JURNAL PENANGGULANGAN BENCANA Terbit 2 Kali setahun, mulai Oktober 2010 ISSN: 2087 636X Volume 4 Nomor 1, Juni 2013 Pembina: Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Penasihat: Sekretaris Utama BNPB Pemimpin/Penanggung Jawab Redaksi: Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Ketua Dewan Penyunting: DR. Sutopo Purwo Nugroho Hidrologi dan Pengurangan Risiko Bencana Anggota Dewan Penyunting: DR. Sugimin Pranoto, M. Eng / Teknik Sipil dan Lingkungan Ir. Sugeng Tri Utomo, DESS / Pengurangan Risiko Bencana DR. Rudy Pramono / Sosiologi Bencana Ir. B. Wisnu Widjaja, M.Sc / Geologi dan Kesiapsiagaan Bencana DR. Ir. Agus Wibowo / Database & GIS Ir. Neulis Zuliasri, M.Si / Teknologi Informasi Drs. Hartje Robert W / Komunikasi Mitra Bestari: Prof. DR. Zainuddin Maliki, MSi Prof. DR. Sudibyakto Prof. DR. Sarwidi DR. Iwan Gunawan, MSc Pelaksana Redaksi: Ario Akbar Lomban, Dian Oktiari, S.T, Linda Lestari, S.Kom, Suprapto, S.Si, Sri Dewanto Edi P, S.Si, Nurul Maulidhini ST, Ratih Nurmasari, S.Si Theopilus Yanuarto, S.S, Andri Cipto Utomo, Ignatius Toto Satrio Alamat Redaksi: Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Jln. H. Juanda, Nomor 36 Jakarta 10120 Indonesia Telp. 021-3458400; Fax. 021-34558500, Email :
[email protected]
1
2
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, sehingga penerbitan Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 4 Nomor 1 pada bulan Juni 2013 ini dapat diselesaikan. Ilmu pengetahuan senantiasa terus berkembang dalam perjalanan kehidupan manusia, begitu pula dengan upaya penanggulangan bencana. Ilmu pengetahuan dan penanggulangan bencana berjalan beriringan dalam rangka terus menerus memberikan pemahaman dan wawasan kepada masyarakat mengenai arti penting meningkatkan kesejahteraan manusia. Melalui jurnal ilmiah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia menuju bangsa yang tanggap, tangkas dan tangguh menghadapi bencana. Materi jurnal dalam edisi ini, menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan seluruh fase kebencanaan. Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory mengawali materi dalam jurnal ini. Materi berikutnya menyampaikan hal mengenai Comparison Studies on Integrating of Disaster Risk Reduction (DRR) in Spatial Planning Systems in Indonesia, Japan, and European Countries yang kemudian diikuti materi terkait Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Studi Kasus Pasca Bencana Tsunami Mentawai 2010 yang menjadi perhatian masyarakat setelah terjadi Tsunami Mentawai khususnya pemerintah menghadapi masalahmasalah dalam menyelenggarakan Rehabilitasi Rekonstruksi. Masalah lain pun terjadi dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah Untuk Pemulihan Ekonomi Pasca Erupsi Merapi, menjadi salah satu solusi dalam pengambilan kebijakan secara bijak bagi masyarakat yang terimbas bencana. Pada jurnal edisi kali ini juga menyajikan Challenges of Establishing Hospital Disaster Plan (Tantangan dari Pembangunan Rumah Sakit Penanggulangan Bencana). Terakhir membahas tentang Identifikasi Kerangka Pengetahuan Masyarakat Nelayan di Kota Bengkulu dalam Kesiapsiagaan Bencana sebagai Basis dalam Merumuskan Model Pengelolaan Bencana. Pada kesempatan ini juga kami atas nama dewan redaksi jurnal penanggulangan bencana mengundang para ahli penanggulangan bencana, akademisi maupun masyarakat untuk berpartisipasi mengisi makalah ilmiah pada penerbitan jurnal edisi selanjutnya. Bagi para tim redaksi jurnal penanggulangan bencana serta pihak yang turut membantu dalam edisi kali ini, kami mengucapkan terima kasih.
Tim Penyusun
3i
JURNAL PENANGGULANGAN BENCANA Volume 4 No. 4, Juni 2013
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................................... Daftar Isi ..............................................................................................................................
i ii
Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory Wasisto Raharjo Jati .........................................................................................................
1-12
Comparison Studies on Integrating of Disaster Risk Reduction (DDR) in Spatial Planning Systems in Indonesia, Japan, and European Countries Turniningtyas Ayu Rachmawati ....................................................................................... 13-22 Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana Tsunami Mentawai 2010 Lidya Christin Sinaga ........................................................................................................ 23-34 Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah Untuk Pemulihan Ekonomi Pasca Erupsi Merapi Edmira Rivani .................................................................................................................... 35-44 Challenges of Establishing Hospital Disaster Plan Sari Mutia Timur dan M. Nur ............................................................................................. 45-55 Identifikasi Kerangka Pengetahuan Masyarakat Nelayan di Kota Bengkulu dalam Kesiapsiagaan Bencana sebagai Basis dalam Merumuskan Model Pengelolaan Bencana Marwan Arwani dan Mas Agus Firmansyah .................................................................... 57-64
4 ii
ANALISIS PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS PERSPEKTIF CULTURAL THEORY Wasisto Raharjo Jati Jurusan Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM Jalan Sosio Yustisio No.2, Bulaksumur Yogyakarta-55281. E-mail:
[email protected] Abstract This study aimed to analyze the cultural theory as an alternative paradigm in disaster risk reduction. In this case, the focus of the study of cultural theory lies in the perception of public knowledge about the disaster. Modern rational society will assess disaster is a day-to-day issues that have an adequate knowledge of disaster while traditional societies tend to view disasters as divine punishment and despair when disasters come. Applications of cultural theory have become an important and significant to analyze the risk characteristics of the regime in each country. Each regime has its own risk model of disaster management are different depending on the geography and spatial. The birth of the idea of risk regulatory regime is a manifestation of cultural theory by placing the state as the dominant actor in disaster issues. The consequence is that the state has a different orientation in view of the disaster that spans the hierarchy in disaster risk reduction policies. Keywords: Risk regulatory regime, cultural theory, risk reduction. 1. PENDAHULUAN Kajian ini mengangkat tentang aspek penanggulangan bencana ditinjau dari perspektif persepsi publik tentang pemahaman bencana. Hal ini menjadi sangat urgent dan signifikan untuk mengetahui pengetahuan mendasar tentang hal yang mesti dilakukan dalam menanggulangi bencana. Dalam hal ini, kajian mengenai penanggulangan bencana bukan lagi menjadi dominasi dari ilmu pasti konsentrasinya lebih mengarah kepada pembangunan fisik sebagai cara penanggulangan bencana. Melainkan juga telah merambah kepada cabang ilmu sosial lainnya seperti sosiologi dan antropologi. Membicarakan aspek penanggulangan bencana dari perspektif ilmu sosial akan lebih mengarah pada pola behavioralisme seseorang dalam mempersepsikan suatu bencana. Cara pandang ini setidaknya menjadi penting untuk melihat dampak bencana terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan. Penekanan terhadap
aspek sosial terhadap skema penanggulangan bencana sendiri dikarenakan adanya perubahan paradigma ilmu bencana. Bencana kini bukan lagi dianggap sebagai fenomena yang sporadis, namun sebisa mungkin bencana tersebut dikelola dan direduksi. Oleh karena itulah, bencana bukan lagi dianggap sebagai hazard yang menempatkan bencana sebagai sesuatu yang absurd untuk dikelola. Akan tetapi, bagaimana kemudian kita menempatkan unsur keselamatan (safety) dalam bencana tersebut. Munculnya gagasan “kerentanan” (vulnerability) adalah untuk mengakomodasi pranata maupun unit sosial sebagai bagian dari kajian bencana. Khususnya terhadap eksistensi peradaban dan kehidupan manusia yang berada di dunia. Bencana berikut faktor pemicu maupun implikasinya terhadap kehidupan manusia perlu untuk direduksi maupun terdeteksi sedini mungkin, sehingga dari situlah kemudian menciptakan skema manajemen bencana. Adapun penggunaan istilah perspektif
Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati)
1
“cultural theory” yang digunakan dalam tulisan ini adalah suatu cara bagaimana dan mengapa individu memberikan penilaian terhadap bencana begitu juga potensi kerusakan yang ditimbulkannya. Hal ini terkait dengan upaya pemenuhan hak keadilan sosial kepada masyarakat untuk mengetahui informasi kebencanaan secara akurat dan mendetail. Pemenuhan hak tersebut menjadi penting utamanya dalam mengkonstruksikan bencana tersebut karena isu penanggulangan bencana sendiri tidak terlepas dari tiga premis utama yakni kekuasaan (power), keadilan (justice), dan legitimasi kekuasaan (legitimacy). Relasi kekuasaan terhadap penanggulangan bencana adalah melihat bagaimana respons negara dalam menanggulangi dampak destruktif bencana baik dari segi sosial maupun ekologis dan konstruksi informasi publik yang dihadirkan negara terhadap bencana dan dampaknya kepada masyarakat. Isu keadilan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sosial bagi masyarakat dan legitimasi sendiri terkait dengan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam menanggulangi bencana (Douglas, 2001 : 34). Ketiga hal tersebut dikristalkan dalam bentuk pemahaman risk regulatory regime yakni karakteristik rezim suatu negara dalam menanggulangi bencana. Adapun risk regulatory regime ini menempatkan negara sebagai aktor tunggal dalam penanggulangan bencana. Konsepsi ini terkait dengan karakteristik penanggulangan bencana yang dilakukan oleh negara yang berbeda disesuaikan dengan keadaan ekologis, geologis, maupun morfologis negara tersebut. Secara lebih lanjut, tulisan ini akan dibagi dalam beberapa bagian. Pertama, menjelaskan terlebih dahulu mengenai desain utama aspek penanggulangan bencana dari kacamata sosiologi bencana. Kedua, menjelaskan konteks risiko dalam studi bencana. Ketiga mengelola risiko bencana dan keempat membahas mengenai rezim penanggulangan bencana. 2. KONTEKS RISIKO DALAM STUDI BENCANA
2
Paradigma risiko muncul sebagai wujud dari perkembangan lanjutan modernisasi kehidupan manusia di dunia. Istilah risiko sendiri diartikan sebagai sebuah kemungkinan serangan fisik yang diakibatkan dari perkembangan teknologi dan prosesnya. Artinya, risiko bencana sendiri terjadi dari sebuah proses perkembangan manusia di dunia dan bukan disebabkan oleh faktor alamiah bencana alam. Pemahaman risiko menarik dicermati untuk melihat keseimbangan relasi antar manusia dan alam selama ini yang menunjukkan gejala yang tidak seimbang. Peristiwa mutakhir yang terjadi seperti pemanasan global, efek gas rumah kaca, bencana radiasi nuklir di Jepang tahun 2011 lalu merupakan bencana yang disebabkan oleh berkembangnya modernitas manusia (manufactured risk). Meskipun ada juga bencana yang disebabkan murni oleh faktor alam (natural risk) seperti gempabumi dan gunung meletus. Namun pemahaman risiko sendiri lebih mengarah pada faktor ketidakseimbangan relasi antara manusia dengan alam. Salah satu faktor riil yang bisa menjelaskan premis tersebut adalah tragedy of the commons (tragedi kebersamaan). Tragedi ini merujuk pada suatu peristiwa dimana lingkungan alam menjadi rusak karena ulah kerakusan manusia. Manusia adalah individu yang rasional yang senantiasa untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Maka implikasi yang timbul kemudian adalah adanya kavlingisasi alam menjadi komoditas ekonomi. Akibatnya yang terjadi adalah tatanan ekologi menjadi rusak karena ulah eksplorasi dan eksploitasi alam secara masif. Faktor riil lainnya adalah menguatnya market way (cara pasar) dalam mengelola alam yang menjadi dominan ketimbang state way (cara negara) dan common pool resources (cara masyarakat) yang lebih memandang alam sebagai sumber kemakmuran. Maka ketika kemakmuran yang dikeruk dari alam itu habis, alam menciptakan faktor laten terjadinya bencana alam. Sebenarnya dari ketiga cara tersebut, mekanisme masyarakat berbasis common pool resources sebenarnya merupakan bentuk kesadaran menghargai
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 1-12
relasi seimbang antara alam dan manusia yang tujuannya jelas menghindari adanya dampak destruktif yang dihadirkan alam kepada manusia apabila manusia tidak menghargai alam sepantasnya. Sekilas, pandangan ini memang mempunyai similaritas dengan pandangan ekologis yang menganjurkan adanya hubungan timbal balik dan seimbang antar manusia dan alam. Pemahaman risiko dalam studi bencana sebenarnya berangkat dari pola yang sama yakni untuk menyelaraskan kembali hubungan alam dan manusia. Hanya saja risiko lebih mengarah pada aspek antroposentrisme yakni berorientasi kepada keselamatan manusia (human security) sendiri dari bencana yang ditimbulkan oleh alam. Oleh karena itulah, dimensi kerentanan (vulnerabilities) lokusnya terletak di pola kehidupan manusia. Hal itu sebenarnya merupakan sebentuk dari pengalaman kontemplasi sekaligus juga refleksi manusia atas capaian modernitas yang telah dicapai justru menimbulkan risiko bencana lebih besar yang tidak dikehendaki, tidak terduga, maupun tidak dapat ditanggulangi oleh kontrol rezim negara modern. Perilaku refleksi atas modernitas tersebut merupakan bagian dari pintasan linearitas peradaban manusia dalam memahami bencana. Dalam hal ini, pemahaman manusia tentang bencana (hazard) mengalami perkembangan konsep dari semula menilai bahwa bencana lebih banyak didominasi pemahaman teologis yang memposisikan bencana sebagai bentuk penghakiman Tuhan atas manusia yang ingkar kepada-Nya. Bencana dianggap sebagai entitas katastropik yang memiliki kekuatan destruktif yang besar. Sekarang ini berbicara bencana lebih banyak didominasi oleh pemahaman ketahanan, modernitas, dan ekologis yang menempatkan bencana sebagai bagian dari unit sosial kehidupan manusia di dunia. Manusia modern kian menyadari bahwa bencana sebagai sesuatu yang tidak dapat terelakkan dari kehidupan masa kini entah itu dalam wujud nyata (manifest) ataukah tersembunyi (laten) (Beck, 1992 : 42). Lahirnya konsep manajemen bencana sebenarnya merupakan upaya meminimalisir
dampak bencana tersebut agar segala capaian pembangunan modernitas manusia tidak hancur dalam sekejap sehingga mengharuskan manusia untuk kembali kepada titik nol untuk memulai peradabannya yang baru. Bencana sebisa mungkin harus dikelola oleh negara dan masyarakat. Adapun konsep pengelolaan tersebut dapat dimulai dari memahami konteks risiko dalam studi bencana. Risiko (risk) sebenarnya merupakan bentuk konstruksi wacana seberapa signifikan konskuensi dampak bencana terhadap pengaruhnya kepada kehidupan. Pemahaman mengenai risiko adalah memahami sebuah estimasi dan probabilitas bencana itu diukur sehingga dapat direduksi pengaruhnya. Berikut ini fase perkembangan pengetahuan tentang risiko bencana. Dari berbagai pengelompokan tersebut, bencana kemudian dipahami dalam bentuk yang kian berkembang dari semula sangat tradisional dan teologis menjadi rasionalistik dan modern. Namun demikian, dalam membahas bencana sendiri ada yang perlu dikontekstualisasikan Tabel 1. Tahapan Perkembangan Pemahaman Masyarakat tentang Risiko Bencana Fase PraMasyarakat Modernitas Modernitas Industri Kehidupan
Masyarakat Risiko / Refleksi Modernitas
Tipologi Risiko
aDecisional
Risk Calculus
Radicalized Risk
Asal-usul Risiko Bencana
Bencana Alam, Bahaya, dan Kerusakan lainnya seperti kelaparan, gempa bumi, dan bentuk bencana alam lainnya
Bencana Alam ditambah lingkungan dengan kondisi kerja, industri, risiko
Bencana Artifisial / manufactured risk yang disebabkan oleh kondisi sosialpolitik, ekonomi, maupun berasal dari operasionalisasi teknologi dan industri
Bencana Tidak Ya Tidak, Bencana Bencana sebagai bencana itu merupakan tersebut bagian hadir dalam fungsi dari merupakan hasil dari bentuk Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory bentuk ... (Wasisto Raharjo Jati) industrialisakebijakan kolektif 3 si dan kuasa dari individu yakni dari penggunaan proses alam Tuhan teknologisasi dan proses perkembang
berasal dari operasionalisasi teknologi dan industri
bentuk bencana alam lainnya Bencana sebagai bagian fungsi dari kebijakan individu
Tidak Bencana tersebut merupakan bentuk kuasa dari Tuhan
Ya Tidak, Bencana bencana itu merupakan hadir dalam hasil dari bentuk industrialisakolektif si dan yakni dari penggunaan proses alam teknologisasi dan proses perkembang an teknologi
Skope Kerusakan Bencana
Masyarakat, Kota, Negara, dan wilayah spasial lainnya
Dibatasi oleh ruang, waktu, dan semuanya telah diperkirakan dan dikontrol oleh asuransi
Tidak terbatas, risiko bencana tidak bisa ditanggulangi melainkan direduksi karena risiko bencana sifatnya menurun antar generasi
Kalkulasi Bencana
Tidak tentu dan tidak pasti karena bencana sendiri merupakan bentuk penghakim an dan hukuman Tuhan terhadap manusia
Dapat diprediksi dan dapat dikalkulasi level bencana dan tingkat kerusakan ya.
Tidak bisa dijadikan standar yang pasti untuk mengukur tingkat kerusakan dan level bencana
Tidak Ada, karena itu menjadi bagian takdir dan merupakan kekuatan supranatural dari Tuhan
Ada tergantung dari kesepakatan antar pemangku kepentingan
Ada dan Tidak, tergantung dari tingkat kerusakan yang ditimbulkan dari bencana tersebut.
Letak Pertanggungjawaban
Sumber: Smith, 1996 : 307
4
terutama mengkaitkan relasi antara bencana dengan struktur sosial kemasyarakatan. Hal ini menjadi penting dan signifikan utamanya dalam melihat isu bencana menjadi bagian dari rutinitas kehidupan masyarakat modern. Dalam hal ini, kaitan antara bencana dan masyarakat dapat ditinjau dari formulasi bencana sebagai sebuah kejadian (events) yang kemudian menghasilkan dampak (impact) kepada masyarakat (social units) yang kemudian menghasilkan respon (response) balik atas kejadian tersebut. seperti ini (Kreps, 1985 :51).
Gambar 1. Skope Kausalitas Risiko Bencana Lebih lanjut, makna bencana sebagai kejadian (events) diartikan sebagai kejadian luar biasa (extraordinary events) yang memiliki pengaruh terhadap instabilitas manusia. Bencana sendiri dapat dikategorikan menjadi tiga macam yakni fisik (physical), waktu (temporal), dan sosial (social). Artinya penanganan kasus bencana sendiri tidak bisa diseragamkan dalam satu pola saja. Misalnya saja dalam berbagai kasus penanganan di Indonesia sendiri, pola penanganan bencana berbasis kebutuhan ad hoc selalu menjadi pilihan utama seperti pemberian bantuan makanan siap saji, perlengkapan tidur, maupun pakaian siap pakai. Dalam konteks ini, penanggulangan bencana perlu melihat pola dasar pemantik terjadinya sebuah bencana. Penanggulangan bencana juga perlu melihat waktu periode berlangsungnya bencana tersebut supaya upaya cepat melakukan evakuasi menjadi lebih efisien dan efektif. Persepsi publik yang menjadi lokus utama dalam tulisan ini menjadi penting melihat penilaian publik dalam penanggulangan bencana. Perspektif
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 1-12
ini penting karena publik merupakan korban langsung dari terjadinya kejadian bencana tersebut. Dampak (impact) dibedakan menjadi dua hal yakni bencana ekologis dan bencana sosial. Bencana ekologis sendiri diartikan sebagai rusaknya lingkungan hidup yang murni disebabkan oleh alam, sedangkan bencana sosial lebih mengarah pada instabilitas tatanan relasi sosial yang menjadi chaos karena dampak bencana tersebut. Hal lain yang terjadi adalah munculnya fenomena keributan sosial karena semua individu mengalami gejolak batin yang belum mereda paska bencana. Masyarakat sebagai social unit berperan sebagai agen dalam mengelola persepsi pengetahuan publik tersebut menjadi pola penanggulangan bencana. Respons (response) merupakan bentuk upaya tanggap dari masyarakat dalam mereduksi dampak bencana. Dalam hal ini, masing-masing faktor tersebut memiliki hubungan yang saling kaitmengkait. Artinya bahwa bencana bukanlah aktor tunggal saja yang menjadi penyebab utama / causa prima saja. Semua memiliki faktor memiliki peranan yang saling berpengaruh pada kinerja semua organ, seperti yang terlihat dalam gambar berikut ini. EVENTS-IMPACTS
DISASTER
DOMAINS
SOCIAL STRUCTURE
SOCIAL UNITS-RESPONS
Gambar 2. Sirkulasi Manajemen Bencana Sumber: Kreps, 1985 : 52 Disadari atau tidak, relasi bencana dan manusia semakin mendekat. Secara naluriah, manusia sendiri kemudian kian tergantung dengan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun demikian, alam semakin lama juga mengalami penurunan kualitas untuk dihuni. Ancaman itu kian nyata manakala melihat fenomena bumi mutakhir seperti lubang ozon, salju kian mencair, pergeseran lempeng bumi yang kian tidak menentu, maupun bencana
lainnya yang intinya menempatkan umat manusia sebagai entitas yang rentan terhadap bencana. Pada masa depan, potensi risiko bencana akan kian membesar berkorelasi dengan modernitas peradaban manusia. Intinya adalah masalah penanggulangan bencana sendiri kini bukan lagi melakukan koordinasi penanggulangan bencana berbasiskan koordinasi dari pusat saja. Namun penanggulangan bencana sendiri memungkinkan komunitas masyarakat untuk lebih pro-aktif dalam masalah kebencanaan tersebut. Masyarakat lebih memiliki pengetahuan bencana lebih baik daripada negara karena merekalah yang lebih tahu mengenai kondisi riil lingkungannya masingmasing. Mengenai hal tersebut, terdapat dua paradigma penting dalam membahas mengenai pentingnya masyarakat sebagai community dalam penanggulangan risiko bencana. Yang pertama, adalah model crunch. Model ini mengasumsikan bahwa bencana (disaster) sendiri merupakan hasil dari proses bertemunya hazard yang kemudian berkembang menjadi faktor pemicu bencana seperti gempabumi, gunung meletus, dan lain sebagainya dengan vulnerability yang di dalamnya terdapat sebuah kondisi yang tidak nyaman (unsafe condition) dimana terdapat eskalasi kerentanan dan kerawanan yang dialami penduduk baik sebelum terjadinya bencana maupun sesudahnya. Namun dalam hal ini, kondisi kerentanan dalam unsafe condition tersebut tidak meletakkan manusia benar-benar tidak dapat berbuat banyak atas bencana dan terpaku hanya menunggu bantuan dari negara saja. Penanggulangan risiko bencana yang terdapat dalam model crunch sendiri lebih mengarah sikap pasif masyarakat dalam menghadapi bencana. Masyarakat diminta menunggu terlebih dahulu dalam melakukan aksi tanggap darurat ketika bencana benar-benar sudah mereda dan pemulihan kondisi psikologis korban bencana sudah dapat ditanggulangi. Malah justru selama dalam kondisi yang tidak aman dan rentan tersebut terdapat berbagai bentuk dinamika yang dilakukan oleh komunitas masyarakat seperti halnya kemampuan untuk menyerap goncangan sosial maupun fisik dari dampak bencana, kapasitas untuk memulihkan diri secara cepat, dan kemampuan untuk beradaptasi mengikuti potensi bencana yang
Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati)
5
bisa datang sewaktu-waktu. Komunitas memiliki pengetahuan yang berasal dari kearifan lokal di lingkungannya mampu bergerak secara fleksibel dalam melakukan upaya tanggap darurat. Kearifan lokal dalam bencana tersebut membuat masyarakat lebih paham dalam konteks riil terhadap pemetaan masalah yang terjadi dalam bencana. Model kedua yakni release model, model ini berkebalikan dengan model crunch yang memposisikan manusia harus beradaptasi dengan bencana sehingga dapat mereduksi bahaya kerentanan terhadap bencana. Model ini lebih mengedepankan pada pola aktif masyarakat dalam pencegahan bencana seperti halnya ajakan tidak membuang sampah sembarangan sehingga mengakibatkan banjir, larangan menebang pohon karena rawan terjadinya tanah longsor, maupun gerakan reboisasi penghijauan kota desa. Oleh karena itulah, derajat kerentanan (vulberability) yang meletakkan manusia dalam kondisi yang bersifat unsafe condition dalam model crunch. Sebisa mungkin dalam model release ini, terjadi konversi dari unsafe menjadi safe. Adapun konteks kerentanan (vulnerability) yang dicari dalam analisa penanggulangan risiko bencana sendiri bukanlah mencari akar penyebab terjadinya bencana. Namun lebih kepada penyebab gejolak sosial yang ditengarai sebagai penyebab terjadinya kerentanan tersebut. Perilaku seperti halnya krisis ideologi, krisis politik, krisis ekonomi, maupun krisis budaya. Berbagai hal itulah yang menempatkan manusia sendiri dalam posisi rentan dalam bencana. Bencana sendiri sebenarnya dapat ditanggulangi asalkan ikatan sosial kemasyarakatan sendiri menjadi kuat dan terikat antar sesama anggota. Hanya saja, terkadang baik sebelum dan sesudah bencana sendiri, ikatan sosial kemasyarakatan kemudian menjadi kacau karena semua orang sendiri merasa berhak untuk diselamatkan terlebih dahulu dari potensi mara bahaya bencana yang berpotensi menimbulkan korban lebih banyak lagi. Dalam kasus di Indonesia, sebenarnya dimensi risiko penanggulangan bencana berbasis release ini sebenarnya sudah ada dan sedang digalakkan oleh komunitas masyarakat lokal. Hanya saja, terbentur dengan informasi yang 6
memadai tentang bencana terutama kaitannya dengan ilmu geologis, vulkanologi, oseanografi, maupun cabang ilmu kebencanaan lainnya. Relase model sendiri lebih mengarah pada kebiasaan-kebiasaan yang biasanya diwariskan melalui sistem tradisi kemasyarakatan. Hal inilah yang kemudian membuat dilema antara pengetahuan rasional dan tradisional (Blaikie, 1994 : 35). Namun demikian, dalam kondisi riil kebencanaan keduanya saling bahu-membahu dalam aksi penanggulangan risiko bencana dimana pengetahuan rasional berperan besar dalam mengurusi hal-hal yang sifatnya teknis dalam penangggulangan risiko bencana sedangkan pengetahuan tradisional lebih berperan dalam meredam gejolak sosial yang terjadi di masyarakat dalam masa tanggap darurat. 3. MENGELOLA RISIKO BENCANA Yang dimaksudkan dengan mengelola risiko bencana dalam konteks ini adalah mengatur dampak bencana seminimal mungkin agar tidak menimbulkan dampak destruktif yang lebih besar lagi. Dalam pemahaman perspektif cultural theory yang menjadi tema utama dalam makalah ini, terdapat dua hal utama yakni pengetahuan tradisional dan pengetahuan modern. Dua hal tersebut sebenarnya sudah dibahas dalam sub bab sebelumnya dimana terdapat titik singgung antara tradisional yang berorientasi pada hal-hal bersifat sosial sedangkan pengetahuan modern berorientasi pada penanganan hal teknis. Pengetahuan modern lebih mengarah kepada pembentukan formulasi risiko/risk (R) merupakan bentuk dari gabungan eskalasi/exposure (E) dan besaran bencana/magnitude (M) sehingga membentuk format (R=EM) (Tansey, 1999 : 78). Adapun mekanisme penanggulangan risiko bencana yang ditawarkan dalam pendekatan ini mengarah pada penggunaan infrastruktur fisik seperti halnya pembangunan sistem peringatan dini tentang bahaya bencana yang dianggap lebih rasional dan ilmiah bagi masyarakat untuk menghadapi bencana. Sedangkan, pengetahuan tradisional menolak unsur rasionalitas yang terdapat pada pengetahuan modern dimana konsentrasi pendekatan ini lebih mengarah analisa psikometris seperti halnya kecemasan,
