Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 6(1), April 2014:1−10 ISSN: 2085-6717 Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 6(1), April 2014:1−10
Keragaan Kelembagaan dalam Agribisnis Gula di Sulawesi Selatan Institutional Performance of Sugar Agribusiness in South Sulawesi Nurdiah Husnah, Peter Tandisau, Herniwati, Fadjry Djufry Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jln. Perintis Kemerdekaan, Makassar E-mail:
[email protected] Diterima: 22 November 2012 disetujui: 15 Januari 2014
ABSTRAK Kelembagaan dalam pengembangan agribisnis gula merupakan upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat tani, yang dicapai melalui investasi teknologi, pengembangan produktivitas tenaga kerja, pembangunan sarana ekonomi, serta penataannya, sumber daya manusia dan sumber daya alam. Permasalahan utama yang dihadapi berkaitan dengan agribisnis gula, yaitu (1) produktivitas yang cenderung turun yang disebabkan antara lain karena penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah; (2) impor gula yang semakin meningkat; (3) harga gula domestik tidak stabil yang disebabkan oleh sistem distribusi yang kurang efisien; dan (4) pemanfaatan kelembagaan penunjang agribisnis. Dilihat dari berbagai aspek, seperti potensi sumber daya yang dimiliki, arah kebijakan pembangunan nasional, potensi pasar domestik produk-produk agribisnis, Sulawesi Selatan memiliki prospek untuk mengembangkan sistem agribisnis gula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem agribisnis gula meliputi beberapa subsistem yang terdiri atas subsistem hulu, sub-sistem on farm, subsistem hilir, dan subsistem lembaga penunjang agribisnis yang masing-masing memiliki peran dan sebagai sebuah sistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu dan saling terkait. Secara integral terkait antara sektor perkebunan di on farm dan sektor industri di hulu dan hilir, kondisi inilah yang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baik secara nasional. Kata kunci: Kelembagaan, agribisnis, gula
ABSTRACT Institutions in the sugar agribusiness is efforts to increase the quality of life of farmers, which is achieved through technology investment, the development of labor productivity, the development of the economy, as well as arrangement of human and natural resources. The main problems associated with sugar agribusiness, namely: (1) productivity tends to decline due in part because the application of the technology on farm and factory efficiency of sugar mill is low, (2) increasing sugar imports, (3) the price of domestic sugar unstable due to the inefficient distribution system, and (4) the utilization of institutional support agribusiness. Viewed from various aspects, such as the potential resources, the direction of national development policies, domestic market potential for the products of agribusiness, South Sulawesi has the prospect to develop the sugar agribusiness system. The results showed that the sugar agribusiness system includes multiple subsystems consisting of upstream subsystems, on farm subsystems, and downstream subsystem. Those support agribusiness institutions that each have a role and as a system, which can not be separated from each other, merge with each other and mutually related. Integrally, related to the plantation sector in the industrial sector on a frame of upstream as well as downstream, would create the conditions for economic growth nationally. Keywords: Institutional, agribusiness, sugar
1
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 6(1), April 2014:1−10
PENDAHULUAN
T
EBU merupakan bahan baku dalam pembuatan gula, untuk pembuatan gula, batang tebu yang sudah dipanen diperas dengan mesin pemeras (mesin press) di pabrik gula. Sesudah itu, nira atau air perasan tebu tersebut disaring, dimasak, dan diputihkan sehingga menjadi gula pasir yang kita kenal. Dari proses pembuatan tebu tersebut akan dihasilkan gula 5%, ampas tebu 90%, dan sisanya berupa tetes (molasse), dan air (Soemarno 2011). Meningkatnya kebutuhan gula domestik membutuhkan impor gula sekitar 700–800 ribu ton per tahun yang sangat mempengaruhi pengembangan perkebunan tebu (Pusdatin Pertanian 2010). Pengembangan tanaman tebu ditujukan untuk menambah pasokan bahan baku pada industri gula dan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani tebu dengan cara partisipasi aktif petani tebu tersebut. Tebu merupakan tanaman asli daerah tropika yang asal-usulnya diperkirakan dari Papua. Tanaman ini cukup peka terhadap ketersediaan air yang berlebihan maupun yang terbatas, sehingga iklim sering menjadi faktor pembatas utama. Lingkungan fisik lain yang membatasi luas pengelolaan tebu di suatu kawasan adalah kemiringan lereng, drainase, dan kedalaman efektif tanah. Sifat fisik ini lebih banyak berkaitan dengan efisiensi ekonomis budi dayanya. Faktor lain yang membatasi penggunaan lahan bagi komoditas tebu adalah persaingan dalam penggunaan lahan, khususnya daerah-daerah datar yang subur untuk komoditas pertanian lainnya dan pemukiman. Permasalahan utama yang dihadapi berkaitan dengan agribisnis gula: (1) produktivitas yang cenderung turun yang disebabkan antara lain karena penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah; (2) impor gula yang semakin meningkat; (3) harga gula domestik tidak stabil yang disebabkan oleh sistem distribusi yang kurang efisien (Mardikanto 2005), dan (4) pemanfaatan kelembagaan penunjang agribisnis.
