KEWAJIBAN NAFKAH HADANAH BAGI ANAK SETELAH

Download Kata Kunci : Kewajiban, Nafkah, Pemeliharaan Anak (Hadhanah). .... hukum, Koran, majalah, jurnal, dan lain sebagainya berhubungan dengan ka...

0 downloads 439 Views 398KB Size
KEWAJIBAN NAFKAH HADANAH BAGI ANAK SETELAH PERCERAIAN

ABU NAWAS

ABSTRAK

Tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun demikian kekekalan dan kebahagiaan yang diinginkan kadang kala tidak berlangsung lama dan tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perceraian yang berakibat terhadap tiga hal, yaitu putusnya ikatan suami isteri, harus dibaginya harta perkawinan yang termasuk harta bersama, dan ketiga pemeliharaan anak yang harus diserahkan kepada salah seorang dari ayah atau ibu. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini menitikberatkan pada penelitian dokumen atau kepustakaan dengan mencari teoriteori, pandangan yang mempunyai korelasi dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti dan untuk melengkapi data yang diperoleh dari penelitian dokumen dan kepustakaan, maka dilakukan penelitian lapangan. Dalam hal terjadi sengketa pemeliharaan anak (hadhanah) Majelis Hakim Pengadilan Agama mengambil sikap dengan mempertimbangkan mampu atau tidaknya seorang ayah dalam memberikan biaya pemeliharaan terhadap anaknya. Kemudian langkah yang diambil Pengadilan hanya sebatas pengawasan dengan jangka waktu sampai diucapkannya ikrar talak oleh suami. Apabila sampai jangka waktu tersebut tidak ada upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa kepentingannya dirugikan, maka Pengadilan menganggap bahwa putusan tersebut tidak bermasalah dan dapat dilaksanakan oleh para pihak. Dengan tidak diwajibkannya ayah untuk membiayai pemeliharaan anak, maka ibu dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama, yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu sukarela dan secara paksa.

Kata Kunci

: Kewajiban, Nafkah, Pemeliharaan Anak (Hadhanah).

1

Pendahuluan Manusia merupakan makhluk sosial (zoon politicoon), sehingga tidak bisa hidup tanpa adanya manusia lainnya. Sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur.1 Bentuk bangunan terkecil dari masyarakat adalah keluarga, yang merupakan sub sistem dari sistem sosial yang di dalamnya berlaku norma-norma etika, moral, agama, dan hukum. Ia berinteraksi dengan sub sistem-sub sistem lainnya yang mempengaruhi keluarga. Manusia tidak mengingkari arti penting dari eksistensi keluarga sebagai unit terkecil dalam suatu kelompok masyarakat, termasuk keberadaan hukum yang mengatur keluarga itu sendiri. Sebuah keluarga terbentuk melalui hubungan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksud dilaksanakannya perkawinan adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat istri yang pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong antara satu kaum dengan yang lain, dan akhirnya rumah tangga tersebut menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah.2 Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai pertanggungjawaban secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik suami dan istri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan. Ikatan perkawinan merupakan ikatan suci yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Ikatan adalah ikatan lahir batin antara seorang suami dengan seorang isteri. Perkawinan tidak lagi hanya sebagai hubungan jasmani tetapi juga merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan perkawinan selama ini hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga mengandung aspek yang lebih subtantif dan berdimensi jangka panjang. Ikatan yang didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek sedangkan ikatan lahir batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam ini

1

Soejono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta:CV Rajawali,1982), hlm.9

2

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal.

69.

2

dieksplisitkan dengan tujuan sebuah perkawinan yakni untuk membangun sebuah keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Perkawinan juga dipandang sebagai sunnatullah dan merupakan kebutuhan fitrah setiap manusia baik kebutuhan biologis maupun kebutuhan sosial kemasyarakatan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat ArRuum Ayat 21 yang artinya sebagai berikut: َ‫ًَ ًِ ْن ِ ََتِ َِ و َ ْن ََقَلَ تَ ْن ْي ًِ ْن و َ ْْمْ َِ ْن ْي َْ ًَإو َ َلَ ِاتَ ْم ََْ ِتلَ َْ ْنكْةإ ًَ َل َع َج َْ ْمكَ ْن ْي ًَ َةدَوَ ًَ َةمْ َحر‬ ِ ََ ٍَ ََِٰ‫ِا َن يِف كََت‬ َْ ‫ي ِتمَ ْة ِق ًَْ َملَمَ َن‬ Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.4 Hukum perkawinan merupakan bagian integral dari syari’at Islam, yang tidak terpisahkan dari dimensi akidah dan akhlak islami, atas dasar inilah hukum perkawinan ingin mewujudkan perkawinan di kalangan orang muslim menjadi perkawinan yang bertauhid dan berakhlak, sebab perkawinan semacam inilah yang bisa diharapkan memiliki nilai transedental dan sakral untuk mencapai tujuan perkawinan yang sejalan dengan tujuan syar’iat Islam sehingga terjadi pergaulan yang baik antara suami dan istri yang pada akhirnya bisa melahirkan seorang anak yang dapat dibanggakan.5 Secara kemasyarakatan, anak mempunyai peranan penting antara lain sebagai penyambung keturunan dan ahli waris Bahkan dalam hukum adat, anak adalah sebagai penerus keturunan, penerus kekerabatan dan sebagai kelanjutan dari keputusan orang tuanya. Sedangkan dalam skala negara dan bangsa sebagaimana telah disinggung terdahulu, anak adalah merupakan aset bangsa yang tidak ternilai harganya yang dapat dijadikan sebagai salah satu indikator utama (leading indicator) ekonomi suatu bangsa. Anak adalah miniatur orang dewasa yang belum memiliki jati diri dan identitas diri. Olehnya itu, cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya sangat berpengaruh pada perkembangannya menuju manusia dewasa yang seutuhnya. Anak memerlukan refleksi cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya dalam tindakan nyata. Anak dibelai dalam pangkuan kedua orang tuanya, ditatap, dipeluk

