KOMUNIKASI DAN INTERAKSI DALAM PENDIDIKAN Oleh Ni Luh Yaniasti1 Abstrak: Proses komunikasi dan interaksi dalam pendidikan tidak bisa dipisahkan. Hal ini disebabkan oleh komunikasi merupakan persyaratan yang vital untuk melakukan proses interaksi dalam pembelajaran. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan kepada penerima pesan secara kondusif, sedangkan interaksi pembelajaran adalah hubungan antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan, dan siswa dengan sumber belajar. Keempat interaksi siswa dalam proses pembelajaran tersebut tidak akan berlangsung dengan baik, bila siswa tidak menguasai teknik berkomunikasi. Komunikasi yang terjadi dalam interaksi pembelajaran dapat berupa komunikasi inter-personal dan komuniasi intra-personal. Kata kunci: Komunikasi, interaksi, pesan, dan pembelajaran. Pendahuluan Pengetahuan memiliki peran penting dalam peradaban manusia. Itu kita semua sudah paham. Namun, memasuki milenium baru ini, kesadaran atas pentingnya pengetahuan makin nyata dan meningkat. Organisasi-organisasi, apakah itu organisasi bisnis, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi pemerintah, sangat mengandalkan intelektualitas para sumberdaya manusianya. Semua menyadari bahwa justru itulah modal terpenting dari serangkaian modal yang harus mereka miliki. Pengetahuan yang dikelola, upaya pencariannya dan pengembangannya, serta penyebarannya ke seluruh sendi-sendi organisasi jauh lebih penting dari sekadar modal fisik yang dimiliki. Pengetahuan dan intelektualitas itu, kemudian akan menjelma menjadi nilai dari produk-produk mereka, dari layanan yang menguntungkan baik untuk mereka maupun konsumennya. Pengetahuan dan intelektualitas itu –sebagai aset –jelas lebih penting dari gedung atau pabrik, mesin-mesin, sumber bahan baku atau perangkat teknologi yang dimiliki. Karena itu, harus dikelola. Upaya ini makin mungkin karena di saat yang sama teknologi informasi sudah maju dan akan terus berkembang. Jadi, tidak berlebihan bila kita menyebut dunia yang kita jalani sekarang adalah era pengetahuan, knowledge era. Organisasi menyebut karyawan mereka pekerja otak, knowledge worker. Bilamana konsep knowledge era dalam organisasi kita bawa ke institusi pendidikan, maka setiap institusi pendidikan harus melakukan adaptasi dengan perubahan ini. Beradap1
Ni Luh Yaniasti adalah staf edukatif pada Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Panji Sakti Singaraja. 78
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
tasi dengan perubahan ini, bukan saja penting bagi institusi itu sendiri, tapi memang sudah menjadi tuntutan para pemangku kepentingan yang lain; orang tua pebelajar, para pengguna lulusan institusi pendidikan, dan tentu saja si pebelajar sendiri (sadar atau tidak). Agar institusi pendidikan dapat terus bertahan dan mendapatkan apresiasi tinggi, institusi pendidikan juga harus berubah menyesuaikan dan memperbaiki diri. Salah satu aspek yang diubah dan diperbaiki itu adalah proses belajar mengajar. Berbicara tentang proses pembelajaran, belakangan ini, makin banyak pengelola institusi pendidikan yang menyadari perlunya pendekatan pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (learner centered). Pendekatan teacher centered, sudah dianggap tradisional dan perlu diubah. Ini karena pendekatan yang teacher centered, di mana pembelajaran berpusat pada pendidik dengan penekanan pada peliputan dan penyebaran materi, sementara pebelajar kurang aktif, sudah tidak memadai untuk tuntutan era pengetahuan ini. Yang jelas, para pendidik kini harus menaruh kecurigaan dan perhatian bahwa konten yang kini diajarkan, bisa saja berubah dan menjadi usang, berkurang relevansinya. Era pengetahuan yang sedang kita alami dan hadapi ini, memiliki karakter terobosan-terobosan baru dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Para pebelajar kita membutuhkan lebih dari sesuatu yang kita bisa berikan dengan pendekatan yang berpusat pada pendidik. Yakni, pendekatan yang dapat memberikan bekal kompetensi, pengetahuan dan serangkaian kecakapan yang mereka butuhkan dari waktu ke waktu. Dengan membiarkan pebelajar pasif, pendekatan yang berpusat pada pendidik sulit untuk memungkinkan pebelajar mengembangkan kecakapan berpikir, kecakapan interpersonal, kecakapan beradaptasi dengan baik. Tidak banyak yang mereka dapatkan bila partisipasi mereka minim dalam proses pembelajaran. Padahal berbagai kecakapan inilah yang nantinya mereka butuhkan saat menjalani kehidupan dewasa mereka (Amir, 2010). Paradigma learner centered merupakan salah satu paradigma yang dianut dalam proses pembelajaran untuk menciptakan aktivitas siswa dalam kelas. Banyak orang menaruh harapan atas terwujudnya kondisi pembelajaran melalui siswa aktif. Siswa yang secara aktif tersebut dalam proses pembelajaran dicirikan oleh dua aktivitas, yakni aktif dalam berpikir (minds-on) dan aktif dalam berbuat (hands-on). Kedua bentuk aktif ini saling terkait. Perbuatan nyata siswa dalam pembelajaran merupakan hasil keterlibatan berpikir terhadap objek belajarnya. Pengalaman sebagai hasil perbuatan siswa, selanjutnya diolah dengan menggunakan kerangka berpikir dan pengetahuan yang dimilikinya untuk membangun pengetahuan. Dengan cara ini siswa dapat mengembangkan pemahaman bahkan mengubah pemahaman sebelumnya menjadi makin baik (ilmiah). Pemahaman baru ini, yang melalui pengolahan dan refleksi, dapat melahirkan tindakan yang lain 79
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