Pengembangan kelembagaan penunjang agribisnis merupakan upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat tani, yang dicapai melalui investasi teknologi, pengembangan produktivitas tenaga kerja, pembangunan sarana ekonomi, serta penataannya. Sumber daya manusia, sumber daya alam, teknologi, dan kelembagaan merupakan faktor utama yang secara sinergis menggerakan pembangunan pertanian untuk mencapai peningkatan produksi pertanian. Kelembagaan dalam pengembangan agribisnis gula diharapkan memberikan sumbangan bagi pembangunan daerah, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Kelembagaan merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau, secara formal dapat dikatakan sebagai sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Lembaga adalah proses-proses terstruktur untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu. Dilihat dari berbagai aspek, seperti potensi sumber daya yang dimiliki, arah kebijakan pembangunan nasional, potensi pasar domestik produk-produk agribisnis, Sulawesi Selatan memiliki prospek untuk mengembangkan sistem agribisnis gula. Prospek ini secara aktual dan faktual didukung oleh hal-hal sebagai berikut (1) pembangunan sistem agribisnis telah menjadi keputusan politik; (2) pembangunan sistem agribisnis juga searah dengan amanat konstitusi yakni No. 22 tahun 1999, UU No. 25 tahun 1999 dan PP 25 tahun 2000 tentang pelaksanaan otonomi daerah; (3) Sulawesi Selatan memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) berupa kekayaan keragaman hayati dalam agribisnis; dan (4) pembangunan sistem agribisnis yang berbasis pada sumber daya domestik. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kelembagaan penunjang bagi pengembangan agribisnis gula, yaitu keragaan
2
N Husnah et al.: Keragaan kelembagaan dalam agribisnis gula di Sulawesi Selatan
dan peranan kelembagaan dalam agribisnis gula. Secara prinsip bahwa strategi yang perlu diterapkan untuk mendukung agribisnis yaitu a) Membangun agribisnis yang berdaya saing, b) Membangun agribisnis yang prorakyat, c) Pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Melalui dukungan tersebut maka pengembangan kawasan agribisnis yang mentransformasi nilai-nilai rasional yang dibutuhkan dan tetap memfungsikan keunggulan teknologi dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat. Sehingga pada akhirnya dapat memberikan peningkatan pendapatan melalui pemilihan sumber-sumber dan faktor-faktor yang memiliki potensi kuat secara tepat agar memberi efek ganda pada faktor-faktor pembangunan lainnya. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah pembibitan tebu asal kultur jaringan dan menyusun model pengembangan pembibitan tebu asal kultur jaringan sesuai dengan kondisi spesifik lokasi berdasarkan prinsip agribisnis.
digunakan untuk mendeskripsikan (1) subsistem hulu/praproduksi usaha tani tebu (2) subsistem on farm/produksi tebu, (3) subsistem hilir/pascaproduksi usaha tani tebu, dan (4) subsistem kelembagaan penunjang agribisnis.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan dan Peranan Kelembagaan Agribisnis Keberhasilan pembangunan sektor agribisnis tidak terlepas dari faktor manusia sebagai pelaku dalam pelaksanaan pengembangan agribisnis. Kelembagaan, yaitu organisasi yang mampu menghasilkan ragam produk yang dapat memanfaatkan dan mengembangkan keunggulan komparatif atau keunggulan kompetitif, mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan agribisnis. Bentuk kelembagaan dari masing-masing subsistem yang terkait dalam sistem agribisnis gula di Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut:
Kelembagaan Subsistem Hulu/Sarana Produksi BAHAN DAN METODE Metode penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive di wilayah tanam PG Takalar Kabupaten Takalar, PG Camming, dan PG Arasoe di Kabupaten Bone. Pengkajian dilakukan mulai bulan Februari–September 2012. Teknik pengambilan contoh dilakukan secara purposive sampling pada petani yang menggunakan bibit tebu asal kultur jaringan. Pada penelitian ini digunakan 2 kelompok tani di PG Camming, 2 kelompok tani di PG Arasoe, dan 2 kelompok tani di PG Takalar. Data yang dikumpulkan adalah data primer tentang kelembagaan dan peranannya dalam sistem agribisnis gula yang meliputi: (1) subsistem usaha tani tebu (2) subsistem on farm/produksi tebu, (3) subsistem hilir usaha tani tebu, dan (4) subsistem kelembagaan penunjang agribisnis. Data sekunder yang terdiri atas hasil kajian pustaka, laporan-laporan yang ada pada berbagai instansi yang relevan. Analisis deskriptif
