Kajian Sastra Ekologi (Ekokritik) Terhadap Novel Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth Karya Pandu Hamzah
1. Ira Rahayu 2. Dian Permana Putri Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persfektif ekologi dalam novel Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth (SWYTADGE) dan mengetahui bentuk perspektif ekologi dalam novel tersebut. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik analisis data dalam novel, mendeskripsikan hasil analisis bentuk persfektif dan menarik kesimpulan hasil analisis data. Peneliti juga melakukan wawancara dengan penulis novel, pihak perlindungan hutan dan konservasi alam( PHKA), BTNGC, tokoh adat, aktivis lingkungan,dan masyarakat setempat. Novel Sebuah wilayah yang Tidak Ada di Google Earth banyak mengangkat tema yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan diantaranya pelestarian pohon, mata air, dan kekayaan hayati di kawasan Gunung Ciremai, selain itu novel ini pun banyak memaparkan usaha penolakan masyarakat kaki Gunung Ciremai terhadap kegiatan eksplorasi geothermal Gunung Ciremai. Mengkaji novel SWYTADGE mengajak pembaca memperoleh pemahaman bahwa alam tidak boleh hanya dipandang secara pragmatis sebagai objek pelengkap semata, tapi juga harus dipandang sebagai sesama subjek kehidupan. Bila kaitannya dengan keramahan alam, maka keselarasan adalah sebuah kata yang lebih baik dari apa pun. Kata kunci: Novel dan ekokritik
Pendahuluan Dalam kehidupan masyarakat terdapat banyak persoalan. Walaupun dalam kenyataannya tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Pemahaman persoalan-persoalan dalam kehidupan ini dapat digolongkan dalam tiga hal: (a) persoalan manusia secara personal, (b) persoalan antarmanusia yang satu dengan yang lainnya, termasuk dengan alam sekitarnya, dan(c) persoalan manusia dengan Tuhan (Nurgiyantoro, 1998 : 323). Karya sastra merupakan suatu produk ciptaan seorang sastrawan, di dalamnya ada yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Karya sastra ditulis atau diciptakan oleh sastrawan bukan untuk dibaca sendiri, melainkan ada ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang disampaikan itu menjadi masukan, sehingga pembaca dapat mengambil kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan hidupnya. Hal ini dapat membuktikan bahwa karya sastra dapat mengembangkan kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Menurut Greg Garrard (2004:20), ekokritisisme mengeksplorasi cara-cara mengenai bagaimana kita membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang hasil budaya. Ekokritisisme diilhami oleh (juga sebagai sikap kritis dari) gerakangerakan lingkungan modern. Greg Garrard menelusuri perkembangan gerakan itu dan mengeksplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, sebagai berikut: (a) pencemaran (pollution), hutan belantara (wilderness), bencana (apocalypse), perumahan/tempat tinggal (dwelling), binatang (animals), dan bumi (earth).
Adapun, novel Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Goggle Earth karya Pandu Hamzah merupakan novel yang mengangkat tema tentang lokalitas alam wilayah Gunung Ciremai, novel ini berbicara tentang konsep pelestarian pohon, dan keseimbangan hayati di wilayah Gunung Ciremai. Penulis juga menyinggung tentang keresahan masyarakat akan adanya ancaman kegiatan eksplorasi geothermal Gunung Ciremai yang dikuasai oleh pihak asing. Pandu Hamzah dalam novelnya mengemas pemahaman tentang pentingnya hubungan yang selaras antara manusia, hewan, dan mahluk Tuhan yang lainnya (Ulu-Ulu) dengan alam, dengan hutan, dengan pohon di wilayahnya. Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk menganalisis novel Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth karya Pandu Hamzah dengan menggunakan kajian sastra ekologi (ecocriticism). Penulis ingin sekali mengurai aspek-aspek ekologi Kabupaten Kuningan, khususnya wilayah lereng Gunung Ciremai yang banyak ditulis oleh Pandu Hamzah dalam novelnya.
