JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN

Download banyak digunakan industri parfum, farmasi, makanan dan ... pembelahan sel dan auksin digunakan secara luas dalam ... Alat-alat yang digunak...

0 downloads 420 Views 74KB Size
J. Floratek 3: 56 – 60

Muhammad Hatta et al.(2008)

PENGARUH IAA DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN NILAM (Pogestemon cablin Benth) IN VITRO Effect of IAA and BAP on Growth of Patchouli (Pogestemon cablin Benth) In Vitro Muhammad Hatta*, Mardhiah Hayati dan Ulfa Irayani Fakultas Pertanian Unsyiah Darussalam Banda Aceh

ABSTRACT The research was aimed at understanding response of patchouli growth in vitro to concentration of IAA and BAP, and looking at interaction between both treatments. The experiment was arranged in a factorial randomized complete block design (RCBD) 2 x 6 with 5 replicates. Factors investigated were concentration of IAA (0 dan 1 mgl-1) and concentration of BAP (0.0, 0.4, 0.8, 1.6, 3.2 dan 6.4 mgl-1). Variables observed were shoot numbers, shoot height, and leaf numbers at 8 weeks after culturing. The results showed that there was interaction between IAA and BAP on leaf numbers of plantlet at 8 weeks after culturing, where the presence of IAA in the medium caused BAP to exert negative effect on lef formation. On shoot numbers and shoot height, the concentration of IAA and BAP did not exert any effect. Keywords : IAA, BAP, Patchouli, in vitro PENDAHULUAN Tanaman nilam (Pogestemon cablin Benth) merupakan tanaman perdu yang menghasilkan minyak. Minyak nilam banyak digunakan industri parfum, farmasi, makanan dan aroma terapi. Fungsi utama minyak nilam adalah sebagai bahan fiksatif dan wangi-wangian. Minyak nilam Indonesia memasok sekitar 70% pangsa pasar dunia dan merupakan penghasil devisa terbesar dari ekspor minyak atsiri, sehingga tanaman nilam mempunyai prospek pasar paling baik dibandingkan tanaman atsiri lainnya (Mangun, 2005).* Nilam merupakan tanaman yang potensial untuk dikembangkan. Namun, karena tanaman ini tidak berbunga maka keragaman genetik tanaman ini sangat rendah. Untuk meningkatkan keragaman genetiknya maka perlu dilakukan *

Penulis koresponden

56

pendekatan bioteknologi. Agar aplikasi bioteknologi dapat dilakukan, maka perlu dikuasai lebih dahulu teknik perbanyakan tanaman nilam secara kultur jaringan. Kultur jaringan adalah upaya perbanyakan tanaman dengan menggunakan bahan tanam mikro dalam media buatan dengan kondisi bebas mikroorganisme. Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. Sitokinin berperan penting untuk merangsang pembelahan sel dan auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ. Heddy (1986) menyatakan bahwa ZPT dalam konsentrasi rendah dapat mempengaruhi proses fisiologis tumbuhan. Hal ini disebabkan karena adanya asam yang langsung mempengaruhi sintesis protein dan mengatur aktivitas enzim (Gardner, Pearce dan Mitchell, 1985).

Muhammad Hatta et al.(2008)

BAP adalah salah satu sitokinin yang banyak dipakai dalam kultur jaringan. Zat pengatur tumbuh ini menunjukkan pengaruh yang beragam terhadap pembentukan tunas. Gunawan (1987) menemukan bahwa induksi tunas terbanyak pada eksplan tanaman Brassica oleraceae L. var Botrytis diperoleh pada konsentrasi BAP 0.5 mgl/l. Sholeh dan Parawita (2005) menemukan bahwa konsentrasi BAP 0.25 mg/l merupakan konsentrasi terbaik dalam menginduksi tunas eksplan tanaman melon. Sebaliknya IAA adalah salah satu jenis auksin. Hormon ini dipakai untuk merangsang pembentukan akar. Sholeh dan Parawita (2005) menemukan bahwa IAA 0.5 mgl-1 merupakan konsentrasi terbaik pada kedinian terbentuknya akar, jumlah akar, panjang akar serta pertambahan tinggi tunas dari tanaman melon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons pertumbuhan tanaman nilam secara in vitro terhadap konsentrasi IAA dan BAP serta melihat interaksi antara kedua perlakuan tersebut. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh yang dimulai dari tanggal 30 November 2006 sampai dengan 24 Juni 2007. Alat-alat yang digunakan antara lain: botol kultur, alat-alat gelas, pH meter, timbangan analitis, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), Autoklaf, Growth Chamber, alat-alat tanam dan lain-lain. Bahan-bahan yang digunakan antara lain : tunas pucuk tanaman nilam klon Blang Pidie, media MS, IAA, BAP, Benlate, Agrimicin, spiritus, alkohol 96 %, Rifampicyn, Tween 20, Bayclin, Betadine, dan lain-lain. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah

J. Floratek 3: 56 – 60

Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 2 x 6 dengan 5 ulangan. Faktor yang diteliti ada 2, yaitu konsentrasi IAA (I) yang terdiri dari 0 dan 1 mgl-1, dan konsentrasi BAP (B) yang terdiri dari 0.0, 0.4, 0.8, 1.6, 3.2, dan 6.4 mgl-1. Data dianalisis dengan uji F dan diikuti dengan Uji DMRT pada taraf 5 %. Alat dan bahan yang digunakan disterilisasi terlebih dahulu dalam autoklaf selama 30 menit pada tekanan 17.5 Psi dan suhu 121 oC. Pembuatan larutan MS dimulai dengan membuat larutan stok dan memipet larutan stok sesuai dengan konsentrasi yang diperlukan serta ditambah gula, ZPT dan agar-agar. pH media diatur hingga mencapai 5.8 dan semua campuran dipanaskan. Selanjutnya media disterilisasikan dalam autoklaf selama 15 menit pada tekanan 17.5 Psi dengan suhu 121 oC. Eksplan diambil dari bagian tunas pucuk dan panjangnya 5 cm dan disterilkan. Setelah eksplan dicuci, direndam dalam campuran Rifampicyn 1 butir untuk 500 ml air selama 20 menit dan digoyang-goyang. Kemudian eksplan dibilas kembali sebanyak 3 kali dan direndam dalam larutan Bayclin 15 % yang ditambahkan Tween 20 sebanyak 2 tetes selama 10 menit, lalu dibilas 1 kali dengan aquades steril. Eksplan direndam kembali dalam larutan Bayclin 10 % selama 5 menit dan dibilas lagi sebanyak 3 kali dengan aquades steril. Pada air bilasan terakhir ditetesi Betadine sebanyak 3 tetes. Kemudian eksplan dipotong dengan ukuran 1 cm dan segera ditanam dalam media yang telah disiapkan. Selanjutnya botol-botol tersebut diletakkan dalam growth chamber dengan suhu 20 oC dengan kelembaban relatif 70 % dan lama penyinaran 16 jam. Peubah-peubah yang diamati pada penelitian ini adalah jumlah tunas, jumlah daun dan tinggi tunas. Pengamatan dilakukan pada umur 8 minggu setelah tanam (MST). Persentase eksplan hidup, mati dan kontaminasi yaitu jumlah eksplan yang hidup/mati/ kontaminasi dibagi dengan 57

J. Floratek 3: 56 – 60

Muhammad Hatta et al.(2008)

jumlah eksplan yang ditanam dikali 100 %. Pengamatan dilakukan pada minggu ke-4 setelah penanaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji F pada analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi berpengaruh sangat nyata antara konsentrasi IAA dan BAP terhadap jumlah daun per tunas plantlet

nilam, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan tinggi tunas plantlet nilam pada umur 8 MST. Pengaruh IAA dan BAP terhadap Jumlah Tunas Hasil uji F pada analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi IAA dan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas plantlet nilam pada umur 8 MST. Rata-rata jumlah tunas plantlet nilam umur 8 MST dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Jumlah Tunas Plantlet Nilam Dalam Media MS Pada Konsentrasi IAA dan BAP yang Berbeda Umur 8 MST BAP (mg/l) 0.0 0.4 0.8 1.6 3.2 6.4

IAA (mg/l) 0 1.31 1.35 1.26 1.33 1.26 1.30

Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah tunas pada beberapa konsentrasi BAP tidak berbeda nyata satu dengan lainnya. Keadaan ini berlaku sama, baik pada konsentrasi IAA 1 mg/l maupun pada 0 mg/l. Ini memperlihatkan bahwa penambahan IAA tidak memberikan pengaruh apapun pada proses pembentukan tunas. Ini sesuai dengan pendapat Santoso et al. (2003) bahwa proliferasi tunas aksilar hanya memerlukan sitokinin dalam konsentrasi tinggi tanpa auksin ataupun auksin dalam konsentrasi rendah. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa IAA tidak berinteraksi sama sekali dengan BAP terhadap pembentukan tunas. Data ini juga memperlihatkan bahwa penambahan konsentrasi BAP pada media tidak memberikan pengaruh pada pembentukan tunas nilam. Melihat jumlah

58

1 1.54 1.38 1.26 1.33 1.30 1.47 tunas yang terbentuk relatif sedikit, maka ada kemungkinan konsentrasi yang dicobakan ini belum efektif. Dengan kata lain, diperlukan konsentrasi yang lebih tinggi untuk dapat meningkatkan jumlah tunas. George dan Sherrington (1984) menyatakan bahwa pembentukan tunas adventif memerlukan sitokinin dalam konsentrasi tinggi. Pengaruh IAA dan BAP terhadap Jumlah Daun Hasil uji F pada analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang sangat nyata antara konsentrasi IAA dengan BAP terhadap jumlah daun per tunas plantlet nilam pada umur 8 MST. Rata-rata jumlah daun plantlet nilam pada konsentrasi IAA dan BAP umur 8 MST dapat dilihat pada Tabel 2.

