justru memusatkan perhatian sepenuhnya pada apa-apa yang dapat terjadi (tetapi belum tentu terjadi) (Tarigan, 1991:122). Tugas penulis fiksi untuk membuat para tokoh imajinatif dalam karyanya itu menjadi hidup. Unsur imajinasi atau kefiksian adalah sifat rekaan atau khayalan yang tertuang dalam teks cerita. Dalam teks cerita dapat ditemukan ciri-ciri penanda yang menunjukkan apakah sebuah karya termasuk fiksi atau nonfiksi, yang disebut indikasi-indikasi fiksional. Indikasi fiksional dapat dibedakan menjadi dua,

45

yakni indikasi yang terdapat di dalam teks dan indikasi yang berada di luar teks. Indikasi di dalam teks meliputi indikasi formal dan indikasi referensial. Indikasi formal adalah indikasi yang dapat dikenali melalui system tanda yang digunakan dalam teks, baik yang berbentuk bahasa maupun nonbahasa, bias bersifat konvensional maupun nonkonvensional. Tanda yang bersifat konvensional adalah tanda yang lazim dipakai dalam suatu cerita, misalnya pada cerita dongeng diawali dengan kalimat “Pada suatu hari …” atau “Di sebuah desa …”. Sedangkan sistem tanda yang nonkonvensional adalah indikasi yang bersifat orisinal dan tidak lazim. Indikaksi lain yang digunakan dalam fiksi adalah indikasi referensial, yakni indikasi yang berkaitan dengan penggunaan nama diri, ketidakmungkinan ruang, kelompok peristiwaan, dan indikasi naratif. Indikasi ini dapat dikenali dari unsur-unsur atau tanda-tanda teks yang acuan atau referennya fiktif. Kelompok peristiwaan adalah peristiwaperistiwa yang hanya ada pada ceritacerita tertentu, misalnya peristiwa petualangan hanya akan diterima oleh jenis cerita petualangan. Sedangkan indikasi naratif menunjukkan bahwa yang diceritakan adalah cerita atau hal yang diketahui. Indikasi ini dapat ditemukan dalam cerita yang berbentuk “dia-an”, atau pencerita sebagai orang ketiga. Dalam bentuk penceritaan yang demikian, apabila pencerita menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui pembaca maka jelas bahwa cerita tersebut bersifat fiksional. Pemanfaatan Cerita Anak sebagai Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Dasar Wawasan New Criticism yang memilah karya sastra dalam unsur intrinsik dan ekstrinsik telah mengasingkan karya sastra dari dunia apresiasi pembacanya. Oleh karena itu, orientasi teoretis dalam pembelajaran sastra perlu diubah. Karya sastra bukan lagi disikapi sebagai struktur

otonom tetapi disikapi sebagai gejala yang ada dalam hubungan timbal balik, yakni karya sastra pembaca. Berkaitan dengan perubahan orientasi teoretis tersebut, dalam pembelajaran sastra tugas guru bukan lagi menjelaskan apa itu karya sastra secara terpotong-potong tetapi lebih menekankan pada penjelasan tentang “bagaimana cara memahami karya sastra”. Untuk itu, dalam pembelajaran apresiasi sastra, selain perlu disediakan bahan bacaan berupa karya sastra, guru juga harus memahami prosedur kegiatan yang akan ditempuh dalam proses pemahaman karya sastra. Selanjutnya, prosedur pemahaman tersebut diaktualisasikan dan dijabarkan dalam langkah-langkah kegiatan belajarmengajar. Strategi pembelajaran apresiasi sastra perlu diorientasikan pada Pendekatan Interaksi Dinamis (PID) (Aminuddin, 1997). Dengan pendekatan ini, pembelajaran apresiasi sastra bukan mengutamakan pada pemahaman yang bersifat hafalan maupun hasil melainkan pada (a) penghayatan karya sastra secara langsung, (b) pembuahan pengalaman keindahan melalui penghayatan karya sastra secara langsung secara personal, (c) pengembangan daya imajinasi, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, serta (d) penghubungan pengalaman dan pengetahuan dalam mengapresiasi karya sastra dengan pengalaman pribadi maupun konteks kehidupan secara aktual. Berorientasi pada wawasan tersebut, pembelajaran apresiasi sastra pada tahap awal perlu memusatkan perhatian pada upaya mengembangkan daya imajinasi, daya berpikir secara kritis maupun kreatif. Berikut ini dikemukakan contoh pemanfaatan cerita anak sebagai bahan apresiasi sastra di kelas 6 SD, dengan mengandaikan komponen-komponen pembelajaran sebagai berikut.

46

Kompetensi Dasar: Membaca Intensif. Hasil Belajar: Membaca Intensif Teks Narasi. Indikator: (a) memberi judul teks dengan kata-kata sendiri, (b) mencatat ide pokok tiap paragraph, (c) mengajukan pertanyaan tentang isi bacaan, (d) menuliskan rincian isi teks. Materi Pokok: Teks Narasi/200-250 kata (Depdiknas, 2004). Judul teks narasi yang akan dijadikan sebagai bahan bacaan, misalnya “Terpasung” Dengan mengandaikan komponen-komponen pembelajaran tersebut, dapat dirancang garis besar prosedur pembelajaran apresiasi sastra dengan memanfaatkan cerita anak sebagai berikut. (1) Guru membagikan teks cerita (berupa foto copy teks cerita anak, yang diambilkan dari majalah anak) dan meminta siswa membaca dalam hati teks cerita tersebut. Siswa membaca teks cerita selama lebih kurang 20 menit. Dalam kegiatan awal ini, guru mengarahkan siswa untuk mengidentifikasi isi cerita yang secara faktual ada dalam teks. Kegiatan ini dapat dipandu dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan oleh guru. Misalnya: Bagaimana cerita itu dimulai? Pelukisan latarnya bagaimana? Siapa tokoh utamanya? Bagaimana keadaan tokoh-tokohnya pada waktu itu? Mereka sedang berbuat apa? Peristiwa itu terjadi pada masyarakat modern atau tradisional? Apa alasannya? Siapakah Puti itu? Bagaimana orang tuanya memperlakukannya? Mengapa ia dipasung? Pertanyaan-pertanyaan ini bersifat literal, yang digunakan untuk membantu pemahaman makna teks.

(2) Setelah pertanyaan-pertanyaan yang bersifat informatif itu terjawab, selanjutnya siswa diminta untuk membuat ringkasan cerita atau menceritakan kembali isi cerita secara lisan. Lewat kegiatan ini, siswa belajar menyusun kalimat secara tertulis maupun lisan. Meskipun demikian, yang menjadi fokus utama pada dasarnya adalah pengembangan daya imajinasi siswa. (3) Bertolak dari penceritaan kembali isi cerita, guru mengajukan pertanyaanpertanyaan yang sifatnya meminta tanggapan siswa terhadap cerita. Guru dapat mengajukan pertanyaanpertanyaan yang dapat memancing reaksi emosional siswa, seperti berikut. 

Bagaimana perasaanmu setelah kamu membaca cerita tersebut?



Bagaimana menurutmu orang tua Puti itu?

sikap

Kemungkinan jawaban yang diinginkan adalah reaksi yang bersifat personal. Misalnya, anak akan mengatakan “saya merasa takut seperti apa yang dirasakan oleh Puti dalam cerita itu” atau siswa akan mengatakan “saya suka melakukan petualangan sebagaimana dilakukan oleh empat sekawan dalam cerita “Suatu Hari di Bulan Puasa”. Respon-respon emosional semacam ini mengindikasikan bahwa siswa berinteraksi dengan cerita. Interaksi pembaca dengan cerita ini sangat penting, sebab “without emotional interaction young people are not likely to go on to develop a broad range of responses” (Ellis dkk, 1989:57). (4)

Langkah selanjutnya, guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk didiskusikan. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, beranggota sekitar 5—6 orang.Guru memberi pertanyaan-pertanyaan

47

terbuka (open questions), (guru membagikan lembar pertanyaan yang telah disiapkan kepada setiap kelompok atau menuliskan pertanyaan di papan tulis, atau bisa juga guru mendiktekan). Pertanyaanpertanyaan sebaiknya telah dipersiapkan oleh guru sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan terbuka tidak menuntut satu jawaban yang benar melainkan mengungkap berbagai kemungkinan jawaban. Pertanyaanpertanyaan tersebut meliputi pertanyaan interpretatif, kritis, dan evaluatif. Misalnya: 

Bagaimanakah karakter tokoh …. dalam cerita ……?



Apakah kamu menyukai karakter tokoh ….. sebagai temanmu?



Apakah tokoh ….. melakukan sesuatu yang ingin kamu lakukan? Apakah dia melakukan sesuatu yang tidak ingin kamu lakukan?



Apakah kamu pernah menjumpai seseorang seperti …… dan …….? Deskripsikan!



Apakah ada perubahan karakter dari pelaku ketika cerita itu berlangsung? Bagaimana perubahan itu terjadi? Apa yang menyebabkan perubahan itu?



Adakah kejadian penting dalam cerita itu?



Adakah suatu kejadian dalam cerita yang itu kamu inginkan terjadi padamu?



Menurutmu apa yang ingin diceritakan oleh pengarang kepada kita?



Bagaimana kamu akan mendeskripsikan cerita ini kepada temanmu?



Apa yang akan kamu katakan jika seseorang menanyakan

apakah kamu menyukai cerita itu? 

Apakah arti dari ……. (simbol atau bahasa figuratif)?

