ARIE GANTI| 0
KEDUDUKAN PERKAWINAN SEMARGA DALAM KLAN SEMBIRING PADA MASYARAKAT KARO DI DESA TANJUNG PULO KECAMATAN TIGA NDERKET KABUPATEN KARO JURNAL TESIS Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh ARIE GANTI 157011044 / M.Kn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017
ARIE GANTI| 1
Kedudukan Perkawinan Semarga Dalam Klan Sembiring Pada Masyarakat Karo Di Desa Tanjung Pulo, Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo ARIE GANTI ABSTRACT It has been known in the Karonese community there is a prohibition to get married with the same clan. The objective of this research was to analyze the position of marriage in the same Sembiring clan in the Karonese community at Tanjung Pulo Village, Tiga nderket Subdistrict, Karo Regency. The formula of the problems was the reasons why it was allowed, the position, and its consequence. The research used empirical juridical normative and descriptive analytic method. Primary legal materials were Law No. 1/1974 on Marriage, the result of the interviews with the adat Karonese community, while secondary data were obtained from books and tertiary legal materials such as dictionaries, and dictionaries on law. The result of the research shows that the reasons why getting married with the same Sembiring clan is allowed are religion and the change in social values. It is considered legitimate and recognized when the stages of its procedures have been done such as belo selambar (proposal), nganting manuk (negotiation on marriage ceremony), kerja nereh empo (adat party), and mukul (its legitimation). Sembiring and Perangin-angin clans are specifically called limited eleutherogamy; that is, a person from a certain clan in Sembiring and Perangin-angin clans is allowed to get married with a person of the same subclan in different clan. The legal consequence if getting married with same Sembiring clan is the existence of sinereh (wife) will break off from her family. When the parents die, the brother of the late father takes the responsibility to raise the children, joint property will be property grouping, and Sembiring clan will be attached to the children who inherit it from their father and mother. Keywords: Marriage with Same Clan, Karonese Adat, Sembiring Clan.. I. Pendahuluan Larangan perkawinan yang dilangsungkan diantara orang-orang yang semarga dimaksudkan untuk menjaga kemurnian keturunan berdasarkan sistem kekerabatan pada masyarakatKaro, karena nilai budaya Karo sangat tinggi pengaruhnya dalam mewujudkan kehidupan yang lebih maju, damai, aman, tertib, adil, dan sejahtera. Sanksi bagi yang melakukan perkawinan semarga (sumbang) adalah diusir dari tempat tinggal mereka, dikucilkan di masyarakat adat, dikucilkan dan diusir oleh keluarga.Namun, pada masyarakatKaro walaupun sistem perkawinannya adalah sistem eksogami murni seperti pada Batak lainnya, untuk marga tertentu dikenal pula sistem eleutherogami terbatas yaitu pada Marga Sembiring dan Peranginangin. Adapun letak keterbatasannya adalah seseorang
ARIE GANTI| 2
marga tertentu dari Marga Sembiring dan Perangin-angin hanya diperbolehkan kawin dengan orang tertentu dari marga yang sama namun tertentu pula asal klannya berbeda. Misalnya dalamMerga Peranginangin, antara Bangun dan Sebayang atau antara Kuta Buluh dan Sebayang.Demikian juga dalam MergaSembiring, antara Brahmana dan Meliala antara Pelawi dan Depari dan sebagainya. Larangan perkawinan dengan orang dari luar merga-nya tidak dikenal, kecuali antara Sebayang dan Sitepu atau antara Sinulingga dan Tekang yang disebut sejanji atau berdasarkan perjanjian.Karena pada tempo dulu mereka telah mengadakan perjanjian tidak saling berkawin. Dengan adanya eleutherogami terbatas ini menunjukkan bahwa merga bukan sebagai hubungan genealogis dan asal usul merga tidak sama.1 Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukan di atas, mengingat selama ini muncul adanya anggapan bahwa setiap perkawinan adat Karo harus dilakukan dengan perbedaan marga, saya tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Kedudukan Perkawinan Semarga Dalam Klan Sembiring Pada Masyarakat Karo Di Desa Tanjung Pulo, Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo”. Perumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Apakah yang menjadi alasan diperbolehkannya perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket ? 2. Bagaimana kedudukan perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket ditinjau dari hukum adat ? 3. Bagaimana akibat hukum dari perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo? Sesuai dengan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini ialah : 1. Untuk menganalisis hal-hal yang menyebabkan diperbolehkannya perkawinan semarga dalamklan Sembiring pada masyarakat Karo di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket. 1
Ibid, h. 74.
