MAKNA BIAYA DALAM UPACARA RAMBU SOLO

Download Abstrak: Makna Biaya dalam Upacara Rambu Solo. Tujuan peneli- tian ini adalah menyingkap makna biaya upacara “rambu solo” di Tana. Toraja B...

0 downloads 424 Views 348KB Size
MAKNA BIAYA DALAM UPACARA RAMBU SOLO Tumirin1) Ahim Abdurahim2) Universitas Muhammadiyah Gresik, Jl. Arief Rahman Hakim No 2B, Gresik 61111, Universitas Muhammadiyah Yogya, Jl. Lingkar Selatan, Kasihan, Bantul, DIY, 55183. Surel: [email protected] 1 2

http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6014 Abstrak: Makna Biaya dalam Upacara Rambu Solo. Tujuan penelitian ini adalah menyingkap makna biaya upacara “rambu solo” di Tana Toraja. Biaya pelaksanaan upacara ini sangat mahal karena banyaknya hewan (kerbau dan babi) yang dikorbankan dan lamanya hari pelaksanaan upacara. Hal tersebut merupakan sesuatu yang unik dilihat dari perspektif akuntansi. Penelitian ini menggunakan paradigma interpretif dengan metodologi fenomenologi. Kami mewawancarai dua informan untuk mendapatkan data dan sekaligus mengobservasi pelaksanaan upacara rambu solo di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Hasil penelitian menemukan tiga makna dari biaya pelaksanaan upacara “rambu solo”, yaitu kumpul keluarga, identitas strata sosial, dan utang keluarga. Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 6 Nomor 2 Halaman 175-340 Malang, Agustus 2015 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879

Tanggal Masuk: 5 Mei 2015 Tanggal Revisi: 19 Juni 2015 Tanggal Diterima: 14 Juli 2015

Abstract: The Meaning of Cost in Ceremony of Rambu Solo. The purpose of this study was to reveal the meaning of cost of the “rambu solo” ceremony in Tana Toraja. The cost of this ceremony is expensive because of many animals (buffaloes and pigs) were sacrificed and the time of cere­ mony is lengthy. This research was employed interpretive paradigm with phenomenology as methodology. We interviewed two informants to find the data and we observed the ritual of “rambu solo”. The research conducted in Toraja, South Sulawesi. The results has revealed three meanings of the cost of the ritual “rambu solo”, namely, family gathering, the identity of social strata, and family’s debt. Kata kunci: Biaya, Rambu solo, dan utang keluarga

Topik penelitian tentang penandi­­­ng­an antara pendapatan dan biaya (konsep matching) sudah banyak dilakukan dalam perspektif organisasi bisnis, namun belum banyak dilakukan dalam perspektif budaya. Penelitian dalam perspektif organisasi bisnis misalnya dilakukan oleh Leng (2002) yang menyebutkan bahwa metode general pricelevel accounting selain lebih mudah dalam penerapannya, juga menghasilkan informasi yang lebih memenuhi konsep matching jika dibandingkan dengan menggunakan metode conventional historical-cost accounting. Hasil penelitian Hanggana (2002) juga menyimpulkan bahwa terdapat metode akuntansi yang memenuhi konsep macthing namun terdapat pula metode akuntansi yang tidak memenuhi konsep matching. Ratunuman (2013) menemukan bahwa metode cost-tocost menghasilkan informasi yang lebih rele-

van dengan konsep matching bila dibandingkan dengan metode kontrak selesai maupun metode persentase penyelesaian. Penelitian ini berupaya untuk menampilkan perspektif berbeda dari organisasi bisnis dalam melihat konsep matching (penandingan antara biaya dan pendapatan) yaitu melihat dalam per­ s­ pektif budaya untuk mengungkap makna biaya dalam upacara adat rambu solo tidak dalam bingkai konsep matchingyang digunakan dalam akuntansi modern. Sebagai bagian dari ilmu sosial, akuntansi memiliki interaksi yang kuat (saling memengaruhi) dengan lingkungan sosial masyarakat sehingga memiliki peran dalam membentuk realitas di masyarakat (Hines 1988; Morgan 1988; Triyuwono 2012). Masyarakat memiliki karakteristik lingkungan sosial yang kompleks dan berbeda-beda sehingga terbuka kemungkinan mereka memi-

175

176

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 175-184

liki cara pandang (perspektif) yang berbeda terhadap suatu objek termasuk terhadap konsep akuntansi (Ahmed 1994). Jika menggunakan perspektif yang berbeda (misalnya perspektif bisnis, perspektif sosial atau per­ s­pektif budaya), maka akan dilahirkan makna yang berbeda terhadap suatu objek. Konsep matching perspektif organisasi nirlaba, tidak memiliki tempat sebagaimana dalam perspek­ tif bisnis, karena fokus pelaporan organisasi nirlaba lebih ditekankan pada bagaimana sumberdaya dikelola oleh manajemen dan keberlanjutan manajemen dalam memberikan layanan jasa-jasa kepada masyarakat. Biaya tidak memiliki keterkait­ an dengan penerimaan (pendapatan) yang akan diperolehnya, hal tersebut dikerenakan, tujuan organisasi nirlaba bukan untuk memperoleh keuntungan dari aktifitasnya, namun bertujuan untuk meng­ optimalkan sumberdaya yang dimiliki dan keberlanjutan pemberian jasa kepada masyarakat (IAI 2007). Demikian pula dengan konsep matching yang di lihat dari perspektif budaya memiliki makna yang berbeda karena di­samping bersifat sosial juga memiliki inte­ raksi yang lebih luas dari berbagai tingkatan dalam masyarakat. Pengeluaran dalam perspektif budaya dilakukan dalam kegiatan perayaan adat tidak memiliki keterkaitan dengan perolehan pendapatan sebagai ikutannya, walaupun pengeluaran untuk perayaan tersebut membutuhkan pengeluaran biaya yang sangat besar. Salah satu aktifitas budaya yang menarik untuk diamati adalah perayaan adat Rambu Solo yang dilakukan oleh masyarakat adat Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Terdapat tiga pertimbangan yang menjadikan perayaan adat Rambu Solo sangat menarik untuk dijadikan sebagai objek penelitian, pertama; perayaan Rambu Solo membutuhkan pengeluran biaya yang sangat mahal (besar). Biaya tersebut memiliki dampak yang material bagi ekonomi keluarga, masyarakat dan pemerintah daerah, padahal pengeluaran tersebut tidak memiliki dampak yang material terhadap penerimaan mereka maupun pemerintah daerah. Kedua; perayaan rambu solo tetap terjaga dan terpelihara keberlangsungannya hingga saat ini, hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun mereka harus mengeluarkan biaya yang besar untuk membiaya perayaan tersebut, namun pengeluaran biaya tersebut memiliki makna tertentu sehingga perayaan rambu solo tetap perlu dijaga keberlangsungannya.

