Kisah Pertama: Raja dan Anaknya

Ijinkan saya untuk menuliskan kisah-kisah mengandung hikmah selama Bulan Ramadhan ini.. ... kehidupan orang-orang desa. ... mendengarkan kisah dan pen...

5 downloads 530 Views 123KB Size
Kisah Pertama: Raja dan Anaknya... 12 Agustus 2010 jam 10:54 Ijinkan saya untuk menuliskan kisah-kisah mengandung hikmah selama Bulan Ramadhan ini.. Tengah hari, selepas menunaikan Sholat Dzuhur, saya bercengkerama dengan beberapa teman sekantor di musholla kantor. Saya tidak pernah berpikir kalau bercengkrama di sebuah mosholla adalah perbuatan tercela ketika obrolan mengarah kepada perbaikan dan kebaikan nurani. Hari pertama dalam melaksanakan ibadah puasa temanku bertutur di musholla. " Dulu, ketika kecil di bulan Ramadhan ini aku selalu tiduran di mesjid jami kampungku bersama beberapa teman, hingga ashar menjelang.." Katanya. " Pada satu tahun di bulan Ramadlan, aku lupa kapan waktunya, di mesjid jami tempat kami rebahan itu datanglah seorang tamu, aku yakin, dia adalah seorang berilmu, dari cara duduk dan sikapnya menandakan jika orang itu memiliki ilmu padi.." Lanjutnya, " Orang itu bercerita, ya... sekitar 30 cerita kepada kami,dan waktu pun tidak terasa, sampai menjelang ashar dia bercerita, ceritanya sama sekali tidak panjang seperti pertunjukan sebuah drama, ya bisa dibilang ceritanya hanya berupa stensilan-stensilan dari kisah-kisah yang ada di dunia ini, seperti si Santiago dalam Chemistry-nya Coelho, kisah raja sombong, kisah putri tidur, dan itu dikisahkannya dengan penuh selera sehingga siapa pun yang mendengarnya akan berdecak kagum. Aku awali dengan kisah pertama..." Katanya Menarik nafas panjang. " Orang itu bercerita:" " Pada zaman dahulu, di kerajaan Ur hiduplah seorang raja dengan anaknya. Hidup di dalam istana merupakan hidup yang serba berkecukupan, apa pun tinggal pilih, ambil, santap. Belum wewangian, asap-asap pedupaan dengan berbagai aroma, bahkan mandipun memakai bunga-bunga di dalambaknya.

Raja tersebut bisa dikatakan belum belajar filsafat, maka didatangkanlah seorang guru filsafat tentu saja karena si Raja sudah terlalu tua untuk belajar dan alasan dia adalah tentang rasa malunya, disuruhlah si guru itu mengajarkan filsafat kepada anaknya. Anaknya yang mulai remaja itu,ketika sebelum diajari filsafat oleh si guru bisa dibiling seorang anak manja,cengeng, seolah hidup dijejali oleh keserba cepatan dan harus siap saji. Satu tahun setelah belajar filsafat, tentu saja tentang kebenaran, si anak mulai menampakkan perubahan dalam hidupnya terutama daricara dia berkata dan bersikap. Dia mulai merenungi segala sesuatu ketika melihat sesuatu. HIngga pada suatu saat, ayahnya mengajak dia untuk pergi ke sebuah desa, dimana hamparan kebun dan pesawahan membentang serta membentengi kota itu. Dan berjalanlah mereka ke desa itu, sambil melihat-lihat, para penggarap sawah dan peladang sedang menyiangi rerumputan, alam menbentang luas. Menjelang waktu istirahat di sebuah gubuk beberapa petani dan peladang menggolekkan tubuh mereka, enak sekali. Dandi malam hari, di desa itu orang-orang ramai mengadakan pesta syukuran, bisa makan-makan, bisa tiduran di beranda rumah, bercengkrama satu sama lain dan saling memberikan makanan satu sama lain, dan ketika malam menjelang tanpa sungkan-sungkan raja dan anaknya tidur bersama mereka di sebuah gubuk ditemani oleh beberapa petani. Orang desa tidak tahu kalau mereka berdua adalah raja dan anaknya. Tiga hari lamanya mereka tinggal di kampung dan mereka diperlakukan secara istimewa tanpa harus tahu kapasitas dan kedudukan serta jabatan mereka itu apa. Orang desa memperlakukan mereka dengan wajar, dan tanpa permohonan serta keinginan apa pun. Setelah tiba di istana, ditanyalah si anak oleh ayahnya: "Pelajaran apa yang telah kita dapat dari perjalanan selama tiga hari kemarin?" Anak yang telah belajar filsafat itu lantas merenung,lalu berkata: " Ananda bisa menyimpulkan beberapa pelajaran: Kita yang hidup serba berkecukupan di dalam

istana ini ternyata sama sekali tidak adaapa-apanya jika dibandingkan dengan kehidupan orang-orang desa. Kita di sini hanya memiliki beberapa ekor kelinci sementara mereka memiliki berbagai jenis ternak. Istana ini serba dilengkapi oleh kemewahan seolah segalanya tersedia disini namun ananda bisa melihat, kehidupan merekalah yang serba cukup, sungai mengalir jernih, udara bebas terhirup, melihat alam tanpa batas. Halaman istana hanya terbatas pada dinding pagar itu sementara halaman rumah mereka adalah hamparan pesawahan dan perkebunan tanpa batas, seluas mata memandang. Kita tidur di kamar yang diterangi oleh beberapa lampu minyak saja, sementara mereka tidur diterangi oleh kerlip gemintang di luasnya cakrawala, angkasa raya tanpa batas. HIdup di istana begitu membosankan walaupun kita memiliki para pelayan yang selalu siap melayani kita setiap waktu, namun hidup merekalah yang lebih nyaman, mereka bisa saling melayani,saling memberi dan menerima makanan , saling bercengkrama sepanjang hidup. Dan ananda yakin, betapa miskinnya kita ini ayahanda!" Raja itu kemudian termenung, dan menitikkan air mata. Esoknya, dibongkarlah dinding pagar istana, dan siapa pun dibolehkan bermain-main di halaman istana. Sementara si anak memutuskan untuk hidup di desa itu sambil sesekali membantu orang-orang di sana belajar membaca serta menulis. " Begitulah cerita pertama..."

