MAKALAH

Download PENDIDIKAN INTEGRASI (MAKALAH) a. Bentuk Lay anan pendidikan integrasi/ Terpadu. Pengelompokkan bentuk layanan pendidikan terpadu dilaksana...

0 downloads 571 Views 192KB Size
MANAJEMEN DAN PROSES PEMBELAJARAN PENDIDIKAN INTEGRASI (MAKALAH)

a. Bentuk Lay anan pendidikan integrasi/ Terpadu Pengelompokkan bentuk layanan pendidikan terpadu dilaksanakan dengan pertimbangan sebagai berikut: 1) Tingkat kesempatan anak berkelainan untuk berinteraksi social dengan teman sebayanya yang normal berdasarkan intensitas pergaulannya. semakin lama dan intens kesempatan anak berinteraksi social maka semakin tinggi derajat keterpaduannya. ini lazim disebut integrasi social. 2) Tingkat kesamaan bahan dan program pembelajarannya. Semakin banyak kesamaan dan keberbauran dalam bahan dan program pembelajarannya,

maka

semakin

tinggi

derajat

keterpaduannya.

Keterpaduan semacam ini disebut terpadu instruksional. Berdasarkan derajat keterpaduannya maka bentuk layanan pendidikan integrasi berurutan sesuai tingkat keterpaduannya, yaitu sebagai berikut:

a) Kelas biasa tanpa layanan tambahan Dalam bentuk layanan ini ABK belajar di kelas biasa yang sederajat (TK, SD, SLTP, SMU/K) tanpa memerlukan bantuan Guru Pembimbing Khusus. Mata pelajaran yang diberikan pada dasarnya sama dengan bahan pelajaran yang diterima oleh siswa normal yang sekelas/sederajat. Seluruh kegiatan dalam program ini dipegang dan dibimbing oleh guru kelas biasa yang bersangkutan. bentuk keterpaduan semacam ini dapat diikuti oleh siswa penyandang cacat (tunanetra, tunarungu wicara, tunadaksa) yang memiliki fungsi kecerdasan rata-rata atau bahkan di atas rata-rata. b) Kelas biasa dengan guru konsultan Dalam bentuk layanan ini, ABK belajar di kelas biasa pada sekolah biasa yang menyelenggarakan program pendidikan terpadu, namun dalam pelaksanaannya sekolah tersebut menggunakan guru konsultan dari luar. Guru konsultan adalah guru PLB yang dikenal

dengan Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang berfungsi menangani kemungkinan kesulitan yang dihadapi para siswa berkelainan, latar belakang kelainannya, dan mencari solusi pemecahannya, untuk kemudian disampaikan kepada guru kelas atau guru mata pelajaran yang bersangkutan. Jadi peran guru konsultan dalam hal ini hanya terbatas pada pemberian advice, saran kepada pihak-pihak yang terkait, dan bukan membantu atau membimbing ABK di kelasnya. c) Kelas biasa dengan system guru kunjung ABK belajar di kelas biasa yang menyelenggarakan program pendidikan integrasi dan dibimbing langsung oleh guru kelas atau guru mata pelajaran yang bersangkutan. Akan tetapi disediakan pula tenaga guru kunjung yang secara periodic mengunjungi sekolah yang bersangkutan untuk memberi program pendidikan yang bersifat khusus yang sesuai dengan jenis kelainan dan kemampuan siswa, misalnya membaca dan menulis Braille, bahasa isyarat, pembinaan bicara, occupational therapy dan sebagainya. Guru kunjung juga dapat memberikan saran-saran teknis kepada guru kelas atau kepada guru mata pelajarana yang bersangkutan. Guru kunjung dapat berasal dari guru /ahli PLB atau tenaga spesialis lain yang relevan, misalnya tenaga pelatih orientasi dan mobilitas, ahli bian bicara, ahli bahasa isyarat, ahli fisio therapy dan lain-lain. Guru kunjung biasanya menangani beberapa sekolah, oleh karena itu guru kunjung tersebut harus menyusun jadwal kunjungannya

ke

sekolah-sekolah

penyelenggara

program

pendidikan integrasi yang menjadi tanggung jawabnya secara ketat dan logis. d) Kelas biasa dengan ruang khusus dan GPK Program pendidikan integrasi dalam bentuk ini, ABK belajar secara bersama-sama di kelas biasa dengan guru, kurikulum dan sekolah biasa pula. Akan tetapi pada saat-saat tertentu ABK belajar di ruang khusus yang dilengkapi dengan fasilitas khusus dan dibina langsung oleh guru pembimbing khusus. Bimbingan dilakukan

apabila ABK yang bersangkutan mengalami kesulitan yang berkaitan dengan kelainannya terhadap mata pelajaran yang disajikan secara klasikal oleh guru kelas atau guru mata pelajaran. Selain memberikan bimbingan kepada ABK, guru pembimbing khusus juga membantu tersedianya sarana (buku, alat dan bahan tes, serta alat lain yang diperlukan ABK). Guru pembimbing khusus juga bekerjasama dengan guru kelas, orang tua siswa dan kepala sekolah yang bersangkutan, serta memberi penyuluhan kepada siswa normal tentang keberadaan siswa ABK di kelas biasa. Empat

