MAKALAH PENINGKATAN PROFESIONALISME DOSEN
Oleh:
Drs. H. Syafruddin Amir, M.M.
DISAMPAIKAN DALAM LOKAKARYA SEHARI
STAI SYAMSUL ‘ULUM GUNUNGPUYUH SUKABUMI Gedung Pusat Kajian Islam Kota Sukabumi Tanggal 11 Juni 2010 1
I. MUKADIMAH Untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang profesional diperlukan pengenalan terhadap profesinya. Oleh karena itu, pengajar (dalam hal ini dosen) juga sebaiknya mengetahui bagaimana mengajar yang seharusnya. Menurut pengamatan, tidak sedikit pengajar yang datang untuk mengajar tidak melakukan persiapan, bahkan ada yang hanya bertanya kepada peserta didiknya tentang pelajaran yang telah diajarkannya. Di lain pihak, ada pula pengajar yang hanya memberikan sejumlah bahan ajar dengan tidak mengindahkan apakah bahan itu dapat dipahami mahasiswanya atau tidak, yang penting bahan ajar selesai diberikan. Ada juga pengajar yang hanya mementingkan ilmu pengetahuannya, (beberapa pengajar yang dalam waktu tertentu mendapatkan ilmu tambahan, karena sedang melanjutkan di S2), kemudian memberikan ilmunya tadi ke mahasiswa dengan tidak memikirkan apakah ilmu itu sesuai untuk diberikan atau tidak kepada mahasiswanya. Selain itu, ada pula pengajar yang menganggap dirinya paling pandai serta sebagai sumber kekuasaan sehingga apa yang dikatakannya itu adalah benar dan mahasiswa harus mematuhinya. Padahal, alam kenyataannya ilmu pengetahuan itu berkembang dan sumber informasi pun berkembang sehingga pengajar bukan satu-satunya sumber informasi. Dalam bidang kedosenan, paradigma semula yang dianut adalah dosen sebagai mereka yang menguasai materi disiplin ilmu dan bertugas mentransfer pengetahuannya kepada mahasiswa. Pendekatan itu lazim disebut teacher centered, atau berpusat pada diri dosen, di mana merupakan hal yang
terpenting bagi dosen dalam menjalankan tugas membelajarkan. Karena paradigm itu memiliki banyak hal yang patut dikoreksi, timbullah berbagai usaha untuk mengatasinya. Dengan bangkitnya kepedulian masyarakat untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan, maka timbulah paradigma baru yang berfokus pada kepentingan mahasiswa atau peserta didik (student centered). Paradigma inilah yang melahirkan faculty development, yang kemudian berkembang
lagi
menjadi
pengembangan
profesional
(professional
development = PD). Berdasarkan perubahan paradigma tersebut maka istilah “pengajaran” yang merupakan ciri pendekatan yang memusat kepada dosen, berubah menjadi “pembelajaran” yang berfokus pada kepentingan peserta didik. Paradigma itu menekankan pada tugas pembelajaran yang berfokus pada kegiatan belajar mahasiswa, bukan hanya kegiatan membelajarkan dosen. Keadaan ini pula yang ikut mendorong berkembangnya bidang kajian khusus yang sekarang dikenal sebagai teknologi pembelajaran. Bidang kajian khusus teknologi pembelajaran ini telah mengalami perkembangan melalui serangkaian paradigma, dan sekarang ini didefinisikan sebagai teori dan praktek dalam merancang, mengembangkan, menggunakan, mengelola, menilai, dan meneliti proses, sumber dan sistem untuk belajar. Sejak awal tahun 70-an, beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah menyelenggarakan kegiatan yang termasuk dalam kategori pembinaan dosen, seperti misalnya penataran khusus untuk semua dosen baru. Dalam memasuki era pembangunan yang memberi tekanan pada pengembangan sumber daya
manusia, perguruan tinggi mulai tertantang untuk mampu menghasilkan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian, keterampilan dan profesi yang sesuai dengan keperluan pembangunan di samping sesuai dengan karakteristik dan aspirasi tiap pribadi peserta didik. Tantangan tersebut hanya akan terjawab dengan meningkatkan kemampuan tenaga dosen maupun lembaga penyelenggara pembelajaran. Oleh sebab itu, para pendidik, termasuk dosen, diharapkan pula berperan dalam menciptakan kondisi mental dan sikap masyarakat pada umumnya untuk menerima dan bertindak secara positif dalam proses perubahan sosial dan bahkan penemuan sosial. Para dosen, hanya akan mampu menjawab tantangan itu bilamana kita sendiri telah berhasil meningkatkan kemampuan dan tekad kita dalam mengikuti dan mengantisipasi perkembangan serta tuntutan pembangunan. Sebagai seorang ilmuwan para dosen juga dituntut untuk menguasai suatu bidang keahlian atau profesi tertentu. Tetapi sebagai dosen, maka kita dituntut untuk menguasai keahlian atau profesi kedua, yaitu sebagai dosen, pembimbing, pelatih dan pembina, yang harus mampu membelajarkan para peserta didik/mahasiswa, sehingga terjadi transformasi nilai, sikap dan kemampuan pada diri mereka. Tugas pembelajaran ini merupakan suatu tugas profesional sebagai dosen
II. PROFESI DAN PROFESIONALISME Setiap orang dimungkinkan memiliki pekerjaan namun tidak semua pekerjaan itu sama jenisnya karena hal tersebut diukur dari tingkat kesulitan
dan pendidikan yang ditempuh oleh orang itu untuk memperoleh pekerjaan itu sendiri. Adapun profesi adalah suatu pekerjaan yang menuntut keahlian tertentu pelakunya. Jadi dapat diisyaratkan profesi merupakan pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Tetapi pada penerapannya perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek tersebut dalam cakupan pekerjaan itu sendiri. Profesi berasal dari kata profession, serta profesional berasal dari kata professional, yang mempunyai batasan bervariasi tergantung dari konteks yang ingin diungkapkan. Batasan mengenai profesi dan profesional di antaranya diberikan oleh Page dan Thomas (1979), seperti kutipan dibawah: … profession, evaluative term describing the most prestigious occupations which may be termed professions if they carry out an essential social service, are founded on systematic knowledge, require lengthy academic and practical training, have high autonomy, a code of ethics, and generate inservice growth. Teaching should be judged as a profession on these criteria. Dari batasan di atas maka dapat dikatakan bahwa etika profesi itu berkaitan dengan baik dan buruknya tingkah laku individu dalam suatu pekerjaan, yang telah diatur dalam kode etik. Suatu profesi biasanya terikat dengan kode etik profesi , asosiasi profesi, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. •
Kode etik profesi: organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan. Hal ini digunakan untuk menghindari terjadinya penyimpangan kode etik sehingga menurunkan kehormatan profesi itu sendiri. Dalam kaitannya dengan pendidikan keguruan, ada program studi yang memberikan mata kuliah profesi kependidikan yang menyangkut tentang etika profesi keguruan.
•
Asosiasi profesi: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
•
Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya. Kebanyakan profesi yang berlisensi ini merupakan profesi vital yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas, seperti dokter, apoteker, pengacara, termasuk sertifikasi pada tenaga pengajar.
