Document not found! Please try again

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR LUMBAL A. DEFINISI

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR LUMBAL A. DEFINISI ... eliminasi Kelumpuhan otot napas Iskemia dan hipoksemia Gangguan pola napas Hipoventilasi Kematian K...

18 downloads 772 Views 134KB Size
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR LUMBAL A. DEFINISI  Vertebra lumbalis terletak di region punggung bawah antara region torakal dan sacrum. Vertebra pada region ini ditandai dengan corpus vertebra yang berukuran besar, kuat, dan tiadanya costal facet. Vertebra lumbal ke 5 (VL5) merupakan vertebra yang mempunyai gerakan terbesar dan menanggung beban tubuh bagian atas (Yanuar 2002).  Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian,

kecelakaan

lalu

lintas,

kecelakaan

olahraga,

dan

sebagainya. (Arif Muttaqin, 2005, hal. 98).  Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan oleh jenis dan luasnya (Brunner and Suddarth, 2000).  Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakang bagian bawah. Bentuk cidera ini mengenai ligament, fraktur vertebra, kerusakan pembuluh darah, dan mengakibatkan iskemia pada medulla spinalis (Batticaca, 2008). B. ETIOLOGI  Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari fraktur adalah : 1. Kecelakaan lalu lintas 2. Kecelakaan olahraga 3. Kecelakaan industri 4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan 5. Luka tusuk, luka tembak 6. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance) 7. Kejatuhan benda keras  Factor patologis : fraktur yang terjadi pada lansia yang mengalami osteoporosis, tumor tulang, infeksi, atau penyakit lain.  Factor stress : fraktur jenis ini dapat terjadi pada tulang normal akibat stress tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang. Fraktur stress ini biasanya menyertai peningkatan yang cepat – tingkat latihan atlet, atau permulaan aktivitas fisik yang baru. Karena kekuatan otot

meningkat lebih cepat daripada kekuatan tulang individu dapat merasa mampu melakukan aktivitas melebihi sebelumnya, walaupun tulang mungkin tidak mampu menunjang peningkatan tekanan. C. KLASIFIKASI 1. Fraktur kompresi (Wedge fractures) Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya. 2. Fraktur remuk (Burst fractures) Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara langsung, dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinais. Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis kearah luar yang disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. tepi tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk cedera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisi atau gangguan syaraf parsial. Tipe burst fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan terjadi paralysis pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi. Biasanya dengan scan MRI fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan lunak, kerusakan ligamen dan adanya perdarahan. 3. Fraktur dislokasi Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena kompresi, rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan

sehingga sangat tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya. Terapi tergantung apakah ada atau tidaknya korda atau akar syaraf yang rusak. Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna vertebralis dengan kombinasi mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya kompresi,

penekanan,

rotasi

dan

proses

pengelupasan.

Pengelupasan komponen akan terjadi dari posterior ke anterior dengan kerusakan parah pada ligamentum posterior, fraktur lamina, penekanan sendi facet dan akhirnya kompresi korpus vertebra anterior. Namun dapat juga terjadi dari bagian anterior ke posterior. kolumna vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi fraktur pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur akan melewati lamina dan seringnya akan menyebabkan dural tears dan keluarnya serabut syaraf. 4. Cedera pisau lipat (Seat belt fractures) sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tiba-tiba mengerem sehingga membuat vertebrae dalam keadaan fleksi, dislokasi fraktur sering terjadi pada thoracolumbar junction. Kombinasi fleksi dan distraksi dapat menyebabkan tulang belakang pertengahan menbetuk pisau lipat dengan poros yang bertumpu pada bagian kolumna anterior vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman, tubuh penderita terlempar kedepan melawan tahanan tali pengikat. Korpus vertebra kemungkinan dapat hancur selanjutnya kolumna posterior dan media akan rusak sehingga fraktur ini termasuk jenis fraktur tidak stabil.