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 1-12
ketakutan, maupun gejala gangguan psikologis lainnya selama masa tanggap darurat. Selain itu pula, pengetahuan tradisional sendiri lebih mengedapankan kepada aspek common sense berbasis adat maupu kearifan lokal yang menurut pandangan orang modernis tidak sesuai dalam aksi penanggulangan risiko bencana. Aplikasi cultural theory di sini sebenarnya merupakan jalan tengah dari dua pengetahuan besar tersebut yakni perspektif menganalisis mengapa risiko menjadi isu yang terpolitisasi. Adapun makna terpolitisasi sendiri tidak dimaksudkan bahwa risiko sendiri menjadi komoditas kampanye politik maupun sejenisnya. Namun terpolitisasi sendiri mengarah pada pembentukan sikap percaya (trust), distribusi (distribution), pertanggung jawaban (liability), dan perhatian penuh (consent). Maka dalam pemahaman cultural theory sebagai paradigma alternatif dalam penanggulangan risiko bencana tidaklah terlalu penting memperdebatkan pihak yang rasional dan pihak yang tradisional sebagai cara yang tepat dalam mereduksi dampak bencana. Konstruksi sosiologis yang dihadirkan berdasarkan empat hal tersebut sebagai jalan tengah meminimalkan dampak risiko bencana terhadap kehidupan. Dalam konteks ini, terdapat dua paradigma konstruksi sosiologis kebencanaan yang dominan yakni pengetahuan rasional-teknokratis dan pengetahuan tradisional. Pengetahuan rasional-teknokratis menekankan pada aspek objektifitas dan rasionalitas berbasis pengetahuan ilmiah dalam menghadirkan konstruksi penanggulangan risiko bencana. Hal ini tampak konstruksi turunan dari pengetahuan rasional tersebut yakni model individualistik (individualism) dan Model hierarkis (hierarchy). Pengelolaan isu bencana ala model pasar sendiri mengindikasikan pada aspek individualism, inovasi, dan progresifitas dalam mengelola isu bencana. Sedangkan Model hierarkis sendiri lebih mengarah pada peran organisasi negara maupun yang berwenang dalam kasus bencana sebagai entitas yang berhak dalam memberikan informasi terhadap pengelolaan risiko bencana. Dua model tersebut mendapatkan tentangan dari dua model turunan dari pengetahuan tradisional yakni kebersamaan (egalitarian) dan kolektivis (collectivist). Model egalitarian sendiri
menekankan para peran aktif komunitas untuk berperan besar dalam mengelola isu bencana. Peran tersebut dapat dijabarkan melalui kekuatan modal sosial dalam ikatan sosial-kemasyarakatan yang kuat antar masyarakat dalam mengelola isu bencana. Bencana sendiri dapat dihadapi dengan menjalin solidaritas sesama anggota masyarakat sehingga guncangan batin dan psikis dapat ditanggung dan direduksi bersama-sama. Model fatalis sendiri lebih mengajak pada peran pasif masyarakat dalam mengelola isu bencana. Bencana merupakan area kekuasaan arbitrasi dari Tuhan sehingga manusia hanya bisa pasrah menilai bencana itu datang memporakporandakan lingkungan mereka. Sehingga harus kembali kepada titik nol kembali untuk memulai sebuah peradaban baru. Budaya nrimo merupakan salah satu contoh riil dari karakter fatalis ini di kalangan masyarakat Jawa. Dari keempat model tersebut, kita dapat meninjau kembali dan mengklasifikasikan pemahaman masyarakat tentang penanggulangan risiko bencana terhadap empat model tersebut. Adapun masing-masing model memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat bencana sebagaimana yang terlihat dalam bagan berikut ini. Tabel 2. Tipologi Rezim Pengaturan Bencana Kolektif
Hierarki
• Masyarakat
• Masyarakat
•
•
•
•
dan alam terpisah Relasi keduanya adalah negatif Bencana telah menjadi rutinitas dan menjadi isu politik sehari-hari (daily politic) bagi masyarakat Penanggulangan risiko bencana lebih mengarah kepada egosentrisme High Grid Low Group
Individualistik
•
•
adalah bagian dari alam Relasi keduanya adalah positif Bencana menjadi rutinitas dan isu politik sehari-hari bagi masyarakat Penanggulangan risiko bencana mengarah kepada kolektivitas
High Grid High Group Egalitarian
Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati)
• Masyarakat dan
• Masyarakat dan
• Relasi keduanya
• Relasi keduanya
Alam terpisah adalah positif
Alam terpisah
adalah negatif
7
High Grid Low Group
High Grid High Group
Individualistik
Egalitarian
• Masyarakat dan
• Masyarakat dan
•
• Relasi keduanya
•
•
Alam terpisah Relasi keduanya adalah positif Bencana bukanlah isu publik, namun merupakan isu pribadi yang sifatnya privat Penanggulangan risiko bencana lebih mengarah kepada egosentrisme
Alam terpisah
adalah negatif
• Bencana bukanlah isu publik, namun merupakan isu pribadi yang sifatnya privat Bencana telah menjadi rutinitas dan menjadi isu politik sehari-hari (daily politic) bagi masyarakat
•
High Grid
Low Grid
Low Group
High Group
Sumber: Tansey, 1999 : 80 Yang dimaksudkan dengan grid maupun group yang terletak pada bagian bawah dari empat kotak tersebut sebenarnya untuk menunjukkan derajat berjejaring (grid) dan solidaritas (group). Dari pemaparan gambar tersebut, kita bisa
Kolektif
Hierarki
High
Grid
Individualistik Egalitarian
Low
Gambar 3. Derajat Vulnerabilitas Rezim Bencana 8
melihat bahwa setiap kotak tentang persepsi pengetahuan publik terhadap bencana tersebut memiliki berbagai variasi yang berbeda. Sebut saja, dalam model kolektif, praktik berjejaringnya kuat namun solidaritasnya kurang. Hal ini dikarenakan model penanggulangan risiko bencana berbasis kolektif sendiri lebih mengutamakan keselamatan dan keamanan pribadi dalam bencana. Sebaliknya dalam model egalitarian, praktik berjejaringnya lemah, namun solidaritasnya kuat karena egalitarian memandang kesetaraan antar korban yang sama-sama merupakan korban bencana tanpa melihat berat-kecil kerugian yang diterima korban. Adapun model penanggulangan risiko bencana yang saling bertolak belakang adalah model individualistic dan hierarki. Model individualistic sendiri menempatkan kemampuan pribadi mampu untuk mereduksi dampak bencana karena lebih fleksibel dalam mengerjakan berbagai sesuatu tanpa menunggu perintah komando. Sedangkan hierarki sendiri lebih tepatnya sebagai cara negara yang dominan dalam penanggulangan risiko bencana. Negara dipandang mampu untuk mengendalikan situasi dalam bencana karena mempunyai sumber daya yang lebih lengkap daripada individu sehingga mampu menjamin keselamatan semua warga negara. 4. REZIM PENGELOLAAN BENCANA Gagasan rezim pengelolaan bencana sebenarnya merupakan jalan tengah dalam alur pikir pengetahuan publik terhadap penanggulangan risiko bencana. Dua varian lainnya adalah masyarakat risiko (risk society) dan pengaturan negara (regulatory states). Adapun gagasan masyarakat risiko lebih mengarah kepada pembentukan kesadaran baru terhadap mayarakat dalam kehidupan modernisasi lanjutan (advance modernization) akan bahaya bencana yang ditimbulkan dari konskuensi berkembangnya peradaban manusia (manufactured risks). Bencana itu bisa berbentuk kreasi artifisial manusia seperti bocornya gas nuklir, hujan asam, lubang ozon yang semakin membesar, hingga pemanasan global lebih tepatnya terjadi karena berkembang
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 1-12
industrialisasi tanpa dibarengi dengan upaya peningkatan ketahanan ekologis alam. Gagasan masyarakat risiko (risk society) lebih mengajak pada peran aktif dan komitmen masyarakat dalam penanggulangan risiko bencana tersebut dengan mulai mengkampanyekan penghijauan, pengurangan emisi, maupun perdagangan karbon sebagai cara untuk mereduksi dampak bencana tersebut. Sedangkan gagasan negara mengatur (regulatory states) sendiri lebih menempatkan negara sebagai aktor dominan dalam kasus penanggulangan bencana. Namun demikian, cara negara sendiri terkadang kurang luwes dan fleksibel dalam penanggulangan aksi risiko bencana karena sulitnya medan yang ditempuh berikut hambatan-hambatan lainnya yang ditemui di lapangan. Dalam satu sisi, regulatory states itu penting terutama perannya sebagai stabilitator, namun kadang kala pula, regulatory states sendiri juga menjadi resistor karena mata rantai birokrasi dan keruwetan prosedur administrasi yang harus ditempuh terlebih dahulu sebelum melakukan aksi penanggulangan bencana. Sehingga penanganan bencana ala negara menjadi tidak efektif dan efisien untuk dilakukan. Ditinjau dari akar filosofis dan geografinya, sebenarnya ide masyarakat risiko (risk society) lebih berkembang pada masyarakat Barat dan negara maju lainnya. Dimana secara sosiologis kondisi lingkungan yang serba modern namun secara spasial, kondisi lingkungannya sangatlah rentan seperti ancaman pergerakan lempeng bumi, gempa, pemanasan global, maupun ancaman badai. Masyarakatnya sadar akan potensi bencana tersebut sehingga kemudian mereka sering mendapatkan pelatihan bencana maupun kesiap-siagaan menghadapi bencana. Masyarakat menjadi tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara yang dilakukan selama masa tanggap darurat belum selesai. Contoh riil dari penerapan masyarakat risiko itulah adalah masyarakat Skandinavia dan Jepang. Kondisi Skandinavia yang lingkungannya selalu ditutupi salju sangatlah rentan terhadap bencana kelaparan dan bencana kedinginan membuat masyarakat paham akan kondisi tersebut seperti halnya mengumpulkan bahan makanan dan obat-obatan di musim panas maupun mengkampanyekan penghijauan di
kawasan negara tropis. Skandinavia sadar akan bahaya pemanasan global yang menunjukkan eskalasi yang meningkat setiap tahun berpotensi melelehkan salju di kutub sehingga menyebabkan banjir bandang yang berpotensi melenyapkan negara. Hal sama juga berlaku di Belanda dimana ancaman pemanasan global berpotensi menenggelamkan negara apabila dam penahan tidak diperbarui. Pemerintah mengajarkan kepada masyarakat untuk senantiasa memelihara lingkungan seefisien mungkin agar tidak terjadi banjir. Jepang sebagai negara maju sangatlah rentan sekali terhadap bencana alam berupa gempa dan tsunami yang bisa muncul setiap saat. Letak Jepang yang kurang menguntungkan terletak di jalur cincin api mengharuskan bencana menjadi isu keseharian bagi masyarakatnya baik dalam politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Anak-anak sekolah di Jepang sedini mungkin telah diajarkan bencana dalam kurikulum mereka baik cara menyelamatkan diri ketika bencana itu datang maupun pada saat tanggap darurat. Bangunan gedung perkantoran dan fasilitas publik di Jepang sudah didesain tahan gempa dan tsunami. Meskipun itu terkadang luput, namun setidaknya mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebencanaan. Dalam kasus Indonesia sendiri maupun kawasan negara berkembang lainnya, gagasan masyarakat risiko belum berkembang secara signifikan karena potensi bencana tidak seserius daripada negara maju. Pola pengaturan negara (regulatory states) menjadi lebih dominan daripada masyarakat risiko sehingga ketergantungan masyarakat terhadap pertolongan negara sangatlah besar daripada kesadaran masyarakat sendiri. Hal inilah yang kemudian membuat negara mengalami keterbatasan sumber daya apabila dampak bencana begitu besar sehingga bantuan asing diperbolehkan masuk untuk meringankan negara, Paska bencana Aceh 26 Desember 2004, diikuti dengan bencana alam lainnya. Timbulnya kesadaran akan potensi bencana telah tumbuh secara gradual di masyarakat Indonesia, meskipun berkembang secara signfikan. Ajakan kembali kearifan lokal maupun komunitas adalah segilintir kasus berkembangnya gagasan masyarakat risiko di Indonesia.
Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati)
9
Gagasan rezim pengelolaan bencana (risk regulatory states) sebenarnya merupakan bentuk institusionalisasi ide dari cultural theory tentang persepsi pengetahuan bencana oleh publik dengan menempatkan negara sebagai aktor tunggal dalam isu bencana tersebut. Penempatan negara sebagai rezim dalam isu penanggulangan risiko bencana ini tidak terlepas dari kegagalan pasar dan masyarakat dalam mengelola isu tersebut. Dalam teori governance memang terjadi desentralisasi kekuasaan antara negara, pasar, dan masyarakat yang memiliki fungsi penyeimbang dan pengontrol satu sama lain. Namun dalam teori cultural theory, governance menjadi tidak berhasil dalam mengurus penanggulangan risiko bencana dikarenakan limitasi sumber daya yang dimiliki pasar dan masyarakat. Kegagalan pasar dalam mengelola isu bencana karena mekanisme untung rugi (payoff) yang dirasa menciderai semangat solidaritas dalam bencana. Adanya perlakuan istimewa bagi yang bermodal untuk diselamatkan terlebih dahulu dan diperlakukan secara istimewa menimbulkan kecemburuan sosial di tengah iklim stabilitas yang belum mereda. Penanggulangan bencana model pasar tidaklah memikirkan risiko sebagai faktor penting, yang ada pasar menilai kehidupan serba normal dan linier. Oleh karena itulah, ketika bencana itu datang sebagai wujud dari abnormalitas, maka yang terjadi pasar kalang kabut dalam menghadapi bencana. Penanggulangan risiko bencana ala masyarakat terbentur pada kendala terbatasnya infrastruktur yang memadai sehingga terkadang aksi penyelamatan bencana menjadi tidak cepat dan inefisien (Alexander, 2006 : 15). Pemahaman risk regulatory regime mengambil bentuk adaptasi dari cultural theory untuk diinstitutisionalkan dalam kebijakan suatu negara terhadap penanggulangan risiko bencana. Tentunya ada berbagai ragam kebijakan negara –negara dunia dalam menghadapi bencana ini yang tentunya tidak dapat diseragamkan satu persatu. Setiap negara memiliki potensi risiko bencana dan cara menanggulanginya secara berbeda-berbeda. Berikut ini merupakan bentuk analisis cultural theory dalam melihat bentuk rezim pengelolaan bencana sebagaimana dalam tabel berikut ini. 10
Tabel 3. Karakteristik Penanganan Risiko dalam Setiap Rezim Bencana Indikator
Fatalis
Hierarkis
Persepsi Bencana
Bencana adalah sesuatu yang tak terkontrol tak dikendalikan
Potensi bencana dapat diprediksi dan diperkirakan
Peran Pemerintah
Sangat minimal dalam antisipasi bencana
Bersikap dini mengantisipasi munculnya bencana sedini mungkin
Tipe Kebijakan
Ad Hoc
Teknokratis
Prioritas Diselamatkan
Spekulatif tergantung dampak bencana
Semuanya
Indikator
Individualis
Egalitarian
Persepsi Bencana
Bencana ditanggulangi individu
Bencana ditanggulangi komunitas
Peran Pemerintah
Minimalis
Mendukung
Tipe Kebijakan
Asuransi
Partisipatoris
Prioritas Diselamatkan
Diri Sendiri
Masyarakat
Sumber : Hood, 2001 : 13 Dalam hal ini, negara yang fatalis cenderung melihat bencana sebagai kejadian yang tak terduga-duga sehingga penanggulangan risiko bencana bersifatnya sporadis karena tidak ada perencanaan terhadap kebencanaan sebelumnya. Pada akhirnya, negara fatalis sendiri dalam melakukan manajemen bencana
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 1-12
bersifat minimalis dan seadanya karena selama ini negara menganggap kondisi lingkungannya selalu normal saja dan tidak ada kejadian bencana sebelumnya. Negara hierarkis melihat bencana perlu untuk dikendalikan secara maksimal mungkin untuk meminimalkan dampak bencana sebelumnya. Negara berperan besar dalam isu bencana karena memonopoli semua aspek yang berkaitan risiko bencana. Akibatnya masyarakat sendiri terkadang kurang dilibatkan dalam bencana tersebut. Masyarakat hanya menjadi penonton pasif karena semua sudah diurus negara. Negara yang berbasis individualis melihat bencana dapat direduksi dengan mengandalkan setiap kemampuan individu dalam melakukan aksi penanggulangan bencana. Peran aktif individu tersebut berperan besar agar redistribusi bantuan tepat sasaran dan tepat guna. Selain itu pula, penanganan bencana juga menjadi cepat karena semua individu bergerak mengumpulkan bantuan, informasi, dan lain sebagainya. Hanya saja, penanggulangan risiko bencana menurut model lebih mengupayakan keselamatan pribadi daripada kolektif. Peran aktif individu lebih tepatnya dimaknai sebagai memaksimalkan diri untuk mendapatkan sumber daya lebih untuk menyelamatkan diri. Sebaliknya negara yang egalitarian melihat bencana dapat ditanggulangi bersama dengan mengedepankan semangat modal sosial berupa partisipatoris semua anggota masyarakat. Hal ini kemudian berimplikasi kepada menebalnya solidaritas masyarakat dalam setiap event bencana yang bisa saja terjadi setiap saat. 5. KESIMPULAN Dari analisa perspektif cultural theory sebagai paradigma alternatif dalam penanggulangan risiko bencana sebagaimana yang diangkat dalam tulisan ini. Kita dapat menyimpulkan berbagal hal. Pertama, persepsi publik tentang bencana memegang peranan penting dalam penanganan bencana. Karakter publik seperti rasional, tradisional, individualis, maupun kolektif turut mempengaruhi kebijakan negara terhadap bencana. Dinamika yang berkembang dalam masyarakat cukup bervariasi antara menilai bencana sebagai hukuman
Tuhan maupun bencana sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi yang terkendali. Implikasinya terlihat dalam memperlakukan alam dalam perspektif manusia, apakah hanya teronggok sebagai benda mati saja namun menyimpan bahaya laten ataukah selama ini melihat alam sebagai kawan dan harus dijaga kelestariannya. Dikotomi konstruksi saja berimplikasi pada kebijakan publik tentang bencana. Pada masyarakat yang memiliki tingkat modernitas dan kemajuan teknologi akan melihat alam sebagai entitas yang perlu dijaga kelestariannya. Hal ini nampak dari pemahaman ekologis yang begitu kuat di masyarakat seperti dari hal kecil misalnya dilarang membuang sampah di sungai untuk menghindari banjir. Sedangkan pada masyarakat yang belum mencapai tingkat modernitas yang belum seperti negara maju, alam hanya menjadi benda pasif saja yang menjadi sumber pembuangan limbah kehidupan manusia. Perilaku tersebut kemudian nampaklah pada penanggulangan risiko bencana dimana masyarakat yang berkawan dengan alam sudah bersiap-siaga dan antisipatif terhadap bencana. Bencana sudah menjadi isu rutinitas dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidaklah kaget apabila terjadi bencana karena sudah diprediksi dan direncanakan manajemen bencananya. Sedangkan bagi masyarakat yang belum menjadikan bencana sebagai isu publik. Dalam penanggulangan bencananya akan terlihat sangat fatalistik dimana yang ada hanya pasrah ketika bencana itu datang sambil berharap ada uluran bantuan datang sesegera mungkin. Pada akhirnya pola tersebut menurun pada rezim pengaturan bencana yang menempatkan negara sebagai aktor dominan dalam penanganan isu bencana. Negara yang fatalis akan minimalis dalam melakukan upaya tanggap darurat berbeda dengan negara yang hierarkis yang maksimalis dalam melakukan penanganan bencana. Begitupun juga dalam konteks negara yang individulis lebih fleksibel dalam bencana, namun kurang dalam kebersamaan dan negara egalitarian yang deliberatif dalam bencana serta menjunjung tinggi kebersamaan dalam menghadapi bencana sebagai masalah bersama (commons problem).
Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati)
11
Analisa cultural theory ini setidaknya dapat dijadikan gambaran bagi pemangku kebijakan negara, LSM, maupun masyarakat tentang bagaimana merumuskan kebijakan yang tepat dalam penanggulangan risiko bencana karena persepsi publik ternyata turut mempengaruhi detail keseluruhan dari desain kebijakan publik tentang bencana. Pemetaan tersebut setidaknya membantu bagaimana menangani bencana dalam masyarakat yang heterogen dan bagaimana cara penyelesaiannya. Pada intinya, cultural theory ingin berkata bahwa risiko bencana mungkin bisa diturunkan jika terjadi proses deliberasi publik dalam studi kebencanaan. DAFTAR PUSTAKA Alexander, David. 2006. Globalization of Disaster. Journal of International Affairs, Vol.59, No.2. hal 1-23. Beck, Ulrich. 1992. Risk Society : Toward New Modernity. London : Sage Publication. Blaikie, P. 1994. Disaster Pressure and Release Model in At Risk: Natural Hazards, People’s Vulnerability and Disasters. Routledge London Douglas, Mary. 2001. Risk and Blame. New York : Taylor & Francis. Hood, Christopher.2001.The Government of Risk. New York : Oxford University Press. Kreps, G.A. 1984. Sociological Inquiry and Disaster Research. Annual Review of Sociology, Vol. 10. No.1, hal. 309-330. Smith, Anthony-Oliver. 1996. Anthropological Research on Hazards and Disasters. Annual Review of Anthropology, Vol. 25. No.2. hal. 303-328. Tansey, James. 1999. Cultural theory and risk: a review. Health, Risk & Society, Vol.1, No.1, hal 71-90.
12
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 1-12
COMPARISON STUDIES ON INTEGRATING OF DISASTER RISK REDUCTION (DDR) IN SPATIAL PLANNING SYSTEMS IN INDONESIA, JAPAN, AND EUROPEAN COUNTRIES Turniningtyas Ayu Rachmawati Departement of Urban and Regional Planning University of Brawijaya Email:
[email protected] Abstract Rencana tata ruang merupakan satu dari sekian banyak cara pengurangan risiko bencana dalam manajemen kebencanaan, tetapi mempunyai peran sangat penting. Pengintegrasian pengurangan risiko bencana dalam rencana tata ruang sangat tergantung dari sistem rencana tata ruang suatu negara. Tulisan ini akan membandingkan pengintegrasian pengurangan risiko bencana dalam rencana tata ruang di Indonesia, Jepang dan negara-negara di Eropa, yang didasarkan pada kajian literatur, jurnal, prosiding dan tulisan ilmiah lainnya. Berdasarkan kajian mengenai pengintegrasian pengurangan resiko bencana dalam rencana tata ruang pada ketiga negara tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua karakteristik yang membedakan pengintegrasian pengurangan risiko bencana dalam tata ruang yaitu: 1) rencana tata ruang terkait langsung dengan pengurangan risiko bencana dan 2) rencana tata ruang tidak terkait langsung dengan pengurangan risiko bencana. Dalam hal ini pengurangan risiko bencana merupakan bagian dari rencana sektor. Kata Kunci: Mengintegrasikan, pengurangan risiko bencana, perencanaan tata ruang.
I. INTRODUCTION 1.1. Background Various impacts of major disasters in the world encourage and strengthened national government’s commitment to change the paradigm of disaster risk management (hereinafter called DRM) from being responsive to preventive, from national government to local governments. National and local governments have an obligation to protect citizens from natural and technological hazards. DRM is a set of policies, legal arrangements, planning actions, and institutions set up to manage and eventually reduce the effects of hazardous on the human and physical assets of a community, and minimize the impacts of these hazards on the delivery of essential services to the people. DRM has three important activities: 1) DRR, 2) emergency response, and 3) recovery.
An awareness of DRR started in 1990 when the International Decade for Natural Disaster Reduction was declared. DRR is a broad approach that includes all actions that can reduce disaster risks. The DRR approach can be political, technical, social, and economical. DRR takes forms that are as varied as policy guidance, legislation, preparedness plans, agricultural projects, insurance schemes, or even a swimming lesson (ISDR, 2010). Spatial planning is especially important in disaster prone areas because it moves toward a reduction of damage to people, property, and resources before a disaster strikes, not afterwards (Fleischhauer M., 2008). Disasters need to be directly correlated with spatial development (Bendimerad, 2008). Spatial planning presumes to anticipate and prepare, make preparations, and plan for future land use development. Systematic consideration of multiple
Comparison Studies on Integrating of Disaster Risk Reduction (DDR) ... (Turniningtyas Ayu Rachmawati)
13
hazards in spatial planning is an important challenge for DRR. However, there are certain limitations to the spatial planning related to DRR, namely, a) spatial planning is only one of many actions for DRR; b) implementation of DRR policies and its programs is not a trivial matter; and c) spatial planning cannot reduce only one or two hazards because the planning is responsible for a particular spatial area, not a particular object (Fleischhauer M., 2008). With regard to DRR, a spatial plan is the document that enables relevant governmental and administrative bodies to be able to play a decisive role for the protection of humans and resources against natural disasters (Burdy J., 1998). For example, DRR can be used to guide appropriate land uses for hazard prone areas by developing approaches to such hazard modification, as control of population density and expansion, and planning and implementing of transportation, power, water, and other critical facilities. DRR and spatial planning should also focus on anticipating upcoming needs and impacts, rather than simply responding to yesterday’s event. Spatial planning systems in Indonesia, Japan, and the European countries will be compared here due to DRR in those country are a complex system. II. METODOLOGI 2.1. Data Collection This paper is based on the literature, including journals, proceedings, textbooks, and working papers with regard to integrating DRR in spatial planning system in Indonesia, Japan and the European countries.
adjustment policies which intensify efforts to lower the potential for loss from future environmentally extreme events”. c. Hazard map: a map that graphically provides detailed information about potential hazards. d. Risk map: a map that delivers the basis for identification of current high risk areas needing priority interventions, such as structural protection or adaptation measures. This map also enables a municipality to estimate the level of risk in potential development areas so as to avoid dangerous places and promote safer areas. e. Vulnerability indicators: ratings of the degree of vulnerability, i.e., DP=economic damage potential; PD=population density; OI= other indicators. III. DISCUSION A spatial planning system is defined as system of law and procedure that sets the ground rules for planning practice (Alfred Olfert, Stefan Greifing and Maria J. Batista, 2006). A spatial planning system is not an independent system, as it always connects to other policy systems. The role of DRR in spatial planning has been highlighted in recent years, as disasters have increased significantly. The term, spatial planning is often used as a synonym for; land planning (Italy), town and country planning (UK), spatial development (Poland), regional and development planning (France), and land use management (North America) (Fleischhauer M., 2008).