bentuk program pendidikan integrasi di atas,

tergolong dalam jenis kelompok integrasi fungsional atau integrasi penuh, karena tingkat interaksi social dan kesamaan bahan / materi pelajaran memiliki derajat yang sama. e) Kelas khusus paruh waktu (part-time special class) Kelas khusus semacam ini diselenggarakan di sekolah biasa tetapi khusus untuk ABK. Kegiatan belajar mengajar pada kelas khusus dibimbing oleh guru PLB, dan pada mata pelajaran tertentu ABK dapat bergabung dengan siswa normal di kelas biasa yang setingkat. Hal ini dilakukan untuk mata pelajaran tertentu yang dapat diikuti, misalnya: senisuara, senam, atau materi pelajaran lain yang memungkinkan. f) Kelas khusus penuh (self contained special class) Kelas khusus jenis ini diselenggarakan di sekolah-sekolah biasa bagi ABK yang tergolong berat dan kecerdasan di bawah ratarata. Sepenuhnya mereka belajar di kelas khusus denga program pembelajaran khusus dan dipandu oleh guru khusus pula yaitu guru PLB. Dalam aktivitas tertentu ABK dapat diintegrasikan dengan siswa normal lainnya misalnya pada saat istirahat, upacara, senam pagi, bernyanyi, kegiatan ekstra kurikuler seperti rekreasi, pramuka dan sebagainya. Dalam kegiatan ini mereka dapat bergabung dan berbaur dengan siswa normal di sekolah tempat penyelenggaraan kelas khusus tersebut. Kemungkinan lain, sekolah khusus dapat

ditempatkan pada lokasi yang sama atau berdekatan dengan sekolah biasa, artinya lokasi saja yang berdekatan, sedangkan program kegiatan dan kurikulum berbeda. Hal ini dimaksudkan agar ABK memperoleh kesempatan untuk berinteraksi sosial dengan siswa normal. g) Terpadu balik (Revers Integration) Integrasi balik adalah dimana siswa normal belajar bersama ABK di kelas khusus atau SLB, artinya siswa normal bergabung melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan program sekolah biasa menggunakan fasilitas yang tersedia di SLB. Walaupun tempatnya di SLB tetapi kurikulum yang digunakan adalah kurikulum sekolah biasa dan dipandu oleh guru-guru PLB. Oleh karena itu, ABK dalam program ini adalah siswa yang memiliki kecerdasan rata-rata atau lebih dan mampu bersaing. Tiga bentuk jenis program integrasi terakhir ini, lebih menekankan pada kesempatan integrasi secara social melalui pergaulan dan interaksi social. Oleh karena itu materi pelajaran tidak begitu diperhitungkan. ABK yang mengalami problem lain atau kemampuannya agak kurang dapat dilayani secara khusus, pada kelas khusus di sekolah biasa. Kelas khusus di maksud menggunakan kurikulum PLB sehingga program proses pembelajarannya berbeda dengan program pengajaran di kelas biasa. Dalam pelaksanaannya, pendidikan integrasi bertujuan untuk memberikan layanan kepada peserta didik yang mempunyai kebutuhan khusus agar potensi yang dimiliki (kognitif, psikomotorik, dan sikap) dapat berkembang secara optimal dan mereka dapat hidup mandiri sesuai dengan prinsip pendidikan (Depdiknas, 2002:2). b. Proses Pembelajaran a) Proses Pembelajaran Pada dasarnya proses pembelajaran dalam sekolah terpadu menjadi tanggungjawab guru kelas atau guru bidang studi, guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan persiapan yang biasa

dipersiapkan dan setiap anak mendapatkan layanan termasuk ABK. apabila ABK mendapat kesulitan dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru kelas/guru bidang studi maka ABK tersebut bisa datang ke ruang bimbingan khusus untuk mendapat bimbingan dari GPK, dalam menentukan materi pembelajaran harus ada koordinasi antara guru kelas dengan guru pembimbing khusus (GPK), supaya materi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan siswa. Guru kelas dan GPK juga harus bekerjasama untuk memecahkan kesulitan yang dialami ABK dalam berbaur dengan teman sebayanya supaya proses pembelajaran lancar. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang berlaku di sekolah yang bersangkutan. dengan demikian setiap siswa yang mengikuti program pendidikan terpadu harus mengikuti kurikulum tersebut dengan penyesuaian-penyesuaian, sesuai dengan kebutuhan ABK. Kurikulum hasil penyesuaian yang telah disusun oleh GPK kemudian dibicarakan dengan guru kelas atau guru bidang studi. b) Pembelajaran Kooperatif dalam Pendidikan Integrasi Strategi pembelajaran kooperatif. menurut Johnson dan Johnson (1984), ada empat elemen dasar dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: saling ketergantungan positif; interaksi tatap muka; akuntabilitas individual; dan keterampilan menjalin hubungan interpersonal. Dalam pembelajaran

kooperatif

ada

interaksi

kooperatif,

disini

guru

menciptakan suasana belajar yang mendorong siswa untuk saling membutuhkan, saling membutuhkan ini yang dimaksud dengan saling ketergantungan

positif

(positive

interdenpendence).

saling

ketergantungan positif dapat tercapai apabila ada: saling ketergantungan tujuan (goal interdependence); saling ketergantungan tugas (task interdependence); saling ketergantungan sumber belajar (resource interdependence); saling ketergantungan peranan (role interdependence) dan saling ketergntungan hadiah (rewards interdependence). Pembelajaran kooperatif terwujud dalam belajar kelompok. Di dalam kelompok tidak boleh ada ketergantungan yang negatif artinya

