Semarang, 10 Agustus 2012 Hal: Laporan Lampiran: 2 (dua) berkas Yth. Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah di Klaten Dengan hormat, Melalui surat ini, kami atas nama Komunitas Pencinta Sejarah Semarang ingin menyampaikan informasi sekaligus melaporkan adanya rencana pembongkaran sebuah bangunan bersejarah di Kota Semarang. Bangunan itu adalah Balai Muslimin yang berlokasi di Kampung Gendong, Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur. Balai Muslimin merupakan bekas kantor Sarekat Islam (SI) Afdeling Semarang. Bangunan ini punya makna penting, tidak hanya bagi sejarah Kota Semarang, namun juga sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Di tempat inilah dulu kaum pergerakan, terutama yang tergabung dalam wadah SI Semarang melancarkan perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. (informasi lebih lengkap lihat lampiran) Kini, kondisi Balai Muslimin sangat memprihatinkan, rusak parah dan nyaris roboh. Bahkan menurut informasi penjaga gedung, bangunan yang dibuat pada 1916 itu akan dibongkar dan diganti bangunan baru berlantai tiga (proposal pembangunan dan foto-foto terlampir). Mengingat pentingnya nilai historis bangunan tersebut, kami mohon BP3 turun tangan. Kami akan sangat berterima kasih jika laporan ini segera ditindaklanjuti dengan kunjungan lapangan dan serangkaian langkah penyelamatan. Kami khawatir jika rencana pembongkaran itu dilaksanakan dalam waktu dekat. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Koordinator
Rukardi
Tembusan: Dinas Tata Kota dan Perumahan Semarang
Lampiran I Foto-foto Gedung Eks Kantor Sarekat Islam Afdeling Semarang
Tampak depan bangunan
Inisial SI di lantai bangunan
Bagian dalam bangunan dengan konstruksi kayu yang masih asli
Kerusakan pada bagian atap bangunan
Kiri: Dokumen Laporan Hasil Pertemuan pengurus Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Muslimin (YKTM) dengan Plt Wali Kota Semarang Mahfudz Ali pada 12 Juni 2008. Atas: Gambar rencana bangunan baru.
Lampiran II Informasi mengenai Gedung Eks Kantor Sarekat Islam Afdeling Semarang di buku Remah-remah Kisah Semarang karya Rukardi
“Zaman Bergerak” di Kampung Gendong Pada masa pergerakan, Semarang menjadi salah satu bidang persemaian benih-benih perlawanan terhadap kolonialisme. Kala itu banyak aktivis yang lahir, tumbuh, dan berkiprah di medan politik, seperti Semaoen Darsono, Mas Marco Kartodikromo, dan Tan Malaka. Sepak terjang mereka sanggup memanaskan suhu politik di Hindia Belanda. Bersama para aktivis dari Surakarta dan sejumlah kota lain, Semaoen dan kawan-kawan menjadikan Jawa memasuki apa yang disebut Takashi Shiraishi sebagai “zaaman bergerak”. Namun politik Orde Baru tak menghendaki “orang-orang di persimpangan kiri jalan” itu tercatat dalam buku sejarah pergerakan kebangsaan. Peran mereka, seperti halnya Semarang, dinafikan. Tak mengherankan jika kebanyakan warga kini tak lagi mengenal salah satu episode penting sejarah kotanya itu. Salah satu saksi yang masih dapat “bercerita” tentang episode yang hilang tersebut adalah gedung eks kantor Sarekat Islam (SI) Cabang Semarang di Kampung Gendong, Kelurahan Sarirejo, Semarang Timur. Di tempat itulah dulu para aktivis SI yang radikal berkumpul untuk mengonstruksi gerakan dan melancarkan aksi perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Meski sisa-sisa kemegahannya masih tampak, nasib bangunan yang kini bernama Balai Muslimin itu sungguh mengenaskan. Fisiknya rusak parah. Bubungan atap bagian depan ambrol, dinding serta interiornya kusam dan tak terawatt. Puing-puing teronggok di sejumlah tempat. Selain dua keranda, tumpukan tikar, dan sebuah podium yang telah beralih fungsi menjadi pengimaman, gedung itu tak menyimpan perabotan lain. Sekretariat Badan Keswadayaan Masyarakat Kelurahan Sarirejo yang mendompleng di sisi selatan terlihat tutup. Sepintas, bangunan panjang beratap tumpang yang menghadap kea rah barat itu tak menampakkan tanda kesejarahan khusus. Tidak ada prasasti berisi keterangan mengenai nama asli, kegunaan, serta tahun pembangunan gedung. Satu-satunya tengara identitas sejati Balai Muslimin adalah inisial “SI” yang terdapat di lantai, tepat di tengah-tengah bangunan. Inisial itu dibentuk dari pasangan ubin berwarna hitam. Sedangkan latar belakangnya ubin kuning dengan lis warna merah. Seksi Gedung Balai Muslimin, Abdulrosjid menuturkan, meski ubin itu sudah tidak layak pakai, bagian inisial “SI” tetap dipertahankan. “Ini yang menjadi tanda bahwa gedung ini pernah menjadi kantor Sarekat Islam,” katanya. Balai Muslimin, lanjut Abdulrosjid, tak lagi bisa dipakai sejak awal Mei 2008. Atapnya yang ambrol menjadi jalan masuk air ketika turun hujan. Sebelum itu, Balai Muslimin makmur dengn pelbagai kegiatan. Mulai latihan bela diri, pentas seni, sampai aktivitas keagamaan. “Biasanya, setiapJumat,