J. Floratek 3: 56 – 60

Muhammad Hatta et al.(2008)

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Daun Per Tunas Plantlet Nilam Dalam Media MS pada Konsentrasi IAA dan BAP yang Berbeda Umur 8 MST BAP (mg/l) 0.0 0.4 0.8 1.6 3.2 6.4

IAA (mg/l) 0 1.31 ab 1.36 ab 1.10 b 1.41 ab 1.10 b 1.20 ab

1 1.71 a 1.54 ab 1.10 b 1.31 ab 1.21 ab 1.48 ab

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf 5 %. Hasil uji Duncan pada taraf 5 % menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi BAP terhadap peubah jumlah daun plantlet nilam tergantung pada konsentrasi IAA yang ditambahkan. Pada konsentrasi IAA 0 mg/l, perbedaan konsentrasi BAP tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap jumlah daun. Terbentuknya Jumlah daun yang sedikit ini patut mengantar dugaan bahwa perlu konsentrasi yang lebih tinggi untuk merangsang pembentukan daun nilam. Sebaliknya, pada konsentrasi IAA 1 mg/l perbedaan konsentrasi BAP memberikan perbedaan jumlah daun secara berarti. Terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan maka akan memberikan jumlah daun planlet nilam yang semakin sedikit. Ini menunjukkan bahwa hadirnya IAA pada konsentrasi ini membuat

BAP memberikan pengaruh yang negatif terhadap pembentukan daun nilam. Pengaruh IAA dan BAP terhadap Tinggi Tunas Plantlet Hasil uji F pada analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi IAA dan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas plantlet nilam umur 8 MST. Rata-rata tinggi tunas plantlet nilam pada konsentrasi IAA dan BAP umur 8 MST dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dari tinggi tunas plantlet pada umur 8 MST di antara konsentrasi BAP yang dicobakan. Keadaan ini sama, baik pada IAA 1 mg/l maupun pada IAA 0 mg/l. Sama seperti pada peubah jumlah tunas, ini juga memperlihatkan bahwa penambahan IAA tidak memberikan pengaruh terhadap tinggi tunas.

Tabel 3. Rata-rata Tinggi Tunas Plantlet Nilam Dalam Media MS pada Konsentrasi IAA dan BAP yang Berbeda Umur 8 MST BAP (mg/l) 0,0 0,4 0,8 1,6 3,2 6,4

IAA (mg/l) 0 1.28 1.43 1.26 1.38 1.26 1.28

1 1.58 1.26 1.26 1.35 1.28 1.28 59

J. Floratek 3: 56 – 60

Muhammad Hatta et al.(2008)

Data ini juga memperlihatkan bahwa penambahan konsentrasi BAP pada media tidak memberikan pengaruh pada tinggi tunas nilam. Diduga, BAP tidak terkait sama sekali dengan tinggi pendeknya tunas nilam. Kusuma dalam Maryani, Yekti dan Zamroni (2005) menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh sitokinin lebih berperan dalam pembelahan sel dan morfogenesis, sedangkan auksin berperan dalam mengatur pertumbuhan dan pemanjangan sel.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Terdapat interaksi yang sangat nyata antara konsentrasi IAA dan BAP terhadap jumlah daun plantlet nilam pada umur 8 MST. Kehadiran IAA dalam medium membuat BAP memberikan pengaruh negatif terhadap pembentukan daun. 2. Konsentrasi IAA dan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan tinggi tunas plantlet nilam pada umur 8 MST. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan konsentrasi BAP yang lebih tinggi

DAFTAR PUSTAKA Pusat Penelitian Tanaman Industri. 1995. Evaluasi Hasil dan Pemantapan Program Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Komisi Penelitian Bidang Perkebunan, Pusat Penelitian Tanaman Industri, Bogor. 37 hlm.

60

Gardner, F. P., R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1985. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia, Jakarta. 428 P. George, E. F. and P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetics Limited. England. 709 P. Gunawan, L. W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan PAU Bioteknologi IPB, Bogor. 165 hlm. Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 98 hlm. Mangun, H. M. S. 2005. Nilam. Penebar Swadaya, Jakarta. 84 hlm. Maryani,

Yekti dan Zamroni. 2005. Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur Jaringan. Ilmu Pertanian 12 (1) : 51-55 hlm.

Salisburry, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan (Terjemahan oleh Diah R. Lukman dan Sumaryono) jilid III. ITB. Bandung. 343 hlm. Santoso, Untung dan F. Nursadi. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. 191 hlm. Sholeh,

A. dan D. Parawita,. 2005. Teknologi Produksi Bibit Melon (Cucumis melo L.) Dengan Teknik In Vitro. Jurnal Ilmu Dasar Vol (6) : 33-40 hlm. Universitas Jember.