KETERSEDIAAN ZAT BESI PADA TIKUS (RATTUS NORVEGICUS L.) SETELAH

Download 1 Apr 2003 ... yang banyak ditanami pohon lamtoro menggunakannya sebagai sumber protein alternatif. Namun, selain kandungan proteinnya ting...

0 downloads 396 Views 165KB Size
BioSMART Volume 5, Nomor 1 Halaman: 47-51

ISSN: 1411-321X April 2003

Ketersediaan Zat Besi pada Tikus (Rattus norvegicus L.) setelah Pemberian Tempe Lamtoro Gung Iron availability of rats (Rattus norvegicus L.) given lamtoro gung tempeh SHANTI LISTYAWATI Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 Diterima: 30 Desember 2002. Disetujui: 22 Januari 2003

ABSTRACT Lamtoro gung tempeh (LGT) is a food produced from fermentation process of lamtoro gung seeds. The food contains high protein equal to other tempeh, made of other grains. Although tempeh contains high nutrient, the anti-nutrient substances, like phytic acid, tannin and mimosine, remain in the tempeh. The objectives of this study were to assess the effect of LGT on iron availability of rat’s liver, spleen, and bloods. Completely Randomized Design with four treatments, i.e. aquadest (placebo), LGT of 0.9, 1.8, 2.7 grams/animal/day during 45 days was used in this study. Atomic Absorption Spectrophotometer analyzed the iron availability on liver and spleen, and blood was haemoglobine contains. Analysis of Variance and Least Significant Differences statistically analyzed the collected data. The results of the experiment indicated iron availability of rat’s liver, spleen and bloods were not influenced LGT given into the animals. Keywords: lamtoro gung tempeh, iron availability, haemoglobine, liver, spleen.

PENDAHULUAN Tanaman lamtoro gung merupakan tanaman legum yang mempunyai perakaran kuat dan banyak, sehingga banyak dimanfaatkan untuk tanaman penghijauan di lahan kritis. Peningkatan penggunaan tanaman lamtoro gung (Leucaena leucocephala (LMK) de Wit) sebagai tanaman penghijauan telah mendorong masyarakat untuk memanfaatkan tanaman ini secara maksimal, di antaranya adalah memanfaatkan bagian-bagian tanaman lamtoro gung sebagai bahan makanan bagi manusia dan ternak. Salah satunya adalah memanfaatkan biji yang sudah tua untuk dibuat tempe. Tempe lamtoro gung (TLG) merupakan hasil fermentasi biji dengan menggunakan ragi (Rhizopus oligosporus) atau dengan laru yang merupakan campuran beberapa ragi. Proses pembuatan tempe ini menguntungkan karena dapat meningkatkan kecernaan protein, penyerapan zat besi, dan menurunkan zat anti-gizi (Hartono, 1986; Almashuri et al., 1991; Komari, 1993). TLG mengandung protein yang cukup tinggi, setara dengan kacang-kacangan lain yang biasa dibuat tempe, sehingga di daerah-daerah yang banyak ditanami pohon lamtoro menggunakannya sebagai sumber protein alternatif. Namun, selain kandungan proteinnya tinggi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa tempe tersebut juga mengandung zat anti-gizi yang berasal dari biji lamtoro gung. Zat anti-gizi tersebut adalah asam fitat, tanin, mimosin, dan dihidroksipiridin, yang mungkin dapat mengganggu kualitas zat gizi di dalamnya (Astuty,1989; Komari, 1993). Asam fitat merupakan mioinositol heksafosfat yang mempunyai banyak gugusan asam, sehingga dapat