Kisah Ke-dua: I Love You ( Di Kota Edo) 13 Agustus 2010 jam 11:26 Orang itu lantas menceritakan kepada kami, sebuah kisah seorang prajurit, lebih tepatnya seorang samurai yang menjelma menjadi manusia perkasa setelah menyadari jika seorang istri adalah merupakan refleksi dari ketangguhan dan pancaran sinar yang bisa menghidupkan padamnya lentera. Dengan penuh selera dan semangat, kami mendengarkan kisah dan penuturan cerita itu. Waktu itu serambi mesjid telah dipenuhi oleh anak-anak seusia kami, matahari telah condong beberapa meter di atas kepala. Mesjid tetap dingin dan sejuk di bulan Ramadlan. Kisahnya, seperti ini: " Kota Edo dipimpin oleh seorang samurai, selain bengis juga memiliki sifat munafik dan sering mengadu domba. Okurha Razitu, orang memanggilnya Tuan Oku. Menurut cerita dari sebuah buku, Tuan Oku memiliki kenangan pahit,masa kecil dilaluinya di sebuah asrama, orangtuanya meninggal dibunuh oleh sekawanan perampok ketika membawa hasil panen di tengah hari. Selama di asrama, hidupnya diisi oleh berbagai dera dan cobaan. Hingga dia memutuskan untuk kabur dan diadopsi oleh sebuah keluarga samurai. Dididik samurai, hingga menjelma menjadi seorang samurai hebat. Jalan hidupnya seperti kebanyaka para samurai pada umumnya, berkelana, menjadi pengabdi badi para tuan tanah dan pejabat-peabat tinggi. Sampai pada saatnya, Oku diangkat menjadi seorang samurai kerajaan. Karena kehebatannya di dalam mengolah dan memainkan samurai, serta dibumbui oleh kelihaian dia dalam menjilat atasan, diangkatlah dia menjadi kepala daerah di Kota Edo. Kehidupan para pejabat di negeri Sakura waktu itu sulit terbayangkan oleh akal sehat. Kelaparan menerjang tidak sebanding dengan pesta pora yang dilakukan oleh para pejabat negara. Tatanan negara dibumbui oleh adegan kemesuman, sindikat, persekongkolan, saling menjatuhkan antara pejabat yang satu dengan pejabat yang lainny, korupsi, manufulasi, dan jual beli hukum. Beberapa bulan terakhir ini, seorang

pencuri babi di gantung, sementara Tuan Mitsuke, seorang kepala keamanan yang memperkosa anak gadis di bawah umur bebas dari jerat hukum. Negeri Sakura sedang berada di Jurang kehancuran, lebih khusus kota Edo. Akira menyayangi Su, pilihannya selalu tepat, seperti busur Busur panah yang mengenai sasaran. Langit Kota Edo siang itu terik, musim panas telah menerbangkan bunga-bunga sugi. Sebelum memasuki musim gugur, rerumputan dan sakura masih menyisakan warna hijau tuanya. Dan Su menyelipkan sekuntum bunga sakura di telinga Akira. Semua orang mengenal Su, tabib muda, pantai mengobati, dan kepeduliannya kepada orang miskin benar-benar telah membuat iri siapa pun termasuk penguasa waktu itu. Kepedulian kepada orang miskin akan membuka tabir jika pemerintah waktu itu seolah sama sekali tidak memperhatikan kehidupan dan kesulitan orang miskin. Kegiatan Tabib muda Su itu diawasi oleh pasukan kerajaan. Kepala Daerah Edo, Tuan Oku pernah turun tangan langsung, mendatangi balai pengobatan Tabib Su. " Seorang tabib tidak perlu berurusan dengan dunia politik!" Bisik Tuan Oku sambil mengacungkan secangkir Sake. Lalu meminumnya. Tabib Su tidak mengerti dengan ucapan Kepala Daerah Edo itu. " Ajari saja mereka membaca dan menulis... tidak perlu diberi pelajaran sejarah kejayaan kerajaan negeri ini, tidak perlu diberi pengetahuan tentang kehebatan para leluhur kita..." Bisiknya sekali lagi," Kau membuka sekolah gratis khan? Aneh... di saat orang-orang senang membuka sekolah dengan biaya mahal, kau malau melawan arus, disaat kerajaan sekolah menarik urang dari orangtua siswa dengan nominal cukup untuk membeli keperluan dan kebutuhan hidup selama tiga bulan, kau malah sama sekali tidak memungut uang dari mereka..." Kembali Tabib Su tidak berkata.

Waktu terus berlalu, Akira semakin menyayangi Su sebagaimana seorang wanita mencintai anaknya, begitu pun Su, begitu mencintai Akira. Akira seorang anak penasehat Kepala Daerah Edo. Cantiknya bukan main, Tuan Oku sebenarnya menginginkan jika wanita anak Tuan Hito itu menjadi istri ke-lima nya. Pernah maksudnya itu dikatakan kepada penasehatnya. Walau dengan rasa gamang. " Kau harus lebih hati-hati, Su..." " Dalam hal apa? Sampai saat ini semua orang sama sekali tidak merasa dirugikan oleh sikapku.." " Tadi malam ayah memelas kepadaku, agar menyampaikan kabar jika kerajaan telah menancapkan rasa benci kepada kamu, Su. Kegiatan-kegiatan kamu seperti melakukan aksi pengobatan gratis, membuka sekolah gratis, member santuan kepada jelata telah dianggap sebagai sebuah ancaman, dan bisa menimbulkan reaksi. Kamu akan dituduh sebagai pengacau oleh kerajaan..." Sesaat Su diam, menatap wajah putih bersih kekasihnya itu, perlahan pipi Akira dibelai tangannya, begitu lembut. " Percayakan saja pada diriku...." " Su, aku tidak ingin kehilanganmu...!" Bisik Akira Lirih. Ayah Akira meninggal, tepatnya dibunuh oleh sekawanan samurai. Semua orang berdecak aneh kenapa orang jujur, dan pejabat paling baik diantara pejabat-pejabat yang lainnya harus meninggal secara mengenaskan. Akira bukan main sedihnya, di laci tempat kerja ayahnya dia menemukan secarik kertas, surat dari ayahnya, agar Akira dan Su segera meninggalkan Edo. Tuan Oku mendapati, beberapa kelompok telah mengancam kekuasaannya. Maka dengan mengatasnamakan kerajaan dihancurkanlah kelompok-kelompok itu. Disebar isu sebagau penjahat politik dan pengacau keamanan Negara sementara ratusan orang malam itu di Kota Edo meninggal karena kelaparan dan wabah penyakit.