Kelembagaan sarana produksi merupakan kelembagaan ekonomi yang bergerak di bidang produksi, penyediaan dan penyaluran sarana produksi seperti BUMN dan usaha perdagangan swasta. Kelembagaan ini pada umumnya melakukan usaha dalam produksi, perdagangan/pemasaran sarana produksi seperti pupuk, pestisida, dan benih/bibit tanaman yang diperlukan petani. Hasil survei dan perhitungan kebutuhan bibit kultur jaringan pada masing-masing PG yang jadi lokasi kajian yaitu PG Takalar dengan luas areal seluas 3.118 ha membutuhkan bibit sebanyak 9.354.000, sementara pada PG Arasoe dengan luas areal seluas 3.118 ha membutuhkan bibit sebanyak 11.229.000, sedangkan PG Camming dengan luas areal seluas 3.118 ha membutuhkan bibit sebanyak 11.592.000. 1) Produsen saprodi Kelembagaan sarana produksi berfungsi sebagai produsen atau perusahaan yang mem-
3
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 6(1), April 2014:1−10
produksi pupuk. Selain dari produsen pupuk, ada pula perusahaan yang memproduksi pestisida dan produsen penghasil pupuk alternatif seperti pupuk pelengkap cair (PPC), dan zat pengatur tumbuh (ZPT). Selain itu terdapat pula kelembagaan yang bergerak di bidang produksi benih/bibit tebu konvensional maupun yang kultur jaringan dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) Pasuruan untuk target produksi gula 5,7 juta ton pada tahun 2014 sehingga dibutuhkan benih tebu dalam jumlah besar yaitu sebanyak 8 miliar setek/ benih siap salur (Hotma et al. 2011) melalui Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) yang berada di masing-masing wilayah PG. 2) Distributor/penyalur saprodi Kelembagaan ekonomi yang bergerak di bidang distribusi/penyaluran sarana produksi ada yang berstatus sebagai perusahaan swasta dan juga Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR). Kelembagaan ini di tingkat pedesaan berwujud sebagai kios-kios sarana produksi yang berfungsi sebagai pengecer sarana produksi langsung kepada petani selaku konsumen. 3) Koperasi petani tebu rakyat KPTR merupakan lembaga koperasi petani tebu yang dibentuk dari, oleh, dan untuk petani ini akan ditingkatkan keterlibatannya dan diberikan peran yang lebih jauh. Koperasi sebagai wadah para petani tebu harus lebih diberdayakan baik sebagai penyelenggara, pengadaan sarana produksi, maupun pemasaran hasil agar dapat menjembatani kepentingan petani tebu, dari penyediaan lahan, bibit, penyediaan modal, pengolahan lahan, panen, pengangkutan, dan proses pengolahan di tingkat pabrik, termasuk memperjuangkan hakhaknya sebagai petani. Bidang usaha yang telah dikembangkan oleh koperasi di antaranya yaitu pelayanan jasa (bongkar ratoon), produksi tebu, perdagangan yang meliputi penjualan BBM, pupuk, dan gula. Dalam melaksanakan usahanya, koperasi dikelola oleh tim kerja yang terdiri atas tiga orang pengurus, satu orang pengawas, dan satu orang juru buku. Pertemuan dan koordinasi koperasi ini
secara kontinu. Sebagai upaya peningkatan SDM para anggota maupun pengurus, maka koperasi melakukan kegiatan pembinaan dalam berbagai pelatihan. Baik yang dilakukan sendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain. Di antaranya tentang penggunaan teknologi global positioning system (GPS) dan pengukuran sawah, teknis budi daya tebu dan penentuan rendemen, akuntansi manajemen, kewirausahaan, kelayakan usaha kecil, pengenalan komputer, training fasilitator, pemberdayaan, dan mengikuti seminar dan lokakarya (semiloka) UKM. 4) Asosiasi Untuk mengoordinasikan kegiatan baik di bidang produksi maupun distribusi sarana produksi, maka petani dan pihak koperasi dan beberapa kelembagaan dalam usaha tani tebu membentuk asosiasi. Asosiasi di bidang produksi adalah Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI) yang meliputi produsen pupuk perusahaan BUMN, dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR). Akibat rendahnya rendemen dan kurang efisiennya proses pengolahan oleh PG maka petani memasarkan gula melalui APTR yang memiliki kompetensi untuk membangun negosiasi, menghentikan, atau mengubah jadwal masuknya gula impor jika PG selesai giling; mengubah pola hubungan petani dan PG menjadi lebih berkeadilan; dan memfasilitasi penjualan gula lewat sistem lelang. Kompetensi APPI dalam agribisnis gula saat ini meliputi penyediaan pupuk tepat waktu dan tepat jenis dengan memasarkan pupuk bersubsidi kepada petani.