Dari penjelasan diatas maka secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu: 1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahuntahun. 2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi. 3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat. 4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus. Sekarang kita beranjak pada pemahaman mengenai “Profesional”. Profesional adalah orang yang menyandang suatu jabatan atau pekerjaan yang dilakukan dengan keahlian atau keterampilan yang tinggi dengan penuh ketekunan dan melakukan pekerjaan sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang diambilnya. Seorang professional dapat dibedakan dari penampilan atau performancenya dalam melakukan pekerjaan di profesinya sedangkan profesionalisme merupakan komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuannya secara terus menerus. Profesionalisasi adalah proses atau perjalanan waktu yang membuat seseorang atau kelompok orang menjadi profesional. Dengan demikian
seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan disamping itu pula
ada
unsur
semangat
pengabdian
(panggilan
profesi)
didalam
melaksanakan suatu kegiatan kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk membedakannya dengan kerja biasa yang semata bertujuan untuk mencari nafkah kekayaan materiil. Profesionalisme dalam suatu profesi dapat dijabarkan menjadi tiga yaitu: 1. Kerja seorang profesional yang beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil. 2. Kerja seorang professional berlandaskan oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat. 3. Kerja seorang profesional yang diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam sebuah organisasi profesi.
Ketiga profesionalisme kerja tersebut mencoba menempatkan kaum profesional (kelompok sosial berkeahlian) untuk tetap mempertahankan idealisme yang menyatakan bahwa keahlian profesi yang dikuasai bukanlah komoditas yang hendak diperjual-belikan sekedar untuk memperoleh nafkah, melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan demi kesejahteraan umat manusia. Kalau didalam pengamalan profesi yang diberikan ternyata ada semacam imbalan maka hal itu semata hanya sekedar "tanda kehormatan" demi tegaknya kehormatan profesi, yang jelas akan berbeda nilainya dengan pemberian upah yang hanya pantas diterimakan bagi para pekerja upahan saja.
III. PROFESIONALIME PENGAJAR
Pengajar dan mengajar adalah dua istilah yang sulit untuk dipisahkan. Umpamanya dikatakan bahwa ia adalah guru yang baik apakah individu itu mempunyai karakteristik mengajar yang baik ataukah bertingkah laku yang patut diteladani? Mengajar adalah kata kerja yang biasanya dipakai dalam proses terselenggaranya kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok individu yang belajar, sedangkan pengajar adalah individu yang mendorong melakukan kegiatan tersebut, untuk mencapai suatu tujuan biasanya di perguruan tinggi disebut tenaga pengajar. Namun demikian, pada umumnya pengajar yang baik dapat mengajar dengan baik. Mengajar itu tidak hanya apa yang terjadi di dalam kelas tapi juga persiapan
yang
dilakukan
sebelumnya
dan
penilaian
yang
dilakukan
sesudahnya. Oleh sebab itu yang tercakup dalam mengajar yaitu persiapan dan juga
penyampaiannya,
memberikan
fasilitas,
ceramah,
membimbing,
mengarahkan, dan kadang-kadang mendorong. Mengajar yang baik termasuk semuanya yang telah disebut- kan tadi yang dikerjakan secara sungguh-sungguh. Kesungguhan ini tidak saja sebagai kesungguhan yang umum, tapi lebih bersifat pribadi. Amanah dari Undangundang Guru dan Dosen mensyaratkan guru dan dosen harus profesional. Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip: 1. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; 2. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; 3. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; 4. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; 5. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; 6. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
7. memi liki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; 8. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan 9. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur halhal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan. Implementasi
di
bidang
pekerjaan
mempunyai
karakter
dan
pembedaan yang unik antara peran guru dan dosen, kendatipun keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap peserta didiknya.
Di perguruan tinggi, karena peserta didiknya adalah individu yang dewasa, maka mengajar di sini mempunyai tuntutan yang khusus. Tuntutan mengajar di perguruan tinggi kemudian berubah artinya dari teaching menjadi scholar. Prosesnya bukan lagi hanya memberikan sejumlah informasi tapi sharing the exitement of learning (Spees, 1989). Dari kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mengajar itu tidak hanya mengajar orang lain tetapi juga mengajar diri sendiri, dalam arti bahwa pengajar juga turut belajar. Banyak batasan yang dapat dikutip mengenai mengajar. Dengan demikian, dapat dikatakan yaitu: 1. Agar dapat mengajar maka tenaga pengajar harus mempunyai pengetahuan/ilmu yang akan diajarkan, biasanya disiplin ilmu yang sesuai dengan keahliannya. 2. Tenaga pengajar harus mempunyai itikad akan membagi ilmunya dengan yang lain. Tenaga pengajar juga harus mempunyai komitmen bahwa ia juga akan belajar. 3. Komitmen ini bermakna ganda, yaitu belajar untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain. Yang dimaksud dengan learning untuk tenaga pengajar mencakup belajar tentang ilmunya, belajar tentang mahasiswanya masa kini serta mempelajari dirinya sendiri. Dalam arti bahwa apabila ia merasa bahwa cara ia mengajar tidak memadai maka akan berusaha untuk memperbaikinya. Lebih jauh diuraikan bahwa guru yang baik itu tidak pernah dalam keadaan bad faith, dalam arti bahwa individu akan lari dari tanggung jawab dan
membohongi dirinya sendiri. Tidak ada satupun cara mengajar yang dapat diterapkan ke seluruh situasi mengajar karena begitu banyak cara mengajar. Istilah cara mengajar yang baikpun tidak dapat dikatakan baik untuk semua mata kuliah. Selalu harus disertai “baik untuk apa” dan “baik untuk siapa” serta “bagaimana pelaksanaannya”. Oleh sebab itu “cara mengajar yang baik” itu dapat diartikan cara mengajar yang tepat untuk tujuan tertentu dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi kelas. Cara mengajar itu adalah suatu proses yang melibatkan tenaga pengajar dan mahasiswa yang akan bekerja sama menciptakan lingkungan belajar, temasuk nilai dan keyakinan yang akanmembentuk pandangan tertentu tentang kenyataan. Tidak dapat dibatasi hanya mengenal satu cara mengajar yang baik karena tidak satupun model yang dapat memenuhi semua macam cara belajar.
