JURNAL PENELITIAN KEHUTANAN JOURNAL OF FORESTRY RESEARCH

Download 1 Apr 2017 ... Jurnal Penelitian Kehutanan. Journal of Forestry Research. FAL AK. UDC 631.8. JPK Faloak, Vol. 1 No. 1, April 2017, hal: 1-8...

0 downloads 446 Views 1MB Size
Jurnal Penelitian Kehutanan Journal of Forestry Research

ISSN: 2579-5805

FAL AK

Volume 1 Nomor 1 April 2017

BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOG HASIL HUTAN BUKAN KAYU Research and Development Institute of Technology Non Timbre Forest Froduct BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Forestry Research and Development Agency KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Forestry and Enviromental

A. PENDAHULUAN pasang surut (terutama dipantai yang terlindung, laguna, sepanjang sungai dan HutanJURNAL mangrove dapat didefinisikan ISSN yang tergenang pada saat pasang Hal. 1-49muara sungai) April 2017 Vol.tumbuh 1 No.1 sebagai suatu hutan yang di daerah FALOAK 2579-5805

Jurnal Penelitian Kehutanan Journal of Forestry Research

ISSN: 2579-5805

FAL AK

Volume 1 Nomor 1 April 2017

Jurnal Faloak adalah e-journal yang diterbitkan Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, terbit dua kali dalam setahun pada bulan April dan Oktober. Jurnal ini memuat hasil-hasil penelitian di bidang Bidang Silvikultur, Jasa Lingkungan, Biometrik, Pemanenan dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu, Perlindungan, Konservasi Sumberdaya, Sosial Ekonomi dan Kebijakan, Ekologi Tumbuhan, Mikrobiologi dan Bioteknologi, Sifat Dasar Kayu dan Tumbuhan, Hidrologi dan Konservasi Tanah. Terbit dua kali dalam setahun pada bulan April dan Oktober, pertama terbit pada tahun 2017. Journal Faloak is an e-journal published Center for Research and Technological Development of Non-Timber Forest Products, published twice a year in April and October. This journal contains research results in the field of Sector Silviculture, Environmental Services, Biometrics, Harvesting and Processing of Wood Forest Products and Non-Wood, Protection, Resource Conservation, Social Economics and Policy, Plant Ecology, Microbiology and Biotechnology, Nature Wood and Plant, hydrology and Soil Conservation. Publishing twice a year in April and October, first published in 2017.

PENANGGUNG JAWAB

: Ir. Harry Budi Santoso, MP (Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

DEWAN REDAKSI (Editor Board) Ketua (Editor in Chief) : Agus Sukito, S.Hut., M.Agr., Ph.D (BPPTHHBK/ Biofarmaka) Anggota (Members) : 1. Dr. Kresno Agus Hendarto, S.Hut., MM (BPPTHHBK / Sosial Ekonomi dan Kebijakan) 2. Dr. S. Agung S. Raharjo, S.Hut, MT (BPPLHK Kupang/ Sosial Ekonomi dan Kebijakan) 3. Dr. Gerson N.D. Njurumana (BPPLHK Kupang / Konservasi) 4. Dr. Ir. Puja Mardiyanto (BPPLHK Manokwari/Silvikultur) 5. Amalia Indah Prihantini, S.Hut, M.Agr, Ph.D (BPPTHHBK/ Biofarmaka) Mintra Bestari (Peer reviewer)

: 1. Prof. Riset . Dr. Gustan Pari, M.Si (Puslitbang Hasil Hutan/ Pengolahan Hasil Hutan 2. Prof. Dr. Charli Natanubun, S.Hut, M.Si (Universitas Cendrawasih) 3. Dr. Ir. Ludji Michael Riwu Kaho, M.Si (Universitas Cendana/ Kehutanan dan Lingkungan) 4. Dr. Saptadi Darmawan, S.Hut, M.Si (BPPTHHBK / Pengolahan Hasil Hutan) 5. Dr. Siti Latifah, S.Hut., M.Sc.F (Universitas Mataram/ Sosekjak dan Biometrika) 6. Dr. Liliana Baskorowati, S.Hut., MP (BBPBPTH Yogyakarta/ Pemuliaan, Silvikultur) 7. Dr. Markum (Universitas Mataram/Sosial Ekonomi Kebijakan) 8. Prof. Riset DR. Budi Leksono, MP (BBPBPTH Yogyakarta /Pemuliaan, Silvikultur)

PIMPINAN REDAKSI PELAKSANA

(Managing editor) Anggota (Members)

: Wawan Darmawan, S.Hut., M.Si (Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian) : 1. Ahmad Nur, S.Hum., M.E 2. Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Kom 3. Triko Slamet, S.Hut., M.Ak 4. Rattah Pinnusa HH, S.Sos., M.Sc

Diterbitkan oleh (Published by): Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (Research and Development Institute of Technology Non Timber Forest Froduct) Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (Research, Development and Innovation Agency) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ministry of Enviromental and Forestri Republik of Indonesia) Alamat Redaksi : Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jalan Darma Bakti No. 7 Langko, Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat Telepon/Fax : 0370-6175552/6175482 Email : [email protected]; [email protected] Website : mataram.litbang.menlhk.go.id

Jurnal Penelitian Kehutanan Journal of Forestry Research

ISSN: 2579-5805

FAL AK

Volume 1 Nomor 1 April 2017

BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOG HASIL HUTAN BUKAN KAYU Research and Development Institute of Technology Non Timbre Forest Froduct BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Forestry Research and Development Agency KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Forestry and Enviromental

JURNAL FALOAK

Vol. 1

No.1

Hal. 1-49

i

April 2017

ISSN 2579-5805

UCAPAN TERIMAKASIH Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Kehutanan Faloak mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dewan Redaksi dan Mitra Bestari (peer reviewers) yang telah menelaah, analisa naskah yang dimuat pada edisi Vol. 1 No. 1, April 2017 :

Agus Sukito, S.Hut., M.Agr., Ph.D (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu/Biofarmaka)

Dr. Liliana Baskorowati, S,Hut., MP (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta/ Pemuliaan, Silvikultur) Dr. Kresno Agus Hendarto, S.Hut., MM (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu/Ekonomi Kehutanan) Dr. Saptadi Darmawan, S.Hut, M.Si (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu /Pengolahan Hasil Hutan) Dr. S. Agung S. Raharjo, S.Hut, MT (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup Kupang/Sosial Ekonomi dan Kebijakan)

ii

Jurnal Penelitian Kehutanan Journal of Forestry Research

ISSN: 2579-5805

FAL AK

Volume 1 Nomor 1 April 2017

DAFTAR ISI CONTENTS

Aktivitas Enzim Hydroxymethylglutaryl Coenzyme A Reductase Pada Induksi Gaharu Aquilaria Malaccensis Menggunakan Pupuk Urea dan Fusarium Solani (Hydroxymethylglutaryl Coenzyme A Reductaseactivity Onaquilaria Malaccensis Agarwood Induction With Nitrogen Fertilizer And Fusarium Solani) Resti Wahyuni.................................................................................................................

1-8

Penilaian Ekonomi Pengelolaan Wisata Alam Di Cagar Alam Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari, Papua Barat (Studi Kasus Kampung Kwau Distrik Minyambouw) Economic Valuation Of Ecotourism Management In Arfak Mountains Nature Reserve Of Manokwari Regency (Case Study Of Kwau Village Of Minyambouw District) Abdullah Tuharea, Hardjanto, Yulius Hero ……………………………...................

9-20

Pertumbuhan Awal Tanaman Mimba Di Nusa Penida Dengan Teknik Manipulasi Lingkungan (Early Growth Development Of Neem By The Enviromental Manipulation In Nusa Penida) Ali Setyayudi, Budi Hadi Narendra, & Ryke Nandini ………………………………

21-30

Pengaruh Pemangkasan Terhadap Produksi Tunas Pada Kebun Pangkas Bidara Laut (Strychnos Lucida R Brown) The Effect Of Hedging To The Production Of Shoots On The Hedge Orchard Of Strychnos Lucida R Brown Anita Apriliani Dwi Rahayu& Krisnawati ……………………………………………

31-38

Pertumbuhan Bandeng Didua Tambak Silvofishery Yang Berbeda Umur Di Kawasan Mangrove Pantai Utara Kabupaten Rembang Growth Of Milkfish In Two Different Age Silvofishery Fishponds In Mangrove Area In North Coast Of Rembang Regency Krisnawati& Erny Poedjirahajoe …………………………………………………….

39-49

iii

Jurnal Penelitian Kehutanan Journal of Forestry Research

ISSN: 2579-5805

FAL AK

Volume 1 Nomor 1 April 2017

Lembar Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya

UDC 631.8 JPK Faloak, Vol. 1 No. 1, April 2017, hal: 1-8 Aktivitas Enzim Hydroxymethylglutaryl Coenzyme a Reductase Pada Induksi Gaharu Aquilaria Malaccensis Menggunakan Pupuk Urea dan Fusarium Solani Resti Wahyuni (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Aquilaria malaccensis merupakan salah satu spesies penghasil gaharu di Indonesia. Senyawa gaharu terbentuk sebagai respon pertahanan pohon gaharu terhadap berbagai gangguan seperti gangguan fisik, infeksi patogen atau perlakuan kimiawi. Gaharu mengandung bermacam-macam senyawa kimia. Kandungan senyawa kimia terbesar adalah sesquiterpen. Biosintesis sesquiterpen dapat diprediksi dengan melihat aktivitas enzim Hydroxymethylglutaryl coenzyme a reductase (HMGR). Pengukuran aktivitas enzim HMGR menggunakan metode spektrofotometri. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur aktivitas enzim HMGR pada induksi gaharu Aquilaria malaccensis perlakuan pupuk urea dan Fusarium solani untuk memperkirakan terjadi atau tidaknya sintesis sesquiterpen melalui jalur asam mevalonat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas enzim HMGR pada kombinasi perlakuan pemupukan urea dan F. solani sebesar 0,0796 unit/mgP, pada perlakuan F. solani sebesar 0,0130 unit/mgP, pada perlakuan pupuk urea maupun tanpa perlakuan (kontrol) sebesar 0,0023 unit/mgP saat 30 hari setelah perlakuan (HSP). Aktivitas enzim HMGR saat 30 HSP dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan pupuk urea dan F. solani. Aktivitas enzim HMGR saat 30 HSI masih tergolong rendah sehingga kemungkinan belum terjadi sintesis terpenoid melalui jalur asam mevalonat. Kata kunci: Gaharu, Aquilaria malaccensis, Fusarium solani, enzim Hydroxymethylglutaryl coenzyme A reductase, urea UDC 634.9*333.9 [598] JPK Faloak, Vol. 1 No. 1, April 2017, hal: 9-20 Penilaian Ekonomi Pengelolaan Wisata Alam Di Cagar Alam Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari, Papua Barat (Studi Kasus Kampung Kwau Distrik Minyambouw) Abdullah Tuharea1,2, Hardjanto3& Yulius Hero4 (1Mahasiswa S2 Program Magister Mayor MEJ-IPB,2Staf Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari3,4Departemen MNH Fahutan IPB) Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi nilai ekonomi pengelolaan wisata alam di Kampung Kwau, Distrik Minyambouw, Kabupaten Manokwari. Kampung Kwau merupakan salah satu daerah penyangga dari Cagar Alam Pegunungan Arfak. Metode yang digunakan adalah Travel Cost Method (TCM) dengan sistem zonasi (asal pengunjung). Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder dilakukan melalui wawancara dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi pengelolaan wisata alam di Kampung Kwaupada tahun 2011 adalah Rp. 895.868.125 dari total biaya pengeluaran pengunjung. Biaya pengeluaran terbesar adalah untuk transportasi (91%). Obyek wisata alam andalan Kampung Kwau adalah bird watching. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam pengelolaan kawasan CAPA. Kata kunci : Nilai ekonomi, wisata alam, travel cost method UDC 574.5 [598] JPK Faloak, Vol. 1 No. 1, April 2017, hal: 21-30 Pertumbuhan Awal Tanaman Mimba Di Nusa Penida Dengan Teknik Manipulasi Lingkungan Ali Setyayudi1, Budi Hadi Narendra2 , & Ryke Nandini3 (1,3Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, 2Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan) Mimba menjadi salah satu jenis yang dapat dipilih untuk kegiatan rehabilitasi lahan kritis di Nusa Penida. Untuk meningkatkan kemampuan adaptasi tanaman mimba dilakukan penelitian manipulasi lingkungan dengan penambahan pupuk kandang, hydrogel, dan pembuatan gulud. Guna mengetahui efektifitas kegiatan manipulasi lingkungan maka penelitian ini akan ditujukan untuk mengetahui adakah peningkatan pertumbuhan tanaman mimba dengan manipulasi lingkungan yang dilakukan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah pola latin square dengan lima perlakuan yaitu penambahan pupuk kandang, pupuk kandang+gulud, pupuk kandang + hydrogel, gulud+hydrogel, dan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan tanaman mimba akibat adanya kegiatan manipulasi lingkungan. Pemberian pupuk kandang dan hydrogel memiliki peningkatan pertumbuhan tanaman mimba paling besar dibandingkan yang lain yaitu dua kali lipat kontrol. Kata kunci : Mimba, pupuk kandang, hydrogel, gulud

iv

UDC 631.54 JPK Faloak, Vol. 1 No. 1, April 2017, hal: 31-38 Pengaruh Pemangkasan Terhadap Produksi Tunas Pada Kebun Pangkas Bidara Laut (Strychnos Lucida R Brown) Anita Apriliani Dwi Rahayu1& Krisnawati2 (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu) Bidara laut (Strychnos lucida R Brown) merupakan tumbuhan obat tradisional yang potensial, khususnya di wilayah Bali dan NTB. Khasiat kayu bidara laut antara lain digunakan sebagai obat malaria dan penambah stamina. Salah satu cara untuk menjamin pasokan bahan baku kayu bidara laut, perlu dilakukan budidaya seperti perbanyakan tanaman dengan stek. Perbanyakan tanaman secara vegetatif menggunakan stek pucuk memerlukan bahan tanaman yang juvenil. Salah satu cara untuk mendapatkannya yaitu dengan membangun kebun pangkas. Teknik pemangkasan merupakan aspek yang diperlukan dalam pengelolaan kebun pangkas yang berperan untuk menentukan produktivitas dan kualitas bahan stek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tinggi tanaman induk setelah pemangkasan (10 cm dan 20 cm) terhadap produksi tunas. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Parameter yang diukur adalah jumlah tunas dan panjang tunas setelah 4 bulan pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan tinggi tanaman induk bidara laut setelah pemangkasan mempengaruhi jumlah tunas yang dihasilkan dengan nilai signifikansi 0,001, sedangkan panjang tunas tidak signifikan (> 0,05). Setelah 4 bulan pemangkasan, tinggi pangkasan 20 cm menghasilkan tunas yang lebih banyak dibandingkan tinggi pangkasan 10 cm yaitu 2,59 tunas. Kata Kunci : Strychnos lucida R Brown, pemangkasan, produksi tunas, kebun pangkas

UDC 639.32 [598] JPK Faloak, Vol. 1 No. 1, April 2017, hal: 39-49 Pertumbuhan Bandeng Didua Tambak Silvofishery Yang Berbeda Umur Di Kawasan Mangrove Pantai Utara Kabupaten Rembang Krisnawati1& Erny Poedjirahajoe2 (1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, 2Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan UGM) Silvofishery merupakan pola agroforestry yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove. Petani dapat memelihara ikan, udang, kepiting atau jenis komersial lainnya untuk memelihara hutan mangrove. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pertumbuhan bandeng pada tambak silvofishery tahun buat 1960 (A) dan tahun buat 1970 (B). Metode untuk mengetahui pertumbuhan berat bandeng yaitu setiap tambak diberi keramba jaring sebagai plot pengamatan dengan tiga kali ulangan. Peletakan plot berada di kiri-kanan dan tengah tambak agar mewakili luasan tambak. Analisis yang digunakan adalah analisis statistik deskriftif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pada tambak A dengan umur tambak 47 tahun pertumbuhan rata-rata sepuluh ekor bandeng yaitu 869,33gram dan pada tambak B dengan umur 37 tahun pertambahan berat rata-rata per sepuluh ekor bandeng yaitu 866,11 gram. Selisih rata – rata pertambahan berat bandeng di kedua tambak sebesar 3,22 gram dan termasuk hasil yang kecil. Artinya pertambahan berat rata – rata bandeng di kedua tambak yang berbeda umur sama, sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan bandeng di kawasan mangrove Pantai Utara Kabupaten Rembang. Kata Kunci : Silvofishery, pertambahan berat bandeng, umur tambak

v

Jurnal Penelitian Kehutanan Journal of Forestry Research

ISSN: 2579-5805

FAL AK

Volume 1 Nomor 1 April 2017

The abstrack may be reproduced without permision or charge

UDC 631.8 JPK Faloak, Vol. 1 No. 1, April 2017, hal: 1-8 Hydroxymethylglutaryl Coenzyme a Reductase activity on Aquilaria malaccensis Agarwood Induction With Nitrogen Fertilizer and Fusarium solani Resti Wahyuni (Research and Development Institute of Technology Non Timbre Forest Froduct) Aquilaria malaccensis is an agarwood producer in Indonesia, which have suffered injury and/or are infected by fungi. Agarwood contain chemical compounds. Sesquiterpene is one of the biggest components of agarwood that related to the agarwood fragrance and colour. Biosynthesis of sesquiterpene can be predicted by Hydroxymethylglutaryl coenzyme a reductase (HMGR) activity as a key enzyme of sesquiterpene biosynthesis through mevalonate (MVA) pathway. HMGR enzyme activity was measured by spectrophotometer. This study was conducted to know the activity of Hydroxymethylglutaryl coenzyme a reductase (HMGR) on A. malaccensis agarwood induced by nitrogen fertilizer and Fusarium solani to predict the sesquiterpenoid synthesis pathway. HMGR enzyme activity for combination treatment of nitrogen fertilizer and F. solani was 0.0796 units/mgP, treatment of F. solani was 0.0130 units/mgP, no treatment (control) was 0.0023 units/mgP,while treatment of nitrogen fertilizer was also 0.0023 units/mgP on 30 days after treatment (DAT). HMGR enzyme activity on 30 DAT was affected by interaction between nitrogen fertilizer and F. solani treatment. HMGR enzyme activity of A. malaccensis treated by nitrogen fertilizer and F. solani was very low. Keywords : Agarwood, Aquilaria malaccensis, Fusarium solani, Hydroxymethylglutaryl coenzyme A reductase, sesquiterpene UDC 634.9*333.9 [598] JPK Faloak, Vol. 1 No. 1, April 2017, hal: 9-20 Economic Valuation of Ecotourism Management in Arfak Mountains Nature Reserve of Manokwari Regency (Case Study of Kwau Village of Minyambouw District) Abdullah Tuharea1,2, Hardjanto3& Yulius Hero4 (1Masters Program Master Program Major MEJ-IPB, 2Staff Researchers at Forestry Research Institute Manokwari 3,4Departemen of MNH Fahutan IPB) The aim of this research is to valuate the economic value of ecotourism management in Kwau village of Minyambouw district of Manokwari regency. The method usedis Travel Cost Method (TCM) with a zoning system (homeland) ofthe visitors. The result of this research indicates that the economic value ofecotourism management in Kwau village with zoning approach in 2011 was IDR. 895.868.125 of the total spending cost of the visitor, the largest cost was transportation cost (91%). Bird watching is the most favorite object of ecotourism activities in Kwau village. Key word : Economic valuation, eco-tourism, travel cost method