sebagai perwujudan keingintahuannya. Dengan demikian, proses siswa aktif merupakan proses yang tiada henti. Agar siswa dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran diperlukan adanya proses pembiasaan. Untuk itu, perlu diidentifikasi beberapa kecakapan dasar penunjang yang harus menjadi kemampuan yang melekat dalam diri siswa. Menurut Suparno et al. (2002), beberapa kemampuan dasar tersebut antara lain: (1) kemampuan bertanya. Kemampuan ini tidak lain adalah kemampuan siswa untuk mempersoalkan (problem posing). Dimulai dengan persoalan dalam wujud pertanyaan, maka dalam diri siswa terdapat keinginan untuk mengetahui melalui proses belajarnya, (2) kemampuan pemecahan masalah (problem solving). Permasalahan yang muncul di dalam pembelajaran harus diselesaikan (dicari jawabannya) oleh siswa selama proses belajarnya. Tidak cukup kalau siswa mahir mempersoalkan sesuatu tetapi miskin dalam pencarian pemecahannya. Penyelesaian masalah sendiri dapat dilakukan secara mandiri (self-independence learning) maupun secara kelompok (group learning), dan (3) kemampuan berkomunikasi. Dalam konteks pemahaman, kemampuan berkomunikasi baik verbal maupun non-verbal merupakan sarana agar terjadi pemahaman yang benar (yang baik dan punya kadar keilmuan), dari hasil proses berpikir dan berbuat, terhadap gagasan siswa yang ditemukan dan ingin dikembangkan. Terkait dengan kemampuan berkomunikasi ini, sebetulnya sangat diperlukan di dalam proses pembelajaran yang menganut teori konstruktivisme. Melalui komunikasilah akan tercipta proses interaksi dalam pembelajaran. Komunikasi dan interaksi belajar mengajar memegang peranan penting dalam dunia pendidikan. Komunikasi sangat vital perannya dalam interaksi belajar mengajar. Tanpa ada komunikasi yang bagus antara guru dan siswa, siswa dengan siswa, siswa dengan lingkungan belajar, dan siswa dengan sumber belajar, maka proses interaksi belajar mengajar tidak akan berlangsung dengan baik. Hal ini disebabkan oleh pesan yang disampaikan oleh seorang guru kepada siswa atau oleh seorang siswa kepada guru dan siswa yang lainnya lewat proses komunikasi tidak bisa diterima secara setara. Artinya, pesan yang dimaksudkan oleh si pembicara (komunikator) kepada penerima pesan (komunikan) tidak sama. Inilah yang sering dikenal dengan istilah miscommunication (komunikasi yang keliru). Oleh karena itu pembahasan tentang komunikasi dan interaksi belajar mengajar tidak bisa dipisah-pisahkan. Dalam bagian ini, secara khusus akan dibicarakan mengenai komunikasi dalam pendidikan dan dilanjutkan dengan interaksi belajar mengajar. Komunikasi dibicarakan terlebih dahulu karena komunikasi itu merupakan salah satu sarana yang vital dalam interaksi belajar mengajar. 80
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
Komunikasi dalam Pendidikan Sudah diketahui banyak orang bahwa komunikasi ada di mana-mana, baik di rumah, di kampus, di kantor dan di masjid. Bahkan ia sanggup menyentuh segala aspek kehidupan kita. Artinya, hampir seluruh kegiatan manusia, di mana pun adanya, selalu tersentuh oleh komunikasi. Pada bidang kajian seperti manajemen, administrasi, hukum, matematika dan biologi, komunikasi selalu menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pengembangannya. Sudah disepakati juga bahwa fungsi umum komunikasi ialah informatif, edukatif, persuasif, dan rekreatif. Maksudnya secara singkat ialah komunikasi berfungsi memberi keterangan, memberi data atau fakta yang berguna bagi segala aspek kehidupan manusia. Di samping itu, komunikasi juga berfungsi, mendidik masyarakat, mendidik setiap orang dalam menuju pencapaian kedewasaan bermandiri. Seseorang bisa banyak tahu karena banyak mendengar, banyak membaca dan banyak berkomunikasi. Berikutnya adalah fungsi persuasif, maksudnya ialah bahwa komunikasi sanggup “membujuk” orang untuk berperilaku sesuai dengan kehendak yang diinginkan oleh komunikator. Seorang anak kecil bisa berhenti menangis setelah dibujuk oleh ibunya (dengan komunikasi) bahwa anak yang suka menangis akan menjadi anak bodoh, misalnya. Sedangkan yang terakhir ialah fungsi hiburan. Ia dapat menghibur orang pada saat yang memungkinkan. Mendengarkan dongeng, membaca bacaan ringan, adalah contohnya (Indrayanto, 2011). 1. Definisi komunikasi. Dari pelajaran dan pengalaman selama ini, komunikasi merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia, yakni kehidupan bermasyarakat. Bahkan orang juga berani menyatakan bahwa keberhasilan seseorang sangat tergantung dari kemampuan dan keterampilannya berkomunikasi. Siapa pun orangnya, sama-sama mengakui pentingnya komunikasi dalam manajemen sebuah organisasi, baik kecil maupun besar. Pembicaraan kali ini dikaitkan dengan manajemen sekolah. Komunikasi yang dimaksud adalah penyampaian pesan atau informasi dari dua arah secara vertikal dan juga horisontal. Sayangnya, pentingnya komunikasi untuk membangun manajemen yang baik sering dilupakan dengan ungkapan yang agak sembrono: “Sudah sama tahunya”. Dengan keyakinan seperti itulah akhirnya komunikasi yang intensif dalam merencanakan, mengatur, menjalani dan mengevaluasi program-program di dalam organisasi tidak dibudayakan. Mandeknya arus komunikasi antara berbagai komponen organisasi yang telah akut menyebabkan berbagai kemungkinan buruk terhadap kemajuan dari organisasi itu sendiri. Fungsi dan peranan organisasi menjadi pudar dan hilang. Karena memang komunikasi 81
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