bahwa

pembelajaran

hanya

didominasi

oleh

seseorang

atau

menggantungkan diri pada orang lain. Dalam pembelajaran kooperatif, setiap

anggota

kelompok

harus

bekerjasama

untuk

mencapai

keberhasilan, karena nilai kelompok ditentukan atau dipengaruhi oleh rata-rata nilai hasil belajar individual. Inilah yang dimaksud dengan akuntabilitas individual. Selama proses pembelajaran kooperatif semua anggota dalam kelompok belajar dapat saling bertatap muka, mereka dapat berdialog baik dengan guru atau maupun dengan teman sesama anggota kelompok. saling berdialog antara teman sehingga terjadi pembelajaran antar teman atau anak bisa menjadi sumber belajar satu sama lain. Interaksi tatap muka memungjkinkan adanya sumber belajar yang bervariasi sehingga tujuan belajar dapat tercapai secara optimal, terutama bagi ABK. Keterampilan sosial seperti, saling mendengarkan pendapat dari anggota lain, tenggangrasa, santun terhadap orang lain, mengkritik ide bukan orang, mempertahankan pemikiran yang logis, dapat menerima kritik orang lain, dan keterampilan sosial yang lain yang dapat bermanfaat dalam hubungan interpersonal, diajarkan secara sengaja dan dilatihkan. Mengajarkan dan melatih keterampilan sosial diharapkan agar anak yang memiliki penyimpangan perilaku dapat diperbaiki, yang umum dimiliki oleh ABK. Inilah mengapa pembelajaran kooperatif baik diterapkan dalam pembelajaran integratif atau pendidikan integrasi, karena dalam pembelajaran

kooperatif

sangat

menghargai

heterogenitas

atau

keberagaman, baik dalam kemampuan intelektual atau dalam perilaku yang umum terjadi pada anak-anak berkebutuhan khusus.

hasil

penelitian Mulyono abdurahman menunjukkan bahwa dalam kelompok anak yang memiliki kemampuan heterogen pendidikan kooperatif ebih unggul daripada pendidikan kompetitif dan sebaliknya bila kelompok belajar terdiri dari anak yang memiliki kemampuan homogen pendidikan kompetitif unggul atas kemampuan kooperatif (Mulyono Abdurahman, 1995).

c. Evaluasi Belajar Siswa Evaluasi belajar pada anak-anak berkebutuhan khusus sama seperti penilaian pada anak-anak pada umumnya, yaitu melalui: 1) Tes formatif (dilaksanakan setiap akhir pelajaran) 2) Tes sumatif (dilaksanakan setiap akhir catur wulan, untuk menentukan nilai dalam raport) 3) Evaluasi tahap akhir (EBTA/EBTANAS) Pelaksanaan tes, baik tes formatif, sumatif maupun EBTA/EBTANAS dapat dilakukan melalui tes lisan, test tertulis, test perbuatan, dengan cara: 1) Guru kelas/guru bidang studi membuat soal, kemudian soal di tadi dibuat ke dalam tulisan braille oleh guru pembimbing. 2) Hasil pekerjaan anak disalin ke dalam tulisan biasa oleh guru pembimbing, dan nilainya ditentukan oleh guru kelas. Pelaporan hasil belajar (Pengisian buku laporan pendidikan) dilaksanakan dan menjadi tanggungjawab guru kelas. d. Persyaratan Siswa ABK yang dimasukkan dalam program pendidikan terpadu pada satuan pendidikan umum sedapat mungkin memenuhi persyaratan yang sama dengan siswa pada umumnya. Persyaratan dimaksud adalah: 1) Sehat jasmani dan rohani 2) Tidak mengidap penyakit menular lainnya yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter 3) Tidak menyandang cacat lainnya (tidak boleh cacat ganda) 4) Memiliki tingkat kecerdasan rata-rata atu lebih. 5) Usia program pendidikan terpadu minimal enam tahun. 6) Untuk masuk ke jenjang SLTP harus memiliki STTB SD dan memenuhi pasing grade di SLTP bersangkutan. Begitu pula yang masuk ke jenjang SMU/K. e. Guru Pembimbing Khusus (GPK) 1) Persyaratan Guru Pembimbing Khusus (GPK)

Untuk menjadi GPK sedapat mungkin memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) Tamatan Diploma III (D3) atau Strata Satu (S1) pada Perguruan Tinggi Negeri/Swasta jurusan Pendidikan Luar Biasa b) Sehat Jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter. c) Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan dari polisi. d) Tidak terlibat G 30 S PKI. 2) Status Guru Pembimbing Khusus (GPK) GPK adalah guru SLB atau yang home base-nya di SLB. GPK adalah tanggungjawab Kepala SLB yang bersangkutan dengan memperhatikan saran-saran teknis yang diberikan oleh Kepala Sekolah penyelenggara program pendidikan terpadu. Jika GPK tersebut menangani dua sekolah atau lebih, maka semua kepala sekolah yang bersangkutan dapat menyampaikan rekomendasi kepada Kepala SLB tempat GPK menginduk. GPK hanya boleh menangani paling banyak tiga sekolah terpadu. Ini dimaksudkan agar GPK dapat bekerja secara optimal sesuai kebutuhan. 3) Program Kerja Guru Pembimbing Khusus (GPK) Supaya GPK dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal maka GPK harus memiliki program kerja yang operasional yang disusun oleh GPK dan diketahui oleh Kepala Sekolah baik kepala sekolah tempat GPK menginduk atau kepala sekolah terpadu tempat GPK bekerja. GPK juga harus membuat program kegiatan harian dan mingguan yang diketahui oleh kedua kepala sekolah seperti tersebut di atas. f. Peranan dan Tugas guru 1) Peranan da Tugas Guru Pembimbing Khusus (GPK) GPK selain berperan sebagai penunjang dan pendukung dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru kelas/mata pelajaran, juga mempunyai tugas lain diantaranya:

a) Membantu proses pendataan dan pengolahan hasil pendataan terhadap anak berkelainan. b) Mengadakan konsultasi dengan dokter berkaitan dengan jenis anak berkebutuhan khusus. c) Bekerjasama dengan orangtua membawa anak berkebutuhan khusus ke psikolog untuk tes kecerdasan. d) Melatih anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhan khususnya seperti melatih anak tunanetra menggunakan tongkat putih, activity daily living (ADL), membaca dan menulis braille, latihan perabaan, latihan penggunaan sisa penglihatan, pengejaran kemampuan akademis, dan lain sebagainya. e) Membimbing anak berkebutuhan khusus untuk menyesuaikan diri dengan anak normal dan sebaliknya. f) Bekerjasama dengan guru kelas/mata pelajaran dengan memberikan bimbingan kepada anak pada umumnya agar dapat bergaul secara wajar dengan anak berkebutuhan khusus, belajar bersama bahkan bersaing dalam proses pembelajaran. g) Melayani anak berkebutuhan khusus sesuai dengan jenisnya, misalnya membantu anak tunanetra menggunakan alat-alat khusus seperti penggunaan reglet, pen, mesin tik braille, peta timbul, tongkat putih, alat bantu lihat, dan lain sebaginya. h) Membantu dan membimbing anak berkebutuhan khusus apabila mengalami kesulitan dalam menerima mata pelajaran tertentu di kelas biasa dengan cara anak tersebut datang ke ruang bimbingan khusus. i) Mengerjakan administrasi khusus yang berkaitan dengan kasus-kasus yang terjadi pada anak berkebutuhan khusus. j) Home visit, yaitu mengadakan kunjungan rumah untuk mengadakan bimbingan kepada keluarga khususnya orangtua dan anak itu sendiri tentang bagaimana seharusnya melayani dan bergaul dengan anaknya yang menyandang cacat, menata rumah supaya anak penyandang cacat bebas bergerak dan tidak tersandung dan lain sebagainya.

k) Ikut serta mempersiapkan bahan pelajaran yang sesuai dengan jenis kebutuhan anak, misalnya bagi GPK untuk anak tunanetra menyalin buku-buku pelajaran bertuliskan huruf latin ke dalam huruf Braille, menyalin pekerjaan anak tunanetra ke dalam huruf latin untuk kemudian diserahkan pada guru kelas/mata pelajaran untuk diperiksa. 2) Peranan dan Tugas Guru Kelas/Mata Pelajaran Dalam program pendidikan terpadu guru kelas/mata pelajaran berkewajiban untuk: a) Menyusun Program pembelajaran (rencana pembelajaran) sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut catur wulan, tahunan dan seterusnya. b) Melaksanakan program pembelajaran serta memilih metode dan alat peraga yang sesuai dengan materi pembelajaran dan peserta didik yang ada di kelasnya termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. c) Melakukan evaluasi belajar secara kontinu bagi peserta didik baik bagi

anak-anak

pada

umumnya

maupun

untuk

anak-anak

berkebutuhan khusus. d) Bersama GPK mendiskusikan masalah-masalah peserta didik, misalnya keterpaduan peserta didik di dalam kelas, kesehatan, nenilih dan

membantu

yang

mengalami

kesulitan

dalam

proses

pembelajaran. e) Melaporkan semua kegiatan kepada Kepala Sekolah. f) Menghubungi orang tua peserta didik apabila diperlukan. g) Melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya penggunaan waktu luang bagi semua peserta didik tidak terkecuali anak-anak berkebutuhan khusus, seperti: kesenian, keterampilan, olah raga, usaha kesehatan sekolah, koperasi sekolah, rekreasi/darmawisata, pramuka.

Kata kunci: bentuk layanan pendidikan terpadu, pembelajaran, pembelajaran kooperatif persyaratn siswa, GPK, h.Asesmen

Asesmen merupakan salah satu karakteristik dalam pelaksanaan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Asesmen adalah suatu proses pengumpulan data tentang seorang anak yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang berhubungan dengan anak tersebut (Lener, 1988:54 dalam Mulyono A, 1996:38). Ada beberapa istilah yang selama sering keliru digunakan baik oleh guru maupun oleh mahasiswa yaitu istilah tes, diagnostik, evaluasi dan asesmen. Berkenaan dengan hal itu James A Mc.Lounghlin, Rena B Lewis, (1986) menjelaskan pengertian tes, diagnostik dan asesmen sebagai berikut: Tes digunakan untuk mendapatkan data yang bersifat kuantitatif di bawah kondisi yang terkontrol. Hasilnya digunakan untuk membandingkan seorang siswa atau suatu kolompok siswa dengan siswa lain atau kelompok lain. Hasil tes sifatnya kuantitatif dan berupa angka-angka sehingga tidak dapat menunjukkan tentang kondisi siswa yang sesungguhnya. Skor hasil tes tidak memberikan informasi yang bersifat spesifik tentang apa yang dapat dan tidak dilakukan oleh anak. Namun demikian hasil tes tetap penting untuk memperoleh gambaran seseorang secara umum. Istilah diagnostik dalam pendidikan sebetulnya diadopsi dari dari bidang medis. Dalam bidang medis, kegiatan diagnostik menghasilkan informasi yang mengarah kepada pelabelan. Sebagai contoh ; seorang dokter melakukan diagnosis kepada seorang anak. Hasilnya menginformasikan bahwa anak tadi termasuk anak autistik. Hasil diagnosis lebih menunjuk pada pelabelan seseorang. Label pada seorang anak tidak bisa menjadi acuan bagi bagi seorang guru untuk memberikan layanan pendidikan karena label tidak menunjukkan kebutuhan pendidikan anak secara spesifik. Evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk menggali informasi tentang kemampuan anak di dalam menguasai materi pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Artinya; evaluasi dilakukan setelah proses belajar berlangsung.. Sebagai contoh; guru ingin mengetahui apakah pelajaran matematika yang disampaikan kepada para siswanya telah diserap dengan baik atau belum. Untuk mengetahui hal itu, maka diakhir proses belajar-mengajar guru melakukan kegiatan evaluasi. Dengan demikian seorang guru dapat mengukur