ARIE GANTI| 3
2. Untuk menganalisiskedudukan hukum perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket ditinjau dari Hukum Adat. 3. Untuk menganalisis akibat hukum dari perkawinan semarga dalam klanSembiring pada masyarakat Karo di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo. II. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah hukum empiris (yuridis empiris). Sumber data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari : 1. Data Primer, data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik melalui wawancara secara mendalam dan kuesioner. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan Undang-Undang Perkawinan. Data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah satu sumber hukum yang penting bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif.Bahan hukum primer meliputi bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat bagi landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian.Bahan hukum yang difokuskan oleh peneliti adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum perkawinan dan hukum adat. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan dan memperkuat bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan hukum, jurnal-jurnal, serta bahan dokumen hukum lain yang terkait. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, kamus bahasa, artikel, sumber data elektronik dari internet dan lain-lain yang relevan dengan penelitian ini.
ARIE GANTI| 4
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan : metode penelitian kepustakaan (library research) dan studi lapangan (Field Research) III. Hasil Penelitian dan Pembahasan Dalam hukum adat Karo, dikenal adanya larangan untuk dapat melangsungkan suatu perkawinan yaitu : Berasal dari satu marga, kecuali untuk Marga Sembiring dan Peranginangin. Mereka yang karena adat dilarang untuk melangsungkan perkawinan karena erturang (bersaudara), seperemen, atau erturang impal. Belum dewasa, dalam hal ini mengukur kedewasaan seseorang tidak dikenal batas usia yang pasti, tetapi berdasarkan pada kemampuan bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk laki-laki hal ini diukur dengan sudah mampu membuat peralatan rumah tangga, peralatan bertani dan sudah mengetahui adat berkeluarga (meteh mehuli) sedangkan untuk perempuan hal ini diukur dengan sudah akil balig dan telah mengetahui adat (meteh tutur). Dalam hal ini, di berbagai daerah di Indonesia terdapat perbedaanperbedaan larangan terhadap perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan ada daerah yang melarang terjadinya perkawinan antara anggota kerabat tertentu, sedangkan di daerah lain perkawinan antara anggota kerabat yang dilarang justru dianjurkan. Bentuk perkawinan pada masyarakat patrilineal yang menarik garis kekeluargaan dari pihak ayah mengenal bentuk perkawinan eksogami. Misalnya, bentuk perkawinan jujur pada masyarakat Batak yang mengharuskan adanya perbedaan klan antara calon mempelai laki-laki dengan perempuan sehingga pihak laki-laki menarik pihak perempuan untuk masuk dalam klannya. Masyarakat patrilineal memiliki ciri mempertahankan kelangsungan generasi keluarganya. Oleh karena itu, dikenal beberapa larangan perkawinan, yaitu larangan kawin dengan keluarga dari marga yang sama atau larangan kawin timbal balik antara dua kelurga yang walaupun berbeda klan tetapi telah atau pernah terjadi hubungan perkawinan (asymmetrisch connubium) di antara dua keluarga yang bersangkutan.