Kajian Sastra Persfektif Ekologi Ecocriticism merupakan disiplin ilmu baru. Setudi ini berkaitan tentang sastra dan ekologi (lingkungan) secara fisik. Material yang diterbitkan selain karya sastra (eko-sastra dan eko-puisi) studi ini juga mengulas kritik sastra lingkungan serta melakukan berbagai penelitian objek yang ada kaitannya dengan ecocritism. Ekokritik adalah kajian yang menghubungkan karya sastra dengan lingkungan fisik, pertumbuhan populasi, hilangnya hutan belantara dan liar, punahnya spesies dengan cepat, serta peningkatan kontaminasi udara, air, dan tanah di bumi (Love, 2003:1). Ekokritik memberikan perhatian terhadap hubungan timabal balik antara karya sastra dengan lingkungan hidup, termasuk hubungan dengan realitas social dan fisik, yang biasanya menjadi perhatian dalam ekologi (Love, 2003:1). Dari batasan ekokritik tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kajian terhadap karya sastra (dalam hal ini novel) menggunakan ekokritik akan menjelaskan bagaimana alam, lingkugan hidup, dengan berbagai persoalannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam karya sastra. Dalam hal ini alam dan lingkungan hidup, tidak hanya dipahami sebagai latar tempat dan suasana, tetapi juga merupakan aspek yang ikut membangun estetika sebuah karya sastra. Alam dan lingkungan hidup merupakan wilayah kajian dalam ilmu sastra, khusunya dengan menggunakan perspektif ekokritik. Dalam paradigma ilmu sastra, ekokritik merupakan jenis kritik sastra yang relative baru karena mulai dikenal tahun 1990-an. Terbitnya buku-buku The Ecocriticsm Reader (1996) yang diedit oleh Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm dan terbitnya buku Ecocriticism karya Donelle N. Drees (2002) menunjukan perkembangan kajian ekokritik dalam kritik sastra. Hasil penelitian Dana Philips (Sayuti, 2014: 5) dapat ditemukan beberapa kriteria yang layak disebut sebagai sebagai sastra hijau pada sebuah karya tulis baik prosa maupun puisi. Pertama-tama bahasa yang digunakan banyak mengandung diksi ekologi, isi karya dilandasi rasa cinta pada bumi, rasa kepedihan pada bumi yang hancur, ungkapan kegelisahan dalam menyikapi penghancuran bumi, melawan ketidakadilan atas perlakuan sewenang-wenang terhadap bumi dan isinya (pohon, tambang, air, udara, serta penghuninya-manusia), ide pembebasan bumi dari kehancuran dan implementasinya. Jadi tidak hanya satire. Melainkan harus ada actionnya melalui ide-ide yang dapat mempengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat terhadap penghancuran bumi. Sastra hijau memiliki visi dan misi penyadaran dan pencerahan yang diharapkan dapat mengubah gaya hidup perusak jadi pemelihara merawat bumi (go green). Ekokritik dalam Novel Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth Novel Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth (SWYTADGE) karya Pandu Hamzah banyak mengulas aspek ekologi, tentang pentingnya pelestarian pohon, menjaga keseimbangan hayati hutan Ciremai, menjaga keberadaan mata air, dan menolak dengan tegas rencana eksplorasi geotermal Gunung Ciremai. Novel ini menceritakan tentang bagaimana keresahan hati Lelaki Penebang Pohon yang tiba-tiba mengalami banyak kejadian aneh, bertemu dengan Ulu-Ulu; melihat perkampungan Ulu-Ulu; menemukan si Hitam dan Gadis Ajag di taman dalam rumahnya, yang memintanya memindahkan bonsai Kiara kesayangannya ke halaman. Lelaki Penebang Pohon mengalami beberapa kejadian aneh setelah menebang sebuah Pohon Kiara Raksaksa. Lelaki penebang