berikatan senyawa kompleks yang tidak larut dalam cairan lambung apabila berikatan dengan mineral bivalen atau trivalen misalnya besi, fosfat, kalsium, magnesium, kalium, natrium, inositol. Selain itu asam fitat juga dapat membentuk senyawa kompleks dengan protein membentuk kompleks protein-fitat, yang menyebabkan perubahan konfigurasi protein sehingga menurunkan kecepatan hidrolisis protein dalam sistem pencernaan. Asam fitat terdapat pada hampir semua tumbuhan terutama biji-bijian, padi-padian, polong-polongan, yeast dan jamur (Christian dan Geger, 1978). Asam fitat merupakan senyawa yang dapat menyimpan banyak unsur dan senyawa organik misalnya P, Ca, Mg, K, Na, dan inositol. Pada saat perkecambahan, asam fitat diuraikan oleh enzim fitase menjadi senyawa-senyawa yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman (Fountain dan Irving, 1964 dan Asada, 1969 dalam Moeljopawiro, 1998). Besi adalah salah satu mineral yang dapat diikat oleh asam fitat membentuk senyawa kompleks besi yang sukar larut, tidak semua zat besi dapat diserap badan, karena di dalam badan membentuk senyawa feri-fitat yang tidak larut pada pH saluran pencernaan sehingga dikeluarkan kembali (Leighand Miller, 1983; Torre et al., 1991). Tanin merupakan senyawa polifenol yang mempunyai berat molekul lebih dari 500, senyawa ini banyak terdapat pada biji-bijian. Tanin terdiri dari dua golongan besar yaitu tanin yang dapat terhidrolisis dan tanin hasil kondensasi. Keduanya mempunyai afinitas tinggi dengan protein, karbohidrat, dan mineral. Contoh tanin yang dapat terhidrolisis adalah asam tanat, hidrolisis terjadi secara enzimatis menjadi glukosa dan asam galat. Tanin hasil kondensasi adalah polimer flavonoid yang terdiri dari unit© 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

48

BioSMART Vol. 5, No. 1, April 2003, hal. 47-50

unit leukosantin yang saling berikatan dengan ikatan karbon. Tanin golongan ini pada keadaan fisiologis sukar sekali diuraikan (Murthy et al., 1985). Menurut Christian dan Geger (1978) dan Murthy et al., (1985) tanin dapat menghambat absorpsi besi non hem dengan membentuk kompleks zat besi-tanat yang bersifat tidak larut dalam cairan pencernaan. Senyawa kompleks besi-tannat terbentuk dari terjadinya ikatan gugus hidroksil dari tanin dengan ion besi. Mimosin merupakan senyawa yang selalu ada pada tanaman yang tergolong Mimosaceae. Struktur mimosin mirip dengan tirosin, mempunyai cincin amino-benzena ini yang menyebabkannya mampu menghambat sintesis hormon tiroid dan tidak dapat dipulihkankan dengan pemberian iodida (Turner dan Bagnara,1976; Brook dan Marshall, 1996). Asam amino mimosin merupakan senyawa toksik bagi hewan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kuda, babi, kambing, tikus, dan unggas yang memakan bagian tanaman Leucaena sp. sebagai campuran pakan, menunjukkan kerontokan bulu dan rambut. Pada wanita dewasa dan anak-anak setelah makan daun, polong, dan biji lamtoro, 48 jam kemudian menunjukkan kerontokan rambut, alis dan kulit kepala terasa sakit dan beberapa bagian badan mengalami edema setempat. Penelitian secara in vitro oleh Dai et al. (1984) menunjukkan bahwa Mimosin dapat menghambat sintesis DNA sehingga pembelahan sel juga terhambat, tetapi sifat penghambatan ini dapat dipulihkan dengan menghilangkan mimosin. Menurut Thompson et al. (1969) dalam Komari, (1994) dan Van Ven (1973) dalam Wuryastuti (1993), penambahan mimosin 1% dalam pakan mencit, menyebabkan alopecia, pertumbuhan terhambat, dan masa hidup lebih pendek. Hasil penelitian Listyawati (2000), pemberian TLG yang masih mengandung mimosin dapat meningkatkan aktivitas kelenjar tiroid yang ditunjukkan dengan peningkatan tinggi sel epitelium kelenjar tiroid. Zat besi merupakan unsur yang paling banyak ditemukan dalam kerak bumi dan merupakan mikromineral yang sangat penting bagi kehidupan. Pada badan hewan sebagian besar berbentuk senyawa kompleks organik dan hanya sedikit yang berada dalam bentuk ion anorganik bebas. Fungsi utama zat besi adalah sebagai penyusun hemoglobin yang berfungsi dalam pengangkutan oksigen dan karbondioksida. Besi fero (Fe2+) dan feri (Fe3+) sangat sukar larut pada pH netral, sehingga untuk transpor dan memasukkan ion-ion ini ke tempat-tempat fungsionalnya memerlukan sistem khusus. Besi dalam makanan terutama berbentuk feri yang terikat kuat pada molekul organik. Jenis makanan yang merupakan sumber zat besi tinggi yaitu daging, tetes tebu, sayuran hijau, dan tanaman polong-polongan (Martin, 1983). Menurut Monsen et al. (1978), senyawa kompleks besi organik terdiri dari dua bentuk yaitu besi hem dan besi nonhem. Besi hem merupakan bagian dari hemoglobin, mioglobin, dan enzim-enzim yang mengandung hem seperti sitokrom, katalase,dan peroksidase. Besi hem terdapat dalam 10% sampai 15% dari seluruh zat besi yang ada dalam makanan (Hallberg, 1980). Zat besi hem lebih mudah larut pada pH netral dari cairan usus daripada pH asam pada cairan lambung, maka absorpsi besi hem lebih