ARIE GANTI| 5
Perkawinan
harus
dilaksanakan
manunduti
atau
melakukan
perkawinan berulang searah dari satu sumber bibit, pihak penerima dara (boru, anak beru) dianjurkan dan dikehendaki untuk tetap mengambil dara dari pemberi dara (hula-hula, kalimbubu).Idealnya adalah seorang laki-laki kawin dengan perempuan anak dari paman saudara ibunya.Tetapi tidak dibenarkan adanya perkawinan antara anak bersaudara ibu. Alasan Terjadinya Perkawinan Semarga Dalam Klan Sembiring Pada Masyarakat Karo Di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket Faktor-faktor
yang
menyebabkan
terjadinya
perkawinan
semarga
Masyarakat Karo Di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket dalam klan Sembiring adalah faktor agama, dan faktor cinta. Proses perkawinan berdasarkan agama Kristen yaitu hanya dengan melakukan pemberkatan di gereja dengan mengikuti peraturan yang telah ditentukan oleh gereja dimana pemberkatan perkawinan itu dilakukan. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. adat, perkawinan semarga dalam Klan sembiring tidak boleh dilakukan namun jika sudah saling menyayangi dan mencintai kenapa harus dihalangi, setiap manusia berhak untuk hidup bahagia. Alasan diperbolehkannya perkawinan semarga, muncul dengan adanya pergeseran hukum adat baik karena agama maupun karena perubahan sosial. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat karena sistem nilai-nilai, normanorma, pola-pola prilaku, organisasi, susunan lembaga-lembaga sosial, statifikasi, kekuasaan, interaksi sosial, cinta dan lain sebagainya. Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi jalannya atau berlangsungnya perubahan sosial yaitu faktor yang mendorong atau menunjang dan yang menghambat. Diantara faktor-faktor yang mendorong dapatlah disebutkan kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan yang maju, toleransi terhadap prilaku yang menyimpang, stratifikasi yang terbuka, penduduk yang heterogen dan ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. Daya pendorong faktor-faktor tersebut dapat berkurang karena adanya faktor-faktor yang menghambat seperti kurangnya atau tidak ada hubungan dengan masyarakat lain, perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat, sikap masyarakat yang terlalu
ARIE GANTI| 6
tradisionalistis, adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali, rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal yang baru, hambatan-hambatan yang bersifat ideologis dan mungkin juga adat istiadat yang melembaga dengan kuat. Pelembagaan hukum yang memperkukuh terjadinya perubahan sosial bisa saja berawal dari peranan ajaran agama yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan.Filsuf Marxis seperti Karl Mark memang menepis pendapat bahwa agama dapat mempengaruhi perubahan- perubahan sosial. Namun kini diakui bahwa perubahan-perubahan sosial adalah hasil dari proses yang amat kompleks, dimana antara semua faktor terdapat hubungan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Pendapat diatas didukung oleh banyak pemikir lain seperti Ernest Bloch dan Milan Machovec yang juga meyakini bahwa agama dapat jua menjadi suatu kekuatan yang revolusioner. Perubahan sosial tersebut merupakan hal yang wajar, karena didalam kebanyakan analisa sosiologi dinyatakan bahwa perubahan memang diperlukan, oleh karena sifat hakekat dari prilaku-prilaku sosial.Artinya karena manusia selalu mengadakan interaksi dengan sesamanya dan dengan adanya gerak serta tujuan dari ikatan sosial, maka perubahan memang diperlukan. Dengan adanya perkawinan semarga berarti terjadi suatu perubahan sosial dalam masyarakat Karo.Khususnya dalam lapangan