pohon berusaha mengurai rentetan kejadian aneh yang dialaminya. Pengalamannya bertemu dengan Ulu-Ulu, membuatnya tertarik untuk mengetahui lebih jauh prihal Ulu-Ulu itu sendiri. Novel Sebuah Wilayah yang tidak Ada di Google Earth karya Pandu Hamzah mengangkat kearifan lokal mengenai Ulu-Ulu. Masyarakat purba yang tinggal di wilayah Gunung Ciremai mengenal Ulu-Ulu sebagai penjaga dan pengatur air, mereka adalah lelembut hutan yang menguasai mata air. Ulu-Ulu datang pada orang yang sudah melakukan dosa atau kesalahan yang sangat besar dan fatal, misalnya melanggar pantangan hutan dan sebagainya. Sementara, aku berada di sisi kebalikannya, aku selalu ngobrol berapi-api soal pelestarian lingkungan, puisi-puisiku bertabur idiom-idiom alam, namun ternyata aku ini adalah orang yang hanya besar omong. Tergoda uang Jakarta beberapa puluh juta saja sebagai keuntungan bikin shelter dan tiang pemancar televisi, aku tega membantai sebatang pohon Kiara penyangga mata air dan kehidupan. (Hamzah, 2015:41) Aku pun pamit meskipun acara seminar baru saja dimulai. Aku tidak pulang ke rumah, tapi ke lokasi Pohon Kiara besar itu dulu berdiri. Dulu lokasinya sangat teduh. Tapi setelah Pohon Kiara itu ditebang, terasa sekali matahari menyengat. (Hamzah, 2015:43) Setelah berdiskusi dengan Rama Djati Lelaki Penebang Pohon menyadari bahwa ia telah berbuat salah, menebang Pohon Kiara Raksaksa. Lelaki Penebang Pohon menyadari bahwa tindakannya yang telah menebang Pohon Kiara Raksaksa telah merubah tatanan alam yang tadinya teduh menjadi panas menyengat, mata air yang didekat pohon tersebut pun ikut mengering. Lelaki penebang pohon pun memaknai bahwa terdapat keterkaitan geografis, kimiawi, biologikal, bahkan metafisika antara kita dengan gunung. Saat menatap Ciremai pun pikiranku suka melantur ke mana-mana. Jangan-jangan ada keterkaitan yang tak hanya sekedar keterkaitan geografis antara diri kita dengan gunung, tapi juga keterkaitan kimiawi, biologikal, bahkan metafisika. Maksudnya bagaimanapun secara biologi manusia berasal dari saripati makanan dan minuman yang dikonsumsi leluhur kita, dan mungkin itu direguk, dipanen, dan diolah dari sari pati unsur hara tanah-tanah subur Gunung Ciremai. Jadi, akulah gunung Ciremai dan gunung Ciremai adalah aku, maka karena aku merusak sebatang pohon penyangga alam Gunung Ciremai ini maka sebenarnya aku telah melukai diriku sendiri. (Hamzah, 2015:45) Novel SWYTADGE karya Pandu Hamzah melukiskan hutan adalah organisme dengan sistem khusus. Hutan merupakan wilayah paling murni dari segala spiritualitas manusia. Novel ini melukiskan terdapat hubungan yang erat antara kita dengan hutan. Sudah selayaknya manusia selain menjalin interaksi hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, manusia pun hendaknya dapat menjaga hubungan interaksi yang selaras dengan alam. Sudah selayaknya alam dipandang bukan sebagai objek pelengkap semata, tapi juga harus dipandang sebagai sesama subjek kehidupan. Hutan merupakan potensi terbesar manusia karena ketersediaan keanekaragaman hayati yang berlimpah. Potensi flora, fauna dan potensi panas bumi dapat dimanfatkan manusia untuk kesejahteraannya. Namun pemanfaatan potensi hutan tersebut selayaknya tidak bersifat berlebihan. Karena keseimbangan ekosistem hutan akan terganggu. Interaksi yang terjadi di dalam ekosistem saling terkait dan berkesinambungan, jika keselarasan ini terganggu maka manusia juga ikut merasakan dampaknya. Makin kusadari, hutan adalah organisme dengan system khusus. System yang sebenarnya tidak menyeramkan, malah membuatku merasa kedamaian luar biasa manakala berada sendirian di dalamnya. Kedamaian yang sukar sekali untuk kuraikan dengan kata-kata; semacam rasa fly yang murni, andai boleh disederhanakan bahwa spiritualitas itu cakupannya adalah kemurnian dan keterhubungan, maka hutanlah sebenarnya wilayah paling murni dari segala spiritualitas manusia. Aku ingin melalui malam ini dengan tenang, meski hati kecilku juga siap jika andaikata ada perkembangan-perkembangan yang bisa memberiku pencerahan mengenai segala hal yang sudah sebulan lebih ini aku gelisahkan, terutama mengenai Ulu-Ulu atau apa pun itu, dan juga mengenai
