KARDIOVERSI PADA FIBRILASI ATRIUM

Download Fibrilasi Atrium merupakan aritmia yang sering terjadi. Saat ini, 1% dari seluruh populasi sudah terinfeksi, dan kejadiannya cenderung meni...

1 downloads 600 Views 21MB Size
KARDIOVERSI PADA FIBRILASI ATRIUM

STARRY HOMENTA RAMPENGAN

CMYK / C=0 M=15 Y=100 K=0 RGB/ R=246 G=219 B=0 Web/ #f6dB00 PMS/ Pantone 109 C

CMYK / C=0 M=0 Y= 0 K=100 RGB/ R=35 G=31 B=32 Web/ #231f20

BADAN PENERBIT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

i

Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin editor dan penerbit.

Dicetak pertama kali oleh : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, Maret 2015

Pencetakan buku ini dikelola oleh : Badan Penerbit FKUI, Jakarta Website: www.bpfkui.com isi diluar tanggung jawab percetakan

ISBN

ii

KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat kasih dan tuntunanNya yang telah memperkenankan penulis untuk dapat menyelesaikan buku yang diberi judul “Kardioversi Pada Fibrilasi Atrium”. Fibrilasi Atrium merupakan beban utama pada pasien yang terkena penyakit ini. Lebih dari 20 tahun hampir tidak ada inovasi farmakologi pada penyakit ini. Fibrilasi Atrium merupakan aritmia yang sering terjadi. Saat ini, 1% dari seluruh populasi sudah terinfeksi, dan kejadiannya cenderung meningkat. Tapi saat ini teknik ablasi modern dan perawatan dengan obat baru memberi harapan untuk membawa perubahan dalam kualitas hidup dan mengurangi angka morbiditas. Buku ini berisi tentang kemungkinan pengobatan Fibrilasi Atrium dengan menggunakan kardioversi elektrikal atau farmakologikal. Prioritas utama ditujukan pada pedoman pengobatan praktis. Dalam hal ini, aspek esensial dari epidemiologi, patofisiologi, ekokardiografi dan antikoagulan akan dibahas. Sehingga buku ini diharapkan dapat relevan untuk para pembacanya, tertutama bagi para peminat ilmu kardiovaskular, dan lebih luasnya lagi bagi mereka yang berada pada profesi serta disiplin ilmu dalam bidang kesehatan. Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang boleh memberikan bantuan baik berupa tenaga, doa, kritik dan saran yang membangun dalam upaya menyempurnakan tulisan ini. Penulis menyadari buku ini tidak terlepas dari kekurangannya, karena itu jika ada kritik ataupun saran dari pembaca akan sangat berarti bagi penulis untuk menyempurnakan buku ini. Semoga buku ini membawa manfaat bagi kita semua. Manado, 14 Februari 2015 Penulis Starry Homenta Rampengan iii

UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada mereka yang dengan tidak jemu-jemu memberikan saya pengetahuan, arahan, dukungan maupun bimbingan. Mereka tidak pernah berhenti memberikan saya berbagai masukan yang sangat bermanfaat, memberikan saya semangat untuk terus berkarya, meneliti bahkan menulis buku. Buku ini saya tulis dengan berbagai dukungan dan semangat dari mereka. 1. Kedua orang tua saya, Prof. dr. Tonny H. Rampengan, SpA-K dan Prof. dr. Jenny Pangemanan, DAF, SpFK, dan istri tercinta dr. Inneke Sirowanto, SpOG, yang sangat peduli dan selalu mendorong saya untuk terus berkarya. 2. Rektor UNSRAT, Prof. Dr. Ir. Ellen J. Kumaat M.Sc, DEA, dan para Pembantu Rektor, Prof. dr. Jimmy Posangi, MSc PhD; Dr. Flora Kalalo, SH, MH; Prof. Dr. Ir. Hengkie J. Kiroh, MS; Prof. Dr. Ir. Sangkertadi, DEA. 3. Para sesepuh dan guru saya di FKUI, Prof. dr. Lily I. Rilantono, SpJP(K), FIHA, FACC; Prof. Dr. dr. Budhi Sethianto, SpJP(K), FIHA; Prof. dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP(K); dr. Sunarya Soerianata, SpJP(K), FIHA, FESC, FACC, FSCA, FAPSIC; Dr. dr. Bambang Budi Siswanto, SpJP(K), FIHA, FAsCC, FAPSIC; Dr. dr. Muhammad Munawar, SpJP(K), FIHA, FESC, FACC, FSCAI, FAPSIC, FAsCC; Prof. Dr. dr. Idris Idham, SpJP(K), FIHA, FESC, FAHA, FACC; Prof. dr. Ganesja M. Harimurti, SpJP(K), FIHA; dr. Nani Hersunarti, SpJP(K), FIHA. 4. Para sesepuh dan guru saya di FK Unsrat Manado, Prof. Dr. dr. Reggy L. Lefrandt, SpJP(K), FIHA, FSGC, FAHA; dr. J. H. Awaloei, SpPDKKV, SpJP; dr. R. A. Azis, SpJP (K), FIHA, yang selalu memberikan masukan. 5. Dekan FK UNSRAT dan para Pembantu Dekan, Prof. Dr. dr. Adrian Umboh; SpA(K), Dr. dr. Billy Kepel, Mmed, Sc; Dr. dr. Ora et Labora Palandeng, SpTHT-KL; dr. James Siwu, SH. iv

6. Para Guru, senior dan teman sejawat di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unsrat, BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, Dr. BJ Waleleng, SpPD,K-GEH; dr. Frans Wantania, SpPD; Prof. dr. LWA Rotty, SpPD, K-HOM; dr. Fandy Gosal, MPPM, SpPD; dr. Harlinda Horoen, SpPD, K-HOM; dr. Jeffrey Ongkowijaya, SpPD, K-R; dr. Eko Surachmanto, SpPD, K-AI; Prof. dr. EA Datau, SpPD, K-AI; Prof. dr. AMC Karema-Kaparang, SpPD, K-R; Prof. dr. Nelly Tendean-Wenas, SpPD, K-GEH; Prof. Dr. dr. Emma Moeis, SpPD, K-GH, Prof. dr. EJ Joseph, SpPD, K-GH; dr. Stella Palar, SpPD, K-GH; Prof. Dr. dr. Karel Pandelaki, SpPD, K-EMD, dr. Yuanita langi, SpPD, K-EMD; dr. MCP Wongkar, SpPD; dr. Edward Jim, SpPD, K-GER; dr. Veni Mandang, SpPD; dr. Ventje Kawengian, SpPD; dr. PN Harijanto, SpPD, K-PTI; dr. Agung St. Nugroho, SpPD, K-PTI; dr. Harlinda Haroen, SpPD, K-HOM. 7. Sahabat-sahabat saya yang selalu memberikan motivasi, dr. Surya Dharma; PhD, SpJP(K), FIHA, FESC, FAPSIC, FSCAI, FICA; dr. Dafsah Arifa Djuzar, SpJP(K), FIHA; dr. Radityo Prakoso, SpJP(K); dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA, FESC, FAPSIC. 8. Kepada para teman sejawat dr. A. Lucia Panda, SpPD, SpJP(K); dr. Janry A. Pangemanan, SpJP(K) yang telah begitu memotivasi dan memberi dukungan dalam penyelesaian buku ini. 9. Seluruh tim Jade Cardiovascular Clinic, Sitti Nur Asti Abubakar, Skep; Stevi Grace Dungir, SSi; Fanty Julita Wowor, SKM; Ketlien Kawulusan; Stevianti Asista Lumombo, Amd.Kep; Richo Rumfaan, SKep, Ns; Febriani S. Tampoli, Amd.Kep; Sheren Lalenoh, SPd. Sekali lagi terima kasih buat para guru dan pembimbing saya yang selalu setia dan aktif memberikan semangat dan motivasi untuk terus berkarya. Tuhan memberkati kalian….....

Salam Kasih, Starry Homenta Rampengan v

vi

DAFTAR ISI BAB I Relevansi medis fibrilasi atrium .......................................................

1

1.1. Fibrilasi atrium dan mortalitas ...................................................

5

1.2. Fibrilasi atrium dan stroke ..........................................................

9

1.3. Fibrilasi atrium dan kualitas hidup .............................................

11

1.4. Dampak sosial ekonomi dan biaya pengobatan akibat fibrilasi atrium .....................................................

12

Daftar Pustaka .................................................................................

13

BAB II Patofisiologi fibrilasi atrium ..............................................................

14

2.1. Dasar patofisiologi fibrilasi atrium .............................................

14

2.2. Remodeling morfologi sel-sel atrium .........................................

17

2.3. Remodeling morfologi jaringan interstisial ................................

18

2.4. Konversi elektrik dan sel punca (stem cells) perifer ..................

22

2.5. Kardioversi dan fungsi ginjal .....................................................

26

2.6. Pendekatan terapi farmakologik baru .......................................

27

2.7. Patofisiologi trombogenesis atrium ...........................................

28

Daftar pustaka .................................................................................

31

BAB III Prinsip dasar terapi dan kardioversi fibrilasi atrium .........................

32

3.1. Kontrol denyut (rate control) .....................................................

35

3.2. Kontrol irama (rhythm control) ..................................................

36

3.3. Kardioversi untuk fibrilasi atrium ...............................................

38

3.4. Keberhasilan kardioversi tergantung pada durasi AF ...............

39

3.5. Mekanisme farmakologik kardioversi ........................................

39

3.6. Terapi jangka pendek dengan menggunakan antiaritmia .........

40 vii

3.7. Uji klinis upstream therapy ........................................................

41

3.8. Keterbatasan terapi menggunakan obat ...................................

45

Daftar pustaka ..................................................................................

49

BAB IV Ekokardiografi sebelum tindakan kardioversi ..................................

50

4.1. Patogenesis fibrilasi atrium .......................................................

50

4.2. Left atrial appendage ................................................................

50

4.3. Transesofagel ekokardiografi (TEE) ..........................................

51

4.4. TEE dua dimensi .......................................................................

53

4.5. Kontras ekokardiografi spontan (spontaneous echo contrast) ....................................................

54

4.6. Trombi .......................................................................................

55

4.7. TEE tiga dimensi .......................................................................

56

4.8. Transtorasik ekokardiografi (TTE) .............................................

56

4.9. Prediktor keberhasilan ekokardiografi pada kardioversi ...........

60

4.10. Monitoring selanjutnya bila trombus terdeteksi .......................

64

Daftar pustaka ..................................................................................

65

BAB V Kardioversi farmakologik ................................................................. 5.1. Pasien manakah yang cocok tindakan kardioversi farmakologik? ..........................................

67 67

5.2. Kelebihan dan kekurangan kardioversi farmakologik ...............

69

5.3. Obat-obat antiaritmia ................................................................

72

5.4. Obat antiaritmia untuk kardioversi ............................................

73

5.4.1. Antiaritmia Kelas IC ............................................................

74

5.4.1.1 Flekanid .........................................................................

75

5.4.1.2 Propafenon ....................................................................

81

viii

5.4.1.3 Terapi obat dalam saku (“pill-in-the-pocket” therapy) ......

85

5.4.2. Antiaritmia Kelas III ..............................................................

87

5.4.2.1. Amiodaron .....................................................................

88

5.4.2.2. Ibutilid ...........................................................................

93

5.4.2.3. Vernalakant ...................................................................

95

5.4.3. AF dalam konteks sindroma Wolff Parkinson White ............

106

5.4.4. Obat-obat eksperimental ....................................................

106

5.5. Ringkasan .................................................................................

107

Daftar Pustaka .................................................................................

109

BAB VI Elektro-kardioversi ........................................................................... 6.1. Perkembangan elektro-kardioversi ...........................................

112 112

6.2. Indikasi elektro-kardioversi .......................................................

119

6.3. Efektivitas elektro-kardioversi ...................................................

121

6.3.1. Jumlah energi .........................................................................

122

6.3.2 Bentuk energi ..........................................................................

126

6.3.3. Posisi elektroda ......................................................................

130

6.3.4. Impedansi transtorakal ...........................................................

132

6.3.5.Tingkat keberhasilan ...............................................................

133

6.3.6. Pengobatan sebelumnya dengan antiaritmia .........................

133

6.4. Rekurensi AF pasca kardioversi ...............................................

133

6.5. Elektrokardioversi pada situasi khusus .......................................

139

6.5.1. Alat pacu jantung (pacemaker) dan ICD .............................

139

6.5.2. Kehamilan ...........................................................................

141

6.5.3. Anak-anak ...........................................................................

142

6.5.4. Kelainan jantung kongenital ................................................

142

6.5.5. Kardiomiopati hipertrofik ......................................................

143 ix

6.6. Risiko dan komplikasi .................................................................

143

6.7. Prosedur praktis ........................................................................

144

6.8. Algoritma prosedur elektrokardioversi .......................................

149

Daftar Pustaka

................................................................................

150

BAB VII Antikoagulasi sebelum dan sesudah kardioversi .............................

153

7.1. Sistem koagulasi .......................................................................

153

7.2. Terapi antiplatelet dibandingkan dengan antikoagulasi oral .....

156

7.3. Risiko tromboembolisme pada AF ............................................

159

7.4. Antikoagulasi bila direncanakan tindakan kardioversi ...............

159

7.5. Antikoagulan oral baru ..............................................................

161

7.5.1. Dabigatran ..........................................................................

163

7.5.2. Kardioversi dengan perlindungan dabigatran .....................

162

7.5.3. Kerugian antikoagulan oral baru .........................................

167

Daftar pustaka ...................................................................................

168

BAB VIII Panduan dari ESC (ESC guidelines) tentang kardioversi ................

170

Daftar pustaka ..................................................................................

176

BAB X Garis besar dan pendekatan translasional konversi fibrilasi atrium

..............................................

177

Daftar pustaka ..................................................................................

181

x

DAFTAR ISTILAH AAD

: Antiarrhytmic Drugs

ACE

: Angiotensin Converting Enzyme

ACUTE

: Assestment of Cardioversion Using Transeosophageal Echocardiography

ADAM

: A Disintegrin and Metalloprotease

ADONIS

: American –Australian-African with Dronedarone in atrial Fibrillation patients for the maintenance of Sinus rhythm

AF

: Atrial Fibrillation

ERAF

: Early Recurrence of Atrial Fibrillation

LRAF

: Late Recurrence of Atrial Fibrillation

AFIRM

: Atrial Fibrillation Follow-up Investigation of Rhythm Management

ALLHAT

: The Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to prevent Heart Attack Trial

ANP

: Atrial Natriuretic Peptide

ANTIPAF : Angiotensin II Antagonist in Paroxysmal Atrial Fibrillation ARB

: Angiotensin II Receptor Blocker

ARDAs

: Atrial Repolarisation Delaying Agents

ASA

: Asetyl Salicylic Acid

ATHENA

: Addressing THE Need for Advanced

ATP

: Adenosin Triphosphat

ATRIA

: Anticoagulation and Risk factors in Atrial Fibrillation

AVRO

: Amiodarone in Subjects With Recent Onset

BP

: Blood Pressure

xi

BR

: Biphasic Rectilinear

BTE

: Biphasic Truncated Exponential

CAST

: Cardiac Arrhythmia Suppresion Trial

CONVERT : Canakinumab for the Prevention of Recurrences After Electrical Cardioversion CV

: Cardioversion

DAFNE

: Dronedarone Atrial Fibrillation Study After Electrical Cardioversion

DC

: Direct Curent

DCM

: Dilated Cardiomyopathy

DCC

: Direct Current Cardioversion

DIONYSOS : Randomized, Double-blind Trial to Evaluate the efficacy and safety of Dronedarone Versus Amiodarone in patients with Persistent Atrial Fibrillation ECG/EKG : Elektrokardiogram eGFR

: Estimated Glomerular Filtration Rate

ESC

: European Society of Cardiology

EKA

: Enzim Konversi Angiotensin

EMEA

: European Medicine Agency

EURIDIS : European trial in atrial fibrillation patients receiving Dronedarone for the maintenance of Sinus Rhythm GISSI

: Gruppo Italiano per lo Studio della Streptochinasi nell’Infarto

HHD

: Hypertensive Heart Disease

ICAM

: Inter-Cellular Adhesion Molecul

ICD

: International Statistical Clasiffication of Disease and Related Health Problems

IHD

: Ischaemic Heart Disease

xii

INR

: International Normalised Ratio

LAA

: Left Atrial Appendage

LMWH

: Low Molecular Weight Heparin

LVEF

: Left Ventricular Ejection Fraction

MDS

: Monophasic Damped Sine

MEF-2

: Myosite Factors-2

MMP-1

: Matrix Metalloproteinase-1

βMHC

: β Myosin Heavy Chain

MRI

: Magnetic Resonance Imaging

NADPH

: Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phospate

NFATc3

: Nuclear Factor of Activated T-cells

NOAC

: New Oral Anticoagulants

NYHA

: New York Heart Asosiation

OAC

: Chronic Oral Anticoagulation

PAI-1

: Plasminogen Activator Inhibitor-1

PCV

: Pharmacological Cardioversion

PPI

: Proton Pump Inhibitor

PTT

: Partial Thromboplastin Time

PVAC

: Pulmonary Vein Ablation Catheter

PVI

: Pulmonary Vein Isolation

RACE

: Rate Control Versus Electrical Cardioversion of Persistent Atrial Fibrillation

RE-Ly

: Randomixed Evaluation of Long term anticoagulant therapy

RHYTHM : Overtreatment and Undertreatment with Anticoagulation in Relation to Cardioversion xiii

RyR2

: Reseptor Ryanodine

SDF-α

: Stroma Derived Factor-α

SPAF

: The Stroke Prevention in Atrial Fibrillation

SR

: Sinus Rhythm

TDI

: Tissue Doppler Imaging

TEE

: Trans-Esofageal Elektrokardiografi

TF

: Tissue Factor

TFPI

: Tissue Factor Pathway Inhibitor

TIA

: Transient Ischemic Attack

TIMP

: Tissue Inhibitors of Matrix Metalloproteinase

TOE

: Trans-Esofageal Ekokardiogram

TTE

: Trans-Thorakal Elektrokardiografi

UFH

: Unfractioned Heparin

VCAM

: Vascular Cell Adhesion Molecul

VHD

: Valvular Heart Disease

VWF

: Von Willebrand

VHF

: Very High Frequency

VKA

: Vitamin K Antagonist

xiv

xv

BAB I RELEVANSI MEDIS FIBRILASI ATRIUM

Artikel tentang fibrilasi atrium/atrial fibrillation (AF) biasanya dimulai dengan kalimat seperti ini “AF merupakan aritmia yang paling sering ditemukan dalam praktek klinis.” Prevalensi AF pada keseluruhan populasi adalah sekitar 1%. Biasanya, AF lebih sering terjadi seiring dengan meningkatnya usia dan prevalensinya meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 1 dekade (10 tahun) setelah dekade kelima dalam kehidupan (Lihat Gambar 1.1.)

Gambar 1.1. Sejumlah catatan resmi dan penelitian menunjukkan bahwa prevalensi AF ternyata tergantung pada kelompok usia (dimodifikasi dari kepustakaan nomor 1)

Starry Homenta Rampengan

1

Sekitar 84% pasien dengan AF berusia lebih dari 65 tahun dan 32% pasien yang menderita AF ternyata berusia lebih dari 80 tahun (Lihat Gambar 1.2).

Gambar 1.2. Penelitian ATRIA dan Rotterdam menunjukkan bahwa prevalensi AF ternyata tergantung pada kelompok usia dan jenis kelamin pasien

2

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Penelitian ATRIA meneliti 17.974 pasien dan analisis penelitian ini menunjukkan adanya keterkaitan AF dengan usia dan jenis kelamin. Selain menunjukkan bahwa prevalensi AF meningkat seiring dengan meningkatnya usia, seperti yang telah dibahas sebelumnya, analisis ini juga menunjukkan bahwa AF secara bermakna lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Penelitian Rotterdam yang meneliti 6808 pasien juga menunjukkan adanya peningkatan prevalensi AF pada pria. Selanjutnya, penelitian Framingham Heart study menunjukkan bahwa pada pria maupun wanita yang berusia di atas 40 tahun, peningkatan risiko AF sepanjang hidupnya adalah sebesar 25%. Penelitian lain tentang perubahan prevalensi AF menunjukkan bahwa jumlah pasien dengan VHF pada tahun 2050 diperkirakan akan meningkat sekitar tiga kali lipat (Lihat Gambar 1.3).

Gambar 1.3. Perubahan prevalensi AF pada berbagai catatan resmi dan penelitian (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 2, 4, dan 5)

Starry Homenta Rampengan

3

Alasan terjadinya perubahan prevalensi ini adalah meningkatnya faktorfaktor risiko AF, bertambahnya proses penuaan (aging) di masyarakat industri dan perubahan ukuran populasi secara keseluruhan. Sejalan dengan peningkatan insidens AF, tingkat rawat inap akibat AF juga akan meningkat. Data tahun 1985 – 1999 menunjukkan bahwa pasien-pasien lanjut usia yang berusia lebih dari 75 tahun jelas mengalami pertambahan tingkat rawat inap akibat AF yang tidak sebanding dengan peningkatan usia. The National Hospital Discharge Survey dari AS menunjukkan bahwa setelah periode tersebut di atas, laju rawat inap terus meningkat dari 154.000 hingga 370.000. Diagnosis sekunder AF didapatkan pada 780.000 kasus rawat inap di tahun 1985. Pada tahun 1999, diagnosis sekunder ini meningkat hingga lebih dari 2 juta kasus. Angka ini berlaku untuk semua kelompok usia mulai dari kelompok usia 35 tahun ke atas (Lihat Gambar 1.4).

Gambar 1.4. Frekuensi diagnosis fibrilasi atrium (AF) yang dirawat inap di rumah sakit pada kelompok usia yang berbeda di AS selama periode 1985-1999 (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 6)

Faktor-faktor risiko yang telah dikenal dapat turut berperan dalam perkembangan AF adalah usia, hipertensi arterial, gagal jantung kongestif, infark miokardium sebelumnya, penyakit katup jantung, diabetes melitus dan hipertrofi ventrikel kiri. Selanjutnya, munculnya AF berkaitan dengan konsumsi alkohol, indeks massa tubuh dan ukuran tubuh. Adanya faktor 4

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

self-potentiating AF (misalnya: proses remodeling atrium jantung), juga dapat menyebabkan AF berkembang dari AF paroksismal menjadi AF persisten (Lihat Gambar 1.5).

Gambar 1.5. Proses fibrilasi atrium menjadi kronik (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 7)

Selain parameter-parameter klinis, faktor predisposisi genetik ternyata juga turut berperan dalam terjadinya AF, yang telah ditunjukkan dengan jelas pada penelitian terkini tentang pengaruh riwayat penyakit dalam keluarga. Risiko AF, misalnya: anak-anak dari orang tua yang terkena AF akan meningkat setidaknya 85% bila salah satu dari orang tua menderita AF. Bila individu yang terkena berusia kurang dari 75 tahun dan tidak ada penyakit jantung yang dapat diidentifikasi, maka peningkatan risiko bahkan dapat terjadi sebanyak tiga kali pada keturunannya. 1.1 FIBRILASI ATRIUM DAN MORTALITAS Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa AF dengan onset baru adalah prediktor yang independen terhadap meningkatnya mortalitas di rumah Starry Homenta Rampengan

5

sakit pada pasien gagal jantung yang dirawat inap di rumah sakit. Hal ini menunjukkan bahwa AF onset baru meningkatkan mortalitas lebih dari 50% dibandingkan pasien dengan sinus yang stabil. Menurut The Euro Heart Failure Survey, penyebab kematian pada kasus AF onset baru khususnya disebabkan oleh perburukan fungsi pompa di ventrikel kiri, edema paru serta penyebab kardiovaskular lainnya.

Gambar 1.6. Faktor-faktor risiko yang sesuai dan dapat digunakan untuk memperkirakan mortalitas di rumah sakit. Fibrilasi atrium dengan onset baru cukup bermakna dalam hal ini (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 8).

Secara khusus, keterkaitan antara AF dan gagal jantung adalah meningkatnya kejadian gagal jantung hingga tiga kali lipat dibandingkan pasien dengan irama sinus. Selain itu, keterkaitan yang jelas juga didapatkan antara derajat keparahan gagal jantung sistolik menurut klasifikasi NYHA dan frekuensi terjadinya AF. Prevalensi AF meningkat pada gagal jantung klinis kelas I NYHA, yang jumlahnya kurang dari 10% hingga lebih dari 50% pada pasien dengan NYHA (Lihat Gambar 1.7).