Banyak cara belajar memerlukan banyak macam cara mengajar. Namun demikian, biarpun tidak semua tenaga pengajar mampu melaksanakan mengajar yang seperti diuraikan di atas, tapi tenaga pengajar itu dapat mengupayakan agar proses mengajar menjadi suatu proses yang menyenangkan baik bagi tenaga pengajar ataupun mahasiswa serta dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. Profesi berasal dari kata Latin professare, yang berarti deklarasi keyakinan seseorang sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, dan tata nilai yang dimilikinya. Kata ini juga menunjukkan adanya keterbukaan untuk diuji telik oleh pihak lain untuk menjamin kebenarannya. Ada sejumlah kri teria dari sebuah profesi sebagai berikut:
(1) mantapnya sebuah profesi memakan waktu lama dan kerja keras sehingga pengetahuan teoritis dan praktiknya sama kuatnya. (2) Para anggotanya terus meningkatkan kemampuan okupasional, tidak berhenti setelah kelulusan dan peraihan sertifikat profesi. (3) Adanya komunikasi profesi dan apresiasi antara seorang profesional dengan komunitas pengguna layanan. Seorang profesional mengomunikasikan profesinya lewat perkataan dan perbuatannya. Sementara itu publik meresponnya dengan pengakuan dan apresiasi, antara lain dalam wujud sallary. Secara universal, ada kekhasan yang melandasi profesionalisme tenaga pengajar, yaitu penelitian. Lewat penelitian tenaga pengajar mencari kebenaran ilmiah secara otonom terbebas dari pengaruh luar. Kebenaran relatif itu merupakan prestasi dirinya untuk menuai rekognisi dan penghargaan akademik. Dengan demikian, tanpa penelitian seorang tenaga pengajar akan kehilangan jati dirinya. Dalam persaingan yang semakin ketat, prestise dan pendapatan materi seorang tenaga pengajar sebagai pemimpin masyarakat dan pembentuk opini publik tergantung pada kualitas layanan profesionalnya, tidak lagi pada atribut-atribut akademikyang dimilikinya. Para tenaga pengajar harus sadar bahwa perkembangan kualitas profesinya kini diukur melalui mekanisme audit internal dan eksternal. Dikhawatirkan bahwa peningkatan profesi akan mandek ketika hasil atau titik ideal sudah tercapai, padahal persaingan antarprofesi semakin sengit. Untuk itu, paradigma pengembangan profesi mesti diubah dari orientasi profesi ke orientasi pengembangan yang berkelanjutan (continuous development) dalam konteks jaminan mutu. Berdasarkan lima kriteria di atas, pengembangan profesi tenaga pengajar dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Seorang tenaga pengajar seyogyanya memiliki kualifikasi yang menunjang kepakarannya. Namun ini tak cukup. Ia mesti terus
meningkatkan dirinya lewat penelitian dan publikasi. Dari kacamata perguruan tinggi kontribusi tenaga pengajar terhadap perbaikan praktik pendidikan nasional bukan karena keterlibatan langsung pada pendidikan, tetapi keterlibatannya pada penelitian ilmiah dan publikasinya. 2. Kedua, seorang tenaga pengajar mesti konsisten, istiqomah, dan committed terhadap kepakarannya dari S1, S2, sampai S3, dan didukung oleh penelitian yang terus menerus pada bidang yang diklaimnya (claimed expertise) sebagaimana teruji oleh publik lewat jurnal penelitian dan makalah yang disajikan pada forum ilmiah. 3. Profesionalisme tenaga pengajar tampak pada empat indikator yang terfokus pada perguruan tinggi yaitu: a. penguasaan bidang kepakaran dan pemahaman teori-teori pendidikan serta aplikasinya pada pembelajar dewasa (andragogi), b. penerapan pengetahuan kependidikan pada proses belajar mengajar tingkat universitas, c. mempraktekkan otonomi pengajaran secara akuntabel, dan d. tumbuhnya etos profesional di lingkungan kampus. Problem yang dialami hampir oleh semua perguruan tinggi adalah zigzag kepakaran akibat lemahnya kepatuhan terhadap bidang studi. Banyak tenaga pengajar yang memiliki gelar S1, S2, dan S3 dalam disiplin yang berbeda. Memang yang bersangkutan menjadi seorang generalis: tahu banyak hal namun dangkal. Profesionalisme tenaga pengajar juga mesti akuntabel di mata kolega dan legawa jika dinilai oleh mahasiswanya. Di universitas-universitas Amerika, akuntabilitas ini ditem- puh antara lain lewat evaluasi mahasiswa terhadap kualitas mengajar. Pada perkuliahan terakhir pada setiap semester tenaga pengajar lazim menyebarkan angket evaluasi untuk mempertanyakan sembilan indikator profesionalisme dan kompetensi tenaga pengajar sebagai berikut: 1. Keterampilan berkomunikasi, yakni apakah tenaga pengajar itu mampu menginterpretasikan gagasan dan teori abstrak sehingga dipahami mahasiswa. 2. Sikap positif terhadap mahasiswa, apalagi mahasiswa tingkat pascasarjana sebagai pembelajar dewasa, dan tidak menempatkan mereka sebagai sapi perah, anak kecil, atau botol kosong.
3. Pengetahuan yang luas ihwal materi yang diajarkan lewat penelitian dan publikasi ilmiah. 4. Manajemen materi ajar dan perkuliahan yang baik. 5. Antusiasme sang tenaga pengajar pada mata kuliah yang diajarkannya. 6. Kejujuran dalam menyelenggarakan ujian dan pemberian nilai. 7. Keinginan untuk bereksperimen dengan cara-cara baru. 8. Keinginan untuk mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis. 9. Sebagai sosok tenaga pengajar yang menarik, tidak membosankan, dan tidak menakutkan mahasiswa. Guru dan tenaga pengajar, keduanya dituntut bekerja profesional pada tataran yang berbeda. Profesionalime guru terletak pada intensitas pedagogi, yakni keterlibatan dalam membelajarkan siswa. Sementara itu profesionalisme tenaga pengajar terletak pada intensitas inkuiri (inquiry) dan andragogi yakni kegiatan penelitian dan keilmuan dan interaksinya dengan pembelajar dewasa. Sekali lagi, variabel pembedanya adalah penelitian. Penelitian adalah media pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan pengajaran di sekolah pada intinya adalah pengembangan kepribadian siswa. Dengan disahkannya PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan dan UU tentang guru dan tenaga pengajar, tuntutan profesionalisme bagi sosok pendidik pada setiap jenjang pendidikan semakin berat. Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta mesti mengamalkan peraturan dan undang-undang ini antara lain dengan mengangkat tenaga pengajar minimal berpendidikan S2 dengan kepakaran yang relevan. Guru profesional yang tersertifikasi itu minimal berijazah S1 dan telah menempuh 36 SKS bidang kependidikan. Dengan demikian, pada tataran pokok bahwa hal penting yang harus diperhatikan dalam profesionalisme staf pengajar adalah agar mereka merasa bangga akan profesinya sebagai pengajar.
IV. PENGEMBANGAN PROFESIONALISME TENAGA DOSEN Istilah pengembangan profesi dosen menunjukkan usaha yang luas dalam meningkatkan pembelajaran dan kinerja di perguruan tinggi. Menurut Gaff (1975) dan Doughty (2006), ada tiga usaha lain yang saling berkaitan, yaitu
pengembangan
pengembangan
instruksional
organisasi
(instructional
(organization
development
development
=
OD)
=
ID),
,
dan
pengembangan profesional (professional development = PD).