dosa yang terus tertorehkan di hatiku karena menebang Pohon Kiara Raksasa itu. (Hamzah, 2015:80) Sejak Pohon Kiara Raksaksa roboh berdebum menghantam bumi di tengah derum gergaji mesin, perbawa lelaki berkarisma yang datang menemui tengah malam, gema perkataan Rama Djati di Keraton Paseban tentang alam dan para penghuni purba Gunung Ciremai, isak tangis Si Bocah Hitam Bisu sebelum memindahkan Bonsai Kiara ke halaman rumahku, anak anjing hutan betina yang setia mengikutinya, perjalananku menempuh jalur langka ke hutan Ciremai ini, Chevron yang akan menggali kekayaan bawah tanah Ciremai hingga masyarakat gelisah akan dialihkan desanya, termasuk Lasmi… Semuanya berlintasan, dan entah mengapa dari acaknya peristiwa itu akan mendapati rasa sejuk bersemayam. Spirit kemurnian Ciremai yang kuserap dari dari proses penyerbukan bunga-bunga ini seolah-olah berbisik padaku bahwa bagaimanapun alam ini tidak boleh hanya dipandang secara pragmatis sebagai objek pelengkap semata, tapi juga harus dipandang sebagai sesama subjek kehidupan. Bila kaitannya dengan keramahan alam, maka keselarasan adalah sebuah kata yang lebih baik dari apa pun. (Hamzah, 2015:88) Novel ini menceritakan tentang Pohon Kiara Raksaksa yang ditumbangkan oleh Lelaki Penebang Pohon, proses perjalanan spiritual Lelaki Penebang Pohon hingga menyadari kesalahannya, kisah perjuangan si Hitam dan Gadis Ajag agar dapat menumbuhkan kembali Pohon Kiara di bekas kawasan Pohon Kiara Raksaksa yang telah dirobohkan. Pohon Kiara (Fellicium desipiens) di Indonesia merupakan tanaman introduksi yang memiliki fungsi estetika sebagai tanaman hias dan peneduh. Daya transpirasi tanaman ini rendah sehingga baik ditanam pada ruang terbuka hijau dan dekat sumber mata air. Kiara memiliki daya serap terhadap NO sampai dengan 61, 48% sehingga baik digunakan untuk peredam polusi. Seluruh bagian tubuhnya mengandung saponin yang merupakan zat kimia bahan baku sabun (BPTH Sulawesi, 2012). Selain itu mengulas tentang pohon kiara, novel ini pun banyak mengangkat tema tentang pertahanan warga untuk menentang eksplorasi geothermal Gunung Ciremai. Gunung Ciremai merupakan kawasan pelestarian alam dari alih fungsi kawasan hutan lindung dan produksi Gunung Ciremai yang sebelumnya dikelola oleh perum perhutani Unit III Jawa Barat berdasarkan surat keputusan mentri kehutanan republik Indonesia SK.424/Menhut-ii/2004 tentang perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas + 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai yang ditanda tangani pada tanggal 19 Oktober 2004. Perubahan alih fungsi hutan menjadi kawasan konservasi TNGC tersebut, diulas dalam novel SWYTADGE. Situasi mulai kacau. Ini diperparah dengan tiba-tiba status Gunung Ciremai diubah oleh seorang mentri nun jauh di sana, yang mungkin menginjak Gunung Ciremai saja pun tidak pernah, menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Keputusan yang aneh karena hanya ditandatangani hanya satu hari saja sebelum mentri tersebut habis masa jabatannya. Ketetapan ini membuat warga kehilangan akses terhadap hutan; sumber penghidupan mereka yang telah turun-temurun menjadi sandaran. Keputusan ini juga seolah menghina; memposisikan warga sebagai sumber malapetaka dari Gunung Ciremai dan harus disingkirkan, padahal sebelum status TNGC (Taman Nasional Gunung Ciremai) itu diberlakukan Ciremai sudah bagus dengan dengan konsep PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang sangat partisipatif dan tidak memiskinkan. Hak warga atas pengolahan tanah dan kekayaan alam di sana makin dibatasi. (Hamzah, 2015:231) Sebelum menjadi kawasan taman nasional sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda, kawasan hutan Gunung Ciremai sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan tutupan atau hutan lindung. Saat pemerintah Indonesia tepatnya pada tahun 1978, hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai hutan produksi yang pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani. Perubahan fungsi kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi tentunya membawa dampak yang nyata terhadap perubahan