Ditinggalkanlah kota Edo oleh Akira dan Su, mereka bergegas menuju ke sebuah perkampungan di dekat Okinawa. Kepergian mereka diketahui oleh Tuan Oku, maka disuruhlah orang-orang untuk mengejar mereka bila perlu bunuh mereka. Sesuai hasil laporan dari para pengawal, Su telah meninggal, dan Akira pun dibunuh oleh mereka. Tuan Oku tertawa terpingkal karena dalam pandangannya musuh terbesarnya kini telah meninggal dan bukan merupakan ancaman lagi. Dia lupa, dia tidak mengira, ancaman terbesar sebenarnya adalah ada di dalam pemerintahannya sendiri. Pada suatu malam, seorang samurai bernama Keizu menancapkan pedangnya ke perut Tuan Oku, sambil menginjak dada Tuan Oku yang bersimbah darah, berkata dia dengan lembut. " Kau salah!, Su bukan apa-apa, dia hanya cecunguk intelektual lemah, dan tidak mengerti politik, tapi kenapa kau telah membunuh orang yang tidak tepat dan sama sekali tidak mengancam kerajaan. Lihat di sekelilingmu.... Mereka lah ancaman sebenarnya bagi kamu, para prajurit samurai itu!!" Ruangan itu telah penuh sesak oleh para samurai. " Terima kasih...!" Dari dalam kamar, dua orang... Su dan Akira keluar sambil berlutut di hadapan Keizu. " Sudahlah... ayahmu adalah sahabat terbaikku. Kau sudah aku anggap sebagai anak sendiri..." Bisik Keizu sambil memegang bahu Akira. Di musim semi, Su dan Akira menikah... Edo sama sekali belum pulih, Keizu diangkat oleh kerajaan menjadi seorang penasehat kerajaan. Edo dipimpin oleh Tuan Sasuke, seorang lelaki berperawakan tegap namun tenang. " Kumpulkan prajurit, kita bakar malam ini rumah si Mishuo itu! Bedebah guru dan tabib itu telah berani mengumpulkan orang-orang di jalanan. Kalian usir dan ancam setiap orang yang berkerumun di jalanan!"

Dan setiap hari di Kota Edo, beberapa prajurit sering berteriak." Dilarang berkumpul di jalanan!" Sementara atas saran dari Akira, Su harus bisa bela diri, lalu berlatih lah dia beladiri. ***

Kisah Ke-tiga: Anak Petani 14 Agustus 2010 jam 11:02 Setelah menarik nafas sesaat, kIsah ke-tiga pun mulai mengalir keluar dari mulut orang itu. Anak-anak semula mengira jika antara satu kIsah dengan kisah yang lainnya durasinya akan semakin panjang.

Kisah ke-tiga ini nyatanya tidak sepanjang dengan kisah-kisah sebelumnya, hanya ada tiga alinea jika ditulis ke dalam sebuah kertas.

Begini;

" Di sebuah kampung, ketika Portugis mulai menancapkan kuku-kukunya di Nusantara, hiduplah seorang petani miskin. Namun punya anak bernama Ladu. Cantiknya minta ampun.

Ada seorang pemuda bernama Lahuta, dia sudah matang umur, siap nikah, dan wanita pujaannya adalah Ladu. Mulanya dipertimbangkanlah lamaran si lelaki kepada Ladu oleh si petani miskin itu, mengingat Lahuta pun berasal dari kelas biasa, bukan keturunan orang terpandang. Tapi, Ladu kadung jatuh hati pada Lahuta, maka bulan itu juga mereka menikah, sederhana sekali namun cukup meriah.

Lima tahun setelah berumah tangga, semua orang tahu Lahuta adalah lelaki biasa, penghasilan pas-pasan, namun rumah orangtuanya dengan beberapa petak kebun disampingnya dibeli oleh seorang Portugis bernama Margo. Jadilah Lahuta punya banyak uang.

Ladu dipuja oleh Lahuta seperti bidadari. Pada suatu hari Ladu mengajak kepada suaminya pindah rumah dari kampung itu. Tidak akan ada kemajuan kalau tetap bertahan di kampung itu.

Tujuannya adalah pulau Jawa. Sunda Kelapa. Supaya orang tidak curiga, maka Ladu lebih dahulu pergi ke pelabuhan Sunda Kelapa dan membawa sekarung uang milik Lahuta , hasil dari warisan tersebut. Lahuta menyusul satu minggu setelahnya.

Lahuta berangkat, membawa bekal alakadarnya. Sampailah dia di Sunda Kelapa, namun dia bingung harus ke mana. Di tanya pula orang-orang siapa tahu ada yang kenal kepada Ladu. SEmua geleng kepala.

"Keparat... aku telah dirampok!!!'' Bisiknya sambil menahan rasa haus.

Kisah Ke-empat: Duri 14 Agustus 2010 jam 17:22 Mulai lah orang itu bercerita lagi, dari wajahnya sama sekali tidak aku lihat ada rasa lelah, padahal bibirnya kering karena puasa.

'' Aku hanya akan mengisahkan cerita yang pernah disampaikan nenekku, beberapa tahun yang lalu. Kisah tentang manusia hebat yang diceritakan Tuhan di dalam kitab suci. Ya, semua orang ingin menjadi manusia hebat. Hidupnya harus tercatat dalam kitab kehidupan dan akan dibuka oleh generasi mendatang kelak. Namun, menjadi hebat bukan barang dagangan!''

Suatu hari Lukman yang bijaksana melakukan perjalanan bersama anaknya. Kota yang dituju adalah sebuah tempat dimana keramaian merupakan hal biasa. Langit mendung, udara gerah, angin berhembus kencang, cukup menerbangkan orang-orangan di ladang gandum.

Tiba-tiba, anak kecil itu merintih kesakitan, kakinya tertusuk duri, berdarah. Maka lukman membawanya ke sebuah gubuk di ladang gandum. Luka dibersihkan dan di balut olehnya.

Satu jam kemudian, mereka melanjutkan perjalanan. Alangkah tercengangnya mereka ketika menyaksikan keadaan kota telah porak poranda karena badai. Menurut seseorang baru saja badai berhenti...