UDC 574.5 [598] JPK Faloak, Vol. 1 No. 1, April 2017, hal: 21-30 Early Growth Development of Neem by The Enviromental Manipulation in Nusa Penida Ali Setyayudi1, Budi Hadi Narendra2 , & Ryke Nandini3 (1,3Research and Development Institute of Technology Non Timbre Forest Froduct, 2Forest Research and Development Center) Neem can be choosen for the rehabilitation activities in Nusa Penida. For increasing the neem adaptability on the marginal land the environmental manipulation can be apllied by adding the manure, hydrogel, and terrace. To examine the efectivity of the environmental manipulation, therefore, this study reported the early growth of neem as the response of the environmental manipulation. Latin square experimental design was applied in this study with five treatments including the addition of manure, manure + terrace, manure + hydrogel, terrace + hydrogel, and control. The results showed the environmental manipulation treatment increased the growth of neem. The manure and hygrogel treatment gave the higest growth than others; the growth showed twice an control. Keywords : Neem, manure, hydrogel, terrace

vi

UDC 631.54 JPK Faloak, Vol. 1 No. 1, April 2017, page: 31-38 The Effect of Hedging to The Production of Shoots on The Hedge Orchard of Strychnos lucida R Brown Anita Apriliani Dwi Rahayu1& Krisnawati2 (Research and Development Institute of Technology Non Timbre Forest Froduct) Bidara laut (Strychnos lucida R Brown) is a potential of traditional medicinal plant, especially in the area of ?Bali and NTB. Efficacy of S. lucida wood is used to malaria medicine and stamina enhancer. One way to ensure the supply of raw material of S. lucida, need to be cultivated as plant propagation by cuttings. Vegetative propagation of plants using shoot cuttings needs juvenile plant material. One of way to get it is build the hedge orchard. Hedging techniques are necessary aspect on hedge orchard management whose role is to determine the productivity and quality of the cutting materials. This study aims to determine the effect of stock plant height after hedging (10 cm and 20 cm) to the production of shoots. The study design used completely randomized design. The parameters measured were the number of shoots and length of shoot after four months of observation. The results showed that the difference of stock plant height of S. lucida after hedging affects the number of shoots which has significant number at 0.001, while height of hedging was not significant (> 0.05). After four months, height of hedging of 20 cm produced more shoots than height of hedging of 10 cm at 2.59 shoots. Keywords: Strychnos lucida R. Brown, hedging, the production of shoots, hedge orchard

UDC 639.32 [598] JPK Faloak, Vol. 1 No. 1, April 2017, page : 39-49 Growth of Milkfish in Two Different Age Silvofishery Fishponds in Mangrove Area in North Coast of Rembang Regency Krisnawati1& Erny Poedjirahajoe2 (1Research and Development Institute of Technology Non Timbre Forest Froduct, 2Faculty of Forestry Department of Forest Resources Conservation UGM) Silvofishery agroforestry pattern is used in the implementation of social forestry program of mangrove forest region. Farmers may keep the fish, shrimp, crab or other commercial types to preserve mangrove forests. The purpose of this study was to determine the growth of milkfish in ponds created silvofishery year 1960 (A) and for the year 1970 (B). Method to determine the weight of growing milkfish ponds that any given observation cages as a plot with three replications. Laying the plot is on the left-right and center to represent the area of ?the pond embankment. The analysis used descriptive statistical analysis. The results obtained from this study is on the old farm pond A 47 year average growth of tentails milk: 869.33 grams and on farm B by age 37 the average weight per tentails milk: 866.11 grams. Difference in averages in the second increased milkfish ponds of 3.22 grams and includes result were small. This means that age does not affect the growth of milkfish ponds in the North Coastarea of mangrove Rembang regency. Keywords: Silvofishery, weight milkfish, age ponds

vii

AKTIVITAS ENZIM HYDROXYMETHYLGLUTARYL COENZYME A REDUCTASE PADA INDUKSI GAHARU Aquilaria malaccensis MENGGUNAKAN PUPUK UREA DAN Fusarium solani (Hydroxymethylglutaryl Coenzyme a Reductase activity on Aquilaria malaccensis Agarwood Induction With Nitrogen Fertilizer and Fusarium solani) Resti Wahyuni1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma bhakti No.7 Ds. Langko, Lingsar, Lombok Barat, NTB Telp. 03706175552; Email :[email protected]

1

ABSTRACT Aquilaria malaccensis is an agarwood producer in Indonesia, which have suffered injury and/or are infected by fungi. Agarwood contain chemical compounds. Sesquiterpene is one of the biggest components of agarwood that related to the agarwood fragrance and colour. Biosynthesis of sesquiterpene can be predicted by Hydroxymethylglutaryl coenzyme a reductase (HMGR) activity as a key enzyme of sesquiterpene biosynthesis through mevalonate (MVA) pathway. HMGR enzyme activity was measured by spectrophotometer. This study was conducted to know the activity of Hydroxymethylglutaryl coenzyme A reductase (HMGR) on A. malaccensis agarwood induced by nitrogen fertilizer and Fusarium solani to predict the sesquiterpenoid synthesis pathway. HMGR enzyme activity for combination treatment of nitrogen fertilizer and F. solani was 0.0796 units/mgP, treatment of F. solani was 0.0130 units/mgP, no treatment (control) was 0.0023 units/mgP,while treatment of nitrogen fertilizer was also 0.0023 units/mgP on 30 days after treatment (DAT). HMGR enzyme activity on 30 DAT was affected by interaction between nitrogen fertilizer and F. solani treatment. HMGR enzyme activity of A. malaccensis treated by nitrogen fertilizer and F. solani was very low. Keywords : Agarwood, Aquilaria malaccensis, Fusarium solani, Hydroxymethylglutaryl coenzyme a reductase, sesquiterpene ABSTRAK Aquilaria malaccensis merupakan salah satu spesies penghasil gaharu di Indonesia. Senyawa gaharu terbentuk sebagai respon pertahanan pohon gaharu terhadap berbagai gangguan seperti gangguan fisik, infeksi patogen atau perlakuan kimiawi. Gaharu mengandung bermacam-macam senyawa kimia. Kandungan senyawa kimia terbesar adalah sesquiterpen. Biosintesis sesquiterpen dapat diprediksi dengan melihat aktivitas enzim Hydroxymethylglutaryl coenzyme a reductase (HMGR). Pengukuran aktivitas enzim HMGR menggunakan metode spektrofotometri. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur aktivitas enzim HMGR pada induksi gaharu Aquilaria malaccensis perlakuan pupuk urea dan Fusarium solani untuk memperkirakan terjadi atau tidaknya sintesis sesquiterpen melalui jalur asam mevalonat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas enzim HMGR pada kombinasi perlakuan pemupukan urea dan F. solani sebesar 0,0796 unit/mgP, pada perlakuan F. solani sebesar 0,0130 unit/mgP, pada perlakuan pupuk urea maupun tanpa perlakuan (kontrol) sebesar 0,0023 unit/mgP saat 30 hari setelah perlakuan (HSP). Aktivitas enzim HMGR saat 30 HSP dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan pupuk urea dan F. solani. Aktivitas enzim HMGR saat 30 HSI masih tergolong rendah sehingga kemungkinan belum terjadi sintesis terpenoid melalui jalur asam mevalonat. Kata kunci: Gaharu, Aquilaria malaccensis, Fusarium solani, enzim Hydroxymethylglutaryl coenzyme a reductase, urea

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 1-8

I. PENDAHULUAN Gaharu merupakan suatu produk hasil hutan bukan kayu yang dihasilkan oleh tumbuhan anggota Thymelaeaceae yang mengalami perlukaan dan atau terinfeksi oleh cendawan (Zhang et al. 2014). Gaharu bernilai ekonomi tinggi karena bermanfaat sebagai parfum maupun bahan obat-obatan (Kakino et al. 2010). Permintaan gaharu di pasar global meningkat dari waktu ke waktu (Azah et al. 2013). Aquilaria malaccensis merupakan salah satu spesies anggota Thymelaeaceae yang dapat menghasilkan gaharu. Semua spesies dalam genus Aquilaria telah masuk dalam Appendix II CITES yang berarti bahwa tumbuhan tersebut ketersediaannya di alam telah langka dan perdagangan tumbuhan tersebut maupun produk gaharu dan turunannya diatur oleh undang-undang (CITES, 2010). Gaharu budidaya dapat menjadi salah satu cara untuk mendapatkan gaharu yang legal untuk memenuhi permintaan pasar global. Pembentukan gaharu budidaya tidak dapat terjadi dengan sendirinya tetapi perlu adanya induksi baik internal maupun eksternal. Metode induksi tradisional yaitu menggunakan pisau untuk melukai batang serta menanam paku pada batang (Mohamed et al. 2014). Cara tersebut memerlukan waktu yang lama untuk dapat menghasilkan gaharu (Li et al. 2015). Metode lain yang telah berkembang yaitu menggunakan bahan kimia, mikroorganisme serta kit. Jenis senyawa kimia yang terkandung dalam gaharu bermacam-macam. Kandungan kimia gaharu dari genus Aquilaria antara lain sesquiterpen, 2-(2-feniletil)-4H kromen derivatif, senyawa aromatik, triterpen, dan lainlain (Chen et al. 2012). Sesquiterpen dan 2-(2feniletil)-4H kromen derivatif merupakan dua jenis senyawa kimia yang umumnya dominan terkandung dalam gaharu (Ishihara,1993; Chen et al. 2012). oid. Sintesis sesquiterpen terjadi di sitosol melalui jalur asam mevalonat (MVA) (Taiz & Zeiger, 2010). Enzim HMGR merupakan enzim pertama pada jalur MVA

2

serta sebagai enzim kunci untuk biosintesis terpenoid melalui jalur MVA (Pateraki & Kanellis 2010). Aktivitas enzim HMGR diharapkan dapat digunakan untuk memperkirakan terjadi atau tidaknya sintesis terpenoid melalui jalur MVA. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengukur aktivitas enzim HMGR pada induksi gaharu Aquilaria malaccensis menggunakan perlakuan pupuk urea dan Fusarium solani untuk memperkirakan terjadi/tidak nya sintesis sesquiterpen melalui jalur asam mevalonat.

II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai November 2015 di Rumah Kaca Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor. Pengukuran aktivitas enzim HMGR dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor. B. Bahan Bahan penelitian yang digunakan yaitu bibit A. malaccensis berumur 10 bulan yang berasal dari persemaian komersial di Bogor, pupuk urea dan F. solani (kode Lt) yang berasal dari Laboratorium Mikrobiologi Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram. Bibit A. malaccensis yang digunakan memiliki tinggi tanaman 71- 94 cm, diameter batang 0,8 – 1 cm, jumlah daun berkisar 10-18 helai. Bibit A. malaccensis ditanam pada pot berdiameter 20 cm dan media tanam berupa tanah sebanyak 1,5 kg tiap pot. Pemberian pupuk urea sebanyak 2 gram per bibit dilakukan bersamaan dengan waktu inokulasi F. solani. Bibit A. malaccensis diletakkan dalam rumah kaca yang dilengkapi paranet 50%. Penyiraman pada bibit dilakukan setiap dua hari. Suhu rumah kaca 25-30 oC dan kelembaban 60-70%.

Aktivitas Enzim Hydroxymethylglutaryl Coenzyme... (Resti Wahyuni)

F. solani yang digunakan untuk inokulasi diremajakan dalam media padat Potato Dextrose Agar (PDA) menggunakan cawan petri dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. F. solani tumbuh membentuk koloni pada media PDA. Kriteria F. solani yang digunakan untuk inokulasi adalah warna hifa putih dan koloni tumbuh di seluruh media PDA dalam cawan petri.

C. Rancangan Percobaan Induksi Gaharu Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor I adalah pemupukan urea terdiri dari dua taraf yaitu 0 g/bibit dan 2 g/bibit. Faktor II adalah inokulasi dengan F. solani terdiri dari dua taraf yaitu 0 cm2 dan 1 cm2. Kombinasi perlakuan seperti pada Tabel 1. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali.

Tabel 1. Kombinasi perlakuan rancangan percobaan faktorial Table 1. Treatment combination on completely randomized factorial design No Number 1. 2. 3. 4.

Kombinasi perlakuan Treatment combination Bibit A. malaccensis perlakuan pupuk urea 0 g/bibit dan F.solani Bibit A. malaccensis perlakuan pupuk urea 2 g/bibit dan F.solani Bibit A. malaccensis perlakuan pupuk urea 0 g/bibit dan F.solani Bibit A. malaccensis perlakuan pupuk urea 2 g/bibit dan F.solani

D. Metode Inokulasi F. solani Metode inokulasi yang digunakan adalah dengan menyayat atau melukai batang bibit A. malaccensis yang kemudian ditempel isolate F. solani dalam media padat PDA. Penyayatan batang secara melingkar pada kulit batang menggunakan silet dengan lebar sayatan 1 cm serta jarak antar sayatan 10 cm (Mohamed et al. 2014) dengan modifikasi. Jarak sayatan terbawah dari permukaan tanah sebesar 5 cm. Bibit A.malaccensis ditempel F. solani yang tumbuh di media PDA dengan ukuran seluas 0 dan 1 cm2. Bekas sayatan yang telah ditempel inokulan kemudian ditutup dengan kasa dan disiram akuades steril setiap hari. E. Aktivitas Enzim Hydroxymethylglutaryl coenzyme A reductase (HMGR) Materi uji yang digunakan adalah daun dewasa (posisi ketiga dari bawah) dari bibit A.malaccensis yang diperlakukan dengan pupuk urea dan F. solani (Tabel 1). Daun diambil dari bibit A.malaccensis saat 30 hari setelah perlakuan. Preparasi materi uji dilakukan dengan mengikuti metode Jiang & Huang (2001) dan digunakan oleh Hamim et al. (2007) dengan modifikasi. Sebanyak 0,2 gram sampel daun segar digerus dan diekstrak dalam 4 ml larutan yang mengandung 50 mM buffer fosfat (pH 7,0),

0 cm2 0 cm2 1 cm2 1 cm2

(P0A) (P1A) (P0AF) (P1AF)

1% polyvinypolypyrolidon dan 0,2 mM asam askorbat. Hasil gerusan disentrifus pada 4.500 g selama 30 menit sehingga diperoleh supernatan. Supernatan disimpan di freezer pada suhu -30oC yang selanjutnya digunakan untuk analisis aktivitas enzim HMGR. Aktivitas enzim HMGR diukur menggunakan spektrofotometer UV sesuai petunjuk kerja pada kit HMGR– sigma. Satu mililiter (ml) sampel yang akan diukur aktivitas enzim HMGR dimasukan ke dalam kuvet kemudian ditambah 915 µl assay buffer, 20 µl NADPH, 60 µl HMG-KoA dan 5 µl HMGR. Sampel dan reagen tersebut dihomogenisasi hingga homogen. Sampel selanjutnya diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm. Pembacaan absorbansi dilakukan setiap 15 detik selama 5 menit. Aktivitas enzim HMGR dihitung dengan rumus : Unit/mgP =

(∆A340/minsampel - ∆A340/minblank) x TV

12,44 x V x 0,6 x LP

Keterangan (Remark): ∆A340/minsampel: Delta absorbansi sampel pada panjang gelombang 340 nm ∆A340/minblank : Delta absorbansi blanko pada panjang gelombang 340 nm 12,44 : NADPH yang dikonsumsi selama reaksi TV : Volume sampel (ml) V : Volume enzim yang digunakan (ml) 0,6 : Konsentrasi enzim dalam mg protei (mgP/ml) LP : Light path (bernilai 1 untuk kuvet) (Sigmaaldrich, 2011)

3

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 1-8

F. Analisis Data . Data aktivitas enzim HMGR dianalisis dengan ANOVA menggunakan aplikasi software SPSS 23.0. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas enzim HMGR saat 30 hari setelah perlakuan (HSP) paling tinggi diperoleh

dari perlakuan pupuk urea 2g/bibit dan F. solani 1 cm2 (P1AF) (Tabel 2). Aktivitas enzim HMGR perlakuan P1AF 7 kali lipat lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0AF dan 35 kali lipat lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0A maupun P1A (Tabel 2). Aktivitas enzim HMGR saat 30 HSP dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan pupuk urea dan F. solani (p< 0.05, Tabel Lampiran).

Tabel 2. Aktivitas enzim HMGR pada hari ke-30 setelah perlakuan Table 2. HMGR enzyme activity on 30 days after treatment Perlakuan Treatment Pupuk urea 0 g/bibit dan F.solani 1 cm2 (P0AF) Pupuk urea 2g/bibit dan F.solani 1 cm2 (P1AF) Pupuk urea 0g/bibit dan F.solani 0 cm2 (P0A) Pupuk urea 2g/bibit dan F.solani 0 cm2 (P1A)

Aktifitas enzim HMGR HMGR enzyme activity (units/mgP) 0.0130 b 0.0796 a 0.0023 c 0.0023 c

Keterangan (remark): Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p< 0.05)

Enzim HMGR merupakan enzim pertama pada jalur MVA (asam mevalonat) serta sebagai enzim kunci untuk biosintesis terpenoid melalui jalur MVA (Pateraki dan Kanellis 2010). Terpenoid khususnya sesquiterpen merupakan salah satu komponen terbesar gaharu (Ishihara 1993, Chen et al. 2012). Aktivitas enzim HMGR diharapkan dapat digunakan untuk memperkirakan terjadi atau tidaknya sintesis terpenoid melalui jalur MVA. Aktivitas enzim HMGR saat 30 HSP masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan level basal aktivitas enzim HMGR sebesar 2 units/mgP (Moore & Oishi 1993). Aktivitas enzim HMGR yang rendah ini menunjukkan kemungkinan belum terjadi sintesis terpenoid melalui jalur asam mevalonat. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan urea dan inokulasi F. solani selama satu bulan pada A. malaccensis telah menginduksi aktifnya enzim HMGR di daun tetapi aktivitasnya masih rendah dan belum menunjukkan adanya sintesis terpenoid 4

yang akhirnya akan terdeposit pada floem jejari dan memunculkan warna gaharu yang gelap. Tumbuhan khususnya jenis yang beradaptasi terhadap lingkungan ekstrim akan memproduksi metabolit sekunder sebagai mekanisme pertahanan. Salah satu jenis metabolit sekunder tersebut adalah terpenoid atau isoprenoid (Taiz &Zeiger,2010). Terpenoid juga merupakan metabolit sekunder volatil dengan kelas yang paling besar dibandingkan jenis metabolit sekunder lainnya yaitu lebih dari 22.000 komponen senyawa (Degenhardt et al. 2009; Mc Garvey & Croteau,1995). Terpenoid secara umum berperan sebagai hormon tanaman (giberelin dan asam absisat), pigmen fotosintesis, pembawa elektron (ubiquinon dan plastoquinon), komponen struktural membran (fitosterol) (Mc Garvey & Croteau, 1995). Anggota terpenoid khususnya jenis C10, C15, dan C20 berperan dalam komunikasi dan pertahanan tanaman misalnya atraktan polinator, fitoksin, antibiotik, toksin untuk herbivora (Harborne,1991). Jenis monoterpen (C10) dan

Aktivitas Enzim Hydroxymethylglutaryl Coenzyme... (Resti Wahyuni)

C20 berperan dalam komunikasi dan pertahanan tanaman misalnya atraktan polinator, fitoksin, antibiotik, toksin untuk herbivora (Harborne,1991). Jenis monoterpen (C10) dan sesquiterpen (C15) adalah yang paling umum diproduksi sebagai respon tanaman terhadap serangan herbivora. Terpenoid diproduksi pada sel tumbuhan dengan dua jalur yang berbeda dan lokasi yang berbeda, salah satunya terdapat di sitoplasma dan yang lain di plastida. Jalur sintesis pada sitoplasma disebut jalur mevalonat (MVA) sedangkan jalur yang terjadi di plastid disebut jalur Methylerythritol 4-phosphate (MEP). Jalur MEP menyediakan prekursor untuk sintesis monoterpen, diterpen, isopren,

karotenoid, fitohormon giberelin dan asam absisat, tokoferol, filoquinon dan plastoquinon. Sedangkan jalur MVA menyediakan isopentenyl diphosphate untuk sintesis sesquiterpen, sterol, brasinosteroid, polyprenol. Pembentukan sesquiterpen melalui jalur MVA melibatkan aktivitas enzim-enzim, salah satunya Hydroxymethylglutaryl coenzyme A reductase (HMGR). Enzim ini mensintesis asam mevalonat melalui reduksi 3hidroksi-3-metilglutaril-KoA, merupakan enzim pertama pada jalur MVA dan juga sebagai enzim kunci untuk biosintesis terpenoid melalui jalur MVA (Pateraki & Kanellis, 2010). Jalur biosintesis terpenoid disajikan pada Gambar 1.

Enzim HMGR

Gambar 1. Jalur biosintesis terpenoid (Taiz &Zeiger, 2010) Figure 1. Terpenoid biosynthesis pathway (Taiz &Zeiger, 2010) 5

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 1-8

IV. KESIMPULAN Aktivitas enzim HMGR pada kombinasi perlakuan pemupukan urea 2 g/bibit dan Fusarium solani 1 cm 2 sebesar 0,0796 unit/mgP, pada perlakuan F. solani 1 cm2 sebesar 0,0130 unit/mgP, pada perlakuan pupuk urea 2 g/bibit maupun tanpa perlakuan (kontrol) sebesar 0,0023 unit/mgP saat 30 hari setelah perlakuan (HSP). Aktivitas enzim HMGR saat 30 HSP dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan pupuk urea dan F. solani. Aktivitas enzim HMGR perlakuan pupuk urea 2 g/bibit dan F. solani1 cm2 tergolong rendah saat 30 HSP dan menunjukkan belum terjadi sintesis terpenoid melalui jalur mevalonat (MVA).