3

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 46. 4 Al-Quran, Surat Arrum, Ayat 21. 5 M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 10

3

dan dicium, sehingga demi kepentingan dan perlindungan anak semata agar dapat tumbuh menjadi anak yang baik, hak hadhanah menjadi hak bersama ayah dan ibu agar anak terutama usia di bawah 12 tahun mendapat kasih sayang seutuhnya dari ayah dan ibunya. Hak hadhanah anak di bawah umur 12 tahun (belum mumayyis) adalah hak ibunya sepanjang memenuhi syarat. Apabila ibunya meninggal dunia, hak hadhanah beralih menjadi hak wanita dari gari lurus ke atas dari ibu, dan diurutan selanjutnya adalah hak ayahnya. Bagi anak yang berusia di atas 12 tahun, hak hadhanah berdasarkan pilihan si anak. Anak merupakan sumber daya manusia, tunas bangsa dan sebagai generasi penerus cita-cita dan perjuangan suatu bangsa. Itulah sebabnya, anak memegang peranan strategi dalam keberlangsungan dan eksistensi suatu bangsa, sehinga sepatutlah apabila anak mendapat perhatian yang cukup dalam upaya memberikan perlindungan menyeluruh agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik sebagai hak asasi manusia yang melekat pada dirinya. Anak membutuhkan perhatian penuh dari orang tua (bapak ibunya) pada masa kanak-kanaknya karena mereka belum mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Anak memerlukan cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya sebagaimana ia memerlukan makanan. Jiwa anak-anak sangat lembut dan mudah terpengaruh. Anak adalah miniatur orang dewasa yang belum memiliki jati diri dan identitas diri. Olehnya itu, cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya sangat berpengaruh pada perkembangannya menuju manusia dewasa yang seutuhnya. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam mengatur dengan tegas kewajiban orang tua terhadap anak. Dengan demikian, suami isrti memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah. Hak maupun kewajiban orang tua terhadap anak dalam hukum dikenal dengan istilah salah teknis hukum sebagai “kekuasaan orang tua” (ouderlijkemacht). Kekuasaan orang tua ini penting artinya bagi kehidupan seorang anak terutama yang belum dewasa karena melalui lembaga hukum ini hak-hak dasar anak akan dipenuhi.6 Dalam perjalanan hidupnya, manusia selalu menghadapi permasalahan yang bermacam-macam. Permasalahan seringkali timbul dalam kehidupan keluarga, sehingga dapat mengakibatkan ketidak harmonisan. Jika terjadi perselisihan antara suami dan isteri terus menerus dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka ajaran islam memberikan jalan keluar yaitu perceraian sebagai jalan akhir.

6 Irma Setyowati Soemitro, Kekuasaan Orang Tua Setelah Perceraian (Suatu PenelitianDi Desa Cukil, Sruwen dan Sugihan Kecamatan Tengaran, Dalam Majalah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hal. 37.

4

Dalam pergaulan antara suami tidak jarang terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab-sebab lain yang kadang-kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan oleh kedua belah pihak maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal sehingga pada akhirnya jalan keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah perceraian. Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Anak-anak tersebut harus hidup dalam suatu keluarga yang tidak harmonis sebagaimana mestinya misalnya harus hidup dalam suatu keluarga dengan orang tua tunggal seperti dengan seorang ibu atau dengan seorang ayah saja. Dalam Keluarga yang orang tua bercerai pertumbuhan anak dalam standar yang ideal kemungkinan sulit tercapai karena kebutuhan jasmani dan rohaninya tidak dapat dipenuhi secara sempurna. Perceraian tidak lepas dari dampak negatif, lebih-lebih ketika pernikahan telah menghasilkan anak. Anak merupakan pihak yang paling dirugikan akibat perceraian kedua orang tuanya. Anak akan kehilangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan secara utuh dari kedua orang tua, di samping itu nafkah dan pendidikan anak tersebut dapat terganggu.7 Kewajiban memberikan nafkah dan memelihara anak tidak gugur dengan terjadinya perceraian. Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam bahasa fiqih disebut dengan hadanah. As-Sayyid Sabiq mengatakan bahwa hadanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.8 Persoalannya jika terjadi perceraian, siapakah yang berhak untuk memelihara anak mereka. Hal ini terkadang memicu terjadinya perebutan anak tersebut, maka dalam Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan. Undang-undang membenarkan menggabung dua gugat pokok dalam suatu gugatan, dalam satu proses pemeriksaan yang sama serta dituangkan dalam keputusan yang sama. Pada hakikatnya, posita gugat cerai yang menjadi pokok perkara, sedangkan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan penyelesaian harta bersama menjadi bagian gugat assesor.

7 8

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. 3, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 116 As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Saudi Arabia : Dar al-Fatkh, 1999), II: 436

5

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat mengambil beberapa pokok permasalahan yang akan dianalisa, antara lain sebagai berikut : 1. Bagaimana tanggungjawab nafkah hadanah yang diberikan kepada anak setelah terjadi perceraian? 2. Bagaimana pelaksanaan pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian?