Menurut Said (2004:27) upacara rambu solo sudah dilaksanakan dimulai kira-kira abat ke-9 masehi dan dilaksanakan turun-temurun sampai saat ini. Ketiga: perayaan Rambu Solo dikenal tidak hanya didalam negeri, namun hingga ke mancanegara, sehingga kajian terhadap makna biaya dalam perayaan rambu solo akan memberikan inspirasi yang lokal namun juga secara global. Latar belakang masyarakat Tana Toraja dalam perayaan rambu solo melahirkan per­ spektif tersendiri memaknai biaya yang ha­ rus dikorbankan untuk perayaan jika diban­ dingkan dengan perspektif orga­ nisasi bisnis. Ada pemaknaan tertentu bagi masyarakat Tana Toraja dengan mengorbankan dana yang sedemikian besar secara berkelanjut­ an. Ada sesuatu yang memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran yang dilakukan. Nilai lebih tersebut pen­ ting untuk diungkap dengan melakukan penelusuran kepada para informan yang tepat, apa makna pengorbanan biaya dalam perayaan Rambu Solo bagi mereka, sehingga bagi masyarakat Toraja, ada hal lebih yang besar dan bernilai diperoleh dari perayaan tersebut, jika dibandingkan dengan penge­luaran biaya yang dilakukan. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, penelitian ini berupaya untuk mengungkap makna biaya yang tersembunyi dalam perayaan adat rambu solo masyarakat Tana Toraja dengan menggunakan bingkai konsep matching. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan makna pengorbanan biaya dalam upacara rambu solo yang tersembunyi dibalik permukaan. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan di bidang akuntansi yang membuktikan bahwa biaya memiliki makna yang berbeda apabila dilihat dari perspektif yang berbeda.Biaya tidak selalu ditandingkan dengan pendapatan untuk memperoleh keuntungan sebagaimana akuntani modern untuk organisasi bisnis. Dalam perspektif yang berbeda makna biaya dapat memiliki arti dan makna yang berbeda. Bagi pembuat kebijakan, penelitian ini dapat digunakan untuk menjadi pertimbangan dalam membuat kebijakan pelestarian upacara adat maupun strategi dalam pengadaan dan pengembangan kerbau yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan perayaan rambu solo. Penelitian ini menggunakan fenomenologi untuk menja­ wab pertanyaan penelitian. Fenomenologi digunakan untuk menyingkap realitas subjek-

Tumirin, Abdurahim, Makna Biaya Dalam Upacara Rambu Solo

tif dari pengalaman informan. Makna biaya dalam upacara rambu solo ini didasarkan pada pengalaman orang yang melaksanakan upacara tersebut. METODE Lokasi penelitian adalah di Tana Toraja yang berada di Kabupaten Toraja Utara Propinsi Sulawesi Selatan. Tana Toraja memiliki budaya yang unik yaitu upacara rambu solo. Ibukota Tana Toraja adalah Makele yang berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Barat yaitu sebelah utaranya, Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang di sebelah selatannya, dan di sebeleh timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu. Pelaku upacara rambu solo tentu memiliki kesadaran mengapa mereka mengeluarkan biaya yang sedemikian besar. Fenomenologi menjadi alat analisis yang tepat untuk mengungkap kesadaran akibat pengalaman karena tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadar­an, pikiran dan tindakan se­ perti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka intersubjektivitas (Kuswarno 2009). Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak.” Fenomena merupakan fakta yang disadari dan masuk dalam pemahaman manusia. Fenomena merupakan kesadaran dan disajikan dalam kesadaran, bukan yang tampak secara kasat mata saja. Fenomenologi menggambarkan pengalaman manusia yang terkait dengan objek (Kuswarno 2009). Menurut The oxford English Dictionary fenomenologi adalah (1) “the science of phenomena as distinct from that of the nature of being”; (2) an approach that concentrates on the study of consciousness and the objects of direct experience. Fenomenologi mempelajari fenomena kesadaran dan objek pengalaman langsung (Oxford 1989). Bagi Husserl makna “realitas” merupakan perluasan dari kata “nature.” Maknanya nature science menggunakan realitas sebagai keseluruhan benda dalam ruang dan waktu. Namun Husser membalik persoalan filsafat dari objek ke subjek pengetahuan. Hal tersebut berasal dari pandangan Des­crates tentang “aku yang berfikir” atau “cogito ergo sum.” (Adian 2010:25). Filsafat membahas empat bidang yakni on-