Pertanyaan-pertanyaan terbuka seperti itu dapat memicu berpikir siswa tentang tema, motivasi perilaku tokoh cerita, makna dari kejadiankejadian, dan bagaimana gagasan pengarang berhubungan dengan kehidupan mereka dan kehidupan orang-orang yang dikenalnya. (5) Setelah mendiskusikan pertanyaan dalam kelompok, guru memimpin diskusi kelas. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk membacakan atau menceritakan tanggapan mereka terhadap cerita dengan panduan pertanyaan guru. Dalam kegiatan ini, siswa belajar mereproduksi kembali pemahaman dan pengalamannya terkait dengan cerita yang baru dibaca. Meskipun demikian kegiatan ini fokus utamanya adalah terbangunnya pengalaman keindahan melalui penghayatan cerita secara personal. Sebab itu, dalam kegiatan ini siswa diberi kebebasan untuk menafsirkan isi karya sastra sesuai dengan dunia pengalamannya. Seyogyanya dihindari guru memaknai karya sastra dari perspektif guru. Seandainya terjadi perbedaan penafsiran tentang makna cerita antara guru dan siswa atau antara siswa yang satu dengan yang lain haruslah disikapi sebagai sesuatu yang wajar. Selain itu, pada kegiatan ini, guru menghubungkan pengalaman dan pengetahuan dalam mengapresiasi karya sastra dengan pengalaman pribadi siswa maupun dengan konteks kehidupan yang dialami siswa seharihari. (6)

Pada akhir pembelajaran, guru memberikan tugas-tugas praktis

48







untuk dikerjakan di rumah sebagai tugas lanjutan. Contoh tugas-tugas dikemukakan sebagai berikut.

Aminuddin. 1987. Pengantar

Membuat diagram tokoh-tokoh pelaku cerita, di mana dan bagaimana keadaannya.

Ahmadi, M. 1990. Strategi Belajar-

Membuat gambar-gambar setiap kejadian dalam cerita, misalnya, yang menggambarkan tempat-tempat terjadinya peristiwa. Membuat diagram tentang alur atau plot yang menunjukkan beberapa peristiwa penting yang terjadi dalam cerita.

Penutup Pembelajaran apresiasi sastra di sekolah merupakan pembelajaran yang perlu mendapat perhatian tersendiri, khususnya oleh para praktisi pendidikan, dalam hal ini guru. Hal ini penting mengingat pembelajaran sastra bukan hanya melatihkan keterampilan berbahasa dan apresiasi, lebih jauh pembelajaran sastra membentuk dan mengembangkan moral siswa serta mengajarkan nilai-nilai kehidupan sebagai bekal menghadapi tantangan hidup di masa datang. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, bahan pembelajaran apresiasi sastra perlu dipilih atau dikembangkan secara hati-hati sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, baik dari segi kemampuan intelektual, bahasa, emosional, sosial, maupun moral. Guru dapat memanfaatkan cerita anak yang terdapat dalam media massa anak atau buku-buku cerita anak sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra. Pemanfaatan cerita anak dapat dilakukan dengan merancang program pembelajaran, dengan menggunakan strategi pembelajaran yang lebih memberi kebebasan kepada siswa untuk berinteraksi dengan sastra secara langsung, serta memberikan tanggapan secara personal terhadap cerita. Referensi

Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang: YA3 Asandhimitra. 1992. Pengayaan Bidang Studi Bahasa Indonesia (Kesusasteraan). Jakarta: Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi, Dirjen Tinggi. Cullinan, B. E. 1989. Literature and the Child. Second Edition. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Publishers. Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kelas 1 s.d. 6 Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Depdiknas. Dermawan, T. 1995. Buku Bacaan Inpres SD sebagai Bahan Pengajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Dasar. Malang: Lembaga Penelitian IKIP Malang. Ellis A., Pennau J., Standal T., Rummel M. K. 1989. Elementary Language Arts Instruction. New Jersey: Prentice Hall. Jabrohim (ed). 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajaran dengan FPBS IKIP Muhammadiyah Yogyakarta. Rubin D. 1993. A Practical Approach to Teaching Reading. Boston: Allyn and Bacon. Sarumpaet, R. K. 1976. Bacaan Anakanak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan mengenai Hakikat, Sifat, dan Minat Anak pada Bacaannya. Jakarta: Pustaka Jaya.

49

Semi,

M. A.1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. Suhendar, M. E. dan Supinah, P. 1993. Pendekatn Teori Sejarah dan Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung: Pionir Jaya.

Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Tarigan, H. G. 1991. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Sujiman, P. 1984. Memahami

50

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH: KONSEP DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENINGKATAN MUTU GURU S. Adi Suparto*

Abstrak School resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement. We need to realize that school as a frontline unit of formal education with different students potency that need various educational services and different environmental condition to one another, hence school have to be dynamic and creative in executing its role to strive the education quality improvement. This can only be done when school is given the opportunity to arrange and manage itself, based on its environmental condition and protégé requirement. This opinion have pushed the new approach existence, that the future, of educational quality improvement management must be based on the school as the front liner in educational activities. This approach is known as the School Based Quality Management or in nuance that has more development character, it’s called School Based Quality Improvement. This program is oriented towards increasing the quality of education through the School Based Management approach, which is based on three main components; developing open and transparent education management, developing a curriculum based on active and effective learning methods with local nuances, and developing community participation in management by building a sense of ownership in the schools. Keywords: education, management, school, quality.

A. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukan *

peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan analisis, setidaknynya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak menagalami peningkatan secara marata. Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education function atau input-output analisys yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua

Dosen FKIP UT UPBJJ Surabaya. Magister Kependidikan dalam bidang Manajemen Pendidikan.

51

input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya, dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan educational production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan. Faktor kedua, penyelenggaran pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi birokrasi diatasnya sehingga mereka kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas/inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional. Faktor ketiga, peranserta warga sekolah khususnya guru dan pranserta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, pada hal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan di sekolah tersebut. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana,

sedang dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral dan barang/jasa kurang diperhatikan. Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat juga lemah. Sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggung jawabkan hasil pelaksnanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholdir). Berdasarkan kenyataankenyataan tersebut diatas, tentu saja perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. B. MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN 1. Konsep tentang Mutu Pendidikan Secara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan. Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsunnya proses. Input sumber daya meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dsb.). Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dsb. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran- sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat

52

diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (ditingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses yang dimaksud adalah proses pengembilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibanding dengan proses- proses lainnya. Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan dsb) dilakukan secara harmonis, sehingganya mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benarbenar mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdaykan mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekadar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan lebih penting lagi peserta didik tersebut mampu belajar secara terus menerus (mampu mengembangkan dirinya). Output pendidikan merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah yakni prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya,

efesiendinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khusunya prestasi belajar siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam: (1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum EBTA, EBTANAS, karya ilmiah, lomba akademik, dan (2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olah raga, kesnian, keterampilan kejujuran, dan kegiatan-kegiatan ektsrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. 2.

Pola Baru Manajemen Pendidikan Masa Depan

Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannya otonomi daerah, telah mendorong dilakukannya penyesuaikan diri dari pola lama manjemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuangsa otonomi dan yang lebih demokratis. Tabel I. berikut menunjukkan dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari yang lama menuju yang baru. Tabel 1 Dimensi-dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan POLA MENUJ LAMA U Subordinasi === Pengambilan === keputusan terpusat Ruang gerak === kaku Pendekatan === birokratik

POLA BARU Otonomi Pengambilan keputusan partisipasif Ruang gerak luwes Pendekatan profesional

53

Sentralistik Diatur Overegulasi Mengontrol Mengarahka n Menghindari resiko Gunakan uang semuanya Individual yang cerdas Informasi terpribadi Pendelegasia n Organisasi herakis

=== === === === ===

Disentralistik Motivasi Deregulasi Mempengaruhi Memfasilitasi

===

Mengelola resiko Gunakan uang seefesien

===

=== === === ===

Teamwork yang cerdas Informasi terbagi Pemberdayaan Organisasi datar

Berikut dijelaskan secara singkat Tabel 1. Pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Sedang pada Pola Baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipasif dab partisipasi masyarakt makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah didorong oleh motivasi diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana peranan pusat bergesr dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah resiko, pengunaan uang lebih efesien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (Effesiensi-based budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan

struktur organisasi lebih datar sehingga lebih efesien. Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja, lebih berdaya dalam mengembangkan dalam mengembangkan program-program yang, tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Dengan fleksibilitas/ keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal. Demikian juga dengan partisipasi/ pelibatan warga sekolah dan masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan sekolah, maka rasa memiliki mereka terhadap selolah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah. Inilah esensi partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam pendidikan. Baik peningkatan otonomi sekolah, fleksibelitas pengelolaan sumberdaya sekolah maupun partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaran sekolah tersebut kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan peundang-undangan yang berlaku. C. MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH (MPMBS) 1. Konsep Dasar MPMBS Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung

54

warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Catatan : MPMBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku). Dengan demikian, esensi MPMBS = otonomi + fleksibelitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemadirianm, yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemadirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan sendiri beradasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan

kemampuan sendiri.

memenuhi

kebutuhan

Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasan untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesankeluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang- undangan yang ada. Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memilik, makin bsar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasatanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangka keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi

55

warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan /kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerjasama sekolah yang baik ditunjukan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Akuntabilitas sekolah adalah pertanggung jawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sedangkan demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan , hak azazi manusia serta kewajiban dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kewengan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibelitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas pendidikan Kabupaten/ Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayanan sekolah dalam pengelolaan peningkatan mutu.

Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut; tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan ansipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinngi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya; bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggung jawab, pekerjaan memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaan, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya. Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah; pemberian kewenangan, pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah secara “teamwork”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerja sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaanNya yang memiliki martabat tertinggi. MPMBS merupakan bagian dari manajemen bebasis sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efesiensi, inovasi, relevansi, dan pemeratan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional kita saat ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian. Hal ini didasari oleh kenyataan

56

bahwa mutu pendidikan nasional kita saat ini sangat memperhatinkan sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan dari pada MBS untuk saat ini. Pada saatnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.

transparansi dan demokrasi yang sehat. 8.

Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masingmasing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan.

9.

Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat, dan

MPMBS diterapkan karena beberapa alasan berikut : 1.

2.

Dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih inisiatif/kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah. Dengan pemberian fleksibelitas/ keluesan-keluesan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdayanya, maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah.

3.

Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.

4.

Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya. Khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.

5.

Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.

6.

Penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat.

7.

Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan

10. Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat. MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lebih rinci, MPMBS bertujuan untuk: 1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibelitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainbilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia. 2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama. 3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan

57

4. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.

INPUT

PROSES

OUTPUT

2. Karakteristik MPMBS MPMBS memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam menerapkan MPMBS, maka sejumlah karakteristik MPMBS berikut perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MPMBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MPMBS merupakan wadah/kerangka, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu, karakteristik MPMBS berikut memuat secara inklusif elemenelemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses dan output. Dalam menguraikan karakteristik MPMBS, pendekatan sistem yaitu inputproses-output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem, sehingga penguraian karakteristik MPMBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) mendasarkan kepada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedangkan proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat lebih rendah dari output.

PERENCANAAN & EVALUASI KURIKULUM KETENAGAAN FASILITAS KEUANGAN

PRESTASI > PROSES > SISWA BELAJAR MENGAJAR

KESISWAAN HUBUNGAN SEKOLAHMASYARAKAT IKLIM SEKOLAH a. Input Pendidikan Pertama, memiliki kebijakan, tujuan dan sasaran mutu yang jelas. Secara formal, sekolah menyatakan dengan jelas tentang keseluruhan kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut dinyatakan oleh kepala sekolah. Kebijakan, tujuan dan sasaran mutu tersebut disosialisasikan kepada semua warga sekolah, sehingga tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai pada kepemilikan karakter mutu oleh warga sekolah. Kedua, sumber daya tersedia dan siap. Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk

58

berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang peralatan, perlengkapan, bahan, dsb) dengan penegasan bahwa sumberdaya selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia. Secara umum, sekolah yang menerapkan MPMBS harus memiliki tingkat kesiapan sumberdaya yang memadai untuk menjalanlan proses pendidikan. Artinya, segala sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap. Ini bukan berarti bahwa sumberdaya yang ada harus mahal, akan tetapi sekolah yang bersangkutan dapat memanfaatkan keberadaan sumberdaya yang ada dilingkungan sekolahnya. Karena itu, diperlukan kepala sekolah yang mampu memobilisasi sumberdaya yang ada disekitarnya. Ketiga, staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi. Meskipun pada butir (b) telah disinggung tentang ketersedian dan kesiapan sumberdaya manusia (staf), namun pada butir ini perlu ditekankan lagi karena staf merupakan jiwa sekolah. Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki staf yang mampu (kompoten) dan berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya jelas, yaitu, bagi sekolah yang ingin efektifitasnya tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan. Keempat. memiliki harapan prestasi yang tinggi. Sekolah yang menerapkan MPMBS mempunyai dorongan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya. Kepala sekolah memiliki

komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Guru memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa anak didiknya dapat mencapai tingkat yang maksimal, walaupun dengan segala keterbatasan sumberdaya pendidikan yang ada disekolah. Sedang peserta didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuaannya. Harapan tinggi dari ketiga unsur sekolah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya. Kelima, fokus pada pelanggan (khususnya siswa). Pelanggan, terutama siswa, harus merupakan fokus dari semua kegiatan sekolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan input dan proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan dari siswa. Keenam. input manajemen. Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki input manajemen yang memadai untuk menjalankan roda sekolah. Kepala sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah mengelola sekolanya dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi; tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sitematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai.

59

b. Proses Pendidikan Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai berikut: Pertama. Proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi. Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki efektivitas proses belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditujukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik PBM bukan sekadar memorisasi dan recall, bukan sekadar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos) akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan hayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learnig to be) Kedua. Kepemimpinan sekolah yang kuat. Pada sekolah yang menerapkan MPMBS, kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersdia. Kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimipinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah,

terutama sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah. Ketiga. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib. Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman tertib melalui (pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan kepala sekolah sangat penting sekali. Keempat. Pegelolaan tenaga kependidikan yang efektif. Tenaga kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan MPMBS menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah. Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga kependidikan, ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menyukseskan MPMBS adalah tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik. Kelima. Sekolah memiliki budaya mutu. Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut ; (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi (punishment); (d)

60

kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjsama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaan; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah. Keenam. Sekolah memiliki “teamwork” yang kompak, cerdas, dan dinamis. Kebersaman (teamwork) merupakan karateristik yang dituntut oleh MPMBS, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah. Ketjuh. Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian). Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya. Kedelapan. Partisipasi yang tinggi dari warga dan masyarakat. Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat prestasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa-memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula tingkat dedikasinya. Kesembilan. Sekolah memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen. Keterbukaan/transparansi dalam pengelolan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MPMBS, Keterbukaan/transparansi ini ditunjukan dalam pengambilan

keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagai alat kontrol. Kesepuluh. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan fisik). Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik. Kesebelas. sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan. Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan meyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus-menerus merupakan kebiasan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen mutu. Keduabelas. Sekolah responsi dan antisipatif terhadap kebutuhan. Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/ tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah

61

padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif. Ketigabelas. Memiliki komunikasi yang baik. Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah di patok. Selain itu komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak dan cerdas, sehingga berbagai kegitan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh warga sekolah. Keempatbelas. Sekolah memiliki akuntabilitas. Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestsi yang dicapaikan dan dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program MPMBS telah mencapai tujuan yang dukehendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu membersihkan maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat. Demikian pula, para orang tua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orang tua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program

yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orang tua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program MPMBS yang telah dilakukan.Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang. Kelimabelas. Sekolah memiliki kemampuan manajemen sustainabilitas. Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik dalam program maupun pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas pendanan dapat ditunjukan oleh kemampuan sekolah dalam mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya. Sekolah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi sekolah-sekolah negeri. c. Output Pendidikan Sekolah harus memiliki output yang diharapkan. Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic, achivement) dan ouput berupa prestasi non-akademik (non-academic achivement). Output prestasi akademi misanya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berfikir (kritis, kreatif/divergen, nalar, rasional, induktif, deduktf, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas

62

yang tinggi, toleransi, kedipsiplinan, kerajinan prestasi oleh raga, kesenian, dan kepramukaan. 2. Fungsi-fungsi yang Didesentralisasikan ke Sekolah Berdasarkan Konsep MPMBS. Secara umum, pergeseran dimensi pendidikan dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah telah diuraikan pada Butir A. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Fungsi-fungsi apa sajakah yang perlu didesentralisasikan ke sekolah?” Pada dasarnya Undang-undang Nomor 22 tentang Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah) tahun 1999 beserta sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman pelaksanan terutama PP. No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah, Propinsi dan Kabupaten/Kota, harus digunakan sebagai referensi/patokan. Dengan demikian, pendesentralisasian fungsi-fungsi pendidikan tidak akan merubah peraturan perundangundangan yang ada. Namun demikian, sampai saat ini belum ada resep yang pasti tentang hal ini, karena seperti kita ketahui, otonomi pendidikan sedang bergulir dan sedang mencari formatnya, sehingga secara peraturan perundangundangan (legal aspect) belum dimiliki, tugas dan fungsi sekolah dalam era otonomi saat ini. Sementara. Menunggu “legal aspect” yang akan diberlakukan kelak, fungsi-fungsi sekolah yang semula dikerjakan oleh Pemerintah Pusat/Dinas Pendidikan Propinsi/Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten, sebagian dari fungsi dapat dilakukan oleh sekolah secara professional. Artinya, suatu fungsi tidak dapat dilimpahkan sepenuhnya ke sekolah, sebagian masih merupakan porsi kewenangan Pemerintah Pusat, sebagian porsi kewenangan Dinas Propinsi, sebagian porsi kewenangan Dinas Kabupaten/Kota, dan sebagian porsi lainnya yang dilimpahkan ke sekolah.

Adapun fungsi-fungsi yang sebagian porsinya dapat digarap oleh sekolah dalam kerangka MPMBS ini meliputi: (1) proses belajar menagajar, (2) perencanaan dan evaluasi program sekolah, (3) pengelolaan kurikulum, (4) pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8) hubungan sekolah-masyarakat, dan (9) pengelolaan iklim sekolah. a. Pengelolaan Proses belajar Mengajar Proses belajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang berpusat pada siwa (student centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran yang menekankan pada keaktifan belajar siswa, bukan pada keaktifan mengajar guru. Oleh karena itu cara-cara belajar siswa aktif seperti misalnya active learning, cooperative learning, dan quantum learning perlu diterapkan. b. Perencanaan dan Evaluasi Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Kebutuhan yang dimaksud misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana peningkatan mutu. Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evalusi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil programprogram yang telah dilaksanakan.

