KULTUR ANTERA PADI PADA BEBERAPA FORMULASI MEDIA YANG

Download Jurnal Bioteknologi Pertanian, Vol. 9, No. 1, 2004, pp. 14-19. ABSTRACT ... [Kata kunci: Padi, kultur antera, poliamin, regenerasi in vitro...

0 downloads 284 Views 140KB Size
Jurnal 14 Bioteknologi Pertanian, Vol. 9, No. 1, 2004, pp. 14-19

Iswari S. Dewi et al.

Kultur antera padi pada beberapa formulasi media yang mengandung poliamin Rice anther culture in media containing polyamines Iswari S. Dewi1, Bambang S. Purwoko2, Hajrial Aswidinnoor2, dan Ida H. Somantri1 1

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 3A Bogor 16111, Indonesia 2 Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

ABSTRACT The low number of green plantlets among the regenerated plants derived from anther culture may affect the use of anther-derived haploids in breeding program of cereals. Polyamines are plant-growth substances consisting of putrescine, spermidine, and spermine. They act mainly in processes of cell division, with a broad spectrum of effects on various plant tissues. The objective of this research was to obtain kind and concentration of polyamines most efficient in green plant regeneration in rice anther culture. Taipei 309 was used as anther source. The treatments were consisted of control (N6 medium without polyamines), N6 medium + 10 -4 M or 10 -3 M putrescine, N6 medium + 10-4 or 10 -3 M spermidine, and N6 medium + 10 -4 or 10 -3 M spermine. The results showed that all three polyamines (putrescine, spermidine, or spermine) were capable in increasing number of calli, number of responding calli, number of green and total plants, ratio of green plants to number of responding calli, and percentage of green plants to number of anther inoculated. However, putrescine was more efficient than spermidine and spermine in increasing callus induction and green plant regeneration in rice anther culture of Taipei 309. The best concentration to increase green plant regeneration was 10 -3 M. [Keywords: Oryza sativa, anther culture, polyamines, in vitro regeneration]

ABSTRAK Rendahnya tanaman hijau yang dihasilkan dari kultur antera membatasi penggunaan teknik ini terutama dalam program pemuliaan serealia. Poliamin yang terdiri atas putresin, spermidin, dan spermin merupakan zat pengatur tumbuh yang bekerja terutama pada proses pembelahan sel. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan jenis dan konsentrasi poliamin yang paling efisien dalam meningkatkan regenerasi tanaman hijau melalui kalus pada kultur antera padi. Pada penelitian ini digunakan Taipei 309 sebagai sumber antera. Perlakuan terdiri atas kontrol (media N6 tanpa poliamin), N6 + 10-4 M atau 10 -3 M putresin, N6 + 10-4 atau 10-3 M spermidin, dan N6 + 10 -4 atau 10 -3 M spermin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga jenis poliamin (putresin, spermidin, dan spermin) dapat meningkatkan jumlah kalus, jumlah kalus menghasilkan tanaman, jumlah tanaman hijau dan tanaman

total, rasio tanaman hijau terhadap jumlah kalus menghasilkan tanaman, dan persentase tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasi. Namun, putresin lebih efisien dibandingkan spermidin dan spermin dalam meningkatkan induksi kalus dan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera padi Taipei 309. Konsentrasi terbaik untuk meningkatkan regenerasi tanaman hijau ialah 10 -3 M. [Kata kunci: Padi, kultur antera, poliamin, regenerasi in vitro]

PENDAHULUAN Kultur antera merupakan salah satu teknik kultur in vitro yang dapat mempercepat perolehan galur murni melalui tanaman haploid ganda langsung pada generasi pertama, sehingga biaya untuk tenaga kerja, sewa lahan, dan waktu pemuliaan lebih hemat dibandingkan pemuliaan konvensional (Dewi et al. 1996; Sanint et al. 1996). Proses kultur antera melibatkan induksi kalus dan regenerasi tanaman (androgenesis). Masalah utama dalam kultur antera serealia ialah sedikitnya tanaman hijau dan banyaknya tanaman albino yang diregenerasikan. Peningkatan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera serealia merupakan target utama karena jumlah tanaman hijau yang banyak akan mempercepat atau memperbesar peluang untuk memperoleh galur murni yang diinginkan (Dewi et al. 1996). Poliamin merupakan zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Galston dan Kaur-Sawhney 1995). Poliamin yang umum ditemukan pada tanaman adalah putresin (butan-1, 4-diamin), spermidin [N-(3-aminopropil) butan-1, 4-diamin], dan spermin [NN’-bis-(3-aminopropil) butan-1, 4-diamin]. Poliamin telah diketahui berperan dalam induksi embrio somatik pada kultur jaringan wortel (Feinberg et al. 1984, Feirer et al. 1984) dan kultur antera jagung (Santos et al. 1995). Metabolisme poliamin melalui lintasan arginin dekarboksilase (ADC) diketahui mempengaruhi pertumbuhan dan