DAFTAR PUSTAKA Azah, MN., Husni, SS., Mailina, J., Sahrim, L., Majid, JA., & Faridz, ZM. (2013). Classification of agarwood by resin content. Journal of Tropical Forest Science,25(2), 213–219. Chen, H., Wei, J., Yang, J., Zhang, Z., Yang, Y., Gao, Z., Sui, C., & Gong, B. (2012). Chemical constituents of agarwood originating from the endemic genus Aquilaria plants. Chemistry and Biodiversity,9,236-250. CITES. (2010, November). Appendix II of convention on international trade in endangered species of wild fauna and f l o r a . D i a k s e s d a r i https://cites.org/eng/notif/2010/E007A.p df Degenhardt, J., Köllner, TG., & Gershenzon, J. (2009). Monoterpene and sesquiterpene synthases and the origin of terpene skeletal d i v e r s i t y i n p l a n t s . Phytochemistry,70,1621–1637. Hamim., Miftahudin., & Triadiati. (2007). Studi enzim dan senyawa antioksidan yang terlibat dalam penyelamatan spesies oksigen aktif (AOS) akibat cekaman kekeringan pada kedelai (hibah bersaing). 6

Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harborne, JB. (1991). Recent advances in the ecological chemistry of plant terpenoids. Oxford: Clarendon Press. Ishihara, M., Tsuneya, T., &Uneyama, K. (1993). Fragrant sesquiterpenes from agarwood. Phytochemistry, 33(5), 11471155. Jiang, Y.,& Huang, B. (2001). Physiological and biochemical responses of plants to drought and heat stress. In: M. Kang (ed.) Crop Improvement in the 21stCentury. New York: The Haworth Press. Kakino, M., Tazawa, S., Maruyama, H., Tsuruma, K., Araki, Y., Shimazawa, M., &Hara, H. (2010). Laxative effects of agarwood on low-fiber diet-induced constipation in rats. BMC Complementary and Alternative Medicine,10,68-75. Li, W., Cai, CH., Guo, ZK., Wang, H., Zuo, WJ., Dong, WH., Mei, WL.,& Dai,HF.(2015). Five new eudesmane-type sesquiterpenoids from Chinese agarwood induced by arti? cial holing. Fitoterapia, 100,44–49. Mcgarvey, DJ., & Croteau, R. (1995). Terpenoid Metabolism. Plant Cell, 7,1015–1026. Mohamed, R., Lee, JP., & Kudus, KA. (2014). Fungal inoculation induced agarwood in young Aquilaria malaccensis trees in the n u r s e r y. J o u r n a l o f F o re s t r y Research,25(1),201–204. Moore, KB., & Oishi, KK. (1993). Characterisation of 3-hydroxy-3methylglutaryl coenzyme A reductase activity during maize seed development, germination and seedling emergence. Plant Physiology,101,485–491. Pateraki, I., & Kanellis, A. (2010). Stress and developmental responses of terpenoid biosynthetic genes in Cistus creticus subsp. Creticus. Plant Cell Reports, 29, 629-641.

Aktivitas Enzim Hydroxymethylglutaryl Coenzyme... (Resti Wahyuni)

Sigma-aldrich. (2011, Maret). HMG-CoA reductase assay kit. Technical bulletin. Diakses dari www.sigma-aldrich.com Taiz, L., & Zeiger, E. (2010). Plant physiology. USA: Sinauer Associates. Zhang, Z., Wei, J., Han, X., Liang, L., Yang, Y., Meng, H., Xu, Y., & Gao, Z. (2014). The

sesquiterpene biosynthesis and vesselocclusion formation in stems of Aquilaria sinensis (Lour.) Gilg trees induced by wounding treatments without variation of microbial communities. International Journal of Molecular Sciences, 15(12),23589-23603.

LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil analisis ANOVA aktivitas enzim HMGR 30 hari setelah perlakuan (Appendix 1. Results of ANOVA analysis HMGR enzyme activity 30 days after treatment)

Sumber keragaman (Source diversity)

db

Pupuk urea F. solani Pupuk urea x F. solani Galat Total terkoreksi

1 1 1 8 11

Kuadrat Jumlah tengah kuadrat (squares (total middle) middle) 0,003 0,003 0,006 0,006 0,003 0,003 0,000 0,000016 0,013

F

Sig.

208,333 363 208,333

0,00 0,00 0,00

7

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 1-8

8

PENILAIAN EKONOMI PENGELOLAAN WISATA ALAM DI CAGAR ALAM PEGUNUNGAN ARFAK KABUPATEN MANOKWARI, PAPUA BARAT (Studi Kasus Kampung Kwau Distrik Minyambouw) Economic Valuation of Ecotourism Management in Arfak Mountains Nature Reserve of Manokwari Regency (Case Study of Kwau Village of Minyambouw District) Abdullah Tuharea1,2 , Hardjanto3 & Yulius Hero4 Mahasiswa S2 Program Magister Mayor MEJ-IPB 2 Staf Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari 3,4 Departemen MNH Fahutan IPB Email: [email protected] 1

ABSTRACT The aim of this research is to valuate the economic value of ecotourism management in Kwau village of Minyambouw district of Manokwari regency. The method usedis Travel Cost Method (TCM) with a zoning system (homeland) ofthe visitors. The result of this research indicates that the economic value ofecotourism management in Kwau village with zoning approach in 2011 was IDR. 895,868,125 of the total spending cost of the visitor, the largest cost was transportation cost (91%). Bird watching is the most favorite object of ecotourism activities in Kwau village. Key word : Economic valuation, eco-tourism, travel cost method ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi nilai ekonomi pengelolaan wisata alam di Kampung Kwau, Distrik Minyambouw, Kabupaten Manokwari. Kampung Kwau merupakan salah satu daerah penyangga dari Cagar Alam Pegunungan Arfak. Metode yang digunakan adalah Travel Cost Method (TCM) dengan sistem zonasi (asal pengunjung). Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder dilakukan melalui wawancara dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi pengelolaan wisata alam di Kampung Kwaupada tahun 2011 adalah Rp. 895.868.125 dari total biaya pengeluaran pengunjung. Biaya pengeluaran terbesar adalah untuk transportasi (91%). Obyek wisata alam andalan Kampung Kwau adalah bird watching. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam pengelolaan kawasan CAPA. Kata kunci : Nilai ekonomi, wisata alam, travel cost method

I. PENDAHULUAN Selama ini manfaat ekonomi dari ditetapkannya suatu kawasan konservasi bagi masyarakat setempat, pemerintah daerah dan negara adalah kecil. Ini karena manfaatnya hanya sebagai nilai ekonomi secara langsung, padahal manfaat ekonomi dari suatu kawasan konservasi tidak hanya dinilai dari nilai

ekonomi secara langsung, tetapi juga nilai tidak langsungnya. Kurangnya pengungkapan manfaat ekonomi kawasan konservasi secara total di berbagai daerah di Indonesia mengakibatkan munculnya pandangan negatif terhadap kawasan konservasi. Hal yang sama dinyatakan oleh Supriyadi (2009) bahwa kegagalan pemerintah dalam pemanfaatan

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 9-20

sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan karena terbatasnya informasi nilai manfaat ekonomi sumberdaya alam tersebut. Beberapa penelitian tentang nilai ekonomi kawasan hutan termasuk kawasan konservasi telah dilakukan. Misalnya, Syah (2010) menyebutkan bahwa nilai ekonomi sumberdaya alam dan ekosistem Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) memperoleh nilai yang cukup besar yakni Rp. 665.334.792.000 per tahun. Kurniawan et al. (2009) pernah melakukan studi terhadap kawasan Karst Maros-Pangkep dan menemukan bahwa nilai ekonomi total berdasarkan penghitungan nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use value), serta nilai bukan guna (non use value) adalah Rp. 2 miliar per tahun. Sedangkan pada kawasan hutan Cagar Alam Saobi, Kecamatan Kangayan, Kabupaten Sumedang menurut Sptiani (2014) adalah sebesar Rp. 5,2 miliar. Pengembangan kegiatan jasa lingkungan seperti wisata alam di wilayah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) belum menjadi prioritas utama dalam kegiatan pembangunan. Komoditas hasil hutan kayu (HHK) masih menjadi primadona bagi setiap daerah di wilayah Papua untuk memperoleh pendapatan asli daerah (PAD). Meski demikian, komoditas HHK dari tahun ke tahun kapasitasnya semakin berkurang disebabkan eksploitasi yang berlebihan serta pengambilan HHK secara ilegal (illegal logging). Menyadari hal terakhir ini, maka pengalihan komoditi kehutanan dari HHK ke hasil hutan bukan kayu (HHBK), termasuk pemanfaatan jasa lingkungan dipandang harus segera dilakukan dalam rangka menjaga kelestarian kawasan hutan. Obyek wisata alam kawasan konservasi yang paling potensial di Kabupaten Manokwari adalah keindahan dan keunikan Cagar Alam Pegunungan Arfak (CAPA). Sebagai salah satu kawasan konservasi suaka alam di Provinsi Papua Barat, CAPA berpotensi menjadi lokasi 10

pengembangan wisata alam (ekowisata). Kawasan Pegunungan Arfak ditetapkan sebagai Cagar Alam (CAPA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 783/Kpts-II/1992. Suatu kawasan ditetapkan sebagai Cagar Alam, karena mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistem atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alamiah. Seperti halnya kawasan konservasi lainnya, di CAPA juga pernah terjadi konflik antara masyarakat dengan pengelola. Namunseiring bergulirnya otonomi daerah dan desentralisasi, serta berubahnya paradigma pembangunan yang lebih terfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengelolaan kawasan konservasi mulai dirancang dan dikelola untuk memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa melupakan aspek kelestarian, termasuk pengelolaan CAPA. Salah satu bentuk pemanfaatan yang tepat untuk kawasan tersebut adalah pengembangan wisata alam di daerah penyangganya. LSM lokal yang mengembangkan kegiatan wisata alam di wilayah CAPA menyatakan bahwa pengunjung kebanyakan adalah wisatawan mancanegara. Hal ini mengindikasikan bahwa kawasan CAPA telah menjadi obyek daya tarik wisata (ODTW), khususnya wisata alam (natural tourism). Hanya saja pihak pemerintah daerah dan juga pengelola belum tertarik untuk turut serta dalam pengembangannya sebagai tujuan wisata alam. Hal ini dapat dipahami karena secara umum interpretasi terhadap manfaat kawasan konservasi (intangible benefit) masih lemah, disamping data dan informasi tentang nilai ekonomi kawasan konservasi masih terbatas (Supriyadi 2009). Untuk menumbuhkan rasa ketertarikan stakeholders (pemerintah pusat dan daerah, swasta, dan masyarakat) untuk turut serta dalam menjaga kelestarian CAPA, maka salah satu aspek yang dibutuhkan adalah informasi

Penilaian Ekonomi Pengelolaan Wisata Alam di ... (Abdullah Tuharea, Hardjanto & Yulius Hero)

tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai ekonomi wisata alam di Kampung Kwau sebagai salah satu kampung di daerah penyangga kawasan CAPA. Hasilnya diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam pengelolaan kawasan CAPA, khususnya bagi pengelola kawasan dan instansi pemerintah daerah yang terkait. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Kwau, Distrik Minyambouw, Kabupaten Manokwari. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja) pada bulan AgustusOktober 2012. Kampung Kwau merupakan salah satu kampung yang berada di daerah penyangga kawasan CAPA dan terdapat pengembangan kegiatan wisata alam oleh

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal sejak tahun 2009. B. Pengumpulan Data Data yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan dengan cara wawancara dan data sekunder yang dikumpulkan dengan studi literatur. Responden yang diwawancara adalah local guide yang menjadi pelaku utama kegiatan wisata alam di Kampung Kwau, tour operator yang menjadi penghubung antara pengunjung dengan local guide, LSM, pimpinan instansi daerah (Dinas Pariwisata Provinsi Papua Barat dan Dinas Pariwisata Kabupaten Manokwari), dan pengelola kawasan CAPA (KSDA wilayah I Manokwari). Tujuan penelitian, jenis data (variabel), sumber dan teknik pengumpulan data penelitian dijelaskan Tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi tujuan penelitian, jenis data, sumber dan teknik pengumpulan data Table 1. Description of research aims, variables, resource and data collection technique

C. Analisis Data Data diolah dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengolah data yang diperoleh dari kuesioner, sedangkan metode kualitatif merupakan suatu cara untuk mengintepretasikan dan mendeskripsikan data kuantitatif (Slamet, 2008). Pengolahan data

kuantitatif dilakukan secara manual dengan bantuan sofware Microsoft Office Excel 2007 dan Minitab versi 14. Metode penilaian ekonomi wisata alam yang paling banyak dipakai adalah Travel Cost Method (TCM). Darusman dan Widada (2004) menyatakan bahwa metode TCM digunakan untuk menentukan nilai rekreasi suatu kawasan konservasi berdasarkan jumlah uang yang 11

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 9-20

dikeluarkan wisatawan untuk merealisasikan kegiatan rekreasinya. Besarnya biaya yang dikeluarkan wisatawan selama melakukan perjalanan ke obyek wisata alam menunjukkan kesediaan mereka untuk membayar (WTP). Secara umum ada dua teknik TCM, (1) pendekatan sederhana melalui zonasi; dan (2) pendekatan individual. Pendekatan TCM yang digunakan adalah sistem zonasi dikarenakan data dan informasi yang diperoleh sangat terbatas (Fauzi 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan wisata ke Kampung Kwau dianalisis menggunakan model regresi linear. Garrod & Willis (1999) dalam Yulianda et al. (2010) menuliskan fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata sebagai berikut :

atau dalam bentuk persamaan sebagai berikut :

dimana: V = Jumlah kunjungan TC= Biaya perjalanan pada suatu lokasi wisata S = Vektor biaya perjalanan pada lokasi wisata alternatif ε = Error/galat

Fungsi permintaan selanjutnya digunakan untuk menghitung surplus konsumen menggunakan persamaan surplus konsumen sebagai proxy dari nilai WTP terhadap lokasi wisata sebagai berikut:

dimana: Csi = Surplus konsumen pengunjung ke-i Ni = Jumlah kunjungan yang dilakukan pengunjung ke-i α = Koefisien dari biaya perjalanan

Nilai ekonomi lokasi rekreasi (total consumers surplus) dapat diestimasi dengan menggandakan nilai surplus konsumen rata12

rata individu dengan total kunjungan pada tahun tertentu (Yt), dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Dimana: TCS = Total surplus konsumen pengunjung CSi = Surplus konsumen Yt = Total kunjungan pada tahun ke-t

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kampung Kwau Kwau merupakan salah satu kampung (desa) dari 50 kampung yang terdapat di Distrik (kecamatan) Minyambouw, Kabupaten Manokwari. Berdasarkan letak geografis Kampung Kwau terletak pada kisaran 1005'24” Lintang Selatan dan 133055'54” Bujur Timur, berada di kaki gunung Arfak dengan ketinggian tempat ± 1100 meter dpl. Kampung Kwau dipimpin oleh seorang kepala kampung yang diangkat langsung oleh masyarakat. Seorang kepala kampung merupakan orang yang dipandang paling berpengaruh dan memiliki hak ulayat terbesar di kampung tersebut. Kondisi topografi dan iklim di Kampung Kwau adalah hampir sama dengan kondisi yang berada di Distrik Minyambouw. Kondisi topografinya datar sampai berbukit dengan kemiringan mencapai 65%. Jenis tanahnya adalah podsolik keabu-abuan, aluvial, liat, dan juga berkerikil dengan tingkat keasaman tanah (pH) sebesar 5-7. Curah hujannya adalah 253,2 mm/bulan dengan kelembaban ± 85 % dan temperatur udara 14o-22oC serta jumlah hari hujannya adalah 15 hari/bulan. Musim kering terjadi pada bulan Juli-Oktober, sedangkan musim hujan pada bulan Januari-Mei (Mulyadi 2012). Jumlah penduduk Kampung Kwau tahun 2011 adalah 169 jiwa dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 59 KK. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin dan umur

Penilaian Ekonomi Pengelolaan Wisata Alam di ... (Abdullah Tuharea, Hardjanto & Yulius Hero)

di Kampung Kwau dapat dilihat pada Tabel 2. Secara umum penduduk Kampung Kwau lebih

didominasi oleh angkatan kerja produktif (umur 15-54 tahun) sebesar 66,27%.

Tabel 2. Komposisi penduduk Kampung Kwau menurut umur dan jenis kelamin tahun 2011 Table 2. Composition of Kwau village population by age and sex in 2011

Umur (Age) (Tahun/Year ) 0-4 5-14 15-19 20-24 25-54 > 54 Total

JenisKelamin (Sex) (Jiwa/person) Laki-laki Perempuan (Man) (Woman) 9 7 19 8 13 5 8 6 41 39 6 8 96 73

Total (Jiwa/person) 16 27 18 14 80 14 169

%

9,47 15,98 10,65 8,28 47,34 8,28 100,00

Sumber (Source) : Data Kampung Kwau Tahun 2011 (diolah) (Kwau village data in 2011 (processed)

Penduduk Kampung Kwau berdasarkan nama marga lebih banyak dihuni oleh marga Mandacan (115 jiwa), kemudian diikuti oleh marga Wonggor (34 jiwa) dan Indou (20 jiwa). Berdasarkan suku, Kampung Kwau didominasi oleh suku Hatam dan Moile yang merupakan bagian dari suku besar Arfak. Masyarakat Suku Arfak di Kampung Kwau, berdasarkan hasil wawancara dengan kepala kampung,seluruhnya bermata pencaharian sebagai petani. Dari hasil observasi lapangan ditemukan terdapat salah satu perangkat kampung yang melakukan pembukaan lahan untuk berkebun dan membawa hasil pertaniannyadijual ke Kota Manokwari. B. Sekilas Sejarah Pengembangan Wisata Alam di Kampung Kwau Provinsi Papua Barat merupakan wilayah pemekaran dari Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua). Sektor pariwisata di provinsi ini belum menjadi prioritas dalam kegiatan pembangunan, meskipun potensinya besar. Salah satu potensi yang telah menjadi perhatian sejak lama adalah keunikan dan keindahan Pegunungan Arfak yang menjadi daya tarik

bagi para ilmuan, khususnya di bidang biologi yakni melakukan eksplorasi sumber daya biologi. Saat ini, kelompok pencinta alammulai tertarik untuk berkunjung dengan tujuan berwisata. Perkembangan wisata alam di Pegunungan Arfak tidak terlepas dari upaya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal yang pada awalnya membina dalam mengelola sumber daya alam dengan cara memfasilitasi pengembangan sektor pariwisata, khususnya wisata alam sebagai salah satu upaya meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Namun sejak tahun 2009 dengan pendanaan dari luar negeri, pengembangan wisata alam di Pegunungan Arfak lebih diekstensifkan dengan mengembangkan dua lokasi wisata alam yakni di Kampung Kwau dan Syobri. Kedua kampung tersebut merupakan habitat jenis burung endemik Pegunungan Arfak yang indah dan unik sertamenjadi daya tarik wisata bagi wisatawan mancanegara. Pendampingan oleh LSM terhadap masyarakat diutamakan untuk meningkatkan kegiatan pelayanan terhadap pengunjung/ 13

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 9-20

wisatawan, seperti pembangunan sarana prasarana, antara lain tempat penginapan (home stay), pusat informasi, dan sarana penunjang lain untuk kenyamanan pengunjung. Namun saat ini pihak LSM tidak lagi melakukan pendampingan. Akses pengunjung dapat langsung berhubungan dengan local guide. Pengunjung wisata alam di Kampung Kwau selama ini umumnya mendapatkan informasi lewat situs internet yang dikelola oleh operator wisata di Kota Manokwari. Setelah pengunjung melakukan deal dengan operator wisata, operator wisata kemudian menghubungi local guide di Kampung Kwau untuk menyambut pengunjung sesuai waktu yang disepakati. Local guide di Kampung Kwau dapat menjemput langsung di Kota Manokwari atau di jalan masuk menuju home stay di kampung. Dalam berwisata terdapat kesepakatan yang harus dipatuhi oleh pengunjung. Hal ini dimaksudkan agar manfaat kegiatan wisata dapat dirasakan oleh penduduk. Kesepakatan yang dimaksud adalah pengunjung diminta tidak membeli bahan makanan di Kota Manokwari jika bahan makanan tersebut diusahakan oleh masyarakat. Sedangkan tarif yang dikenakan kepada pengunjung untuk berwisata di Kampung Kwau berdasarkan hasil wawancara adalah sebagai berikut : 1. Penginapan 2. Fee untuk kampung 3. Jasa guide 4. Jasa porter menuju home stay 5. Jasa porter selama berwisata

Rp 50.000/orang/hari Rp 50.000/orang Rp 200.000/hari Rp 50.000/porter Rp 100.000/porter/hari

Untuk jasa porter selama berwisata tarifnya lebih tinggi karena memiliki tugas tambahan yakni mengangkat barang para turis dan mengikuti aktivitas wisatawan, seperti mencari kayu bakar dan bahkan memasak makanan.