gedung itu dimanfaatkan warga untuk salat Jumat. Sejak atapnya roboh, warga salat di masjid-masjid di sekitar Kampung Gendong,” ujar Abdulrosjid. Sebagai artefak, bangunan itu memiliki kisah sejarah panjang. Menurut Abdulrosjid, eks Kantor Sarekat Islam Semarang dibangun pada 1916. Tanahnya berasal dari wakaf salah seorang keturunan keluarga Tasripin yang menjadi anggota SI. Sementara bangunannya hasil swadaya anggota. Berdasar kisah yang didengar Baharudin bin Shihab, mantan anggota DPRD Gotong Royong Kota Semarang dari Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) periode 1960-1970, pembangunan gedung itu dilakukan dengan cara iuran. Konon, selain sumbangan dermawan, sebagian dana dikumpulkan anggota dari hasil menjual bolang-baling. “Saya sudah tidak menangi masa itu. Saya mendengarnya dari cerita orang tua dulu,” kata Baharudin. *** Krisis ekonomi yang berlangsung sejak awal 1923, menggoyahkan stabilitas politik di Hindia Belanda. Para pengusaha melakukan efisiensi sedemikian rupa, termasuk menekan gaji para buruh. Reaksi pertama ditunjukkan oleh buruh kereta api yang tergabung dalam Vereeniging voor Spoor-en Traamwegpersoneel (VSTP). Semaoen sang ketua, merumuskan tuntutan yang hendak diajukan kepada Jawatan Kereta Api. Tidak hanya itu, Semaoen juga menyelenggarakan rapat-rapat umum untuk menyiapkan perlawanan kaum buruh. Pemerintah merasa gerah. Pada 8 Mei 1923 Semaoen dan sejumlah aktivis buruh lain ditangkap. Tindakan represif itu segera direspons oleh massa buruh Semarang. Mereka melaksanakan amanat Semaoen: Pemogokan harus dilaksanakan apabila ada salah seorang pemimpin buruh ditangkap.” Malam hari, 8 Mei 1923, sejumlah perwakilan kelompok buruh pribumi berkumpul di Kampung Gendong untuk menyiapkan aksi mogok besar-besaran. Setelah berunding, mereka memutuskan aksi tersebut langsung dilaksanakan pada keesokan hari. Benar saja, pada 9 Mei, aktivitas kota nyaris lumpuh. Buruhpribumi yang bekerja di perusahaan trem Jomblang-Bulu, Semarang-Joeana Stroomtram Maatschappij (SJS), dan kusir dokar tak bekerja. Pedagang di Pasar Johar dan Pasar Pedamaran juga tak berjualan. Pemogokan besar-besaran itu menimbulkan kekacauan. Liem Thian Joe dalam Riwajat Semarang mengisahkan, warga yang biasa menggunakan trem telantar. Pun para jongos yang hendak mengantar makan siang untuk majikan mereka. Pemerintah Kota Praja dibuat kalang kabut. Agar tak terjadi kekacauan, mereka menurunkan aparat kepolisian untuk menjaga kota, dan mengerahkn murid-murid Technische School untuk mengoperasikan trem. “Pada hari itoe di kampoeng Gendong dibikin vergadeering lagi, dipimpin oleh toean Soegono, siapa telah andjurin boeat orang-orang jang mogok itoe soepaja mogok teroes…” Sejarah mencatat, aksi mogok yang dirancang di Kampung Gendong akhirnya meluas ke kota-kota lain, seperti Batavia (Jakarta), Meester Cornelis (Jatinegara), Solo, Yogyakarta, Jatibarang, Blitar, dan Nganjuk.
Meski demikian, aksi itu tak membuahkan hasil. Alih-alih tuntutannya dipenuhi, sebagian dari mereka justru dipecat oleh perusahaan. Pascakemerdekaan, bekas Kantor SI Cabang Semarang dikuasai oleh aktivis Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), salah satu underbow PKI. Mereka menjadikannya semacam markas, sekaligus tempat tinggal. “Saya ingat, sehari-hari para aktivis SOBSI modok di gedung itu,” kata Baharudin. Peristiwa 30 September 1965 berdampak pada pengganyangan orang-orang kiri, tak terkecuali anggota SOBSI. Massa antikomunis pun menyerbu gedung bekas kantor SI Cabang Semarang yang digunakan oleh SOBSI. Mereka merangsek, mengacak-acak dokumen, dan melempari gedung itu dengan batu. Saat massa hendak membakarnya, warga Kampung gendong menghalangi. Usai huru-hara 1965, gedung bekas Kantor SI Cabang Semarang di bawah penguasaan tentara. Namun tak lama berselang, pengelolaannya diserahkan kepada umat Islam lintas golongan, dan semenjak itu dinamakan Balai Muslimin. Seksi Gedung Abdulrosjid menuturkan, Balai Muslimin selanjutnya digunakan untuk pelbagai aktivitas. Tak hanya yang bersifat keagamaan, namun juga social kemasyarakatan. Kini setelah bertahun-tahun, kondisi Balai Muslimin kian mengenaskan. Bangunan tersebut bagai tak pernah tersentuh perawatan. Jika tak diselamatkan, saksi bisu sejarah pergerakan rakyat di Semarang itu terancam hilang.