D. MANIFESTASI Manifestasi klinis fraktur antara lain :  Edema/pembengkakan  Nyeri: spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma langsungpada jaringan, peningkatan tekanan pada saraf sensori, pergerakan padadaerah fraktur.  Spasme otot: respon perlindungan terhadap injuri dan fraktur  Deformitas  Echimosis: ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan

 Kehilangan fungsi  Crepitasi: pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma terbuka Manifestasi klinis fraktur vertebra berdasarkan lokasi fraktur adalah.  Manifestasi klinis fraktur vertebra pada cervical C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan) C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep C8 : gangguan fungsi jariGangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical menyebabkankelumpuhan tetrapareseb.  Manifestasi klinis fraktur vertebra pada torakal T1 : gangguang fungsi tangan T1-T8

:

gangguan

fungsi

pengendalian

otot

abdominal,

gangguanstabilitas tubuh T9-T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang tubuh  Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan lumbal memberikan gejala paraparese L1 : Abdominalis L2 : Gangguan fungsi ejakulasi L3 : Quadriceps L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut  Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sacral Gangguang motorik kerusakan pada daerah sacral menyebabkan gangguanmiksi & defekasi tanpa para parese  Segmen lumbar dan sacral

Cedera pada segmen lumbar dan sakral dapat mengganggu pengendaliantungkai, sistem saluran kemih dan anus. Selain itu gangguan fungsisensoris dan motoris, cedera vertebra dapat berakibat lain sepertispastisitas atau atrofi otot. S1 : Gangguan pengendalian tungkai S2-S4 : Penile Erection S2-S3 : Gangguan system saluran kemih dan anus E. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal menurut Mahadewa dan Maliawan (2009) adalah : a. Foto Polos Pemeriksaan foto polos terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view. Posisi lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna untuk melihat instabilitas ligament. Penilaian foto polos, dimulai dengan melihat kesegarisan pada AP dan lateral, dengan identifikasi tepi korpus vertebrae, garis spinolamina, artikulasi sendi facet, jarak interspinosus. Posisi oblique berguna untuk menilai fraktur interartikularis, dan subluksasi facet. b. C T S c a n CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama yang mengenai elemen posterior dari tulang belakang.

Fraktur

dengan

garis

fraktur

sesuai

bidang

horizontal, seperti Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang baik dilihat dengan CT scan aksial. Rekonstruksi tridimensi dapat digunakan untuk melihat pendesakan

kanal oleh

fragmen tulang, dan melihat fraktur elemen posterior. c. MRI MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan medula spinalis dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang robek seringkali lebih mudah dibandingkan yang utuh. Kelemahan pemakaian MRI adalah terhadap penderita yang menggunakan fiksasi metal, dimana akan memberikan artifact yang menggangu penilaian.

Kombinasi

antara foto polos,

CT Scan dan MRI,

memungkinkan kita bisa melihat kelainan pada tulang dan struktur jaringan lunak (ligamen, diskus dan medula spinalis). Informasi ini sangat penting untuk menetukan klasifikasi cedera, identifikasi keadaan instabilitas yang berguna untuk memilih instrumentasi yang tepat untuk stabilisasi tulang. d. Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf Kedua prosedur ini biasanya dikerjakan bersama-sama 1-2

minggu

menunjukkan

setelahterjadinyacedera. adanya

denervasi

Elektromiografi

pada

ekstremitas

dapat bawah.

Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat membedakan lesi pada medula spinalis atau cauda equina, dengan lesi pada pleksus lumbal atau sacral. e. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium klinik rutin dilakukan untuk menilai komplikasi pada organ lain akibat cedera tulang belakang. Sedangkan menurut Arif Mutaqin (2005) pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1)

Pemeriksaan Rontgen. Pada pemeriksaan Rontgen, rnanipulasi penderita hams dilakukan secara hati-hati. Pada fraktur C-2, pemeriksaan

posisi AP dilakukan

secara

khusus

dengan

membuka mulut. Pemeriksaan posisi AP secara lateral dan kadang-kadang oblik dilakukan untuk menilai hal-hal sebagai berikut. 2)

Diameter anteroposterior kanal spinal

3)

Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra

4)

Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal

5)

Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus Ketinggian

ruangan

diskus

intervertebralis

Pembengkakanjaringan lunak 6)

Pemeriksaan CT-scan terutama untuk melihat fragmentasi tan dan pergeseran fraktur dalam kanal spinal.

