KAJIAN TENTANG BIAYA KORUPSI DAN BESARAN HUKUMAN YANG DIBERIKAN United Nations Office on Drug and Crimes 29 November 2016
KAJIAN TENTANG BIAYA KORUPSI DAN BESARAN HUKUMAN YANG DIBERIKAN DI INDONESIA United Nations Office on Drug and Crimes 29 November 2016
Peneliti, Abraham Wirotomo Rimawan Pradiptyo Timotius Hendrik Partohap Silitonga
Naskah asli: Wirotomo, et al. 2016. Study on Corruption Damage and Sentences Punishment Severity in Indonesia. Working Report, United Nations Office on Drug and Crimes. Setiap konten dalam dokumen ini adalah dari dan menjadi tanggung jawab penulis/peneliti yang belum tentu merepresentasikan opini dari UNODC.
United Nations Office on Drug and Crimes Jakarta, Indonesia
LATAR BELAKANG “Kasus korupsi bukan fenomena yang langka di Indonesia (World Bank, 2003)”
Bukan fenomena langka Hadirnya praktik korupsi di tengah masyarakat Indonesia bukanlah suatu fenomena baru ataupun langka. Berdasarkan laporan dari Bank Dunia (2003), membayar uang “pelicin” ketika mengurus dokumen-dokumen, ijin, dan surat-surat yang terkait dengan pemerintah adalah suatu hal yang bisa ditemui di semua sektor dan semua wilayah di Indonesia. Siapa yang dirugikan?
Siapa yang menanggung?
Dengan adanya praktik korupsi, masyarakat sebenarnya telah menjadi korban dan dirugikan dari aksi yang dilakukan para koruptor.
Berdasarkan kajian KPK (2013), hukuman finansial yang diberikan kepada koruptor masih jauh dibawah dari besaran kerugian yang diakibatkan dari aksi korupsi.
Manusia rasional? Menurut analisis ekonomi, manusia dipandang sebagai makhluk yang rasional. Apabila keuntungan yang diperoleh dari suatu aksi lebih besar dari biayanya maka dia akan melakukan aksi tersebut (Becker 1968, Gibbs 1986).
UNCAC Pada tahun 2006, pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang UNCAC. Melalui UU tersebut pemerintah telah mengesahkan UNCAC sebagai suatu kesepakatan yang sah. Ini artinya apa yang telah disepakati dalam UNCAC dipandang perlu untuk dijalankan.
Pasal 35 UNCAC
Payung Hukum Indonesia
Pemerintah perlu mengusahakan para korban korupsi untuk mendapatkan kompensasi dari koruptor atas kerugian yang dialami akibat hadirnya praktik korupsi.
Untuk meratifikasi pasal 35 UNCAC, Indonesia sudah memiliki UU 8/1981 dan KUHAP pasal 98-101 sebagai payung hukum untuk memaksa koruptor membayar ganti rugi kepada para korban.
Studi ini Studi ini menginvestigasi biaya korupsi dan besaran hukuman yang diberikan kepada koruptor dengan menganalisis 1,441 kasus korupsi dari tahun 2001 hingga 2015. Terdapat lima topik yang menjadi perhatian dari studi ini, sebagai berikut: 1. Karakteristik biaya korupsi 2. Karakteristik hukuman yang diberikan 3. Hubungan antara biaya korupsi dengan hukuman yang diberikan 4. Perbedaan kondisi antara sebelum dan setelah Indonesia meratifikasi UNCAC 5. Kompleksitas dalam mengidentifikasi korban korupsi Pendekatan kuantitatif digunakan untuk no. 1-4 dan pendekatan kualitatif digunakan untuk no. 5.
Kerangka Berfikir Studi ini menggunakan kerangka berfikir economics of laws, dimana peraturan, hukum, hasil putusan pengadilan, proses hukum dan hal lainnya yang terkait dengan hukum dianalisis dengan menggunakan pendekatan dan prinsip ekonomi. Korupsi sebagai fenomena yang kompleks •
•
Mengingat korupsi bersifat rahasia, memiliki banyak wujud dan bisa terjadi kapan saja serta di mana saja, diperlukan lebih dari satu pendekatan untuk mengidentifikasi dampak dari korupsi. Meskipun ada pertanyaan mengenai akurasi dan persisi dari kajian mengenai dampak korupsi namun secara umum telah disepakati bahwa korupsi memiliki dampak negatif.
