Kisah Cucu Pahlawan Revolusi - gelora45.com

Dan menurut buku sejarah di sekolah, beliau adalah salah seorang Pahlawan Revolusi, satu di antara enam jenderal yang terbunuh. Dari buku sejarah itu ...

8 downloads 611 Views 403KB Size
Opini

Kisah Cucu Pahlawan Revolusi: “Ini kan buku komunis?”* Jumat, 29 April 2016 http://www.bergelora.com/opini-wawancara/artikel/3299-kisah-cucu-pahlawan-revolusi-ini-kan-buku-komunis.html

Agus Widjojo dengan salah satu cucunya dari Puri Lestari. (Ist)

Oleh : Puri Lestari** Papa mengambil buku yang sedang saya baca dan membalik-balik lembaran halaman buku tersebut. “Ini kan buku komunis?” ia berkata. Tanpa berkomentar lebih panjang ia menyerahkan kembali buku tersebut kepada saya dan menghilang ke ruang kerjanya. Mungkin ia heran dari mana saya bisa dapatkan buku itu. Waktu itu 1997, sekitar awal semester 1 kuliah saya di Institut Teknologi Bandung. Seperti hari Sabtu lainnya, Papa dan Mama baru datang malam sebelumnya dari Jakarta, untuk menghabiskan akhir pekan bersama anak-anaknya di Bandung. Tuntutan tugas Papa sebagai tentara memang memaksa kami untuk tinggal terpisah beberapa tahun belakangan, sehingga saya dan kakak bisa fokus menuntut ilmu tanpa harus sering berpindah-pindah sekolah.

1

Sabtu sore itu saya santai membaca buku pinjaman dari seorang teman kuliah. Ceritanya tentang masa perjuangan dengan cara tutur yang menurut saya sangat memikat. Pada saat itu saya jarang sekali membaca buku literatur Indonesia. Saya lebih akrab dengan karya fiksi Agatha Christie atau John Grisham. Buku yang satu itu mampu mematahkan persepsi saya bahwa karya literatur Indonesia sulit dimengerti dan membosankan. Judul buku tersebut adalah Cerita Dari Blora: Kumpulan Cerita Pendek oleh Pramoedya Ananta Toer. Di era Orde Baru dulu, amat sulit untuk menemukan buku-buku Pramoedya di ruang publik. Sore itu, Papa menemukannya di dalam rumah pribadinya. Keluarga kami tidak pernah membicarakan tentang kejadian Gerakan 30 September (G30S) di mana enam jenderal dan seorang kapten terbunuh di 1965. Saya mengetahui tentang itu dari buku sejarah di sekolah ketika saya masih SD di Bandung. Saya dan kakak lebih banyak tinggal di Bandung sejak lahir sampai lulus kuliah. Di dalam buku sejarah itu ada foto seseorang yang persis sama dengan foto yang dipigura dan tergantung di dinding ruang duduk rumah Eyang di Jakarta. Mungkin saya pernah bertanya,”Siapa sih itu?”. Tapi sampai sekarang saya tidak ingat apakah saya mendapatkan jawaban yang saya perlukan. Yang saya tahu adalah lelaki di foto tersebut adalah ayah dari Papa saya. Kakek saya. Dan menurut buku sejarah di sekolah, beliau adalah salah seorang Pahlawan Revolusi, satu di antara enam jenderal yang terbunuh. Dari buku sejarah itu pula, saya membaca tentang G30S/PKI (ya, waktu itu masih ada embel-embel PKI-nya). Sebagai murid yang baik, saya pun mengerjakan tugas dari sekolah untuk menonton film Pengkhianatan G30S/PKI yang tayang setiap tanggal 30 September. Seingat saya, saya belum pernah sukses menonton sampai akhir. Keburu mengantuk. Dan seingat saya lagi, Papa dan Mama juga tidak pernah ikut menonton bareng di depan TV.