ekologi kawasan Gunung Ciremai dimana sebagian besar vegetasi hutan alam diganti menjadi vegetasi dengan tujuan produksi yang mayoritas ditanami pohon pinus. Alih fungsi hutan produksi menjadi hutan konservasi bertujuan untuk menjaga kelestarian kawasan hutan Gunung Ciremai yang memiliki karakteristik ekosistem hutan pegunungan alam Jawa Barat dengan fungsi dan manfaatnya menyangkut hajat hidup masyarakat terutama untuk wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan karena berdasarkan aliran daerah aliran sungai (DAS), Taman Nasional Gunung Ciremai termasuk pada lima DAS, yaitu Ciwaringin, Cisanggarung, Cimanuk Hilir, Cilitung dan Ciberes Bangkaderes. (BTNGC, 2014:7). Balai Taman Nasional Gunung Ciremai memaparkan bahwa pengusulan perubahan status tersebut dilatarbelakangi oleh fungsi ekologi Gunung Ciremai yang sangat besar khususnya sebagai daerah catmint area atau daerah tangkapan air yang sangat berperan penting sebagai penyediaan air baik sebagai bahan baku air minum maupun air irigasi pertanian bagi tiga kabupaten di sekitarnya, yaitu Kuningan, Majalengka dan Cirebon. (BTNGC, 2014:8). Pascaberubahnya status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, masyarakat di kawasan kaki Gunung Ciremai merasakan dampak sosial dan ekonomi. Masyarakat yang tadinya menggantungkan hidup dari hutan dan ladang di kawasan Gunung Ciremai harus menyesuaikan diri untuk menaati aturan perundang-undangan mengenai ketentuan Taman Nasional Gunung Ciremai. Dampak dari perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, dirasakan oleh tokoh Lasmi dalam novel SWYTADGE karya Pandu Hamzah. Dulu di awal-awal, Mak Laksmi baik sekali padaku. Namun setelah dia dilarang untuk memiliki lagi ladangnya di Palutungan sana karena katanya Gunung Ciremai akan menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, dia mulai sering uring-uringan dan mudah sekali meledak marah padaku. (Hamzah, 2015:113) Selain banyak mengulas tentang pelestarian Pohon Kiara, dan perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi TNGC. Novel SWYTADGE juga merupakan alat perlawanan penulisnya (Pandu Hamzah) terhadap rencana eksplorasi geothermal Gunung Ciremai oleh Chevron. Novel ini merupakan respons penulis terhadap isu penjualan Gunung Ciremai. Pada tahun 2012 di media sosial dan media masa, ramai diberitakan bahwa Kementrian ESDM dan Pemprov Jawa Barat telah melelang Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Gunung Ciremai kepada Chevron. Melalui beberapa tokoh fiksi dalam novel SWYTADGE diantaranya, Oktaviani Kiara dan Lasmi, penulis memaparkan bahwa eksplorasi geothermal Gunung Ciremai akan banyak mengubah tatanan ekologi Gunung Ciremai dan tatanan sosial masyarakat yang tinggal di kawasan sekitarnya. Novel SWYTADGE juga mengulas keresahan masyarakat yang tinggal di dekat kawasan TNGC. Masyarakat resah menanggapi surat penetapan wilayah kerja tambang geothermal yang akan mencakup 158 desa di lereng Ciremai. Dalam novel ini dilukiskan bagaimana tokoh Juju dan Lasmi penduduk asli lereng Gunung Ciremai berusaha keras untuk mempertahankan tanahnya, meskipun banyak investor yang berniat membeli tanahnya dengan harga tinggi. Keresahan masyarakat dilukiskan dalam novel akibat telah adanya surat penetapan wilayah kerja tambang tanpa terlebih dahulu ada informasi apa pun pada masyarakat. Masyarakat tak diajak ikut serta bicara. Kang Didi menceritakan, Lasmi stres seperti halnya beberapa warga di Pajambon, Cisantana, Palutungan, dan sekitarnya karena kesimpangsiuran informasi. Mereka khawatir akan dipindahtempatkan gara-gara pembangunan instalasi pemanfaatan energi geothermal yang akan dilakukan Chevron, sebuah perusahaan yang berinduk di Amerika. (Hamzah. 2015:67) Apalagi saat ini memang santer kabar akan hadirnya Chevron untuk mengeksploitasi geothermal Gunung Ciremai. Kabar ini sudah membuat beberapa warga resah. Bahkan beberapa ibu-ibu di daerah-daerah yang akan jadi WKP (Wilayah Kerja Pertambangan) seperti Desa Pajambon, Cisantana, Palutungan, dan sebagainya semapat stress. Mungkin Lasmi salah satunya. Ah, tak perlu kita singgung lebih jauh persoalan Chevron ini, yang jelas saat itu aku meminta Kang Didi terus