Victimology •
Identifikasi siapa yang menjadi korban korupsi masih belum menjadi praktik yang umum.
•
Terminologi ‘kerugian negara’ yang tercatat pada putusan pengadilan dianggap sebagai nilai kerugian yang ditanggung oleh masyarakat akibat aksi korupsi.
•
Pemerintah menjadi pihak yang mewakili para korban. Uang pengganti ataupun ganti rugi yang dibayar oleh koruptor kepada pemerintah dianggap sebagai bagian dari kompensasi dari koruptor
Kerangka Berfikir (lanjutan) Terdapat tiga konsep tentang kerugian: 1. Expectation damage= biaya langsung + biaya kesempatan + biaya antisipasi 2. Reliance measure= biaya antisipasi 3. Restitution damage= biaya langsung Hukum Indonesia •
Berdasarkan UU 15/2006, BPK melihat biaya kerugian negara hanya mencakup biaya langsung i.e. konsep restitution damage.
•
Ini berbeda dari KUHAP 98-101 yang juga mencakup biaya antisipasi i.e. reliance measure dan restitution damage.
•
Belum ada payung hukum yang pasti untuk biaya kesempatan.
DATA & METODE “Studi ini menggunakan putusan pengadilan yang dianalisis dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.”
Data Analisis Kuantitaif •
Mengumpulkan 1,441 putusan kasus korupsi
•
Putusan dari tahun 2001-2015
•
Putusan yang tersedia di website MA
•
Analisis Kualitatif •
Menganalisis secara mendalam dari 10 putusan sebagai berikut: 1.
105-K-Pid.Sus-2013
Seluruh putusan merupakan hasil putusan pengadilan tingkat MA untuk memastikan mendapatkan putusan yang telah incrah
2.
1100-K-Pid.Sus-2011
3.
2547-K-Pid.Sus-2013 1136-K-Pid.Sus-2014
•
Informasi dari putusan dikonversi ke dalam format numeric
4. 5.
105-K-Pid.Sus-2013
•
Seluruh nilai moneter dikonversi dengan tahun dasar 2015
6.
1891-K-Pid.Sus-2013
7.
64-PK-Pid.Sus-2012
•
Data disimpan dalam format .dta (Data Stata)
8.
2638-K-Pid.Sus-2010
9.
1512-K-Pid.Sus-2013
10. 961-K-Pid.Sus-2014
Metode: Analisis kuantitatif Analisis Kuantitaif •
Deskripsi statistik umum e.g. nilai rata-rata, median, deviasi standar, minimum, dan maksimum
•
Konversi basis bilangan natural untuk penghalusan sebaran data (smoothing)
•
Uji-t untuk uji beda
Metode: Analisis kualitatif Sektor: Sumber Daya Alam, Infrastruktur, Pelayanan Publik, Perdagangan
Penggelapan Penyuapan Pemerasan
Putusan Mahkamah Agung 2002 - 2015
Klasifikasi Putusan: Sektor & Tipe Korupsi
Analisis Delik Dakwaan dan Putusan Hakim
Analisis Konten Sistema;k (Hall & Wright, 2008)
Penentuan TInggi – Rendah Hubungan Terdakwa Korupsi dan Korban
Hasil
Metode: Analisis kualitatif UU 31/1999 & UU 20/2001 Studi Biaya Sosial Korupsi, KPK 2012
Pemerasan
Suap - Menyuap Penggelapan dalam Jabatan
• Pasal 12e, 12f, 12g
• Pasal 5 • Pasal 6 (2) • Pasal 11 • Pasal 12a, 12b, 12c, 12d • Pasal 13
• Pasal 8 • Pasal 9 • Pasal 10a, 10b, 10c
Perdagangan Sumber Daya Alam Pelayanan Publik Infrastruktur
HASIL & DISKUSI “Koruptor belum membayar kompensasi.”