tinggi daripada absorpsi besi non hem (Leigh dan Miller, 1983). Besi non-hem terdapat pada bahan pangan nabati dan sedikit pada bahan pangan hewani, untuk dapat diabsorpsi zat besi non hem harus mencapai mukosa duodenum dalam keadaan terlarut, maka bioavailability-nya sangat ditentukan oleh bentuk dan sifat kimia zat besi. Menurut Layrisse et al. (1968) dan Moeljopawiro (1998), zat besi hem yang dapat diabsorpsi hanya 3% sampai 7%, tergantung senyawa-senyawa lain yang dimakan bersama-sama. Absorpsi zat besi dipengaruh oleh status besi dalam tubuh atau keadaan metabolisme tubuh, sedangkan faktor luar meliputi sifat kimia (valensi, kelarutan, bentuk senyawa kompleks besi), dan senyawa-senyawa lain yang dikonsumsi bersama-sama atau berada dalam badan misalnya vitamin C, komponen dalam daging (meat factor), fruktosa, asam amino histidin dan lisin akan menaikkan absorpsi zat besi, sedangkan absorpsi zat besi dapat dihambat oleh tanin, asam fitat, dan komponen fosfoprotein dalam kuning telur (Christian dan Geger, 1978; Murthy et al., 1985; Church dan Pond, 1988; Torre, 1991). Hemoglobin merupakan protein yang mempunyai berat molekul 68.000, terdiri dari globin yang berkombinasi dengan hem. Molekul globin terdiri dari empat rantai polipeptida yang tersusun dalam bentuk konfigurasi tetrahedral, dua rantai polipeptida disebut rantai alfa yang terdiri dari 141 asam amino, sedangkan dua yang lain disebut rantai beta yang tersusun dari 146 asam amino. Hem merupakan senyawa porfirin yang berikatan dengan Fe (Marshall dan Hughes, 1980; Winarno, 1982). Sintesis hemoglobin dimulai dalam sel eritroblas. Sintesis dimulai dengan terbentuknya senyawa pirol (porfobilinogen) yang tersusun dari ikatan glisin dengan dua molekul asam ketoglutarat, selanjutnya empat molekul pirol akan saling berikatan membentuk uroporfirinogen, senyawa ini kemudian masuk mitokondria menjadi protoporfirin. Tahap sintesis selanjutnya adalah pembentukan senyawa hem, yang tersusun dari cincin protoporfirin dengan ion fero yang terikat pada bagian tengahnya. Senyawa hem yang terjadi ini kemudian keluar dari mitokondria menuju sitoplasma untuk berikatan dengan protein globin membentuk hemoglobin. Satu molekul hemoglobin terdiri dari satu molekul globin dan empat molekul hem. Pada berbagai macam hewan, globin pada hemoglobin sangat bervariasi dalam ukuran, komposisi asam amino, kelarutan dan sifat fisika yang lain. Jumlah hemoglobin bervariasi tergantung jenis hewan dan jenis kelamin. Pada manusia, pria normal mempunyai jumlah hemoglobin 14 – 18 g/ 100 ml darah, pada wanita berkisar antara 12 sampai 15,5 g/ 100 ml darah, sedangkan pada tikus 13 g/100 ml darah (Marshall dan Hughes, 1980 ; Martin, 1983). BAHAN DAN METODE Hewan uji berupa tikus (Rattus noevegicus L.) jantan umur 30 hari diperoleh dari Unit Pemeliharaan Hewan Percobaan UGM Yogyakarta, biji lamtoro gung sebagai bahan dasar tempe diperoleh dari Delanggu Klaten, dan untuk fermentasi digunakan inokulum produksi LIPI