2.2. Data Analysis
3.1. Spatial planning system for DRR in Indonesia
Spatial planning systems in Indonesia, Japan, and the European countries are compared here for risk assessment, risk reduction, hazards maps, risk maps, and vulnerability indicators as follows: a. Risk assessment: the combination of the probability of a disaster event occurring and its negative consequences. b. Risk reduction: the “consequence of
Indonesia is located in a disaster prone area because of its geographical, geological and demographic conditions. These have caused many major disasters, such as the tsunami in Aceh in 2004, the earthquake in Yogyakarta in 2006, the mudflows in Sidoarjo in 2006, the earthquake in Padang in 2009, and the Mt. Merapi Eruption in 2010. These disasters caused a large amount of damage,
14
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 13-22
many losses and victims. The Indonesian spatial planning system is complex. It not only contains aspects of spatial development, but also economic, social, political, and environmental development aspects. The Indonesian spatial planning system is similar to land use management, because spatial development there is controlled by rigid zoning regulation (ZR) and codes. Fig. 1 shows the outline of the Indonesian spatial planning system, which consists of two types of spatial plans: 1) the spatial plan issued by legislative (statutory planning) shown on the left side, and 2) the strategic plan issued by the ministry (non-statutory planning) shown on the right side of the visual. A strategic plan is then created to operate each spatial plan for each level of that plan as shown in the right portion of Fig. 1.
fire stations, hospital units within a residential area, and open space/public space services, infrastructure development, and spatial development. However, local governments do have limited resources for knowledge, expertise, information, funding, etc. These limitations may affect the quality of the spatial plan. A strategic plan is needed for this integratedcomprehensive approach because that focus has a broad objective. Indonesian spatial plans have to be published as law. Thereby, a law can bind the spatial plan to land uses. These national, provincial and municipal spatial plans are published as national law and local laws, respectively. Table 1 shows the general content in the first column and the hierarchy structure of Indonesian spatial planning system in the first row. Spatial Planning Law Number 26, Year 2007 (SP 26/2007) Articles 19-32 require the contents
Spatial plan National
Strategic plan
National Spatial Plan National Strategic Plan
Local province
Province Spatial Plan Province Strategic Plan
Local municipal
Municipal Spatial Plan Municipal Strategic Plan District Spatial Plan Exsecution/Operation Plan Municipal Technical Spatial Plan Detail Engineering Plan
Fig 1. Outline of the Indonesian spatial planing system
Under Ministerial Home Affairs Regulation Number 1, Year 2008 Article 6, the Indonesian spatial planning system is an integrated and comprehensive approach. An integrated comprehensive plan is advantageous for DRR because it provides powerful tools for each municipality to use to facilitate and coordinate the locations of public service facilities, e.g.,
of 1) the goal, the policy, and the strategy for the spatial plan; 2) the spatial structure plan; 3) the spatial pattern plan; and 4) the control of spatial utilization within each spatial plan. The symbols “++”, “+”, “○”, and “-” represent the degree of contribution of the contents of the spatial plans according to SP 26/2007 Articles 19-32. The Symbol “++” means that the spatial
Comparison Studies on Integrating of Disaster Risk Reduction (DDR) ... (Turniningtyas Ayu Rachmawati)
15
structure plan and the spatial pattern plan have important roles in DRR in the municipal spatial plan. While the control of spatial utilization in the municipal spatial plan with the symbol “○” does not make a large contribution and can be used, therefore, just as a guideline for ZR and building permission regulations, the actual ZR and building permission regulations are clearly stipulated in the district spatial plan. As shown in the upper columns of Table 1, the spatial plan must follow a nationally set
locally protected areas (mangroves, rivers, river-banks, open spaces, and the seashore). In disaster prone areas, municipalities have to conduct disaster risk identification and disaster risk assessment; and design a hazard map according to Government Regulation Number 21, Year 2008 Articles 6-12. The determination of the spatial structure and the spatial pattern is a non-structural mitigation countermeasure of DRR because settlement restrictions, evacuation routes, and evacuation points are
Table 1. The hierarchical structure and general content of SP 26/2007 Articles 19-32 National spatial plan
Provincial Municipal spatial spatial plan plan
District spatial plan
Municipal technical spatial plan
Goal, policy and strategy Spatial structure plan Spatial pattern plan Control of spatial utilization
very strong,
strong,
policy framework and also the framework of a higher-level government. SP 26/2007 specifies that the municipal spatial plan must refer to the national plan and also the provincial spatial plan with regard to spatial development. In the municipal spatial plan, the spatial structure plan and the spatial pattern plan both have the symbol “++”. In the spatial structure plan, residential centers and infrastructure network systems, such as roads, railways, and water supplies, are determined. Cultivation and conservation areas are spatially allocated in the spatial pattern plan and also classified into the following areas: Residential, agriculture, mining, industrial, tourism, and trading and service areas. Further, conservation areas are classified into land use categories, such as disaster prone areas, natural reserves (wildlife sanctuaries and cultural heritage sites), and 16
moderate,
low
outlined in these plans according to SP 26/2007 Article 26. As discussed above, the Indonesian spatial planning system contains the characteristics of an integrated-comprehensive planning approach and plays a major role in DRR under SP 26/2007, Ministerial Home Affairs Regulation Number 1, Year 2008 and Government Regulation Number 21, Year 2008. Altogether, the spatial plan looks to be an ambitious one due to its many aspects (infrastructure system, public facilities, land use, distribution of the population, etc) and has broad objectives for its implementation. 3.2. The spatial planning system for DRR in Japan
Japan is located in the circum-Pacific
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 13-22
mobile zone where seismic and volcanic activities frequently occur. Japan is one of the countries most prone to natural disasters, particularly those from earthquakes, typhoons, and floods. In Japan, the zoning system is considered one of the most important elements for city planning. This section focuses on the city planning system for the spatial plan in Japan. Fundamental planning law there is the city planning law, first promulgated in 1968. Fig. 2 shows the outline of the spatial system for the city planning area in Japan. This city planning area is divided into two areas: The urban promotion area (UPA) and the urban control area (UCA). UPA is the area in which the local government can promote urbanization, and that urbanization is controlled by the UCA (Tokayuki Goto, 1999). Land use under the UPA is controlled in accordance with Land Use Districts, etc. for an orderly use of urban lands. In the UCA, land use is regulated by plans gathered from the agricultural side and land use districts that are not fully determined except for the quasi-city planning area. The Land Use District has three major use categories: Residential, commercial, and industrial, and these uses are further designated into twelve land use categories. The type of building is regulated by the zoning ordinance. The floor
area ratio and building coverage ratio are also designated by the zoning ordinance. Hari Srinivas (2010) classifies the functions of the City Planning Law into three groups: 1. Group A: laws of the higher authorities. Group A regulates the city planning system, including the planning of national highways and land use at the national level. For example, the alignments of roads approved in city planning are confirmed according to the plan for national roads. 2. Group B: related laws Adjustment to land use outside urban areas is ensured by synchronizing the city plans with other laws. Formally, the jurisdiction for City Planning Law is decided by classifying agricultural land use and urban land use under the National Land Utilizations Planning Law. 3. Group C: individual laws Individual laws separately regulate the contents of city plans, with respect to land use zoning, urban development projects, and urban facilities. These different aspects demonstrate that Japanese City Planning Law does not directly relate to DRR. The DRR plan and initiatives are stipulated in sectoral plans. In the Japan
Quasi-city planning area City planning area City-center
Urbanization control are (UCA)
Urbanization Promotion area (UPA)
Fig. 2. The Spatial model for the city planning area in Japan Comparison Studies on Integrating of Disaster Risk Reduction (DDR) ... (Turniningtyas Ayu Rachmawati)
17
National Report of Disaster Reduction (2005), these sectoral plans of DRR in Japan were classified as follows: 1. Comprehensive National Development Plan (a provision of the nationwide spatial plan). “Making Japan a safe and comfortable place to live in” a. Establishing a disaster- preparedness system to maximize safety by 1) Focusing on measures to limit the damage caused by disasters; 2) Understanding the importance of the roles of individuals and communities in creating “disaster-proof living zones”; 3) Responding to different types of disasters and improving risk management systems; and 4) Rebuilding devastated areas b. Rebuilding the Hanshin-Awaji area c. Providing better disaster control 2. Social Infrastructure Development Priority Plan (to provide social infrastructure), the aim of this plan is to ensure that social infrastructure development projects are implemented in a focused, effective, and efficient manner. The most important goals of the plan are the establishment of facilities to prevent flood damage, facilities and systems for real-time relaying of information on floods and other natural disasters, evacuation sites and evacuation routes, DRR facilities, and routes for the provision of aid in the event of disaster. 3. Long-Term Plan for Land Improvement, this plan works to mitigate disaster-related damage to the agriculture industry and increase safety in communities. 4. Forestry Maintenance and Conservation Project Plan (affects forestry), this plan addresses forest maintenance and those forestation projects aimed at maintaining and also conserving forests. Preventing landslide disasters through the regeneration of damaged forests and the prevention of further forest damage is specified as one of the Plan’s main objectives. 5. Ministerial Ordinance Governing Technical Standards for Water Supply Facilities, this plan aims to minimize any suspension of the water supply and other adverse 18
effects on that water supply so as to ensure speedy disaster recovery when a disaster does occur.
Japan has carried out hazard mapping for tsunamis, tidal waves, flooding, volcanic eruptions, and earthquakes. Many of these hazard maps are drafted by agencies or local governments, including the Cabinet Office, the Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries of Japan, the Fisheries Agency, the Ministry of Land, Infrastructure and Transport, and other agencies. The scales of these maps range from 1:2,500 to 1:25,000. As described above, the Japanese city planning system does not play a main role in DRR except for zoning regulation. The Disaster Counter-measures Basic Law 1991 required all levels of government to establish DRR plans for their respective areas for each sectoral plan (e.g. traffic, environmental heritage, forest, agriculture, etc.). This law provides good disaster countermeasures because Japanese sectoral plans are more detailed. However the sectoral plan does have weaknesses, including issues with effective coordination and conflicts among the different sectoral plans. 3.3. The spatial planning system for DRR in European countries European countries are characterized by diverse geophysical and climatic settings that make them susceptible to a wide range of extreme natural events. Coastal areas, mainly in Northwest Europe, are threatened by winter storms, storm surges, and floods. Alpine areas are threatened by avalanches/landslides and floods, whereas the Mediterranean areas are mainly threatened by forest fires and droughts. Areas that are located above tectonic active zones in Central and Eastern Mediterranean areas are threatened by volcanic eruptions and earthquakes, tsunamis and landslides (SchmidtThome, 2005). The European countries have a hierarchical planning structure in which local governments make key decisions within a basic national policy framework (Fleischhauer M., 2008). Risk assessment starts with the identification
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 13-22
Table 2. Overview of basic information in the spatial plans of European Countries dealing natural hazards Use of maps in the planning process
Authority in charge of Risk assessment
Disaster risk reduction
Hazard maps
Risk maps
Vulnerability indicators used
Finland
SEP
SEP, SPP
medium important
low important
PD
France
SEP
SEP, SPP
Very important
medium important
PD
Germany
SEP
SEP, SPP
Very important
medium important
DP
Spain
SEP
SEP, SPP
Very important
medium important
PD, OL
UK
SEP
SEP, SPP
medium important
medium important
No data
Country
SEP: sectoral planning, SPP: spatial planning, PD: population density, DP: economic damage potential, (OI) other indicator. Source: Fleischhauer et al., 2006 of hazards. In the European countries, risk assessment is the main task of the sectoral planning divisions. Spatial planning plays a minor role in this identification of hazards. Risk assessments are mainly done at higher levels and then downscaled for each municipality. Fleschhauer (2006) researched the assessment of these spatial planning approaches to natural hazards based on the spatial planning documents found in Finland, France, Germany, Spain and UK (hereinafter called “European countries”) and obtained information on the policy used for dealing with natural hazards in the spatial plans of these European countries. Table 2 shows these research results. As shown in the second column of Table 2, risk assessments are done for sectoral plans in these countries. As shown in the third column, DRR is accomplished by sectoral planning and spatial planning, whereas spatial planning plays only a minor role in hazard mitigation. Spatial planning in these European countries only needs hazard information, namely, risk and vulnerability, which is only important in a few extreme situations (e.g. where relocation
of existing development is being considered). Information on the nature and intensity of a hazard is very important for the production of hazard maps. The extent of a hazard can be illustrated by identifying and delineating all hazard zones on an appropriate scale. As shown in the fourth column of Table 2, hazards maps are only of medium importance in Finland and the UK, but very important in France, Germany, and Spain. Thus, municipalities in France, Germany, and Spain have to take into account hazard identifications in their spatial planning. Utilization of risk maps in spatial planning is of medium importance except in Finland. Finland and France use population density for vulnerability indicators in their spatial plans. Germany uses economic damage potential, while Spain uses population density and others indicator in its spatial plan as shown in the sixth column of Table 2. In this explanation, it is evident that DRR in the European countries is conducted via a combination of the authority given by sectoral planning and the actual spatial planning. Additionally, spatial planning
Comparison Studies on Integrating of Disaster Risk Reduction (DDR) ... (Turniningtyas Ayu Rachmawati)
19
plays a minor role in DRR (Fleschhauer M., 2006). Spatial planning does provide careful identification, description, and assessment of the hazard potential. It has been shown that spatial planning does play a role, but just one of many roles when creating resilience due to the existence of the sectoral plans. 3.4. Comparison of the authorities in charge of risk assessment and DRR for spatial planning in Indonesia, Japan, and the European countries
As shown in the second row of Table 3, in Indonesia, the authorities in charge of risk assessment address sectoral planning and spatial planning, while the authority in charge of DRR identifies spatial planning. However, the municipalities that do have sectoral planning with regard to risk assessment are rare because an awareness of DRM started with the stipulation of SP 26/2007 and DM 24/2007. The Indonesian systems have strength of coordination because all spatial development aspects are analyzed
Table 3. Comparison of the authorities in charge of risk assessment and DRR for spatial planning in Indonesia, Japan, and the European Countries Country
Indonesia
Authority in charge of Risk DRR assessment
SEP,SPP
Japan
SEP
Finland
SEP
France
SEP
Germany
SEP
Spain
SEP
UK
SEP
SPP
SEP
SEP, SPP SEP, SPP SEP, SPP SEP, SPP SEP, SPP
Strengths • Coordination • Analysis of all municipal development aspects • Suitable for a long term plan • Consistent with the objectives of the plan
• Detailed plan, sectoral plan discusses each type of disaster • Problem solving oriented
• Focus on recent problem/responsive • Careful identification, description, and assessment of the hazard potential, and the integrated plan
Weaknesses • Board objectives • Needs implementation plan/strategic plan due to very broad objectives • Limited resources for municipality knowledge, expertise, information, funding, etc • Ambitious plan due to need to have an analysis of all municipal development aspects • Problem with coordination due to many sectoral plans • Short term plan • Partial, sectoral plan discusses each disaster type • Inconsistency of objectives for spatial plan and sectoral plan • Inconsistent, because the types of sectoral plans in European countries are only a medium-level plan (Fleschhauer, 2006). • Coordinated
SEP: Sectoral planning, SPP: spatial planning. Source: Fleischhauer et al., 2006 and Analysis, 2011. 20
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 13-22
through the spatial planning processes. This coordination is suitable for long-term planning and maintains the consistency of the plan objectives. However, this system has weaknesses as well, including broad objectives and looking like an ambitious plan, but having only limited resources for knowledge, expertise, information, and funding in the municipality (Fig. 1). A strategic plan is thus needed to complement the spatial plan because the objective is indeed very broad and thus sometimes difficult to implement. As shown in the third row of Table 3, in the Japanese city planning system, the authorities are in charge of risk assessment, and DRR is done in the sectoral planning. These systems have strengths in terms of the sectoral planning being a detailed plan, but when one plan has a problem, then the resolution method is only problem oriented. The weaknesses of these systems relate to coordination due to there being many sectoral plans in the municipality, only short-term plans, and an inconsistency in the objectives. As shown in the fourth-eighth rows in Table 3, in the European countries, the authority in charge of risk assessment addresses sectoral planning. Risk assessment in sectoral planning should be readjusted in terms of spatial planning since the aims of the sectoral plan are not always the same for the spatial plan. European countries spatial planning systems have strengths in DRR, such as a focus on the recent problem, careful identification, and description and assessment of a specific hazard potential. However, the systems also have weaknesses due to their lack of consistency and problems with coordination caused by different objectives set for the spatial plan vs. the sectoral plan. IV. Summary This paper can be summarized as follows: 1) In an analysis of the legal framework for planning system, the Indonesian spatial planning system uses an integratedcomprehensive approach.Therefore, the municipal spatial plan plays an important
role in DRR. 2) The Japanese city planning system shows it is not directly related to DRR. In Japan the role of DRR is the task of the sectoral plan, such as transportation plan, agriculture plan, and infrastructure plan. This system has strengths of detail and responsiveness to DRR, but also weakness of coordination and inconsistency among the several types of sectoral plans that are related to DRR. 3) T h e E u r o p e a n c o u n t r i e s s p a t i a l planning systems, the authorities of DRR are the task forces for sectoral planning and spatial planning; however, spatial planning plays generally only a minor role for DRR. These systems have almost the same strengths and weaknesses as the Japanese city planning system. 4) The spatial planning systems in the European countries and Indonesia reveals that for the municipal spatial plan in Indonesia and the European countries the authority for risk assessment of DRR is the sectoral plan, it needs to be readjusted for further DRR in a spatial plan. REFERENCES 1. Bendimerad Fouad (2009). State of the practice report on urban disaster risk management, Eathquake and Megacities Initiative, Geneva Switzerland. 2. Burdy J. (1998). Cooperating With Nature, Confronting Natural Hazards with Land Use Planning for Sustainable Communities, Joseph Henry Press-USA. 3. Fleischhauer Mark, Greiving, S., Wanczura S. (2007). Territorial planning for the management of risk in Europe, A.G.E. No. 45-2007, page. 383-388, University Dortmund. 4. Fleischhauer Mark (2008). The Role of Spatial Planning in Strengthening Urban Resilience, Spinger. 5. Greiving Stefan, Fleischhauer Mark (2006). Natural and Technological Hazards and Risks Affecting the Spatial Development of European Regions, page 109-123.
Comparison Studies on Integrating of Disaster Risk Reduction (DDR) ... (Turniningtyas Ayu Rachmawati)
21
6. 7. 8.
22
Hari Srinivas (2010), Japanese Planning Legislation and Laws. http://www.gdrc.org uem/observatory/jp-laws.html. Ministerial of State Secretariat of Republic of Indonesia (2007). National Law of Spatial Planning Number 26, Year 2007, (in English). United Nations (2010). Local Governments and Disaster Risk Reduction, Good Practices and Lessons Learned, International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR)-Geneva Switzerland.