hukum perkawinannya, sebab perubahan sosial itu sendiri mempengaruhi sistem sosialnya termasuk nilai-nilai, sikap dan pola prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pelaksanaan perkawinan semarga dalam klan Sembiring yang dilakukan di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket ini sama seperti perkawinan pada masyarakat karo pada umumnya. Di kalangan orang Karo, Merga Silima, Rakut Sitelu, Tutur Sepuluhsada (berasal dari tutur siwaluh dengan tambahan 3 tutur/ panggilan secara umum yang dapat diberikan kepada setiap orang karo, dan perkade-kaden Sisepuluh Dua tambah Sada terdapat suatu keunikan dalam prosesi awal pernikahan yaitu maba belo selambar/ ngembah belo selambar yang dapat dikatakan secara prosesi lamaran. Proses pernikahan sebagai, berikut: A. Sitandan ras keluarga pekepar/ Nungkuni
ARIE GANTI| 7
Tahapan ini adalah tahapan perkenalan antara keluarga kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan, sekaligus orang tua kedua belah pihak akan menyampaikan kepada “ Anak Beru “ masing-masing untuk menentukan hari yang baik untuk menggelar pertemuan di rumah pihak “Kalimbubu” untuk membahas rencana “Mbaba Belo Selambar“, Tahapan ini adalah tahapan perkenalan antara keluarga kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan, sekaligus orang tua kedua belah pihak akan menyampaikan kepada “ anak beru” masing-masing untuk menentukan hari yang baik untuk menggelar pertemuan di rumah pihak “kalimbubu” untuk membahas rencana “Mbaba Belo Selambar”. B. Mbaba Belo Selambar Acara mbaba belo Selambar (membawa selembar daun sirih), adalah suatu upacara untuk meminang seorang gadis menurut adat Karo yang bertujuan untuk menanyakan kesediaan si gadis dan orangtuanya beserta seluruh anak saudara terdekat yang sudah ada peranannya masing-masing menurut adat Karo. Dalam acara ini pihak keluarga pria mendatangi keluarga perempuan dan untuk sarana Mbaba Belo Selambar tersebut pihak pria membawa : 1. Kampil Pengarihi / Kampil Pengorat ( kapur sirih ); 2. Penindih Pudun, Uis Arinteneng,Pudun dan Penindiken Rp. 11.000,00 agar supaya acara menanyakan kesediaan si gadis dapat dimulai maka terlebih dahulu dijalankan kampil Pengarihi / kampil Pengorati kepada keluarga pihak perempuan yang artinya sebagai permohonan kepada pihak keluarga perempuan agar bersedia menerima maksud kedatangan pihak pria. Bilamana kedatangan pihak pria sudah dimengerti maksudnya dan pihak keluarga perempuan bersedia menerima pinangan tersebut maka dibuatlah pengikat janji (penindih pudun) berupa uang dan ditentukan kapan akan diadakan acara selanjutnya yaitu nganting manuk. Pada waktu penyerahan uang penindih pudun tersebut uang dimaksud diletakkan pada sebuah piringyang dilapisi dengan uis arinteneng (sejenis kain ulos) Pada acara maba belo selambar terdapat tiga tingkatan, yaitu : 1. Tersinget-singet gantang tumba (utang adat); 2. Sitandaan Ras Keluarga Pekepar/ Nungkuni; 3. Maba Belo Selambar.
ARIE GANTI| 8
Acara maba belo selambar (membawa selemmbar daun sirih) yang merupakan suatu upaca untuk meminang seorang gadis menurut adat Karo yang bertujuan untuk menanyakan kesediaan si gadis dan orangtuanya beserta seluruh sanak saudara terdekat yang sudah ada peranannya masing-masing menurut adat Karo. C. Nganting Manuk Menjelang hari nganting manuk, kedua belah pihak yang terlibat sudah menyampaikan undangan terhadap golongan adat yang mempunyai kedudukan dalam masalah yang bakal dilaksanakan.Acara nganting manuk adalah merupakan musyawarah adat antara keluarga pengantin pria dan wanita guna membicarakan gantang tumba/ unjuken ras mata kerja yang artinya adalah