efektif tidak dibangun secara bertahap, konflik dari berbagai kepentingan membuyarkan kebermaknaan organisasi tersebut. Mereka yang merasa memiliki power kemudian bisa bersikap menekan dan mengintimidasi komponen yang lemah. Dari sini pula makna kebersamaan dalam berorganisasi menjadi buyar dengan sendirinya. Demokrasi hanya sebagai slogan. Komunikasi adalah kemampuan mengirimkan pesan dengan jelas, manusiawi, efisien dan menerima pesan secara akurat. Adapun definisi yang lainnya, menyatakan komunikasi merupakan suatu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan terjadi dalam satu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Sedangkan menurut persepsi penulis, yang dimaksudkan dengan komunikasi dalam dunia pendidikan adalah proses penyampaian pesan secara timbal balik antara guru dan siswa, dan antara siswa yang satu dan siswa yang lainnya. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Jadi kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain perkataan, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan kedua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya, selain mengerti bahasa yang digunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan (Effendy, 2005). Akan tetapi, pengertian komunikasi yang dipaparkan di atas sifatnya dasariah, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan, dan lain-lain. Pentingnya komunikasi bagi kehidupan sosial, budaya, pendidikan, dan politik sudah disadari oleh para cendekiawan sejak Aristoteles yang hidup ratusan tahun sebelum Masehi. Akan tetapi, studi Aristoteles hanya berkisar pada retorika dalam lingkungan kecil. Baru pada pertengahan abad ke-20 ketika dunia dirasakan makin kecil akibat revolusi industri dan revolusi teknologi elektronik, setelah ditemukan kapal api, pesawat terbang, listrik, telepon, surat kabar, film, radio, televisi, dan sebagainya maka para cendekiawan 82
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
pada abad sekarang menyadari pentingnya komunikasi ditingkatkan dari pengetahuan (knowledge) menjadi ilmu (science). Di antara para ahli sosiologi, ahli psikologi, dan ahli politik di Amerika Serikat yang menaruh minat pada perkembangan komunikasi adalah Carl I. Hovland yang berpengaruh sangat besar di kalangan masyarakat Amerika. Menurut Carl I Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Definisi Hovland di atas menunjukkan bahwa yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (publik attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai pengertian komunikasinya sendiri, Hovland mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses mengubah perilaku orang lain (communication is the process to modify the behavior of other individuals). Menurut Effendy (1981), dengan mengutip paradigma Lasswell menyatakan komunikasi meliputi lima unsur, yakni: (1) komunikator (communicator, source, sender), (2) pesan (message), (3) media (channel, media), (4) komunikan (communicant, communicatee, receiver, recipient), dan (5) efek (effect, impact, influence). Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. 2. Proses komunikasi. Menurut Effendy (2005), proses komunikasi dibagi menjadi dua, tahap, yakni secara primer dan secara sekunder. a. Proses komunikasi secara primer. Proses komunikasi secara primer merupakan proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu ‘menerjemahkan’ pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan. Bahwa bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi adalah jelas karena hanya bahasalah yang mampu ‘menerjemahkan’ pikiran seseorang kepada orang lain. Apakah itu berbentuk ide, informasi atau opini; baik mengenai hal yang konkret maupun yang abstrak; bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi pada saat sekarang, melainkan juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang. Adalah berkat kemampuan bahasa maka kita dapat mempelajari ilmu pe83
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
ngetahuan sejak ditampilkan oleh Aristoteles, Plato, dan Socrates; dapat menjadi manusia yang beradab dan berbudaya; dan dapat memperkirakan apa yang akan terjadi pada tahun, dekade, bahkan abad yang akan datang. b. Proses komunikasi secara sekunder. Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, film, televisi, dan banyak lagi adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Pada umumnya kalau kita berbicara di kalangan masyarakat, yang dinamakan media komunikasi itu adalah media kedua sebagaimana diterangkan di atas. Jarang sekali orang menganggap bahasa sebagai media komunikasi. Hal ini disebabkan oleh bahasa sebagai lambang (symbol) beserta isi (content) –yakni pikiran dan atau perasaan –yang dibawanya menjadi totalitas pesan (message), yang tampak tak dapat dipisahkan. Tidak seperti media dalam bentuk surat, telepon, radio, dan lainnya yang jelas tidak selalu dipergunakan. Tampaknya seolah-olah orang tak mungkin berkomunikasi tanpa bahasa, tetapi orang mungkin dapat berkomunikasi tanpa surat, atau telepon, atau televisi, dan sebagainya. 3. Pendidikan sebagai proses komunikasi. Ditinjau dari prosesnya, pendidikan adalah komunikasi dalam arti kata bahwa dalam proses tersebut terlihat dua komponen yang terdiri atas manusia, yakni pengajar sebagai komunikator dan pelajar sebagai komunikan. Lazimnya, pada tingkatan bawah dan menengah pengajar itu disebut guru, sedangkan pelajar itu disebut murid; pada tingkatan tinggi pengajar itu dinamakan dosen, sedangkan pelajar dinamakan mahasiswa. Pada tingkatan apa pun, proses komunikasi antara pengajar dan pelajar itu pada hakikatnya sama saja. Perbedaannya hanyalah pada jenis pesan serta kualitas yang disampaikan oleh si pengajar kepada si pelajar. Perbedaan komunikasi dengan pendidikan terletak pada tujuannya atau efek yang diharapkan. Ditinjau dari efek yang diharapkan itu, tujuan komunikasi sifatnya umum, sedangkan pendidikan sifatnya khusus. Kekhususan inilah yang dalam proses komunikasi melahirkan istilah-istilah khusus seperti penerangan, propaganda, indoktrinasi, agitasi, dan pendidikan. 84
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