membantu menelusuri Si Anak Bisu itu, termasuk yang baru melintas dipikiranku adalah; kenapa dia begitu tertarik pada bonsai Kiara kesayanganku? (Hamzah, 2015:78) Dalam novel SWYTADGE diceritakan bahwa terjadi gejolak penolakan masyarakat terhadap eksplorasi geothermal Gunung Ciremai. Gejolak penolakan datang dari berbagai elemen: masyarakat adat, LSM Gempur, aktivis lingkungan, penggerak saveCiremai, pencinta alam, dan juga simpatisan personal masyarakat asli lereng Gunung Ciremai. Gejolak penolakan terjadi secara besar-besaran. “Dalam waktu tak lama lagi semua penduduk Palutungan akan mendukungmu untuk tak setuju biar perusahaan Amerika itu tak jadi membuat … apa itu namanya? Listrik- listrik panas bumi begitu, ya?” “ Iya Ki, geothermal. Mereka dari kelompok yang setuju itu sangat licik. Contoh kecilnya, saya dapat kabar dari seorang penjual mi ayam langganan saya bahwa pernah masyarakat desa diundang untuk mendengarkan sosialisasi dari Chevron dan pemerintah daerah, saat itu mereka diberi amplop sebagai uang duduk, diminta tanda tangan untuk SPJ. Namun akhirna tanda tangan para penduduk itu malah dijadikan data kelengkapan administrasi Amdal.” (Hamzah, 2015:125) “Jangan salahkan masyarakat kalau akhirnya mencurigai bahwa TNGC adalah sebuah modus silent step atau „langkah-langkah hantu„ untuk secara perlahan dan halus menghambarkan ikatan simbiosis mutualisme antara penduduk dengan gunungnya. Memisahkan warga dengan lahannya tercinta. Lantas nanti secara bertahap lahan itu akan diserahkan pada pihak asing untuk dieksploitasi.” (Hamzah, 2015:233) Aku mulai ikut aktif di pergerakan membela hak warga kaki Gunung Ciremai. Benar apa yang dikhawatirkan oleh almarhumah ibuku di tahun 2006 itu, ternyata setelah pada tahun 2004 statusnya menjadi TNGC, delapan tahun kemudian di tahun 2012 ini diadakan proses lelang pengelolaan geothermal yang diprediksi pemenangnya adalah perusahaan Chevron yang berbasis di Amerika. Tentu saja penduduk semakin meradang. Apalagi setelah teman-teman sesama aktivis kasak-kusuk mendapatkan copy surat penetapan wilayah kerja tambang geothermal tersebut yang akan mencakup 158 desa di lereng Ciremai. Namun sampai saat ini tak ada secuil informasi apa pun pada masyarakat. Masyarakat tak diajak ikut serta bicara. Semua yang dilakukan Pemprov dan Pemkab Kuningan serba diam-diam. Serba bisu; seperti langkah-langkah hantu. (Hamzah, 2015:260) Novel SWYTADGE menggambarkan kekhawatiran Oktaviani Kiara dan masyarakat yang tinggal di lereng Gunung Ciremai terhadap dampak yang dapat timbul akibat kegiatan eksplorasi geothermal. Oktaviani Kiara, sangat menghawatirkan berkurangnya pasokan air di Kawasan Gunung Ciremai karena banyak digunakan untuk kegiatan eksplorasi, kekawatiran karena kegiatan mengambil gas panas bumi prinsipnya adalah membuat tatanan baru dari tatanan keseimbangan Ciremai yang sudah tenang dan kalem. Kawasan TNGC merupakan daerah tangkapan air yang luas, memenuhi kebutuhan bahan baku air minum dan irigasi pertanian tiga wilayah, yaitu Kuningan, Majalengka, dan Cirebon. Hal ini menjadi kontradiktif apabila kawasan TNGC menjadi tempat kegiatan eksplorasi geothermal. Teknik ‘fracking’pada eksporasi geothermal merupakan teknik yang paling efisien. Teknik ini mengebor dengan kedalaman ribuan meter ke bawah tanah serta menginjeksi jutaan galon air beserta bahanbahan kimia ke lapisan tanah yang menyimpan energi panas bumi, untuk kemudian diledakkan sehingga panas bumi dapat terlepas dan ditambang. Ketersediaan air di kawasan eksplorasi geothermal dapat berkurang karena penambangan yang rakus air. Gejala ini ditandai dengan menurunnya permukaan tanah dalam jangka panjang. Seperti yang terjadi di wilayah vulkanis Taupo, Selandia Baru,proyek geothermal terbesar kedua di dunia mengalami penurunan muka tanah hingga 14 meter dalam 50 tahun. Bukan hanya itu air sungai di wilayah tersebut juga tercemar arsenik dan udara disekitar pertambangan tercemar oleh CO 2 dan H2S (greeners.co, 2015). Lokasi eksplorasi geotermal umumnya terletak di kawasan gunung berapi yang dibawahnya merupakan kawasan konservasi dan hutan lindung. Sehingga apabila eksplorasi geotermal berlangsung dikhawatirkan akan mengganggu keselarasan ekologi di tempat tersebut. Dampak