Kelembagaan Subsistem On Farm/ Produksi Kelembagaan agribisnis yang bergerak di bidang usaha tani/produksi meliputi: 1) Rumah tangga petani sebagai unit usaha terkecil. Rumah tangga petani sebagai unit usaha tani yang bergerak dalam budi daya tebu di PG Takalar berjumlah 371 petani, di PG Camming berjumlah 597 petani, dan di PG Arasoe berjumlah 699 petani, sedang kelembagaan petani dalam bentuk kelom4
N Husnah et al.: Keragaan kelembagaan dalam agribisnis gula di Sulawesi Selatan
pok tani yang berjumlah 10–11 kelompok tani pada masing-masing PG dan melakukan pertemuan secara periodik pada saat menjelang penanaman dan saat memasuki jadwal tebang dan giling, untuk membuat kesepakatan jadwal tebang giling guna memaksimalkan potensi secara keseluruhan. Unit-unit usaha tani dalam bentuk rumah tangga petani maupun kelompok tani, merupakan kelembagaan nonformal yang melaksanakan fungsi agribisnis di pedesaan. 2) Kelembagaan tani dalam bentuk kelompok tani, dan bergabung dalam KPTR. Bidang usaha yang telah dikembangkan oleh koperasi di antaranya yaitu pelayanan jasa (bongkar ratoon), produksi tebu, perdagangan yang meliputi penjualan BBM, pupuk, dan gula. Dalam melaksanakan usahanya, koperasi dikelola oleh tim kerja yang terdiri atas tiga orang pengurus, satu orang pengawas, dan satu orang juru buku. Pertemuan dan koordinasi koperasi secara kontinu. Sebagai upaya peningkatan SDM para anggota maupun pengurus, maka koperasi melakukan kegiatan pembinaan dalam berbagai pelatihan. Baik yang dilakukan sendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain. Di antaranya tentang penggunaan teknologi GPS dan pengukuran sawah, teknis budi daya tebu dan penentuan rendemen, akuntansi manajemen, kewirausahaan, kelayakan usaha kecil, pengenalan komputer, training fasilitator pemberdayaan, dan mengikuti semiloka UKM.
Kelembagaan Subsistem Hilir Kelembagaan yang terkait dengan pengolahan hasil dalam agribisnis gula ini secara keseluruhan dikelola oleh PG (pabrik gula) yang memang bergerak dalam pengolahan tebu menjadi gula kristal. Terdapat tiga PG di Sulawesi Selatan memiliki potensi lahan hinterland yang secara potensial dapat diperluas dengan mengoptimalkan lahan potensial dan penggunaan lahan yang secara keseluruhan diperkirakan mencapai 20.036 ha (Mulyadi et al. 2009). PG Takalar yang mengelola lahan
seluas 3.118 ha, PG Camming seluas 3.743 ha, dan PG Arasoe seluas 3.864 ha. Sistem manajemen dan pengelolaannya oleh PT Perkebunan Nusantara. Adapun intervensi yang dilakukan PT Perkebunan Nusantara dalam pengelolaan PG antara lain (1) manajemen keuangan; (2) manajemen sumber daya manusia; dan (3) bimbingan teknis melalui pemberdayaan dan pelatihan bagi petani binaan. Kelembagaan pemasaran hasil sangat penting karena melalui kelembagaan ini arus komoditas atau barang berupa hasil pertanian dari produsen disampaikan kepada konsumen akan lebih terjangkau. Dalam kelembagaan ini pihak PG yang ikut memasarkan gula melalui mekanisme lelang. Kinerja PG pada dekade terakhir cenderung menurun disebabkan umur pabrik yang sudah tua, kapasitas dan hari giling PG cenderung tidak mencapai standar (Badan Litbang Deptan 2008). Kondisi PG di luar Jawa termasuk di wilayah Sulawesi Selatan mempunyai kapasitas 14,2 juta ton, namun hanya memperoleh bahan baku sebanyak 8,6 juta ton, sehingga idle capacity hanya mencapai 39,4%. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa PG perlu melakukan konsolidasi dan rehabilitasi.