6

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 1.7. Frekuensi fibrilasi atriummenurut derajat keparahan gagal jantung (NYHA I-IV) pada sejumlah penelitian gagal jantung (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 9)

Risiko mortalitas pada kasus AF yang baru didiagnosis meningkat bermakna dalam 4 bulan pertama setelah munculnya gejala awal, yakni meningkat 9,6 kali lipat. Setelah lebih dari 4 bulan, risiko ini menurun menjadi 1,6 kali lipat. Hal ini dapat terjadi karena adanya berbagai fenomena adaptasi pada AF kronik yang persisten. Sehubungan dengan dampak AF pada tingkat mortalitas secara keseluruhan ini, ada fakta menarik yang ditemukan, yakni tidak ada perubahan tren atau kecenderungan mortalitas yang disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin sejak tahun 1980 hingga 2000. Serupa dengan hasil penelitian tersebut, penelitian Framingham Heart study menunjukkan adanya peningkatan mortalitas pada pasien AF, baik wanita maupun pria, dalam waktu beberapa bulan pertama setelah diagnosis awal AF ditegakkan (Lihat Gambar 1.8).

Starry Homenta Rampengan

7

Gambar 1.8. Mortalitas pasien dengan dan tanpa fibrilasi atrium pada kelompok umur menurut penelitian Framingham (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 10).

8

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

1.2. FIBRILASI ATRIUM DAN STROKE AF berkaitan dengan peningkatan risiko stroke hingga lima kali lipat. AF adalah penyebab yang paling umum terjadinya komplikasi tromboemboli (Lihat Gambar 1.9).

Gambar 1.9. Risiko terjadinya stroke tergantung pada kelompok usia dan adanya fibrilasi atrium sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian Framingham Study (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 11) Starry Homenta Rampengan

9

AF didiagnosis untuk pertama kalinya pada sekitar 20% pasien dengan AF yang berkaitan dengan stroke (AF-associated stroke). Pada beberapa kasus, monitoring EKG yang ekstensif dan pemasangan rekaman kejadian diperlukan. Kejadian serebral iskemik (ischaemic cerebral events) berbanding lurus dengan usia pasien AF. Selain itu, stroke tromboemboli yang terjadi saat AF lebih sering berakibat fatal atau menyebabkan peningkatan insidens sekuel serebrovaskular yang berat. Hasil yang fatal dari AF yang berkaitan dengan stroke terjadi sekitar 25% kasus. Mortalitas 30 hari dan mortalitas 1 tahun setelah bertahan hidup dari stroke terus meningkat dibandingkan pasien yang mengalami stroke pada saat irama jantung yang teratur. Adanya AF juga berkaitan dengan meningkatnya rekurensi kejadian tromboemboli sehingga prognosis pasien memburuk. Indeks Barthel yang digunakan dalam pemeriksaan neurologik pada pasien stroke menunjukkan adanya gangguan fungsional berat pada fase akut pada kurang dari 75% pasien AF dibandingkan dengan kurang dari 30% pada pasien tanpa AF (Lihat Gambar 1.10).

Gambar 1.10. Derajat keparahan stroke pada pasien dengan dan tanpa fibrilasi atrium berdasarkan indeks Barthel (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 12).

10

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Bahkan setelah 12 bulan, 30% pasien dengan AF mengalami gangguan fungsional berat dibandingkan dengan hanya maksimal 10% pasien tanpa AF. Selain itu, mengenai hubungan sebab akibat antara AF dan komplikasi tromboemboli, publikasi terkini juga menunjukkan bahwa AF ternyata berkaitan dengan munculnya demensia Alzheimer. Setelah demensia didiagnosis, AF biasanya berkaitan dengan meningkatnya mortalitas (Lihat Gambar 1.11).

Gambar 1.11. Hubungan antara fibrilasi atrium dan berbagai bentuk demensia (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 13).

1.3. FIBRILASI ATRIUM DAN KUALITAS HIDUP Secara umum, AF berkaitan dengan penurunan kualitas hidup. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pasien berjantung sehat dan pasien yang telah bertahan dari infark miokardium, pasien dengan AF berbeda dalam hal stabilitas mental dan emosionalnya, fungsi sosialnya, persepsi tubuh dan persepsi terhadap kesehatan secara umum. Perbedaan ini dibandingkan pasien pasca infark miokardium hanya sedikit atau hanya ada perbedaan tipis; meskipun demikian perbedaannya pada kualitas hidup individual cukup nyata. Starry Homenta Rampengan

11

1.4. DAMPAK SOSIAL EKONOMI DAN BIAYA DARI FIBRILASI ATRIUM Analisis dari AS menunjukkan bahwa AF merupakan diagnosis utama ketika pasien pulang dari rumah sakit (discharge diagnosis) pada setidaknya 350.000 kasus rawat inap dan 5 juta kunjungan rawat jalan. Sehubungan dengan hal ini, tercatat 270.000 kunjungan ke unit gawat darurat dan 230.000 kunjungan ke unit rawat jalan. Pada tahun 2005, biaya pengobatan tahunan untuk AF di AS adalah sekitar $6,65 milyar dolar AS. Rata-rata biaya per pasien per tahun adalah $12.000 dolar AS. Penelitian AFFIRM study menunjukkan bahwa biaya tersebut mencapai sekitar US$22.000 dalam waktu 4 tahun. Menurut Euro Heart Survey, biaya tahunan untuk setiap pasien dengan AF diperkirakan adalah sekitar 3000 Euro. Meskipun demikian, terdapat perbedaan biaya yang cukup bermakna antar negara Eropa berkenaan dengan peningkatan biaya untuk setiap pasien. Di Polandia, biaya pengobatan tahunan adalah 1000 Euro; sedangkan di Spanyol, biayanya rata-rata sebesar 2250 Euro. Di Italia, biaya tahunan sekitar 3200 Euro. Namun, penelitian Copenhagen City Heart Study jelas menunjukkan bahwa bila dibandingkan antara tahun 1981-1983 dan periode 1991-1994, maka terdapat peningkatan rawat inap sebanyak 60% untuk mengatasi AF. Data dari Inggris menunjukkan bahwa pada tahun 1995, biaya akibat AF adalah sebesar £243,9 juta. Pada tahun 2000, biaya ini meningkat hingga £459 juta. Menimbang semua perkembangan epidemiologi ini, maka biaya di atas akan terus meningkat secara bermakna dalam beberapa dekade berikutnya. Peningkatan semua biaya di atas adalah akibat semakin lamanya rawat inap di rumah sakit dan meningkatnya jumlah terapi-terapi intervensi yang dilakukan.

12

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

DAFTAR PUSTAKA 1.

Freinberg WM, et al. Prevalence, age distribution, and gender of patients with atrial fibrillation. Analisys and implications. Arch Intern Med. 1995;155:469-73

2.

Go AS, et al. Prevalence of diagnosed atrial fibrillation in adults: national implications for rhythm management and stroke prevention: the Anticoagulation and Risk Factors in Atrial Fibrillation (ATRIA) Study. JAMA. 2001;285:2370-5

3.

Heeringa J, et al. Prevalence, incidence and lifetime risk of atrial fibrillation: the Rotterdam study. Eur Heart J. 2006;27:949-53

4.

Miyasaka Y, et al. secular trends in incidence of atrial fibrillation in Olmsted Country, Minnesota, 1980 to 2000, and implications on the projection for future prevalence. Circulation. 2003;108:711-6

5.

Savelieva I, Camm J. Update on atrial fibrillation: Part I. Clin Cardiol. 2008;31:55-62

6.

Wattingney WA, et al. Increasing trends in hospitalization for atrial fibrillation in the United States, 1985 through 1999: implications for primary prevention. Circulation. 2003;108:711-6

7.

Kerr CR, et al. Progression to chronic atrial fibrillation after the initial diagnosis of paroxysmal atrial fibrillation: results from the Canadian Registry of Atrial Fibrillation. Am Heart J. 2005;149:489-96

8.

Rivero-Ayerza M, et al. New-onset atrial fibrillation is an independent predictor of in-hospital mortality in hospitalized heart failure patients: results of the Euro Heart Failure Survey. Eur Heart J. 2008;29:1618-24

9.

Savelieva I, Camm AJ. Atrial fibrillation and heart failure: natural history and pharmacological treatment. Europace. 2004;5:5-19

10. Benjamin EJ, et al. Impact of the atrial fibrillation on the risk of death: the Framingham Heart Study. Circulation. 1998;98:946- 52 11. Wolf PA, et al. Atrial fibrillation is an independent risk factor of stroke: the Framingham Heart Study. Stroke. 1991;22:983-8 12. Lin HJ, et al. Stroke severity in atrial fibrillation. The Framingham Heart Study. Stroke. 1996;27:1760-4 13. Bunch TJ, et al. Atrial fibrillation is indepedently associated with senile, vascular, and Alzheimer’s dementia. Heart Rhythm. 2010;7:433-7

Starry Homenta Rampengan

13

BAB II PATOFISIOLOGI FIBRILASI ATRIUM

2.1. DASAR PATOFISIOLOGI FIBRILASI ATRIUM Selama fibrilasi atrium/atrial fibrillation (AF) terjadi, aktivitas sel-sel otot jantung di atrium/miosit atrium (atrial cardiac myocytes) meningkat. Fenomena remodeling listrik dalam konteks ini dijelaskan untuk pertama kalinya pada tahun 1995. Konsep patofisiologi ini menjelaskan bahwa AF akan berakhir menjadi AF tahap lebih lanjut dan periode refrakter atrium selama terjadinya AF memendek secara nyata. Sebagai akibat dari pemendekan progresif periode refrakter atrium yang tidak disertai oleh penyesuaian frekuensi jantung, maka miosit atrium akan sangat rentan dan oleh karena itu rekurensi dan persistensi kejadian AF juga meningkat (Lihat Gambar 2.1). Pada sejumlah percobaan, bahkan pada atrium yang sehat, bila atrium diberi stimulasi listrik frekuensi tinggi hanya untuk periode kritis, ternyata proses ini dapat menyebabkan atrium mengalami AF yang menetap (persistent).

KOREKSI Gambar 2.1. Pengaruh remodeling listrik yang disertai oleh pemendekan periode refrakter atrium yang bersifat progresif terhadap lamanya fibrilasi atriumyang dapat diinduksi (inducible atrial fibrilation) (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 1).

14

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Korelasi klinis remodeling listrik yang perlu dipertimbangkan adalah meningkatnya episode AF yang disertai oleh memanjangnya episode yang terjadi hingga AF persisten atau fibrilasi atrium yang menetap dapat terlihat pada banyak pasien. Akibatnya, AF paroksismal (bersifat hilang timbul), dalam jangka panjang akan berubah bentuk menjadi bentuk yang persisten (menetap).

Gambar 2.2. Patofisiologi fibrilasi atrium: faktor-faktor pencetus saling berinteraksi, misalnya atrium ekstra sistole dengan substrat aritmogenik, yang pada akhirnya akan mencetuskan fibrilasi atrium persisten melalui proses remodeling (Berdasarkan kepustakaan nomor 2).

Pada tahun 1996, penelitian kami menunjukkan bahwa mekanisme yang mendasari terjadinya remodeling listrik adalah terjadinya cellular calcium overload atau beban kalsium yang berlebihan di dalam sel. Penutupan jalan atau blok pada kanal kalsium tipe L akan menyebabkan pemendekan periode refrakter efektif yang diinduksi oleh AF menjadi terhambat/terinhibisi. Penelitian tentang sel lainnya menunjukkan bahwa meningkatnya isi kalsium di dalam sel terutama akan mengalami proses buffer oleh mitokondria akibat perubahan fungsi mitokondria (misalnya: berkurangnya proses respirasi endogen dan sintesis ATP). Bila terjadi AF dan AF terus berlangsung, maka faktor-faktor pencetus (biasanya atrium ekstrasistole), substrat aritmogenik dan proses remodeling saling berinteraksi. (Lihat Gambar 2.2).

Starry Homenta Rampengan

15

Gambar 2.3. Patofisiologi fibrilasi atrium; influks ion kalsium akan menyebabkan perubahan metabolisme mitokondria yang disertai oleh pembengkakkan mitokondria dan berkurangnya respirasi endogen. Ion kalsium mengaktifkan protease kalpain 1 dan fosfatase kalsineurin (phosphatase calcineurin), yang pada akhirnya akan mencetuskan efek seluler (dimodifikasi dari kepustakaan nomor 3).

Dalam jangka waktu yang lebih lama, perubahan-perubahan metabolik yang mengikuti proses remodeling listrik ini juga akan mempengaruhi sifat-sifat morfologik mitokondria serta seluruh sel otot jantung (cardiac myocytes). (Lihat Gambar 2.3). Dalam konteks tatalaksana klinis, adanya remodeling listrik pada AF menunjukkan bahwa konversi AF di stadium awal dapat berhasil dilakukan; tetapi seiring dengan semakin lamanya episode yang terjadi, maka remodeling ini mungkin menjadi tidak efektif. Adanya remodeling listrik ini juga menunjukkan bahwa terdapat peningkatan insidens terjadinya rekurensi dini setelah kardioversi segera AF berhasil dilakukan karena adanya kerentanan atau vulnerabilitas atrium. Setelah episode AF yang memanjang, proses elektrofisiologi akan bersifat reversibel (dapat pulih kembali) dalam waktu 4 minggu setelah kardioversi berhasil dilakukan (Lihat gambar 2.4). Bila irama sinus/irama jantung yang teratur dapat dipertahankan, maka sejumlah laporan penelitian menunjukkan bahwa normalisasi lamanya potensial aksi yang sudah memendek juga dapat terjadi. 16

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 2.4. Patofisiologi fibrilasi atrium: Memendeknya potensial aksi atrium dan periode refrakter atrium pada fibrilasi atrium akan terjadi dalam hitungan jam. Perubahan elektrofisiologi ini dapat berlangsung selama beberapa hari dan secara persisten akan meningkatkan kadar kalsium dalam sel dan menghambat proses kembalinya perubahan ke keadaan semula (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 4).

2.2. REMODELING MORFOLOGI SEL-SEL ATRIUM Aktivasi sel otot jantung terjadi melalui proses influks atau aliran masuk kalsium yang meningkat melalui kanal kalsium tipe-L, seperti yang telah dijelaskan di atas. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan perubahan morfologi sel otot jantung atau miosit jantung. Pada proses ini, jalur sinyal yang tergantung pada ion kalsium diinduksi oleh hipertrofi sel, proliferasi sel, diferensiasi sel dan sekresi. Beban kalsium yang berlebihan di dalam sel yang disertai oleh meningkatnya stres okstidatif dan terbentuknya radikal oksigen sebagai mediator/ perantara yang sebelumnya sudah ditentukan oleh tubuh. Selain itu, terjadi pula efek potensiasi stres oksidatif yang semakin memperkuat terjadinya remodeling listrik. Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa stimulasi atrium yang cepat akan menurunkan kadar askorbat di dalam sel secara bermakna dan meningkatkan jumlah nitrat protein. Peningkatan kadar nitrat terjadi akibat terbentuknya anion nitrit oksida.

Starry Homenta Rampengan

17

Mekanisme ini pada akhirnya akan menyebabkan berkurangnya energi dan terganggunya fungsi kontraktilitas sel-sel otot jantung. Selain perubahan-perubahan tersebut, aktivasi enzim proteinase yang tergantung pada kalsium, misalnya kalpain I. Aktivasi ini terjadi melalui mekanisme peningkatan beban kalsium di sel-sel otot jantung. Isi protein kalpain I dan aktivitas enzim kalpain I meningkat secara bermakna pada pasien AF. Sebaliknya, jumlah kalpain II, ekspresi inhibitor fisiologis kalpain, yakni kalpastatin tidak berubah. Selanjutnya, penentuan isi troponin yang dilakukan pada spesimen manusia ex vivo juga menunjukkan bahwa sejalan dengan terjadinya disintegrasi ultrastruktur miofilamen yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas protease kalpain I, ternyata terjadi juga penurunan troponin T yang bermakna di dalam jaringan atrium yang sedang mengalami fibrilasi. Perubahan-perubahan di dalam badan kontraktil ini merupakan salah satu faktor yang dapat turut berperan dalam disfungsi kontraktilitas atrium yang terjadi untuk waktu yang lebih lama, bahkan setelah usaha kardioversi berhasil dilakukan. Selain aktivasi enzim-enzim proteinase yang tergantung pada kalsium, fosfatase yang tergantung pada kalsium, misalnya: kalsineurin juga teraktivasi. Meningkatnya aktivasi calcineurin pada akhirnya akan menyebabkan defosforilasi transkripsi faktor NFATc3, yang ditranslokasi di dalam nukleus sel pada keadaan terdefosforilasi. Akibatnya, setelah berikatan dengan gen target, maka terjadilah hipertrofi atrium dengan peningkatan ekspresi ANP dan β-MHC. Hipertrofi miosit atau pembesaran sel-sel otot jantung akan mengubah rasio panjang/diameter sehingga terjadilah anisotropi yang akan mempermudah terjadinya cetusan eksitasi. Kejadian hipertrofi tersebut juga terjadi melalui mekanisme peningkatan aktivasi kalsineurin ini.

2.3. REMODELING MORFOLOGI JARINGAN INTERSTISIAL Selain perubahan-perubahan di dalam sel-sel atrium seperti yang telah dijelaskan di atas, selama AF, terjadi remodeling jaringan interstisial atrium. Perubahan pada jaringan interstisial ini juga sangat dipengaruhi oleh penyakit kardiovaskular lainnya, misalnya hipertensi arteri atau penyakit katup jantung (Lihat Gambar 2.5).

18

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 2.5. Patofisiologi fibrilasi atrium (AF): terdapat interaksi positif sebagai akibat fibrilasi atrium yang menginduksi dirinya sendiri. Fibrilasi atrium juga semakin mudah terjadi akibat adanya perubahan pada ventrikel. Fibrilasi atrium yang berlangsung terus menerus bahkan dapat mengubah fungsi dan perfusi ventrikel dan oleh karenanya akan menyebabkan mekanisme interaksi positif yang lebih lanjut.

Penyebab utama terjadinya restrukturisasi pada jaringan interstitial adalah meningkatnya aktivitas fibroblas atrium yang disertai oleh proliferasi dan meningkatnya sekresi kolagen. Perubahan fibrosis semakin dipermudah oleh adanya angiotensin II. Meskipun demikian, penelitian terkini menunjukkan bahwa proses pro-fibrosis yang tidak tergantung pada angiotensin II ini ternyata juga terjadi pada pasien dengan AF. Selain perubahan pro-fibrosis yang diinduksi oleh angiotensin II, perubahan metabolisme kolagen juga cenderung berujung pada peningkatan deposit kolagen interstitial (Lihat Gambar 2.6). Sehubungan dengan hal ini, temuantemuan awal pada sejumlah penelitian membuktikan bahwa aktivitas kolagenase untuk matriks metaloproteinase 1 (MMP-1) ternyata berkurang pada AF, sedangkan aktivitas matriks metaloproteinase 2 dan 9 meningkat secara nyata pada pasien dengan AF persisten dan permanen.

Starry Homenta Rampengan

19

Gambar 2.6. Pengaruh fibroblas dan miosit terhadap perkembangan aritmia (bangkitan dan induksi impuls). Beberapa dari proses ini tergantung pada angiotensin II.

Pada pasien dengan AF, jumlah kolagen tipe I yang ditemukan di atrium ternyata berkorelasi dengan diameter atrium kiri serta rasio antara inhibitor jaringan matriks metaloproteinase (TIMP 2) dan MMP2. Perubahan pada hubungan kontak sel dengan sel dan sel dengan matriks juga agaknya turut berperan dalam terjadinya dilatasi struktur jantung pada pasien dengan AF (Lihat Gambar 2.7).

Gambar 2.7. Berkurangnya ikatan (binding) dengan fibroblas, matriks dan miosit yang akhrinya menyebabkan dilatasi struktur jantung pada pasien dengan fibrilasi atrium.

20

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Penelitian kami dengan jelas telah menunjukkan bahwa aktivitas dan ekspresi disintegrin A dan metaloprotease (ADAMs) secara bermakna berkaitan dengan atrium yang berdilatasi. Dalam konteks ini, jumlah ADAM 10 dan ADAM 15 agaknya secara khusus berkaitan dengan dilatasi struktur jantung yang cukup penting pada pasien dengan AF (Lihat Gambar 2.8). Yang menarik, peningkatan ekspresi dari proteinase ini juga akan terlihat pada dilatasi struktur ventrikel kiri pada sejumlah kardiomiopati yang disertai oleh dilatasi. Meskipun demikian, masih perlu diteliti lebih lanjut tentang sampai batas manakah temuan patofisiologik berupa perubahan pembentukan substansi seluler dan metabolisme sel ini dapat menjadi target terapi.

Gambar 2.8. Ekspresi ADAM pada fibrilasi atrium (AF) dan irama sinus/sinus rhythm (SR) yang kemudian disertai oleh hilangnya integrin pada permukaan sel yang berujung pada dilatasi struktur karena sokongan sel di dalam matriks dan struktur matriks terganggu. (Dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 6).

Penelitian-penelitian awal terutama mengenai pencegahan fibrosis yang diinduksi oleh angiotensin II sejauh ini menunjukkan hasil yang bervariasi. Pada pencegahan primer, pemberian Penyekat EKA dan angiotensin II reseptor bloker agaknya memberikan efek yang positif pada pasien dengan hipertensi arterial dan gagal jantung serta pasca infark miokardium. Pada pencegahan sekunder, sejumlah penelitian prospektif teracak misalnya penelitian GISSI dan juga ANTIPAF menunjukkan bahwa terapi sartan pada AF belum memperlihatkan efek positif. Sebaliknya, sejumlah penelitian Starry Homenta Rampengan

21

yang menunjukkan hasil negatif tentang pencegahan sekunder pada AF paroksismal, justru menemukan bahwa pemberian Penyekat EKA atau ARB yang dikombinasi dengan amiodaron ternyata menurunkan tingkat rekurensi AF pasca elektrokardioversi dan memberikan manfaat klinis yang cukup bermakna. Hasil ini juga kembali ditunjukkan oleh sejumlah penelitian lainnya dan oleh karena itu pendekatan terapi klasik yang menggunakan anti-aritmia yang dikombinasikan dengan Penyekat EKA atau sartan tampaknya sangat masuk akal dalam konstelasi penyakit yang sangat spesifik ini. Bersamaan dengan terjadinya perubahan struktur ini, setiap perubahan tekanan atrium pada hipertensi arterial atau gagal jantung juga akan menyebabkan perubahan panjang potensial aksi, yang akan secara bermakna mempengaruhi induksibilitas AF/AF menjadi lebih mudah terjadi. (Lihat Gambar 2.9)

Gambar 2.9. Pengaruh tekanan atrium terhadap remodeling listrik yang disertai oleh pemendekan potensial aksi atrium dan indusibilitas fibrilasi atrium (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 7)

2.4 KONVERSI ELEKTRIK DAN SEL PUNCA (STEM CELLS) PERIFER AF mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap jumlah sel-sel punca perifer yang bersirkulasi dalam darah (CD34+). Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa jumlah sel-sel ini dalam peredaran darah ini ternyata jumlahnya meningkat pada pasien dengan AF persisten. Elektro-kardioversi mengurangi jumlah sel-sel punca (stem cells) selapa 48 jam terlepas dari berhasil tidaknya kardioversi yang dilakukan. Setelah kardioversi berhasil dilakukan dan irama sinus stabil tercapai, maka jumlah sel-sel tersebut akan kembali normal dalam waktu 4 minggu (Lihat Gambar 2.10) 22

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 2.10. Pengaruh elektro-kardioversi/electrical-cardioversion (CV) terhadap sel-sel punca yang bersirkulasi pada fibrilasi atrium persisten. Sel-sel menurun sementara terlepas dari berhasil tidaknya syok yang dilakukan dan mencapai kadar dasar setelah 48 jam. Sel-sel tersebut kemudian akan berkurang jumlahnya hingga dapat dibandingkan dengan jumlah sel pada pasien dengan irama sinus/sinus rhythm (SR) hanya bila CV berhasil dilakukan (CV+). Fibrilasi atrium paroksismal perlu dikontrol lebih lanjut (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 8). DC = direct current shock. Syok listrik dengan arus langsung.