7)

Pemeriksaan CT-scan dengan mielografi.

8)

Pemeriksaan MRI terutama untuk melihatjaringanlunak, yaitu diskus intervertebralis dan ligamentum flavum serta lesi dalam sumsum tulang belakang.

Trauma pada tulang belakang

Fraktur pada tulang lumbal

Perdarahan mikroskopik

Mengeblok saraf parasimpatis

Mengeblok saraf parasimpatis

Kelumpuhan otot napas

Kerusakan jalur apatetik desending

F. PATOFISIOLOGI Edema

Penekanan saraf & pembuluh darah

Reaksi peradangan

Syok spinal

Nyeri akut Penurunan perfusi jaringan

Reaksi anantetik

Ileus paralitik, gangguan fungsi rektum

Gangguan eliminasi

Iskemia dan hipoksemia

Terputusnya jaringan saraf medula spinalis

Gangguan pola napas Paralisis & paraplegi Hipoventilasi

Gagal napas

Kematian

Hambatan mobilitas fisik

G. PENATALAKSANAAN Pertolongan pertama dan penanganan darurat: a. Survey primer 1. Pertahankan airway dan imobilisasi tulang belakang 2. Breathing 3. Sirkulasi dan perdarahan 4. Disabilitas: AVPU /GCS, pupil 5. Exposure : cegah hipertermi b. Resusitasi 1. Pastikan paten/intubasi 2. Ventilasi adaptif 3. Perdarahan berhenti  nadi, CRT, urin output c. Survey sekunder 1. GCS 2. Kaji TTv  nadi, tekanan darah, suhu, RR Terapi pada fraktur vertebra diawali denganmengatasi nyeri dan stabilisasi untuk cegah kerusakan yang lebih parah

Tindakan rehabilitasi Penatalaksanaan pada fraktur vertebra lumbal diawali dengan mengatasi nyeri dan stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. Semuanya tergantung dengan tipe fraktur. Beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut 1. Braces dan orchotics. Fraktur yang yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi, sebagai contoh : thoracolumbar-sacral (TLSO) untuk fraktur punggung bagian bawah. 2. Reduksi fraktur (seting tulang) Berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur

sesegera

mungkin

untuk

mencegah

jaringan

lunak

kehilangan

elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Reduksi tertutup Pada

kebanyakan

mengembalikan

kasus,

fragmen

teduksi ke

tertutup

posisinya

dilakukan

(ujung-ujungnya

dengan saling

berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam membentuk pen, kawat, sekrup, plat, paku, atau batang logam. 3. Traksi Adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya fraksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. 4. Imobilisasi fraktur Adalah reduksi fraktur, fragmen tulang harus diimobilisasikan atau dipatahkan dalam posisi kesejajarannya yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, fraksi, pen, tekhnik gips atau fiksator eksterna. Fiksasi interna dengan implan logam yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. 5. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi Dilakukan dengan berbagai pendekatan perubahan posisi, strategi, peredaran nyeri, pemberian analgetik, latihan atau aktivitas sehari-hari yang diusakan untuk memperbaiki fungsi. H. KOMPLIKASI a. Syok Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besarakibat trauma. b. Mal union Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehinggamenimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari jaringan lunak yangterjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union) juga dapat menyebabkan mal union.