14

C. Potensi Obyek Daya Tarik Wisata Alam di Kampung Kwau Obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA) yang dimiliki Provinsi Papua Barat tidak hanya berada di dataran rendah, tetapi juga di dataran tinggi (pegunungan). Keberadaan kawasan konservasi menambah potensi ODTWA. Kawasan konservasi memiliki sumber daya alam yang unik dan indah. Kabupaten Manokwari sebagai salah satu daerah tingkat dua dan merupakan ibukota Provinsi Papua Barat memiliki kemampuan untuk mengembangkan sektor pariwisata, khususnya wisata alam (Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Irian Jaya Barat, 2006). Potensi wisata yang dapat dikembangkan meliputi: wisata bahari dan wisata pegunungan. Wisata bahari lebih berkembang dibanding wisata pegunungan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat konsentrasi pemukiman penduduk dan kegiatan pembangunan secara umum lebih terfokus di wilayah dataran rendah dan pesisir daripada di pegunungan. Potensi wisata pegunungan, seperti yang terdapat di Kampung Kwau adalah unik dan menarik serta potensial untuk dikembangkan. Hanya saja pengembangannya belum menjadi prioritas dalam pembangunan sektor pariwisata di Kabupaten Manokwari baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, walaupun telah menjadi pilihan wisatawan mancanegara untuk berkunjung dan stasiun televisi swasta di Indonesia pernah melakukan pembuatan film dokumenter di wilayah ini. Secara umum ODTWA di Kampung Kwau adalah keindahan panorama alam pegunungan dan atraksi fauna burung endemik Pegunungan Arfak (bird watching). Dari hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa selain kedua obyek tersebut, terdapat juga obyek air terjun. Obyek air terjun ini dikunjungi oleh wisatawan ketika sedang tracking menikmati panorama hutan Pegunungan Arfak.

Penilaian Ekonomi Pengelolaan Wisata Alam di ... (Abdullah Tuharea, Hardjanto & Yulius Hero)

Wisatawan yang berkunjung ke Kampung Kwau umumnya bertujuan untuk melihat pesona atraksi burung endemik Pegunungan Arfak, yaitu Burung Namdur Polos atau Burung Pintar (Amblyornis inornatus), Western Parotia (Parotia sefilata), dan Burung Cenderawasih Belah Rotan (Cicinnurus magnificus) (Gambar 1). Keunikan dan keindahan ketiga jenis burung ini merupakan icon Pegunungan Arfak, khususnya

Kampung Kwau sebagai destinasi wisata alam pegunungan Kabupaten Manokwari. Potensi wisata alam lainnya di Kampung Kwau adalah wisata budaya masyarakat Suku Arfak, antara lain: rumah tradisional (rumah kaki seribu), nyanyian tradisional anak-anak saat bermain, dan kerajinan tas tradisional noken. Dengan kondisi topografi Kampung Kwau yang berbukit, beberapa atraksi wisata dapat dikembangkan, termasuk camping ground.

Gambar 1. Pengamatan burung merupakan objek wisata alam andalan di Kampung Kwau Figure 1. Bird watching is the most favorite object of ecotourism activities in Kwau village D. Nilai Ekonomi Wisata Alam di Kampung Kwau Pendekatan untuk menghitung nilai ekonomi pengelolaan wisata alam di Kampung Kwau adalah pendekatan zonasi. Hal ini sejalan dengan Fauzi (2006) yang menyatakan bahwapendekatan zonasi dapat digunakan apabila saat melakukan penelitian hanya terdapat data sekunder dan beberapa data sederhana. Selanjutnya pengunjung dapat dijabarkan ke dalam zona-zona berdasarkan asal pengunjung (Tabel 3). Dengan demikian jumlah kunjungan per 1.000 penduduk dapat diperoleh (Tabel 4) dan dengan mempertimbangkan jarak, waktu perjalanan, serta biaya perjalanan, akhirnya diperoleh biaya perjalanan secara keseluruhan (Tabel 5).

Pembagian zona pengunjung dibagi berdasarkan asumsi bahwa Kampung Kwau sebagai tujuan utama, sehingga terdapat tujuh zona, yaitu : Manokwari, Sorong, Jayapura, Ambon, Makasar, Denpasar, dan Jakarta (Tabel 3). Pengunjung ke Kampung Kwau memulai perjalanannya dari ketujuh zona tersebut. Asumsi lain adalah biaya perjalanan merefleksikan permintaan, yakni semakin tinggi biaya perjalanan, maka jumlah kunjungan akan semakin menurun. Hal ini terlihat jelas pada Tabel 4 untuk asal pengunjung yang berada di luar Kota Manokwari. Sedangkan, laju kunjungan (visit rate) di Kampung Kwau untuk masing-masing zona pengunjung dihitung dengan jalan membagi jumlah kunjungan dengan jumlah penduduk dikalikan dengan angka seribu (Tabel 4).

15

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 9-20

Tabel 3. Jumlah pengunjung dan kunjungan wisata alam di Kampung Kwau menurut zona asal pengunjung tahun 2011 Table 3. Number of visitor and visitof natural tourism visit data in Kwau village by visitor origin zona in 2011 Asal Pengunjung (Visitor origin)

Jumlah Pengunjung (Number of visitor)

Manokwari Sorong Jayapura Ambon Makasar DKI Jakarta Denpasar

Jumlah Kunjungan (Number of visits)

15 25 10 14 19 10 9 102

15 25 10 14 19 13 9 105

Persentase Kunjungan (%) Persentage of visits (%) 14,29 23,81 7,62 13,33 18,10 9,52 8,57 100,00

Sumber (Source ): Olahan data primer 2012 (Primary data processed in 2012)

Tabel 4. Jumlah dan laju kunjungan wisata alam di Kampung Kwau tahun 2011 Table 4. Number and rate of eco-tourism visits in Kwau village in 2011 Asal (Zona) Pengunjung (Visitor origin) (zona) 1 Manokwari Sorong Jayapura Ambon Makasar DKI Jakarta Denpasar

Jumlah Kunjungan (Number of visits)

Jumlah Penduduk Setiap Zona (Total population of each zona)

2

3 238.133 275.753 256.705 387.475 1 352.136 9 607.787 629.688

15 25 10 14 19 13 9

Laju Kunjungan (Rate of visits) 4=2/3 0,06299 0,09066 0,03896 0,03613 0,01405 0,00135 0,01429

Biaya Perjalanan (Rp) (Travel costs) (IDR) 5 3.900.000 4.725.000 5.775.000 5.625.000 6.765.000 8.125.000 8.465.000

Jarak (km) (Distance) (km) 6 26,35 297,57 752,22 711,45 1.654,43 3.084,07 2.247,74

Sumber (source) : Olahan Data Primer 2012 (primary data processed in 2012)

Dengan meregresikan total biaya perjalanan terhadap laju kunjungan diperoleh persamaan regresi tingkat kunjungan wisata alam di Kampung Kwau. Laju kunjungan adalah jumlah kunjungan dari suatu zona dibagi dengan jumlah penduduk dari zona yang bersangkutan dikalikan 1.000. Total biaya perjalanan adalah jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pengunjung untuk berwisata di Kampung Kwau, antara lain: biaya tiket pesawat, biaya transportasi darat ke lokasi wisata, biaya penginapan selama di lokasi wisata, biaya jasa (porter, guide, dan tukang masak), serta biaya kontribusi ke kas kampung. 16

Hasil pendugaan model fungsi persamaan laju kunjungan wisata alam di Kampung Kwau, dapat dituliskan sebagai berikut :

atau

...(1) dimana: VRi= Laju kunjungan per 1.000 penduduk dari masing-masing zona pengunjung ke-i Tci = Total biayadarimasing-masing zona pengunjung ke-i

Penilaian Ekonomi Pengelolaan Wisata Alam di ... (Abdullah Tuharea, Hardjanto & Yulius Hero)

Dari hasil analisis regresinya diketahui adanya korelasi parsial antara variabel bebas (total biaya perjalanan) dengan variabel tak bebas (laju kunjungan) dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0.816 dan koefisien determinasi (r Square) sebesar 0,666. Nilai F hitung adalah 9,96 > dari nilai F tabel sebesar 5,59. Hubungan laju kunjungan dengan total biaya perjalanan memiliki hubungan yang negatif (-0,0000000142). Hal ini sejalan dengan teori TCM oleh Clawson & Knetsch (1996) dalam Fauzi (2006) bahwa biaya perjalanan mengikuti hukum ekonomi: semakin besar biaya perjalanan yang dikeluarkan, maka laju kunjungan wisata alam (ke Kampung Kwau) akan semakin menurun. Untuk mengestimasi kurva permintaan yang menjelaskan hubungan fungsional antara jumlah kunjungan dengan harga tiket, persamaan (1) dimodifikasi menjadi :

....(2) dimana: TP = Hargatiket i = Zonapengunjung (i = 1, 2, 3, ..., 7)

Jumlah kunjungan di setiap zonasi dihitung dengan menggunakan rumus : .....(3) dimana NVi= Jumlahkunjungandarizonapengunjung ke-i VRi= Lajukunjungandarizonapengunjung ke-i Jpi = Jumlahpendudukzonapengunjung ke-i

Hubungan fungsional antara jumlah kunjungan dengan harga tiket dapat digambarkan sebagai kurva permintaan kunjungan (Gambar 2).

?????? = 0.122764 - 1.42 × 10- 8 × ??????

Gambar 2. Kurva permintaan kunjungan wisata alam di Kampung Kwau tahun 2011 Figure 2. The demand curve for natural tourism visitsinKwau village in 2011 Nilai ekonomi kegiatan wisata alam di Kampung Kwau didekati menggunakan konsep surplus konsumen. Hasil perhitungan

surplus konsumen sebagai nilai ekonomi pengelolaan wisata alam disajikan pada Tabel 5. 17

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 9-20

Tabel 5. Hasil perhitungan surplus konsumen sebagai nilai ekonomi pengelolaan wisata alam di Kampung Kwau Tahun 2011 Table 5. Calculation Results of the consumer surplus as total economic value of management natural tourism in Kwau village in 2011 HargaTiket (Ticket price) (Rp) 1 0 250.000 500.000 750.000 1.000.000 1.250.000 1.500.000 1.750.000 2.000.000 2.250.000 2.500.000 2.750.000 3.000.000 3.250.000 3.500.000 3.750.000 4.000.000 4.250.000 4.500.000 4.735.300 Total

Jumlah Kunjungan (Number of visits) 2 317,49 239,36 162,26 99,06 71,49 62,58 53,67 44,75 35,84 26,93 20,25 16,14 12,55 9,35 6,15 3,95 2,50 1,64 0,80 0,00

Perubahan HargaTiket (The change of ticket prices) 3 0 125.000 375.000 625.000 875.000 1.125.000 1.375.000 1.625.000 1.875.000 2.125.000 2.375.000 2.625.000 2.875.000 3.125.000 3.375.000 3.625.000 3.875.000 4.125.000 4.375.000 4.625.000

Perubahan Laju Kunjungan (The change of visits rate) 4 0 278,43 200,81 130,66 85,28 67,04 58,13 49,21 40,30 31,39 23,59 18,20 14,35 10,95 7,75 5,05 3,23 2,07 1,22 0,40

Surplus Konsumen (Consumer surplus) 5 =3 x 4 0 34.803.125 75.303.750 81.662.500 74.615.625 75.414.375 79.921.875 79.966.250 75.553.125 66.693.125 56.026.250 47.761.875 41.241.875 34.218.750 26.156.250 18.306.250 12.496.875 8.538.750 5.337.500 1.850.000 895.868.125

Sumber (source) : Olahan Data Primer 2012 (primary data processed in 2012)

Dari Tabel 5 diketahui nilai ekonomi pengelolaan wisata alam di Kampung Kwau, Distrik Minyambauw, Kabupaten Pegunungan Arfak adalah Rp. 895.868.125. Nilai ekonomi wisata alam ini lebih rendah dibandingkan nilai ekonomi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) (Rp. 1.266.590.495) (Widada 2004). Nilai yang masih relatif kecil tersebut perlu menjadi perhatian pihak pengelola kawasan CAPA (BBKSDA Papua Barat) dan juga pemerintah daerah dalam pengelolaan potensi sumber daya alam Kampung Kwau sebagai obyek daya tarik wisata alam.

18

Nilai ekonomi wisata alam merupakan nilai manfaat dari kualitas jasa lingkungan suatu lokasi wisata yang berupa ekosistem alamiah keanekaragaman hayati, dan keindahan panorama alam yang didukung berbagai fasilitas, sarana prasarana, dan sumber daya manusia (Susmianto 1999 dalam Widada 2004). Jika kualitas sumber daya alam dan fasilitas pendukungnya semakin meningkat maka jumlah kunjungan akan semakin meningkat, sehingga nilai ekonomi wisata alamnya dapat diharapkan akan meningkat.

Penilaian Ekonomi Pengelolaan Wisata Alam di ... (Abdullah Tuharea, Hardjanto & Yulius Hero)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai ekonomi (economic value) pengelolaan wisata alam di Kampung Kwau dengan menggunakan Travel Cost Method (TCM) pada tahun 2011 adalah Rp. 895.868.125. Dari total biaya pengeluaran pengunjung, biaya pengeluaran yang terbesar adalah biaya transportasi (91%) dengan obyek daya tarik wisata alam di Cagar Alam Pegunungan Arfak yang paling diminati oleh pengunjung/wisatawan baik domestik maupun mancanegara adalah bird watching. B. Saran Salah satu faktor penyebab besarnya biaya transportasi adalah sulitnya aksesibilitas (kondisi jalan) menuju Kampung Kwau. Agar usaha wisata alam di Kampung Kwau tetapmenarik, diperlukan revitalisasi jalan menuju lokasi wisata, disamping melakukan inventarisasi potensi sumber daya alam yang memperkaya obyek daya tarik wisata.

DAFTAR PUSTAKA Darusman D, Widada. 2004. Konservasi dalam perspektif ekonomi pembangunan. Bogor : Ditjen PHKA, JICA dan Laboratorium Politik, Sosial dan Ekonomi Kehutanan IPB. Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Irian Jaya Barat. 2006. Buku 1 data dan analisis rencana induk pengembangan pariwisata daerah 20062017 Provinsi Irian Jaya Barat. Fauzi A. 2006. Ekonomi sumber daya alam dan lingkungan : teori dan aplikasi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.

Mulyadi. 2012. Budaya pertanian Papua : perubahan sosial dan strategi pemberdayaan masyarakat Arfak. Yogyakarta (ID): Karta Media. Kurniawan R, Eriyatno, Sardjadidjaja R, Zain A F M . 2 0 0 9 . Valuasiekonomijasalingkungankawasan Karst Maros-Pangkep. Journal EkonomiLingkungan Vol.13 No. 1 Tahun2009 : 51-60. Septiani, DSE. (2014). Valuasi Ekonomi di Cagar Alam Saobi. Slamet Y. (2008). Metode Penelitian Sosial. Surakarta, ID : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press). S u p r i y a d i I H . 2009.Pentingnyavaluasiekonomisumber dayaalamuntukpengambilkebijakan. Oseana, Volume XXXIV, Nomor 3 Tahun2009 : 45-57. Syah D. 2010.Valuasiekonomi Taman NasionalTelukCenderawasih [internet]. [Diacu 2011 Maret 30]. Tersedia di :http://dhony-syach.blogspot.com Widada. 2004. Nilai manfaat ekonomi dan pemanfaatan Taman Nasional Gunung Halimun bagi masyarakat. Disertasi. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. Yulianda F, Fachrudin A, Andrianto L, Hutabarat AA, Harteti S, Kusharjani, dan Kang HS. 2010. Kebijakan konservasi perairan laut dan nilai valuasi ekonomi. Bogor (ID). Pusdiklat KehutananDepartemen Kehutanan RI, SECEMKorea International Cooperation Agency.

19

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 9-20

20

PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN MIMBA DI NUSA PENIDA DENGAN TEKNIK MANIPULASI LINGKUNGAN (Early Growth Development of Neem by The Enviromental Manipulation in Nusa Penida) Ali Setyayudi1*, Budi Hadi Narendra2, & Ryke Nandini3 1,3 Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti No.7 Langko Lingsar Lombok Barat, NTB Telp (0370) 6573874, fax (0370) 6573841 2 Peneliti Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan *Email : [email protected]

ABSTRACT Neem can be choosen for the rehabilitation activities in Nusa Penida. For increasing the neem adaptability on the marginal land the environmental manipulation can be apllied by adding the manure, hydrogel, and terrace. To examine the efectivity of the environmental manipulation, therefore, this study reported the early growth of neem as the response of the environmental manipulation. Latin square experimental design was applied in this study with five treatments including the addition of manure, manure + terrace, manure + hydrogel, terrace + hydrogel, and control. The results showed the environmental manipulation treatment increased the growth of neem. The manure and hygrogel treatment gave the higest growth than others; the growth showed twice an control. Keywords : Neem, manure, hydrogel, terrace ABSTRAK Mimba menjadi salah satu jenis yang dapat dipilih untuk kegiatan rehabilitasi lahan kritis di Nusa Penida. Untuk meningkatkan kemampuan adaptasi tanaman mimba dilakukan penelitian manipulasi lingkungan dengan penambahan pupuk kandang, hydrogel, dan pembuatan gulud. Guna mengetahui efektifitas kegiatan manipulasi lingkungan maka penelitian ini akan ditujukan untuk mengetahui adakah peningkatan pertumbuhan tanaman mimba dengan manipulasi lingkungan yang dilakukan. Rancangan percobaan menggunakan pola latin square dengan lima perlakuan yaitu penambahan pupuk kandang, pupuk kandang+gulud, pupuk kandang + hydrogel, gulud+hydrogel, dan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan tanaman mimba akibat adanya kegiatan manipulasi lingkungan. Pemberian pupuk kandang dan hydrogel memiliki peningkatan pertumbuhan tanaman mimba paling besar dibandingkan yang lain yaitu dua kali lipat kontrol. Kata kunci : Mimba, pupuk kandang, hydrogel, gulud

I. PENDAHULUAN Kondisi topografi di Propinsi Bali sebagian besar didominasi oleh perbukitan dan pegunungan. Lahan dengan kemiringan lereng dibawah 40% sebagian besar berada di bagian tengah Pulau Bali, sedangkan lahan-lahan dengan kemiringan lereng diatas 40% merupakan daerah perbukitan dan sebagian

wilayah Pulau Nusa Penida (Pemerintah Provinsi Bali, 2010). Salah satu masalah lahan di Pulau Bali adalah lahan kritis dengan luas sekitar 9,1% dari seluruh luas wilayah Bali. Lahan kritis dalam kawasan hutan terluas berada di Kabupaten Buleleng, sedangkan yang diluar kawasan hutan berada di Kabupaten Klungkung. Kabupaten Klungkung memiliki persentase lahan kritis terbesar sekitar 45% dari

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 21-30

luas wilayahnya dan hampir seluruhnya berada di Kecamatan Nusa Penida. Kondisi tutupan lahannya tandus, gundul dan gersang sehingga saat musim hujan datang, berpotensi terbawa air hujan atau terjadi erosi (Pemerintah Provinsi Bali, 2010). Topografi di Nusa Penida 73% berupa perbukitan dengan kemiringan diatas 45%. Tanahnya bersolum dangkal dan cenderung berbatu. Persediaan air tanah bagi masyarakat juga cukup menjadi permasalahan. Kondisi vegetasi yang ada di Nusa Penida didominasi semak hingga belukar, sedangkan vegetasi tingkatan pohon sebagian besar berada di daerah-daerah tertentu saja. Karena itu perlu dilakukan rehabilitasi lahan yang tepat. Tanaman mimba dapat menjadi alternatif jenis tanaman yang direkomendasikan. Sifat perakaran tanaman mimba yang dalam dan mampu beradaptasi dengan lingkungan yang kritis menjadi salah satu keunggulannya. Dibeberapa tempat di Nusa Penida ditemukan bekas adanya tanaman mimba, fakta ini mengindikasikan bahwa tanaman mimba mampu hidup dilokasi tersebut. Selain itu secara ekonomi di Bali terdapat perusahaan yang memanfaatkan produk mimba sebagai bahan baku pembuatan produk herbal untuk kosmetik, pestisida, pupuk, dan obat-obatan (Indoneem, 2005). Untuk membantu meningkatkan daya adaptasi tanaman mimba terhadap kondisi lingkungan di Nusa Penida terutama mengatasi kondisi topografi yang miring, kedalaman tanah yang dangkal, dan minimnya jumlah air tanah, maka perlu dilakukan kegiatan manipulasi lingkungan penanaman. Manipulasi lingkungan dilakukan pada tahap persiapan lahan yaitu dengan pembangunan gulud untuk mencegah erosi lahan miring dikarenakan guludan dapat memperlambat aliran permukaan atau menyalurkannya dengan kekuatan yang tidak merusak (Arsyad, 2010). Penambahan bahan organik pupuk kandang untuk mengatasi masalah tanah yang dangkal dikarenakan selain menambah unsur hara tanah, pupuk kandang juga mempunyai kemampuan memperbaiki sifat fisik tanah seperti permeabilitas, porositas, struktur tanah, daya menahan air dan kationkation tanah (Hardjowigeno, 1987). Untuk 22

menambah pasokan air dilakukan penambahan hydrogel dikarenakan mempunyai kemampuan menyimpan air hingga 400 kali massa dan mampu bertahan hingga 2-3 bulan (Rahardjo, 2007). Kegiatan manipulasi lingkungan ditujukan untuk meningkatkan produktifitas tanaman mimba yang ditanam, melalui pengamatan pertumbuhan tinggi dan diameter terhadap manipulasi lingkungan yang diterapkan.

