JURNAL KIMIA

Download violet-visibel. Ekstraksi zat warna alam dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga metode yaitu maserasi, refluks, dan sokletasi dengan me...

2 downloads 622 Views 248KB Size
JURNAL KIMIA (JOURNAL OF CHEMISTRY) ISSN 1907-9850 VOLUME 8, NOMOR 1, JANUARI 2014

DAFTAR ISI Studi Interaksi Ion Logam Mn2+ Dengan Selulosa Dari Serbuk Kayu Risfidian Mohadi, Adi Saputra, Nurlisa Hidayati, dan Aldes Lesbani ..........................................

1

Spesiasi dan Bioavailabilitas Logam Cu dan Zn Dalam Sedimen di Pelabuhan Benoa Yang Diayak Basah dan Kering Arik Agustina, Emmy Sahara, dan I G.A. Kunti Sri Panca Dewi .................................................

9

Pengaruh Penambahan Susu Skim Terhadap Hasil DNA Metagenomik Diisolasi Dari Tanah Hutan Mangrove Ni Putu Frida Oktaningtias Widiarthi, Ketut Ratnayani, dan I Nengah Wirajana* ......................

17

Uji Aktivitas Repelan Minyak Atsiri Buah Liligundi (Vitex trifolia Linn) Terhadap Nyamuk Aedes aegypti I Wayan Sugiri Adiyasa, Sri Rahayu Santi, dan Manuntun Manurung .......................................

23

Total Logam Pb dan Cr Dalam Tanah Pertanian dan Air Danau Beratan Serta Bioavailabilitasnya Dalam Tanah Pertanian di Daerah Bedugul I. G. Eka Saputra Jaya, I.M. Siaka, dan N. P. Diantariani ...........................................................

28

Kemampuan Tanah Hutan Mangrove Sebagai Sumber Enzim Dalam Hidrolisis Enzimatik Substrat Sekam Padi Ni Luh Md. Widayantini, I Nengah Wirajana, dan Putu Suarya ..................................................

35

Penentuan Kadar 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin (8-ohdg) Dalam Urin Tikus Setelah Terpapar Etanol dan Asap Rokok Mahardika Aprilia Iflahah, Ni Made Suaniti, dan Ida Ayu Raka Astiti Asih …..........................

42

Isolasi DNA Metagenomik Dalam Rangka Studi Metanogenesis Pada Tanah Sawah Ni Luh Putu Mustika Praptiwi, Iryanti Eka Suprihatin, dan I Nengah Wirajana* ........................

47

Analisis 8-isoprostan Dalam Urin Tikus Jantan Wistar Setelah Terpapar Etanol dan Asap Rokok Agung Ari Chandra Wibawa, Ni Made Suaniti, dan Ni Komang Ariati .......................................

53

Stabilitas dan Kadar Lamivudin Dalam Sediaan Racikan Puyer Pada Berbagai Waktu Penyimpanan Secara Spektrofotometri Uv-Vis Dewa Ayu Ika Pramitha, Ni Made Suaniti, dan I Wayan Suarsa ..................................................

58

Fraksinasi dan Bioavailabilitas Logam Pb dan Cr Dalam Sedimen di Pelabuhan Benoa Ni Luh Eka Lusiana Dewi, Emmy Sahara, dan A. A. I. A. M. Laksmiwati .................................

63

Minyak Atsiri Daun Tenggulun (Protium javanicum Burm.F.) Sebagai Repelan Nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti) Gusti Ayu Primandari Utami, Sri Rahayu Santi, dan Ni Made Puspawati ...................................

70

Desain Primer Untuk Amplifikasi Gen katG Multidrug Resistance Tuberculosis (MDR-TB) Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) Putu Tedi Suryadi 1), Ketut Ratnayani 2)3), dan Sagung Chandra Yowani 1)3) ..............................

77

Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Anti Bakteri Pada Daun Herba Sisik Naga(Drymoglossum piloselloides Presl.) Gde Agus Surya Cahyadi, I Gusti Agung Gede Bawa, dan Emmy Sahara ...................................