177

tologi, epistimologi, etika, dan logika. Ditinjuau dari ontologi fenomenologi memperlajari sifat–sifat alami kesadaran. Fenomenologi membawa ke dalam permasalahan mendasar jiwa dan raga. Persoalan jiwa raga ini dipecahkan dengan bracketing method. Sebagai pengembangan Husserl membuat teori pe­ ngandaian mengenai “keseluruhan dan bagiannya” hubungan keseluruhan dan bagian dan teori tentang makna ideal (Kuswarno 2009). Sumbangan metodis terbesar Husserl dalam filsafat adalah epoche yaitu metode penundaan asumsi realitas sehingga memunculkan hakikat. Maksudnya adalah bahwa kita tidak boleh berasumsi terhadap realitas tetapi realitas yang benar berdasarkan pengalaman orang yang mengalami realitas tersebut (Adian 2010). Reduksi yang digunakan adalah: reduksi fenomenologis, reduksi eiditis, dan reduksi transendental (Kuswarno 2009). Kesadaran murni adalah tempat untuk mengkonstitusikan atau menyusun objek yang diamati. Pada tahap ini objek menga­ lami kesadaran dirinya sendiri dan kebenaran yang dicapai adalah kesesuaian antara realitas dan pikiran. Fenomenologi epistimologi mengeluarkan makna dari sesuatu yang meterial (Kuswarno 2009). Fenomenologi dan logika Husserl membawa teori kesengajaan yang menjadi jantung fenomenologi. Kesengajaan dan tekanan semantik dari sebuah makna ideal dan proposi berpusat pada logika. Logika yang terstruktur dapat ditemukan pada bahasa, baik bahasa sehari-hari maupun simbolsimbol. Maka bahasa membawa pengalaman dan makna dari pengalaman tersebut. Sehingga erat kaitannya antara fenomenologi dan teori logika bahasa (Kuswarno 2009). Fenomenologi dan etika memainkan peran penting dengan menawarkan analisis terhadap kehendak, penilaian, kebahagianan, dan perhatian pada orang lain. Husserl menempatkan etika sebagai dasar dalam filsafat. Secara khusus Husserl menempatkan phenomenology of sympathi dan dalam etika (Kuswarno 2009). Husserl sangat tertarik dengan pene­ muan makna dan hakikat dari pengalaman dan membedakan fakta dan esensi dalam fakta maka secara metodologis fenomenologis menjelaskan thing in themselves, me­ ngetahui apa yang masuk sebelum kesadar­ an dam memahami makna dan esensinya dalam instuisi dan refleksi diri. Proses transformasi dari pengalaman empiris ke makna

178

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 175-184

esensi ini dinamakan “ideation.” Ideation menjelaskan objek yang muncul dalam kesadaran bersatu dengan objek itu sendiri untuk dijadikan makna dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, terdapat hubung­ an objek nyata dengan objek kesadaran. Kesadaran itu yang disebut sebagai realitas sebenarnya (Kuswarno 2009). Komponen-komponen konseptual dari fenomenologi Husserl menurut (Kuswarno, 2009) adalah: (1) kesengajaan (intentionality); (2) Noema dan Noesis; (3) Intuisi; (4) Intersubjektivitas. Fenomenologi transendental merupakan studi mengenai penampakan fenomena seperti dalam kesadaran. Fenome­ nologi transendental memberikan kesempatan untuk menjelaskan fenomena dalam istilah pembentukannya. Fenomenologi transendental membedakan ciri-ciri utama kesadaran hingga sampai pada pemahaman hakiki dari pengalaman (Kuswarno, 2009). Data diperoleh dengan melakukan wawancara dengan informan. Wawancara dan pengambilan data dilakukan dengan turun lapangan dengan mendatangai tempat informan sekaligus mendatangi situs penelitian yaitu tempat upacara dan goa-goa tempat mayat dikuburkan. Peneliti merekam hasil wawancara dan disertai bukti foto untuk ditranskripsi dan dianalisis. Informan yang berada di situs adalah orang yang pernah melakukan upacara rambu solo. Informan ini dipilih karena peneliti ingin mengungkap makna dari pengalaman orang yang melakukan upacara rambu solo, sekaligus melihat pelaksanaan upacara serta melihat bukti penguburan mayat. Informan dalam penelitian ini adalah Bapak Samirin dan Ibu Mutia. Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif, maka analisis data yang diguna­ kan untuk menjawab pertanyaan penelitian adalah menggunakan teknis analisis yang disarankan oleh Creswell (2013) yang tematemanya tersusun sebagai berikut: 1. Mendiskripsikan pengalamam per­ sonal; 2. Membuat daftar pertanyaan penting; 3. Mengambil pernyataan penting untuk diambil “unit makna”; 4. Membuat deskrisi tekstual atau apa yang dialami; 5. Membuat deskripsi struktural atau bagaimana pengalama terjadi; 6. Menulis esensi pengalaman