seberapa jauh materi yang telah disampaikan dapat dan telah dikuasai para siswanya. Dalam implementasinya evaluasi seringkali diakukan diakhir proses belajar, sekalipun sesungguhnya evaluasi dapat dilakukan pada saat proses belajar berlangsung, karena fungsi evaluasi untuk mengukur tingkat penguasaan seseorang atau kelompok terhadap materi yang disampaikan. Asesmen adalah proses yang sistimatis dalam mengumpulkan data seorang anak. Dalam konteks pendidikan asesmen berfungsi untuk melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi anak pada saat sekarang, sebagai bahan untuk menentukan

apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh anak.

Berdasarkan informasi itulah seorang guru akan dapat menyusun program pembelajaran yang sesuai dengan kondisi obyektif dari anak tersebut. Sebagai contoh; dari hasil asesmen diperoleh informasi bahwa anak itu mengalami kesulitan dalam hal bicara. Selanjutnya disusun instrumen asesmen untuk menemukan masalah yang sangat spesifik berkaitan dengan masalah bicara tadi. Dengan demikian program pendidikan dirancang berdasarkan kebutuhan anak yang berkaitan dengan masalah bicara tadi, dan bukan pada jenis kecatatan seorang anak. Tujuan utama asesmen pada prinsifnya adalah untuk menentukan bagaimana kedaan anak saat ini. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi anak pada saat ini perlu dilakukan modifikasi asesmen, sehingga program pembelajaran yang disusun cocok dengan keadaan dan kebutuhan setiap anak Untuk memperoleh informasi asesmen dapat dilakukan dengan cara wawancara, observasi, pengukuran informal dan tes baku. Berbagai teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi asesmen harus dilakukan secara simultan tidak dilakukan secara terpisah-pisah. Berkaitan dengan itu Mary A. Falvey (1986) dalam Endang Rochyadi dan Zaenal Alimin, (2003) mengemukakan dua hal penting dalam melakukan asesmen yaitu sbb: a). Asesmen Perkembangan (developmental assessment) Asesmen ini digunakan untuk melihat urutan dan tahap perkem-bangan anak yang dapat membantu guru dalam memahami tingkat dan kemampuan anak b) Teknik Observasi (observation prosedure)

Tujuan utama observasi adalah untuk melihat kemampuan dan keterampilan anak dalam situasi lingkungan yang alamiah. Perilaku itu muncul tanpa ada intervensi dan manipulasi dari guru. Data yang dikum-pulkan dari kegiatan observasi mungkin berkaitan erat dengan manusia (orang), material atau benda, dan berbagai situasi yang berhubungan dengan anak.

Kata kunci: Asesmen, asesmen perkembangan, teknik asesmen, diagnostik, tes, evaluasi

i.Pelaksanaan Pendidikan Integrasi di Negara lain a) Negara Italia Prinsip integrasi di negara Italia telah menjadi kebijakan nasional dan dilaksa-nakan secara jelas. kurang lebih 99% anak berkebutuhan khusus telah diinte-grasikan ke sekolah biasa termasuk anak-anak yang mengalami kecacatan berat. setiap anak berkebutuhan khusus memiliki akses yang sama untuk masuk ke sekolah reguler. Terdapat kemajuan secara kuantitatif dalam pelaksanaan integrasi di Italia meskipun ada beberapa hambatan. pada tahap awal pengintegrasian ditemukan data bahwa guru tidak menolak terhadap integrasi tetapi mereka menghadapi masalah yang serius di dalam pelaksanaannya di kelas. (Roser, 1991). Roser melaporkan bahwa guru merasa tidak nyaman ketika ada guru khusus (support teacher) membantu anak penyandang cacat di dalam kelas. Guru lebih senang apabila support teacher ada di dalam kelasnya. Masalah lain yang datang dari siswa, ternyata anak-anak berkebutuhan khusus ketinggalan dan menyendiri, mereka terisolasi dan kenyataan ini sam[pai saat ini masih dirasakan. Masalah terakhir yang berkaitan dengan anak-anak penyandang cacat berat. beberapa kalangan ingin memperkenalkan kelas khusus untuk muridmurid yang cacat berat tetapi ditolak karena akan mengarah pada sistem pemisahan dalam bentuk lain. Disamping itu mengenalkan kelas terpisah dan sekolah terpisah juga ditolak karena akan terjadi diskriminasi dan tidak sejalan dengan prinsip pedagogik.

Secara umum negara Italia sangat kuat mendorong pelaksanaan integrasi tetapi mempunyai kelemahan dalam melakukan evaluasi secara sistematik, hanya sedikit orang yang memahami tentang kebijakan integrasi. Meskipun begitu pada akhirnya kebijakan integrasi bagi anak berkebutuhan khusus tampaknya telah dilaksanakan. Hanya yang menjadi pertanyaan sejauhmana negara Italia mencapai integrasi sosial dan integrasi kurikulum.

b)Negara Denmark Usaha negara Denmark untuk mencapai integrasi berkaitan dengan gerakan normalisasi (normalization) yang memberi peluang secara luas kepada para penyandang cacat untuk hidup normal dalam lingkungannya dan meminimalkan pemberian pendidikan secara khusus, anak-anak berkebutuhan khusus menerima kesempatan yang sama seperti yang dinikmati oleh anak-anak pada umumnya. Sebagai akibatnya sekolah reguler hampir sebagian besar menerima anak-anak yang bermasalah. Dukungan untuk anak-anak dengan cacat ringan menjadi tanggungjawab pemerintah kota yang harus menyediakan fasilitas pendidikan

khusus

di

sekolah

reguler.