83

Kandungan Logam Cu dan Zn Dalam Tanah dan Pupuk serta Bioavailabilitasnya Dalam Tanah Pertanian di Daerah Bedugul I Putu Meda Parmiko, I Made Siaka, dan Putu Suarya .................................................................

91

Pengaruh Perlakuan Biofiltrasi Ekosistem Buatan Terhadap Penurunan COD, Nitrat, dan pH Air Limbah Pencucian Rumput Laut W. Gina Angraeni, I W. Budiarsa Suyasa, dan Wahyu Dwijani Sulihingtyas ..............................

97

Pemanfaatan Teh Kombucha Sebagai Obat Hiperurisemia Melalui Penurunan Kadar 8-hidroksi-2-deoksiguanosin Made Baruna Jayadilaga, Ida Bagus Putra Manuaba, dan Ni Luh Rustini ...................................

104

Ekstraksi Zat Warna Alam dari Bonggol Tanaman Pisang (Musa paradiasciaca L.) Dengan Metode Maserasi, Refluks, dan Sokletasi A. A. Bawa Putra, N. W. Bogoriani, N. P. Diantariani, dan Ni Wayan Utari ..............................

113

Sintesis dan Karakterisasi Edible Film Berbahan Baku Gelatin Hasil Isolasi Kulit Ceker Ayam Broiler I Made Sutha Negara dan I Nengah Simpen .................................................................................

120

Karakteristik Sifat Fisiko Kimia Gelatin Halal Yang Diekstrak Dari Kulit Ayam Broiler Melalui Variasi Suhu Ni Made Puspawati1, I Nengah Simpen2, dan Ni Luh Putu Suciptawati3 .....................................

127

Fotodegradasi Metilen Biru Dengan Sinar Ultraviolet dan Katalis ZnO N. P. Diantariani*, I. A. G. Widihati, dan I G. A. A. Ratih Megasari ...........................................

137

ISSN 1907-9850

EKSTRAKSI ZAT WARNA ALAM DARI BONGGOL TANAMAN PISANG (Musa paradiasciaca L.) DENGAN METODE MASERASI, REFLUKS, DAN SOKLETASI A. A. Bawa Putra*, N. W. Bogoriani, N. P. Diantariani, dan Ni Luh Utari Sumadewi Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran *email : [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenai ekstraks zat warna alam dari bonggol tanaman pisang (Musa paradiasiaca L.). Ekstrak kental yang diperoleh ditentukan rendemennya, warnanya, dan golongan zat warnanya dengan uji fitokimia serta menentukan serapan panjang gelombang zat warna tersebut dengan spektrofotometer ultra violet-visibel. Ekstraksi zat warna alam dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga metode yaitu maserasi, refluks, dan sokletasi dengan menggunakan empat macam pelarut pengekstrak yaitu air, etanol, aseton, dan n-heksana. Warna ekstrak yang dihasilkan dengan pengekstrak air adalah coklat tua, dengan pengekstrak etanol dan aseton berwarna coklat muda, sedangkan dengan pengekstraksi n-heksana berwarna kuning. Ekstrak masing-masing pelarut dari ketiga metode dipekatkan, kemudian dihitung rendemennya dan diperoleh hasil rendemen dengan metode maserasi yakni: air (8,12%); etanol (2,40%); aseton (0,52%); dan n-heksana (1,16%). Rendemen dengan metode refluks yaitu: air (8,68%); etanol (1,84%); aseton (1,44%); dan n-heksana (1,04%). Rendemen dengan metode sokletasi yaitu: air (4,80%); etanol (1,12%); aseton (0,44%); dan n-heksana (0,56%). Hasil uji fitokimia menunjukan bahwa pada zat warna bonggol pisang mengandung tanin dan flavonoid. Serapan panjang gelombang energi ultra violet-visibel terdeteksi pada panjang gelombang antara 200 nm sampai 400 nm. Kata kunci: bonggol pisang, ekstraksi, tanin, flavonoid, karotinoid