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan YuridisNormatif9, karena penelitian ini meneliti sumber bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan nafkah hadanah bagi anak. Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui penelusuran terhadap sumber bahan hukum, buku-buku, hasil penelitian, dokumen termasuk laporan, data arsip dan data resmi dari pengadilan. Sumber bahan hukum yang diperlukan untuk penulisan ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang digunakan antara lain : a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata. c) Kompilasi Hukum Islam. d) Data hasil dokumentasi yang diperoleh dari berkas perkara di Pengadila Agama Bahan hukum sekunder yaitu hasil karya kalangan praktisi maupun akademisi hukum, Koran, majalah, jurnal, dan lain sebagainya berhubungan dengan kajian yang dilakukan. Bahan hukum tersier yang digunakan yaitu kamus, ensiklopedi, dan penjelasan lain sehubungan dengan kajian yang diambil. Pada penelitian ini, metode yang digunakan dalam pengumpulan data melalui penelusuran terhadap sumber bahan hukum tentang pemberian nafkah yang adil bagi anak setelah terjadi perceraian serta membaca dan mempelajari sumber-sumber bacaan, literatur, dokumen, dan laporan yang berkaitan erat dengan obyek penelitian. Metode ini termasuk ke dalam penelitian kepustakaan (library Research) yang bertujuan untuk mendapatkan data yang bersifat teoritis sebagai penunjang atau dasar teoritis dalam memahami teori. Analisis data ini bersifat kualitatif, artinya penyusun lebih mempertajam analisis dengan memahami kualitas dari data yang diperoleh. Pola yang digunakan adalah pola pikir induktif dan deduktif. Induktif, adalah pola berfikir bersumber pada fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian ditarik ke umum. Deduktif

9

Soerjono Soekanto, Penguntar Penelitian Hukum, (UI Press, cet. ke-11, 1999), hlm 23

6

sebaliknya, adalah pola pikir yang bersumber dari fakta-fakta yang bersifat umum ditarik ke khusus.10 TINJAUAN LITERATUR Landasan teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat para ahli dan teori-teori mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetuji atau tidak disetujui. Beberapa permasalahan mengenai kerangka teoritik merupakan koridor bagi penulis dalam mengkaji permasalahan yang ditulis. Teori berasal dari kata teoritik, dapat didefenisikan adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis. Teori ini mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction) dan pengendalian (control) suatu gejala. Menurut pendapat Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. Melakukan sebuah penelitian diperlukan adanya landasan teoritis,sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa landasan teoritis merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun konsep yang relevan digunakan untuk mengupas suatu kasus ataupun permasalahan.11 Setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis oleh karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan dan analisa dan konstruksi data.12 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memfisualisasikan penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Penelitian ini dapat meletakkan fungsi dan kegunaan teori dalam sebagai suatu pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang ada dalam penelitian. Adapun teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah : Teori hukum murni, dalam Teori Hukum murni ini (Legal Theory) mengandung arti suatu metode mengamati bagaimana manusia membuat hukum. Teori ini juga mengandung arti studi mengenai hukum sebagaimana adanya (as it is) yang dibedakan dari hukum sebagaimana seharusnya ada (law as it ought to be). Teori Hukum positivis tidak menolak apa yang seharusnya (the ought) dalam kerangka moral sebagai subjek yang tidak layak diperhatikan atau tidak berhubungan dengan hukum. Namun kaum positivis secara eksplesit menolak apa yang seharusnya (the ought) dalam pengertian yang sifatnya metafisik sebagai hasil langsung dari “metaphysical non-positive is.” Apa yang sekarang ada (the is) dari kaum positivis tercapai dengan eksistensi hukum manusia dan metode studinya

10

Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Perkara Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm.

41 11

M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 80. Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, hal. 122.

12

7

adalah secara tegas tidak boleh keluar dari lingkup eksistensi. Kita juga menemukan apa yang seharusnya ada (an Ought) dalam lingkup ini tetapi ia bukan moral, apa yang seharusnya ada secara normative (Normative Ought), apa yang seharusnya ada menurut hukum berbeda dari kewajiban moral. Kemudian Teori Pemberlakukan Hukum Islam. Teori ini memberikan gambaran pemberlakuan hukum Islam di Indonesia merupakan sebuah fenomena pemberlakuan hukum yang paling tidak dilatar belakangi adanya kepentingan-kepentingan kolonial Belanda dalam melihat perkembangan hukum adat dan hukum Islam, sehingga timbul hasrat untuk menerapkan hukum perdata Barat (BW). Dalam menerapkan hukum-hukum dinamika hukum islam di Indonesia setidaknya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa memang sejak dahulu intervensi Belanda terhadap hukum Islam tidak terlepas dari politik hukum dan hukum politik dengan mengemas berbagai teori-teori hukum diantaranya; Teori Receptio in Complexu, menuntut bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing.

HASIL KAJIAN

Tinjauan Umum Tentang Pemeliharaan Anak (Hadhanah) 1.

Pengertian Hadhanah Kebanyakan orang (terutama para orang tua atau suami isteri) memang sudah mengerti dan menyadari bahwa memelihara anak yang telah dilahirkannya merupakan sebuah kewajiban.Akan tetapi ada juga diantara mereka yang keliru melaksanakan pemeliharaan anak tersebut.Sehingga ada yang hanya mementingkan pertumbuhan fisik anaknya saja dan mencukupi kebutuhan materi anak secara berlebihan, tanpa memperhatikan pertumbuhan jiwa anak dan pencukupan kebutuhan spiritual anak yang berupa perhatian terhadap perkembangan mentalnya dan pemberian ksih sayang baginya. Kekeliruan tersebut mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman orang tua terhadap arti dan pengertian hadhanah, serta kewajiban yang ada padanya. Kamal Muchtar memberi pengertian hadhanah, menurut bahasa, hadhanah berasal dari perkataan “al hidlnu” yang berarti “rusuk”.Kemudian perkataan hadhanah dipakai sebagai istilah dengan arti “pendidikan anak” karena seorang ibu yang mengasuh atau menggendong anaknya, sering meletakkannya pada sebelah rusuknya.13 Secara etimologi kata hadhanah berarti “al-jamb” yang berarti disamping atau berada di bawah ketiak,14 atau bisa juga berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan.15 13