II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Tujuan Khusus (KHDTK) Nusa Penida, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Secara administrasi lokasi tersebut termasuk dalam Register Tanah Kehutanan (RTK) 28C Desa Suana, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali. Kegiatan penelitian diawali pembangunan plot pada tahun 2010 dan dilakukan pengamatan pertumbuhan tanaman mimba hingga tahun 2013 atau selama 3 tahun. B. Alat dan Bahan Bahan penelitian yang dibutuhkan adalah bibit mimba, pupuk kandang, hydrogel, bibit rumput gajah, bibit gamal, pupuk NPK, air dan sampel tanah. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah cangkul, meteran, kaliper, ember, timbangan, alat pengukur curah hujan, plastik sampel, dan alat tulis. C. Rancangan Penelitian Kegiatan manipulasi lingkungan yang diberikan pada saat penanaman tanaman mimba yaitu, pemberian pupuk kandang (P1), pupuk kandang dan gulud (P2), hydrogel dan pupuk kandang (P3), gulud dan hydrogel (P4), serta plot kontrol (P0). Dosis pupuk kandang sebanyak 5 kg per tanaman, hydrogel sebanyak 5 gr per tanaman, sedangkan guludan dibuat di antara baris tanaman mimba dengan campuran rumput gajah dan gamal. Layout plot perlakuan ditampilkan dalam Gambar 1.

Pertumbuhan Awal Tanaman Mimba Di Nusa ... (Ali Setyayudi, Budi Hadi Narendra & Ryke)

Gambar 1. Layout plot perlakuan penanaman mimba di Nusa Penida, Bali Picture 1. The layout of neem treatment plot in Nusa Penida, Bali Rancangan penelitian yang digunakan adalah pola latin square dengan lima perlakuan, lima baris dan lima kolom. Dalam setiap plot penanaman terdapat 40 tanaman mimba sehingga total ada 1.000 tanaman mimba. Sedangkan pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan intensitas 1 kali per tahun. Parameter yang diukur adalah pertumbuhan tinggi dan diameter batang serta persentase hidup tanaman. Selain pengamatan pertumbuhan tanaman mimba dilakukan pula pengukuran besarnya curah hujan yang terjadi dilokasi penelitian serta pengambilan sampel tanah guna mengukur tingkat kesuburan tanah di lokasi penelitian. D. Analisis Data Data pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman dianalisis secara statistik dengan analisa keragaman untuk melihat variasi antar perlakuannya. Apabila hasil analisa keragaman terdapat perbedaan yang signifikan dilakukan uji lanjut duncan. Analisa statistik dilakukan dengan bantuan software SPSS.15.0. Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut (Sastrosupadi, 2000): Yijk = µ + Ti + Bj + Kk + €ijk

Dimana : Yijk = respon pengamatan dari perlakuan ke-i, baris ke j dan kolom ke-k µ = nilai tengah umum Ti = pengaruh perlakuan ke-i Bj = pengaruh baris ke-j Kk = pengaruh kolom ke-k €ijk = pengaruh galat karena perlakuan ke-i, baris ke-j, dan kolom ke-k

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan pertama kali pada bulan Juni 2010 (umur 1 bulan) setelah penanaman. Data tersebut digunakan sebagai data dasar menghitung pertumbuhan tanaman di pengukuran selanjutnya. Pengamatan kedua dilakukan pada umur 7 bulan (Desember 2010). Parameter yang diamati adalah persentase hidup tanaman, tinggi, dan diameter batang tanaman mimba. Pengamatan selanjutnya dilakukan pada umur 1, 2, dan 3 tahun dengan parameter yang sama. Pertumbuhan dihitung berdasarkan selisih tinggi atau diameter pada pengamatan tertentu dengan pengamatan pertama. Data hasil analisa pertumbuhan ditampilkan dalam tabel 1, 2, dan 3.

23

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 21-30

Tabel 1. Persentase hidup tanaman mimba selama 3 tahun di Nusa Penida Table 1. Survival rate of neem for three years in Nusa penida, Bali

Keterangan (remark) : huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (the same letter means nosignifinantly difference)

Hasil analisa data pertumbuhan tinggi dan diameter ditampilkan dalam tabel 2 dan 3. Analisa varian hanya dilakukan pada pertumbuhan 6 bulan dan 1 tahun saja, sedangkan pada pertumbuhan 2 tahun dan 3 tahun tidak memungkinkan dilakukan analisa varian.

Beberapa permasalahan yang dihadapi adalah terdapat kematian yang mengakibatkan beberapa plot tidak memungkinkan untuk dianalisa secara latin square. Oleh karena itu pertumbuhan 2 tahun dan 3 tahun dianalisa secara deskriptif yaitu dengan membandingkan rata-rata pertumbuhannya.

Tabel 2. Pertumbuhan tinggi tanaman mimba selama tiga tahun Table 2. Hight growth of neem for three years

Perlakuan (treatment) P1 P2 P3 P4 P0 Rata-rata (average)

7 bulan (7 month old) 12,00a 9,24ab 15,77a 6,68b 3,18b 9,37

Pertumbuhan tinggi (hight growth) (cm) 1tahun 3 tahun (1 years old) (2 years old) 20,64ab 35,39 15,27ab 32,71 24,77a 44,37 14,21ab 26,38 5,17b 20,60 16,01

31,89

3 tahun (3years old) 61,54 62,73 80,84 32,81 42,10 56,00

Keterangan (remark) : huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (the same letter means no signifinantly difference)

24

Pertumbuhan Awal Tanaman Mimba Di Nusa ... (Ali Setyayudi, Budi Hadi Narendra & Ryke)

Tabel 3. Pertumbuhan diameter tanaman mimba selama tiga tahun Table 3. Diametre growth of neem for three years

Perlakuan (Treatment)

P1 P2 P3 P4 P0 Rata-rata (average)

7 bulan setelah tanam (7 months old) 0,92ab 0,87ab 1,30a 0,70ab 0,44b

Pertumbuhan diameter pada umur setelah tanam (diametre growth at the time) (mm) satu tahun setelah dua tahun setelah tiga tahun setelah tanam tanam tanam (1 year old) (2 years old) ( 3 years old) 1,55a 3,50 6,15 1,02a 3,24 7,35 2,19a 5,54 9,08 1,13a 3,33 3,59 0,70a 2,94 4,92

0,84

1,32

3,71

6,22

Keterangan (remark) : huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (the same letter means nosignifinantly difference)

Data pertumbuhan tanaman mimba di Nusa Penida selama 3 tahun pengamatan seperti dalam tabel 1, 2, dan 3 memiliki beberapa kecenderungan. Kecenderungan yang pertama adalah pertumbuhan tinggi dan diameter dengan perlakuan P3 (pupuk kandang+hydrogel) memiliki tingkat pertumbuhan paling besar dibandingkan yang lain. Kecenderungan yang kedua adalah ratarata pertumbuhan tanaman pada perlakuan penambahan pupuk kandang (P1, P2, dan P3) selalu lebih besar daripada perlakuan tanpa pupuk kandang dan kontrol (P4 dan P0). Kecenderungan ketiga adalah persentase hidup perlakuan yang diberikan cenderung tidak berbeda terhadap kontrol. Adanya ketersediaan unsur hara dan air bagi tanaman mimba dianggap sebagai faktor yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman pada perlakuan P3 lebih besar daripada yang lain. Pupuk kandang merupakan pupuk organik yang mampu menyediakan unsur hara bagi tanaman. Pupuk kandang mempunyai kandungan unsur hara yang relatif lebih kecil namun lebih lengkap jenis haranya. Menurut Rosmarkam & Yuwono (2002) pupuk kandang sapi mengandung unsur hara N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, B, Cu, Mn, dan Z. Hydrogel mempunyai kemampuan menyimpan air

hingga 400 kali massa dan mampu bertahan hingga 2-3 bulan (Rahardjo, 2007). Oleh karena itu tanaman akan tetap mampu tumbuh dengan baik meskipun pada kondisi yang kering atau panas. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Setiawan et al., (2013) yang menyatakan bahwa pemberian pupuk kandang dan hydrogel mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman mimba di Sumbawa. Penyediaan hara bagi tanaman melalui tiga mekanisme yaitu aliran massa, diffusi dan intersepsi akar. Hara tanaman akan bergerak bersama gerakan massa air menuju akar tanaman akibat transpirasi tanaman. Pada saat penyerapan unsur hara tanaman dari larutan tanah, terdapat beberapa unsur hara lain yang bergerak akibat diffusi yaitu pergerakan dari bagian berkonsentrasi tinggi ke rendah. Pertumbuhan akar tanaman yang terus memanjang akan mengakibatkan jarak keberadaan unsur hara semakin dekat dan lebih cepat diserap Rosmarkam & Yuwono (2002). Tanaman menyerap unsur hara dalam bentuk ion-ion baik berupa ion positif maupun negatif seperti NH4+, NO3-, H2PO4- dll. Selain sebagai pelarut hara dan pembawa hara bagi tanaman, air juga berperan sebagai sumber hara terutama unsur H (Hardjowigeno, 1987). 25

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 21-30

Mekanisme penyerapan hara tersebut membuktikan bahwa kehadiran air dan pupuk kandang dapat menjamin tanaman mampu terus tumbuh dengan baik. Berdasarkan data curah hujan (Tabel 5), pada tahun 2010 terdapat beberapa bulan tanpa kejadian hujan. Hujan tidak turun di bulan Juni dan Juli kemudian bulan Agustus dan September hujan kembali turun. Pada kondisi ini, tanaman-tanaman mimba dalam plot perlakuan pemberian hydrogel akan tetap tercukupi pasokan airnya yang berasal dari

simpanan hydrogel. Kemampuan hydrogel yang mampu menahan air hingga 2-3 bulan akan membantu penyedian hara tanaman, sehingga tanaman akan dapat terus tumbuh dengan baik. Hal ini menjadikan tanaman dalam perlakuan P3 (pupuk kandang+hydrogel) memiliki pertumbuhan yang paling baik diantara yang lain. permeabilitas, porositas, struktur tanah, daya menahan air dan kation-kation tanah (Hardjowigeno, 1987).

Tabel 4. Data hasil analisa sifat kimia tanah di lokasi penelitian Table 4. Data of soil chemical analysis from the research site Parameter (parametre) pH H2O C organik (%) N total (%) P tersedia (ppm) K (cmol/kg) Na (cmol/kg) Ca (cmol/kg) Mg (cmol/kg) Fe (ppm) Mn (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) KTK (cmol/kg)

Kondisi awal (early condition) Nilai Harkat* (value) (level classification)* 8,5 agak alkalis 2,0 rendah 0,2 rendah 0,3 sangat rendah 0,1 rendah 2,2 sangat tinggi 5,0 rendah 4,0 tinggi 2,0 rendah 8,0 sedang 2,6 cukup 0,9 marginal 11,0 rendah

7 bulan setelah tanam (7 month after planting) Nilai Harkat* (value) (level classification)* 7,8 agak alkalis 3,0 sedang 0,3 sedang 10,0 sedang 1,6 sangat tinggi 7,4 sangat tinggi 30,0 sangat tinggi 4,0 tinggi 5,0 sedang 61,0 sangat tinggi 12,9 cukup 3,5 cukup 25,0 tinggi

Keterangan (remark) :*klasifikasi berdasarkan (classification taken from) (Sulaeman, Suparto & Eviati, 2005)

Kecenderungan kedua dari data Tabel 2 dan 3 adalah besarnya rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter pada perlakuan dengan penambahan pupuk kandang selalu lebih besar daripada tanpa penambahan. Hal ini berhubungan dengan kemampuan pupuk kandang dalam meningkatkan kandungan unsur hara tanaman di dalam tanah. Data analisa tanah dalam Tabel 4 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan harkat kesuburan tanah setelah penambahan pupuk kandang 26

daripada kondisi awal tanah. Unsur-unsur hara tersebut sangat diperlukan tanaman dalam pertumbuhannya seperti Ca, Fe, Mn dan terutama yang berguna dalam pertumbuhan vegetatif tanaman yaitu N dan P serta yang berperan dalam pertumbuhan akar yaitu unsur K (Hardjowigeno, 1987). Selain menambah unsur hara tanah, pupuk kandang juga mempunyai sifat mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti permeabilitas, porositas, struktur tanah, daya

Pertumbuhan Awal Tanaman Mimba Di Nusa ... (Ali Setyayudi, Budi Hadi Narendra & Ryke)

menahan air dan kation-kation tanah (Hardjowigeno, 1987). Menurut Mowidu (2001) tambahan input pupuk kandang sebanyak 75 ton/ha per tahun selama 6 tahun berturut-turut dapat meningkatkan 4% porositas tanah, 14,5% volume udara tanah pada keadaan kapasitas lapangan dan 33,3% bahan organik serta menurunkan kepadatan tanah sebanyak 3%. Hal ini menjadi sangat menentukan bagi tanah seperti di Nusa Penida yang cenderung memiliki kedalaman tanah yang dangkal. Dengan adanya pupuk kandang akan menambah massa tanah yang dapat digunakan sebagai tempat berkembangnya akar tanaman. Kondisi tanah di lokasi penanaman cenderung didominasi bebatuan yang tertutupi lapisan tanah tipis dan hanya dibeberapa titik yang lebih tebal. Dengan kondisi tersebut tentu dengan adanya penambahan pupuk kandang akan memberikan pengaruh yang besar bagi pertumbuhan tanaman dan terlihat sebagaimana tersaji dalam Tabel 2 dan 3.

Tekstur tanah di lokasi penelitian didominasi fraksi pasir sehingga menyebabkan tingginya tingkat infiltrasi dan permeabilitas karena dominasi pori makro dalam tanah. Berdasarkan peta tanah skala tinjau 1:250.000 Propinsi Bali, tanah di lokasi penelitian termasuk jenis mediteran coklat kemerahan. Tanah mediteran adalah tanah yang terbentuk dari pelapukan batuan kapur keras (limestone), dan bersifat tidak subur. Hasil pengamatan sifat fisika tanah satu tahun setelah tanam menunjukkan adanya penurunan nilai infiltrasi dan permeabilitas tanah pada perlakuan penambahan pupuk kandang (P1, P2, dan P3) dibandingkan plot kontrol (P0), sedangkan porositas maupun kerapatan isi tanah tidak banyak mengalami perubahan (Narendra et al. 2011). Kondisi ini menggambarkan adanya perbaikan kondisi tanah di lokasi penelitian secara fisik akibat adanya penambahan pupuk kandang meskipun belum signifikan perubahannya.

Gambar 2. Grafik kematian tanaman mimba selama pengamatan Picture 2. Death rate of the neem when observation Prosentase hidup tanaman mimba cenderung mengalami penurunan seiring umur tanamannya. Setahun pertama persentase hidup tanaman mengalami penurunan yang cukup besar yaitu sebesar 30%, kemudian sebesar 23% ditahun berikutnya dan 10% ditahun terakhir pangamatan seperti yang tergambar

dalam Gambar 2. Penanaman mimba dilakukan pada bulan Mei 2010 yang merupakan akhir dari musim hujan awal tahun. Setelah ditanam, hujan tidak lagi turun dilokasi penelitian selama dua bulan (Juni dan Juli) sehingga masa proses penyesuaian diri tanaman terhadap lingkungan yang baru menjadi cukup berat. 27

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 21-30

Hal ini yang dianggap sebagai faktor penyebab kematian tanaman mimba diawal penanaman. Namun demikian pada bulan Agustus dan September hujan mulai turun lagi sehingga tanaman mimba yang berhasil bertahan hidup pada masa penyesuaian diri akan dapat kembali bertahan dan tumbuh. Disisi lain dengan adanya hujan di bulan Agustus dan September mengakibatkan perbedaan persentase tanaman mimba yang hidup diantara perlakuan tidak berbeda secara signifikan. Antara bulan Juni hingga September dilokasi penelitian jarang sekali terjadi hujan, namun berdasarkan data BMKG Kabupaten Klungkung pada tahun 2010 secara keseluruhan di Nusa Penida mengalami hujan di sepanjang tahun meskipun dengan curah hujan yang beragam (Gambar 3). Pada pengamatan tahun kedua mulai terlihat adanya perbedaan prosentase hidup tanaman diantara perlakuan manipulasi lingkungan serta kontrol. Namun dari Tabel 1 terlihat hanya perlakuan P2 dan P3 yang secara signifikan berbeda dengan kontrol. Pengamatan tahun ketiga kembali menunjukkan rata-rata prosentase hidup antar perlakuan manipulasi tidak berbeda secara

nyata. Seperti pada pertumbuhan tinggi diameternya, pada prosentase hidup terlihat bahwa perlakuan dengan penambahan pupuk kandang cenderung memiliki rata-rata persentase hidup yang lebih besar daripada perlakuan tanpa penambahan pupuk kandang. Hal ini menegaskan bahwa pupuk kandang cukup penting dan menentukan bagi pertumbuhan tanaman pada lahan seperti di Nusa Penida. Kematian tanaman mimba banyak terjadi pada tanaman-tanaman yang memiliki pertumbuhan dibawah rata-rata. Terdapat beberapa tanaman yang mengalami stagnan atau pertumbuhannya sangat lambat dan saat musim kering tanaman tersebut banyak mengalami kematian. Daun-daunnya berubah warna menjadi kekuningan kemudian rontok dan akhirnya mati. Selama tiga tahun pengamatan dari bulan April 2010 hingga April 2013 (37 bulan) di lokasi penelitian telah terjadi 19 bulan kering dan 12 kali bulan basah (Tabel 5). Pada kondisi tersebut, hanya tanamantanaman mimba yang telah tumbuh besar dan mempunyai perakaran kuat yang akan mampu bertahan hidup dengan baik.