63

Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya. c. Pengelolaan Kurikulum Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasionl. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memper-kaya, dan memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Sekolah dibolehkan memperdalam kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh dipertajam dengan aplikasi yang bervariasi. Sekolah juga dibolehkan memperkaya apa yang diajarkan, artinya apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus, dan seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan memodifikasi kurikulum, artinya apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. d. Pengelolaan Ketenagaan Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dsb) dapat dilakukan oleh sekolah kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi diatasnya. e. Pengelolan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan) Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai

dari pengadan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar. f.

Pengelolaan Keuangan

Pengelolaan keuangan, terutama pengelokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpihkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah. g. Pelayanan Siswa Pelayanan siswa, mulai dari peneriman siswa baru, pengembangan/ pembinaan/ pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karene itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. h. Hubungan Sekolah Masyarakat Esensi hubungan sekolahmasyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finasial. Dalam arti yang sebenarnya hubungan sekolahmasyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstesitas hubungan sekolah-masyarakat.

64

i. Pengelolaan Iklim Sekolah Iklim sekolah (fisik dan non fidik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewengan sekolah, sehingga yang diperlukan adalah upayaupaya yang lebih intensif dan ekstentif. 3. Prakondisi Implementasi MPMBS Bagi sekolah yang akan menerapkan MPMBS perlu menyiapkan persyaratan berikut. Persyaratan berikut bukan dimaksudkan untuk menghambat sekolah yang tidak memenuhinya. Namun persyaratan berikut lebih merupakan petunjuk penyiapan bagi sekolah-sekolah yang akan menerapkan MPMBS. Jika suatu sekolah hanya memenuhi sebagian persyaratan, maka sekolah tersebut tetap bisa menerapkan MPMBS sambil melengkapi persyaratan berikut. Persyaratan berikut bukan harga mati, akan tetapi lebih merupakan petunjuk yang masih terbuka untuk dimodifikasi, dikurangi atau ditambah sesuai dengan karakteristik sekolah dan masyarakat sekitarnya. Adapun persyaratanpersyaratan yang dimaksud adalah: 1.

Kapasitas kelembagaan yang memadai untuk menerapkan MPMBS, seperti misalnya manajemen sekolah yang memadai, kesiapan sumberdaya manusia dan umberdaya selebihnya (dana, peralatan, perlengkapan, bahan, dsb)

2. Budaya yang kondusif bagi penyelenggaraan MPMBS, yaitu penghargaan terhadap perbedaan pendapat, menjunjung tinggi hak asasi manusia, musyawarah-mufakat

dapat dilaksanakan, demokrasi pendidikan dapat disadarkan akan pentingnya pendidikan, dan masyarakat dapat digerakkan untuk mendukung MPMBS. 3. Sekolah memiliki kemampuan membuat kebijakan, rencana, dan program sekolah untuk menyelenggarakan MPMBS. 4. Sekolah memiliki sistem untuk mempromosikan akuntabilitas sekolah terhadap publik, sehingga sekolah akan merupakan bagian dari masyarakat dan bukannya sekolah berada dimasyarkat. 5. Dukungan pemerintah pusat dan daerah yang ditunjukan oleh pemberian pengarahan dan pembimbingan, baik dalam bentuk pedoman pelaksanaan, petunjuk pelaksanan dan lain-lain yang diperlukan untuk kelancaran penyelenggaraan MPMBS. D. PENINGKATAN MUTU TENAGA PENDIDIK 1. Standar Mutu Tenaga Pendidik Seperti yang tertuang dalam Higher Education Long-Term Strategy (HELTS) 2003-2010, tentang pembangunan masyarakat masa depan yang mampu menghargai keberagaman sebagai perekat integrasi bangsa merupakan salah satu sasaran utama program pendidikan tinggi, di samping peningkatan daya saing bangsa, melalui peletakan landasan bagi pembentukan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh, yang mampu bersaing baik di tingkat regional, nasional, maupun global. Untuk mencapai sasaran tersebut, salah satu upaya yang sangat mendesak dilakukan adalah peningkatan mutu guru melalui profesionalisasi jabatan guru, yang memungkinkan guru mampu memberikan layanan ahli sesuai dengan profesinya, dan karena itulah, maka guru layak mendapat penghargaan yang lebih

65

baik. Sehubungan dengan upaya ini diperlukan perangkat undang-undang sebagai rujukan dasar dan tentu saja lembaga penyelenggara yang memiliki kapasitas pendukung yang memadai. Dari sisi perundangan, sudah ada PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dengan diberlakukannya PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut, kualifikasi minimal guru SD ditetapkan sekurang-kurangnya lulusan sarjana (S1) atau D-IV, dan telah mendapat Sertifikat Pendidik sebagai guru SD melalui pendidikan profesi. PP No. 19/2005 dan UU No. 14/2005 berupaya menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional dan sekaligus meningkatkan citra guru adalah dengan diadakannya pendidikan profesi yang memungkinkan guru menguasai kompetensi utuh sehingga berpeluang memberikan layanan ahli yang andal yang diharapkan mampu menyumbang kepada peningkatan kualitas pendidikan. Kepemilikan kompetensi yang tercermin dalam kemampuan memberikan layanan ahli ini akan ditandai dengan pemerolehan Sertifikat Pendidik yang selanjutnya akan diikuti oleh penghargaan berupa tunjangan profesi. Ketentuan ini berlaku bagi semua guru, termasuk bagi guru sekolah dasar (SD). Menurut PP No. 19/2005, pasal 29, ayat (2), seorang guru SD/MI minimal harus mempunyai kualifikasi akademik sarjana (S1) atau DIV, serta sertifikat profesi untuk guru SD/MI. Sebagaimana lazim dipahami di kalangan pendidikan guru, Sosok Utuh Kompetensi Profesional Guru, dalam hal ini guru SD, terdiri atas kemampuan: a. mengenal secara mendalam peserta didik SD yang hendak dilayani,

b. menguasai bidang ilmu sumber bahan ajaran lima mata pelajaran di SD, baik dari segi: (i) substansi dan metodologi bidang ilmu (disciplinary content knowledge), maupun (ii) pengemasan bidang ilmu menjadi bahan ajar dalam kurikulum SD (pedagogical content knowledge) c. menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik yang mencakup: (i) perancangan program pembelajaran berdasarkan serentetan keputusan situasional, (ii) implementasi program pembelajaran termasuk penyesuaian sambil jalan (mid-course adjustments) berdasarkan on-going transactional decisions berhubung dengan reaksi unik (ideosyncratic response) dari peserta didik terhadap tindakan guru, (iii) meng-ases proses dan hasil pembelajaran, (iv) menggunakan hasil asesmen terhadap proses dan hasil pembelajaran dalam rangka perbaikan pengelolaan pembelajaran secara berkelanjutan, kesemuanya itu dengan selalu merujuk kepada ketercapaian tujuan utuh pendidikan sebagai Rujukan Normatif, dan (v)mengembangkan kemampuan professional secara berkelanjutan. 2. Upaya Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Program Pendidikan yang Terdesentralisasi memiliki tiga bagian: 1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kapasitas manajemen dan tata layanan yang lebih baik 2. Meningkatkan mutu proses belajar mengajar 3. Meningkatkan mutu pendidikan menengah pertama dan pendidikan luar sekolah bagi remaja yang berfokus pada pendidikan kecakapan hidup Bagian Proses Belajar Mengajar bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen

66

Agama, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, serta mitra dari sektor publik dan swasta untuk mengembangkan sebuah sistem yang lebih lengkap dalam pengembangan kapasitas guru secara profesional. Sistem ini akan meningkatkan kemampuan pendidik dan kepala sekolah untuk menggagas, memfasilitasi, dan menggalakkan peningkatan pencapaian sekolah di tingkat lokal. Caranya adalah dengan: a. Memperkuat Pelatihan Guru Bagian Proses Belajar Mengajar memberi kesempatan kepada pejabat pemerintah daerah dan pemangku kepentingan pendidikan untuk turut serta dalam sistem dan strategi pemberian program pelatihan guru yang efektif menuju pengajaran terdesentralisasi. Bagian ini bekerja dalam struktur organisasi sekolah yang sudah ada dan dikenal sebagai sebuah gugus. Setiap gugus terdiri dari enam sampai sepuluh sekolah. Pendekatan melalui gugus digunakan untuk mengatur dan melaksanakan kegiatan pelatihan. Gugusgugus dipilih untuk menjadi pusat melaksanakan tugas dan kegiatan Proses Belajar Mengajar. Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat akan mendapatkan kesempatan di dalam gugus untuk benar-benar terlibat dalam kegiatan dan memperkuat peran mereka masingmasing melalui keterlibatan dalam pembelajaran aktif. Model pelatihan guru dalam jabatan yang terdesentralisasi didukung dengan paket pelatihan yang disusun oleh mitra universitas di setiap propinsi, serta didukung oleh guru-guru, kepala sekolah, pejabat pemerintah daerah, dan mitra universitas di luar negeri. Melalui kerjasama dengan mitra lokal dan pemangku kepentingan pendidikan setempat, bagian ini mampu mengidentifikasi dan menjawab secara tepat kebutuhan tenaga pendidik sekolah dasar. Bagian Proses Belajar Mengajar juga bekerja sama dengan Universitas