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep matching dalam perspektif organisasi bisnis memiliki keterkaitan yang erat dengan upaya menandingkan antara pendapatan dan biaya dalam upaya memperoleh keuntungan (Mulawarman 2008). Suatu pengeluaran dikelompokan ke dalam kategori biaya apabila memiliki keterkait­an dengan upaya untuk menghasilkan pendapatan, dan biaya tersebut harus diakui pada periode perolehan pendapatan yang dihasilkannya (Ratunuman 2013; Tyas dan Fachriyah 2009). Penandingan antara pendapatan dan biaya yang terjadi pada periode yang sama untuk memperoleh keuntungan merupakan teori dasar dari konsep matching dalam perspektif organisasi bisnis. Perbedaan latar belakang khususnya dalam perspektif budaya akan memunculkan sudut pandang yang berbeda dan akan melahirkan makna yang berbeda. Apabila perspektif organisasi sosial digunakan untuk memaknai konsep matching untuk organisasi bisnis yang bersifat bisnis, maka hal tersebut akan menimbulkan benturan kepenting­ an dengan berbagai pihak, terutama pengelola dan pemegang saham. Oleh karena itu apabila perspektif organisasi bisnis terhadap konsep matching digunakan dalam organisasi sosial maka akan muncul ketidakpuasan dari para donatur atas pe­ngelolaan lembaga sosial tersebut, yang dapat berakibat pada menurunkan minat para donatur dalam memberikan bantuan so­sialnya. Masing-masing perspektif memiliki dasar dan cara pandangnya sendir-sendiri, semua makna yang berbeda tersebut adalah suatu kebenaran realitas yang ada dalam kehidupan nyata dan terjadi di masyarakat. Latar belakang masyarakat Tana Toraja dalam perayaan rambu solo melahirkan per­ spektif tersendiri memaknai biaya yang ha­ rus dikorbankan untuk perayaan jika dibandingkan dengan perspektif organisasi bisnis. Ada pemaknaan tertentu bagi masyarakat Tana Toraja dengan mengorbankan dana yang sedemikian besar secara berkelanjutan. Ada sesuatu yang memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran yang dilakukan. Nilai lebih tersebut penting untuk diungkap dengan melakukan penelusuran kepada para informan yang tepat, apa makna pengorbanan biaya dalam perayaan Rambu Solo bagi mereka, sehingga bagi masyarakat Toraja, ada hal lebih yang besar dan bernilai diperoleh dari perayaan tersebut, jika dibandingkan dengan pengelu-

Tumirin, Abdurahim, Makna Biaya Dalam Upacara Rambu Solo

aran biaya yang dilakukan. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, penelitian ini berupaya untuk mengungkap makna biaya yang tersembunyi dalam perayaan adat rambu solo masyarakat Tana Toraja dengan menggunakan bingkai konsep matching. Upacara rambu solo di Tana Toraja memerlukan biaya yang sangat besar (mahal). Biaya yang tinggi tersebut disebabkan oleh banyaknya kerbau dan babi yang dikorban­ kan, dan lamanya upacara dilaksanakan. Kerbau Belang (tedong bonga) yaitu sejenis kerbau lumpur yang memiliki warna kulit belang hitam dan putih memiliki kedudukan penting dan mempunyai hubungan yang erat dengan upacara adat, yaitu sebagai kerbau potong persembahan kepada Sang Pencipta. Karena memiliki nilai ritus yang tinggi pada kerbau Belang jantan sehingga kerbau belang memiliki harga jauh lebih tinggi Said dan Tappa (2008). Kerbau yang dikorbankan dapat mencapai ratusan ekor dan ribuan ekor babi (Yulius 2012). Jika kerbau yang dikorbankan merupakan kerbau belang (albino), maka satu kerbau saja harganya sa­ ngat mahal karena harga satu kerbau belang dapat mencapai tiga puluh sampai lima puluh kali harga kerbau biasa (Sariubang, Qomariyah, dan Kristanto 2014). Biaya yang dibutuhkan untuk pera­ yaan upacara rambu solo tergolong sangat tinggi (mahal). Apabila dilihat dari perspek­ tif ekonomi semata kegiatan tersebut dapat dinilai sebagai suatu pemborosan, karena biaya yang dikeluarkan sangat besar, bahkan untuk mengumpukan biaya tersebut dilakukan selama berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, sehingga dapat dikatakan mencari kekayaan hidup untuk digunakan dalam upacara kematian. Namun upacara tersebut tetap dilaksanakan berapapun biaya yang dibutuhkan karena pengorbanan biaya tersebut memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Tana Toraja. (Sariubang et al. 2014). Biaya yang besar dalam upacara rambu solo adalah untuk melakukan pengorbanan utama berupa penyembelihan kerbau belang atau tedong bonga. Selain melakukan pengorbanan kebau belang juga dilakukan mengorbankan kerbau biasa, dan babi yang jumlahnya tergantung kemampuan keluaga. Semakin mampu keluarga semakin banyak yang dikorbankan. Biaya yang besar tersebut dapat dilihat dari harga kerbau belang. Harga kerbau belang tergolong sangat mahal yaitu mencarapi antara 30 sampai dengan