Pengembangan personal adalah usaha yang menekankan pada pemberian kesempatan pertumbuhan dan perkembangan perorangan untuk mencapai tujuan hidup sepanjang tujuan itu selaras dengan misi kelembagaan. Pengembangan profesional meliputi kegiatan peningkatan kadar keilmuan, serta kemampuan pembelajar an dan meneliti. Semula kita mengenal istilah "Tridharma" yang merupakan ciri profesional dosen, tetapi berdasarkan P.P. No. 30 tahun 1990 pengertian Tridharma tidak digunakan lagi, dan kegiatan pengabdian masyarakat tidak secara eksplisit menjadi tugas dosen, melainkan tugas kelembagaan. Pengembangan instruksional, sebagai suatu program yang ditujukan pada kemudahan belajar mahasiswa (seperti perancangan pembelajaran, pembuatan bahan ajar, penyajian, penilaian, dan umpan balik), merupakan suatu bagian pengembangan tenaga dosen yang terpenting. Sedang pengertian pengembangan organisasi adalah program yang berfokus pada peningkatan produktivitas pembelajaran melalui perbaikan kondisi dan latar (setting) kerja serta pemberian kesempatan berkembang dan perbaikan iklim
kelembagaan. Pengembangan masyarakat berfokus pada keselarasan pribadi dalam lingkungan masyarakat (termasuk masyarakat profesi dan ilmiah) dimana ia menjadi anggotanya. Termasuk bagaimana seseorang berfungsi dan berperan dalam lingkungan sosialnya. Pengembangan sarana meliputi penyediaan fasilitas fisik dan non fisik (listrik, telepon, komunikasi data elektronik dan lain-lain) yang menunjang pelaksanaan proses belajar-membelajarkan. Pengembangan karier meliputi pembinaan yang mengarah pada pencapaian jenjang jabatan dan pangkat tertinggi. Pengembangan kesejahteraan merupakan program pemberian jaminan kelayakan hidup dan berkarya. Dengan
demikian,
istilah
pengembangan
tenaga
dosen
dapat
didefinisikan sebagai suatu usaha terintegrasi dan terorganisasikan untuk membantu dosen memperoleh kesejahteraan, pengetahuan, keterampilan, keselarasan, dan kepekaan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dan penelitian. Usaha ini mengandung pengertian yang komprehensif, karena tujuan yang paling utama adalah meningkatnya belajar mahasiswa sehingga mereka mampu melaksanakan tugas pembangunan di masa depan. Berdasarkan pendapat Gaff (1975) dapat dirumuskan 17 asumsi yang merupakan
dasar
pertimbangan
perlunya
diselenggarakannya
program
pengembangan tenaga dosen, sebagai berikut: 1. Tenaga dosen merupakan sumber pendidikan paling penting dari perguruan tinggi. 2. Pembelajaran merupakan tugas profesional utama bagi setiap tenaga dosen, meskipun bukan merupakan satu-satunya tugas. 3. Kualitas keilmuan dan penelitian, yang juga merupakan kegiatan professional banyak tenaga dosen, tidak perlu di pertentangkan dengan pembelajaran yang efektif. 4. Membelajarkan telah banyak dilakukanan dalam tradisi akademik.
5. Kualitas belajar dan membelajarkan masih perlu ditingkatkan. 6. Memperbaiki pembelajaran memerlukan kerjasama antara pengelola dan mahasiswa, mungkin bahkan dengan anggota masyarakat, serta sesama sejawat. 7. Dosen memperoleh persiapan yang sangat sedikit untuk melaksanakan peranan pembelajaraan, sedang pengelola hanya mendapat latihan sedikit tentang kepemimpinan, perumusan kebijakan, serta peranan manajerial untuk melaksanakan tugasnya. 8. Membelajarkan merupakan serangkaian sikap, pengetahuan, keterampilan, motivasi dan nilai yang kompleks. Perbaikan kegiatan pembelajaran dan belajar harus memperhitungkan kerumitan yang melibatkan dosen, mahasiswa dan lembaga. sehingga oleh karena itu harus dihindari usaha penyelesaian secara sederhana. 9. Pembelajaran yang efektif meliputi bagaimana membantu mahasiswa untuk mencapai tujuan belajar. 10. Tidak ada satu model tunggal untuk belajar dan pembelajaran yang efektif 11. Karakteristik mahasiswa sangat beragam. Gaya belajar mereka yang berbeda karena kemampuannya, minatnya, latar belakang pendidikannya, aspirasi masa depannya dan orientasi perorangannya, perlu ditanggapi dengan memberikan pengalaman belajar yang berbeda. 12. Karakteristik dan latar belakang dosenpun sangat beragam. 13. Pelaksanaan tugas profesional seseorang terkait erat dengan kehidupan pribadinya 14. Usaha seseorang untuk mengusahakan perbaikan lebih didasarkan pada dorongan intrinsik daripada ekstrinsik. 15. Dosen dan anggota civitas lain akan bersedia melibatkan diri dalam berbagai program, dan menganggapnya sebagai suatu kebutuhan, bilamana usaha perbaikan dijadikan suatu usaha yang berkelanjutan. 16. Setiap lembaga mempunyai sumber yang dapat dihimpun untuk program perbaikan pembelajaran. 17. Kegiatan belajar dan membelajarkan bersifat individual, tetapi tidak terisolasikan; ia berlangsung dalam konteks sosial. Corak belajar dan membelajarkan dipengaruhi oleh iklim kelembagaan, hubungan antara para dosen, mahasiswa dan administrator, serta kebijakan dan praktek dalam lembaga yang bersangkutan. Bertolak dari asumsi itu dapat dirumuskan berbagai usaha dalam pengembangan tenaga dosen. Sejalan dengan pendapat Eble dan McKeachie (1986) dapat diidentifikasikan delapan fokus dalam pengembangan tenaga dosen yang perlu dilakukan, yaitu : 1. Pengembangan profesional, yang berupa peningkatan kompetensi pembelajaran dan produktivitas penelitian.
2. Pengembangan keterampilan tambahan dalam pembelajaran, termasuk perencanaan dan pengelolaan perkuliahan, penggunaan berbagai macam metode dan sarana pembelajaran, penilaian, serta keterampilan khusus/teknik pembelajaran dalam disiplin yang bersangkutan. 3. Pemahaman yang lebih baik terhadap mahasiswa. 4. Peningkatan keterampilan hubungan antar pribadi dengan mahasiswa. 5. Pertumbuhan dalam jabatan. 6. Peningkatan motivasi dan kegairahan, atau peningkatan kepuasan intrinsik. 7. Peningkatan kesempatan untuk belajar satu sama lain. 8. Peningkatan komunikasi antar sejawat. Ke delapan kemungkinan fokus program di atas sebenarnya saling berkaitan
dan
sebaiknya
dilakukan
semua
secara
terintegrasi
dan
berkesinambungan. Tentu saja hal itu tergantung pada kondisi dan kebutuhan masing-masing perguruan tinggi.
V. PROGRAM PENGEMBANGAN PROFESIONALISME TENAGA DOSEN Secara garis besar dapat diidentifikasikan beberapa macam program yang dilakukan untuk pengembangan tenaga dosen, yaitu 1. Program Orientasi untuk Staf Dosen Baru. Meskipun sebagian besar tenaga dosen baru diangkat melalui program asistensi terlebih dahulu, namun banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa asistensi ini sangat terbatas lingkupnya. Program orientasi mempunyai lingkup yang lebih luas, karena dapat memperkenalkan mekanisme kelembagaan, struktur organisasi, hakekat pembelajaran dan lain-lain. Terlebih penting lagi hal ini juga menunjukkan perhatian dari pimpinan lembaga yang besar terhadap para tenaga baru itu. Seyogyanya program orientasi ini tidak hanya merupakan acara tambahan dalam latihan semacam prajabatan, serta tidak dihapuskan
karena sudah ada program penataran kemampuan membelajarkan, karena program orientasi adalah untuk memberikan dasar kemampuan profesional sebagai dosen.