Tujuan pendidikan adalah khas atau khusus, yakni meningkatkan pengetahuan seseorang mengenai suatu hal sehingga ia menguasainya. Jelas perbedaannya dengan tujuan penerangan, propaganda, indoktrinasi, dan agitasi sebagaimana disinggung di atas. Tujuan pendidikan itu akan tercapai jika prosesnya komunikatif. Minimal harus demikian. Jika proses belajar itu tidak komunikatif, tak mungkin tujuan pendidikan itu dapat tercapai. Bagaimana caranya agar proses penyampaian suatu pesan oleh komunikator kepada komunikan, atau dalam konteks pendidikan ini agar proses penyampaian suatu pelajaran oleh pengajar kepada pelajar menjadi komunikatif dapat diikuti uraian berikut. Pada umumnya pendidikan berlangsung secara terencana di dalam kelas secara tatap muka (face to face). Karena kelompoknya relatif kecil, meskipun komunikasi antara pengajar dan pelajar dalam ruang kelas itu termasuk komunikasi kelompok (group communication), sang pengajar sewaktu-waktu bisa mengubahnya menjadi komunikasi antarpersona. Terjadilah komunikasi dua arah atau dialog di mana si pelajar menjadi komunikan dan komunikator, demikian pula sang pengajar. Terjadinya komunikasi dua arah ini ialah apabila para pelajar bersikap responsif, mengetengahkan pendapat atau mengajukan pertanyaan, diminta atau tidak diminta. Jika si pelajar pasif saja, dalam arti kata hanya mendengarkan tanpa ada gairah untuk mengekspresikan suatu pernyataan atau pertanyaan, maka meskipun komunikasi itu bersifat tatap muka, tetap saja berlangsung satu arah, dan komunikasi itu tidak efektif. Komunikasi dalam diskusi dalam proses belajar mengajar berlangsung amat efektif, baik antara pengajar dengan pelajar di antara para pelajar sendiri sebab mekanismenya memungkinkan si pelajar terbiasa mengemukakan pendapat secara argumentatif dan dapat mengkaji dirinya, apakah yang telah diketahuinya itu benar atau tidak. Dengan lain perkataan, pentingnya komunikasi dalam bentuk diskusi pada proses belajar mengajar itu disebabkan oleh dua hal, yaitu: (1) materi yang didiskusikan meningkatkan intelektualitas, dan (2) komunikasi dalam diskusi bersifat intracommunication dan intercommunication. Intrakomunikasi merupakan komunikasi yang terjadi pada diri seseorang. Ia berkomunikasi dengan dirinya sendiri sebagai persiapan untuk melakukan interkomunikasi dengan orang lain. 4. Peranan teknologi komunikasi dalam pendidikan. Menurut Aryantini (2010), peranan teknologi komunikasi dalam bidang pendidikan, dapat dikemukakan sebagai berikut. 1) Upaya menjembatani kesenjangan. 85
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
Barangkali tidak terlalu salah apabila ada orang yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia kini hidup dalam abad ke-21 sekaligus hidup dalam zaman modern dan dalam zaman batu. Bukti bahwa bangsa kita hidup dalam zaman modern bukan saja karena merupakan negara ketiga di dunia yang telah mengoperasikan satelit komunikasi, melainkan karena kehidupan di kota metropolitan yang bertaraf jet-set. Dan bukti bahwa bangsa kita masih hidup pada zaman batu, jauh di ufuk timur masih ada saudara-saudara kita yang memerlukan peningkatan peradaban sehingga setara dengan saudara-saudara di daerah lainnya. Problem tersebut jelas memerlukan pemerataan pendidikan, selain secara konsepsional juga dengan segera; jika tidak, kesenjangan akan makin menganga. Negara-negara terbelakang mempunyai keuntungan. Negara-negara ini, dapat melakukan lompatan, katakanlah dari abad ke-10 sebelum Masehi ke abad ke-20 tanpa proses yang penuh rintangan. Situasi seperti ini terjadi di Amerika Serikat pada abad ke-18, pada waktu teknologi Eropa yang mutakhir digunakan tanpa halangan dari sistem feodal kuno, tanpa rintangan dalam menyusun dan melaksanakan program literasi dan publikasi. Ditegaskan bahwa Hollywood dan New York tidak pernah tersentuh abad ke-19, tetapi langsung dari abad ke-18 ke abad ke-20. Untuk melakukan lompatan dari zaman batu, zaman perunggu, dan zaman besi yang masih dialami oleh beberapa suku bangsa kita ke zaman elektronika yang dialami oleh suku bangsa lainnya di Nusantara kita tercinta ini sehingga menjadi merata, pendidikan dengan segala aspeknya memegang peranan yang teramat penting, mulai dari metode, melalui pengadaan buku, sampai kepada pemanfaatan teknologi elektronik. 2) Teknologi komunikasi dan pendidikan pascaliterer. Di muka telah ditampilkan bahwa negara-negara terbelakang mempunyai keuntungan, yakni dapat melakukan lompatan tanpa proses yang penuh rintangan, bahkan lompatan dari abad ke-10 sebelum Masehi langsung ke abad ke-20 diberikannya contoh di Eropa dan Amerika Serikat yang pernah tidak tersentuh oleh suatu abad. Bagi bangsa Indonesia yang termasuk negara yang belum maju atau negara yang sedang berkembang. Dan memang kenyataannya demikian. Kita tidak perlu mengadakan penelitian yang sudah menjadi produk teknologi. Percuma dan akan menghabiskan tenaga, pikiran, dan biaya. Kalau kita akan menggiatkan penelitian mengenai teknologi dan akan mengembangkannya, lebih baik mulai dari yang sudah dihasilkan orang lain; paling tidak memanfaatkan generasi kini untuk menjadi bangsa yang cerdas. Nasihat yang menyatakan ‘Janganlah pemuda-pemuda kita diberi ikan, melainkan kail untuk menangkap ikan’ sungguh tepat untuk bangsa Indonesia masa kini. Makna kail di sini sudah tentu ilmu pe86
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