2

“Serem ah,” saya ingat Mama pernah melontarkan komentar singkat sambil masuk ke kamarnya. Sementara kami bersiap menonton dengan selimut di depan muka, untuk diangkat menutupi wajah saat adegan menegangkan (dengan film score yang luar biasa mencekam itu). Sesekali saya ikut nyekar ke Kalibata, biasanya menjelang puasa atau Lebaran, ketika saya dan kakak libur sekolah dan kami sekeluarga ‘mudik’ ke Jakarta. Ketika saya ikut orang tua tinggal di Jakarta, pernah sekali atau dua kali ke Lubang Buaya untuk ikut upacara bendera. Bukan di bawah tenda sebagai undangan, tapi berpanas-panasan di lapangan sebagai peserta upacara karena kebetulan waktu SMP saya kebagian tugas tersebut. Pastinya hari itu Papa dan Mama tidak ikut mendampingi karena tugas (tentara gak boleh bolos, Bos!). Alhasil hari itu saya sendirian mencerna informasi baru tentang ayah dari Papa saya, dari Museum dan Monumen yang bagi saya mengerikan itu. Sampai sekarang saya baru satu kali lagi pergi ke Lubang Buaya, itu pun untuk mendampingi Mama dan Papa. Kali itu saya mengikuti upacara di bawah tenda beserta para tamu lainnya. Saya tumbuh dewasa tanpa bertanya mengenai G30S kepada orang tua saya. Entah apakah saya takut mengusik Papa tentang kejadian yang tentu meninggalkan trauma atau apa saya merasa sudah tercukupi dengan potongan-potongan cerita tentang itu? Informasi yang saya percayai adalah yang saya dapat dari pengalaman membaca, belajar sendiri, dan memperhatikan. Lha wong, sudah ada di buku pelajaran di sekolah, masa harus dipertanyakan? Ternyata ini asumsi yang salah besar saudara-saudara sekalian. Keluarga saya pun tidak berdiskusi tentang kejadian itu, kecuali ketika saya sedang bertingkah dan berulah di luar batas toleransi mereka. “Bersyukur dan hargai Papa. Kamu gak tau pengorbanan Papa seperti apa supaya kamu bisa tenang belajar,” Mama sesekali mengingatkan. Pada saat itu sebagai remaja saya menanggapi itu seperti kaset rusak; klise dan nyaris tanpa arti karena memang saya tidak tahu pengorbanan macam apa yang Papa lalui. Sebagai keluarga, mungkin dulu kami sengaja memberi jarak antara kehidupan hari ini dengan kehidupan lalu yang telah menghantar kami ke masa kini. 3