2. Evaluasi Kinerja Dosen. Bagi dosen yang telah bertugas membelajarkan, diperlukan evaluasi atas kinerja kedosenannya (instructional performance). Evaluasi ini diperlukan untuk menentukan apakah dosen yang bersangkutan perlu dinaikkan pangkatnya (diberi penghargaan) atau diperbaiki kinerjanya. Evaluasi yang komprehensif akan terdiri dari : evaluasi diri sendiri, observasi kelas oleh penilai, wawancara terstruktur dengan sejawat dan mahasiswa,
survey
pendapat
perkuliahan,
pengkajian
atas
para
mahasiswa,
hasil
belajar
analisis
mahasiswa,
materi laporan
perkuliahan, dan penilaian oleh Ketua Jurusan. Evaluasi yang sering dilakukan adalah evaluasi diri dan survai pendapat mahasiswa. Dengan bertolak dari asumsi bahwa kegiatan dosen terpenting adalah efektivitas pembelajaran, maka ada tujuh karakteristik yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi dosen, yaitu: (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
pengorganisasian kuliah dengan baik; komunikasi yang efektif; penguasaan dan kegairahan dalam matakuliah; sikap positif terhadap mahasiswa; pemberian ujian dan nilai yang adil; keluwesan dalam pendekatan dosenan; dan hasil belajar mahasiswa yang memuaskan.
Kegiatan evaluasi ini boleh dikatakan merupakan awal yang perlu dilakukan sebelum dilakukan tindakan perbaikan dosen.
3. Pendidikan Lanjutan Pendidikan ini adalah tingkat Pasca Sarjana (Magister) dan Doktor dalam spesialisasi Teknologi Pendidikan, di dalam maupun di luar negeri.
Perguruan
tinggi
yang
memiliki
program
studi
teknolgi
pembelajaran memang diharapkan dapat menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang disiplin ilmu, seperti kedokteran, rekayasa, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Seyogyanya mereka ini, karena jumlahnya yangterbatas, dijadikan kader untuk pembinaan profesional di lembaganya masing-masing, setelah mereka menamatkan studinya. Matakuliah yang diberikan dalam spesialisasi ini difokuskan pada kemampuan
membelajarkan
di
Spesialisasi
lanjutan
bidang
dalam
lembaga ini
peserta
masing-masing.
seyogyanya
diakui
dan
mendapatkan penghargaan (termasuk angka kredit untuk kenaikan pangkat) yang sama dengan penghargaan yang diberikan terhadap gelar tambahan dalam disiplin keilmuan masing-masing, meskipun dengan pembatasan tugas tertentu. Misalnya seorang Sarjana llmu Ekonomi dengan gelar tambahan Doktor dalam Teknologi Pendidikan, dapat memperoleh kenaikan pangkat karena gelar tambahannya, meskipun mungkin dibatasi wewenangnya untuk membelajarkan di Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi, karena pendalaman dalam disiplin keilmuan dianggap kurang.
4. Lokakarya dan seminar dalam kampus. Lokakarya/seminar ini diselenggarakan mengenai berbagai aspek belajar dan membelajarkan. Topik seperti pengelolaan perkuliahan, dosen
beregu (team teaching), pembelajaran perorangan, penilaian kemajuan belajar, penilaian program perkuliahan, pembuatan media instruksional, pemanfaatan
televisi
jaringan
tertutup
(CCTV)
dan
sebagainya.
Lokakarya/ seminar ini dapat diberikan dalam waktu yang pendek, mulai setengah hari hingga tiga hari, sehingga tidak mengganggu tugas akademik lainnya. Namun seyogyanya lokakarya/seminar itu dilakukan secara berkesinambungan dan diselenggarakan oleh suatu tim yang tetap, sehingga dapat dijamin kesinambungannya dan dihindari duplikasi atau kontradiksi. 5. Konferensi di luar kampus. Konperensi ini merupakan kegiatan baik yang diselenggarakan untuk satu bidang studi khusus maupun untuk berbagai bidang studi secara bersamaan mengenai berbagai aspek membelajarkan dan belajar. Konferensi semacam ini akan membuka cakrawala yang lebih luas, dan memungkinkan terjadinya pertukaran informasi dan pengalaman yang lebih banyak. Konferensi semacam ini juga diselenggarakan secara internasional, baik dengan peserta dari satu bidang keilmuan tertentu maupun dari aneka disiplin. Sudah seyogyanya keikutsertaan dalam konferensi
semacam
ini
dibiayai
dan
dihargai
sebagaimana
keikutsertaan dalam konferensi mengenai disiplin keilmuan masingmasing. 6. Magang Kegiatan magang ini dilakukan untuk memperoleh kemampuan atau keterampilan umum maupun khusus dalam bidang yang berkaitan
dengan belajar-membelajarkan. Secara umum magang dilaksanakan dengan menugaskan seseorang pada suatu unit/ lembaga lain secara penuh dalam jangka waktu tertentu. Unit/ lembaga tersebut dapat di dalam atau di luar kampus, yang mempunyai tugas khusus untuk mengembangkan
salah
atau
serangkaian
komponen
teknologi
pembelajaran, seperi misalnya perancangan program pembelajaran, produksi media pembelajaran, evaluasi program, proses dan hasil belajar dan sebagainya. Beberapa perguruan tinggi mempunyai unit yang disebut Pusat Sumber Belajar atau Pusat Pengembangan Pembelajaran. Perguruan tinggi yang merupakan “teaching university” semestinya mempunyai unit untuk magang tersebut. 7. Penelitian Masalah Belajar-Membelajarkan Penelitian semacam ini masih sangat terbatas dilakukan, sebagian karena masalah biaya, tetapi ada dugaan kuat bahwa penelitian ini kurang menarik bagi disiplin keilmuan selain pendidikan, karena kurang mendapatkan penghargaan. Banyak lembaga berpendapat bahwa hanya penelitian dalam disiplin keilmuan sendiri saja yang pantas mendapat penghargaan
(angka
kredit
kenaikan
pangkat),
dan
bukannya
membelajarkankan disiplin keilmuan itu. Penelitian dalam bidang ini dengan berbagai latar disiplin keilmuan sangat diperlukan dalam usaha meningkatkan efisiensi internal proses pendidikan. Di samping itu penelitian seperti ini juga perlu untuk meningkatkan kerjasama dan cakrawala professional di antara para dosen. Tema umum penelitian ini adalah pengelolaan, pengembangan, dan pemanfaatan sumber belajar
untuk meningkatkan produktifitas, efektivitas, dan efisiensi belajarmembelajarkan. VI. KONDISI KEBERHASILAN KEGIATAN Kegiatan pembinaan dosen memerlukan kondisi yang mendorong dan menggairahkan baik bagi para dosen maupun penyelenggara kegiatan itu sendiri. Kondisi yang sangat menentukan menurut pendapat saya adalah motivasi dosen untuk mengadakan perbaikan, atau motivasi intrinsik pada masing-masing dosen. Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang baik secara sadar maupun tidak, untuk melaksanakan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Dalam melaksanakan kegiatan perkuliahan motivasi itu berfungsi untuk mendorong timbulnya perbuatan, menjamin kesinambungan perbuatan, memberikan arah perbuatan, dan menentukan perbuatan yang diperlukan guna mencapai tujuan. Motivasi pada diri seorang dosen berperan untuk menumbuhkan gairah, rasa senang, dan semangat untuk membelajarkan. Apabila seorang dosen termotivasi untuk memperbaiki kegiatan membelajarkannya maka ia akan dengan gairah mengikuti program pengembangan yang ditawarkan. Berdasarkan teori motivasi Maslow (1970), setiap orang mempunyai motivasi untuk menggunakan waktu dan tenaganya guna memenuhi sejumlah kebutuhan dasar yang sama, meskipun dengan intensitas yang berbeda.
