KESERASIAN SOSIAL HUBUNGAN ANTAR ETNIK

Download KESERASIAN SOSIAL HUBUNGAN ANTAR ETNIK. (Suatu studi pada masyarakat multietnik di Desa Banuroja Kabupaten Pohuwato). Sahrain Bumulo. Nim...

0 downloads 636 Views 190KB Size
KESERASIAN SOSIAL HUBUNGAN ANTAR ETNIK (Suatu studi pada masyarakat multietnik di Desa Banuroja Kabupaten Pohuwato) Sahrain Bumulo Nim 281 409 013 Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di Desa Banuroja Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato. Penelitian ini merupakan suatu langkah progres untuk mendiagnosa akar masalah-masalah sosial dalam masyarakat multikultural, sekaligus meneropong dan menggali, sebuah konstruksi strategi yang dibangun oleh masyarakat, dalam pengelolaan keserasian sosial dalam lautan multikultural. Sederetan realitas yang terjadi di beberapa daerah yang rawan konflik, merupakan potret buram dari konstruksi keragaman masyarakat Indonesia. Masyarakat Banuroja merupakan salah satu dari sederetan realitas masyarakat heterogen, yang sering diterpa dan diombangambingkan oleh gelombang disintegrasi sosial. Namun kemudian, setiap terpaan tersebut mampu mereka bendung. Inilah yang menginspirasi penulis, untuk mengetahui lebih dalam sebuah desain resolusi yang mereka bangun dalam mempertahankan integrasi sosial. Teori yang digunakan sebagai pisau analisis adalah teori Interaksionisme Simbolik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif, Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah metode kualitatif karena metode kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi. Dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfatkan adalah wawancara, pengamatan, pemanfaatan dokumen. Ada beberapa pertimbangan penulis dalam memilih metode kualitatif yaitu, Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat antara peneliti dengan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dengan pola-pola nilai yang dihadapi. Hasil penelitian menjelaskan bahwa ada beberapa desain spesifik yang dilakukan oleh masyarakat dalam mempertahankan dan mengelola keserasian.

Kata Kunci : Keserasian Sosial, Hubungan, dan Etnik

Pendahuluan Indonesia merupakan sebuah negara yang mempunyai masyarakat majemuk, yaitu, terdiri atas masyarakat multietnik. Sehingga, dari kemajemukan masyarakat tersebut akan menghasilkan sebuah tatanan kemasyarakatan yang heterogen. Sebagai masyarakat majemuk (plural society) yang terdiri dari aneka ragam suku bangsa, dengan memiliki keanekaragaman budaya, adat istiadat, tentunya, harus ditanamkan nilai-nilai kebersamaan serta, rasa Nasionalisme yang tinggi di dalam masyarakat. Agar, tercipta suatu “keserasian sosial” dalam masyarakat itu sendiri. Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) adalah orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik. Sebagai seorang sarjana yang untuk pertama kali menemukan istilah ini, Furnivall menunjuk masyarakat Indonesia di zaman kolonial sebagai contoh yang klasik. Masyarakat Hindia Belanda waktu itu terpisah-pisah, tidak saja antara kelompok yang memerintah dan yang diperintah dipisahkan oleh ras yang berbeda, tetapi secara fungsional masyarakatnya terbelah dalam unit-unit ekonomi, antara pedagang Cina, Arab, dan India (Foreign Asiatic) dengan kelompok petani Bumi Putera. Masyarakat dalam unit-unit ekonomi ini hidup menyendiri (exclusive) pada lokasi-lokasi pemukiman tertentu dengan sistem sosialnya masing-masing1. Bhineka Tunggal Ika merupakan pernyataan simbolis Bangsa Indonesia mengenai keanekaragaman kebudayaannya. Arti harafiah dari kalimat ini adalah “berbeda tetapi satu”. Namun makna simbolis yang terdapat pada Burung Garuda sebagai Lambang Negara, memberikan arti Indonesia dibangun oleh keanekaragaman suku bangsa dengan kebudayaannya masing-masing. Keragaman kebudayaan masyarakat Indonesia juga tercermin dalam berbagai bentuk kebudayaan, baik yang bersifat tak benda (intangible) seperti nilai, konsep dan gagasan, maupun yang 1