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta:Bulan Bintang),

hal. 129 14 Ibnu Manzhur. Lisan al-Araby. (Mesir:Dar al-Ma’arif, tth), hal. 911, dan Abu Yahya Zakaria Anshari . Fathul Wahab. (Beirut:Dar al-Kutub, 1987), Juz II, hal.212 15 Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:Kencana, 2004), hal. 166

8

Maksudnya adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa mengerjakan keperluan diri sendiri. Hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal (kecerdasan berpikir)-nya. Munculnya persoalan hadhanah tersebut adakalanya disebabkan oleh perceraian atau karena meninggal dunia dimana anak belum dewasa dan tidak mampu lagi mengurus diri mereka, karenanya diperlukan adanya orang-orang yang bertanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak tersebut.16 Disebutkan juga sebagai berikut : “Menurut istilah ahli fikih, hadhanah berarti memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga makanan dan keberaniannya, mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupannya sebagai seorang muslim.17 Dari pengertian-pengertian hadhanah tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hadhanah itu mencakup aspek-aspek a. Pendidikan b. Pencukupannya kebutuhan c. Usia (yaitu bahwa hadhanah itu diberikan kepada anak sampai usia tertentu). Sehingga dimaksudkan dengan hadhanah adalah membekali anak secara material maupun secara spiritual, mental meupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan kehidupannya nanti bila ia dewasa. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan pengertian pemeliharaan anak (hadhanah) secara definitif, melainkan hanya disebutkan tentang kewajiban orang tua untuk memelihara anaknya.Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang ini disebutkan bahwa, “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, mengemukakan bahwa arti pemeliharaan anak adalah : a) Tanggungjawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari anak oleh orang tua. b) Tanggungjawab yang berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah tersebut bersifat kontinu (terus menerus) sampai anak itu mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah bisa berdiri sendiri.18 Dari pengertian pemeliharaan pemeliharaan anak (hadhanah) tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pemeliharaan anak adalah mencakup segala kebutuhan

16

Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Kamal Muchtar, Loc. Cit 18 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan:CV Zahir Trading CO, 1975), hal. 204 17

9

anak, jasmani dan rohani.Sehingga termasuk pemeliharaan anak adalah mengembangkan jiwa intelektual anak melalui pendidikan. 2.

Orang Yang Melaksanakan Hadhanah Pada dasarnya pelaksanaan hadhanah dalam keluarga adalah suami isteri, sedang sebagai penerima hadhanah adalah anakanaknya. Apabila karena adanya sesuatu hal yang menyebabkan orang tua tidak dapat melaksanakan hadhanah, maka hadhanah terhadap anaknya itu diserahkan kepada orang lain dalam lingkungan keluarga yang sekiranya mampu dan memenuhi syarat untuk melaksanakan hadhanah tersebut. Demikian pula dalam hal si penerima hadhanah yaitu anak, apabila di dalam keluarga terdapat beberapa anak, maka hadhanah akan diberikan oleh kedua orang tua kepada anak-anaknya secara bergantian sesuai dengan keadaan anak dan batasan pelaksanaan hadhanah. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak melakukan hadhanah.Namun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal terutama tentang lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak setelah ibu dan juga tentang syarat-syarat yang menjadi ibu pengasuh.Selama tidak ada hal yang menghalangi untuk memelihara anak anak-anak, maka ibulah yang harus melaksanakan hadhanah kecuali ada sesuatu halangan yang mencegahnya untuk melaksanakan hadhanah.19 Bahwa mengasuh anak adalah hak ibu dari anak tersebut, kalau ibu tidak ada, maka hak hadhanah berpindah ke tangan orang lain dalam kerabat ibu garis lurus ke atas. Apabila kerabat ibu dalam garis lurus ke atas berhalangan, maka yang lebih berhak adalah kerabat dari ayah dari anak tersebut, terutama kerabat dalam garis lurus ke atas. Manakala anak yang masih kecil itu sama sekali tidak punya kerabat di antara muhrim-muhrimnya itu atau mempunyai kerabat tetapi tidak cakap bertindak untuk melaksanakan hadhanah maka Pengadilan Agama dapat menetapkan siapa wanita yang pantas menjadi pengasuh dari anak-anak tersebut.Masalah hadhanah merupakan masalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan, oleh karena itu orang yang melaksanakan hadhanah itu haruslah mempunyai kecakapan dan kecukupan serta perlu adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, diantaranya : a. Berakal sehat, karena orang yang akalnya tidak sehat tidak diperkenankan merawat anak. b. Sudah dewasa, karena anak kecil tidak diperkenankan melaksanakan hadhanah sebab ia sendiri masih membutuhkan perawatan orang lain. c. Mempunyai kemampuan dan keahlian, oleh karena itu, orang yang tuna netra, memiliki penyakit menular, usia lanjut dan memmiliki tabiat suka marah kepada anak-anak meskipun kerabat anak-anak itu sendiri, dilarang menjadi orang yang melaksanakan hadhanah. d. Amanah dan berbudi luhur, karena orang yang curang tidak aman bagi anak yang diasuhnya, karena tidak jarang seorang anak akan meniru kelakuan curang orang yang mengasuhnya.

19

Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam No. 49 Thn XI 2000 Juli-Agustus, (Al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam), hal. 67

10

e. Beragama Islam, para ulama’ madzab berbeda pendapat tentang ini, madzab Imamiyah dan Syafi’i tidak memperkenankan seorang kafir mengasuh anak-anak yang beragama Islam, sedangkan madzab lainnya tidak mensyaratkan hal yang demikian itu. f. Ibunya belum kawin lagi, jika si ibu anak yang diasuh itu kawin dengan laki-laki lain maka hak hadhanah yang ada padanya menjadi gugur. g. Merdeka atau bukan budak, seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan majikannya yang sulit ditinggalkannya.20

3.