Pemerintah

daerah

provinsi

bertanggungjawab memfasilitasi anak-anak yang memiliki kecacatan berat. Terdapat empat level program implementasi integrasi di negara Denmark, yaitu: 2) Sekolah biasa dan sekolah khusus sebagai sekolah kembar 3) Sekolah biasa dengan kelas khusus atau beberapa kelas khusus 4) Sekolah reguler dengan sebuah klinik 5) Pendidikan terpadu Dalam seting sekolah kembar (dua sekolah yang berbeda bekerjasama dalam skala tertentu) pada derajat tertentu integrasi sosial dapat tercapai. Pada sekolah reguler dan kelas khusus sebetulnya hampir mirip dengan sekolah kembar yaitu ada kemungkinan yang cukup untuk terjadi integrasi. Dalam varian ini sekolah biasa dengan sekolah khusus berada pada satu atap. Keinginan agar anak-anak penyandang cacat dididik bersama dilakukan secara serius di Denmark. Penelitian menunjukkan bahwa diantara anak-anak yang kurang pendengaran di sekolah reguler lebih suka dikelompok-

kan dalam kelas kecil dengan siswa kurang dengar lainnya. Saat ini mereka dididik dalam kelompok kecil yang disebut Folkeskole yaitu ahli dalam satu tipe kecacatan tertentu. Kelas reguler dengan klinik menjadi titik sentral dari proses integrasi dalam waktu yang lama. Pada prinsipnya sekolah reguler di Denmark memiliki klinik atau sekolah memiliki akses pada klinik di sekolah lain. pemanfaatan klinik deimaksudkan untuk menempatkan semua pengetahuan dan material pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler. Muridmurid dapat mengunjungi klinik untuk belajar satu atau dua pelajaran yang sulit dipelajari di kelas reguler. Masalah akan muncul pada pendidikan khusus untuk pelajaran tertentu, misalnya, untuk pelajaran bahasa. Pendidikan khusus dalam pelajaran bahasa akan mengambil banyak waktu dibanding dengan dalam pendidikan reguler, karena pendidikan bahasa sesungguhnya harus terjadi dalam kelompok besar. Masalah lainnya siswa jadi sangat tergantung pada pembelajaran di klinik dalam jangka panjang. Untuk menghindari permasalahan tersebut dilakukan intensive course, terutama bagi siswa-siswa yang mengalami kesulitan belajar. Untuk tiga sampai enam bulan mempunyai 10 sampai 15 pelajaran

setiap

minggu

pada

pelajaran

yang

menyebabkan

kesulitan.Pengalaman pertama positif, terdapat penurunan masalah belajar yang sangat banyak dan anak membutuhkan pendidikan khusus dalanm periode yang lebih pendek. Untuk kembali mencegah munculnya kesulitan dilakukan penggabungan intensive course dengan clinic. Pendidikan yang dilakukan secara kelompk dan indivdu di kelas reguler dapat dikatakan sebagai pendidikan terpadu. Dalam kedua varian, anak berkebutuhan khsusus tinggal di kelasnya sendiri dan menerima bantuan tambahan paruh waktu dalam kelompok kecil dan individual . Untuk bantuan tambahan ini guru kunjung diperlukan sebagai konsultan bagi gueu sekolah reguler. Sangat jelas bahwa bantuan khusus bagi siswa yang mengalami masalah dalam model ini mendekati seperti apa yang dikatakan Kobi (1983) curricular integration.

c) Negara Swedia

Di Swedia, sekitar 1,5% dari populasi anak usia 7 – 17 tahun dididik dalam sekolah khusus, mereka yang memiliki hambatan berat dalam dalam aspek sosial dan emosi, tunarungu, cacat ganda dan tunagrahita. Siswa yang memiliki masalah lain di luar itu diintegrasikan ke dalam pendidikan reguler. Terdapat dua model dalam pengorganisasian pendidikan integrasi di Swedia yaitu: integrasi di sekolah reguler yang bersifat penuh dan kelas khusus di sekolah reguler. Fasilitas untuk siswa yang ada di kelas khusus di sekolah reguler menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Guru yang mengajar di sekolah ini ditunjuk dan dibayar gajinya oleh pemerintah daerah. Guru ini memiliki kepala sekolah sendiri yang bukan kepala sekolah reguler, sangat jelas bahwa pemisahan ststua dari kelas khusus mengarah pada pembentukan sekolah kecil di dalam Grundskola khususnya di sekolah-sekolah yang besar. Integrasi terjadi di kelas reguler, siswa yang memiliki masalah secara individual diintegrasikan ke kelas reguler, mereka menjadi tanggungjawab dari Working Unit. Jumlah anak yang menerima layanan pendidikan khusus dalam sekolah reguler diperkirakan sekitar 10% dari jumlah siswa keseluruhan. Guru di Working Unit memiliki rentang kerja yang luas dalam kerangka pendidikan khusus. Pada pelajaran tertentu guru dapat memberikan bantuan ekstra di kelas baik secara individual ataupun secara kelompok kecil, atau mereka dapat juga membagi kelas ke dalam kelompok kecil di luar kelas atau di kelas lain. Model Working Unit menjabarkan cara-cara yang berbeda dalam praktek pendidikan integrasi, tapi paling tidak working unit berfungsi untuk melakukan proses integrasi kurikuler.