c. Non union Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang.Non union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu: - Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan

terjadi

prosespenyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringanfibros yang masih mempunyai potensi untuk union dengan -

melakukankoreksi fiksasi dan bone grafting. Tipe II (atropic non union), disebut

juga

sendi

palsu

(pseudoartrosis)terdapat jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta ronga cairanyang berisi cairan, proses union tidak akan tercapai walaupundilakukan imobilisasi lama.Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteumyang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktuimobilisasi yang

tidak

memadai,

distraksi

interposisi,

infeksi

dan

penyakittulang (fraktur patologis).Non union adalah jika tulang tidak menyambungdalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurangmemadai. d. Delayed union Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalamwaktu lama atau lambat dari waktu proses penyembuhan fraktur secaranormal. Pada pemeriksaan radiografi tidak terlihat bayangan sklerosispada ujung-ujung fraktur. e. Tromboemboli, infeksi, koagulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka ataupada f.

saat

pembedahan

dan

mungkin

pula

disebabkan

oleh

pemasanganalat seperti plate, paku pada fraktur. Emboli lemak Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsumtulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabungdengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan

organlain. g. Sindrom Kompartemen Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupuntungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya.Fenomena ini disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi pula padapemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat

mengganggu alirandarah dan terjadi edema didalam otot.Apabila ischemi

dalam

6

jam

pertama

tidak

mendapatkan

tindakan

dapatmengakibatkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibros yang secara perlahan-lahan menjadi pendek dan disebutdengan kontraktur volkmann.Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat),Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis. h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia,dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri ataukeadaan penekanan i.

syaraf karena pemasangan gips, balutan ataupemasangan traksi. Dekubitus Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh karena ituperlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.

I.

PENGKAJIAN Menurut Arif Muttaqin (2005) hal-hal yang perlu dikaji pada pasien fraktur lumbal adalah sebagai berikut 1. Pengkajian. a. Identitas klien, meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kela min (kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnosis medis. b. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan inkontinensia alvi, nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan deformitas pada daerah trauma. c. Riwayat penyakit sekarang. Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas,

paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya sensibilitas secara total dan melemah/menghilangnya reeks alat dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks-refleks. d. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol. Perawat perlu menanyakan masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alkohol kepada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien tidak sadar) karena sering terjadi beberapa klien yang suka kebu t-kebu tan meneeunakan obat-oba tan adiktif atau alkohol. e. Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis yang memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang belakang. Penyakit lainnya, seperti hipertensi, riwayatcedera tulang belakang sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, dan obat-obat adiktif perlu ditanyakan agar pengkajian lebih komprehensif. f.

Pengkajian psikososiospiritual. Pengkajian mengenai mekanisme koping yang digunakan klien diperlukan untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya, perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat, serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

g. Pemeriksaan fisik. Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung

data pengkajian

anamnesis.

Pemeriksaan fisik

sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien. Umumnya, klien yang mengalami cedera tulang belakang tidak

mengalami

penurunan

kesadaran.

Tanda-tanda

vital

mengalami perubahan, seperti bradikardia, hipotensi, dan tandatanda syok neurogenik, terutama trauma pada servikal dan toraks bagian atas. 1)

Pernapasan.

Perubahan

sistem pernapasan bergantung pada

gradasi blok saraf parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otototot

pernapasan)

dan

perubahan

karena

adanya

kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma pada tulang belakang

sehingga

jaringan

saraf

di

medula

spinalis

terputus. Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang pada daerah servikal dan toraks diperoleh hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut. a)

Inspeksi. Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, re traksi interkostal, dan pengembangan paru tidak simetris. Pada observasi ekspansi dada dinilai penuh a tau tidak penuh dan kesimetrisannya.