Kelembagaan Subsistem Jasa Layanan Penunjang Keberadaan kelembagaan penunjang agribisnis sangat penting untuk menciptakan agribisnis yang tangguh dan kompetitif. Lembagalembaga penunjang tersebut sangat menentukan dalam upaya menjamin terciptanya integrasi agribisnis dalam mewujudkan tujuan pengembangan agribisnis. Beberapa lembaga penunjang pengembangan agribisnis dan peranannya masing-masing dalam menunjang pengembangan agribisnis gula adalah: 1) Pemerintah Lembaga pemerintah dalam hal ini mulai dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Dinas Perkebunan Provinsi. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan melalui program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) membina sistem perkebunan tebu dengan melibatkan petani dalam lahan sendi-
5
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 6(1), April 2014:1−10
ri, sesuai dengan wewenang dan regulasi dalam menciptakan lingkungan agribinis yang kompetitif dan adil. Penataan pergulaan melalui sistem TRI berdampak kurang baik terhadap produktivitas industri gula yang semakin menurun. Terlebih setelah pemerintah mencabut program kebijakan sistem dan pola tanam TRI melalui regulasi baru berupa Inpres Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 21 Januari 1998 (Elizabeth 2006 yang diikuti dengan Keputusan Menperindag Nomor 25/MPP/Kep/I/1998 yang menetapkan Bulog tidak lagi menangani perdagangan gula, serta Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 717/MPP/ Kep/12/1999 tentang Pencabutan Tata Niaga Impor Gula dan Beras. Guna menunjang industri gula nasional, maka Pemerintah meluncurkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula dari Sisi Produksi Tebu, yang dilakukan melalui rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu dengan istilah “bongkar ratoon” guna memperbaiki komposisi tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas potensial. 2) Pembiayaan Lembaga pembiayaan memegang peranan yang sangat penting dalam penyediaan modal investasi dan modal kerja, mulai dari sektor hulu sampai hilir. Melalui kegiatan akselerasi peningkatan produksi tebu yang menyediakan dana pembinaan, pengawalan dan dana untuk bibit, bongkar ratoon dan rawat ratoon yang hanya dialokasikan untuk provinsi di luar Jawa. Melalui kegiatan ini juga disediakan Skim Kredit Ketahanan Pangan-Energi (KKPE) yang disalurkan melalui bank BRI sebagai modal usaha dan biaya garap dalam bertanam tebu kemudian hasilnya diserahkan kepada PG untuk diproses menjadi gula (Wibowo 2013). Pemerintah melalui KPTR menyalurkan dana APBN berupa Penguatan Modal Usaha Kelompok untuk keperluan membangun kebun bibit dan membongkar tanaman ratoon
6
milik anggota koperasi serta memperbaiki prasarana pengairan pada perkebunan tebu. 3) Pemasaran dan distribusi Peranan lembaga ini sebagai ujung tombak keberhasilan pengembangan agribinis, karena fungsinya sebagai fasilitator yang menghubungkan antara defisit unit (konsumen pengguna yang membutuhkan produk) dan surplus unit (produsen yang menghasilkan produk). Peran koperasi dalam distribusi dan pemasaran gula perlu ditata dengan memberdayakan dan mendayagunakan semua kekuatan serta jaringan koperasi yang ada berdasarkan regulasi yang dibuat tentang pencabutan tata niaga impor gula dan beras sehingga perdagangan komoditas gula diserahkan kepada mekanisme pasar. 4) Penyuluhan Kelembagaan aparatur yang melaksanakan fungsi pelayanan/penyuluhan oleh Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten dan BPP pada setiap kecamatan dan dilengkapi dengan Posyanluhtan di setiap desa/kelurahan. Selain itu pula pada setiap Dinas Perkebunan melalui kegiatan akselerasi peningkatan produksi tebu di 9 provinsi, termasuk Sulawesi Selatan. Peran penyuluh saat ini secara klasik masih pada proses pembinaan melalui tatap muka dengan kelompok tani melalui interaksi guna meningkatkan: pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam beragribisnis tebu yang lebih baik, menguntungkan, dan memberdayakan petani untuk mewujudkan kemandirian. Menurut Soemarno (2007) bahwa ke depan peran penyuluh diharapkan lebih besar lagi dalam pengembangan pelaksanaan fungsi kelompok tani melalui langkah-langkah berikut: Mengadakan pertemuan rutin yang berkelanjutan; Mengundang nara sumber ahli sebagai pembicara dalam kegiatan pelatihan dan kursus; Menggiatkan kegiatan pelatihan dan kursus; Merencanakan dan menentukan pola usaha tani yang menguntungkan; Menyusun Rencana Definitif Kelompok (RDK), dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelom-
N Husnah et al.: Keragaan kelembagaan dalam agribisnis gula di Sulawesi Selatan