langsung proses pengeboran di kawasan hutan yaitu penebangan pohon baik untuk keperluan transportasi maupun pendirian instalasi. Penggundulan hutan ini dapat menimbulkan berkurangnya pasokan air pada masyarakat yang tinggal di lereng gunung. Pada musim hujan bahaya erosi juga tidak akan terelakkan. Gunung Ciremai diperkirakan memiliki potensi geothermal 110 MW (Mega Watt). Sumber enegi ini dapat dimanfaatkan untuk penerangan dan transportasi yang selama ini hampir 100% di Indonesia menggunakan energi listrik. Pemanfaatan energi geothermal dalam bentuk pembangkit listrik tidak membutuhkan pasokan bahan bakar, meskipun demikian apabila eksplorasi tersebut berlebih akan menyebabkan dampak negatif terhadap keseimbangan ekosistem, kerusakan hutan lindung, erosi, berkurangnya ketersediaan air tanah, dan penurunan permukaan tanah. Sampai saat ini aku belum sepenuhnya memahami apa makna dari kata-kata Zasu tersebut. Ada juga kemungkinan jangan-jangan mimpi-mimpi itu lahir dari endapan bawah sadarku yang selama ini memang cukup intens bersama teman-teman untuk menolak hadirnya Chevron mengeksplorasi potensi geothermal Gunung Ciremai. (Hamzah, 2015:270). Bisa jadi kengerian-kengerian yang tervisualisasi di mimpiku itu adalah letupan bawah sadarku yang sangat khawatir bagaimana nanti kelangsungan mata air di Kuningan apabila lereng-lereng Ciremai dibor lima kilometer ke bawahnya. Apakah nanti mata air di Ciremai tidak akan mengalami kekeringan? Sedangkan aku pernah melihat di dekat makam ibuku, sebuah Pohon Kiara Raksaksa ditebang saja telah membuat mata air yang ada di dekat sana jadi mengering. Lantas kalau Kuningan tidak lagi menjadi kawasan konservasi air, bagaimana masa depan kesuburan wilayah kampung halaman ibuku ini? Aku tak bisa membayangkan wilayah ini teramat menjadi gersang. Selain itu, mengambil gas panas bumi prinsipnya adalah membuat tatanan baru dari tatanan keseimbangan Ciremai yang sudah tenang dan kalem. Bagaimana kalau struktur gas sebagai penyangga Ciremai dialirkan, apakah tidak akan terjadi proses disorder? Proses mencari keseimbangan baru yang sangat berisiko. Apalagi Ciremai adalah gunung aktif. Mengapa untuk mendapatkan energi, manusia selalu mendisharmoniskan keseimbangan alam? Mengapa tidak memanfaatkan energi angin, matahari, air terjun yang sifatnya tidak melukai bumi? (Hamzah, 2015:271) Memikirkan persoalan Ciremai, pagi hari tadi itu aku seolah menemukan jalan. Aku ingin menemui teman-temanku dari gerakan klandesten anti-ekspoitasi geothermal Ciremai oleh asing yang suka ngumpul di dekat Bumi Perkemahan Palutungan. Mereka gabungan dari berbagai entitas. Ada masyarakat adat, ada LSM Gempur, ada para pencinta alam, ada penggerak save Ciremai, juga para simpatisan personal. Meskipun aku termasuk simpatisan yang jarang hadir dan pendiam, namun kurasa mereka akan menanggapi kegelisahanku dengan penuh pemahaman. Tak akan menganggapku gila manakala kuceritakan segala mimpi tentang bencana Ciremai yang sebulan lebih membebaniku. (Hamzah, 2015: 271) Itu bukan berarti mereka tidak rasional. Mereka pintar, sangat mencintai lingkungan serta masyarakatnya. Saat menyimak mereka sedang berdiskusi tentang pendapatan yang dialokasikan Chevron pada masyarakat Ciremai yang jauh lebih kecil dari Potential Economic Loss penghasilan desa-desa tersebut, saat mereka berapi-api menyebutkan bahwa diincar asing itu sebenarnya bukan semata-mata geothermal saja, tapi unsur tambang logam lain yang jauh lebih mahal, kerap kali aku berpikir betapa pintar cerdas dan pedulinya sebenarnya putra-putri tanah air ini. Mengapa pemerintah tidak berpikir panjang dan strategis, andai saja energi fosil masih ada cadangan untuk dua puluh tahun lagi, mengapa mereka tak berpacu dengan waktu untuk berinvestasi mendidik putraputri bangsa supaya kelak bisa mengolah sendiri sumber daya alam tanah airnya? (Hamzah, 2015:272) Novel ini pun memiliki ending cerita yang luar biasa, dimana pada akhirnya Lelaki Penebang Pohon, Si Hitam, Gadis Ajag, Zasu, dan Oktaviani Kiara memutuskan untuk menanam kembali Pohon Kiara di bekas lokasi Pohon Kiara Raksaksa ditumbangkan, hal ini dilakukan untuk tetap menjaga dan menjadikan kawasan tersebut sebagai penyangga hutan Gunung Ciremai. Secara mengejutkan dalam