Gambar 3. Grafik curah hujan di lokasi penelitian selama pengamatan Picture 3. The rainfall on the research site when observation 28

Pertumbuhan Awal Tanaman Mimba Di Nusa ... (Ali Setyayudi, Budi Hadi Narendra & Ryke)

Tabel 5. Data curah hujan di lokasi penelitian selama tiga tahun Table 5. Data of rainfall for three years in the research site Tahun (years) Bulan (month)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

2010 curah hari hujan hujan (rainfall) (day with (mm) rain)

83 45 0 0 30 200 0 0 323

4 3 0 0 2 6 0 0 13

2011 curah hari hujan hujan (rainfall) (day with (mm) rain) 135 6 145 7 85 3 65 5 116 6 10 1 10 1 0 0 0 0 0 0 50 3 225 7

Secara keseluruhan apabila dilakukan perbandingan dari ketiga perlakuan lingkungan yang digunakan yaitu pupuk kandang, hydrogel, dan gulud maka pupuk kandang adalah yang paling mempengaruhi pertumbuhan awal tanaman mimba di Nusa Penida. Ketiga bahan yang digunakan mempunyai tujuan untuk membantu tanaman menghadapi kondisi di Nusa Penida. Pupuk kandang diharapkan mampu mengatasi permasalahan kedalaman dan hara tanah yang tipis, hydrogel diharapakan mampu mengatasi persediaan air yang sedikit, dan gulud diharapkan mampu mengurangi erosi akibat kemiringan lahan yang curam. Beberapa alasan yang dapat diajukan adalah kondisi kesuburan tanah awal memiliki harkat yang rendah sehingga meskipun ada penambahan air dari hydrogel, pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman mimba akan tetap lebih kecil dibandingkan jika dilakukan penambahan unsur hara dari pupuk kandang. Alasan yang kedua adalah meskipun kimiringan lokasi penelitian curam namun hasil pengukuran erosi permukaan yang terjadi masih dibawah standar erosi terbolehkan, sehingga pemberian gulud

2012 curah hari hujan hujan (rainfall) (day with (mm) rain) 311 7 65 1 145 11 0 0 72 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 1 173 6

2013 curah hari hujan hujan (rainfall) (day with (mm) rain) 217 18 248 13 178 10 91 6

tidak cukup besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan mimba daripada perlakuan yang tanpa diberikan gulud. Kondisi ini tergambar dalam Tabel 2 dan 3 dimana perlakuan P4 hampir selalu lebih kecil pertumbuhannya dibandingkan perlakuan P1, P2, dan P3. Rata-rata pertumbuhan tanaman mimba hingga akhir pengamatan adalah tinggi 56 cm (Tabel 2) dan diameter 6,2 mm (Tabel 3). Sedangkan untuk tinggi tanaman rata-rata hingga tahun ketiga adalah 42,6-91,2 cm dan diamater 5,6-10,8 mm. Kondisi ini sebenarnya masih jauh dengan hasil penelitian Ahmad & Idris, (2007) dimana pertumbuhan mimba pada tahun ketiga penanaman bisa mencapai tinggi 4-7 m. Hasil ini juga masih dibawah rata-rata pertumbuhan tanaman mimba di Sumbawa yaitu tinggi sebesar 213,4-299,5 cm dan diameter 26,0-36,3 mm (Setiawan et al., 2013) . Perbedaan kondisi lahan di kedua lokasi tersebut dianggap sebagai faktor yang cukup berpengaruh. Kondisi kedalaman tanah dikedua lokasi tersebut cenderung lebih baik daripada di Nusa Penida, sehingga tanaman mimba tentunya akan lebih mampu tumbuh lebih baik. Namun demikian dari hasil 29

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 21-30

ini ada beberapa hal yang dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk kegiatan selanjutnya yaitu penggunaan pupuk kandang menjadi faktor yang penting untuk penanaman pada kondisi tanah dangkal seperti yang ada di Nusa Penida. Penggunaan pupuk kandang dapat juga dikombinasikan dengan hydrogel agar pertumbuhan tanaman lebih baik terutama pada kondisi lokasi dengan kecenderungan cuaca yang kering. Di beberapa daerah seperti Jawa Barat dan Lampung, hydrogel sudah mulai juga digunakan untuk menanggulangi masalah kekeringan (Kartosoewarno, 2006).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN Terdapat peningkatan pertumbuhan tanaman mimba akibat adanya kegiatan manipulasi lingkungan yang diberikan. Perlakuan manipulasi lingkungan dengan pemberian pupuk kandang+hydrogel memiliki peningkatan pertumbuhan tanaman mimba paling besar dibandingkan yang lain yaitu dua kali lipat dibandingkan kontrol. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Balai Penelitian Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu dikarenakan penelitian ini merupakan bagian kegiatan DIPA anggaran balai tahun 2010 hingga 2013. Terima kasih juga kepada bapak Lalu Gde Wiryadi dan bapak I Putu Adnyana (Suana) yang telah banyak membantu pelaksanaan kegiatan dilapangan sehingga berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad, S., & Idris, S. (1997). Azadirachta indica A.H.L. Juss. Retrieved January 5, 2011, from . http:// www.proseanet.org Arsyad, S. (2010). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Hardjowigeno, S. (1987). ilmu kesuburan t a n a h ( p e r t a m a ) . J a k a r t a : P T.

30

Mediyatama Sarana Perkasa. Indoneem. (2005). PT. Intaran Indonesia. Retrieved December 5, 2013, from http://www.indoneem.com/cms5/index. php?option=com_content&view=article &id=57&Itemid=68 Kartosoewarno, S. (2006). Hydrogel. Bogor: Kuntum Nurseries. Mowidu. (2001). Peranan Bahan Organik dan Lempung Terhadap Agregasi dan Agihan Ukuran Pori pada Entisol. Universitas Gadjah Mada. Narendra, B. H., Nandini, R., & Setyayudi, A. (2011). Ujicoba teknik manipulasi lingkungan dalam rehabilitasi lahan kritis dengan jenis mimba di Nusa Penida, Bali. Mataram. Pemerintah Propinsi bali. (2010). Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bali. Pemerintah Propinsi Bali. (2010). Topographi propinsi Bali. Retrieved January 5, 2012, f r o m http://www.baliprov.go.id/id/Topographi Rahardjo, S. (2007). Hydrogel Merupakan Salah Satu Teknologi untuk Mengatasi Lahan Kering di Nusa Tenggara Barat. Retrieved December 16, 2013, from http://ntb.litbang.deptan.go.id/2007/SP/ hydrogel.doc Rosmarkam, A., & Yuwono, N. W. (2002). Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta: penerbit kanisius. Sastrosupadi. (2000). Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian (revisi). Yogyakarta: penerbit kanisius. Setiawan, O., Samawandana, G., & Sari, D. S. P. (2013). Ujicoba penyiapan lahan dalam mendukung keberhasilan penanaman mimba di sumbawa. mataram. Sulaeman, Suparto, & Eviati. (2005). Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, Dan Pupuk. bogor: Balai Penelitian Ta n a h , B a d a n P e n e l i t i a n d a n Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

PENGARUH PEMANGKASAN TERHADAP PRODUKSI TUNAS PADA KEBUN PANGKAS BIDARA LAUT (Strychnos lucida R Brown) The Effect of Hedging to The Production of Shoots on The Hedge Orchard of Strychnos lucida R Brown Anita Apriliani Dwi Rahayu1& Krisnawati2 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti No. 7, Ds. Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat – NTB 83371 Telp. (0370) 6175552, Fax. (0370) 6175482 1 2 Email: [email protected]; [email protected] 1,2

ABSTRACT Bidara laut (Strychnos lucida R Brown) is a potential of traditional medicinal plant, especially in the area of ?Bali and NTB. Efficacy of S. lucida wood is used to malaria medicine and stamina enhancer. One way to ensure the supply of raw material of S. lucida, need to be cultivated as plant propagation by cuttings. Vegetative propagation of plants using shoot cuttings needs juvenile plant material. One of way to get it is build the hedge orchard. Hedging techniques are necessary aspect on hedge orchard management whose role is to determine the productivity and quality of the cutting materials. This study aims to determine the effect of stock plant height after hedging (10 cm and 20 cm) to the production of shoots. The study design used completely randomized design. The parameters measured were the number of shoots and length of shoot after four months of observation. The results showed that the difference of stock plant height of S. lucida after hedging affects the number of shoots which has significant number at 0.001, while height of hedging was not significant (> 0.05). After four months, height of hedging of 20 cm produced more shoots than height of hedging of 10 cm at 2.59 shoots. Keywords: Strychnos lucida R. Brown, hedging, the production of shoots, hedge orchard ABSTRAK Bidara laut (Strychnos lucida R Brown) merupakan tumbuhan obat tradisional yang potensial, khususnya di wilayah Bali dan NTB. Khasiat kayu bidara laut antara lain digunakan sebagai obat malaria dan penambah stamina. Salah satu cara untuk menjamin pasokan bahan baku kayu bidara laut, perlu dilakukan budidaya seperti perbanyakan tanaman dengan stek. Perbanyakan tanaman secara vegetatif menggunakan stek pucuk memerlukan bahan tanaman yang juvenil. Salah satu cara untuk mendapatkannya yaitu dengan membangun kebun pangkas. Teknik pemangkasan merupakan aspek yang diperlukan dalam pengelolaan kebun pangkas yang berperan untuk menentukan produktivitas dan kualitas bahan stek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tinggi tanaman induk setelah pemangkasan (10 cm dan 20 cm) terhadap produksi tunas. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Parameter yang diukur adalah jumlah tunas dan panjang tunas setelah 4 bulan pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan tinggi tanaman induk bidara laut setelah pemangkasan mempengaruhi jumlah tunas yang dihasilkan dengan nilai signifikansi 0,001, sedangkan panjang tunas tidak signifikan (> 0,05). Setelah 4 bulan pemangkasan, tinggi pangkasan 20 cm menghasilkan tunas yang lebih banyak dibandingkan tinggi pangkasan 10 cm yaitu 2,59 tunas. Kata Kunci : Strychnos lucida R Brown, pemangkasan, produksi tunas, kebun pangkas I. PENDAHULUAN Bidara laut atau songga (Strychnos lucida R Brown) merupakan tumbuhan obat

tradisional yang potensial, khususnya di wilayah Bali dan NTB. Hampir semua bagian tanaman bidara laut dapat dimanfaatkan

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017 : 31-38

sebagai obat yaitu bagian kulit kayu, akar, biji dan batang/kayunya (Wahyuni, 2014). Berdasarkan hasil penelitian Hasan, Nandini & Wahyuni (2011), kulit kayu adalah bagian tanaman yang banyak mengandung khasiat obat. Khasiat kayu bidara laut antara lain digunakan sebagai obat malaria dan penambah stamina (Waluyo & Marlena, 1992). Penggunaan kayu bidara laut untuk obat tradisional sudah mulai dijadikan peluang usaha. Hal tersebut menyebabkan keberadaan pohon bidara laut di alam sudah langka. Sasaran masyarakat yaitu batang bidara laut, sehingga menebang habis menjadi kebisaaan masyarakat dalam mengambil kayu bidara laut di alam. Kayu dibentuk menjadi gelas/cangkir yang biasanya digunakan sebagai suvenir dan air yang dimasukkan ke dalam gelas tersebut akan memiliki khasiat obat (Hasan et al., 2011; Zuraida, Sukito, & Darmawan, 2012). Usaha gelas bidara laut ini tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, akan tetapi sudah diekspor ke Malaysia, Hong Kong dan Singapura. Nilai ekonomi yang tinggi ini menyebabkan eksploitasi jenis ini di kawasan hutan menjadi berlebihan (Zuraida et al., 2012). Salah satu cara untuk menjamin pasokan bahan baku kayu bidara laut adalah perlu dilakukannya perbanyakan atau budidaya. Budidaya dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan vegetatif yang sering dilakukan adalah dengan stek. Perbanyakan tanaman secara vegetatif menggunakan stek pucuk memerlukan bahan tanaman yang juvenil. Bahan tanaman juvenil atau bagian stek yang selalu muda terletak di bagian pucuk tanaman (Hidayat & Nurochman 2016). Salah satu cara untuk mendapatkannya yaitu dengan dibangunnya kebun pangkas (Pudjiono, 2014). Dengan pembangunan kebun pangkas sebagai sumber bahan stek maka akan didapatkan tunas secara terus menerus. Teknik pemangkasan merupakan aspek yang diperlukan dalam pengelolaan kebun pangkas yang berperan untuk menentukan produktivitas dan kualitas bahan stek (Pramono & Danu, 2013). Secara umum, pemangkasan pada bagian atas tanaman akan menstimulasi 32

tumbuhnya tunas-tunas baru. Pemangkasan tanaman di kebun pangkas dilakukan guna mendapatkan tunas-tunas yang orthotrop dan juvenil sebagai materi untuk perbanyakan vegetatif (stek). Pemangkasan mampu meningkatkan jumlah tunas yang tumbuh (Pramono & Danu, 2013). Pada usia dua minggu setelah pemangkasan dilakukan, biasanya akan muncul bakal tunas pada mata tunas yang dorman (Sulaeman, 2013). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi munculnya tunas adalah umur dan ukuran tanaman, serta faktor lingkungan (Kijkar, 1991 dalam Putri & Ristiyana, 2006). Semakin tua kebun pangkas, maka produksi steknya semakin tinggi akan tetapi kemampuan berakarnya akan semakin rendah (Priadjati, Smits, & Tolkamp, 2001). Oleh karena itu, diperlukan pemangkasan pada pembangunan kebun pangkas bidara laut guna mendapatkan materi stek untuk perbanyakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi tunas dari pemangkasan tinggi 10 cm dan 20 cm. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di persemaian Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Rarung, Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Desember 2015. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan yaitu bibit bidara laut asal biji yang berumur 1,5 tahun. Biji tersebut berasal dari pohon – pohon induk yang ada di kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Dompu dan Bima. Bibit diletakkan pada polibag besar berukuran 35 cm x 35 cm (134, 127 m3). Bahan lainnya yaitu tanah, pupuk kandang dan NPK. Sedangkan untuk peralatan yang digunakan yaitu polybag, paranet, plastik sungkup, kawat, bambu, gunting stek, penggaris, alat tulis dan kamera.

Pengaruh Pemangkasan Terhadap Produksi Tunas ... (Anita Apriliani Dwi Rahayu1& Krisnawati2)

C. Prosedur Kerja 1. Bibit yang telah disiapkan sebelumnya dipindahkan ke polibag dengan menggunakan media tanah dan pupuk kandang pada komposisi 1:1. Sebelum dilakukan pemangkasan, bibit diukur tinggi dan diameternya. 2. Satu minggu setelah penyapihan, bibit dipangkas menggunakan gunting stek. Semua cabang dan daun dipotong, sedangkan batang utama dipotong setinggi 10 cm dan 20 cm dari permukaan tanah dalam polibag. 3. Setelah pemangkasan, bibit di dalam polibag diletakkan di bedeng-bedeng persemaian. Untuk menjaga kelembaban agar tetap stabil, setiap bedeng ditutup dengan sungkup plastik. Keseluruhan bedeng persemaian ditutup menggunakan paranet yang berfungsi untuk mengurangi intensitas cahaya dan menjaga suhu agar tidak terlalu tinggi. 4. Parameter yang diamati adalah jumlah dan panjang tunas pada umur 4 bulan setelah pemangkasan. Jumlah tunas didapatkan dengan menghitung tunas yang muncul pada masing-masing stek. Panjang tunas didapatkan dengan mengukur rata-rata panjang tunas pada tiap stek. D. Rancangan Penelitian Kegiatan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 2 perlakuan yaitu pemangkasan pada ketinggian 10 cm dan 20 cm. Setiap perlakuan pemangkasan terdiri dari 264 tanaman. Parameter yang diukur adalah jumlah tunas dan panjang tunas. E. Analisis Data Data yang didapatkan diuji homogenitasnya menggunakan Levene's Test. Selanjutnya untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan terhadap tunas yang muncul, maka data jumlah dan panjang tunas bidara laut dianalisis menggunakan Independent sample t test. Uji t untuk data yang variannya sama akan menggunakan rumus:

Uji t untuk data yang variannya tidak sama akan menggunakan rumus:

Keterangan : n1 = Jumlah sampel 1 n1 = Jumlah sampel 2 x1 = Rata-rata sampel ke-1 x 2 = Rata-rata sampel ke-2 S = Rata-rata sampel ke-1 S = Rata-rata sampel ke-2 2 1

2 2

Jika t hitung > t tabel atau (-) t hitung < (-) t tabel, maka perlakuan panjang pangkasan mempengaruhi jumlah tunas dan panjang tunas yang muncul. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji varian menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap jumlah tunas yang dihasilkan dari 2 perlakuan tinggi pangkasan. Hal ini terlihat dari nilai signifikansinya yang lebih rendah dari 0,05 yaitu 0,001 (Tabel 1). Hasil berbeda nyata ini dapat diartikan bahwa varian jumlah tunas antara dua perlakuan berbeda. Hasil pengujian selanjutnya yaitu uji t terhadap parameter jumlah tunas dan panjang tunas. Uji t terhadap jumlah tunas menunjukkan nilai t hitung adalah negatif (-) 5,679 lebih kecil dari t tabel yaitu -1,964 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan perlakuan tinggi pangkasan mempengaruhi perbedaan jumlah tunas ratarata yang muncul. Nilai negatif menunjukkan bahwa nilai jumlah tunas rata-rata pada perlakuan ke-2 lebih tinggi dibandingkan jumlah tunas dari perlakuan ke-1. Jumlah tunas rata-rata yang dihasilkan setelah 4 bulan pemangkasan pada tinggi pangkasan 20 cm

33

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017 : 31-38

Tabel 1. Hasil uji varian perlakuan tinggi pangkasan terhadap jumlah tunas dan panjang tunas Bidara Laut umur 4 bulan Table 1. Result of variant test of height of hedging treatments on number of shoots and length of shoots of Strychnos lucida at 4 month old Sumber variasi (Source of variation) Tinggi pangkasan (Height of hedging)

Jumlah Tunas (Number of shoots) F Sig 10,786*

0,001*

Panjang Tunas (Length of shoots) F Sig 3,314ns

0,069ns

Keterangan (Remarks): * = berbeda nyata pada taraf 5% (significantly at 5% level); ns = tidak berbeda nyata (not significantly)

yaitu 2,59 tunas lebih tinggi dibandingkan tinggi pangkasan 10 cm yaitu 2,11 tunas (Gambar 1). Hasil ini sama dengan hasil penelitian Mashudi & Susanto (2013) pada tanaman meranti tembaga, dimana tinggi pangkasan 80 cm menghasilkan jumlah tunas terbanyak dibandingkan tinggi pangkasan 20, 40 dan 60 cm. Pemangkasan tanaman bidara laut pada tinggi pangkasan yang lebih tinggi, memproduksi tunas lebih banyak karena kemampuan bertunas pada tiap mata tunas sama sehingga semakin panjang batang utama maka semakin banyak tunas yang akan muncul. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Ristiyana (2006). Selain itu semakin panjang batang ada kemungkinan nutrisi yang tersedia lebih

banyak, sehingga tunas yang dihasilkan akan semakin banyak dibandingkan tanaman yang pangkasannya lebih pendek (Mashudi & Susanto, 2013). Faktor lain yang mempengaruhi banyaknya tunas yang muncul pada tanaman yang dipangkas adalah auksin. Auksin adalah hormon di dalam tanaman yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan jaringanjaringan tanaman seperti merangsang pertunasan (Djamhari, 2010). Batang yang lebih panjang pada tinggi pangkasan 20 cm biasanya mengandung auksin lebih banyak dibandingkan tinggi pangkasan 10 cm. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan jumlah tunas yang dihasilkan pada batang yang lebih panjang lebih banyak dibandingkan batang yang lebih pendek.

Tabel 2. Hasil uji t jumlah tunas dan panjang tunas Bidara Laut umur 4 bulan terhadap perlakuan tinggi pangkasan Table 2. T-test result of number of shoots and length of shoots of Strychnos lucida at 4 month old on height of hedging treatments Jumlah Tunas (Number of shoots)

Panjang Tunas (Length of shoots)

Nilai t hitung (Values of t-statistic)

-5,679

4,844

Nilai t tabel (Value of t-table)

-1,964

1,964

Hasil uji varian terhadap panjang tunas rata-rata yang dihasilkan menunjukkan hasil yang berkebalikan dari hasil uji varian terhadap jumlah tunas. Dari uji varian yang dilakukan, menunjukkan bahwa nilai signifikansi lebih dari 0,05 (Tabel 1). Hal ini berarti bahwa varian 34

panjang tunas yang dihasilkan dari perlakuan tinggi pangkasan adalah sama (homogen). Pengujian pengaruh perlakuan tinggi pangkasan terhadap panjang tunas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan panjang tunas rata-rata. Hal ini ditunjukkan

Pengaruh Pemangkasan Terhadap Produksi Tunas ... (Anita Apriliani Dwi Rahayu1& Krisnawati2)

dengan nilai t hitung (4,844) yang lebih besar dari t tabel (1,964) (Tabel 2). Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan tinggi pangkasan mempengaruhi panjang tunas yang dihasilkan. Oleh karena nilai t hitung positif dapat diartikan panjang tunas perlakuan pertama (tinggi pangkasan 10 cm) lebih tinggi dibandingkan perlakuan kedua (tinggi pangkasan 20 cm). Hal ini terlihat dari panjang tunas rata-rata yang dihasilkan dari kedua perlakuan (Gambar 1). Pada tinggi pangkasan 10 cm, panjang tunas rata-ratanya mencapai 8,99 cm, sedangkan panjang tunas pada tinggi pangkasan 20 cm sebesar 6,65 cm. Adanya pengaruh perlakuan tinggi pangkasan di kebun pangkas terhadap panjang tunas yang dihasilkan juga terlihat pada beberapa hasil penelitian. Hasil penelitian Mashudi et al. (2008) pada tanaman pulai menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini, dimana tinggi tunas yang terbaik terlihat pada tinggi pangkasan yang lebih rendah (20 cm) dibandingkan tinggi pangkasan lainnya (30 dan 40 cm). Hasil penelitian Pramono & Danu (2013)

juga menunjukkan adanya pengaruh perlakuan tinggi pangkasan terhadap panjang tunas, akan tetapi hasilnya berkebalikan. Tinggi pangkasan yang lebih tinggi (90 cm) justru menghasilkan panjang tunas yang terbaik dibandingkan tinggi pangkasan 30 dan 60 cm. Penelitian lain justru menunjukkan perlakuan tinggi pangkasan pada tanaman ganitri dan tanaman meranti tembaga tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap panjang tunas yang dihasilkan (Rohandi, 2013; Mashudi & Susanto, 2013). Pemangkasan tajuk tanaman yang dilakukan pada pemangkasan di kebun pangkas akan membantu distribusi auksin ke seluruh bagian tanaman termasuk tunas lateral. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perkembangan tunas lateral pada tanaman yang dipangkas (Mashudi & Susanto, 2013). Perbedaan tinggi pangkasan akan mempengaruhi distribusi auksin ke seluruh bagian tanaman. Semakin mendekati bagian apikal tanaman (bagian tajuk yang dipangkas), maka jumlah auksin akan semakin sedikit (Heddy, 1989 dalam Mashudi & Susanto, 2013).