pok (RDKK); Menetapkan kesepakatan atau ketentuan yang wajib diikuti atau dilaksanakan oleh seluruh anggota kelompok; Menjalankan administrasi kelompok secara tertib. 5) Penelitian Hasil-hasil penelitian tebu dalam mendukung swasembada gula antara lain produksi bibit tebu asal kultur jaringan yang merupakan agribisnis potensial melalui pengadaan bibit dalam skala besar, cepat, seragam, dan bebas penyakit (Mariska & Rahayu 2011). Penelitian tersebut dilakukan pada laboratorium kultur jaringan di BB-Biogen dan telah menghasilkan varietas-varietas unggul antara lain PS 881, PS 882, PMC 7616, PS 864, PS 862, SS 57 (Kentung), dan PSBM 901. Beberapa varietas unggul dengan tingkat umur kemasakan yang berbeda seperti PS 864 dan PS 881 telah diperbanyak secara massal melalui teknologi kultur jaringan (Sukmadjaja et al. 2012). Hasil-hasil tersebut sebelumnya melalui proses aklimatisasi (Sugiyarta 2011). Varietas yang tersebar di Sulawesi Selatan melalui Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2011 adalah PS 881, PS 861, VMC 7616, dan PSBN 901 yang G2-nya ditanam di Gowa, Takalar, dan Bone (Tandisau et al. 2012). 6) Penjamin dan penanggungan risiko Risiko dalam agribisnis tergolong besar, namun hampir semuanya dapat diatasi dengan teknologi dan manajemen yang andal. Instrumen heading dalam bursa komoditas juga perlu dikembangkan guna memberikan sarana penjaminan berbagai risiko dalam agribisnis, dan industri pengolahannya. Beberapa risiko yang dihadapi dalam pengembangan agribisnis gula berdasarkan hasil kajian adalah sebagai berikut: Harga gula yang berfluktuasi, Kapasitas pabrik rendah yang mengakibatkan rendemen rendah, Ketersediaan bibit bermutu yang terbatas,
Manajemen pengelolaan kebun yang belum maksimal. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai risiko tersebut antara lain: Mengembangkan pola-pola kemitraan dengan lembaga-lembaga pemasaran yang ada, Melakukan standardisasi rendemen, Membangun laboratorium kultur jaringan di wilayah Sulawesi Selatan, Pengembangan kawasan perkebunan rakyat terpadu secara sinergis baik parsial pengusahaan areal perkebunan lama, kemudian komponen perkebunan sebagai komplementer maupun holistik sebagai suatu usaha yang utuh.
Rancangan Model Agribisnis Gula Berdasarkan prospek, potensi, dan peluang yang ada, maka pengembangan agribisnis gula adalah terwujudnya agribisnis gula berdaya saing kuat yang dicirikan oleh produktivitas tinggi, mutu produk yang baik, dan mampu menghasilkan produk dengan jumlah dan ragam sesuai dengan kebutuhan pabrik gula. Selain itu juga perlu upaya untuk meningkatkan potensi kebun yang sudah ada melalui perbaikan bahan tanaman dengan bibit unggul, untuk meningkatkan produktivitas kebun-kebun tebu petani yang telah dibangun. Sementara itu upaya perluasan areal perlu didukung dengan penyediaan bibit unggul dan dukungan teknologi kultur jaringan. Orientasi pengembangan agribisnis gula, bukan pada pembangunan fisik tetapi juga harus berkaitan dengan pembangunan masyarakat (community development), khususnya masyarakat sekitar areal perkebunan tebu melalui pendekatan terpadu. Pengembangan agribisnis gula harus mempunyai keterkaitan yang harmonis antara pendekatan top down dengan pendekatan bottom up untuk tujuan efek ganda (multiplier effects). Hal tersebut merupakan arah dalam menggerakkan sumber daya sebagai kekuatan utama untuk mewujudkan pengembangan agribisnis gula yang berkelanjutan. 7
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 6(1), April 2014:1−10
Pengembangan agribisnis tebu perlu memperkenalkan pikiran-pikiran lebih rasional, metode-metode yang lebih baik, inovasi teknologi, dan lain sebagainya. Kreativitas pikiran harus menjawab berbagai hal yang dapat diperbuat oleh masyarakat. Para perencana, pemikir, dan pelaksana pengembangan harus dapat membantu masyarakat untuk mandiri. Untuk itu perlu dilakukan pendekatanpendekatan agroklimatologi, ekologi, agronomi, kemampuan tanah, geografi, dan topografi. Selain itu, pendekatan sosial budaya diarahkan pada studi dan pemahaman mengenai cara hidup masyarakat berdasarkan latar belakang dimensi kulturalnya. Dengan demikian akan diketahui keterkaitan berbagai sektor terhadap tingkat kesejahteraan, misalnya tingkat pendapatan. Pemerintah diharapkan dapat menciptakan kondisi sosial politik yang stabil serta pengaturan fasilitas finansial dan perbankan yang lebih mudah untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan pengembangan
KEBUN