Lukman memandang mata anaknya, lantas menurunkan pandangannya tepat di kaki anaknya yang sudah terbalut kain putih.

'' Dengan duri... Tuhan telah menyelamatkan kIta..''

Kisah Ke-lima: Cinta Seorang Ibu 15 Agustus 2010 jam 5:19 Ramadlan di waktu saya masih kecil merupakan tunas keceriaan. Tidak sebanding dEngan keadaan saat ini. Saya tidak beranggapan jika keberkahan hidup telah tercerabut dalam relung dan jantung kehidupan saat ini. Orang hanya berbeda pandangan saja di dalam memaknai serta menjunjung nilai hidup. Keceriaan semakin terkubur ketika cinta terhadap sesama hanya berupa nisan-nisan tak bergerak. Hidup semakin kering ketika darah mengalir karena keserakahan diri. Cinta dan puisi di zaman sekarang dianggap lebih murah dari kaos kaki butut dan lapuk. Kepercayaan, kejujuran, kebeningan jiwa tertanam di angkasa raya, tidak menancap dan mengakar pada tanah karena ketandusannya.

Orang itu bercerita lagi, tentang Alma.

" Alma , seorang gadis kecil, dari keluarga petani kecil pula. Di kampung Sigil, dekat gunung Tuz itu kehidupan bisa dilukiskan ibarat tanaman gandum menjelang musim panen. Hangat dan wajah-wajah dipenuhi senyum. Rumah-rumah dihiasi keserba sederhanaan.

Alma suka sekali pada buku-buku. Pernah membaca cerita '' Labuh '' karya Chekhov. Di usianya yang baru genap 9 tahun bulan kemarin, dia baru saja menghabiskan " Alice ". Orang lebih memandang itu hal biasa karena di kampung Sigil membaca bukan hal aneh, tetua kampung sering mendorong orang-orang agar membaca lebih diutamakan dari membeli kubis.

'' Orangtua mu mencintaimu, Kaz?!'' tanya Alma kepada temannya Kaz, pada suatu hari.

" Ya, mereka mencintai mataku...''

" Kalau kamu, Sam?!''

'' Mereka mencintai rambut lurusku. Di musim semi tahun kemarin mereka membawaku ke sebuah kedai cukur...''

" Kamu?!''

" Mereka mencintai keahlianku dalam menyelesaikan pekerjaan. Sehabis menanam Lobak aku sering diajak main ke kota oleh mereka...''

Alma segera pulang, ditangannya memegang sebuah buku, tidak terlalu tebal.

Di rumah, setelah papa menyalakan lampu minyak, menjelang tidur, Alma bertanya kepada ibunya.

'' Apakah ibu mencintaiku?''

'' Kenapa bertanya itu?''

" Kaz, Sam, Rizt, dan Umm dicintai oleh kedua orangtuanya.

Ibu memeluk erat Alma, lantas berbisik

'' Ibu mencintaimu dengan mata ibu, maka lihatlah ibu, ibu mencintaimu dengan tangan ini maka kau ku elus, ibu mencintaimu dengan bibir ini, maka kukecup keningmu. Ibu mencintaimu dengan segenap hati ibu...'' Lalu memeluk Alma erat sekali.

Pagi-pagi saat cicit emprit telah ramai, saat Alma baru bangun, di atas meja, segelas susu hangat telah tersedia. Dia tersenyum, meminumnya, teringat mimpinya semalam

'' Aku mencintaimu dengan segenap hatiku, ibu...''

Kisah Ke-enam: Kura-kura dan Monyet 15 Agustus 2010 jam 14:17 Saya sering sekali membaca fabel-fabel Aesof ketika duduk di bangku SMP. Tapi orang berilmu itu lebih tangguh dalam menceritakan sebuah dongeng binatang. Anak-anak semakin memperlihatkan keseriusannya , menatap lekat orang itu. Saya secara pribadi menyimpan rasa kagum kepada lelaki sederhana setengah baya itu.

Dia bercerita tentang kura-kura dan monyet. Seingatku, kisahnya begini:

" Di kaki bukit Duhl, terhampar luas perkebunan lobak, kol, dan wortel. Sebuah rumah dengan arsitektur sederhana berada di tengah-tengahnya. Kepulan asap keluar dari cerobong, rembulan menciptakan sebuah lukisan maha sempurna seolah langit berwarna biru tua, pekat sekali.

Seekor kura-kura sedang asyik menggali tanah di kebun wortel.

'' Yummy... mantap sekali, wortel-wortelnya besar sekali, istri dan anak-anakku bisa senang jika aku membawa wortel-wortel ini. Sebagai seorang suami, tanggungjaWab terbesarku adalah besok bisa menyaksikan anak-anakku bisa bermain dengan keadaan perut kenyang!''

Ketika sedang asyik menggali tanah, seorang petani memergokinya, langsung menangkap kura-kura itu.

" Yahuuuu... akhirnya!!! Rupanya kau pencurinya!''

Kura-kura dibawa dan dimasukkan ke dalam kandang terkunci.

" Besok kau akan kucincang!!'' Kata si petani.

Tengah malam, kura-kura itu menangis tersedak. Dia teringat anak istrinya. Datanglah seekor monyet.

''Kenapa kau menangis dan terkurung disini wahai kawanku?!'' Tanya si monyet.

" aku menangis bahagia, karena besok pagi aku akan dinikahkan dengan anak gadis pak petani. Aku sudah beristri, dengan sangat rela aku mempersilahkan kamu untuk menggatikanku...'' Jelas si kura-kura..

'' Sebentar..''.' monyet berpikir " ahaaa... aku jadi teringat pada sebuah buku yang pernah aku baca. di dalamnya ada kisah kura-kura dan monyet. Kura tertangkap karena mencuri mentimun pak tani. Kura pura-pura mau dinikahkan dengan anak gadis petani. Dan monyet bersedia menggantikannya sebagai petani... Hmm, sebuah dongeng keparat, mana ada monyet sebodoh itu.'' Monyet menatap kura-kura,'' kawan, aku tidak mau seperti monyet di dalam dongeng tersebut, mati sia-sia di ujung golok seorang petani... mati sia-sia karena ketololannya. Jika Tuhan mengizinkan besok aku akan datang ke resepsi pernikahanmu..''

Dan esok harinya kura-kura malang itu jadi juga disembelih oleh petani. Pada tangkai pohon-pohon di atas bukit monyet bersama kawan-kawannya sambil memakan buahbuahan segar hasil curian menyaksikan penyembelihan itu dari kejauhan.