d) Negara Amerika Serikat Amerika adalah negara besar oleh karen aitu jumlah murid dalam satu kelas dapat diparalelkan dalam tiga kelas. Banyak sekolah yang membuat kelompok paralel sehomogen mungkin dengan memisahkan anak yang lambat dan yang cepat belajarnya. Oleh karena itu guru-gurunyapun terbiasa bekerja dengan anak yang bersifat homogen dengan program yang standar untuk semua siswa dan tidak ada kemungkinan adanya diferensiasi, dalam konteks ini guru

cenderung melihat anak yang memiliki penyimpangan dipandang sebagai masalah. Untuk anak yang tidak mampu atau tidak mau mengikuti program reguler pengukuran khusus diberlakukan bagi mereka. Oleh karena itu siswasiswa yang mengalami kebutuhan khusus seperti tunarungu, gangguan emosi dan sosial, tunadaksa, anak berbakat, anak yang orangtuanya berpindah-pindah, anak yang memiliki dua bahasa dalam kehidupannya, bagi mereka disediakan program yang disebut program ekstensif. Segera setelah anak-anak diketahui memiliki penyimpangan dari rata-rata, usaha yang dilakukan adalah menyediakan program yang terpisah bagi mereka. Program bagi siswa yang menyimpang disebut pull out type, untuk paruh waktu dimana anak meninggalkan kelas dan mengunjungi ruang sumber. Implikasi dari proses ini guru kelas masih memiliki tanggungjawab terhadap anak-anak yang dianggap menyimpang dalam kurun waktu tertentu. pada prakteknya guru sekolah dasar tidak melakukan penyesuaian program pada anak-anak yang mengalami kesulitan dan tidak mengetahui perlakuan guru khusus pada saat pull-out time. Guru reguler tidak memiliki IEP dari anak-anak berkebutuhan khusus. Tampaknya sistem di Amerika, siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok, kelompok siswa yang tidak bermasalah dan kelompok siswa bermasalah. Bagi siswa bermasalah, contohnya pada kasus anak yang mengalami gangguan tingkah laku, anak ini dirujuk kepada kelas khusus penuh waktu yang disebut pull-time self contained classroom. Meskipun pendidikan di Amerika yang dinaungi oleh undang-undang (Public Law, 94 – 145) bersifat terintegrasi tetapi pada kenyataannya hanya sedikit saja terjadi integrasi kurikuler. Untuk siswa yang berada di self contained classroom hampir tidak terjadi integrasi sosial. Guru sekolah khusus dengan guru sekolah reguler tidak memiliki kesempatan untuk berinteraksi lebih banyak karena pengalaman dan latar belakang mereka yang berbeda-beda serta mereka memiliki interpretas yang berbeda terhadap tugas sehari-hari. Guru sekolah reguler berfikir bahwa guru sekolah khusus tidak akan mampu melakukan apa yang dilakukan oleh guru sekolah reguler, karena tidak memiliki pengalaman mengelola kelas dalam jumlah besar. Guru khusus melihat guru sekolah reguler sebagai seorang guru yang tidak mampu melakukan tugas lebih dari program

standar dan tidak merespon jika dihadapkan pada permasalahan yang sedikit berbeda dari program standar. Oleh karena itu antara guru sekolah reguler dengan guru sekolah khusus sangat sulit terjalin kerjasama.

e) Negara Inggris Dalam undang-undang negara Inggris tahun 1981 terdapat komitmen yang kuat terhadap integrasi: Anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus harus dididik di sekolah reguler, disediakan kondisi tertentu, sehingga anak berkebutuhan khusus dapat beraktivitas bersama di sekolah reguler dengan anakanak yang lain. Undang-undang merupakan konsensus yang mendukung integrasi. Walaupun ada dukungan undang-undang tetapi proses pendidikan integrasi di Inggris berjalan lambat, ini disebabkan kebudayaan yang sudah berlangsung dengan sangat lama tentang sekolah khusus sulit diubah untuk mengarah pada kebudayaan baru yang sifatnya lebih terbuka. Selain itu terdapat perbedaan utama antara otoritas pendidikan lokal dalam pengelolaan kelas-kelas khusus dan unit-unit pada sekolah reguler. Kebijakan lokal diatur oleh aturan yang sudah lama, sumber-sumber dana, prosedur dan pertimbangan-pertimbangan lain didasarkan pada faktor lokal. Pemerintah yang satu mendorong kebijakan untuk mengintegrasikan sebanyak mungkin anak berkebutuhan khusus ke sekolah reguler, sementara pihak otoritas lain tetap mempertahankan pola-pola segregasi. Pada prakteknya integrasi dilakukan dengan cara siswa berkebutuhan khusus dimasukkan ke kelas dengan basis yang sama dengan siswa lainnya (reguler) dan semua guru bertanggungjawab pada setiap anak berkebutuhan khusus yang ada di kelasnya masing-masing, hal ini untuk menghindari diskriminasi dan pembedaan antara siswa berkebutuhan khusus dengan siswa lainnya, tetapi tidak dipersyaratkan bahwa guru semua guru reguler harus mempunyai kompetensi untuk mengajar siswa berkebutuhan khusus. Siswa berkebutuhan khusus adalah anggota dari sekolah reguler dan memperoleh layanan yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Mereka tidak semata-mata menjadi tanggungjawab guru kelas tetapi juga para spesialis yang memberi dukungan. Sumber-sumber dukungan bersifat desentralisasi, bentuk