Yang menarik, tampaknya juga terdapat hubungan yang sebanding antara pelepasan ANP dan SDF-α pada saat elektro-kardioversi dilakukan untuk mengatasi AF pada pasien dengan AF persisten. SDF-1 α dikenal sebagai homing factor atau faktor di dalam tubuh yang mengatur pertumbuhan, susunan dan diferensiasi stem cells (Lihat Gambar 2.11 dan 2.12). Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai apakah temuan in vitro tersebut mempunyai relevansi klinis. Meskipun demikian, hal ini jelas telah dibuktikan oleh sejumlah penelitian berdasarkan hasil yang menunjukkan bahwa pemberian DC shocks bahkan dapat menyebabkan perubahan yang cukup bermakna pada stem cell yang bersirkulasi di peredaran darah. Penurunan jumlah tersebut salah satunya dapat dijelaskan melalui mekanisme meningkatnya adhesi stem cells ke endotel vaskular sehingga pada akhirnya jumlah stem cell yang bebas bersirkulasi berkurang. Masih belum jelas apakah penurunan sementara jumlah stem cell dalam sirkulasi juga akan memberikan efek yang bermakna pada kemampuan jaringan untuk Starry Homenta Rampengan

23

beregenerasi. Hal ini dapat diperkirakan setidaknya berdasarkan data yang ada. Dalam konteks ini, juga masih belum jelas apakah pemberian syok listrik melalui sistem yang terpasang juga pada akhirnya akan memberikan hasil yang serupa. Analisis post hoc dari penelitian AFFIRM menunjukkan situasi ini, yakni tidak ada keterkaitan antara DC shocks eksternal dengan mortalitas. Meskipun demikian, didapatkan peningkatan laju rawat inap ke rumah sakit.

Gambar 2.11. Pengaruh elektro-kardioversi (CV) terhadap kadar Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan korelasi antara ANP dan faktor stem cells SDF-1α pada pasien dengan dan tanpa fibrilasi atrium setelah diberikan direct current shock (DC) (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 8).

24

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 2.12 a+b: Pembiakkan sel punca perifer in vitro pada pasien dengan fibrilasi atrium. Sel-sel ini berdiferensiasi dengan cepat menjadi sel-sel yang mensintesis faktor miosit (MEF-2) dan ANP. Meskipun demikian, jumlah mutlak sel-sel ini dalam darah tidak terlalu banyak (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 8). A: positif MEF-2(+85%); b: positif ANP (+53%). Starry Homenta Rampengan

25

2.5. KARDIOVERSI DAN FUNGSI GINJAL Di ventrikel kiri, AF akan menyebabkan sejumlah perubahan di dalam mikrosirkulasi. Hal ini disebabkan oleh adanya stres oksidatif yang dicetuskan oleh AF yang terjadi di dalam miosit, yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas NADPH oksidase. Gangguan mikrosirkulasi yang serupa juga terjadi di dalam ginjal dalam waktu beberapa jam saja (Lihat Gambar 2.13).

Gambar 2.13. Fibrilasi atrium tidak hanya menyebabkan perubahan pada atrium tetapi juga perubahan mikrosirkulasi di ventrikel kiri dan pada parenkim ginjal.

Penelitian in vivo menunjukkan bahwa AF yang terjadi selama 6 jam akan menyebabkan hilangnya enzim pada sikat pembatas tubulus ginjal dan glomerulus juga menunjukkan perubahan morfologik yang bermakna. Sejalan dengan temuan pada sejumlah eksperimen ini, penelitian-penelitian klinis berskala besar juga telah menunjukkan bahwa AF secara bermakna meningkatkan derajat proteinuria. Perkiraan laju filtrasi glomerulus atau estimated GFR (eGFR) telah diidentifikasi sebagai prediktor rekurensi pasca elektro-kardioversi yang berhasil dilakukan untuk AF persisten. Selain itu, juga ditunjukkan bahwa eGFR ternyata meningkat setelah kardioversi berhasil dilakukan untuk VHF persisten, bila parameter ini ternyata menurun sedikit atau cukup banyak selama AF (Lihat Gambar 2.14).

26

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 2.14. Potongan histologik glomerulus dan tubulus ginjal pada pasien dengan irama sinus normal setelah mengalami fibrilasi atrium selama 6 jam. Perhatikan adanya vakuolisasi sel pada fibrilasi atrium (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 9).

2.6. PENDEKATAN TERAPI FARMAKOLOGIK BARU Hasil penelitian patofisiologi dewasa ini menyebabkan sejumlah penghambat kanal non-ionik (non-ionic channel blocker) telah banyak diteliti sebagai terapi untuk mengatasi AF. Meskipun demikian banyak dari obat atau pendekatan terapi ini agaknya tidak terlalu banyak memberikan pengaruh dalam praktek klinis (Lihat Gambar 2.15).

Starry Homenta Rampengan

27

Gambar 2.15. Skema diagram jalur transduksi sinyal yang diaktivasi oleh sel-sel atrium pada fibrilasi atrium dan inhibitornya (merah) (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 40).

2.7. PATOFISIOLOGI TROMBOGENESIS ATRIUM AF merupakan penyebab yang paling umum terjadi dari komplikasi tromboemboli. Risiko seseorang untuk mengalami komplikasi tromboemboli tergantung pada faktor risiko kardiovaskular yang menyertai dan usia pasien. Untuk pasien dengan risiko yang meningkat, yang sekarang diklasifikasi berdasarkan skor CHA2DS2-VAS, pemberian antikoagulasi oral sebagai terapi jangka panjang merupakan terapi pilihan utama (11). Trombi yang terbentuk pada AF biasanya terletak di struktur tambahan yang terdapat di atrium kiri (left atrial appendage). Left atrial appendage merupakan sisa embrionik dari atrium kiri. Anatomi dan volume left atrial appendage sangat bervariasi dengan luas permukaan sekitar 3 hingga 6 cm2. Secara patofisiologi, atrial appendages merupakan sumber utama untuk sintesis peptida natriuretik atrium/atrial natriuretic peptide (ANP). Hal ini harus turut dipertimbangkan pada setiap kasus dengan amputasi komplit atrial appendage bilateral, misalnya sebagai bagian dari prosedur pembedahan jantung, karena hal ini akan menyebabkan gangguan homeostasis cairan tubuh yang cukup bermakna. 28

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 2.16. Skema diagram yang menunjukkan trombogenesis atrium pada fibrilasi atrium. Faktor-faktor dari trias Virchow berinteraksi satu sama lain dan saling memperkuat efek satu sama lain (efek potensiasi).

Selain terjadinya peningkatan koagulasi dan stasis darah di dalam left atrial appendage, terjadinya perubahan endotelial pro-trombogenik juga sangat penting dalam perkembangan trombi atrium (Lihat Gambar 2.16). Sejumlah penelitian telah jelas membuktikan bahwa sifat perlekatan/adhesivitas dari endokardium atrium, terutama yang terletak di atrium kiri dan khususnya yang terletak di left atrial appendage, selain AF, juga diatur oleh proses yang tergantung pada angiotensin (angiotensin-dependent process)[11]. Telah dibuktikan bahwa pada pasien dengan AF, ekspresi molekul-molekul adhesi (VCAM, ICAM, PAI- 1) di endokardium ternyata meningkat. Proses remodeling endokardium ini sangat dipengaruhi dan diperantarai oleh angiotensin II (angiotensin-II mediated).Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa seluruh komponen dalam trias Virchow harus muncul agar trombi atrium dapat terjadi pada AF(13). Pada proses ini, endokardium atrium mengalami perubahan melalui jalur protrombogenik oleh kejadian aritmia itu sendiri dan juga oleh penyakit yang menyertai. Remodeling endokardium ini agaknya ditandai oleh peningkatan pembentukan molekul permukaan protrombogenik, misalnya: VCAM, ICAM dan PAI-1 di atrium kiri (Lihat Gambar 2.17). Temuan-temuan patofisiologik ini pada remodeling endokardium juga dapat menjelaskan faktor-faktor penyerta kardiovaskular

Starry Homenta Rampengan

29

lainnya, misalnya hipertensi arteri, gagal jantung atau diabetes melitus dapat menyebabkan peningkatan insidens trombi atrium (parameter-parameter yang ada di dalam skor CHA2DS2-VAS; Lihat Tabel 2.1).

Gambar 2.17. Pengaruh remodeling endokardium yang disertai oleh induksi permukaan protrombogenik di endokardium atrium pada fibrilasi atrium. Proses molekular yang diinduksi ini dipertahankan atau diperkuat efeknya oleh penyakitpenyakit lain yang menyertai. Faktor risiko

Skor

Gagal jantung/disfungsi ventrikel kiri

1

Hipertensi arteri

1

Usia ≥ 75

2

Diabetes melitus

1

Riwayat stroke/TIA/tromboembolisme

2

Penyakit vaskular

1

Usia 65-74

1

Jenis kelamin (misalnya wanita)

1

Skor maksimal

9

Tabel 2.1. Skor risiko untuk menentukan risiko tromboemboli pada fibrilasi atrium (10) dengan singkatan CHA2DS2-VAS (Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥ 75 tahun, Diabetes mellitus, Stroke, Vascular disease, Age 65-74, Sex category). Skor maksimal adalah 9, karena untuk usia diberikan skor 0, 1, atau 2.

30

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

DAFTAR PUSTAKA 1.

Wijffels M, et al. Atrial fibrillation begets atrial fibrillation. A study in awake chronically instrumented goats. Circulation. 1995;92:1954-68

2.

Nattel S, et al. Atrial remodelling and atrial fibrillation: mechanism and implications. Circ Arrhythmia Electrophysiol. 2008;1:62-73

3.

Bukowska A, et al. Physiologic and Pathophysiologic Role of Calpain: Implications for the Occurrence of Atrial Fibrillation. Cardiovasc Ther. 2010

4.

Goette A, et al. Electrical remodeling in atrial fibrillation. Time course and mechanisms. Circulation 1996;94:2968-2974

5.

Bukowska A, et al. Activation of the calcineurin signaling pathway induces atrial hypertrophy during atrial fibrillation. Cell Mol Life Sci. 2006;63:333-42

6.

Arndt M, et al. Altered expression of ADAMs (A Disintegrin and Metalloproteinase) in fibrillating human atria. Circulation. 2002; 105:720-5

7.

Ravelli and Allesie. Effects of atrial dilatation on refactory period and vulnerability to atrial fibrillatin in the isolated Langendorff-perfused rabbit heart. Circulation. 1997;96:1686-1695

8.

Goette A, et al. Effect of atrial fibrillation on hematopoietic progenitor cells: a novel pathophysiological role of the atrial natriuretic peptide? Circulation. 2003;108”2446-9

9.

Bukowska A, et al. atrial fibrillation down-regulates renal neutral endopeptidase expressions and induces profibrotic pathways in the kidney. Europace. 2008;10:1212-7

10. Goette A, et al. Non-ion channel blocker as antiarrhythmic drugs (reversal of structural remodeling). Curr Opin Pharmacol. 2007;7:219-24 11. Camm J, et al. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the Management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2010;31:2369-429 12. Schotten U, et al. Pathophysiological mechanisms of atrial fibrillation: a translational appraisal. Physiol Rev. 2011;91:265-325 13. Goette A, et al. Angiotensin II receptor blockae reduces tachycardia-induced atrial adhesion molecule expression. Circulation. 2008;117:732-42.

Starry Homenta Rampengan

31

BAB III PRINSIP DASAR TERAPI DAN KARDIOVERSI FIBRILASI ATRIUM

Pedoman terkini tahun 2010 dan 2012 merekomendasikan kebijakan yang jelas mengenai pendekatan untuk pasien dengan AF. Selain rekam EKG awal dan penegakan diagnosis AF, pemberian antikoagulan perlu mulai dipertimbangkan. Dasar pemberian antikoagulan tersebut adalah skor risiko klinis, yang menurut rekomendasi terkini disebut sebagai skor CHA2DS2VAS. Setelah memeriksa sejumlah risiko komplikasi tromboemboli dan memberikan antikokagulan yang diperlukan, maka selanjutnya tergantung pada gejala klinis, kontrol denyut atau frekuensi jantung dan/atau kontrol irama jantung juga perlu menjadi tujuan tatalaksana (Lihat Gambar 3.1).

Gambar 3.1: Pendekatan klinis dan terapeutik dalam penegakan diagnosis fibrilasi atrium (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 1).

32

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gejala-gejala yang disebabkan oleh AF dapat diklasifikasikan berdasarkan skor EHRA (Tabel 3.1.) Kelas EHRA EHRA I EHRA II EHRA III EHRA IV

Keterangan “Tanpa gejala” “Gejala ringan”; aktivitas harian normal tidak terganggu “Gejala berat”; aktivitas harian normal terganggu “Gejala sangat berat”; aktivitas harian normal tidak mungkin dapat dilakukan

Penelitian AFFIRM menunjukkan bahwa perbandingan segera tentang mortalitas pasien dengan VHF antara kontrol denyut frekuensi jantung dan kontrol irama jantung dapat didokumentasikan. Meskipun demikian, analisis post hoc yang berkaitan dengan publikasi primer menunjukkan bahwa adanya irama sinus memang disertai oleh mortalitas yang sangat berkurang; tapi itu berkebalikan dengan penggunaan obat anti-aritmia klasik yang justru meningkatkan mortalitas sehingga hasil akhir dari terapi antiaritmia klasik tidak dapat terlihat. Atas dasar inilah, kebijakan untuk memberikan terapi hanya berupa anti-aritmia jangka pendek dan obat intravena untuk kardioversi misalnya: vernakalan dan juga flekainid tampaknya cukup menarik. Flekainid juga telah diperkenalkan sebagai pendekatan terapi berupa pil saku (pill-in-the pocket) untuk pasien rawat jalan AF (Tabel 3.2.) Rekomendasi Amiodaron Dronedaron Flekainid Propafenon D, I-sotalol

Kelas I I I I I

Tingkat A A A A A

Tabel 3.2. Obat anti-aritmia yang direkomendasikan untuk kontrol irama jantung pada fibrilasi atrium tanpa memandang penyakit jantung yang mendasarinya (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 1). Tidak seperti keberhasilan penggunaan terapi intermiten dengan menggunakan obat anti-aritmia kelas IC atau anti-aritmia yang bersifat atrium selektif, pemberian amiodaron secara intermiten cenderung dikontraindikasikan. Penelitian CONVERT-AF dengan jelas menunjukkan bahwa terapi jangka pendek menggunakan amiodaron hanya untuk Starry Homenta Rampengan

33

beberapa minggu berkaitan dengan meningkatnya kejadian rawat inap dan kematian (3) (Lihat Gambar 3.2).

Gambar 3.2. Hasil penelitian CONVERT-AF yang membandingkan pemberian amiodaron secara berselang (periode pengobatan 4 minggu) dengan terapi amiodaron jangka panjang. Di sini dapat terlihat adanya peningkatan mortalitas dan rawat inap (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 2).

Hal ini perlu dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya ketika merencanakan tatalaksana dengan konversi listrik maupun obat-obatan atau tatalaksana untuk mencegah rekurensi. Selain itu, dasar dari setiap terapi yang menjaga irama jantung adalah mengobati setiap penyakit kardiovaskular yang menyertai secara sistematis. Hasil pengobatan sistematik untuk gagal jantung dan hipertensi arteri dalam hal ini tentu saja sudah dapat diperkirakan. Penyakit-penyakit penyerta ini pada akhirnya akan meningkatkan angka kejadian AF melalui mekanisme remodeling 34

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

struktur atrium seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Lihat Bab 2). Sehubungan dengan hal ini, Penyekat EKA atau sartan merupakan obatobat yang secara khusus cukup penting untuk pencegahan primer. Secara keseluruhan, pengobatan AF akan dipengaruhi oleh parameter hasil akhirnya, misalnya: kematian, stroke, kualitas hidup dan perburukan fungsi pompa ventrikel kiri. Meskipun demikian, sejauh ini masih belum jelas apakah terapi farmakologik murni dan juga profilaksis farmakologik jangka panjang dapat sungguh-sungguh bermanfaat untuk pasien. Pada penelitian AFFIRM, penggunaan antiaritmia klasik jangka panjang akan menyebabkan mortalitas yang tinggi. Hanya penelitian ATHENA yang menunjukkan bahwa mortalitas kardiovaskular secara bermakna menurun dengan pemberian dronedaron. Meskipun demikian, penelitian ini hanya menunjukkan adanya mortalitas keseluruhan yang tidak berubah pada kelompok-kelompok yang diberi perlakuan (treatment groups). Yang menarik dari penelitian ini adalah pemberian dronedaron tidak hanya mengurangi kejadian AF atau rawat inap yang disebabkan oleh AF, tetapi juga rawat inap yang tidak tergantung oleh AF. Penelitian awal tentang hal ini menunjukkan bahwa selain efek anti-aritmia murni yang ada pada dronedaron, obat ini ternyata juga mempunyai efek pleiotropik sehingga memberikan proteksi atau perlindungan pada pembuluh darah otak dan jantung. Sifat antioksidatif agaknya turut memainkan peranan penting dalam hal ini. Pada kondisi eksperimental atau di dalam penelitian, sifat-sifat ini dapat menyebabkan pengurangan ukuran infark miokardium secara bermakna pada terapi yang menggunakan dronedaron. Salah satu fakta yang berhubungan dengan hal ini adalah hasil penelitian ATHENA yang menunjukkan bahwa pemberian dronedaron ternyata menyebabkan penurunan insidens sindroma koroner akut yang bermakna (4). 3.1. KONTROL DENYUT (RATE CONTROL) Kontrol denyut atau frekuensi jantung yang baik setidaknya merupakan tujuan awal terapi untuk semua pasien dengan onset baru akut AF. Untuk jangka panjang, kontrol denyut yang baik pada pasien dengan AF permanen merupakan tujuan terapi yang paling penting (Lihat Gambar 3.3). Obat-obat pengendali laju jantung yang tersedia di pasaran meliputi golongan beta blocker (metoprolol, bisoprolol, dll), kanal kalsium bloker (verapamil, diltiazem), glikosida digitalis dan juga antiaritmia kelas III (amiodaron dan dronedaron). Starry Homenta Rampengan

35

Gambar 3.3. Pendekatan “kontrol denyut” (rate control) sesuai dengan pedoman dari current ESC guidelines tahun 2010 (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 1).

Bila monoterapi tidak menghasilkan pengedalian laju atau frekuensi jantung yang adekuat, maka perlu diberikan obat dalam bentuk kombinasi. Meskipun demikian, dalam hal ini, khususnya bila β-bloker dikombinasikan dengan diltiazem, maka monitoring dengan menggunakan EKG perlu dilakukan untuk mencegah bradikardia iatrogenik. Verapamil tidak boleh dikombinasikan dengan β-blocker karena kombinasi ini akan menimbulkan efek inotropik negatif dan dapat menyebabkan kolaps hemodinamik. Penelitian ERATO menunjukkan bahwa penambahan obat dengan dronedaron 2 x 400 mg sehari terhadap terapi standar yang telah diberikan untuk terapi blok nodus AV (AV-node blocking therapy) akan memberikan penurunan laju frekuensi ventrikel yang bermakna dan bertahan lama pada saat istirahat. Selain itu, peningkatan laju pada saat kelelahan fisik juga berkurang secara bermakna. Terapi jangka panjang dengan menggunakan amiodaron untuk mengendalikan laju ventrikel perlu dicadangkan untuk kasus individual karena sifat toksisitas kumulatif yang mungkin timbul dari obat ini. Amiodaron diindikasikan untuk pasien dengan fungsi ventrikel yang sangat memburuk, yang pada pasien seperti ini pilihan terapi seperti ablasi nodus AV (AV node ablation) dan pemasangan alat pacu jantung atau implantation of a pacemaker system (bila perlu dengan elektroda LV) tidak mungkin dilakukan (4). 36

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

3.2. KONTROL IRAMA (RHYTHM CONTROL) Kontrol irama jantung (rhythm control) merupakan langkah yang dilakukan untuk mempertahankan irama jantung yang teratur atau irama sinus pada AF paroksismal atau persisten. Keputusan untuk menentukan apakah pendekatan rhythm control diindikasikan untuk seorang pasien didasarkan atas dua hal: (1) kemungkinan untuk mampu menstabilkan irama sinus, misalnya pasca kardioversi, setidaknya pada intermediate term; (2) derajat keparahan gejala atau gangguan hemodinamik yang terjadi (Lihat Gambar 3.4).

Gambar 3.4. Tatalaksana obat anti-aritmia untuk AF non-permanen (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 2). Secara khusus, kemungkinan irama sinus dapat dipertahankan bukanlah merupakan parameter yang dapat didefinisikan, tetapi hal ini tergantung pada beberapa parameter yang berbeda. Salah satunya adalah tergantung pada lamanya riwayat fibrilasi atrium, laju peningkatan AF (lamanya dan/ atau jumlah episode), sifat dan derajat keparahan penyakit jantung yang mendasari, luasnya gangguan fungsi ventrikel kiri, jumlah terapi anti-aritmia yang tidak efektif hingga skarang, frekuensi kardioversi, usia pasien dan parameter elektrokardiografi (termasuk lebar dan morfologi gelombang P) dan parameter ekokardiografi (termasuk ukuran atrium, laju aliran di left atrial appendage).

Starry Homenta Rampengan

37

Sesuai dengan pedoman tatalaksana AF terkini, terapi dengan menggunakan obat merupakan pengobatan tahap pertama. Indikasi untuk terapi non-farmakologik dan invasif diputuskan berdasarkan kasus per kasus, yakni dengan menimbang gejala yang terjadi, jenis pengobatan yang diinginkan oleh pasien, alternatif terapi dan efek hemodinamik AF. Semua itu harus diperhitungkan secara kritis dengan menimbang kemungkinan keberhasilan dan kemungkinan komplikasi dari pengobatan invasif. 3.3. KARDIOVERSI UNTUK FIBRILASI ATRIUM Kardioversi artinya adalah perubahan atau konversi AF ke irama sinus. Pendekatan farmakologik dan penggunakan energi arus listrik langsung pada elektro-kardioversi secara sederhana disebut sebagai kardioversi. Di Eropa, terdapat prosedur kardioversi yang berbeda-beda sesuai wilayah negara. Di Jerman, elektro-kardioversi lebih disukai dan dipakai pada lebih dari 90% pasien; sedangkan di Spanyol, kardioversi farmakologik dengan kardioversi obat-obatan dilakukan pada lebih dari 90% kasus. Elektro-kardioversi perlu dilakukan sesuai rekomendasi pengobatan terkini bila pasien mengalami instabilitas hemodinamik. Sebaliknya, kardioversi farmakologik tampaknya cocok ketika obat-obat yang tersedia tampaknya menunjukkan efikasi yang terbatas pada kasus AF yang telah bertahan lama. Adanya penyakit pada struktur jantung juga perlu dipertimbangkan karena gangguan fungsi ventrikel kiri atau adanya hipertrofi ventrikel kiri merupakan salah satu kontraindikasi untuk menggunakan anti-aritmia kelas IC. Meskipun demikian, potensi kardioversi murni dari amiodaron sangatlah terbatas, walaupun pada prinsipnya obat ini juga dapat dipakai sebagai kardioversi pada pasien dengan penyakit struktur jantung. Penelitian AVRO menunjukkan bahwa amiodaron bisa menghasilkan irama sinus dalam waktu 90 menit hanya pada 5% kasus. Sebelum menjalani kardioversi, anamnesis pasien perlu dilakukan seakurat mungkin untuk mengevaluasi kemungkinan keberhasilan konversi menggunakan pendekatan farmakologik. Bila AF telah berlangsung selama lebih dari 7 hari, maka pendekatan farmakologik murni biasanya tidak terlalu menjanjikan; sehingga elektro-kardioversi biasanya perlu dipilih. Sebelum memberikan kardioversi listrik maupun farmakoklogik, maka pada semua kasus antikoagulan oral perlu diberikan selama beberapa minggu untuk mencegah komplikasi tromboemboli, atau ekokardiogram transesofagel perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya trombi pada atrium kiri yang terbentuk akibat gangguan fungsi kontraktilitas yang diinduksi oleh AF (5). 38

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

3.4. KEBERHASILAN KARDIOVERSI TERGANTUNG PADA DURASI AF Indikasi pendekatan kontrol irama jantung adalah tidak adanya respons yang adekuat terhadap kontrol denyut, maka pilihan kardioversi farmakologik dan elektro-kardioversi tersedia. Ketika elektro-kardioversi dilakukan dengan tingkat keberhasilan lebih dari 90%, maka kardioversi ini jelas lebih efektif daripada varian kardioversi farmakologik; meskipun demikian, kardioversi farmakologik tidak memerlukan sedasi maupun anestesia. Monitoring diindikasikan untuk kedua prosedur di atas. Pasien dimonitor atau diawasi selama beberapa jam pasca elektro-kardioversi hingga efek sedasi hilang. Setelah menjalani kardioversi farmakologik murni, pasien umumnya dimonitor hingga tercapai 50% waktu paruh dari obat yang digunakan. Kardioversi farmakologik terutama dipakai pada pasien dengan AF yang telah muncul dalam waktu singkat (< 48 jam). Di Jerman, obat yang tersedia adalah flekainid, propafenon dan amiodaron. Sejak Desember 2010, tersedia obat baru vernakalan di Jerman untuk kardioversi AF yang telah berlangsung hingga 7 hari (lihat keterangan di bawah). 3.5. MEKANISME FARMAKOLOGIK KARDIOVERSI Antiaritmia Vaughan-Williams kelas I dan II serta obat baru vernakalan tersedia sebagai kardioversi farmakologik untuk mengatasi AF. Vernakalan merupakan obat pertama dari kelas anti-aritmia baru yang independen. Obat ini adalah anti-aritmia yang bersifat atrium selektif, yang diindikasikan untuk kardioversi cepat pada AF. Antiaritmia kelas I menghambat kanal natrium miokardium dan menekan AF dengan mengurangi eksitabilitas sel dan destabilisasi sirkuit eksitasi. Antiaritmia Vaughan-Williams kelas III akan mengganggu periode refrakter yang berkurang sehingga dapat mengakhiri AF atau mencegah rekurensi. Meskipun demikian, obat-obat tersebut efektivitasnya cepat sekali menurun, sehingga obat lain yakni sotalol dan amiodaron lebih sesuai untuk mencegah rekurensi. Setelah kardioversi yang berhasil, tingkat keberhasilan obat-obat ini untuk mempertahankan irama sinus adalah sekitar 50-80% setelah setahun pengobatan (6). Pada pasien dengan penyakit struktur jantung, khususnya pasien dengan penyakit jantung koroner, penyakit jantung hipertensi dengan hipertrofi atau gagal jantung yang cukup berat, maka pemberian anti-aritmia kelas I perlu dihindari karena adanya peningkatan risiko pro-aritmia ventrikular. Pada Starry Homenta Rampengan

39

pasien tanpa atau hanya mempunyai penyakit struktur jantung yang ringan, penghambat kanal natrium (flekainid, propafenon) seringkali menjadi obat pilihan. Keunggulan vernakalan dibandingkan obat anti-aritmia lainnya adalah obat ini dapat dipakai pada pasien dengan penyakit jantung koroner dan bahkan gagal jantung yang ringan dan stabil (NYHA kelas I dan II). Vernakalan sebaiknya tidak dipakai pada pasien dengan stenosis katup aorta berat atau gagal jantung berat. Saat menentukan kardioversi farmakologik yang akan dilakukan, lamanya episode AF juga memainkan peranan penting karena efikasi obat berkurang banyak bila AF bertahan lama (6) (Lihat Gambar 3.5). 3.6. TERAPI JANGKA PENDEK DENGAN MENGGUNAKAN ANTIARITMIA Konsep pengobatan “pill-in-the pocket” atau obat dalam saku hanya diperbolehkan bila efektivitas dan tolerabilitas obat kelas IC sebelumnya telah dicoba ketika pasien dirawat inap. Berbeda dengan pendekatan “pillin-the pocket” yang menggunakan flekainid, pemberian amiodaron secara intermiten berkaitan dengan perburukan prognosis. Pendekatan lain yang setara dengan konsep pengobatan “pill-in-the pocket” adalah penggunaan terapi antiaritmia yang dibatasi oleh waktu (4 minggu). Meskipun demikian, perlu diingat bahwa pemberian flekainid atau propafenon awal perlu diberikan pada saat pasien dirawat inap dan dengan monitoring EKG yang terus menerus. Hanya bila kardioversi dengan flekainid atau propafenon berhasil dan memberikan efek positif pada pasien yang dirawat inap, barulah pemberian flekainid dan propafenon boleh diberikan untuk pasien rawat jalan, biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan β-bloker. Walaupun begitu, pasien perlu diberikan instruksi yang rinci untuk mendeteksi efek samping obat sejak dini dan agar pasien dapat segera mencari pertolongan medis. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah terjadinya konversi AF menjadi atrium flutter, yaitu: lamanya siklus atrium meningkat, dan dapat menyebar ke ventrikel dengan rasio 1: 1. Untuk alasan inilah, maka obat yang memblokir nodus AV, misalnya β-bloker sebaiknya selalu diberikan.