Lihat Furnivall (1940), dalam Usman Pelly (2005), Pengukuran intensitas konflik dalamMasyarakat majemuk.” Dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya, Vol. 01. 2 Oktober 2005. Hlm. 53

bersifat bendawi yakni berupa tinggalan purbakala seperti Candi, Rumah Adat, Kain Tenun dan sebagainya2. Keberagaman etnis yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, merupakan simbol kekayaan akan budaya. Perlu, kehati-hatian dalam menjaga keharmonisan hubungan antar etnis tersebut, agar dapat menciptakan tatanan kemasyarakatan yang integratif dan dinamis, sebagaimana yang dicita-citakan oleh makna yang tertuang dalam Bhineka Tunggal Ika. Akan tetapi, kemajemukan etnis tersebut dapat menghasilkan konflik, apabila keberagaman tersebut tidak ditopang dengan sikap yang bijaksana dari setiap individu. Sehingga, yang muncul kemudian adalah prasangka sosial yang hanya menghasilkan disintegrasi sosial. Komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita diharapkan kepada masalah-masalah yang ada dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lainnya 3. Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat yang multietnik, yang pada gilirannya akan dapat pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi Nasional. Akhirnya, suatu integrasi adalah mengandung kendala psikologis, antara lain berkaitan dengan tingkat kepuasan tertentu dari suatu suku-bangsa atau golongan. Oleh karenanya dalam suatu upaya mewujudkan integrasi, muncul pandangan yang menilai apakah itu suatu agreement (permufakatan) ataukah congruency (penyesuaian), terutama yang berkaitan apakah sentripetal ataukah sentrifugal. Apabila terjadi disagreement atau discrepancy (ketidaksesuaian) maka berarti kelompok superordinat menang atas kebijaksanaan yang bersifat sentripetal; padahal kelompok subordinat lebih

2

3

S. Dloyana Kusumah, (2007), Pengelolaan Keragaman Budaya: Strategi Adaptasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. Jakarta. Hlm. 2 Lihat Deddi Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (1998), Komunikasi Antarbudaya (Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya). PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Hlm. 20

menghendaki yang bersifat sentrifugal. Jika hal ini terjadi maka akan timbul konflik yang menyebar luas4. Sejak manusia bergabung dalam suatu masyarakat, agaknya keselarasan sudah menjadi suatu kebutuhan. Betapa tidak, pada waktu pengalaman mengajari manusia bahwa hidup bermasyarakat jauh lebih menguntungkan, efisien, dan efektif daripada bila hidup sendirian. Usaha untuk menjaga keselarasan itu terjabarkan dalam sistem nilai yang akan sangat menekankan hubungan yang akan sejauh mungkin untuk menghindari konflik, pada penajaman naluri untuk mau terus berada dalam kebersamaan dan saling membentuk dalam pekerjaan5. Ada fenomena unik yang terjadi di Banuroja. Keadaan masyarakat Banuroja yang memiliki latar belakang etnis dan agama yang berbeda, sudah barang tentu akan melalui jalan setapak yang penuh dengan gejolak dalam masyarakat. Banyak gejolak yang terjadi dalam masyarakat Banuroja, yang dapat berimplikasi pada disintegrasi masyarakat, karena inilah konsekuensi hidup dalam masyarakat yang berlatar belakang berbeda. Meskipun, gejolak yang terjadi pada masyarakat tersebut, tetapi tidak merambah sampai pada konflik sosial seperti, di beberapa wilayah. Karena, mereka mempunyai strategi dalam memecahkan permasalahan yang sering menimpa kehidupan harmonis yang mereka bangun sejak lama. Fenomena inilah yang menurut hemat penulis, sangat unik untuk diteliti, sekaligus memberi inspirasi terhadap penulis untuk melakukan penelitian mendalam, tentang bagaimana konstruksi gagasan dan desain spesifik yang dilakukan oleh masyarakat Banuroja, sehingga gejolak yang berpotensi pada konflik sosial tersebut mudah diredam, sebaliknya konstruksi keragaman malah membuat masyarakat yang hidup di wilayah tersebut