Cara Melaksanakan Hadhanah Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4254 mengenai kedudukan anak sampai dengan perwalian, dijelaskan dalam Pasal 47 bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum mencapai usia 18 tahun dengan cara baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian.Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.Kewajiban orang tua memelihara meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelanjaan dalam arti luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanahdalam hukum Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya. Pengawasan terhadap anak dimaksudkan adalah menjaga keselamatan jasmani dan rohani anak, dan untuk ini dapat ditempuh berbagai macam cara, antara lain : (1) Menjaga dan menghindarkan anak dari lingkungan atau hal-hal yang membahayakan jasmani anak, yaitu dengan mengasuh atau merawat anak secara hati-hati dan sebaik-baiknya. (2) Menghindarkan anak dari pengaruh sosial yang tidak baik, yaitu menghindarkan anak dari pengaruh kenakalan remaja, yang dapat merusak jasmani dan rohani anak.21 Pelayanan terhadap anak dimaksudkan adalah memberikan dan menanamkan rasa kasih sayang terhadap anak. Untuk tercapainya pelayanan yang baik dapat ditempuh dengan : (1) Orang tua hendaknya menyediakan waktunya yang cukup untuk menjalin dan menanamkan kasih sayang dengan/kepada anaknya. (2) Sebaiknya orang tua bersikap lemah lembut kepada anaknya dan tidak bersikap keras.22

20

Ibid, hal. 67-68 Sayyid Sabiq, Islamuna, (Beyrut, Darul Kitab Al-Arabi), hal. 237 22 Ibid. 21

11

Memberi pembelanjaan kepada anak, dimaksudkan adalah mencukupi kebutuhan anak yang meliputi tempat tinggal, makanan, pakaian, permainan, dan sebagainya, yang ditempuh dengan : (1) Memenuhi segala sesuatu yang dibutuhkan anak (tentunya dengan mengingat kebaikan bagi anak dan kemampuan yang dimiliki orang tua) (2) Dalam memberikan biaya kebutuhan tersebut harus dilampiri kasih sayang demi kebaikan bagi anak dan bukan untuk memanjakannya.23 Memberikan pendidikan kepada anak dimaksudkan adalah mempersiapkan atau membekali anak agar ia dapat menjadi manusia yang mempunyai kemampuan fisik, mental, dan intelektual dalam menjalani kehidupan dengan tidak mengabaikan bakat-bakat yang dibawa dan dimiliki anak. Untuk mencapai pendidikan anak yang baik dapat ditempuh dengan cara-cara antara lain : (1) Menyekolahkan anak dan lebih lanjut memilih sekolah yang cocok bagi anak sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki anak. (2) Melatih anak dengan ketrampilan praktek-praktek kerja sesuai dengan kemampuan dan bakat anak. Segala pendidikan, pemeliharaan dan usaha apapun dapat diberikan atau dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya asalkan berguna bagi anak dan orang tua, serta berguna bagi umat lainnya dan memungkinkan untuk menjadi dasar berpijak anak dalam menempuh kehidupannya kelak apabila ia sudah lepas dari pemeliharaan orang tua. Selain hal tersebut diatas dalam Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam dikemukakan bahwa : (1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi. (2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1). Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan seseorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 104, yaitu : (1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya setelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. (2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.

23

Ibid, hal 98.

12

Dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan kepada ayahnya sebagaimana diatur dalam Pasal 105 kompilasi Hukum Islam.Tanggungjawab ini tidak hilang meskipun mereka telah bercerai.Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dimana dijelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya.Apabila suami ingkar terhadap tanggungjawabnya, bekas isteri yang kebetulan diberi beban untuk melaksanakan hadhanah kepada anak-anaknya dapat menuntut biaya hadhanah tersebut kepada Pengadilan Agama setempat agar menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama.Jadi pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama. Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena Orang tua sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan Orang tua berkelakuan buruk sekali. Menurut M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa “orang tua yang melalaikan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan bepergian dalam jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya, sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh baik.”24 Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut diatas, maka terhentilah kekuasaan orang tua itu untuk melaksanakan penguasaan kepada anaknya.Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan, pemeliharaan dan mendidik anaknya, tidak berhak lagi mewakili anak di dalam maupun di luar Pengadilan.Dengan demikian ibunyalah yang yang berhak melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut, ibunya yangmengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut.Berdasarkan Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, meskipun kekuasaan pemeliharaan orang tua/ayah kepada anaknya dicabut, kewajiban orang tua/ayah memberikan pemeliharaan anak disuruh memilih terhadap anaknya tetap. 4.

Berakhirnya Hadhanah Dalam Hukum Islam belum ada ketentuan mengenai batas waktu berakhirnya hadhanah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya.Hadhanah 24

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UU Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, (Medan : Zahir Trading Co, 1975)