Kebutuhan yang paling dasar adalah untuk bertahan hidup dalam lingkungannya. Bagi seseorang yang berprofesi sebagai dosen, tentunya
kebutuhan dasarnya adalah bertahan dalam lingkungan akademik yang memberikan kebebasan untuk berpikir mandiri. Tingkat kebutuhan berikut adalah keamanan, yang tercermin dengan adanya tugas/pekerjaan yang menarik dan memberinya manfaat. Tingkat kebutuhan selanjutnya adalah rasa untuk dimiliki, yaitu didengarkan, diperhatikan dan diberi kesempatan. Kebutuhan pada peringkat yang lebih tinggi adalah untuk memperoleh penghargaan, pengakuan dan kepercayaan. Sedang kebutuhan pada tingkat tertinggi adalah pemenuhan diri, yang terwujut dengan adanya usaha pengembangan keterampilan dan pertumbuhan diri guna mengatasi tantangan yang dihadapi. Kondisi internal yang berupa motivasi ini boleh dikatakan berlaku dalam setiap bidang kehidupan dan/atau kekaryaan manusia. Dalam rangka mempertahankan hidup, perlu diperhatikan hukum ekonomi yang menyatakan bahwa seseorang cenderung berbuat sesuatu bila ada keuntungan relatif dengan dilakukannya perbuatan itu. Seseorang akan berusaha memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Berdasarkan pada teori motivasi dan hukum ekonomi ini dapat dirumuskan beberapa rujukan yang dapat dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pengembangan tenaga dosen. Beberapa rujukan yang kiranya dianggap penting adalah sebagai berikut:
1. Adanya kegiatan yang berkelanjutan dan tersedia kapan saja dosen yang bersangkutan membutuhkan. 2. Adanya implikasi ke arah kemudahan bagi dosen dalam menjalankan tugas pembelajarannya. 3. Diberikan pengakuan dan penghargaan bukan hanya yang bersifat material.
4. Menumbuhkan rasa percaya diri. Eble dan McKeachie mengajukan sejumlah persyaratan untuk keberhasilan program pembinaan dosen. Beberapa di antara persyaratan yang terpenting adalah: 1. Direncanakan secara teliti dan lengkap 2. Ditawarkan beberapa kesempatan yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan dosen (kesempatan ini seyogyanya jangan terlalu banyak dan jangan pula terlalu terbatas) 3. Dikelola secara efektif, baik dari segi akademik maupun administratif 4. Dilibatkan sejumlah tenaga akademik yang berkemampuan dalam merencanakan dan mengelola kegiatan 5. Tidak diselenggarakan dengan "ancaman" ataupun menggoyahkan kedudukan dosen 6. Hasilnya dapat dilihat dan dirasakan bukan hanya oleh dosen peserta, namun juga untuk jurusan/fakultas serta mahasiswa 7. Terciptanya situasi dimana peserta memperoleh penghargaan dari rekan sejawat, dan bukannya ejekan. Dengan diberikannya sejumlah otonomi kepada perguruan tinggi seyogyanya program pembinaan dosen ini dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan sendiri, dan tidak sekedar menunggu instruksi ataupun mengharapkan proyek dari Pusat.
VII. MENUJU PENGAJAR BERHASIL Ada beberapa usaha yang telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas mengajar, namun belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, seperti pelatihan penyusunan satuan acara perkuliahan, beberapa macam metodologi pengajaran, ataupun pemantauan kehadiran mengajar. Hal lain yang menjadi bahan pemikiran yaitu belum ada kesepakatan yang jelas apa yang harus dikerjakan dalam mengajar pada bidang ilmu masing-masing karena belum ada pembakuan untuk menilai bahwa seseorang telah mengajar dengan baik. Namun demikian ada bahan acuan bagaimana mengajar yang baik namun
masih harus disempurnakan, dan disesuaikan dengan tujuan institusional sebagai acuan pelaksanaan visi dan misinya. Bertitik tolak dari bahan pemikiran inilah dapat disusun suatu kode etik yang sesuai dengan profesi pengajar sehingga menjadikan mengajar sebagai suatu kebanggaan dalam menjalankan tugasnya. Walaupun
kadang-kadang
pekerjaan
mengajar
ini
tidak
dapat
penghargaan yang sebagaimana mestinya, masih banyak yang beranggapan bahwa mengajar dapat dikerjakan oleh siapa saja. Mungkin anggapan ini ada benarnya dalam beberapa hal, namun mengajar yang bagaimana yang mereka lakukan. Adakah mereka mengindahkan tujuan yang ingin dicapai? Apakah mereka juga memikirkan mahasiswa yang harus didorong untuk mau belajar? Ataukah sekedar berdiri di depan kelas dan membicarakan sesuatu? Antara lain hal semacam inilah yang sebaiknya dipahami oleh pengajar, sehingga diharapkan menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tujuan institusi. Secara umum mengajar yang baik itu memerlukan ilmu dasar untuk mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan keahlian individu. Yang diuraikan dalam makalah ini adalah mengajar secara umum, sedangkan keterampilan mengajar yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan keahliannya sebaiknya dibahas di masing-masing bidang profesi. Contoh: Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia
(ISEI)
dapat
merencanakan,
melaksanakan,
dan
mengevalusi pengembangan profesi staf pengajar ilmu ekonomi, atau Persatuan Insinyur Indonesia (PII) untuk ilmu teknik, begitu halnya ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia).
Dalam hal ini perlu dipikirkan ilmu dasar yang mana yang diperlukan sebagai dasar untuk mengajar agar mengajar dapat dikategorikan dalam suatu profesi. Pengajar yang berhasil adalah mereka yang dapat menyampaikan keahliannya untuk semua mahasiswanya. Kegiatannya berdasarkan keyakinan bahwa
semua
mahasiswa
dapat
belajar.