ABSTRACT We have conducted research on natural dyes extraction of banana (Musa paradiasiaca L.) weevil. The rendement concentration, its color, and their functional groups were determined using phytochemical test and ultraviolet-visible spectrophotometer. Extraction of natural dyes in the study was conducted by three methods namely maceration, reflux, and soxletation by using four kinds of extracting solvent including water, ethanol, acetone, and n-hexane. Color extract in water was dark brown, in ethanol and acetone was light brown, and in n-hexane was yellow. Each extract obtained by the three methods of each solvent was concentrated, their rendement were determined. The yields obtained by the maceration method using water was 8.12%, ethanol 2.40%, acetone 0.52%, and n-hexane 1.16%. The yields of the reflux method were 8.68%, 1.84%, 1.44%, and 1.04% respectively. The yields of the soxletation method were 4.80%, 1.12%, 0.44%, 0.56% respectively. The phytochemical test showed that the banana weevil dyes contained tannins and flavonoids. Absorption of the wavelength of energy ultra violet – visible detected at a wavelength between 200 nm up to 400 nm. Keywords: banana weevil, extraction, tannins, flavonoides, carotinoides

113

JURNAL KIMIA 8 (1), JANUARI 2014: 113-119

PENDAHULUAN Industri pangan pada saat ini masih banyak yang menggunakan zat warna buatan yang peruntukannya bukan untuk bahan pangan. Hal ini sangat merugikan konsumen karena dapat mengganggu kesehatan. Sementara itu masih banyak tanaman yang berpotensi sebagai sumber zat warna alam. Keunggulan zat warna sintetis adalah lebih mudah diperoleh, ketersediaan warna terjamin, jenis warna bermacam-macam, dan lebih praktis dalam penggunaannya. Pada awalnya proses pewarnaan tekstil menggunakan zat warna alam, tetapi dengan kemajuan teknologi dalam penemuan zat warna sintetis untuk tekstil maka semakin terkikis penggunaan zat warna alam. Penggunaan zat warna alam yang merupakan kekayaan budaya warisan nenek moyang masih tetap dijaga keberadaannya khususnya pada proses pewarnaan makanan, pembatikan, dan perancangan busana, walaupun akhir-akhir ini penggunaannya telah tergeser oleh keberadaan zat warna sintesis. Rancangan busana maupun kain batik yang menggunakan zat warna alam memiliki nilai jual atau nilai ekonomi yang tinggi karena memiliki nilai seni dan warna khas, ramah lingkungan sehingga berkesan etnik dan eksklusif (Fitrihana, 2007; Bogoriani, 2011). Zat warna alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga. Pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan-tumbuhan yang dapat mewarnai bahan tekstil beberapa diantaranya adalah: daun pohon nila (indofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis), kunyit (Curcuma), teh (Tea), akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), daun jambu biji (Psidium guajava) (Robinson, 1991; Mariance, et al, 2013). Salah satu kekayaan Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai zat warna alam, misalnya pisang. Pisang dikonsumsi bukan saja sebagai tambahan makanan pokok, akan tetapi di beberapa negara, pisang dikonsumsi sebagai makanan pokok. Manusia telah mengkonsumsi pisang sejak zaman dahulu kala. Kata pisang berasal dari bahasa Arab, yaitu musa yang oleh Linneus dimasukkan ke dalam keluarga Musaceae, untuk memberikan