4

5

Hari Poerwanto (2006). Makalah. Hubungan Antar Suku-Bangsa Dan Golongan Serta Masalah Integrasi Nasional, makalah dalam Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu isu Strategis yang Berkaitan dengan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa”, dilaksanakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 10 Oktober 2006. hlm. 2 Lihat Umar Kayam dan Nat J. Colletta, (1987). Kebudayaan dan Pembangunan (Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia). Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Hlm. 101

hidup rukun, saling menghormati, dan menghargai perbedaan yang ada. Pengelolaan keharmonisan inilah, yang sangat efisien untuk dijadikan cermin sekaligus kompas untuk menemukan jalan perdamaian yang harus dilalui oleh masyarakat multikultural. Teori yang digunakan sebagai pisau analisis adalah teori Interaksionisme Simbolik. Ada tiga pokok pikiran dalam interaksionisme simbolik yakni, yang pertama ialah bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna yang dipunyai sesuatu baginya. Dengan demikian tindakan (act) seorang penganut agama Hindu di India terhadap seekor sapi (thing) akan berbeda dengan tindakan seorang penganut agama islam di Pakistan, karena bagi masing-masing orang tersebut sapi tersebut mempunyai makna (meaning) berbeda. (Kamanto sunarto, 2004). Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah metode kualitatif karena metode kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfatkan adalah wawancara, pengamatan, pemanfaatan dokumen6.Ada beberapa pertimbangan penulis dalam memilih metode kualitatif yaitu, Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat antara peneliti dengan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dengan pola-pola nilai yang dihadapi7. Metode kualitatif tersebut menggunakan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif yaitu, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi

6

7

Lihat Denzin dan Lincoln (1987), dalam Lexi J. Moleong, (2007). Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Hlm, 5 Moleong. Ibid. hlm, 9-10

kunci terhadap sesuatu yang sudah diteliti8. Pada pendekatan deskriptif tersebut diharapkan dapat mengambarkan suatu masalah apa adanya dengan jelas dan tepat, dan penggunaan metode Kualitatif ini untuk menjelaskan secara jelas tentang data di lapangan. Penelitian ini dilakukan di Desa Banuroja Kecamatan Randangan Kabupaten Gorontalo selama 5 (lima) bulan terhitung sejak tahap perencanaan penelitian. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan atau hasil wawancara dari beberapa narasumber yang paham dengan masalah yang akan diteliti. Selebihnya adalah data tambahan seperti, dokumen dan lain-lain9. Sumber data dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut: Sumber data dalam penelitian ini dibagi atas dua jenis yaitu : 1.

Data Primer yaitu data yang diambil langsung dari lapangan melalui hasil observasi lapangan dan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat dari masing-masing etnis yang paham dengan permasalahan penelitian agar data yang diperoleh dapat dipercaya dan sesuai dengan yang diharapkan oleh peneliti. Masing-masing etnis dominan yang menjadi sumber data berjumlah 5 informan, kecuali masyarakat Gorontalo hanya berjumlah 4 orang. Sehingga, jumlah keseluruhan dari empat etnis yang menjadi sumber data adalah 19 Informan, ditambah dengan 2 (dua) informan beragama Kristen, 1 (satu) informan tokoh pemuda, 1 (satu) informan dari aparat desa yakni, Ayahanda Banuroja, 3 (tiga) informan masyarakat di luar wilayah Banuroja sebagai pembanding maasing-masing berasal dari Desa Manunggal Karya, Huyula dan Motolohu. Jadi jumlah keseluruhan yakni, 9 (sembilan) informan. Alasan, penentuan 5 Informan tersebut, agar mewakili dari masing-masing etnis, sehingga yang dijadikan sumber data tersebut hanya orang-orang tertentu saja yang paham dengan kondisi objek penelitian tersebut.

8 9

Ibid. hlm, 11 Moleong. Ibid. hlm, 157

2.

Data Sekunder yaitu data yang diambil berupa dokumen-dokumen kepustakaan, karya ilmiah, jurnal yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mengumpulkan data, tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini antara lain: a.

Observasi Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia

kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Data ini dikumpulkan dan sering dengan bantuan berbagai alat yang sangat canggih, sehingga, benda-benda ynag sangat kecil maupun yang sangat jauh dapat diobservasi dengan baik10. Observasi menurut penulis adalah suatu langkah teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dengan cara mengamati dan mengkaji tingkah laku atau keadaan lapangan yang akan diteliti sambil berperan serta dalam aktivitasnya, sehingga ketika kita menemukan kendala mengenai permasalahan yang akan diteliti di lapangan, kita dapat kapan saja membenahinya. Obyek penelitian dalam penelitian kualitatif yang diobservasi, dinamakan situasi social, yang terdiri atas tiga komponen yaitu place (tempat), actor (pelaku), dan activities (aktivitas)11. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu, melakukan observasi terhadap tempat, pelaku, object, dan aktivitas yang ada pada lokasi penelitian tersebut. Misalnya: Tempat, yaitu ruang dalam aspek fisiknya, Pelaku, yaitu semua orang yang terlibat dalam situasi sosial, Aktivitas, yaitu seperangkat kegiatan yang dilakukan orang, Object, yaitu benda-benda yang terdapat di tempat itu. 10

11

Lihat Nasution dalam Sugiyono, (2010:64). Memahami Penelitian Kualitatif. CV. Alfabeta: Bandung Lihat Spradley dalam Sugiyono (2011:229), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&B. CV. ALFABETA: Bandung

b.

Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu

dilakukan oleh dua pihak, yaitu, pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu12. Pada tahap wawancara ini, peneliti mewawancarai beberapa tokoh masyarakat yang mewakili masing-masing etnis yang dominan pada lokasi tersebut dan yang terpenting adalah yang paham dengan permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini. Dalam melakukan wawancara tersebut penulis menyediakan alat-alat yang diperlukan dalam proses wawancara dilapangan, yang menurut penulis sangat perlu untuk membuktikan keabsahan data. Alat-alat yang disediakan antara lain: Kamera, Alat Perekam Suara, Buku Catatan dan Pena c.

Dokumentasi Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan,

cerita, biografi, peraturan kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar yaitu: foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya, karya seni yang dapat berupa gambar, patung,film, dan lain-lain13. Dalam penelitian tentang keserasian sosial hubungan antar etnik, penulis menggunakan analisis data sebagai berikut: Reduksi Data (mencari data-data yang relevan), Display Data (Penyajian Data), dan Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing). Pembahasan Nama Banuroja merupakan refresentasi dari nama-nama suku yang dominanya tinggal di wilayah tersebut, yakni : “ Suku BAli, NUsa Tenggara Barat, GoROntalo, dan Jawa. Sehingga dirumuskan menjadi BA-NU-RO-JA. Pada waktu penentuan nama, salah seorang Tokoh masyarakat sekaligus Tokoh Agama yakni, Ustad Gofir Nawawi mengundang semua tokoh masyarakat dari masing-masing etnis, 12 13

Lexi J. Moleong. Ibid. hlm, 186 Sugiyono. Ibid. hlm, 82

untuk membicarakan terkait dengan nama desa yang baru dimekarkan itu. Masyarakat mempercayakan Ustad Gofir mengusulkan nama untuk desa ini, akhirnya diusulkan tiga nama yakni, Banuroja, Jabalnur, Nujabar. Masing-masing dari nama tersebut mempunyai makna yang diserap dari Bahasa Arab dan merefresentasi dari semua etnik yang dominan. Ada beberapa nama yang sempat diusulkan antara lain : “Banuroja, Jabanuro, Nujabar. Ketiga nama tersebut merefresentasi etnis yang dominan di wilayah tersebut, misalnya Banuroja (Bali, Nusa tenggara, Gorontalo, Jawa), Jabanuro (Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo), Nujabaro (Nusa Tenggara, Jawa, Bali, Gorontalo). Akhirnya yang dipilih oleh semua masyarakat adalah Banuroja. Banuroja berasal bahasa Arab yakni, Banu/Bani artinya anak, cucu, atau generasi, sedangkan Roja artinya optimis. Jadi Banuroja dirtikan sebagai Generasi yang Optimis. Jabanuro artinya Gunung Jabalnur, kemudian Nujabar artinya terkabulkan”. (hasil wawancara tgl 11/3/2013 ) Dalam hemat penulis, keterwakilan identitas dari masing-masing etnis dalam sebuah nama, merupakan salah satu antusias masyarakat dalam menciptakan sebuah kerukunan, sehingga tidak menimbulkan sifat iri hati, karena nama Banuroja tersebut merefresentasi dari masing-masing identitas etnis yang dominan, sebuah tindakan yang sangat progres dan bijaksana, ketika keberagaman identitas dirajut menjadi sebuah nama. Dengan rajutan itu, tak ada etnis yang merasa lebih tinggi derajatnya dibanding dengan etnis lain, masing-masing merasa memiliki dan bertanggung jawab atas keharmonisan desa tersebut, integrasi lebih diutamakan daripada disintegrasi. Dalam mengelola keserasian sosial antar masyarakat, terdapat beberapa konstruksi ide, gagasan, dan solusi yang dilakukan oleh masyarakat Banuroja untuk membendung konflik sosial pada masyarakat. Antara lain: peran tokoh, agama, pendidikan pesantren. A.