ngetahuan. Akan tetapi, ilmu pengetahuan tanpa diimbangi moral sungguh amat berbahaya, bukan saja merugikan diri seseorang, melainkan juga masyarakat dan negara. Pemerintah Republik Indonesia mencanangkan pentingnya pendidikan, tidak hanya pendidikan formal di sekolah-sekolah, tetapi juga pendidikan informal dalam keluarga. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan perlu dilakukan secara holistik yang meliputi tiga dimensi pendidikan, yaitu: (1) pendidikan praliterer, (2) pendidikan literer, dan (3) pendidikan pascaliterer. Pendidikan praliterer merupakan pendidikan yang berlangsung secara tatap muka timbal-balik dalam kehidupan keluarga. Oleh karena itu sifatnya tidak formal. Pendidikan jenis inilah yang pertama-tama berperan mencerdaskan bangsa di suatu negara sebelum pengetahuan tentang tulisan ditemukan. Di Indonesia pendidikan literer diperkirakan mulai abad pertama Masehi dengan merembesnya kebudayaan baca tulis dari India, sedangkan pendidikan pascaliterer dimulai sesudah Perang Dunia II –untuk lebih tegasnya pada tahun lima puluhan –kendati pun radio yang merupakan salah satu unsurnya sudah dimulai tahun 1925. Produk teknologi komunikasi, terutama media elektronik, yang makin banyak digunakan oleh pemerintah dan makin memasyarakat itu, harus benar-benar dimanfaatkan oleh semua pihak, dioptimalkan segi positifnya, dan diminimalkan –kalau tidak mungkin ditiadakan sama sekali –segi negatifnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan tugas pemerintah semata-mata, melainkan tugas bersama masyarakat. Interaksi dalam Pendidikan Dalam bagian interaksi belajar mengajar ini akan dibahas mengenai tiga hal yang sangat vital dalam dunia pendidikan, yaitu definisi interaksi belajar mengajar, komponen interaksi belajar mengajar, dan peran guru dalam belajar mengajar. 1. Definisi interaksi belajar mengajar. Istilah interaksi, sebagaimana telah banyak diketahui orang, adalah suatu hubungan timbal-balik antara orang satu dengan orang lainnya. Di dalam sosiologi, misalnya, interaksi selalu dikaitkan dengan istilah interaksi sosial, yaitu hubungan timbal-balik atau aksi dan reaksi di antara orang-orang. Yang mana interaksi sosial tidak mempedulikan hubungan tersebut bersifat bersahabat atau bermusuhan, formal atau informal, apakah dilakukan berhadapan muka secara langsung atau melalui komunikasi yang tidak berhadapan secara langsung. Yang penting dalam interaksi ini adalah adanya kontak dan komunikasi di antara orang-orang itu. Akan berbeda halnya kalau pengertian interaksi ini kita hubungkan dengan proses belajar mengajar. Di dalam interaksi belajar mengajar, hubungan timbal-balik antara guru 87
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
(pengajar) dan anak (murid) harus menunjukkan adanya hubungan yang bersifat edukatif (mendidik), hal mana interaksi itu harus diserahkan pada suatu tujuan tertentu yang bersifat mendidik, yaitu adanya perubahan tingkah laku anak didik ke arah kedewasaan. Hubungan antara anak dengan orang tua dapat dikatakan mempunyai hubungan (interaksi) edukatif apabila salah satu pihak (orang tuanya) dalam hubungan itu mempunyai tujuan tertentu, misalnya orang tua melarang anaknya yang sedang makan sambil berjalan. Di sini orang tua tersebut mempunyai tujuan agar anaknya tidak lagi makan sambil berjalan, karena makan sambil berjalan dianggap kurang baik. Tetapi hubungan antara orang tua dengan anak dapat juga dikatakan interaksi biasa (bukan interaksi edukatif) apabila dalam hubungan itu hanya terjadi hubungan yang sifatnya gurau, misalnya orang tua itu dengan anaknya saling kejar mengejar, saling tertawa menertawai. Dengan demikian kita dapat membedakan antara interaksi yang sifatnya edukatif dengan interaksi biasa (Soetomo, 1993). Menurut Djamarah (1994), proses interaksi belajar mengajar adalah inti dari kegiatan pendidikan. Sebagai inti dari kegiatan pendidikan, proses interaksi belajar mengajar merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan tidak akan tercapai bila proses interaksi belajar mengajar tidak pernah berlangsung dalam pendidikan. Guru dan siswa adalah dua unsur yang terlibat langsung dalam proses itu. Oleh karena itu di sinilah peranan guru diperlukan bagaimana menciptakan interaksi belajar mengajar yang kondusif. Untuk itu seorang guru perlu memahami ciri-ciri ineraksi belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran. Pemahaman seorang guru terhadap ciri-ciri interaksi belajar mengajar belumlah cukup tanpa ada kemampuan untuk mengaplikasikannya ke dalam proses interaksi belajar mengajar. Di sinilah diperlukan kompetensi guru dalam mempersiapkan tahapan-tahapan kegiatan. Tahap-tahapan ini tidak bisa diabaikan dalam proses interaksi belajar mengajar atau dalam perencanaan pengajaran, sebab kegiatan ini menyangkut masalah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Tahapan-tahapan dimaksud adalah tahap persiapan/perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap penilaian/evaluasi. Tahapan-tahapan ini harus dibuat sedemikian rupa agar proses interaksi belajar mengajar dapat berjalan secara efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan instruksional. Dalam penyusunan strategi belajar mengajar erat kaitannya dengan kompetensi guru. Paling tidak guru harus memiliki dua modal dasar, yakni kemampuan mendesain program dan keterampilan mengkomunikasikan program ini kepada siswa. Masalah kompetensi ini tidak semua guru dapat menguasainya dengan baik. Jangankan untuk guru yang belum profesional, guru yang sudah profesional dan pengalaman mengajarnya cukup lama belum tentu dapat menguasainya dengan baik. Namun penguasa88
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
an dengan baik belum tentu dalam melaksanakannya ke dalam proses interaksi belajar mengajar dengan baik pula, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Karena itulah, kompetensi guru bukanlah suatu masalah yang berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, yakni latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar. Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi guru ini erat kaitannya dengan masalah prestasi belajar siswa. Kompetensi guru salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa. Karena itu, kualitas kompetensi guru mempunyai peranan yang penting dalam proses interaksi belajar mengajar. Ini berarti berkualitas tidaknya prestasi belajar siswa, kompetensi guru ikut menentukan selain ditentukan oleh faktor-faktor lainnya, seperti lingkungan keluarga, fasilitas, inteligensi, dan minat siswa itu sendiri sebagai individu. Kehadiran kompetensi guru dalam proses interaksi belajar mengajar tidak lebih dari sebagai alat motivasi ekstrinsik guna memberikan dorongan dari luar diri setiap siswa. Berbagai usaha dilakukan guna memberikan penguatan terhadap motivasi belajar siswa. Tujuan pengajaran disusun dengan sistematis, lingkungan diciptakan dengan baik guna mendukung proses interaksi belajar mengajar yang kondusif. Itu semua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari semua tugas guru sebagai pendidik berdasarkan tuntutan hati nurani. Sardiman (1988) menyatakan dalam pengelolaan interaksi belajar mengajar, guru harus menyadari bahwa pendidikan tidak hanya dirumuskan dari sudut normatif, pelaksanaan interaksi belajar mengajar adalah untuk menanamkan suatu nilai ke dalam diri siswa. Sedangkan proses teknik adalah sebuah kegiatan praktis yang berlangsung dalam suatu masa untuk menanamkan nilai tersebut ke dalam diri siswa, yang sekaligus untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Akhir dari proses interaksi belajar mengajar diharapkan siswa merasakan perubahan-perubahan dalam dirinya. Untuk memahami perubahan-perubahan yang terjadi itu dapat dilihat dari jangkauan kemampuan seperti domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotoris. Penanaman nilai-nilai inilah yang menjadi tujuan sentral dalam proses interaksi belajar mengajar. Hal ini tidak mudah dilakukan bila guru tidak memiliki kompetensi. Di sinilah kompetensi diperlukan dalam pengelolaan interaksi belajar mengajar. Bila seorang guru berhasil mengelola interaksi belajar mengajar, tujuan instruksional pun akan tercapai. Keberhasilan ini akan terlihat dalam bentuk prestasi belajar siswa, setelah diadakan evaluasi, baik dalam bentuk tes formatif maupun tes sumatif.
89
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
2. Komponen interaksi belajar mengajar. Dalam interaksi belajar mengajar, seorang guru sebagai pengajar akan berusaha secara maksimal dengan menggunakan berbagai keterampilan dan kemampuannya agar anak mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu guru harus dapat menciptakan situasi di mana agar anak dapat belajar, sebab sebenarnya proses belajar mengajar itu belum dapat dikatakan berakhir kalau anak belum dapat belajar dan belum mengalami perubahan tingkah laku. Karena perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Perubahan tingkah laku, dapat diartikan perubahan-perubahan yang mencakup tiga aspek tingkah laku manusia, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotor. Misalnya, dari belum mengetahui menjadi dapat mengetahui, dari belum mengerti menjadi mengerti sesuatu, dari belum terampil membuat sesuatu menjadi terampil membuat sesuatu, dan seterusnya. Seorang guru keterampilan, misalnya, sedang mengajarkan tentang bagaimana cara membuat keset, maka proses belajar mengajarnya belum dapat dikatakan berakhir apabila anak belum mampu membuat keset. Namun kadang-kadang guru mempunyai anggapan lain, dia merasa sudah berakhir proses belajar mengajarnya apabila sudah menjelaskan semua materi yang berkaitan dengan bagaimana cara membuat keset. Akhirnya pada saat guru tersebut menilai hasil belajar siswa, dia merasa kecewa karena anak didiknya sebagian besar mendapat nilai kurang. Dari contoh di atas kiranya jelaslah bahwa anggapan guru tersebut menunjukkan bahwa proses belajar bukan bertujuan pada adanya perubahan tingkah laku anak, tetapi masih berorientasi pada bahan (materi). Seolah-olah berakhirlah interaksi belajar mengajarnya kalau sudah menjelaskan semua materinya tetapi, tidak melihat apakah siswanya sudah menguasai materi itu atau belum menguasai. Menurut Hasibuan dan Moerdjiono (1986), di dalam interaksi belajar mengajar ada beberapa komponen yang harus dipenuhi, yaitu: (1) tujuan interaksi belajar mengajar yang diharapkan, (2) bahan (pesan) yang akan disampaikan pada anak didik, (3) pendidik dan si anak didik (terdidik), (4) alat/sarana yang digunakan untuk menunjang tercapainya tujuan, (5) metode yang digunakan untuk menyampaikan bahan (materi), dan (6) situasi lingkungan untuk menyampaikan bahan agar tercapainya tujuan. Di samping beberapa komponen di atas, maka dalam interaksi belajar mengajar masih perlu disertai dengan beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru. Coopered (dalam Soetomo, 1993) menyebutkan empat bidang kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan interaksi belajar mengajar, yakni: 1) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia dan mampu menerjemahkan teori-teori itu ke dalam situasi yang riil dalam belajar mengajar, 90
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
2) mempunyai sikap yang tepat terhadap diri sendiri, siswa, teman sejawat, sekolah, dan bidang studi yang dibina, 3) menguasai bidang studi yang diajarkan, dan 4) mempunyai keterampilan teknis dalam mengajar, antara lain keterampilan merencanakan pelajaran, bertanya, menilai pencapaian siswa, menggunakan strategi mengajar, mengelola kelas, dan memotivasi siswa. Dari beberapa komponen dan kompetensi di atas, maka jelasnya bahwa untuk melaksanakan interaksi belajar mengajar, seorang guru tidak hanya semata-mata membutuhkan kepandaian atau keahlian di bidang materi yang diajarkan saja, artinya tidak semua orang ahli dapat melaksanakan interaksi belajar mengajar dengan baik, misalnya, seorang ahli hukum belum tentu dapat menjadi guru ilmu hukum yang baik, seorang ahli tari belum tentu bisa menjadi guru tari. Mereka masih dituntut dengan beberapa kemampuan misalnya bagaimana cara menguasai siswa, bagaimana memilih metode yang tepat untuk menyampaikan materi yang disesuaikan dengan taraf perkembangan anak, bagaimana cara melaksanakan penilaian terhadap keberhasilan siswa, dan masih banyak kemampuan yang diperlukan agar pengajaran dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Pada prinsipnya, interaksi belajar mengajar membutuhkan adanya perencanaan dan persiapan yang matang, baik perencanaan dan persiapan secara tertulis maupun perencanaan dan persiapan diri. Karena perencanaan dan persiapan yang matang akan mengurangi hambatan-hambatan yang muncul dalam proses belajar mengajar, bahkan akan lebih memotivasi anak untuk melakukan belajar secara efektif dan efisien. Perencanaan dan persiapan itu harus dihubungkan dengan komponen-komponen interaksi belajar mengajar, yakni: 1) Apakah tujuan yang hendak dicapai dalam proses belajar mengajar? Dalam hal ini guru harus menyiapkan seperangkat tujuan pengajaran yang dapat diukur setelah berakhirnya proses belajar mengajar, sehingga dapat diketahui perubahan tingkah laku yang bagaimana yang terjadi pada anak setelah berakhirnya proses belajar mengajar. Tujuan pengajaran yang diterapkan oleh guru akan mempengaruhi terhadap jenis metode yang digunakan, sarana prasarana, dan lingkungan belajar mengajarnya. Dan perbedaan tujuan pengajaran akan berbedalah metode, sarana, dan lingkungan belajar mengajarnya. Hal inilah yang menunjukkan keunikan dan kekomplekan sistem pengajaran. 2) Bahan yang bagaimana yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar? Bahan (materi) itu tentunya dipilih dan disesuaikan dengan bahan yang dapat menunjang tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. 91
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
3) Kepada siapa bahan itu disampaikan? Ini melibatkan murid yang bagaimana yang mengalami proses belajar, bagaimana tingkat pemahamannya, bagaimana tingkat perkembangannya. Sehingga bahan dan tujuan proses belajar mengajar harus disesuaikan dengan keadaan muridnya, baik kebutuhannya, minatnya, tingkat kematangannya, dan perbedaan dari masing-masing murid. 4) Bagaimana prosedur pelaksanaan proses belajar mengajar? Dalam hal ini melibatkan metode yang bagaimana yang akan digunakan, kegiatan apa yang akan dilakukan, situasi lingkungan yang bagaimana dan sarana dan prasarana mana yang digunakan, sehingga guru harus menentukan strategi yang bagaimana yang dapat digunakan agar tujuan pengajaran dapat dicapai oleh siswa. 5) Alat yang bagaimana yang dapat menilai keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran yang diharapkan? Untuk itu guru dapat melakukan teknik penilaian tes dan teknik penilaian non-tes, yang masing-masing mempunyai objek penilaian yang berbeda. Penilaian dengan tes apabila guru ingin menilai kemampuan hasil belajar siswa, yang berhubungan dengan aspek kognitif dan psikomotor, sedangkan penilaian dengan non-tes biasanya dilakukan apabila guru ingin menilai aspek afektif dari hasil belajar siswa, untuk melihat bagaimana sikap, tingkah laku, dan kepribadian siswa dalam proses belajar mengajar. 3. Peranan guru dalam belajar mengajar. Pada proses pelaksanaan pendidikan di sekolah, guru mempunyai empat peranan yang utama dalam membimbing anak agar mencapai tujuan yang diharapkan, di mana semuanya sangat menentukan terhadap keberhasilan anak dalam mencapai tujuan adanya perubahan tingkah laku siswa sebagai hasil belajar. Menurut Soetomo (1993), peranan utama guru dalam proses pendidikan di sekolah itu adalah: guru sebagai pendidik, guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing, dan guru sebagai administrator. a. Guru sebagai pendidik. Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha orang dewasa secara sadar untuk membantu seseorang agar menjadi dewasa, baik dewasa jasmani maupun dewasa rohani. Pada proses pendidikan di sekolah, seorang guru tidak saja sebagai pengajar di depan kelas, tetapi lebih penting dari itu bahwa seorang guru harus berusaha membimbing siswa-siswanya untuk mencapai ke arah kedewasaan. Kedewasaan ini dapat diartikan dewasa jasmani apabila anak sudah mencapai usia 18 ke atas, namun dewasa secara rohani dapat digolongkan pada dewasa secara moral, sosial, estetis, religius, kecerdasan, dan rasa tanggungjawab. Proses pendidikan akan mengarah kepada pembentukan sikap dan tingkah laku, serta kepri92
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
badian yang utuh, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu pembentukan tingkah laku, hubungan sosial, nilai, kebiasaan, kecerdasan, keterampilan, perasaan, dan kepribadian secara menyeluruh. b. Guru sebagai pengajar. Sebagaimana telah dibahas pada paragraf terdahulu, bahwa tugas guru sebagai pengajar adalah mengorganisasikan dan mengelola semua komponen dan kompetensi belajar mengajar sehingga terjadinya proses belajar pada diri anak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengajaran yang dipermasalahkan adalah bagaimana agar anak dapat belajar, jadi yang penting bukan apa yang dilakukan guru, melainkan apa yang dapat dilakukan anak didik setelah dia mengikuti kegiatan pengajaran tertentu. Dalam pengertian ini proses belajar tidak hanya terjadi karena guru menerangkan atau menyampaikan materi kepada anak, tetapi dapat juga terjadi karena ada interaksi aktif anak didik dengan sumber belajar yang ada di lingkungannya. Namun demikian, peranan guru sebagai pengajar tidak dapat diabaikan, karena guru selalu berusaha memanipulasikan sumber belajar di lingkungan anak didik supaya terjadi interaksi belajar yang terarah antara anak didik dengan lingkungannya, sehingga tujuan pengajaran dapat tercapai. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru sebagai pengajar, yaitu: 1) Guru harus berusaha membangkitkan motivasi pada diri anak. Untuk membangkitkan motivasi anak dalam belajar, guru dapat menjelaskan pelajarannya dengan cara yang sistematis, bahasa yang sederhana yang dapat dengan mudah dimengerti oleh anak. 2) Guru hendaknya membuat struktur pengajaran yang sistematis. Dalam hal ini guru hendaknya memerinci pengajarannya terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, bagian inti, dan bagian penutup. 3) Guru harus dapat memahami dan menghormati murid. Setiap anak didik mempunyai perbedaan-perbedaan, dan guru harus memahami dan menghormati setiap perbedaan itu. 4) Guru harus percaya pada anak bahwa anak mempunyai potensi (kemampuan) untuk berkembang. Pada dasarnya setiap anak yang belajar mempunyai kemampuan untuk dapat berkembang, oleh karena itu guru harus memberi kesempatan pada setiap muridnya untuk mengembangkan potensinya. 5) Menyesuaikan bahan dan metode dengan kesanggupan anak didik. Setiap anak dalam kelas mempunyai kesanggupan yang berbeda-beda dalam setiap hal. Biasanya guru berusaha menyesuaikan pelajarannya dengan kesanggupan rata-rata anak dalam kelas. 6) Meningkatkan kadar CBSA, dan tidak hanya memberi informasi dengan kata-kata belaka. Dalam dunia pendidikan pada dasa warsa terakhir ini, mengalami beberapa perubahan sistem, termasuk usaha meningkatkan cara belajar siswa dalam proses belajar mengajar. 93
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
7) Guru membuat perencanaan dan persiapan yang matang sebelum mengajar, baik perencanaan dan persiapan secara tertulis maupun perencanaan dan persiapan diri. 8) Guru dapat memanfaatkan media pengajaran yang sesuai dengan tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Dalam memanfaatkan media pengajaran, tidak dapat dilihat dari mahalnya alat yang digunakan, tetapi apakah media itu dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. 9) Memberi hukuman yang bersifat mendidik bagi siswa yang melakukan perbuatan salah dan memberi hadiah kepada siswa yang melakukan perbuatan yang terpuji. c. Guru sebagai pembimbing. Dalam interaksi belajar mengajar, tugas guru tidaklah terbatas pada sekadar menyampaikan materi kepada anak, akan tetapi lebih dari itu adalah bahwa seorang guru harus berusaha membimbing anak didiknya. Kesulitan-kesulitan dan hambatan siswa dalam belajar hendaklah merupakan tantangan bagi guru untuk berusaha membantu memecahkannya. Untuk itu guru harus dapat membimbing anak secara individual, sesuai dengan perbedaan anak meliputi perbedaan bakat, minat, cara belajar, kecerdasan, kemampuan, kebiasaan, tingkah laku dan kepribadian masing-masing anak. Sehingga dengan bimbingan guru ini diharapkan anak dapat memahami dan menerima masalah-masalahnya serta dapat memecahkan masalahnya sendiri, yang kemudian dapat mengembangkan potensi atau kemampuan yang dimiliki secara optimal. d. Guru sebagai administrator. Proses interaksi belajar mengajar dalam kelas akan membutuhkan suatu koordinasi, kerja sama, dan pengelolaan. Sehingga semua siswa secara maksimal dapat diarahkan pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dan seorang guru yang bijaksana akan selalu memperhatikan dan mengelola semua komponen yang ada di dalam kelas, mulai dari anak didik, alat-alat pelajaran, daftar siswa, jurnal mengajar, masalah kedisiplinan dan keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran. Simpulan Komunikasi dalam pendidikan merupakan proses penyampaian pesan yang terkait dengan material pembelajaran kepada penerima pesan secara kondusif. Makna pesan yang disampaikan oleh komunikator harus setara dengan makna yang diterima oleh komunikan. Komunikasi yang baik, merupakan persyaratan yang utama untuk terjadinya proses interaksi dalam proses pembelajaran. Interaksi pembelajaran merupakan hubungan antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan, dan siswa dengan sumber belajar. Komunikasi dalam interaksi pembelajaran dapat berlangsung secara inter-personal dan intra-personal. 94
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
Daftar Pustaka Amir, M. Taufiq. 2010. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pebelajar di Era Pengetahuan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Aryantini, Ketut. 2010. Teknologi Komunikasi dalam Pendidikan. Denpasar: Bali Post Offset. Djamarah, Syaiful Bahri. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional. Effendy, Onong Uchjana. 2005. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja RosdaKarya. -------. 1981. Dimensi-Dimensi Komunikasi. Bandung: Alumni. Hasibuan, J.J. dan Moedjiono. 1986. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Karya. Indrayanto. 2011. Komunikasi dalam Pendidikan. Dalam http://id.shvoong.com/socialsciences/education/2025197-pengertian-komunikasi-dalampendidikan/#ixzz1gs3rsutI. Diakses Tanggal 7 Desember 2011. Sardiman, A.M. 1988. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar: Pedoman bagi Guru dan Calon Guru. Jakarta: Rajawali Pers. Soetomo. 1993. Dasar-Dasar Interaksi Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional. Suparno, Paul et al. 2002. Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Kanisius.
95
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012