179

50 kali harga kebau biasa (Sariubang et al. 2014). Selain mengorbankan kerbau belang, upacara rambu solo juga mengorbankan kerbau biasa dan babi yang jumlanya mencapai ratusan ekor bahkan ribuan ekor. Sehingga keseluruhan biayanya dapat mencapai mil­ yaran rupiah (Yulius 2012). Seperti yang diungkapkan oleh informan Bpk. Samirin, sebagai berikut: ..bayangkan sekarang sudah ada kerbau diatas 1 M ... satu ekor.. Pernyataan ini dapat memiliki makna bahwa biaya untuk upacara rambu solo sa­ ngat besar, karena jika ditambahakan de­ ngan biaya yang lain (kerbau lainnya) dan babi akan menghasilkan jumlah biaya sa­ ngat besar, karena tidak mungkin kalangan bangsawan hanya mengorbankan satu ekor kerbau saja. Kerbau memiliki banyak jenis, diantaranya adalah tedong selako, tedong bonga, lotong boko, tedong pudu’, tedong ballian, tedong todi’, tedong tekken langi, tedong sokko, tedong bulan, dan tedong sambao. Kerbau yang paling mahal adalah kebau tedong selako karena harganya dapat mencapai lebih 1 miliar. Ciri-ciri kerbau tersebut adalah warna dasar kulit yaitu putih, ada belang hitam, tanduk berwarna kuning gading, bola mata berwarna putih (Doddy 2013). Terkadang digunakan kepala kerbau biasa yang bukan termasuk kerbau belang. Kebau ini akan dikorbankan untuk upacara rambu solo. Kebau jenis ini yang banyak digunakan untuk untuk upacara karena harganya tidak tergolong mahal. Oleh karena itu jumlah kerbau yang dikorbankan bisa banyak. Pengorbanan biaya untuk upacara rambu solo yang menggunakan biasa yang sangat besar dan memiliki dampak jangka panjang, ternyata memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Tana Toraja. Walaupun dari perspektif ekonomi pe­ ngorbanan biaya tersebut dapat dipandang sebagai pemborosan namun ternyata tidak dianggap sebagai beban yang berat, terbukti dengan tetap lestarinya upacara rambu solo hingga saat ini. Dari hasil wawancara de­ ngan para informan, diperoleh empat makna pengorbanan biaya dalam upacara rambu solo. Gotong-royong (kumpul keluarga). Biaya yang besar dalam upacara rambu solo ternyata memiliki makna untuk me­ ngumpulkan keluarga. Rentang waktu yang

180

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 175-184

panjang antara saat kematian dengan saat upacara pemakaman dimanfaatkan oleh keluarga untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan dalam upacara rambu solo. Lamanya waktu digunakan sebagai cara untuk melakukan perencanaan yang baik serta melibatkan seluruh keluaga. Berkumpulnya keluarga dalam masyarakat Toraja disebut sebagai Kombongan (gotong royong, perkumpulan). Perkumpulan menjadi ciri budaya masyarakat Toraja dimanapun tempatnya. Jika dalam suatu daerah terdapat masyarakat Toraja, maka disitu mereka membentuk kelompok atau persekutuan Toraja. Hal itu digunakan se­ bagai uapaya kebersamaan sebagai persiapan untuk saling membantu dalam manang­ gung bersama kesulitan antar keluarga (Panggarra 2014), seperti yang diungkapkan oleh Ibu Mutia, sebagai berikut: ... upacara itu juga bertujaun untuk mengumpulkan semua anggota keluarga. Yang merantau jauh juga pulang.. makanya waktu pemakaman biasanya lama (jarak waktu meninggal dan pemakam­ an).. karena untuk mengumpulkan biaya dulu dan persiapan.... Kegiatan memotong kerbau memerlukan banyak sekali orang. Saat itulah gotong royong diperlukan, karena kegitan yang besar tersebut tidak mungkin dikerjakan oleh satu keluarga saja. Berkumpulnya keluarga atau hidup gotong royong dalam masyarakat Toraja sangat terlihat dalam upacara rambu solo. Kegotong royongan keluarga terlihat dalam keterlibatan pada saat melakukan upacara. Keterlibatan tersebut tidak hanya membantu secara fisik dalam acara upacara, tetapi juga dalam hal biaya. Keterlibatan dalam hal biaya pelaksaan diberikan dengan berbagai macam yaitu memberikan kerbau, babi, beras, uang dan sebagainya. Semua keluarga membatu pelaksanaan upacara. Jadi ada kebersamaan dalam menjalankan upacara tersebut. Semua ini bertujuan untuk memperkuat ikatan keluarga (Sariubang 2014). Status Sosial. Strata sosial dalam masyarakat Tana Toraja memiliki 4 macam tingkat. 4 macam tingakat tersebut adalah: (1) Tana’Bulan yaitu golongan bangsawan; (2) Tana’ Bassi yaitu golongan bangsawan menengah; (3) Tana’ Kururung merupakan rakyat biasa/rakyat merdeka; dan (4) Tana’ kua-kua, mereka adalah golongan hamba.

Kelompok strata sosial tersebut merupakan tatanan yang mengatur perilaku anggota dalam kelompok maupun hubungan dengan antar kelompok (Panggarra 2014). Hubugan masyarakat dalam strata sosial yang sama dan antar strata sosial yang berbeda ternyata memiliki keunikan tersendiri. Hubungan yang sudah terjalin tersebut tidak menciptakan konflik yang berkepanjangan. Hal ini menjadi antitesis terhadap teori konflik Lewis A. Cosser yang menyatakan: “Conflict is not always dysfunctional for the relationship whitin which is occurs; often conflict is necessary to maintain such a relationship” (Coser 1998). Antitesis teori konflik Cosser tersebut dapat dilihat dari budaya Tongkonan yang mengikat masyarakat supaya tidak melakukan konflik. Sekalipun ada konflik namun keadaan rukun tetap terjaga. Hal yang tidak dipertimbangkan oleh Coser adalah adanya nilai religi dalam upacara pemakaman adat di Tana Toraja. Antitesis tersebut terbukti dengan adanya istilah Kasianggaran yaitu hubungan yang saling menghormati kelompok yang tidak mampu. Hal tersebut karena adanya hubungan saling ketergantungan antara kelompok kaya dan tidak mampu (Panggarra 2014). Tongkonan adalah rumah adat Tana Toraja yaitu merupakan rumah yang dibuat oleh keluarga besar, selanjutnya dijaga atau ditempati anggota keluarga yang berhak atau yang memprakarsai pembuatan rumah tersebut. Rumah ini tidak dapat dibangun semua orang, karena rumah ini merupa­ kan ciri dan identitas kelompok bangsawan menengah ke atas (Panggarra 2014). Tongkonan juga berarti lambang persekutuan sekaligus sumber kepemimpinan. Tongkonan menunjukkan persekutuan keluarga untuk keharmonisan kehidupan keluarga, persekutuan keluarga darah daging ataupun persekutuan masyarakat (Sumarto dan Anggu 2010). Menurut Aaid (2004:49)Tongkonan berawal dari kata Tongkon yang bermakna ‘tempat duduk’, mendapat akhiran ‘an’ oleh karena itu menjadi Tongkonan yang berarti tempat duduk. Status sosial masyaralat Tana Toraja dapat dilihat dari kemeriahan pesta dan lama pesta diselenggarakan, yang tentunya juga berapa banyak jumlah hewan yang dikorbankan. Segala hewan yang dikorban­ kan diyakini akan menjadi modal perjalanan yang meninggal menuju alam keabadian. Semakin banyak korban (kerbau & babi) di­