Tokoh, Peran dan Interpensi Dalam Mengkonsiliasi Permasalahan di

Masyarakat Heterogen Sosok tokoh yang mempunyai kepiawaian sangat penting dalam memberi teladan, membimbing dan mengayomi pada setiap deretan perjalanan kehidupan suatu komunitas, terutama hidup dalam masyarakat multietnik dan multiagama. Dalam sebuah masyarakat multietnik dan agama, terutama di Banuroja, tidak terlepas

dari peran tokoh dalam pengelolaan keharmonisan hidup bermasyarakat. Ibarat nahkoda dalam sebuah bahtera, tokoh harus mampu mengkonstruksi gagasan dan solusi dari setiap permasalahan yang terjadi pada masyarakat, karena dalam lautan bebas kehidupan masyarakat yang heterogen tak terlepas dari hempasan gelombang konflik, yang kemudian hal tersebut dapat menyeret kapal tersebut ke suatu lembah disintegrasi sosial. Mungkin, jika kita menengok deretan sejarah panjang yang mewarnai perjalanan hidup masyarakat yang heterogen bangsa ini, selalu dihempas oleh gelombang konflik yang muaranya pada disintegrasi sosial, mulai dari deretan konflik Poso, Ambon, Sampit, dan Sambas. Ini merupakan bukti nyata kehidupan masyarakat yang selalu diwarnai oleh konflik-konflik sosial yang diakibatkan oleh isu SARA. Sosok tokoh yang mempunyai kepiawaian sangat penting, dalam melahirkan solusi dari setiap permasalahan yang terjadi pada masyarakat. Agar bahtera kehidupan mampu menggiring arus pluralisme budaya dan suku, sosok tokoh harus mampu memahami dan mapan dalam menerjemhkan ke mana bahtera tersebut berlabuh. Tentu, berpedoman pada wasiat leluhur yakni, Bhineka Tunggal Ika untuk dijadikan sebagai kompas peradaban menuju integrasi nasional. B.

Pesantren, Peranannya Dalam Proses Interaksi Sosial dan Sosialisasi

Pendidikan Multikultural Kepada Anak Didik Pendidikan adalah proses membuat orang berbudaya dan beradab. Pendidikan adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial dan melalui pendidikan masyarakat dapat direkonstruksi. Proses pembelajaran di kelas multietnik dapat menghasilkan peradaban baru sesuai dengan harapan reformasi. Untuk ini, dapat dipakai teori, model, strategi pengajaran multietnik sebagai sarana menjalankan reformasi pendidikan dan kebudayaan. Implementasi strategi pengajaran multietnik di kelas hendaklah bertujuan pembentukan peradaban bangsa Indonesia yang mulia. Sampai saat ini, pengajaran multietnik belum dilegalisasikan oleh pemerintah. Pengajaran

bahasa

daerah

dilaksanakan

dalam

format

restorasi

(menjaga

bahasa/budaya dari kepunahan) dan bukan dalam format pluralisme (mengakui

perbedaan bahasa). Dengan format tersebut, pengajaran bahasa daerah lebih terkesan otoriter dan cenderung mengabaikan fakta keragaman etnik di dalam kelas14. Pesantren Salafiyah Safiiyah yang berlokasi di Banuroja, merupakan sebuah institusi pendidikan yang membentuk sebuah pola pikir siswanya untuk saling menghargai perbedaan dari masing-masing latar belakang etnik maupun agama. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya banyak anak didik yang berasal dari etnik berbeda untuk menuntut ilmu di pesantrin tersebut. Bahkan bukan hanya siswa tetapi Gurugurunya juga berasal dari etnis dan agama yang berbeda. Dalam pendirian pesantren itupun, tidak lepas dari kontribusi masyarakat yang berasal dari agama dan etnis yang bereda, baik kontribusi tenaga maupun pikiran. Kehidupan para anak didik dalam keseharian mereka sangatlah rukun, meskipun tidak dapat dipungkiri ada berbagai masalah gesekan sesama teman yang berbeda etnik maupun sesama etnik, tetapi dapat diredam tanpa harus melalui jalan konflik. Mereka mengutamakan sebuah kebersamaan karena terjadi pembauran. Dalam tradisi Pesantren, terdapat pemisahan antara Pesantren yang mengajarkan pengetahuan umum dengan yang tidak atau belum, ada pula Pesantren yang menyajikan santri-santrinya sekolah umum diluar Pesantren. Pesantren Aisyiyah telah berupaya mencairkan ekslusifitas (pemahaman agama secara tertutup) Pesantren Aisyiyah telah mengarahkan kepada adanya persatuan antar sesama warga masyarakat dengan batas-batas tertentu, meskipun agamanya berbeda, karena agama adalah merupakan hak fundamental bagi pemeluk suatu agama. Dengan seringnya pergaulan warga Pesantren dengan warga masyarakat dalam acara-acara tidak formal dan secara rutin dilakukan secara alami telah terjadi proses pembauran warga