Terbuka (UT) untuk menyiapkan UT agar mampu menjawab kebutuhan pelatihan profesional yang beragam di lingkungan pendidikan yang semakin lama semakin terdesentralisasi. Bagian Proses Belajar Mengajar juga mengembangkan pusat sumber belajar guna mendukung dan memfasilitasi berbagai kegiatan di setiap gugus sekolah. Pusat sumber belajar gugus akan digunakan oleh berbagai pemangku kepentingan pendidikan sebagai tempat pertemuan untuk mendiskusikan materi pelatihan, bagaimana penerapan dan inovasinya di kelas, serta mengembangkan materi proses belajar mengajar serta mengakses sumberdaya pembelajaran secara online. b. Peningkatan Lingkungan Belajar Bagian Proses Belajar Mengajar dari program Pendidikan Dasar yang Terdesentralisasi mendukung kegiatankegiatan bagi peningkatan lingkungan belajar. Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) akan diperlengkapi dengan audio dalam sistem pengajaran sedang dan ditambah dengan tenaga terlatih dan materi pengajaran yang bermutu. Sebuah sistem perpustakaan sekolah yang menggunakan pusat sumber belajar gugus sedang dibentuk untuk menyediakan dan menyampaikan materi bacaan (bukan buku) yang bermutu tinggi. Teknologi Informasi dan Komunikasi diarahkan untuk menginformasikan dan mempromosikan perubahan di sekolah, masyarakat dan kabupaten/kota. Teknologi Informasi dan Komunikasi juga menyediakan media pembelajaran dalam gugus sekolah dan kelas-kelas, sekaligus berfungsi sebagai referensi bagi kepala sekolah dan guruguru guna mendukung dan menggalakkan proses belajar mengajar. Bagian Proses Belajar Mengajar berusaha mendapatkan sumberdaya tambahan untuk kegiatan-

67

kegiatan proyek melalui kerjasama publik-swasta. Cara ini adalah sebuah bentuk inovatif dalam pengusaha, perusahaan multinasional dan domestik, lembaga swadaya masyarakat, serta institusi-institusi pendidikan. DAFTAR RUJUKAN Amir, Muhammad. 2006. Raising the Quality of Education with Radio MBS: Encouraging Student Creativity and Innovation. South Sulawesi: Celebes Journal Brodjonegoro, Satryo Sumantri. 2006. Rambu-rambu Pemyelengggaraan Pendidikan Profesional Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Ketenagaan Direktorat Pendidikan Tinggi. Rose, Leslie. 2006. Prakarsa Pendidikan untuk Indonesia dari President

Bush. Jakarta: U.S Agency for International Development. Satrio, Panji. 2006. Cetak Guru Teknologi Informasi. Jakarta: Suara Merdeka. Suryadarma, Daniel; Rogers, Halsey F. 2005. Penentu Kinerja Murid Sekolah Dasar di Indonesia: Peranan Guru dan Sekolah. Jakarta: Smeru Research Institute. Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah untuk peningkatan mutu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

68

KAIDAH MORFOFONEMIK DALAM BAHASA MADURA oleh: Rahmad *) Abstrak: Bahasa Madura tergolong bahasa Melanesia yaitu bahasa-bahasa yang ada di kepulauan Nusantara dan serumpun dengan bahasa Melayu. Bahasa Melanesia dari segi tipologinya tergolong bahasa aglutinatif, yaitu bahasa yang pembentukan kata-katanya melalui penempelan bentuk terikat (imbuhan) ke bentuk bebas (bentuk dasar) melalui afiksasi. Pada proses afiksasi ini terjadi perubahan fonem pada morfem-morfem yang berproses, yang kemudian membentuk kaidah morfofonemik. Afiksasi dalam bahasa Madura menimbulkan perubahan fonem baik pada awal kata maupun di akhir kata dasar, sebagai akibatnya terjadilah bentuk baru, atau disebut juga diglonatif. Perubahan yang timbul misalnya, /kakan/ menjadi /ŋakan/, pada peristiwa ini fonem /k/ menjadi /ŋ/ atau [ng] sebagai akibat dari asimilasi {N-}. Secara teoritik kaidah morfofonemik bahasa Madura terdiri dari kaidah perubahan fonem dan kaidah penambahan fonem. Secara emprik kaidah Mortofonemik bahasa Madura yang ditemukan dalam penelitian ini ada empat kaidah, yaitu (1) perubahan fonem awal bentuk dasar menjadi /m/, /n/, /ng/, dan /ny/ secara homorgan pada prefiksasi, (2) perubahan fonem akhir bentuk dasar /k/, /p/, /t/ menjadi /gh/, /bh/, /dh/ secara homorgan pada sufiksasi, (3) pemunculan fonem /nga / pada awal kata yang mirip dengan prefiksasi dan fonem /ne/ di belakang kata yang mirip dengan sufiksasi dan (4) dan penambahan fonem /y/, /w/, dan / ‘ / (glotal stop) pada pertemuan dua vokal. Kata-Kata Kunci : morfem, fonem, dan morfofonemik.

Pendahuluan Masyarakat sebagai pemakai bahasa, selalu tumbuh dan berkembang. Seiring dengan hal itu bahasa pun ikut berkembang seperti sesuatu yang hidup. Dalam perkembangannya bahasa mengalami perubahan-perubahan. Ada yang bertambah dan sangat mungkin ada yang mengalami penghilangan karena ditinggal oleh pemakainya. Bahasa Madura merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang oleh pemerintah tetap dibina, dipelihara, dan dikembangkan. Pembinaan dan pengembangan bahasa daerah tidak saja bertujuan untuk menjaga kelestarian bahasa-bahasa daerah, tetapi juga bermanfaat bagi pembinaan, pengembangan dan pembakuan bahasa Indonesia. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional

tidak dapat dipisahkan dari pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah karena kedua-duanya mempunyai hubungan timbal balik yang erat (M.H. Pratista, 1984: 1). Pembinaan dan pengembangan bahasa daerah tidak hanya diarahkan pada pemantapan sebagai alat komunikasi dan interaksi sosial. Namun diharapkan pula secara ideal bahasa-bahasa tersebut tumbuh dan berkembang menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang tinggi (Oka, 1974: 13). Bahasa Madura dalam perkembangan tidak jauh berbeda dengan Bahasa Indonesia. Para peneliti banyak mengadakan penelitian dan sarasehan dalam perkembangan dan pertumbuhan bahasa Madura. Dalam bahasa Madura ada ejaan Balai Pustaka (BP) Propinsi Jawa Timur, juga mengenal ejaan yang disempurnakan (EYD) mulai dari tahun 1973 sampai ejaan Bahasa Madura yang

69

disempurnakan (EYD) yang terakhir yaitu tahun 2004. Buku pedoman umum ejaan bahasa Madura yang disempurnakan berisi kaidahkaidah umum ejaan bahasa Madura yang diselaraskan dengan ejaan bahasa Indonesia dengan mempertimbangkan kekhasan yang terdapat di dalam bahasa Madura. Tujuan dibentuk atau dikeluarkannya pedoman umum ejaan-ejaan bahasa Madura yang disempurnakan yaitu diharapkan masyarakat pemakai bahasa Madura menggunakannya dan memasyarakatkan penggunaannya sehingga tidak terjadi kesalahan ejaan, terutama dalam pelafalan. Salah satu hal penting terkait dengan pelafalan bahasa Madura adalah pengucapan kata-kata yang mengalami perimbuhan. Pada kata-kata tersebut terjadi perubahan fonem atau ucapan secara sistematis. Perubahan ucapan (fonem) yang terjadi pada kata-kata berimbuhan terjadi sebagai akibat adanya kaidah morfofonemik. Hal ini lazim terjadi pada bahasa-bahasa Melanesia yang tergolong pada tipologi bahasa aglutinatif, yaitu bahasa yang sebagian besar besar pembentukan kata-katanya terjadi dengan cara menempelkan bentuk terikat (imbuhan) ke bentuk bebas (kata dasar). Dalam studi liguistik, morfofonemik lazim diartikan sebagai perubahan bunyi fonem akibat adanya kaidah morfologi (Chaer, 2003: 35). Ramlan, (2001: 83) mengatakan bahwa morfofonemik mempelajari perubahanperubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem. Dalam bahasa Madura misalnya morfem {N-} bergabung dengan morfem {pokol}, maka /p/ pada {pokol} menjadi /m/ terjadilah kata /mokol/. Demikian juga peritsiwa bahasa tersebut dapat terjadi pada kata-kata yang lain. Kajian terhadap kaidah Morfofonemik Bahasa Madura merupakan suatu bentuk penelitian kualitatif. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan dan memberikan paparan secara deskriptif, bagaimana kaidah Morfofonemik yang terjadi dalam bahasa Madura. Morfofonemik mempelajari perubahanperubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain (Ramlan, 2001: 83). Berdasarkan pendapat tersebut maka Kridalaksana (1994: 183) mengemukakan bahwa kaidah morfofonemik