Tumirin, Abdurahim, Makna Biaya Dalam Upacara Rambu Solo

sembelih, semakin baik dan lancar perjalanan arwah. Semakin lama pesta dilaksanakan serta banyaknya hewan yang dikorbankan, juga menunjukkan semakin tinggi strata sosial si arwah beserta keluarga intinya (Mauludin, 2010).Seperti yang diungkapkan oleh informan Bpk. Samirin, sebagai berikut: ...nah yang pernah dulu itu tahun 1997... keluarganya yang mantan kapolda... dia potong dua ribu lima ratus ekor (kerbau)... Keluarga bangsawan tinggi menyelenggarakan upacara dengan meriah. Pada acara pemakaman dibuatkan patung yang mirip dengan orang yang meninggal. Pembuatan patung tersebut ada syaratnya yaitu minimal menyembelih 24 ekor kerbau. Seperi yang diungkapkan informan Bpk. Samirin, sebagai berikut: ... Kalo bangsawan meninggal, upacaranya besar, dibikin­ kan satu (patung)... minimal 24 ekor kerbau (dikorbankan) baru bisa..... makanya patung itu tak ternilai harganya setelah upacara... soalnya kalo tidak ada patung biar upacaranya besar, orang masih bertanya-tanya.... apakah ini bangsawan atau tidak... tapi kalo sudah ada patung, biar tidak terlalu besar (upacaranya) sudah dianggap bangsawan.. Patung merupakan simbol kebangsawanan seseorang. Untuk membuat patung tersebut minimal keluarga yang meninggal harus mengorbankan minimal 24 ekor kerbau. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Bpk. Samirin. bahwa patung merupa­ kan simbol kebangsawanan seseorang. Menurut (Tangdilintin 1980), tingkatan dalam upacara Rambu Solo menunjukkan strata sosial masyarakat. Tingkatan tersebut memiliki 4 macam yaitu: (1) upacara Dasilli’ merupakan upacara pemakamam level pa­ ling rendah dalam Aluk Todolo (Merupakan nilai-nilai kepercayaan yang dianut orang Toraja atau secara khusus dapat disebut sebagai animisme (Panggarra 2014). Upacara ini untuk strata terendah dan untuk anak yang belum bergigi; (2) upacara Dipa­ sangbongi merupakan upacara untuk rak­ yat biasa/rakyat merdeka (Tana’ Karurung). Upacara ini hanya memerlukan waktu satu malam; (3) upacara Dibatang atau Digoya Tedong merupakan upacara untuk bang-

181

sawan menengah (Tana’ Bassi) dan bangsawan tinggi yang tidak mampu. Upacara ini menyembelih satu ekor kerbau setiap hari selama upacara berlangsung. Kerbau diikat pada patok dan dijaga sepanjang malam dan tidak tidur; (4) upacara Rampasan merupa­ kan upacara untuk bangsawan tinggi (Tana’ Bulaan). Upacara Tana’ Bulaan merupakan upacara yang paling meriah. Upacara ini terdiri dari berberapa jenis, antara lain: (1) upacara Rampasan Diangon atau Didanan Tana’ (upacara minimal) karena dalam upacara ini minimal mengorbankan 9 kerbau dan babi sebanyak-banyaknya. Upacara dilaksanakan selama 3 hari di halaman Tongkonan dan Rante; (2) Upacara Rampasan Sundun atau Doan (sempurna/atas) merupakan upacara yang membutuhkan minimal dua puluh empat ekor kerbau dan jumlah babi yang tidak terbatas untuk digunakan dua kali pesta; (3) Upacara Rampasan Sapu Randanan (tepi sungai) merupakan dengan korban kerbu yang melimpah sampai ratus­ an ekor kerbau (Panggarra, 2014) bahkan sampai ribuan ekor kerbau (Sariubang et al. 2014). Upacara ini menyiapkan Duba-duba (tempat mayat seperti rumah Tongkonan) dan tau-tau (patung orang meninggal) untuk diarak bersama mayat di Aluk Palao atau Aluk Rante. Utang Piutang. Biaya yang besar dalam menyelenggarakan upacara rambu solo ditanggungnya oleh seluruh anggota keluarga. Setiap keluarga berpartisipasi dalam acara tersebut. Partisipasi dilakukan dengan menyerahkan harta benda yang dibutuhkan dalam upacara. Harta benda tersebut yang utama adalah kerbau, babi, dan lain-lain. Sumbangan tersebut memiliki motif instrinsik yang mendalam. Motif tersebut adalah balas budi (hutang budi) karena keluarga yang mengadakan pesta telah menyumbang kerbau atau babi terlebih dahulu kepada keluarga yang memberikan sumbang­an pada perayaan adat sebelumnya (Andilolo, 2007). Dalam upacara rambu solo terdapat istilah “tangkean suru’ lulako ludomai” yang memiliki makna“sumbangan yang bersifat timbal balik berupa utang-piutang”. Utangtersebut akan dibayar dalam bentuk sumbangan yang sama untuk peristiwa serupa yaitu upacara rambu solo. Hal tersebut berbeda dengan utang-piutang dalam perdagangan yang dapat dibayar sewaktu-waktu. Setiap kerbau atau babi (hewan) yang dikur-