114

penghargaan kepada Antonius Musa, yaitu seorang dokter pribadi kaisar Romawi (Octaviani Agustinus) yang menganjurkan untuk memakan pisang. Itulah sebabnya dalam bahasa latin, pisang disebut sebagai Musa paradisiaca. Berdasarkan sejarah, pisang berasal dari Asia Tenggara yang oleh para penyebar agama Islam disebarkan ke Afrika Barat, Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Selanjutnya pisang menyebar ke seluruh dunia, meliputi daerah tropis dan subtropis (Astawan, 2008; Suarsa, et al., 2011). Batang pisang yang berupa batang semu berpelepah berwarna hijau sampai coklat. Jantung pisang yang merupakan bunga pisang berwarna merah tua keunguan. Di bagian dalamnya terdapat bakal pisang. Bonggol pisang, yakni bagian terbawah berwarna coklat dari batang semu yang berada di dalam tanah, mengandung banyak cairan yang bersifat menyejukkan dan berkhasiat menyembuhkan (Astawan, 2008). Batang pisang ditebang, sampai dekat bonggolnya, kemudian pada bagian bonggol itu dikeruk seperti ceruk. Dibiarkan semalam, besoknya sudah ada air menggenang. Air itulah yang digunakan untuk minum oleh orang Palue (Annapurna, 2008). Bonggol pisang dimanfaatkan untuk menetralkan tanah yang tingkat keasamannya tinggi. Bonggol pisang mengandung unsur kalsium sebanyak 49% (Sumanta, 2007). Proses pembuatan larutan zat warna alam adalah proses untuk mengambil pigmen-pigmen penimbul warna yang berada di dalam tumbuhan, baik terdapat pada daun, batang, buah, bunga, biji, ataupun akar. Proses ekslorasi pengambilan pigmen zat warna alam disebut proses ekstraksi (Fitrihana, 2007). Ekstraksi yang benar dan tepat tergantung dari jenis senyawa, tekstur, dan kandungan air bahan tumbuhan yang akan diekstraksi (Harbone, 1996). Ekstraksi serbuk kering jaringan tumbuhan dapat dilakukan secara maserasi, refluks, atau sokletasi dengan menggunakan pelarut yang tingkat kepolarannya berbeda-beda (Kristanti, 2008). Maserasi adalah proses perendaman sampel untuk menarik komponen yang diinginkan dengan kondisi dingin diskontinyu. Keuntungannya yakni lebih praktis, pelarut yang digunakan lebih sedikit, dan tidak memerlukan pemanasan, tetapi waktu yang dibutuhkan relatif

ISSN 1907-9850

lama. Refluks dikerjakan pada kondisi panas diskontinyu, sedangkan sokletasi dikerjakan pada kondisi panas kontinyu. Keuntungan refluks dibandingkan sokletasi yakni pelarut yang digunakan lebih sedikit dan bila dibandingkan dengan maserasi dibutuhkan waktu ekstraksi yang lebih singkat (Kristanti, 2008). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada penelitian ini dilakukan ekstraksi zat warna alam bonggol pisang dengan metode maserasi, refluks, dan sokletasi, selanjutnya ditentukan golongan pigmen penimbul warna, rendemen ekstrak yang diperoleh, dan serapan zat warna pada daerah spektrum ultra violet-visibel.

MATERI DAN METODE Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: bonggol pisang (spesies Pisang Ketip) yang diambil dari daerah Desa Singapadu, Sukawati, Gianyar, Bali pada bulan Juni 2013. Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah air, etanol, aseton, n-heksana, HCl pekat, H2SO4 pekat, serbuk magnesium, FeCl3. Peralatan Alat−alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: tabung reaksi, pemanas (hot plate), gelas ukur, pipet tetes, seperangkat alat maserasi, refluks, sokletasi, belender, kertas saring, neraca analitik, rotary vaccum evaporator, dan spektrofotometer ulta violet-visibel. Cara Kerja Preparasi Penyiapan Bahan Bonggol pisang yang berwarna coklat diambil dari pohon pisang. Dibersihkan dan selanjutnya bonggol pisang di potong kecil-kecil untuk dikeringkan dengan cara diletakkan ditempat terbuka dengan sirkulasi udara yang baik dan terkena sinar matahari langsung kemudian setelah kering diblender dan diayak.