40

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 3.5. Indikasi elektro-kardioversi dan kardioversi farmakologik dan pilihan obat anti-aritmia untuk kardioversi farmakologik pada pasien dengan AF onset baru (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 2).

3.7. UJI KLINIS TERAPI HULU (UPSTREAM THERAPY) Berdasarkan temuan eksperimental, uji klinis berskala besar mulamula dinilai dengan analisis post hoc untuk menunjukkan efek terapi penghambat enzim ACE/Penyekat EKA atau reseptor angiotensin II bloker terhadap terjadinya AF. Analisis post hoc ini menunjukkan bahwa tindakan pencegahan primer, khususnya dengan memberikan Penyekat EKA atau obat golongan sartan dapat menurunkan kejadian AF hingga 30% pada pasien dengan gagal jantung maupun hipertensi arterial. Meskipun demikian, hasil ini perlu dinilai secara kritis karena data dikumpulkan secara retrospektif pada berbagai populasi pasien yang berbeda-beda. Selain itu, temuan positif awal ini adalah di bidang tindakan pencegahan primer, metaanalisis terkini telah menunjukkan adanya keanekaragaman pada berbagai penelitian individual (7). Meta-analisis terkini yang baru saja dipublikasi (8) menganalisis 23 penelitian yang berbeda dengan jumlah keseluruhan pasien sebanyak 87.000 orang. Meta-analisis tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya pemberian obat penghambat angiotensin II (Penyekat EKA, ARB) secara bermakna akan mengurangi kemungkinan terjadinya AF. Meskipun demikian, hasil positif dapat terlihat terutama pada pencegahan primer untuk pasien dengan gagal jantung, atau pada pasien dengan hipertensi serta hipertrofi ventrikel kiri. Namun, meta-analisis ini menunjukkan bahwa pada Starry Homenta Rampengan

41

pasien pasca infark miokardium atau pasien tanpa kelainan struktur jantung, hasil positif tidak lagi ditemukan. Untuk pencegahan sekunder, pemberian terapi anti-aritmia klasik perlu diberikan sebagai terapi bersama, terutama dengan menggunakan amiodaron, sebagaimana yang telah dilakukan pada seluruh penelitian (Lihat Gambar 3.6).

Gambar 3.6. Prevalensi fibrilasi atrium tergantung pada kelompok usia pada berbagai penelitian dan dokumen resmi (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 8).

42

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Hasil positif mengenai efek ARB terutama terlihat pasca elektro-kardioversi. Kombinasi ARB dan amiodaron menurunkan kemungkinan rekurensi dibandingkan hanya menggunakan amiodaron saja. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang serupa, khususnya setelah kardioversi dan menekankan pada manfaat terapi tambahan Penyekat EKA atau ARB pasca kardioversi (Lihat Gambar 3.7).

Gambar 3.7. Terapi hibrid yang terdiri atas amiodaron dan Penyekat EKA (perindopril) atau sartan (losartan) sebagai pencegahan rekurensi fibrilasi atrium pasca kardioversi (Dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 9).

Analisis lain pada pencegahan sekunder tidak memastikan adanya efek positif. Penelitian ALLTHAT menunjukkan bahwa pada 42.000 pasien dengan hipertensi yang berusia lebih dari 55 tahun, ternyata pemberian lisinopril tidak dapat mempengaruhi terjadinya AF. Meskipun demikian, penelitian ini juga menunjukkan bahwa terjadinya AF atau atrial flutter berkaitan dengan Starry Homenta Rampengan

43

meningkatnya mortalitas. Selain itu, penelitian GISSI study dengan 1400 pasien yang diterapi dengan valsartan secara prospektif dibandingkan plasebo ternyata menunjukkan hasil yang negatif. Parameter hasil akhir primer dalam penelitian ini adalah rekurensi AFsetelah terapi dimulai (7). Tidak ditemukan pengaruh terapi valsartan terhadap rekurensi AF. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa 60% dari seluruh pasien juga diterapi dengan Penyekat EKA pada penelitian ini. Untuk alasan inilah, maka penelitian GISSI tidak cocok untuk menjadi bukti dasar dalam hal menunjukkan efikasi umum ARB yang digunakan untuk pencegahan sekunder (Lihat Gambar 3.8).

Gambar 3.8. Hasil penelitian GISSI yang tidak menunjukkan perbedaan antara terapi plasebo dan terapi menggunakan valsartan untuk mencegah rekurensi. Waktu yang diperlukan hingga munculnya rekurensi pertama dianalisis. Sekitar 60% dari seluruh pasien pada kedua kelompok juga mendapatkan Penyekat EKA (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 10).

Penelitian ANTIPAF (11) merupakan penelitian multisentra, prospektif, teracak dengan kontrol plasebo yang dilakukan untuk meneliti olmesartan dibandingkan dengan plasebo pada pasien dengan AF paroksismal tanpa penyakit struktur jantung lainnya. Pada penelitian ini, yang merandomisasi dan mengevaluasi 420 pasien, tidak ada efek positif terhadap insidensi AF dalam periode evaluasi lanjut selama 12 bulan. Individu, termasuk mereka dengan episode asimptomatik diperiksa dalam studi ANTIPAF dengan menggunakan EKG melalui jaringan telepon (transtelephonic ECG). 44

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

3.8. KETERBATASAN TERAPI MENGGUNAKAN OBAT Sejauh ini, tidak ada penelitian atau meta-analisis yang menunjukkan bahwa terapi kontrol irama dengan menggunakan flekainid, sotalol atau amiodaron dapat memperbaiki prognosis pasien. Sebuah analisis dari kolaborasi Cochrane atas 45 penelitian terandomisasi dengan 12.559 pasien menunjukkan bahwa meskipun obatobat tersebut mencegah rekurensi AF tetapi obat itu tidak memperbaiki mortalitas (7). Penggunaan terapi anti-aritmia dengan obat kelas I dan sotalol bahkan terbukti dapat meningkatkan mortalitas. Untuk alasan inilah, perbaikan di bidang terapi farmakologik anti-aritmia diperlukan untuk mengatasi AF agar dokter dapat menilai kontrol irama jangka panjang. Jadi, terapi jangka panjang untuk kontrol irama jantung sejauh ini hanya diindikasikan pada pasien AF simptomatik. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menilai apakah obat anti-aritmia atau pendekatan terapi baru dapat memperbaiki prognosis. Terapi non-farmakologik, misalnya ablasi AF dengan isolasi pada vena paru tampaknya sangat menjanjikan sebagaimana ditunjukkan oleh hasil-hasil penelitian terkini (penelitian 4A study dan penelitian lainnya, lihat Gambar 3.9).

Gambar 3.9. Hasil utama dari penelitian 4A study dalam kaitannya dengan rekurensi fibrilasi atrium. Terapi menggunakan obat dibandingkan dengan ablasi kateter (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 12). Starry Homenta Rampengan

45

Pada isolasi vena paru, setiap vena pulmonaris pada dinding posterior ventrikel kiri diisolasi dengan menggunakan energi frekuensi tinggi atau dengan aplikasi dingin. Pada beberapa kasus, aktivitas flutter dalam vena-vena yang terisolasi  dapat diamati, meskipun di atrium tampak irama sinus (Lihat Gambar 3.10).  

Gambar 3.10. Isolasi vena pulmonaris menggunakan sistem kateter PVAC di Rumah Sakit ST Vincenz, Paderborn. Setelah isolasi lengkap pada vena pulmonaris Sakit STkiri, Vincenz, Paderborn. Setelah lengkap pada vena inferior aktivitas frekuensi tinggiisolasi terekam di dalam vena pulmonaris (PVAC 1).inferior Atriumkiri, itu aktivitas frekuensi tinggi terekam di dengan dalam vena (PVAC 1). Atriumjelas itu sendiri sendiri dalam irama sinus normal gelombang P yang terlihatdalam pada EKG permukaan. irama sinus normal dengan gelombang P yang jelas terlihat pada EKG permukaan. Gambar 3.10. Isolasi vena pulmonaris menggunakan sistem kateter PVAC di Rumah

AF dapat diatasi atau diterminasi pada terapi ablasi AF yang berhasil, yakni selain

AF dapat diatasi atau diterminasi pada terapi ablasi AF yang berhasil, yakni selain terjadinya isolasi vena paru, lesi linear di ventrikel kiri dan ablasi terputus juga dapat ( Gambar 3.11).terjadi (Lihat Gambar 3.11). pada sinyal yangterjadi terputus juga dapat terjadinya isolasi vena paru, lesi linear di ventrikel kiri dan ablasi pada sinyal yang

46

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

   

Gambar 3.11. Terminasi fibrilasi atrium selama isolasi vena paru dengan Gambar 3.11. Terminasi fibrilasi atrium selama isolasi vena paru dengan menggunakan menggunakan sistem kateter PVAC di Rumah Sakit ST. Vincenz, Paderborn. sistem kateter PVAC di Rumah Sakit ST. Vincenz, Paderborn. Meskipun demikian, hasil jangka panjang ablasi AF juga terbatas, Meskipun demikian, hasilhanya jangka satu panjangprosedur ablasi AF ablasi juga terbatas, khususnya khususnya setelah tunggal (13). setelah Banyak hanya satu prosedur ablasiablasi tunggalkedua (13). Banyak membutuhkan ablasi(Gambar kedua pasien membutuhkan agar pasien bisa bebas dari AF 3.12). Tampaknya, hal Gambar ini akan untuk memberikan agar bisa bebas dari AF( 3.12).mendesak Tampaknya, dokter hal ini akan mendesak dokter terapi yang lebih baik ketika merencanakan terapi jangka panjang dengan untuk memberikan terapi yang lebih baik ketika merencanakan terapi jangka panjang mempertimbangkan konsep patofisiologi saat memberikan terapi (14). dengan mempertimbangkan konsep patofisiologi saat memberikan terapi (14).

Starry Homenta Rampengan

47

Gambar 3.12. Keberhasilan jangka panjang dari isolasi vena paru/pulmonary vein isolation (PVI) untuk terapi fibrilasi atrium dengan dan tanpa terapi anti-aritmia (AA) tambahan (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 13).

Gambar 3.13. Strategi pengobatan pada pasien dengan AF untuk kontrol irama jantung (dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 2).

48

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

DAFTAR PUSTAKA 1. Camm J, et al. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the Management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2010;31:2369-429. 2. European Heart Rhythm Association; European Association for Cardio-Thoracic Surgery, ESC Committee for Practice Guidelines. Guidelines for the management of atrial fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC).Europace. 2010;12(10):1360-420. 3. Ahmed A, et al. Continuous vs episodic prophylactic treatment with amiodarone for the prevention of atrial fibrillation: a randomized trial. JAMA. 2008;300:1784-92. 4. Goette A. Current antiarhythmic drug therapy in atrial fibrillation. Dtsch Med Wochenschr. 2010;135(2):33-7. 5. Goette A. Techniques for occlusion of the left atrial appendage: chance and risk. Nervenarzt. 2011;82(2):172-6. 6. Hammwohner M and Goette A. [Heart rhythm disturbances and their treatment according to recent recommendations]. Dtsch Med Wochenschr. 2010;135:2461-76. 7. Goette A, Hammwohner M, Bukowska A. [Upstream therapy for atrial fibrillation]. Herzschrittmacherther Electrophysiol. 2014;25(1):33-40. 8. Schneider MP, et al. Prevention of atrial fibrillation by Renin-Angiotensis system inhibition: a meta-analysis. J Am Coll Cardiol. 2010;55:2299-307. 9. Yin Y, et al. prospective randomized study comparing amiodarone vs. amiodarone plus losartan vs. amiodarone plus perindopril for the prevention of atrial fibrillation recurrence in patients with lone paroxysmal atrial fibrillation. Eur Heart J. 2006;27:1841-1846. 10. Investigators G-A. Valsartan for prevention of recurent atrial fibrillation. N Engl J Med. 2009;360:1606-1617. 11. Goette A, Schon N, Kirchhof P, Breithardt G, Fetsch T, Hausler KG, Klein HU, Steinbeck G, Wegscheider K, Meinertz T. Angiotensis II-antagonist in paroxysmal atrial fibrillation (ANTIPAF) trial. Circ Arrhythm Electrophysiol. 2012;5(1):43-51. 12. Jais J, et al. Catheter ablation vs. antiarhythmic drugs for atrial fibrillation: the A4 study. Circulation. 2008;118:2498-505. 13. Bertaglia E, et al. Does catheter ablation cure atrial fibrillation? Single-procedure outcome of drug-refractory atrial fibrillation ablation: a 6-year multicentre experience. Europace. 2010;12:181-7. 14. Schotten U, et al. Pathophysiological mechanisms of atrial fibrillation: a translational appraisal. Physiol Rev. 2011;91:265-325.

Starry Homenta Rampengan

49

BAB IV EKOKARDIOGRAFI SEBELUM TINDAKAN KARDIOVERSI

4.1. PATOGENESIS FIBRILASI ATRIUM Pada fibrilasi atrium (AF), rangsangan berlebihan (excitement) yang bersifat multifokal dan berfrekuensi tinggi dapat menyebabkan gangguan fungsi kontraktilitas. Akibatnya, terjadi perubahan di dalam sirkulasi darah sehingga stasis lebih mudah terjadi. Selanjutnya, stasis berkaitan dengan peningkatan risiko kejadian tromboemboli (Lihat Bab 2) (1). Telah banyak diketahui bahwa penurunan laju aliran darah dan terdapatnya kontras ekokardiografi spontan merupakan prediktor untuk pembentukan trombus di atrium kiri (2). Selain itu, trombogenesis di left atrial appendage, bentuk, luasnya dan trabekulasi yang terjadi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ini (3). Trombi di atrium kiri (left atrial thrombi) yang terbentuk sebelum tindakan kardioversi direncanakan terdeteksi pada sekitar 15% pasien dengan AF dan dapat muncul selama lebih 48 jam tanpa pengobatan dengan antikoagulan (4). Dibandingkan pasien dengan AF, risiko tromboemboli pada pasien dengan atrial flutter diperkirakan lebih rendah karena adanya urutan kontraksi atrium yang lebih teratur. Prevalensi terbentuknya left atrial thrombi pada pasien dengan atrial flutter dilaporkan berkisar antara 1 sampai 11% (5,6). 4.2. LEFT ATRIAL APPENDAGE (LAA) Left atrial appendage (LAA) atau struktur tambahan di atrium kiri merupakan lokasi umum tempat berasalnya trombi jantung dan tempat emboli sistemik terbentuk (Lihat Gambar 4.1). Tempat ini berupa kantong buta (blind sac) pada atrium kiri di sulkus koronarius, yang bentuk dan lokasinya memungkinkan terjadinya stasis darah dan pembentukan trombus pada keadaan tertentu. Panjangnya sekitar 1,2 hingga 4,5 cm dan terbentuk pada saat minggu ketiga atau keempat pada saat periode embrionik dinding kiri atrium primer terbentuk. Strukturnya yang multilobus telah dijelaskan oleh Veinot dkk. berdasarkan 500 autopsi yang dilakukan 50

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

oleh mereka. Jumlah lobus dapat mencapi empat lobus, dan 54% dari populasi yang diteliti mempunyai dua lobus. Secara keseluruhan, 80% populasi mempunyai struktur multilobus. Di dalam rongga ini terdapat otot khusus, yakni muskulus pektinata, yang biasanya tersusun paralel   membentuk susunan jala (7,8).  

Left atrial appendage berfungsi sebagai tempat cadangan (reservoir) Left atrial appendage berfungsi sebagai tempat cadangan (reservoir) bagi atrium kiri, bagi atrium kiri, misalnya pada gagal jantung kongestif atau pada stenosis misalnya pada gagal jantung kongestif atau pada stenosis mitral. Kesimpulan ini mitral. Kesimpulan ini didapatkan berdasarkan pengamatan bahwa didapatkan berdasarkan pengamatan bahwa didapatkan kadar peptida natriuretik yang didapatkan kadar peptida natriuretik yang lebih tinggi pada atrial appendage lebih tinggi pada atrial appendage dibandingkan pada atrium kiri (9). dibandingkan pada atrium kiri (9).

Gambar 4.1. Left atrial appendage pada trans-esofageal ekokardiografi (panah; Gambar 4.1. Left atrial appendage pada trans-esofageal ekokardiografi (panah; St. St. Vincenz Hospital, Paderborn). Vincenz Hospital, Paderborn).

4.3. TRANSOESOPHAGEAL ECHOCARDIOGRAPHY (TEE) 4.3. TRANSOESOPHAGEAL ECHOCARDIOGRAPHY (TEE)

Trans-esofageal ekokardiografi 4 (TEE) merupakan standar baku untuk menyingkirkan kemungkinan adanya trombi di left atrial appendage. Teknik trombi di left atrial appendage. Teknik ini merupakan metode inikemungkinan merupakanadanya metode paling sensitif untuk mendeteksi trombus dan adanya paling sensitif untuk mendeteksi trombus dan adanya kontras ekokardiografi spontan kontras ekokardiografi spontan (spontaneous echocardiography contrast) (spontaneous echocardiography contrast) di left atrial appendage. Meskipun demikian, di left atrial appendage. Meskipun demikian, pada beberapa kasus, kontras pada beberapa kasus, kontras ekokardiografi spontan ataudokter artefak kesulitan membuat dokter ekokardiografi spontan atau artefak membuat untuk kesulitan untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan adanya trombus mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan adanya trombus (10). Trans-esofageal ekokardiografi 4 (TEE) merupakan standar baku untuk menyingkirkan

(10). Teknik ekokardiografi modern, misalnya penggunaan probe multiplanar dengan 58    

Starry Homenta Rampengan

51

   

Teknik ekokardiografi modern, misalnya penggunaan probe multiplanar frekuensi frekuensi 5 sampai 57 sampai Hz telah 7dapat pemeriksaan dan dengan Hz memperbaiki telah dapatkualitas memperbaiki kualitas temuannya. Penggunaan pencitraanPenggunaan Doppler jaringan/tissue Doppler imaging (TDI) pemeriksaan dan temuannya. pencitraan Doppler jaringan/ menawarkan kemungkinan tambahan untuk menilaikemungkinan adanya sinyal hipoekoik abnormal tissue Doppler imaging (TDI) menawarkan tambahan untuk menilai adanya sinyal hipoekoik atau(11). yang berbeda dari atau yang berbeda dari jaringan abnormal di sekitarnya Penyuntikan zat jaringan kontras dimenyebabkan sekitarnya (11). Penyuntikan zat kontras menyebabkan perbaikan lebih perbaikan lebih lanjut dalam hal deteksi struktur left atrial appendage lanjut dalam hal deteksi struktur left atrial appendage yang kompleks yang kompleks sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (12). Masing-masing dari sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (12). Masing-masing dari kedua kedua prosedur ini digunakan pada kasus-kasus khusus untuk saling melengkapi dalam prosedur ini digunakan kasus-kasus khusustiga untuk salingmenawarkan melengkapi hal analisis struktur danpada fungsional. Ekokardiografi dimensi dalam hal analisis struktur dan fungsional. Ekokardiografi tiga dimensi kemungkinan lebih lanjut untuk mengatasi keterbatasan dari ekokardiografi 2-D yang menawarkan kemungkinan lebih lanjut untuk mengatasi keterbatasan dari digunakan sebelumnya agar dapat menentukan fraksi ejeksi (ejection fraction) dan ekokardiografi 2-D yang digunakan sebelumnya agar dapat menentukan morfologi dari left atrial appendage (13). fraksi ejeksi (ejection fraction) dan morfologi dari left atrial appendage (13).

Gambar 4.2. Trombus di left atrial appendage (tanda panah; St. Vincenz Hospital, Gambar 4.2. Trombus di left atrial appendage (tanda panah; St. Vincenz Hospital, Paderborn) Paderborn)

59    

52

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

   

Gambar atrial appendage menggunakan teknik Gambar4.3. 4.3. Trombus Trombus didileftleft atrial appendage dengandengan menggunakan teknik Doppler Doppler jaringan (tanda panah; St. Vincenz Hospital, Paderborn) jaringan (tanda panah; St. Vincenz Hospital, Paderborn) 4.4.