agribisnis gula. Pengembangan agribisnis gula dilaksanakan berdasarkan pada peningkatan kualitas dan perspektif masyarakat yang hidup dari usaha tani tebu, dan mentransformasi nilai-nilai rasional yang dibutuhkan melalui penggunaan teknologi, tetap memfungsikan keunggulan, keterampilan dan pengetahuan masyarakat. Adapun model agribisnis gula dapat dilihat pada Gambar 1. Subsistem hulu merupakan subsistem yang menyediakan fasilitas pengadaan input bagi produksi pertanian (on farm). Dalam intensifikasi pertanian ketersediaan sarana produksi pertanian antara lain benih, menjadi hal yang penting yang meliputi pemilihan bibit yang baik dan berperan dalam meningkatkan produktivitas on farm. Implikasi penting yang dapat ditarik adalah apabila tanaman tebu akan terus dikembangkan, diperlukan adanya terobosan dalam menghasilkan varietas tebu unggul dan murah, penggunaan pupuk berimbang, rekayasa kelembagaan yang mantap, serta kebijakan yang kondusif dalam subsistem
PABRIK
Manajemen Produksi
HULU/BIBIT
PASAR
Manajemen Pasar
Manajemen Pabrik
ON FARM/TEBU
HILIR/GULA
PENUNJANG: PERMODALAN, TRANSPORTASI, PENELITIAN, PENYULUHAN, KEBIJAKAN EKONOMI, DAN SDM Keterangan: = Aliran Proses = Aliran perencanaan, pengaturan, pelaksanaan, pengawasan = Aliran umpan balik
Gambar 1. Model agribisnis gula (diadopsi dari Sudaryanto & Pasandaran, 1993; Mekatronik Alsin 2009)
8
N Husnah et al.: Keragaan kelembagaan dalam agribisnis gula di Sulawesi Selatan
produksi, serta pengendalian impor gula (Malian & Saptana 2003). Analisis yang dilakukan dalam pengembangan agribisnis gula khususnya bibit tebu asal kultur jaringan dapat dijadikan solusi dalam mendukung maupun meningkatkan produksi tebu, karena agribisnis sebagai sebuah sistem kemudian diintegrasikan serta diaplikasikan untuk mendukung berbagai subsistem produksi tebu sampai pada akhirnya menjadi gula dapat berkelanjutan sehingga pencapaian swasembada gula dapat diwujudkan. Melalui pengembangan sistem agribisnis gula, maka pembangunan industri, pertanian, dan jasa saling memperkuat dan konvergen pada produksi produk-produk agribisnis yang dibutuhkan pasar. Pada sistem agribisnis pelakunya adalah usaha-usaha agribisnis yakni usaha tani keluarga, usaha kelompok, usaha kecil, usaha menengah, usaha koperasi, dan usaha korporasi, baik pada subsistem agribisnis hilir, subsistem on farm, subsistem agribisnis hulu maupun pada subsistem penyedia jasa penunjang bagi agribisnis. Karena itu, pemerintah sedang dan akan menumbuhkembangkan dan memperkuat usaha-usaha agribisnis tersebut melalui berbagai instrumen kebijakan yang dimiliki. Pemerintah bukan lagi eksekutor, tetapi berperan sebagai fasilitator, regulator, dan promotor pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Salah satu kendala dalam pengembangan agribisnis gula adalah terbatasnya tenaga untuk melakukan pembinaan dan kemitraan langsung dengan individu petani. Oleh karena itu perlu pembinaan bagi para petani tebu berupa: (1) penyuluhan-penyuluhan mulai dari pengadaan bibit, pemupukan, panen, dan pascapanen, penyuluhan ini diharapkan mampu membuka pemikiran petani tentang budi daya tebu yang baik dan benar; (2) perlu dilakukan kerja sama yang saling menguntungkan antara produsen dan industri pengolahan tebu; (3) terjalinnya kerja sama dapat dimanfaatkan untuk memperkokoh jaringan informasi, baik
mengenai informasi bibit, teknologi, harga, dan untuk menjalin kesepakatan-kesepakatan dalam penetapan produksi antarprodusen guna menjaga keseimbangan produksi dan konsumsi sebagai upaya meningkatkan kekuatan dalam posisi tawar pada waktu penjualan produk kepada pabrik gula.
KESIMPULAN Kegiatan agribisnis gula meliputi sektor perkebunan berkaitan dengan sektor industri, dan secara integral antara kedua sektor tercipta pertumbuhan ekonomi yang baik secara nasional. Untuk mengoordinasikan kegiatan bidang produksi dan distribusi sarana produksi, maka petani, pihak koperasi, dan beberapa kelembagaan dalam usaha tani tebu membentuk asosiasi. Kelembagaan yang terkait dengan pengolahan hasil dalam agribisnis gula di Sulawesi Selatan secara keseluruhan dikelola oleh PG yang bergerak dalam pengolahan tebu menjadi gula kristal. Lembaga pembiayaan hanya dialokasikan untuk provinsi di luar Jawa melalui Skim Kredit Ketahanan Pangan-Energi (KKPE) oleh perbankan dan melalui Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) oleh pemerintah dari dana APBN berupa penguatan modal usaha kelompok. Kelembagaan penelitian dalam mendukung swasembada gula antara lain produksi bibit tebu asal kultur jaringan. Lembaga penjaminan risiko dalam agribisnis dapat diatasi dengan teknologi dan manajemen yang andal. Instrumen heading dalam bursa komoditas juga perlu dikembangkan guna memberikan sarana penjaminan berbagai risiko dalam agribisnis dan industri pengolahannya. Perlu segera digalang kerja sama yang saling menguntungkan antara berbagai pihak yang terlibat dalam industri gula, baik BUMN, koperasi maupun swasta dan perbankan/lembaga pembiayaan. Untuk meningkatkan kinerja kelembagaan subsistem hilir diperlukan konsolidasi dan rehabilitasi dalam internal PG yang ada.