Ketidaksimetrisan

mungkin

menunjukkan adanya atelektasis, lesi pada paru, obstruksi

pada

bronkus,

fraktur

tulang

iga,

dan

pneumotoraks. Selain itu, juga dinilai retraksi otot-otot interkostal, substernal, dan pernapasan abdomen. b)

Respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu mcnggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf parasimpatis.

c)

Palpasi. Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila trauma terjadi pada rongga toraks.

d)

Perkusi. Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi pada toraks/hematoraks.

e)

Auskultasi. Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronki pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk menu run sering didapatkan pada klien cedera tulang belakang yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma). Saat dilakukan pemeriksaan sistem pemapasan

klien cedera tulang belakang dengan fraktur dislokasi

vertebra lumbalis dan protrusi diskus intervertebralis L-5 dan

S-1,

klien

tidak

mengalami

kelainan

inspeksi

pemapasan. Pada palpasi toraks, didapatkan taktil fremitus seimbang kanan dan kin. Pada auskultasi, tidak didapatkan suara napas tambahan. 2) Kardiovaskular Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang didapatkan renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas

sedang

dan

berat.

Hasil

pemeriksaan

kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada beberapa keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat. Bradikardia merupakan tanda perubahan perfusi jaringan otak. Kulit yang tampak pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu renjatan. 3) Persyarafan a) Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan adalah indika tor paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Pada keadaan lanjut, kesadaran klien cedera tulang belakang biasanya berkisar dari letargi, stupor, semikoma sampai koma. b) Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien yang telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami perubahan status mental. c) Pemeriksaan Saraf kranial: (1) Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang dan tidak ada kelainan

fungsi penciuman. (2) Saraf

II.

Setelah

dilakukan

tes,

ketajaman

penglihatan dalam kondisi normal. (3) Saraf III, 1V, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil isokor. (4) Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami paralisis pada otot wajah dan refleks komea biasanya tidak ada kelainan (5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris. (6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. (7) Saraf

XI.

Tidak

ada

atrofi

otot

sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk (8) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal. d) Pemeriksaan refleks: (1) Pemeriksaan

refleks

dalam.

Refleks

Achilles

menghilang dan refleks pa tela biasanya melemah karena kelemahan pada otot hamstring. (2) Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks

fisiologis

akan

menghilang.

Se

telah

beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan refleks patologis. (3) Refleks Bullbo Cavemosus positif e) Pemeriksaan sensorik. Apabila klien mengalami trauma pada kauda ekuina, is mengalami hilangnya sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong, perineum, dan anus.

Pemeriksaan

sensorik

superfisial

dapat

memberikan petunjuk mengenai lokasi cedera akibat trauma di daerah tulang belakang 4) Perkemihan

Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurun-nya perfusi pada ginjal. 5) Pencernaan. Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok spinal yang akan berlangsung beberapa ha ri sampai beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi berkurang karena ada¬nya mual dan kurangnya asupan nutrisi. Pemeriksaan rongga mulut dengan menilai ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi. 6) Muskuloskletal. Paralisis bergantung

motor&

pada

dan

ketinggian

paralisis

alat-alat

dalam

terjadinya

trauma.

Gejala

gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena

J. MASALAH KEPERAWATAN (ANALISA DATA) No. 1.

Etiologi Taruma pada tulang belakang

Masalah Keperawatan Nyeri akut

Fraktur pada tulang lumbal Perdarahan mikroskopik Reaksi peradangan 2.

Nyeri akut Taruma pada tulang belakang Fraktur pada tulang lumbal

Resiko syok

Perdarahan mikroskopik Reaksi peradangan Resiko syok K. DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Nyeri akut berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan refleks spasme otot sekunder. b. Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhan saraf perkemihan. L. TUJUAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN a. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan Kaji nyeri yang dialami klien Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, rasa nyeri dapat berkurang/terkontrol Kriteria hasil : Klien mengatakan nyeri berkurang Klien terlihat lebih nyaman Intervensi 1) kaji faktor yang menurunkan toleransi nyeri 2) kurangi atau hilangkan faktor yang meningkatkan nyeri 3) Pantau tanda- tanda vital 4) Ajarkan tekhnik distraksi dan relaksasi 5) Kolaborasi dalam pemberian obat Analgetik b.