Descriptive Statistic of the Sentence (2001-2015)
Unit
Mean
Median
Std.Dev
Min
Max
Obs
Million IDR
79,562
591
1,214,531
0
36,600,000
2,563
Probation Punishment
Month
4
0
9
0
24
317
Jail Punishment
Month
34
24
31
1
636
2,559
Fines Punishment
Million IDR
199
103
489
0
11,838
2,323
Compensation Punishment
Million IDR
13,393
161
157,905
0
4,847,144
1,381
Asset Confiscation Punishment
Million IDR
4,357
142
36,328
0
801,859
530
Total Financial Punishment
Million IDR
8,706
218
120,442
0
4,847,226
2,443
Cost of Corruption
Keterangan: Biaya korupsi memiliki rata-rata dan median lebih besar dibandingkan rata-rata dan median hukuman denda, hukuman pengganti, hukuman penyitaan aset; bahkan lebih besar dari total hukuman finansial (gabungan denda, pengganti, dan penyitaan).
Hasil ini menunjukkan para koruptor yang telah diputus bersalah di Indonesia belum diberikan hukuman yang setimpal. Secara rata-rata, satu koruptor yang terbukti bersalah merugikan masyarakat sebesar 79 miliar namun hanya mengganti kerugian tersebut sebesar 9 miliar (hanya 11%). Perlu diingat, nilai biaya korupsi yang ada di putusan hampir seluruhnya merupakan biaya langsung belum mempertimbangkan biaya antisipasi dan biaya kesempatan.
Distribution Size of Corruption
Keterangan: Sebagian besar (82%) kasus korupsi merupakan kasus dengan nilai biaya korupsi di atas 100 juta. Kasus korupsi terbanyak (40%) merupakan kasus korupsi dengan biaya korupsi sedang, antara 100 juta hingga 1 milyar.
Distribution of Convicted Offenders by Affiliation
Mengingat korupsi terkait dengan fasilitas, kewenangan, dan aset negara maka terpidana koruptor umumnya adalah orang-orang yang bekerja untuk negara i.e. pegawai negeri sipil.
Keterangan: Sebagian besar (44%) terpidana kasus korupsi berasal dari PNS. Terpidana terbanyak kedua adalah dari swasta (26%) Sebagian kecil terpidana berasal dari lembaga independen (2%) dan kepala daerah (3%). Contoh lembaga independen: Bank Indonesia, KPPU, dan KPU.
Descriptive Statistic of Cost of Corruption by Affiliation
Affiliation
Cost of Corruption (mill IDR) Mean
Median
Std. Dev
Min
Obs
Max
Civil Servants
24,188
392
346,474
0
8,423,417
1,114
SOEs
58,455
2,354
401,360
1
4,832,315
149
1,320,001
2,577
6,064,293
24
36,600,000
62
4,069
689
24,339
5
479,948
484
Mayor/Regent
24,049
4,040
47,440
26
274,820
75
Other/Private
123,344
510
1,380,378
1
20,400,000
670
1,093
155
1,761
5
5,151
9
Independent Legislative
n/a
Keterangan: Berdasarkan nilai rata-rata dan median, koruptor dari lembaga independen memiliki biaya korupsi yang paling besar sedangkan koruptor dari legislatif memiliki biaya korupsi paling kecil.
Hasil ini menunjukkan meskipun PNS adalah terpidana korupsi terbanyak namun biaya korupsi per terpidana terbesar justru dari lembaga independen. Kasus BLBI yang merugikan negara hingga triliunan melibatkan beberapa orang dari Bank Indonesia. Adanya kasus BLBI menjadi salah satu penyebab mengapa biaya korupsi dari lembaga independen menjadi sangat besar. Hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah rendahnya biaya korupsi dari legislatif. Hasil ini belum tentu berarti korupsi di legislatif memiliki kerugian yang kecil. Hukum korupsi di Indonesia belum mengadopsi state captured corruption, sehingga biaya korupsi yang tercatat dalam putusan pengadilan hanya mencatat nilai suap namun tidak mencatat kerugian yang muncul dari hukum/aturan yang mengutamakan kepentingan kelompok tertentu.
Convicted Offenders by Region
Keterangan: Sebagian besar (29%) terpidana kasus korupsi berasal dari Jawa. Sebagian kecil terpidana berasal dari Papua (4%)
Descriptive Statistic of Cost of Corruption by Region
Region Jabodetabek
Cost of Corruption (mill IDR) Mean
Median
Std. Dev
Min
Obs
Max
307,905
4,632
2,453,235
3
36,600,000
416
6,988
557
60,164
0
1,477,271
731
113,982
352
1,469,866
1
20,400,000
578
11,435
866
62,161
4
650,909
224
Celebes
4,954
264
41,563
6
549,494
359
Bali-Nusa
1,083
229
3,349
2
33,419
135
Papua-Moluccas
3,079
368
10,954
4
79,055
111
N/A
1,360
852
1,364
4
3,005
9
Java Sumatera Borneo
Keterangan: Berdasarkan nilai rata-rata dan median, koruptor dari Jabodetabek memiliki nilai biaya korupsi terbesar sedangkan koruptor dari Bali-Nusa memiliki nilai biaya korupsi terkecil.