15

Kultur antera padi pada beberapa formulasi media ...

potensi embriogenik kalus asal embrio pada kultur jaringan padi (Koetje et al. 1993). Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan jenis dan konsentrasi poliamin yang paling efisien dalam meningkatkan regenerasi tanaman hijau melalui kalus pada kultur antera padi. Sebagai sistem model padi untuk kultur in vitro digunakan Taipei 309, yaitu padi subspesies japonica yang diketahui memiliki respons yang baik (high culturability) terhadap kultur in vitro (Zapata et al. 1983).

BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan ialah antera tanaman padi Taipei 309. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 20 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas satu cawan petri berisi + 150 antera yang berasal dari 25 buah spikelet. Perlakuan poliamin diberikan pada media induksi kalus, yaitu kontrol (medium N6 tanpa poliamin), N6 + 10-4 M atau 10-3 M putresin, N6 + 10 -4 atau 10-3 M spermidin, dan N6 + 10-4 atau 10-3 M spermin. Media yang digunakan untuk induksi kalus ialah N6 yang diberi 2 mg/l NAA dan 0,5 mg/l kinetin, sedangkan media regenerasi ialah MS yang ditambahkan 0,5 mg/l NAA dan 2 mg/l kinetin. Pelaksanaan kultur antera mengikuti metode Dewi et al. (1994). Malai dikoleksi pada saat fase bunting, kemudian disimpan selama 8 hari dalam ruang bersuhu 5oC. Sebelum dilakukan inokulasi/penanaman antera, malai diseleksi untuk mendapatkan antera yang berisi butir sari/mikrospora uninukleat. Malai terpilih kemudian disterilkan dengan 20% Bayclin. Spikelet yang sudah steril dipotong sepertiga bagian dari pangkalnya dan dikumpulkan pada cawan petri steril. Masingmasing spikelet kemudian dijepit dengan pinset dan diketukkan pada tepi cawan petri yang berisi 25 ml media induksi kalus, sampai antera keluar dan jatuh ke atas media. Selanjutnya kultur diinkubasi dalam ruang gelap (25 + 2 oC) untuk menginduksi kalus dari butir sari di dalam antera. Kalus yang bertekstur kompak ukuran 1-2 mm (Sasmita et al. 2001) dipindahkan ke dalam botol kultur yang berisi 25 ml media regenerasi. Tanaman hijau yang telah mencapai tinggi 3-5 cm dipindahkan ke dalam tabung kultur yang berisi 15 ml media perakaran, yaitu MS + 0,5 mg/l IBA. Setelah akar tumbuh sempurna, tanaman siap diaklimatisasi. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah antera yang diinokulasi, jumlah antera yang membentuk kalus, jumlah kalus yang terbentuk, jumlah kalus yang menghasilkan tanaman, jumlah tanaman, jumlah tanaman hijau, dan jumlah tanaman albino.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembentukan kalus Kalus mulai terbentuk setelah kultur diinkubasi 3 minggu. Proses inisiasi dediferensiasi butir sari atau mikrospora terjadi di dalam antera yang dikulturkan in vitro. Metabolit yang dihasilkan dari tapetum akan memasuki ruang antera dan memberikan nutrisi untuk perkembangan mikrospora serta melingkupi embrio atau kalus muda yang terbentuk (Hird et al. 1994). Melalui pengamatan dengan mikroskop, tidak terdapat proliferasi pada bagian somatik, seperti dinding sel antera atau bagian lain dari antera seperti filamen. Perlakuan poliamin berpengaruh terhadap induksi kalus (Tabel 1). Di antara enam perlakuan poliamin, 10-3 M spermidin memberikan jumlah kalus tertinggi, diikuti 10-3 M putresin, 10-4 M spermin, 10-4 M putresin, dan 10-4 M spermidin. Jumlah kalus terendah terdapat pada perlakuan kontrol dan 10-3 M spermin (Tabel 1). Rendahnya jumlah kalus pada setiap cawan petri pada perlakuan 10-3 M spermin kemungkinan disebabkan oleh sulitnya senyawa tersebut larut dalam media. Hal ini terlihat dari gumpalan-gumpalan yang jelas terlihat dalam media setelah diotoklaf. Regenerasi tanaman Kalus yang diperoleh ada yang menghasilkan atau tidak menghasilkan tanaman. Pada kultur antera padi, umumnya kalus yang berpotensi embriogenik terbentuk pada 3-8 minggu setelah inokulasi antera (Chung 1992; Sasmita et al. 2001). Respons kalus dalam meregenerasikan tanaman dinyatakan dalam jumlah kalus menghasilkan tanaman. Perlakuan poliamin berpengaruh terhadap jumlah kalus menghasilkan tanaman (Tabel 1). Jumlah kalus menghasilkan tanaman tertinggi dicapai oleh perlakuan 10 -3 M putresin (10,7 kalus/petri), sedangkan terendah pada 10-3 M spermin (1,1 kalus/petri) dan kontrol (0,6 kalus/ petri). Dari kalus yang menghasilkan tanaman diperoleh tanaman hijau dan tanaman albino (Gambar 1). Pada umumnya kalus yang berwarna kekuningan akan menghasilkan tanaman hijau, sedangkan kalus yang berwarna putih menghasilkan tanaman albino. Kalus yang pertama kali muncul umumnya sangat mudah meregenerasikan tanaman hijau. Pemindahan kalus ke media regenerasi dilakukan sampai 60 hari setelah inokulasi antera. Perlakuan poliamin berpengaruh terhadap jumlah tanaman hijau (Tabel 1). Tanaman hijau terbanyak (33,4 tanaman) diperoleh dari perlakuan 10 -3 M putresin.