LISTYAWATI – Zat besi pada Rattus norvegicus akibat tempe lamtoro gung

Bandung. Peralatan yang digunakan antara lain: tabung mikrohematokrit, Hemoglobinometer (NEO-2), Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Spektrofotometer, dan seperangkat alat bedah. Rancangan penelitian berupa Rancangan Acak Lengkap dengan lima kelompok perlakuan banyaknya bahan perlakuan yang diberikan. Kadar asam fitat diukur dengan HPLC. Satu gram tepung TLG diekstraksi dengan 20 ml HCl 0,5N selama dua jam, kemudian disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Setelah disentrifus kemudian disaring dengan kertas Whatman nomer satu, kemudian kertas milipore 0,5um. Filtrat yang diperoleh ditambah akuades dengan perbandingan 1:4. Larutan yang terbentuk sebanyak 10 ml diambil dipindahkan ke kolom resin penukar anion. Kolom dicuci dengan air bebas mineral, larutan NaOH 0,125N (1:4) dan kemudian 15 ml HCl 0,1 N. Asam Fitat dimasukkan kolom dengan 10 ml HCl 2 N pada kecepatan alir 0,4 ml/menit. Satu mililiter larutan dikeringkan semalam dalam vacum desikator kemudian residunya dilarutkan dengan 1 ml NaAc. 5mM, dan diinjeksikan ke HPLC (Sudarmadji, et al., 1981 dan Oberleas, 1983). Kadar tanin tepung TLG sebanyak 5,0 g dimasukkan ke dalam gelas beker (500 ml), ditambahkan 400ml akuades dan dididihkan selama 30 menit. Setelah dingin ditambah akuades sampai tanda kemudian disaring, dan hasilnya disebut filtrat I. Filtrat ini diambil 10 ml dimasukkan dalam labu erlenmeyer, ditambah 25 larutan indigokarmin dan 750 ml akuades kemudian digojog. Larutan ini dititrasi dengan permanganat 0,1 N sampai terbentuk warna kuning emas. Larutan gelatin 500 ml ditambahkan 100 ml filtrat I dan 10 g kaolin, digojok kuat-kuat, kemudian disaring, diperoleh filtrat II. Dari filtrat II ini diambil 25 ml dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, ditambahkan 25 ml larutan indigokarmin dan 750 ml air suling, kemudian dititrasi dengan KMNO4 0,1 N sampai terbentuk warna kuning emas. Kadar tanin diketahui dari: 1 ml KMNO4 0,1 N setara dengan 0,00416 g tanin (Mursyidi et al., 1990). Kadar zat besi pada hepar dan lien diukur dengan AAS. Organ segar (hepar dan lien) seberat 2,5 g dimasukkan ke dalam krusibel porselen yang terlebih dahulu dibilas dengan aquades, kemudian dibakar ± 3 jam untuk menghilangkan uap. Sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 700oC selama 6 jam. Abu yang diperoleh dari pembakaran dilarutkan dengan HCl pekat sampai volume menjadi 25 ml. Kemudian dibaca absorbansinya dengan AAS pada panjang gelombang 248,3 nm (Olson dan Hamlin, 1969; Cantle, 1982). Pengukuran kadar hemoglobin dengan metode Cyanmethemoglobin. Cuplikan darah diambil dari vena preorbitalis dengan menggunakan tabung mikrohematokrit, darah yang keluar ditampung dalam tabung reaksi yang sudah diberi EDTA sebagai zat antikoagulan. Lima mililiter larutan Drabkin dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0,02 ml darah dengan pipet Hb dan dicampur. Larutan didiamkan 10 menit supaya terbentuk Cyanmethemoglobin, kemudian dimasukkan ke dalam measuring-section Hemoglobinometer NEO-2 untuk diukur kadar Hb-nya.