TEE DUA DIMENSI

4.4. TEE DUA DIMENSI transesofagus/transoesophageal echocardiography memanfaatkan Ekokardiografi transesofagus/transoesophageal echocardiography sebagian esofagus dan fundus gaster sebagai akustik (acoustic window)dan memanfaatkan sebagian esofagus dan jendela fundus gaster sebagai jendela bukan menggunakan jendela akustik (misalnya parasternal atau apikal). akustik (acoustic window) dankonvensional bukan menggunakan jendela akustik Oleh karena tidak ada gangguan yang berarti mulai dari paru-paru hingga dinding dadaada konvensional (misalnya parasternal atau apikal). Oleh karena tidak yang terletak di antara jantung probe ultrasonografi, makadinding jarak antara probe gangguan yang berarti mulaidandari paru-paru hingga dada yang ultrasonografi menjadi lebih pendek, sehingga frekuensi carrier yang tinggi dapat terletak di antara jantung dan probe ultrasonografi, maka jarak antara digunakan. Oleh karena itu, kualitas dan sehingga resolusi ruang banyak carrier mengalami probe ultrasonografi menjadi lebihgambar pendek, frekuensi yang perbaikan. horisontal pendek di dasar jantung dan proyeksi duaresolusi ruang (twotinggi dapat Aksis digunakan. Oleh karena itu, kualitas gambar dan ruang banyak mengalami perbaikan. Aksis horisontal pendek di standar dasar jantung chamber view) setinggi sepertiga esofagus berfungsi sebagai acuan untuk dan proyeksi dua ruang (two-chamber view) setinggi sepertiga memvisualisasi left atrial appendage. Dengan menggunakan probe multiplanar,esofagus ruang o berfungsi sebagai acuan standar untuk memvisualisasi left atrial appendage. internal, termasuk struktur jaringan di sekitarnya dapat direkam mulai dari 0 hingga Dengan menggunakan probe multiplanar, ruang internal, termasuk struktur jaringan di sekitarnya dapat direkam60  mulai dari 0o hingga 180o. Prosedur ini   perlu dilakukan dengan hati-hati. Frekuensi akustik yang tinggi perlu dipilih karena frekuensi yang rendah membutuhkan penetrasi yang dalam, biasanya antara 5 – 7,5 Hz, sehingga hasilnya resolusi aksial berkisar kurang dari satu milimeter. Ekokardiografi

Starry Homenta Rampengan

53

4.5. KONTRAS EKOKARDIOGRAFI SPONTAN (SPONTANEOUS ECHO CONTRAST) Dalam kajian patofisiologi, kontras ekokardiografi spontan/spontaneous echo contrast dipahami sebagai akibat dari interaksi antara sel-sel darah merah dan protein plasma karena adanya aliran yang lambat. Oleh karena frekuensi akustik probe TEE yang lebih tinggi, maka spontaneous echo contrast sebagai prekursor dari trombus akan direkam lebih baik, sehingga lebih sering didokumentasikan dengan menggunakan pendekatan transesofageal daripada pendekatan trans-torakal. Upaya untuk menyingkirkan diagnosis adanya pembentukan bekuan darah cukup sulit dilakukan karena kompleksnya struktur tiga dimensi dari left atrial appendage berdasarkan artefak reverberasi atau akibat spontaneous echo contrast (smoke) yang tidak dapat dibedakan secara jelas dengan trombus dan oleh karena itu, bila ragu, dokter perlu berhenti melakukan kardioversi. Dengan menggunakan pencitraan transesofageal (transoesophageal imaging), gema spontan (spontaneous echo) yang menyerupai asam dapat terdeteksi pada frekuensi 5 MHz di atrium kiri, ventrikel kiri atau di dalam aorta. Spontaneous echo contrast terjadi pada pasien dengan AF, katup buatan, dilatasi atrium kiri yang nyata atau gangguan fungsi ventrikel kiri yang cukup berat. Di aorta, spontaneous echo contrast ini terdeteksi bila terdapat ektasia (ectasia) atau aneurisma atau arteriosklerosis berat. Fatkin dan kawan-kawan menyebutkan klasifikasi kualitatif atas sifat gema atau ekogenisitas dari gema-gema spontan ini (spontaneous echoes) dan mengevaluasinya dengan menggunakan sistem skoring tertentu (16,17). Adanya gema-gema spontan (spontaneous echoes) berkaitan dengan peningkatan insidens trombus dan meningkatnya risiko embolisme (17-22). Skor 0 1 2

3 4

Fitur Tidak ada ekogenisitas Ringan (ekogenisitas minimal, dan hanya dapat terlihat sesaat ketika terjadi siklus jantung (cardiac cycle) setelah diberikan penguatan yang optimal Ringan hingga sedang (kontras ekokardiografi spontan yang terjadi sementara tanpa adanya penguatan tambahan, dan kontras lebih padat daripada skor 1) Sedang (pola vorteks yang padat selama keseluruhan siklus jantung) Berat (ekogenisitas kuat dan pola vorteks tampak sangat lambat di left atrial appendage, biasanya dengan densitas yang sama di seluruh rongga jantung

Tabel 4.1. Klasifikasi kualitatif untuk kontras ekokardiografi spontan, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 16. 54

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Tergantung dari populasi yang diteliti, frekuensi kontras ekokardiografi spontan dilaporkan mencapai 67% pada pasien dengan AF. Pasien dengan kontras ekokardiografi spontan dan AF mengalami peningkatan risiko emboli otak. Bernhardt dan kawan-kawan secara klinis mendeteksi emboli yang tampak secara nyata pada 7% populasi penelitian meskipun pasien telah mendapatkan antikoagulan oral yang cukup adekuat, 15% di antaranya berkemungkinan tinggi mengalami stroke asimptomatik berdasarkan hasil pemeriksaan MRI otak (20). 4.6. TROMBI Trombi tampak sebagai struktur yang berbentuk bulat, mengapung, cenderung melekat pada dinding pembuluh darah dan biasanya bersifat hipoekoik. Perlu dijelaskan di sini, diagnosis visual yang tergantung dari pemeriksa akan memberikan hasil yang berbeda antara satu pasien dengan yang lainnya, meskipun diperiksa oleh pemeriksa yang sangat berpengalaman (21-25). Trombus didefinisikan sebagai: • Struktur yang padat • Dapat dibedakan atau mempunyai ekogenisitas yang berbeda dengan lingkungannya • Mobilitas yang bebas (mampu bergerak maju maupun mundur) • Dapat ditunjukkan keberadaannya pada lebih dari satu bidang proyeksi Tabel 4.2. Karakteristik trombus Saat mengukur ukuran trombus, maka diameter terbesar yang dapat diukur perlu dinilai. Risiko terjadinya trombi di atrium kiri pada pasien AF berhubungan dengan nilai skor CHADS2 (26).

Starry Homenta Rampengan

55

4.7. TEE TIGA DIMENSI Pencitraan TEE tiga dimensi (3D TEE imaging) mewakili terobosan mutakhir dalam sejarah ekokardiografi. Dengan menggunakan teknik ini, dimensi baru dalam bidang resolusi telah dicapai. Dalam penelitian persiapan tindakan kardiografi, eksklusi adanya trombus di atrium kiri yang dapat dipercaya sangatlah penting dan prosedur ini mampu menanganinya, terutama untuk pasien dengan anatomi atrium kiri yang rumit, misalnya mempunyai dua lobus pada badan tambahan atrium (bilobar atrial appendage). Selain itu, muskulus pektinata juga dapat tampak menyerupai trombi. Pencitraaan 3D TEE juga dapat membantu membedakan keduanya dalam situasi seperti ini (21). 4.8. TRANSTHORACIC ECHOCARDIOGRAPHY (TTE) Pencitraan transoesophageal tidak hanya merupakan prosedur diagnostik yang perlu dilakukan sebelum kardioversi. TTE perlu selalu dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan semi invasif. Trombus di apeks ventrikel kiri (apical left ventricular thrombi) dapat terlihat hanya secara terbatas pada TEE karena apeks ventrikel tidak dapat ditangkap dengan baik pada pemeriksaan transesofageal. Ekokardiografi transtorakal (transthoracic echocardiography) lebih baik daripada pencitraan transesofagus untuk menilai fungsi pompa ventrikel kiri dan untuk mendeteksi adanya trombi pada ventrikel kiri. Pada beberapa kasus, left atrial appendage hanya dapat dilihat bila dilakukan pemeriksaan pencitraan transtorakal. Pemeriksaan transesofageal wajib dilakukan bila antikoagulasi yang diberikan ternyata tidak efektif.

56

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 4.4. Left atrial appendage pada TTE dua dimensi dilihat dari arah parasternum (tanda panah; St. Vincenz Hospital, Paderborn)

Gambar 4.5. Pembesaran gambar left atrial appendage (tanda panah) pada TTE dua dimensi dilihat dari arah parasternum (tanda panah; St. Vincenz Hospital, Paderborn) Starry Homenta Rampengan

57

Gambar 4.5. Pembesaran gambar left atrial appendage (tanda panah)pada TTE dua dimensi dilihat dari arah parasternum (tanda panah; St. Vincenz Hospital, Paderborn)

Gambar 4.6. Left atrial appendage dilihat dari proyeksi transtorakal pada (tanda Gambar 4.6. atrial Hospital, appendage dilihat dari proyeksi transtorakal pada (tanda panah; panah; St.Left Vincenz Paderborn)     St. Vincenz Hospital, Paderborn) 65    

Gambar 4.7. Trombus di dalam foramen ovale persisten (tanda panah; St. Vincenz Gambar 4.7. Trombus di dalam foramen ovale persisten (tanda panah; St. Vincenz Hospital, Paderborn). Hospital, Paderborn).

yang disarankan 58 Pendekatan Kardioversi pada Fibrilasi Atrium Pencitraan

trans-esofageal

sebaiknya

harus

didahului

dengan

ekokardiografi

transtorasik, pada satu sisi karena untuk penilaian terbaik dari daerah apeks ventrikular



Pendekatan yang disarankan

Pencitraan trans-esofageal sebaiknya harus didahului dengan ekokardiografi transtorasik, pada satu sisi karena untuk penilaian terbaik dari daerah apeks ventrikular kiri dan fungsi ventrikular kiri. Sebaliknya, terdapat kemungkinan visualisasi trombus di atrium kiri dengan menggunakan kombinasi metode 2D dan 3D. Dalam hal ini, pasien tidak perlu menjalani prosedur pencitraan semi-invasif. Atau, pemeriksaan transesofageal dapat dilakukan kemudian untuk menyingkirkan ada tidaknya trombus. Tabel 4.3. Struktur anatomi dan tempat predileksi terjadinya trombi atau tumor yang mungkin menjadi sumber emboli. Left atrial appendage Right atrial appendage Di regio fossa ovalis Regio apeks ventrikel kiri pasca infark miokardium dengan aneurisma Katup mitra/aorta Aorta Tabel di atas menunjukkan tempat predileksi lain yang menjadi kemungkinan lokasi munculnya trombi. Penyuntikan zat kontras selanjutnya juga dapat membantu diferensiasi untuk kasus-kasus yang tidak terlalu jelas. Struktur tambahan di atrium kanan (right atrial appendage) dapat dilihat pada pandangan proyeksi transesofageal bikaval (pada sekitar 110o). Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, trombus dapat tersembunyi di dalam aneurisma kongenital idiopatik di right atrial appendage. Oleh karena itulah, regio ini juga perlu dinilai, bila perlu dengan bantuan zat kontras (misalnya: agitated saline solution atau Gelafundin) (24).

Starry Homenta Rampengan

59

   

Gambar 4.8. Mengukur ukuran trombus (St. Vincenz Hospital, Paderborn). Gambar 4.8. Mengukur ukuran trombus (St. Vincenz Hospital, Paderborn). 4.9. 4.9.

PREDIKTOR KEBERHASILAN EKOKARDIOGRAFI PADA KARDIOVERSI PREDIKTOR KEBERHASILAN EKOKARDIOGRAFI PADA KARDIOVERSI Laju alir ejeksi lebih dari 20 cm/detik secara statistik berkaitan dengan kemungkinan keberhasilan dan dipertahankannya irama sinus (14). berkaitan Sebuah penelitian Laju alir kardioversi ejeksi lebih dari 20 cm/detik secara statistik dengan kemungkinan keberhasilan kardioversi dan dipertahankannya sinus prospektif multisentra yang meneliti 408 pasien mengidentifikasi tigairama parameter (14). Sebuah penelitian yang meneliti 408 pasien independen sebagai prediktorprospektif keberhasilanmultisentra kardioversi (15): mengidentifikasi tiga parameter independen sebagai prediktor keberhasilan Durasi atau lama kardioversi (15):terjadinya fibrilasi atrium kurang dari dua minggu Rata-rata laju alir ejeksi (mean ejection flow rate) > 31 cm/detik Diameter left atrial appendage< 47 mm  

Tabel 4.4. Prediktor keberhasilan kardioversi Tabel 4.4. Prediktor keberhasilan kardioversi

Durasi lama terjadinya fibrilasi darikelompok dua minggu Prediktoratau keberhasilan kardioversi lainnyaatrium diteliti kurang oleh suatu kerja yang dipimpin oleh Rondano dan kawan-kawan. Dengan menggunakan regangan dua

Rata-rata laju alir ejeksi (mean ejection flow rate) > 31 cm/detik

dimensi (2-D strain) atau yang dikenal dengan speckle tracking technique, waktu untuk

mencapai kecepatan puncak Diameter left atrialdeformasi appendage< 47dari mmkeenam segmen ventrikel kiri ditentukan 68   lainnya diteliti oleh suatu kelompok Prediktor keberhasilan kardioversi kerja yang dipimpin oleh Rondano dan kawan-kawan. Dengan menggunakan regangan dua dimensi (2-D strain) atau yang dikenal dengan speckle tracking  

60

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

technique, waktu untuk mencapai kecepatan deformasi puncak dari keenam segmen ventrikel kiri ditentukan pada proyeksi apikal empat ruang sebelum kardioversi dilakukan. Asinkronitas jenis ini direkam dengan menggunakan waktu terhadap deviasi standar puncak (time to peak standard deviation); nilai yang lebih tinggi menunjukkan derajat asinkronitas yang lebih berat secara bermakna. Penelitian pada 130 pasien menunjukkan adanya hubungan yang linear antara standar deviasi waktu puncak dan kemungkinan terjadinya rekurensi AF dalam waktu setahun pasca kardioversi (p = 0,014); dan oleh karena itu, parameter ini dianggap sebagai prediktor independen untuk kemungkinan terjadinya rekurensi episode AF selanjutnya pasca kardioversi yang telah berhasil dilakukan (25). 

Prosedur praktis

Tabel 4.5. Kelebihan TEE dibandingkan dengan TTE • Posisi anatomis yang berkaitan dengan jantung • Jendela akustik yang lebih disukai, terutama untuk LAA • Resolusi lebih baik karena frekuensi ultrasonografi yang lebih tinggi • Rasio sinyal – bising (signal-noise ratio) yang lebih baik, dengan pemisahan struktur ekoik yang lebih baik. Tabel 4.6. Kekurangan TEE • Prosedur pemeriksaan semi-invasif • Penilaian regio apeks ventrikular kiri terbatas • Penilaian arkus aorta terbatas • Tidak dapat selalu dilakukan dan tidak dapat dilakukan secara acak tanpa rencana

Starry Homenta Rampengan

61

Tabel 4.7. Syarat melakukan tindakan TEE • Informasi tertulis • Melakukan anamnesis (riwayat alergi, riwayat penyakit esofagus, penyakit di saluran cerna dan hati) • Dilakukan oleh pemeriksa yang berpengalaman • Melakukan monitoring (EKG, saturasi oksigen, pengukuran tekanan darah noninvasif) • Persiapan alat emergensi (kantong ventilasi, suplai oksigen dan alat-alat untuk kemungkinan intubasi dan ventilasi) • Pasien harus dipuasakan (setidaknya empat jam) • Pemasangan jalur vena atau infus • Gigi palsu maupun protese gigi lainnya dilepaskan • Gunakan cincin gigi (teething ring) bila diperlukan • Mengatur posisi pasien (intubasi diperlukan untuk posisi lateral kiri atau posisi duduk) • Melakukan survailans dan monitoring setelah pemeriksaan Tabel 4.8. Premedikasi untuk tindakan TEE • Tindakan anestesia tenggorokan (misalnya: dengan semprotan xylocaine) - Efek mulai muncul setelah 2-4 menit - Efek anestesi berlangsung sekitar 20-30 menit • Sedatif pilihan lainnya - Midazolam - Propofol - Etomidat • Atropin bila terdapat hipersalivasi 62

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Tabel 4.9. Komplikasi tindakan pemeriksaan TEE, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan dari Kallmeyer (18) dan Daniel (19). • Mortalitas 0% • Odinofagia berat 0,1% • Cedera gigi 0,03 • Intubasi endotrakea yang tidak terpasang dengan baik 0,03% • Perdarahan saluran cerna bagian atas 0,03% • Perforasi esofagus 0,01% • Intubasi gagal 0,18% • Bronkospasme 0,06% • Muntah 0,05% • Takikardia ventrikel 0,03% • Takiaritmia 0,03% • Hipoksia 0,02% • Blok AV derajat 3 0,01% • Angina pektoris 0,01% • Perdarahan faring 0,01% Tabel 4.10. Kontraindikasi tindakan TEE • Divertikulum esophagus • Varises esophagus • Striktur • Proses esophagus yang melibatkan stenosis • Antikoagulasi tidak adekuat bila INR > 3,0 dan eksklusi thrombus menggunakan TEE tidak mungkin dilakukan

Starry Homenta Rampengan

63

Tabel 4.11. Kontraindikasi tindakan kardioversi listirk bila trombus terdeteksi • Kontraindikasi absolut: - Trombus yang mengapung (floating thrombus) • Kontraindikasi relatif: - Trombus di dinding pembuluh darah (mural), terorganisir, tidak mengapung (non-floating) atau tidak berosilasi (non-oscillating) 4.10. MONITORING SELANJUTNYA BILA TROMBUS TERDETEKSI Bila saat dilakukan tindakan TEE ditemukan trombus di left atrial appendage, maka antikoagulasi perlu diberikan selama setidaknya 3 minggu dengan target INR berkisar antara 2,0 – 3,0 hingga kontrol pemeriksaan TEE diulang. Bila trombus tersebut kemudian tampak melarut atau menghilang, maka kardioversi dapat dilakukan. Antikoagulan perlu diteruskan untuk seumur hidup. Bila trombus tetap bertahan, maka tergantung pada gambaran klinis pasien, regimen pengobatan perlu diubah dari pengobatan kontrol irama jantung menjadi kontrol denyut atau strategi kontrol denyut (rate-controlling strategy) karena adanya peningkatan risiko kejadian tromboemboli (23).

64

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Tabel 4.12. Informasi Dasar •

Bila kardioversi akan dilakukan tanpa pemberian antikoagulasi yang adekuat setidaknya selama 3 minggu sebelumnya, maka ekokardiografi dapat dipakai sebagai pemeriksaan pencitraan untuk menyingkirkan kemungkinan trombus di dalam jantung



Pemeriksaan persiapan kardioversi perlu dilakukan secara hati-hati oleh pemeriksa yang berpengalaman



Ekokardiografi transesofageal sebaiknya selalu didahului dengan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal



Pada TTE, left atrial appendage dapat diidentifikasi dalam persentase tertentu. Bila pemeriksaan ini jelas menunjukkan adanya trombus, maka TEE tidak lagi perlu dilakukan karena kardioversi tidak boleh dilakukan pada kasus apapun.



Bila TTE menunjukkan hasil yang normal, maka TEE kemudian dapat dilakukan



Bila hasilnya ternyata tidak jelas atau bila kontras ekokardiografi spontan (spontaneous echo contrast) tidak dapat dengan jelas dibedakan dari trombus, maka elektro-kardioversi tidak boleh dilakukan

DAFTAR PUSTAKA 1.

Allesie MA, et al. Electrical, contractile and structural remodeling during atrial fibrillation. Cardiovasc Res. 2002;54:230-46.

2.

Mugge A, et al. Assessment of left atrial appendage function by biplane transesophageal echcardiography in patients with nonrheumatic atrial fibrilation: identification of a subgroup of patients at increased embolic risk. J Am Coll Cardiol. 1994;23:559-607.

3.

Al-Saady NM, et al. left atrial appendage: structure, function and role in thromboembolism. Heart. 1999;82:547-54.

4.

Manning WJ, etal. Cardioversion from atrial fibrillation without prolonged anticoagulation with use of transeosophageal echocardiography to exclude the presence of atrial thrombi. N Engl J Med. 1993;328:750-755. Starry Homenta Rampengan

65

5.

Schmidt H, et al. Prevalence of left atrial chamber and appendage thrombi in patients with atrial flutter and its clinical significance. J Am Coll Cardiol. 2001;38:778-784.

6.

Sakurai K, et al. left atrial appendage function and abnormal hypercoagulability in patients with atrial flutter. Chest. 2003;124:1670-1674.

7.

Karakus G, et al. Comparative assesment of left atrial appendage by transeosophageal and combined two and tree dimensional transthoracic echocardiography. Echocardiography. 2008;25:918-924.

8.

Veinot JP, et al. Anatomy of the normal left atrial appendage: A quantitative study of age-related changes in 500 autopsy hearts: Implications for echocardiographic examination. Circulation. 1997;96:3112-3115.

9.

Tabata T, et al. relationship between left atrial appendage function and plasma concentration of atrial natruretic peptide. Eur J Echocardiogr. 2000;1:130-137.

10. Pollick C, et al. Assesment of left atrial appendage using transesophageal echocardiography: implications for the devolepment of thrombus. Circulation. 1991;84:223-231. 11. Bartel T, et al. Usefulness of motion patterns identified by tissue Doppler echocardiography for diagnosing various cardiac masses, particularly valvular vegetations. Am J Cardiol.1999;84:1428-1433. 12. Ha JW, et al. Assesment of left atrial appendage mechanical function by threedimensional echocardiography. Eur J Echocardiogr. 2002;3:207-213. 13. Valocik G, et al. Assesment of the left atrial appendage mechanical function by threedimensional echocardiography. Eur J Echocardiogr. 2002;3:207-213. 14. Perez Y, et al. Is left atrial apppendage flow a predictor for uotcome of cardioversion of nonvalvular atrial fibrilation? A transthoracic and transesophageal echocardiographic study. Am Heart J. 1997;134:745-751. 15. Palinkas A, et al. Clinical value of left atrial appendage flow velocity for predicting of cardioversion success in patients with non-valvular atrial fibrillation. Eur Heart J. 2001;22:2201-2208. 16. Fatkin D, et al. Relations between left atrial appendage blood flow velocity, spontaneous echocardiographic contrast and thromboembolic risk in vivo. J Am Coll Cardiol. 1994;23:961-969. 17. Leung DY, et al. Prognostic implications of left atrial spontaneous echo contrast in non-valvular atrial fibrillation. J Am Coll Cardiol. 1994;24:755-762. 18. Kallmeyer IJ, et al. The safety of Intraoperative transesophageal echocardiography: A case series of 7200 cardiac surgical patients. Anesth Analg.2001;92:1123-30. 19. Daniel WG, et al. Safety of transesophageal echocardiography: a multicenter survey of 10.419 examinations. Circulation. 1991;83:817-21. 20. Bernhardt P, et al. Patients with atrial fibrillation and dense spontaneous echho contrast at high risk: A prospective and serial follow-up over 12 months with imaging transesophageal echocardiography and cerebral magnetic resonance. J Am Coll Cardiol. 2005;45:1807-1812.

66

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

BAB V KARDIOVERSI ARMAKOLOGIK

Pada pasien simptomatik dengan fibrilasi atrium AF, khususnya pada fase awal penyakit, maka pada prinsipnya dapat dilakukan uji coba kardioversi agar irama jantung dapat kembali normal atau kembali ke irama sinus (sinus rhythm). Selain elektrokardioversi, kardioversi farmakologik juga dapat dicoba dengan pemberian obat antiaritmia. Banyak sekali obat antiaritmia (AA) beraneka ragam yang tersedia untuk hal ini. Obat-obat tersebut antara lain berbeda dalam hal mekanisme kerjanya, mula kerja dan kontraindikasinya. Beberapa obat juga mempunyai efek yang sangat baik dalam hal pencegahan sekunder atas episode AF baru setelah kardioversi berhasil dilakukan; tetapi obat-obat itu hanya mempunyai potensi yang rendah untuk kardioversi akut. Sebelum memutuskan untuk melakukan kardioversi farmakologik, timbullah pertanyaan: pasien manakah yang perlu mendapatkan kardioversi dan obat antiaritmia (AA) manakah yang sesuai untuk pasien tersebut? Pembahasan berikut ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. 5.1.

PASIEN MANAKAH YANG COCOK KARDIOVERSI FARMAKOLOGIK?

UNTUK

TINDAKAN

Sebelum memutuskan untuk melakukan terapi kontrol irama jantung dan kemudian melakukan kardioversi, maka alternatif lain berupa terapi kontrol denyut jantung murni (pure rate-controlling therapy), bila perlu dengan pemberian antikoagulan jangka panjang, perlu dinilai secara kritis; khususnya pada pasien usia lanjut dengan beberapa gejala yang pada sejumlah penelitian berskala besar (termasuk penelitian AFFIRM dan RACE) menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan manfaat dari strategi pengobatan kontrol irama jantung dalam hal perbaikan morbiditas, mortalitas maupun kualitas hidup (1). Meskipun manfaat bertahan hidup nampak sebagai hasil pengobatan atas kembalinya irama sinus, tetapi efek ini dinetralkan oleh aspek negatif terapi antikoagulan jangka panjang.