9
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 6(1), April 2014:1−10
UCAPAN TERIMA KASIH Tulisan ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya pada pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data, kepada: PG Camming, Arasoe, dan PG Takalar, Disbun Provinsi Sulawesi Selatan, Disbun Kabupaten Gowa, Takalar, dan Bone, Penyuluh Kabupaten, Teknisi BPTP Sulawesi Selatan, Kemenristek, Puslitbangbun, Balittas, dan P3GI.
Mulyadi, M, Toharisman, A & Mirzawan, PDN 2009, Identifikasi potensi lahan untuk mendukung pengembangan agribisnis gula di wilayah timur Indonesia, Potensi lahan tebu Indonesia Timur-P3GI, Pasuruan, diakses pada 20 Juli 2012 (www.sugarresearch.org). Pusat Data dan Informasi Pertanian 2010, Outlook komoditas pertanian-perkebunan, Kementerian Pertanian, 169 hlm. Sudaryanto, T & Pasandaran, E 1993, Sistem agribisnis di Indonesia, Badan Agribisnis, Departemen Pertanian, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Sugiyarta, E 2011, Petunjuk teknis penyelenggaraan kebun bibit dengan sumber benih bagal mikro generasi 2 (G2) kultur jaringan, Materi Bimbingan Teknis Pembibitan Tebu, 23–25 Mei 2011, Bogor.
Badan Litbang Deptan 2008, Prospek dan arah pengembangan agribisnis gula, diakses 17 Juli 2012 (http://www.litbang.deptan.go.id).
Soemarno 2007, Kerangka konsep pengembangan kawasan perkebunan rakyat, PMPSLP PPSUB, diakses pada 20 Juli 2012 (marno.lecture. ub.ac.id).
Elizabeth, R 2006, Restrukturisasi ketenagakerjaan dalam proses modernisasi berdampak perubahan sosial pada masyarakat petani, Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA 6(1):13–20.
Soemarno 2011, Model pengembangan kawasan agribisnis tebu, Bahan Kajian MK Metode Perencanaan Pengembangan Wilayah, PMPSLP PPSUB, diakses pada 20 Juli 2012 (marno.lec ture.ub.ac.id).
Hotma, P, Laksmi, R & Yudi, W 2011, Meningkatkan produksi dan produktivitas tebu melalui penggunaan benih bagal mikro G2 dengan sistem kultur jaringan (kultur meristem), diakses pada 20 Juli 2012, (http://hanssubhan sobikh.blogspot.com/2011/07/meningkatkanproduksi-dan-produktivitas_31. html).
Sukmadjaja, D, Mariska, I, Supriari, Y, Rahayu, S, Saptowo & Pardal, J 2012, Produksi massal bibit tebu varietas PS 864 dan PS 881 dengan stabilitas genetik tinggi dan bebas virus hasil kultur apeks untuk pengembangan di Sulawesi, Laporan Hasil Penelitian PKPP-Ristek TA 2012, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Malian, AH & Saptana 2003, Dampak peningkatan tarif impor gula terhadap pendapatan petani tebu, Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis 3(2):107–124. Mardikanto, T 2005, Peluang usaha pembuatan gula aren, Buku Serial Keterampilan, Balai Pustaka, Jakarta. Mariska, I & Rahayu, S 2011, Pengadaan bibit tanaman tebu melalui kultur jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Mekatronik Alsin 2009, Pengolahan kakao berbasis agribisnis, diakses pada 20 Juli 2012 (http:// mekatronikalsin.host56.com/2009/07/pengolah an-kakao-berbasis-agribisnis/).
10
Tandisau, P, Husnah, N & Herniwati 2012, Kajian sistem agribisnis tebu asal kultur jaringan di Sulawesi Selatan, Laporan Hasil Penelitian Kerja Sama Ristek (Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Wibowo, E 2013, Pola kemitraan antara petani tebu rakyat kredit (TRK) dan mandiri (TRM) dengan Pabrik Gula Modjopanggong Tulungagung, Jurnal Manajemen Agribisnis 13(1):1– 12.