16

Iswari S. Dewi et al.

Tabel 1. Pengaruh poliamin dalam media induksi kalus terhadap androgenesis pada padi Taipei 309. Table 1. Effect of polyamines in callus induction media on androgenesis of Taipei 309. Perlakuan Treatment Kontrol/Control Putresin 10 -3 M Spermidin 10 -3 M Spermin 10 -3 M Putresin 10 -4 M Spermidin 10 -4 M Spermin 10 -4 M

Jumlah kalus Callus number 9,3c 32,0b 60,8a 8,2c 29,7b 24,4b 30,5b

Jumlah KMT KMT number

Jumlah TH TH number

TH (%) 1

0,8 c 33,4 a 2 8 , 7 ab 3,1 c 21,4 b 13,2 b 19,3 b

21,1 82,1 79,9 35,4 80,8 50,8 67,7

0,6 c 10,7 a 9 , 8 ab 1,1 c 7 , 6 ab 5,3 b 6,1 b

Jumlah TA TA number 3,0 b 7 , 3 ab 7 , 2 ab 3,9 b 5 , 1 ab 12,8 a 9,2 a

TA (%) 1

Jumlah TT Total TT

78,9 17,9 20,1 64,6 19,2 49,2 32,3

3,8b 40,7a 35,9a 7,0b 26,5a 26,0a 28,5a

Keterangan: KMT = kalus menghasilkan tanaman; TH = tanaman hijau; TA = tanaman albino; TT = tanaman total; 1 Tidak dilakukan uji statistik. Angka pada kolom dan peubah yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf 5%. Notes: KMT= callus produced plantlet; TH = green plantlet; TA= albino plantlet; TT = total plantlet; 1Not statistically tested. Numbers in the same column and same variable followed by the same letter are not significantly different according to DMRT at P< 5%.

Gambar 1. Tanaman hijau (kiri) dan tanaman albino (kanan) hasil kultur antera padi Taipei 309. Fig. 1. Green (left) and albino (right) plantlets regenerated from rice anther culture of Taipei 309.

Perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan 10 -3 M spermidin (28,7 tanaman). Namun, kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dengan perlakuan 10-4 M putresin, 10-4 M spermin, dan 10-4 M spermidin. Jumlah tanaman hijau paling sedikit terdapat pada perlakuan 10-3 M spermin dan kontrol. Sementara itu, untuk persentase tanaman hijau, nilai tertinggi dicapai oleh perlakuan 10-3 M putresin (82,1%) dan terendah oleh kontrol (21,1%). Jumlah tanaman albino juga dipengaruhi oleh perlakuan poliamin (Tabel 1). Jumlah tanaman albino tertinggi terdapat pada perlakuan 10-4 M spermidin dan 10-4 M spermin, sedangkan terendah pada perlakuan 10-3 M spermin dan kontrol. Jika dilihat dari