Starry Homenta Rampengan

67

Tergantung pada lamanya AF yang terjadi dan faktor-faktor individual lainnya, AF membawa risiko terbentuknya trombus, terutama di bagian left atrial appendage yang disertai oleh bahaya komplikasi tromboemboli. Oleh karena itu, ekokardiografi transesofageal atau transesophageal echocardiography (TEE) perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya trombi di dalam atrium (intra-atrial thrombi) sebelum elektrokardioversi atau kardioversi farmakologik dilakukan pada pasien dengan AF atau gelepar atrium (atrial flutter) yang terjadi selama lebih dari 48 jam atau bila durasi atau lama terjadinya ternyata tidak jelas (Lihat Bab 4). Perkecualian untuk hal ini adalah untuk pasien yang telah mendapatkan terapi antikoagulasi yang adekuat selama setidaknya tiga minggu sebelumnya. Dalam hal ini, TEE tidak perlu dilakukan. Sebelum memutuskan untuk melakukan elektrokardioversi atau farmakologi, maka perlu dipertimbangkan bahwa gejala yang dikeluhkan oleh pasien yang berhubungan dengan episode AF dapat terjadi akibat kontrol frekuensi jantung yang tidak adekuat. Maka, untuk setiap kasus, usaha untuk mengoptimalkan kendali laju atau frekuensi jantung perlu dilakukan sejak dini. Gambar 5.1. menunjukkan bahwa laju konversi spontan AF tergantung pada durasi atau lamanya AF. Sejumlah pasien akan mengalami irama sinus (SR) secara spontan dalam waktu 48 jam pertama tanpa dilakukan intervensi. Data ini bervariasi tergantung penelitian yang dilakukan, yakni berkisar antara 50% dan persis di bawah 70% (2,3). Indikasi kardioversi perlu ditentukan secara hati-hati pada periode ini. Awalnya, terapi kontrol denyut (rate-controlling therapy) pada dasarnya perlu diusahakan. Kontrol irama jantung (control of rhythm) dengan kardioversi lebih disukai, khususnya pada pasien simptomatik berusia muda dan pasien dengan gagal jantung. Pada pasien dengan hemodinamika yang tidak stabil, kardoversi listrik perlu segera diindikasikan tanpa penundaan waktu sedikit pun. Pada situasi ini, tindakan TEE juga dibutuhkan untuk menyingkirkan adanya trombi di dalam atrium (intra-atrial thrombi). Pasien dengan AF sekunder, misalnya akibat iskemia jantung atau hipertiroidisme, perlu menjalani kardioversi sesegera mungkin setelah penyakit primernya ditangani.

68

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 5.1. Laju konversi spontan/spontenous conversion (SC) rate menjadi irama sinus tergantung pada lamanya fibrilasi atrium yang terjadi, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 3.

5.2. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KARDIOVERSI FARMAKOLOGIK Kardioversi seringkali dilakukan dalam bentuk elektro-kardioversi (electro-cardioversion) dengan efikasi yang tinggi. Meskipun demikian, usaha kardioversi farmakologik juga dapat dilakukan. Dibandingkan elektrokardioversi, efektivitas kardioversi farmakologik lebih rendah. Waktu yang diperlukan untuk kardioversi juga lebih lama tergantung relevansi situasi di rumah sakit dan tergantung pada antiartimia yang dipilih (4,5). Meskipun demikian, beberapa dokter/pasien secara sadar lebih memilih kardioversi farmakologik dan menolak elektro-kardioversi. Berbeda dengan elektrokardioversi, kardioversi farmakologik bersifat kurang invasif dan tidak memerlukan obat anestetik/sedatif. Hal ini juga membuat pasien lebih nyaman dan pasien tidak perlu berpuasa untuk waktu yang lama. Pada sebuah penelitian multinasional RHYTHM-AF study yang melibatkan 3840 pasien untuk kardioversi terencana, 75% pasien menjalani kardioversi farmakologik atau elektro-kardioversi (41) dan 25% sisanya tidak Starry Homenta Rampengan

69

mendapatkan kardioversi; sebagian karena terdeteksinya trombus pada TEE atau kardioversi spontan (spontaneous CV). Sekitar 49% pasien menjalani elektro-kardioversi dan 26% pasien di antaranya menjalani kardioversi farmakologi. Lamanya rawat inap di rumah sakit pada kelompok yang terakhir ternyata lebih panjang (16,2 jam dibandingkan 24 jam) dan tingkat keberhasilan kardioversi lebih rendah pada kelompok yang menjalani kardioversi farmakologik (89,7% keberhasilan pada kelompok yang mendapatkan elektrokardioversi dan 69,1% pada kelompok yang menjalani kardioversi farmakologik). Flekainid menunjukkan tingkat keberhasilan kardioversi yang tertinggi, namun obat AA yang paling sering digunakan adalah amiodaron, meskipun fakta menunjukkan bahwa amiodaron memiliki tingkat konversi terendah yang sebanding dengan obat mengontrol denyut jantung (rate-controlling drug) misalnya: beta-bloker (Lihat Gambar 5.2). Pasien yang berpartisipasi dalam penelitian studi RHYTHM-AF di Jerman bahkan mempunyai proporsi yang lebih rendah untuk pasien dengan kardioversi farmakologik (elektro-kardioversi pada 65,3% pasien dan kardioversi farmakologik pada 6,7% pasien; amiodaron dipakai pada 47,7% pasien, flekainid dipakai pada 27,3% pasien, propafenon dipakai pada 2,3% kasus kardioversi farmakologik) (42).

70

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 5.2. Persentase pasien yang mengalami konversi ke irama sinus (SR) setelah menjalani pengobatan farmakologik. Pada gambar A, pasien diobati dengan amiodaron, flekainid atau propafenon intravena dan dibandingkan dengan obat non-antiaritmia lainnya (misalnya: beta-bloker). Gambar B menunjukkan laju konversi pasca pemberian obat oral. Dimodifikasi dari kepustakaan nomor 41. PCV = pharmacological cardioversion/kardioversi farmakologik; AAD = antiarrhytmic drugs/obat antiaritmia.

Starry Homenta Rampengan

71

5.3. OBAT-OBAT ANTIARITMIA Obat antiaritmia (AA) biasanya memberikan efek melalui perubahan sifat-sifat listirk pada sel-sel otot jantung (cardiac myocytes). Potensial aksi pada miokardium yang sedang bekerja dapat dibagi menjadi empat fase yang berbeda (Lihat Gambar 5.3).

Gambar 5.3. Potensial aksi dan fase-fasenya.

Fase 0: Influks ion natrium cepat (INa), kanal natrium yang tergantung pada voltase (voltage-dependent sodium channels), durasi < 5 milidetik Fase 1: Arus kalium keluar sementara (transient outward potassium current) (Ito) Fase 2: Fase landai (plateau phase) akibat kanal kalsium yang tergantung pada voltase (voltage-dependent calcium channels (ICAL) mencapai titik keseimbangan dengan arus kalium keluar yang bersifat repolarisasi (IK). Fase 3: Repolarisasi sebagai akibat dari aliran keluar kalium (IKur, IKs, IKr). Arus kalium keluar yang terjadi cepat (IKur) terjadi secara eksklusif yakni hampir hanya pada miosit atrium saja Fase 4: Potensial istirahat (resting potential) sebagai hasil dari masuknya arus kalium (IK1) yang bersifat sebagai pengubah arus bolak-balik menjadi arus searah (rectifier) dan penukar natrium/kalsium (pertukaran natrium/kalsium) (NCx). Tergantung pada efeknya terhadap fase-fase potensial aksi tersebut, obat antiaritmia dibagi menjadi empat kelas dalam klasifikasi Vaughan-William (Lihat Tabel 5.1) (7). Klasifikasi Vaughan-William untuk obat antiaritmia yang telah dipakai sejak tahun 1970 hingga kini masih tetap digunakan. 72

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Tabel 5.1. Klasifikasi Vaughan-Williams untuk anti-aritmia Kelas I Kelas Ia Kelas Ib Kelas Ic Kelas II Kelas III Kelas IV

Obat dengan efek langsung pada membran (penghambat kanal natrium/sodium channel blockers) Efek pada fase 0 potensial aksi, penundaan konduksi, perpanjangan repolarisasi Sedikit efek pada fase 0, pemendekan repolarisasi Efek kuat pada fase 0, ditandai oleh penundaan konduksi, dan hampir tidak ada efek pada repolarisasi Obat-obat simpatolitik (misalnya beta bloker/agonis dan antagonis reseptor) Obat yang memperpanjang repolarisasi Penghambat kanal kalsium (calcium channel blockers)

Saat ini diketahui hanya sedikit antiaritmia (AA) yang secara selektif hanya mempunyai satu mekanisme yang disebutkan pada tabel 5.1. Pada dosis yang direkomendasikan secara klinis, obat-obat tersebut mempunyai efek yang berbeda pada kanal ion dan oleh karenanya juga memberikan efek pada fase potensial aksi yang berbeda-beda di dalam miosit jantung. Sehingga, obat antiaritmia baru seringkali hanya dapat digolongkan ke kelas yang spesifik dalam batasan tertentu saja karena spektrum kerjanya telah diketahui secara sangat akurat sebelum obat ini dikenal dalam dunia klinis. Vernakalant, misalnya dapat dikategorikan dalam kelas III bila kita gunakan klasifikasi Vaughan-Williams karena kanal kaium di atrium diblok secara primer dan oleh karenanya repolariasi akan memanjang. Meskipun demikian, antiaritmia ini mempunyai efek pada sejumlah kanal-kanal ion lainnya di dalam miosit jantung. Sehingga, obat ini sedikit banyak juga memblok kanal natrium yang tergantung pada laju dan voltase jantung (rateand voltage-dependent sodium channels). Efek berbagai jenis antiaritmia ini ditunjukkan oleh Gambar 5.4. 5.4. OBAT ANTIARITMIA UNTUK KARDIOVERSI Obat-obat antiaritmia mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam hal potensi dan efek yang ditimbulkannya. Tidak semua AA cocok digunakan untuk kardioversi farmakologik. Antiaritmia yang peling sering dipakai untuk kardioversi farmakologik atau elektro-kardioversi yang didukung secara farmakologik adalah antiaritmia kelas Ic dan antiaritmia kelas III. Verkalant Starry Homenta Rampengan

73

adalah obat yang relatif baru dan telah disahkan penggunaannya untuk indikasi ini oleh European Medicines Agency (EMEA) pada bulan September tahun 2010. Penghambat kanal kalium dari kelompok antiaritmia yang baru, yang disebut sebagai obat penunda repolarisasi atrium/atrial repolarisation delaying agents (ARDAs) mempunyai tingkatan proaritmia ventrikel yang terendah karena sifat selektivitasnya pada miosit atrium. Berdasarkan klasifikasi lama, verkalant seharusnya digolongkan sebagai AA kelas III yang bersifat selektif terhadap atrium (atrium-selective). Beberapa AA ternyata lebih baik digunakan pada kardioversi untuk atrial flutter daripada kardioversi untuk AF. Ibutilid, misalnya: lebih baik digunakan untuk kardioversi atrial flutter daripada kardioversi untuk AF. Meskipun demikian, verkalant sebaiknya hanya digunakan untuk kardioversi farmakologik untuk AF dan bukan untuk atrial flutter. Sotalol, digoksin, beta bloker dan verapamil sebaiknya tidak dipakai untuk kardioversi farmakologik akut karena efektivitasnya tidak terlalu baik atau kurang mempunyai bukti medis yang kuat (9). AA yang digunakan dalam kardioversi farmakologik akan dijelaskan secara rinci dalam pembahasan di bawah ini. 5.4.1 ANTIARITMIA KELAS IC Gambar 5.4. Efek berbagai AA terahadap kanal-kanal ion di dalam miosit jantung, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 8. Berbagai kanal ion dan arusnya selama terjadi potensial aksi. Tanda panah ke arah kotakkotak merah di sebelah kiri menunjukkan arus masuk; tanda panah ke arah kotak-kotak biru di kanan menunjukkan arus keluar. Antiaritmia yang memblok kanal ion pada kadar terapeutik ditulis dalam daftar di sisi kanan tabel. NCX, pertukaran natrium/ kalsium.

74

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

AA kelas IC telah diuji pada sejumlah penelitian untuk terminasi akut AF durasi singkat dan oleh karena itu merupakan obat lini pertama untuk indikasi ini. Obat-obat ini telah terbukti efektivitasnya karena laju kardioversi (CV rates) yang baik dan mulai timbulnya efek yang cepat. Flekainid dan propafenon merupakan obat-obat dari kelas ini dan paling sering dipakai saat ini dan dapat diberikan secara intravena atau secara oral. Data yang dipublikasikan oleh Cardiac Arrhythmia Suppresion Trial Study (CAST) pada tahun 1991 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan mortalitas pada penggunaan AA kelas IC enkainid, flekainid dan morikizin pada pasien yang bertahan hidup pasca infark miokardium. Sehingga, rekomendasi terkini untuk penggunaan AA kelas IC meliputi perkecualian bahwa obat ini tidak dapat digunakan untuk pasien dengan penyakit struktur jantung yang bermakna (iskemia arteri koroner, hipertrofi jantung kiri yang berat dan gagal jantung). Setelah sebelumnya diuji untuk kontraindikasi dan efektivitasnya di rumah sakit, propafenon dan flekainid selanjutnya dapat dipakai dalam bentuk oral bagi pasien rawat jalan agar pasien dengan AF paroksismal simptomatik dapat mengalami konversi akut episode AF (pendekatan obat dalam saku/pill-in-the pocket approach). Karakteristik flekainid dan propafenon akan dibahas secara rinci pada pembahasan selanjutnya. 5.4.1.1 FLEKAINID

Gambar 5.5. Flekainid

Starry Homenta Rampengan

75

Flekainid telah tersedia di pasar Eropa sejak tahun 1982 dan dapat dipakai untuk pasien dengan AF paroksismal maupun AF persisten, tetapi tidak pada pasien dengan atrial flutter. Bioavailabilitas oralnya berkisar 90-95% dan tidak mengalami metabolisme lintas pertama yang berarti. Dosis maksimal yang direkomendasikan adalah 300 mg/ hari. Flekainid memblok arus natrium masuk yang cepat (INa) maupun yang lambat (INaL) ke dalam miokardium yang sedang bekerja pada fase awal potensial aksi. Akibatnya, didapatkan penurunan kadar natrium di dalam sel pada penggunaan flekainid. Selain itu, kalsium juga terakumulasi dalam jumlah yang lebih sedikit di dalam miokardium melalui pertukaran natrium/kalsium. Obat ini juga memblok arus keluar kalium yang cepat pada fase repolarisasi (IKr). Pada konsentrasi tinggi, kanal kalium lainnya juga diblok. Sifat-sifat elektrofisiologiknya meliputi penundaan konduksi atrium dan konduksi AV-nodus serta perpanjangan durasi QRS dan oleh karenanya mempengaruhi interval QT secara tidak langsung. Flekainid juga secara selektif meningkatkan periode refrakter jalur konduksi tambahan anterograd dan retrograd pada khususnya. Sesuai dengan efeknya sebagai penghambat kanal natrium, obat ini memperpanjang lamanya potensial aksi di miosit atrium dan miosit ventrikel, tetapi tidak di serat-serat Purkinje. Oleh karena difusinya ke arah luar dari kanal natrium berlangsung lambat selama diastole, obat ini juga memperpanjang fase refrakter seluler di atrium, nodus AV dan ventrikel. Flekainid tidak mengubah laju nodus sinus, tetapi dapat menyebabkan perpanjangan waktu pemulihan pada nodus, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan terhentinya nodus sinus intermiten, khususnya ketika dipakai sebagai obat untuk konversi AF ke SR. Pada pasien yang menggunakan alat pacu jantung, perlu diingat bahwa terapi flekainid dapat meningkatkan ambang rangsang secara bermakna, sehingga pada program ulang perlu dilakukan pada pasien dengan alat pacu jantung. Flekainid mempunyai efek inotropik negatif. Hal ini mungkin disebabkan oleh beban kalsium yang lebih rendah di dalam sel sebagai akibat dari penurunan aktivitas pertukaran natrium/kalsium sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Selama terapi jangka panjang pada pasien tanpa kelainan struktur jantung, efek inotropik negatif ini dapat diabaikan; paling-paling terjadi sedikit pengurangan fraksi ejeksi ventrikel kiri/ left ventricular ejection fraction (LVEF) dan sedikit penurunan tekanan darah. Meskipun demikian, pada pasien pasca infark miokardium, pasien 76

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

dengan penyakit jantung koroner atau kardiomiopati dengan etiologi lainnya, terdapat pengurangan indeks isi sekuncup (stroke volume index) yang cukup bermakna dan peningkatan tekanan baji intrapulmonar (intrapulmonary wedge pressure) yang juga cukup bermakna. Seperti AA kelas IC lainnya, flekainid mempunyai potensi pro-aritmia. Hal ini tergantung pada frekuensi jantung, dan oleh karena itu paling mungkin timbul pada saat kelelahan fisik atau AF karena pada kondisi ini biasanya frekuensi jantung meningkat. Oleh karena itu, pasien dengan kekambuhan AF tidak boleh melakukan latihan fisik yang melelahkan selama sedang mengalami episode AF dan sedang diobati dengan flekainid. Oleh karena flekainid memperpanjang durasi QRS dan pada akhirnya juga memperpanjang interval QT, maka terdapat risiko takikardia torsades de pointes (TdP tachycardia). Kompleks takikardia luas yang bersifat monomorfik, takikardia ventrikel yang polimorfik atau fibrilasi ventrikel dapat terjadi. Risiko terjadinya aritmia tersebut tergantung pada beberapa faktor sebagaimana ditulis dalam Tabel 5.2. Tabel 5.2. Faktor-faktor risiko proaritmia pada terapi flekainid, dimodifikasi berdasarkan (1). LVEF = left ventricular ejection fraction. • QRS lebih lebar dari 120 milidetik atau > 150% dari nilai awal, tanda Brugada pada EKG • Gagal jantung/LVEF menurun • Penyakit struktur jantung, penyakit jantung koroner • Frekuensi jantung meningkat (“use dependency” effect) • Dosis tinggi • Hipokalemia • Gagal ginjal yang bermakna (bersihan kreatinin < 35 ml/menit/1,73 m2) Risiko proartimia flekainid saat ini dilaporkan berkisar < 3% (1). Pada pasien tanpa kelainan struktur jantung, konversi dari AF menjadi atrial flutter adalah dengan perbandingan konduksi ke ventrikel sebesar 1: 1; sehingga, pemberian obat tambahan dengan beta bloker direkomendasikan. Risiko terjadinya AF flutter pada terapi flekainid dilaporkan sebesar 0,2% (1). Tabel 5.3. merupakan ikhtisar atau ringkasan tentang dosis, efek, efek samping dan kontraindikasi obat ini. Starry Homenta Rampengan

77

Tabel 5.3. Karakteristik flekainid, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 1, 9, 10 Obat Dosis/dosis selanjutnya

Kontraindikasi

Efek samping Kriteria EKG untuk pengurangan dosis/ penghentian obat Mekanisme kerja Metabolisme

Interaksi obat

Flekainid Dosis awal untuk kardioversi: 2 mg/kg intravena selama 10 menit atau 200-300 mg per oral Dosis selanjutnya: tidak ada rekomendasi, secara empiris dapat dipakai 2 x 100 mg. Dosis maksimal 300 mg/hari Pasien dengan penyakit struktur jantung: konversi ke atrial flutter dengan perbandingan konduksi 1:1 dapat menyebabkan laju atau frekuensi ventrikel yang cepat Takikardia torsades de pointes Pemanjangan durasi QRS dan oleh karenanya juga terjadi pemanjangan interval QT; kurangi dosis bila terjadi pemanjangan QRS > 25%; hentikan bila terjadi konduksi 1:1 untuk atrial flutter Pemanjangan durasi potensial aksi, inhibisi INa dan IKr; tidak ada efek pada nodus AV Dimetabolisme oleh CYP2D6; hampir tidak mengalami efek eliminasi pertama apapun; eliminasi di ginjal, waktu paruh 12-27 jam; bioavailabilitas oral 90-95% Tidak ada interaksi yang relevan

Terapi flekainid sebaiknya dimulai dan dimonitor pada saat pasien dirawat inap di rumah sakit, terapi yang dimulai pada rawat jalan tanpa terlebih dahulu menguji kecocokan obat tersebut di rumah sakit sama sekali tidak direkomendasikan. Untuk itu, maka diperlukan EKG 12-lead, pemeriksaan ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium yang memeriksa fungsi hati dan ginjal. Monitoring EKG direkomendasikan untuk dilakukan setidaknya selama delapan jam. Setelah terapi flekainid dimulai, maka uji stres (stress test) dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan iskemia koroner 78

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

dan untuk menentukan perpanjangan interval QRS yang tergantung pada denyut jantung (rate-dependent prolongation of QRS interval).

Gambar 5.6. Terapi flekainid oral dimulai untuk mencapai konversi AF. BP = blood pressure monitoring/monitoring tekanan darah menggunakan metode Riva-Rocci

Sebagai alternatif terhadap titrasi dosis lambat sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5.6, flekainid dosis tunggal sebesar 200-300 mg dapat juga diberikan menurut petunjuk penggunaan dari European guidelines tahun 2010 tentang pengobatan AF (9). Pemberian secara intravena juga dapat dilakukan (Lihat Tabel 5.3). Untuk itu, 1-2 mg/kg diberikan secara intravena selama 10 menit dengan monitoring EKG dan diikuti dengan pemberian 1,2 – 1,5 mg/kg dalam waktu satu jam. Kemudian, dalam waktu maksimal 24 jam, 0,12 – 0,25 mg/kg/jam diberikan sebagai infus kontinyu hingga mencapai dosis maksimal 150 mg intravena. Flekainid lebih efektif daripada verapamil, digoksin, prokainamid, propafenon, amiodaron dan sotalol untuk mencapai konversi AF akut yang baru saja muncul (11). Tingkat kardioversi pada penggunaan flekainid berkisar antara 52-95% (9, 8, 12). Gambar 5.7 dan Tabel 5.4 menunjukkan efek flekainid dibandingkan dengan AA lain sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa penelitian.

Starry Homenta Rampengan

79

Gambar 5.7. Efektivitas flekainid dibandingkan dengan AA lain untuk kardioversi, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 1, 13. Jumlah pasien dengan kardioversi farmakologik yang berhasil dilakukan (garis vertikal menunjukkan interval kepercayaan 95%). Kelompok kontrol diterapi dengan verapamil, diltiazematau digoksin. Simbol n menunjukkan jumlah penelitian yang dilakukan dengan obat antiaritmia yang relevan.

Kardioversi biasanya dilakukan dalam waktu kurang dari 6 jam pasca pemberian oral. Dengan pemberian melalui rute intravena, waktu konversi biasanya kurang dari dua jam (Lihat juga bagian 5.5.1.2., Gambar 5.8). Laju konversi untuk AF persisten dan atrial flutter akan jauh lebih buruk. Menurut kepustakaan terkini dari Er dkk; pemberian flekainid dosis tunggal sebelum dilakukan elektro-kardioversi juga aman untuk pasien dengan profil risiko kardiovaskular yang meningkat, jika dilakukan monitoring pasien yang adekuat (13). Bila terjadi intoksikasi flekainid, infus obat beta-simpatomimetik dan natrium hiperosmolar (misalnya dengan natrium bikarbonat) direkomendasikan.