sokletasi menggunakan empat macam pelarut yaitu air, etanol, aseton, dan n-heksana. Masing−masing pelarut digunakan sebanyak 250 mL. Ekstrak yang diperoleh disaring, filtratnya ditampung, dan ampasnya dibuang. Filtrat yang diperoleh lalu dipekatkan dengan menggunakan rotary vacuum evaporator sehingga didapat ekstrak kental lalu ditimbang. Dengan cara yang sama dikerjakan untuk metode refluks dan metode sokletasi dengan masing-masing pelarut air, etanol, aseton, dan nheksana. Identifikasi pigmen penimbul warna dengan reaksi warna Identifikasi tanin Pereaksi yang digunakan adalah FeCl3. Adanya tanin pada sampel ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna menjadi hijau atau biru kehitaman. Identifikasi flavonoid Beberapa mL sampel dalam etanol dipanaskan selama 15 menit di atas penangas air kemudian ditambah 0,5 mL HCl pekat, dan 3-4 potong logam Mg, adanya warna merah atau jingga menunjukan adanya senyawa flavonoid. Identifikasi karotenoid Beberapa mL sampel ditambahkan 2 tetes sampai 3 tetes asam sulfat pekat, adanya warna biru atau hijau kebiruan menunjukan adanya karotenoid. Identifikasi senyawa dengan spektrofotometer ultra violet−visibel Pengukuran spektrum ultra violet-visibel dilakukan pada panjang gelombang 200−800 nm Untuk mendapatkan spektra ultra violet-visibel, sejumlah ekstrak kental dilarutkan dalam pelarut (sesuai dengan pelarut pengekstraknya) kemudian diamati serapannya. Dengan cara yang sama dikerjakan untuk ketiga metode ekstraksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Ekstraksi Zat Warna Alam Serbuk kering bonggol pisang 50 g diekstraksi dengan cara maserasi, refluks, dan

Warna Ekstrak Bonggol Pisang Sampel serbuk bonggol pisang yang digunakan sebanyak 50 g dengan cara maserasi

115

JURNAL KIMIA 8 (1), JANUARI 2014: 113-119

selama 24 jam menggunakan pelarut air. Setelah dievaporasi, di peroleh ekstrak kering air. Kemudian ekstrak kering air dihitung rendemennya dan dilakukan uji fitokimia. Dengan cara yang sama, untuk masing-masing 50 g serbuk bonggol pisang yang menggunakan 3 macam pelarut yang berbeda yaitu etanol, aseton, dan nheksana dimaserasi selama 24 jam. Kemudian dievaporasi, sama perlakuannya seperti pada ekstraksi dengan pelarut air. Pada proses refluks, sampel serbuk bonggol pisang sebanyak 50 g ditambahkan pelarut yang sama seperti pada proses maserasi tetapi bedanya metode refluks membutuhkan waktu lebih singkat yaitu kurang dari 24 jam. Pada proses sokletasi, sampel serbuk bonggol pisang sebanyak 50 g ditambahkan pelarut yang sama seperti pada proses maserasi tetapi bedanya metode sokletasi membutuhkan waktu lebih singkat yaitu kurang dari 24 jam pelarut bersifat sirkulasi. Warna ekstrak bonggol pisang dari masing-masing pelarut setelah dipekatkan dari ketiga metode tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Data hasil ekstraksi dari tiga metode yang telah dikerjalan dan selanjutnya dievaporasi diperoleh warna ekstrak kering pelarut air yang sama antara ketiga metode yaitu coklat tua, untuk ekstrak kering etanol dan aseton diperoleh warna ekstrak yang sama antara ketiga metode yakni menghasilkan warna coklat muda, dan Ekstrak kering n-heksana juga warna ekstraknya sama antara ketiga metode yaitu warna kuning. Ini menunjukkan bahwa antara ketiga metode ekstraksi memperoleh golongan pembawa zat warna yang mirip sesuai dengan pengamatan penglihatan dan secara umum kemampuan ketiga metode memiliki kemampuan yang sama untuk