persentase tanaman albino, maka perlakuan kontrol (tanpa poliamin) menghasilkan tanaman albino tertinggi (78,9%), sedangkan terendah pada perlakuan 10-3 M putresin (17,9%). Dari penelitian ini tampak bahwa tanaman albino selalu dihasilkan bersamaan dengan peningkatan tanaman hijau. Namun, Masyhudi dan Rianawati (1995) menyatakan bahwa pembentukan tanaman albino hendaknya tidak dipandang sebagai suatu masalah besar yang menghambat tujuan dari kultur antera padi. Hal yang lebih penting dalam kultur antera adalah peningkatan regenerasi tanaman hijau karena akan memperbesar peluang untuk memperoleh galur yang diinginkan. Hal ini karena setiap individu tanaman hijau yang berasal dari butir sari yang berbeda merupakan suatu genotipe yang unik (Oono 1981; Zhou 1996). Perlakuan poliamin berpengaruh terhadap jumlah tanaman total (Tabel 1). Tanaman total merupakan jumlah tanaman hijau dan albino yang dihasilkan dari kultur antera. Perlakuan poliamin meningkatkan jumlah tanaman total, kecuali perlakuan 10-3 M spermin. Jumlah tanaman total tertinggi dicapai pada perlakuan 10 -3 M putresin (40,7 tanaman), walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan 10-3 M spermidin serta 10 -4 M spermin, putresin, dan spermidin. Kelima perlakuan tersebut berbeda nyata dengan perlakuan 10-4 M spermin dan kontrol dalam menghasilkan tanaman total. Efisiensi perlakuan poliamin pada kultur antera padi Efisiensi perlakuan poliamin dalam pembentukan kalus dinyatakan dengan persentase kalus terhadap jumlah antera yang diinokulasi (Tabel 2). Perlakuan

17

Kultur antera padi pada beberapa formulasi media ...

Tabel 2. Pengaruh poliamin dalam media induksi kalus terhadap efisiensi pembentukan kalus dan tanaman hijau pada padi Taipei 309. Table 2. Effect of polyamines in callus induction media on callus and green plantlet formation of Taipei 309. Perlakuan Treatment Kontrol/Control Putresin 10 -3 M Spermidin 10 -3 M Spermin 10 -3 M Putresin 10 -4 M Spermidin 10 -4 M Spermin 10 -4 M

Persen kalus terhadap antera Percent callus to anther

Persen KMT Percent KMT

Rasio TH/KMT TH/KMT ratio

Persen TH terhadap antera Percent TH to anther

7,2c 22,5b 45,9a 5,8c 23,1b 18,8b 23,7b

8,8 c 45,7 a 19,4 b 8,6 c 32,6 a 33,0 ab 34,7 a

0,6d 3,5a 2,3bc 1,0d 2,7abc 1,9c 3,2ab

0,7 c 24,6 a 2 1 , 0 ab 2,4 c 1 6 , 2 ab 9,9 b 1 6 , 2 ab

Keterangan: TH = tanaman hijau; KMT = kalus menghasilkan tanaman. Angka pada kolom dan peubah yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf 5%. Notes: TH = green plantlet; KMT = callus produced plantlet. Numbers in the same column and same variable followed by the same letter are not significantly different according to DMRT at P < 5%.

10-3 M spermidin mencapai nilai tertinggi (45,9%) dan berbeda nyata dengan perlakuan 10-4 M spermin, 10-4 M putresin, 10 -3 M putresin, dan 10-4 M spermidin. Nilai terendah persentase kalus terhadap jumlah antera dihasilkan oleh kontrol (7,2%) dan perlakuan 10-3 M spermin (5,8%). Dari kalus yang dihasilkan, hanya sebagian saja yang dapat meregenerasikan tanaman (Tabel 2). Persentase kalus menghasilkan tanaman tertinggi dicapai oleh perlakuan 10 -3 M putresin (45,7%), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan 10-4 M spermin, 10-4 M spermidin, dan 10-4 M putresin. Meskipun perlakuan 10-3 M spermidin memberikan nilai tertinggi untuk jumlah kalus (Tabel 1) dan persentase kalus terhadap jumlah antera yang diinokulasi (Tabel 2), perlakuan ini mempunyai persentase jumlah kalus menghasilkan tanaman yang relatif rendah dibandingkan perlakuanperlakuan tersebut di atas. Persentase jumlah kalus menghasilkan tanaman terendah diperoleh pada kontrol (8,8%) dan perlakuan 10-3 M spermin (8,6%). Efisiensi penggunaan putresin pada regenerasi tanaman hijau ditunjukkan oleh rasio tanaman hijau terhadap kalus menghasilkan tanaman (TH/KMT) dan persentase tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasi (TH/A). Pada Tabel 2 tampak bahwa rasio TH/KMT tertinggi dicapai oleh perlakuan 10 -3 M putresin (3,5 tanaman/KMT) dan terendah oleh kontrol (0,6 tanaman/KMT). Tanaman hijau yang dihasilkan dari kalus yang sama akan mempunyai konstitusi genetik yang sama (Suhartini dan Somantri 2000; Dewi 2002). Rasio TH/KMT yang tinggi akan menguntungkan dalam memperoleh duplikat tanaman, terutama bila proses aklimatisasi tanaman asal kultur in vitro masih merupakan masalah. Pemberian poliamin mem-