80

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Tabel 5.4. Efektivitas berbagai jenis AA dibandingkan dengan flekainid, dimodifikasi berdasarkan 12 Laju konversi 11-86% 63% 23% 52-95% 6-91% 25-92% 8,52% 10-49% 0-76%

Quinidin Prokainamid Disopiramid Flekainid Propafenon Amiodaron Sotalol Ibutilid Tanpa obat

Jumlah penelitian (n=6) (n=1) (n=1) (n=8) (n=15) (n=6) (n=3) (n=3) (n=25)

5.4.1.2 PROPAFENON

Gambar 5.8. Propafenon

Starry Homenta Rampengan

81

Propafenon juga merupakan bagian antiaritmia dari kelas IC dengan ikatan utama pada kanal natrium yang terbuka dan mengalami penundaan difusi selama fase diastolik. Obat ini mempunyai bioavailabilitas oral 5-12% setelah pemberian dosis tunggal 150-300 mg dan waktu paruh dalam plasmanya hanya berkisar 2 hingga 16 jam; maka obat ini dianjurkan untuk diberikan setidaknya tiga kali. Dosis propafenon harus diukur secara individual karena farmakokinetiknya sangat tergantung pada dosis (dose-dependent pharmakokinetics) dan metabolismenya sangat ditentukan oleh sifat genetika. Oleh karena itu, terdapat kadar dalam plasma yang berfluktuasi (60-3000 µg/l) antara satu pasien dengan pasien yang lain dengan dosis yang sama (14). Propafenon dimetabolime di hati dan setidaknya mempunyai satu metabolit aktif (5-hidroksipropafenon) (15). Tidak seperti flekainid, obat ini mengalami efek metabolisme lintas pertama yang sangat kuat. Sifat dan kontraindikasi propafenon banyak yang menyerupai flekainid. Propafenon sebaiknya juga tidak digunakan pada pasien dengan penyakit pada struktur jantung. Sifat-sifat elektrofisiologiknya juga mirip (Lihat bagian 5.4.1.1). Meskipun demikian, tidak seperti flekainid, propafenon memiliki sifat-sifat antagonis kalsium yang lemah (yakni sekitar 1% dari potensi verapamil) dan efek beta bloker (sekitar 5% dari propranolol). Profil efek samping obat ini pada dasarnya adalah gangguan saluran cerna (misalnya: konstipasi dan mual) serta efek samping pada susunan saraf pusat seperti gangguan rasa dan pusing. Tabel 5.5. merupakan ringkasan efek dan efek samping obat ini. Tabel 5.5. Karakteristik propafenon, dimodifikasi berdasarkan 1, 9, 10. AV = atrioventricular; CYP2D6 = CYTOCHROME P450 subtype 2D6. Obat Propafenon D o s i s / d o s i s Dosis awal untuk kardioversi: 2 mg/kg intravena selama selanjutnya 10 menit atau 400-600 mg per oral. Dosis selanjutnya: penyesuaian dosis individual, pemberian 3x sehari Kontraindikasi Pasien dengan penyakit pada struktur jantung: konversi ke atrial flutter dengan konduksi 1:1 dapat menyebabkan laju ventrikel cepat; asma bronkial, bradikardia

82

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Efek samping Takikardia torsades de pointes; blok AV jarang, bronkospasme Kriteria EKG Interval QRS memanjang, sehingga interval QT juga meuntuk pengu- manjang; kurangi dosis bila pemanjangan interval QRS > rangan dosis/ 25%; hentikan bila terjadi konduksi 1:1 atrial flutter penghentian obat Mekanisme Pemanjangan durasi potensial aksi, inhibisi INa, efek yang kerja lebih ringan pada IKr, IKur, IKs, dan Ito; nodus AV: efek dromotropic negatif; nodus sinus: efek dromotropik negatif, efek beta bloker ringan Metabolisme Dimetabolisme luas di hati, CYP2D6; efek eliminasi lintas pertama yang kuat; oksidasi; metabolit aktif berupa 5-hidroksipropafenon; eliminasi di ginjal, waktu paruh 2-16 jam; bioavailabilitas oral 2-12%; farmakokinetik tergantung pada dosis (dose-dependent); metaolisme diinduksi oleh sifat genetika Interaksi obat Tidak ada interaksi yang relevan Laju konversi propafenon dilaporkan berkisar 41-91% dengan pemberian intravena dan sekitar 45% dengan pemberian oral (9,12). Dibandingkan dengan pasien yang menjalani kardioversi menggunakan flekainid, irama sinus baru dapat tercapai dalam waktu yang lebih lama pasca pemberian propafenon secara oral. Pada penelitian yang dilakukan oleh MartinezMarcos dkk; pemberian propafenon intravena (2 mg/kg untuk setiap kasus) sama efektifnya dan menimbulkan efek yang sama cepatnya dengan flekainid dalam dua jam pertama dan jauh lebih cepat daripada pemberian amiodaron. Meskipun demikian, laju kardiioversi secara keseluruhan lebih buruk daripada flekainid, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5.9 (16).

Starry Homenta Rampengan

83

Gambar 5.9. Kinetika konversi akut ke SR pasca pemberian propafenon, flekainid, dan amiodaron secara intravena; dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 16

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kingma dkk, ditunjukkan bahwa meskipun menggunakan dosis yang sama, propafenon ternyata secara bermakna menunjukkan hasil yang lebih buruk daripada flekainid pada jam pertama pasca pemberian intravena, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5.10 (17). Propafenon tampaknya kurang sesuai untuk digunakan sebagai terapi jangka panjang pasca keberhasilan kardioversi dibandingkan dengan flekainid. Quinidin dan propafenon tidak lagi terlalu efektif untuk mempertahankan SR dibandingkan plasebo. Amiodaron dan flekainid tampaknya lebih sesuai terapi pemeliharaan SR (Lihat bagian 5.5.2.1., Tabel 5.7.)

84

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 5.10. Laju konversi ke SR pada pemberian propafenon intravena dibandingkan dengan flekainid pada pasien dengan durasi AF yang singkat dan yang lama, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 17.

5.4.1.3 TERAPI OBAT DALAM SAKU (“PILL-IN-THE-POCKET” THERAPY) Oleh karena mula kerjanya yang cepat, bahkan setelah pemberian secara oral, flekainiddan propafenon pantas disebut sebagai terapi pil dalam saku (pill-in-the pocket therapy). Untuk hal inilah, kontraindikasi terhadap terapi untuk obat-obat ini pertama kali diteliti sebagai pengobatan untuk pasien rawat inap (dengan eksklusi penyakit pada struktur jantung yang bermakna). Kemudian, bila terdapat AF, obat AA kelas IC diberikan dalam bentuk dosis tunggal dengan dosis yang lebih tinggi. Untuk pill-in-the pocket therapy dosis tunggal flekainid yang dianjurkan adalah 200-300 mg per oral. Untuk propafenon, dosis tunggal yang direkomendasikan untuk pasien rawat jalan sebagai terapi mandiri (self-therapy) pada AF paroksismal adalah 400-600 mg per oral. Tingkat keberhasilan pengobatan berkisar 94% (18). Pemberian obat sebaiknya disertai dengan monitoring telemetrik pada pasien agar dapat mendokumentasikan Starry Homenta Rampengan

85

keberhasilan terapi pada satu sisi dan menyingkirkan kemungkinan proaritmia dan bradikardia di sisi lain. Efek samping yang mungkin terjadi adalah takikardia TdP atau konversi ke atrial flutter dengan bahaya konduksi ke ventrikel 1:1 dengan resultan laju ventrikel yang tinggi. Selain itu, pasien dengan sick sinus syndrome, dalam hal konversi ke SR, maka mungkin terdapat jeda pra-otomatis (preautomatic pause) sebelum SR tercapai lagi, maka pasien-pasien ini berisiko mengalami skinop (Lihat Gambar 5.11). Bila kontraindikasi terhadap terapi telah disingkirkan dan konversi ke SR telah dicapai, pasien dapat melakukan pengobatan mandiri (selfmedication) dengan menggunakan dosis oral tunggal pada episode AF selanjutnya sebagai pasien rawat jalan sehingga pengobatan rawat inap selanjutnya dapat dihindari. Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Alboni dkk, ditunjukkan bahwa uji coba flekainid dan propafenon dalam konteks uji coba awal di rumah sakit, ternyata tidak mencerminkan risiko proaritmia yang dialami oleh pasien rawat jalan dengan melakukan pengobatan mandiri secara oral (oral self-medication) (19). Pada penelitian ini, setelah obat ini diuji secara intravena tanpa komplikasi di rumah sakit, ternyata didapatkan peningkatan laju presinkop, sinkop atau sinus arrest pada kondisi rawat jalan yang menjalani pengobatan mandiri. Oleh sebab itu, penelitian ini dihentikan lebih cepat. Maka dari itu, konsep pill-in-thepocket perlu dilakukan dengan menggunakan obat farmasi oral saat awal perawatan inap di rumah sakit.

Gambar 5.11. Jeda pra-automatis (pre-automatic pause) dengan periode asistole yang lama (garis tebal merah) sebelum SR ditegakkan ketika terjadi konversi ke SR selama terapi dengan flekainid. Relaps menjadi AF terjadi setelah dua denyut SR (St. Vincenz Hospital, Paderborn).

86

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

5.4.2 ANTIARITMIA KELAS III Amiodaron, dronedaron, Ibutilid, dofetilid dan sotalol merupakan AA kelas II. Sotalolhanya mempunyai potensi kardioversi farmakologik yang rendah dan oleh karena itu obat ini tidak dapat digunakan untuk kardioversi farmakologik. Dronedaron mempunyai struktur yang hampir mirip dengan amiodaron, tetapi tidak mempunyai ikatan kovalen atom iodium. Oleh karena itu, toksisitas pada organ akan lebih rendah. Dronedaron juga mempunyai risiko proartimia yang sangat rendah (20). Meskipun demikian, potensi antiaritmianya lebih rendah daripada amiodaron baik dalam penelitian pada binatang percobaan maupun dalam analisis post hoc (20-21). Pada penelitian uji klinik Dronedarone Atrial Fibrilation Study After Electrical Cardioversion (DAFNE), ditunjukkan bahwa dronedaron hanya dapat menyebabkan konversi ke SR pada 5,8% kasus dengan menggunakan dosis harian yang direkomendasikan yakni 2 x 400 mg per oral yang disertai oleh keberrhasilan 3,1% bila diberikan plasebo (22). Oleh karena itu, dronedaron sangat tidak cocok diberikan untuk kardioversi farmakologik pada AF. Jadi, obat ini hanya diizinkan penggunaannya untuk memelihara irama sinus pasca kardioversi. Menurut rekomendasi terkini, dronedaron sebaiknya tidak dipakai untuk pasien dengan AF permanen. Dronedaron sebaiknya tidak dipakai pada pasien dengan riwayat gagal jantung yang baru saja terjadi. Dronedaron merupakan inhibitor glikoprotein P, yang dapat meningkatkan kadar dabigatran dalam plasma, sehingga dronedaron tidak boleh diberikan dalam bentuk kombinasi dengan dabigatran (43). Tidak seperti amiodaron dan sotalol, misalnya: dofetilid tidak mempunyai sifat beta bloker maupun sifat penghambat kanal kalsium (calcium channel blocker), sehingga murni bersifat sebagai penghambat IKr (IKr blocker)(23). Laju kardioversi dengan menggunakan dofetilid lebih tinggi untuk kasus AF persisten dan atrial flutter daripada AF paroksismal dan dilaporkan sebesar 65% untuk atrial flutter dan 25% untuk AF (24). Oleh karena itu, obat ini sangat tidak efektif untuk AF dan mempunyai potensi proaritmia yang relevan (khususnya takikardia TdP). Dofetilid tidak memainkan peran penting dalam terapi AF di negara-negara yang menggunakan bahasa Jerman. Ibutilid dan amiodaron dapat dipakai untuk pasien dengan penyakit pada struktur jantung dan mempunyai potensi kardioversi. Oleh karena itu, kedua obat ini akan dibahas secara terpisah.

Starry Homenta Rampengan

87

5.4.2.1. AMIODARON

Gambar 5.12. Amiodaron

Amiodaron adalah benzofuran yang teriodinasi sedemikian rupa sehingga menurut strukturnya obat ini berhubungan dengan hormon tiroksin. Obat ini pertama kali dipakai pada tahun 1961 karena efek vasodilatornya sebagai obat antiangina pada penyakit jantung koroner. Kemudian diketahui bahwa amiodaron merupakan AA dengan potensi antiaritmia terbesar pada aritmia atrium dan ventrikel. Meskipun demikian, obat ini mempunyai banyak efek samping pada jantung maupun pada organ di luar jantung. Di antaranya adalah, terbentuknya deposit di lensa mata dan kornea (>90%), gangguan fungsi tiroid (30-40%), pneumonia interstisial (5-20%), hepatitis toksik (20-50%), fotosensitivitas (50-75%), gejala gastrointestinal (20-30%) dan neurotoksisitas (5-30%) (25). Efek samping yang jarang terjadi ada fibrosis paru yang diinduksi oleh amiodaron yang mempunyai prognosis yang buruk. Tabel 5.6. meringkas dosis dan karakteristik amiodaron.

88

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Tabel 5.6. Karakteristik amiodaron, dimodifikasi berdasarkan (1, 9, 10, 25). NYHA = New York Heart Association; CYP3A4 = cytochrome P450 subtype 3A4 Obat Dosis/dosis selanjutnya

Amiodaron Dosis awal untuk kardioversi 5 mg/kg secara intravena yang diberikan dalam waktu 1 jam atau 600 mg per oral setiap hari selama 4 minggu, kemudian 400 mg per oral selama 4 minggu. Dosis selanjutnya untuk kardioversi: 50 mg secara intravena/jam, dosis pemeliharaan 200 mg/hari per oral Kontraindikasi Perlu hati-hati bila digunakan bersama obat yang dapat memperpanjang interval QT dan pada pasien dengan gagal jantung kelas IV NYHA. Efek samping Takikardia torsades de pointes, deposit pada kornea, fotosensitivitas, gangguan fungsi tiroid, hepatitis toksik, gejala-gejala gastrointestinal, neuropati, pneumonia interstisial, hambatan pada nodus AV Kriteria EKG untuk pengu- Interval QT memanjang > 500 mili detik rangan dosis/penghentian atau > 25% nilai normal obat Mekanisme kerja Pemanjangan durasi potensial aksi, inhibisi INa, IKr dan Ica; inhibisi pada reseptor muskarinik α dan β; nodus AV: efek dromotropik negatif. Metabolisme Metabolisme di hati, CYP2D6; waktu paruh 30-60 hari; metabolit utama: desetil-amiodaron Interaksi Obat Meningkatkan kadar glikosida digitalis dan antagonis vitamin K

Starry Homenta Rampengan

89

Sebagai antiaritmia (AA) untuk kardioversi farmakologik akut, amiodaron mempunyai efek yang lebih lambat daripada propafenon dan flekainid bahkan dengan pemberian intravena dan pada fase awal, efeknya bahkan lebih lambat daripada plasebo sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian kardioversi yang dilakukan oleh Capucci dkk (Gambar 5.13 dan 5.14) (26). Setelah 24 jam, sekitar 40-90% pasien mengalami konversi ke SR, dan pada pemberian amiodaron berikutnya yang diberikan hingga jenuh tingkat konversinya dapat mencapai 90% (9, 26).

Gambar 5.13. Laju konversi akut dengan amiodaron, flekainid dan plasebo setelah tiga dan delapan jam, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 26

90

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 5.14. Waktu yang diperlukan untuk konversi menjadi irama sinus dengan menggunakan flekainid dan amiodaron, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 26.

Dosis intravena sebaiknya diberikan sebanyak 5 mg/kg dalam waktu satu jam yang diikuti oleh 50 mg/jam selama 5-7 hari. Flebitis, hipotensi dan bradikardia dapat terjadi dan merupakan efek samping akut. Sejumlah meta-analisis terhadap beberapa penelitian AA menunjukkan bahwa amiodaron merupakan AA yang paling efektif untuk memelihara SR. Tabel 5.7 menunjukkan tingkat rekurensi AF pada berbagai terapi AA. Tabel 5.7. Tingkat rekurensi AF pada berbagai terapi AA dalam waktu setidaknya 6 bulan, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 27 Quinidin Disopiramid Flekainid Propafenon Amiodaron Sotalol Tanpa obat

Tingkat rekurensi 59% (46-89) 51% (46-56) 38% (19-51) 61% (54-70) 47% (17-64) 58% (51-63) 69% (44-85)

Jumlah penelitian (n = 11) (n = 3) (n = 3) (n = 3) (n = 4) (n = 3) (n = 10)

Starry Homenta Rampengan

91

Meskipun demikian, didapatkan peningkatan mortalitas pada pasien yang diterapi dengan amiodaron (20). Perpanjangan interval QTc juga perlu selalu diingat. Yang menarik, penelitian CONVERT (Continuous vs. Episodic Prophylactic Treatment with Amiodaron for the Prevention of Atrial Fibrillation) study menemukan adanya peningkatan mortalitas pada pasien yang hanya mendapatkan terapi amiodaron intermiten dibandingkan dengan pasien yang mendapat terapi amiodaron jangka panjang (Gambar 5.15).

Gambar 5.15. Data mortalitas setelah pemberian amiodaron jangka pendek dibandingkan amiodaronjangka panjang setelah kardioversi (CONVERT study) (28). Data dari CONVERT study menunjukkan peningkatan mortalitas dan tingkat rawat inap pada pasien dengan pengobatan amiodaron intermiten (garis merah) dibandingkan dengan pasien dengan pengobatan amiodaron jangka panjang (garis biru).

92

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

5.4.2.2 IBUTILID

Gambar 5.16. Ibutilid

Ibu tilid merupakan AA Vaughan Williams kelas III yang dapat dipakai pada kardioversi farmakologik. Obat ini mempunyai eliminasi lintas pertama yang tinggi dan dimetabolisme secara luas di hati melalui oksidasi, dan enzim CYP3A4 dan CYP2D6 memegang peranan penting. Karena eliminasi lintas pertamanya yang tinggi, obat ini hanya dapat diberikan melalui jalur intravena. Enam metabolit dapat ditemukan di dalam urin. Hanya metabolit aktif yang turut membentuk 10% dosis Ibutilid. Ibutilid mempunyai volume distribusi yang besar dan ikatan protein plasma berkisar 40%. Waktu paruhnya sekitar enam jam. Tidak seperti AA kelas III lainnya, Ibutilid tidak mempunyai efek anti-adrenergik atau efek antagonis kalsium. Obat ini juga tidak mempunyai efek langsung terhadap IKr atau IKs, tetapi mempunyai efek terhadap IKur. Obat ini secara khusus meningkatkan lambat influks (aliran masuk) dari ion natrium ke dalam sel (29). Oleh karena itu, potensial aksi dan periode refrakter sel akan memanjang. Tabel 5.8. meringkas dosis, efek dan efek samping dari obat ini. Tabel 5.8. Karakteristik Ibutilid, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 1, 9, 10, 25. Obat Dosis/dosis selanjutnya

Ibutilid Dosis awal untuk kardioversi: 1 mg/kg intravena selama 10 menit. Dosis selanjutnya untuk kardioversi: pemberian selanjutnya sebanyak 1 mg intravena selama 10 menit setelah menunggu selama 10 menit; tidak ada terapi jangka panjang/tidak ada dosis selanjutnya untuk terapi jangka panjang. Starry Homenta Rampengan

93

Kontraindikasi

Perlu hati-hati bila digunakan bersama obat yang dapat memperpanjang interval QT Efek samping Takikardia torsades de pointes; takikardia ventrikular monomorfik; pemanjangan QT; memperlambat laju ventrikel Kriteria EKG untuk pengu- Takikardia ventrikular rangan dosis/penghentian obat Mekanisme kerja Pemanjangan durasi potensial aksi, inhibisi INa, IKur; tidak ada efek anti-adrenergik atau antagonis kalsium Metabolisme Efek eliminasi lintas pertama kuat; metabolisme di hati, CYP3A4 dan CYP2D6; 6 metabolit; ikatan protein plasma tinggi; waktu paruh plasma sekitar 6 jam Interaksi obat Tidak ada interaksi yang relevan Obat ini dapat dipakai untuk kardioversi pada pasien dengan AF dan atrial flutter. Mula kerja obat ini biasanya sekitar 90 menit. Laju konversi dilaporkan berkisar antara 10-50% untuk AF dan 60-70% untuk atrial flutter (8,9,12). Dibandingkan flekainid, obat ini bekerja sama cepatnya, tetapi kurang efektif, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian Reisinger dkk pada Gambar 5.17 (11). Pemberian Ibutilid sebelum melakukan elektrokardioversi dilaporkan dapat meningkatkan keberhasilan dari 70% hingga hampir 100% (30).

94

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 5.17. Perbandingan laju konversi Ibutilid dengan flekainid, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 11.

Ibutilid juga dapat dipakai untuk pasien dengan gagal jantung. Bahkan kombinasi Ibutilid dan terapi amiodaron oral dapat diberikan. Risiko proaritmia cukup tinggi, yakni sebesar 4% untuk takikardia TdP dan 5% untuk takikardia ventrikular monomorfik. Maka, ketika Ibutiliddigunakan, monitoring telemetrik selama beberapa jam perlu dilakukan pada pasien tersebut. Saat ini, penggunaan Ibutilid tidak diizinkan di Jerman. Meskipun demikian, obat ini diizinkan beredar di Swiss. Perlu diingat bahwa efektivitas biaya kardioversi yang menggunakan Ibutilid berkisar sekitar 410 Euro dan ini lebih mahal daripada flekainid yang biayanya hanya sekitar 30 Euro. 5.4.2.3. VERNALAKANT

Gambar 5.18. Vernakalant Starry Homenta Rampengan

95

Vernakalant merupakan obat antiaritmia yang relatif baru, dan sesuai dengan panduan dari ESC guidelines tahun 2010 tentang pengobatan fibrilasi atrium dan ESC guidelines tentang fokus pengetahuan terbaru, obat ini dapat dipakai untuk kardioversi farmakologik akut pada pasien tanpa kelainan struktur jantung dan juga pada pasien dengan penyakit struktur jantung dengan derajat keparahan sedang. Sebaliknya, obat-obat antiaritmia kelas IC tidak boleh dipakai pada pasien khusus ini sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa penelitian kohort (9,43). Obat ini mempunyai efek inhibisi yang bersifat selektif terhadap atrium dan menghambat kanal kalium yang sangat cepat/ultra-rapid potassium channels (IKur) pada khususnya dan juga IKAch, sekali lagi tentu saja dengan selektivitas pada atrium. Obat ini juga memberikan efek inhibisi tambahan, namun dengan potensi yang lebih rendah dan tidak bersifat selektif terhadap atrium. Efek inhibisi tambahan tersebut terjadi pada kanal natrium (INaL) dan juga kanal kalsium (ICal), IKr dan Ito. Potensial aksi atrium kerja singkat (short-acting atrial action potentials) pada AF sangatlah sensitif terhadap inhibisi kanal kalium yang bersifat sangat cepat (ultra rapid). Hal ini turut berperan pada efek verkalant dalam pengobatan AF (31). Mengingat sifat obat ini yang cukup selektif pada atrium, maka verkalant hanya dapat sedikit memperlama potensial aksi ventrikel dan sifat refrakter, sedangkan durasi QRS dan interval QT akan tetap konstan pada pemakaian verkalant.

Gambar 5.19. Perubahan pada periode refrakter efektif di atrium dan di ventrikel dengan infus verkalant sebanyak 2 mg/kg (biru) dan 4 mg/kg (merah), dimodifikasi dari kepustakaan nomor 32.

96

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Oleh karena itu, tidak ada risiko takikardia TdP. Kanal natrium hanya terdapat di miokardium atrum dan ventrikel. Pada pemberian vernakalant, inhibisi kanal-kanal ini terjadi dan tergantung pada frekuensi jantung (ratedependent manner). Peningkatan blok kanal ion yang disertai dengan frekuensi jantung yang cepat akan menghambat repolarisasi potensial aksi atrium dan ini terjadi hampir eksklusif (hanya terjadi pada tempat tersebut dan tidak di tempat lain). Gambar 5.20 merupakan ringkasan dari distribusi kanal-kanal ion sel-sel otot jantung di atrium dan ventrikel.

Gambar 5.20. Perbandingan kanal-kanal ion di dalam miokardium yang sedang bekerja di atrium (kiri) dan ventrikel (kanan), dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 33, IKur dan IK-Ach terjadi hanya di dalam miosit atrium jantung.

Starry Homenta Rampengan

97

Tabel 5.9. Karakteristik vernakalant, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 1, 9, 10, 25. CYP2D6 = cytochrome P450 subtype 2D6. Obat Dosis/dosis nya

Vernakalant selanjut- Dosis awal untuk kardioversi: 3 mg/kg intravena selama 10 menit. Dosis selanjutnya untuk kardioversi: pemberian selanjutnya sebanyak 2 mg/ kg intravena selama 10 menit setelah menunggu selama 15 menit

Kontraindikasi

98

Stenosis aorta berat, tekanan darah sistolik < 100 mmHg, gagal jantung kelas III dan kelas IV NYHA, perpanjangan QT (tanpa koreksi > 440 milidetik), bradikardia berat, sick sinus syndrome atau blok AV derajat II dan III (tanpa alat pacu jantung/pacemaker), sindroma koroner akut (termasuk infark miokardium) dalam waktu 30 hari sebelumnya, pasien yang mendapatkan antiaritmia intravena (kelas I dan kelas II dalam waktu 4 jam sebelum menggunakan vernakalant)

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Efek samping

Sangat umum (≥ 1/10): disgeusia, bersin-bersin. Umum (≥ 1/100, <1/10): parestesia, pusing, sakit kepala, hipoestesia, bradikardia, atrial flutter, hipotensi, batuk, gejala pada hidung, mual, muntah, mulut kering, pruritus, hiperhidrosis, nyeri/parestesia pada tempat infus, rasa panas, lelah.