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 13-22
PROBLEMATIKA REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI STUDI KASUS PASCA BENCANA TSUNAMI MENTAWAI 2010 Oleh: Lidya Christin Sinaga Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI E-mail:
[email protected] Abstract It has been two years since the tsunami hit Mentawai Islands, the western coast of Sumatera, October 25, 2010. The tsunami killing hundreds, displacing thousands, and destroying villages of affected communities in North Pagai, South Pagai, Sikakap, and South Sipora. Based on The Rehabilitation and Reconstruction Action Plan for Post Tsunami Mentawai 2011-2013, recovery programs was started on 2011 and focus on housing, infrastructure, economy, social, and cross sector programs. But after two years, none of them has been implemented because it is still hampered by land use problem, as these programs are completely intertwined. This paper examines the problems of rehabilitation and reconstruction post tsunami Mentawai 2010. Keywords: Rehabilitation and reconstruction, tsunami, Mentawai.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan wilayah yang sangat rawan terhadap gempa di Indonesia, baik di darat maupun laut. Gempa di darat bersumber dari pergerakan sepanjang sesar besar/patahan yang dinamakan Sesar Sumatera atau Sesar Semangko. Sementara gempa di laut bersumber dari dua tempat, yaitu daerah sekitar pulau Siberut dan daerah sekitar Sipora-Pagai, yang keduanya adalah gugusan kepulauan Mentawai. Mengutip hasil studi pakar gempa LIPI, Danny Hilman, wilayah barat Sumatera sering terjadi gempa karena posisinya di sepanjang jalur tumbukan dua lempeng bumi, di mana lempeng (Samudera) Hindia bergerak menunjam ke bawah lempeng (benua) Sumatera. Gempa di laut mempunyai periode ulang yang lebih lama dibanding gempa di darat, namun kekuatan gempanya bisa mencapai lebih dari 8 SR dan berpotensi menimbulkan tsunami. Pada 25 Oktober 2010, bencana tsunami
yang diawali gempa berkekuatan 7,2 SR melanda wilayah Kepulauan Mentawai. Gempa pada kedalaman 10 km dengan lokasi episentrum berjarak 78 kilometer barat daya Pulau Pagai Selatan, terjadi pada zona subduksi di bawah dasar laut, sehingga tak pelak memicu gelombang tsunami. Waktu yang sangat singkat ditambah terjadi pada malam hari di mana masyarakat telah tertidur lelap, menyebabkan hilangnya nyawa dalam jumlah yang cukup banyak. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kepulauan Mentawai mencatat korban meninggal dunia mencapai 456 jiwa, ditambah kerugian harta benda dan kerusakan fisik serta sarana dan prasarana umum. Setelah empat minggu masa tanggap darurat, melalui Pernyataan Gubernur Sumatera Barat ditetapkan bahwa masa tanggap darurat bencana tsunami Mentawai dinyatakan secara resmi berakhir pada Senin, 22 November 2010. Selanjutnya kewenangan dan kebijakan sepenuhnya diserahkan kepada Bupati Mentawai. Namun demikian, berdasarkan rapat koordinasi BPBD Mentawai
Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana ... (Lidya Christin Sinaga)
23
dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai pada tanggal 15 Desember 2010 di rumah dinas Gubernur Sumbar, kemudian disepakati untuk memperpanjang pelaksanaan masa tanggap darurat hingga 31 Desember 2010. Pertimbangan perpanjangan masa tanggap darurat ini mengingat masih banyak pengungsi yang membutuhkan hunian sementara dan guna memastikan distribusi bantuan logistik berjalan lancar dan dapat menjangkau seluruh korban bencana. Sejak 2011, sesuai Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Mentawai seharusnya sudah memasuki masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Namun, hingga bulan Oktober 2012, tepat dua tahun setelah tsunami melanda, belum satu pun program rehabilitasi rekonstruksi yang bisa dilaksanakan. Hal ini terkait pelaksanaan pembangunan hunian tetap dan infrastruktur yang menjadi salah satu programnya masih mengalami hambatan. Oleh karena itu, tulisan ini menguraikan problematika pelaksanaan rehabilitasi rekonstruksi pasca tsunami Mentawai tahun 2010. Proses ini menarik karena menegaskan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana tidak dapat dilepaskan dari persoalan kebijakan dan dinamika aktor pembuat dan pelaksana kebijakan itu sendiri. 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis problematika proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami Mentawai tahun 2010. II. METODOLOGI 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Penelitian lapangan dilaksanakan pada 15-24 April 2012, yaitu di Tuapejat sebagai ibukota kabupaten dan Desa Bosua Kecamatan Sipora Selatan, salah satu daerah terpapar tsunami tahun 2010. Analisis difokuskan pada pasca tsunami 2010 hingga dua tahun pasca tsunami, Oktober 2012. 24
2.2. Metode Analisis Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Untuk memperoleh data, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah studi pustaka dan penelitian lapangan. Studi pustaka adalah studi dokumentasi, meliputi seluruh referensi yang relevan dengan penelitian, yaitu peraturan perundang-undangan, Surat Keputusan yang dikeluarkan kepala daerah, buku, jurnal ilmiah, surat kabar, dan data-data dari website. Sementara penelitian lapangan dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, wawancara mendalam (in-depth interview) menggunakan pedoman wawancara dengan narasumber terkait, baik dari pemerintah maupun non pemerintah. Kedua, Focus Group Discussion (FGD) dengan narasumber, baik di Mentawai maupun di Jakarta. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kebijakan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Indonesia Ketika terjadi bencana alam, respon terhadap bencana alam terbagi dua, yaitu tanggap darurat dan rehabilitasi-rekonstruksi. Kedua fase ini yang kerap digunakan dalam penanggulangan bencana alam di Indonesia, termasuk tsunami Mentawai tahun 2010. Sebagai sebuah siklus, tahap tanggap darurat bencana diikuti oleh rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi dan rekonstruksi secara bersama-sama menuju kepada pemulihan jangka panjang yang mempertimbangkan faktor fisik dan nonfisik dari wilayah yang terpapar bencana. Menurut Alka Dhameja, ada tiga jenis rehabilitasi bencana, yaitu fisik, sosial, dan psikologis. Rehabilitasi fisik merupakan aspek yang sangat penting dari rehabilitasi. Termasuk di dalamnya adalah rekonstruksi infrastruktur fisik, seperti perumahan, bangunan, jalur kereta api, jalan raya, jaringan komunikasi, persediaan air, listrik, dan lainnya. Rehabilitasi fisik dan rekonstruksi juga harus memasukkan kebijakan untuk subsidi, peralatan pertanian, akuisisi lahan untuk
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 23-34
relokasi, perencanaan penggunaan lahan, zonasi daratan, penguatan rumah-rumah yang tidak rusak, dan pembangunan rumah contoh. Rehabilitasi sosial juga merupakan bagian penting dari rehabilitasi bencana di mana kelompok rentan, seperti orang jompo, anak yatim, janda, dan anak-anak, membutuhkan dukungan sosial khusus untuk bertahan dari dampak bencana. Rencana rehabilitasi harus mempunyai komponen yang memperhatikan fakta bahwa korban harus menjalani proses penyesuaian kembali dengan lingkungan sosial yang baru. Dimensi penting lain dari rehabilitasi bencana adalah rehabilitasi psikologis. Berhubungan dengan psikologi korban merupakan isu yang sangat sensitif dan harus dilakukan dengan kehati-hatian dan perhatian. Trauma psikologis kehilangan keluarga dan sahabat serta ingatan akan peristiwa bencana itu sendiri, justru membutuhkan waktu yang lebih lama untuk disembuhkan. Oleh karena itu, kesejahteraan sosial dan dukungan psikologis harus betul-betul dipertimbangkan segera setelah terjadinya bencana sehingga mereka dapat menjadi bagian penting dari program rehabilitasi. Program rehabilitasi harus juga memperhatikan tradisi, nilai, norma, kepercayaan, dan kebiasaan masyarakat terdampak bencana. Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Pasal 56 menyebutkan rehabilitasi pada wilayah pascabencana dilakukan melalui kegiatan: perbaikan lingkungan daerah bencana; perbaikan prasarana dan sarana umum; pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; pemulihan sosial dan psikologis; pelayanan kesehatan; rekonsiliasi dan resolusi konflik; pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya; pemulihan keamanan dan ketertiban; pemulihan fungsi pemerintahan; dan pemulihan fungsi pelayanan publik. Rekonstruksi adalah pembangunan
kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana. Pasal 75 UU No. 24 Tahun 2007 menyebutkan rekonstruksi pada wilayah pascabencana dilakukan melalui kegiatan: pembangunan kembali prasarana dan sarana; pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat; penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana; partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat; peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya; peningkatan fungsi pelayanan publik; atau peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat. Berdasarkan UU tersebut juga ditetapkan bahwa dalam rangka mempercepat rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah dan/atau pemerintah daerah menetapkan prioritas dari kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Penetapan prioritas ini didasarkan pada analisis kerusakan dan kerugian akibat bencana. Selain itu, dalam melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah kabupaten/kota wajib menggunakan dana penanggulangan bencana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota. Jika APBD tidak memadai, maka pemerintah kabupaten/kota dapat meminta bantuan dana kepada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah untuk melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi. Tidak hanya bantuan dana, pemerintah kabupaten/kota dapat meminta bantuan berupa tenaga ahli, peralatan, dan pembangunan prasarana. 3.2. Kebijakan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Tsunami Mentawai Berdasarkan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Tsunami Mentawai ditetapkan bahwa ruang lingkup rencana
Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana ... (Lidya Christin Sinaga)
25
rehabilitasi rekonstruksi dalam kerangka pemulihan kehidupan masyarakat yang terdampak bencana tsunami Mentawai adalah: 1. Rehabilitasi dan Rekonstruksi dengan pendekatan relokasi permukiman yang dilaksanakan secara bertahap pada tahun anggaran 2011 dan 2012, pada daerah terdampak tsunami, yaitu Pulau Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora. 2. Percepatan pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap pada tahun anggaran 2011, 2012, dan 2013 pada daerah terdampak tsunami dan terutama dengan pendekatan penyediaan infrastruktur vital untuk membuka akses antar pulau termasuk dengan Pulau Siberut. Pembangunan infrastruktur vital berupa jalan poros antarpulau termasuk ke Pulau Siberut, pembangunan sarana transportasi udara (airstrip) dan transportasi laut (dermaga pelabuhan antarpulau) dan pembangunan jalan lingkungan dengan fungsi feeder termasuk jalur evakuasi. Prioritas program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami Mentawai ditetapkan pada lima sektor, yaitu: 1. Perumahan dan infrastruktur permukiman, meliputi pembersihan lahan untuk relokasi dan program cash for work, pembangunan perumahan dan infrastruktur permukiman. 2. Infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, dermaga, dan energi untuk menjamin bahwa masyarakat yang berada di tiga pulau terdampak tsunami mendapat manfaat dari rekonstruksi dan percepatan pembangunan. 3. Ekonomi, yaitu fasilitasi pembangunan ekonomi melalui pemberdayaan komunitas dan pelatihan kemampuan di bidang agroforestry, perikanan, dan program industri kecil. 4. Sosial, yaitu revitalisasi pelayanan dasar, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan, di lokasi permukiman yang baru. 5. Lintas sektor, meliputi pemulihan lingkungan ekosistem wilayah pesisir dan pembangunan kantor pemerintahan di lokasi permukiman baru. Sumber pendanaan rehabilitasi dan 26
rekonstruksi serta percepatan pembangunan ini adalah dari anggaran penanggulangan bencana dalam APBN dan APBD sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2008. Pasal 5 menyebutkan dalam anggaran penanggulangan bencana yang bersumber dari APBN, pemerintah menyediakan dana bantuan sosial berpola hibah untuk kegiatan pada tahap pascabencana. Sesuai dengan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi, tahapan ini direncanakan berlangsung selama dua tahun hingga akhir 2012 dengan total kebutuhan mencapai Rp.486,40 M, di mana lebih dari 50% merupakan kebutuhan untuk relokasi perumahan dan pembangunan prasarana lingkungan permukiman, yakni sebesar Rp. 250,54 M. Namun, anggaran untuk pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi ini diletakkan terpisah di mana untuk bidang ekonomi dan sosial diletakkan di BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai, sementara anggaran untuk bidang perumahan dan infrastruktur diletakkan di BPBD Provinsi Sumatera Barat. Pembangunan rumah dan infrastruktur dilakukan dengan melibatkan masyarakat (kelompok masyarakat/pokmas) dan pemerintah setempat. Kelompok masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat setempat, terutama mereka yang akan menempati dan memiliki rumah itu. Hal ini dilakukan agar masyarakat ikut serta membangun dan merasa memiliki sehingga mengusahakan bangunannya lebih baik. Penetapan prioritas program rehabilitasi dan rekonstruksi ini tak lepas dari dampak yang ditimbulkan oleh tsunami itu sendiri. Sebagaimana diketahui tsunami Mentawai tahun 2010 menimbulkan korban yang tidak sedikit. Dalam Keputusan Bupati Mentawai No. 188.45-207 Tahun 2010 ditetapkan bahwa jumlah korban meninggal akibat tsunami, yang disusun berdasarkan laporan dari kepala dusun dan kepala desa serta pendataan langsung ke lapangan oleh dinas terkait, berjumlah 456 jiwa. Korban jiwa terbesar terdapat di kecamatan Pagai Utara dan Pagai Selatan yang memang dekat dengan pusat gempa. Bencana tsunami ini juga menimbulkan kerusakan dan kerugian mencapai Rp. 348,92 M sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1 di
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 23-34
bawah ini. Kerusakan tertinggi dialami oleh sektor perumahan dengan nilai mencapai Rp. 105.414.130.000,-. Hal ini terjadi karena pada umumnya masyarakat Mentawai tinggal di pesisir pantai di mana selama ini mereka mengandalkan sarana transportasi
Tsunami ini juga mengakibatkan 11.245 orang mengungsi. Jumlah pengungsi cukup besar karena banyak di antara mereka yang kehilangan tempat tinggal sehingga terpaksa mengungsi di tenda-tenda darurat. Ada pula masyarakat yang rumahnya tidak mengalami kerusakan, namun terpaksa mengungsi pada
Tabel 1. Rekapitulasi Kerusakan dan Kerugian Pasca Tsunami 25 Oktober 2010 (Rp. Juta) Sektor/Subsektor
Nilai Kerusakan
Nilai Kerugian
1.
Perumahan
105.414,13
10.412,50
115.826,63
2.
Infrastruktur
17.365,00
1.801,44
19.166,44
3.
Ekonomi
53.423,85
64.397,77
117.821,61
4.
Sosial
16.048,41
619,10
16.667,51
5.
Lintas Sektor
79.613,40
188,00
79.441,40
271.864,79
77.418,81
348.923,59
No.
Total
Total Kerusakan dan Kerugian
Sumber: Penilaian Tim Gabungan BNPB, Bappenas, Pemda Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Kepulauan Mentawai, 22 November 2010 dalam Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Serta Percepatan Pembangunan Wilayah Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2013, op.cit, hlm. III.6. laut. Sementara, kerugian terbesar dialami oleh sektor ekonomi produktif dengan nilai kerugian mencapai Rp. 64.397.770.000,yang didominasi oleh subsektor perkebunan (Rp. 49,50 M) dan subsektor perikanan (Rp. 43,70 M). Sebagaimana diketahui, meskipun tinggal di pesisir pantai, mata pencaharian masyarakat Mentawai pada umumnya bukanlah nelayan, melainkan petani kebun atau ladang, seperti ubi talas, pisang, cokelat, nilam, dan rotan. Kebanyakan masyarakat Mentawai tidak mempunyai pendapatan tetap. Mereka bekerja di kebun atau ladang dan pergi ke laut sementara menunggu waktu panen tiba. Pendapatan mereka tergantung pada musim. Beberapa diantaranya mempunyai perahu untuk menangkap ikan, namun hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan hanya dijual ketika persediaannya berlebih.
malam hari karena trauma akan gempa susulan dan sudah tidak merasa aman lagi untuk tinggal di rumahnya. Program percepatan pembangunan merupakan strategi pemulihan wilayah pascabencana seperti Mentawai yang merupakan salah satu daerah tertinggal. Program ini difokuskan pada peningkatan dan pembangunan sarana transportasi, baik darat, laut, maupun udara untuk mengurangi keterisoliran Mentawai sekaligus meningkatkan roda perekonomian pulau di ujung barat Sumatera ini. Berkaca pada peristiwa tsunami 2010 lalu, penanganan korban tsunami pada saat itu sangat terkendala dengan kondisi geografis Mentawai sebagai kepulauan dengan wilayah yang terputus-putus dan akses darat yang sangat sulit karena sebagian besar wilayahnya merupakan hutan. Satu-satunya akses yang
Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana ... (Lidya Christin Sinaga)
27
memungkinkan adalah melalui laut, namun itu pun tidak mudah karena waktu dan biaya tinggi, di samping cuaca ekstrem yang terjadi hampir seminggu setelah tsunami terjadi. Tak pelak, distribusi bantuan dan relawan menjadi terhambat dan terlambat, serta terkonsentrasi di Sikakap (Pagai Utara). Sulitnya medan dan akses menuju lokasi bencana masih ditambah dengan minimnya kebutuhan pendukung, terutama bahan bakar minyak (BBM). Hal ini dialami ketika evakuasi korban tsunami di Pagai Utara yang terhambat akibat minimnya persediaan BBM. Transportasi paling efektif untuk menjangkau sekitar 60 dusun di kecamatan ini hanyalah speed boat, sementara BBM untuk mengoperasikan speed boat pun sulit didapat pada saat itu. Terlambatnya penanganan tanggap darurat bencana tsunami Mentawai sebenarnya juga akibat informasi yang terlambat diterima. Hal ini terkait minimnya fasilitas komunikasi, termasuk ketiadaan sinyal telpon seluler di pulau tersebut. Informasi yang diterima menjadi simpangsiur. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Barat, Harmensyah, misalnya, bahkan menyebutkan tidak ada korban jiwa serta hanya satu rumah yang rusak, dan gelombang laut hanya 30 sentimeter, ketika diwawancara wartawan pada 26 Oktober 2010. Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam, Andi Arif, bahkan mengakui baru mengetahui terjadinya tsunami di Mentawai dari media online. Akibatnya, Andi Arif mengakui terjadi keterlambatan penanganan tanggap darurat di Mentawai sekitar 12 jam, ditambah karena pesawat helikopter yang tersedia untuk menjangkau lokasi bencana di Kepulauan Mentawai sangat terbatas. Mentawai bagaimanapun juga harus dipahami sebagai wilayah bencana yang mempunyai karakteristik berbeda dengan wilayah lainnya. Mentawai bukan hanya dilihat sebagai wilayah dengan potensi gempa dan tsunami, namun juga sebagai wilayah kepulauan yang sejak lama masih tertinggal. Hal ini tentu berdampak pada pola penanggulangan bencana yang berbeda dengan bencana yang terjadi di wilayah daratan. 28
3.3. Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Tsunami Mentawai Sejak 2011, Mentawai seharusnya sudah memasuki masa rehabilitasi dan rekonstruksi yang direncanakan berakhir pada akhir tahun 2012 dan dilanjutkan program percepatan pembangunan pada tahun 2013. Namun, hingga dua tahun pascabencana, belum satu pun program rehabilitasi rekonstruksi yang bisa dilaksanakan. Hal ini terkait pelaksanaan pembangunan hunian tetap dan infrastruktur yang menjadi salah satu programnya masih mengalami hambatan. Kendala ini terkait adanya hutan lindung dan hutan produksi di lokasi yang sedianya untuk relokasi penduduk, terutama di Pagai Utara dan Pagai Selatan, yang tentu membutuhkan ijin pengalihan lahan hutan dari Kementerian Kehutanan. Berlarutnya proses ini karena terganjal ijin dari Kementerian Kehutanan, yang memakan waktu hampir dua tahun, untuk opsi tukar menukar kawasan hutan yang disepakati guna mengatasi masalah relokasi ini. Sementara itu, antara satu program dengan program lainnya dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi ini saling terkait, yaitu pembangunan hunian tetap, jalan, dan pembangunan ekonomi, yang ketiganya haruslah saling berdekatan agar saling mendukung. Terlebih, anggaran untuk pelaksanaannya pun dikeluarkan satu paket, tidak bisa sebagian. Pasca tsunami yang melanda Mentawai, relokasi menjadi masalah penting terutama untuk masyarakat di pesisir yang tersapu tsunami. Pemda Mentawai mendukung konsep relokasi permukiman dari kawasan pesisir terdampak tsunami ke area yang lebih aman pada ketinggian minimal 25 dpl, yang saat ini merupakan area kehutanan. Dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Mentawai No.188.45320 Tahun 2010 ditetapkan jumlah Kepala Keluarga (KK) yang direlokasi sebanyak 2.072. Jumlah ini meningkat dari SK semula yang menetapkan 1.631 KK, setelah dilakukan survei ulang lokasi relokasi dan pendataan kembali jumlah KK yang akan direlokasi oleh tim terpadu dari BNPB, UKP4, Pemda Sumbar, dan Pemda Mentawai pada tanggal 27-30 Desember 2010. Untuk penyediaan lahan relokasi, Bupati
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 23-34
Mentawai menyampaikan permohonan kepada Gubernur Sumatera Barat mengenai pelepasan kawasan hutan untuk relokasi permukiman korban gempa dan tsunami Mentawai seluas 30.443 hektar dengan rincian di Pagai Utara seluas 12.241 hektar, Pulau Pagai Selatan seluas 6.505 hektar, dan Pulau Sipora seluas 11.623 hektar. Pelepasan kawasan hutan adalah hutan produksi diturunkan statusnya menjadi area penggunaan lain atau bukan kawasan hutan. Namun usulan ini ditolak oleh Kementerian Kehutanan. Proses pelepasan kawasan hutan pada dasarnya memakan waktu yang lama karena harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Proses yang dimungkinkan cepat adalah melalui tukar menukar kawasan. Namun, tukar menukar kawasan hutan harus mencari lahan pengganti yang merupakan APL (Area Penggunaan Lain). Jika APL tidak tersedia, maka bisa ditambahkan dengan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) yang statusnya dinaikkan menjadi hutan produksi. Dinas Kehutanan yang dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi diserahi tugas terkait kawasan hutan yang dipakai untuk relokasi, mengajukan tukar menukar kawasan hutan produksi kepada Menteri Kehutanan. Luas lahan yang dimohonkan oleh Dinas Kehutanan adalah 10.345 hektar, untuk kebutuhan hunian tetap (huntap), fasilitas umum (fasum), fasilitas sosial (fasos), dan jalan, serta mengusulkan lahan pengganti seluas +/- 10.037 Ha yang terdiri dari Areal Penggunaan Lain (APL) seluas +/- 5.965 Ha dan HPK seluas +/- 4.072 Ha. Khusus untuk area di Pagai Utara dan Pagai Selatan, lokasi untuk relokasi umumnya berada di kawasan hutan produksi yang saat ini statusnya ex-Hak Penguasaan Hutan (HPH) PT. Minas Pagai Lumber. Di Pagai Selatan seluas 4.896 hektar, di Pagai Utara seluas 1.960 hektar, di Pulau Sipora seluas 3.489 hektar. Sesuai dengan master plan yang dibuat oleh Bappeda Kabupaten Kepulauan Mentawai, jumlah ini belum termasuk jalan Trans Pagai dan jalan cabangnya sepanjang 300 km. Jumlah ini hanya untuk huntap, fasum, dan fasos. Tim Terpadu dari Kementerian Kehutanan kemudian turun melakukan kajian lapangan tukar menukar kawasan hutan. Sewaktu Tim
Terpadu Kementerian Kehutanan melakukan kajian pada April 2012, Dinas Kehutanan sudah bermohon supaya jalan ini juga termasuk dalam proses tukar menukar karena jika tidak, proses pembangunan huntap, fasum, dan fasos ini akan terhalang juga. Memang, kebutuhan riil jalan masih dalam tahap pengkajian dengan Bappeda dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kepulauan Mentawai, termasuk BPBD. Setelah pengecekan lapangan pada April 2012, kebutuhan area yang dihitung untuk huntap, fasos, dan fasum oleh tim terpadu adalah 5143,75 hektar, masih kurang dari luas lahan yang dimohonkan semula sehingga masih dimungkinkan untuk dikonversi bagi kebutuhan jalan sekitar lebih kurang 300 km. Permohonan jalan trans atau jalan poros pulau itu memang tidak dimasukkan ke dalam permohonan tukar menukar kawasan karena jika dimasukkan artinya akan terjadi pemisahan kawasan hutan produksi antara bagian barat dan timur karena akan ada jalan di tengahnya. Opsi yang dipilih waktu itu, untuk kebutuhan jalan akan menggunakan cara perijinan yang lain, yaitu dengan pinjam pakai kawasan hutan. Dengan status pinjam pakai, status kawasan hutan masih tetap hutan produksi, sementara jika tukar menukar statusnya berubah menjadi area penggunaan lain atau menjadi non kawasan hutan. Namun belakangan setelah dilakukan kajian muncul lagi permasalahan, karena itu berarti akan ada dua pekerjaan yang harus dilakukan, yaitu permohonan tukar menukar kawasan dan permohonan pinjam pakai. Oleh karena itu, Dinas Kehutanan mengusulkan agar permohonan jalan ini disatukan dengan permohonan untuk huntap, fasos, dan fasum. Persetujuan prinsip permohonan tukar menukar kawasan hutan untuk relokasi korban tsunami Mentawai akhirnya diperoleh dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan (Menhut) No. S.397/Menhut-II/2012 tanggal 4 September 2012. Dalam Surat Menhut ini disetujui permohonan tukar menukar kawasan hutan seluas 6.975 Ha yang terletak di Pulau Pagai Utara seluas 1.535 Ha, Pulau Pagai Selatan seluas 3.710 Ha, dan Pulau Sipora seluas 1.730 Ha. Sementara lahan pengganti seluas 7.015 Ha terletak di Pulau Pagai Utara seluas 1.480 Ha dan di Pulau Sipora seluas 5.535 Ha yang terdiri
Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana ... (Lidya Christin Sinaga)
29
dari APL seluas 1.430 Ha dan HPK seluas 4.105 Ha. Surat ini kemudian ditindaklanjuti dengan proses penandatanganan Berita Acara Tukar Menukar Kawasan Hutan pada 11 Oktober 2012 melalui mekanisme dua tahap di mana pada tahap I direncanakan seluas 4.105 Ha pada areal HPK dan tahap selanjutnya seluas 2.910 Ha pada APL. Kawasan hutan tahap I yang dimohon seluas 4.105 Ha merupakan Hutan Produksi Tetap di Kecamatan Sipora Selatan, Sikakap, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Sementara, calon lahan pengganti seluas yang sama merupakan HPK di Kecamatan Sipora Utara. Keluarnya persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan ternyata tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Pembangunan infrastruktur tetap belum bisa dilaksanakan karena belum didapatkannya dispensasi penebangan hutan atau surat ijin pembersihan lahan (land clearing) dari Kementerian Kehutanan. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai pada 18 September 2012 mengajukan permohonan penebangan hutan kepada Menteri Kehutanan. Izin pemanfaatan kawasan hutan memang telah ditandatangani oleh Menteri Kehutanan, namun untuk pembangunannya harus ada dispensasi penebangan hutan dan ijin pemanfaatan kayu karena hutan yang ditebang merupakan milik negara. Hingga bulan Oktober 2012, tepat dua tahun setelah tsunami melanda, masyarakat belum mendapat kepastian kapan pembangunan hunian tetap tersebut akan dimulai. Sesuai dengan prosedur normatif dari Kementerian Kehutanan, pasca diterbitkannya Persetujuan Prinsip Tukar Menukar Kawasan Hutan Untuk Relokasi Korban Tsunami, diperlukan 174 hari lagi hingga hunian tetap itu dapat dibangun. Banyak proses yang harus dilalui untuk sampai pada tahap pembangunan huntap, sebagaimana dapat dilihat pada bagan 1. Rumitnya proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Kabupaten Kepulauan Mentawai merefleksikan bahwa persoalan penanggulangan bencana sebagai sebuah problematika kebijakan dan institusi (aktor). Pemulihan pasca bencana merupakan
30
persoalan yang kompleks, bukan hanya dari cakupan isu melainkan juga dari aktor yang terlibat. Tidak dapat dipungkiri, berlarutlarutnya proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Mentawai disebabkan oleh berbelit-belitnya proses izin penggunaan lahan, yang dalam hal ini merupakan domain Kementerian Kehutanan. Sementara dari sisi masyarakatnya, telah siap dengan pembentukan kelompok masyarakat (pokmas) dan perekrutan fasilitator untuk pembangunan hunian tetap. Fasilitator yang direkrut oleh BPBD Provinsi Sumatera Barat telah turun ke lapangan dan melakukan verifikasi terhadap data korban gempa dan tsunami yang telah di-SK-kan Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai. Namun dengan belum jelasnya waktu pelaksanaan pembangunan hunian tetap, membuat 171 fasilitator yang sudah disebar ke empat kecamatan terdampak terpaksa untuk sementara ditarik kembali oleh BPBD Provinsi Sumbar per 1 Oktober 2012 sambil menunggu turunnya dispensasi penebangan hutan. Sementara itu, BNPB telah mengucurkan dana rehabilitasi dan rekonstruksi Mentawai sebesar Rp. 486 M di mana Rp. 287 M untuk pembangunan hunian tetap, lingkungan hidup, dan sanitasi, dan Rp. 200 M untuk sektor ekonomi dan sosial budaya. Dana tersebut telah ada di BPBD Provinsi Sumatera Barat dan BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai sesuai dengan peruntukan masing-masing bidang. Sedianya, dana tersebut masuk dalam tahun anggaran 2012 yang sudah harus terserap pada akhir bulan Desember 2012. Dengan kondisi yang masih belum pasti hingga Oktober 2012 ini, hampir dapat dipastikan pembangunan hunian tetap tidak dapat diselesaikan hingga akhir tahun 2012 ini. Apalagi dengan skema 174 hari yang harus ditempuh untuk sampai pada penebangan hutan tersebut. Sementara, kondisi hunian sementara yang kini didiami korban tsunami kondisinya memprihatinkan, baik kondisi fisik huntara maupun lingkungan dan sanitasi, sebagaimana penulis amati dalam kunjungan ke Bosua-Sipora Selatan, April 2012. Selain itu, meskipun permasalahan utama sebenarnya terletak pada persoalan izin pembangunan infrastruktur, namun program rehabilitasi di bidang lain, yaitu ekonomi dan
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 23-34
Bagan 1. Tahapan Lanjutan Proses Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH) Setelah Terbitnya Persetujuan Prinsip TMKH Untuk Relokasi Korban Gempa dan Tsunami Kabupaten Kepulauan Mentawai Unit Penyelesaian No. 1 A.
URAIAN 2 Penandatanganan Berita Acara Tukar Menukar Kawasan Hutan
PEMOHON 3
Dirjen Planologi
Dirjen BUK
4
5
BP2HP
Dishut Prov
Dishut Kab
6
7
TATA WAKTU (Hari)
KET.
8
9
30
Maksimal 30 Hari setelah diterbitkannya Persetujuan Prinsip Menhut
B.
Permohonan Dispensasi Land Clearing Kepada Menteri Kehutanan
Permohonan Bupati Kepulauan Mentawai
C.
Penyampaian Pertimbangan Teknis Dispensasi kepada Menteri Kehutanan
Sejalan dengan Penyampaian Permohonan Dispensasi
D.
Penerbitan Izin Dispensasi dari Dirjen Planologi An. Menteri Kehutanan
E.
Pemanfaatan Kayu melalui Proses IPK
1.
Permohonan IPK diajukan kepada Kepala Dinas Kehutanan Prov. Sumatera Barat
2.
Kadishut Prov. Menolak/ Menyetujui dan Selanjutnya Menyampaikan Permintaan Pertimbangan Teknis kepada Dirjen BUK
3.
4.
5.
6.
Kepala BP2HP Wilayah III Pekanbaru menyampaikan Telaahan terhadap Kegiatan Fisik di lapangan kepada Dirjen BUK Dirjen BUK Menolak atau Menerbitkan Pertimbangan Teknis IPK kepada Kadishut Prov.
Kepala Dinas Memerintahkan Pemohon untuk Melakukan Timber Crusing dengan Intensitas 5% dan Membuat Rekapitulasi LRH dituangkan dalam BAP Pemohon Melakukan Timber Cruising Melaporkan Hasilnya kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi
7.
Kepala Dinas Kehutanan Prov. Menerbitkan Persetujuan IPK jika telah Memenuhi Syarat
8.
Pemohon Membuat Rencana Kerja, Melaksanakan Penataan Batas Blok IPK dan Membayar Bank Garansi PSDH dan DR
9.
30
Maksimal 30 Hari setelah diterimanya Permohonan dan Pertimbangan Teknis
14
Maksimal 14 Hari Kerja sejak diterimanya Permohonan
7
7
2
2 Hari Kerja sejak diterimanya Pertimbangan Teknis dari Dirjen BUK
25
Maksimal 25 Hari Kerja sejak diterimanya Surat Perintah dari Kadishut Prov.