dukungan bervariasi seperti: pekerja sosial, speech therapist bagi mereka yang mengalami gangguan bicara, physio therapist bagi tunadaksa. Beberapa model integrasi di Inggris, yaitu: 3) Siswa Berkebutuhan Khusus yang Cocok dengan Sistem yang Ada Siswa berkebutuhan khusus merupakan anggota dari kelas reguler dan memperleh pengajaran yang disesuaikan dengan keperluannya dan kadangkadang ditarik dari kelas untuk mendapatkan layanan dari beberapa spesialis: latihan pendengaran, pembelajaran dalam bidang tertentu. Bantuan ini diberikan oleh guru dari sekolah yang bersangkutan atau spesialis yang diundang. 4) Penempatan pada Sekolah Rguler dengan Dukungan Spesialis yang Disediakan di Kelas. Siswa terdaftar sebagai murid dari sekolah reguler tertentu dan memperoleh pengajaran di sana tetapi kadang-kadang murid juga menghabiskan waktu di kelas yang terpisah. Pengajaran di kelas terpisah dilakukan pada aspek-aspek khusus dari kurikulum.

5) Penempatan Siswa di Sekolah Reguler dan pada Wktu Tertentu Ditarik ke Luar Kelas dan Mendapatkan Bantuan Spesialis. Siswa berkebutuhan khusus menjadi anggota dari sekolah reguler dan menerima pembelajaran seperti anak lainnya, tetapi pada waktu tertentu mendapatkan bantuan dan ditarik dari kelas, misalnya untuk latihan pendengaran dll. 6) Penempatan di Sekolah Reguler dengan Mengunjungi Kelas Khusus atau UNIT Paruh waktu Siswa terdaftar sebagai siswa dari sekolah reguler dan menerima pembelajaran pada bidang-bidang tertentu, tetapi mereka juga menghabiskan sebagian waktu di kelas khusus atau Unit. 7) Penempatan di Kelas Khusus (UNIT) Mengunjungi Kelas Reguler Secara Paruh Waktu

Siswa merupakan anggota dari sekolah khusus dan mempeoleh sebagian pembelajaran di kelas khusus hanya kadang-kadang mereka mengunjungi kelas reguler. 8) Penempatan Penuh Waktu di Kelas Khusus Siswa mendapatkan pembelajaran secara penuh di kelas khusus. 9) Sekolah Khusus Paruh Waktu; Sekolah Reguler Paruh Waktu Siswa menghabiskan sebagian waktu di sekolah khusus dan sebagian waktu lagi di sekolah reguler.

f) Negara Belanda Pendidikan khusus di negara Belanda disediakan dalam 50 tipe yang berbeda bagi 100.000 siswa. 70% dari siswa berkebutuhan khusus berada di sekolah khusus. Dalam lima tahun terakhir pertumbuhan siswa berkebutuhan khusus diarahkan ke sekolah reguler. Ini terjadi dengan dukungan model yang disebut “abulante begelelding” atau disebut dengan guru kunjung.

Kata kunci: Perkembangan pendidikan integrasi di Negara lain, pelaksanaan pendidikan integrasi, hambatan pelaksanaan pendidikan integrasi

A. Sumber Bacaan Abdurahman, M (1996), Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru. Bratanata, S.A.(Ed.)(1975) Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Pendidikan Luar Biasa, Jakarta: Depdikbud Depdikbud (1983/1984) Petunjuk Teknis Pendidikan Terpadu di Sekolah Dasar (Dalam rangka penuntasan Anak Usia 7-12 Tahun Menuju Pelaksanaan Wajib Belajar), Jakarta: Dirjen Dikdasmen ………….. (1984/1985) Petunjuk Penyelenggaraan SLB, Jakarta: Dirjen Dikdasmen

………….. (1984/1985) Pedoman Pelaksanaan Sekolah Dasar Luar Biasa Dalam Rangka Pemantapan Pelaksanaan Wajib Belajar Anak Usia 7-12 Tahun, Jakarta: Dirjen Dikdasmen …………. (1985/1986) Petunjuk Praktis Penyelenggaraan SLB Bagian C/Tunagrahita Ringan dan Bagian C1/Tunagrahita Sedang, Jakarta: Dirjen Dikdasmen Johnsen,Berit H dan Skjorten Miriam.D.(Ed) (2003) Pendidikan Kebutuhan Khusus: Sebuah Pengantar Menuju Inklusi Buku 1, Bandung: Program Pascasarjana UPI. Lewis, R.B. and Doorlag, D.H. (1983) Teaching Special Students in the Mainstream, USA: Bell & Howel Company. Macloughin, James A. & Lewis rena B., (1986), Assessing Special Students (second ed.), Columbus: Merrill Publishing Company. Nawawi, A. (1998) Penyelenggaraan Program Pendidikan Terpadu bagi Anak Berkelainan, Makalah P2M di Kec. Ujung Berung Kodya Bandung, 5-7 Desember 1998, Team PLB-FIP-UPI Reynolds,M.C. & Birch,J.W.(1988) Adaptive Mainstreming (A Primer For Teachers and Principals), New York: Longman Inc. Rochyadi, E dan Alimin, Z (2003), Pengembangan Program Pembelajaran Individual bagi Anak Tunagrahita, Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti Proyek Peningkatan Tenaga Akademis.

Sunardi (1995) Kecenderungan Dalam Pendidikan Luar Biasa, Jakarta: Depdikbud. Undang-Undang Republik Indonesia No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Jakarta DPR R