Jarang (≥ 1/1000, < 1/100): parosmia, mengantuk, pingsan, iritasi mata, peningkatan sekresi air mata, gangguan penglihatan, sinus arrest, blok AV komplit, blok AV derajat 1, left bundle branch block, ventricular extrasystoles, palpitasi, bradikardia sinus, bradikardia ventrikular, kompleks QRS lebar pada pemeriksaan EKG, rona kemerahan (flushes), dispnea, rasa tercekik, hidung berair, diare, nyeri di ekstremitas, iritasi atau hipersensitivitas pada tempat jarum infus disuntikkan, gejala-gejala di dada Kriteria EKG untuk Bradikardia dan/atau hipotensi yang bermakna, pengurangan dosis/ perubahan EKG (jeda sinus/sinus pause, blok penghentian obat AV komplit, onset baru baru bundle branch block, pemanjangan QRS atau interval QT yang bermakna, bukti adanya iskemia atau infark, aritmia ventrikular) Mekanisme kerja Pemanjangan durasi potensial aksi, inhibisi INa, IKur, IKrICaL, dan Ito; Inhibisi kanal kalium yang sangat cepat (ultra-rapid potassium channels) bersifat selektif terhadap atrium, inhibisi kanal natrium lambat bersifat tergantung pada frekuensi jantung (rate-dependent) dan oleh karena itu, lebih relevan untuk potensial aksi singkat di atrium daripada di ventrikel. Starry Homenta Rampengan

99

Metabolisme

Interaksi obat

Dimetabolisme di hati, CYP2D6; waktu paruh 2-3 jam (5,5 jam pada pemetabolisme CYP2D6 yang lambat), distribusi cepat, ikatan protein plasma rendah, tidak ada penyesuaian dosis untuk pasien dengan gangguan ginjal atau hati atau pada pasien usia lanjut Tidak ada interaksi yang relevan

Saat ini, hanya sediaan intravena yang diizinkan beredar, tetapi beberapa penelitian sedang berlangsung dan mengusahakan agar sediaan oral juga dapat tersedia. Bioavailabilitas oral adalah sekitar 20%. Tergantung tipe metabolismenya, waktu paruh vernakalant berkisar antara dua hingga tiga jam (5,5 jam pada orang dengan metabolisme CYP2D6 yang lambat) dan obat ini tidak tergantung pada fungsi ginjal maupun hati. Obat ini merupakan inhibitor kompetitif derajat sedang untuk CYP2D6. Oleh karena distribusinya yang sangat cepat, paparan yang singkat dan ikatan protein plasma yang rendah serta tidak ada efek pada transpor digoksin yang dimediasi oleh glikoprotein P (P-glycoprotein-mediated digoksin transport), maka tidak ada interaksi obat yang bermakna. Vernakalant dikontraindikasikan untuk pasien dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg), stenosis katup aorta berat dan gagal jantung berat (kelas III-IV NYHA). Meskipun demikian, obat ini dapat dipakai pada pasien dengan penyakit jantung koroner, penyakit jantung hipertensi dan gagal jantung ringan (kelas I-II NYHA). Anak-anak, dewasa muda, wanita hamil dan ibu menyusui sebaiknya tidak diberikan vernakalant. Efek samping pemberian infus vernakalant meliputi disgeusia dan bersin (sangat umum), batuk, parestesia, bradikardia, hipotensi, rasa pusing, mual, muntah, gatal, hiperhidrosis, rona merah yang terasa panas (hot flushes), dan kelelahan (umum) dan sinus arrest, left bundle branch block, flushes, hidung berair dan diare (jarang). Pada beberapa kasus, dapat terjadi pemendekan interval QTc pada saat diberikan infus vernakalant. Hal ini menjelaskan mengapa pada binatang percobaan, vernakalant terbukti dapat mencegah pemanjangan potensial aksi yang diinduksi oleh dofetilid (dofetilid-induced prolongation of the action potential) dan juga takikardia TdP yang diinduksi oleh penghentian obat (terminated drug-induced TdP tachycardia). Tabel 5.9 meringkas tentang dosis, pengaruh, dan efek sampingnya. 100

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Tiga penelitian tersamar ganda, acak dan dengan kontrol plasebo (ACT I, ACT II dan ACT III) serta sebuah penelitian perbandingan amiodaron (AVRO) dilakukan untuk pemberian izin edar vernakalant. Vernakalant juga diteliti pada penelitian terbuka/open-label study (ACT IV). Pada seluruh penelitian yang bertujuan memberi izin edar, parameter akhir utamanya adalah jumlah pasien yang dalam 90 menit pasca pemberian obat secara intravena, mencapai irama sinus untuk setidaknya selama satu menit, yang dievaluasi sebagai kardioversi yang berhasil. Tabel 5.10 menunjukkan ikhtisar penelitian-penelitian yang meneliti tentang vernakalant. Pada penelitian Atrial Arrhythmia Conversion Trial (ACT) I-III, efikasi vernakalant diteliti pada 575 pasien dengan AF paroksismal dan dibandingkan dengan plasebo. Pada ACT I, vernakalant dapat menimbulkan kardioversi pada 51% pasien yang mengalami AFyang bertahan selama > 3 jam hingga ≤ 7 hari (durasi singkat) (74/145). Kelompok plasebo mengalami konversi pada 4,0% kasus (3/75). Pada ACT III, pada pengobatan aktif, 51,2% pasien (44/86) mengalami konversi dibandingkan dengan 3,6% pada kelompok plasebo (3/84). Pada subkelompok dengan AF selama < 72 jam, sebanyak 78% mengalami konversi pada pengobatan dengan vernakalant. Meskipun demikian, pada kasus AFdengan duarasi lama ( > 8 hari), vernakalant ternyata tidak lebih efektif daripada plasebo (laju konversi 8% pada ACT I dan 9% pada ACT III). Selain itu, tidak konversi yang bermakna pada atrialflutter menjadi SR (2,5% pada ACT I dan 7% pada ACT III) (35,36). Gambar 5.21 menunjukkan laju konversi untuk vernakalant dibandingkan dengan plasebo pada penelitian ACT I dan ACT III.

Starry Homenta Rampengan

101

Tabel 5.10. Gambaran umum penelitian-penelitian tentang antiaritmia vernakalant, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 34-37. AF = Atrial fibrilation Populasi penelitian (Durasi AF/atrial flutter) VHF (3 jam – 45 hari)

Desain

Teracak, tersamar ganda, dengan kontrol plasebo ACT II AF/atrial flutter Teracak, tersapasca bedah mar ganda, dengan kontrol AF/Atrial flutter ( 3 – plasebo 72 jam) ACT III AF/atrial flutter (3 Teracak, tersajam – 45 hari) mar ganda, dengan kontrol plasebo ACT I

ACT IV AF (3 jam – 45 hari) Terbuka AVRO AF (3- 48 jam) Teracak, tersamar ganda, kontrol aktif amiodaron

102

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Jumlah pasien Vernaka- Plasebo/ lant kontrol 221 115

107

54

(Atrial flutter n = 7) 134

(Atrial flutter n = 4) 131

(Atrial (Atrial flutter flutter n = n = 9) 14) 236 116 116 (amiodaron)

Gambar 5.21. Laju konversi AF(durasi AF: 3 jam hingga 7 hari) pada penggunaan vernakalant dibandingkan dengan plasebo, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 35, 36.

Pada penelitian ACT II, pasien dengan AF durasi singkat (3-72 jam) pasca prosedur pembedahan jantung diteliti. Pada kelompok vernakalant, kardioversi terjadi pada 47% pasien. Pada kelompok plasebo, laju kardioversi sebesar 14%. ACT IV menunjukkan laju konversi sebesar 51% sebagai akibat dari penggunaan vernakalant pada pasien dengan AF yang mengalami aritmia selama < 7 hari. Kepentingan klinisnya adalah vernakalant dapat digunakan dengan aman untuk kardioversi yang efektif pasca pembedahan jantung. Antiaritmia lainnya, misalnya flekainid, tidak diindikasikan untuk hal ini. Kardioversi yang efektif pasca pembedahan dapat mengurangi lama rawat inap pasien di ruang ICU atau mencegah pasien yang telah dirawat di bangsal biasa kembali dirawat di ICU. Uji klinik AVRO (A Randomized Active-Controlled Study Comparing the Efficacy and Safety of Vernakalant to Amiodaron in Recent-Onset Atrial Fibrilation) menunjukkan keunggulan vernakalant dibandingkan dengan amiodaron untuk kardioversi pada pasien dengan AF (38). Vernakalant dibandingkan dengan amiodaron pada 232 pasien dengan AF paroksismal (3 hingga 48 jam). Parameter pengukuran akhirnya (yakni kardioversi menjadi SR setelah 90 menit) dicapai oleh 51,7% pasien di kelompok vernakalant dan 5,2% pada kelompok amiodaron (p < 0,0001). Setelah 4 Starry Homenta Rampengan

103

jam, 54,4% pasien di kelompok vernakalant dan 22,6% pasien di kelompok amiodaron mengalami konversi ke SR (Lihat Gambar 5.21). Dalam hal efek samping, kedua obat tersebut sebanding dan efek samping berat serta proaritmia jarang terjadi. Gambar 5.22 menunjukkan laju konversi pasien AF yang diobati dengan vernakalant dibandingkan dengan yang diobati dengan amiodaron dalam waktu 90 menit setelah infus mulai diberikan.

Gambar 5.22. Laju kardioversi setelah 90 menit pengobatan dengan infus amiodaron dan vernakalant, dimodifikasi berdasarkan kepustakaan nomor 38.

Seiring dengan penelitian-penelitian tentang izin edar yang telah dilakukan, izin edar obat ini didapatkan untuk kardioversi akut AF yang berdurasi ≤ 7 hari atau ≤ 3 hari untuk pasien yang telah menjalani prosedur pembedahan jantung (39). Diagram alir untuk kardioversi farmakologik ditunjukkan pada Gambar 5.23. Sebelum pemberian infus, pasien sebaiknya diberi rehidrasi dan selama pemberian infus, monitoring dengan menggunakan EKG dan monitoring tekanan darah perlu dilakukan. Gambar 5.24 menunjukkan konversi ke SR selama diberikan infus vernakalant.

104

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

Gambar 5.23. Diagram menunjukkan pengobatan menggunakan vernakalant. ECG = eletro-cardiogram/EKG = elektro-kardiogram; BP = blood pressure measurement/ pengukuran tekanan darah dengan menggunakan metode Riva-Rocci

Gambar 5.24. Konversi ke SR (kotak merah, EKG pada 10 mm/detik) selama pemberian infus verkalant dan bukti adanya SR (kotak hijau, EKG pada 25 mm/ detik; St. Vincenz Hospital, Paderborn). Starry Homenta Rampengan

105

Data baru diperoleh dari catatan resmi penelitian kohort di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Skane di Malmo yang melibatkan 251 pasien yang diobati dengan infus vernakalant (6). Periode inklusi berlangsung sejak tanggal 15 Januari 2011 hingga 15 April 2013. Pasien diikuti perkembangannya selama periode inklusi, selama 1- 27 bulan. 70% dari 251 pasien mengalami konversi ke SR. Laju konversi yang cukup tinggi ini disebabkan oleh pemberian vernakalant secara dini (waktu sejak serangan AF hingga terapi 6,5 jam (median) dan sejak masuk UGD hingga mendapatkan pengobatan 2,4 jam (median). Laju konversi tampak lebih tinggi pada pasien wanita (77% dibandingkan 64%) dan pada pasien dengan durasi AF yang singkat (76% dengan durasi AF< 10 jam dibandingkan 66% dengan durasi AF> 10 jam). Pasien yang tidak mengalami konversi ke SR dengan pengobatan vernakalant kemudian diberi elektrokardioversi. Yang menarik, setelah 12 bulan, 75% responder yang diberi pengobatan vernakalant masih mempunyai irama sinus (SR) dibandingkan dengan 45% pasien yang diberikan kardioversi dengan arus searah (DC-cardioverted patients). 5.4.3. AF DALAM KONTEKS SINDROMA WOLFF PARKINSON WHITE Sindroma Wolff-Parkinson-White didefinisikan sebagai sindroma pra-eksitasi akibat adanya jalur konduksi atrium-ventrikel tambahan(accessory atrio-ventricular conduction path) yang disertai oleh atrioventricular re-entry tachycardia. Hal ini seringkali berkaitan dengan AF. Digitalis,verapamil, β-bloker, dan amiodaron dikontraindikasikan untuk kasus ini karena adanya bahaya peningkatan frekunsi konduksi pada jalur konduksi tambahan yang disertai oleh induksi fibrilasi ventrikel. Meskipun demikian, AA kelas I, misalnya ajmalin, flekainid atau propafenon atau AA kelas III lini kedua, misalnya sotalol dan Ibutilid dapat dipakai untuk pengobatan AF dalam hal ini. 5.4.4. OBAT-OBAT EKSPERIMENTAL Banyak antiaritmia (AA), dan kebanyakan berhubungan dengan obat yang saat ini tersedia di pasaran, kini sedang diteliti dalam berbagai jenis fase uji klinik. Dalam artikel ini, hanya AA yang telah atau sedang dikembangkan yang akan dibahas. Beberapa obat ini berkaitan dengan amiodaron. Celivaron merupakan benzofuran yang tidak teriodinasi dan pada penelitian dengan binatang percobaan ternyata 100% menghentikan AF yang diinduksi oleh nervus vagus (vagally induced 106

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

AF) dan mencegah induksi AF pada 60% kasus (40). Derivat amiodaron lainnya, antara lain aqueous amiodaron (Amio-Aqueous), soft amiodaron (AT-2042) dan PM101. Amio-aqueous tidak lagi dikembangkan lebih lanjut karena adanya masalah dalam hal kelarutannya. Seperti amiodaron, ATI-2042 terikat dengan atom iodium, tetapi obat ini berbeda dengan amiodaron karena waktu paruhnya hanya tujuh jam. Diharapkan, hal ini dapat menghindari toksisitas jaringan karena obat tidak lagi terakumulasi. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengurangan beban AF sebanyak 87% (8). Tedisamil merupakan bloker kanal kalium multipel tanpa adanya ketergantungan pemakaian balik (perubahan sifat refrakter atrium tidaklah tergantung pada denyut jantung, risiko rendah pasca depolarisasi dini selama terjadi bradikardia). Penelitian tentang pemberian dosis jangka panjang telah dihentikan karena adanya efek samping diare berat, tetapi tetap dilanjutkan sebagai AA untuk kardioversi akut. Pada penelitian yang sedang mencari tahu tentang dosis (dose-finding study), didapatkan laju kardioversi sebesar 51% (8). 5.5. RINGKASAN Kardioversi farmakologik merupakan terapi alternatif selain elektrokardioversi untuk mengobati AF dan terutama cocok untuk pasien dengan AF durasi pendek. Karena terdapat konversi spontan ke SR dalam waktu 48 jam, pendekatan kontrol irama dan pendekatan menunggu (wait-and-see approach) sebaiknya dipakai pada awal periode ini. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil perlu segera diberikan kardioversi. Pada pasien stabil, TEE untuk menyingkirkan trombi di dalam jantung (intracardiac thrombi) perlu dilakukan untuk AF> 48 jam atau bila durasi tidak jelas, bahkan dengan kardioversi farmakologik. Manfaat kardioversi farmakologik adalah cara ini kurang invasif dan tidak memerlukan analgesia/sedasi. Mula kerja yang tertunda (delayed onset of action) yang dimiliki oleh antiaritmia yang telah berkembang dapat menjadi kerugian karena memberikan kemungkinan konversi yang lebih sedikit daripada elektro-kardioversi, khususnya pada kasus AFyang bertahan lama/sustained AF. AA kelas IC flekainid dan propafenon serta penghambat kanal kalium yang bersifat atrium selektif vernakalant dapat dipakai untuk kardioversi farmakologik. Vernakalant tampak menyolok sebagai obat pilihan baru, terutama karena kecepatan kerjanya (kardioversi terjadi setelah nilai median sebanyak 11 menit). Starry Homenta Rampengan

107

Laju konversi berkisar antara 50 dan 90%. Tabel 5.11 menunjukkan ringkasan antiaritmia manakah yang dapat dipakai tergantung karakteristik pasien dan indikasinya. Tabel 5.11. Ringkasan kemungkinan penggunaan berbagai jenis antiaritmia untuk kardioversi dan pemeliharaan irama jantung Konversi farmakologik ke ira- Terapi pemeliharaan irama ma sinus jantung (rhythm-maintaining therapy) Dengan pe- Tanpa pe- Dengan pe- Tanpa penyanyakit struktur nyakit struk- nyakit struk- kit struktur jantung tur jantung tur jantung jantung Flekainid + + Propafenon + Amiodaron (+) (+) + + Ibutilid + (khususnya + pada atrial flutter) Vernakalant + + Dronedaron + + Butir penting • Kardioversi farmakalogik untuk AFatau atrial flutter merupakan alternatif yang kurang invasif dibandingkan elektrokardioversi pada pasien dengan hemodinamik stabil. • Tergantung pada obat yang dipakai, laju konversi adalah sekitar 50 hingga > 90% • Pada pasien tanpa penyakit struktur jantung, flekainid atau propafenon merupakan obat pilihan • Pada pasien dengan penyakit struktur jantung, amiodaron dapat dipakai • Vernakalant merupakan obat baru yang bersifat atrium selektif dengan risiko proaritmia yang rendah dan mula kerja yang cepat, yang tersedia untuk kardioversi farmakologik. 108

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

DAFTAR PUSTAKA 1.

Aliot E, et al. Twenty-five years in the making: flecainide is safe and effective for the management of atrial fibrillation. Europace. 2011;13:161-173.

2.

Danias PG, et al. likelihood of spontaneous conversion of patients with atrial fibrillation to sinus rhythm. J Am Coll Cadiol. 1998;31:588-592.

3.

Tejan-Sie SA, et al. Spontaneous conversion of patients with atrial fibrillation scheduled for electrical cardioversion: an ACUTE trial ancillary study. J Am Coll Cardiol. 2003;42:1638-1643.

4.

Bellone A, et al. Cardiversion of acute atrial fibrillation in the emergency departement: a prospective randomised trial. Emerg Med J. 2011;Mar 21. [Epub ahead of print].

5.

Bugan V. et al. [Success of pharmacologic cardiversion and electric cardioversion in patients with atrial fibrillation or flutter in a 5 year retrospective study]. Vnitr Lek. 1994;40:219-222.

6.

Juul-Moller S. Vernakalant in recently develop Atrial Fibrillation: How to translate pharmacological trials into clinicals practice. ECJM. 2013;2/4:226-233.

7.

The Sicilian gambit. A new approach to the classification of antiarrhythmic drugs based on their actions on arhythmogenic mechanisms. Task force of the Working Group on Arrhythmias of the European Society of Cardiology. Circulation. 1991;84:1831-1851.

8.

Savelieva I, et al. Antiarrhythmic drug therapy for atrial fibrillation: current antiarrhythmic drugs, investigationals agents, and innovative approaches. Europace. 2008;10:647-665.

9.

Camm AJ, et al. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the Management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2010;31:2369-2429.

10. Cheng JWM, et al. Pharmacotherapy Options in Atrial Fibrillation: Focus on Vernakalant. Clinical Medicine: Therapeutics. 2009;1:215-230. 11. Reisinger J, et al. Flecainide versus ibutilide for immediate cardioversion of atrial fibrillation of recent onset. Eur Heart J. 2004;25:1318-1324. 12. McNamara RL, et al. Management of artial fibrillation: review of evidence for the role of pharmacologic therapy, electrical cardioversion, and echocardiography. Ann Intern Med. 2003;139:10187-1033. 13. Er F, et al. Flecainide for cardioversion in patients at elevated cardiovascular risk and persistent atrial fibrillation: a prospective observasional study. Clin Res Cardiol. 2010;99:369-373. 14. Harron DW, et al. Propafenone. A review of its pharmacodynamic and pharmacokinetic properties, and therapeutic use in the treatment of arrhythmias. Drugs. 1987;34:617-647. 15. Brodsky MA, et al. Propafenone. Chest. 1985;88:164-165. 16. Martinez-Marcoz FJ, et al. Comparisin of intravenous flecainide, propafenone, and amiodarone for conversion of acute atrial fibrillation to sinus rhythm. Am J Cardiol. 2000;86:950-953 Starry Homenta Rampengan

109

17. Kingma JH, et al. Acute pharmacologic conversion of atrial fibrillation and flutter: the role of flecainide, propafenone, and verapamil. Am J Cardiol. 1992;70:56A-60A. 18. Alboni P, et al. Outpatient treatment of recent –onset atrial fibrillation with the “pill-inthe-pocket” approach. N Engl J Med. 2004;351:2384-2391. 19. Alboni P, et al. Intravenous administration of flecainide or propafenone in patients with recent-onset atrial fibrillation does not predict adverse effects during “pill-in-thepocket” treatment. Heart. 2010;96:546-549. 20. Freemantle N, etal. Mixed treatment comparison of dronedarone, amiodarone, sotalol, flecainide, and propafenone, for the management of atrial fibrillation. Europace. 2011;13:329-345. 21. Burashnikov A, et al. Acute dronedarone is inferior to amiodarone in terminating and preventing atrial fibrillation in canine atria. Heart Rhythm. 2010;7:1273-9. 22. Touboul P, et al. Dronedarone for prevention of atrial fibrillation: a dose-ranging study. Eur Heart J. 2003;24:1481-7. 23. Al-Dashti R, et al. Dofetilide: a new class III antiarrhythmic agent. Can J Cardiol. 2001;17:63-67. 24. Banchs JE, et al. Efficacy and safety of dofetilide in patients with atrial fibrillation and atrial flutter. J Interv Card Electrophysiol. 2008;23:111-115. 25. Kahaly GJ, et al. [Amiodaron und Schilddrusendysfunktion]. Dtsch Arztebl. 2007;104:3550-3555. 26. Capucci A, et al. Effectiveness of loading oral flecainide for converting recent-onset atrial fibrillation to sinus rhythm in patients without organic heart disease or with only systemic hypertension. Am J Cardiol. 1992;70:69-72. 27. Levy S, et al. Atrial fibrillation: current knowledge and recommendations for management. Working Group on Arrhythmias of the European Society of Cardiology. Eur Heart J. 1998;19:1294-1320. 28. Ahmed S, et al. Continuous vs episodic prophylactic treatment with amiodarone for the prevention of atrial fibrillation: a randomized trial. JAMA. 2008;300:1784-1792. 29. Howard PA. Ibutilide: an antiarrhythmic agent for the treatment of atrial fibrillation or flutter. Ann Pharmacother. 1999;33:38-47. 30. Nair M, et al. Safety and efficacy of ibutilide in cardioversion of atrial flutter and fibrillation. J Am Board Fam Med. 2011;24:86-92. 31. Hirt MN, et al. [Vernakalant: a novel antiarrhythmic drug for the rapid conversion of atrial fiibrilation to sinnus rhythm]. Dtsch Med Wochenschr. 2010;135:971-976. 32. Dorian P, et al. The effect of vernakalant (RSD1235), an investigational antiarrhythmic agent, on atrial electrophysiology in humans. J Cardiovasc Pharmacol. 2007;50:35-40. 33. Raven U, et al. Role of potassium currents in cardiacs arrhythmias. Europace. 2008;10:1133-1137.

110

Kardioversi pada Fibrilasi Atrium

34. Stiell IG, et al. A multicenter, open-label study of vernakalant for the conversion of atrial fibrillation to sinus rhythm. Am Heart J. 2010;159:1095-1101. 35. Roy D,et al. Vernakalant hydrochloride for rapid conversion of atrial fibrillation: a phase 3, randomized, placebo-controlled trial. Circulation. 2008;117:1518-1525. 36. Pratt CM, et al. Usefulness of vernakalant hydrochloride injection for rapid conversion of atrial fibrillation. Am J Cardiol. 2010;106:1277-1283. 37. Kowey PR, et al. vernakalant hydrochloride for rapid conversion of atrial fibrillation after cardiac surgery: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Circ Arrhythm Electrophysiol. 2009;2:652-659. 38. Camm AJ, et al. A randomized active-controlled study comparing the efficacy and safety of vernakalant to amioradone in recent-onset atrial fibrillation. J Am Coll Cardiol. 2011;57:313-321. 39. Roy D, et al. Vernakalant hydrochloride for rapid conversion of atrial fibrilation: a phase 3, randomized, placebo-controlled trial. Circulaton. 2008;117:1518-1525. 40. Gautier P, et al. In vivo and in vitro antiarrhythmic effects of SSR49744C in animals models of atrial fibrillation and ventricular arrhythmias. J Cardiovasc Pharmacol. 2005;45:125-135. 41. CrijnsHJGM, et al. Contemporary real life cardioversion of atrial fibrillation: Results from the Multinational RHYTHM-AF study. Int J Cardiol. 2014. 42. Gitt AK, et al. Types and outcomes of cardioversion in patients admitted to hospital for atrial fibrillation: Results of the German RHYTHM-AF Study. Clin Res Cardiol. 2013;102:713-723. 43. Camm AJ, et al. 2012 focused update of the ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation. Eur Heart J. 2012;33:2719-2747.

Starry Homenta Rampengan

111