Dia
akan
memperlakukan
mahasiswanya sama, namun mengetahui perbedaan mahasiswanya satu dengan yang lainnya,
sehingga dapat memperlakukan mereka
sama
berdasarkan perbedaan yang telah diketahuinya. Dia akan menyesuaikan kegiatannya berdasarkan observasi serta tentang pengetahuannya akan minat, kecakapan,
kemampuan,
keterampilan,
ilmu
pengetahuan,
lingkungan
keluarga, serta hubungan satu sama lainnya di antara sesama mahasiswa. Pengajar yang berhasil akan memahami bagaimana mahasiswa berkembang dan belajar. Dia akan mempergunakan teori kognisi dan intelegensi dalam kegiatannya. Dia sadar bahwa mahasiswanya akan berperilaku sesuai dengan kontek yang dipengaruhi budaya. Dia akan mengembangkan kemampuan kognitif dan menghormati cara mahasiswa belajar. Yang sangat penting adalah mendorongself esteem, motivasi, karakteristik, bertanggung jawab terhadap masyarakat, respect terhadap perbedaan individu, budaya, kepercayaan, dan ras dari mahasiswanya. Pengajar yang berhasil sangat memahami bidang ilmu keahlian yang akan
diajarkannya
dan
menghargai
bagaimana
pengetahuan
tersebut
diciptakan, diorganisasikan, dihubungkan dengan ilmu pengetahuan lainnya, serta diterapkan dalam dunia nyata. Dengan tidak melupakan kebijaksanaan
dari budaya dan disipln ilmu, serta mengembangkan kemampuan menganalisa dari mahasiswanya. Pengajar
yang
berhasil
akan
mengetahui
bagaimana
cara
menyampaikan ilmu keahliannya kepada mahasiswa. Mereka akan tahu mana yang sulit diterima oleh mahasiswa, sehingga akan menyampaikannya dengan cara yang dapat diterima. Cara mereka mengajar akan memungkinkan bahan ajar diterima mahasiswa dengan baik karena mempunyai strategi mengajar yang telah dikembangkannya sesuai dengan kebutuhan mahasiswa yang bervariasi untuk memecahkan masalah yang sesuai dengan kemampuan mahasiswa. Pengajar yang berhasil, akan menciptakan, memperkaya, memelihara, dan menyesuaikan cara mengajarnya untuk menarik dan memelihara minat mahasiswa dalam menggunakan waktu mengajar sehingga mengajarnya efektif. Mereka juga akan memberikan pertolongan dalam proses belajar dan mengajar kepada mahasiswa dan teman sejawatnya. Pengajar yang berhasil akan tahu cara mana yang tepat yang dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Mereka juga akan tahu bagaimana mengatur mahasiswa agar dapat mencapai tujuan mengajar yang diinginkan serta mereka akan tahu mengarahkan mahasiswa untuk sampai pada lingkungan belajar yang menyenangkan. Mereka memahami bagaimana memotivasi
mahasiswa
termasuk
bagaimana
cara
mengatasi
apabila
mahasiswa menemui kegagalan. Pengajar yang berhasil akan juga memahami kemajuan mahasiswa dalam belajar baik secara perorangan ataupun secara umum dalam kelasnya.
Memahami bermacam-macam cara evaluasi untuk mengetahui perkembangan mahasiswa serta bagaimana mengkomunikasikan keberhasilan ataupun kegagalan mahasiswa kepada orang tua mahasiswa. Pengajar yang berhasil, adalah model dari hasil pendidikan yang akan dijadikan
contoh
oleh
mahasiswanya,
baik
keberhasilan
dari
ilmu
pengetahuannya ataupun cara mengajarnya. Seperti, keingintahuannya, kejujurannya,
keramahannya,
keterbukaannnya,
mau
berkorban
dalam
mengembangkan mahasiswa, ataupun hal lain yang berkaitan dengan karakteristik pengajar yang lainnya. Pengajar
yang
berhasil
akan
memanfaatkan
ilmu
tentang
perkembangan individu, keahlian dalam bidang ilmu dan mengajarnya, serta tentang mahasiswanya dalam penilaian dan kepercayaannya bahwa cara inilah yang terbaik untuk dilakukan dalam proses mengajar. Untuk keberhasilan proses mengajarnya, pengajar yang berhasil akan selalu memikirkan dan mengembangkan
keberhasilan
cara
mengajarnya
serta
selalu
menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan teori, ide, ataupun faktanya.
Pengajar yang berhasil, akan berkontribusi serta bekerja sama dengan teman sejawatnya tentang seluruh kegiatan yang berkaitan dengan proses belajar dan mengajar, seperti pengembangan kurikulum, pengembangan staf lainnya selain pengajar, ataupun kebijakan lainnya dari seluruh institusi pendidikan. Mereka akan menilai perkembangan institusinya serta sumber lain yang tersedia dalam menunjang perkembangan pendidikan sesuai kebutuhan masing-masing. Pengajar yang berhasil selalu mendapatkan cara yang terbaik
dalam berhubungan degan teman sejawatnya untuk produktivitas hasil pendidikan secara menyeluruh. Dari kelima aspek inilah kemudian akan dikembangkan untuk dirumuskan tentang apa yang sebaiknya dilaksanakan oleh pengajar yang dapat dikategorikan berhasil untuk kemudian disusun sebuah tolok ukur (standar). Salah satunya yaitu pengembangan model pendidikan profesional tenaga kependidikan (PPS, 1990) yang memiliki ciri-ciri: 1. memiliki fungsi dan signifikasi sosial, 2. memiliki keahlian/keterampilan tertentu, 3. keahlian/keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah, 4. didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas, 5. diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama, 6. aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional, 7. memiliki kode etik, 8. kebebasan untuk memberikan judgement dalam memecahkan masalah dalam lingkup kerjanya, 9. memiliki tanggung jawab professional dan otonomi, dan 10. ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya.
VIII. PRASARANA PENDUKUNG Usaha untuk mengembangkan profesionalisme tenaga dosen tidak mungkin berjalan begitu saja tanpa adanya sarana pendukung untuk penyelenggaraan kegiatan itu. Prasarana pendukung adalah kondisi yang mendorong dan menarik untuk memprakarsai dan melaksanakan pembaharuan atau suatu iklim yang menggairahkan mereka yang berkepentingan untuk bertindak. Prasarana pendukung ini dapat dibedakan dalam lima macam, yaitu:
1. Dukungan moral dan kebijakan
Dukungan ini diperlukan dari seluruh jajaran pimpinan perguruan tinggi, mulai dari Yayasan Pembina, Rektor hingga eselon terbawah, serta para pelaksana yaitu dosen sendiri. Dukungan ini merupakan hal yang menentukan dalam meningkatkan aktivitas instruksional. Tanpa adanya perhatian yang besar dari pengelola tertinggi dalam suatu lembaga tentang pentingnya fungsi dosenan, maka semangat dan dedikasi para dosen akan susut. Sekarang ini masih ada penafsiran yang kaku dalam sistem SKS yaitu harus adanya kegiatan tatap muka yang disertai kegiatan terstruktur dan belajar mandiri dengan perbandingan waktu yang baku. Sudah waktunya penafsiran yang kaku itu diperbaiki, karena ceramah dengan tatap muka tidak selalu merupakan cara terbaik untuk belajar. Demikian juga sistem akreditasi dalam bentuk kolokium dan pembuatan portofolio pada umumnya masih belum dapat dimengerti dan diterima.
2. Dukungan organisasi Dukungan moral perlu diterjemahkan dalam serangkaian tindakan. Untuk penerjemahan dan penyusunan rangkaian tindakan itulah diperlukan adanya
dukungan
organisasi.