49

HASIL DAN PEMBAHASAN Zat anti-gizi dalam TLG TLG yang digunakan dalam penelitian ini, dibuat secara tradisional seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Proses pembuatannya melalui perebusan, pengelupasan kulit, perendaman, pengukusan, dan fermentasi. Pemrosesan tersebut ternyata menguntungkan karena menurut hasil penelitian Hartono (1986), Almashuri et al. (1991), dan Komari (1993) tahapan-tahapan dalam proses pembuatan tempe tersebut dapat meningkatkan kecernaan protein, penyerapan zat besi, dan menurunkan zat anti-gizi di dalamnya. Menurut Astuty et al. (1989) dan Komari (1994) zat anti gizi dalam TLG menurun kadarnya terutama dalam proses pengelupasan kulit. Analisis zat anti gizi dalam TLG diperoleh hasil bahwa setiap 100g TLG mengandung asam fitat 195 mg, tanin 94 mg, dan mimosin 210 mg. Ketersediaan zat besi dalam hepar Ketersediaan zat besi dalam hepar diukur dari kadar zat besi yang terkandung di dalamnya. Dari hasil analisis kadar zat besi dalam hepar, menunjukkan bahwa kadar zat besi meningkat dengan pemberian TLG, hal ini dapat dilihat pada tabel 1. Pemberian TLG 0,9 gram/hari, kadar zat besi dalam hepar adalah 228,91 ppm, nilai ini lebih tinggi daripada kelompok kontrol yang kadar besi dalam heparnya 206,69 ppm. Pada pemberian perlakuan dengan kadar TLG lebih tinggi yaitu sebesar 1,8 g per hari, kadar zat besi menunjukkan peningkatan yaitu 253,77 ppm. Tabel 1. Kadar zat besi dalam hepar setelah perlakuan dengan TLG Kelompok

Perlakuan

A B C D

Kontrol 0.9 g TLG/ hari 1,8 g TLG/ hari 2,7 g TLG/ hari

Kadar Fe dalam hepar (ppm) 206.69 ± 32,99 228,91 ± 19,07 253,77 ± 34,65 216,07 ± 14,21

Peningkatan ini karena tempe juga merupakan sumber zat besi yang baik. Bahan dasar tempe yang berupa biji lamtoro gung, tergolong dalam tanaman polong-polongan yang merupakan sumber zat besi tinggi. Kadar zat besi dalam biji lamtoro gung adalah 11,2 mg/100 g biji, lebih tinggi dari yang terdapat dalam kacang tanah, kacang hijau, maupun kedelai (Martin, 1983; Komari dan Septimurni,1996). Pada TLG sebagai hasil fermentasinya, ketersediaan zat besi hayati meningkat sampai empat kali lebih tinggi dari biji lamtoro gung dan kadar zat besi total adalah 3,17 mg/100 g (Komari, 1994). Namun, hasil analisis varian kadar zat besi dalam hepar pada taraf uji 5%, menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan . Ketersediaan zat besi dalam lien Kadar zat besi dalam lien juga diukur dari kadar zat besi yang terdapat dalam lien. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa setelah pemberian perlakuan dengan TLG sampai pemberian 1,8 g TLG/hari terjadi peningkatan (tabel 2), seperti hasil pengukuran pada hepar.

BioSMART Vol. 5, No. 1, April 2003, hal. 47-50

50

Tabel 4. Kadar zat besi dalam lien setelah perlakuan dengan TLG. Kelompok

Perlakuan

A B C D

Kontrol 0.9 g TLG/ hari 1,8 g TLG/ hari 2,7 g TLG/ hari

Kadar zat besi dalam lien (ppm) 619,29 ± 16,72 637,72 ± 62,80 715,87 ± 11,03 530,06 ± 79,55