Hasil ini mengindikasikan nilai korupsi semakin besar ketika koruptor semakin dekat dengan pusat pemerintahan atau semakin dengan episentrum politik Indonesia.
Percentage of Convicted Offenders that Sentenced to Pay Compensation
Hasil ini mengindikasikan hanya sebagian terpidana yang diputuskan untuk membayar kompensasi atas kerugian dari aksi korupsi mereka.
Keterangan: Dari seluruh terdakwa yang diputuskan bersalah hanya 54% terpidana yang dihukum membayar uang pengganti.
Compensation Punishment by Size of Corruption Meskipun baru sebagian terpidana yang dihukum membayar ganti rugi namun hasil ini mengindikasikan semakin besar nilai biaya korupsi semakin besar kemungkinan untuk dijatuhi hukuman untuk membayar ganti rugi.
Statistic Descriptive of Compensation Punishment by Cost of Corruption
Compensation Punishment
Cost of Corruption (mill IDR) Mean
Median
Std.Dev
Min
Max
Obs
No
87,502
569
1,428,906
0
36,600,000
1,180
Yes
72,893
603
997,014
2
20,400,000
1,381
Keterangan: Berdasarkan nilai rata-rata, koruptor dari yang dihukum membayar ganti rugi memiliki nilai biaya korupsi yang lebih rendah namun hasil sebaliknya jika dilihat dari nilai median.
Hasil ini mengindikasikan meski kemungkinan dihukum membayar ganti rugi meningkat ketika biaya korupsi meningkat namun itu baru terjadi jika terpidana telah diputus harus membayar ganti rugi. Pola serupa tidak terlihat jika melihat seluruh terdakwa yang terbukti bersalah.
Cost of Corruption and Compensation Punishment Hasil ini mengindikasikan bagi terpidana yang telah diputuskan bersalah dan diputuskan untuk dihukum membayar ganti rugi maka besaran ganti rugi yang harus dibayar akan semakin besar jika biaya korupsi semakin besar.
Compensation Punishment by Affiliation/Job
Hasil ini mengindikasikan bagi terpidana yang berasal dari swasta (66%), kepala daerah (65%), dan legislatif (63%) lebih besar kemungkinannya dijatuhi hukuman membayar ganti rugi dibandingkan dengan yang memiliki afiliasi atau pekerjaan lain.
Compensation Punishment by Regions
Hasil ini mengindikasikan bagi terpidana yang berasal dari Jabodetabek lebih mungkin untuk tidak membayar kompensasi atas kerugian dari aksi korupsi yang mereka telah lakukan dibandingkan dengan apabila terpidana berasal dari daerah lain.
Compensation Punishment Before and After UNCAC Ratification t-test
Compensation Punishment (mill IDR)
Group
Obs
Before UNCAC
Mean
Std. Err.
Std. Dev.
[95% Conf. Interval]
221
31,971
22,201
330,046
-11,784
75,725
After UNCAC
1,160
9,854
2,775
94,514
4,409
15,299
Combined
1,381
13,393
4,249
157,905
5,058
21,729
22,117
11,578
-597
44,830
diff
diff = mean before UNCAC - mean after UNCAC Ho:diff = 0 Ha: diff < 0
Ha: diff != 0
Ha: diff > 0
t = 1.9102
Pr(T < t) = 0.9718
Pr(T > t) = 0.0563
Pr(T > t) = 0.0282
df = 1379
Keterangan: Dengan menggunakan alpha 10%, rata-rata besaran ganti rugi signifikan secara statistik lebih kecil setelah UNCAC
Hasil ini mengindikasikan besaran ganti rugi yang dibayar oleh koruptor justru semakin kecil setelah pemerintah menerbitkan UU 7/2006 atau setelah meratifikasi UNCAC. Hasil ini mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menjalankan UNCAC artikel 35.