tentang masalah pesta daan pembayaran (uang mahar) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Sistem perkawinan pada masyarakat Batak yang pada umumnya bersistem kekerabatan patrilenal adalah eksogami, yaitu pada prinsipnya orang Batak harus kawin dengan marga yang lain, atau dengan kata lain bahwa pada prinsipnya perkawinan antara marga yang sama adalah tidak diperbolehkan. Dalam melakukan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang masih semarga adalah dilarang menurut ketentuan adat istiadat yang masih di pertahankan oleh para ketua adat dan orang tua sampai saat ini. Sistem yang eksogami yang dijumpai pada masyarakat Batak mempunyai kekhususan tersendiri. Larangan perkawinan pada marga yang sama, tidak diperbolehkan bukan berarti pula tidak selamanya diperbolehkan perkawinan antara marga yang berbeda. Dengan kata lain bahwa tidak selalu bahwa marga yang berbeda diperbolehkan untuk melaksanakan perkawinan. Status Perkawinan Semarga Dalam Klan Sembiring Pelaksanaan perkawinan dalam suatu masyarakat adat mempunyai arti yang luas.Bukan hanya sekedar saat dimana seorang laki-laki dan seorang wanita datang ke catatan sipil bagi orang yang bukan beragama islam dan saat datang ke kantor urusan agama bagi orang yang beragama islam. Proses yang terjadi sebelum upacara itu dan sesudah upacara adalah merupakan hal yang penting selain dari pelaksanaan perkawinan itu sendiri. Dalam masyarakat yang susunan
ARIE GANTI| 9
kekerabatannya menurut garis keturunan bapak, keturunan pihak bapak dinilai lebih tinggi serta hal-haknya pun lebih banyak. Ikatan lahir merupakan peryataan, pengakuan adanya hubungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.Hubungan tersebut memberikan akibat dibidang hukum sehingga perkawinan itusendiri tidaklah sekedar sesuatu kegiatan dua insan yang berbeda hanya terbatas pada pemenuhan biologis saja. Perkawinan semarga dalam klan Sembiring dilakukan seperti pelaksanaan perkawinan masyarakat Karo pada umumnya. Hal ini dapat terjadi karena perkawinan semarga dalam klan Sembiring telah diakui dan diterima dalam masyarakat Karo, yaitu apabila telah melewati tahapan Maba Belo Selambar yang berarti upacara peminangan gadis, Nganting Manok yaitu musyawarah untuk membicarakan hal-hal yang lebih mendetail tentang upacara perkawinan, seperti waktu perkawinan, persiapan perkawinan, besarnya unjuken atau mas kawin yang harus diterima pihak perempuan, dan lain sebagainya. Per nikahan secara agama juga dapat dilakukan sekaligus dalam tahapan ini, Kerja Nereh Empo atau upacara perkawinan menurut adat yang merupakan upacara perkawinan dengan mengundang seluruh lapisan masyarakat adat di daerahnya selain pihak keluarga dari kedua mempelai yang dapat dilakukan sekaligus dengan acara nggalari hutang man kalimbubu atau membayar hutang pada pihak wanita. Dan tahapan terakhir yaitu Mukul sebagai syarat sahnya perkawinan, yang dilaksanakan pada malam hari setelah pelaksanaan upacara perkawinan adat. Kedudukan perkawinan semarga dalam Klan sembiring dianggap sah dan diakui apabila telah dilakukan menurut tata cara perkawinan adat karo yaitu telah melewati tahapan maba belo selambar (lamaran), nganting manuk (musyawarah tentang upacara perkawinan), kerja nereh empo (pesta adat), dan mukul (syarat sahnya perkawinan). Akibat Hukum Terhadap Suami-Isteri Dengan Kerabat Akibat hukum yang terjadi adalah istri karena perkawinannya (uang jujuran) dikeluarkan dari keluarganya kemudian masuk ke keluarga suaminya. Anak-anak yang lahir menjadi keluarga bapak (suami), harta yang ada milik bapak (suami) yang nantinya diperuntukkan bagi anak-anak keturunannya.