2
50
Kepala Dinas Kehutanan Prov. Menerbitkan Keputusan Pemberian IPK 7
Jumlah (Hari)
Maksimal 7 Hari Kerja sejak diterimanya Tembusan Surat Kadishut Prov. Maksimal 7 Hari Kerja sejak diterimanya Surat Telaahan dari Kepala BP2HP Wilayah III Pekanbaru
Maksimal 2 Hari Kerja Maksimal 50 Hari Kerja sejak diterbitkannya Persetujuan IPK dari Kadishut Prov. Maksimal 7 Hari Kerja setelah diterimanya laporan Hasil Penataan Batas Blok Tebangan IPK, bukti Bank Garansi dan Rencana Kerja
174
Sumber: Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB, Oktober 2012. Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana ... (Lidya Christin Sinaga)
31
sosial budaya juga tidak dapat dilakukan karena ketiga program tersebut sejatinya saling berhubungan satu dengan lainnya. Program
akan kembali ke wilayah tempat tinggalnya semula di pesisir pantai. Hingga kini, proses rehabilitasi rekonstruksi
Gambar 1. Hunian sementara di Desa Bosua - Sipora Selatan
ekonomi dan sosial tentu harus berada di wilayah permukiman penduduk. Bagaimanapun, jika letak rumah, jalan, dan kegiatan ekonomi saling berjauhan, tentu menjadi masalah baru bagi masyarakat dan bukan tidak mungkin mereka 32
pasca tsunami Mentawai masih menyimpan sejumlah masalah. Sementara, dua tahun bukanlah waktu yang pendek bagi para korban gempa dan tsunami Mentawai untuk bertahan dalam ketidakpastian di huntara. Satu-satunya
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 23-34
hal yang harus dilakukan saat ini adalah percepatan proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Mentawai. BNPB dalam hal ini Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi telah melakukan beberapa hal untuk mengatasi kebuntuan proses ini. Pertama, melakukan land clearing di wilayah pembangunan hunian tetap yang bukan merupakan kawasan hutan, yaitu di Pulau Sipora. Kedua, melakukan rapat koordinasi dengan Kementerian Kehutanan, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai di Padang pada 16 Oktober 2012 agar proses pembangunan hunian tetap bisa segera dilakukan dengan menggunakan ijin prinsip Menteri Kehutanan yang telah dipegang. Ketiga, melakukan negosiasi dengan Kementerian Keuangan agar dana rehabilitasi dan rekonstruksi yang saat ini sudah ada di BPBD Provinsi Sumatera Barat dan BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai, jika hingga akhir 2012 tidak terserap, tidak disetor/dikembalikan ke negara, dan dapat digunakan untuk tahun selanjutnya. Tahap rehabilitasi dan rekonstruksi memang disadari sangat kompleks, karena seringkali terkait dengan banyak aktor dan kepentingan, serta persoalan anggaran yang tidak sedikit. Akibatnya, proses rehabilitasi dan rekonstruksi seringkali tidak berjalan sesuai dengan kerangka waktu yang telah ditetapkan. Mengutip Alka Dhameja: “Disasters are very costly in terms of both human life and resources and require a long gestation period of rehabilitation... It is often not possible to suggest any time frame for disaster rehabilitation, reconstruction, and recovery, as these processes are completely intertwined.” Padahal, bencana seharusnya dapat dilihat sebagai kesempatan pembangunan. Bencana dan pembangunan sesungguhnya saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain, “development should be such that guards against disasters, development in itself should not lead to disasters”. Rusaknya infrastruktur dan bangunan yang tidak aman akibat bencana pada dasarnya dapat memberikan kesempatan untuk membangun kembali dengan standar yang lebih baik atau relokasi ke tempat yang lebih baik jika dirasa tempat yang didiami selama
ini rentan terhadap bencana. Kasus Mentawai sebenarnya bisa merefleksikan kesempatan pembangunan ini. Namun kembali lagi, hal ini tidak mudah karena sangat terkait dengan banyak faktor. IV. KESIMPULAN Apa yang dialami Mentawai dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksinya sebenarnya menggambarkan kondisi di mana koordinasi lintas sektoral masih sulit dilakukan. Negosiasi yang terjadi seringkali sangat birokratis, padahal persoalan bencana haruslah diletakkan dalam kerangka persoalan kemanusiaan, karena kita berbicara dalam konteks korban bencana. Dua tahun membiarkan masyarakat korban tsunami tinggal di hunian sementara yang tidak layak jelas merupakan persoalan kemanusiaan baru yang harusnya bisa menjadi prinsip utama dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Indonesia. Padahal harus disadari, program pascabencana yang tidak berjalan dengan baik akan menjadi sumber kerentanan baru bagi masyarakat, apalagi untuk tipe bencana yang mempunyai periode berulang seperti gempa dan tsunami ini di Mentawai ini. Apalagi, Mentawai masih dihadapkan pada potensi gempa besar yang diprediksi para ahli gempa sejak bertahuntahun lalu, yaitu mega thrust Mentawai yang berpusat di zona subduksi dan diperkirakan akan terjadi dengan pusat gempa berada di bawah Siberut-Sipora-Pagai Utara. Sesuai dengan Hyogo Framework for Action 2005-2015, proses rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan kesempatan strategis untuk pengurangan resiko bencana dan membangun kembali secara lebih baik (building back better) atau mengutip judul The Action Plan for Rehabilitation and Reconstruction Mentawai yang disusun IMDFFDR Bappenas, Build Back Safer. DAFTAR PUSTAKA Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Tuapejat, 19 April 2012. Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB, 15 Oktober 2012. Gempa Dashyat Sumatera Barat (PT. Genta
Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana ... (Lidya Christin Sinaga)
33
Singgalang Press: Padang, 2010). Natawidjaja, Danny Hilman dkk, “Studi Gempa Bumi dan Tsunami di Sumatra: Analisis Gerakan G30S (Gempa 30 September) di Padang Dan Potensi Gempa Megathrust Mentawai di Masa Datang”, http://www. geotek.lipi.go.id/?page_id=4775, diakses 6 Juni 2012. Pinkowski, Jack, (Ed.), Disaster Management Handbook (CRC Press Taylor and Francis Group: London, 2008). Rencana Aksi Rehabilitasi Rekonstruksi Pascabencana Serta Percepatan Pembangunan Wilayah Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2013, BNPB dan Bappenas, Desember 2010). The Action Plan for Rehabilitation and Reconstruction Mentawai Build Back Safer (IMDFF-DR Bappenas: Jakarta, 2011). UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. WEBSITE “Ada Keterlambatan Penanganan Tsunami Mentawai”, 30 Oktober 2010, http:// bumnwatch.com/ada-keterlambatan penanganan-tsunami-mentawai/, diakses 16 Oktober 2012. “BBM Minim Hambat Bantuan ke Mentawai”, 28 Oktober 2010, http://politik.vivanews. com/news/read/185484-bbm-minim hambat-bantuan-ke-mentawai, diakses 12 Juli 2012. “Dua Tahun Tsunami, Fasilitator Ditarik, Pembangunan Huntap Belum Jelas”, Kamis, 18 Oktober 2012, http:// w w w. p u a i l i g g o u b a t . c o m / i n d e x . php?mod=berita&id=2021, diakses 20 Oktober 2012. “Pembangunan Huntap Tunggu Dispensasi Penebangan Hutan”, 4 Oktober 2012, puailiggoubat.com, diakses 13 Oktober 2012. “Soal Informasi Tsunami Mentawai yang Terlambat”, http://regional.kompas.com/ read/2010/11/10/05023323/.Soal.Informasi. Ts u n a m i . M e n t a w a i . y a n g . Te r l a m b a t , diakses 16 Oktober 2012. 34
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 23-34
PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH UNTUK PEMULIHAN EKONOMI PASCA ERUPSI MERAPI Edmira Rivani Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail:
[email protected] Abstract The debtor who was affected by the disaster eruption of Mount Merapi is expected to have difficulty in paying off their obligations in accordance with the credit agreement. Some policies and provisions have been put in place to deal with that problem. This research is aimed to oversee if the handling of credit potentially problems carried out so it has been giving a result especially to recover economic activities among small and medium enterprises. Quantitative analysis technique of average difference with paired T-test was used to compare the condition of non-performing loans when occurring natural disasters eruption merapi eruptive merapi, with the condition after the disaster to make known whether there are influences from the policy goes into effect in tackling the problem Non Performing Loan of eruptions of Mount Merapi. The results show that some policies conducted by Bank Indonesia can still be applied to the case after the eruption of merapi is, at least in applicative evaluative policy Bank Indonesia was able to encourage economic recovery. Most of the decline in bad debt was also influenced by the persuasive efforts by banks and debtor that cooperative, while taking into account the conditions of the debtor (business to business). Keywords: Non Performing Loan, Small and Medium Enterprises, T- Paired Test, Policy. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa kali tertimpa bencana alam. Gempabumi yang melanda Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2006 telah mengakibatkan sekitar 5.600 jiwa meninggal, menghancurkan 280.000 rumah, seluruh kerusakan dan kerugian diperkirakan sekitar Rp. 21 triliun. Keadaan Provinsi DIY yang berangsur-angsur mulai pulih, dikejutkan kembali dengan bencana erupsi Merapi pada tahu 2010. Bencana erupsi Merapi pada tahun 2010, memberikan dampak yang luar biasa kepada masyarakat penduduk lereng Merapi secara khusus dan kehidupan masyarakat Yogyakarta secara umum. Dampak bencana erupsi Gunung Merapi tersebut telah menimbulkan kerusakan dan kerugian sebesar Rp. 3.557
triliun. Kerusakan dan kerugian terbesar terjadi pada sektor ekonomi produktif dengan perkiraan kerusakan dan kerugian mencapai Rp. 1.692 triliun (46,64 persen dari total nilai kerusakan dan kerugian), kemudian diikuti sektor infrastruktur sebesar Rp. 707.427 miliar (19,50 persen), sektor perumahan Rp. 626.651 miliar (17,27 persen), lintas sektor Rp. 408.758 miliar (13.22 persen), dan sektor sosial Rp. 122.472 miliar (3,38 persen) (BNPB 2011). Efeknya berdampak pada aspek mental, spiritual, pendidikan, kesehatan, mata pencaharian, dan perekonomian secara umum. Dari berbagai faktor yang ada, faktor ekonomi dalam bidang produksi, industri, dan perdagangan menjadi hal penting dalam akselerasi pemulihan aktivitas warga lereng Merapi maupun masyarakat Yogyakarta secara umum. Setelah erupsi Merapi, industri kecil menengah banyak yang kehilangan mata pencaharian akibat awan panas maupun lahar
Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah ... (Edmira Rivani)
35
dingin yang menghancurkan tempat tinggal, bahan baku produksi, maupun alat produksi yang mereka miliki. Bila hal ini dibiarkan berlarutlarut akan mengakibatkan gejala ekonomi yang tidak sehat dengan semakin bertambahnya jumlah penggangguran di level regional. Oleh karena itu, diperlukan langkah progresif dalam mengupayakan usaha pemulihan masyarakat dengan prioritas perhatian pada sisi industri produktif agar roda perekonomian dapat berjalan sebagaimana sediakala. Permodalan banyak dijadikan titik kunci sebuah usaha akan dimulai. Keakuratan data mengenai berapa banyak kebutuhan yang diperlukan untuk membangun industri kecil menengah sangat diperlukan agar dana yang dikeluarkan tidak salah sasaran dan tepat guna. Pasca bencana besar, korban seringkali kesulitan membayar kewajibannya pada bank karena telah kehilangan banyak harta. Hampir 36 persen dari 2500 Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang bergerak di bidang holtikultura, peternakan, kerajinan batu, kerajinan mebel dan kayu serta olahan ikan air tawar terpaksa berhenti total berproduksi. Akibatnya kerugian yang dialami UMKM dari radius 0-20 km ditaksir mencapai Rp. 1 miliar per harinya, kerusakan alat-alat permesinan diperkirakan sampai Rp. 4 miliar, dan kerugian modal usaha sejumlah Rp. 4,666 miliar. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DIY sendiri mencatat bahwa terdapat 100 unit usaha menengah dan 1.000 unit usaha mikro dan kecil yang mengalami kerugian total 600 miliar hingga Rp. 1 triliun. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Diperindagkop) Kabupaten Sleman memerincikan bahwa pada radius 0-10 km terdapat 1326 Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang terdiri dari 1321 Industri Rumah tangga (IRT) dan 5 unit usaha industri menengah tidak mampu lagi melakukan aktifitas mereka secara normal. Sedangkan dalam radius 10-20 km terdapat sekitar 2731 IKM dan 2.339 IRT serta 32 industri menengah yang tidak dapat berproduksi karena mengungsi. Dalam rangka menyelesaikan permasalahan tersebut, maka diberlakukan kebijakan perbankan kepada pelaku UMKM pasca gempa Yogyakarta yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/15/PBI/2006 tanggal 36
5 Oktober 2006 tentang perlakuan khusus terhadap kredit bank bagi daerah-daerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam, di mana memberlakukan rekonstruksi perkreditan yang menganggap NPL (Non Performing Loan) Bank lancar, artinya Bank tidak harus membayar kredit macet ke Bank Indonesia dan BPR dapat memberikan kredit lagi kepada debitur walapun sebelumnya kreditnya telah bermasalah karena pengaruh erupsi merapi. Selain itu terdapat ketentuanketentuan lain yang mengatur tentang kredit bermasalah pasca erupsi merapi yaitu Keputusan Gubernur Bank Indonesia (GBI) No. 12/80/KEP.GBI/2010 tanggal 8 Desember 2010 tentang penetapan beberapa kecamatan di Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten dan Sleman sebagai daerah yang memerlukan perlakuan khusus terhadap kredit bank, di mana keputusan GBI ini berlaku tiga tahun sejak 26 Oktober 2010. Ketentuan lainnya adalah Surat Pemimpin Bank Indonesia Yogyakarta No. 12/67/DKBU/YK tanggal 27 Desember 2010 tentang penanganan kredit yang bermasalah pasca erupsi merapi agar perbankan dalam menyelesaikan kredit bermasalah Pasca gempa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 2006 dan kredit bermasalah pasca erupsi merapi DIY tahun 2010 dilakukan dengan mengedapankan unsur-unsur kemanusiaan dan tidak melakukan tindakan intimidatif. Namun, diperlukan penelitian kembali apakah program dan kebijakan-kebijakan yang selama ini dicanangkan dalam menangani kredit UMKM bermasalah pasca meletusnya gunung Merapi sudah memberikan hasil yang signifikan bagi para pelaku UMKM, serta kebijakan apa yang perlu diberlakukan agar para pelaku UMKM tetap bisa melakukan usaha kembali. B. Permasalahan Nasabah debitur yang terkena dampak bencana erupsi Gunung Merapi diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit. Beberapa kebijakan dan ketentuan telah diberlakukan untuk menangani permasalahan tersebut, sehingga perlu diteliti lebih lanjut apakah kebijakan-kebijakan tersebut sudah
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 35-44
memberikan hasil serta bagaimana kondisi ekonomi masyarakat DIY pasca erupsi Gunung Merapi.
2. Tabel data dan statistik hitung: Langkah selanjutnya adalah pengolahan data menggunakan statistik hitung:
C. Tujuan Penelitian Dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penanganan kredit bermasalah yang dilakukan selama ini sudah memberikan hasil, serta seperti apa bentuk praktis perbankan dan lembaga keuangan lainnya yang tepat sasaran untuk program pemulihan ekonomi usaha mikro kecil menengah.
Tabel 1. Pengolahan Data
II. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis kuantitatif perbedaan rata-rata dengan uji T berpasangan untuk membandingkan ratarata dari suatu sampel berpasangan dimana subyeknya sama namun mengalami perlakuan atau pengukuran yang berbeda (dalam hal ini adalah kondisi kredit bermasalah ketika terjadi bencana alam erupsi Merapi dan pasca erupsi Merapi), agar diketahui apakah terdapat pengaruh dari kebijakan yang diberlakukan dalam mengatasi kredit bermasalah akibat erupsi merapi. Data dalam kajian ini merupakan data sekunder dari Bank Indonesia Yogyakarta. Studi pustaka serta pengumpulan data juga dilakukan dalam rangka menggali teori dan mendapat gambaran tentang objek penelitian ini. Langkah-langkah analisis dengan uji T berpasangan adalah sebagai berikut: 1. Menentukan hipotesis: Hipotesis yang digunakan pada uji T berpasangan dalam penelitian ini adalah: H0 : µD = 0 (Tidak terdapat perbedaan jumlah debitur bermasalah sebelum dan sesudah adanya kebijakan dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut) H1 : µD > 0 (Jumlah debitur bermasalah sebelum adanya kebijakan dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut lebih banyak dibandingkan sesudah adanya kebijakan)
No. Ele me n I 1 2 . . N
Obse rvasi I Xi
Obse rvasi II X’i
di (Xi- X’i)
di2 (Xi- X’i)2
X1 X2 . . Xn
X’1 X’2 . . X’n
(X1- X’1) (X2- X’2) . . (Xn- X’n)
(X1- X’1)2 (X2- X’2)2 . . (Xn- X’n)2
Dengan: Rerata d (
)
Simpangan baku d (Sd) =
Statistik hitung (t) = Dimana: d : Perbedaan rata-rata kelompok 1 dengan kelompok 2. n : Jumlah objek penelitian. 3. Interpretasi hasil analisis Apabila hasil t hitung > t tabel, maka H0 ditolak, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah debitur bermasalah sebelum dan sesudah adanya kebijakan dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut. Sebaliknya, jika hasil t hitung < t tabel, maka H0 diterima, artinya tidak terdapat perbedaan antara jumlah debitur bemasalah sebelum dan sesudah adanya kebijakan dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut.
Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah ... (Edmira Rivani)
37
III. PEMULIHAN BENCANA
EKONOMI
PASCA
Dalam mengkaji teori yang sedang berkembang tentang pemulihan ekonomi pasca bencana, juga perlu dibahas tentang manajemen pengelolaan ekonomi dan pembangunan ekonomi suatu daerah serta manajemen pengelolaan risiko bencana. Umumnya bencana dilihat sebagai kejadian tiba-tiba yang tidak bisa diprediksi, yang mengakibatkan kerusakan serius bagi masyarakat atau sekelompok masyarakat tertentu. Namun akhir-akhir ini, berkembang cara pandang lain terhadap bencana. Bencana bukan semata-mata peristiwa atau kejadian tiba-tiba yang disebabkan oleh alam, tetapi juga yang terjadi perlahan-lahan sebagai akibat salah urus oleh manusia dalam siklus hidup hariannya (man-made disaster). Dalam penelitian tentang komunikasi pemasaran dalam economic recovery program masyarakat kawasan objek wisata Pangandaran pasca gempa dan tsunami 17 Juli 2006 diketahui bahwa pelaksanaan pembangunan Pangandaran pasca gempa dan tsunami secara global dilakukan secara bertahap dalam empat fase, yaitu fase response atau penyelamatan, fase recovery atau pemulihan kembali, fase recontruction atau rehabilitasi, dan fase development atau pembangunan. Sedangkan secara khusus dalam pelaksanaan perencanaan program pembangunan kawasan wisata ini tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama aktivitas pariwisata, karenanya sosialisasi program menjadi mutlak harus dilakukan pemerintah, dimana keterlibatan masyarakat sebagai penenti pelaksanaan program pembangunan harus kontinyu dan interaktif. Mengacu pada Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) tahun 2010-2012, ada tiga paradigma penting dalam penanganan bencana, yaitu: 1. Penanganan bencana tidak hanya menekankan pada tanggap darurat, tetapi pada keseluruhan manajemen risiko; 2. Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujud 38
dari hak asasi rakyat, dan bukan sematamata karena kewajiban pemerintah; 3. Penanganan bencana bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah melainkan menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat. Paradigma tersebut dirumuskan dengan mengacu kepada beberapa konvesi internasional (Resolusi PBB, strategi Yokohama, Kerangka Aksi Hyogo) dan perundang-undangan yang berlaku. IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Penyelesaian Kredit Bermasalah Akibat Gempabumi Tahun 2006 Di Provinsi DIY Pada bulan Juni 2006, satu bulan setelah terjadi gempabumi di DIY, BI Yogyakarta memperkirakan 95.439 UMKM di DIY menjadi korban gempabumi. Potensi kerugian yang ditimbulkan dari kredit bermasalah akibat gempabumi tersebut mencapai Rp. 1,5 triliun. BI mencoba membantu penyelamatan kredit UMKM dengan menerbitkan PBI nomor 8/15/ PBI/2006 tanggal 7 Juni 2006. Peraturan BI tersebut menggariskan bahwa bentuk-bentuk penyelamatan UMKM melalui tiga cara, yaitu: penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Tujuan utama dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam (selanjutnya disebut PBI 2006 BA) adalah mengatasi potensi gagal bayar kredit yang melanda nasabah kreditur yang berada di daerah bencana pasca gempa Yogyakarta dan menyelamatkan dana nasabah debitur dari kehilangan tabungan atau investasinya di perbankan. Perlakuan khusus tersebut diantaranya adalah pertama, penetapan kualitas kredit dan atau penyediaan dana lain dari Bank Umum kepada sektor UMKM didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok/bunga saja (PBI, 2006). Kedua, restrukturisasi kredit yang sudah dikeluarkan oleh perbankan diberikan kualitas
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 35-44
lancar kembali pada sektor usaha yang terkena dampak gempa atau yang dikategorikan sebagai usaha yang mendapat kesulitan pasca gempa tersebut. Ketiga, setelah masa restrukturisasi habis, maka perhitungan kualitas kredit dinyatakan dengan ketepatan pembayaran pokok/bunga yang sudah diatur dalam peraturan perbankan. Keempat, adalah bank dapat memberikan kredit baru pada sektor UMKM yang terkena dampak gempa dengan mengacu pada kebijakan pertama tentang penetapan kualitas kredit. Dalam perkembangannya, sebagian besar kredit UMKM korban gempa memang direstrukturisasi perbankan. Namun hasil restrukturisasi tidak sepenuhnya berhasil karena masih dijumpainya sejumlah UMKM yang kualitas kreditnya tidak membaik, meskipun sudah ada PBI No.8/10/PBI/2006. Restrukturisasi ternyata tidak berjalan lancar, tiga tahun pasca gempa yaitu tahun 2009 pada saat kebijakan PBI telah berakhir didapatkan masih banyak UMKM yang belum dapat mengembalikan dana pinjaman pasca restrukturisasi. Sehingga BI mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia yang baru yaitu Nomor 11/27/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/10/ PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Pasca Bencana Alam di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah sekitarnya di Provinsi Jawa Tengah. Terkait dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI No. 8/10/PBI/2006) tentang kriteria korban gempabumi bagi nasabah UMKM, tidak memberikan gambaran terperinci tentang gambaran kriteria nasabah korban gempa yang bisa masuk pada wilayah diberlakukannya kebijakan restrukturisasi. PBI ini justru memberikan kebebasan kepada perbankan/ kreditur untuk meresrtrukturisasi atau tidak terhadap korban gempa. Sehingga yang terjadi hanya sebagian saja nasabah yang sedikit tertolong dengan restrukturisasi tersebut. Di samping itu, kondisi di lapangan, nasabah yang terestrukturisasi karena gempa pun pada titik tertentu masih mengalami kesulitan membayar angsuran. Sehingga kolektibilitasnya pun mengalami penurunan kembali. Dalam sebuah pertemuan resmi antara
Tim Ad-hoc dengan BI Provinsi DIY, disepakati enam butir kesimpulan untuk menyelesaikan permasalahan kredit bermasalah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) korban gempa Provinsi DIY sebagai berikut: 1. Memutuskan bahwa pelunasan kredit macet UMK korban gempa DIY 2006 di 14 bank umum, diselesaikan melalui mekanisme pemberian CSR/Bina Lingkungan oleh masing-masing Bank kepada nasabah debitur. 2. Khusus utuk BRI telah diselesaikan dengan cara tersendiri berdasarkan PP No. 33 Tahun 2006. 3. Daftar nasabah debitur sebagaimana termaktub dalam surat Gubernur DIY No. 518/0430 tanggal 10 Februari 2010. 4. Untuk penyelesaian kredit macet UMK dari PKBL, koperasi dan BMT, lembaga keuangan lain non bank difasilitasi oleh Gubernur DIY melaui instansi terkait. 5. Untuk penyelesaian kredit macet UMK nasabah BPR difasilitasi oleh komisi VI DPR-RI bersama kementerian BUMN melalui bina lingkungan non-bank. 6. Setelah kredit lunas maka jaminan atau agunan dari nasabah/debitur yang bersangkutan dikembalikan oleh masing-masing bank dan nasabah yang bersangkutan dikeluarkan dari daftar kredit macet. Hasil telaah tim Ad-hoc bentukan Gubernur DIY yang disiarkan kepada pers, menunjukkan kondisi UKM DIY pasca gempa Mei 2006 masih amat memprihatinkan. Posisi kredit UMKM pada bank pemberi pinjaman semakin buruk. Data dari 20 Juni 2006 sampai dengan Oktober 2007 posisi kredit yang bermasalah semaikn memprihatinkan. Tak kurang dari 17.526 kredit UMKM yang terancam bermasalah, dengan nilai kredit mencapai Rp. 328 miliar. Kendati nilai agunan mencapai Rp. 884 miliar, dengan penurunan aset sekitar 20-45 persen kondisi kolektibilitas kredit UMKM jelas mengkhawatirkan. Kredit UMKM yang termaksud lancar menurun drastis dari 27 persen menjadi 1 persen. Kendati kredit yang tergolong dalam perhatian khusus menurun dari 26 persen menjadi 19 persen, kredit kurang lancar naik dari 8 persen menjadi
Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah ... (Edmira Rivani)
39
9 persen, kredit diragukan naik dari 9 persen menjadi 11 persen dan kredit macet melonjak drastis dari 10 persen menjadi 31 persen. Bahkan yang termasuk dalam kategori ‘tidak ada keterangan’ diperkirakan juga bermasalah karena cenderung meningkat dari 20 persen menjadi 29 persen. Namun dari tahun 2010 sampai awal tahun 2012, terjadi penurunan jumlah kredit bermasalah. Data baki debet kredit bermasalah di perbankan DIY pasca gempa tahun 2006 sesuai data tim Ad-hoc per tanggal 10 Februari 2010 yaitu sebesar Rp. 88,31 miliar dengan jumlah 2.134 debitur. Selanjutnya, berdasarkan laporan bank-bank posisi tanggal 31 Maret 2012, jumlah baki debetnya sudah mengalami penurunan menjadi sebesar Rp. 35,14 miliar dengan 624 debitur. Tabel 2. Perkembangan Kredit Bermasalah Pasca Gempa DIY 2006 Jenis Bank
Bank Umum BPR Jumlah
Data Tim Ad-hoc per 10 Februari 2010
Laporan Bank per 31 Maret 2012
Debitur
Baki Debet (Tunggakan Pokok)
Debitur
Baki Debet (Tunggakan Pokok)
1.645
80.021.558.615
392
30.915.046.626
489
8.285.585.435
232
4.228.391.167
2.134
88.307.144.050
624
35.143.437.793
Sumber: Bank Indonesia, 2012 Penurunan tersebut disebabkan antara lain karena pelunasan, penghapusan kredit, dan restrukturisasi kredit. Adapun mengenai agunan/ jaminan debitur yang sudah lunas maupun hapus tagih, secara umum sudah dikembalikan oleh bank. B. Potensi Kerugian Masyarakat Akibat Erupsi Merapi Tahun 2010 Letusan Gunung Merapi telah menimbulkan kerugian akibat rusaknya proses produksi, seperti hilangnya pasar, terputusnya saluran distribusi, kapasitas produksi yang tidak dapat berlangsung normal, dll. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya sektor perekonomian yang
40
berlokasi di sekitar dan menggantungkan pada Gunung Merapi, misalnya peternakan sapi perah, perikanan, pariwisata (alam), perkebunan, pertanian, dan penambangan pasir. Perkiraan kerugian yang dialami empat sektor (perdagangan, restoran, perhotelan dan hiburan) mencapai Rp. 7.484 triliun. Potensi kerugian besar juga dialami sektor pertanian baik di Kabupaten Magelang, Sleman maupun Boyolali dari sektor bahan pangan perkebunan peternakan, kehutanan maupun perikanan. Tabel 3. Perkiraan Kerugian Sektor Pertanian (Rupiah) No
Sektor
Sleman
Boyolali
1
Tanaman Bahan Pangan
1,48 Triliun
Magelang
1,194 Triliun
1,419 Triliun
2
Perkebunan
127 Miliar
51 Miliar
125,8 Miliar
3
Peternakan
189 Miliar
258 Miliar
659,5 Miliar
4
Kehutanan
96 Miliar
8 Miliar
37 Miliar
5
Perikanan
35 Miliar
100 Miliar
37,9 Miliar
Jumlah
1,93 Triliun
1,611 Triliun
2,28 Triliun
Sumber: Kompas, 15 November 2010 Potensi kerugian sektor pertanian secara umum akan lebih besar bila sudah menggabungkan semua komoditas yang komersial. Salak pondoh sebagai komoditas utama di Sleman misalnya, mengalami kerusakan sebanyak 4.392.919 rumpun (dari 4.537.464 rumpun tanaman produktif) yang mengakibatkan kerugian Rp. 201,49 miliar. Hampir 36 persen dari 2500 UMKM yang bergerak di bidang holtikultura, peternakan, kerajinan batu, kerajinan mebel dan kayu serta olahan ikan air tawar terpaksa berhenti total berproduksi. Akibatnya kerugian yang dialami UMKM dari radius 0-20 km ditaksir mencapai Rp. 1 miliar per harinya, kerusakan alat-alat permesinan diperkirakan sampai Rp. 4 miliar, dan kerugian modal usaha sejumlah Rp. 4,666 miliar. Selain itu, letusan gunung merapi juga menimbulkan kredit bermasalah UMKM yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga diperlukan penjaminan kredit pemerintah bagi pelaku UMKM baik ke koperasi simpan pinjam atau Bank Pembangunan Daerah di sekitar lokasi bencana (provinsi).