Pembaharuan
kegiatan
belajar-
membelajarkan adalah kegiatan yang bersistem dan berkelanjutan, dengan sedikitnya sembilan macam kegiatan yang dapat dilakukan. Oleh karena itu perlu ada suatu organisasi tetap yang melaksanakan fungsi pengelolaan dan pelaksanaannya. Dalam waktu dekat nampaknya tidak mungkin dibentuk organisasi struktural,
tetapi secara fungsional
organisasi ini mungkin dibentuk. Misalnya ada organisasi yang disebut
Pusat Sumber Belajar, Pusat Sumberdaya Informasi, Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan, Pusat Teknologi Pendidikan, dan Pusat Latihan Staf Dosen, yang telah banyak melakukan kegiatan penataran bahkan keluar kampus sendiri, dan sebagainya. 3. Dukungan personal Adanya tenaga tetap yang berdedikasi serta mempunyai keahlian khusus
merupakan
prasyarat
mutlak
untuk
berfungsinya
suatu
organisasi. Di beberapa perguruan telah ada tenaga Tim Inti yang telah khusus dipersiapkan untuk menyelenggarakan program pengembangan instruksional. Namun masih banyak di antara mereka ini yang tidak mempunyai status kelembagaan, artinya masih berstatus perorangan yang tidak terhimpun dalam suatu organisasi. Mereka ini, agar dapat berfungsi penuh untuk lembaganya (bukan hanya jurusan atau fakultasnya) perlu diperkuat dengan sejumlah tenaga lain yang mempunyai keahlian khusus atau spesialis (misalnya ahli media, ahli evaluasi, ahli desain instruksional, ahli grafis, teknisi media dan lain-lain), dan terhimpun dalam suatu organisasi. Lulusan Jurusan Teknologi Pendidikan/Pembelajaran
(S
1)
atau
Program
Studi
Teknologi
Pendidikan/Pembelajaran (S 2 dan S 3) dapat bertugas sebagai tenaga ahli atau spesialis ini. 4. Dukungan dana Dukungan ini mungkin merupakan masalah yang paling besar bagi kebanyakan perguruan tinggi. Semua yang terlibat dalam kegiatan pembinaan ini memerlukan dana, apakah itu tenaga yang perlu
digaji/diberi honorarium, media yang dibuat, seminar yang dilaksanakan, dan sebagainya. Para dosen tidak dapat dituntut untuk membiayai sendiri kegiatan pembinaan itu, kecuali untuk hal-hal yang ia dapat merasakan keuntungan langsung baginya. Penyediaan dana ini perlu sekali diperhatikan karena dalam jangka panjang akan menguntungkan, yaitu dengan tercapainya efektivitas dan efisiensi dalam belajar dan membelajarkan. Dukungan keuangan ini seringkali merupakan bukti paling penting akan adanya dukungan moral dari atasan. Mungkin pula masalah dana ini diatasi dengan menunjuk dan memberi kuasa kepada seorang manager yang mampu mengusahakan dana secara nontradisional.
5. Dukungan fasilitas Fasilitas ini dapat berupa fisik maupun non-fisik. Fasilitas fisik meliputi gedung, perabot, peralatan, media dan lain-lain yang diperlukan untuk tempat dan sarana melaksanakan kegiatan. Sedang fasilitas non-fisik berupa kemudahan dan kesempatan dalam melaksanakan atau mengikuti kegiatan. Dalam kenyataannya telah cukup banyak tersedia fasilitas fisik, seperti fasilitas CCTV, fasilitas komputer dan internet, dan sebagainya.Fasilitas ini seharusnya dapat dimanfaatkan dan difungsikan sebagai
salah
satu
sarana
untuk
menyelenggarakan
kegiatan
pembinaan—sebagai "markas" dari organisasi yang diberi tanggung jawab menyelenggarakan kegiatan pembinaan. Mengenai dukungan fasilitas nonfisik perlu kiranya disepakati kebijakan agar para dosen yang
mengikuti kegiatan profesional dalam pembelajaran, memperoleh pengakuan telah melakukan kegiatan akademik tanpa harus dikaitkan dengan disiplin keilmuan tertentu.
IX. KHATIMAH Etika profesi pengajar berkaitan dengan baik dan buruk perilaku pengajar
baik
itu
di
lingkungan
institusi
pendidikan
ataupun
dalam
kehidupannya Komitmen, Penjagaan Citra, serta Dinamis, Aktif, Kreatif, Inovatif sehari-hari. Dalam menentukan baik buruk ini perlu disusun kode etik, yang berfungsi juga sebagai salah satu ciri profesional. Pekerjaan yang dapat dikatakan profesional sangat tergantung dari pandangan individu yang menjalaninya dan kebanggaan profesional hanya dapat diciptakan oleh mereka yang berkaitan langsung. Untuk menyusun kode etik dapat diturunkan dari persyaratan profesi serta hanya dapat disusun oleh mereka dari lingkungan pekerjaan yang bersangkutan. Yang dapat merumuskan dengan baik hanya mereka yang berkecimpung dalam pengajaran. Untuk pengajaran mata kuliah dapat disusun suatu standar pengajaran, sesuai dengan visi, misi, dan tujuan. Untuk menyempurnakan rencana pemantapan beragam tugas, dalam hal ini yang berkaitan dalam perencanaan pengembangan
tenaga
tenaga
pengajar.
Untuk
mendapatkan
suatu
pendekatan dan metodologi pembelajaran setiap tenaga pengajar diharapkan dapat melakukan penelitian mandiri terhadap cara-cara mengajar yang diterapkannya secara kontinyu dari semester ke semester, sehingga melalui temuan empirik ini bisa diambil kesimpulan tentang cara mengajar yang baik,
selain juga tenaga pengajar yang bersangkutan tetap selalu membaca bukubuku yang berkaitan mata kuliah yang diajarkan.
KEPUSTAKAAN
Bergquist, William H. and Phillips, Steven R. 1977. Handbook for Faculty Development. Volume 2. Washington,DC : The Council for the Advancement of Small Colleges. Eble, Kenneth E. and McKeachie, Wilbert J. 1986. Improving Undergraduate Education Through Faculty Development. San Francisco,CA : JosseyBass Publishers. Gaff,J.G. 1975. Toward Faculty Renewal : Advances in Faculty Instruction-al and Organizational Development. San Francisco: Jossey-Bass. Hornby, A.S. 1987. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. London: Oxford University Press. Institut Teknologi Nasional. 1996. Rencana Induk Pengembangan Institut Teknologi Nasional Tahun 1996-2005. Bandung: Institut Teknologi Nasional. Institut Teknologi Nasional. 1997. Pedoman Umum Itenas. Bandung: Institut Teknologi Nasional. Kreitner, R., & Kinicki, A. 1998. Organizational Behavior. Irwin: McGraw-Hill Companies. Maslow, Abraham H. 1970. Motivation and Personality 2nd ed. New York: Harper and Row. Miarso,Yusuf Hadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Miarso,Yusuf Hadi. 1988. Pembinaan Profesional Dosen dan Sarana Pendukung. Makalah Penjelasan Teknis Direktorat Pembinaan Sarana Akademis pada Rapat Kerja Rektor Universitas/Institut, Direktur Akademi Negeri dan Koordinator Kopertis Seluruh Indonesia, Jakarta, Januari 1988. --------. Penerapan Teknologi Pendidikan dalam Pengembangan dan Pemeliharaan Mutu Dosen. Makalah dalam Penataran Dosen Universitas Pembangunan Nasional, Jakarta, Juni 1994. Sudarman, 2007. Peningkatan Profesionalisme Tenaga Pengajar Sebagai Kontribusi Peningkatan Mutu Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Inovatif Volume 3. Sukmadinata, N. S. 1997. Pengembangan Kurikulum, Teori, dan Praktek. Bandung: PT RemajaRosdakarya. Wina, Sanjaya. 2005. Pembelajaran dalam Implementasi KBK. Jakarta: Prenada Media.