mengekstrak zat warna walaupun waktu ekstraksi yang diperlukan berbeda. Pengaruh panas tidak mempengaruhi zat warna yang diekstrak dan ini menunjukkan panas tidak merusak kandungan zat warna yang terdapat pada bongkol pisang (Hagermae, 2002). Pelarut pengekstrak menentukan zat warna yang terekstraksi. Ini ditunjukkan adanya perbedaan warna ekstrak hasil ekstraksi dimana pelarut pengekstrak air memberikan warna coklat tua, tetapi pelarut pengekstrak etanol dan aseton memberikan warana yang sama yaitu coklat muda, sedangkan pelarut pengekstrak n-heksana memberikan warna ekstrak kuning. Ini menunjukkan, kepolaran pelarut pengekstrak menentukan jenis pigmen zat warna yang terekstrak (Kristianti, 2008). Rendemen ekstrak bonggol pisang Setelah diperoleh ekstrak kering dari masing-masing pelarut dihitung rendemennya. Hasil perhitungan rendemen ekstrak pekat dari masing-masing pelarut dipaparkan pada Tabel 2. Data hasil perhitungan rendemen antara ketiga metode menunjukkan bahwa metode maserasi, refluks, maupun sokletasi cukup baik untuk mengekstraksi zat warna walaupun masingmasing metode mempunyai kelebihan dan kekurangannya, karena kelarutan zat padat dalam zat cair (daya larut) dipengaruhi oleh: jenis zat pelarut, jenis zat terlarut, temperatur, dan tekanan (Sukardjo, 1989). Kekurangan untuk metode maserasi adalah membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada refluks dan sokletasi, serta ekstrak air yang dihasilkan pada metode maserasi akan cepat rusak dan bau (Kristianti, 2008).

Tabel 1.

1. 2. 3. 4.

116

Warna Ekstrak Pekat Bonggol Pisang dari Masing-masing Pelarut Pelarut Metode Ekstraksi Pengekstrak Maserasi Refluks Air Coklat tua Coklat tua Etanol Coklat muda Coklat muda Aseton Coklat muda Coklat muda n-heksana Kuning Kuning

Sokletasi Coklat tua Coklat muda Coklat muda Kuning

ISSN 1907-9850

Tabel 2. Hasil Perhitungan Rendemen Ekstrak Bonggol Pisang dari Masing-masing Pelarut Pelarut Metode Ekstraksi Pengekstak Maserasi Refluks Sokletasi Berat Ekstrak Rendemen Berat Ekstrak Rendemen Berat Ekstrak Rendemen Pekat Pekat Pekat Air 2,03 g 8,12% 2,17 g 8,68% 1,20 g 4,80% Etanol 0,60 g 2,40% 0,46 g 1,84% 0,28 g 1,12% Aseton 0,13 g 0,52% 0,36 g 1,44% 0,11 g 0,44% n-heksana 0,29 g 1,16% 0,26 g 1,04% 0,14 g 0,56%

Ketiga metode ekstraksi pada ekstraksi zat warna dari bonggol pisang ini menunjukkan hasil rendemen yang paling tinggi pada ekstrak pelarut air, sehingga air cocok digunakan sebagai pelarut pengekstrak. Ini menunjukkan bahwa pigmen zat warna yang terkandung pada bonggol tanaman pisang terekstrak dengan baik dalam air. Rata-rata hasil ekstraksi menunjukkan bahwa pengaruh pemanasan tidak menunjukkan perubahan yang linier. Hal ini berarti tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi maka penetrasi pelarut makin mudah masuk ke dalam bahan sehingga ekstrak dari sampel yang terekstrak semakin banyak (Hagermae, 2002). Pengekstrak air dengan metode refluks menunjukkan data tertinggi tetapi pada metode sokletasi menunjukkan data terendah, hal ini menunjukkan bahwa pemanasan berpengaruh tetapi waktu kontak antara pelarut pengekstrak dengan sampel juga menentukan (Hagermae, 2002). Kelebihan untuk metode refluks dan sokletasi yaitu waktu yang dibutuhkan lebih singkat daripada maserasi dan lebih efisien. Untuk dua pelarut yaitu pelarut air dan aseton lebih cocok ekstraksinya menggunakan metode refluks dibandingkan metode maserasi dan sokletasi karena pada metode refluks ekstrak pelarut air dan aseton rendemennya lebih tinggi dibandingkan dengan metode maserasi dan sokletasi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi maka penetrasi pelarut ke dalam bahan semakin