Pemberian perlakuan 0,9 g TLG/hari, kadar zat besi dalam lien adalah 637,72 ppm, lebih tinggi daripada kelompok kontrol yang hanya 619,29 ppm. Kadar zat besi tertinggi terdapat dalam kelompok hewan uji kelompok yang diberi 1,8 g TLG/ hari yaitu sebesar 715,87 ppm. Namun, dosis perlakuan yang lebih tinggi yaitu 2,7 g TLG/hari menunjukkan penurunan kadar zat besi dalam lien. Hasil analisis varian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan diantara kelompok perlakuan. Zat anti gizi penghambat absorbsi zat besi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah asam fitat dan tanin, yaitu sebesar 195 mg dan 94 mg setiap 100 g TLG (tabel 2). Asam fitat dan tanin dalam TLG yang dianalisis ternyata tidak menunjukkan kemungkinan pengaruh penghambatan terhadap absorpsi zat besi, hal ini ditunjukkan oleh kadar zat besi dalam hepar dan lien yang justru terjadi peningkatan sampai perlakuan dengan pemberian TLG 1,8 g/ hari. Pengaruh penghambatan absorbsi zat besi oleh asam fitat dan tanin yang dapat mengurangi ketersediaan zat besi dalam badan, dapat diimbangi dengan tingginya ketersediaan hayati zat besi dalam TLG yang dikonsumsi. Penurunan kadar zat besi dalam hepar dan lien terlihat pada perlakuan dengan 2,7 g TLG/ hari, dimungkinkan pada dosis perlakuan tersebut asam fitat dan tanin sudah berpengaruh dalam menghambat absorbsi zat besi, dengan terbentuknya ikatan antara zat besi dengan asam fitat atau tanin tersebut, membentuk senyawa kompleks yang tidak larut dalam cairan saluran pencernaan sehingga sulit diabsorbsi. Menurut Murthy et al.(1985), asam fitat mengandung banyak gugus fosfat yang dapat mengikat ion bivalen termasuk besi, sedangkan tanin dapat membentuk senyawa kompleks melalui gugus hidroksilnya yang berikatan dengan zat besi. Berkurangnya absorbsi zat besi besi dari makanan ini menyebabkan peningkatan pengambilan zat besi dari tempat penyimpanan, diantaranya pada hepar dan lien. Pengambilan ini menyebabkan ketersediaannya dalam organ penyimpanan tersebut berkurang. Ketersediaan zat besi dalam darah Ketersediaan zat besi dalam darah dalam penelitian ini dilihat dari parameter kadar hemoglobin. Hemoglobin merupakan senyawa yang mengandung zat besi, sehingga ketersediaan besi sangat mempengaruhi jumlah hemoglobin dalam darah. Hasil pengukuran kadar hemoglobin dalam darah dapat dilihat pada tabel 3. Kadar hemoglobin meningkat sebanding dengan meningkatnya jumlah TLG yang diberikan, meskipun tidak setinggi kadar hemoglobin pada kelompok kontrol.

Tabel 3. Kadar hemoglobin setelah perlakuan dengan TLG. Kelompok

Perlakuan

A B C D

Kontrol 0.9 g TLG/ hari 1,8 g TLG/ hari 2,7 g TLG/ hari

Kadar Hb (g/100 ml darah) 12,64 ± 0,34 12,45 ± 0,64 12,58 ± 0,68 12,63 ± 1,13

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kadar hemoglobin pada kelompok-kelompok perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Hal ini karena hemoglobin merupakan unit fungsional zat besi yang penting untuk pengangkutan oksigen dari paru menuju jaringan perifer dan mengangkut karbon dioksida menuju paru. Fungsi hemoglobin yang sangat penting ini menyebabkan jumlahnya cenderung dipertahankan dalam kisaran normal oleh kerja sistem homeostatis. Apabila absorbsi zat besi menurun dan tidak mencukupi untuk pembentukkan hemoglobin baru, maka akan diambilkan zat besi dari tempat-tempat penyimpanan, seperti hepar, lien, dan sumsum tulang. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian pemberian tempe lamtoro gung sampai 2,7 g/hari pada tikus (Rattus norvegicus L.) tidak menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap ketersediaan zat besi dalam hepar, lien, dan darah. DAFTAR PUSTAKA Almashuri, H. Yuniati, dan D.S. Slamet. 1991 Pengaruh penempean terhadap penyerapan besi dari kacang-kacangan. Penelitian Gizi dan Makanan 15: 135-138. Astuty, M., R. Indrati, dan Y. Atmajaya. 1989. Tempe lamtoro (Leucaena leucocephala) pengaruhnya terhadap absorpsi zat besi pada tikus. Agritech 8 (1): 2-17. Brook, C. dan N. Marshall. 1996. Essential Endocrinology. Third edition. Oxford: Blackwell Science Ltd. Cantle, J.E. 1982. Atomic Absorbtion Spectrometri. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing Co. Christian, J.L. dan J.L. Geger. 1978. Nutrition for Living. New York: The Benjamin/Cummings Publishing Company Inc. Church, D.C. and W.G. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. Singapura: John Wiley and Sons (SEA) Pre, Ltd. Dai, Y.M., G.J.K. Bo, Wiswanatha, and S.L. Rhode. 1994. Mimosine inhibits viral DNA synthesis through ribonucleotida reductase. Virology 205: 210-216. Hallberg, L. 1980. Food Iron Absorbtion. In Iron Methods in Hematology. Vol. I. New York: Churchil Livingstone. Hartono. 1986. Menilai Daya Cerna Protein Tempe Lamtoro Gung Secara In Vitro. [Tesis]. Yogyakarta: FTP UGM.. Komari dan R.R. Septimurni. 1996. Analisis ketersediaan biologis zat besi kaitannya dengan kandungan asam fitat dan tanin pada lima jenis kacang-kacangan. Hayati 3 (2): 43 –46. Komari. 1993. Composition of Leucaena Tempe. ASEAN Food Journal 8 (4): 157-158. Komari. 1994. Detoksifikasi biji lamtoro gung. Hayati 1 (2): 47-50. Layrisse, M., C. Martinez-Torres, dan M. Roche. 1968. Effect of interaction of various foods on iron absorptions. American Journal of Clinics and Nutritions 10: 1175. Leigh, M.J. dan D.D. Miller. 1983. Effect of pH and chelating agents on iron binding by dietary fiber; implications for iron availability. American Journal of Clinics and Nutritions 38: 202-213.