pengaruhi persentase TH/A (Tabel 2). Tampak bahwa pemberian poliamin menghasilkan laju regenerasi tanaman hijau yang lebih tinggi (2,4-24,6%) dibandingkan kontrol (0,7%). Persentase TH/A tertinggi dicapai oleh perlakuan 10-3 M putresin (24,6%). Perlakuan putresin pada konsentrasi 10-3 dan 10-4 M tidak berbeda nyata dengan perlakuan 10-3 M spermidin dan 10 -4 M spermin, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan 10-4 M spermidin, 10-3 M spermin, dan kontrol. Secara umum, dibandingkan tanpa poliamin, pemberian poliamin dapat meningkatkan induksi kalus dan regenerasi tanaman. Hal ini memperkuat bukti bahwa poliamin memang terlibat dalam embriogenesis seperti dilaporkan oleh Evans dan Malmberg (1989) serta Galston dan Kaur-Sawhney (1990) pada kultur sel wortel dan Santos et al. (1995) pada kultur antera jagung. Pada penelitian ini, putresin dengan konsentrasi 10-3 M terpilih sebagai poliamin terbaik, karena dibandingkan dengan spermidin dan spermin memberikan nilai yang lebih tinggi dalam jumlah kalus menghasilkan tanaman, jumlah tanaman hijau, jumlah tanaman total, rasio tanaman hijau terhadap kalus menghasilkan tanaman, dan persen tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasi (Gambar 2). Tanaman hijau yang dihasilkan juga tampak vigor (Gambar 1) dan harganya lebih murah (lihat Katalog Bahan Kimia dari Sigma-Aldrich).

KESIMPULAN Poliamin dapat meningkatkan induksi kalus dan regenerasi tanaman pada kultur antera padi. Di antara

18

Iswari S. Dewi et al.

Jumlah/Total

Jumlah/Total

45

30

KMT TH TT

40 35

TH/KMT %TH/A

25 20

30 25

15

20 10

15 10

5

5 0

Ktrl

Put

Spd

Spm

10 M -3

Put

Spd 10 M -4

Spm

0

Ktrl

Put

Spd 10 M -3

Spm

Put

Spd

Spm

10 -4 M

Gambar 2. Pengaruh poliamin terhadap efisiensi pembentukan tanaman hijau pada kultur antera padi Taipei 309; KMT = kalus menghasilkan tanaman; TH = tanaman hijau, TT = tanaman total, A = antera yang diinokulasi; Ktrl = kontrol, Put = putresin; Spd = spermidin; Spm = spermin. Fig. 2. Effect of polyamines on green plantlet formation efficiency in rice anther culture of Taipei 309; KMT = callus produced plantlet; TH = green plantlet; TT = total plantlet; A = number of anther inoculated; Ktrl = control, Put = putrescine; Spd = spermidine; Spm= spermine.