13

berhenti apabila anak sudah tidak lagi memerlukan pelayanan, telah dewasa dan dapat berdiri sendiri, serta mampu untuk mengurus kebutuhan pokoknya sendiri, seperti makan, minum, mandi dan berpakaian sendiri.Dalam hal ini tidak ada batasan tertentu mengenai waktu berakhirnya.Hanya saja ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan kemampuan untuk berdiri sendiri.Jika si anak telah dapat memenuhi semua ketentuan tersebut, maka masa hadhanah telah habis.25 “Fatwa pada madzhab Hanafi dan lain-lainnya yaitu masa hadhanah berakhir bilamana si anak telah berumur tujuh tahun kalau laki-laki, dan sembilan tahun kalau ia perempuan.”26 Sebagian mereka berpendapat juga bahwa mengasuh anak itu habis waktunya apabila anak itu sudah tidak membutuhkan asuhan (pemeliharaan) dan ia sudah dapat/sanggup melaksanakan apa-apa yang menjadi keperluannya.27 Menurut Ulama Hak ibu mengasuh anak berakhir apabila anak telah mencapai umur tujuh tahun. Pada umur ini anak akan disuruhmemilih, apakah akan terus ikut ibu atau ikut ayahnya.28Apabila anak telah dapat membedakan antara ayah dan ibunya untuk menentukan pilihan akan ikut salah satunya, anak disuruh memilih, kemudian diserahkan kepada siapa yang dipilihnya. Anak dipandang telah mampu menentukan pilihan apabila telah mencapai masa tamyiz, kira-kira umur tujuh tahun.Dalam hal menentukan pilihan mengutamakan tetap ikut ibu, nafkah hidupnya menjadi tanggungan ayah, termasuk biaya pendidikannya. Kementerian Kehakiman berpendapat bahwa kemashlahatan yang harus menjadi pertimbangan bagi Hakim untuk secara bebas menetapkan kepentingan anak laki-laki kecil sampai tujuh tahun dan danak perempuan kecil sampai sembilan tahun. Jika Hakim menganggap adalah kemashlahatan bagi anak-anak ini tetap tinggal dalam asuhan perempuan, maka bolehlah ia putuskan demikian sampai berumur sembilan tahun bagi anak laki-laki dan sebelas tahun bagi anak perempuan. Tetapi apabila Hakim menganggap bahwa kemashlahatan anak ini menghendaki yang lain, maka ia dapat memutuskan untuk menyerahkan anak-anak tersebut kepada selain perempuan.29 Mengenai batas waktu pemeliharaan anak menurut Pasal 45 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi : (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya. (2) Kewajiban yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.30

25

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, diterjemahkan oleh Moh. Thalib, (Bandung:PT.Al-Ma’arif, 1997), hal. 173 26 Ibid, hal 26 27 Khadijah Nasution, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, hal.61 28 Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit, hal. 103 29 Baca: Rencana U.U Perkawinan alinea pertama dari pasal 175 yang kemudian menjadi penetapan hukumpada pasal 20 yang kita dapati sekarang 30 M. Yahya harahap, Op. Cit. Hal. 262

14

Satu hal yang perlu untuk diperingatkan bahwa siapapun yang pada akhirnya dipilih untuk diikuti, keberhasilan pendidikan agar menjadi anak yang saleh menjadi tanggungjawab bersama ayah dan ibunya.Segala sesuatunya di musyawarahkan bersama, perceraian ayah dan ibu jangan sampai berakibat si anak menjadi korban. Kepada anak jangan sampai sekali-kali menanamkan rasa benci kepada orang tua, ibu jangan sampai memburukkan nama ayah di muka anak, begitupun sebaliknya. Anak yang mengikuti ayah jangan sampai dipisahkan sama sekali dari ibunya dan anak yang ikut ibu jangan sekali-kali sampai terpisah hubungan dari ayahnya.

TANGGUNGJAWAB NAFKAH HADANAH YANG DIBERIKAN KEPADA ANAK SETELAH TERJADI PERCERAIAN

A. Tanggungjawab Orang Tua Laki-laki Atas Biaya Nafkah Anak Setelah Terjadi Perceraian Adalah menjadi kodrat alam, manusia dilahirkan selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari manusia sebagai makhluk sosial. Hidup bersama seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu disebut dengan perkawinan.31 Subekti mengatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.32 Perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 adalah merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian perkawinan tersebut diatas, ditemui beberapa pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu : “Perkawaninan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki (ayah) dengan seorang perempuan sebagai suami istri. Ikatan lahir batin ditujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal dan sejahtera. Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa”.33 Menurut Muhammad Jalaluddin Al Qasyimi dalam Kitab Mau ‘Izatul Mukminim menyebutkan bahwa adapun manfaat dari suatu perkawinan itu ada lima yaitu : 1. Untuk melangsungkan keturunan 2. Untuk penyaluran hawa nafsu 3. Untuk mengatur kehidupan rumah tangga 4. Untuk memperkuat/memperluas kekeluargaan

31

Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1984, hal.7. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1992, hal.11. 33 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading Co., Medan, 1975,. 32

Hal.11

15

Kelima mengendalikan diri.34

5.

Akan tetapi dalam perkawinan sering kali terjadi ketidakcocokan, terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus dan sebab-sebab lain sehingga perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan pihak keluarga tidak berhasil. Dalam keadaan demikian, pada akhirnya yang ditempuh adalah perceraian. Perceraian tentunya akan membawa akibatakibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Anak-anak tersebut harus hidup dalam suatu keluarga dengan orang tua tunggal baik dengan seorang ibu atau dengan seorang ayah saja dan kadang-kadang anak harus tinggal dalam keluarga dengan ayah tiri atau ibu tiri. Dalam hal terjadi perceraian, tentunya yang sangat urgen untuk diperhatikan adalah persoalan biaya nafkah anak. Biaya nafkah anak ini menyangkut semua hajat hidup dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, biaya pendidikan dan lain sebagainya. Menurut Bahder Johan Nasution dan Sriwarjiyati “Bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan anak-anak mereka, pengadilan akan memutuskan siapa yang akan menguasai anak tersebut”.35 Biaya nafkah ini menjadi penting disebabkan anak harus tetap tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya dan memperoleh pendidikan yang layak demi masa depan anak di kemudian hari. Untuk itu, tentunya biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk lebih jelas melihat bagaimana prinsip hukum yang mengatur tentang biaya nafkah anak setelah terjadi perceraian, selain ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawian. 1. Pemberian Nafkah Terhadap Anak Setelah Terjadi Perceraian Berdasarkan Hukum Islam Dalam padangan ajaran Islam, apabila istri bercerai, sedang keduanya telah memiliki anak-anak yang belum mengerti kemashlahatan dirinya atau belum mumayyiz (berusia 12 tahun), maka ibu anak itulah yang berhak mendidik dan merawat anak itu, namun nafkah si anak tetap ditanggung oleh ayahnya.36 Hal tersebut selaras dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya “Kata Rasulullah SAW kepada perempuan itu : “Engkaulah yang lebih berhak untuk mendidik anakmu selama engkau belum kawin dengan orang lain”.Riwayat Abu Daud dan Al Hakim.