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 35-44
Tabel 4. Kredit Macet Akibat Erupsi Merapi No. 1 2 3
Kelompok Bank Bank Umum Pemerintah Bank Umum Swasta BPR/BPRS
Jumlah
tersandera di bank. Padahal Komunitas UMKM mengusahakan realisasi penggunaan dana APBN untuk menyelesaikan seluruh kredit macet tersebut. Pihaknya juga meminta agar praktek perbankan yang bersikap diskriminatif pada UMKM korban gempa segera dihentikan. Sedangkan masalah jaminan, komunitas UMKM mengusahakan realisasi penggunaan dana APBN untuk menyelesaikan seluruh kredit macet tersebut dan telah melayangkan surat permohonan kepada Kementerian Koperasi dan UKM agar bersedia menjadi lembaga penjamin.
Baki Debet Desember 2010 56.966.523.460 18.772.785.040 26.845.798.193
102.585.106.694
Sumber: Bank Indonesia, 2012 Para debitur tidak bisa membayar cicilan karena memang usahanya mati total. Mereka gagal membayar atau melunasi kredit akibat rumah dan tempat usahanya hancur. Sedangkan praktek perbankan masih bersikap diskriminatif pada UMKM korban gempa. Karena mengalami gagal bayar hutang kepada bank, negara melalui BI memberikan black list (daftar hitam) kepada para pengusaha UMKM yang dimasukkan ke dalam Sistem Informasi Debitur (SID) dan berlaku di seluruh bank di Indonesia. Akibatnya, aset jaminan UMKM yang biasanya jauh lebih besar dari nilai pinjaman
C. Perkembangan Kredit Bermasalah Pasca Erupsi Merapi Tahun 2010 Dari pengalaman mengatasi permasalahan kredit-kredit UMKM pasca bencana gempa di Provinsi DIY dan sekitarnya, maka dalam rangka membantu penyelamatan kredit-kredit UMKM bermasalah pasca erupsi merapi tahun 2010, maka BI membuat beberapa ketentuan seperti bisa dilihat dalam
Tabel 5. Ketentuan-Ketentuan Tentang Kredit Bermasalah Pasca Erupsi Merapi No.
Peraturan
Perihal
1.
PBI No. 8/15/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006
Perlakuan khusus terhadap kredit bank bagi daerahdaerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam
1.
Penetapan beberapa kecamatan di Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten, dan Sleman sebagai daerah yang memerlukan perlakuan khusus terhadap
1.
kredit bank Penanganan kredit berpotensi masalah erupsi merapi
Himbauan agar perbankan dalam menyelesaikan kredit bermasalah pasca gempa DIY 2006 dan kredit berpotensi masalah pasca erupsi merapi DIY tahun 2010 dilakukan dengan mengedepankan unsur-unsur kemanusiaan dan tidak melakukan tindakan intimidatif.
2.
3.
Kep. Gubernur BI No. 12/80/ KEP.GBI/2010 tanggal 8 Desember 2010
Surat Pemimpin Bank Indonesia Yogyakarta No. 12/67/DKBU/Yk tanggal 27 Desember 2010 kredit bank
Keterangan
yang pasca
2.
2. 3.
Pasal 3 ayat 1: “...Kualitas kredit bagi BU dan BPR yang direstrukturisasi ditetapkan lancar sejak direskturisasi sampai dengan 3 (tiga) tahun setelah terjadinya bencana...” Pasal 4: “Ketentuan dalam Pasal 3 hanya berlaku untuk kredit yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) Disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek/lokasi usaha di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana; b) Telah/diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit yang disebabkan dampak dari bencana alam di daerah-daerah tertentu; c) Direstrukturisasi setelah terjadinya bencana alam. Kecamatan di Kabupaten Sleman yang memperoleh perlakuan khusus adalah Kecamatan Cangkringan, Pakem, Ngemplak, Turi, dan Tempel Tata cara perlakuan khusus terhadap kredit bank di daerah yang telah ditentukan tersebut mengacu pada PBI No.8/15/PBI/2006 Keputusan GBI ini berlaku 3 (tiga) tahun sejak 26 Oktober 2010.
Sumber: Bank Indonesia, 2012.
Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah ... (Edmira Rivani)
41
tabel 5. Bank Indonesia juga melakukan monitoring dalam penyelesaian kredit erupsi merapi 2010, antara lain dilakukan dengan rekonsiliasi data kredit bermasalah masingmasing bank, serta penyampaian moral suassion untuk tetap menciptakan iklim yang kondusif dengan melakukan upaya-upaya penyelesaian kredit yang kooperatif dengan memperhatikan realita yang ada. Selain itu terdapat beberapa program dalam rangka mempercepat pemulihan kredit bermasalah erupsi merapi diantaranya adalah program kemitraan dan bina lingkungan beberapa bank, program Kredit Membangun Ekonomi Rakyat (MEKAR) Perbarindo yang ditujukan untuk modal kerja dengan suku bunga relatif terjangkau dan lebih murah, dll. Jumlah debitur kredit bermasalah pasca erupsi merapi di 5 kecamatan berdasarkan Keputusan Gubernur BI No. 12/KEP.GBI/2010 yang terkena dampak langsung menunjukkan kecenderungan penurunan. Tabel 6. Perkembangan Kredit Bermasalah Pasca Erupsi Merapi Tahun 2010 Berdasarkan Lokasi No
Kecamatan Debitur (dalam satuan) Desember 2010 Desember 2011
1
Cangkringan
2
Ngemplak
3
1.450
1.220
825
654
Turi
1.303
1.088
4
Pakem
1.362
1.091
5
Tempel
361
237
Jumlah
5.301
4.290
Sumber: Bank Indonesia, 2012. Untuk melihat apakah penurunan yang terjadi signifikan dimana terdapat pengaruh dari kebijakan yang diberlakukan dalam mengatasi kredit bermasalah akibat erupsi merapi maka dilakukan uji T berpasangan sebagai berikut: H0 : µD = 0 (Tidak terdapat perbedaan jumlah debitur bermasalah sebelum dan sesudah adanya kebijakan dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut) H1 : µD > 0 (Jumlah debitur bermasalah sebelum adanya kebijakan dalam upaya 42
mengatasi permasalahan tersebut lebih banyak dibandingkan sesudah adanya kebijakan) α = 5 persen Statistik hitung (t) = Rerata d ( ) Simpangan baku d (Sd) = Dimana: d : Perbedaan rata-rata kelompok Sebelum dengan kelompok Sesudah n : Jumlah objek penelitian Tabel 7. Hasil Analisis Uji T Berpasangan N
Mean
St Dev
SE
Mean
Sebelum
5
1060,20
459,94
205,69
Sesudah
5
858,00
407,89
182,41
Difference
5
202,200
56,477
25,257
95% lower bound for mean difference: 148,355 T-Test of mean difference = 0 (vs > 0): T-Value = 8,01 P-Value = 0,001 Sumber: Data diolah dengan Minitab Kriteria uji: Apabila hasil t hitung > t tabel, maka H0 ditolak, artinya Jumlah debitur bermasalah sebelum adanya kebijakan dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut lebih banyak dibandingkan sesudah adanya kebijakan. Sebaliknya, jika hasil t hitung < t tabel, maka H0 diterima, artinya tidak terdapat perbedaan antara jumlah debitur bermasalah sebelum dan sesudah adanya kebijakan dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut. Karena hasil t hitung = 8,01 > t tabel (α = 5 persen dan derajat kebebasan (n-1) =4) = 2,776, maka H0 ditolak, artinya dengan derajat kepercayaan 95 persen Jumlah debitur bermasalah sebelum adanya kebijakan dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut lebih banyak dibandingkan sesudah adanya kebijakan. Berdasarkan hasil uji T berpasangan, kebijakan-kebijakan tersebut masih bisa diterapkan pada kasus pasca erupsi Merapi ini, paling tidak secara aplikatif dan evaluatif kebijakan Bank Indonesia tersebut mampu mendorong pemulihan ekonomi dengan catatan pola restrukturisasi dan kategori UMKM yang akan direstrukturisasi lebih diperjelas. Pola
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 35-44
pendampingan, advokasi, dan pemantuan dari lembaga independen bisa dimunculkan untuk menyelaraskan efektifitas kebijakan tersebut sampai di tangan UMKM yang membutuhkan. Sebagian besar penurunan tentu juga dipengaruhi oleh upaya-upaya persuasif oleh bank dan debitur yang kooperatif, dengan tetap mempertimbangkan kondisi debitur (business to business). Namun, karena mengalami gagal bayar hutang kepada bank, negara melalui BI memberikan black list (daftar hitam) kepada para pengusaha UMKM yang dimasukkan ke dalam Sistem Informasi Debitur (SID) dan berlaku di seluruh bank di Indonesia. Akibatnya, aset jaminan UMKM yang biasanya jauh lebih besar dari nilai pinjaman tersandera di bank. Padahal Komunitas UMKM mengusahakan realisasi penggunaan dana APBN untuk menyelesaikan seluruh kredit macet tersebut. Pihaknya juga meminta agar praktek perbankan yang bersikap diskriminatif pada UMKM korban gempa segera dihentikan. Sehingga untuk masalah jaminan, diperlukan realisasi penggunaan dana APBN untuk menyelesaikan seluruh kredit macet tersebut serta perlunya Kementerian Koperasi dan UKM sebagai lembaga penjamin.
ini, paling tidak secara aplikatif dan evaluatif kebijakan Bank Indonesia tersebut mampu mendorong pemulihan ekonomi. Sebagian besar penurunan kredit bermasalah juga dipengaruhi oleh upaya-upaya persuasif oleh bank dan debitur yang kooperatif, dengan tetap mempertimbangkan kondisi debitur (business to business). Namun Diperlukan juga tindakan-tindakan lain dalam mengatasi kredit bermasalah pasca erupsi merapi seperti melakukan komunikasi secara kontinyu dengan nasabah, proaktif dalam menyampaikan informasi kepada nasabahnya bagi pihak perbankan; memperjelas pola restrukturisasi dan kategori UMKM yang akan direstrukturisasi, pola pendampingan, advokasi, dan pemantuan dari lembaga independen bisa dimunculkan untuk menyelaraskan efektifitas kebijakan tersebut sampai di tangan UMKM yang membutuhkan; mendirikan lembaga penjamin kredit UMKM dan memberikan modal awal untuk pelaku UMKM korban erupsi merapi, sehingga UMKM dapat melakukan usaha kembali.
V. KESIMPULAN
Andriansyah, Yuli dan Wafa, M. Agus Khoirul, Kebijakan Pembiayaan Pada UMKM Untuk Pemulihan Ekonomi Pasca Erupsi Merapi, dipresentasikan dalam Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi: Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Penanggulangan Bencana (BNPB), 2011, Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Erupsi Merapi Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2013, Jakarta: Bappenas-BNPB. Bank Indonesia, 2011, Data dan Informasi Perekonomian dan Perbankan DIY Terkini Serta Perkembangan Kredit Bermasalah Gempa DIY 2006 dan Erupsi Merapi 2010. Yogyakarta: Bank Indonesia. Kompas, 2010, Rumah Dibersihkan, Dahan
Para debitur tidak bisa membayar cicilan karena memang usahanya mati total. Mereka gagal membayar atau melunasi kredit akibat rumah dan tempat usahanya hancur. Sedangkan praktek perbankan masih bersikap diskriminatif pada UMKM korban gempa. Karena mengalami gagal bayar hutang kepada bank, negara melalui BI memberikan black list (daftar hitam) kepada para pengusaha UMKM yang dimasukkan ke dalam Sistem Informasi Debitur (SID) dan berlaku di seluruh bank di Indonesia. Akibatnya, aset jaminan UMKM yang biasanya jauh lebih besar dari nilai pinjaman tersandera di bank. Sehingga untuk masalah jaminan, diperlukan realisasi penggunaan dana APBN untuk menyelesaikan seluruh kredit macet tersebut serta perlunya Kementerian Koperasi dan UKM sebagai lembaga penjamin. Kebijakan-kebijakan BI dalam rangka mengatasi kredit bermasalah masih bisa diterapkan pada kasus pasca erupsi Merapi
VI. DAFTAR PUSTAKA
Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah ... (Edmira Rivani)
43
Salak Dikepras. Kontan, 2012, Dampak Meletusnya Merapi Inilah Kerugian Erupsi Versi BI. Kuncoro, Mudrajad., 2012, Sektor Riil dan UMKM Pasca Inpres Nomor 6/2007. Kuncoro, Mudrajad, 2012, Analisis Ayat-Ayat Krisis UKM. Neraca, 2010, UKM Usaha Kecil menengah di Sleman merugi 1 Milyar Per hari. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/18/PBI/2003 tentang Pemberian Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil. Santosa, Awan dan Nugroho, Yuli, 2010, Konsepsi Ekonomi Kerakyatan dalam Pemulihan Ekonomi Rakyat Lereng Merapi, disampaikan dalam seminar bulanan Pustek UGM dan Sekretaris Pusat Studi Kewirausahaan Universitas Mercubuana Yogyakarta. Sudjana, 1992, Metode Statistika, Bandung: Tarsito.
44
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 35-44
CHALLENGES OF ESTABLISHING HOSPITAL DISASTER PLAN Sari Mutia Timur, M. Nur YAKKUM Emergency Unit, Jalan Kaliurang Km. 12, Ngaglik, Sleman Dn. Candi III no. 34, Sardonoharjo, Email:
[email protected] Abstract Abstrak-Makalah ini dirancang untuk mengetahui tantangan membangun rencana bencana dalam membantu rumah sakit berurusan dengan kesiapsiagaan bencana. Penelitian ini bertujuan untuk membantu perencana untuk menghindari kesulitan umum manajemen bencana, sehingga dapat meningkatkan kinerja selama bencana. Dengan data kualitatif melalui wawancara semi-terstruktur ditargetkan lima personil kunci dan menghasilkan rekomendasi yang dapat diadopsi.Temuan ini menunjukkan bahwa tantangan yang ditemukan dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi yang dapat mempengaruhi respon rumah sakit untuk menangani bencana. Untuk membangun ketahanan rumah sakit terhadap bencana, beberapa pertimbangan penting yang ditemukan yaitu memiliki rencana penanggulangan bencana yang tertulis tidak sama dengan kesiapannya; rencana sederhana dan fleksibel; adanya pengaturan alternatif, memastikan staf rumah sakit yang akrab dengan rencana dan pentingnya meninjau, pelatihan dan pengujian rencana penanggulangan bencana. Banyak rekomendasi diberikan dari literatur untuk mengatasi tantangan-tantangan. Meskipun keterbatasan kecil penelitian, pekerjaan ini dapat membentuk dasar untuk terus dievaluasi rencana bencana yang dikembangkan oleh rumah sakit di Indonesia. Kata Kunci: Bencana, rumah sakit, rencana, kesiapsiagaan, kesiapan. 1. INTRODUCTION 1.1 Background In the last few years, some of the worst disasters have been in Indonesia resulting in significant loss of life and destruction of property and infrastructure. The catastrophe sometimes occurred inside health institution which affected hospital staff, patients, visitors and the community. Healthcare facilities are expected to respond to these emergencies in a coherent fashion since hospitals definitely play an important role in disaster response due to the hospitals treatment role and are an integral part of the nation’s disaster response efforts. As well hospitals are charged with preventing and reducing disease and injury [1.2]. In the event of a disaster, hospitals themselves have two-pronged missions: provide patient care and protect their own staff and facilities [3]. To increase a hospital’s resilience to deal with disaster, some literatures mention about
the importance of having hospital disaster planning by establishing a predetermined level of operational sustainability that will carry it through a disaster [2]. Thus a hospital can minimize the results of injuries, suffering, and death that accompany a disaster and provide continued quality care to those patients in the hospital. Other literature states that hospital preparedness is an essential requirement in the current atmosphere of man-made and natural disasters [4]. Reference [5] even revealed that major accidents and disasters can only be mastered and controlled by intelligent planning. Nowadays Indonesian Ministry of Health have regulation about hospital accreditation. One of the clauses in the requirements is hospital should have concern in disaster management and are recommended to have hospital disaster plans [6]. Currently many hospitals have established disaster plan. However, why chaos always happen in hospital during disaster, particularly during the first phase of a disaster? Why having disaster planning
Challenges of Establishing Hospital Disaster Plan (Sari Mutia Timur, M. Nur)
45
cannot help hospital to avoid hospital overload and decrease of the quality of treatment? This paper will explore the challenge of establishing hospital disaster plan that can influence hospital to deal with disaster. 1.2 Objectives To find out the challenges of establishing disaster plan in hospital, from process of planning, implementation, monitoring and evaluation and find recommendation from literature to help planners to avoid common disaster management pitfalls thereby can improve performance during a disaster. 1.3 Method Literature study and interview conducted with key hospitals personnel to explore their view and experiences with hospital disaster plan effectiveness and as health service provider working in disaster period. 2. METHODOLOGY The methodology that was applied in this paper is a qualitative method to explore the challenge of establishing hospital disaster plan in helping hospitals deal with disaster preparedness. The explanation to select qualitative method is because the key features of qualitative research are to make a distinctive contribution to policy evaluations, particularly because of its ability to explore issues in depth and capture diversity; it is concerned with context, and focus on exploring meanings. This means that it can bring real depth to the understanding of the contexts in which policies operate and their implementation, processes and outcomes [7]. In this paper, data were collected via semistructured interviews with key hospital personnel and supported by various articles and journals. The numbers in the sample was five and a convenience sample targeting the hospitals that were accessible. Sampling decisions are made for the explicit purpose of obtaining the richest possible source of information to answer the research question. Hence, smaller but focused 46
samples are more often needed than large random samples [8, 9]. The criteria of key personnel inclusion were responsible for disaster and major incident preparedness of the clinical hospital staff and from hospitals in Java with a bed capacity of more than 100 which have hospital disaster plans. In most cases, this was the manager or clinician, or who as a result of their knowledge; previous experience had access to valuable information that could assist in understanding the context of the project, or clarifying particular issues or problems. For the semi-structured interviews, there was an interview schedule which was classified into four sections; background, planning, implementation, and monitoring and evaluation. One on one interview conducted with key hospitals personnel lasted 45- 60 minutes and explored their view and experiences with hospital disaster plan effectiveness and as health service provider working in disaster period. 3. FINDINGS To find out the challenge of establishing disaster plan in hospital, from process of planning, implementation, monitoring and evaluation, data were gathered via interview with a key member from each hospital disaster planning team. 3.1 Planning To establish hospital disaster plans, two hospital involved a multidisciplinary team (Hospital B and C), others started with the Emergency Department (Hospital A and D) and to ensure the process was effective; the final hospital only involved a few staff (Hospital E). The plans were developed through discussions, meetings, articles from the internet, seminars, training, staff suggestions, and disaster plan from another hospital, accreditation guidelines and past experience. Hospital B undertook a disaster risk analysis before developing the plan. When designing the plans, all hospitals stated that they encountered several challenges. The main challenge was a human resources matter such as limited staffing. Due to the
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 45-55
limited number, staff had many jobs and made it difficult them together to discuss or establish the plans. Besides, since the disaster plan was a new issue, few staff had little skills and expertise in the field. Moreover, as the plans closely related to an emergency response, the idea and initiative for establishing the plan usually come from the Emergency Department. Participant from the Emergency Department (Hospital D) expressed: Our problem is actually how to put our staff together. We made door to door meeting. It meant that participants visited every department and discuss with the chief of every department one by one to collect opinion from every departments. Another challenge expressed by the participants was the limited budget. According to the literature, preparing disaster plan needs many tools and infrastructures for example communication equipment and decontamination area with hot and cold water supply. Due to budget limitation, the hospitals could not comply with literature guidelines. Then the disaster committee modified the plan such as using intercom rather than radio communication for alternative communication. One participant (Hospital C) stated: I took some adaptation and made modifications. The theory and the practice are very different because of the limitation of the infrastructure. The cost is too high if we want to do exactly the same as in the theory. Two hospitals (B and C) had a specific focus in their disaster plans. Hospital B was concerned with floods since the hospital is located in an area that was vulnerable to flooding. Hospital C was concerned with fire since they have experienced a fire in the past. Hospital A and D have no specific focus in the disaster plan but hospital D emphasized potential disasters such as floods, landslides and road traffic accidents. Hospital E focus was still on internal disasters i.e. disaster or accident within the facility such as fire, explosion. All hospitals had made an effort to make the hospital personnel aware of the hospital disaster plan. Usually the hospital disseminated the plan through training such as fire, evacuation and Basic Life Support; and simulation. Hospital A, B and D used training and simulation to ensure that hospital personnel
were familiar with the plans. Hospital E involved the staff by asking them to review previous disaster responses through simulation exercises. Therefore hospital staff had the opportunity to practice and become familiar with disaster plans. Furthermore, staff could identify problems and apply lesson learned from past experienced. Usually before training and simulation, to introduce disaster plan matter, Hospital B, C and E used dissemination method which only discussed specific topics for approximately 2 hours. It is important since disaster plans are still a new issue in Indonesia. 3.2 Implementation Each hospital had experienced a disaster and/or mass casualty situation. However, all of them stated that they encountered challenges when using their own disaster plans. The first challenge was a limited budget. Second was the limited competency of hospital personnel about disaster planning topics. The participant from hospital A revealed: Human resource and budgeting are two problems that occur. This is in parallel with another participant: Our problem is clear. It concerns budgeting and human resources. Human resources are the factors which limit the implementation. Our human resources are incapable of learning new knowledge because we do not have the expertise to teach them (Hospital B.) The third challenge identified was an ineffective command control system. The key personnel from hospital D said: The system hasn’t run yet. I always argued in order to make system, but so far there is no response about it. Furthermore, another participant (Hospital E) said that all parts of the previous plans did not run well: If we talk about time to implement...e...our old hospital disaster plan and nothing’s worked....that’s our experience on the previous earthquake...no system worked... everything gets messed up. It is interesting that the participant from Hospital E also said that they followed accreditation guidance from Indonesian Ministry of Health but then the system could not work at all. Regarding the challenges, most of the hospitals were trying to deal with them by increasing human resources capacity in disaster
Challenges of Establishing Hospital Disaster Plan (Sari Mutia Timur, M. Nur)
47
and emergency response, regular training of staff in Basic Life Support and evacuation so that the staff will be ready to cope with disasters. Since hospital E found through disaster response simulation that command control system did not work in previous disaster plan, disaster plan committee revised the system to be simpler and applicable. On the other hand, the participant from hospital C stated that they had not addressed the challenges as the person who was in charge of the disaster plan implementation was occupied with other jobs. Each hospital had different risks to anticipate as well as disaster plan implementation. One participant (Hospital A) considered that they had limited medical equipment and thus the hospital cannot handle the patients which were in need of sophisticated equipment and in these cases the patients would need referral to another hospital which has better facilities. Participants (Hospital B and C) were concerned about low human resources capacity issues and thus the hospitals needed to engage in a process of staff capacity building. Another (Hospital D) identified the risk of ineffective coordination with the government field coordination unit and also within hospital. Hospital E have concerned on the command control system and revised the system before to prevent the system cannot work on disaster situation. 3.3 Monitoring and Implementation The five participants agreed that a measurement system is needed to measure quality hospital service. However, none of the hospitals had implemented a comprehensive hospital disaster preparedness measurement system. The reasons for not doing so were that there was no indicator or measurement tool and there was no department/division that had responsibility to do the monitoring. All the participants agreed that measuring the plan was important to test the hospital system as a whole. Hospital E has no tools to measure quality hospital service as well, but they tried to anticipate the challenges of the implementation of an outcome measurable system. They revised the plan based on findings that were collected during reviews of previous disaster responses 48
which involved many staff. The participant said: It will be another simulation to review...where we find weaknesses, that system will be repaired. Since disaster plans are never a fixed document, Hospital need to review their plan to improve it over time. Four hospitals have reviewed their plan except hospital A because the plan was newly created at 2008. In their disaster plan document, hospital A mentioned that they will review the plan every three years. Participants from most hospitals (Hospital A, C, D and E) held disaster plan simulations to call on their own experience and relate it to their own practice thus can prepare hospital staff to cope with the real scenario. However sometime the simulation did not have fix schedule, only hospital A have fire simulation regularly. Each hospital has different training program. Hospital B has Basic Life Support, fire extinguisher, evacuation (same with hospital D) and flood preparedness training. In hospital E, only the Emergency Department had regular training. Unfortunately, the participant from hospital A said that training in the hospital A was poor because they did not have competence staff to train hospital staff internally. To establish hospital preparedness towards disaster, hospital should establish operational sustainability that will carry it through disaster. Therefore hospital can reduce number of injuries, suffering and death during disaster and provide continued quality of care. All the participants agreed that disaster plan can improve the hospital’s capacity to deal with disasters. Using disaster plans, help hospital staff know what to do, when and how to do it, who they should help first and make coordination; and where is they should go. Moreover, the plans also give guidance to hospital what to do before and after disasters happen thus emergency response become more prepare, more organized and faster. Disaster plan can influence in daily practice as well. When hospital staff accustomed to handle many victims in disaster situation, in daily situation they will more organize and can give rapid but appropriate treatment. However, the participant from hospital B said that disaster plan still have limited influence in
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 45-55
daily practice since staff’s attitude which were reluctant to apply the plan. Even though there were challenges in designing and implementing the plans, participants from hospital A and D said that their disaster plans were accepted by hospital staff. Staff in hospital B and C did not refuse the disaster plan but they were reluctant to apply the plan. The reason was because they thought disaster was rarely happen thus the implementation of the plan was not necessary. In hospital E, the plan was especially accepted by the staff that had experience in dealing with disasters. Executor level staff was sometimes reluctant to accept the plan since they thought why should prepare to disaster that seldom to happen. They felt overloaded when they should make extra preparation for equipments, medicine and linen and maintain it at minimum stock. However, even disaster plan is non profit issue even need money; managers, administrators and clinician from all hospital have commitment to apply hospital disaster plan due to patient and staff safety. 4. DISCUSSION, RECOMMENDATION, CONCLUSION The results of this project are discussed in this section, comparing and contrasting the results with the relevant literature, and making conclusion. In addition, recommendations are made based upon the objectives of the paper will follow the discussion of the semi-structured interviews. Furthermore this section includes the limitations of the research. 4.1 Planning When establishing hospital disaster plans the involvement of a multidisciplinary team is required [10] thus disaster planning committees should have multidisciplinary members including administrative staff [11]. The participant from hospital E emphasized that disaster plans to be effective need collaboration and integration from all departments and cannot only be established by Emergency departments. The participant from hospital B mentioned that the hospital had commitment to create and implement a disaster
plan but that it was not sophisticated because they believed a simple plan could be fulfilled in practice. All participants made the plan by themselves. However, according to reference [12], the requirements should be decided locally on the basis of hazard analysis and proper disaster planning. In the case of these, it may be effective if Health Department can facilitate hospitals to meet and discuss about disaster plans so that there is congruence and sharing of resources. For the hospital that has limited staff numbers (Hospital B), HICS could be applied accordingly since HICs is a flexible system which can be expanded or scaled back to meet the particular needs of a specific crisis [13]. The participant from Hospital C said that the hospital had a limited budget when establishing the disaster plan and they should modify the plan with additional resources. Reference [14] recommends that financial resources for emergencies should be budgeted and guaranteed and that the hospital can verify that they have a specific budget for use in disaster situations. One out of the hospitals mentioned about the competence of staff. The ways to enhance human resources capacity are through regular training of personnel. Training must be compatible with, and give support to disaster plans. The responsibility for training must be clearly outlined [10, 12]. All participants said that some hospital personnel knew about hospital disaster plans through training and simulations. Training for disaster management requirements needs is uncomplicated and an expensive exercise requiring specialized facilities and equipment. As an adjunct to this training, the services and the organizations themselves need periodic practice and evaluation sessions as a coordinated response, usually in the form of combined exercises [12]. However, the mere existence of a disaster plan does not assure that health institutions are actually prepared; [15, 16]. Reference [17] argued that the “paper plan syndrome” creates an illusion of preparedness because : the assumptions underlying such a plan may not be
Challenges of Establishing Hospital Disaster Plan (Sari Mutia Timur, M. Nur)
49
valid, the plan was probably not created from an inter organizational perspective, insufficient resources may have been allocated to carry the plan out and end users were probably not involved in the planning process. The disaster plan should keep everyone in the department on their toes and deal with problems that consistently happen at reported disasters in their own areas as well as elsewhere [1]. Moreover, there should be a clear understanding at the planning level that almost any part of the plan may fall through, and contingency plans should also exist [4]. No one should rely too much or exclusively on high-tech facilities in extraordinary situations. For example hospital personnel cannot rely on telephone, cellular phone or paging to communicate with each other since communication overload or those which are unserviceable during disasters. In addition, generators are expected to operate automatically when the regular power fails however since many of generator are located in the basement, these machine are vulnerable to flooding and cannot operate efficiently. Therefore hospitals should provide for alternative arrangements [18]. Recommendation: 1. It is recommended hospital follow Hospital Emergency Incident Command (HICS) system thus only staff that have a role in disaster plans will be involved in the structure of the Disaster Response Team [13]. 2. Hospitals should make an effort to make the hospital personnel aware of the hospital disaster plan through training and simulation. 3. Reference [2] stated that disaster preparedness is not simply the existence of plans or even the periodic testing of those plans. Disaster plan must be reviewed continually in order to validate them in the face of changing needs then validated the readiness and effectiveness through studying of new information, conducting drills, and implementing lessons learned from real emergency situations. 4. Hospital should involve hospital staff to the review previous disaster responses through simulation or exercises which can make staff familiar with the plan and enrich 50
disaster planning documents [12]. 5. Hospital plans should deal with problems that consistently happen (lessons learned) at reported disasters in their own areas as well as elsewhere and this includes planning for what is likely as opposed to the worstcase scenario. 6. The plans must be simple and flexible since disasters never go according to the plan and it is crucial that the plan should be made by the people who are going to execute them [3]. 4.2 Implementation Hospital B mentioned that the hospital had implemented training to ensure that the staff became familiar with the plan but still it was not effective. The personnel still have difficulty in applying the plan. To anticipate it, training should focus on familiarizing and simulating the plan. The ways to increase human resources capacity in disaster and emergency response are through regular training of personnel. Thus the hospitals needed to engage in a process of staff capacity building [12]. Reference [10] suggested that health workers should be trained in Basic Life Support and Cardio-pulmonary Resuscitation, Standard First Aid, Emergency Room medical staff trained in Advance Cardiac Life Support and Paediatric Advance Cardiac Life Support. Hospital responders should be trained in Emergency Medical Technician Course, Incident Command System (ICS), Mass Casualty Incident (MCI) and Hospital managers trained in Hospital Incident Command System (HICS). Therefore, the staff’s knowledge and skill will improve and during the disaster phase the treatment the patients will be enhanced. ICS training emphasize on controlling staff numbers when dealing with disasters such as determining how many staff should be called in, how many staff should be relieved in every stages of the emergency, while HICS emphasizes on roles and functions of the disaster response team. This is the component that tells responding personnel “what they are going to do; when they are going to do it; and, who they will report it to after they have done it.”.