LISTYAWATI – Zat besi pada Rattus norvegicus akibat tempe lamtoro gung Listyawati, S. 2000. Gambaran histologis kelenjar tiroid setelah pemberian tempe lamtoro gung. BioSMART 3 (1): 14-18 Marshall, P.T. and G..M. Hughes. 1980. Physiology of Mammals and Other Vertebrates. 2nd edition. Cambridge. Cambridge University Press. Martin, D.W. 1983. Harper’s Review of Biochemistry. Edisi 20. Penerjemah: Darmawan, I. Jakarta: EGC. Moeljopawiro, S. 1998. Ketersediaan besi hayati dalam sayuran diukur secara in vitro. Biota 3 (2): 34-43. Monsen, E.R., L. Hallberg, M. Layrisse, D.M. Hegsted, J.D. Cook, W. Mertz dan C.A. Finch. 1978. Estimation of available dietary Iron. American Journal of Clinics and Nutritions 31: 134. Mursyidi, A., Haryadi, dan C. Anwar, 1990. Analisis Bahan Tambahan, Ikutan, dan Cemaran dalam Pangan. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Murthy, N.K., S. Annapurani, P. Premjoti. J. Rajah, dan K. Subha. 1985. Bioavailability of iron by in vitro method from selected foods and effect of fortification, promotors and inhibitors. Indian Journal of Nutrition Dietary 22: 68-72. Ngatijan, 1991. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Petunjuk Laboratorium. Yogyakarta: PAU Bioteknologi UGM. Oberleas, D. 1983. Phytate content in cereals and legumes and methods of determination. Cereal Food World 28: 352

51

Olson, A.D. dan W.B. Hamlin. 1969. A new method for serum iron and total binding capacity by using Atomic Absorption Spectrophotometer. Clinical Chemistry 15: 438-443. Slamet, D.S. 1982. Lamtoro gung (Leucaena leucocephala) sebagai bahan sumber gizi untuk manusia. Proseding Seminar Nasional Lamtoro I, Jakarta. Sudarmadji, S., B. HarIono, dan Suhardi. 1981. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Tangendjaya, B. 1985. Pengaruh perlakuan air hangat terhadap toksisitas daun lamtoro pada itik. Proseding Seminar Penelitian Peternakan Forum peternak dan Aneka Unggas. Bogor: Puslitbang Peternakan. Torre, M., A.R. Rondriguez, and F. Saura-Calixto. 1991. Effect of dietary fiber and phytic acid on mineral bioavailability. [Critical Review]. Food Science Nutrition 1: 1-22 Turner, C.D. and J.T. Bagnara, 1976. General Endocrinology. 2nd edition. London: WB. Saunders and Co. Widiastuti, H.N., Z. Noor, dan Dj. Wibowo. 1987. Fitat menyebabkan pengurangan penyerapan kadar mineral kalsium, besi, dan fosfor. Lanjuran Seminar Kajian Kimiawai Pangan. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Winarno, F.G. 1985. Tempe peningkatan mutu dan statusnya di masyarakat. Simposium Pemanfaatan Tempe dalam Peningkatan Upaya Kesehatan dan Gizi, Jakarta 15 – 16 April 1985. Wuryastuti,H., 1992. Mikro Nutrien: Vitamin dan Mineral. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM.