KOMUNIKASI PERSUASIF

Download Key Word : Komunikasi, Persuasi, Perubahan Sikap ... merumuskan persuasi sebagai: “Komunikasi manusia yang dirancang .... dalam jurnal prof...

2 downloads 727 Views 109KB Size
KOMUNIKASI PERSUASIF Priyandono WA Staf Pengajar Fisip Unisri Abstract Conventional views about the development of persuasion research is still limited (1) is linear and is not directed at the source of the active set messages with the intent to influence attitudes and / or behavior of the recipient, (2) the context of the situation for many people, (3) to give attention to the actions and problem to understand the comprehensive approach to persuasive communication, (4) researchers put a change in attitude of persuasion as an important measure of the effect of persuasion. An expanded view of persuasion not only requires the researcher to test the mutual influence, but also must recognize that persuasion transaction is an important issue in any social situation Key Word : Komunikasi, Persuasi, Perubahan Sikap Pendahuluan Untuk memulai memahami persuasi, bisanya orang mencoba meliat definisi Persuasi, Ronald L. Applbaum dan Karl W.E. Anatol (1974: 12), mendifinisikan Persuasi sebagai ”complex process of communication by which one individual or group a specific response from another individual or group” (Persuasi adalah proses komunikasi yang kompleks ketika individu atau kelompok mengungkapkan pesan (sengaja atau tidak sengaja) melalui cara-cara verbal dan non verbal untuk memperoleh respons tertentu dari individu atau kelompok lain). Sementara itu, Bettinghous merumuskan persuasi sebagai: “Komunikasi manusia yang dirancang untuk mempengaruhi orang lain dengan usaha mengubah keyakinan, nilai, atau sikap mereka.” Winston Brembeck dan William Howell dalam persuasion

mendifinisikan sebagai : A Means of Social Change (1952), atau sebagai: “Usaha sadar untuk mengubah pikiran dan tindakan dengan memanipulasilan motif-motif orang ke arah tujuan yang sudah ditetapkan.” Pada 1970, kedua Profesor komunikasi ini mengubah pendapatnya, dengan merumuskan persuasi sebagai: “Communication intended to influence choice” (Komunikasi yang menarik, dirumuskan Burke yang dikutip Larson dalam persuasion, 1986, bahwa persuasi dipandang sebagai: “The concretion of a state of identification or alignment between a source and a receiver that results from the use of symbols.” (Penciptaan bersama dari suatu pernyataan identifikasi atau kerjasama di antara sumber pesan dengan penerima pesan yang diakibatkan oleh penggunaan simbol-simbol). Dari beberapa definisi yang dikutip di atas, tampaknya terdapat dua orientasi paradigmatis yang cukup menonjol diamati. Pertama, ada

rumusan-rumusan persuasi yang menitikberatkan pada orientasi sumber atau persuader. Orientasi paradigmatis ini memandang proses persuasi sebagai sesuatu yang linear dan satu arah. Kecenderungan orientasi ini melihat khalayak yang dipersuasi (persuader) sebagai benda tak berdaya, atau pasif, yang siap menerima manipulasi peran dari para pembujuk, tanpa melibatkan konteks, dinamika, dan umpan balik penerima pesan. Sedangkan orientasi kedua, cenderung melihat persuasi sebagai hasil dinamika aktif dari sumber pesan dan penerima pesan. Komunikasi tidak dipandang sebagai sesuatu yang linear, tetapi bersifat circular, yang sangat memperhatikan umpan balik, konteks, dan aktivitas si penerima pesan. Antara pemberi pesan dan penerima pesan terjadi proses saling mempengaruhi melalui interaksi dan interelasi antar sesama.

untuk mencapai hasil terbaik-guna membentuk dan mengubah partisipan yang menerima.” Dengan demikian, cara biasa untuk memfokuskan masalah penelitian atau diskusi di kelas mengenai komunikasi persuasif adalah memperhitungkan efek karakteristik sumber atas hasil persuasi, efek strategi pesan atas hasil persuasi, efek saluran alternatif atas hasil persuasi, efek karakteristik penerima pesan atas hasil persuasi, dan sebagai desain penelitian yang terus berkembang makin canggih, efek konjungtif dari dua kelas variabel atau lebih ini atas hasil-hasil persuasi. Selalu, penyebab secara konseptual mendahului sumber, pesan, saluran dan variabel penerima, sedangkan efek diukur dalam kaitan pengaruh sikap dan atau perilaku tertentu, pelaku persuasi bertindak dan orang yang dipersuasi bereaksi (Miller, 1974).

Persuasi Sebagai Kegiatan Komunikasi Tak Terarah Dan Linear

Persuasi Sebagai Kegiatan Komunikasi Dari Seorang Ke Banyak Orang

Kebanyakan peneliti mendekati persuasi dari sudut pandang yang bersifat linear dan tak terarah pada sumber yang aktif menyusun pesan dengan maksud mempengaruhi sikap dan/atau perilaku penerima pesan yang relatif pasif. Dengan perkataan lain, penekanan diberikan kepada faktor-faktor yang memudahkan atau menghambat kemampuan satu pihak memaksakan pengaruh pada pihak lainnya, atau seperti ditegaskan oleh Lin (1977, hlm. 56) ketika menjelaskan perspektif direktif terhadap penelitian komunikasi, “Tujuan pokok sudah jelas yakni menentukan paduan direktif

Hal yang berkaitan erat dengan karakteristik kebanyak penelitian persuasi adalah kebergantungannya atas konteks situasi seorang ke banyak orang. Dalam studi persuasi tradisional, sekelompok penerima/orang yang dipersuasi relatif besar seperti mahasiswa dalam satu kelas, perkumpulan sebuah seminar dan sebagainya yang diterpa pesan yang berasal dari sumber individu atau institusional tertentu. Dengan beberapa pengecualian, pandangan “transaksi” dipresentasikan secara langsung. Namun demikian, orang yang dipersuasi membaca pesan itu atau

melihat dan/atau mendengarnya melalui pita audio atau video, prosedur yang menjaga setiap pengaruh timbal-balik bermakna oleh khalayak. Setelah terpaan pesan mereka yang dipersuasi menanggapi beberapa tingkatan efek persuasi, biasanya penelitian perubahan sikap yang sangat umum. Karena itu, keseluruhan upaya yang amat mirip dengan latar pidato atau media massa sekalipun di sini tidak sempurna betul, karena di sini kesempatan sedikit untuk jenis-jenis efek fasilitasi sosial khalayak sebagai satu hal yang diharapkan dalam latar komunikasi kehidupan nyata. Dengan meningkatnya minat terhadap komunikasi interpersonal, para peneliti komunikasi semakin menyadari keterbatasan potensial konteks situasi dari seorang ke banyak orang. Di mana pun salah seorang diantara kita ditawari penilaian atau pendekatan berikut: Kecenderungan umum menggunakan situasi pidato untuk pengujian hipotesis sebagian besar bersumber dari kepedulian historis disiplin ini. Akan tetapi, ketika seseorang merefleksikan transaksi komunikasi yang melibatkan banyak orang, jelasnya bahwa hanya kecil persentasenya yang melewati periode panjang tanpa terputus wacana yang diarahkan pada khalayak sasaran yang besar. Dalam dialog diadik yang memberi dan menerima arus komunikasi kelompok kecil .. seseorang menemukan aksi komunikasi. (Miller, 1972 b, hlm. 397). Diterapkan secara spesifik terhadap persuasi, penilaian ini

menunjukkan bahwa kebanyakan pengaruh sosial berusaha mengambil tempat dalam konteks situasi satu-ke-satu atau satu-ke-beberapa, tidak dalam bentuk latar khalayak komunikator yang menjadi ciri kebanyakan penelitian komunikasi. Lebih jauh, konteks satu-ke-satu dan satu-ke-beberapa berbeda dari situasi satu-ke-banyak yang dalam banyak hal menyiratkan keraguan pada pembuatan generalisasi temuan yang diperoleh dengan latar yang disebut terakhir. Konsekuensinya, dengan tidak mengabaikan manfaat ilmu pengetahuan, hasil kebanyakan penelitian persuasi tradisional masih terbatas. Persuasi Sebagai Kegiatan Yang Terpusat Pada Tindakan Atau Terpusat Pada Persoalan Sepintas, mungkin kelihatannya memberikan perhatian pada tindakan dan persoalan merupakan landasan untuk memahami pendekatan komprehensif pada komunikasi persuasif. Akan tetapi, dalam pemikiran sesaat ditunjukkan bahwa begitu banyak orang yang mengerahkan lebih banyak energi persuasifnya untuk menjual dirinya sendiri, dan sebagian dengan tindakan atau kebijakan, manusia pada hakikatnya merupakan arus utama persuasi sungguhpun tentu saja, istilah “tindakan” dirumuskan cukup luas untuk mencakup hal lain secara spesifik. Diungkapkan dalam bahasa sehari-hari penelitian persuasi tradisional, sikap relevan yang menyangkut aspek kognitif, efektif, dan

perilaku orang yang persuasi (persuade) terhadap orang lain lebih mendapat perhatian dibandingkan dengan pandangan mereka tentang beberapa tindakan atau kebijakan. Untuk lebih menyakinkan lagi, penelitian persuasi tradisional dengan jelas menunjukkan perhatian terhadap sikap manusia, seperti diperlihatkan begitu banyak literatur yang berkaitan dengan kredibilitas komunikator (seperti Hovland dan Weiss, 1951, McCroskey 1966, Berlo, Lemert & Mertz, 1970). Dengan beberapa pengecualian, kredibilitas dipandang sebagai faktor antesenden variabel bebas yang mempengaruhi hasil persuasi dan tidak dipandang sebagai hasil persuasi yang penting untuk dikaji dengan caranya sendiri. Akibatnya, beberapa peneliti persuasi rupanya diperdayakan soal kredibilitas dibandingkan dengan mengetahui soal yang aktual. Akhirnya, baik secara umum maupun secara khusus persuasi cukup membantu menemukan bahwa komunikator yang kompeten, terpercaya, dinamis, dan tidak kompeten, tak terpercaya, dingin dan antisosial. Karena itu, daripada membutuhkan data mengenai proses pembentukan kredibilitas, persuasif lebih banyak membutuhkan strategi pesan verbal dan non verbal yang dapat digunakan untuk memperbesar persepsi pribadi yang lebih menyenangkan sebagai bagian dari lainnya. Mengapa kurangnya perhatian terhadap situasi persuasi yang berorientasi pada pribadi ini hasilnya menyumbangkan jelasnya penurunan

penelitian sepanjang dekade lalu? Sederhana saja, persoalan yang berkaitan dengan bidang ini ditelaah oleh para peneliti yang mengambil komseptualisasi peneliti lainnya untuk menggambarkan karya-karyanya: persepsi pribadi, atraksi internasional, pembentukan konsep diri, dan yang semacamnya. Bahkan, daftarnya bisa dibaca menyerupai ringkasan topik-topik penelitian kontemporer terbaru dalam bidang spikologi sosial. Namun demikian, seperti “atraksi internasional” dan “persuasi” jauh dari sinonim yang sempurna, istilah yang disebut pertama, tak pelak lagi, mencakup fenomena yang berada di luar wilayah istilah yang disebut kemudian. Akan tetapi, anggapan umum dan penulis seperti Goffman (1959) benar-benar di luar batas, orang menghabiskan waktunya yang berharga untuk mencoba membujuk orang lain agar menanggapi mereka sebagai orang yang atraktif, individu yang secara sosial disenangi, mereka dengan sengaja memilih strategi verbal dan nonverbal tertentu untuk memaksimalkan penciptaan kesan yang kiranya menyenangkan. Upaya seperti itu tidak hanya bisa, tetapi hendaknya dipertimbangkan sebagai permainan yang fair untuk peneliti persuasi. Persuasi Sebagai Kegiatan Yang Terpusat Pada Perubahan Sikap Begitu besar kecenderungan para peneliti persuasi menempatkan perubahan sikap sebagai tokol ukur penting efek persuasi sehingga istilah “persuasi” dan “perubahan sikap” seolah-olah sinonim. Hal yang

mendasari kuatnya perhatian terhadap perubahan sikap adalah anggapan bahwa sikap merupakan pendahulu motivasional perilaku. Karena itu, pesan yang akan membawa perubahan sikap terhadap tindakan atau persoalan hendaknya pertama berkaitan dengan sikap yang sejalan dengan perilaku.. Seringkali apa yang tampaknya merupakan kredo metodologis yang benar-benar bisa dimengerti untuk para pelopor penelitian persuasi selalu gagal menghadapi masa-masa sulit secara empiris. Sejumlah besar literatur mengenai persoalan antara sikap dan perilaku (seperti La Piere, 1934, Campbell, 1963, DeFleur dan Westie, 1963, Liska, 1975, Seibold, 1975, Ajzen dan Fisbein, 1977) cukup diakrabi sebagian besar pembaca dan sebagian kecil lagi pembaca memperolehnya dari ringkasan buku-buku itu. Cukuplah untuk mengatakan, setiap hubungan yang ada antara sikap dan perilaku atau lebih tepat dinyatakan, antara kertas dan pensil pengukur perubahan sikap dan pandangan lain mengenai sejalannya sikap dan perilaku (Miller, 1967) jauh dari jelas. Bahkan, dalam sejumlah studi terakhir sekalipun, hanya ada sedikit studi yang berupaya menunjukkan adanya hubungan seperti itu, dan seperti dicatat Festinger (1964) upaya-upaya tersebut tak banyak berhasil. Fakta bahwa manusia mungkin mengubah pemberian tandanya pada beberapa skala pengukuran sikap mengikuti terpaan pesan-pesan persuasif tidak lantas berarti hasilnya merupakan kesimpulan terpercaya cara manusia

berperilaku sebagai kebalikan sikap-obyek dalam situasi lain. Kegagalan secara meyakinkan menunjukkan hubungan yang relatif konsisten antara pengukur efek yang secara tipikal dipergunakan dalam penelitian dengan pengukuran efek yang biasanya diperhatikan para praktisi persuasi dalam situasi sosial aktual. Kegagalan juga menyebabkan sejumlah akademisi komunikasi mempertanyakan manfaat sosial dan penelitian ilmiah persuasi tradisional. Tuduhan seperti itu tarafna baru sampai pada pembicaraa biasa di ruangan bar atau di kantor dan bukan dalam jurnal profesional. Tidaklah biasa mendengarkan ada kolega yang membicarakan mandulnya kebanyakan studi persuasi. Menunjuk pada kekosongan dalam penelitian perubahan sikap pada kurun waktu 19201945, Mv Guire (1969) menumpahkan kesalahannya pada upaya yang terlalu mengelaborasikan konsep. Kami yakin menurunnya penelitian komunikasi antara tahun 1968-1977 sebagian bisa dihubungkan dengan meningkatnya kekecewaan terhadap pengoperasian “hukum intrumental” yang “memberi anak kecil sebuah palu dan si anak itu akan mengetahui bahwa segala hak yang dijumpainya bisa dipukul dengan palu tersebut.” (Kaplan, 1964, hlm. 28). Selain semua “pukulan” yang dilakukan para peneliti persuasi dengan menggunakan skala-skala Guttman, Likert dan perbedaan-perbedaan semantis, sebuah bangun penelitian yang secara teoritis

dan sosial penting, pertumbuhannya lamban. Secara keseluruhan, keempat faktor yang telah dibicarakan di atas menyumbang pada pemiskinan pemandangan mengenai penelitian persuasi, dan konseptual kabanyakan pengkaji komunikasi. Salah satu cara untuk memecahkan ketidak sesuaian tersebut tentu saja, akan menghapuskan wilayah penelitian persuasi sebagai sebuah kajian empiris yang penting dalam dunia komunikasi. Solusi ini membuat kami, tidak secara sosial pada kegiatan komunikasi. Berikutnya, yang merupakan alternatif yang lebi bersifat pembelaan yaitu mengambil pandangan tentang proses persuasi yang agak luas, untuk mengendurkan kekangan yang dipaksakan oleh perumusan persuasi yang sebagian besar dilakukan dalam artian paradigma, dan praktik yang sudah dilakukan para peneliti persuasi. Pendekatan seperti itu tidak hanya menghasilkan kekukuhan konseptual yang lebih besar, tetapi juga memungkinkan pengidentifikasian wilayah-wilayah tempat upaya penelitian dan teoritis relevan dengan komunikasi persuasif yang kini dilakukan. Unsur-Unsur Pandangan Yang Lebih Luas Mengenai Proses Persuasi Pandangan yang diperluas mengenai persuasi tidak hanya mengharuskan pengaruh timbal-balik, tetapi juga mesti mengakui bahwa transaksi persuasi merupakan bumbu yang penting dalam setiap situasi sosial. Seperti telah di tunjukkan,

penelitian persuasi tradisional terlalu memfokuskan latar komunikasi satu arah secara eksklusif sehingga persuasi tampak seperti endemis dalam konteks retorika dan media massa. Sungguh pun penemuan dalam studi-studi ini menghasilkan informasi yang berharga, para penelitian komunikasi persuasif hendaknya juga mengkaji di dalam kelompok kecil dan dalam komunikasi diadik. Memang, penelitian seperti ini bisa membutuhkan banyak biaya dan menghabiskan banyak waktu. Salah satu alasan popularitas penelitian persuasi tradisional berkaitan dengan kemudahan dalam pengumpulan data. data tersebut tidak dipandang bersifat sangat merendahkan untuk menunjukkan bahwa kebanyak studi persuasi bersifat “tergesa-gesa dan tidak murni”. Sebaliknya, observasi atas interaksi diadik dan kelompok kecil menuntut lebih banyak waktu dan upaya peneliti, khususnya bila pertukaran pesan merupakan obyek penelitian yang bisa berjalan bebas, bukan sebagai variabel bebas yang dipegang secara konstan dan aman untuk satu atau dua dimensi yang relevan. Di samping menambah kesulitan yang dihadapi, pendekatan sebelumnya itu rupanya cukup berfaidah seperti dinyatakan Hawes (1977), banyak sekali karya deskriptif yang dibutuhkan guna mengidentifikasikan jenis-jenis pesan yang dipergunakan manusia ketika berusaha mempengaruhi orang lain dalam situasi tatap muka. Pandangan yang diperluas mengenai persuasi pun menunjukkan bahwa para peneliti hendaknya

memberikan perhatian yang lebih besar pada pesan-pesan persuasi yang tujuannya membangkitkan sikap yang lebih menyenangkan terhadap komunikator sendiri, yakni dalam komunikasi yang berusaha meningkatkan kredibilitas komunikator atau daya tarik interpersonal. Sebagaimana telah kami katakan, upaya komunikasi untuk memperkaya daya tarik atau kredibilitas dapat dipandangan baik sebagai legitimasi atas tujuan-tujuan persuasif dalam pandangannya sendiri (seperti tatkala komunikator hanya sekedar hendak membuat orang lain bersikap lebih positif terhadap dirinya) maupun sebagai cara yang esensial untuk mencapai tujuan yang persuasif (seperti tatkala pengaruh bergantung pada adanya ancaman dan janji yang bisa dipercaya). Dalam hal lain, pendekatan tradisional yang mendaftar sejumlah sifat yang menunjang persepsi kredibilitas yang positif, jelas itu tidak memadai dipergunakan untuk membantu mengembangkan persepsi positif tersebut. Nasehat terbaik yang diberikan penelitian persuasif tradisional yang ditawarkan adalah menjadi orang yang kompeten, terpercaya, dan dinamis sehingga dia bisa memersuasi secara baik, dan menetapkan bahwa yang pertama harus dilakukan adalah membangun kredibilitas. Unsur terakhir pandangan yang diperluas mengenai persuasi menyangkut meningkatnya perhatian pada hasil persuasi lebih dari sekedar perubahan sikap. Tidak ada alasan yang tepat mengapa para peneliti harus

meneruskan katerbatasan cakrawala investigatifnya pada variabel dependen ini, khususnya dalam pandangan yang meneruskan skeptisisme kekuatan sosial dan ilmiahnya. Kebanyakan tujuan komunikasi persuasif ada pada taraf mempengaruhi perilaku nyata (overt), bukan hanya sekedar mempengaruhi perubahan disposisi motivasional yang dinamakan “sikap” yang tidak bisa diamati. Bahkan, seringkali hal ini menunjukkan bahwa perilaku sering kali membentuk dan mengarahkan sikap. alasan bahwa bukti terbaik atas bagaimana kita merasakan sesuatu (yakni sikap kita) sering kali menentukan cara kita berperi laku dalam menghadapinya. Pendekatan pada persuasi ini secara tidak langsung menyatakan bahwa bila orang dapat dibujuk untuk berperilaku dengan cara tertentu, posisi yang dipegangnya bisa bersifat baik behavioristik radikal (seperti Skinner, 1974; Bem 1965) maupun konsisten kognitif (seperti Festinger, 1957) dalam konsepsi mengenai tindakan manusia. Larson dan Sanders (1975) pun menyerang terus berjalannya kecenderungan untuk menganggap persusai sebagai kegiatan komunikasi yang terutama berusaha mengubah kondisi motivasional manusia. Keduanya menunjukkan tujuan persuasi yang membawa pada perilaku untuk menyesuaikan dengan tuntutan dan kendala situasional. Sekalipun landasan pemikiran untuk hipotesis kesejajaran perilaku yang diajukan keduanya sangat didasari perpektif komunikasi manusia yang ditentukan oleh aturan, dasar posisi mereka

memiliki beberapa kesamaan dengan kaum behavioris masa awal yang mendukung bahwa kertas dan pensil, ukuran sikap secara verbal hendaknya dilakukan sejajar dengan tanggapan yang berhubungan dengan sikap. Lebih jauh lagi sikap dapat dikelompokkan ke dalam kontruksi disponsisional yang meneruskan kisah cintanya dengan kondisi disposisional, kontruksi yang lebih bersifat umum tersebut bisa memberikan prediktabilitas perilaku yang lebih besar. Penutup Salah satu tujuan membuat garis besar beberapa unsur penting pandangan persuasi yang diperluas adalah menunjukkan prioritas-prioritas bagi kegiatan penelitian persuasi pada masa depan. Motif uraian ini meletakkan landasan kerja untuk melakukan diskusi singkat mengenai contoh penelitian yang secara potensial signifikan, yakni penelitian yang kini banyak dilaksanakan.

Communication for Development. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co. Effendi, O.U. (1986). Dinamika Komunikasi. Bandung: Remadja Karya. Ilardo, J.A. (1981). Speaking Persuasively New York: Macmillan Publishing Co. Kotler, P. (1994). Marketing Manajemen. New Jersey: Englewood Cliffs. Larson, C.U. (1980). Persuasion, Reception and Responsibility. Belmont: Wadsworth Publishing Co. Littlejohn, S.W. (1996). Theories of Human Communication. Fifth Ed. Belmont: Wadsworth Publishing Co. Mar'at. (1982). Sikap Manusia, Perubahan, serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kepustakaan

Nothstine, W.L. (1991). Influencing Others. Crisp Publication.

Applebaum, R.L. and Anatol, K.W.E. (1974). Strategies for Persuasive Communication. Ohio: A Bell & Howell, Co.

Schramm, W. (1977). Asas-asas Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: LP3ES.

Berlo, D.K. (1974). The Process of Communication: An Introduction to Theory and Practice. New York: Holt Rinehart and Winston, Inc. Dahama O.P. dan O.P. Bhatnagar. (1980). Education and

Simons, H.W. (1976). Persuasion: Understanding, Practice, and Analysis. New York: Random House. Soleh Soemirat, H. Hidayat Satari, Asep Suryana, Komunikasi Persuasif. Jakarta: Universitas Terbuka, 2007