35

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017 : 31-38

Jika dilihat dari tunas yang dihasilkan dari kedua perlakuan tinggi pangkasan terlihat pada stek yang menghasilkan banyak tunas, rata-rata panjang tunasnya lebih pendek dibandingkan stek yang menghasilkan sedikit tunas. Hal ini dimungkinkan karena unsur hara dengan jumlah sama akan lebih optimal mendukung pertumbuhan tunas pada tanaman dengan jumlah tunas yang sedikit dibandingkan tanaman dengan tunas yang lebih banyak (Pramono & Danu, 2013). Jumlah tunas bidara laut yang dihasilkan dari teknik pemangkasan di kebun pangkas umur 4 bulan terbilang sedikit (di bawah 3 tunas). Hal ini dimungkinkan karena umur tanaman induk (stock plant) masih tergolong muda yaitu 1,5 tahun. Nurhasybi et al. (2007) menyatakan kemampuan kebun pangkas untuk menghasilkan jumlah tunas yang optimal tergantung dari umur stock plant. Hal lain yang mungkin berpengaruh terhadap sedikitnya tunas yang dihasilkan dari kebun pangkas bidara laut adalah kecepatan tumbuh dari tanaman bidara laut yang tergolong lambat. Hasil penelitian Rahayu & Wahyuni (2014) menunjukkan pertumbuhan tunas pada stek batang bidara laut umur 4 bulan, pertambahan panjangnya hanya berkisar 1,18-5,10 cm dan pertambahan diameternya 0,07-0,53 mm.

IV. KESIMPULAN Tinggi pangkasan pada tanaman di kebun pangkas bidara laut berpengaruh nyata terhadap tunas yang dihasilkan dengan nilai signifikansi 0,001, sedangkan panjang tunas tidak signifikan pada perlakuan tinggi pangkasan yang berbeda (> 0,05). Setelah 4 bulan pemangkasan, tinggi pangkasan 20 cm dari permukaan tanah di dalam polibag menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dibandingkan tinggi pangkasan 10 cm. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Gipi Samawandana, selaku 36

teknisi dalam tim penelitian ini dan semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA Djamhari, S. (2010). Memecah dormansi r i m p a n g t e m u l a w a k ( C u rc u m a xanthorrhiza Roxb) menggunakan larutan atonik dan stimulasi perakaran dengan aplikasi auksin. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 12(1), 66-70. Hasan, R. A., Nandini, R., & Wahyuni, N. (2011). Kajian Pemanfaatan Tanaman Bidara Laut (Strychnos lucida) oleh Masyarakat di Kabupaten Dompu dan Buleleng. Prosiding Workshop: Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman (pp. 353-358). Bogor: Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Hidayat, A., & Nurohman, E. (2016). Pengaruh Ukuran Diamater Stek Batang Hopea odorata Roxb. Dari Kebun Pangkas Terhadap Kemampuan Bertunas, Berakar Dan Daya Hidupnya.. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 4(1), 1-12. Mashudi, Adinugraha, H., Setiadi, D., & Ariani, A. (2008). Pertumbuhan Tunas Tanaman Pulai pada Beberapa Tinggi Pangkasan dan Dosis Pupuk NPK. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2 (2) , 211-220. Mashudi, & Susanto, M. (2013). Kemampuan Bertunas Stool Plants Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq.) dari Beberapa Populasi di Kalimantan. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 7(2) , 119132. Nurhasybi, Sudrajat, D., Pramono, A., & Budiman, B. (2007). Review status iptek perbenihan tanaman hutan. Publikasi khusus Vol VI No.6. Bogor: Bala Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Pramono, A., & Danu. (2013). Pengaruh pemangkasan dan pelengkungan

Pengaruh Pemangkasan Terhadap Produksi Tunas ... (Anita Apriliani Dwi Rahayu1& Krisnawati2)

terhadap produktivitas tunas pada pohonpangkas kayu bawang (Azadirachta excelsa). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan 1(2) , 93-101. Priadjati, A., Smits, W., & Tolkamp, G. (2001). Vegetative Propagation to Assure a Continous Supply of Plant Material for Forest Rehabilitation. In: P.J.M. Hillegers & H.H. de Iongh (eds.), The balance between biodiversity conservation and sustainable use of tropical rain forests. (pp. 19-29). Wageningen: Tropenbos. Pudjiono, S. (2014). Produksi bibit jati unggul (Tectona grandis L.F.) dari klon dan budidayanya. Bogor: IPB Press. Putri, K., & Ristiyana, A. (2006). Kemampuan Pertunasan Tanaman Merbau (Intsia bijuga O. Ktza) Umur 6 Tahun. Prosiding: Seminar Hasil-Hasil

Penelitian Balai Litbang Teknologi Perbenihan (pp. 99-101). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Rahayu, A., & Wahyuni, R. (2014). Pengaruh Media Tanam Organik terhadap Pertumbuhan Stek Batang Bidara Laut (Strychnos lucida R Brown). Prosiding: Seminar Nasional Silvikultur Ke-2 (pp. 615-620). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Rohandi, A. (2013). Pengaruh tinggi pangkasan terhadap produksi tunas pada kebun pangkasan ganitri. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri (pp. 741-746). Malang: Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, ICRAF dan Masyarakat Agroforestri Indonesia.

37

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017 : 31-38

38

PERTUMBUHAN BANDENG DI DUA TAMBAK SILVOFISHERY YANG BERBEDA UMUR DI KAWASAN MANGROVE PANTAI UTARA KABUPATEN REMBANG Growth of Milkfish in Two Different Age Silvofishery Fishponds in Mangrove Area in North Coast of Rembang Regency Krisnawati1& Erny Poedjirahajoe2 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jalan Dharma Bhakti No 7 Langko Lingsar Lombok Barat 83371 2 Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan UGM Jl. Agro No. 1, Bulaksumur, Universitas Gadjah Mada, Sleman, DIY 55281 1 Email :[email protected] 1

ABSTRACT Silvofishery agroforestry pattern is used in the implementation of social forestry program of mangrove forest region. Farmers may keep the fish, shrimp, crab or other commercial types to preserve mangrove forests. The purpose of this study was to determine the growth of milkfish in ponds created silvofishery year 1960 (A) and for the year 1970 (B). Method to determine the weight of growing milkfish ponds that any given observation cages as a plot with three replications. Laying the plot is on the leftright and center to represent the area of ?the pond embankment. The analysis used descriptive statistical analysis. The results obtained from this study is on the old farm pond A 47 year average growth of tentails milk: 869.33 grams and on farm B by age 37 the average weight per tentails milk: 866.11 grams. Difference in averages in the second increased milkfish ponds of 3.22 grams and includes result were small. This means that age does not affect the growth of milkfish ponds in the North Coastarea of mangrove Rembang regency. Keywords: Silvofishery, weight milkfish, age ponds

ABSTRAK Silvofishery merupakan pola agroforestry yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove. Petani dapat memelihara ikan, udang, kepiting atau jenis komersial lainnya untuk memelihara hutan mangrove. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pertumbuhan bandeng pada tambak silvofishery tahun buat 1960 (A) dan tahun buat 1970 (B). Metode untuk mengetahui pertumbuhan berat bandeng yaitu setiap tambak diberi keramba jaring sebagai plot pengamatan dengan tiga kali ulangan. Peletakan plot berada di kiri-kanan dan tengah tambak agar mewakili luasan tambak. Analisis yang digunakan adalah analisis statistik deskriftif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pada tambak A dengan umur tambak 47 tahun pertumbuhan rata-rata sepuluh ekor bandeng yaitu 869,33gram dan pada tambak B dengan umur 37 tahun pertambahan berat rata-rata per sepuluh ekor bandeng yaitu 866,11 gram. Selisih rata – rata pertambahan berat bandeng di kedua tambak sebesar 3,22 gram dan termasuk hasil yang kecil. Artinya pertambahan berat rata – rata bandeng di kedua tambak yang berbeda umur sama, sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan bandeng di kawasan mangrove Pantai Utara Kabupaten Rembang. Kata Kunci : Silvofishery, pertambahan berat bandeng, umur tambak.

I. PENDAHULUAN Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu hutan yang tumbuh di daerah

pasang surut (terutama dipantai yang terlindung, laguna, sepanjang sungai dan muara sungai) yang tergenang pada saat pasang

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 39-49

dan bebas pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. (Kusmana, 2003). Fungsi hutan mangrove sebagai nursery ground sering dimanfaatkan untuk silvofishery. Ada 2 pola silvofishery yang sering dipergunakan oleh masyarakat untuk usaha pertambakan, yaitu: pola empang parit, tegakan mangrove dikelilingi oleh saluran air

dan bentuk sejajar dengan pematang tambak (Gambar 1), dan pola komplangan, pohon mangrove ditanam pada daerah yang terpisah dengan empang memelihara ikan atau udang, dimana diantara keduanya terdapat pintu air penghubung yang mengatur keluar masuknya air (Gambar 2) dalam (Mahayani, 2002).

Gambar 1. Silvofishery pola empang parit Ficture 1. Patterns silvofishery pond ditch

Gambar 2. Silvofishery pola komplangan Ficture 2. Patterns Silvofishery pond

Terkait dengan hutan mangrove dan perikanan, pentingnya areal mangrove sebagai habitat bagi jenis-jenis ikan ekonomis penting telah diakui secara luas. Namun perlu diingat bahwa habitat utama bagi organismeorganisme tersebut adalah teluk dangkal. Saluran pemasukannya dan saluran-saluran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem mangrove.Kabupaten Rembangdi Pesisir Utara Pulau Jawamempunyai potensi sumber daya laut yang besar. Karakteristik masyarakat umumnya bermata pencaharian sebagai petani, petani tambak dan nelayan. Tambak yang diusahakan masih banyak menggunakan sistem konvensional daripada dengan sistem silvofishery. Petani tambak masih kurang informasi mengenai sistem silvofishery yang dapat diusahakan, yaitu dengan pola komplangan atau empang parit.

Pertumbuhan ikan di tambak merupakan harapan bagi petani untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal. Hasil panen yang dimaksud disini lebih ke berat, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan bandeng pada tambak silvofishery tahun buat 1960 dan tahun buat 1970.

40

II. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di hutan mangrove pada tahun tanam 1971, kawasan rehabilitasi mangrove Pantai Utara di Desa Pasar Banggi, Kabupaten Rembang, Propinsi Jawa Tengah (Gambar 3). Pengambilan data dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai Mei 2007. Bahan dan alat yang dibutuhkan yaitu kawasan rehabilitasi hutan mangrove,

Pertumbuhan Bandeng Di Dua Tambah Silvofishery ... (Krisnawati & Erny Poedjirahajoe)

tambak sistem silvofishery dengan pola komplangan tahun buat 1960 (A) dan tahun buat 1970 (B) (Gambar 4) dengan luas masing – masing ± 2 ha, peta lokasi penelitian, nener bandeng yang berusia 1 bulan, keramba jaring berukuran 1,30 x 1,25 x 1,25 meter, timbangan

gantung, skopnet, ember, label nama, hagameter, patok kayu, Oxymeter, termometer stik, pH meter, salinity test digital, formalin 4%, botol flakon, plankton net, pipet tetes, hemacytometer, roll meter, pita meter, kompas, tali, alat tulis dan dokumentasi.

Gambar 3. Mangrove tahuntanam 1971 Picture 3. Mangrove planting year 1971

Gambar 4. Tambak tahun 1960 dan 1970 Picture 4. Pond in 1960 and 1970

Data yang dikumpulkan untuk pertambahan berat bandeng dalam tambak A dan B yaitu pada setiap tambak yang telah dipasang keramba jaring diisi 10 nener bandeng berumur satu bulan yang sebelumnya dilakukan penimbangan berat, ini sebagai berat awal (Gambar 5 dan 6). Setiap hari, pagi dan sore ditaburi poor ikan (pellet) sebagai makanannya sebanyak kira-kira satu ons untuk setiap keramba. Satu minggu pertama jika ada

yang mati dilakukan penyulaman, baru dilakukan penimbangan berat bandeng untuk minggu berikutnya (Ujang, 2002). Pengamatan persen hidup bandeng dilakukan setiap minggu sekali pada masing – masing tambak. Sehingga untuk persen hidup bandeng dihitung dengan menggunakan rumus :

Gambar 5. Karamba jaring dalam tambak Picture 5. Net cages in the pond

Gambar 6. Bandeng Picture 6. Milkfish

jumlah ikan hidup panen å %hidup ikan = benih yang ditabur å

41

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 39-49

Data untuk komposisi dan kerapatan mangrove yaitu tinggi, lebar akar dan jenis vegetasi. Ukuran petak ukur (PU) yang digunakan 5 x 5 meter. Penempatan PU didasarkan pada 3 zona tumbuh, yaitu zona darat (distal zone), zona tengah (middle zone), dan zona depan (proximal zone). Pada setiap zona dibuat sebanyak 10 buah PU, sehingga

jumlah PU keseluruhan 30 PU, lihat Gambar 3. Jenis vegetasi diidentifikasi menggunakan bantuan pustaka Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia (Noor, 2006) dan hasil pengambilan data vegetasi kemudian dihitung dengan rumus Indeks Diversitas Simpson (Kusmana, C. 1997).

LAUT

a

30

27

24

21

18

15

12

9

6

3

b

29

26

23

20

17

14

11

8

5

2

c

28

25

22

19

16

13

10

7

4

1

d

d

U1

U2

U1

U3

d

d

e

U2 g

f

U3

Tambak B

Tambak A d

d

e

d

d

Keterangan : a : Proximal Zone d : Pintu Air b: Middle Zone e. TanggulTambak c :Distal Zone f. Ulangan plot karamba ditambak A

g. Ulangan plot karamba ditambak B h. No 1-30 : Petak Ukur

Gambar 7. Lay Out Penelitian Figure 7. Lay Out Research 42

Pertumbuhan Bandeng Di Dua Tambah Silvofishery ... (Krisnawati & Erny Poedjirahajoe)

Pengambilan data kepadatan plankton ada 2 kegiatan yaitu di lapangan dan di laboratorium. Masing-masing tempat dilakukan ulangan 10 kali, sehingga didapatkan 30 botol flakon sampel yang diberi label kemudian sampel diamati di laboratorium. Untuk mengetahui nama jenis plankton yang ditemui adalah dengan mencocokkan dengan gambar yang ada pada buku identifikasi plankton. Pengambilan data-data faktor lingkungan yaitu pengukuran oksigen terlarut (DO), pengukuran suhu, pH dan salinitas pada setiap lokasi dilakukan pengukuran ulangan

sebanyak 10 kali. Kemudian dijumlahkan dan didapatkan hasil rata-rata. Analilis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertambahan Berat Bandeng 10 Ekor Hasil pengukuran yang dilakukan pada tambak A dan tambak B selama 3 bulan sesuai dengan masing-masing perlakuan diperoleh data pertambahan berat ikan bandeng, seperti tersaji pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Pertambahan berat bandeng Table 1.Weight gain milkfish Tambak (Pond) Tambak A : Bandeng

Tambak B : Bandeng

1 1150 1025 1050

Bulan (Month) (gr) 2 1750 1900 1775

3 2700 3100 2850

275

1075

1808,33

2883,33

275 275

990 1200

1675 1750

2770 2825

T2B3

300

1100

1755

3050

Rata-rata (Average)

283,33

1096,66

1727,77

2881,66

Plot (Plot) T1B1 T1B2 T1B3 Rata-rata (Average) T2B1 T2B2

Berat awal (Initial weight) (gr) 300 250 275

Ta b e l 1 m e n u n j u k a n r a t a - r a t a peningkatan berat bandeng 10 ekor selama 3 bulan pada tambak A dan B diperoleh dari berat hasil akhir dikurangi berat awal dibagi 3 (bulan). Tambak A diperoleh hasil rata-rata peningkatan berat bandeng 10 ekor selama 3 bulan sebesar 869,44 gram per bulan ( 2883,33275 gram : 3) dan untuk tambak B diperoleh hasil rata-rata peningkatan berat bandeng 10 ekor selama 3 bulan adalah 866,11 gram per bulan (2881,66-283,33 gram : 3). Selisih ratarata peningkatan berat bandeng dikedua tambak sebesar 3,22 gram (869,44-866,11 gram). Hasil tersebut tergolong kecil. Umur tambak A, 47 tahun dengan umur tambak B, 37

tahun perbedaan selisih rata – rata pertambahan berat bandeng tidak begitu jauh. Sehingga tidak ada perbedaan yang nyata walaupun umur tambak berbeda 10 tahun. Dibanding dengan penelitian sebelumnya, ditempat dan perlakuan yang sama oleh (Saputra, 2007) seperti terlihat pada Tabel 2. Rata-rata peningkatan berat bandeng antara tambak komplangan sebesar 886,11 gram/10 ekor (2.950-291,66 gram : 3) dan pada tambak konvensional sebesar 577,38 gram/10 ekor (2.050-316,66 gram : 2). Sehingga diperoleh hasil selisih sebesar 308,33 gram/10 ekor.

43

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 39-49

Pada tambak silvofishery pola komplangan tahun 1975 terdapat selisih berat 2658,34 gram (2.950 – 291,66 gram)/10 ekor dibandingkan dengan hasil rata – rata di tambak A dan B sebesar 2603,33 gram (5206,66 gram : 2). Perbedaannya hanya 55,01 gram relatif tidak berarti. Namun jika dibandingkan dengan pola konvensional, dimana selisih berat bandeng sebesar 1733,34 gram (2.050 – 316,66 gram) ternyata tambak pola komplangan A dan B (2603,33 gram) jauh lebih baik yaitu sebesar 869,99 gram/10 ekor selama 3 bulan. Perbedaan pertambahan berat bandeng yang berbeda menurut (Poedjirahajoe, 1998) disebabkan oleh desain pola yang berbeda, masukan bahan organik ataupun kandungan fitoplankton berbeda pula. Pada pola komplangan ketersediaan bahan organik dan suplai plankton lebih banyak. Tambak pola

komplangan bersebelahan dengan mangrove sehingga seresah dari daun, buah atau ranting yang berguguran akan jatuh ke dalam tambak. Seresah-seresah ini akan melewati proses dekomposisi bahan organik oleh makrobentos dan pengurai yang ada. Hasil dari proses dekomposisi akan meningkatkan kandungan hara dalam lumpur. Meningkatnya kandungan hara akan memacu perkembangan plankton karena plankton akan berkembang baik pada tambak yang kandungan haranya tinggi. Melimpahnya plankton akan menjadi sumber pakan tambahan bagi bandeng, pada penelitian ini membuktikan bahwa pertumbuhan dan pertambahan berat bandeng yang dibudidayakan pada tambak pola komplangan menjadi lebih baik jika dibanding dengan tambak pola konvensional.

Tabel 2. Pertumbuhan Berat Bandeng 10 Ekor Table 2. Growth Weight Milkfish 10 Tail Jenis Tambak Pola Komplangan 1975

Pola Konvensional 1970

Ulangan U1 U2 U3 Rata-rata U1 U2 U3 Rata-rata

Berat Awal (gr) 300 300 275 291,66 375 275 300 316,66

1 1.100 1.050 1.175 1.108,33 900 700 975 858,33

Bulan (gr) 2 1.500 2.050 1.700 1.750 1.250 1.400 1.500 1.383,33

3 2.900 3.250 2.700 2.950 2.000 1.900 2.250 2.050

Sumber : Saputra, 2007

B. Persen Hidup Bandeng Pada Tambak A dan B Dalam kurun waktu pengamatan yaitu selama tiga bulan bandeng dapat hidup dengan cukup baik pada semua pola tambak yang diamati, hal ini terlihat dari banyaknya jumlah bandeng yang dipanen sama dengan banyaknya jumlah nener yang ditebar, seperti terlihat pada data hasil pengamatan pada Tabel 3 di bawah ini. 44

Bandeng pada tambak A dan tambak B persen hidupnya 100%, berarti bandeng dari awal sampai akhir penelitian hidup semua. Kondisi tambak yang terbilang tua, 47 tahun dan 37 tahun sudah stabil bagi keberlangsungan bandeng, jadi nener yang baru ditebar di tambak tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi, karena kondisi lingkungan tambah sudah stabil dan mendukung bagi perkembangan dan pertumbuhannya.