14

Yoseph Yapi Taum. Yoseph Yapi Taum, (2006). Masalah-Masalah Sosial Dalam Masyarakat Multietnik. Makalah dibawakan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu-isu Strategis yang Berkaitan dengan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa” , dilaksanakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 10 Oktober 2006. hlm, 6

masyarakat dan tidak ada penghalang dalam pergaulan walaupun memiliki agama yang berbeda15. C.

Agama Sebagai Instrumen Perekat Dalam Mengkonstruksi Keserasian

Sosial Salah satu problem besar yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini adalah muncul beragam masalah yang menjurus kepada disintegrasi bangsa, di mana salah satu faktor pemicunya adalah konflik bernuansa agama. Setiap agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau yang lain pada dasarnya tidak pernah mengajarkan umatnya berbuat aniaya terhadap umat lain. Tapi sayangnya, agama yang mengajarkan perdamaian tidak jarang dijadikan legitimasi untuk mengganggu, memusuhi bahkan memusnahkan umat lain. Di Indonesia konflik antar umat beragama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso adalah salah satu bukti nyata bahwa ajaran agama dijadikan sebagai alat pembenar bagi pemeluknya untuk melakukan tindakan permusuhan dan pembunuhan atas nama agama. Kenyataan ini jelas sangat bertentangan secara diametral dengan esensi ajaran agama itu sendiri yang selalu mengajarkan cinta kasih dan perdamaian.16. Masyarakat Banuroja sangat menjunjung tinggi rasa saling menghargai dan menghormati terhadap masyarakat yang berbeda agama. Spritualitas dalam kehidupan sangatlah kental, karena masyarakat memahami misi-misi perdamaian dalam agamanya masing-masing, sehingga egosentrisme agama tidak muncul ke permukaan. Agama merupakan hal yang sangat esensial karena berkaitan dengan masalah kehidupan dan kematian, bahkan semua agama pasti mempunyai ajaran tentang rasa saling menyapa dan cinta kasih. Tetapi, jika hal tersebut disalah-pahami dan dijadikan sebagai teori pembenaran oleh pemeluknya, maka, ini hanyalah melahirkan sikap keangkuhan dan memandang agama orang lain adalah kesalahan. 15

16

Abdullah dalam Ahmad Calam, dkk. Peran Pesantren Dalam Mengembangkan Kesadaran Kemajemukan Agama (Studi Kasus Di Pesantren Aisyiyah Kelurahan Sei Rengas Permata Kecamatan Medan Area Kota Medan Propinsi Sumatera Utara–Indonesia). Jurnal SAINTIKOM Vol. 11 / No. 1 / Januari 2012. Hlm, 16-17 Lihat Ahmad Munjin Nasih1 dan Dewa Agung Gede Agung (2011). Harmoni Relasi Sosial Umat Muslim dan Hindu di Malang Raya. Jurnal. Tahun 2011, Volume 24, Nomor 2 Hal, 1