ARIE GANTI| 10
Masyarakat kebapakan adalah masyarakat yang terbagi dalam klan-klan kebapakan, yang anggotanya menarik garis keturunan secara konsekuen dan berdasar pandangan yang bersifat religio magis, melalui garis ayah lakilaki.Sebagai konsekuensinya diadakanlah suatu sistem perkawinan yang cocok untuk mempertahankan garis bapak itu, yaitu kawin jujur atau sering disebut eksogami jujur. Ini berarti suatu keharusan, laki-laki dan perempuan itu berlainan klan, dengan pemberian barang yang bersifat religio magis itu, perempuan dilepaskan dari ikatan klannya dan dimasukkan ke dalam klan suaminya dan selanjutnya berhak, berkewajiban dan bertugas di lingkungan keluarga suami. Jadi, walaupun sistem perkawinan semarga dalam klan Sembiring adalah eleutherogami terbatas namun tetap mempertahankan sistem jujur yaitu istri tetap masuk klan suami. Akibat Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Semarga Menurut hukum adat Karo, bukan saja kedua orang tua yang wajib memelihara dan mendidik anak-anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan tapi kewajiban itu juga dapat diberikan kepada saudara-saudara laki-laki dari ayahnya. Demikian juga halnya dalam perkawinan semarga dalam Klan Sembiring karena tetap memakai sistem perkawinan dalam bentuk jujur maka anak-anak yang dilahirkan masuk dalam lingkungan keluarga ayahnya sedangkan hubungan anakanak dengan ibunya dan kerabat ibunya secara hukum tidak ada, tetapi secara moral menyatakan bahwa anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu mempunyai kewajiban untuk mengabdi dan bertanggung jawab penuh melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan
dalam
setiap
acara-acara
adat
yang
diselenggarakan oleh kerabat ibunya. Hubungan hukum antara anak-anak yang lahir dari perkawinan semarga dalam klan Sembiring dengan kerabat ayahnya sangat erat karena posisi kerabat ayah yang harus bertanggung jawab untuk menggantikan kedudukan dan tanggung jawab ayah apabila ayahnya itu meninggal dunia. Selain itu, anak-anak tersebut dapat juga bertindak sebagai ahli waris dalam keluarga kerabat ayahnya apabila kelompok utama penerima warisan tidak ada. Hubungan anak-anak dengan ibunya dan kerabat ibunya menurut hukum adat Karo secara hukum tidak ada, tetapi secara moral menyatakan bahwa anak-
ARIE GANTI| 11
anak yang dilahirkan dari perkawinan itu mempunyai kewajiban untuk mengabdi dan bertanggung jawab penuh melaksanakan pekerjaan-pekerjaan dalam setiap acara-acara adat yang diselenggarakan oleh kerabat ibunya. Akibat hukum terhadap harta peninggalan Masyarakat Karo juga mengenal pengelompokan harta perkawinan. Pengelompokan harta tersebut terjadi pada saat mereka (suami istri baru) memisahkan diri dari orang tua yang laki-laki. Pada saat mereka memisahkan diri dari orang tua laki-laki, biasanya orang tua laki-laki akan memberikan modal sebagai bekal untuk mereka berupa pemberian tanah, sawah, ladang, kebun yang akan masuk menjadi harta kekayaan perkawinan bagi keluarga baru itu. Dari pihak perempuan pada saat perkawinan juga membawa harta kekayaan berupa pemberian orang tuanya misalnya berupa perhiasan dari emas atau alat-alat rumah tangga yang nantinya juga masuk menjadi harta kekayaan bagi keluarga baru itu. Kedua macam harta yang tersebut di atas merupakan pemberian dari kedua orang tua mereka masing-masing yaitu dari orang tua laki-laki dan orang tua perempuan.Harta seperti ini disebut Harta Ibaba (Harta Bawaan). Disamping itu, ada juga harta yang didapat setelah mereka memisahkan diri dari tempat tinggal orang tua laki-laki atau harta yang didapat selama perkawinan yang disebut Harta Bekas Encari (Harta Bersama).Harta seperti ini tidak dipersoalkan dari pihak mana yang mencari, artinya baik yang diusahakan oleh suami ataupun istri selama perkawinan, termasuk harta bekas encari dan semua dikuasai oleh suami. Setiap rumah tangga pada masyarakat Karo terdiri dari Harta Ibaba (Harta Bawaan) baik harta bawaan suami maupun harta bawaan istri dan Harta Bekas Encari (Harta Bersama). Perkawinan semarga dalam klan Sembiring mengenal adanya pengelompokan harta perkawinan itu, yaitu harta yang dibawa ke dalam perkawinan yang biasanya merupakan pemberian dari orang tua kedua belah pihak tetap menjadi harta bawaan sedangkan untuk harta yang didapat selama perkawinan menjadi harta bersama. Apabila terjadi perceraian maka harta bawaan kembali menjadi masing-masing pihak suami istri tetapi khusus untuk harta bersama menjadi milik suami.