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 45-55
Thus hospital staff provides effective response for the survivors in ways to prevent poor care. Two hospitals experienced ineffective command control systems which made their disaster response sub-optimum. They found that disaster roles and responsibilities assigned in terms of individuals rather than positions did not work in previous disaster situations (based on Hospital D and E experienced). Participant from Hospital E told that they had followed accreditation requirements from health department guidelines however during implementation the guidelines did not meet the reality of the disaster situation. All parts of the previous plan did not run well. Then the disaster planning committee decided to continuously review the plan to ensure that it can be implemented effectively in disaster situations and to revise the system to be simpler and more applicable. Reference [14] stated that the wrong administrative and organizational procedures can increase this type of vulnerability; recommendations are made on how to prevent or modify them. Few systematic researches show that a rigid, bureaucratic command and control approach to emergency management generally leads to an ineffective emergency response. Reference [19] commented that previous studies and their own research suggested that flexible, malleable, loosely coupled, organizational configurations can create a more effective disaster response. Hospital with limited medical equipments should built network and cooperate with other health institutions so they can access others equipments or refer their patients to other institutions. Disasters do create the need for coordination between all participating agencies. To avoid ineffective coordination, hospital must provide a personnel who is familiar with the nature of other agencies to better liaise between agencies [12]. Recommendation: 1. When dealing with limited resources need to be cost-effective and focus on priority issues, consequently, rather than doing everything possible to save an individual patient, it will be necessary to allocate limited resources in a modified manner to save as many lives as possible [20].
2. Based on reference [12] recommendations, to deal with the low competence of hospital staff, hospitals should regularly provide education to enhance the capacity of staff. 3. Hospital should assign disaster team roles and responsibilities in terms of position rather than individuals. 4.3 Monitoring and Evaluation All the participants agreed that a hospital disaster plan can improve the hospital’s capacity to deal with a period of disaster. However, even though they believed that a measurement system is needed to measure the quality of the hospital services; all hospital has not measured their plans because they had no indicators or measurement tools to evaluate the disaster plan. Reference [21] stated that hospital disaster simulations can serve a dual purpose, functioning simultaneously as training interventions and as an opportunity for individual and institutional performance evaluation. Systematic evaluation of every hospital disaster simulation would allow determination of overall training effectiveness as well as enable identification of specific response components requiring further attention. Reference [21] suggestions were applied by Hospital E which had no tools to measure quality hospital service as well, but they revised the plan based on findings that were collected during reviews of previous disaster responses which involved many staff. Reference [10] recommended that hospitals establish tools and method for monitoring and evaluating disaster planning. Thus hospital can check whether there is deviation from the original design and whether the plan will ensure the security and accessible of hospital’s service at all times for all disaster victims. Reference [22] mentioned that without structured and objective evaluations of the responses to and the measures taken to prevent or mitigate the effects of events resulting in disasters, it is not possible to learn from experiences obtained by others to optimize the absorbing capacity of a society and the responses to such disasters. Evaluations and research are designed to enhance the effectiveness, efficiency, and/or benefits of
Challenges of Establishing Hospital Disaster Plan (Sari Mutia Timur, M. Nur)
51
such activities and should be viewed as efforts at continuous quality improvement and are not directed at exposure or punishment. Reference [10] suggested that evaluation of emergency simulation exercises or drill is held at least one a year. Hospital disaster plan that are written are never a complete document since resources, technology and personnel change as time progresses. Disaster plan should be considered as a planning process rather than the end product [16]. Experience may reveal better response strategies as well. Therefore a counter disaster planner should be initially prepared to provide for reviewing, amending and maintaining the plan. Reviewing the plan at regular intervals or following testing or activation of the plan where improvements can be made or deficiencies are found [12]. Only Hospital A has not reviewed their plan since they established it in 2008. Regarding reference [16] opinions, hospital should emphasize on what needs to be created are not documents, but an accepted series of ways of approaching the problem, be it mitigation, preparedness, response or recovery. Regarding training, some hospitals had interesting opinions. Hospital A said that the training program in their hospital was poor because of the lack of competent staff thus they could not train hospital staff effectively. The participant from hospital B said that training stands alone; it has not been integrated into all departments. This was similar with Hospital E that only the emergency room had regular training. Hospital D had interesting regulations regarding training the community. After the disaster response, usually the hospital will train members of the community. Hospital A gave training for community, police, security, army, Boy Scouts, and pedicab drivers because the hospital wished to establish an image in the community that hospital was safe, and had high quality professional service. The participant said that when the hospital gave training to the many stake holders, it was expected that the stake holders would always remember the hospital. Then when they need treatment, they will come to that hospital (marketing reason). In addition, by training external personnel these people may be utilized during a disaster. Hospital A supplied 52
accident data to police as well thus police can make evaluation on traffic regulations. Reference [20, 23] mentioned that disaster exercises have several goal such as they allowed hospital employees to become familiar with disaster procedures and made new hospital staff aware of procedures during a disaster response; allowed identification of problems in the different components of response (e.g., incident command, communications, triage, patient flow, materials and resources, and security); provided the opportunity to apply lessons learned to disaster response and to validate the readiness and effectiveness of the hospital disaster plan. This point also has been mentioned by reference [20]. The strength of evidence of other training methods is insufficient to draw valid recommendations. The first step in preparing any exercise is to analyze the need and give thought as to who would benefit by being involved as a participant. On completion of any exercise a debriefing must occur and a report prepared and distributed to participants and any organizations with a particular interest in the scenario. The report will provide a platform for the review of plans and procedures which should now be carried out together with any necessary remedial staff training [12]. Fundamental change will occur in hospitals when emergency planning and response are considered not isolated events but, rather, dayto-day planning that has been integrated in the fabric of hospital operations. The challenge for senior management teams in hospitals is balancing the need for a comprehensive plan with the realities involved in securing resources for emergency preparedness. All participants mentioned the investment and commitment from managers, administrators, and clinicians to have a disaster plan. Since disasters often bring unexpected circumstances, clinicians and staff are required to respond to situations they have not faced before. Disasters overwhelm the existing coping mechanism of the system, thereby creating enormous stresses on the organization, potentially causing some or all operational and functional elements to function below regular levels or fail altogether [17].
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 45-55
Recommendation: 1. Every hospital should have a measurement system used to measure the quality of the hospital services. Hospital should establish tools and method for monitoring and evaluating disaster plan [10] 2. The primary goal of disaster planning is increasing a hospital’s resilience by establishing a predetermined level of operational sustainability that will carry it through a disaster. Reference [2] suggested that to create resilience, a hospital should integrate preparedness in its daily operations, fund it in its budget, implement it with standard operating procedures, and measure it through drills and performance evaluations. 3. To be effective, plans must be practical, acceptable by all users, inter organizational, and based on valid resource information. To be the most effective, a written plan should be considered a work-in-progress requiring ongoing review and revision training and drilling that provides opportunities for staff to practice and become familiar with disaster plans, identify problems in different components of the response and provide the opportunity to apply lessons learned to disaster response [2]. 4. Management should not focus on production of a written document since what needed to be created are not only documents. 4.4 Limitation of the Study Although the study yielded a vast amount of valuable data, it is only relevant to the five hospitals and thus cannot be generalized to others hospital in Indonesia. The interviews should have taken place following the disaster plan audit and instead of a semi-structured interview, an unstructured interview be employed to gain further in-depth information about development of the plans, Information such as why some materials was included and if the omissions discovered in the audit were considered for inclusion, are they done but were not recorded in the plans and if in the future they may consider incorporating them in future plans.
4.5 Conclusion Confusion and chaos are generally experienced by the hospital at the onset of a medical response. Through effective disaster plan, chaos situations can be reduced and patients can be managed quickly. Therefore the negative effects of disaster such as death, and worsened conditions can be minimized. The challenges found during designing the plan were collaboration and integration of multidisciplinary team not only rely on emergency department staff, concerning that the planning should be decided locally on the basis of hazard analysis, limited staffing, limited staff competency about disaster plan and restricted budget. It may be worthwhile to consider the establishment of a Disaster Planning Committee to develop the plans; this will promote consistency, facilitate sharing and enhance the expertise of the hospital staff. It is important to understand that having a written disaster plan does not assure that health institutions are actually prepared since disaster plan must be reviewed continually in order to validate them in the face of changing needs. Thus the plans must be simple and flexible since disasters never go according to the plan and it is crucial that the plan should be made by the people who are going to execute them. Besides, hospitals should provide for alternative arrangements as well since no one should rely too much or exclusively on high-tech facilities in extraordinary situations During implementation process, the challenges were limited budget, less capacity of human resources and ineffective command control systems. For anticipating the risk related to disaster plan implementation, all hospital had made an effort to cope with the risk as well. When dealing with limited resources need to be cost-effective and focus on priority issues. Regarding the interview process, all participants agreed that hospital disaster plans is effective to prepare hospitals to deal with disasters. However, since there is no measurement system to measure the quality of hospital service, they cannot prove how effective hospital disaster plan would be. Therefore, this paper found that all of them still have a problem
Challenges of Establishing Hospital Disaster Plan (Sari Mutia Timur, M. Nur)
53
in monitoring and evaluating the plan especially evaluating the plan since all hospital have no tools or indicators which can use for evaluation. This paper emphasize that disaster planning is a dynamic process, therefore hospitals should review, train and test their disaster plan to ensure hospital resilience not only to fulfil the accreditation requirements. As a disaster response needs more than routine emergency procedures, hospital workers should be familiar with the plan. Major accidents and disasters can only be mastered and controlled by intelligent planning. Therefore, this paper gave the author an insight into the hospital disaster planning and despite the minor limitations of the study this work may form the bases for ongoing evaluation of disaster plans developed by hospitals in Indonesia especially in the light of the disasters that have occurred in recent years. 5. ACKNOWLEDGMENT I want to express our gratitude to all people who have given their heart and full support in making this paper a magnificent experience: ACT Alliance, EED, YAKKUM and YEU, Maria Miller, Professor Sandra Dunn, Professor Lesley Barclay, Sue Kruske, Ph.D, Sue Kildie, Isabelle Ellis, Robyn William and Robyn Aitken. I am deeply and forever indebted to my parents, husband and my children: Agung, Bojjha and Mita for their love, support and encouragement throughout my entire life. I offer my regards and blessings to all of those who supported me in any respect during the completion of the project, as well as expressing my apology that I could not mention personally one by one. Last but not least, my greatest regards to God for the strength that keeps me standing and for the hope and courage to face the complexities of life and complete this project successfully. May your name be exalted and honoured. 6. REFERENCES [1] 54
American Hospital Association, 2001 Disaster Readiness Advisory #1: Disaster Readiness.
[2] APIC Bioterrorism Working Group, 2002 Mass Casualty Disaster Plan Checklist: A Template for Healthcare Facilities. Saint Louis University, School of Public. [3] A.H. Kaji and R.J. Lewis, 2006 Hospital Disaster Preparedness in Los Angeles County. Academic emergency medicine, 13, issue 11, pp. 1198-1203. [4] B. Hersche and O.C. Wenker, 2000 Principles of Hospital Disaster Planning. The Internet Journal of Disaster Medicine, 1 (2). [5] C. Barrett, 2007. Disaster Planning after Katrina. Health Progress, November December, 88 (6). [6] Dinas Kesehatan, 2005. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 496/MENKES/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit. [7] Emergency Management Australia, 1999. Australian Emergency Manuals Series Part III. Emergency Management Practice Volume 1—Service Provision, Manual 2, Disaster Medicine, Health and Medical Aspects of Disasters, Second Edition. [8] Emergency Medical Services, 1998. The Hospital Emergency Incident Command System. Edition 3th, vol: 1, San Mateo County Health Services Agency, Emergency Medical Services. [9] E. A. Heide, 2006. The Importance of Evidence-Based Disaster Planning. Annals of Emergency Medicine, 47, Issue 1, pp. 34-49. [10] E.B. Hsu, M.W. Jenckes, C.L. Catlett, K.A. Robinson, C. Feuerstein, S.E. Cosgrove, G.B. Green, and E.B. Bass , 2004. Effectiveness of hospital staff mass-casualty incident training methods: a systematic literature review. Prehosp Disaster Med, 19 (3), pp.191-199. [11] E. L. Quarantelli, 1990. Preliminary Paper #144 Some Aspects of Disaster Planning in Developing Countries, Integrated Approach to Disaster Management and Regional Development Planning with People’s Participation Workshop, Dhaka, Bangladesh, January 28-February 1, 1990.
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 45-55
[12] E.L. Quarantelli, 1997, Research based Criteria For Evaluating Disaster Planning and Managing, International Seminar on “Chernobyl and Beyond: Humanitarian Assistance to Victims of Technological Disasters” organized by the Department of Humanitarian Affairs of the United Nations and held in Moscow, Russia on May 27-28, 1997 URL [13] Government Chief Social Researcher’s Office, 2004. The Magenta Book: Guidance Notes for Policy Evaluation and Analysis, Chapter 8: Qualitative Research and Evaluation How Do You Know Why (and How) Something Works? Published: September 2004, Prime Minister’s Strategy Unit, London. [14] Harvard Medical International, 2005. Hospital disaster management: Preparing for the unexpected. [15] I. Babar and R. Rinker, 2006. Direct patient care during an acute disaster: chasing the will-o’-the-wisp. Critical Care, 10(206). [16] J.M. Morse, 1994. Designing funded qualitative research. In: Denzin NK, Lincoln YS, editors. Qualitative research. Thousand Oaks, California: Sage Publications, pp. 220–235. [17] K.O. Sundnes, 1999. Health disaster management: guidelines for evaluation and research in the Utstein style: executive summary, Task Force on Quality Control of Disaster Management. Prehosp Disaster Med, 14 (2), pp.43-52. [18] M.B. Miles. and A.M. Huberman, 1994. Qualitative data analysis. Second edition. Thousand Oaks, California: Sage Publications. [19] M. Neal and B.D. Phillips, 2007. Effective Emergency Management: Reconsidering the Bureaucratic Approach. Disasters, 19, issue 4, pp. 327 – 337. [20] PAHO, 2008. Series: Hospitals Safe from Disasters No 2, Hospital Safety Index, Evaluation Forms for Safe Hospitals. Pan American Health Organization. [21] S. Mehta, 2006. Disaster and mass casualty management in a hospital: How well are we prepared? J Postgrad Med, 52, issue: 2, pp. 89-90.
[22] T.L. Thomas, E.B. Hsu, H.K. Kim, S. Colli, G. Arana and G.B. Green, 2004. The Incident Command System in Disasters: Evaluation Methods for a Hospital-based Exercise. Prehospital and Disaster Medicine, 20 (1), 2008. [23] WHO, 2008. Hospitals Safe from Disasters Reduce Risk, Protect Health Facilities, Save Lives. 2008-2009 World Disaster Reduction Campaign.
Challenges of Establishing Hospital Disaster Plan (Sari Mutia Timur, M. Nur)
55
56
IDENTIFIKASI KERANGKA PENGETAHUAN MASYARAKAT NELAYAN DI KOTA BENGKULU DALAM KESIAPSIAGAAN BENCANA SEBAGAI BASIS DALAM MERUMUSKAN MODEL PENGELOLAAN BENCANA Marwan Arwani Staf Pengajar Sosiologi FISIP UNIB Sekretariat Jurusan Sosiologi FISIP UNIB Jl. Wr. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371 Dan Mas Agus Firmansyah Staf Pengajar Ilmu Komunikasi FISIP UNIB Sekretariat Jurusan Sosiologi FISIP UNIB Email:
[email protected]
Abstract This study aims to identify the knowledge framework fishing community in the city of Bengkulu in anticipation and disaster preparedness. The research method used is a qualitative method based on interviews and observations as data collection techniques. The findings revealed that there are two frameworks of knowledge on fishing communities in the city of Bengkulu related to disaster preparedness; framework of knowledge based on cultural inheritance and internalized knowledge framework of various external factors such as the mass media or the simulation and counseling conducted by the government and NGOs. Framework culturally inherited knowledge about earthquake preparedness one of which can be found with the use of the splint that despite rare but can still be used as an alternative to building earthquake resistant houses. While the framework of knowledge about the signs of the earthquake and tsunami will be more widely known through information-based technologies such as mass media or the tsunami sirens were installed along the coast of Bengkulu. Keyword: Knowledge, preparedness, disaster management. I. PENDAHULUAN Secara geografis, Bengkulu merupakan salah satu Propinsi yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Posisi geografis yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia tersebut menjadikan Bengkulu sebagai salah satu daerah yang rentan / rawan bencana gempa. Hal ini dikarenakan kawasan Samudera Indonesia secara geologis memang dikenal sebagai zonasi pertemuan antar lempeng yang disebut dengan Sesar Sumatera (sabuk gempa). Dalam rentang waktu 7 tahun
saja, Bengkulu telah dilanda dua kali gempa besar dengan daya kekuatan hingga mencapai kisaran 7 Skala Richter. Tahun 2000 misalnya, Bengkulu dilanda gempa dengan kekuatan 7,3 SR yang menghancurkan sebagian besar rumah penduduk di sepanjang kawasan pesisir pantai Bengkulu. Hanya berselang 7 tahun, tepatnya tahun 2007, Bengkulu kembali diguncang gempa dengan kekuatan yang lebih besar lagi hingga 7,9 SR. Selain menelan korban jiwa, bencana gempa di Kota Bengkulu juga telah mengakibatkan kerugian material dan imaterial berupa trauma psikis yang berkepanjangan.