'' Ternyata dongeng itu Benar adanya kawan...'' Kata si monyet.

Kisah Ke-tujuh: Maling Tapi Jujur 16 Agustus 2010 jam 12:38 Satu kisah biasanya dihabiskan oleh orang itu dalam waktu sepuluh atau dua puluh menit saja. Hari mulai mendekati waktu ashar, mesjid jami semalin ramai oleh anakanak. Mereka akan menunaikan sholat ashar berjamaah. Dan sebelum memasuki waktu ashar, orang itu masih menyisakan sebuah kisah lagi. Kali ini tentang seorang maling, ya... katanya maling tapi jujur. Saya sebenarnya pernah membaca sebuah buku karangan Dostoevsky tentang Maling Jujur, namun cerita dari orang itu sangat berbeda dengan jalan cerita yang ada di dalam sebuah cerpen penulis asal Russia itu. Dia bercerita seperti ini: " Di Kota Lisabon, sekitar abad ke 18-an, orang mulai ramai membicarakan rempahrempah di timur jauh mulai mengalami kemunduran pasokan. Ini kata beberapa pelaut dikarenakan oleh semakin ketatnya perjanjian antara negara-negara kolonial, dimana mereka harus membagi-bagi wilayah jajahan mereka sesuai dengan perjanjian yang mereka tulis. Kemudian, di negara kolonial itu sendiri, orang mulai merasa bosan dengan sikap pemerintah, dimana, barang hasil jajahan sama sekali kurang digunakan untuk kepentingan umum, malah sebaliknya, para pejabat istana semakin sesak dengan acara pesta-pesta. Langit Lisabon malam itu cukup membuat semua orang terkesima, gemintang bertabur tak hingga, bulan seakan berada tepat sepuluh meter di atas kepala, musim kering menciptakan nyanyian angin dengan udara hangat memeluk semua tubuh penduduk kota itu. Ferdinand , seorang penganut Katolik yang setia terhadap ajarannya kini sedang menatap rembulan tanpa kedip. " Andai bapak masih ada..." Bisikknya, dan sesekali dirogohlah saku bajunya, bocah itu memiliki perawakan tinggi kurus, kulit muka pucat, cara berpakaiannya sama sekali tidak akan sebanding dengan Gilardo, seorang anak keturunan bangsawan terhormat, pakaian Ferdinand mewakili kaum miskin. Walau beberapa kali merogohkan tangan ke

dalam saku bajunya, tetap saja diasana tidak terdapat uang barang satu escudo pun. Ia memejamkan mata, keyakinan dirinya kepada kekuasaan Yesus hampir hilang, Kenapa Tuhan lebih pemurah kepada orang-orang jahat sementara kepada hambanya yang sholeh Tuhan seolah sering memberinya cobaan, sementara hidup ini bukan sekedar permainan atau judi. " Seorang maling bisa menjadi kaya. sementara seorang paderi tetap miskin..." Keyakinannya mulai goyah, " benarkah seorang maling akan dipotong tangannya di dalam neraka, jika dia mencuri atas dasar karena ingin menolong adiknya yang sedang sakit, kemudian dimanakah letak keadilan ketika tangan seorang pencuri harus dipotong karena keadaan negara sama sekali tidak mendukung terhadap kehidupan rakyat lemah sepertiku?" Bisiknya semakin kuat. Malam itu juga dia sudah memiliki tekad bulat, dia akan mencuri. Rumah paling megah di Lisabon waktu itu adalah rumah Tuan Bruno, seorang pengusaha rempah-rempah, mana pelitnya bukan main. Pekerjanya banyak sekali, terutama mereka para budak yang didatangkan dari Afrika. Bruno, pernah menghamili seorang budak wanita dibawah umur, lantas wanita itu dibuangnya di jalanan. Orang bukan segana melihatnya, melainkan takut, takut terhadap kebengisannya karena hidupnya dikelilingi oleh harta. Dan Ferdinand berhasil mencuri seekor ayam milik Tuan Bruno. Dijuallah ayam itu di pasar, lalu uangnya digunakan untuk pengobatan adiknya. Hanya 5 Escudo. Besoknya, ramailah di dalam surat kabar tersiar jika seekor ayam Bruno telah dicuri oleh seseorang, lantas dipasang juga di dalam surat kabar itu, siapa pun yang berhasil menangkap pencuri ayam Bruno dia akan diberi hadiah uang sebesar 100 escudo. Orang pada ribut soal itu, mereka mencari-cari ayamnya dulu, namun bingunglah mereka, sebab ayam pada dasarnya rata-rata memiliki kemiripan, sukar sekali menentukan mana ayam Bruno , mana ayam Alex, dan mana ayam si Alfonso. Dengan langkah berani, Ferdinand menghada Bruno.

" Akulah yang telah mencuri ayam, Tuan!" Kata Ferdinand tegas. " Haahaahaa... bocah dekil ini mau bergurau dengan Bruno, ya?" " Ya, akulah yang telah mencuri ayam Tuan. Aku jual di pasar, seharga 5 escudo, aku pake untuk berobat adikku.." Brono menyelidiki dengan matanya, tajam sekali, sambil mengelus-elus dagunanya, dan menggigit bibirnya. " Ya, di zaman sekarang semakin berkeliaran saja maling sialan. Maling keparat biasanya bersembunyi-sembunyi, ini ada maling jujur rupanya, dengan lain kata menyerahkan leher untuk digantung... percuma... percuma, aku tidak akan memberimu maaf. Hukuman harus tetap ditegakkan, peraturan tidak akan mudah dilanggar begitu saja. Kitab Suci kita mengajarkan demikian. Puji Tuhan, betapa jujurnya engkau, bocah. Namun kejujuranmu itu menjadi senjata yang akan memenggal dirimu sendiri.." Ferdinand dibawa ke pengadilan, dan semua juri serta hakim menentukan, siang itu juga ferdinand harus dihukum gantung. Hukum bukan barang mainan yang dengan seenaknya bisa dihilangkan dengan kata maaf, jika tidak dilakukan hukuman itu, entah berapa juta orang akan mengandalkan hidupnya menjadi seorang maling namun jujur. Orang-orang berdesakkan, tubuh Ferdinand menggantung di tiang gantungan. Jalanan berdebu, udara cukup panas, sinar matahari begitu terik. Di dada mayat yang masih menggelantung itu ada tulisan : Ferdinand Si Maling Ayam. " Berapa juta Escudo uang yang telah kau gelapkan, brurrr?" Tanya Bruno kepada Xavier, seorang pejabat di Kota Lisabon. " Cukuplah untuk membeli beberapa ekor kuda dan membeli sebuah tanah di selatan Lisabon ini. Datanglah ke pesta jamuan perayaan hari jadi tunangan anakku dengan anak Tuan Forzate!"