ARIE GANTI| 12
Sanksi Terhadap Perkawinan Semarga Perkawinan semarga dalam masyarakat patrilineal pada dasarnya dilarang karena adanya keyakinan bahwa mereka masih memiliki hubungan darah karena berasal dari nenek moyang yang sama. Tiap-tiap individu suku Karo membawa tutor yang melekat dalam dirinya yang diwarisinya dari pihak ayah dan ibunya. Ini membuktikan bahwa orang karo menarik garis keturunan secara bilateral dari kebapakan dan keibuan sekaligus. Adapun tutor tersebut meliputi : 1.
Merga/ bebere (diwarisi dari marga ayah)
2.
Berebere (diwarisi dari beru ibu)
3.
Binuang ( diwarisi dari bebere ayah)
4.
Kempu ( diwarisi dari bebere ibu)
5.
Kampah ( diwarisi dari bebere ibu)
6.
Soler (diwarsi dari singalo perkempun nande/ pung nu puang) Menurut Malem Ukur Ginting , perkawinan semarga dilarang dikarenakan
melanggar pertalian darah, adanya peremehan terhadap kedudukan rakut sitelu, sumbang dan tidak sopan. Sehubungan dengan itu, perkawinan semarga dilarang menurut adat istiadat masyarakat Karo sehingga bagi pelanggarnya dikenakan sanksi sosial berupa dibuang dari kelompok masyarakat adat setempat dan sanksi adat berupa pernikahannya tidak diakui sah menurut adat setempat. Perkawinan semarga dalam klan Sembiring secara otomatis mempunyai akibat hukum layaknya perkawinan pada umumnya yaitu apabila dilakukan sesuai dengan jalurnya yaitu baik menurut adat, agama dan hukum nasiaonal maka sah menurut adat, menurut agama dan sah menurut hukum nasional. IV. Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan 1.
Pada dasarnya perkawinanan antara merga Sembiring yang umum terjadi hanya pada merga Sembiring Milala dan Sembiring Depari. sedangkan merga Sembiring yang lain dilarang untuk saling menikah. Namun dari hasil penelitian pada masyarakat Karo di desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo, jika terjadi perkawinan antara Sembiring, hal ini
ARIE GANTI| 13
disebabkan karena perkawinan faktor pengaruh masuknya agama dan faktor rasa cinta. 2.
Kedudukan hukum adat karo dalam perkawinan sesama marga sembiring dianggap sah dan diakui apabila telah dilakukan menurut tata cara perkawinan adat karo yaitu melewati tahapan maba belo selambar (lamaran), nganting manuk (musyawarah tentang upacara perkawinan), kerja nereh empo (pesta adat), dan mukul (syarat sahnya perkawinan).
3. Akibat hukum dari perkawinan semarga dalam klan sembiring mempunyai akibat hukum layaknya perkawinan pada umumnya yaitu mengakibatkan si perempuan putus hubungan dengan keluarganya, terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan semarga sehingga ketika orang tuanya meninggal mengakibatkan saudara si ayah bertanggung jawab mendapat hak asuhnya, terhadap harta perkawinan mengakibatkan pengelompokan harta, perkawinan semarga sembiring membawa tutur yang melekat dalam dirinya yang diwarisinya dari pihak ayah dan ibunya. Saran 1. Klan sembiring memiliki beberapa asal usul keturunan yang mengakibatkan dalam keturunan tertentu diperbolehkan melakukan perkawinan semarga. Namun tidak semua masyarakat adat mengetahuinya secara konkrit sehingga perlunya masyarakat dan beserta ketua adat untuk membuat aturan-aturan yang ada pada Klan sembiring agar tetap terlestarikan. 2.