mudah sehingga sampel yang terekstrak semakin banyak (Hagermae, 2002). Uji fitokimia Ekstrak pekat dari masing-masing pelarut setelah dihitung rendemennya kemudian dilakukan uji fitokimia dan hasil uji fitokimia untuk ekstrak masing-masing dipaparkan pada Tabel 3. Data hasil uji fitokimia untuk masingmasing ekstrak menunjukkan bahwa zat warna karotenoid tidak terdapat pada semua jenis ekstrak baik ekstrak yang diperoleh dengan metode maserasi, refluks, maupun sokletasi, hal ini berarti semua ekstrak pada bonggol pisang tidak ada zat warna karotenoid. Sebaliknya zat warna flavonoid terdapat pada semua jenis ekstrak pelarut baik ekstrak dengan cara maserasi, refluks, maupun sokletasi. Zat warna tanin dengan pelarut pengekstrak air tidak terdapat pada ketiga metode yang digunakan, sedangkan ekstrak etanol dan aseton ditemukan pada metode maserasi dan refluks, tetapi untuk ekstrak n-heksana hanya ditemukan pada metode maserasi. Sedangkan dengan metode sokletasi tidak diperoleh adanya golongan tanin. Zat warna tanin tidak terdapat pada ekstrak air, hal ini dikarenakan tanin tersebut tidak larut dalam air tetapi mampu larut dalam pelarut eanol, aseton, dan n-heksana, tetapi waktu kontak menentukan kelarutan tanin yakni semakin lama waktu kontak antara sampel dengan pelarut akan meningkatkan kelarutan tanin (Hagermae, 2002).

117

JURNAL KIMIA 8 (1), JANUARI 2014: 113-119

Tabel 3. Hasil Uji Fitokimia Pelarut Metode Pengekstrak 1. Air

Golongan Tanin (pereaksi FeCl3)

Maserasi Refluks Sokletasi 2. Etanol Maserasi Refluks Sokletasi 3. Aseton Maserasi Refluks Sokletasi 4. n-heksana Maserasi Refluks Sokletasi Keterangan: (+) positif uji; (-) negatif uji

+ + + + + -

Panjang Gelombang Serapan Ultra VioletVisibel Panjang gelombang serapan hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi, refluks, dan sokletasi memberikan serapan pada panjang gelombang 200 nm sampai 400 nm. Ini menunjukkan bahwa ketiga metode menghasilkan zat warna yang mampu menyerap panjang gelombang ultra violet dan sinar tampak pada panjang gelombang rendah. Larutan pengekstrak n-heksana memberikan dua puncak serapan yang menonjol yakni pada panjang gelombang 210 nm dan 240 nm menunjukkan ada dua kromofor yang berada pada hasil ekstraksi zat warna tersebut. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh kemampuan pelarut nheksana yang kemungkinan juga mampu menyerap panjang gelombang yang berdekatan dengan serapan panjang gelombang zat warna alam yang terekstraksi (Markham, 1988). Pelarut pengekstrak aseton pada metode sokletasi memberikan puncak-puncak yang tinggi tetapi tidak tunggal menunjukkan adanya senyawasenyawa lain yang menyertai zat warna hasil ekstraksi dan pelarut aseton kemungkinan mempengaruhi serapan energi ultra violet-visibel karena pengaruh pemansan dan waktu kontak dengan sampel (Sastrohamidjojo, 1991; Silverstein, et al., 1991).

118

Golongan Flavonoid (pereaksi Willstater/ Sianidin) + + + + + + + + + + + +

Golongan Karotenoid (pereaksi H2SO4) -

Serapan hasil ekstraksi dengan pelarut air dan etanol menunjukkan serapan panjang gelombang yang berdekatan. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh pelarut yang sama-sama bersifat mampu melarutkan senyawa-senyawa polar maka memberikan hasil ekstraksi yang mengandung senyawa yang polar dan kemampuan pelarutan air dan etanol menyerap energi ultra violet-visibel hampir berdekatan (Harbone, 1996). Senyawa golongan flavonoid kecendrungannnya menyerap sinar ultra violetvisibel optimum di wilayah panjang gelombang 200-300 nm (Silverstein, et al., 1991), hal ini didukung dari hasil uji fitokimia dengan ketiga metode dan keempat pelarut pengekstraksi memberikan hasil uji positif flavonoid (Harbone, 1996; Astiti Asih, et al., 2008).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ekstraksi zat warna alami dari bonggol pisang dilakukan menggunakan metode maserasi, refluks, dan sokletasi dengan empat pelarut ekstraksi (air, etanol, aseton, dan n-heksana) dan diperoleh hasil rendemen terbaik dengan metode maserasi dan refluks dengan pelarut air, serta hasil uji fitokimia menunjukan bahwa zat warna bonggol pisang merupakan zat warna tanin dan