adalah peristiwa fonologis yang terjadi karena pertemuan morfem dengan morfem lain. Kaidah morfofonemik dalam bahasa Madura hanya terjadi dalam pertemuan realisasi morfem dasar (morfem) dengan realisasi afiks (morfem), baik prefiks, sufiks, infiks, maupun konfiks seperti yang terjadi dalam Bulletin Konkonan, Pakem Maddhu, dan hasil wawancara dari warga Pamekasan yang kemudian ditransfer ke data tulis. Menurut Ramlan (2001: 23) morfofonemik mempelajari perubahanperubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain. Akibat pertemuan morfem tersebut dapat dijumpai peristiwa morfofonemik seperti: 1) perubahan fonem, 2) penghilangan fonem, dan 3) kaidah penambahan fonem. Kaidah morfofonemik adalah peristiwa fonologis yang terjadi karena pertemuan morfem dengan morfem (Kridalaksana, 1994: 183). Menurut Harimurti Kridalaksana (1994: 184 – 201) kaidah morfofonemik dibagi menjadi dua bagian, yaitu; 1) Kaidah morfofonemik yang otomatis terdiri dari; (a) kaidah pemunculan fonem, (b) kaidah pengekalan fonem, (c) kaidah pemunculan dan pengekalan fonem, (d) kaidah perubahan dan pergeseran posisi fonem, (e) kaidah peluluhan fonem. 2) Kaidah morfofonemik yang tidak otomatis terdiri dari; (a) kaidah pemunculan fonem secara histories, (b) kaidah pemunculan fonem berdasarkan pola bahasa asing, (c) kaidah variasi fonem bahasa sumber. Mengingat luasnya masalah yang terdapat dalam penelitian ini, maka perlu adanya batasan masalah. Batasan tersebut pada kaidah Morfofonemik sebagai berikut: (1) kaidah perubahan fonem, dan (2) kaidah penambahan fonem. Begitu juga data yang sangat luas, perlu dilakukan pembatasan. Data yang dimaksud adalah: (1) data tertulis yaitu: (a) Buletin Konkonan yang terdiri dari edisi, 33 tahun 1993, 35 tahun 1994 yang dibatasi pada careta kona, cerpen, babad songennep, (b) Buletin Pakem Maddhu terdiri dari edisi pertama, edisi kedua dibatasi pada tor-ator, fokus berta, merté sastra madhura, (2) data lisan yang diperoleh dan hasil wawancara bahasa Madura dari warga Pamekasan.

70

Berdasarkan uraian di atas maka masalah yang hendak dijawab adalah Bagaimanakah Kaidah Morfofonemik Bahasa Madura? Pembahasan Teoritik Morfofonemik lazim diartikan sebagai perubahan bunyi fonem akibat adanya proses morfologi (Chaer, 2003: 35) Menurut Ramlan (2001: 83) kaidah morfofonemik adalah perubahan-perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain. Hal senada juga dikemukakan oleh Kridalaksana (1994:183) bahwa kaidah morfofonemik adalah peristiwa fonologis yang terjadi karena pertemuan morfem dengan morfem. Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kaidah morfofonemik adalah penggabungan morfem dengan morfem yang mengakibatkan terjadinya gejala fonologis (perubahan fonem) secara teratur pada morfem yang bergabung. Perubahan-perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan-pertemuan morfem dengan morfem lain sehingga berubah bunyi yang lain sebagai akibat dari bunyi yang ada di lingkungannya, sehingga bunyi itu menjadi sama atau mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bunyi yang mempengaruhinya, peristiwa berubahnya bunyi tersebut, disebut asimilasi. Asimilasi terdiri dari dua macam yaitu; fonetis dan fonemis. Sedangkan yang dimaksud asimilasi fonetis ialah sebuah Kaidah yang tidak menyebabkan berubahnya identitas sebuah fonem, dan asimilasi fonemis adalah Kaidah asimilasi yang menyebabkan berubahnya identitas fonem menjadi fonem lain (Chaer, 2003: 132). Kehomorganan menurut Verhaar (2004: 55) berpendapat homorgan adalah bunyi dengan memepergunakan alat-alat bicara yang sama, dan dengan tempat artikulasi yang sama. Kehomorganan terdiri dari, homorgan penuh dan homorgan sebagian. Dalam hal pengaruh-mempengaruhi bunyi dapat ditinjau dari dua segi, yaitu akibat dari pengaruh-mempengaruhi bunyi itu yang disebut Kaidah asimilasi, dan dari tempat artikulasi yang mana bunyi itu mempengaruhi disebut artikulasi penyerta. Kaidah asimilasi menurut arahnya terdiri dari, asimilasi progresif dan regresif (Marsono, 2006: 108) dan artikulasi penyerta terdiri dari: labialisasi,

refloksi/faringalisasi, palatalisasi, velarisasi, dan glotalisasi (Marsono, 2006: 109-110). Dari uraian di atas dapat digambarkan Kaidah morfofonemik bahasa Madura, yaitu fonem /k/ berubah menjadi /gh/ karena berasimilasi dengan bunyi yang ada di lingkungannya. Asimilasi tersebut dinamakan asimilasi fonemis yang homorgan dan bersifat regresif. Dikatakan asimilasi fonemis karena /k/ berubah identitas, yaitu fonem /gh/ misal, ekolaghâ. Dan disebut homorgan penuh karena menggunakan alat ucap dan tempat artikulasi yang sama. Konsonan /k/ merupakan konsonan hambat velar bersuara dan konsonan /gh/ merupakan konsonan hambat velar tak bersuara. Kedua fonem tersebut dinamakan asimilasi konsonan homorgan penuh karena tidak ada perbedaan selain penggunaan pita suara. Tapi untuk perubahan konsonan /p/ menjadi /m/ disebut kehomorganan sebagian karena /p/ merupakan konsonan hambat bilabial, yang menggunakan daerah artikulasi yang berbeda dengan /m/. Dan disebut asimilasi bersifat regresif karena arah perubahannya ke belakang, missal fonem /k/ mendapat morfem sufiks {-â} atau karena peggunaan vokal /ə/, maka fonem /k/ akan berubah menjadi /gh/. Pembahasan Empirik 1. Kaidah Perubahan Fonem a. Perubahan fonem akibat asimilasi morfem {N - } 1) Apabila bentuk dasar berawal konsonan / k, g, gh, h, l /, asimilasi tersebut menghasilkan / ng /, sebagai berikut. Fonem / k, g, gh / merupakan konsonan hambat velar tak bersuara (/k/), tak bersuara (/g, gh/) yang dihasilkan dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak, udara dihambat dan kemudian dilepaskan, dan untuk fonem /gh/ dibentuk cara yang yang sama dengan pembentukan /g/, tetapi pada waktu suara dikeluarkan dari mulut lebih cepat. Fonem /h/ merupakan konsonan frikatif glottal bersuara yang dihasilkan dengan melewatkan arus udara di antara pita suara yang menyempit sehingga menimbulkan bunyi desis, tanpa dihambat di tempat lain. Fonem /l/ merupakan konsonan lateral alveleobar bersuara yang dihasilkan dengan menempelkan daun lidah pada gusi dan udara

71

dikeluakan melewati samping lidah, sementara itu pita suara dalam keadaan bergetar. Sedangkan fonem /ng/ merupakan konsonan nasal velar yang dihasilkan dengan menempelkan ujung lidah pada langit-langit lunak dan udara kemudian dilepas melalui hidung. Berubahnya fonem /k/ menjadi /ng/ karena morfem {N-} berasimilasi dengan fonem /k/. Fonem /k/ pada awal kata kakan diluluhkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal [ng] dari prefiks {N-} tersebut, seperti tampak pada rumus Rumus = /N-/ + /k..../ → /ng  ...../ = /N - / + /kakan/ → /ngakan/ 2)

Apabila bentuk dasar berawal konsonan /t, t, d, d, dh, dh/, asimilasi tersebut menghasilkan /n/, sebagai berikut.

Fonem /t, t, d, d, dh, dh/ merupakan konsonan dental alveolar, yang termasuk konsonan alveolar /t, d/ yang dihasilkan / dilafalkan dengan ujung lidah ditempelkan pada gusi, udara dari paru-paru sebelum dilepaskan. Sedangkan bunyi dental terdiri dari /t, d, dh, dh/ yang dilafalkan dengan menempelkan ujung atau daun lidah pada bagian belakang gigi atas, sehingga terciptalah bunyi dental bukan alveolar. Dan untuk konsonan nasal pada lafal /n/ dilafalkan dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi untuk menghambat udara dari paru-paru, udara itu kemudian dikeluarkan lewat hidung. Berubahnya fonem /t/ alveolar menjadi /n/ karena proses asimilasi dar morfem {N-} dengan fonem /t/. fonem /t/ pada awal kata tojjhu diluluhkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal /n/ dari morfem prefiks {N-} tersebut seperti tampak pada rumus sebagai berikut. Rumus = /N-/ + /t..../ → /n  ...../ = /N - / + / tojjhu + → /nojjhu/ 3) Apabila bentuk dasar berawal konsonan /p, b, bh, f, w/, asimilasi tersebut menghasilkan /m/, sebagai berikut. Fonem /p, b, bh, f, w/ merupakan konsonan hambat bibial tak bersuara /p/, bersuara /b, bh/ yang dilafalkan dengan bibir atas dan bibir bawah terkatup rapat sehingga udara dari paru-paru tertahan untuk sementara