Perkawinan semarga dalam Klan sembiring pada dasarnya memang diakui karena pergeseran agama. Namun untuk hukum yang hidup dalam masyarakat karo khususnya marga sembiring sebaiknya tidak bergeser sehingga hukum yang hidup dalam masyarakat karo tetap hidup.
3. Akibat hukum perkawinan semarga dan sesama Klan sembiring memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak keperdataan anak harus tetap dilindungi walaupun anak tersebut lahir dari perkawinan semarga. Sedangkan untuk harta benda perkawinan suami-isteri tetap memiliki hak yang sama. Daftar Pustaka Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.
ARIE GANTI| 14
Arifin, Muhammad, Teori dan Filsafat Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994. Anshary,H.M, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015. Ashshofa, Burhan ,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996. Bangun Tridah,Manusia Batak Karo, Jakarta, Inti Indayu, 1986. Brata, Sumardi Surya, Metodelogi Penelitian, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998. Fajar, Mukti, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010. Ginting M. Ukur, Adat Karo Sirulo, Kalangan sendiri, Medan, 2008. Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2013. Hage, Y, Markus, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakaarta, 2010. Hanitijo, Roni, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988. Hadikusuma, Hilman, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, 1987. ___________,Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya, Citra Aditya Bakti, Bndung, 2003. ___________,Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar MajuBandung, 2007. Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga, CV Pustaka Setia, Bandung, 2011. Isnaeni, Moch, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, PT. Refika Aditama, 2016. Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1994. Kharlie, Tholabi Ahmad, Hukum Keluarga Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. Koenjtaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, PT. Sofmedia, Medan, 2012.
ARIE GANTI| 15
Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Otje, R, Sahman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armiko, Bandung, 1999. Pide, Mustari, Suriyaman, Hukum Adat, Kencana, Jakarta, 2014. Peranginangin, Aswin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung, Tarsito, 1978. Piliang, Ridwan, Perilaku Perkawinan Dalam Membangun Rumsh Tangga Bahagia, Perdana Publishing, Medan, 2011. Prinst, Darwan, Adat Karo, Bina Media Perintis, Medan,2004. ___________,Sejarah dan Kebudayaan Karo, Medan , Cv. Yrama, 1984. Prodjodikoro, R, Wirjono, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur bandung, Jakarta,1991. Prodjohamidjojo, Martiman,
Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal
Center Publishing, Jakarta, 2011. Raharjo, Satijipto, Ilmu Hukum Cetakan Ke 6, Aditya Bakti, Bandung, 2006. ____________, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1983. Saleh, Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Graha Indonesia, Jakarta, 1976. Sri Mamudji, Soerjono, Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo, Persada, Jakarta, 2001. Sembiring, Rosnidar, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016. Soekanto, Soerjono, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Cv. Rajawali, Jakarta, 1985. ___________, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung. Citra Aditya Bakti, 1991. ___________,Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1980. Spemadiningrat, R. Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat kontemporer, bandung, Alumni, 2002. Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Sudiyat Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1981. Surbakti, Bujur, S.K. Ginting, E.P. Ginting, Kamus Karo Indonesia, Yayasan Merga Silima, Jakarta, 1996.
ARIE GANTI| 16
Tarigan, Sarjani, Dinamika Orang Karo, Budaya Dan Modernisme, Balai Adat Budaya Karo Indonesia, Medan, 2008. ___________,Kepercayaan Orang Karo, Balai Adat Budaya Karo Indonesia, Medan, 2011. ___________,Dinamika Orang Karo, Balai Adat Budaya Karo Indonesia,, Kabanjahe, 2010. Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006. Moleong Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002. Waluyudi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, 2009. Wignjodipoero, Surojo ,Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Cv. Haji Masagung, Jakarta, 2004. ___________, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1979 Yuliato Achmad Dan Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010.