182

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 175-184

bankan dari hasil sumbangan oleh keluarga dan handaitaulan secara otomatis menjadi hutang dari keluarga yang menyelenggarakan upacara. Utang-piutang tersebut jika belum dibayar yang bersangkutan, maka akan dibayarkan anak dan cucunya (Rayo 2012). Seperti yang diungkapkan oleh informan Bu Mutia sebagai berikut: ...jangan salah, sumbangan itu dicatatat detil lhoo.... karena kita balas utang.... (penyumbangnya) yaitu kelurga-keluarga... Pencatatan sumbangan merupakan hal yang sangat penting, karena catatan tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang. Konsekuesi tersebut adalah upaya mengembalikan sumbangan yang telah disumbangkan oleh keluaraga lain. Pengembalian sumbagan tersebut belum tentu waktunya. Utang juga dapat timbul dengan motivasi yang tidak hanya karena telah menerima sumbangan, namun dapat pula timbul seba­ gai ungkapan balas budi atas kebaikanatau bantuan dari orang yang meninggal. Seperti yang diungkapkan oleh informan Bu Mutia, sebagai berikut: ...ayahku pernah masukin (memasukkan) kerja seseorang...te­ rus dia membawa sesuatu ke upacara...dulu dia bawa ini terus kita bawa ini...untuk ingat balas budi. Sumbangan tersebut akan dicatat de­ ngan jelas dan teliti. Keluarga yang mene­ rima akan mengembalikan seekor babi yang sebanding apabila keluarga penyumbang juga melakukan upacara rambu solo. Utang-piutang dalam memberikan sumbangan untuk upacara rambu solo menunjukkan hubungan yang bersifat resiprokal yang bermakna hubungan keluarga harus saling membantu dalama semua hal. Hubungan keluarga terkait dengan hubung­ an darah (keturunan), perkawinan, penggunaan Tongkonan secara bersama. Pembayaran utang-piutang dalam pelaksanaan upacara pemakaman menunjukkan hubung­an resiprokal dalam sistem adat Tana Toraja (Priyanto dan Suradisastra,2010). Pembayaran utang-piutang dalam upacara rambu solo harus dibayarkan dalam bentuk yang sama ketika memberikan sumbangan. Utang kerbau dibayar kerbau atau utang babi dibayar babi. Utang-piutang

tersebut dicatat degan jelas dan rapi. Pencatatan diperlukan karena pembayaran dapat berlangsung turun termurun, jika yang berutang tidak dapat membayat ketika masih hidup. Pembayaran akan dilakukan oleh anak atau cucunya (Yamashita, 1994). Sumbangan tidak hanya dalam kerbau atau babi tetapi juga barang-barang keperluan lainnya, seperti arak dan sejumlah uang (Yamashita, 1994). SIMPULAN Dengan menggunakan bingkai konsep matching, terungkap bahwa pengorbanan biaya dalamupacara rambu solo tidak memiliki keterkaitan dengan upaya untuk memperoleh pendapatan sebagaimana makna konsep matching yang digunakan dalam akuntansi modern. Masyarakat Toraja memiliki perspektif sendiri dalam memberi makna terhadap pengorbanan biaya untuk upacara rambu solo, yaitu; pertama, untuk mengumpulkan kerluarga. Hal ini dapat dimaknai sebagai upaya gotong-royong dalam menanggung biaya secara bersama-sama dan meningkatkan ikatan keluarga sehingga harta yang dimiliki keluarga tidak akan kemana-mana. Kedua, untuk menunjukkan strata sosial dalam masyarakat. Masyarakat Toraja memiliki 4 macam strata sosial yaitu bangsawan tinggi, bangsawan menengah, rakyat merdeka/biasa, dan hamba. Untuk menunjukkan strata bangsawan tersebut dibuktikan dengan upacara yang besar dan harus mengikuti aturan adat yang ada. Ketiga, membayar utang. Upacara yang besar tentunya memerlukan biaya yang besar pula. Oleh karena itu seluruh keluarga membantu kebutuhan biaya pelaksanaan upacara rambu solo. Sumbangan tersebut akan dihitung dan dicatat secara cermat, karena yang menerima sumbangan harus mengembalikan dengan bentuk dan jumlah yang sama ketika para penyumbang me­ ngadakan acara yang sama. Oleh karena itu sumbangan yang diberikan bermakna utang yang harus dibayarkan dimasa mendatang. Jika penerima sumbangan tidak dapat membayar, maka anak dan cucunya yang harus menbayar hutang tersebut. Secara kontektual upacara rambu solo menunukkan ada­ nya kepercayaan kehidupan setelah kematian yang sekaligus menunjukkan adanya religiusitas masyarakat. Religiusitas tersebut telah ada sebelum jaman peradaban.