34

Muhammad Jalaluddin Al Qasyini, Mau ‘Izatul Mukminim,Terjemahan, Tanpa tahun,

hal.103. 35

Bahder Johan dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, Komplikasi Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shadaqah , Madar Maju, Bandung, 1997, hal.35 36 Bahder Johan dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, Komplikasi Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shadaqah , Madar Maju, Bandung, 1997, hal.35.

16

Dalam hukum Islam, tinmbulnya kewajiban memberikan nafkah oleh orang tua laki-laki (ayah) terhadap anaknya setelah terjadi perceraian adalah karena sebab turunan. Penentuan tersebut dapat ditemukan dalam Hadits Rasulullah SAW yang artinya “Istri Abu Sofyan telah mengadukan halnya kepada Rasulullah SAW, Dia berkata : Abu Sofyan seorang yang kikir, ia tidak memberi saya dan anak saya belanja selain dari pada yang saya ambil dengan tidak diketahuinya, adakah yang demikian, mudaratkan kepada saya ? Jawab Beliau : Ambil olehmu dari hartanya dengan baik, sekedar mencukupi keperluanmu dan anakmu. Sepakat Ahli Hadits”. Dalam hal ini, perlu pula dilihat mengenai prinsip hukum tentang tanggung jawab biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian dalam Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Hal tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan berikut ini : Pasal 105 Dalam hal terjadi perceraian Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz atau sudah berumur 12 tahun, diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. 2. Pemberian Nafkah Terhadap Anak Setelah Terjadi Perceraian Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Untuk semakin memperjelas tentang prinsip hukum yang mengatur tentang biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian, dalam hal ini perlu pula dikemukakan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 41 sebagai berikut : Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya sematamata berdasarkan kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan menentukan keputusannya. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Jika diperhatikan Pasal 24 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun tentang Perkawinan dan Pasal 78 huruf b Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, kewajiban memberi biaya nafkah tersebut tidak hanya setelah terjadinya perceraian, akan tetapi juga dapat ditentukan selama proses perceraian berlangsung. Ketentuan tersebut mengatur bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat dan tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. Dalam hal ini, perlu pula dikemukakan tentang ketentuan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor .5 Tahun 1990, yang mengatur tentang biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1990, diatur mengenai hak-hak yang akan diterima oleh anak-anak Pegawai Negeri Sipil bila orang tuanya bercerai yaitu pembagaian gaji

17

Pegawai Negeri Sipil harus diserahkan 1/3 (sepertiga) bagian kepada anaknya. Kewajiban ini berhenti jika anak tersebut telah berusia 21 tahun atau sampai 25 tahun jika anak tersebut sekolah. Jika diperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, prinsip hukum yang mengatur tentang biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian pada hakikatnya membebankan kewajiban itu pada orang tua laki-laki (ayah). Oleh karenanya, majelis hakim pengadilan agama dalam memeriksa dan mengadilli perkara terikat dengan prinsip hukum tersebut dengan pertimbangan demi kepentingan si anak yang disesuaikan dengan kemampuan si ayah. Akan tetapi pada dasarnya majelis hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara melihat pada kasus yang dihadapinya dan tidak harus terikat pada prinsip hukum di atas. Dengan kata lain, pada dasarnya majelis hakim terikat dengan peraturan hukum yang berlaku, namun majelis juga bisa menyimpangi dengan argumentasi hukum/fakta yang terjadi secara kasuistis dengan memperhatikan salah satu dari tiga aspek tujuan hukum tersebut, yaitu : keadilan (aspek filosofis), yuridis (aspek kepastian hukum) dan sosiologis (aspek kemanfaatan hukum). Karena apalah gunanya hukum itu diterapkan secara tekstual kalau ternyata tidak dapat diaplikasikan dalam tindakan yang konkrit. Dengan demikian, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berrlaku, orang tua perempuan dapat juga diwajibkan untuk membiayai hidup anak, jika dalam kenyataannya orang tua lakilaki (ayah) tidak mampu dalam segi ekonomi. B. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara Tentang Nafkah Hadhanah Tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi jika segala upaya telah diusahakan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang demikian tidak dapat terwujud lagi maka perkawinan dapat terputus karena perceraian. Ketentuan tentang perceraian dalam Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 hanya disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pihak pengadilan yang bersangkutan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak. Seperti halnya nafkah istri, nafkah pemeliharaan anak (hadhanah) juga diatur dalam beberapa ketentuan yaitu: UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 huruf b menyatakan bahwa bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak mereka. Pasal 45 ayat 1 menjelaskan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 45 ayat 2 kewajiban orang tua yang dimaksud berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban tersebut berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya putus. PP Nomor. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat,