Pertumbuhan Bandeng Di Dua Tambah Silvofishery ... (Krisnawati & Erny Poedjirahajoe)

Tabel 3. Persen hidup bandeng pada tambak A dan tambak B Table 3. Percent of live milkfish in ponds and ponds A B Tambak A

Plot

Bandeng

T1B1 T1B2 T1B3

Tambak B Bandeng

Rata-rata Plot

Jumlah Awal (ekor) 10 10 10

1 10 10 10 10

T2B1 T2B2 T2B3

10 JumlahAwal (ekor) 10 10 10

Rata-rata

10

C. Faktor -Faktor Lingkungan Faktor lingkungan erat kaitannya dengan mahluk hidup, sehingga sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup termasuk bandeng, dalam penelitian ini terdapat beberapa faktor lingkungan yang

Bulan (ekor) 2 10 10 10

% 3 10 10 10 10

1 10 10 10

10 Bulan (ekor) 2 10 10 10

10

10

10

100 %

3 10 10 10 100

diamati antara lain adalah suhu perairan, drajat keasaman air, salinitas air dan banyaknya oksigen terlarut dalam air. Data yang diperoleh dari penelitian ini tersaji pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Rata – rata faktor fisik lingkungan Table 4. Averages physical factors of the environment Drajat Keasaman Salinitas Oksigen terlarut (acidity) (salinity) (water temperature) (dissolved pH (ppt) (ºC) oxygen) (ppm) Mangrove tahun tanam 1971 30, 83 6, 66 9, 37 4, 70 Tambak A 30, 93 7, 16 7, 41 4, 48 Tambak B 31, 18 7, 50 7, 20 4,51 Lokasi (location)

Suhu perairan

Suhu dibutuhkan oleh seluruh biota dan makhluk hidup di perairan terutama untuk proses fotosintesis dan respirasi. Suhu pada kawasan mangrove lebih rendah (30,83 ºC) daripada di kawasan tambak. Hal ini disebabkan sinar matahari yang masuk terhalang oleh adanya penutupan tajuk dari vegetasi. Berbeda dengan kawasan tambak yang merupakan daerah hamparan yang tanpa adanya naungan. Sehingga sinar matahari yang masuk ke permukaan tambah lebih banyak dan maksimal.

Hasil pengukuran drajat keasaman perairan dari ketiga lokasi hampir sama yaitu berkisar pH 6-7 (netral), menunjukan kondisi air dalam areal mangrove dan areal tambak tidak terlalu asam atau basa. Besarnya nilai pH dalam suatu perairan dapat dijadikan indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan unsur-unsur hara yang bermanfaat bagi kehidupan vegetasi akuatik (Poedjirahajoe, 2005). Derajat keasaman air juga mempunyai peranan penting bagi kehidupan ikan dan fauna lain yang hidup di perairan tersebut. 45

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 39-49

Salinitas air yang rendah dipengaruhi oleh aliran sungai yang masuk ke mangrove yang berfungsi sebagai penetralisir. Selain itu salinitas air dipengaruhi oleh cuaca setempat dan faktor edafik (Kusmana O. d., 2008). Salinitas yang tinggi pada areal mangrove tahun tanam 1971 dimungkinkan karena areal mangrove letaknya dekat dengan laut. Sedangkan tambak A dan B letaknya lebih jauh dan terhalang oleh areal mangrove, sehingga terpengaruh salinitas air laut. Kawasan tambak membutuhkan salinitas sedang karena salinitas yang tinggi akan menyebabkan tekanan osmotik yang tinggi sehingga dapat menyebabkan kematian bagi ikan (Kehutanan, 1997). Kandungan oksigen terlarut tertinggi pada mangrove tahun tanam 1971. Hal ini diindikasikan karena kerapatan vegetasi yang tinggi dan banyaknya seresah yang jatuh dari vegetasi yang ada pada areal mangrove. Sehingga menambah unsur hara yang ada pada kawasan mangrove. Kadar oksigen terlarut yang tinggi sangat diperlukan bagi mangrove tumbuh pada perairan yang berlumpur tebal dan anerob. Kondisi tersebut mengakibatkan tumbuhan mangrove mengembangkan perakaran khusus untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Oksigen terlarut yang ada akan digunakan oleh makhluk hidup di hutan mangrove untuk proses metabolisme di dalam tubuhnya, sehingga menurunnya kandungan oksigen terlarut dapat mempengaruhi kehidupan biota perairan yang ada.

D. Kepadatan Plankton Kepadatan plankton yang tertinggi terdapat pada areal mangrove tahun tanam 1971 dibandingkan di tambak A dan B, hal ini dikarenakan jumlah individu plankton yang ada di areal mangrove cukup banyak dan untuk proses fotosintesis khususnya fitoplankton dapat masuk dengan optimal. Sedangkan tingkat keanekaragaman suatu jenis atau yang disebut indeks diversitas ditentukan dengan rumus ID = 1 – λ, membuktikan bahwa Indeks diversitas plankton pada mangrove tahun tanam 1971 merupakan yang terbesar yaitu 0,95 dan terendah di tambak A sebesar 0,88. Meningkatnya kandungan unsur hara dalam tanah akan meningkatkan diversitas plankton yang merupakan pakan alami bagi nekton seperti ikan. Indeks diversitas terendah pada tambak A ini karena rendahnya diversitas plankton, tambak tergolong tua dengan umur 47tahun kondisi lumpurnya cukup tebal mengakibatkan kondisi menjadi anoksik daripada tambak B dan areal mangrove. Keberadaan plankton sangat dibutuhkan oleh ikan sebagai salah satu sumber pakan alami. Pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan seberapa jauh tingkat kepadatan plankton yang terdapat dalam masing-masing tambak yang diamati. Apakah perbedaan lokasi tambah akan mempengaruhi jumlah plankton atau tidak. Hasil pengamatan kepadatan plankton seperti pada Gambar 8 di bawah ini.

Gambar 8. Grafik rata-rata dari kepadatan plankton Figure 8. Graph of the average of the density of plankton 46

Pertumbuhan Bandeng Di Dua Tambah Silvofishery ... (Krisnawati & Erny Poedjirahajoe)

Perbedaan kepadatan plankton ini disebabkan oleh pengaruh pasangsurut air laut yang membawa plankton dan pengaruh kondisi lingkungan di tambak. Kepadatan plankton merupakan indikator untuk mengetahui

kepadatan nekton di dalam perairan, karena plankton merupakan pakan alami dari ikan. Semakin tinggi kepadatan plankton maka semakin tinggi pula kepadatan nekton di dalam perairan.

Gambar 9. Grafik indeks diversitas atau keanekaragaman plankton Figure 9. Graph of diversity or diversity index of plankton

E. Komposisi dan Kerapatan Vegetasi Komposisi jenis vegetasi penyusun hutan mangrove yang teridentifikasi pada tambak tahun tanam 1971 ada 3 jenis, yaitu Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, dan Avicennia marina. Jenis Rhizophora stylosa cukup mendominasi dengan jumlah individu yang paling banyak yaitu 8.096 individu/ha. Jenis Rhizophora stylosa memiliki pertumbuhan yang cukup baik, dan memiliki daya adaptasi yang cukup tinggi dibanding jenis tanaman

mangrove lainnya seperti Rhizophora mucronata, dan Avicennia marina. Jenis Rhizophora stylosa berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman utama dalam rehabilitasi hutan mangrove. Keunggulan lainnya adalah memiliki perakaran yang lebih kompak atau lebih rumit dibandingkan jenis lainnya sehingga fungsi akar sebagai pemecah gelombang akan berfungsi maksimal.

Tabel 5. Komposisi dan Kerapatan Jenis Penyusun Mangrove Table 5. Composition and density of type Composer Mangrove Jenis (Species) Rhizophora stylosa Rhizophora mucronata Avicennia marina

Kerapatan Jenis (Species density) (ind/ha) 8.096 560 664

Frekuensi Jenis (Species frequency) 1 0,17 0,52

Indeks Diversitas (Diversity Index)

0,24

47

Jurnal FAL AK Vol.1 No. 1 April 2017: 39-49

Kerapatan penting untuk diketahui karena merupakan ukuran besar populasi yang berhubungan dengan ruang yang umumnya diteliti dan ditanyakan sebagai cacah individu atau biomassa persatuan luas atau persatuan isi dan seberapa besar peran suatu jenis terhadap lingkungan yang ada (Budiarti, 2007). Indeks diversitas jenis tanaman yang ada kurang dari satu yaitu sebesar 0,24. Nilai ini menunjukan bahwa indeks diversitasnya rendah, artinya keanekaragaman jenis tanaman mangrove yang ada di lokasi penelitian sangat rendah, hal ini tidak baik untuk peningkatan dan perkembangan biodiversitas. Namun karena fungsi yang diharapkan dari vegetasi mangrove dalam penelitian ini sebagai perlindungan dari gelombang dan pasang surut air laut yang lebih diutamakan, maka nilai indeks diversitas yang rendah dalam pertumbuhan ikan dapat ditoleransi. Menurut pengamatan beberapa petani tambak dilapangan kerapatan dan susunan jenis dipengaruhi juga oleh Tekstur dan konsentrasi substrat, jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat.

F. Lebar Perakaran dan Tinggi Vegetasi Tinggi pohon rata-rata selama 36 tahun berdasarkan Tabel 6 sebesar 7,62 m. Pertumbuhan pohon, baik pertumbuhan tinggi maupun hal-hal lainnya yang terkait dengan perkembang biakannya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sangat kompleks. Faktor pembatas seperti temperatur, kandungan zat hara, medium tempat tumbuh, sinar matahari, faktor dari dalam terkait kondisi fisiologis tanaman juga menjadi faktor penentu yang signifikan (Budiarti, 2007). Jadi semakin tinggi suatu vegetasi maka akan semakin lebar perakarannya. Hal ini berguna untuk mengambil unsur-unsur hara di sekitar pohon yang akan digunakan untuk pertumbuhannya. Pada pada tambak silvofishery lebar akar tanaman sangat berperan dalam menahan arus gelombang air laut. Lebar akar 2,44 meter dan saling bersinggungan antar pohon akan membentuk tanggul dan berfungsi sebagai pemecah ombak. Sehingga bandeng dalam tambak akan hidup dengan tenang dan terlindung dari arus gelombang air laut yang deras.

Tabel 6. Rata-rata lebar perakaran dan tinggi vegetasi tahun tanam 1971 Table 6. Average width and height rooting vegetation planting year 1971 Tahun Tanam (Year of Planting) 1971

Lebar Akar (meter) (width Root) 2,44

Lebar perakaran suatu tanaman akan mempengaruhi laju aliran air yang melewati tanaman tersebut. Sehingga mempengaruhi banyak sedikitnya seresah atau bahan material yang terangkut (Odum, 1998). Semakin besar lebar perakaran suatu tanaman maka semakin besar pula air, seresah dan bahan materialmaterial yang ada tertahan oleh akar sehingga dapat mempengaruhi laju aliran air yang melewati tanaman tersebut. Jika lebar perakaran suatu tanaman besar maka semakin besar pula air dan seresah yang tertahan oleh akar.

48

Tinggi Vegetasi (meter) (high Vegetation ) 7,62

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Fungsi hutan mangrove sebagai nursery ground sering dimanfaatkan untuk silvofishery. Tambak A (tahun buat 1960) dan tambak B (tahun buat 1970) dengan perbedaan umur 10 tahun pada tambak silvofishery pola komplangan tidak memberikan perbedaan yang nyata bagi pertambahan berat bandeng. Sehingga umur tambak tidak mempengaruhi pertumbuhan berat bandeng di kedua tambak. Namun sistem silvofishery pola komplangan jauh lebih baik daripada sistem konvensional (tradisonal).

Pertumbuhan Bandeng Di Dua Tambah Silvofishery ... (Krisnawati & Erny Poedjirahajoe)

B. Saran Sistem silvofishery pola komplangan dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi bandeng secara langsung, serta dapat menjaga kelestarian hutan mangrove. Karena itu hendaknya petani tambak dapat menerapkan sistem ini secara intensif. C. Kelemahan Kelemahan penelitian ini yaitu jumlah keramba sebagai plot yang sedikit. Sebaiknya keramba sebagai plot lebih banyak, sehingga akan memperkuat data dan mempermudah dalam analisis. Selain itu untuk bandeng yang digunakan dalam penelitian sebaiknya masih berupa bibit sehingga akan didapatkan data pertambahan berat yang nyata dari awal hingga siap panen (kurang lebih 4 bulan).

DAFTAR PUSTAKA Budiarti, A. (2007). Pengaruh Tahun Tanam Mangrove Terhadap Ketebalan Lumpur di Pantai Utara Desa Pasar Banggi Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM. Kehutanan, D. (1997). Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia Jilid I. Jakarta: Departemen Kehutanan. Kusmana, C. (1997). Metode survey vegetasi. Bogor: PT. Penerbit Insitut Pertanian. Kusmana, C. W. (2003). Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Kusmana, O. d. (2008). Studi Ekologi Hutan Mangrove

di Pantai Timur Sumatera Utara. Biodiversitas, 9, 25-29. Mahayani, N. P. (2002). Pengaruh Beberapa Pola Silvofishery Terhadap Sifat Fisik Kimia dan Biota Perairan Di Area Mangrove Desa Grinting Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM . Noor, Y. R. (2006). Panduan Pengenalan Mangrove Di Indonesia. Bogor: Wetlands International Indonesia Programe. Odum, E. P. (1998). Dasar - dasar Ekologi (Ketiga ed.). (T. Samingan, Trans.) Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Poedjirahajoe, E. (1998). Pengaruh Pola Silvofishery terhadap Keanekaragaman Biota Laut di Kawasan Mangrove Pantai Utara Kabupaten Brebes. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM. Poedjirahajoe, E. (2005). Upaya Mencari Jarak Tanam Yang Optimal Dalam Rehabilitasi Mangrove Di Pantai Utara Jawa Tengah. Yogyakarta : Fakultas Kehutanan UGM. Saputra, H. K. (2007). Peranan Mangrove Ter h ad ap p en in g k atan P r o d u k s i Perikanan Tambak Di Kawasan Hutan Mangrove Pantai Utara Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM. Ujang, A. (2002). Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produktivitas Tambak. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.propinsi Bali. Retrieved January 5, 2 0 1 2 , f r o m http:/www.baliprov.go.id/id/Topographi.

49

PETUNJUK PENULIS BAHASA: Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris. FORMAT: Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4, dengan margin atas 3 cm, margin bawah 3 cm, margin kiri dan kanan masing-masing 2 cm. Panjang naskah hendaknya maksimal 20 halaman, termasuk lampiran. Jarak antara paragraf adalah satu spasi tunggal. JUDUL: Judul bersifat informatif, spesifik, efektif dan maksimal 15 kata. Jika naskah dalam bahasa Indonesia, ditulis terlebih dahulu judul bahasa Indonesia kemudian diikuti judul dalam bahasa Inggris. Nama penulis ditulis secara lengkap di bawah judul tanpa menyebutkan gelar. Di bawahnya, dicantumkan nama lembaga dan alamat lengkap tempat penulis bekerja beserta alamat e-mail penulis pertama untuk korespondensi. Jika penulis lebih dari satu orang dan bekerja di lembaga yang sama, maka pencantuman satu alamat telah dianggap cukup mewakili alamat penulis lainnya. ABSTRAK: Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang masing-masing dilengkapi dengan kata kunci (keywords). Dibuat tidak lebih dari 250 kata berupa intisari permasalahan secara menyeluruh, dan bersifat informative mengenai hasil yang dicapai. KATA KUNCI: Kata kunci antara tiga sampai lima kata, dengan klasifikasi dari paling umum, penting dan dipisahkan dengan koma. TABEL: Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dengan bahasa Indonesia dan Ingggris dengan jelas dan singkat. Penomoran tabel menggunakan angka Arab (1,2,...). Penggunaan tanda koma (,) dan titik (.) pada angka didalam tabel masing-masing menunjukan nilai pecahan/decimal dan kebulatan seribu. Dilengkapi dengan sumber keterangan yang jelas dibawahnya. GAMBAR: Grafik dan ilustrasi lain berupa gambar harus kontras, ukuran proporsional serta beresolusi tinggi. Setiap gambar dilengkapi nomor urut, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. FOTO: Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, dilengkapi judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. DAFTAR PUSTAKA: Daftar Pustaka mengacu gaya Harvad atau American Psychological Assocation (APA), harus disusun menurut abjad nama pengarang. (Tahun terbit), judul pustaka, media, Vol (No), Hal. Penerbitdan kota penerbit. Sumber kutipan primer paling sedikit 80% dari total Daftar Pustaka. Kutipan tulisan sendiri dibatasi 30% dari total Daftar Pustaka. Kemutahiran kutipan paling lam adalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. CONTOH PENGUTIPAN: Buku: Pennulis-nama belakang dan inisial nama depan, baik hanya satu penulis maupun banyak penulis. (Tahun publikasi). Judul buku dengan hurup besar hanya di awal kata pertama italic. Tempat publikasi: Penerbit. Puspitojati, T., Rachman, E., & Ginoga, K.L. (2014). Hutan tanaman pangan: Realitas, konsep dan pengembangan. Yogyakarta: PT. Kanisius. Bagian dari Buku: Djaenudin, D. (2014). Kelayakan ekonomi usaha jasa lingkungan di KPHL Pohuwatu, Provinsi Gorontalo. Dalam B. Hernowo, & S. Ekawati (Eds.) Operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Langkah awal menuju kemandirian. Yogyakarta: PT. Kanisius. Jurnal/Prosiding: Penulis Jurnal-Nama belakang dan inisial, baik satu atau lebih penulis (Tahun terbit). Judul artikel jurnal. Nama Jurnal italic, volume (issue atau Nomor), Halaman. Santoso, A., & Malik, J. (2012). Perekat berbasis resorsinol dari ekstrak limbah kayu merbau. Dalam G. Pari, A. Santoso, Dulsalam, J. Balfas, & Krisdianto (Eds.) Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan (hal.91-101). Jurnal Elektronik dengan DOI: Nomor volume ditulis miring. Turjaman, M., Tamai, Y., Santoso, E., Osaki, M., & Tawaraya, K. (2006). Arbuscular mycorrhizal fungi increased early growth of two nontimber forest product species Dyera polyphylla and Aquilaria filaria under greenhouse conditions. Mycorrhiza, 16 (7), 459-64. doi:10.1007/s00572-006-0059-4. Jurnal tanpa DOI: Hendra, D., Gusti, R.E.P., & Komarayati, S. (2014). Pemanfaatan limbah tempurung kemiri sunan (Aleurites trisperma) sebagai bahan baku pada pembuatan arang aktif [Utilization of kemiri sunan shell waste as raw material in manufacturing of activated charcoal]. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(4), 271-282. Majalah Online: Wong, J. (2015, November). Are Asian furniture manufacturers ready for industry 4.0? FDM Asia, 27 (6). Diakses dari http://www.fdmasia.com/ebook/2015/NovDec/index.html#p=2 Surat Kabar Online: Sasongko, A. (2016, Januari 28). Kesadaran masyarakat selamatkan satwa dilindungi meningkat. Republika. Diakses dari http://www.republika.co.id Surat Kabar Cetakan: Laksmi, B.I., & Susanto, I. (2015, Agustus 10). Spesies dan kesejahteraan. Kompas, hal. 14. Satwa dilindungi dijual secara daring. (2015, Agustus 2). Kompas, hal. 14. Desertasi Doktor: Siswiyanti, Y. (2015). Konstelasi politik kebijakan internasional perubahan iklim dalam pengelolaan hutan Indonesia secara lestari (Desertasi Doktor). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOG HASIL HUTAN BUKAN KAYU Research and Development Institute of Technology Non Timbre Forest Froduct Alamat Redaksi: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jalan Darma Bakti No. 7 Langko, Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat Telepon/Fax : 0370-6175552/6175482 Email : [email protected] Website: http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPKF

A. PENDAHULUAN Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu hutan yang tumbuh di daerah

ISSN: 2579-5805

pasang surut (terutama dipantai yang terlindung, laguna, sepanjang sungai dan muara sungai) yang tergenang pada saat pasang