novel ini pun dijelaskan bagaimana secara mendadak Chevron mengundurkan diri dari Gunung Ciremai. Dan dari tendanya masing-masing, mereka keluar dengan wajah secerah fajar. Berlatarkan siluet Gunung Ciremai yang masih tersaputi kabut tipis damai, kusaksikan kebahagiaan Lelaki Penebang Pohon yang dengan mengembalikan diriku ke sini sudah terhembalang beban hatinya akibat menebang Kiara leluhurku, begitu juga Kiara yang menemukan kedamaian hatinya, Si Hitam yang berbahagia, Gadis Ajag yang gembira mendapatkan kembali pohon Kiara, Zasu yang telah menunaikan tugasnya, ribuan malaikat kebahagiaan, Burung Walik yang menclok di sebuah dahan nun di kejauhan sana….(Hamzah, 2015:284) Pada awal tahun 2015 secara mendadak Chevron mengundurkan diri dari Gunung Ciremai. Tak ada alas an pasti mengapa Chevron tiba-tiba mundur dari proyek yang sudah memakan proses teramat panjang itu. (Hamzah, 2015:290) Pandu Hamzah menutup novelnya dengan ungkapan Dan memang cerita tak akan pernah selesai. Kelak banyak manusia yang ingin ke sini untuk mengebor bumi, mengambil energi panasnya untuk menggemerlapkan kehidupan, banyak juga yang akan bertaruh nyawa untuk menentangnya. (Hamzah, 2015:285) Penutup Dengan menggunakan perspektif ekokritik, novel Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth dapat dipahami sebagai salah satu fiksi bernuansa sastra hijau. Novel SWYTADGE mengangkat tema tentang lokalitas alam wilayah Gunung Ciremai, novel ini berbicara tentang konsep pelestarian pohon, dan keseimbangan hayati di wilayah Gunung Ciremai. Penulis juga menyinggung tentang keresahan masyarakat akan adanya ancaman kegiatan eksplorasi geothermal Gunung Ciremai yang dikuasai oleh pihak asing. Pandu Hamzah dalam novelnya mengemas pemahaman tentang pentingnya hubungan yang selaras antara manusia, hewan, dan mahluk Tuhan yang lainnya (Ulu-Ulu) dengan alam, dengan hutan, dengan pohon di wilayahnya. Mengkaji novel SWYTADGE mengajak pembaca memperoleh pemahaman bahwa alam tidak boleh hanya dipandang secara pragmatis sebagai objek pelengkap semata, tapi juga harus dipandang sebagai sesama subjek kehidupan. Keramahan yang diberikan alam tak lepas dari kata keselarasan.
DAFTAR PUSTAKA Abidin Anwar, Dading. 2008. Kuningan dalam Kenangan Remaja-Pemuda dari Masa ke Masa. Jakarta:Pustaka Nawaitu. Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Sulawesi. Fillicium decipiens. Informasi Singkat Benih no.137, November 2012. Diakses pada tanggal 5 Agustus 2015. Dreese, Donelle N. 2002. Ecocriticism: Creating Self and Place in Enviromental and American Indian Literature. New York: Peter Lang Publishing. http:// burukab. Go,id/web3. Diunduh melalui google. Com, 17 September 2014. Endraswara, Suwardi. 2013. Teori Kritik Sastra. Jakarta: Buku Seru. Ginanjar, Mufti, dkk. 2014. Jelajah Wisata Alam Taman Nasional Gunung Ciremai. Kuningan:Taman Nasional Gunung Ciremai. Greeners.co.2015. Walhi Khawatirkan Dampak Negatif tambang Panas Bumi di Gunung Ijen. http://www.greneers.co/berita/walhi-khawatirkan-dampak-negatf-tambang-panas-bumi-di-gunungijen/. Diakses tanggal 5 Agustus 2015.
Hamzah, Pandu. 2015. Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth. Ciputat: Literati. Love, Glen A. 2003. Practical Ecocriticism, Literatur, Biology, and the Environment. USA: University of Virginia Press. Nurgiantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. Ratna, Nyoman Khuta. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar. Sayuti, Sumitro A. 2014. Prosiding seminar Nasional bahasa dan sastra dalam persfektif Ekologi dan Multikulturalisme. Yogyakarta :Fakultas Bahasa dan Seni UNY.