18

pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. KHI Pasal 80 ayat 4 menyatakan bahwa sesuai dengan penghasilan, suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri, c. biaya pendidikan bagi anak-anak. Dan dalam hal perceraian diatur dalam Pasal 105 c yaitu biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Dan Pasal 149 bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 Tahun. Dan Pasal 156 d akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurangkurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri. Ketentuan nafkah anak dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai dasar hukum materiil. Untuk melaksanakan dan menegakkan hak istri dan anak dibutuhkan hukum acara, dalam hal ini telah menjadi sebuah putusan peradilan, namun yang menjadi pertimbangan disini adalah tentang ketidak hadiran tergugat selama persidangan berlangsung tanpa ada kejelasan dan alasan yang sah. Namun yang menjadi masalah dalam perkara yang diteliti adalah pertimbangan majelis hakim secara individu, apakah pertimbangan hakim dalam menetapkan biaya nafkah pemeliharaan anak (hadhanah) dalam putusannya jika dikaitkan dengan kadar nafkah ditentukan berdasarkan kemampuan suami, bukan kebutuhan istri. Dalam masalah perceraian keluarga yang telah mempunyai anak, yang harus diprioritaskan adalah kesejahteraan dan kelangsungan hidup anak. Maka untuk dapat menjalankan sesuai dengan peraturan atau Undang-undang dengan melakukan pemanggilan (relaas panggilan) kepada para pihak dan menunda sidang beberapa kali untuk kehadiran pihak-pihak. Baru ketika pemanggilan tersebut sudah dilakukan dengan sah dan patut maka hakim dapat memutusnya. Mengenai pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara dalam menetapkan nafkah anak yang mendasarkan pertimbangannya pada rasa kemanusiaan dan melindungi hak anak setelah orang tuanya berpisah, disamping itu juga didasarkan atas kewajiban seorang ayah untuk memberi nafkah pada anaknya, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 233. Hakim mempunyai peran yang sangat penting tentunya ketika di persidangan, dimana mengatur persidangan agar berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku ketika persidangan sedang berlangsung. Peranan hakim atas perkara yang datang padanya terbatas pada memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Hakim yang bisa memutuskan perkara dengan baik adalah yang memiliki pengetahuan yang luas akan hukum. Umar ra. telah menyarankan pada Abu Musa Al-Asy„ari untuk mendapatkan pengetahuan tentang sumber hukum Islam dan kemampuan menerapkannya pada kasus ijtihad dan qiyas dengan mengatakan: “Pergunakanlah paham pada sesuatu yang dikemukakan kepadamu dari hukum yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan tidak ada pula dalam Sunnah. Kemudian bandingkanlah urusan-urusan itu satu sama lain dan ketahuilah (kenalilah) hukum-

19

hukum yang serupa. Kemudian ambillah mana yang lebih mirip dengan kebenaran”.37 Pernyataan di atas berarti bahwa seorang hakim harus mampu melakukan ijtihad antara lain untuk menginterpretasikan hukum di beberapa kasus yang ambigu dan untuk menerapkannya pada kasus-kasus lain, mengingat dan mengenali prinsip-prinsip interpretasi. Imam Syafi‟i, Hanbali, dan Maliki mempunyai beberapa pandangan bahwa seorang hakim harus memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad. Sebagai konsekuensi bagi yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad adalah seorang mukalid, semua ulama mazhab tersebut berpendapat bahwa orang tersebut tidak layak untuk menjadi hakim. Penemuan hukum, lazimnya diartikan sebagai “proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret”. Dengan demikian, selain hakim ada unsur lain yang juga bisa menemukan hukum, yakni salah satunya adalah ilmuwan hukum. Hanya saja, kalau penemuan hukum oleh hakim menjadi hukum (dalam istilah lain yurisprudensi), karena ia akan menjadi preseden bagi hakim lain dalam kasus yang sama, akan tetapi hasil penemuan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum melainkan ilmu atau doktrin.38 Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa hakim sangat berperan dalam menemukan hukum melalui pencarian makna normatif dari suatu undang-undang. Pada sisi ini tampak bahwa hakim tidak semata-mata menggunakan asas legalitas dalam menerapkan hukum, karena banyak kasus atau peristiwa yang belum tercover oleh norma legalitas dan karena itu, masih membutuhkan pencarian untuk menemukan hukum guna menyelesaikan kasus atau peristiwa hukum tertentu.

DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 69 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 46. As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Saudi Arabia : Dar al-Fatkh, 1999), II: 436. Al Qur’an dan Terjemahannya, 1987, Departemen Agama RI : Jakarta. Abdul Manan, 2001, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradian Agama, Cet.III, Yayasan Al Hikmah :Jakarta. Ahmad Rofiq, 1998, Hukum Islam di Indonesia, Cet,III, Raja Grafindo. Abdul Rozak Husein, 1992, Hak Anak Dalam Islam, Fikahati Aneka. 37

Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2007),

hal. 103 38

Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 126

20

Aminah Azis, 1998, Aspek Hukum Perlindungan Anak, USU Press : Medan. Grafindo Persada: Jakarta. Abdul Halim, 2000, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Irma Setyowati Soemitro, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara : Jakarta. Iman Jauuhari, 2003, Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press: Jakarta. M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 10. M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 80. Muhammad Jalaluddin Al Qosyimi, tanpa tahun, Mau’izatul Mukminin,Terjemahan, Bumi Aksara : Jakarta. M. Hasballah Thaib, 1993, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading Co : Medan. Soejono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta:CV Rajawali,1982), hlm.9. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. 3, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 116 Soerjono Soekanto, Penguntar Penelitian Hukum, (UI Press, cet. ke-11, 1999), hlm 23 Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Perkara Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 41 2.

ARTIKEL

Irma Setyowati Soemitro, Kekuasaan Orang Tua Setelah Perceraian (Suatu PenelitianDi Desa Cukil, Sruwen dan Sugihan Kecamatan Tengaran, Dalam Majalah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994. Bagong Suyanto, dkk, 2000, Tindak Kekerasan Terhadap Anak Masalah dan Upaya Pemantuannya, Hasil Lokakarya dan Pelatihan, Lunfansah Mediatama : Surabaya. 3.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991 tetang Kompilasi Hukum Islam.

21