waktu sebelum katupan itu dilepaskan. Fonem /f/ merupakan konsonan frikatif labiodental bawah yang dihasilkan dengan bbibir bawah didekatkan pada bagian bawah gigi atas sehingga udara dari paru-paru dapat melewati lubang yang sempit antara gigi dan bibir dan menimbulkan bunyi desis. Fonem /w/ merupakan konsonan semivokal bilabial bersuara yang dihasilkan dengan mendekatkan kedua bibir tanpa menghilangi udara yang dihembuskan dari paru-paru. Sedangkan fonem /m/ merupakan konsonan bilabial bersuara yang dihasilkan dengan kedua bibir dikatupkan, kemudian udara dilepas melalui rongga hidung. Berubahnya fonem /p/ menjadi /m/ karena {N-} berasimilasi dengan fonem /p/. Fonem /p/ pada awal kata parèksa diluluhkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal /m/ dari morfem prefiks {N-} tersebut seperti tampak pada rumus sebagai berikut. Rumus = /N-/ + /p..../ → /m  ...../ = /N - / + / parèksa / → /marèksa/ 4) Apabila bentuk dasar berawal konsonan /c, s, j, jh/, asimilasi tersebut menghasilkan /ny/. Fonem /c, j, jh/ merupakan konsonan afrikat palatal tak bersuara /c/, bersuara /j, jh/ yang dilafalkan dengan daun lidah ditempelkan pada langit-langit keras dan kemudian dilepas secara perlahan sehingga udara dapat lewat dengan menimbulkan bunyi desis, sementara itu pita suara dalam keadaan tidak bergetar untuk fonem /c/, untuk fonem /j, jh/ pita suara bergetar. Fonem /jh/ dibentuk dengan cara pembentukan /j/, tetapi ketika suara dihembuskan lebih cepat konsonan frikatif diveolar /s/ dihasilakan dengan menempelkan ujung lidah pada gusi atas sambil melepaskan udara lewat samping lidah sehingga menimbulkan bunyi desis. Konsonan nasal palatal /ny/ dibentuk dengan menemplekan depan lidah pada langit-langit keras untuk menahan udara dari paru-paru kemudian udara dilepaskan melalui hidung sehingga menghasilkan bunyi sengau. Berubahnya fonem /c/ menjadi /ny/ karena {N-} berasimilasi dengan fonem /c/. Fonem /c/ pada awal kata capcap diluluhkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal /ny/

72

dari morfem prefiks {N-} tersebut seperti tampak pada rumus sebagai berikut Rumus = /N-/ + /c..../ → /ny  ...../ = /N - / + / capcap / → /nyapcap / 5) Apabila bentuk dasar berawal vokal /a, i, e, è, u, o/, asimilasi tersebut menghasilkan /ng/ Fonem /i/ adalah vokal tinggi – depan dengan kedua bibir agak terentang kesamping diucapkan dengan meningikan lidah depan setinggi mungkin tanpa menyebabkan terjadinya konsonan geseran. Fonem /a/ merupakan vokal rendah – tengah yang diucapkan dengan bagiah tengah lidah agak merata dan mulut agak melebar. Fonem /e, è/ adalah vokal sedang – depan yang dibuat dengan daun lidah dinaikan, tetapi agak rendah dari fonem /i/ sehingga bentuk mulut menjadi netral, artinya tidak terentang atau tidak membundar. Fonem /u/ merupakan vokal tinggi – belakang diucapkan dengan menaikan pangkal lidah setinggi mungkin kemudian bentuk mulut tertutup bulat. Fonem /o/ adalah vokal sedang – belakang yang dibuat dengan menaikan pangkal lidah, tetapi agak rendah dari fonem /e, è/ kemudian bentuk mulut tertutup bulat tapi tak sebulat fonem /u/. fonem /ng/ merupakan konsonan nasal velar yang dibentuk menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak dan udara kemudian dilepas melalui hidung. Proses munculnya bunyi /ng/ karena proses asimilasi morfem {N-} dengan fonem /a/. Fonem /a/ pada awal kata ako dikekalkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal /ng/ dari morfem prefiks {N-} tersebut seperti tampak pada rumus sebagai berikut. Rumus = /N-/ + /a..../ → /nga...../ = /N - / + / ako + a / → /ngakoa / b Perubahan fonem akibat asimilasi fonemis morfem sufiks 1) Konsonan tak bersuara menjadi bersuara Konsonan tak bersuara /k, p, t/ pada akhir bentuk dasar akan berubah menjadi konsonan bersuara aspira /gh, bh, dh/ karena karena berasimilasi dengan vokal /ə/ . Dan perubahan /a/ menjadi /â/ pada sufiks /-a, -an, ana, -aghi, -na / jika begrabung dengan konsonan bersuara tapi bukan nasal.. Asimilasi

tersebut dinamakan asimilasi progresif, yaitu terjadi apabila arah pengaruh itu ke depan. Proses perubahannya, ialah konsonan bersuara itu mempengaruhi fonem /a/ hingga menjadi /â/ pada morfem sufiiks. Faktor perubahan fonem /k, p, t/ menjadi /gh, bh, dh/ karena penggunaan vokal /ə/ dalam bahasa Madura dilambangkan /â/. Fonem /â/ merupakan vokal sedang – tengah yang diucapkan dengan bagian tengah lidah agak dinaikkan. Jadi karena proses bunyi [â] tersebut maka fonem /k, p, t/ pada akhir kata dasar mendapat akhiran /â/( dalam pelafalan ) jika dilafalkan secara otomatis fonem /k, p, t/ berubah menjadi /gh, bh, dh/. Perubahan /k, p, t/ menjadi /gh, bh, dh/ merupakan hasil asimilasi yang homorgan penuh. 2) Konsonan tak bersuara menjadi bersuara akibat morfem {-na} Proses penggabungan morfem {-na} dengan konsonan /k, p, t/ terjadi perangkapan dan peluluhan, yaitu jika bentuk dasar bergabung dengan morfem {-na} maka fonem /n/ pada morfem {-na} diluluhkan kemudian diikuti perangkapan konsonan pada akhir kata dasar itu, misal pada akhir kata dasar itu /k, p,t/ mendapat morfem {-na} maka ditulis /kk, pp, tt/. Dan karena pengaruh fonem /â/ maka fonem /kk, pp, tt/ menjadi /ggh, bbh, ddh/. Proses pembentukan babatekna, karepna, muridna berubah menjadi babatekka, kareppa, moretta karena mendapat sufiks –na, jadi fonem /n/ pada sufiks -na menjadi fonem akhir darik kata dasar itu sehingga ditulis rangkap pada akhir kata dasar itu. Proses pembentukan fonem rangkap pada akhir kata /k, p, t/ menjadi /kk, pp, tt/ karena penggunaan vokal /a/ bukan /â/ yang digunakan sebagian orang Madura), jadi fonem /a/ tidak dapat mengubah fonem /kk, pp, tt/ menjadi /ggh, bbh, ddh/, karena fonem /a/ adalah vokal rendah-tengah yang dihasilkan dengan bagian tengah lidah agak merata dan mulut terbuka lebar, jadi karena fonem /a/ dihasilkan seperti itu maka secara otomatis hanya terjadi perangkapan /kk, pp, tt/. Rumus: bâbâtek + na → bâbâtekna → bâbâtekka → bâbâtegghâ

73

2. Proses Penambahan Fonem a. Penambahan fonem /y/ Penambahan fonem /y/ terjadi pada bentuk dasar dengan /e, è/ atau /i/ yang mendapat morfem sufiks {-a, -an, -ana, aghi, dan bentuk dasar yang berawal /a/ yang mendapat prefiks {e-/è-} Proses penambahan fonem /y/, karena /i/ bergabung dengan fonem /â/ pada sufiks. Vokal /i/ termasuk vokal tinggi-depan, sedangkan vokal /â/ merupakan vokal sedangtengah. Jika fonem /i/ dilafalkan kemudian diteruskan ke fonem /â/ tanpa adanya pemberhentian diartikulasi, maka ditengahtengah kedua fonem itu menghasilkan bunyi [y]. alasan lain terjadinya bunyi [y] karena dalam pembentukan bunyi [y] dimulai dengan pembentukan bunyi /i/ yang merupakan vokal tinggi, sehingga bila ditinggikan sedikit saja maka jarak antara lidah dan langit-langit akan begitu sempit kemudian udara pada jalan sempit itu bergetar, itulah proses terjadinya bunyi [y]. maka ketika fonem /i/ dilafalkan dengan bentuk bibir terentang kesamping kemudian bentuk bibir berubah netral untuk menghasilkan bunyi [â] secara tidak langsung akibat perubahan bentuk bibir itu menghasilkan bunyi [y]. Contoh: nyarè + a ----- [nyarèya] ènyarè + aghi ----- [ènyarèyaghi] ècampolè + aghi ----- [ècampolèyaghi] b. Penambahan fonem /w/ Terjadi pada kata dasar yang berakhir vokal /o/ atau /u/ yang mendapat morfem sufiks {-a, -an, -ana, -aghi, -e/i}. Proses penambahan fonem /w/ pada pelafalan, karena fonem /u/ berganbung dengan fonem /a/ pada sufiks. Vokal /u/ merupakan vokal tinggi belakang, sedangkan vokal /a/ merupakan vokal rendah tengah. Proses penambahan fonem /w/ diantara fonem /u/ dan /a/, jika fonem /u/ dilafalkan tanpa ada hambatan pada artikulasi atau diteruskan ke fonem /a/ maka akan menghasilkan fonem /w/. alasan lain penambahan fonem /w/ diantara fonem /u/ dan /a/, karena bunyi [w] berawal dari bunyi [u] maksudnya, vokal /u/ adalah vokal bundar, berarti bibir-bibir berbentuk bundar, apabila kedua bibir itu lebih saling

didekatkan lagi, maka saluran diantaranya menjadi begitu sempit sehingga udara diantara mulai bergetar, dan hasilnya ialah fonem /w/, maka ketika fonem /u/ dilafalkan dengan bentuk bibir bundar kemudian bentuk bibir berubah terbuka lebar untuk menghasilkan bunyi [a] maka secara tidak langsung akibat perubahan bentuk bibir itu menghasilkan bunyi [w]. Contoh: karato + anna emoso + aghi naro + ana ngako + a pasèmo + an

--------------------------

[karato wanna] [emosowaghi] [narowana] [ngakowa] [pasèmowan]

c. Penambahan bunyi glotal /?/ Penambahan fonem /?/ terjadi pada bentuk dasar yang berawal dengan vokal /a, o/ yang mendapat prefiks ma-, sa-, ka-, ta-, pa-, dan bentuk dan yang berakhir dengan vokal /a/ yang mendapat sufiks –a, -an, -ana, -aghi serta penggabungan vokal sama baik berupa dalam kata dasar, prefiks maupun sufiks. Bunyi hamzah atau glotal /?/ dihasilkan dengan cara menutupnya pita-pita suara secara tiba-tiba. Di dalam pembentukan bunyi vokal, pita-pita suara tertutup terlebih dahulu sebelum vokal itu berbunyi, dalam fonetiknya di dilambangkan [?a, ?i, ?u, ?e, ?o]. Penambahan bunyi hamzah itu terjadi karana penggabungan vokal dengan vokal baik berupa sufiks, prefiks, maupun kata dasar itu sendiri. Proses penmabahan bunyi hamzah antara vokal dengan vokal, karena pertama diucapkan dengan menekan seluruh panjangnya pita suara dan langit-langit lunak beserta anak tekaknya ke atas sehingga arus udara terhambat untuk beberapa saat. Dengan merapatnya sepasang pita suara maka glotis dalam keadaan tertutup rapat, kemudian vokal kedua dilafalkan maka secara tiba-tiba kedua pita selaput udara terjadilah bunyi hamzah. Contoh: ngara + a ------ [ngara?a] aghuna + aghi ------ [aghuna?aghi] emamfaat +aghi ------ [emamfaat?aghi] ngobâsa + anna ------ [ngobâsa?anna] èbhidâ + aghi ------ [èbhidâ?aghi]

74

3. Proses asimilasi yang tidak homorgan akibat { N- } 1) Fonem /f/ frikatif-labiodental tidak homorgan dengan fonem /m/ nasalbilabial, berasimlasi karena /f/ dibilabialisasi nasal yaitu mentupnya bibir atas dan bibir bawah terkatup rapat sementara waktu kemudian dilepas, sehingga [f] diluluhkan dan disenyawakan dengan [m], proses ini terjadi pemunculan /m/ karena tidak homorgan. Seperti contoh di bawah ini : / N- + faham + e /  / mahame / 2) Fonem /s/ frikatif-alveolar tidak homorgan dengan fonem /ny/ nasalpalatal, berasimlasi karena /s/ dipalatalisasi nasal yaitu menempelnya depan lidah pada langit-langit keras sehingga [s] diluluhkan dan disenyawakan dengan [ny]. Proses ini terjadi karena / ny / tidak homorgan. Seperti contoh di bawah ini : / N- + sassa /  / nyassa / 3) Fonem /h/ frikatif-glotal tidak homorgan dengan fonem /ng/ nasalbilabial, berasimlasi karena /h/ divelarisasi nasal yaitu pengangkatan pangkal lidah pada langit-langit lunak sehingga [f] diluluhkan dan disenyawakan dengan [ng]. proses ini terjadi karena / ng / tidak homorgan. Seperti contoh di bawah ini : / N- + haram + aghi /  / ngaramaghi / 4) Fonem /l/ lateral-alveolar tidak homorgan dengan fonem /ng/ nasalvelar, berasimlasi karena /l/ divelarisasinasal yaitu menempelnya depan lidah pada langit-langit keras sehingga [l] dikekalkan dan disenyawakan dengan [ng], serta terjadi penambahan fonem / a / pada / ng / menjadi / nga /. Proses ini terjadi pemunculan / nga / karena tidak homorgan. Seperti contoh di bawah ini : / N- + lantor /  / ngalantor / 5) Vocal / a, i, u, e, o / tidak homorgan dengan fonem / ng / nasal-velar, berasimlasi karena, vocal divelarisasi nasal yaitu pengangkatan pangkal lidah pada langit-langit lunak sehingga vocal

dikekalkan dan disenyawakan dengan [ ng ]. Proses ini pemunculan terjadi karena / ng / tidak homorgan. Seperti contoh di bawah ini : / N- + ara /  / ngara / 4. Faktor Yang Berpengaruh Faktor berubahnya /k, p, t, s/ menjadi /gh, bh, dh, sâ/ di akhir kata dasar, karena factor pemakaian vokal /ə/ ( dalam bahasa madura dulambangkan /â/ ) yang merupakan vocal sedang-tengah, jadi karena pemakaian vocal tersebut fonem /k, p, t, s/ pada akhir kata dasar bila di ikuti fonemn /â/ ( dalam pelafalan ) akan menjadi /gh, bh, dh, sâ/ karena langsung mengikuti bunyi [â] yang digunakan sebagian orang Madura. Sepeti contoh di bawah ini : - ekolak +a  ekolaka  ekolaghâ - ekotep + a  ekotepa  ekotebhâ - epettat + a  epettata  epttadhâ - apes + na  apesna  apessa  apessâ Faktor tidak berubahnya fonem /k, p, t, s/ menjadi /gh, bh, dh, sâ/ dikarenakan sebagian orang Madura menggunakan vocal /a/ jadi vocal tersebut tidak mempangaruhi fonem /k, p, t, s/, dan langsung mengikuti vocal /a/ jika fonem di akhir kata dasar /k, p, t, s/ dilafalakan. Seperti contoh di bawah ini : - ekolak + a  ekolaka - ekotep + a  ekotepa - epettat + a  epettata - apes + na  apesna  apessa Faktor tidak berubahnya fonem /k, p, t/ menjadi /gh, bh, dh/ dikarenakan sebagian orang Madura menggunakan vocal /i/ dari alumorf /-e/ pada akhiran ( sufiks ), karena vokal /i/ merupakan vokal tinggi-depan jadi vocal tersebut mempangaruhi fonem /k, p, t/ menjadi /gh, bh, dh/ dan langsung mengikuti vocal /i/. Dan vokal /e/ tdak dapat mengubah /k, p, t/ menjadi /gh, bh, dh/ karena vokal /e/ merupakan vokal sedang-depan. Seperti contoh di bawah ini : - ngolok + i  ngolghi - ngadep + i  ngadebhi - ngolat + i  ngoladhi contoh /e/ tidak dapat berasimilasi : - ngolok + e  ngoloke

75

- ngadep + e - ngolat + e

 ngadepe  ngolate

Di samping dijumpai gejala perubahan fonem seperti yang telah terungkap, dalam bahasa Madura juga dijumpai serupa sufiks baru yaitu, {-ne} yang bermakna: perintah, misalnya: - ako + ne  akoné  akui - kobâsa + ne  kobâsané  kuasai - bâdâ + ne  bâdâné  penuhi - tampa + ne  tampane  terimalah Gejala serupa terjadi pada kata berikut menyatakan makna sudah, misalnya: - tekka  / N- + tekka + ne /  nekkane  ‘sudah mencukupi/memenuhi’ Penutup Seperti halnya bahasa nusantara lainnya, dalam bahasa Madura dijumpai kaidah morfofonemik yang meliputi (1) perubahan fonem awal bentuk dasar menjadi /m/, /n/, /ng/, dan /ny/ secara homorgan pada prefiksasi, (2) perubahan fonem akhir bentuk dasar /k/, /p/, /t/ menjadi /gh/, /bh/, /dh/ secara homorgan pada sufiksasi, (3) pemunculan fonem /nga / pada awal kata yang mirip dengan prefiksasi dan fonem /ne/ di belakang kata yang mirip dengan sufiksasi dan (4) dan penambahan fonem /y/, /w/, dan / ‘ / (glotal stop) pada pertemuan dua vokal. Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Asdi Mahasiswa. Chaer, Abdul. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. ____________. 2003. Linguistik Umum. Rineka Cipta : Jakarta Depdikbud. 2007. Kamus Bahasa MaduraMadura-Indonesia. Tim penyusun Pakem Maddhu. Pamekasan.

_________. 2004. Pedoman Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan. Surabaya : Balai Pustaka. Hadi, Sutrisno, 1987. Metodologi Resarch. Andi Offect : Yogyakarta. Kridalaksana, Harimurti. 1994. Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Gramadia Pustaka Utama. Marsono. 2006. Fonetik, Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. Moleong, Lexi. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Oka, I Gusti Ngorah. 1989. Tata Bahasa Acuan Bahasa Madura. Jakarta: Depdikbud. _________. 1974. Probelematika Bahasa dan Pengajaran Bahasa Madura. Surabaya : Usaha Nasional. Pratista, Mudiman Haksa, 1984. Sistem Perulangan Bahasa Madura, Jakarta : Dekdikbud. Ramlan, 2001. Morfologi, Yogyakarta : CV. Karyono Sugiarto, 2003. Teknik Sampling. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama. Surakhmad, Winarno, 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Bandung : Tarsito. Sedarmayanti, 2002. Metodologi Penelitian. Bandung : Mandar Maju Verhaar, J.W.M. 2004, Asas-Asas Linguistik Umum. Gajah Mada University Press : Yogyakarta.

76