" Forzate!!!" Bruno mendelik, " Hhh, mendingan aku malam nanti datang ke jamuan pesta Tuan Samuel.. hahaha..." Mereka segera meninggalkan lokasi dimana Ferdinand dijatuhi hukuman gantung itu. Hinggal sore mayatnya masih menggelantung, sampai datanglah seorang gadis kecil, Marien, adik Ferdinand berusaha memangku dan memindahkan mayat itu, namun tidak bisa, karena tali yang mengikat lehernya begitu kuat dan tinggi sementara tubuh anak itu begitu mungil karena baru saja menginjak usia 6 tahun sebulan yang lalu. Hanya terdengar isak tangis, saat orang-orang di Kota Lisabon bersiap-siap menghadapi malam dan bertepatan dengan acara karnaval tahunan... escudo= mata uang Potugal

Kisah Ke-delapan: Dendam 17 Agustus 2010 jam 14:22 Setelah menunaikan sholat ashar, orang itu meneruskan kembali ceritanya. Cuaca cerah sore itu, masa kanak-kanakku masih bisa mencerna keajaiban alam sore, dan ceritanya begini:

" Rumah kakek Nelayan itu sangat sederhana, berada di atas sebuah tebing, di bawahnya te hampar batu karang yang diterjang ombak. Angin dari laut cukup ganas, rumah sedErhana itu berderik-derik seperti mau terjun dan jatuh ke tebing. Tapi percayalah, sudah sepuluh tahun umur rumah itu, dan sejak saat itu pula belum pernah barang satu kayu pun jatuh ke tebing.

Di dalam rumah, selain ada si kakek nelayan, ada juga cucu kesayangannya bernama Dole dan seekor marmut lucu bernama Cojun. Tidak banyak yang tahu keberadaan marmut itu, lagi pula orang-orang saat ini lebih sEring menghabiskan waktu di dermaga yang tak jauh dari perkampungan dekat tebing itu. Mereka sering menghabiskan waktu, duduk-duduk di atas perahu sambil mengobrol, dari pagi bisa sampai sore.

Lantas entah pasal apa, seorang mantan narapidana bernama Monte membunuh salah seorang penduduk kampung tebing. Lehernya ditembus tombak penangkap hiu. Saat itu orang lebih sEnang bungkam dan tutup mulut daripada harus melapor kepada pihak berwajib. Selalu bertele-tele, sampai sebuah kain butut yang menempel di daun jendela pun bisa dijadikan alat bukti.

'' aku akan membalaskan dendammu...'' bisik kakek nelayan itu sambil menatap mayat.

Dia tidak menemui kebingungan, untuk membunuh si Monte itu, dia segera Bangkit, mengambil tali pengikat perahu. Semua tahu, Monte seorang berperawakan besar tinggal di dekat pelabuhan. Maka, kakek nelayan segera menuju ke sana. Sore hari, tanpa sungkan mbil membawa tambang dia masuk ke dalam rumah.

Monte masih tertidur, ngorok. Kakek nelayan dengan cekatan mengikat orang bertubuh besar itu. Tidak lupa menyumpal mulutnya dengan kain Butut. Monte dibangunkannya, dia kaget saat bangun tubuhnya dalam keadaan terikat. Dia mencoba bergerak, kaku, dihadapannya berdiri si kkakek nelayan membawa kapak besar. Tanpa banyak pertanyaan, kapak itu dihantamkan tepat dikepala Monte. Darah keluar, tubuh monte menggelepar tak lama meninggal.

Kakek nelayan keluar dari rumah monte, dua orang penduduk melihatnya tanpa curiga. Si kakek sesampainya di rumah langsung naik ke atas ranjang, dan menjelang malam itu dia tidur begitu nyenyak...

Kisah Ke-sembilan: Seorang Wanita dan Anjingnya bernama Boo 18 Agustus 2010 jam 14:10 Kisah ke sembilan akan diceritakan oleh orang itu, alasan dia akan melanjutkan ceritanya besok adalah karena anak-anak harus mengikuti pengajian bulan Ramadlan. Haji Soleh sudah lengkap dengan sorbannya. Namun karena beliau melihat gelagat anak-anak seperti gelisah, dipadatkanlah jadwal pengajian dari satu jam menjadi setengah jam. Sehabis mengaji anak-anak langsung menoleh ke belakang, dan orang itu masih ada. Tanpa disuruh menunggu lama, anak-anak langsung berhamburan menuju ke bagian belakang mesjid, mengelilingi orang itu. Setelah melihat rasa permohonan dari si anak, maka dia pun segera bercerita: "Ada seorang wanita, cantik, rambut lurus, dan memiliki bahasa yang santun. Semua orang merasa nyaman duduk dekat dengannya. Wanita itu memiliki nama Daniella, hidup sendiri hanya ditemani seekor anjing bernama Boo. Entahlah, ada ternyata di dunia ini orang yang senang hidup bersama binatang. Namun bukan dalam bentuk pertanyaan ketika menyoal jika wanita dan setiap wanita memiliki masa lalu yang berbeda-beda. Mengenai Daniella si wanita cantik, keberadaannya di Frost sebuah kampung indah baru diketahui dan disadari oleh orang itu sekitar tiga bulan yang lalu. Dia membeli rumah seorang kakek bernama Kohler, setelah dibeli, direnovasilah rumah itu, menjadi sebuah rumah yang layak dihuni. Orang pun menerka, wanita itu pasti telah mendapatkan warisan. Selama tiga bulan ini, dia telah dekat dengan orang-orang. Sopan-santunnya dimaknai sebagai sebuah keramah tamahan yang cukup luar biasa. Di Frost bukan tidak ada keramah tamahan, namun orang-orang melakukan keramahtamahan sebagai manusia