berbagai jenis poliamin yang digunakan, putresin dengan konsentrasi 10-3 M merupakan poliamin terbaik untuk meningkatkan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera padi Taipei 309. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen Pendidikan Nasional atas sebagian biaya penelitian melalui Hibah Bersaing VIII atas nama Bambang S. Purwoko, Institut Pertanian Bogor. DAFTAR PUSTAKA Chung, G.S. 1992. Anther culture for rice improvement in Korea. p. 8-37. In K. Zheng and T. Murashige (Eds.). Anther Culture for Rice Breeders. Seminar and Training for Rice Anther Culture at Hangzhou, China. Dewi, I.S. 2002. Karakterisasi Morfologi dan Agronomi Galur Haploid Ganda Hasil Kultur Antera Padi Hasil Silangan Resiprok Subspesies Indica x Javanica. Laporan Topik Khusus, Program Pascasarjana-IPB, Bogor. 43 hlm. Dewi, I.S., A.D. Ambarwati, M.F. Masyhudi, T. Soewito, dan Suwarno. 1994. Induksi kalus dan regenerasi kultur antera padi (Oryza sativa L.). Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan 2: 136-143. Dewi, I.S., I. Hanarida, and S. Rianawati. 1996. Anther culture and its application for rice improvement program in Indonesia. Indon. Agric. Res. Dev. J. 18: 51-56.

Evans, P.T. and R.L. Malmberg. 1989. Do polyamines have roles in plant growth and development? Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 40: 235-269. Feinberg, A.A., J.H. Choi, W.P. Lubich, and Z.R. Sung. 1984. Developmental regulation of polyamine metabolism in growth and differentiation of carrot culture. Planta 162: 532-539. Feirer, R.P., G. Mignon, and J.D. Litvay. 1984. Arginine decarboxylase and polyamines required for embryogenesis in the wild carrot. Science 223: 1433-1455. Galston, A.W. and R. Kaur-Sawhney. 1990. Polyamines in Plant Physiology. Plant Physiol. 94: 406-410. Galston, A.W. and R. Kaur-Sawhney. 1995. Polyamines as endogenous growth regulators. p. 158-178. In P.J. Davies (Ed.). Plant Hormones: Physiology, biochemistry, and molecular biology. Kluwer, Dordrecht. Hird, D.L., D. Worral, R. Hodge, S. Smartt, W. Paul, and R. Scott. 1994. Characterisation of Arabidopsis thaliana antherspecific gene which shares sequence similarity with β-1,3glucanases. p. 137-158. In R.J. Scott and A.D. Stead (Eds.). Molecular and Cellular Aspects of Plant Reproduction. Soc. Exp. Biol. Seminar Series 55. Cambridge Univ. Press, UK. Koetje, D.S., H. Kononowizc, and T.K. Hodges. 1993. Polyamine metabolism associated with growth and embryogenic potential of rice. J. Plant Physiol. 141: 215-221. Masyhudi, M.F. dan S. Rianawati. 1995. Pengaruh genotipe hibrida dan media terhadap induksi kalus dan generasi tanaman pada kultur antera padi. J. Biol. Indon. 1: 58-64. Oono, K. 1981. In vitro methods applied to rice. p. 273-298. In T.A. Thorpe (Ed.). Plant Tissue Culture: Methods and applications in agriculture. Acad. Press, Inc., New York. Sanint, L.R., C.P. Martinez, and Z. Lentini. 1996. Anther culture as rice breeding tool: a profitable investment. p.

Kultur antera padi pada beberapa formulasi media ... 511-531. In G.H. Khush (Ed.). Rice Genetics III. Proceedings of the 3 rd International Rice Genetics Symposium. IRRI, Los Banos, Philippines. Santos, M., N. Boget, and J.M. Torne. 1995. Endogenous polyamine content during in vivo maturation and in vitro culture of maize pollen. Plant Growth Regul. 16: 19-26. Sasmita, P., I.S. Dewi, dan B.S. Purwoko. 2001. Pengaruh generasi kalus terhadap regenerasi tanaman pada kultur antera padi (Oryza sativa L.) kultivar Gajah Mungkur. Sain Teks (Edisi Khusus): 179-188. Suhartini, T. dan I.H. Somantri. 2000. Kesamaan genetik galurgalur padi hasil kultur anter F1 pada generasi H1. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 19: 13-20.

19 Zapata, F.J., G.S. Khush, J.P. Crill, M.H. Neu, R.O. Romero, L.B. Torrizo, and M. Alejar. 1983. Rice anther culture at IRRI. p. 27-46. In Cell and Tissue Culture Techniques for Cereal Crop Improvement. Proceedings of a workshop cosponsored by the Institute of Genetics, Academia Sinica and the International Rice Research Institute. Science Press, Beijing, China. Zhou, H. 1996. Genetics of green plantlet regeneration from anther culture of cereals. p. 169-187. In S.M. Jain, S.K. Sopory, and R.E. Veilleux (Eds.). In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Vol. 2. Applications. Kluwer Acad. Publ., Netherlands.