Cost of Corruption and Compensation Punishment Before and After UNCAC Ratification
Hasil ini mengindikasikan bagi terpidana yang telah diputuskan bersalah dan diputuskan untuk dihukum membayar ganti rugi maka besaran ganti rugi yang harus dibayar akan semakin besar jika biaya korupsi semakin besar, baik sebelum maupun setalah pemerintah Indonesia meratifikasi UNCAC.
Cost of Corruption and Compensation Punishment Before and After UNCAC Ratification t-test
Ratio Cost of Corruption/Compensation Punishment
Group
Obs
Before UNCAC
Mean
Std. Err.
Std. Dev.
[95% Conf. Interval]
221
13
3
39
8
19
After UNCAC
1,160
35
7
244
21
49
Combined
1,381
32
6
224
20
44
-22
16
-54
10
diff
diff = mean before UNCAC - mean after UNCAC Ho:diff = 0 Ha: diff < 0
Ha: diff != 0
Ha: diff > 0
t = -1.3252
Pr(T < t) = 0.0927
Pr(T > t) = 0.1853
Pr(T > t) = 0.9073
df = 1379
Keterangan: Dengan menggunakan alpha 10%, rata-rata besaran rasio biaya korupsi dan ganti rugi signifikan secara statistik lebih kecil setelah UNCAC
Hasil ini mengindikasikan setelah disesuaikan dengan besaran biaya korupsi, besaran ganti rugi yang dibayar oleh koruptor tetap semakin kecil setelah pemerintah menerbitkan UU 7/2006 atau setelah meratifikasi UNCAC. Hasil ini semakin mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menjalankan UNCAC artikel 35.
Victims Identification Matrix
Trade
Public Service
Infrastructure High (par;cular vic;ms)
Natural Resources
Extor9on
N/A
High (par;cular vic;ms)
Bribery
High – Low (can be par;cular)
High – Low (can be par;cular) Low (no par;cular vic;ms)
High – Low (can be par;cular)
Embezzlement
N/A
Low (no par;cular vic;ms)
Low (no par;cular vic;ms)
High – Low (can be par;cular)
High (par;cular vic;ms)
Keterangan: High: mudah; High-Low: tidak mudah; Low: sulit
Hasil ini menunjukkan korban korupsi mudah diidentifikasi apabila korupsi tersebut berupa pemerasan dan terjadi di sektor pelayanan umum, pembangunan infrastruktur, dan sumber daya alam. Korban tidak mudah diidentifikasi apabila korupsi tersebut berupa penyuapan dan terjadi di sektor perdagangan, pelayanan umum, dan sumber daya alam. Korban juga tidak mudah diidentifikasi apabila korupsi tersebut berupa penggelapan dan terjadi di sektor pembangunan infrastruktur. Korban cenderung sulit diidentifikasi apabila korupsi berupa penyuapan dan terjadi di sektor pembangunan infrastruktur dan juga sulit diidentifikasi apabila korupsi berupa penggelapan dari terjadi di sektor pelayanan umum dan sumber daya alam. Hasil ini juga menunjukkan jenis korupsi dan sektor dimana korupsi terjadi mempengaruhi tingkat kesulitan dalam mengidentifikasi korban korupsi.
KESIMPULAN & REKOMENDASI “Kebijakan anti-korupsi Indonesia masih perlu banyak perbaikan.”
Kesimpulan
Rekomendasi
•
Korban korupsi masih sangat jauh untuk bisa dikatakan sudah mendapatkan kompensasi dari pelaku korupsi.
•
Perlu kajian lebih lanjut untuk memahami proses hukum terkait penentuan hukuman dan besarannya uang pengganti.
•
Komitmen pemerintah Indonesia dalam meratifikasi UNCAC, khususnya pasal 35, patut untuk dipertanyakan.
•
•
Tanpa ada reformasi dalam kebijakan antikorupsi, masyarakat Indonesia akan menderita kerugian yang lebih besar dari aksi korupsi.
Dokumen putusan pengadilan memiliki informasi yang sangat komprehensif, jika dikelola dengan baik, pemerintah dapat menggunakannya sebagai bahan dalam mengembangkan dan mengevaluasi kebijakan anti-korupsi.
•
Dengan menggunakan data dari putusan pengadilan, terdapat beberapa hal yang layak untuk dieksplorasi lebih lanjut, antara lain: (i) jenis hukuman lain; (ii) korupsi berdasarkan sektor; (iii) modus operandi korupsi; (iv) perbedaan antara yang ditangani KPK dan Kejaksaan.