alakadarnya. Mereka bertukar pikiran di jalan, di kebun, dan di kedai. Obrolan seputar haasil panen anggur atau gandum. Daniella menanam bunga-bunga di depan rumah. Halamannya juga ditanami rumput indah. Orang semakin suka kepadanya. Setiap minggu setelah misa di gereja, orangorang mendatangi rumah Daniella, anak-anak bermain di belakang rumah bersama Boo. Matahari telah sekian lama terbenam di bukit Reizth, semua orang tahu betul. Dan pada suatu sore, semua mendengar suara salak anjing , mereka hafal itu Boo. Satu jam berlalu , salak anjing masih terdengar. Orang-orang berkumpul , dan didahului oleh seorang pastur mendatangi rumah itu. Rumah itu tidak dikunci, salak anjIng be ada di sebuah kamar, ketika dibuka pintu kamar, mereka melihat anjing itu terikat pada kaki ranjang. Daniella tidak ada di rumahnya. Mereka menenangkan Boo agar tidak gelisah. Sampai larut , pemilik rumah belum pulang juga, dan didapati sehelai kertas berisi sebuah pesan. Pastur bersedia membacakan... Salam kepada kalian, pecinta kebaikan. Aku harus jujur kepada kalian, aku bukan orang baik seperti yang kalian kira. Sudah saatnya aku menyerahkan diri kepada polisi. Aku telah melakukan dosa paling besar dalam hidup ini, aku telah membunuh ratusan orang tak bersalah dEngan alasan sebuah ideologi. Ideologi telah menjadikanku hidup senang dalam dunia sendiri. Aku telah menciptakan syetan-syetan yang harus aku musnahkan. Ya, sudah saatnya aku menyerahkan diri, aku memohon kepada kalian, jaga baik-baik Boo.. Semua diam. Satu tahun kemudian, ke Frost datang lah penduduk baru, seorang wanita cantik berkulit putih bersih, membawa seekor anjing peking. Orang-orang Frost membiarkannya begitu saja, tanpa mau tahu seperti apa orang itu. Te siar juga kabar, Daniella telah dihukum mati, Boo dipelihara oleh keluarga Lukewarm. Dan sebuah ledakan terjadi di Kota Hamburg.

Kisah Ke-sepuluh: Raja Pesolek 20 Agustus 2010 jam 10:12 Menjelang buka puasa, orang itu masih bercerita. Kali ini dia mengisahkan cerita tentang seorang raja yang gemar pesolek. Saya sebenarnya pernah membaca sebuah dongeng anak-anak tentang raja yang gemar gonta-ganti pakaian, atau bisa dibilang kalau saat ini sebagai lelaki metro-seksual , saya sendiri tahu istilah ini dari istri tercinta. Pokoknya dalam dongeng itu si raja tukang gonta-ganti pakaian itu adalah raja bodoh yang pada akhirnya tertipu oleh dua orang bandit tengik yang mengaku sebagai para penjahit pakaian. Sementara, cerita sore itu, orang itu tidak bercerita tentang raja yang gemar gontaganti pakaian, namun mengisahkan seorang raja yang gemar bersolek, nah ini mungkin sebutan paling tepat kalau raja itu merupakan seorang lelaki metro-seksual. Kira-kira ceritanya begini: Suatu masa di sebuah kerajaan Aramia, pada tahun 320 SM hidup seorang raja berana Yabil. Raja Yabil diangkat oleh rakyatnya sebagai bentuk pemuliaan terhadap leluhurnya. Konon, ayah raja Yabil yaitu Baiil telah membunuh seorang tukang sihir yang mampu menjelma menjadi ular raksasa dan seekor kalajengking besar. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap leluhurnya itulah maka Yabil diangkat menjadi seorang raja. Rakyatnya sudah tentu mengira kalau ayahnya saja mampu membunuh manusia sakti apalagi anaknya, diduga oleh mereka, Yabil pasti memiliki kesaktian sehebat ayahnya. Yabil belum cukup umur sebetulnya diangkat jadi raja dan memimpin sebuah kerajaan. Sebab apa? Usia bisa dibilang cukup mapan, namun karena kedewasaannya belum matang, ini disebabkan oleh masa lalunya yang hiruk-pikuk dengan serba kemegahan dan telah mencetak seorang Yabil menjadi anak manja. Sejak kecil dirinya memang gemar bersolek, seolah dalam diri lelaki itu tertanam dengan kuat khas seorang wanita. Rakyatnya pada tahu, jika rajanya itu gemar bersolek. Bukan itu sebenarnya yang menjadi masalah. Masalah bagi rakyat Aramia adalah kebiasaan raja yang gemar

mengekspos kegiatan-kegiatan dirinya dan sanak keluarganya. Pernah pada suatu ketika, dirinya menulis sebuah puisi, lebih tepatnya kumpulan puisi dan dibukukan, maka diundanglah mereka para pejabat tinggi kerajaan, dikumpulkan juga rakyatnya dan pada pesta perayaan panin gandum dibagikan buku-buku itu agar dibaca oleh rakyatnya. Dibacakan pula oleh salah seorang petinggi negeri salah satu puisi karangan raja Yabil. Para sastrawan berdecak kagum, para kritikus sastra dan filsuf pada bertepuk tangan, betapa raja mereka sungguh bijaksana dalam membuat sebuah karya agung. Padahal ada juga beberapa sastrawan merasa tersinggung dengan sikap raja Yabil, dimana sang raja telah memenggal jati dirinya sendiri. Bukan tidak boleh, melainkan, mbok ya jangan dan ndak usah bagi-bagi buku puisi segala di hari pesta panin gandum. Mestinya ada saat tertentu di hari tertentu juga. " Rakyatku, perkenalkan ini calon ibu mertuaku, ini calon bapak mertuaku, ini calon istriku, dan kami besok akan mengadakan kegiatan menamam pohon kurma di salah satu lahan milik kerajaan!" Umumnya pada suatu hari. Besoknya, diikuti oleh para pejabat kerajaan, Yabil bersama sanak familinya berjalan sepanjang jalan utama Aramia, orang-orang berduyun-duyun melihat dan menyalami raja mereka. Di tanam juga pohon-pohon kurma di dekat sebuah oase. Lantas orang pun menjadi lebih simpati kepada raja. Saat itu raja memakai busana terlalu mewah, bahkan bibirnya dimerahi segala. Semakin hari kehidupan di Aramia semakin hiruk. Pasar semakin ramai, bukan karena jualan mereka laku, kecuali karena tidak laku dan mereka membicarakan kehidupan yang serba sulit. Pertanian gandum tidak tumbuh dengan baik. Keluh kesah terdengar dimana-mana. Dan pada saat itu pula raja Yabil mengumumkan kepada rakyatnya: " Minggu depan aku akan melangsungkan pernikahan dengan Yur, ini orangnya... biaya pernikahan bisa mencapai sebanding dengan ratusan ton gandum, aku akan menghadiahkan beberapa butir mutiara dan berlian kepadanya, ingat rakyatku... datanglah ke pesta pernikahanku..." Kata nya, " tidak lupa, sebagai seorang raja, aku