ISSN 1907-9850

flavonoid yang mampu menyerap energi ultra violet-visibel optimum panjang gelombang 200 nm sampai 400 nm. Saran Penelitian ini perlu dilakukan lebih lanjut untuk memperoleh hasil luaran berupa zat warna yang dapat diterapkan ke bahan makanan dan minuman serta untuk barang-barang kerajinan rumah tangga. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana yang telah memberikan dana penelitian BOPTN scheme Unggulan Perguruan Tinggi tahun anggaran 2013.

DAFTAR PUSTAKA Annapurna, S., 2008, Pisang, Pohon Buah Kehidupan, http://pbm−id.com/article. php?m=show&nid=20080805174025, 11 November 2008 Astawan, M., 2008, Pisang Sebagai Buah Kehidupan, http://lovemelz.wordpress. com/2008/10/page/3, 15 Oktober 2008 Astiti Asih, I. A. R. dan Adi Setiawan, I M., 2008, Senyawa Golongan Flavonoid Pada Ekstrak n-Butanol Kulit Batang Bungur (Lagerstroemia speciosa Pers), Jurnal Kimia, 2 (2) : 111-116 Bogoriani, N. W., 2011, Studi Pemanfaatan Campuran zat Warna Alam dan Asam sitrat Sebagai Mordan Terhadap Kayu Jenis Akasia dengan Metode Simultan Mordaning, Jurnal kimia, 5 (1) : 51-56 Fitrihana, N., 2007, Teknik Eksplorasi Zat Pewarna Alam Dari Tanaman Di Sekitar Kita Untuk Pencelupan Bahan Tekstil, http://www.batikyogya.wordpress.com/200

7/08/02/Teknik−Eksplorasi−Zat−Pewarna −Alam−Dari−Tanaman−Di−Sekitar−Kita− Untuk−Pencelupan−Bahan−Tekstil, 2 November 2008 Hagermae, A. E., 2002, Tannin chemistry, http://www.users.muohio.edu/hagermae/ta nnin.pdf, 11 November 2008 Harborne, J. B., 1996, Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, a.b. Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, Terbitan Kedua, Penerbit ITB, Bandung Kristianti, A. N., 2008, Buku Ajar Fitokimia, Airlnggan University Press, Surabaya Mariance Thomas, Manuntun Manurung, dan I. A. R. astiti Asih, 2013, Pemanfaatan Zat Warna Alam Dari Ekstrak Kulit Akar Mengkudu (Morinda citrifolia Linn) Pada Kain Katun, Jurnal Kimia, 7 (2) : 119-126 Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, a.b. Kosasih Padmawinata, Penerit ITB, Bandung Robinson, T., 1991, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Penerbit ITB, Bandung Sastrohamidjojo, H., 1991, Spektroskopi, Liberty, Yogyakarta Silverstein, R. M., Clayton Bassler, G., and Terence C. Morrill, 1991, Specrometric Identification of Organic Compounds, John Wiley & Sons, Inc, New York Suarsa, I W., Suarya, P., dan Ika Kurniawati, 2011, Optimasi Jenis Pelarut Dalam Ekstraksi Zat Warna Alami Dari Batang Pisang Kepok (Musa paradiasiaca L. Cv kepok) dan Batang Pisang Susu (Musa paradiasiaca L. Cv susu), Jurnal Kimia, 5 (1) : 72-80 Sukardjo, 1989, Kimia Fisika, Penerbit Bina Aksara, Jakarta Sumanta, W., 2007, Bonggol Pisang Penyubur Padi, http://www.biovermint.com/index. php?option=com_content&task=view&id= 16&Itemid=2, 11 November 2008

119