Tumirin, Abdurahim, Makna Biaya Dalam Upacara Rambu Solo

DAFTAR PUSTAKA Adian, D. G. 2010. Pengantar Fenomenologi. Depok: Koukusan. Ahmed, E. A. 1994. Accounting Postulates and Principles from an Islamic Perspective. Review of Islamic Economics, 1, Vol. 3, No. 2, hlm 1-18. Andilolo, D. 2007. Motivasi Masyarakat Memotong Kerbau pada Pesta Adat (Rambu Tuka’& Rambu Solo’) di Kecamatan Makale Kabupaten Tana Toraja. Makassar: Universitas Hasanuddin. Coser, L. A. 1998. The functions of social conflict. Vol. 9. Routledge. Creswell, J. W. 2013. Qualitative inquiry and research design: Choosing among five approaches (Third ed.). Sage publications, Singapore. Doddy, D. G. 2013. Jenis Kerbau “Tedong” Yang Ada di Toraja. from http://portalsolata.blogspot.com/2014/08/jenis-jenis-kerbau-tedong-yang-ada-di.html Hanggana, S. 2002. Kandungan Prinsip Matching dan Concervatism dalam Metode Akuntansi Piutang, persediaan, Aktiva Tetap, dan Investasi. Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 2, No. 1, hlm 85-93. Hines, R. D. 1988. Financial Accounting: In Communicating Reality, We Construct Reality. Accounting Organization and Society, Vol. 13, No. 3, hlm 251-261. IAI. 2007. PSAK nomor 45 (Reformat) (pp. 45.41-45.22). IAI dan salemba Empat, Jakarta. Kuswarno, E. 2009. Fenomenologi: metode penelitian komunikasi: konsepsi, pedoman, dan contoh penelitiannya. Widya Padjadjaran, Bandung. Leng, P. 2002. Analisis Terhadap Perlunya Penyesuaian Laporan Keuangan Historis (Conventional Accounting) Menjadi Berdasarkan Tingkat Harga Umum (General Price Level Accounting). Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol. 4, No, 2, hlm 141 - 155. Marwing, A. 2012. Problem Psikologis Dan Strategi Coping Pelaku Upacara Kematian Rambu Solo’di Toraja (Studi fenomenologi pada tana’bulaan). PSIKOISLAMIKA, Vol 8, No 2, hlm 210-229. Mauludin, M. 2010. Fungsi Dan Peran Ternak Dalam Kehidupan Masyarakat Tana Toraja Sebagai Aset Budaya Dan Plasmanutfah: Artikel Ilmiah Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.

183

Morgan, G. 1988. Accounting As Reality Construction:Towards A New Epistemology For Accounting Practice. Accounting Organizations and Society, Vol. 13, No. 5, hlm 477-485. Mulawarman, A. D. 2008. Eksistensi Laporan Nilai Tambah Syari’ah Berbasis Rezeki. Paper presented at the Simposium Nasional Akuntansi (SNA) Ke XI, Pontianak. Oxford. 1989. The Oxford English Dictionary. Oxford University Press. Panggarra, R. 2014. Konflik Kebudayaan Menurut Teori Lewis Alfred Coser Dan Relevansinya Dalam Upacara Pemakaman (Rambu Solo’) Di Tana Toraja. Jurnal Jaffray, Vol. 12, No. 2, hlm 291-316. Priyanto, D., dan Suradisastra, K. 2010. Ko-evolusi dan Panarchy: Integrasi Ternak Kerbau dalam Sistem Sosial Etnis Toraja. Paper presented at the Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010, Bogor. Ratunuman, S. M. 2013. Analisis Pengakuan Pendapatan Dengan Persentase Penyelesaian Dalam Penyajian Laporan Keuangan PT. Pilar Dasar. Jurnal EMBA, Vol. 1, No. 3, hlm 576-584 Rayo, M. 2012. Persepsi Masyarakat terhadap Upacara Rambu Solo’berdasarkan Stratifikasi Sosial (Studi Kasus Kel. Ariang Kec. Makale Kab. Tana Toraja). Skripsi Universitas Hasanuddin Makassar. Said, A. A. 2004. Simbolisme unsur visual rumah tradisional Toraja dan perubahan aplikasinya pada desain modern. Ombak. Yogyakarta. Said, S., dan Tappa, B. 2008. Perkembangan Kerbau Belang (Tedong Bonga) di Puslit Bioteknologi LIPI Cibinong, Jawa Barat dengan Teknologi Reproduksi. Paper presented at the Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau, Bogor. Sariubang, M., Qomariyah, R., dan Kristanto, L. 2014. Peranan Ternak Kerbau dalam Masyarakat Adat Toraja di Sulawesi Selatan. JITV, Vol. 19, No 2. Sumarto, Y., dan Anggu, P. 2010. Pembinaan Kerohanian Gereja Bethel Tabernakel dalam Konteks Kebudayaan Toraja. Jurnal Jaffray, Vol 8, No. 1, hlm 24-34. Tangdilintin, I. T. 1980. Toraja dan Kebudayaannya. Tano Toraja. Yayasan Lepongan Bulan.

184

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 175-184

Triyuwono, I. 2012. Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi dan Teori (3 ed.). PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Tyas, E. L. A., dan Fachriyah, N. 2009. Evaluasi Penerapan Standar Akuntansi Keuangan Dalam Pelaporan Aset Biologis (Studi Kasus Pada Koperasi “M”). Jurnal Ilmiah Raggagading,, hlm 75-80. Yamashita, S. 1994. Manipulating ethnic tradition: the funeral ceremony, tour-

ism, and television among the Toraja of Sulawesi. Indonesia, hlm 69-82. Yulius, N. A. 2012. Penentuan Harga Jual Kerbau Belang Berdasarkan Karakteristik Di Pasar Hewan Bolu Kecamatan Tallunglipu Kabupaten Toraja Utara. Universitas Hasanuddin, Makassar. Retrieved from http://repository. unhas.ac.id/handle/123456789/2072