mengumumkan kepada kalian, terhitung mulai minggu depan, gaji para pegawai kerajaan akan saya naikkan beberapa persen dari bulan ini." Para petinggi negeri terlihat mesem-mesem. Sementara di antara kerumunan orang-orang itu ada seorang wanita, anak petani miskin bernama Muur, menggunakan jubah lepek, pake penutup kepala segala, dia sedang asyik saling bertatap muka dengan seorang pemuda, salah satu petinggi kerajaan, mereka saling memberi kode dan sandi dengan bahasa tubuh. Sementara mereka tidak melihat, jika aksinya itu sedang diawasi oleh salah seorang filsuf di negeri itu, sementara orang-orang hanya melihat sekilas jika Muur ini cantiknya bukan main. Muur semakin menggenggam erat sebilah belati di tangan kirinya.

Kisah ke-sebelas: Ko Bun Chou 23 Agustus 2010 jam 7:36 Menjelang kehancuran dinasti Ming, di saat perlawanan terhadap kerajaan semakin hebat dalam bentuk pemberontakan oleh rakyat. Pemberontakan itu sendiri bukan hanya datang dari bangsa mongol yang dipimpin oleh Kolokolo Khan, juga datang dari dalam kerajaan sindiri. Tatanan kerajaan rusak sama sekali terutama dengan kasuskasus korupsi, penggelapan, dan konspirasi para petinggi kerajaan.

Suap-menyuap dilakukan oleh pejabat istana terhadap hakim khususnya, sementara di masa kekuasaan raja ke-tiga dari dinasti Ming, yaitu Ko Bun Chou, hakim agung dipimpin oleh dirinya sendiri. Rakyat sebenarnya menghormati tokoh kharismatik ini. Di masa awal kepemimpinannya dia mengumandangkan komitmen penggarusan terhadap segala bentuk kejahatan khususnya korupsi. Dan dimasa kepemimpinannya itu pula lima pejabat negara dimasukkan ke dalam peti mati karena korupsi. Kharisma dirinya pudar dan padam oleh tindak-tanduk pejabat-pejabat kerajaan dan orang terdekatnya. Kebiasaan dia di hadapan rakyat adalah mengeluhkan soal kondisi kerajaan.

Setelah memperingati pesta tani, Raja Bun mengumpulkan seluruh pejabat kerajaan. Kekeliriun besar telah dilakukan oleh dirinya , Peng Ing Sun seorang koruptor telah dibebaskan oleh kerajaan di hari pesta tani. Gejolak rakyat dalam bentuk ketidak percayaan terhadap kepemimpinannya semakin tinggi.

" sebagai seorang raja..'' kata Bun, '' aku mengakui telah banyak kekeliruan yang aku lakukan dan ini bisa jadi, sebagai penyebab kebangkrutan kerajaan ini. Kebijakankebijakanku sering tampak serakah...'' Akunya di hadapan para pejabat kerajaan.

" aku yang pantas disalahkan'' Meng Che Ming berkata, dia seorang petinggi keamanan kerajaan, seorang panglima yang sangat ditakuti karena kebengisannya, '' kekejamanku terhadap mereka yang lemah lah yang menjadi penyebab rusaknya tatanan kerajaan. Kemarin aku dan pasukanku telah membakar sebuah pasar milik rakyat paduka yang

mulia..!'' lanjutnya sambil bersimpuh. '' aku yang pantas dihukum..''

'' Bukan salah tuan Meng..'' Hui Lun Chaw, pejabat kerajaan di bidang pertanian berkata, '' Aku yang telah banyak keliru, setiap petani aku jadikan objek proyek, aku telah menelurkan petani-petani tanpa punya lahan. Sawah mereka aku rampas atas nama demi kepentingan kerajaan. Jadi akulah yang paling bersalah dalam hal ini,'' ungkapnya sambil bersujud di hadapan raja, '' maka hukumlah aku... demi pulihnya kembali kerajaan ini..''

Satu persatu semua pejabat kerajaan mengaku merekalah yang salah dan patut mendapatkan hukuman, sampai pada akhirnya, maju pula San Bau Cung, sEorang pejabat baru dari wilayah daratan sElatan,

" aku juga patut dipersalahkan'' katanya, diikuti oleh lirikan semua mata, '' aku memimpin wilayah selatan dengan sangat kejam, tubuhku memang kecil bahkan bisa dibilang kerempeng, tapi kekejaman diriku tidak ada bandingannya. Akulah yang patut dihukum...''

" o, ya?!'' tanya raja sambil menyelidik, dan semua mata memandang tubuh kerempeng ini seperti menghakImi.

" ya, hukumlah aku, paduka" dia bersimpuh.

" Ehemm...'' Raja mendehem, '' baiklah para petinggi kerajaan, hari ini, di hari pesta tani, kita telah mendapatkan orang paling bersalah terhadap rusaknya tatanan kerajaan ini. Dan dengan sangat rendah hati, besok pagi kami akan menggantungmu San Bau Cung!''

" ya, dialah yang paling salah!!'' dan semua pejabat menuding dirinya.

" ampuni hamba yang mulia..'' Cung bersujud, menangis penuh harap..

" maafkan aku, semua pelaku kejahatan di kerajaan ini harus digantung!!''

Esoknya, tubuh San Bau Cung telah kaku tergantung di tiang gantungan. Rakyat bahagia, dengan nanar sumringah penuh harap mereka semakin yakin, dalam waktu dekat kerajaan ini akan semakin membaik.

'' Bapak, saya belum makan...'' bisik seorang anak dalam gendongan bapaknya, saat itu sang bapak melihat di atas meja para petinggi kerajaan penuh dengan aneka buahbuahan. Bung Ko Hung sedang asyik menyantap buah-buahan segar, mana gendutnya bukan main.