Sehingga, melalui terowongan itulah muncul konflik yang ditunggangi oleh kesahapahaman. Dalam masyarakat multi-agama di Banuroja, juga sering menghadapi berbagai permasalahan keagamaan tetapi mereka mampu mengontrol diri dan juga mereka bisa mengantisipasi agar konflik agama tersebut tidak akan terjadi. Dalam Islam pun kita diajarkan rasa saling menghargai antar etnis dan agama misalnya ada pesan dalam alqur’an (Surah al-kafirun ayat 6) yang atinya “untukmu agama-mu dan untukku agama-ku”. Dalam pesan-pesan tersebut terkandung makna anjuran untuk saling menghormati antar sesama. Dalam ajaran agama Hindu juga, ada yang di sebut Tatwam Asi, artinya “dia adalah aku, aku adalah dia”. Ajaran tersebut memberi isyarat, jika kita merasa dia adalah aku maka dia juga akan merasa sebaliknya, ini yang menjadi pegangan etnis Bali yang beragama Hindu di Banuroja selama ini. Dalam ajaran Kristen pun terdapat anjuran untuk saling menghargai misalnya, “Kasihilah musuhmu berilah makan bila ia lapar”. Terkandung makna yang sangat bijak dalam ajaran tersebut, karena logika positifnya, kepada musuh saja kita diperintahkan untuk memberi makan apalagi dengan masyarakat yang hidup berdampingan sehari-hari. Simpulan Dari paparan materi di atas, terkait berbagai macam fenomena dan realitas yang terjadi dalam masyarakat multikultural, merangsang nalar penulis untuk merumuskan suatu kesimpulan yakni, Banuroja yang terkenal dengan kerukunan dan keharmonisan hidup masyarakatnya yang multietnik, tidak serta merta jauh dari gejolak dan benturan kepentingan masing-masing etnik. Tetapi hal demikian, mampu diminimalisir dan dicarikan suatu desain spesifik untuk tetap berada dalam pusaran integrasi dan keharmonisan hidup. Berbagai macam gejolak yang terjadi pada masyarakat Banuroja, mulai dari gejolak antar agama yakni, menggunakan kesempatan untuk mengajak penganut agama lain untuk ikut memeluk agama mereka, kemudian gejolak mengenai fitnah yang dilontarkan untuk menghancurkan keharmonisan antara kedua etnis, hingga pada gejolak pengakuan hak atas tanah yang

terlibat di dalamnya beberapa etnis yang menempati tanah tersebut. Hal demikian mampu mereka bendung, sehingga benturan kepentingan tersebut tidak merambah ke konflik sosial. Realitas keragaman ini, merupakan manifestasi yang tertuang dalam sebuah Falsafah Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu). Setidaknya, terdapat juga beberapa instrumen perekat silaturahmi yang dilakukan oleh maasyarakat di Banuroja, antara lain: saling mengundang dan mengunjungi ketika ada kegiatan keagamaan dan kegiatan desa, misalnya Majelis Ta’lim, perayaan Hari Raya, dan kegiatan desa.

Daftar Pustaka Ahmad Calam dan Mahmud Yunus Daulay, (2012). Peran Pesantren Dalam Mengembangkan Kesadaran Kemajemukan Agama (Studi Kasus Di Pesantren Aisyiyah Kelurahan Sei Rengas Permata Kecamatan Medan Area Kota Medan Propinsi Sumatera Utara–Indonesia). Jurnal SAINTIKOM Vol. 11 / No. 1 / Januari 2012 Ahmad Munjin Nasih1 dan Dewa Agung Gede Agung (2011). Harmoni Relasi Sosial Umat Muslim dan Hindu di Malang Raya. Jurnal. Tahun 2011, Volume 24, Nomor 2 Colleta, Mat. J & Umar Kayam (Penyunting), (1987), Kebudayaan dan Pembangunan, Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Lubis, Zulkifli B. (2005). “Kanalisasi ketegangan etnik dan kompetisi budaya dalam sektor publik.” Jurnal Antropologi Sosial Budaya, Vol. 01. 2 Oktober 2005 Mulyana, Deddi dan Rakhmat, Jalaluddin (1998), Komunikasi Antarbudaya (Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya). PT. Remaja Rosdakarya: Bandung Pelly, Usman, (2005). “Pengukuran intensitas konflik dalamMasyarakat majemuk.” Jurnal Antropologi Sosial Budaya, Vol. 01. 2 Oktober 2005 Poerwanto, Hari, (2006). Makalah Hubungan Antar Suku-Bangsa Dan Golongan Serta Masalah Integrasi Nasional, makalah dalam Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu isu Strategis yang Berkaitan dengan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa”, dilaksanakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 10 Oktober 2006 S. Dloyana, Kusumah, (2007). Pengelolaan Keragaman Budaya: Strategi Adaptasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. Jakarta Yoseph Yapi Taum, (2006). Masalah-masalah Sosial Dalam Masyarakat Multietnik. Makalah dibawakan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu-isu Strategis yang Berkaitan dengan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa” , dilaksanakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 10 Oktober 2006