Identifikasi Kerangka Pengetahuan Masyarakat Nelayan ... (Marwan Arwani & Mas Agus Firmansyah)
57
Belajar dari bencana gempa Aceh (2004) dan Bengkulu tahun 2007 lalu, Pemerintah Daerah Bengkulu kemudian melakukan berbagai upaya dan langkah antisipasi untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan bencana gempa. Mulai dari pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), pembuatan rambu-rambu jalur evakuasi yang ditempatkan di titik tertentu, hingga program sosialisasi dan simulasi dalam menghadapi bencana gempa. Tujuannya adalah untuk mengedukasi, menambah pengetahuan dan menyiapkan masyarakat Bengkulu agar selalu siaga dalam menghadapi bencana gempa. Sementara itu, peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana, salah satunya ditunjukan dengan pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana atau disingkat F-PRB yang keanggotannya terdiri dari berbagai organisasi kemasyarakat lintas sektoral yang ada di Bengkulu. F-PRB sendiri merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang menfasilitasi keterlibatan dan aktivitas multi stakeholder/ disiplin untuk berkoordinasi, mengarahkan, dan melaksanakan upaya Pengurangan Risiko Bencana. Oleh sebab itu, berbagai program yang dirancang F-PRB diarahkan guna memberikan kesadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat Bengkulu dalam menghadapi ancaman bencana. Salah satu bentuk kegiatannya adalah dengan melakukan kampanye peningkatan kesadaran publik tentang kebencanaan melalui talk show, press confrence, press release, seminar, lokakarya dan ceramah. Salah satu contoh nyata dari pentingnya melakukan identifikasi dan inventarisasi terhadap pengetahuan lokal dapat kita lihat Saat gempa dan tsunami menerjang Aceh di tahun 2004, warga Pulau Simeulue yang tidak jauh dari pusat gempa, hanya mengalami korban jiwa sebanyak tujuh orang. Sebaliknya, warga Banda Aceh yang berada di daratan utama menderita korban tewas paling banyak mencapai 161.000 orang tewas. Ini semua karena kearifan lokal. Gempa dan tsunami masuk sebagai nyanyian (rakyat) oleh masyarakat Pulau Simeulue. Saat bencana terjadi, warga Pulau Simeulue tahu apa yang 58
harus mereka lakukan (Syahputra dan Munadi, 2011). Sementara itu, berdasarakan Peta Kajian Bahaya Puslitbang Geologi ESDM Bandung (2006) terlihat bahwa zona tingkat resiko kegempaan Kota Bengkulu yang paling rentan adalah wilayah sepanjang pesisir pantai. Hal ini ditambah lagi dengan pengalaman gempa tahun-tahun sebelumnya yang menunjukan kerusakan parah ada di wilayah pemukiman nelayan seperti daerah Berkas dan Lempuing. Sehingga komunitas masyarakat nelayan yang berdomisili di sepanjang pesisir pantai Kota Bengkulu merupakan komunitas masyarakat yang paling rentan mengalami dampak bencana secara langsung. Oleh karenanya, penguatan kapasitas lokal melalui upaya identifikasi awal kesiapsiagaan komunitas setidaknya dapat dilakukan pada komunitas masyarakat nelayan yang berdomisili di sepanjang pesisir pantai Kota Bengkulu. Sehingga menjadi penting untuk melakukan identifikasi kerangka pengetahuan (knowledge frame) atau cara pandang dan pemahaman (indegeous local) bagaimana komunitas masyarakat nelayan yang berdomisili di sepanjang pesisir pantai dalam menghadapi bencana. II. METODE Penelitian ini di lakukan pada kelompok masyarakat nelayan di Lempuing dan Berkas Kota Bengkulu. Lokasi ini dipilih secara sengaja dengan beberapa alasan. Pertama, masyarakat nelayan yang berdomisili di sepanjang pesisir Pasar Bengkulu merupakan kelompok masyarakat nelayan yang telah turun temurun melakukan aktivitasnya sebagai nelayan sekaligus pengelola sumber daya pesisir. Kedua, lokasi pemukiman mereka merupakan wilayah yang tergolong kedalam wilayah siaga bencana gempa dan tsunami. Untuk menggali konstruksi pemahaman, makna dan cara pandang bagaiman gempa dan tsunami pada tataran kognisi nelayan tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengambilan data menggunakan observasi dan wawancara mendalam. Melalui wawancara mendalam,
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 57-64
akan didapatkan bagaimana cara pandang masyarakat nelayan dalam aktivitas dan interaksinya sebagai pengelola sumber daya pesisir yang merupakan hasil dari pertukaran makna dengan mengunakan simbol-simbol yang terjadi sepanjang hidupnya. Wawancara mendalam dilakukan pada informan yang berjumlah 10 orang. Sementara, pengamatan dan studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data-data terkait aktivitas keseharian mereka dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dan bagaimana cara pandang keseharian mereka dalam melihat atau memandang mengenai bencana. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kelurahan Lempuing dan Kelurahan Berkas mempunyai bentang alam yang datar dan sedikit bergelombang memanjang sejajar dengan garis pantai yang landai dengan variasi ketinggian mulai dari 0-5 meter sampai 20 meter dpl. Kedua kawasan kelurahan ini dibatasi oleh pantai yang berbentuk tanjung dan muara (muaro) di sisi barat, daerah rendah berawa dan perbukitan disisi timur dan selatan. Dengan kondisi bentang alam tersebut, kedua kelurahan ini termasuk dalam kategori wilayah rentan terhadap bahaya tsunami yang disebabkan gempabumi. Pada saat gempabumi dengan kekuatan 7,9 Richter yang terjadi pada tanggal 4 juni 2000 lalu, banyak bangunan warga di kedua kelurahan tersebut mengalami kerusakan parah. Selain itu, gempa yang terjadi pada tahun 2000 lalu juga banyak memakan korban jiwa di kedua wilayah ini. Kerusakan bangunan dan timbulnya korban yang cukup besar merupakan indikasi bahwa secara umum masyarakat di kedua kelurahan masih belum sigap dalam mengantisipasi terjadinya gempa. Kelurahan Lempuing dan Kelurahan Berkas secara administrasi terletak di Kecamatan Ratu Agung Kota Bengkulu. Lokasi kedua kelurahan tersebut terletak memanjang dan berbatasan langsung dengan bibir pantai yang menghadap samudera Hindia. Luas wilayahnya mencapai 280 km2, dengan luas pemukiman sekitar 90km2. Dari pusat Kota
Bengkulu dapat ditempuh dengan perjalanan sekitar 10 menit. Kondisi jalan Kelurahan Lempuing dengan pusat kota relatif sudah cukup bagus dan diperluas dengan diperkeras dengan keberadaan aspal, sehingga mempermudah arus transportasi dari dan ke pusat Kota Bengkulu. Lokasi pemukiman tertata dengan rapi, sehingga jalan-jalan yang ada juga dapat diakatakn relatif bagus, hanya ada beberapa ruas jalan lingkungan sekitar yang ditemukan rusak namun masih tetap dapat dilalui kendaraan bermotor. Kelurahan Lempuing dan Berkas berbatasan dengan beberapa wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara : Penurunan Sebelah Selatan : Padang Harapan Sebelah Barat : Samudra Indonesia Sebelah Timur : Kelurahan Nusa Indah & Padang Harapan Kelurahan Lempuing dan Berkas memiliki kondisi topografi hampir seragam, semuanya sejajar dengan garis pantai. Hanya sekitar 5% wilayahnya yang berada di ketinggian 3 meter dpl. Sementara itu, untuk komposis demografi penduduk dapat dilihat sebagaimana tabel berikut ini; Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Kelurahan Lempuing dan Berkas No.
Golongan Umur
Kelurahan Lempuing
Berkas
1.
0 - 6 tahun
766
159
2.
7 – 12 tahun
643
158
3.
13 – 18 tahun
728
161
4.
19 – 24 tahun
782
239
5.
25 – 55 tahun
1.711
810
6.
56 – 79 tahun
116
81
7.
80 tahun JUMLAH
9
20
4.755
1.628
Sumber : Monografi Kelurahan Lempuing dan Berkas (2011) Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas usia penduduk yang berdomisili
Identifikasi Kerangka Pengetahuan Masyarakat Nelayan ... (Marwan Arwani & Mas Agus Firmansyah)
59
di Kelurahan Lempuing adalah masyarakat dengan rentang usia antara 25 s/d 55 tahun atau usia dewasa. Berturut-turut berikutnya usia antara 19 s/d 24 tahun dan usia antara 13 s/d 23 tahun. Sementara untuk usia yang dapat dikategorikan lanjut usia atau antara 56 s/d 79 dan usia penduduk diatas 80 tahun sangatlah minoritas. Sama seperti di Kelurahan Lempuing, komposisi usia penduduk di Kelurahan Berkas juga memperlihatkan bahwa usia mayoritas penduduk yang ada sebagian besar adalah usia dewasa antara usia 25 s/d 55 tahun. Data komposisi usia penduduk yang berdomisili di kelurahan Lempuing dan Kelurahan Berkas sekaligus menunjukan bahwa kemungkinan besar pengetahuan mengenai bencana gempabumi yang diwariskan secara turun-temurun juga semakin tereduksi karena minimnya mereka yang memiliki warisan pengetahuan dan pengalaman mengenai bencana gempabumi. Berdasarkan wawancara terhadap beberapa informan yang berusia lanjut antara 70 s/d 80 an tahun, mereka tidak memiliki informasi ataupun memori ingatan akan bencana gempabumi yang pernah mereka alami maupun pengetahuan mengenai gempa yang diwariskan oleh tetua sebelum mereka. Mereka hanya mengenal istilah lokal “ombak gelora” untuk menyebut kondisi air pasang atau naiknya air laut yang menurut informan merupakan siklus rutin 10 tahunan. Berkaitan dengan tingkat pendidikan penduduk yang berada di kedua kelurahan tersebut berikut ini di sajikan dalam Tabel 2: Tabel 2. Tingkat Pendidikan Penduduk di Kelurahan Lempuing dan Berkas No.
Tingkat Pendidikan
Kelurahan Lempuing
Berkas
1.
TK
252
53
2.
SD
1.027
439
3.
SMP
1.165
244
4.
SMA
1.016
528
5.
Perguruan Tinggi JUMLAH
121
37
3.626
1.390
Sumber: Diolah Dari Monografi Kelurahan Lempuing dan Berkas (2011) 60
Tabel diatas menunjukan bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Lempuing memiliki tingkat pendidikan setingkat SMP dengan komposisi sebanyak 1.165 orang. Sementara tingkat pendidikan yang paling sangat minim adalah Perguruan Tinggi yang hanya 121 orang. Sehingga dapat dikatakan bahwa mayoritas penduduk yang berdomisili di Keluruhan Lempuing mayoritas hanya berpendidikan setingkat SMP. Sementara pada kelurahan Berkas relatif, tingkat pendidikan penduduknya relatif lebih tinggi, dimana kebanyakan mereka yang berdomisili di Kelurahan Berkas memiliki tingkat Pendidikan setingkat SMA atau sebanyak 528 orang. Untuk mata pencaharian penduduk yang berdomisili di kedua kelurahan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini; Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Lempuing dan Berkas No.
Jenis Pekerjaan
di
Kelurahan Lempuing
Berkas
1.
Pegawai Negeri Sipil
2.
TNI / POLRI
201
155
41
25
3.
SWASTA
1.369
1.299
JUMLAH
1.746
1.479
Sumber: Manografi Kelurahan Lempuing dan Berkas (2011) Komposisi mata pencaharian penduduk di Kelurahan Lempuing sebagian besar menggeluti sektor swasta dimana termasuk didalamnya ada pedangan, nelayan atau petani dan sektor swasta lainnya. Masyarakat Kelurahan Lempuing banyak yang merupakan pindahan warga pasar Bengkulu dimana sebagian mereka mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Pada saat ini warga yang mempunyai mata pencaharian selain nelayan, banyak juga warganya yang berprofesi sebagai peternak ikan lele. Bahkan tidak sedikit warga yang juga memiliki kolam walaupun hanya sebagai usaha sampingan. Kerena itu Lempuing sering dikenal sebagai sentral ikan lele Kota Bengkulu. Sama halnya dengan di Kelurahan Berkas, sebagian besar mata pencaharian masyarakat di Kelurahan
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 57-64
Berkas juga banyak yang mengeluti sektor swasta. Di kedua kelurahaan ini juga banyak ditemukan mereka yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Kebanyakan nelayan yang ada di kedua kelurahan tersebut merupakan nelayan tradisional yang mengandalkan pendapatannya dari mengkap ikan. Sejak lima tahun belakangan banyak juga mereka yang mengeluti usaha perikanan pembibitan lele. IV. Kerangka Pengetahuan (Knowladge Frame) dan Inisiatif Lokal Komunitas Nelayan di Lempuing dan Berkas dalam Memandang Bencana Gempa dan Tsunami Pada tataran teoritis maupun praktis, diyakini bahwa setiap kelompok masyarakat termasuk juga kelompok masyarakat nelayan memiliki pengetahuan berspesifik lokal atau sering dikenal dengan social capital (modal sosial) yang memainkan peranan siginifikan dalam pengaturan kemasyarakatan (community management). Pada masyarakat nelayan di Propinsi Bengkulu misalnya, seperti penelitian yang dilakukan Elvina (2007), Kartika dan Santoso (2005) melihat bahwa mekanisme pengaturan kemasyarakatan (community management) pada komunitas nelayan seringkali dilandasi oleh hubungan saling percaya (trust), pranata (institution), dan jaringan sosial (social network). Sementara secara spesifik dalam pengelolaan wilayah pesisir masyarakat nelayan di Kota Bengkulu dalam kajian Budiyono (2007) tergambar bahwa mereka memiliki mekanisme tersendiri yang berlandaskan adat dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi. Berkaitan dengan permasalahan menghadapi bencana gempa dan tsunami, kerangka pengetahuan (knowledge frame) atau cara pandang dan pemahaman (indegeous local) yang terangkum dalam modal sosial komunitas masyarakat nelayan sekurangnya dapat dijadikan sebagai rujukan dalam memetakan program penangulangan bencana gempa dan tsunami di Kota Bengkulu. Asumsi penelitian yang dibangun untuk mengkaji ini didasari atas situasi dan kondisi mengenai pengetahuan lokal
tersebut. Seharusnya, paling tidak ada sedikit pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan oleh para pendahulu masyarakat nelayan dikedua wilayah penelitian untuk mengatasi, penangulangan atau mengantisipasi bencana gempa. Minimal terdapat pengetahuan lokal akan tanda-tanda sebelum terjadinya gempabumi atau tsunami yang diwariskan oleh pendahulu mereka yang bermukim di kedua wilayah yang rentan akan bencana tersebut. Untuk itu maka dalam penelitian ini dilakukan wawancara mendalam terhadap beberapa orang informan kunci baik dari tokoh masyarakat (Seperti; Ketua Adat, Ketua Himpunan Nelayan Kota Bengkulu, dan Ketua Forum Siaga Bencana) warga yang sudah sepuh maupun masyarakat umum dan pejabat kelurahan di kedua lokasi penelitian. Beberapa pengetahuan lokal yang ada dilokasi penelitian menunjukan bahwa tanda-tanda tsunami dan gempa salah satunya dapat dilihat dengan cara memperhatikan prilaku hewan ternak disekitar pemukiman mereka, biasanya hewan ternak menunjukan tingkah dan prilaku gelisah. Selain itu ketika telah terjadi gempa dan sesaat kemudian laut mulai surut maka masyarakat disekitar lokasi penelitian sudah mamahami bahwa itu adalah tanda-tanda akan terjadinya tsunami. Selain tanda-tanda alam tersebut, pada komunitas masyarakat nelayan di pesisir pantai Bengkulu, kearifan lokal lain yang teridentifikasi adalah keberadaan “rumah bidai”. Rumah bidai dapat dikatakan merupakan sebuah kearifan lokal yang dimiliki masyarakat pesisir pantai untuk bertahan hidup dalam sebuah hunian yang didesain dengan cara menyandingkan material anyaman bambu dan kayu dengan lapisan semen sebagai tembok rumah. Namun, berbeda dengan bangunan tembok beton, dinding rumah bidai dibuat dari anyaman bambu yang diikat dengan kawat lalu dilapisi adukan semen dan pasir. Kombinasi bambu dan kawat di dalam plasteran semen ini membentuk bidang dinding yang menyerupai beton, tetapi lebih ringan dan liat. Menurut informan penelitian, keberadaan rumah bidai di pesisir pantai Bengkulu masih banyak ditemui di era tahun 1980-an. Namun seiring berjalannya waktu, penggunaan teknologi rumah bidai
Identifikasi Kerangka Pengetahuan Masyarakat Nelayan ... (Marwan Arwani & Mas Agus Firmansyah)
61
sebagai bagian dari teknik membuat hunian dengan sendirinya mulai ditinggalkan. Saat ini mungkin hanya satu dua rumah yang masih menggunakan bidai sebagai pelapis tembok. Kebanyakan warga masyarakat tidak menyadari bahwa rumah bidai sebetulnya merupakan evolusi arsitektur yang diwariskan oleh para tetua mereka, yang ternyata tahan akan guncangan gempa. Pengetahuan akan rumah bidai ini sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat bahwa teknologi tersebut merupakan sebuah teknologi yang memungkinkan bangunan rumah mereka dapat bertahan terhadap goncangan gempa. Selain keberadaan rumah bidai, bagi komunitas masyarakat nelayan yang juga tergabung kedalam Kerukunan Keluarga Tabot (KKT), penyelengaraan ritual tabot sendiri sebetulnya dimaknai sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat pesisir Bengkulu. Bagi komunitas masyarakat nelayan di kelurahan Berkas dan Lempuing, gempabumi dan tsunami merupakan bencana alam yang
memerlukan perhatian dari manusia sebagai penggunanya. Terkait dengan sejarah bencana yang tercatat atau terekam dalam ingatan memori komunitas masyarakat nelayan di Berkas dan Lempuing memang tidak dapat ditelusuri lebih jauh. Hanya kejadian banjir dan gempabumi besar yang terjadi di tahun 2000-an yang masih terekam dalam ingatan masyarakat. Selain disebabkan dengan ketiadaan catatan, hal ini juga dikarenakan tinggal sedikitnya penduduk yang berusia lanjut yang memiliki pengalaman dengan bencana yang pernah terjadi di pesisir pantai Bengkulu. Dari data yang disampaikan informan didapatkan data mengenai sejarah kebencanaan yang pernah terjadi dan terekam dalam memori ingatan masyarakat; Selain ketiga peristiwa kejadian tersebut yang masih dingat dan tercatat, dalam salah satu Buku yang Berjudul Bengkulu dalam Sejarah dijelaskan mengenai adanya gempa besar yang pernah terjadi pada saat kedatangan Raffles pertama kali ke Bengkulu pada tahun
TAHUN
Jenis Pekerjaan
1987
Banjir, kiriman dari siring induk kel. Lempuing, air muara meluap menggenangi rumah penduduk kurang lebih 50cm, tidak ada korban jiwa, masyarakat mengungsi kedataran yang lebih tinggi, pemukiman yang mengalami kerusakan: RT 10, 11, 12, 15, 16, 17, 18, 19, 20
4-06-2000
Gempabumi, kekuatan gempa 7,9 SR, masyarakat mengungsi ke dataran yang lebih tinggi karena ada isu air laut naik (istilah tsunami belum dikenal luas), rumah penduduk banyak rusak, beberapa penduduk meninggal.
12-09-2007
Gempabumi kekuatan 7,2 SR, mengakibatkan kerusakan yang parah, banyak rumah warga yang mengalami kerusakan baik roboh, rusak berat, maupun rusak ringan.
dipandang sebagai kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Karenanya hidup haruslah menyesuaikan dengan keselarasan lingkungan dimana mereka melakukan aktivitas. Sebagai komunitas masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, pesisir dan laut merupakan lingkungan sehari-hari nelayan. Kepercayaan akan terjadinya bencana yang melanda pesisir pantai atau kota Bengkulu apabila tidak dilakasanakannya perayaan ritual tabot, merupakan bentuk pengingat bahwa pesisir pantai dan laut sebagai kesatuan ekosistem 62
1818 dimana Raffles menuliskan bahwa “Tak ada kecualinya, inilah negeri yang paling porak poranda yang pernah saya jumpai. Keadaan yang terbengkalai, pemerintahan yang buruk, bencana alami berupa gempabumi yang dahsyat, jalan raya yang tak dapat di lalui, bangunan milik pemerintah menjadi sarang hewan liar. Penduduk menamakan Bengkulu pada saat perjumpaan pertama dengan Raffless itu, “Bengkulu kini menjadi tanah mati”. Gempa besar yang pernah melanda Pesisir Kota Bengkulu seperti digambarkan
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 57-64
Raffles memang tidak ada lagi yang pernah mengingatnya. Bahkan pengetahuan akan gejala sebelum akan terjadinya bencana gempa, menurut masyarakat nelayan mungkin bukan sebuah pewarisan secara internal namun lebih kepada proses belajar dari alam. Seperti misalnya dengan memperhatikan prilaku hewan disekitar pemukiman mereka. Menurut salah seorang informan ada beberapa warga yang mengamati bagaimana lele peliharaan mereka akan sangat gelisah ketika akan terjadi gempa. Namun apa yang terjadi pada masyarakat pesiir pantai Bengkulu, sebenarnya dalam beberapa aspek pengetahuan mengenai rumah bidai dan perayaan laut (tabot) merupakan sebuah bentuk pewarisan pengetahuan lokal yang mungkin saja sudah tergerus maknanya sehingga para pewarisnya sudah kehilangan akan referensi makna dan fungsi dari keberadaan rumah bidai atau aktivitas lainnya. Kurangnya pengetahuan untuk memulai gerakan siaga bencana yang lebih terlembaga dan terinternalisasi kedalam aktivitas seharihari masyarakat adalah penyebab utama tingginya korban akibat bencana alam yang dapat berlangsung kapan saja. Terlepas dari komitmen pemerintah melalui Badan Nasional Penangulanggan Bencana (BNPB) untuk mengembangkan sistem peringatan bencana gempa dan bahaya tsunami, isu utama yang seharusnya perlu dikaji terkait dengan pengetahuan kesiapsiagaan masyarakat masih perlu difokuskan. Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana alam seringkali menjadi kurang optimal, ketika insitiatif – inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat lokal belum dijadikan sebagai bagian dari roadmap penangulangan bencana. Pengembangan dan penggunaan sistem peringatan secara terpusat belum tentu menghasilkan tindakan respon yang diharapkan pada tingkat komunitas lokal. Walaupun masyarakat telah diperingatkan akan terjadinya bencana, mereka mungkin masih ragu-ragu untuk melakukan evakuasi atau tindakan penyelamatan diri lainnya dikarenakan berbagai pertimbangan, seperti hilangnya mata pencaharian. Oleh karena itu, strategi kesiapsiagaan terhadap bencana penting untuk dikembangkan dimana
masyarakat dan pihak terkait lainnya diberikan sarana untuk mengukur dan mengenali tingkat kesiapan mereka dalam menghadapi bencana. Dengan demikian, mereka mampu memberikan respon dan tindakan yang tepat pada saat bencana terjadi. Upaya kesiapsiagaan dapat meminimalkan dampak buruk dari bahaya melalui tindakan pencegahan yang efektif dan tepat. Integrasi pengetahuan lokal, struktur sosial yang berlaku, dan adat setempat ke dalam upaya kesiapsiagaaan masyarakat sangat direkomendasikan untuk memastikan bahwa masyarakat menjadi bagian dari upaya tersebut. V. KESIMPULAN 1. Kerangka pengetahuan (knowledge frame) pada komunitas masyarakat nelayan di Kota Bengkulu dalam memandang bencana dapat dikategorikan kedalam dua bentuk; pengetahuan yang bersumber dari internal atau yang diwariskan secara kultural dan adapula pengetahuan yang diadapatkan dari akibat adanya pengetahuan baru yang terinternalisasi dari. Kerangka pengetahuan yang bersumber dari pewarisan kultural diantaranya adalah teknologi rumah bidai. 2. Bentuk inisiatif lokal yang dikenal dan diwariskan secara kultural pada komunitas masyarakat nelayan di pesisir Bengkulu mengenai kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa dan tsunami salah satunya adalah rumah bidai. Namun dikarenakan ketidaktahuan akan kegunaan teknologi rumah bidai tersebut hingga saat ini keberadaan rumah bidai tidak berkembang bahkan banyak ditinggalkan. VI. DAFTAR PUSTAKA Dahuri, Rokhmin. 2002. Strategi Pengembangan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Naskah orasi Ilmiah pada Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis dan Lustrum Universitas Bengkulu, 23 April 2002. Elvina, Nia. 2007. “Konstruksi Modal
Identifikasi Kerangka Pengetahuan Masyarakat Nelayan ... (Marwan Arwani & Mas Agus Firmansyah)
63
Sosial Pada Komunitas Nelayan Tradisional Bengkulu”. Dalam Jurnal AKSES Vol: IV No.1, 2007, hal.17-24. Kartika, Titik dan Djonet Santoso. 2005. Social Kapital Kehidupan Ekonomi Masyarakat Tradisional Nelayan (Studi Pada Masyarakat Nelayan di Desa Pasar Bantal, Kabupaten Mukomuko Propinsi Bengkulu). Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu. Kusnadi. 2006. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Bandung: Humaniora. -----------.2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber daya Perikanan. Yogyakarta: LKiS. Margalef, R. 1968. Perspectives in Ecological Theory. Chicago. University of Chicago Press. Soemarwoto, Otto. 2006. Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep dan Realita. Proceeding Stadium Ganeral Pada Ulang Tahun ke-80 di Universitas Padjadjaran. Bandung, 20 Februari 2006
64
Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 57-64
FORMAT PENULISAN UNTUK JURNAL PENANGGULANGAN BENCANA Judul (UPPERCASE, CENTER, BOLD FONT ARIAL 12) Nama Lengkap Penulis
}
Huruf dll lay out hal berikut
ABSTRACT: Tuliskan tujuan dari kesimpulan artikel anda secara jelas dan singkat; dalam BAHASA INGGRIS maksimal 250 kata. Abstrak ditulis 4 cm dari sisi kiri dan sisi kanan dengan sentence, Justify, Italic, Font Arial 10. Key word : bahasa Inggris paling banyak 10 kata (Sentence case, justify, regular, Arial 10).
1.
PENDAHULUAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT ARIAL 10) Jurnal ini hanya memuat artikel yang disusun dengan isi dan format yang sesuai dengan ketentuan pada halaman ini dan contoh LAY OUT dihalaman berikutnya. 1.1 Latar Belakang (Tinjauan Pustaka). (Titlecase, left, Bold, font Arial 10). Uraian tentang substansi penelitian atau tinjauan yang dilakukan penulis dengan dasar publikasi mutakhir. 1. 2 Tujuan(huruf seperti 1.1) Menjelaskan dengan singkatan tujuan penelitian ataupun tujuan yang akan dilakukan. 2. Metodologi Pada BAB ini penulis bisa membagi 2 atau 3 sub bab. 2.1 Tempat dan waktu penelitian ; menjelaskan dimana dan kapan penelitian dilakukan; 2.2 Sampling dan analisis sample; y a n g menjelaskan bagaimana mengambil sample dan dianalisis dimana dengan metode apa. 2.3 ............... (jika perlu) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN (huruf seperti 1.) Pada BAB ini penulis dapat membagi 2 sub bab atau lebih. 3.1 Laporan Penelitian (huruf seperti 1.1) Penulis harus menyampaikan data / hasil pengamatannya. Hubungkan dan diskusikan dengan referensi hasil/hasil penelitian lain.
Jelaskan mengapa hasil penelitian anda berbeda atau sama dengan referensi yang ada, kemudian ambil kesimpulannya. 3.2 Artikel Ulasan (Huruf seperti 1.1) Penulis menyampaikan “teori, pandangan dan hasil penelitian” peneliti lain tentang sebuah substansi/isu yang menarik. Diskusikan/ kupas perbedaan dan persamaan referensi yang anda sampaikan tersebut. Ambil kesimpulan; yang akan lebih baik jika penulis mampu mensinergikan referensi yang ada menjadi sebuah pandangan baru. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Penulis bisa membagi 2 sub bab: 4.1 kesimpulan yang berisi kesimpulan pada pembahasan dan 4.2. Saran diberikan jika ada hasil penelitian yang perlu ditindak lanjuti. UCAPAN TERIMAKASIH Berisikan ucapan terima kasih penulis pada pihak yang membantu (kalau perlu saja). DAFTAR PUSTAKA Berisi referensi yang diacu yang dalam artikel ditulis dengan superscript dan ditulis dengan cara berikut: 1. Author, tahun Judul paper, jurnal/prosidang/ buku, Vol (no), hal/jumlah hal. (perhatikan cara menaruh singkatan nama sebagai author ke-1: Garno, Y.S. dan nama ke-2: Y.S. Garno pada contoh penulisan daftar pustaka di bawah ini)
65
LAY OUT PENULISAN 18.5 cm
Judul KARYA ILMIAH (UPPERCASE, CENTER, BOLD, FONT ARIAL 12)
Penulis (Tittlecase, center, Bold, Font Arial 10) Nama Unit Kerja (Tittlecase, Center, Reg, Arial 10)
ABSTRACT: sentence case, justify, italic, font Arial 10 Kata kunci: maksimal 5 kata; ditulis Sentence case, justify with last line aligned left, regular, Arial 10
66
2.5 cm
Awal paragraph menjorok ke dalam 1,25 cm semua kalimat artikel selain judul bab dan subbab dutulis dengan MS Word, 1 spasi, sentence case, justify, regular, font Arial 10
1.5 cm
Footer 1.5 cm
0.5 cm
2 cm
Format penulisan jurnal ini terdiri dari 2 kolom dengan jarak antara kolom 0,5 cm dengan : Paper Size : Custom Size Width : 19,1 cm High : 26 cm Header : 1,25 cm Footer : 1 cm Top : 2,5 cm Bottom : 2,5 cm Left : 3 cm Right : 2,5 cm