Jadi untuk saya saat itu, G30S adalah suatu kejadian di masa lalu Papa dan tidak ada imbasnya di kehidupan kami sekarang. Everything seemed normal. Sampai ketika tahun 2005–2008 saya bermukim di Australia. Di sana gaung setiap (ya, setiap) pelanggaran HAM di Indonesia sangat riuh, mulai dari Timor Leste, Papua, Aceh, apa pun itu. Sebagai seorang Indonesia yang tinggal di sana saya sering merasa tersudut dalam diskusi dengan para Aussies. Reaksi saya tipikal orang Indonesia dan cenderung berkelit: “Urus aja negeri lo dulu deh. Apa kabar HAM kaum Aborigin?” Dan semesta menjawab tantangan saya. Di 2008, Perdana Menteri Australia saat itu, Kevin Rudd, menyampaikan pidato di depan parlemen bahwa pemerintah Australia meminta maaf kepada penduduk asli Australia Jauh di negeri orang, saya tersadar bahwa tidak mustahil bagi negara untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada seluruh rakyat yang menjadi korban. Sesudah peristiwa G30S ratusan ribu orang menjadi korban kekerasan di 1965–1966. Banyak contoh permintaan maaf tingkat nasional seperti dalam kasus tragedi Holocaust selama perang dunia kedua atau apartheid di Afrika Selatan. Dua hari kemarin, 18–19 April 2016 di Jakarta diadakan Simposium Membedah Tragedi ’65. Papa menjadi ketua panitia pengarah dalam simposium tersebut. Forum tersebut menghadirkan narasumber dan pihak-pihak, individu atau pun kelompok, yang menjadi korban maupun pelaku kejadian tersebut. Saya amat bangga dan merasa haru mengikuti diskusi santun (dengan sedikit diwarnai sedikit gejolak di sana-sini) dan penyampaian kebenaran yang dialami oleh masing-masing pihak. Kita masih punya harapan sebagai bangsa. Sebuah langkah ke depan yang mungkin sebelumnya tidak pernah terbayang akan bisa terlaksana. Hasil dari Simposium ’65 akan dirumuskan ke dalam rekomendasi yang akan disampaikan ke Presiden Joko Widodo. Sebuah langkah awal untuk perjalanan panjang sebagai bangsa Indonesia yang bermartabat. Saya adalah generasi ketiga dari keluarga Soetoyo Siswomihardjo. Saya tidak pernah mengalami langsung rasa takut, sakit, marah, bingung, geram, sedih, trauma, yang mungkin Papa dan adik-adiknya pernah alami.

4

Papa tidak pernah sekali pun menunjukkan hal itu di depan kami. Apalagi menghasut kami untuk membenci orang lain. Tidak pernah. Perih yang dulu pernah mengucurkan darah segar itu perlahan tertutup, menyisakan bekas luka sebagai pengingat ia juga seorang penyintas. Ia satu dari ribuan, mungkin jutaan yang lain yang pernah merasa takut, sakit, marah, bingung, geram, sedih, trauma, akibat tragedi ’65. Mereka dan kita semua membawa bekas luka di jiwa. Memaafkan tidak sama dengan melupakan. Memaafkan memungkinkan kita untuk mengikhlaskan, tanpa dendam, tanpa berlaku, atau bertindak emosional ketika diingatkan oleh bekas luka itu. Saya bersyukur kami diberi kesempatan untuk berdamai dengan diri sendiri, dan bersama-sama belajar dari kesalahan sehingga kelak kami dan generasi selanjutnya bisa menghindari kesalahan yang sama. Semoga. Kembali ke Sabtu sore itu ketika Papa mengucap, “Ini kan buku komunis?” Pertanyaan itu singkat, tetapi meninggalkan jejak yang panjang dan lama bermukim di kepala saya. Apa maksud dari kalimat tanya itu? Saya mencoba merangkai ulang dan meneruskan pertanyaan tersebut menjadi beberapa kemungkinan: “Ini kan buku (yang ditulis oleh seorang) komunis?” “Ini kan buku (mengenai ideologi) komunis?” Kamu dapat dari mana buku itu? Buat apa kamu baca buku itu?

Saya tidak tahu apakah itu reaksi spontan Papa melihat buku ‘komunis’ dibaca oleh anaknya. Mungkin tersirat bahwa isu itu ada meskipun tidak pernah benar-benar hadir di antara kami, bahwa mungkin seharusnya isu itu perlu diutarakan dan didiskusikan. Pertanyaan retorik itu belum berhasil terjawab. Tapi saya bertekad kali ini untuk bertanya. Karena saya yakin saat ini, hampir dua puluh tahun kemudian, Papa punya jawabannya.

5

*Tulisan ini diambil bergelora dari https://medium.com/ingat-65/ini-kan-buku-komunis-d39a72da473f#.dh6z14kdf karena menarik dan penting disebar luaskan ke publik, untuk membuka lebar jalan rekonsiliasi nasional ** Penulis adalah putri dari Jenderal Agus Widjojo, cucu dari Pahlawan Revolusi, Mayjen TNI (Anumerta) Sutojo Siswomihardjo.(Ist)

6